Askep Anak Autis

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 17

TUGAS KEPERAWATAN JIWA

”ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN AUTISME”

OLEH :

1. ADE WINDIDIA

2. FERY HIDAYAH

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA


PRODI DIII KEPERAWATAN KAMPUS TUBAN
Jl. Dr. Wahidin Sudiro Husodo No.2 Tuban Telp : (0356) 321827
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Setiap tahun di seluruh dunia, kasus autisme mengalami peningkatan.


Dalam penelitian yang dirangkum Synopsis of Psychiatry awal 1990-an,
kasus autisme masih berkisar pada perbandingan 1 : 2.000. Angka ini
meningkat di tahun 2000 dalam catatan Sutism Research Institute di
Amerika Serikat sebanyak 1 dari 150 anak punya kecenderungan menderita
autis. Di Inggris, datanya lebih mengkhawatirkan. Di sana berdasarkan data
International Congress on Autism tahun 2006 tercatat 1 dari 130 anak punya
kecenderungan autis.

Di Indonesia sering kali cukup sulit mendapatkan data penderita


auitis, ini karena orangtua anak yang dicurigai mengidap autisme seringkali
tidak menyadari gejala-gejala autisme pada anak. Akibatnya, mereka
merujuknya ke pintu lain di RS. Misalnya ke bagian THT karena menduga
anaknya mengalami gangguan pendengaran dan ke Poli Tumbuh Kembang
Anak karena mengira anaknya mengalami masalah dengan perkembangan
fisik. (edy).( suarasurabaya.net. 13 desember 2008)
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 DEFINISI PENYAKIT

Autisme menurut Rutter 1970 adalah Gangguan yang melibatkan


kegagalan untuk mengembangkan hubungan antar pribadi (umur 30 bulan),
hambatan dalam pembicaraan, perkembangan bahasa, fenomena ritualistik
dan konvulsif.(Sacharin, R, M, 1996: 305)

Autisme masa kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan kehilangan


kontak dengan realitas atau orang lain. Pada bayi tidak terlihat tanda dan
gejala. (Sacharin, R, M, 1996 : 305)

Autisme Infantil adalah Gangguan kualitatif pada komunikasi verbal


dan non verbal, aktifitas imajinatif dan interaksi sosial timbal balik yang
terjadi sebelum usia 30 bulan.(Behrman, 1999: 120)

Menurut Isaac, A (2005) autisme merupakan gangguan


perkembangan pervasive dengan masalah awal tiga area perkembangan
utama yaitu perilaku, interaksi sosial dan komunikasi. Gangguan ini
dicirikan dengan gangguan yang nyata dalam interaksi sosial dan
komunikasi, serta aktivitas dan minat yang terbatas. Autisme adalah
kelainan yang mempunyai dampak besar terhadap kehidupan penderita,
keluarga dan masyarakat sekitarnya. Kadang keadaan ini membuat
kebingungan dan sangat menyakitkan hati orang tua penderita. Definisi
Autisme adalah kelainan neuropsikiatrik yang menyebabkan kurangnya
kemampuan berinteraksi sosial dan komunikasi, minat yang terbatas,
perilaku tidak wajar dan adanya gerakan stereotipik, dimana kelainan ini
muncul sebelum anak berusia 3 tahun (Teramihardja, J, 2007).

Suatu gangguan perkembangan yang sangat kompleks, yang secara


klinis ditandai oleh adanya 3 gejala utama berupa : kualitas yang kurang
dalam kemampuan interaksi sosial dan emosional, kualitas yang kurang
dalam kemampuan komunikasi timbal balik, dan minat yang terbatas,
perilaku tak wajar, disertai gerakan-gerakan berulang tanpa tujuan
(stereotipik). Selain itu tampak pula adanya respon tak wajar terhadap
pengalaman sensorik, yang terlihat sebelum usia 3 tahun.
2.2 ETIOLOGI

Sepuluh tahun yang lalu penyebab autisme belum banyak diketahui


dan hanya terbatas pada faktor psikologis saja. Tetapi sekarang ini penelitian
mengenai autisme semakin maju dan menunjukkan bahwa autisme
mempunyai penyebab neurobiologist yang sangat kompleks. Gangguan
neurobiologist ini dapat disebabkan oleh interaksi faktor genetik dan
lingkungan seperti pengaruh negatif selama masa perkembangan otak.
Banyak faktor yang menyebabkan pengaruh negatif selama masa
perkembangan otak, antara lain; penyakit infeksi yang mengenai susunan
saraf pusat, trauma, keracunan logam berat dan zat kimia lain baik selama
masa dalam kandungan maupun setelah dilahirkan, gangguan imunologis,
gangguan absorpsi protein tertentu akibat kelainan di usus (Suriviana, 2005).

Menurut Dewo (2006) gangguan perkembangan pervasive autisme dapat


disebabkan karena beberapa hal antara lain:

1. Genetis, abnormalitas genetik dapat menyebabkan abnormalitas


pertumbuhan sel – sel saraf dan sel otak
2. Keracunan logam berat seperti mercury yang banyak terdapat dalam
vaksin imunisasi atau pada makanan yang dikonsumsi ibu yang
sedang hamil, misalnya ikan dengan kandungan logam berat yang
tinggi. Pada penelitian diketahui dalam tubuh anak-anak penderita
autis terkandung timah hitam dan merkuri dalam kadar yang relatif
tinggi.
3. Terjadi kegagalan pertumbuhan otak karena nutrisi yang diperlukan
dalam pertumbuhan otak tidak dapat diserap oleh tubuh, ini terjadi
karena adanya jamur dalam lambungnya, atau nutrisi tidak trpenuhi
karena faktor ekonomi
4. Terjadi autoimun pada tubuh penderita yang merugikan
perkembangan tubuhnya sendiri karena zat – zat yang bermanfaat
justru dihancurkan oleh tubuhnya sendiri. Imun adalah kekebalan
tubuh terhadap virus/bakteri pembawa penyakit. Sedangkan autoimun
adalah kekebalan yang dikembangkan oleh tubuh penderita sendiri
yang justru kebal terhadap zat – zat penting dalam tubuh dan
menghancurkannya.

2.3 PATOFISIOLOGI

Sel saraf otak (neuron) terdiri atas badan sel dan serabut untuk
mengalirkan impuls listrik (akson) serta serabut untuk menerima impuls
listrik (dendrit). Sel saraf terdapat di lapisan luar otak yang berwarna kelabu
(korteks). Akson dibungkus selaput bernama mielin, terletak di bagian otak
berwarna putih. Sel saraf berhubungan satu sama lain lewat sinaps.

Sel saraf terbentuk saat usia kandungan tiga sampai tujuh bulan. Pada
trimester ketiga, pembentukan sel saraf berhenti dan dimulai pembentukan
akson, dendrit, dan sinaps yang berlanjut sampai anak berusia sekitar dua
tahun. Setelah anak lahir, terjadi proses pengaturan pertumbuhan otak
berupa bertambah dan berkurangnya struktur akson, dendrit, dan sinaps.
Proses ini dipengaruhi secara genetik melalui sejumlah zat kimia yang
dikenal sebagai brain growth factors dan proses belajar anak.

Makin banyak sinaps terbentuk, anak makin cerdas. Pembentukan


akson, dendrit, dan sinaps sangat tergantung pada stimulasi dari lingkungan.
Bagian otak yang digunakan dalam belajar menunjukkan pertambahan
akson, dendrit, dan sinaps. Sedangkan bagian otak yang tak digunakan
menunjukkan kematian sel, berkurangnya akson, dendrit, dan sinaps.
Kelainan genetis, keracunan logam berat, dan nutrisi yang tidak adekuat
dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada proses – proses tersebut.
Sehingga akan menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel saraf.

Pada pemeriksaan darah bayi-bayi yang baru lahir, diketahui


pertumbuhan abnormal pada penderita autis dipicu oleh berlebihnya
neurotropin dan neuropeptida otak (brain-derived neurotrophic factor,
neurotrophin-4, vasoactive intestinal peptide, calcitonin-related gene
peptide) yang merupakan zat kimia otak yang bertanggung jawab untuk
mengatur penambahan sel saraf, migrasi, diferensiasi, pertumbuhan, dan
perkembangan jalinan sel saraf. Brain growth factors ini penting bagi
pertumbuhan otak. Peningkatan neurokimia otak secara abnormal
menyebabkan pertumbuhan abnormal pada daerah tertentu. Pada gangguan
autistik terjadi kondisi growth without guidance, di mana bagian-bagian
otak tumbuh dan mati secara tak beraturan.

Pertumbuhan abnormal bagian otak tertentu menekan pertumbuhan


sel saraf lain. Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel Purkinye
(sel saraf tempat keluar hasil pemrosesan indera dan impuls saraf) di otak
kecil pada autisme. Berkurangnya sel Purkinye diduga merangsang
pertumbuhan akson, glia (jaringan penunjang pada sistem saraf pusat), dan
mielin sehingga terjadi pertumbuhan otak secara abnormal atau sebaliknya,
pertumbuhan akson secara abnormal mematikan sel Purkinye. Yang jelas,
peningkatan brain derived neurotrophic factor dan neurotrophin-4
menyebabkan kematian sel Purkinye.
Gangguan pada sel Purkinye dapat terjadi secara primer atau
sekunder. Bila autisme disebabkan faktor genetik, gangguan sel Purkinye
merupakan gangguan primer yang terjadi sejak awal masa kehamilan.

Degenerasi sekunder terjadi bila sel Purkinye sudah berkembang,


kemudian terjadi gangguan yang menyebabkan kerusakan sel Purkinye.
Kerusakan terjadi jika dalam masa kehamilan ibu minum alkohol berlebihan
atau obat seperti thalidomide. Penelitian dengan MRI menunjukkan, otak
kecil anak normal mengalami aktivasi selama melakukan gerakan motorik,
belajar sensori-motor, atensi, proses mengingat, serta kegiatan bahasa.
Gangguan pada otak kecil menyebabkan reaksi atensi lebih lambat,
kesulitan memproses persepsi atau membedakan target, overselektivitas, dan
kegagalan mengeksplorasi lingkungan.

Pembesaran otak secara abnormal juga terjadi pada otak besar bagian
depan yang dikenal sebagai lobus frontalis. Kemper dan Bauman
menemukan berkurangnya ukuran sel neuron di hipokampus (bagian depan
otak besar yang berperan dalam fungsi luhur dan proses memori) dan
amigdala (bagian samping depan otak besar yang berperan dalam proses
memori).

Penelitian pada monyet dengan merusak hipokampus dan amigdala


mengakibatkan bayi monyet berusia dua bulan menunjukkan perilaku pasif-
agresif. Mereka tidak memulai kontak sosial, tetapi tidak menolaknya.
Namun, pada usia enam bulan perilaku berubah. Mereka menolak
pendekatan sosial monyet lain, menarik diri, mulai menunjukkan gerakan
stereotipik dan hiperaktivitas mirip penyandang autisme. Selain itu, mereka
memperlihatkan gangguan kognitif.

Faktor lingkungan yang menentukan perkembangan otak antara lain


kecukupan oksigen, protein, energi, serta zat gizi mikro seperti zat besi,
seng, yodium, hormon tiroid, asam lemak esensial, serta asam folat.

Adapun hal yang merusak atau mengganggu perkembangan otak


antara lain alkohol, keracunan timah hitam, aluminium serta metilmerkuri,
infeksi yang diderita ibu pada masa kehamilan, radiasi, serta ko kain.

2.4 MANIFESTASI KLINISl

Keterlambatan atau fungsi abnormal pada ketrampilan berikut, muncul


sebelum umur 3 tahun.

1. Interaksi sosial.
2. Bahasa yang digunakan sebagai komunikasi sosial.
3. Bermain simbolik atau imajinatif.
Diagnosis harus memenuhi kriteria DSM IV (Diagnostic And Statistical Of
Manual Disorders 1992 Fourth Edition). Diagnosis autisme bisa ditegakkan
apabila terdapat enam atau lebih gejala dari (1), (2) dan (3) dengan paling
sedikit 2 dari (1) dan 1 dari masing-masing (2) dan (3).

1. Gangguan kualitatif interaksi sosial, muncul paling sedikit 2 dari


gejala berikut :
1. Gangguan yang jelas dalam perilaku non – verbal (perilaku
yang dilakukan tanpa bicara) misalnya kontak mata, ekspresi
wajah, posisi tubuh dan mimik untuk mengatur interaksi sosial.
2. Tidak bermain dengan teman seumurnya, dengan cara yang
sesuai.
3. Tidak berbagi kesenangan, minat atau kemampuan mencapai
sesuatu hal dengan orang lain.
4. Kurangnya interaksi sosial timbal balik.
2. Gangguan kualitatif komunikasi, paling sedikit satu dari gejala
berikut :
1. Keterlambatan atau belum dapat mengucapkan kata-kata
berbicara, tanpa disertai usaha kompensasi dengan cara lain.
2. Bila dapat berbicara, terlihat gangguan kesanggupan memulai
atau mempertahankan komunikasi dengan orang lain.
3. Penggunaan bahasa yang stereotipik dan berulang, atau bahasa
yang tidak dapat dimengerti.
4. Tidak adanya cara bermain yang bervariasi dan spontan, atau
bermain menirukan secara sosial yang sesuai dengan umur
perkembangannya.
3. Pola perilaku, minat dan aktivitas yang terbatas, berulang dan tidak
berubah (stereotipik), yang ditunjukkan dengan adanya 2 dari gejala
berikut :
1. Minat yang terbatas, stereotipik dan meneetap dan abnormal
dalam intensitas dan fokus.
2. Keterikatan pada ritual yang spesifik tetapi tidak fungsional
secara kaku dan tidak fleksibel.
3. Gerakan motorik yang stereotipik dan berulang, misalnya
flapping tangan dan jari, gerakan tubuh yang kompleks.
4. Preokupasi terhadap bagian dari benda.

2.5 PENATALAKSANAAN MEDIS

Kimia otak yang kadarnya abnormal pada penyandang autis adalah


serotonin 5-hydroxytryptamine (5-HT), yaitu neurotransmiter atau
penghantar sinyal di sel-sel saraf. Sekitar 30-50 persen penyandang autis
mempunyai kadar serotonin tinggi dalam darah.
Kadar norepinefrin, dopamin, dan serotonin 5-HT pada anak normal
dalam keadaan stabil dan saling berhubungan. Akan tetapi, tidak demikian
pada penyandang autis.Terapi psikofarmakologi tidak mengubah riwayat
keadaan atau perjalanan gangguan autistik, tetapi efektif mengurangi
perilaku autistik seperti hiperaktivitas, penarikan diri, stereotipik, menyakiti
diri sendiri, agresivitas dan gangguan tidur.

Sejumlah observasi menyatakan, manipulasi terhadap sistem dopamin


dan serotonin dapat bermanfaat bagi pasien autis. Antipsikotik generasi
baru, yaitu antipsikotik atipikal, merupakan antagonis kuat terhadap reseptor
serotonin 5-HT dan dopamin tipe 2 (D2).

Risperidone bisa digunakan sebagai antagonis reseptor dopamin D2


dan serotonin 5-HT untuk mengurangi agresivitas, hiperaktivitas, dan
tingkah laku menyakiti diri sendiri.

Olanzapine, digunakan karena mampu menghambat secara luas


pelbagai reseptor, olanzapine bisa mengurangi hiperaktivitas, gangguan
bersosialisasi, gangguan reaksi afektual (alam perasaan), gangguan respons
sensori, gangguan penggunaan bahasa, perilaku menyakiti diri sendiri,
agresi, iritabilitas emosi atau kemarahan, serta keadaan cemas dan depresi.

Untuk meningkatkan keterampilan sosial serta kegiatan sehari-hari,


penyandang autis perlu diterapi secara nonmedikamentosa yang melibatkan
pelbagai disiplin ilmu. Menurut dr Ika Widyawati SpKJ dari Bagian Ilmu
Penyakit Jiwa FKUI, antara lain terapi edukasi untuk meningkatkan
interaksi sosial dan komunikasi, terapi perilaku untuk mengendalikan
perilaku yang mengganggu/membahayakan, terapi wicara, terapi
okupasi/fisik, sensori-integrasi yaitu pengorganisasian informasi lewat
semua indera, latihan integrasi pendengaran (AIT) untuk mengurangi
hipersensitivitas terhadap suara, intervensi keluarga, dan sebagainya.

Untuk memperbaiki gangguan saluran pencernaan yang bisa


memperburuk kondisi dan gejala autis, dilakukan terapi biomedis. Terapi itu
meliputi pengaturan diet dengan menghindari zat-zat yang menimbulkan
alergi (kasein dan gluten), pemberian suplemen vitamin dan mineral, serta
pengobatan terhadap jamur dan bakteri yang berada di dinding usus.

Dengan pelbagai terapi itu, diharapkan penyandang autis bisa


menjalani hidup sebagaimana anak-anak lain dan tumbuh menjadi orang
dewasa yang mandiri dan berprestasi.
2.6 PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN

Penatalaksanaan pada autisme bertujuan untuk:

1. Mengurangi masalah perilaku.

Terapi perilaku dengan memanfaatkan keadaan yang terjadi dapat


meningkatkan kemahiran berbicara. menagement perilaku dapat mengubah
perilaku destruktif dan agresif.

2. Meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangan terutama bahasa.

Latihan dan pendidikan dengan menggunakan pendidikan (operant


conditioning yaitu dukungan positif (hadiah) dan dukungan negatif
(hukuman).

3. Anak bisa mandiri dan bersosialisasi.

Mengembangkan ketrampilan sosial dan ketrampilan praktis.


BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN KEPERAWATAN

Pengkajian data focus pada anak dengan gangguan perkembangan pervasive


menurut Isaac, A (2005) dan Townsend, M.C (1998) antara lain:

 Tidak suka dipegang


 Rutinitas yang berulang
 Tangan digerak-gerakkan dan kepala diangguk-anggukan
 Terpaku pada benda mati
 Sulit berbahasa dan berbicara
 50% diantaranya mengalami retardasi mental
 Ketidakmampuan untuk memisahkan kebutuhan fisiologis dan emosi diri
sendiri dengan orang lain
 Tingkat ansietas yang bertambah akibat dari kontak dengan dengan orang
lain
 Ketidakmampuan untuk membedakan batas-batas tubuh diri sendiri dengan
orang lain
 Mengulangi kata-kata yang dia dengar dari yang diucapkan orang lain atau
gerakkan-gerakkan mimik orang lain
 Penolakan atau ketidakmampuan berbicara yang ditandai dengan
ketidakmatangan stuktur gramatis, ekolali, pembalikan pengucapan,
ketidakmampun untuk menamai benda-benda, ketidakmampuan untuk
menggunakan batasan-batasan abstrak, tidak adanya ekspresi nonverbal
seperti kontak mata, sifat responsif pada wajah, gerak isyarat.

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

Menurut Townsend, M.C (1998) diagnosa keperawatan yang dapat


dirumuskan pada pasien/anak dengan gangguan perkembangan pervasive
autisme antara lain:

 Risiko tinggi terhadap mutilasi diri berhubungan dengan:

1. Tugas-tugas perkembangan yang tidak terselesaikan dari rasa percaya


terhadap rasa tidak percaya

2. Fiksasi pada fase prasimbiotik dari perkembangan


3. Perubahan-perubahan patofisiologis yang terjadi sebagai respons terhadap
kondisi-kondisi fisik tertentu seperti rubella pada ibu, fenilketonuria tidak
teratasi, ensefalitis, tuberkulosa sclerosis, anoksia selama kelahiran dan
sindroma fragilis X

4. Deprivasi ibu

5. Stimulasi sensosrik yang tidak sesuai

6. Sejarah perilaku-perilaku mutilatif/melukai diri sebagai respons terhadap


ansietas yang meningkat

7. Ketidakacuhan yang nyata terhadap lingkungan atau reaksi-reaksi yang


histeris terhadap perubahan-perubahan pada lingkungan

 Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan:

1. Gangguan konsep diri

2. Tidak adanya orang terdekat

3. Tugas perkembangan tidak terselsaikan dari percaya versus tidak percaya

4. Perubahan-perubahan patofisiologis yang terjadi sebagai respons terhadap


kondisi-kondisi fisik tertentu seperti rubella pada ibu fenilketonuria tidak
teratasi, ensefalitis, tuberous sclerosis, anoksia selama kelahiran sindrom
fragilis X)

5. Deprivasi ibu

6. Stimulasi sensorik yang tidak sesuai

 Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan:

1. Ketidakmampuan untuk mempercayai

2. Penarikan diri dari diri

3. Perubahan patofisiologis yang terjadi sebagai respons terhadap kondisi-


kondisi fisik tertentu seperti rubella pada ibu fenilketonuria tidak teratasi,
ensefalitis, tuberous sclerosis, anoksia selama kelahiran sindrom fragilis X)

4. Deprivasi ibu

5. Stimulasi sensorik yang tidak sesuai


 Gangguan identitas diri/pribadi berhubungan dengan:

1. Fiksasi pada fase prasimbiotik dari perkembangan

2. Tugas-tugas tidak terselesaikan dari rasa percaya versus rasa tidak percaya

3. Deprivasi ihu

4. Stimulasi sensorik yang tidak sesuai

3.3 PERENCANAAN DAN RASIONALISASI

Menurut Townsend, M.C (1998) perencanaan dan rasionalisasi untuk


mengatasi masalah keperawatan pada anak dengan gangguan perkembangan
pervasife autisme antara lain:

1. Resiko terhadap mutilasi diri

 Tujuan: Pasien akan mendemonstrasikan perilaku-perilaku alternative


(misalnya memulai interaksi antara diri dengan perawat) sebagai respons
terhadap kecemasan dengan criteria hasil:

1. Rasa gelisah dipertahankan pada tingkat anak merasa tidak memerlukan


perilaku-perilaku mutilatif diri

2. Pasien memulai interaksi antara diri dan perawat apabila merasa cemas

 Intervensi

1. Jamin keselamatan anak dengan memberi rasa aman, lingkungan yang


kondusif untuk mencegah perilaku merusak diri

 Rasional: Perawat bertanggun jawab untuk menjamin keselamatan


anak)

2. Kaji dan tentukan penyebab perilaku – perilaku mutilatif sebagai respon


terhadap kecemasan

 Rasional : pengkajian kemungkinan penyebab dapat memilih cara


/alternative pemecahan yang tepat

3. Pakaikan helm pada anak untuk menghindari trauma saat anak


memukul-mukul kepala, sarung tangan untuk mencegah menarik –
narik rambut, pemberian bantal yang sesuai untuk mencegah luka pada
ekstremitas saat gerakan-gerakan histeris

 Rasional : Untuk menjaga bagian-bagian vital dari cidera

4. Untuk membentuk kepercayaan satu anak dirawat oleh satu perawat

 Rasional : Untuk dapat bisa lebih menjalin hubungan saling percaya


dengan pasien

5. Tawarkan pada anak untuk menemani selama waktu – waktu mening-


katnya kecemasan agar tidak terjadi mutilasi

 Rasional :Dalam upaya untuk menurunkan kebutuhan pada perilaku-


perilaku mutilasi diri dan memberikan rasa aman

2. Kerusakan interaksi sosial

 Tujuan : Anak akan mendemonstrasikan kepercayaan pada seorang pemberi


perawatan yang ditandai dengan sikap responsive pada wajah dan kontak
mata dalam waktu yang ditentukan dengan criteria hasil:
o Anak mulai berinteraksi dengan diri dan orang lain
o Pasien menggunakan kontak mata, sifat responsive pada wajah dan
perilaku-perilaku nonverbal lainnya dalam berinteraksi dengan orang
lain
o Pasien tidak menarik diri dari kontak fisik dengan orang lain
 Intervensi
o Jalin hubungan satu – satu dengan anak untuk meningkatkan keper-
cayaan
 Rasional : Interaksi staf dengan pasien yang konsisten
meningkatkan pembentukan kepercayaan
o Berikan benda-benda yang dikenal (misalnya: mainan kesukaan,
selimut) untuk memberikan rasa aman dalam waktu-waktu tertentu
agar anak tidak mengalami distress
 Rasional : Benda-benda ini memberikan rasa aman dalam
waktu-waktu aman bila anak merasa distres
o Sampaikan sikap yang hangat, dukungan, dan kebersediaan ketika
anak berusaha untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan dasarnya
untuk meningkatkan pembentukan dan mempertahankan hubungan
saling percaya
 Rasional: Karakteristik-karakteritik ini meningkatkan
pembentukan dan mempertahankan hubungan saling percaya
o Lakukan dengan perlahan-lahan, jangan memaksakan interaksi-
interaksi, mulai dengan penguatan yang positif pada kontak mata,
perkenalkan dengan berangsur-angsur dengan sentuhan, senyuman ,
dan pelukan
 Rasional : Pasien autisme dapat merasa terncam oleh suatu
rangsangan yang gencar pada pasien yang tidak terbiasa
o Dengan kehadiran anda beri dukungan pada pasien yang berusaha
keras untuk membentuk hubungan dengan orang lain
dilingkungannya
 Rasional :Kehadiran seorang yang telah terbentuk hubungan
saling percaya dapat memberikan rasa aman

3. Kerusakan komunikasi verbal

 Tujuan : Anak akan membentuk kepercayaan dengan seorang pemberi


perawatan ditandai dengan sikap responsive dan kontak mata dalam waktu
yang telah ditentukan dengan kriteria hasil:
o Pasien mampu berkomunikasi dengan cara yang dimengerti oleh
orang lain
o Pesan-pesan nonverbal pasien sesuai dengan pengungkapan verbal
o Pasien memulai berinteraksi verbal dan non verbal dengan orang lain
 Intervensi
o Pertahankan konsistensi tugas staf untuk memahami tindakan-
tindakan dan komunikasi anak
 Rasional: Hal ini memudahkan kepercayaan dan kemampuan
untuk memahami tindakan-tindakan dan komunikasi pasien
o Antisipasi dan penuhi kebutuhan-kebutuhan anak sampai kepuasan
pola komunikasi terbentuk
 Rasional : Pemenuhan kebutuhan pasien akan dapat
mengurangi kecemasan anak sehingga anak akan dapat mulai
menjalin komunikasi dengan orang lain dengan asertif
o Gunakan tehnik validasi konsensual dan klarifikasi untuk
menguraikan kode pola komunikasi ( misalnya :” Apakah anda
bermaksud untuk mengatakan bahwa…..?” )
 Rasional: Teknik-teknik ini digunakan untuk memastikan
akurasi dari pesan yang diterima, menjelaskan pengertian-
pengertian yang tersembunyi di dalam pesan. Hati-hati untuk
tidak “berbicara atas nama pasien tanpa seinzinnya”
o Gunakan pendekatan tatap muka berhadapan untuk menyampaikan
ekspresi-ekspresi nonverbal yang benar dengan menggunakan contoh
 Rasional: Kontak mata mengekspresikan minat yang murni
terhadap dan hormat kepada seseorang

4. Gangguan Indentitas Pribadi


 Tujuan: Pasien akan menyebutkan bagian-bagian tubuh diri sendiri dan
bagian-bagian tubuh dari pemberi perawatan dalam waktu yang ditentukan
untuk mengenali fisik dan emosi diri terpisah dari orang lain saat pulang
dengan kriteria hasil:
o Pasien mampu untuk membedakan bagian-bagian dari tubuhnya
dengan bagian-bagian dari tubuh orang lain
o Pasien menceritakan kemampuan untuk memisahkan diri dari
lingkungannya dengan menghentikan ekolalia (mengulangi kata-kata
yang di dengar) dan ekopraksia (meniru gerakan-gerakan yang
dilihatnya)
 Intervensi:
o Fungsi pada hubungan satu-satu dengan anak
 Rasional : Interaksi pasien staf meningkatkan pembentukan
data kepercayaan
o Membantu anak untuk mengetahui hal-hal yang terpisah selama
kegiatan-kegiatan perawatan diri, seperti berpakaian dan makan
 Rasional : Kegiatan-kegiatan ini dapat meningkatkan
kewaspadaan anda terhadap diri sebagai sesuatu yang terpisah
dari orang lain
o Jelaskan dan bantu anak dalam menyebutkan bagian-bagian tubuhnya
 Rasional : Kegiatan-kegiatan ini dapat meningkatkan
kewaspadaan anak terhadap diri sebagai sesuatu yang terpisah
dari orang lain
o Tingkatkan kontak fisik secara bertahap demi tahap, menggunakan
sentuhan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan antara pasien
dengan perawat. Berhati-hati dengans entuhan sampai kepercayaan
anak telah terbentuk
 Rasional: Bila gerak isyarat ini dapat diintepretasikan sebagai
suatu ancaman oleh pasien
o Tingkatkan upaya anak untuk mempelajari bagian-bagian dari batas-
batas tubuh dengan menggunakan cermin dan lukisan serta gambar-
gambar dari anak
 Rasional: Dapat memberikan gambaran tentang bentuk tubuh
dan gambaran diri pada anak secara tepat

3.4 IMPLEMENTASI

Serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien


dari ststus yang dihadapi menuju status kesehatan lebih baik dengan
menggambarkan kreteria hasil yang diharapkan. (perry dan potter, 2006)

3.5 EVALUASI
Perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan klien dengan
tujuan yang telah ditujukan, dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan
melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. (potter, 2005)
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai