Tugas Etik Dan Hukum Keperawatan Lansia Kelompok 6 (Kep Gerontik) - 1
Tugas Etik Dan Hukum Keperawatan Lansia Kelompok 6 (Kep Gerontik) - 1
Tugas Etik Dan Hukum Keperawatan Lansia Kelompok 6 (Kep Gerontik) - 1
Dosen pengampu :
DISUSUN OLEH:
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan
makalah ini tepat waktu.
Makalah ini tentang Etik dan hukum tentang perawatan klien usia lanjut yang disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca baik itu mahasiswa maupun
masyarakat dan dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan yang berguna untuk kita semua. Akhir
kata kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Penyusun
(Kelompok 6)
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Praktik keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan.
Penerapan praktik keperawatan tidak hanya diberikan pada pasien balita, anak - anak, dan
orang dewasa muda, tetapi juga diberikan pada pasien lanjut usia. Menurut Undang-
Undang No 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada bab I pasal 1 ayat 2,
yang dimaksud lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas. Lansia
biasanya ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres
lingkungan (Surini & Otamo, 2003 dalam Ma'rifatul Lilik, 2011), hal ini dikatakan
sebagai ageing process. Ageing process (proses menua) adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan - lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri,
mengganti atau mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Canstantindes, 1994;
Darmojo, 2004 dikutip oleh Ma'rifatul Lilik, 2011).
Secara global populasi penuaan merupakan tantangan penting dan kesempatan
yang dihadapi oleh semua negara. Di negara-negara berkembang, populasi penuaan
mengubah sifat tuntutan pada sistem perawatan kesehatan yang harus mengakomodasi
kebutuhan populasi yang lebih tua sambil terus untuk mengatasi masalah kesehatan
prioritas lain seperti kesehatan ibu dan anak (WHO, 2013). Peningkatan usia harapan
hidup menimbulkan peningkatan jumlah lanjut usia (Lansia) di dunia. Lanjut usia adalah
seseorang yang berumur 60 tahun atau lebih (WHO 1998, dalam Nugroho 2000). Jumlah
lansia usia 60 tahun secara global diprediksikan pada tahun 2025 akan mencapai ± 1200
individu lanjut usia dan angka sebaran lansia terbanyak diseluruh dunia terdapat dinegara
Cina, India, Amerika Serikat, dan Indonesia (Kuliah Pakar: Hendri Purwadi, 2013).
Transisi demografi pada kelompok lansia terkait dengan status kesehatan lansia yang
lebih terjamin, sehingga usia harapan hidup lansia lebih tinggi dibanding masa-masa
sebelumnya. Pertambahan jumlah lansia di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1990 –
2025, tergolong tercepat di dunia. Sedangkan umur harapan hidup berdasarkan sensus
BPS tahun 1998 masing-masing untuk pria 63 tahun dan perempuan 67 tahun. Angka di
atas berbeda dengan kajian WHO (1999), dimana usia harapan hidup orang Indonesia
rata-rata adalah 59,7 tahun dan menempati urutan ke-103 dunia (Bondan Palestin, 2011).
Berdasarkan data BPS, Proyeksi Penduduk Indonesia per Propinsi 1995 – 2005,
Jakarta 1988, menerangkan bahwa distribusi usia lanjut di Indonesia meliputi 13.75 %
berada di D.I. Yogyakarta, 10.54 % berada di Jawa Timur, 9.72 % berada di Bali, 9.55 %
berada di Jawa Tengah, 9.08 % berada di Sumatra Barat, dan 7.63 % berada di Sulawesi
Selatan (Kuliah Pakar: Bondan Paleestin, 2013).
Terlepas dari permasalahan peningkatan harapan hidup di negara maju telah
memimpin peningkatan jumlah orang tua dirawat di panti jompo berdampak pula pada
otonomi dan masalah legal etik lansia. Mengingat kelemahan fisik dan kerusakan
kapasitas mental di banyak penduduk ini, pertanyaan muncul sebagai otonomi mereka
dan untuk perlindungan mereka dari bahaya. Pada tahun 2005, salah satu pengadilan
Jerman tertinggi, Bundesgerichtshof (BGH) mengeluarkan putusan mani yang berurusan
dengan kewajiban panti jompo dan dengan melestarikan otonomi dan privasi dalam
penghuni panti jompo (Artikel Global Medical Ethic oleh Kai Sammet, 2007).
Isu - isu legal dan etik yang memengaruhi lansia telah mengalami peningkatan
angka kejadian di pengadilan pada masa sekarang ini. Perawat yang merawat lansia
mengalami isu etis yang unik pada golongan usia ini. Sekelompok pertanyaan muncul
pada tingkat individu yang berkaitan dengan permasalahan penuaan dan arti manusia.
Kelompok pertanyaan kedua berkaitan dengan pengalaman subjektif dari kecacatan dan
penyakit sebagai yang dirasakan dan ditafsirkan oleh lansia dan respons yang diberikan
oleh perawat, dokter, atau tenaga kesehatan yang lain. Serta yang terakhir kelompok
ketiga masalah berpusat pada proses pengambilan keputusan medis yang
mengikutsertakan pasien, anggota keluarga, para tenaga kesehatan, petugas lapangan, dan
administrator rumah sakit. Akhirnya, masalah etis yang berhubungan dengan lansia
sebagai suatu kelompok muncul dalam konteks masyarakat yang lebih besar (Mickey &
Patricia, 2006). Oleh karnanya akan dibahas lebih lanjut mengenai pengaruh nilai - nilai
etis terhadap perawatan lansia berdasarkan evidence-based dari beberapa jurnal kesehatan
lansia.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang teori etik keperawatan lansia
2. Untuk mengetahui tentang prinsip etik keperawatan lansia
3. Unuk mengetahui tentang issue perawatan lansia
4. Ungtuk mengetahui tentang infrmed concent perawatan lansia
5. Untuk mengetahui tentang responsibility dan akuntability pelayanan lansia
6. Untuk mengetahui tentang kepastian hukum dalam advokasi lansia
7. Untuk mengetahui tentang peraturan dan perundangan pelayanan lansia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori etik keperawatan lansia
Perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan
tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki diperoleh melalui pendidikan
keperawatan (UU RI. No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan). Sedangkan etik secara
etimologis, kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos, yang berarti adat istiadat
atau kebiasaan, model perilaku atau standar yang diharapkan, dan kriteria tertentu
untuk suatu tindakan (Mimin Emi S., 2004; dalam Nindy Amelia, 2013).
Untuk menjadi seorang profesional dewasa yang mampu secara aktif
berpapartisipasi dalam dimensi etik pratik mereka, seorang perawat harus terus
mengembangkan suatu perasaan yang kuat tentang identitas moral mereka, mencari
dukungan dari sumber profesional yang tersedia dan mengembangkan pengetahuan
serta kemampuan mereka dalam bidang etik. Etika perawatan dihubungkan dengan
hubungan antara masyarakat dan dengan karakter serta sikap perawat terhadap orang
lain lerlebih kepada klien lanjut usia (Perry & Potter, 2005).
a. Empati: istilah empati menyangkut pengertian “simpati atas dasar pengertian yang
dalam”artinya upaya pelayanan pada lansia harus memandang seorang lansia yang
sakit dengan pengertian, kasih sayang dan memahami rasa penderitaan yang
dialami oleh penderita tersebut. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan
wajar, tidak berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over protective dan belas-
kasihan. Oleh karena itu semua petugas geriatrik harus memahami peroses
fisiologis dan patologik dari penderita lansia.
b. Non maleficence dan beneficence. Pelayanan pada lansia selalu didasarkan pada
keharusan untuk mengerjakan yang baik dan harus menghindari tindakan yang
menambah penderitaan (harm). Sebagai contoh, upaya pemberian posisi baring
yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik (kalau perlu dengan
derivat morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata hiburan merupakan contoh
berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis untuk dikerjakan.
c. Otonomi yaitu suatu prinsip bahwa seorang individu mempunyai hak untuk
menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja hak
tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut berdasar
pada keadaan, apakah lansia dapat membuat keputusan secara mandiri dan bebas.
Dalam etika ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau menjadi semakin rumit ?)
oleh pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk
melindungi penderita yang fungsional masih kapabel (sedangkan non-maleficence
dan beneficence lebih bersifat melindungi penderita yang inkapabel). Dalam
berbagai hal aspek etik ini seolah-olah memakai prinsip paternalisme, dimana
seseorang menjadi wakil dari orang lain untuk membuat suatu keputusan
(misalnya seorang ayah membuat keputusan bagi anaknya yang belum dewasa).
d. Keadilan: yaitu prinsip pelayanan pada lansia harus memberikan perlakuan yang
sama
bagi semua. Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita secara wajar dan
tidak mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak relevan.
e. Kesungguhan hati: Suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji yang diberikan
pada seorang lansia.
Tantangan utama adalah mencegah atau mengubah pandangan negatif tentang lanjut
usia. Perlu strategi yang mendorong pengerahan citra positif kelanjutusiaan di berbagai
lapisan masyarakat dan pemerintahan. Citra negatif sampai saat ini dapat berdampak
pada implementasi program kelanjutusiaan, karena menjadikan kurangnya perhatian
dari kementrian tertentu dan atau pemerintah daerah. Sebagai contoh dapat dilihat dari
kurangnya dukungan pemerintah daerah dalam hal dana program, serta dalam
membuat peraturan
daerah terkait kelanjutusiaan. Ke depan sosok lanjut usia perlu digambarkan sebagai
sosok yang sehat, mandiri, sejahtera, dan bermartabat, sehingga mereka masih
merupakan aset keluarga, masyarakat, dan negara. Sumbangan lanjut usia tidak harus
selalu dinilai dalam bentuk nilai ekonomi, namun dapat dinilai dari partisipasinya
dalam kehidupan sosial.
Sesuai hasil Sakernas 2014, sebesar 42,41% lanjut usia masih bekerja dengan status
berusaha/bekerja dibantu buruh, berusaha sendiri (26,30 %), dan sebagai pekerja tidak
dibayar (13,34 %). Sementara itu, lanjut usia yang bekerja dengan status sebagai
pekerja bebas, dan buruh/karyawan persentasenya masing-masing sebesar 9,35 % dan
8,60 %. Dari hasil studi lainnya, diperoleh informasi bahwa lanjut usia saat ini masih
banyak yang bekerja demi memenuhi kebutuhan dasar.
Mengacu pada hasil Supas tahun 2015, lanjut usia yang berpotensi untuk melakukan
aktivitas dalam kegiatan ekonomi masih sebesar 42% (Statistik, B. P. 2016).
Tantangannya ke depan, menjadikan lanjut usia masih aktif dan produktif, namun
bukan semata untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup sehari-hari, melainkan lebih
berorientasi kepada aktualisasi diri.
Kondisi seperti ini perlu dipersiapkan sejak dini, sehingga saat menjadi lanjut usia
sudah cukup bekal secara ekonomi, dan dapat melakukan aktivitasnya sesuai dengan
kondisinya. Lanjut usia bukanlah semata mata objek pembangunan tetapi merupakan
subjek pembangunan. Berbagai pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang
dimiliki lanjut usia merupakan sesuatu yang berharga bagi generasi muda, bangsa dan
negara. Keterlibatan lanjut usia dalam pengambilan kebijakan publik sangat penting,
terkait dengan pengetahuan dan pengalamannya.
Program dan kegiatan pemerintah ke depan tidak hanya berorientasi pada pemberian
bantuan dan pelayanan kepada lanjut usia. Dengan meningkatnya jumlah lanjut usia,
diperlukan cara pandang dengan menempatkan penduduk lanjut usia sebagai pelaku
pembangunan yang aktif. Selama ini, banyak lanjut usia yang masih produktif dan
menghasilkan barang dan/atau jasa, di samping aktivitas lanjut usia yang lebih
berorientasi kepada aktualisasi diri.
Terkait dengan isu gender, maka perlindungan juga perlu diberikan terhadap lanjut
usia perempuan. Mengingat karakteristik lanjut usia perempuan lebih rentan dibanding
lanjut usia laki-laki. Masih sering terjadi diskriminasi terhadap lansia perempuan baik
dari aspek budaya, politik, kesehatan, ekonomi dan sosialnya, yang kesemuanya ini
dapat berpotensi terjadinya kekerasan. Oleh karena itu, kepedulian serta kebijakan
pemerintah dan masyarakat terutama peranan keluarga dalam melindunginya sangat
dibutuhkan.
Lanjut usia perempuan jumlahnya lebih banyak daripada lakilaki, yaitu 11,5 juta
(52,81%) dibanding 10,2 juta atau 47,19%. Karakteristik lainnya dari lanjut usia
perempuan, yaitu banyak yang berstatus janda sebesar 60,82%; berpendidikan minimal
SD sebesar 91,9%; sebanyak 33,2% sebagai pekerja tidak dibayar. Perempuan banyak
yang bekerja mengurus rumah tangga, dan menurut BPS tidak termasuk kategori
bekerja. Dari hasil Susenas dapat, kemiskinan lanjut usia perempuan usia 65 tahun
semakin meningkat pada periode tahun 2014 dan 2015. Sebagai contoh pada lanjut
usia perempuan usia 65-69 tahun tingkat kemiskinan pada tahun 2014 sebesar 12,60%,
meningkat menjadi 15,41% pada tahun 2015. Semakin tua umur, tingkat
kemiskinannya semakin tinggi (BPS (2015)).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN LANJUT USIA
DI PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh)
tahun ke atas.
2. Pasien Geriatri adalah pasien Lanjut Usia dengan multi penyakit dan/atau
gangguan akibat penurunan fungsi organ, psikologi, sosial, ekonomi dan
lingkungan yang membutuhkan pelayanan kesehatan secara terpadu dengan
pendekatan multidisiplin yang bekerja secara interdisiplin.
3. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah
fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama,
dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif,
untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya di wilayah kerjanya.
Pasal 2
PENUTUP
A. KESIMPLAN
B. SARAN
Atas beberapa simpulan di atas, dapat disampaikan saran yaitu agar pelaksanaan RUU ini
nantinya dapat dilaksanakan secara beriringan dengan peningkatan motivasi individu, keluarga,
masyarakat dan dunia usaha untuk meningkatkan kesejahteraan lanjut usia. Dengan adanya RUU
tentang Lanjut Usia diharapkan dapat memperjelas upaya meningkatkan kesejahteraan lanjut usia
sebagai bentuk upaya negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan juga telah memberikan pengakuan yang sama bagi setiap warga negaranya dalam
kehidupan bernegara tanpa kecuali sebagaimana tercermin dalam pembukaan UUD NRI Tahun
1945. Selain itu, pimpinan kementerian/lembaga dan/atau organisasi perangkat daerah juga harus
meningkatkan kerjasama lintas sektor daripusat sampai daerah agar dapat menjawab
permasalahan dan kebutuhan lanjut usia masa kini dan di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA