Tugas Etik Dan Hukum Keperawatan Lansia Kelompok 6 (Kep Gerontik) - 1

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

Etik dan hukum

tentang perawatan klien usia lanjut

Dosen pengampu :

DISUSUN OLEH:

1. Devita Feby W.R (22018014)


2. Putri Tasya M (22018015)
3. Lilis Setiyowati (22018018)
4. Retna Puspitasari (22018021)
5. Sheren lintang A. (22017012 )

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ESTU UTOMO
BOYOLALI
2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan
makalah ini tepat waktu.

Makalah ini tentang Etik dan hukum tentang perawatan klien usia lanjut yang disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik

Namun, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan


makalah ini. Oleh karena itu, masukan berupa kritik dan saran yang bersifat membangun
senantiasa kami harapkan demi perbaikan makalah ini.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca baik itu mahasiswa maupun
masyarakat dan dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan yang berguna untuk kita semua. Akhir
kata kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Boyolali, 03 Oktober 2021

Penyusun

(Kelompok 6)
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Praktik keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan.
Penerapan praktik keperawatan tidak hanya diberikan pada pasien balita, anak - anak, dan
orang dewasa muda, tetapi juga diberikan pada pasien lanjut usia. Menurut Undang-
Undang No 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada bab I pasal 1 ayat 2,
yang dimaksud lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas. Lansia
biasanya ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres
lingkungan (Surini & Otamo, 2003 dalam Ma'rifatul Lilik, 2011), hal ini dikatakan
sebagai ageing process. Ageing process (proses menua) adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan - lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri,
mengganti atau mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Canstantindes, 1994;
Darmojo, 2004 dikutip oleh Ma'rifatul Lilik, 2011).
Secara global populasi penuaan merupakan tantangan penting dan kesempatan
yang dihadapi oleh semua negara. Di negara-negara berkembang, populasi penuaan
mengubah sifat tuntutan pada sistem perawatan kesehatan yang harus mengakomodasi
kebutuhan populasi yang lebih tua sambil terus untuk mengatasi masalah kesehatan
prioritas lain seperti kesehatan ibu dan anak (WHO, 2013). Peningkatan usia harapan
hidup menimbulkan peningkatan jumlah lanjut usia (Lansia) di dunia. Lanjut usia adalah
seseorang yang berumur 60 tahun atau lebih (WHO 1998, dalam Nugroho 2000). Jumlah
lansia usia 60 tahun secara global diprediksikan pada tahun 2025 akan mencapai ± 1200
individu lanjut usia dan angka sebaran lansia terbanyak diseluruh dunia terdapat dinegara
Cina, India, Amerika Serikat, dan Indonesia (Kuliah Pakar: Hendri Purwadi, 2013).
Transisi demografi pada kelompok lansia terkait dengan status kesehatan lansia yang
lebih terjamin, sehingga usia harapan hidup lansia lebih tinggi dibanding masa-masa
sebelumnya. Pertambahan jumlah lansia di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1990 –
2025, tergolong tercepat di dunia. Sedangkan umur harapan hidup berdasarkan sensus
BPS tahun 1998 masing-masing untuk pria 63 tahun dan perempuan 67 tahun. Angka di
atas berbeda dengan kajian WHO (1999), dimana usia harapan hidup orang Indonesia
rata-rata adalah 59,7 tahun dan menempati urutan ke-103 dunia (Bondan Palestin, 2011).
Berdasarkan data BPS, Proyeksi Penduduk Indonesia per Propinsi 1995 – 2005,
Jakarta 1988, menerangkan bahwa distribusi usia lanjut di Indonesia meliputi 13.75 %
berada di D.I. Yogyakarta, 10.54 % berada di Jawa Timur, 9.72 % berada di Bali, 9.55 %
berada di Jawa Tengah, 9.08 % berada di Sumatra Barat, dan 7.63 % berada di Sulawesi
Selatan (Kuliah Pakar: Bondan Paleestin, 2013).
Terlepas dari permasalahan peningkatan harapan hidup di negara maju telah
memimpin peningkatan jumlah orang tua dirawat di panti jompo berdampak pula pada
otonomi dan masalah legal etik lansia. Mengingat kelemahan fisik dan kerusakan
kapasitas mental di banyak penduduk ini, pertanyaan muncul sebagai otonomi mereka
dan untuk perlindungan mereka dari bahaya. Pada tahun 2005, salah satu pengadilan
Jerman tertinggi, Bundesgerichtshof (BGH) mengeluarkan putusan mani yang berurusan
dengan kewajiban panti jompo dan dengan melestarikan otonomi dan privasi dalam
penghuni panti jompo (Artikel Global Medical Ethic oleh Kai Sammet, 2007).
Isu - isu legal dan etik yang memengaruhi lansia telah mengalami peningkatan
angka kejadian di pengadilan pada masa sekarang ini. Perawat yang merawat lansia
mengalami isu etis yang unik pada golongan usia ini. Sekelompok pertanyaan muncul
pada tingkat individu yang berkaitan dengan permasalahan penuaan dan arti manusia.
Kelompok pertanyaan kedua berkaitan dengan pengalaman subjektif dari kecacatan dan
penyakit sebagai yang dirasakan dan ditafsirkan oleh lansia dan respons yang diberikan
oleh perawat, dokter, atau tenaga kesehatan yang lain. Serta yang terakhir kelompok
ketiga masalah berpusat pada proses pengambilan keputusan medis yang
mengikutsertakan pasien, anggota keluarga, para tenaga kesehatan, petugas lapangan, dan
administrator rumah sakit. Akhirnya, masalah etis yang berhubungan dengan lansia
sebagai suatu kelompok muncul dalam konteks masyarakat yang lebih besar (Mickey &
Patricia, 2006). Oleh karnanya akan dibahas lebih lanjut mengenai pengaruh nilai - nilai
etis terhadap perawatan lansia berdasarkan evidence-based dari beberapa jurnal kesehatan
lansia.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang teori etik keperawatan lansia
2. Untuk mengetahui tentang prinsip etik keperawatan lansia
3. Unuk mengetahui tentang issue perawatan lansia
4. Ungtuk mengetahui tentang infrmed concent perawatan lansia
5. Untuk mengetahui tentang responsibility dan akuntability pelayanan lansia
6. Untuk mengetahui tentang kepastian hukum dalam advokasi lansia
7. Untuk mengetahui tentang peraturan dan perundangan pelayanan lansia
BAB II

PEMBAHASAN
A. Teori etik keperawatan lansia
Perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan
tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki diperoleh melalui pendidikan
keperawatan (UU RI. No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan). Sedangkan etik secara
etimologis, kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos, yang berarti adat istiadat
atau kebiasaan, model perilaku atau standar yang diharapkan, dan kriteria tertentu
untuk suatu tindakan (Mimin Emi S., 2004; dalam Nindy Amelia, 2013).
Untuk menjadi seorang profesional dewasa yang mampu secara aktif
berpapartisipasi dalam dimensi etik pratik mereka, seorang perawat harus terus
mengembangkan suatu perasaan yang kuat tentang identitas moral mereka, mencari
dukungan dari sumber profesional yang tersedia dan mengembangkan pengetahuan
serta kemampuan mereka dalam bidang etik. Etika perawatan dihubungkan dengan
hubungan antara masyarakat dan dengan karakter serta sikap perawat terhadap orang
lain lerlebih kepada klien lanjut usia (Perry & Potter, 2005).

B. Prinsip etik keperawatan lansia


Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada lansia adalah

(Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :

a. Empati: istilah empati menyangkut pengertian “simpati atas dasar pengertian yang
dalam”artinya upaya pelayanan pada lansia harus memandang seorang lansia yang
sakit dengan pengertian, kasih sayang dan memahami rasa penderitaan yang
dialami oleh penderita tersebut. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan
wajar, tidak berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over protective dan belas-
kasihan. Oleh karena itu semua petugas geriatrik harus memahami peroses
fisiologis dan patologik dari penderita lansia.
b. Non maleficence dan beneficence. Pelayanan pada lansia selalu didasarkan pada
keharusan untuk mengerjakan yang baik dan harus menghindari tindakan yang
menambah penderitaan (harm). Sebagai contoh, upaya pemberian posisi baring
yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik (kalau perlu dengan
derivat morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata hiburan merupakan contoh
berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis untuk dikerjakan.
c. Otonomi yaitu suatu prinsip bahwa seorang individu mempunyai hak untuk
menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja hak
tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut berdasar
pada keadaan, apakah lansia dapat membuat keputusan secara mandiri dan bebas.
Dalam etika ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau menjadi semakin rumit ?)
oleh pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk
melindungi penderita yang fungsional masih kapabel (sedangkan non-maleficence
dan beneficence lebih bersifat melindungi penderita yang inkapabel). Dalam
berbagai hal aspek etik ini seolah-olah memakai prinsip paternalisme, dimana
seseorang menjadi wakil dari orang lain untuk membuat suatu keputusan
(misalnya seorang ayah membuat keputusan bagi anaknya yang belum dewasa).
d. Keadilan: yaitu prinsip pelayanan pada lansia harus memberikan perlakuan yang
sama
bagi semua. Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita secara wajar dan
tidak mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak relevan.
e. Kesungguhan hati: Suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji yang diberikan
pada seorang lansia.

C. Issue perawatan lansia


Besarnya jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia pada masa mendatang dapat
membawa dampak positif maupun negatif. Kehadiran lanjut usia dapat berdampak
positif apabila lanjut usia berada dalam keadaan sehat, aktif, dan produktif. Di sisi lain,
besarnya jumlah penduduk lanjut usia dapat menjadi beban, jika lanjut usia dalam
kondisi tidak sehat, dan miskin. Apalagi jika dalam kondisi tidak berdaya, dan
memerlukan pertolongan orang lain, yang berakibat pada peningkatkan biaya
perawatan kesehatan.
Persepsi umum tentang lanjut usia cenderung negatif, yang sering digambarkan
sebagai manusia lemah, cacat dan bergantung kepada orang lain. Secara ekonomi dan
sosial, lanjut usia dipersepsikan memiliki resiko untuk termarginalisasi. Namun saat
ini, secara global telah terjadi “the new old” dibanding dengan generasi masa lalu,
lanjut usia sekarang tidak memperlihatkan kondisi tua ketika saat yang sama dialami
para orang tua atau kakek neneknya. Karakterisitk lan jut usia di masa datang
umumnya lebih berpendidikan dan lebih menikmati kemajuan teknologi, dan
tersedianya pelayanan kesehatan yang lebih baik. Disamping itu juga mempunyai
jangkauan informasi dan pengetahuan yang lebih luas karena ketersediaan dan
pemanfaatan dawai (gadget) yang menjadikan para lanjut usia kini lebih terpapar ke
dunia luas (Wajdi, N., Adioetomo, S. M., & Mulder, C. H. 2017).

Perubahan karakteristik demografi dan karakteristik sosial lanjut usia diiringi


dengan proses globalisasi yang memudahkan manusia mengakses informasi dan
memenuhi kebutuhan hidupnya menyebabkan perubahan gaya hidup lanjut usia masa
kini. Ini semuanya membedakan gaya hidup lanjut usia masa kini dengan lanjut usia
masa lalu. Selera, perhatian, dan kepedulian para lanjut usia masa kini sangat berbeda
dengan orangtua atau kakek neneknya di masa lalu. Manusia lanjut usia masa kini
lebih mementingkan ‘otonomi’, kebebasan, kemandirian serta lebih banyak tuntutan
untuk kenyamanan diri sendiri. Sehingga mereka cenderung untuk hidup mandiri dan
bertempat tinggal sendiri (Adioetomo, S. M., & Mujahid, G. 2014).

Tantangan utama adalah mencegah atau mengubah pandangan negatif tentang lanjut
usia. Perlu strategi yang mendorong pengerahan citra positif kelanjutusiaan di berbagai
lapisan masyarakat dan pemerintahan. Citra negatif sampai saat ini dapat berdampak
pada implementasi program kelanjutusiaan, karena menjadikan kurangnya perhatian
dari kementrian tertentu dan atau pemerintah daerah. Sebagai contoh dapat dilihat dari
kurangnya dukungan pemerintah daerah dalam hal dana program, serta dalam
membuat peraturan
daerah terkait kelanjutusiaan. Ke depan sosok lanjut usia perlu digambarkan sebagai
sosok yang sehat, mandiri, sejahtera, dan bermartabat, sehingga mereka masih
merupakan aset keluarga, masyarakat, dan negara. Sumbangan lanjut usia tidak harus
selalu dinilai dalam bentuk nilai ekonomi, namun dapat dinilai dari partisipasinya
dalam kehidupan sosial.

Sesuai hasil Sakernas 2014, sebesar 42,41% lanjut usia masih bekerja dengan status
berusaha/bekerja dibantu buruh, berusaha sendiri (26,30 %), dan sebagai pekerja tidak
dibayar (13,34 %). Sementara itu, lanjut usia yang bekerja dengan status sebagai
pekerja bebas, dan buruh/karyawan persentasenya masing-masing sebesar 9,35 % dan
8,60 %. Dari hasil studi lainnya, diperoleh informasi bahwa lanjut usia saat ini masih
banyak yang bekerja demi memenuhi kebutuhan dasar.
Mengacu pada hasil Supas tahun 2015, lanjut usia yang berpotensi untuk melakukan
aktivitas dalam kegiatan ekonomi masih sebesar 42% (Statistik, B. P. 2016).
Tantangannya ke depan, menjadikan lanjut usia masih aktif dan produktif, namun
bukan semata untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup sehari-hari, melainkan lebih
berorientasi kepada aktualisasi diri.

Kondisi seperti ini perlu dipersiapkan sejak dini, sehingga saat menjadi lanjut usia
sudah cukup bekal secara ekonomi, dan dapat melakukan aktivitasnya sesuai dengan
kondisinya. Lanjut usia bukanlah semata mata objek pembangunan tetapi merupakan
subjek pembangunan. Berbagai pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang
dimiliki lanjut usia merupakan sesuatu yang berharga bagi generasi muda, bangsa dan
negara. Keterlibatan lanjut usia dalam pengambilan kebijakan publik sangat penting,
terkait dengan pengetahuan dan pengalamannya.
Program dan kegiatan pemerintah ke depan tidak hanya berorientasi pada pemberian
bantuan dan pelayanan kepada lanjut usia. Dengan meningkatnya jumlah lanjut usia,
diperlukan cara pandang dengan menempatkan penduduk lanjut usia sebagai pelaku
pembangunan yang aktif. Selama ini, banyak lanjut usia yang masih produktif dan
menghasilkan barang dan/atau jasa, di samping aktivitas lanjut usia yang lebih
berorientasi kepada aktualisasi diri.

Terkait dengan isu gender, maka perlindungan juga perlu diberikan terhadap lanjut
usia perempuan. Mengingat karakteristik lanjut usia perempuan lebih rentan dibanding
lanjut usia laki-laki. Masih sering terjadi diskriminasi terhadap lansia perempuan baik
dari aspek budaya, politik, kesehatan, ekonomi dan sosialnya, yang kesemuanya ini
dapat berpotensi terjadinya kekerasan. Oleh karena itu, kepedulian serta kebijakan
pemerintah dan masyarakat terutama peranan keluarga dalam melindunginya sangat
dibutuhkan.
Lanjut usia perempuan jumlahnya lebih banyak daripada lakilaki, yaitu 11,5 juta
(52,81%) dibanding 10,2 juta atau 47,19%. Karakteristik lainnya dari lanjut usia
perempuan, yaitu banyak yang berstatus janda sebesar 60,82%; berpendidikan minimal
SD sebesar 91,9%; sebanyak 33,2% sebagai pekerja tidak dibayar. Perempuan banyak
yang bekerja mengurus rumah tangga, dan menurut BPS tidak termasuk kategori
bekerja. Dari hasil Susenas dapat, kemiskinan lanjut usia perempuan usia 65 tahun
semakin meningkat pada periode tahun 2014 dan 2015. Sebagai contoh pada lanjut
usia perempuan usia 65-69 tahun tingkat kemiskinan pada tahun 2014 sebesar 12,60%,
meningkat menjadi 15,41% pada tahun 2015. Semakin tua umur, tingkat
kemiskinannya semakin tinggi (BPS (2015)).

D. Infrmed concent perawatan lansia


formed Consent dilaksanakan sebagai hak dasar yang meliputi informasi dan persetujuan, yang
merupakan hak bagi setiap pasien dalam pelayanan kesehatan termasuk bagi pasien lansia.
Informed Consent ini diatur dalam Permenkes 290/MENKES/PER/VIII/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran. Pada pasien lansia terdapat kondisi degeneratif atau
penurunan pada pendengaran, pengelihatan, pemahaman, dan kondisi degeneratif lainnya. Pasien
lansia dengan kondisi degeneratif tersebut memerlukan prosedur yang berbeda dengan pasien
pada umumnya. Demikian pula pada informed consent yang dilaksanakan di Rumah Sakit Panti
Wilasa Dr. Cipto Semarang. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis,
dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Pengumpulan data di lapangan melalui
pengambilan sampel, menggunakan metode non-random sampling dengan teknik purposive
sampling. Hasil penelitian didapatkan bahwa pelaksanaan informed consent pada pasien lansia di
Rumah Sakit Panti Wilasa Dr. Cipto didasarkan pada ketentuan perundang-undangan antara lain
Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Rumah
Sakit, dan Undang-Undang Tenaga Kesehatan. Pada pelaksanaan prosedur informed consent di
Rumah Sakit Panti Wilasa Dr. Cipto telah sesuai didasarkan ketentuan Permenkes
290/MENKES/PER/VIII/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Meskipun tidak
terdapat unit pelayanan kesehatan geriatri, pelayanan kesehatan terhadap lansia dilakukan sesuai
prinsip pelayanan geriatri. Namun terhadap pelaksanaan informed consent pada pasien lansia
tidak semua tindakan diberikan informasi yang lengkap dan komperehensif. Jadi hak pasien
lansia belum terlindungi secara maksimal. Hal tersebut disebabkan belum ada ketentuan yang
mengatur secara khusus prosedur informed consent pada pasien lansia.p

E. Responsibility dan akuntability pelayanan lansia


responsibility merupakan bentuk pertanggungjawaban pemerintah pada parlemen secara politik,
yang meliputi collective and individual responsibility. Perwujudannya dapat dilihat dari
pengaturan regulasi tentang perlindungan terhadap kesejahteraan lanjut usia. Tanggungjawab
politik merupakan tanggung jawab menteri atau para pegawai dalam melakukan pengawasan
dalam setiap pengambilan kebijakan terhadap perlindungan kesejahteraan lanjut usia kepada
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

F. Kepastian hukum dalam advokasi lansia


Kepastian hukum pada lansia adalah untuk meningkatkan kesadaran lansia, pembuat kebijakan,
dan masyarakat luas tentang hak-hak dasar lansia sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi dan
dinyatakan dalam UU No. 13/1998 tentang Kesejahteraan Sosial Orang Tua serta mendorong
pemerintah daerah untuk mengarusutamakan hak-hak lansia dan untuk membuat kebijakan
inklusif untuk meningkatkan akses lansia terhadap keadilan dan layanan publik. Rencana
tindakan adalah: untuk melatih paralegal dan untuk mendirikan Sekolah Pelopor Keadilan dan
Forum Warga untuk memastikan bahwa hak-hak dan perlindungan bagi lansia di tingkat desa
dilaksanakan serta untuk memberdayakan mereka.

G. Peraturan dan perundangan pelayanan lansia


PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 67 TAHUN 2015
TENTANG
PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN LANJUT USIA
DI PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT

1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3796);
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4916);
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan
Upaya Peningkatan Kesejahteraan Lanjut Usia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4451);
6. Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 2004 Komisi Nasional Lanjut Usia;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat
Kesehatan Masyarakat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 1676);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN LANJUT USIA
DI PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh)
tahun ke atas.
2. Pasien Geriatri adalah pasien Lanjut Usia dengan multi penyakit dan/atau
gangguan akibat penurunan fungsi organ, psikologi, sosial, ekonomi dan
lingkungan yang membutuhkan pelayanan kesehatan secara terpadu dengan
pendekatan multidisiplin yang bekerja secara interdisiplin.
3. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah
fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama,
dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif,
untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya di wilayah kerjanya.

Pasal 2

Pengaturan Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia di


Puskesmas bertujuan untuk:

a. meningkatkan pengetahuan dan kemampuan tenaga kesehatan di


Puskesmas dan sumber daya manusialainnya dalam melaksanakan
pelayanan kesehatan Lanjut Usia;
b. meningkatkan pengetahuan dan kemampuan tenaga kesehatan dalam
merujuk pasien Lanjut Usia yang membutuhkan penanganan lebih lanjut di
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjutan;
c. meningkatkan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan Upaya
Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) bagi kesehatan Lanjut
Usia; dan
d. menyelenggarakan pelayanan kesehatan Lanjut Usia secara terkoordinasi
dengan lintas program, organisasi kemasyarakatan, dan dunia usaha
dengan asas kemitraan.
Pasal 4
(1) Pelayanan kesehatan bagi pra Lanjut Usia meliputi:
a. peningkatan kesehatan;
b. penyuluhan kesehatan;
c. deteksi dini gangguan aktivitas sehari-hari/masalah
kesehatan dan pemeriksaan kesehatan secara berkala;
e. pengobatan penyakit; dan
upaya pemulihan kesehatan.
(2) Pelayanan kesehatan bagi Lanjut Usia meliputi:
a. pengkajian paripurna Lanjut Usia;
b. pelayanan kesehatan bagi Lanjut Usia sehat; dan
c. pelayanan kesehatan bagi Pasien Geriatri.
(3) Pelayanan kesehatan bagi Pasien Geriatri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan pelayanan
kesehatan Pasien Geriatri dengan penyakit yang masih
dapat ditangani sesuai dengan kompetensi dokter di
Puskesmas.
(4) Dalam hal Pasien Geriatri membutuhkan pelayanan lebih
lanjut, dokter harus melakukan rujukan Pasien Geriatri ke
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjutan.
Pasal 5
(1) Pelayanan kesehatan Lanjut Usia di Puskesmas
dilakukan di ruangan khusus Lanjut Usia.
(2) Dalam hal Puskesmas tidak memiliki ruangan khusus
Lanjut Usia, pelayanan kesehatan Lanjut Usia dapat
menggunakan ruangan pemeriksaan umum dan
ruangan pelayanan lain sesuai dengan pelayanan yang
diberikan.
Pasal 6
(1) Untuk meningkatkan akses dan cakupan pelayanan
kesehatan Lanjut Usia di Puskesmas dapat dilakukan
pelayanan luar gedung sesuai dengan kebutuhan.
(2) Pelayanan luar gedung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. pelayanan di posyandu/paguyuban/perkumpulan
Lanjut Usia;
b. pelayanan perawatan Lanjut Usia di rumah (home card:
dan/atau
c. pelayanan di panti Lanjut Usia.
Pasal 7
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan Lanjut Usia di
Puskesmas harus didukung oleh ketersediaan sumber daya
meliputi sumber daya manusia, bangunan, prasarana, dan
peralatan.
Pasal 8
(1) Untuk mencapai Lanjut Usia yang sehat, mandiri dan
aktif dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan
Lanjut Usia di Puskesmas, perlu dilakukan koordinasi
lintas program dan lintas sektor.
(2) Koordinasi lintas program sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) melibatkan seluruh program di Puskesmas
yang terkait, paling sedikit meliputi kesehatan jiwa,
keperawatan kesehatan masyarakat, kesehatan gigi dan
mulut, kesehatan inteligensia, gizi, kesehatan
tradisional dan komplementer, kesehatan olah raga,
dan promosi kesehatan.
(3) Koordinasi lintas sektor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat melibatkan unsur pemerintahan, swasta,
dan organisasi kemasyarakatan.
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
pelayanan kesehatan Lanjut Usia di Puskesmas tercantum
dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 10
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan kesehatan
Lanjut Usia di Puskesmas sesuai dengan kewenangannya
masing-masing.
(2) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah. Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerak
Kabupaten/Kota dapat mengikutsertakan organisasi profesi
kesehatan terkait, Komisi Nasional Lanjut Usia dan Komisi
Daerah Lanjut Usia.
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui
a. advokasi dan sosialisasi;
b. pendidikan dan pelatihan; dan/atau
c. monitoring dan evaluasi.
Pasal 11
(1) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (3) huruf c dilakukan dengan cara :
a. memanfaatkan data hasil pencataatn dan pelaporan
berkala yang meliputi aspek masukan (input), proses,
dan luaran (output);
b. pengamatan langsung terhadap pelaksanaan kegiatan
pelayanan untuk mengtetahui kemajuan dan hambatan
yang ada; dan/atau
c. studi atau penelitian khusus untuk mengetahui dampak dari
pembinaan kesehatan Lanjut Usia yang sudah
dilaksanakan.
(2 ) Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menggunakan indikator yang
dimuat dalam instrumen monitoring dan evaluasi
sebagaimana tercantum dalam formulir 1 terlampir.
Pasal 12
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPLAN
B. SARAN
Atas beberapa simpulan di atas, dapat disampaikan saran yaitu agar pelaksanaan RUU ini
nantinya dapat dilaksanakan secara beriringan dengan peningkatan motivasi individu, keluarga,
masyarakat dan dunia usaha untuk meningkatkan kesejahteraan lanjut usia. Dengan adanya RUU
tentang Lanjut Usia diharapkan dapat memperjelas upaya meningkatkan kesejahteraan lanjut usia
sebagai bentuk upaya negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan juga telah memberikan pengakuan yang sama bagi setiap warga negaranya dalam
kehidupan bernegara tanpa kecuali sebagaimana tercermin dalam pembukaan UUD NRI Tahun
1945. Selain itu, pimpinan kementerian/lembaga dan/atau organisasi perangkat daerah juga harus
meningkatkan kerjasama lintas sektor daripusat sampai daerah agar dapat menjawab
permasalahan dan kebutuhan lanjut usia masa kini dan di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

Adioetomo, S. M., & Mujahid, G. (2014). Indonesia on the threshold


opopulation ageing.
Amelia Nindy. 2013. Prinsip Etika Keperawatan. Yogyakarta: D-Medika.
BPS (2015). Statistik Penduduk Lanjut Usia 2014: Hasil Survey Sosial
Ekonomi Nasional.
Ma'rifatul Lilik A.. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Mickey & Patricia. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. EGC.
Jakarta:Buku Kedokteran.
Potter & Perry. 2005. Fundamental of Nursing: Concept, Process, Practic.
Edisi 4. Volume 2. EGC. Jakarta: Buku Kedokteran.
Statistik, B. P. (2016). Bps. Provinsi Jawa Barat.
Wajdi, N., Adioetomo, S. M., & Mulder, C. H. (2017). Gravity models of
interregional migration in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies,
53(3), 309-332.

Anda mungkin juga menyukai