Penelitian Etnografi
Penelitian Etnografi
Penelitian Etnografi
Secara umum penelitian adalah cara-cara yang dilakukan dalam suatu proses kegiatan
yang bertujuan untuk mengetahui, menjelaskan, dan memahami suatu keadaan yang
terjadi dalam masyarakat. Penelitian juga untuk mencari suatu kebenaran secara
empiris. Seorang peneliti budaya selalu memiliki rasa ingin tahu yang sangat
mendalam. Dengan demikian penelitian juga difungsikan untuk mengetahui
masalahmasalah budaya yang berkembang di masyarakat.
Etnografi menurut Prof. Dr. Lexy J. Moleon, M.A. dikenal sebagai dengan uraian
rinci yang ditemui etnograf jika menguji kebudayaan menurut prespektif antropologi.
Suatu seri penafsiran terhadap kehidupan, pengertian akal sehat yang rumit dan sukar
dipisahkan satu dari yang lainnya. Tujuan etnografi adalah mengalami bersama
pengertian pemeranserta kebudayaan memperhitungkan dan menggambarkan
pengertian baru untuk pembaca dan orang luar. Kalian dapat menyimpulkan
pernyataan kedua pakar antropologi tersebut bahwa etnografi bukan sekedar
mengumpulkan data tentang orang atau kebudayaan, tetapi juga berupaya menggali
kebudayaan sekelompok masyarakat secara keseluruhan.
Penelitian atau kajian etnografi bersifat holistik atau menyeluruh. Artinya, kajian
etnografi tidak hanya mengarahkan perhatiannya kepada salah satu atau beberapa
variabel tertentu saja. Bentuk holistik didasarkan pada pandangan bahwa budaya
merupakan keseluruhan sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang tidak dapat
dipisahkan.
Dengan demikian, tujuan utama etnografi adalah mengkaji dan memahami keadaan
penduduk asli atau pribumi, hubungan-hubungannya dalam semua aspek kehidupan,
kesadaran mereka terhadap keadaan lingkungannya, dan pandangan hidup mereka.
Oleh sebab itu, kegiatan kerja lapangan etnografi diibaratkan sebagai orang yang
sedang belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dalam berbagai
cara yang berbeda.
Kegiatan etnografi tidak terlepas dari teknik yang digunakan dalam melaksanakan
penelitian etnografi, karena etnografi merupakan sebuah pendekatan penelitian secara
teoritis. Oleh sebab itu, seorang peneliti lapangan terlebih dahulu harus mempelajari
metode-metode yang terkait, apalagi bila peneliti tersebut hanya sekedar berbekal
minat tanpa dilatarbelakangi profesionalisme di bidang kajian yang akan ditelitinya
itu.
Di antara sekian banyak metodologi penelitian ilmu-ilmu sosial, metode yang paling
tepat untuk penelitian etnografi adalah metode kualitatif. Pendekatan ini
mengutamakan suatu kualitas data yang mendalam sehingga bisa dapat diketahui
sampai pada akar permasalahan. Dalam praktiknya, metode ini menggunakan
beberapa tahapan dalam melaksanakan penelitian. Adapun tahapan-tahapan penelitian
etnografi menurut Jerome Kerk dan Marc. L Miler tersebut adalah sebagai berikut:
a. Tahapan Pertama
Awal penelitian sang peneliti harus mengumpulkan data-data mengenai norma dan
aktivitas budaya sehari-hari dalam masyarakat. Misalnya, kebiasaan masyarakat dari
bangun sampai tidur (apa yang dilakukan oleh masyarakat tersebut), tata krama,
dialek bahasa, larangan-larangan atau pantangan yang dihindari oleh masyarakat, dan
lain sebagainya. Setelah terkumpulan kegiatan selanjutnya adalah mendekati
masyarakat secara pelan-pelan. Kegitan inilah yang paling sulit karena tingkat
keberhasilan tergantung dari kepandai peneliti dalam mendekati masyarakat.
Dibutuhkan kemampuan sosial yang khusus agar lancar dalam menjalani kegiatan.
Tahapan ini adalah kegiatan yang penting untuk dapat melanjutkan penelitian.
b. Tahapan Kedua
Kegitan yang dilakukan peneliti pada tahapan kedua adalah melakukan investigasi
untuk menemukan (Discovery) dan mengumpulkan (Getting) data. Pada kegiatan
tahap kedua peneliti sudah memulai bekerja dilapangan (field work). Sebelum
melaksankan kegiatan ini peneliti harus melakukan penyusunan rencana peneliti yang
rapi dan matang. Peneliti membuat skala prioritas dan juga scedule penelitian. Peneliti
juga harus pandai menentukan dimana tempat dan siapa yang nantinya di jadikan
sampel data. Sehingga penggalian data penelitian tidak menyimpang dari arah
masalah yang dikaji.
Selama melaksanakan pengumpulan data, peneliti harus tetap waspada dengan data-
data yang diperoleh. Kadang data yang di dapat masih belum tentu kebenarannya. Hal
ini terjadi karena faktor non teknis, misalnya kebohongan dari nara sumber dan juga
kurangnya pemahaman nara sumber. Untuk mengantisipasi kejadian-kejadian
demikian maka peneliti harus melakukan pengecekan ulang (cross chek) dengan nara
sumber lain untuk menguatkan kebenaran data yang didapat sebelumnya. Pengecekan
ini dilaksanakan dengan menanyakan kembali apa yang ditanyakan dari nara sumber
satu. Dengan demikian didapat data yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya.
Pada tahapan ini penelitian harus bekeja hati-hati. Jangan sampai ada data yang
dibutuhkan belum masuk dan ketinggalan. Data yang menjadi data primer harus
diutamakan karena data ini merupakan data yang menjadi argumen dalam penelitian.
Data primer ini juga dijadikan data dalam melakukan penyusunan laporan penelitian.
Kesempurnaan penelitian juga ditunjang dari ke validan dari datadata primer.
Kegiatan pada tahapan ini adalah inti pokok dari penelitian karena peneliti benar-
benar masuk kelapangan untuk menggali data.
c. Tahap Ketiga
Dalam tahap in peneliti sudah mulai membawa dan menafsirkan dari data-data yan
didapatkan ( reading, interpertation, and getting straight ). Pada tahapan ini data-data
penelitian sudah mulai dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan mulai disusun
secara sistematis. Kegiatan yang dilakukan agar tahapan ini berjalan lancar adalah
pengecekan validitas data yaitu melakukan pengujian data yang didapat melalui
evaluasi pengambilan data. Hal yang diperhatikan adalah waktu, tempat, sumber atau
informan, dan alat-alat yang dipakai dalam penggalian data dilapangan. Evaluasi ini
harus sangat teliti mengingat data-data ini yang nantinya menjadi sumber penulisan
laporan penelitian.
Disamping kegiatan diatas, selanjutnya peneliti juga melakukan reliabilitas data, yaitu
pengujian terhadap data yang sudah menjadi fokus masalah penelitian. Tujuan
kegiatan ini untuk menganalisis apakah data yang didapat dapat diandalkan dalam
mempertahankan kebenaran penelitian. Agar berjalan lancar dalam melaksanakan
kegiatan ini maka peneliti harus melakukan eksperimen data dengan membandingkan
data dari tempat lain sehingga jika didapat hasil yang sama data ini bisa dipertahankan.
Tahap ini adalah juga tahap pra penyusunan laporan hasil penelitian. Yang pertama
dilakukan adalah membuat kerangka matrik data penelitian secara sederhana untuk
dasar penulisan laporan penelitian. Mungkin hal yang dapat dilakukan pada tahap ini
adalah memberikan gambaran analisa teori yan relevan terhadap data-data penelitian
yang didapat. Dengan demikian tahapan adalah tahapan untuk memulai penulisan
laporan walapun hanya pada tahap penyusunan latar belakang masalah.
d. Tahap Keempat
Tahap ini adalah tahap terakhir dari penelitian etnografi yaitu . Pada tahapan ini
peneliti melakukan penjelasan untuk pamit kelapangan ( leaving, explanation, getting
out, and getting oven ). Kegiatan ini dilakukan karena penelitian sudah sampai batas
waktu yang ditentukan dan juga sudah mendapatkan data-data primer yang diperlukan
secara mendalam. Kemudian peneliti pamit dengan masyarakat yang diteliti secara
baik-baik. Misalnya peneliti berpamitan terhadap tokoh masyarakatnya, kepala
birokrasi, dan dengan masyarakat pada umumnya.
Hal yang harus dilakukan adalah peneliti harus meninggalkan kesan yang baik dengan
masyarakat yang diteliti. Dengan demikian tidak ada rasa kecewa maupun komplain
terhadap penelitian yang dilaksanakannya. Sehingga jika terjadi permasalahan
terhadap penyusunan laporan penelitian yang mengharuskan kembali ke lapangan
masyarakat masih menerima dengan baik. Hubungan ini harus dijaga dengan baik-
baik. Setelah melakukan kegiatan diatas peneliti melakukan pengolahan data, yaitu
proses menganalisis dari data-data yang didapat dengan menggunakan pendekatan
pengetahuan antropologi secara teoritis dan praktis.
Pengolahan ini dilaksanakan secara sistematis dan benar-benar mengacu pada teori-
teori yang sudah ditentukan. Pada akhir pengolahan data peneliti melakukan
klasifikasi agar tidak kesulitan dalam melakukan penyusunan laporan.dan laporan
yang dimaksud adalah laporan-laporan ilmiah tentang suatu bangsa atau laporan
etnografi suku bangsa tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dengan empat tahapan ini maka penelitian etnografi dapat terlaksana secara sempurna.
Tahapan ini merupakan metode penelitian yang sederhana dalam melakukan
penelitian etnografi.
a. Teknik observasi
Teknik observasi biasa disebut sebagai metode pengamatan lapangan. Ada empat
macam metode observasi, yaitu pengamatan biasa, pengamatan terkendali,
pengamatan terlibat, dan pengamatan penuh atau lengkap. Pengamatan biasa adalah
pengamatan yang dilaksanakan peneliti tanpa terlibat kontak langsung dengan pelaku
(informan) yang menjadi sasaran penelitiannya. Contohnya peneliti yang sedang
mengamati kemacetan lalu lintas, bisa saja ia duduk di warung tepi jalan. Ia tidak
perlu ikut terlibat dalam arus kemacetan lalu lintas tersebut.
Sama seperti pada pengamat biasa, pada pengamatan terkendali peneliti tidak perlu
mengadakan kontak emosional dengan informan yang sedang diamatinya. Pada
pengamatan terkendali peneliti terlebih dahulu memilih secara khusus calon-calon
informannya sehingga peneliti mudah mengamatinya. Contoh, pengamatan satu
masyarakat. Peneliti membatasi hanya pada pemudanya saja. Dalam antropologi,
pengamatan terlibat disebut metode partisipasi. Metode ini merupakan metode utama
penelitian-penelitian etnografi. Perbedaan prinsip dengan kedua metode pengamatan
sebelumnya terletak pada keterlibatan peneliti yang mengadakan hubungan emosional
dan sosial dengan para informan yang sedang diamatinya. Melalui keterlibatan
tersebut, peneliti lebih memahami dan merasakan makna perilaku dan kegiatan para
informan yang sedang diteliti.
Peneliti kemudian dapat menghayati latar belakang berbagai gejala yang sedang
diamatinya, sesuai dengan nilai budaya masyarakat yang bersangkutan.
Permasalahannya adalah sejauh mana keterlibatan peneliti berpartisipasi dengan objek
penelitiannya. Permasalahan lainnya adalah sejauh mana pula keingintahuan peneliti
untuk memperoleh data-data hasil penelitiannya. Oleh sebab itu, metode pengamatan
terlibat dikategorikan ke dalam tiga bentuk penelitian, yaitu keterlibatan pasif,
keterlibatan medium, dan keterlibatan aktif. Ketiga bentuk keterlibatan tersebut
adalah sebagai berikut.
1) Keterlibatan pasif
Dalam keterlibatan pasif, peneliti tidak mengadakan kontak langsung dengan para
informan yang sedang diamatinya. Ia hanya berada di antara mereka yang sedang
diamatinya itu.
3) Keterlibatan aktif
Hampir sama dengan keterlibatan setengah, dalam keterlibatan aktif faktor
subjektivitas peneliti masih dominan. Pada keterlibatan aktif, si peneliti terlibat secara
aktif dalam aktivitas objek kegiatan yang sedang diamati itu. Contohnya, seorang
peneliti kegiatan gotongroyong di suatu desa akan ikut serta bergotong-royong
bersama para informan yang sedang diamatinya. Dengan demikian, peneliti akan lebih
memahami fenomena gotong-royong di desa yang bersangkutan.
Clifford & George menjelaskan bahwa untuk mencapai taraf demikian, pengamatan
lengkap memerlukan beberapa persyaratan, antara lain sebagai berikut.
1) Unsur peneliti
Peneliti tidak boleh memiliki hubungan-hubungan tertentu, misalnya berasal dari suku
bangsa atau kelompok masyarakat yang sama, atau memiliki hubungan keterkaitan
tertentu, seperti hubungan antara guru dan murid atau majikan dan buruh.
Informan harus tahu betul masalah-masalah yang akan diamati oleh peneliti sehingga
mudah memberikan informasi.
Setiap gejala atau fenomena yang akan diteliti, apakah orang, peristiwa, ataukah
gejala sosial budaya, harus berada dalam daerah penelitian (field) tertentu yang sama.
4) Faktor waktu
Setiap penelitian harus berada dalam satu saat atau kurun waktu yang telah
direncanakan.
5) Peristiwa rutin
Kegiatan-kegiatan yang diamati harus merupakan kegiatan rutin, bukan yang bersifat
insidentil atau tiba-tiba.
Tujuan penelitian harus jelas agar menjadi fokus atau pusat penelitian. Hindari agar
jangan sampai penelitian melebar atau meluas kepada hal-hal lain yang berada di luar
tujuan utamanya.
b. Teknik Wawancara
Teknik wawancara atau interview dipakai untuk memperoleh data atau keterangan
lebih jauh selain data-data yang diperoleh melalui data observasi. Oleh sebab itu,
untuk memperoleh tanggapan yang dikehendaki, wawancara harus dilakukan dengan
teknik-teknik tertentu. Hal ini dimaksudkan agar hasil penelitian diperoleh
berdasarkan data dan fakta yang akurat yang bersifat kualitatif.
Metode wawancara dilaksanakan melalui dua cara, yaitu wawancara berencana dan
tanpa rencana.
1) Wawancara Berencana
Wawancara tanpa rencana, seperti yang digunakan dalam teknik questioner atau
angket, dilaksanakan untuk memperoleh tanggapan yang cukup luas menyangkut
aspek-aspek kejiwaan yang sangat dalam. Misalnya, wawancara untuk memperoleh
tanggapan tentang pandangan hidup atau sistem keyakinan dan keagamaan.
Dipandang dari bentuk pertanyaan, kedua wawancara tersebut di atas dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut.
1. Wawancara tertutup
2. Wawancara terbuka
Dalam melaksanakan metode wawancara atau interview terdapat tiga hal penting yang
perlu diperhatikan. Ketiga hal tersebut adalah teknik bertanya dalam wawancara,
persiapan wawancara, dan pencatatan data selama wawancara berlangsung. Ketiganya
harus dilaksanakan secara berurutan agar mendapatkan data yang benar-benar tinggi
validitasnya, Teknik wawancara adalah teknik pokok dalam penggalian data pada
penelitian etnografi. Data-data yang diperoleh dari teknik wawancara ini adalah data
primer, yaitu data yang dijadikan sebagai landasan analisis dari penelitian. Disamping
itu, teknik wawancara dapat mengungkap kebenaran secara sempurna. Dimana
dengan proses wawancara peneliti benar-benar bisa mengetahui apa yang terjadi
sebenarnya dalam kajian yang diteliti. Peneliti juga dapat mengenal apa yang
disembunyikan oleh masyarakat secara mendalam dan secara mendetail.
a. Analisis Domain
Dalam penelitian etnografi ada enam tahap untuk melaksanakan analisis domain,
yaitu sebagai berikut.
c) Memilih salah satu sampel catatan lapangan yang dibuat terakhir untuk
memulaianya;
d) Mencari istilah acuan dan istilah bagian yang cocok dengan hubungan semantik
dari catatan lapangan;
e) Mengulani usaha pencarian domain sampai semua hubungan semantik habis; dan
Keenam tahapan ini dijadikan sebagai acuan dalam melakukan analisis dilapangan
agar hasil dari laporan penelitian mampu menggambarkan kejadian-kejadian
dilapangan.
b. Analisis Taksosnomi
Dalam analisis ini ada tujuh langkah yang harus dilalui oleh peneliti etnografi.
Ketujuh langkah ini adalah sebagai berikut.
b) Mencari kesamaan atas dasar hubungan semantik yang sama yang digunakan untuk
domain itu;
d) Mecari domain yang lebih besar dan lebih inklusif yang dapat dimasukan sebagai
sub bagian dari domain yang sedang dianalisis;
f) Mengadakan wawancara terfokus untuk mencek analisis yang telah dilakukan; dan
Dalam Analisi ini bentuk pra laporan sudah dapat ditulis menjadi subsub dalam
matrik data penelitian. Hasil dari analisis ini mungkin sudah menggambarkan
penelitian yang di maksud.
c. Analisis Komponen
Analisis komponen dilakukan setelah analisis taksonomi sudah selesai secara benar.
Dalam analisis ini peneliti melakukan wawancara atau pengamatan terpilih untuk
memperdalam data yang telah ditemukan melalui pengajuan sejumlah pertanyaan
kontras. Data hasil wawancara terpilih dimuat dalam catatan lapangan-lapangan yang
terdapat dalam buku lampiran. Ada delapan langkah dalam melakukan analisis ini.
Kedelapan langkah ini adalah sebagai berikut.
Analisis ini sudah dekat dengan teori-teori yang mempengaruhi masalah yang diteliti.
Dalam melakukan analisis ini harus menggunakan teoriteori antropologi yang relevan
dengan masalah yang ditelitinya.
d. Analisis Tema
a) Melebur diri;
Analisis tema ini adalah analisis terakhir dan dilakukan ketika akan melakukan
penyusunan laporan penelitian. Ini juga sebagai analisis yang menggambarkan dari
penelitian sesungguhnya.
Sumber :
Lestari, Puji, 2009, Antropologi 2 : Untuk SMA dan MA Kelas XII, Jakarta : Pusat
perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, h. 137 – 147.
Studi Etnografi
Etnografi berasal dari kata ethno yang berarti bangsa atau suku bangsa dan graphy
yang berarti tulisan. Jadi, etnografi adalah tulisan atau deskripsi mengenai kehidupan
sosial dan budaya suatu suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Spradley
dalam pengantar antropologi Koentjaraningrat menyatakan bahwa etnografi adalah
kegiatan menguraikan dan menjelaskan suatu kebudayaan. Adapun Spindler
menyatakan bahwa etnografi adalah kegiatan antropologi di lapangan. Lebih lanjut
Spindler menyatakan bahwa apabila ada seorang antropolog tidak memiliki
pengalaman lapangan, ibarat seorang ahli bedah tidak memiliki pengalaman
membedah.
1. Kebudayaan Batak
Daerah persebaran suku bangsa Batak meliputi daerah pegunungan di Sumatra Utara.
Sebelah utara berbatasan dengan Nangroe Aceh Darusalam, sebelah selatan
berbatasan dengan Propinsi Riau dan Sumatra Barat. Suku bangsa Batak yang
mendiami wilayah tersebut adalah Batak Karo, Batak Pak-Pak, Batak Simalungun,
Batak Toba, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Orang-orang Batak ini mendiami
Dataran Tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulo, Simalungun, Dairi,
Toba, Hombang, Silindung, Angkola, Mandailing, dan Kabupaten Tapanuli Tengah.
Untuk mengenal lebih jauh tentang suku bangsa Batak, berikut ini akan dipaparkan
hal-hal yang berhubungan dengan aspek religi dan kepercayaan, sistem kekerabatan,
dan sistem politik.
Kehidupan religi masyarakat Batak dipengaruhi beberapa agama. Agama Islam telah
masuk ke daerah Batak sekitar awal abad ke-19 yang dibawa oleh orang Minangkabau,
dianut oleh sebagian besar suku bangsa Batak bagian selatan, seperti Batak
Mandailing dan Angkola. Agama Kristen disiarkan ke daerah Toba dan Simalungun
oleh organisasi penyiar agama dari Jerman dan Belanda sekitar tahun 1863, terutama
pada Batak Karo. Selain kedua agama tersebut orang Batak juga mempunyai
kepercayaan pada animisme.
Orang Batak percaya bahwa alam beserta isinya diciptakan oleh Debata Mula Jadi,
Na Bolon (Toba) atau Dibata Kaci-Kaci (Karo) yang bertempat tinggal di langit.
Masyarakat Batak juga mengenal tiga konsep jiwa dan roh, yaitu tondi, sahala, dan
begu. Tondi merupakan jiwa atau roh yang juga merupakan kekuatan. Tondi diterima
sewaktu seseorang berada dalam rahim ibu. Jika Tondi keluar sementara, seseorang
akan sakit, dan jika keluar seterusnya maka akan mati. Sahala adalah kekuatan yang
menentukan hidup seseorang yang diterima bersama tondi sewaktu masih dalam
rahim ibu. Sahala atau roh setiap orang kekuatannya tidak sama.
Begu adalah tondi yang meninggal. Begu dapat bertingkah laku sebagaimana manusia,
ada yang baik ada juga yang jahat. Supaya tidak mengganggu, begu diberi sesajen.
b. Sistem Kekerabatan
Perkawinan pada masyarakat Batak merupakan suatu pranata yang tidak hanya
mengikat laki-laki dan perempuan. Perkawinan mengakibatkan terbentuknya
hubungan antara pihak keluarga laki-laki (peranak = Toba, sinereh = Karo) dan kaum
kerabat si wanita (parbaru = Toba, sinereh = Karo). Itulah sebabnya, menurut adat
lama, seorang laki-laki tidak bebas memilih jodohnya. Perkawinan dianggap ideal
apabila seorang laki-laki mengambil salah seorang putri saudara laki-laki ibunya
sebagai istri. Seorang pria atau wanita tidak boleh kawin dengan orang semarga (satu
marga), karena orang semarga dianggap bersaudara. Sistem perkawinan semacam ini
disebut asimetrik konubium.
c. Sistem Kesenian
Kebudayaan suku bangsa Batak cukup khas dan beraneka ragam. Hal ini terlihat dari
bentuk rumah tradisional, upacara, maupun pakaian adatnya.
a) Rumah Tradisional
Suku bangsa Batak memiliki beberapa tipe rumah tradisional dengan perbedaan yang
cukup jelas, diantaranya tipe rumah berikut.
1) Batak Toba
2) Batak Karo
Rumah Batak Karo merupakan tipe rumah pengungsian. Pintu depannya dihadapkan
ke arah hulu dan pintu belakangnya ke arah muara. Bentuk atap rumah kepala marga
berbeda dengan bentuk rumah-rumah lainnya. Umumnya, daerah rumah Batak Karo
direncanakan untuk keluarga jamak yang dihuni rata-rata delapan keluarga batih.
3) Batak Simalungun
b) Pakaian Adat
Pelengkap pakaian suku bangsa Batak yang khas adalah Ulos yang berbentuk segi
empat panjang (panjang sekitar 1,80 m dan lebarnya 1 m) yang ujungnya berumbai-
rumbai. Proses pembuatannya ditenun dengan tangan dan umumnya dikerjakan oleh
wanita.
Suku bangsa Batak juga memiliki banyak ragam pakaian pengantin yang indah. Pada
suku bangsa Batak Mandailing, pengantin prianya memakai baju teluk belanga dan
kain sarung disuji, penutup kepalanya memakai semacam songkok. Pakaian pengantin
ini terpengaruh oleh daerah Minangkabau. Pakaian pengantin wanitanya ialah baju
kurung dan berkain suji. Pada bahunya tersandang ulos bintang maratur, ulos ragi
hotang, ulos bolean, ulos namarjungkit, dan masih banyak lagi. Penutup kepalanya
memakai mahkota yang disebut bulang dengan dihias kembang goyang yang disebut
jagar-jagar. Perhiasan yang dipakai berupa kalung susun yang disebut gajah meong
dan seperangkat gelang di tangan.
Tarian Batak yang dikenal dengan tortor sangat banyak ragam dan variasinya. Tarian
ini dibawakan baik oleh pria maupun wanita dan diiringi oleh seperangkat alat musik.
Alat musik yang mengiringi tarian tersebut adalah agung (4 buah), taganing (6 buah, 5
kecil, dan 1 besar), sarune, yaitu sejenis alat tiup (1 atau 2 buah), dan gesek.
d) Sistem Politik
Secara umum, kepemimpinan pada masyarakat Batak terbagi dalam tiga bidang, yaitu
kepemimpinan adat, pemerintahan, dan agama. Kepemimpinan dalam bidang adat
meliputi persoalan perkawinan, perceraian, kematian, warisan, penyelesaian
perselisihan, kelahiran anak, dan sebagainya. Kepemimpinan di bidang adat tidak
berada dalam tangan seorang tokoh, tetapi merupakan suatu musyawarah dari sungkep
sitelu.
Masyarakat Karo tidak mengenal pimpinan keagamaan asli karena konsepsi tentang
kekuatan gaib dan kepercayaan lain tidak seragam. Namun, pada suku bangsa Batak
yang menganut agama Islam, tokoh dalam agama Islam (para mualim) sangat besar
peranan dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat. Jabatan ini tidak
turuntemurun, seperti dukun guru sibaso yang menjadi dukun karena pengalaman
tertentu. Demikian pula pemilihan pendeta dan ulama, mereka dipilih karena
pengetahuan agama, pengabdian, dan keteladanannya.
2. Kebudayaan Minangkabau
Agama dan adat masyarakat Minangkabau hubungannya erat, seperti dikatakan oleh
orang Minangkabau “Adat bersandi syarak, syarak bersandi kitabullah.” Di beberapa
tempat masih terdapat surausurau yang digunakan sebagai sekolah agama dalam
bentuk dan kegiatan yang sama dengan pesantren di Jawa. Pelajaran agama dan
pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar dilaksanakan oleh seorang tuanku atau syeikh
yang sama dengan kyai di Jawa.
b. Sistem Kekerabatan
Kesatuan keluarga dalam masyarakat Minangkabau terdiri atas tiga macam kesatuan
kekerabatan, yaitu paruik, kampuang, dan suku. Kepentingan suatu keluarga diurus
oleh laki-laki dewasa dari keluarga tersebut yang bertindak sebagai ninik mamak.
Suku dalam sistem kekerabatan Minangkabau menyerupai suatu klen matrilineal, dan
jodoh harus dipilih dari luar suku. Dalam adat, diharapkan adanya perkawinan dengan
anak perempuan mamaknya atau anak perempuan saudara perempuan ayahnya.
Masyarakat Minangkabau tidak mengenal mas kawin, tetapi mengenal uang jemputan,
yaitu pemberian sejumlah uang dan barang kepada keluarga mempelai laki-laki.
Sesudah upacara perkawinan di rumah pengantin perempuan, suami tinggal di rumah
istri. Bagi masyarakat Minangkabau tidak ada larangan mempunyai lebih dari satu
istri, terutama bagi seseorang yang memiliki kedudukan sosial tertentu.
c. Sistem Kesenian
Dalam sistem kesenian, kita akan membahas rumah adat, pakaian adat, seni tari, dan
alat musik tradisional.
1) Rumah Adat
2) Pakaian Adat
Umumnya, wanita Minangkabau memakai baju kurung dan berkain sarung serta
berkerudung. Pria memakai celana panjang kain sutra dililit sarung dan kemeja lengan
panjang yang bagian lehernya tidak berkerah. Pada upacara pernikahan, pengantin
pria memakai roki, yaitu seperangkat pakaian yang terdiri dari celana sebatas lutut
dan sarungnya bersuji emas. Kemeja ditutup dengan rompi dan di bagian luar baju jas
bersulam emas tanpa kancing. Pengantin pria juga memakai pending emas dengan
keris tersisip di bagian depan. Penutup kepalanya memakai saluak atau deta (destar).
Sedangkan pengantin wanita memakai baju kurung bersulam emas, bersarung suji,
kain tokaon untuk alas kalung susun, memakai anting-anting dan gelang pada kedua
lengan. Hiasan kepalanya terdiri atas kembang goyang atau sunting tinggi.
Alat musik Minangkabau adalah telempong pacik, sejenis gong kecil tunggal dengan
benjolan kecil di tengahnya. Alat ini biasanya dibawa dan dimainkan sambil berjalan
sebagai pelengkap arak-arakan atau upacara. Alat musik tiup khas Minangkabau
adalah saluang, yaitu seruling yang terbuat dari tabung bambu dengan kedua ujung
terbuka. Rebana atau kendang Melayu sering dipergunakan untuk mengiringi tarian
atau nyanyian. Alat musik yang mendapat pengaruh Islam ini banyak digunakan juga
di daerah-daerah lain.
d. Sistem Politik
Kesatuan teritorial yang paling penting di Minangkabau adalah nagari. Nagari
dipimpin oleh seorang ketua adat yang disebut penghulu andiko. Tiap nagari biasanya
terdiri dari empat suku, yang masing-masing dikepalai oleh seorang penghulu suku.
Bersama-sama dengan keempat penghulu suku, penghulu andiko membentuk
semacam pemerintahan tertinggi di dalam nagarinya yang disebut pucuk nagari.
Nagari merupakan satu persatuan hukum yang bersifat teritorial dan genealogis.
Disebut teritorial karena memiliki daerah sendiri, mempunyai kalangan (semacam
lapangan tempat orang berkumpul), dan tepian (tepi sungai tempat perahu merapat).
Disebut genealogis karena nagari dihuni oleh orang-orang yang memiliki pertalian
darah tertentu (paruik, suku). Disebut persekutuan hukum karena nagari memiliki
balai adat dan pemerintahan. Penghulu andiko dalam melaksanakan kegiatannya
selain dibantu oleh penghulu suku, juga dibantu oleh seorang pejabat keagamaan yang
disebut manti dan pejabat keamanan yang disebut dubalang.
a) Urang asa adalah keluarga yang pertama kali datang (orang asal) dan dianggap
bangsawan serta kedudukannya paling tinggi.
c) Kemenakan tali budi adalah orang-orang yang datang ke wilayah urang asa. Karena
asalnya juga mempunyai kedudukan yang cukup tinggi, mereka mampu membeli
tanah di tempat yang baru. Maka, kedudukannya juga dianggap sederajat dengan
urang asa.
3. Kebudayaan Jawa
Suku bangsa Jawa mendiami Pulau Jawa bagian tengah dan timur. Sungguhpun
demikian, ada daerah-daerah yang disebut kejawen sebelum terjadi perubahan seperti
sekarang ini. Daerah itu adalah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun,
Malang, dan Kediri.
Daerah-daerah lainnya dinamakan pesisir dan ujung timur. Daerah yang merupakan
pusat kebudayaan Jawa adalah dua daerah yang luas bekas kerajaan Mataram, yaitu
Yogyakarta dan Surakarta yang terpecah pada tahun 1755. Pada sekian banyak daerah
tempat kediaman orang Jawa, terdapat berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan
yang bersifat lokal. Perbedaan tersebut meliputi beberapa unsur kebudayaan seperti
perbedaan mengenai berbagai istilah teknis dan dialek bahasa.
Agama Islam merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat suku
bangsa Jawa. Hal tersebut tampak nyata dari banyaknya bangunan tempat beribadah
bagi orang-orang Islam di seluruh daerah. Di samping agama Islam, terdapat juga
agama Nasrani dan agama yang lain. Pada suku bangsa Jawa, tidak semua orang
melakukan ibadah sesuai dengan kriteria Islam. Di pedesaan, kita temukan adanya
dua golongan Islam, yaitu golongan santri dan kejawen.
1) Golongan Islam santri ialah golongan yang menjalankan ibadahnya sesuai dengan
ajaran Islam, melaksanakan lima ajaran agama Islam serta syariat-syariatnya.
2) Golongan Islam kejawen ialah golongan yang percaya pada ajaran Islam, tetapi
tidak secara patuh menjalankan rukun Islam, misalnya tidak salat, tidak berpuasa, dan
tidak berniat untuk melakukan ibadah haji.
2) Kelahiran
6) Upacara perkawinan
1) Bersih desa
b. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan pada masyarakat Jawa didasarkan pada prinsip keturunan bilateral
atau parental, sedangkan sistem klasifikasi dilakukan menurut angkatan-angkatan.
Semua kakak laki-laki serta kakak perempuan beserta semua suami dan istri dari ayah
dan ibu diklasifkasikan menjadi satu dengan sebutan siwa atau wa. Adapun adik-adik
dari ayah dan ibu, yang laki-laki disebut paman dan yang perempuan disebut bibi.
Pada masyarakat Jawa, dilarang melakukan perkawinan dengan saudara misan atau
saudara sepupu. Perkawinan menimbulkan terjadinya keluarga batih, keluarga inti,
atau keluarga somah, yaitu kelompok keluarga yang merupakan kelompok sosial yang
berdiri sendiri. Kelompok keluarga tersebut memegang peranan dalam proses
sosialisasi anak-anak yang menjadi anggotanya.
Bentuk kekerabatan yang lain adalah nakdulur atau sanak sadulur. Kelompok
kekerabatan ini terdiri atas orang-orang kerabat atau keturunan seorang nenek moyang
sampai derajat ketiga.
Pada umunya suku bangsa Jawa tidak mempersoalkan tempat tinggal menetap setelah
pernikahan. Mereka bebas memilih apakah menetap di sekitar tempat mempelai
wanita (uxorilokal) atau di sekitar kediaman mempelai laki-laki (utrolokal).
Umumnya mereka akan merasa bangga apabila setelah pernikahan mereka tinggal di
tempat yang baru. Sistem tempat tinggal semacam itu disebut neolokal.
c. Sistem Kesenian
Berdasarkan lokasi, sistem kesenian masyarakat Jawa mempunyai dua tipe, yaitu tipe
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Daerah sistem kesenian tipe Jawa Tengah meliputi
Banyumas sampai Kediri, tipe Jawa Timur daerahnya meliputi bagian timur sampai
Banyuwangi dan Madura.
a) Seni Tari
Contoh seni tari tipe Jawa tengah adalah tari Srimpi dan tari Bambang Cakil. Tari
Srimpi merupakan sebuah tarian kraton masa silam dengan suasana lembut, agung,
dan menawan. Tari Bambang Cakil mengisahkan perjuangan Arjuna melawan Buto
Cakil (raksasa), sebuah perlambang penumpasan angkara murka.
b) Seni Tembang
Seni tembang berupa lagu-lagu daerah Jawa, misalnya lagu-lagu dolanan Suwe Ora
Jamu, Gek Kepiye, dan Pitik Tukung. Lagu-lagu tersebut dinyanyikan diiringi
gamelan.
c) Seni Pewayangan
Wujud seni teater tradisional di Jawa Tengah antara lain adalah ketoprak.
Wujud kesenian dari pesisir dan ujung timur serta Madura juga bermacam-macam,
misalnya sebagai berikut.
Wujud seni tari dan teater tradisional di Jawa Timur antara lain tari Ngremo, tari
Tayuban, tari Kuda Lumping, Reog (Ponorogo), dan tari Langger (Banyuwangi).
b) Seni Pewayangan
Wujud seni pewayangan di Jawa Timur antara lain wayang Beber. Wayang beber
merupakan cerita gambar yang dilukiskan berwarnawarni pada segulung kertas.
Dalang menceritakan kisahnya dengan menunjuk pada gambar yang bersangkutan.
Jadi, wayang beber merupakan satu pertunjukan gambar yang sederhana sekali.
Wayang beber ini kini terdapat di daerah Pacitan (Jawa Timur) dan Wonosari (Jawa
Tengah).
c) Seni Suara
Wujud seni suara di Jawa Timur antara lain berupa lagu-lagu daerah seperti Tanduk
Majeng (dari Madura) dan Ngindung (dari Surabaya).
Rumah adat tipe Jawa Tengah bermacam-macam coraknya, antara lain corak limasan
dan Joglo. Rumah penduduk dan keraton di Jawa Tengah umumnya terdiri atas tiga
ruangan, yaitu pendopo, pringgitan, dan dalem. Pendopo merupakan tempat menerima
tamu, upacara adat, dan kesenian. Pringgitan merupakan tempat untuk
menyelenggarakan pertunjukan wayang. Dalem merupakan tempat singgasana raja.
Bagi rumah penduduk, dalem berarti ruangan utama tempat tinggal keluarga. Rumah
Situbondo merupakan model rumah adat Jawa Timur yang mendapat pengaruh dari
rumah Madura. Rumah ini tidak mempunyai pintu belakang dan tanpa kamar-kamar.
Serambi depan adalah tempat menerima tamu laki-laki, sedangkan tamu perempuan
diterima di serambi belakang. Mereka masuk dari samping rumah.
Pakaian untuk pria Jawa Tengah ialah penutup kepala yang disebut kuluk, berbaju jas
sikepan, korset, dan keris yang terselip di pinggang. Di samping itu juga memakai
kain batik dengan pola dan corak yang sama dengan wanitanya. Adapun wanitanya
memakai kain kebaya panjang motif batik. Perhiasannya berupa subang, kalung,
gelang, dan cincin. Sanggulnya disebut ‘bakor mengkurep’ yang diisi dengan daun
pandan wangi. Pria Yogyakarta memakai pakaian adat berupa tutup kepala (destar),
baju dari jas dengan leher tertutup (jas tutup), dan keris yang terselip di pinggang
bagian belakang. Ia juga mengenakan kain batik yang bercorak sama dengan
wanitanya. Adapun wanitanya memakai kebaya dan kain batik. Perhiasannya berupa
anting-anting, kalung, dan cincin. Pria Jawa Timur memakai pakaian adat berupa
tutup kepala (destar), baju lengan panjang tanpa leher dengan baju dalam bergaris-
garis lebar. Sepotong kain tersampir di bahunya dan memakai celana sebatas
lutut dengan ikat pinggang besar. Kaum wanitanya memakai baju kebaya pendek
dengan kain sebatas lutut. Perhiasan yang dipakai adalah kalung bersusun dan gelang
kaki (binggel).
Secara administratif, suatu desa di Jawa biasanya disebut kelurahan yang dikepalai
oleh seorang lurah. Sebutan lurah untuk tiap daerah berbedabeda misalnya petinggi,
bekel, gelondong.
3) Jagabaya, bertugas menjaga keamanan desa. Pada masa sekarang ini, pemegang
tugas keamanan desa adalah hansip.
4. Etnografi Sunda
Berdasarkan tinjauan etnografis, suku bangsa Sunda adalah suku bangsa yang secara
turun-temurun menggunakan bahasa ibu, yaitu bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-
hari. Bahasa Sunda dianggap masih murni dan halus, digunakan di kabupaten Ciamis,
Tasikmalaya, Garut, Bandung, Sumedang, Sukabumi, dan Cianjur. Bahasa Sunda
yang dianggap kurang halus dipakai di masyarakat yang menempati pantai utara,
contohnya Banten, Karawang, Bogor, dan Cirebon.
Suku Sunda mendiami tanah Pasundan atau Tatar Sunda yang meliputi seluruh
propinsi Jawa Barat. Pada bagian timur dibatasi oleh sungai Cilosari dan sungai
Citanduy.
Padahal, upacara tersebut tidak diajarkan dalam agama Islam. Dalam mitologi Sunda,
dongeng-dongeng suci Sunda mengandung unsur yang bukan Islam. Petani-petani
Sunda mengenal dongengdongeng mengenai tanaman padi antara lain cerita Nyi
Pohaci Sanghyang Sri.
b. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan pada suku Sunda dipengaruhi oleh adat secara turun-temurun.
Selain itu, sistem kekerabatan juga dipengaruhi oleh agama Islam yang telah lama
dipeluk oleh masyarakat Sunda. Oleh karena itu, sangat susah untuk memisahkan adat
dan agama. Biasanya unsur itu terjalin dengan erat dalam adat kebiasaan masyarakat
Sunda. Perkawinan di tanah Sunda dilakukan secara adat maupun agama Islam.
Ketika diselenggarakan upacara akad nikah atau ijab kabul tampak adanya unsur
agama dan adat.
Upacara pernikahan suku bangsa Sunda dilakukan dengan sederhana. Upacara nyawer
dan buka pintu merupakan upacara paling menarik. Adat menetap sesudah menikah di
Jawa Barat adalah neolokal. Keluarga batih merupakan keluarga yang paling aman
sebagai tempat hubungan kekerabatan di tengah masyarakat. Dalam masyarakat
Sunda terdapat sistem kekerabatan anbilineal, yaitu menetapkan garis kekerabatan
sebagian melalui garis ibu dan sebagian lagi melalui garis ayah. Sistem kekerabatan
daerah Sunda adalah bilateral yakni garis keturunan yang memperhitungkan
hubungan kekerabatan melalui ayah dan ibu.
c. Sistem Kesenian
Sistem kesenian masyarakat Sunda meliputi rumah adat, pakaian adat, serta seni tari
dan bentuk kesenian lainnya.
1) Rumah Adat
Kraton kasepuhan Cirebon merupakan model rumah adat Jawa Barat yang di
depannya terdapat pintu gerbang. Keraton itu terdiri atas empat ruangan, yaitu:
a) Jinem atau pendopo untuk para penggawa atau penjaga keselamatan sultan;
2) Pakaian Adat
Secara garis besar pakaian adat pria Jawa Barat berupa tutup kepala (destar), berjas
dengan leher tertutup (jas tutup), sebilah keris terselip di pinggang bagian belakang
serta berkain batik.
Kaum wanita Jawa Barat memakai baju kebaya, kalung, dan berkain batik. Beberapa
hiasan kembang goyang menghiasi bagian atas kepalanya, begitu pula rangkaian
bunga melati yang menghiasi sanggulnya.
a) Tari Topeng Kuncaran, sebuah tarian yang mengisahkan dendam kesumat seorang
raja karena cintanya ditolak.
Desa di Jawa Barat sebagai suatu kesatuan administrasi yang terkecil, menempati
tingkat paling bawah dalam susunan pemerintahan nasional. Selain itu desa juga
mempunyai rangkaian sifat-sifat yang khas. Satu desa mempunyai suatu sistem
pemerintahan desa yang mengurus rumah tangga desa. Desa dipimpin oleh seorang
kuwu yang didamping seorang juru tulis, tiga orang kokolot, seorang kulisi, seorang
ulu-ulu, dan seorang amil, serta tiga pembina desa (seorang dari angkatan kepolisian
dan dua orang dari angkatan darat).
5. Kebudayaan Bali
Suku bangsa Bali sering diidentikkan dengan keseniannya. Kesenian Bali membuat
masyarakat Bali dikenal tidak hanya di dalam negeri, tetapi sampai ke luar negeri.
Ada semacam pemeo di kalangan orang-orang awam mancanegara, bahwa Indonesia
terletak di pulau Bali. Masyarakat Bali menempati keseluruhan pulau Bali yang
menjadi satu propinsi, yakni Propinsi Bali. Karena pengaruh emigrasi, ada juga
masyarakat Bali yang menetap di Pulau Lombok, Jawa Timur, dan wilayah lainnya di
Indonesia.
Sebagian besar masyarakat Bali beragama Hindu-Bali, tetapi ada pula segolongan
kecil masyarakat Bali yang menganut agama Islam, Kristen, dan Katholik. Penganut
agama Islam terdapat di Karangasem, Klungkung, dan Denpasar, sedangkan penganut
agama Kristen dan Katholik terutama terdapat di Denpasar, Jembrana, dan Singaraja.
Orang Hindu percaya akan adanya satu Tuhan dalam bentuk konsep Trimurti.
Keesaan Trimurti ini mempunyai tiga wujud atau manifestasi sebagai berikut.
Masyarakat Bali percaya pada banyak dewa dan roh. Kedudukan dewa dan roh
tersebut lebih
rendah dari Trimurti. Dewa dan roh dihormati dalam berbagai upacara bersahaja.
Agama Hindu menganggap penting konsepsi roh abadi (atman), adanya buah dari
setiap perbuatan (karma pala), kelahiran kembali dari jiwa (punarbawa), dan
kebebasan jiwa dari lingkaran kembali (moksa) yang seluruhnya termaktub dalam
kitab suci bernama Weda. Disamping Weda, ada pula kitab-kitab lain dalam bentuk
lontar berhuruf Bali dan berbahasa Jawa Kuno. Di antara kitab-kitab tersebut ada pula
yang bahasanya merupakan campuran antara bahasa Jawa Kuno dan bahasa
Sansakerta. Kitab-kitab tersebut mengandung tuntunan pelaksanaan agama, kumpulan
mantra-mantra, keterangan berbagai undang-undang, serta prosa dan puisi dari epos
Hindu Mahabarata dan Ramayana.
Tempat ibadah agama Hindu di Bali berupa kompleks bangunanbangunan suci yang
sifatnya berbeda-beda. Bangunan-bangunan suci tersebut antara lain:
1) Ada yang sifatnya umum, artinya dapat digunakan untuk semua golonganseperti
pura Besakih.
2) Ada yang berhubungan dengan kelompok sosial setempat seperti pura desa
(kayangan tiga).
3) Ada yang berhubungan dengan organisasi dan perkumpulan khusus seperti subak
dan seka serta perkumpulan tari atau semacam sanggar tari.
Adapun tempat pemujaan leluhur dari klen kecil serta keluarga luas adalah tempat-
tempat sesaji rumah yang disebut sanggah. Di Bali ada beribu-ribu pura dan sanggah,
masing-masing dengan hari perayaan berdasarkan sistem penanggalan yang telah
ditetapkan. Di Bali dipakai dua macam penanggalan, yaitu penanggalan Hindu-Bali
dan Jawa-Bali. Pada umumnya, apabila masyarakat menyelenggarakan upacara
keagamaan terutama upacara besar, penentuan penyelesaian upacara itu dilakukan
oleh seorang pemimpin agama. Pemimpin agama yang bertugas melaksanakan
upacara adalah orang yang dilantik menjadi pendeta yang pada umumnya disebut
sulingih. Mereka juga disebut dengan istilah lain bergantung pada klen atau kasta
mereka, misalnya penyebutan pedanda untuk pendeta dari kasta Brahmana baik yang
beraliran Siwa maupun Buddha, atau penyebutan resi untuk pendeta dari kasta Satria.
b. Sistem Kekerabatan
Orang Bali dianggap sebagai warga masyarakat sepenuhnya jika sudah menikah.
Karena itu, perkawinan sangat penting dalam kehidupan mereka. Menurut adat lama
yang dipengaruhi oleh sistem klen dan kasta, orang-orang seklen dipengaruhi oleh
sistem klen dan kasta, orang-orang seklen (tunggal kawitan, tunggal dadia, tunggal
sanggah) setingkat kedudukannya dalam adat, agama, dan kasta. Karena itu, orang
Bali berusaha untuk kawin dengan orang-orang yang berada dalam batas klennya atau
setidak-tidaknya antara orang-orang yang dianggap sederajat dalam kasta. Perkawinan
adat di Bali bersifat endogami klen.Perkawinan yang dicita-citakan oleh orang Bali
umumnya adalah perkawinan antara anakanak dari dua orang saudara laki-laki.
Dahulu, jika terjadi perkawinan campuran, wanita akan dinyatakan keluar dari dadia.
Secara fisik, suami-istri akan dihukum buang (maselong) untuk beberapa lama ke
tempat yang jauh dari tempat asalnya. Sekarang, hukum itu tidak pernah dijalankan
lagi. Perkawinan campuran antarkasta sudah relatif banyak dilaksanakan.
Tiap keluarga batih maupun keluarga luas dalam sebuah desa di Bali harus
memelihara hubungan dengan kelompok kerabatannya yang lebih luas, ialah klen
(tunggal dadia). Struktur tunggal dadia ini berbedabeda. Di desa-desa dan di
pegunungan, orang-orang dari tunggal dadia yang telah memencar karena hidup
neolokal tidak lagi mendirikan tempat pemujaan leluhur di masing-masing tempat
kediamannya. Di desa-desa tanah datar, orang-orang dari tunggal dadia yang hidup
neolokal wajib mendirikan tempat pemujaan tersebut yang disebut kemulan taksu.
Suatu kuil di tingkat dadia merayakan upacara-upacara sekitar lingkungan hidup dari
semua warganya. Suatu kuil tingkat dadia mempersatukan dan mengintensifkan rasa
solidaritas anggota-anggota suatu klen kecil. Di samping itu, ada lagi kelompok
kerabat yang lebih besar yang melengkapi beberapa kerabat tunggal dadia (sanggah).
Mereka memuja kuil leluhur yang sama dan disebut kuil (pura) paibon atau panti.
Kelompok kerabat yang demikian disebut klen besar.
c. Sistem Politik
Sesudah kawin, orang itu langsung menjadi warga desa adat (kramat desa). Mereka
mendapat tempat duduk yang khas di balai desa yang disebut bale agung, serta berhak
mengikuti rapat-rapat desa yang diadakan teratur pada hari-hari yang tetap. Desa-desa
adat di tanah datar lebih besar dan meliputi daerah yang tersebar luas. Di Bali terdapat
diferensiasi kesatuan-kesatuan adat yang disebut banjar. Sifat keanggotaan banjar
tidak tertutup dan tidak terbatas pada penduduk asli yang lahir di dalam banjar. Jika
ada orang dari wilayah lain, atau lahir di banjar lain, dan tinggal di sekitar wilayah
banjar yang bersangkutan ingin menjadi warga banjar tersebut, ia diperbolehkan
menjadi warga banjar.
Pusat suatu banjar adalah bale banjar, tempat para warga banjar bertemu dan
mengadakan rapat pada hari yang tetap. Banjar dikepalai oleh seorang kepala yang
disebut klian banjar (kliang). Klian banjar dipilih oleh warga banjar untuk suatu masa
jabatan tertentu. Tugas klian banjar menyangkut segala urusan dalam lapangan
kehidupan sosial dan keagamaan banjar. Karena dianggap ahli dalam adat banjar,
klian banjar juga bertugas memecahkan masalah-masalah yang menyangkut hukum
adat tanah. Selain itu, ia juga bertugas mengurus hal-hal yang termasuk administrasi
pemerintahan.
1) Subak
Subak seolah-olah lepas dari banjar dan mempunyai seorang kepala, yaitu sedahan
agung. Warga subak adalah para pemilik atau penggarap sawah yang menerima air
irigasinya dari bendungan-bendungan yang diurus oleh suatu subak. Kepala subak
dipilih oleh semua anggota subak. Subak merupakan suatu badan pengatur air sawah.
Disamping itu, subak juga merupakan suatu badan hukum adat yang otonom. Subak
sekaligus merupakan suatu badan perencana aktivitas pertanian dan suatu kelompok
keagamaan.
2) Seka
b.) Seka yang bersifat sementara atau seka yang didirikan berdasarkan kebutuhan
tertentu seperti:
d. Sistem Kesenian
Sistem kesenian di Bali antara lain meliputi tarian Bali, rumah adat, dan pakaian adat.
Tarian yang ada di daerah Bali di antaranya tari Legong dan tari Kecak. Tari Legong
merupakan tarian yang berlatar belakang kisah cinta Raja Lasem, ditarikan secara
dinamis dan memikat hati. Tari Kecak merupakan sebuah tari berdasarkan cerita dari
kitab Ramayana, yang mengisahkan tentang bala tentara monyet Hanuman dan
Sugriwa.
2) Rumah Adat
Gapura Candi Bentar merupakan pintu masuk istana raja yang merupakan rumah adat
di Bali. Balai Bengong adalah tempat istirahat raja beserta keluarga dan Balai
Wanikan adalah tempat adu ayam atau pagelaran kesenian. Kori Agung adalah pintu
masuk pada waktu upacara besar dan Kori Babetelan merupakan pintu untuk
keperluan keluarga. Gapura Candi Bentar dibuat dari batu merah dengan ukiranukiran
dari batu cadas.
3) Pakaian Adat
Pakaian adat bagi pria Bali berupa ikat kepala (destar) kain songket saput, dan sebilah
keris terselip pada pinggang bagian belakang. Kaum wanitanya memakai dua helai
kain songket, stagen songket atau meprada, dan selendang atau senteng. Ia juga
memakai hiasan bunga emas dan bunga kemboja di atas kepala. Perhiasan yang
dipakainya adalah subang, kalung, dan gelang.
a) Suku bangsa Dayak Ngaju atau Ola Ngaju berada di daerah Kalimantan Tenggara.
e) Suku bangsa Punan. Dalam buku-buku etnografi, suku bangsa ini tidak
dikategorikan sebagai suku bangsa Dayak. Suku bangsa ini merupakan suku bangsa
terasing yang hidup di Kalimantan Tengah. Mereka hidup berpindah-pindah sebagai
peladang dan peramu hasil hutan.
Agama asli orang Dayak adalah Kaharingan. Sebutan Kaharingan diambil dari istilah
Danum Kaharingan yang berarti air kehidupan. Dalam dongeng-dongeng suci, air
dipercaya dapat memberi kehidupan pada manusia. Umat Kaharingan percaya bahwa
alam sekitar tempat tinggal manusia penuh dengan makhluk-makhluk halus dan roh-
roh (ganan dalam bahasa Ngaju) yang menempati tiang rumah, batu-batu besar,
pohon-pohon besar, hutan belukar, dan air. Ganan mempunyai sebutan yang berbeda-
beda, yaitu:
Selain ganan, ada segolongan makhluk halus yang mempunyai peran sangat penting
dalam kehidupan orang Dayak, yaitu roh nenek moyang (liau dalam bahasa Ngaju, rio
dalam Ma’anyan). Menurut kepercayaan orang Dayak, jiwa (hambaruan) orang mati
itu meninggalkan tubuh dan menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia
sebagai liau. Lambat laun laiu akan kembali kepada dewa tertinggi yang disebut
Ranying, tetapi prosesnya memakan waktu yang sangat lama serta melalui bermacam-
macam rintangan dan ujian sebelum akhirnya masuk ke dunia roh yang bernama Lewu
Liau dan menghadap Ranying. Dalam syair-syair suci orang Ngaju dunia roh disebut
“negeri kaya- raya” yang berpasir emas, berbukit intan, dan berkerikil manik, tempat
dimana tak ada kemalangan, kesusahan, dan kelelahan.
1) upacara keagamaan yang ditujukan kepada roh nenek moyang dan makhluk halus
yang menempati alam sekeliling
Kalau orang Dayak meninggal, mayatnya dikubur dulu dalam sebuah peti mayat yang
terbuat dari kayu berbentuk perahu lesung (raung dalam bahasa Ngaju). Kuburan ini
dianggap sebagai kuburan sementara sebelum mayat dibakar dalam suatu upacara
terpenting bagi orang Dayak, yaitu upacara pembakaran mayat secara besarbesaran
yang pada orang Ngaju disebut tiwah (daro Ot. Danum; Ijambe’ Ma’anyan).
Pada upacara tersebut, tulang-belulang semua orang sekerabat yang telah meninggal
digali kemudian dibakar dan abunya ditempatkan pada tempat pemakaman berupa
bangunan (tambak). Upacara ini biasanya dilakukan oleh keluarga-keluarga luas
secara besar-besaran dan berlangsung sampai dua-tiga minggu lamanya. Pengunjung
dari berbagai desa datang untuk merayakan upacara pembakaran mayat (tiwah) ini.
Upacara tiwah memakan biaya yang cukup besar. Biaya tersebut meliputi biaya
makanan dan minuman untuk para tamu, biaya para pelaku upacara (para balian), dan
biaya alat-alat musik untuk mempertunjukkan tarian suci yang menarik. Tetapi
walupun memakan biaya banyak ritual ini dipercaya juga akan membawa suatu
berkah bagi orang yang melaksanakan ritual. Upacara ini dilaksanakan oleh keluarga
yang memiliki ekonomi atas.
b. Sistem Kekerabatan
Kewargaan dari suatu rumah tangga tidak statis, karena tergantung dari tempat tinggal
pada waktu ia menikah. Perkawinan yang dianggap ideal pada orang Dayak adalah
perkawinan antara dua orang bersaudara sepupu, yang kakek-kakeknya adalah
saudara sekandung (hajanen dalam bahasa Ngaju). Perkawinan dua orang saudara
sepupu yang ibu-ibunya bersaudara kandung (cross cousin) juga dianggap baik.
Perkawinan yang dianggap sumbang adalah perkawinan antara dua sepupu yang
ayahayahnya adalah bersaudara sekandung (part-paralel cousin). Orang Dayak tidak
melarang gadis-gadis mereka menikah dengan laki-laki suku bangsa lain, asalkan
laki-laki tersebut bersedia tunduk kepada adat mereka dan bersedia terus berdiam di
desa mereka.
c. Sistem Politik
Pemerintahan desa secara formal berada di tangan pembekal dan panghulu. Pembekal
bertindak sebagai pemimpin administratif. Panghulu merupakan kepala adat dalam
desa. Syarat untuk mejadi pembekal adalah kemampuan menulis dan membaca huruf
latin, mempunyai rumah, serta mempunyai pengaruh.
Adapun syarat untuk menjadi panghulu adalah ahli dalam masalahmasalah adat,
karena panghulu akan menjadi orang yang diminta bertindak untuk memutuskan
perkara-perkara hukum adat, dan menjadi wakil desanya pada upacara-upacara adat
yang diadakan di desa tetangga. Kedudukan pembekal dan panghulu sangat
terpandang di desa. Mereka memperoleh jabatan melalui pemilihan oleh warga desa.
Dahulu kedua jabatan itu dirangkap oleh seorang kepala desa yang disebut patih.
Tetapi, sejalan dengan perkembangan zaman yang mengakibatkan pekerjaan
administratif semakin bertambah, akhirnya terjadi pemisahan.
Selain pembekal dan panghulu ada pula satu dean yang terdiri atas orang tua-tua desa
yang dianggap juga ahli dalam adat. Mereka merupakan penasehat panghulu dalam
soal adat. Dewan ini disebut mantir. Menurut A.B. Hudson, hukum pidana RI telah
berlaku pada orang Dayak untuk mendampingi hukum adat yang ada. Keduanya
saling mengisi, tetapi terkadang terdapat perbedaan. Misalnya, seorang penduduk desa
memasang perangkap rusa di hutan.
adat Dayak ia bersalah dan harus di-danda (memberi ganti kerugian). Denda bagi
pemasang perangkap tersebut adalah harus memberi nafkah orang tua korban.
d. Sistem Ekonomi
Bercocok tanam di ladang adalah mata pencaharian orang Dayak. Mereka membuat
ladang dengan cara menebang pohon-pohon di hutan. Batang-batang serta daun-daun
dibiarkan mengering selama dua bulan kemudian dibakar. Pada musim hujan, sekitar
bulan Oktober, mereka mulai menanam. Laki-laki berbaris di muka sambil menusuk-
nusuk tanah dengan tongkat tunggalnya. Sedangkan para wanita berbaris di belakang
sambil memasukkan beberapa butir padi ke dalam lubang yang telah dibuat oleh kaum
laki-laki.
Selain padi, mereka juga menanam ubi kayu, ubi rambat, keladi, terong, nanas, pisang,
tebu, cabe, berbagai macam labu-labuan, dan ada kalanya tembakau. Pohon buah-
buahan yang banyak ditanam di ladang ialah durian, cempedak, dan pinang. Setelah
ladang dipanen beberapa kali tanah mulai tandus. Sebelum mereka meninggalkan
tanah tersebut, mereka menanam pohon karet untuk diambil hasilnya kelak.
Berburu babi dan rusa di hutan sekitar tempat kediaman mereka sering dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Alat-alat berburu sangat tradisional,
seperti dondang, lonjo (tombak), ambang (parang), jarat (jerat), sipet (berisikan
ranjau kayu atau bambu runcing).
Mereka juga mencari hasil hutan seperti mengumpulkan rotan, karet, dan damar.
Pekerjaan tersebut dilakukan untuk menambah nafkah keluarga. Mereka menjual hasil
hutan kepada tengkulak atau pedagang yang sengaja datang ke desa mereka.
Kemudian para pedagang membawa hasil hutan tersebut ke kota-kota atau
menjualnya di pasar.
Orang Dayak banyak berhubungan dengan orang luar seperti orang Melayu, Jawa,
Bugis, Cina, Arab, dan Eropa. Beberapa pemuda Dayak yang telah mendapatkan
pendidikan berusaha memajukan suku bangsanya dengan berbagai cara antara lain
mendirikan organisasi Serikat Dayak, Koperasi Dayak, dan lain-lain.
7. Kebudayaan Bugis-Makassar
a. Sistem Kepercayaan
a. Ade’ (ada’ dalam bahasa Makassar) adalah bagian dari panngaderrang yang terdiri
atas:
2. Ade’ tana, yaitu norma mengenai pemerintahan, yang terwujud dalam bentuk
hukum negara, hukum antarnegara, dan etika serta pembinaan insan politik.
Pembinaan dan pengawasan ade’ dalam masyarakat Bugis-Makassar dilakukan oleh
beberapa pejabat adat, seperti pakka-tenni ade’, pampawa ade’, dan parewa ade.’
b. Bicara, berarti bagian dari pangaderreng, yaitu mengenai semua kegiatan dan
konsep-konsep yang bersangkut paut dengan hukum adat, acara di muka pengadilan,
dan mengajukan gugatan.
e. Sara, adalah bagian dari pangaderreng, yang mengandung pranata hukum, dalam
hal ini ialah hukum Islam.
Kelima unsur keramat di atas terjalin menjadi satu dan mewarnai alam pikiran orang
Bugis-Makassar. Unsur tersebut menghadirkan rasa sentimen kewargaan masyarakat,
identitas sosial, martabat, dan harga diri, yang tertuang dalam konsep siri. Siri ialah
rasa malu dan rasa kehormatan seseorang.
b. Sistem Kekerabatan
1) Assialang marola, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat kesatu, baik
dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
2) Assialana memang, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua, baik
dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
Perkawinan tersebut, walaupun ideal, tidak diwajibkan sehingga banyak pemuda yang
menikah dengan gadis-gadis yang bukan sepupunya. Perkawinan yang dilarang atau
sumbang (salimara’) adalah perkawinan antara:
2) saudara sekandung
2) massuro, yaitu kunjungan dari utusan pihak keluarga laki-laki kepada keluarga si
gadis untuk membicarakan waktu pernikahan, jenis sunreng (mas kawin), dan
sebagainya.
d. Sistem Politik
Pada permulaan abad ke-20 lapisan ata mulai hilang karena desakan agama, begitu
juga anak’karung atau to-maradeka. Gelar anakarung seperti Karaenta, Puatta, Andi,
dan Daeng, walau masih dipakai, tidak mempunyai arti lagi, sudah digantikan oleh
tinggi rendahnya pangkat dalam sistem birokrasi kepegawaian dan pendidikan.
4. Sistem Ekonomi
8. Kebudayaan Asmat
Semenjak itu Fumeripits terus mengembara dan di setiap daerah yang disinggahi ia
membangun sebuah rumah panjang dan menciptakan manusia-manusia baru yang
kemudian menjadi orang-orang Asmat sekarang. Orang Asmat menyebut dirinya as-
asmat, yang berarti manusia pohon. Pohon adalah benda yang sangat luhur bagi
mereka. Pohon diidentikkan dengan manusia, manusia adalah pohon dan pohon
adalah manusia. Kaki manusia merupakan akar-akar pohon, batang pohon adalah
tubuh manusia, dahannya adalah lengannya, dan buahnya adalah kepala manusia.
Ilmu sihir hitam juga banyak dipraktikkan, terutama oleh kaum wanita. Seseorang
yang mempunyai kekuatan ini dapat menyakiti atau membunuh manusia. Kekuatan
ini diturunkan seorang ibu kepada anak perempuannya sebagi senjata perlindungan
diri. Misi penyebaran agama serta usaha pemerintah dalam memajukan tingkat
kehidupan orang-orang Asmat banyak mengurangi kepercayaan-kepercayaan tersebut.
Bagi orang Asmat kematian bukan merupakan hal yang alamiah, tetapi karena
terbunuh atau karena sihir hitam. Orang yang meninggal semula tidak dikubur, tetapi
diletakkan di atas panggung di luar rumah panjang, sedang tulang tengkorak diambil
keluarga terdekat sebagai alas tidur (bantal), sebagai pertanda cinta kasih mereka
kepada yang meninggal.
Upacara bis merupakan salah satu kejadian penting dalam kehidupan suku Asmat,
sebab berhubungan dengan pengukiran patung leluhur atau bila ada permintaan dari
suatu keluarga. Semula upacara bis diadakan untuk memperingati anggota keluarga
yang mati terbunuh dan kematian itu harus segera dibalas dengan membunuh anggota
keluarga si pembunuh.
b. Sistem Kekerabatan
Dalam suatu perkawinan, mas kawin dikumpulkan dari keluarga dan saudara-saudara
dari pihak laki-laki untuk disampaikan dan dibagibagikan kepada keluarga dan
saudara-saudara pihak wanita. Umumnya perkawinan diatur oleh pihak orang tua
kedua belah pihak tanpa sepengetahuan anak-anak mereka. Perkawinan yang
direncanakan itu disebut tinis. Selain itu, dikenal dua cara perkawinan yang disebut
parsem dan mbeter. Parsem adalah perkawinan yang terjadi sebagai akibat adanya
hubungan rahasia antara seorang pemuda dengan seorang pemudi yang kemudian
diakui secara sah oleh orang tua kedua belah pihak. Tanpa sepengetahuan anak-
anak mereka. Perkawinan yang direncanakan itu disebut tinis.
Selain itu, dikenal dua cara perkawinan yang disebut parsem dan mbeter. Parsem
adalah perkawinan yang terjadi sebagai akibat adanya hubungan rahasia antara
seorang pemuda dengan seorang pemudi yang kemudian diakui secara sah oleh orang
tua kedua belah pihak. Sedangkan mbeter kawin lari, yaitu apabila laki-laki melarikan
si perempuan untuk dikawini. Dalam hal ini dapat timbul pertikaian antara kedua
belah pihak yang secara tradisional dapat berakhir bila terjadi pembunuhan di masing-
masing pihak. Dalam suatu perkawinan yang direncanakan, peminangan dilakukan
oleh orang tua pihak wanita. Melalui perkawinan, seorang suami memperoleh hak
atas daerah sagu dan daerah ikan milik mertua laki-lakinya.
Sifat perkawinan dalam masyarakat Asmat adalah berdasarkan prinsip eksogami. Jadi,
perkawinan antara anggota-anggota dari clan yang berbeda diperbolehkan.
Perkawinan endogami dapat terjadi hanya bila pihak-pihak yang berkepentingan tidak
berasal dari satu garis keturunan lurus. Sebelum seorang gadis kawin, ia termasuk
clan ayahnya. Tapi begitu kawin ia mengikuti clan suaminya, dan menetap bersama
keluarga suaminya. Bila suaminya meninggal, istri dan anak-anak tetap tinggal
bersama keluarga suami. Mereka menjadi tanggung jawab keluarga suami. Karena
orang-orang Asmat menjalankan levirat, maka saudara lakilaki dari yang meninggal
dapat mengawini jandanya. Dalam hal ini dapat terjadi poligami karena sering lelaki
yang mengawini janda itu sudah mempunyai istri terlebih dahulu. Istri pertama dan
anak-anaknya tinggal bersama clan suami, sedangkan istri-istri berikutnya beserta
anak-anak kembali ke clan asalnya. Namun demikian, pada prinsipnya orang-orang
Asmat menganut sistem patrilineal sehingga dalam pewarisan misalnya hak milik
ditetapkan menurut garis keturunan ayah.
c. Sistem Ekonomi
Suku Asmat mendiami daerah dataran rendah yang berawa-rawa dan berlumpur, serta
ditutupi hutan tropis. Sungai-sungai yang mengalir di daerah ini tidak terhitung
banyaknya dan berwarna gelap karena lumpur. Keadaan alam yang demikian
disebabkan antara lain oleh hujan yang turun sebanyak 200 hari setiap tahunnya.
Disamping itu perembesan air laut ke pedalaman menyebabkan tanah tidak dapat
ditanami jenis-jenis tanaman seperti pohon kelapa, bambu, pohon buah-buahan, dan
jenis tanaman kebun seperti sayur-mayur, tomat, timun, dan sebagainya. Kalaupun
ada pohon kelapa atau bambu, jumlahnya sangat terbatas.
Sebagai makanan tambahan, suku Asmat mengumpulkan ulat sagu yang didapat di
dalam pohon sagu yang sudah membusuk. Ulat yang merupakan sumber protein dan
lemak adalah makanan yang lezat dan bernilai tinggi bagi mereka. Wanita dan anak-
anak memburu iguana (sejenis kadal) untuk diambil kulitnya dan digunakan dalam
pembuatan tifa. Dagingnya dipanggang dan dimakan. Tikus hutan pun ditangkap dan
dimakan. Tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan makan dalam keluarga ada
pada ibu dibantu oleh anak-anak perempuannya.
9. Kebudayaan Dani
Suku bangsa Dani bermukim di lembah Baliem, Irian Jaya. Lembah ini berada di
tengah-tengah pegunungan Jaya Wijaya pada ketinggian 1600 meter di atas
permukaan laut. Lembah Baliem memiliki luas sekitar 1200 km2. Suku Dani lebih
senang disebut bangsa Parim atau orang Baliem. Suku ini sangat menghormati nenek
moyangnya, biasanya dilakukan melalui upacara pesta babi. Suku Dani mempercayai
Atou, yaitu kekuatan sakti yang berasal dari nenek moyang yang diturunkan kepada
anak laki-lakinya. Kekuatan sakti ini antara lain:
Untuk menghormati nenek moyangnya suku Dani membuat lambang nenek moyang
yang disebut kaneka. Lambang ini terbuat dari batu keramat berbentuk lonjong yang
diasah hingga mengkilap. Di samping upacara penghormatan terhadap nenek moyang,
suku Dani juga melaksanakan upacara:
1) Tentang siklus kehidupan yang menyangkut kelahiran, inisiasi, perkawinan, dan
kematian.
b. Sistem Kekerabatan
Kekerabatan suku Dani bersifat patrilineal. Garis keturunan dihitung dalam satu
kelompok nenek moyang mulai dari ayah sampai enam atau tujuh generasi. Menurut
mitologi, suku Dani berasal dari keturunan sepasang suami istri yang menghuni suatu
danau di sekitar kampung Maina di lembah Baliem Selatan. Mereka mempunyai anak
bernama Waita dan Wara. Perkawinan pada suku Dani bersifat eksogami karena
kedua anak tadi beserta keturunannya dilarang oleh orang tuanya menikah dalam
kelompoknya masing-masing.
c. Sistem Ekonomi
Mata pencaharian pokok suku Dani adalah bercocok tanam ubi kayu dan ubi jalar.
Ubi jalar adalah tanaman utama di kebun-kebun mereka. Tanaman-tanaman mereka
yang lain adalah pisang, tebu, dan tembakau. Kebun-kebun milik suku Dani ada tiga
jenis, yaitu:
1) dimakan dagingnya
Sumber :
Lestari, Puji, 2009, Antropologi 2 : Untuk SMA dan MA Kelas XII, Jakarta : Pusat
perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, h. 92 – 126.
Penulisan laporan penelitian tidak terlepas dari keseluruhan terapan dari kegiatan
penelitian. Kemampuan peneliti dalam melaporkan hasil penelitian sudah menjadi
tuntutan mutlak bagi seorang peneliti. Penyusunan laporan penelitian harus sistematis
dan juga melampirkan data-data olahan dilapangan. Penyusunan harus sesuai dengan
data lapangan yang diolah di lapangan. Tidak boleh dikurangi maupun di manipulasi
serta harus sesuai dengan kenyataan dilapangan. Hal ini dilakukan agar laporan
penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Laporan penelitian bisa
dibuat dalam bentuk makalah dan artikel yang nantinya dapat dikomunikasikan
melalui media massa.
Fungsi penyusunan laporan penelitian adalah sebagai hasil penelitian yang akan
dikomunikasikan kepada masyarakat awam. Yang demikian biasanya dimuat sebagai
artikel dalam koran. Bentuk ini menuntut cara penyajian tersendiri karena
pembacannya terdiri dari orang awam sehingga penyajiannya hendaknya dilakukan
secara ilmiah populer. Cara penyajiannya demikian menuntut agar biasanya disusun
secara sederhana, mudah dipahami, singkat, namun harus diusahakan agar inti hasil
penemuan tetap dapat terkomunikasikan kepada masyarakat. Fungsi dan bentuk
laporan tersebut seharusnya dapat digambarkan secara singkat dalam kerangka
laporan, Namun, para peneliti kesulitan untuk melakukan sistematika dalam penulisan
laporan. Padahal sistematika penulisan laporan sebagai arah gerak dari penelitian
tersebut. Dengan demikian penulisan laporan harus dilakukan secara hati-hati dan
syarat ilmu pengetahuan.
Dengan penulisan demikian maka pembaca dapat nyaman dan mengerti apa yang
menjadi masalah yang diteliti. Adapun kerangka penelitian yang dimaksud sebagai
berikut.
2. Pertanyaan-pertanyaan penelitian?
1. Tujuan penelitian
III. Metodologi
IV Penyajian Data
1. Diskripsi informasi; Hasil pengamatan atau wawancara (apa yang terjadi?apa yang
dikatakan)
1. Penyajian pola, tema, kecenderung, dan motivasi yang muncul dari data
2. Penyajian kategori, sistem klasifikasi, dan tipologi (tipologi yang disusun oleh
untuk menjelaskan duniannya dan yang disusun oleh peneliti)
2.Persoalan yang berkaitan dengan sebab dan konsekueinsinya (dengan konsep yang
saling mempertajam)
D. Kecukupan Referensial
F. Pengecekan Anggota
G. Auditing
Teknik penulisan artikel meliputi cara penulisan, gaya penulisan, dan diakhiri dengan
petunjuk umum penulisan. Menurut Bogdan dan Biklen (1982), cara penulisan suatu
laporan penelitian biasanya diarahkan oleh suatu fokus yang berarti bahwa penulis
memutuskan untuk memberitahukan keinginannya kepada para pembaca. Keinginan
tersebut hendaknya ditulis dengan dua atau beberapa kalimat sebagai simbol dalam
mengkomunikasikan hasil penelitian.
Fokus penelitian hendaknya berupa tesis, tema, atau topik. Tesis ialah proposisi yang
diajukan kemudian diikuti argumentasi.Tesis itu bisa diangkat dari hasil perbandingan
penelitian yang sedang dilakukan dengan apa yang dikatakan oleh kepustakaan
profesional. Misalnya, “Peneliti berpendirian bahwa…; Penelitian ini menemukan
permasalahan lainnya…; Model… yang ditemukan dalam penelitian ini jelas
menuntut adanya cara penerapan lainya dalam kehidupan masyarakatnya. Tesis
demikian dapat berargumentasi bahwa kosekuensi yang tak tampak dari suatu
perubahan tertentu yang dilihat oleh oran luar atau lebih penting dari proses yang
direncanakan. Dengan demikian tesis merupakan suatu fokus yang baik yang
penyajiannya bersifat argumentatif dan menarik. Dan yang dilakukan oleh peneliti
hendaknya berhati-hati dalam mengungkapkan argumentasinya karena biasanya
argumen demikian diserang oleh peneliti lainnya.
Fokus berikutnya ialah tema. Tema, menurut kedua penulis adalah beberapa konsep
yang muncul dari data. Tema ini dapat dirumuskan dalam beberapa tingkatan
abstraksi yang berasal dari pertanyaan-pertanyaan tentang jenis latar tertentu menjadi
pertanyaan yang universal. Penulisan tema ini disesuaikan dengan tema-tema yang
sederhana dan kemudian baru dijabarkan dalam bentuk diskriptif.
Fokus yang terakhir adalah ialah topik, yaitu satuan aspek tertentu tentang apa yang
sedang diteliti dan suatu ide mengenai hal itu. Tema bersifat konseptual sedangkan
topik bersifat diskriptif. Fokus ini kadang-kadang digabung oleh penulis laporan dan
hal itu bergatung pada beberapa hal. Pertama, bergantung pada apa yang diperlukan
oleh penulis laporan. Kedua, tergantung kepada kemampuan dan kecakapan penulis.
Ketiga, tergantung kepada bentuk tulisan yang dihasilkan, misalnya penulisan
akademis cenderung menggunakan tema. Sebagai peneliti pemula kadang masih
mengalami kebingungan dalam menyusun kerangka penulisan laporannya. Kadang
ada yang menulis dengan sistematika yang tidak teratur sehingga sulit untuk dipahami.
Agar lebih mudah sebagai peneliti pemula penyusunan laporan penelitian dibuat
secara sederhana dengan memperhatikan sistimatika yang sudah ditentukan. Dengan
mengikuti alur sistimatika penulisan laporan penelitian maka peneliti pemula dapat
menjabarkan bahasan apa yang akan dikomunikasikan ke khalayak umum.
Penulisan laporan penelitian etnografi yang dikerjakan oleh anak-anak SMA agar
mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Lexy Mauleong. Dalam menulis
laporan penelitian etnografi menurut Lincoln dan Guba (1985) yang kiranya dapat
bermanfaat bagi penulis muda dikemukakan petunjuk penulisan laporan sebagai
berikut
b. Penulisan itu hendaknnya tidak bersifat penafsiran atau evaluatif kecuali bagian
yang mempersoalkan hal itu.
c. Penulisan hendaknya menyadari jangan sampai terlalu banyak data yang dimasukan.
d. Penulisan hendaknya tetap menghormati janji tidak menuliskan nama dan menjaga
kerahasiaan.
Bentuk penulisan makalah dan artikel bisa berupa hasil kajian kepustakaan atau
masalah budaya yang terjadi di masyarakat. Analisis yang digunakan secara kritis
dengan memenuhi persyaratan dan kriteria penulisan karya tulis ilmiah dapatlah
dikategorikan sebagai karya ilmiah pada umumnya. Oleh karena, makalah yang ditulis
harus memilki objektifitas masalah yang ditulisnnya dan juga harus menyertakan
landasan teori yang relevan. Suatu makalah yang baik harus memiliki dua tujuan yaitu
pertama, harus secara lengkap dan jelas menguraikan prosedur yang diikuti dan hasil
yang diperoleh; Kedua, harus menempatkan hasil dalam suatu prespektif dengan jalan
mengkaitkannya dengan keadaan perkembangan ilmu sekarang dan dengan jalan
menginteprestasikan signifikannya dengan studi lebih lanjut. Dalam penulisan ilmiah
yang baik harus mengikuti hal-hal berikut ini:
2. Rumusan masalah
3. Tujuan penelitian
4. Metode penelitian
B. Pembahasan
2. Pembahasan Penelitian
C. Penutup
1. Kesimpulan
2. Saran
D. Daftar Pustaka
Sumber :
Lestari, Puji, 2009, Antropologi 2 : Untuk SMA dan MA Kelas XII, Jakarta : Pusat
perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, h. 149 – 154.
Apa itu Etnografi
4) Sistem teknologi
Penjelasan mengenai sistem teknologi dalam suatu kerangka etnografi
cukup membatasi diri terhadap teknologi yang tradisional.
Teknologi tradisional mengenal paling sedikit delapan macam sistem
peralatan dan unsur kebudayaan fisik yang dipakai oleh manusia yang
hidup dalam masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat
pedesaan yang hidup dari pertanian, yaitu:
1. Alat-alat produksi
2. Senjata
3. Wadah
4. Alat-alat menyalakan api
5. Makanan, minuman, bahan pembangkit gairah, jamu-jamuan
6. Pakayan dan perhiasan
7. Tempat berlindung dan perumahan
8. Alat-alat transportasi
Menurut J.J. Honingman, teknologi itu tentang segala tindakan yang
dilakukan manusia dalam merubah alam termasuk badannya sendiri
dan badan orang lain. Maka teknologi ini mengenai cara manusia
membuat, memakai daaan memelihara seluruh peralatannya, bahkan
mengenai cara manusia bertindak dalam keseluruhan hidupnya.
5) Sistem mata pencaharian
Suatu kerangka etnografi dalam menjelaskan tentang sistem mata
pencaharian hanya terbatas pada sistem-sistem yang bersifat
tradisional saja, seperti:
1. berburu dan meramu
2. berternak
3. bercocok tamam
4. mengangkap ikan
5. bercocok tanam, menetap dengan irigasi
dari kelima sistem tersebut kita hanya memperhatikan sistem produksi
lokalnya, termasuk sumber alam, cara mengumpukan modal, cara
pengerahan dan pengaturan tenaga kerja, serta teknologi produksi,
sistem distribusi dipasar-pasar yang dekat dan proses konsumsinya.
Maslah yang berkaitan dengan bercocok tanam menetap seperti soal
tanah, soal modal, soal tenaga kerja, soal teknologi (tentang organisasi
irigasi, pembagian air, dsb), dan soal konsumsi, distribusi dan
pemasaran.
6) Organisasi sosial
Ini merupakan penjelasan tentang organisasi dan susunan masyarakat
komunitas desa dan komunitas kecil. Dalam hal ini yang menjadi
perhatian adalah:
- soal pembagian kerja dalam komunitas,
- berbagai aktivitas kerja sama atau gotong royong dalam komunitas,
- soal hubungan dan sikap antara pemimpin dan pengikut dalam
komunitas (pengambilan keputusan)
- soal cara-cara pergantian pimpinan
- soal wewenang kepemimpinan dan kekuasaan pemimpin
7) Sistem pengetahuan
Isi dari sistem pengetahuan dalam suatu kebudayaan akan merupakan
suatu uraian tentang cabang-cabang pengetahuan. Tiap sukuu bangsa
didunia biasanya mempunyai pengetahuan tentang:
1. alam sekitarnya
2. alam flora di daerah tempat tinggalnya
3. alam flora di daerah tempat tinggalnya
4. zat-zat, bahan mentah dan benda-benda dalam lingkungannya
5. tubuh manusia
6. sisfat-sifat dan tingkah laku sesama manusia
7. ruang dan waktu
contohnya seperti kepandaian dalam obat-obatan tradisional,
pembuatan/pembangunan perahu, kepandaian berlayardengan seluruh
sistem navigasinya, dll.
8) Kesenian
Kerangka etnografi dalam menguraikan kesenian harus berpedoman
pada suatu kerangka baku mengenai lapangan-lapangan khusus
dalam kesenian. Sebagai ekspresi hasrat akan keindahan untuk
dinikmati, dalam kesenian terdapat dua lapangan besar, yaitu:
1. Seni rupa; kesenian yang dinikmati manusia dengan mata
2. Seni suara; kesenian yang dinikmati manusia dengan telinga
9) Sistem religi
Perhatian terhadap sistim religi ini dilatar belakangi oleh:
1. upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa
biasanya merupakan unsur kebudayaan yang tampak paling akhir
2. bahan etnografi mengenai keagamaan diperlukan untuk menyusun
teori-teori tentang asal mula religi
Masalah tentang religi ini uraian mengapa manusia percaya kepada
adanya sustu kekuatan gaib yang dinggapnya lebih tinggi daripadanya,
dan mengapa manusia melakukan berbagai hal dengan beragam cara
untuk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan tadi.
Unsur penting dalam suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan
selain adanya ciri-ciri untuk memelihara emosi keagamaan diantara
para pengikutnya; juga tentang sistem keyakinan; sistem upacara
keagamaan; suatu umat yang menganut religi itu.
Sistem kepercayaan dan gagasan, pelajaran, aturan agama, dongeng
suci tentang riwayat dewa-dewa (mitologi) biasanya tercantum dalam
suatu himpunan buku-buku yang dianggap sebagai kesussastraan suci.
Sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung aspek-aspek
(yang jadi fokus perhatian ahli antropologi):
- tempat upacara keagamaan dilakukan
- saat-saat upacara keagamaan dijalankan
- benda-benda dan alat upacara
- orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara
Upacara-upacara itu sendiri terbagi dalam banyak unsur, seperti:
1. Bersaji
2. Berkorban
3. Berdoa
4. Makan bersama makanan yang disucikan dengan doa
5. Maenari tarian suci
6. Menyenyi nyayian suci
7. Berprosesi atau berpawai
8. Memaikan seni drama suci
9. Berpuasa
10. Intoksikasi/mengaburkan pikiran dengan makan obat bius untuk
mencapai keadaan trace, mabuk
11. Betapa
12. Bersemedi