Laporan Akhir Praktikum Farmasi Fisika Emulsifikasi
Laporan Akhir Praktikum Farmasi Fisika Emulsifikasi
Laporan Akhir Praktikum Farmasi Fisika Emulsifikasi
OLEH :
I Putu Bagus Maha Paradipa (0808505001)
Anggy Anggraeni Wahyudhie (0808505002)
Ni Made Wiryatini (0808505003)
Ni Ketut Melysa Cahyani (0808505004)
Liana Dwi Anggraini (0808505005)
Ni Putu Dian Priyatna Sari (0808505007)
I Gusti Agung Suastika (0808505008)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
BUKIT JIMBARAN
2009
PERCOBAAN 5
EMULSIFIKASI
I. Tujuan Percobaan
1. Menghitung jumlah emulgator golongan surfaktan yang digunakan dalam
pembuatan emulsi
2. Membuat emulsi dengan menggunakan emulgator golongan surfaktan
3. Mengevaluasi ketidakstabilan suatu emulsi
4. Menentukan HLB butuh minyak yang digunakan dalam pembuatan emulsi
Konsistensi emulsi sangat beragam, mulai dari cairan yang mudah dituang
hingga krim setengah padat. Umumnya krim minyak dalam air dibuat pada suhu
tinggi, berbentuk cair pada suhu ini, kemudian didinginkan pada suhu kamar, dan
menjadi padat akibat terjadinya solidifikasi fase internal. Dalam hal ini, tidak
diperlukan perbandingan volume fase internal terhadap volume fase eksternal yang
tinggi untuk menghasilkan sifat setengah padat, misalnya krim stearat atau krim
pembersih adalah setengah padat dengan fase internal hanya hanya 15%. Sifat
setengah padat emulsi air dalam minyak, biasanya diakibatkan oleh fase eksternal
setengah padat (Anonim b, 1995).
Penggunaan emulsi dibagi menjadi dua golongan yaitu emulsi untuk pemakaian
dalam dan emulsi untuk pemakaian luar. Emulsi untuk pemakaian dalam meliputi per
oral atau pada injeksi intravena sedangkan untuk pemakaian luar digunakan pada kulit
atau membrane mukosa yaitu linemen, losion, cream dan salep. (Anonim c, 2009)
Emulsi untuk penggunaan oral biasanya mempunyai tipe M/A. Emulgator
merupakan film penutup dari minyak obat agar menutupi rasa tak enak itu. Flavour
ditambahkan pada fase ekstern agara rasanya lebih enak. Emulsi juga berguna untuk
menaikan absorbsi lemak melalui dinding usus. Penggunaan emulsi untuk parenteral
dibutuhkan perhatian khusus dalam produksi seperti pemilihan emulgator, ukuran
kesamaan butir tetes untuk injeklsi intravena. Lecithin tidak pernah dipakai karena
menimbulkan hemolisa. Pembuatan emulsi untuk injeksi dilakukan dengan membuat
emulsi kasar lalu dimasukan homogenizer, di tampung dalam botol steril dan
disterilkan dalam auto klap dan di periksa sterilitas serta ukuran butir. (Anonim c,
2009)
Untuk pemakaian kulit dan membrane mukosa digunakan sediaan emulsi tipe
M/A atau A/M. emulsi obat dalam dasar salep dapat menurunkan kecepatan absorbsi
dan eksintensinya absorbsi melalui kulit dan membrana mukosa. Contoh: suspensi
efedrin dalam emulsi M/A bila dipakai pada mukosa hidung di absorbsi lebih lambat
si banding larutannya dalam minyak, jadi diperoleh prolonged action. (Anonim c,
2009)
Kemungkinan besar pertimbangan yang terpenting bagi emulsi di bidang farmasi
dan kosmetika adalah stabilitas dari produk jadi. Kestabilan dari emulsi farmasi berciri
tidak adanya penggabungan fase dalam, tidak adanya creaming, dan memberikan
penampilan, bau, warna dan sifat-sifat fisik lainnya yang baik. (Alfred Martin, 2008).
Beberapa peneliti mendefinisikan ketidakstabilan suatu emulsi hanya dalam hal
terbentuknya penimbunan dari fase dalam dan pemisahannya dari produk. Creaming
yang diakibatkan oleh flokulasi dan konsentrasi bola-bola fase dalam, kadang-kadang
tidak dipertimbangkan sebagai suatu tanda ketidakstabilan. Tetapi suatu emulsi adalah
suatu sistem yang dinamis, dan flokulasi serta creaming yang dihasilkan
menggambarkan tahap-tahap potensial terhadap terjadinya penggabungan fase dalam
yang sempurna. Lebih-lebih lagi dalam hal emulsi farmasi creaming mengakibatkan
ketidakrataan dari distribusi obat dan, tanpa pengocokan yang sempurna sebelum
digunakan, berakibat terjadinya pemberian dosis yang berbeda. Tentunya bentuk
penampilan dari suatu emulsi dipengaruhi oleh creaming, dan ini benar-benar
merupakan suatu masalah nyata bagi pembuatannya jika terjadi pemisahan dari fase
dalam. (Alfred Martin, 2008).
Berdasarkan atas fenomena semacam itu, dikenal beberapa peristiwa
ketidakstabilan emulsi, yaitu:
a) Flokulasi dan creaming.
Flokulasi adalah suatu peristiwa terbentuknya kelompok-kelompok globul yang
posisinya tidak beraturan di dalam emulsi. Creaming adalah suatu peristiwa
terjadinya lapisan-lapisan dengan konsentrasi yang berbeda-beda di dalam emulsi.
Lapisan dengan konsentrasi paling pekat akan berada di sebelah atas atau bawah
tergantung dari bobot jenis. Tim Penyusun, 2009)
b) Koalesense dan Demulsifikasi
Peristiwa ini terjadi tidak semata-mata disebabkan oleh energy bebas permukaan,
tetapi disebabkan pula oleh ketidaksempurnaan lapisan globul. Koalesen adalah
peristiwa penggabungan globul-globul menjadi lebih besar. Sedangkan
Demulsifikasi adalah peristiwa yang disebabkan oleh terjadinya proses lanjut dari
koalesen. Kedua fase akhirnya terpisah kembali menjadi dua cairan yang tidak dapat
bercampur. Kedua peristiwa semacam ini emulsi tidak dapat diperbaiki kembali
melalui pengocokan. (Tim Penyusun, 2009)
Emulsi juga dapat mengalami ketidakstabilan jika mengalami hal-hal di bawah
ini:
Peristiwa kimia, seperti penambahan alkohol, perubahan PH, penambahan CaO /
CaCL2 (Dinda,2008)
Peristiwa fisika, seperti pemanasan, penyaringan, pendinginan dan pengadukan.
(Dinda,2008)
Inversi yaitu peristiwa berubahnya sekonyong-konyong tipe emulsi W/O menjadi
O/W atau sebaliknya dan sifatnya irreversible. (Dinda,2008)
Zat Pengemulsi (Emulgator)
Emulsi merupakan suatu sistem yang tidak stabil. Untuk itu kita memerlukan suatu
zat penstabil yang disebut zat pengemulsi atau emulgator. Tanpa adanya emulgator, maka
emulsi akan segera pecah dan terpisah menjadi fase terdispersi dan medium pendispersinya,
yang ringan terapung di atas yang berat. Adanya penambahan emulgator dapat menstabilkan
suatu emulsi karena emulgator menurunkan tegangan permukaan secara bertahap. Adanya
penurunan tegangan permukaan secara bertahap akan menurunkan energi bebas yang
diperlukan untuk pembentukan emulsi menjadi semakin minimal. Artinya emulsi akan
menjadi stabil bila dilakukan penambahan emulgator yang berfungsi untuk menurunkan
energi bebas pembentukan emulsi semaksimal mungkin. Semakin rendah energi bebas
pembentukan emulsi maka emulsi akan semakin mudah terbentuk. Tegangan permukaan
menurun karena terjadi adsorpsi oleh emulgator pada permukaan cairan dengan bagian ujung
yang polar berada di air dan ujung hidrokarbon pada minyak (Ibnuhayyan, 2008).
Daya kerja emulgator disebabkan oleh bentuk molekulnya yang dapat terikat baik
dalam minyak maupun dalam air. Bila emulgator tersebut lebih terikat pada air atau larut
dalam zat yang polar maka akan lebih mudah terjadi emulsi minyak dalam air (M/A), dan
sebaliknya bila emulgator lebih larut dalam zat yang non polar, seperti minyak, maka akan
terjadi emulsi air dalam minyak (A/M). Emulgator membungkus butir-butir cairan terdispersi
dengan suatu lapisan tipis, sehingga butir-butir tersebut tidak dapat bergabung membentuk
fase kontiniyu. Bagian molekul emulgator yang non polar larut dalam lapisan luar butir-butir
lemak sedangkan bagian yang polar menghadap ke pelarut air ( Ibnuhayyan, 2008 ).
Pada beberapa proses, emulsi harus dipecahkan. Namun ada proses dimana emulsi harus
dijaga agar tidak terjadi pemecahan emulsi. Zat pengemulsi atau emulgator juga dikenal
sebagai koloid pelindung, yang dapat mencegah terjadinya proses pemecahan emulsi,
contohnya:Gelatin, digunakan pada pembuatan es krim; Sabun dan deterjen; Protein; Cat dan
tinta; Elektrolit ( Ibnuhayyan, 2008 ).
Kestabilan Emulsi
Bila dua larutan murni yang tidak saling campur/ larut seperti minyak dan air,
dicampurkan, lalu dikocok kuat-kuat, maka keduanya akan membentuk sistem dispersi yang
disebut emulsi. Secara fisik terlihat seolah-olah salah satu fasa berada di sebelah dalam fasa
yang lainnya. Bila proses pengocokkan dihentikan, maka dengan sangat cepat akan terjadi
pemisahan kembali, sehingga kondisi emulsi yang sesungguhnya muncul dan teramati pada
sistem dispersi terjadi dalam waktu yang sangat singkat ( Ibnuhayyan, 2008 ).
Kestabilan emulsi ditentukan oleh dua gaya, yaitu:
1. Gaya tarik-menarik yang dikenal dengan gaya London-Van Der Waals. Gaya ini
menyebabkan partikel-partikel koloid berkumpul membentuk agregat dan
mengendap.
2. Gaya tolak-menolak yang disebabkan oleh pertumpang-tindihan lapisan ganda
elektrik yang bermuatan sama. Gaya ini akan menstabilkan dispersi koloid.
Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas emulsi, adalah:
1. Tegangan antar muka rendah
2. Kekuatan mekanik dan elastisitas lapisan antarmuka
3. Tolakkan listrik double layer
4. Relatifitas phase pendispersi kecil
5. Viskositas tinggi.
B. Bahan :
- Tween
- Gliserin
- Minyak Kelapa
- Air
Di laboratorium tidak tersedia emulgator Span, oleh kerena itu Span diganti dengan
gliserin yang memiliki nilai HLB 3,8. Perhitungan penimbangan menjadi :
(a × 15) + { (3 – a) × 3,8} = 3 × 5
15a + 11,4 - 3,8a = 15
11,2 a = 15 – 11,4
11,2 a = 3,6
a = 0,3214
Jadi jumlah Tween yang diperlukan adalaj 0,3214 gram dan jumlah gliserin
yang dibutuhkan adalah (3 – 0,3214) gram yaitu 2,6786 gram.
Dengan cara menghitung yang sama, untuk nilai HLB butuh minyak
berikutnya diperoleh data sebagai berikut :
B. Cara kerja
Campuran air ditambahkan ke dalam campuran minyak dan segera diaduk dengan pengaduk
Emulsi dimasukkan ke dalam tabung sedimentasi dan diberi
tanda sesuai dengan nilai HLB masing-masing.
Diamati jenis kestabilan emulsi yang terjadi selama 6 hari. Bila terjadi creaming, diukur tinggi
Ditentukan pada nilai HLB berapa emulsi tampak relatif paling stabil.
V. Hasil
Hasil
Dari pengukuran creaming yang telah dilakukan selama 5 hari setelah
pembentukan emulsi, diperoleh data sebagai berikut
VI. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan emulsifikasi. Percobaan ini bertujuan
agar mahasiswa mampu menghitung jumlah emulgator golongan surfaktan yang
digunakan dalam pembuatan emulsi, membuat emulsi dengan menggunakan emulgator
golongan surfaktan, mengevaluasi ketidakstabilan suatu emulsi dan menentukan HLB
butuh minyak yang digunkan dalam opembuatan emulsi.
Emulsi adalah suatu sistem dispersi yang secara termodinamik tidak stabil, terdiri
dari paling sedikit dua cairan yang tidak bercampur dan satu diantaranya terdispersi
sebagai globul-globul dalam cairan lainnya. (Tim Penyusun, 2009). Emulsi yang akan
dibuat pada percobaan ini adalah emulsi minyak dalam air. Kestabilan emulsi tergantung
dari emulgator yang digunakan. Creaming merupakan salah satu bentuk ketidakstabilan
emulsi yang akan diamati pada percobaan ini. Creaming merupakan suatu peristiwa
terjadinya lapisan-lapisan dengan konsentrasi yang berbeda-beda di dalam emulsi.
Lapisan dengan konsentrasi paling pekat akan berada di sebelah atas atau bawah
tergantung dari bobot jenis fase.
Pada percobaan emulsifikasi ini akan dibuat satu seri emulsi dengan nilai HLB
butuh masing-masing 5,6,7,8,9,10,11,12 dan 13. Bahan yang digunakan adalah minyak
dan air, sedangkan untuk emulgator digunakan emulgator kombinasi surfaktan yaitu
Tween 80 dan gliserin.
Proses pengerjaan diawali dengan menghitung jumlah Tween 80 dan gliserin yang
dibutuhkan untuk setiap nilai HLB butuh mulai dari HLB butuh 5 sampai HLB 13. Dari
hasil perhitungan diperoleh jumlah Tween 80 dan gliserin yang dibutuhkan adalah
sebagai berikut.
= 37 gram
Karena berat jenis air adalah 1 gram/mL jadi volume air yang ditambahkan adalah :
m
Volume air =
37 gram
= 1 g mL
= 37 mL
Pencampuran Tween 80 dengan air karena nilai HLB Tween 80 relatif tinggi yaitu
sebesar 15. Nilai HLB yang tinggi menunjukkan bahwa Tween 80 bersifat polar sehingga
dapat bercampur dengan air yang bersifat polar. Kedua erlenmeyer yang telah berisi
campuran tersebut kemudian dipanaskan di atas penangas air pada suhu 60o C selama 30
menit. Setelah dipanaskan, campuran minyak dimasukkan ke dalam campuran air dan
diaduk menggunakan pengaduk elektrik berupa besi magnet selama 5 menit dengan
kecepatan 500 rpm. Pengaduk elektrik digunakan untuk pengadukan campuran karena
pengaduk elektrik dapat mengaduk dengan kecepatan yang sangat tinggi dimana pada
pembuatan emulsi ini diperlukan pengadukan dengan kecepatan tinggi agar fase
terdispersi tidak menyatu lagi sehingga terbentuk emulsi yang baik. Pada saat peletakan
besi magnet ke dalam campuran diharapkan besi magnet terletak di tengah-tengah agar
proses pengadukan merata pada seluruh bagian campuran.
Dari data pada tabel di atas terlihat bahwa semua HLB mengalami creaming
sehingga dapat dikatakan tidak ada yang stabil. Tinggi creaming pada emulsi dengan
HLB 10 jauh lebih tinggi dibandingkan tinggi creaming pada emulsi lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa emulsi minyak kelapa dengan air pada HLB 10 paling tidak stabil
jika dibandingkan dengan emulsi pada HLB lainnya.
Dari data di atas yang terlihat dapat juga dijelaskan secara lebih terperinci satu
per satu dimulai dari emulsi I dengan nilai HLB 5 yang mengalami penurunan tinggi
emulsi dalam tabung sedimentasi pada hari ketiga yaitu dari 2,5 cm menjadi 2,4 cm
dan pada hari keempat juga terjadi penurunan tinggi emulsi dalam tabung sedimentasi
menjadi 2,2 cm. Dari hari ke-0 sampai hari kedua tinggi emulsi dalam tabung
sedimentasi tetap yaitu 2,5 cm, hal ini menunjukkan bahwa pada emulsi tidak lagi
terjadi proses creaming ke bawah.. Adapun creaming yang terbentuk pada emulsi I ini
mengarah ke bawah ( kecepatan sedimentasi positif ) yang ditandai dengan
menurunnya tinggi emulsi dalam tabung dan disebabkan oleh kerapatan fase
terdispersi ( dalam hal ini minyak ) yang lebih besar daripada kerapatan air sehingga
endapan cenderung bergerak ke bawah. Pada emulsi I dengan nilai HLB 5 ini, energi
bebas permukaan yang dihasilkan oleh proses creaming relatif rendah karena endapan
cenderung bergerak ke bawah mendekati fase emulsi. Oleh karena itu, ketidakstabilan
emulsi yang disebabkan oleh proses creaming ini dapat segera dikembalikan dalam
bentuk kestabilannya dengan pengocokan yang tidak terlalu kuat ( emulsi cenderung
stabil ).
Pada emulsi II dengan nilai HLB 6, mengalami peristiwa yang sama dengan
emulsi I yang memiliki nilai HLB 5 yaitu mengalami penurunan tinggi creaming
dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi II ini penurunan tinggi creaming terjadi pada
hari pertama yaitu dari 2,9 cm menjadi 2,8 cm, hari kedua terjadi penurunan tinggi
emulsi dalam tabung sedimentasi dari 2,8 cm menjadi 2,7 cm, dan pada hari keempat
juga terjadi penurunan tinggi creaming dari 2,7 cm menjadi 2,5 cm . Dari hari ke-2
sampai hari ke-3 tinggi emulsi dalam tabung sedimentasi tetap yaitu 2,7 cm, hal ini
menunjukkan bahwa pada emulsi dengan HLB 6 sama dengan emulsi pada HLB 5
yaitu emulsi tidak lagi terjadi proses creaming ke bawah.. Adapun creaming yang
terbentuk pada emulsi I ini mengarah ke bawah ( kecepatan sedimentasi positif ) yang
ditandai dengan menurunnya tinggi emulsi dalam tabung dan disebabkan oleh
kerapatan fase terdispersi ( dalam hal ini minyak ) yang lebih besar daripada
kerapatan air sehingga endapan cenderung bergerak ke bawah.
Pada emulsi III dengan nilai HLB 7, mengalami penurunan tinggi creaming
dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi III ini penurunan tinggi creaming terjadi pada
hari pertama yaitu dari 2,5 cm menjadi 2,3 cm, hari ketiga terjadi penurunan tinggi
emulsi dalam tabung sedimentasi dari 2,3 cm menjadi 2,2 cm, dan pada hari keempat
juga terjadi penurunan tinggi creaming dari 2,2 cm menjadi 2,0 cm . Dari hari ke-1
sampai hari ke-2 tinggi creaming dalam tabung sedimentasi tetap yaitu 2,3 cm.
Pada emulsi IV dengan nilai HLB 8, mengalami penurunan tinggi creaming
dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi IV ini penurunan tinggi creaming terjadi pada
hari pertama yaitu dari 3,3 cm menjadi 3,2 cm, dan pada hari keempat juga terjadi
penurunan tinggi creaming dari 3,2 cm menjadi 3,0 cm . Dari hari ke-1 sampai hari
ke-3 tinggi creaming dalam tabung sedimentasi tetap yaitu 3,2 cm.
Pada emulsi V dengan nilai HLB 9, mengalami penurunan tinggi creaming
dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi V ini penurunan tinggi creaming terjadi pada
hari pertama yaitu dari 3,1 cm menjadi 3,0 cm, pada hari kedua dari 3,0 cm menjadi
2,9 cm dan pada hari keempat juga terjadi penurunan tinggi creaming dari 2,9 cm
menjadi 2,5 cm . Dari hari ke-2 sampai hari ke-3 tinggi creaming dalam tabung
sedimentasi tetap yaitu 2,9 cm.
Pada emulsi VI dengan nilai HLB 10, mengalami penurunan tinggi creaming
dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi VI ini penurunan tinggi creaming terjadi pada
hari pertama yaitu dari 3,9 cm menjadi 3,8 cm, pada hari kedua dari 3,8 cm menjadi
3,5 cm dan pada hari keempat juga terjadi penurunan tinggi creaming dari 3,5 cm
menjadi 3,2 cm . Dari hari ke-2 sampai hari ke-3 tinggi creaming dalam tabung
sedimentasi tetap yaitu 3,5 cm.
Pada emulsi VII dengan nilai HLB 11, mengalami penurunan tinggi creaming
dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi VII ini penurunan tinggi creaming terjadi
pada hari pertama yaitu dari 3,4 cm menjadi 3,0 cm, pada hari kedua dari 3,0 cm
menjadi 2,4 cm, pada hari ketiga dari 2,4 cm menjadi 2,2 cm dan pada hari keempat
juga terjadi penurunan tinggi creaming dari 2,2 cm menjadi 1,9 cm. Pada emulsi
dengan HLB 11 ini tidak ada tinggi creaming yang tetap, setiap hari mengalami
perubahan tinggi creaming.
Pada emulsi VIII dengan nilai HLB 12, mengalami penurunan tinggi creaming
dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi VIII ini penurunan tinggi creaming terjadi
pada hari pertama yaitu dari 3,0 cm menjadi 2,8 cm, pada hari kedua dari 2,8 cm
menjadi 2,5 cm, pada hari ketiga dari 2,5 cm menjadi 2,1 cm dan pada hari keempat
juga terjadi penurunan tinggi creaming dari 2,1 cm menjadi 1,6 cm. Pada emulsi
dengan HLB 12 ini tidak ada tinggi creaming yang tetap, setiap hari mengalami
perubahan tinggi creaming.
Pada emulsi IX dengan nilai HLB 13, mengalami penurunan tinggi creaming
dalam tabung sedimentasi. Pada emulsi IX ini penurunan tinggi creaming terjadi pada
hari pertama yaitu dari 2,4 cm menjadi 2,1 cm, pada hari kedua dari 2,1 cm menjadi
1,9 cm dan pada hari keempat juga terjadi penurunan tinggi creaming dari 1,9 cm
menjadi 1,8 cm . Dari hari ke-2 sampai hari ke-3 tinggi creaming dalam tabung
sedimentasi tetap yaitu 1,9 cm.
Dari uraian diatas dapat terlihat bahwa, emulsi dengan nilai HLB 5, 6, dan 8
merupakan emulsi yang paling stabil karena memiliki laju creaming yang sangat kecil
sehingga tinggi creaming tidak berubah dalam beberapa hari. Sedangkan untuk emulsi
dengan nilai HLB 10,11,dan 12 merupakan emulsi yang paling tidak stabil karena
memiliki laju creaming yang sangat besar, karena sebagian besar terjadi perubahan
tinggi creaming setiap harinya. Namun jika dibandingkan antara emulsi dengan nilai
HLB 10,11,dan 12, yang paling tidak stabil adalah emulsi dengan HLB 11, sebab laju
penurunan creamingnya amat cepat dari tinggi creaming di hari percobaan sebesar 3,4
cm menjadi 1,9 cm di hari pengamatan keempat.
Jadi bila diurut, laju kestabilan emulsi dari kesembilan sample emulsi adalah
sebagai berikut
Emulsi I < Emulsi IV < Emulsi II < Emulsi III < Emulsi V < Emulsi IX < Emulsi VI <
Emulsi VIII < Emulsi VII
VII. Kesimpulan
1. Emulsi adalah suatu sistem dispersi yang secara termodinamika tidak stabil, terdiri
dari paling sedikit dua cairan yang tidak bercampur dan satu diantaranya terdispersi
sebagai globul-globul dalam cairan lainnya. Sistem ini umumnya distabilkan dengan
emulgator.
2. Creaming adalah suatu peristiwa terjadinya lapisan-lapisan dengan konsentrasi yang
berbeda-beda di dalam emulsi.
3. Emulsi dengan bahan air dan minyak kelapa menggunakan emulgator Tween dan
gliserin dengan HLB 5,6,7,8,9,10,11,12, dan 13 tidak stabil karena mengalami
creaming, dimana creaming yang terbentuk mengarah ke atas.
4. Diantara emulsi-emulsi yang diamati, emulsi yang paling tidak stabil adalah emulsi
dengan HLB 11, sebab laju penurunan creamingnya amat cepat dari tinggi creaming
di hari percobaan sebesar 3,4 cm menjadi 1,9 cm di hari pengamatan keempat.
5. Diantara emulsi-emulsi yang diamati, emulsi yang paling stabil adalah emulsi
dengan HLB 5, emulsi IV, sebab tinggi creaming pada emulsi dengan HLB 5 tidak
mengalami perubahan atau tetap pada hari ke-0 hingga hari ke-2.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. 2000. Ilmu Meracik Obat, Teori dan Praktek. Yogjakarta : Gadjah Mada
University Press
Anonim b. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
Ansel, Howard C, 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Jakarta : Universitas Indonesia
Press
Tim Penyusun. 2008. Buku Ajar Farmasi Fisik. Bukit Jimbaran : Jurusan Farmasi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana
Tim Penyusun. 2009. Petunjuk Praktikum Farmasi Fisik. Bukit Jimbaran : Laboratorium
Farmasi Fisik, Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Udayana