Tax Planning PPH Pasal 22
Tax Planning PPH Pasal 22
Tax Planning PPH Pasal 22
TAX PLANNING PPH PASAL 22, PASAL 23/26 dan PPH FINAL
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Tax Management
Dosen pengajar :
Ayu Noviani Hanum,SE.,M.Si.,Akt
DISUSUN OLEH :
Kelompok III
Kelompok III
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Perumusan Masalah
1.3. Tujuan Pembahasan
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 PPh Pasal 22
2.2 PPh Pasal 23
2.3 PPh Pasal 26
2.4 PPh Final Pasal 4 ayat 2
2.5 PPh Final Pasal 15
2.6 Tax Planning PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final
2.7 Tax Planning PPh Pasal 25 Orang Pribadi
BAB 3. Penutup
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Cara mudah yang dilakukan oleh pemerintah (Ditjen Pajak) untuk memungut pajak
adalah dengan cara mewajibkan wajib pajak melakukan pemungutan dan pemotongan atas
pajaknya, dari pihak lain (pihak ke-tiga), sesuai dengan kewajiban wajib pajak untuk
melakukan pemotongan atau pemungutan pajak, dan selanjutnya menyetorkan dan
melaporkannya ke kantor pajak setiap bulan berdasarkan ketentuan perpajakan.
Cara seperti ini dikenal dengan nama sistem withholding tax. Tugas pemerintah cukup
mengawasi saja, dan bila ada wajib pajak yang tidak menjalankan withholding tax dengan
benar, Ditjen Pajak tinggal menerapkan sanksi administrasi, yang akan menambah
pemasukan atau penerimaan Negara. Dengan sistem withholding tax, wajib pajak diwajibkan
untuk memotong, menyetorkan, dan mengadministrasikan pajak pihak lain (pihak ketiga).
Dalam praktiknya, masih saja kita temukan banyak wajib pajak yang tidak memiliki
informasi lengkap mengenai pajak apa saja yang harus dipotong atau dipungut. Sehingga
ketika wajib pajak melaksanakan transaksi pembayaran dan tidak melakukan pemotongan
atau pemungutan PPh, maka konsekuensi yang harus dihadapinya adalah, wajib pajak
tersebut akan dikenai tagihan atas pajak yang tidak/kurang dipungut/ dipotong, ditambah
dengan sanksi administrasi. Ketika wajib pajak pemungut dan pemotong pajak tersebut
memotong/memungut pajak yang seharusnya mereka potong/pungut, maka kepada mereka
akan dikenai sanksi perpajakan, tanpa ada kompensasi apa pun atas jumlah pajak yang
berhasil mereka potong/pungut, padahal wajib pajak pemotong/pemungut juga telah
mengeluarkan macam-macam biaya overhead (biaya pegawai, cetakan, dan biaya umum dan
administrasi lainnya) untuk penyelenggaraan administrasinya. Kaidah kecukupan penerimaan
negara dari sektor pajak tampaknya lebih menonjol dalam UU PPh yang baru yang
memberikan keleluasaan dan kewenangan bagi pemerintah dalam menentukan jenis-jenis
penghasilan yang merupakan objek withholding tax dan terus memperluas pengenaan
withholding tax ini seperti UU PPh No. 36 Tahun 2008.
1.2 Rumusan Masalah
1. Jelaskan apa itu tax planning dalam pph pasal 22, pph pasal 23/26, dan pph final?
2. Apa yang dimaksud dengan pph pasal 25 Orang Pribadi?
1.3 Tujuan
Untuk membantu para mahasiswa memahami tentang tax planning dalam pph pasal
22, pph pasal 23/26, dan pph final serta pph pasal 25 Orang Pribadi.
BAB 2
PEMBAHASAN
Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir, dikenai tarif sebesar O,5% dari
nilai impor.
Selain impor gandum dan tepung terigu oleh importir yang memiliki API tetap dikenai
2,55% dari nilai impor.
2. Yang tidak menggunakan API sebesar 7, 5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor.
3. Yang tidak dikuasai sebesar 7,5 % (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.
Atas impor barang yang. digunakan untuk kegiatan atau jasa yang atas imbalannya
semata-mata dikenakan PPh flnal, tidak dikenai IPPh Pasal 22 impor.
Jika kemudian diketahui bahwa atas impor tersebut tidak digunakan untuk kegiatan
yang tidak dikenakan PPh final, maka PPh Pasal 22 yang terutang akan ditagih beserta
dengan sanksi bunganya.
2. PajakPenghasilan Pasal 23
Tidak jarang terjadi dispute dalam bisnis tentang kewajiban memungut PPh Pasal 23,
di mana perusahaan pemilik proyek atau penerima jasa mengharuskan adanya pemungutan
atau pemotongan PPh Pasal 23 dari pihak ketiga, sedangkan pihak pemberi jasa (kontraktor)
tidak bersedia dipotong pajaknya karena tidak ada pasal pemotongannya dalam kontrak
perjanjian. Apabila perusahaan pemilik proyek tidak memotong PPh Pasal 23, dan transaksi
ini ditemukan oleh fiskus pada saat dilakukan pemeriksaan pajak, maka perusahaan pemilik
proyek akan dikenai kewajiban untuk membayar PPh Pasal 23 (withholding tax) yang
terutang ditambah denda keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.
Solusinya:
1. Nilai transaksi harus di gross up, misalnya sewa bangunan Rp 72 juta, di gross up
menjadi 100/90 x Rp 72 juta= Rp 80 juta. Bila jumlah transaksi dalam kontrak sudah
termasuk pajak yang harus dipungut, maka atas jumlah pajak yang dibayarkan (Rp 80
juta Rp 72 juta = Rp 8 juta) boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali untuk PPh final
dan dividen.
2. Namun bila Perusahaan pemilik proyek membayarkan sendiri PPh Pasal 23 yang
terutang (PPh ditanggung) tanpa di gross up (jadi 10% x Rp 72 juta = Rp 7,2 juta),
maka pajak yang dibayarkan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Agar biaya sewa bangunan tersebut bisa dibiayakan, termasuk pajaknya (deductible),
maka kontrak perjanjian tersebut harus diubah dulu, termasuk mengubah invoice, faktur
pajak, clan dokumen lain yang mengakomodir pemotongan pajak PPh Pasal 23 atas transaksi
pembayaran sewa bangunan tersebut, agar terdapat kesesuaian antara penerima dan pemberi
jasa. Jadi kontrak perjanjian harus direvisi dengan mencantumkan nilai sewa bangunan
setelah di gross up sebesar Rp 80 juta, dan setelah itu pemilik gedung memotong PPh Pasal
4(2) final 10% x Rp 80 juta = Rp 8 juta, dan menyetorkannya ke kas negara atau bank
persepsi.
Perubahan Tarif PPh Pasal 23
UU PPh yang baru No. 36 Tahun 2008i telah menurunkan Tarif PPh Pasal 23 yang semula
15% menjadi:
1. 15% dari peredaran bruto atas dividen, bunga, royalti, dan hadiah, penghargaan,
bonus, dan. sejenisnya.
2. 2% dari peredaran bruto atas jasa-jasa seperti sewa, jasa manajemen, jasa konstruksi,
jasa konsultan, dan jasa lainnya.
Yang masih cukup tinggi biaya pajaknya adalah pajak atas bunga, yakni 15% dari
pinjaman. Setting dengan berkembangnya bisnis syariah, kesadaran untuk menghindari
penggunaan terminologi bunga telah membuka cakrawala baru bagi pebisnis dan tax. planner.
Mereka jadi cenderung membuat perjanjian bagi basil (fee) atas peminjaman uang sebagai
pengganti bunga. Substansi bagi hasiI perlakuan perpajakannya sama dengan bunga pinjaman
yang harus dipotong PPh Pasal 23 dengan tarif 15%, mengingat bahwa si pemberi pinjaman
bukanlah lembaga keuangan yang mendapat izin operasional dari menteri keuangan. Kalau di
Bank Syariah sudah jelas bahwa bagi basil yang diterima atau diperoleh nasabah penyimpan
atau nasabah investor dengan nama dan dalam bentuk apa pun dikenai PPh sesuai ketentuan
PPh atas bunga.
1. Dividen; kecuali yang diterima oleh PT, BUMN/BUMD, koperasi, dengan syarat
kepemilikan saham minimal 25% (kecuali koperasi) dan dividen tersebut diambil dari laba
ditahan.
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian
utang.
3. Royalti.
4. Hadiah dan penghargaan lain ”selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
b. 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan
oleh koperasi, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan menteri
keuangan.
c. 2% dari imbalan bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta yang telah dikenai PPh Final.
d. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Penggunaan Metode Gross Up atas Pajak Penghasilan PPh Pasal 26/21/23 Yang
Ditanggung Oleh Pemberi Penghasilan/Pemberi Kerja
Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap termasuk Pajak
Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali:
a. Pajak atas pengha-silan sebagaimana dimaksu'd dalam Pasal 26 ayat (1). UU PPh
tetapi tidak termasuk dividen.
b. Sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghi tungan dasar untuk
pemotongah pajak.
Pajak Penghasilan, sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 dapat
ditanggung oleh pemberi penghasilan atau pemberi kerja, dengan perlakuan perpajakan
sebagai berikut:
Dalam hal PPh 21 ditanggung oleh pemberi Ipenghasilan, sesuai dengan ketentuan
perpajakan, pajak tersebut diperlakukan sama seperti kenikmatan, yaitu sebagai bukan biaya
pemberi kerja dan bukan penghasilan pegawal yang menerimanya.
Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (l) kecuali dividen yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, dapat dibebankan sebagai
biaya sepanjang pajak tersebut ditambahkan (gross up) pada penghasilan yang dipakai
sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 tersebut.
Contoh:
PT ABC membayar bunga pinjaman kepada bank di luar negeri sebesar Rp 100.000.000 yang
sesuai dengan perjanjian, Pajak Penghasilannya ditanggung oleh badan tersebut. Tarif
pemotongan PPh Pasal 26 yang berlaku adalah 20%.
Dasar Pengenaan PPh Pasal 26 =
100/80 x Rp 100.000.000 = Rp 125.000.000
PPh Pasal 26 yang terutang =
20% x Rp 125.000.000 = Rp 25.000.000
Jumlah biaya bunga yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto PT ABC
adalah Rp 125.000.000 (=Rp 100.000.000 + Rp 25.000000).
Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 23 pada SPT Tahunan PPh Badan dengan SPT
Masa PPh Pasal 23
Ekualisasi pajak adalah mencocokan data di SPT (pencocokannya disajikan terperinci
per transaksi) dengan pos-pos yang terdapat di buku-buku pengeluaran/pembelian/penjualan
yang memiliki hubungan dalam pembukuan dan atau laporan jenis pajak yang lain (baik
sebagian maupun keseluruhan).
Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasa123, jumlah penghasilan bruto dalam
SPT Masa PPh Pasal 23 dicocokan dengan pos pengeIuaran yang menjadi objek pemotongan
PPh Pasal 23.
Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh Pasal 23
yang ditemukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga manyebabkan terbitnya SKP Kurang Bayar
dari hasil pemeriksaan tersebut.
Hal ini disebabkan karena:
1. Ditemukannya biayaabiaya yang menjadi objek PPh Pasal 23 yang belum dilakukan
pemotongan oleh wajib pajak pemberi kerja
2. Jumlah PPh Pasal 23 yang disetorkan ke kas negara tidak cocok atau lebih rendah dari
jumlah yang dipotong oleh wajib pajak
3. Jumlah PPh Pasal 23 yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan tidak cocok
dengan SPT PPh Masa PPh Pasal 23.
4.
Contoh:
Berikut ini adalah rekapitulasi dari ekualisasi PPh Pasal 23:
- Jumlah PPh Pasal 23 menurut tax review, bardasarkan
penjumlahan transaksi dari keseluruhan objek PPh Pasal 23 Rp 400.000.000
- Jumlah PPh Pasal 23 menurut SPT Masa PPh Pasal 23 Rp
200.000.000
Kekurangan bayar atau setor: PPh Pasal 23 Rp 200.000.000
Hasil ekualisasi tersebut mengindikasikan adanya potensi kekurangan bayar atau setor
PPh Pasal 23 sebesar Rp 200.000.000 yang harus dilakukan pengecekan lebih lanjut oleh
wajib pajak terhadap bukti-bukti pendukung dan transaksi-transaksi apa saja yang dimuat
dalam kontrak perjanjian yang sudah disetujui.
4. Pajak Penghasilan Pasal 26
Objek pengenaan PPh Pasal 26 mirip dengan PPh Pasal 23. Perbedaannya adalah PPh Pasal
26 ini dikenakan kepada wajib pajak luar negeri (WPLN). Dalam PPh Pasal 26 ini tarif
pemotongan atas pembayaran kepada WPLN adalah 20 %, dengan memperhatikan ada
tidaknya tax treaty (P3B, Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda). Kalau tax treaty nilai
efektifnya 10%, tapi bisa juga 5% dan bisa juga 0%.
Imbalan Sehubungan dengan Jasa, Pekerjaan, dan Kegiatan
1. Bila ada Tax Treaty
a. Jika pemberian jasa oleh WPLN kurang dari time test (uji waktu):
Tidak ada BUT, maka Indonesia tidak berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang
diterima oleh WPLN.
b. Jika Pemberian Jasa oleh WPLN melebihi time test (uji waktu)
Ada BUT. maka Indonesia berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh
WPLN bersangkutan
2. Bila Tidak Ada Tax Treaty
a. Jika pemberian jasa oleh WPLN kurang dari time test (uji waktu):
Tidak ada BUT, maka Indonesia mengenakan pajak:
b. Jika pemberian jasa oleh WPLN melebihi time test (uji waktu):
Ada BUT, maka Indonesia mengenakan pajak:
2. Dikenakan sébesar 20% dari perkiraan penghasilan neto Clan bersifat final atas penghasilan
WPLN berupa:
a. Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia (20% x 25% x harga jual).
b. Premi asuransi yang dibayarkan ke luar negeri:
1) Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri oleh tertanggung (20% X
50% jumlahpremi)
2) Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi LN oleh perusahaan asuransi yang
berkedudukan di Indonesia (20% X 10% X jumlah premi).
3) Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi LN, oleh perusahaan reasuransi yang
berkedudukan di Indonesia (20% X 5% X jumlah premi).
Apabila transaksi yang terjadi adalah antara penduduk Indonesia dengan penduduk
negara lain yang telah memiliki tax treaty, maka ketentuan yang digunakan mengacu pada
ketentuan tax treaty.
Agar pemotongan pajak bisa dilakukan sesuai tax treaty. WPLN harus dapat
menunjukkan dan memberikan Certificate of Residence Taxpayer (CRT) atau Certificate of
Domicile ( COD) , atau surat keterangan domisili pembayar pajak dari competent authority di
negaranya.
Penggunaan Metode Gross Up atas Pajak Penghasilan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26
yang Ditanggung oleh Pemberi Penghasilan/Pemberi Kerja
(Pasal 4 huruf d PP. Nomor 138 Tahun 2000)
Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, termasuk Pajak
Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali:
a. Pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) UU PPh tetapi tidak
termasuk dividen.
b. Sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk
pemotongan pajak.
Pajak Penghasilan, sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 21 dan PPh pasal 26
dapat ditanggung oleh pemberi penghasilan atau pemberi kerja.
Dalam hal PPh Pasal 21 ditanggung oleh pemberi penghasilan atau pemberi kerja. sesuai
dengan ketentuan perpajakan, pajak tersebut diperlakukan sama seperti kenikmatan, yaitu
sebagai bukan biaya pemberi kerja dan bukan penghasilan pegawai yang menerimanya.
Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (l) kecuali dividen yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, dapat dibebankan sebagai
biaya sepanjang pajak tersebut ditambahkan (grossmp) pada penghasilan yang dipakai
sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 tersebut.
Contoh-1 :
PT ABC membayar bunga pinjaman kepada bank di luar negeri sebesar Rp100.000.000 yang
sesuai dengan perjanjian, Pajak Penghasilannya ditanggung oleh badan tersebut. Tarif
pemotongan PPh Pasal 26 yang berlaku adalah 20%.
Dasar Pengenaan PPh Pasal 26 =
100/80 x Rp 100.000.000 = Rp 125.000.000
PPh Pasal 26 yang terutang =
20% x Rp 125.000.000 = Rp 25.000.000
Jumlah biaya bunga yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto PT ABC adalah
Rp 125.000.000 (=Rp 100.000.000 + Rp 25.000.000).
Pph pasal 22 merupakan pembayaran pph dalam tahun berjalaan yang di pungut oleh :
a) Bendaharawan pemerintah baik pusat atau daerah , industry atau lembaga pemerintah
dan lembaga lembaaga negar lainnya sehubungan dengan pembayaran ats penyerahan
barang .
b) Bahan bahan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenan dengan
kegiatan di bidng impor atau kegiatan usaha dibidang lainnya.
c) Wajib pajak badan yang melakukan penjuaan barang yang tergolong sangat mewah.
Pajak penghasilan pasal 23 merupakan pajak penghasilan yang dipotong atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal
dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan usaha selain yang telah
dipotong pajak penghasilan pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan
pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Besarnya tarif pajak penghasilan pasal 23 dibagi menjadi 3 kelompok: 1)sebesar 15% untuk
penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, dan hadiah, penghargaan, bonus, dan
sejenisnya yang belum terkena pajak penghasilan pasal 21.
2) sebesar 2% untuk penghasilan yang diperoleh dari persewaan dan jasa. 3) apabila pada
poin 1 dan 2 tidak memiliki NPWP, maka pajaknya sebesar 100%.
Pajak Penghasilan Final (PPh Final) adalah pajak yang dikenakan dengan tarif dan
dasar pengenaan pajak tertentu atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama tahun
berjalan. Pembayaran, pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan Final (PPh Final)
yang dipotong pihak lain maupun yang disetor sendiri bukan merupakan pembayaran dimuka
atas PPh terutang akan tetapi merupakan pelunasan PPh terutang atas penghasilan tersebut,
sehingga wajib pajak dianggap telah melakukan pelunasan kewajiban pajaknya.
DAFTAR PUSTAKA