2016 Epidemiologi Untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat
2016 Epidemiologi Untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat
2016 Epidemiologi Untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat
1. Epidemiologi I. Judul
614. 4
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun,
termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit
2015.1474 RAJ
Najmah, SKM, MPH
EPIDEMIOLOGI: Untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat
PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Anggota IKAPI
Kantor Pusat:
Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok 16956
Tel/Fax : (021) 84311162 – (021) 84311163
E-mail : [email protected] Http: //www.rajagrafindo.co.id
Perwakilan:
Jakarta-16956 Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Depok, Telp. (021) 84311162.
Bandung-40243, Jl. H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi, Telp. 022-5206202. Yogyakarta-Perum. Pondok Soragan Indah Blok
A1, Jl. Soragan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Telp. 0274-625093. Surabaya-60118, Jl. Rungkut Harapan Blok A No. 09, Telp.
031-8700819. Palembang-30137, Jl. Macan Kumbang III No. 10/4459 RT 78 Kel. Demang Lebar Daun, Telp. 0711-445062.
Pekanbaru-28294, Perum De' Diandra Land Blok C 1 No. 1, Jl. Kartama Marpoyan Damai, Telp. 0761-65807. Medan-20144, Jl.
Eka Rasmi Gg. Eka Rossa No. 3A Blok A Komplek Johor Residence Kec. Medan Johor, Telp. 061-7871546. Makassar-90221, Jl.
Sultan Alauddin Komp. Bumi Permata Hijau Bumi 14 Blok A14 No. 3, Telp. 0411-861618. Banjarmasin-70114, Jl. Bali No. 31
Rt 05, Telp. 0511-3352060. Bali, Jl. Imam Bonjol Gg 100/V No. 2, Denpasar Telp. (0361) 8607995. Bandar Lampung-35115,
Jl. P. Kemerdekaan No. 94 LK I RT 005 Kel. Tanjung Raya Kec. Tanjung Karang Timur, Hp. 081222805479.
Yang Tercinta
Mamah Enni Erosa (ALM) dan Papah. Usman Nurdin
Ma’e Sumiati dan Pa’e Sayuti
Abi Kusnan Sayuti
Dua ratu kami, Queency Qoryra Himada &
Maitreya Adilla Sultanah
P
uji syukur kehadirat Allah Swt. dengan ridhonya akhirnya buku“
Epidemiologi untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat” ini dapat
diselesaikan. Kami menyambut baik penerbitan buku ini karena
dengan adanya buku ini dimungkinkan para mahasiswa lebih mudah dalam
mempelajari ilmu epidemiologi. Buku ini dapat dijadikan sebagai buku
acuan bagi mahasiswa, dosen dan para praktisi dalam penerapan ilmu
epidemiologi di lapangan. Buku ini secara garis besar memuat informasi
mengenai perhitungan dasar epidemiologi, skrining, standardisasi, faktor
perancu, desain epidemiologi serta telaah kritis di bidang epidemiologi.
Pada kesempatan ini saya selaku Dekan FKM Unsri mengucapkan
terima kasih pada penulis semoga ke depan lebih bersemangat lagi
dalam menghasilkan karya ilmiah berupa pemikiran maupun tulisan
guna pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kesehatan
masyarakat. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam penerbitan buku ini, PT RajaGrafindo
Persada. Dengan adanya buku ini diharapkan dapat meningkatkan mutu
proses belajar mengajar, terciptanya atmosfer akademik yang lebih kondusif
vii
sehingga berdampak terhadap peningkatan kompetensi mahasiswa. Semoga
buku ini bermanfaat bagi kita semua.
Indralaya, 2 Desember 2014
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sriwijaya
viii EPIDEMIOLOGI
KOMENTAR PEMBACA
***
Gaya penulisan menarik dan sangat pas untuk mahasiswa dan praktisi
kesehatan masyarakat, good job, Najmah.
***
“Buku ini menyajikan pembelajaran epidemiologi yang inovatif
dengan menggunakan bahasa yang sederhana. Dengan contoh perhitungan
yang dipaparkan secara bertahap namun komprehensif, buku ini akan
mampu memberi kemudahan bagi mahasiswa dalam memahami ilmu
epidemiologi”.
ix
Dwidjo Susilo, SE, MBA, MPH
Alumni School of Population Health University of Melbourne, bekerja
sebagai Tenaga Ahli Jaminan Sosial
pada GIZ Social Protection Program
***
“An excellent book on a difficult and complex subject. Convoluted Concepts
have been explained and communicated in elaborate manner with simplicity, easy to
understand format, reinforced by attractive illustrations and comprehensive tabulation.
Recommended reading for Medical students and researchers in public health”.
***
Epidemiologi merupakan salah satu ilmu yang wajib dipahami oleh
mahasiswa maupun praktisi kesehatan khususnya bidang Kesehatan
Masyarakat. Melalui buku ini, mahasiswa lebih mudah mempelajari
dan memahami epidemiologi karena menggunakan gaya penulisan yang
komunikatif dan informatif. Selain itu, buku ini juga disertai dengan
ilustrasi atau contoh kasus, dan latihan soal-soal sehingga mahasiswa
dapat langsung mengaplikasikan ilmu epidemiologi.
x EPIDEMIOLOGI
KATA PENGANTAR
D
engan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah Swt.
karena atas Ridho, Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan buku “Epidemiologi untuk Mahasiswa
Kesehatan Masyarakat”. Buku ini disusun guna mempermudah
mahasiswa D3 Kesehatan, S1 dan S2 dan praktisi khususnya di bidang
Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran dalam mengaplikasikan Ilmu
Epidemiologi terkait epidemiologi dasar, perhitungan-perhitungan dasar
epidemiologi, skrining/penapisan, standardisasi, faktor perancu, surveilans,
studi desain epidemiologi, serta telaah kritis pada studi klinis dan
observasional, perhitungan sampel dan ilmu epidemiologi lainnya. Pada
setiap bab, penulis memberikan contoh dari beberapa penelitian penulis
dan peneliti lainnya dari beberapa referensi sehingga dapat meningkatkan
pemahaman pembaca dan dapat dipelajari secara berkesinambungan.
Dalam proses penulisan buku ini penulis tentunya mendapatkan
bantuan dari semua pihak yang tulus dan ikhlas memberikan sumbangan
berupa pikiran, bimbingan, dorongan dan nasehat. Untuk itu rasa terima
kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:
1. Subdit HKI dan Publikasi Direktorat Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian
Kata Pengantar xi
xi
Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memfasilitasi penulis dalam
program hibah penulisan buku ajar Perguruan Tinggi tahun 2014.
2. Prof. dr. Siti Fatimah Muis, M.Sc., SpGK guru besar Universitas
Diponegoro sebagai pendamping/penyunting buku ini, yang telah
meluangkan waktu dan pikirannya untuk membantu merevisi buku
ini.
3. Rektor Universitas Sriwijaya, Prof. Badia Perizade, Dekan Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya, Hamzah Hasyim, SKM,
MKM (Dekan periode 1) dan Iwan Stia Budi, SKM, M.Kes (Dekan
periode 2) serta para Pembantu Dekan FKM Unsri beserta Kaprodi
FKM Unsri serta Ketua Lembaga Penelitian Unsri.
4. Rekan kerja di lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sriwijaya.
5. Kedua Orang Tua Eni Erosa (Almh) dan Usman Nurdin yang selalu
mengutamakan pendidikan bagi anaknya dalam kondisi keterbatasan.
Saudara saya: M. Reza Arsyadi & Etty Yulianti, Rina Nur’ain &
Iskandarian, M. Faris Nurdiansyah & Yunita Lestari, M. Nirwan Fauzan
& Widyawaiti, Rumiaty dan Sulaiman dan Karmina dan Halim untuk
tali persaudaraan yang tiada akhir.
6. Suami tercinta Kusnan Sayuti, SE dan anak-anakku Queency dan
Adila, terima kasih atas cinta dan kasih sayang kalian.
7. Teman-teman yang telah membantu menelaah dan proses pengeditan
buku ini, Prof. Sori Muda Saraumpaet (USU), dr. Husnil Farouk,
MPH, Rini Mutahar, SKM, MKM, Misnaniarti, SKM, MKM, Feranita
Utama, SKM, M.Kes, Fenny Etrawati, SKM, MKM Yeni, SKM, MKM,
Ririn Yaumil Pratiwi, SKM, Ima Fransiska, S.Sos, serta mahasiswaku
yang kreatif Harun Al Rasyid, SKM, Adelina Fitri, SKM dan Rusyda
Ihwani Tantia Nova, SKM dan teman-teman lainnya yang tidak bisa
disebutkan satu persatu.
8. Terima kasih untuk tim E-Learning , Tri Novia Kumalasari, SKM, M.Kes
dan Harun Al Rasyid, SKM terlibat langsung dalam mendesain slides
dan video interaktif untuk mendukung pembelajaran buku ini.
xii EPIDEMIOLOGI
9. Almamaterku tercinta, MI Azhariah Palembang, SMP N 35 Palembang,
SMU N 8 Palembang, Prodi IKM FK Unsri, School of Population Health-
The University of Melbourne, Australia.
xv
Latihan Epidemiologi Dasar 25
Daftar Pustaka 25
xvi EPIDEMIOLOGI
D. Aplikasi Penilaian Faktor Perancu dengan
Mantel-Haenszel 87
E. Batasan Utama Faktor Perancu (confounding) 91
F. Ringkasan 91
Latihan Faktor Perancu 92
Daftar Pustaka 94
xviii EPIDEMIOLOGI
BAB 9 TELAAH KRITIS PENELITIAN
OBSERVASIONAL EPIDEMIOLOGI 189
A. Penelitian Observasional dalam Epidemiologi 190
B. Istilah-Istilah Penting dalam Telaah Kritis
Penelitian Observasional Epidemiologi 190
C. Pedoman Pelaporan Studi Desain Operasional 193
Latihan 1: Telaah Kritis Artikel Penelitian
Kasus Kontrol 197
Latihan 2: Telaah Kritis Artikel Penelitian
Kasus Kontrol 203
Latihan 3: Telaah Kritis Studi Desain Potong
Lintang, Kasus Kontrol dan Kohort 204
D. Ringkasan 204
Daftar Pustaka 205
xxi
Tabel 13 Hubungan antara sumber informasi dan sikap terhadap
ODHA (analisis lanjut data SDKI 2007) 46
Tabel 14 Status imunisasi polio dan kejadian polio paska PIN
2010 48
Tabel 15 Kasus kontrol pengggunaan helm dan luka pada kepala 48
Tabel 16 Angka kematian kasar penyakit jantung Iskemik pada
lelaki pada beberapa negara, 1995-1998 52
Tabel 17 Perbedaan standardisasi langsung dan tidak langsung 54
Tabel 18 Proses perhitungan pada standardisasi langsung 56
Tabel 19 Contoh beberapa populasi standar yang umum 58
Tabel 20 Data kejadian kesakitan akibat Demam Berdarah Dengue
(DBD) di dua kecamatan di Kota Palembang 59
Tabel 21 Perhitungan standardisasi langsung kejadian kematian
akibat Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan
IT II distandardisasi oleh data di Kecamatan Sematang
Borang Kota Palembang 60
Tabel 22 Angka kematian karena DBD di IT II sebelum dan
sesudah distandardisasi 62
Tabel 23 Standardisasi langsung angka kematian penyakit jantung
Iskemik pada laki-laki di Jerman terhadap populasi dunia
sebagai standar 63
Tabel 24 Proses standardisasi langsung angka kematian penyakit
jantung Iskemik pada laki-laki di Jerman terhadap
populasi dunia sebagai standar(1) 64
Tabel 25 Proses perhitungan pada standardisasi tidak langsung
(1, 3)
66
Tabel 26 Proses perhitungan Standardisasi Tidak Langsung
(SMR) untuk penyakit jantung Ischemik pada laki-laki
di Brazil dibandingkan dengan populasi standar Jerman 68
Tabel 27 Perhitungan standardisasi tidak langsung kejadian
kematian akibat Demam Berdarah Dengue (DBD) di
Kecamatan IT II distandardisasi oleh data di Kecamatan
Sematang Borang Kota Palembang 69
Tabel 28 Standardisasi langsung angka kematian penyakit jantung
Iskemik pada laki-laki di Jerman terhadap populasi
Afrika sebagai standar 71
xxii EPIDEMIOLOGI
Tabel 29 Jumlah kasus baru pada penyakti Z pada komunitas A
dan B 72
Tabel 30 Analisis faktor yang berkaitan pada akses layanan jarum
dan alat suntik steril (LJASS) dan perilaku penggunaan
jarum dan alat suntik tidak steril 76
Tabel 31 Rasio Prevalensi Perilaku Merokok setelah dikontrol
oleh variabel Perancu 77
Tabel 32 Risiko kematian dalam periode 20 tahun pada wanita di
Whickham, Inggris, berdasarkan status merokok pada
awal periode 79
Tabel 33 Risiko kematian dalam periode 20 tahun pada wanita
Whickham, Inggris berdasarkan status perokok di awal
periode dan berdasarkan usia 81
Tabel 34 Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung 83
Tabel 35 Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung
distratifikasi dengan variabel aktivitas fisik 83
Tabel 36 Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung
distratifikasi dengan variabel aktivitas fisik 85
Tabel 37 Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung
distratifikasi dengan variabel aktivitas fisik 86
Tabel 38 Asosiasi antara aktivitas fisik dan penyakit jantung 86
Tabel 39 Stratifikasi faktor paparan dan outcome oleh faktor
perancu 88
Tabel 40 Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung 89
Tabel 41 Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung
distratifikasi dengan variabel aktivitas fisik 89
Tabel 42 Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung
distratifikasi dengan variabel aktivitas fisik 90
Tabel 43 Perhitungan odds rasio untuk hubungan antara alkohol
dan kanker paru-paru 93
Tabel 44 Stratifikasi hubungan antara alkohol dan kanker paru
oleh status merokok 93
Tabel 45 Skrining/penapisan gejala malaria berdasarkan tes darah
mikroskopis pada Kecamatan A Provinsi X 107
Tabel 46 Data hasil tes HIV pada pengguna narkoba suntik pada
Provinsi X di Negara Z 112
Tabel 47 Tipe studi desain observasional 118
xxiv EPIDEMIOLOGI
DAFTAR GAMBAR
xxvi EPIDEMIOLOGI
Gambar 29 Alur studi desain kohort 132
Gambar 30 Alur desain penelitian Randomised Controlled Trial
(RCT)(1,2) 134
Gambar 31 Alur desain penelitian Cluster Controlled Trial (CRCT)
(1,2)
134
Gambar 32 Aplikasi studi eksperimen terhadap studi kasus
PTRM dan kematian akibat overdosis atau HIV/
AIDS dan BBV 136
Gambar 33 Generalisasi hasil penelitian pada sampel ke populasi 140
Gambar 34 Langkah-langkah dalam menyeleksi sampel penelitian 144
Gambar 35 Klasifikasi teknik sampling secara umum 146
Gambar 36 Aplikasi teknik klaster 149
Gambar 37 Skema pengiriman data 180
Gambar 38 Jenis penelitian observasional secara garis besar:
potong lintang (cross sectional), kohort (cohort), dan
kasus kontrol (case-control) 190
Gambar 39 Peta pemikiran penelitian pemodelan kawasan
tanpa rokok (non-smoking area modeling) pada tingkat
rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir’ (lihat abstrak
penelitian pada studi kasus) 209
Gambar 40 Teknik pemilihan sampel 218
Gambar 41 Belly Bra 226
Gambar 42 Tulbigrip (Control) 226
Silakan Menikmati
Video dan Slides Perkuliahan Epidemiologi.
Have Fun...
xxviii EPIDEMIOLOGI
Bab 1
EPIDEMIOLOGI DASAR
1
A. Pendahuluan
K
etika Anda bertugas sebagai detektif kesehatan/detektif penyakit
(Disease Detective) dalam suatu kasus HIV di Indonesia, apa yang
Anda akan lakukan dengan melihat grafik pada Gambar 1?
45000
40000
Incidence of HIV/AIDS
35000
30000
25000
20000
15000
10000 AIDS
5000
HIV
0
1987-
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
2005
AIDS 5234 3642 4762 5231 6610 7392 8133 10659 11493 7875 6081
HIV 859 7195 6048 10362 9793 21591 21031 21511 29037 32711 30935
Year
70
60
30
20
10
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Men Women
Gambar 1. Jumlah kasus HIV dan kasus AIDS di Indonesia dari tahun 1987-
November 2015 dan proporsi Insidens HIV berdasarkan jenis kelamin (1, 2)
2 EPIDEMIOLOGI
4. ..............................................................................................................
5. ..............................................................................................................
6. dan seterusnya
Tuliskan sebanyak mungkin apa yang ada dalam pikiran Anda, dan
apa yang akan Anda lakukan dengan mengamati gambar?
Kita akan mencoba mengidentifikasi apa yang seharusnya Anda lakukan
sebagai detektif kesehatan atau kita kenal dengan istilah epidemiologis;
1. Bagaimana gambaran distribusi HIV di Indonesia?
2. Apakah karakteristik orang dengan HIV ditinjau dari jenis kelamin,
umur, tempat tinggal, profesi?
3. Apa saja faktor-faktor (determinan) yang memengaruhi peningkatan
jumlah kasus HIV di Indonesia; tingkat pengetahuan HIV, penularan
tinggi di kelompok risiko tinggi, kurangnya penggunaan kondom pada
wanita pekerja seksual dan pria berisiko tinggi, seperti sopir truk luar
kota.
4. Bagaimana riwayat penyakit HIV?
5. Berapa angka kesakitan dan kematian penderita HIV?
6. Bagaimana penularan HIV?
7. Bagaimana cara mengendalikan penularan HIV/AIDS di Indonesia?
Berdasarkan Gambar 1 banyak hal yang harus dipelajari dalam
epidemiologi, mulai dari definisi, tujuan epidemiologi, konsep segitiga
epidemiologi, riwayat alamiah penyakit, tingkat pencegahan penyakit,
perhitungan epidemiologi dan ilmu epidemiologi dasar lainnya sehingga
bisa menghasilkan kebijakan kesehatan yang tepat. Pada bab ini pembuka
ini, kita akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan epidemiologi dasar.
4 EPIDEMIOLOGI
Tabel 1. Penjelasan definisi epidemiologi
Term Penjelasan
Studi Terdiri dari, surveilans pengamatan, pengujian hipo
tesis, penelitian dan percobaan analitis.
Distribusi Merujuk pada analisis: waktu, orang, tempat dan
kelompok orang yang terkena dampak.
Determinan Meliputi faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan:
biologi, kimia, fisik, sosial, budaya, ekonomi, genetik
dan perilaku.
Kondisi kesehatan Merujuk kepada: penyakit, penyebab kematian, perilaku
seperti penggunaan tembakau, keadaan kesehatan
yang positif, reaksi terhadap upaya pencegahan dan
penyediaan dan penggunaan layanan kesehatan.
Populasi Spesifik Termasuk orang-orang dengan karakteristik yang dapat
diidentifikasi, seperti kelompok kerja.
Penerapan pencegahan Tujuan kesehatan masyarakat mempromosikan,
dan pengendalian melindungi, dan memulihkan kesehatan.
Sumber: Bonita (2006) dan Last (2001)(4, 5)
C. Sejarah Epidemiologi
Epidemiologi merupakan ilmu yang sudah berkembang, bahkan sejak
ribuan tahun sebelum disiplin klinis berkembang dengan pesat seperti saat
ini. Hippocrates merupakan tokoh pertama yang mulai mengembangkan
‘bibit/tunas’ ilmu epidemiologi ini, lebih dari 2000 tahun yang lalu.
Hippocrates (460-375 BC) menyadari bahwa faktor lingkungan dan
perilaku dapat memengaruhi kejadian penyakit. Pada masa The Dark
Ages dan Middle Ages (AD 500-1500) menjelaskan tentang sebab akibat
perkembangan suatu penyakit. Pengenalan metode kuantitatif pada
epidemiologi dilakukan oleh John Graunt (1620-1674) yang mempelajari
dan membandingkan gambaran dan register data kematian dan kelahiran
pada kelompok umur berbeda, laki-laki dan perempuan dan trend kematian.
Dia juga menciptakan the life-table pertama kali. Kemudian, perkembangan
ini berlanjut hingga abad kesembilan belas di mana distribusi penyakit
pada kelompok populasi tertentu ditemukan dalam jumlah yang cukup
besar.(3, 6)
Temuan paling bermakna dalam bidang epidemiologi adalah temuan
yang dilakukan oleh John Snow. Snow menemukan bahwa adanya hubungan
antara air minum yang dipasok oleh perusahaan setempat dengan kejadian
kolera di London, Inggris. Penelitian Epidemiologi Snow adalah satu
bentuk aspek dari serangkaian luas investigasi yang mencoba menilai
hubungan antara aspek fisik, kimia, biologi, sosiologi dan politik.(6) John
Snow mendatangi rumah setiap orang yang meninggal akibat kolera di
London selama 1848-1849 dan 1853-1854, dan mencatat hubungan
6 EPIDEMIOLOGI
yang jelas antara sumber air minum dan
Petunjuk !
kematian akibat penyakit kolera tersebut.
Dia membandingkan kematian kolera Hippocrates “faktor
di wilayah dengan persediaan air yang lingkungan dapat
memengaruhi kejadian
berbeda seperti yang ada pada tabel di
penyakit”.
bawah ini dan menunjukkan bahwa baik John Snow “hubungan antara
jumlah kematian dan tingkat kematian air minum yang disuplai oleh
lebih tinggi di antara orang-orang yang perusahaan setempat dengan
kejadian kolera di London”.
disediakan oleh perusahaan air Southwark.
(3, 6)
Tabel 2. Angka kematian penyakit kolera di wilayah London yang disuplai oleh
perusahaan air minum (8 Juli–26 Agustus 1845)
Angka Kematian
Perusahaan Jumlah Populasi Kasus Mati
Kolera (per 1000
Air Minum tahun 1851 Kolera
orang)
Soutwark 167.654 844 5.0
Lambeth 19.133 18 0.9
Sumber: Bonita, 2006,
(6)
Transmisi/Penularan
Agen Pejamu
Lingkungan
Gambar 2. Triad epidemiologi
8 EPIDEMIOLOGI
P A
A P
L L
A : Agen
P A A B P : Pejamu
A P L : Lingkungan
L L A P
C D
L
1. Rantai Penularan
Penyakit menular terjadi sebagai hasil interaksi antara agen, pejamu
dan lingkungan serta proses transmisi di antaranya. Pengendalian penyakit
tersebut dapat mencakup perubahan satu atau lebih dari komponen ini,
yang semuanya dipengaruhi oleh lingkungan.Penyakit ini dapat memiliki
berbagai efek dan bervariasi, mulai dari infeksi, kemudian kondisi
normal seperti biasa (tanpa tanda-tanda atau gejala), kemudian penyakit
bertambah parah dan berakhir pada kematian. Tujuan utama epidemiologi
penyakit menular adalah untuk memperjelas proses infeksi dengan tujuan
mengembangkan, melaksanakan dan mengevaluasi langkah-langkah
pengendalian penyakit dengan tepat. Pengetahuan tentang masing-masing
faktor dalam rantai infeksi mungkin diperlukan sebelum intervensi yang
dilakukan kecuali untuk penyakit rantai penularan khusus/spesifik.(6)
Misalnya, HIV dapat dicegah dengan penggunaan kondom pada kelompok
berisiko HIV, tetapi pengetahuan tentang pentingnya kondom saja tidak
dapat mencegah penularan HIV tanpa kesadaran dan komitmen negara
untuk memfasilitasi akses terhadap kondom sehingga epidemik HIV dapat
ditekan jumlahnya di Indonesia.
Vektor
Vehicle
Melalui Udara
Sumber: Centers for Disease Control and Prevention. Principles of epidemiology, 2nd ed. Atlanta: U.S. Department of
Health and Human Services; 1992(7)
10 EPIDEMIOLOGI
Istilah Definisi
Zoonosis Zoonosis mengacu pada penyakit menular yang ditularkan
secara alamiah dari hewan vertebrata ke manusia,
contohnya brucellosis (sapi dan babi), anthrax (domba),
plague (hewan pengerat), trichinellosis/trichinosis (babi),
tularemia (kelinci), dan rabies (kelelawar, musang, anjing,
dan mamalia lainnya).
Vektor Binatang, paling sering arthropoda (misalnya serangga),
yang menularkan zat pathogen dari orang yang terinfeksi
dan ditularkan ke individu yang rentan/berisiko.
Portal of Exit Jalan di mana patogen meninggalkan inangnya.
Portal keluar biasanya sesuai dengan tempat di mana
patogen berada. Misalnya, virus influenza dan bakteri
Mycobacterium tuberculosis ke luar dari saluran
pernapasan, schistosomes melalui urin, vibrio kolera di
tinja. Beberapa agen yang ditularkan melalui darah dapat
keluar dengan menyeberangi plasenta dari ibu ke janin
(rubella, sifilis, toksoplasmosis), sementara yang lain
keluar melalui luka atau jarum pada kulit (hepatitis B) atau
arthropoda penghisap darah (malaria).
Pintu Masuk Mengacu pada cara patogen memasuki pejamu yang
(Portal of Entry) rentan. Pintu masuk ke pejamu harus melalui ke jaringan
tubuh di mana patogen dapat berkembang biak atau racun
dapat menyebar.
Transmisi Langsung Kontak langsung adalah penularan penyakit melalui kulit
(direct contact) ke kulit (skin to skin), ciuman, dan hubungan seksual.
Kontak langsung juga mengacu pada kontak dengan tanah
atau vegetasi . Misal, infeksi mononukleosis (“mencium
penyakit”) dan Gonore yang menyebar dari orang ke orang
melalui kontak langsung. Cacing tambang menyebar melalui
kontak langsung dengan tanah yang terkontaminasi.
Transmisi tidak Transmisi tidak langsung mengacu pada penularan agen
langsung infeksius dari reservoir ke pejamu oleh partikel tersuspensi
udara (air borne), benda mati (vehicle), atau vektor.
Sumber: Centers for Disease Control and Prevention (1992), Last, 2001.
BIOLOGIK
GIZI FISIKA
FISIK KIMIA
Gambar 5. Agen bisa meliputi, agen biologik (virus, bakteri, protozoa), nutrisi
(lemak jenuh, kurang serat), dan fisika (cahaya, kelembaban)(8)
12 EPIDEMIOLOGI
sangat rendah hingga sangat tinggi. Atau dengan kata lain, kemampuan
agen penyakit untuk menyebabkan keparahan/stadium lanjut hingga
kematian. Virulensi dihitung dari jumlah kasus klinis yang parah/
stadium lanjut dibagi dengan jumlah individu yang terinfeksi. Tingkat
virulensi dipengaruhi oleh jumlah bakteri, jalur masuk ke tubuh inang,
mekanisme pertahanan inang, dan faktor virulensi bakteri.
d. Reservoir Agen adalah habitat alami agen, yang mungkin termasuk
manusia, hewan dan sumber lingkungan.
e. Sumber infeksi adalah orang atau objek tempat pejamu ditularkan
oleh agen penyebab penyakit. Informasi dari reservoir dan sumber
infeksi dibutuhkan untuk membuat langkah-langkah pengendalian
yang efektif. Sumber infeksi yang penting adalah orang sebagai carier
(pembawa) di mana ia terinfeksi namun tidak menunjukkan gejala-
gejala klinis. Durasi pembawa penyakit bervariasi antara agen. Karier
bisa jadi asimtomatik sepanjang perjalanan infeksi atau karier mungkin
terbatas pada tahap tertentu dari penyakit. Karier memainkan peran
besar dalam penyebaran penyakit ke seluruh dunia seperti Human
Immunodeficiency Virus (HIV) karena transmisi seksual sengaja selama
periode tanpa gejala yang panjang.
3. Pejamu
Faktor pejamu atau host adalah orang atau hewan termasuk burung
dan artopoda yang menyediakan tempat yang cocok untuk agen infeksius
agar tumbuh dan berkembang biak dalam kondisi alamiah. Titik-titik
masuk (portal of entry) ke pejamu bervariasi dengan agen dan termasuk
kulit, selaput lendir, dan pernapasan dan saluran pencernaan.(6) Faktor
penjamu bisa meliputi faktor genetik, riwayat penyakit, umur, jenis
kelamin, psikologi, fisiologi dan imunitas.(8)
Sebagai contoh Imunisasi Pasif. Antibodi dibentuk sebagai bagian
dari respons kekebalan alami terhadap patogen dapat diperoleh dari donor
darah dan setelah terkena/terpajan beberapa penyakit (seperti rabies,
difteri, varicella-zoster dan hepatitis B) kepada orang-orang yang belum
diimunisasi secara memadai. Transmisi pasif lainnya seperti antibodi dari
GENETIK
IMUNITAS RIWAYAT
PENYAKIT
FISIOLOGI UMUR
PSIKOLOGI
Gambar 6. Faktor penjamu bisa meliputi faktor genetik, riwayat penyakit, umur,
jenis kelamin, fisiologi dan imunitas(8)
4. Lingkungan
Faktor lingkungan adalah semua unsur di luar dari faktor individu
pejamu yang memengaruhi status kesehatan populasi, meliputi faktor
sosial ekonomi, lingkungan biologi dan lingkungan fisik. Lingkungan
memainkan peran penting dalam perkembangan penyakit menular. Sanitasi
umum, suhu, polusi udara, cuaca, dan kualitas air merupakan beberapa
faktor yang memengaruhi semua tahap dalam rantai infeksi. Nyamuk akan
sangat mudah berkembang biak pada musim hujan. Selain itu, faktor sosial
ekonomi, seperti kepadatan kondisi perumahan, ketersediaan makanan,
kepadatan penduduk dan kemiskinan adalah sangat penting(3, 4, 8) (lihat
Gambar 7).
14 EPIDEMIOLOGI
SOSIAL
FISIK
EKONOMI
BIOLOGI
16 EPIDEMIOLOGI
Sumber: Dirjen P2PL Depkes RI, 2006
18 EPIDEMIOLOGI
yang bisa menyerang ODHA dan memperpanjang usia harapan hidup
ODHA. Ketika orang dengan HIV telah masuk ke fase AIDS, di mana
kondisi mereka mengalami berbagai komplikasi akibat makin melemahnya
sistem kekebalan tubuh seperti komplikasi TBC, diare kronis yang tidak
sembuh-sembuh. Yang dilakukan adalah perawatan medis secara intensif
dengan tambahan obat-obat lainnya untuk pencegahan tersier, sehingga
angka harapan hidup penderita AIDS bisa bertambah, walaupun untuk
saat ini AIDS belum dapat disembuhkan dan berakhir dengan kematian.
20 EPIDEMIOLOGI
dasari mengarah bahaya/efek negatif kesehatan masyarakat dan
ke penyebab bagi kesehatan promosi kesehatan.
Primer Faktor penyebab Mengurangi insiden Perlindungan kesehatan dengan Jumlah populasi, kelompok
spesifik penyakit upaya pribadi dan komunal, seperti yang dipilih dan individu
meningkatkan status gizi, memberikan yang sehat; dicapai melalui
imunisasi, dan menghilangkan risiko kebijakan kesehatan
lingkungan. masyarakat.
Sekunder Tahap awal Mengurangi prevalensi Langkah-langkah yang tersedia bagi Individu yang berisiko
Penyakit penyakit dengan mem individu dan masyarakat untuk tinggi dan pasien; dicapai
perpendek riwayat deteksi dini dan intervensi cepat melalui pengobatan
alamiah penyakit untuk mengendalikan penyakit & pencegahan.
meminimalkan kecacatan (misalnya
melalui program skrining).
Tersier Tahap akhir Mengurangi jumlah Tindakan yang bertujuan memini pasien; dicapai melalui
penyakit dan dampak malisir dampak penyakit jangka panjang rehabilitasi.
komplikasi dan cacat; mengurangi masa sakit;
memaksimalkan produktivitas.
Sumber: Bonita (2006)(6)
1. Pencegahan Primordial
Tujuan dari pencegahan primordial adalah meningkatkan dan
memelihara kondisi yang meminimalkan efek negatif bagi kesehatan.
Seperti contoh kasus merokok. Merokok banyak menyebabkan penyakit
seperti gangguan paru dan kanker Paru di masa akan datang. Dengan
memberlakukan kebijakan melarang mengiklankan rokok di media cetak
dan elektronik, meningkatkan pajak rokok, menciptakan kawasan tanpa
rokok dan kebijakan kesehatan lainnya yang mendukung preventif perilaku
merokok terutama pada usia muda.(6) Walaupun di Indonesia kebijakan-
kebijakan ini tidak mudah dilakukan karena banyaknya kepentingan pihak-
pihak industri dan pekerja industri tembakau dari masyarakat menengah
ke bawah. Program-program tersebut perlu melibatkan sektor pertanian,
industri makanan dan sektor impor/ekspor makanan. Contoh tingkat
pencegahan primordial lainnya adalah program untuk mempromosikan
aktivitas fisik secara teratur untuk mengurangi penyakit degeneratif di
kemudian hari.(6) Di negara maju yang memiliki kasus penyakit tidak
menular cukup tinggi, banyak masyarakatnya melakukan aktivitas fisik
dalam kehidupan sehari-hari seperti menggunakan sepeda, jalan kaki
menuju ke sekolah ataupun kantornya yang didukung oleh fasilitas
pengendara sepeda dan pejalan kaki yang baik.
2. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah untuk membatasi timbulnya
penyakit dengan mengendalikan penyebab spesifik dan faktor risiko. Upaya
pencegahan primer dapat diarahkan pada seluruh masyarakat dengan tujuan
untuk mengurangi risiko rata-rata (strategi berbasis massa atau populasi);
atau orang-orang yang berisiko tinggi sebagai akibat dari paparan tertentu
(strategi berbasis individu yang berisiko tinggi).(6)
Keuntungan utama dari strategi populasi adalah seseorang tidak
harus mengidentifikasi kelompok berisiko tinggi tetapi hanya mengurangi
(dengan jumlah yang kecil) faktor risiko yang ada pada seluruh populasi.
Kerugian utamanya adalah strategi ini memberikan sedikit manfaat
untuk banyak orang karena sebagian memiliki risiko absolut terhadap
penyakit yang cukup rendah. Sebagai contoh, kebanyakan orang akan
22 EPIDEMIOLOGI
sulit dan mahal.(6) Menggabungkan strategi berbasis populasi dan strategi
berbasis individu berisiko tinggi berguna dalam banyak situasi.
Beberapa contoh lainnya yang termasuk pencegahan primer adalah
penyuluhan secara intensif, perbaikan rumah sehat, perbaikan gizi,
peningkatan higiene perorangan dan perlindungan terhadap lingkungan
yang tidak menguntungkan, memberikan imunisasi, perlindungan kerja
dan nasihat perkawinan dan pendidikan seks yang bertanggung jawab.(8)
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan mengurangi konsekuensi yang lebih
serius dari penyakit melalui diagnosis dini dan pengobatan. Ini mencakup
langkah-langkah yang tersedia bagi individu dan populasi untuk mendeteksi
dini dan intervensi yang efektif. Pencegahan ini diarahkan pada periode antara
timbulnya penyakit dan masa diagnosis, dan bertujuan untuk mengurangi
prevalensi penyakit. Pencegahan sekunder dapat diterapkan hanya untuk
penyakit dengan riwayat alamiah yang jelas mencakup masa inkubasi,
subklinis dan klinis yang jelas, untuk mudah diidentifikasi dan diobati,
sehingga perkembangan penyakit ke tahap yang lebih serius dapat dihentikan.
Dua persyaratan utama agar program pencegahan sekunder dapat bermanfaat
adalah metode yang aman dan akurat mendeteksi penyakit (lebih baik pada
tahap praklinis) dan metode intervensi yang efektif.(6, 8)
Yang termasuk dalam pencegahan sekunder adalah penyempurnaan
dan intensifikasi pengobatan lanjutan agar penyakit tidak bertambah
parah, pencegahan terhadap komplikasi maupun cacat setelah sembuh,
perbaikan fasilitas kesehatan sebagai penunjang, dan pengurangan beban-
beban nonmedis (sosial) pada seorang penderita sehingga termotivasi
untuk meneruskan pengobatan dan perawatan diri.(8) Berikut contoh
langkah-langkah pencegahan sekunder yang banyak digunakan meliputi
pengujian penglihatan dan pendengaran pada anak usia sekolah, skrining
untuk tekanan darah tinggi di usia pertengahan, pengujian untuk gangguan
pendengaran pada pekerja pabrik, dan pengujian kulit dan data radiografi
untuk diagnosis tuberkulosis.(6)
F. Ringkasan
Epidemiologi mempelajari tentang distribusi dan determinan
kejadian penyakit dan kondisi kesehatan lainnya pada populasi umum
atau khusus untuk memberikan masukan kebijakan kesehatan dalam
mengontrol masalah kesehatan. Tujuan dari ilmu epidemiologi adalah
1) Mengidentifikasi penyebab penyakit dan faktor risiko terkait; 2)
Menentukan seberapa luas atau banyak penyakit ditemukan di populasi;
3) Mempelajari riwayat penyakit alamiah dan prognosis penyakit; 4)
Mengevaluasi pelayanan dan pencegahan kesehatan yang sudah ada dan
yang terbarukan; 5) Menyediakan dasar dalam mengembangkan kebijakan
kesehatan terkait dengan masalah lingkungan, isu genetik dan pertimbangan
lain menyangkut pencegahan penyakit dan promosi kesehatan.
Kondisi kesehatan dipengaruhi oleh triad epidemiologi terdiri dari
agen, pejamu dan lingkungan. Ketiga faktor ini saling terkait dan bersinergi
satu sama lain. Ketika salah satu dimensi tidak seimbang, misal ketika
imunitas pejamu rentan atau lingkungan cuaca berubah, atau jumlah
sumber penyakit bertambah, akan menyebabkan ketidakseimbangan
kesehatan seseorang yang akan menyebabkan sakit.
Oleh karena itu, diperlukan empat tingkat pencegahan, sesuai dengan
fase yang berbeda dalam perkembangan penyakit, yaitu primordial, primer,
24 EPIDEMIOLOGI
sekunder dan tersier. Masing-masing level tersebut terdapat faktor atau
kondisi yang berperan yang dapat menyebabkan penyakit. Tujuan dari
pencegahan primordial adalah meningkatkan dan memelihara kondisi yang
meminimalkan efek negatif bagi kesehatan sedangkan tujuan pencegahan
primer adalah untuk membatasi timbulnya penyakit dengan mengendalikan
penyebab spesifik dan faktor risiko. Pada pencegahan sekunder bertujuan
mengurangi konsekuensi yang lebih serius dari penyakit melalui diagnosis
dini dan pengobatan. Ini mencakup langkah-langkah yang tersedia bagi
individu dan populasi untuk mendeteksi dini dan intervensi yang efektif,
dan tahap pencegahan akhir yaitu tersier untuk mengurangi perkembangan
atau komplikasi penyakit dan merupakan aspek penting dari pengobatan
terapi dan rehabilitasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ministry of Health-Indonesia. (2015). Report of Situation Analysis of HIV
AIDS in 2015 (update Nov 2015). Jakarta: Depkes RI. Retrieved from
http://www.aidsindonesia.or.id/list/7/Laporan-Menkes
2. Najmah, 2016, PGR9: Empowering women living with HIV in Indonesia
(Draft), The Auckland University of Technology: Auckland.
26 EPIDEMIOLOGI
Bab 2
PERHITUNGAN DALAM
EPIDEMIOLOGI
27
A. Pendahuluan
K
etika kita sebagai peneliti ataupun tenaga kesehatan di dinas
kesehatan, kita akan mengumpulkan data, baik secara primer
maupun sekunder, seperti data tentang karakteristik responden
penelitian, data kasus penyakit, data perilaku berisiko wanita, dan lain-lain.
Sebagai epidemiologis, bagaimana kita membuat data ini lebih bermakna
dan dapat bermanfaat bagi kebijakan kesehatan? Salah satu cara yang kita
lakukan adalah melakukan berbagai perhitungan dalam epidemiologi.
Perhitungan dalam epidemiologi diperlukan untuk menggambarkan
kondisi kesehatan masyarakat, menilai hubungan antara paparan (faktor
risiko) dengan penyakit atau masalah kesehatan lainnya, dan menilai
dampak dari suatu paparan terhadap penyakit dan masalah kesehatan
lainnya. Dengan adanya perhitungan epidemiologi ini dapat diketahui risiko
seseorang untuk mengalami masalah kesehatan dan pada akhirnya berguna
untuk pengendalian dan pencegahan masalah kesehatan. Mari kita pahami
dulu konsep sehat dan sakit, definisi kasus/penyakit dan definisi populasi
berisiko terlebih dahulu sebelum melakukan perhitungan epidemiologi.
28 EPIDEMIOLOGI
WHO (1948), mendefinisikan “Health is a state of complete physical, mental
and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity”. Kesehatan
yang dimaksud dalam definisi WHO ini, mengandung 3 (tiga) hal yakni
sempurna secara fisik, sempurna secara mental, dan sempurna secara
sosial. Selain itu sehat tidak hanya dibatasi oleh terbebas dari penyakit
atau terbebas dari kelemahan. Definisi ini mendapat kritik karena sulit
mendefinisikan dan mengukur yang dimaksud dengan kondisi sempurna.(2)
Definisi kesehatan juga disampaikan oleh Davey et al (1984), yang
menyatakan “Health is defined as the ability for the individual to function in a
way which is acceptable to the group from which they belong”. Dalam definisi
ini, kesehatan akan sangat tergantung dari kelompok di mana individu
berada. Di Misalnya, negara-negara barat, perilaku seks di luar menikah
adalah hal yang biasa, untuk Indonesia sendiri hal tersebut merupakan
perilaku menyimpang. Sehingga bagi masyarakat Indonesia, individu yang
melakukan seks di luar nikah merupakan individu yang sakit secara sosial.
Fisik
Mental
KONDISI SEMPURNA/
SEHAT SECARA: Produktif
Sosial
Spiritual
30 EPIDEMIOLOGI
Sebagai contoh, seseorang diidentifikasi sebagai penderita TB Paru apabila
telah menunjukkan gejala dan tanda seperti batuk lebih dari dua minggu,
dan ditemukan bakteri penyebab TB Paru pada pemeriksaan sputum.
Penyakit hepatitis diidentifikasi bila ditemukan antibodi dalam darah,
penyakit asbestosis diidentifikasi bila ada tanda dan gejala perubahan
spesifik pada paru, adanya fibrosis jaringan paru pada hasil radiografi
atau adanya pengentalan pleura dan HIV dideteksi dengan tes HIV
pertama adalah untuk menguji antibodi dalam darah atau air liur. Jika
tes HIV ini positif, tes HIV kedua disebut Western blot dilakukan untuk
sebagai konfirmasi tes pertama.(2) Contoh lainnya, orang yang mengalami
gangguan kejiwaan seperti pasien Schizopenia, secara fisik mereka terlihat
sehat, namun secara emosional sosial dan psikologis mereka termasuk
kategori sakit.
Emosional
Fisik
KONDISI ABNORMAL/
MELEMAHNYA: Intelektual
Psikologi
Sosial
32 EPIDEMIOLOGI
D. Angka Kematian dan Angka Kesakitan
Ukuran frekuensi dalam epidemiologi dapat berupa angka kematian
dan angka kesakitan. Beberapa ukuran kematian antara lain sebagai berikut.
34 EPIDEMIOLOGI
∑ Kematian yang terjadi dalam kelompok usia dan jenis kelamin*
Angka Kematian Spesifik = x 1.000
Estimasi ∑ populasi pada kelompok usia dan jenis kelamin *
Contoh:
a. Pada hasil sensus penduduk di Kota Z tahun 2005, didapatkan
kematian bayi umur < 1 tahun sebanyak 356 bayi, dan didapatkan
pada tahun tersebut terdapat 521.390 kelahiran bayi baru. Hitung
Angka Kematian Bayi di Kota Z pada tahun tersebut?
Penyelesaian:
356
= x 1.000
521.390
36 EPIDEMIOLOGI
b. Pada hasil sensus penduduk di Kabupaten A tahun 2008, didapatkan
kelahiran bayi sebanyak 3.067.800 bayi lahir. Pada tahun tersebut
terdapat jumlah kematian ibu akibat persalinan sebanyak 320 ibu,
sedangkan kematian bayi pada umur < 28 hari sebanyak 220 bayi.
Hitung angka kematian neonatal dan angka kematian ibu di Kabupaten
A tersebut!
Penyelesaian:
220
= x 1.000
3.067.800
38 EPIDEMIOLOGI
Tabel 8. Faktor yang memengaruhi prevalensi
Prevalensi meningkat bila: Prevalensi menurun bila:
Durasi penyakit yang panjang Durasi penyakit yang singkat
Perpanjangan hidup pasien tanpa Tingginya angka fatalitas penyakit
pengobatan
Peningkatan jumlah kasus baru Penurunan jumlah kasus baru
Masuknya kasus baru ke dalam Masuknya kasus orang-orang yang
populasi sehat ke dalam populasi
Keluarnya orang-orang yang sehat Keluarnya orang-orang yang sakit
Masuknya orang-orang mungkin Meningkatnya angka pengobatan
terkena penyakit kasus
Meningkatnya fasilitas diagnosis
sehingga laporan lebih baik
∑ kejadian baru *
Angka Insiden = x 1.000
∑ Populasi yang berisiko *
*pada waktu tertentu
40 EPIDEMIOLOGI
Tabel 9. Perbedaan prevalensi dan insidensi
Prevalensi Insidensi
Numerator Jumlah kasus yang ada dari Jumlah kasus baru dari suatu
suatu penyakit pada satu penyakit selama periode
waktu tertentu waktu tertentu
Denominator Populasi berisiko Populasi berisiko
Fokus Ada atau tidak adanya Ketika kejadian adalah kasus
penyakit baru
Periode waktu berubah-ubah; Permulaan waktu dari
kadang sebuah potret waktu penyakit
Penggunaan Mengestimasi kemungkinan Memperlihatkan risiko untuk
populasi menjadi sakit pada menjadi sakit. Pengukuran
periode waktu selama studi utama pada penyakit atau
(penelitian) kondisi akut, tetapi juga
digunakan untuk penyakit
kronis.
Lebih banyak digunakan
pada studi (penelitian) yang
menginvestigasi penyebab.
Sumber : Bonita, 2006(2)
Paparan
Ya Tidak Total
Penyakit
Ya A B M1 = a+b
Tidak C D M0 = c+d
Total N1 = a+c N0 = b+d T = a+b+c+d
42 EPIDEMIOLOGI
• Bila hasil perhitungan > 1, artinya paparan merupakan faktor risiko
penyakit, paparan meningkatkan risiko terkena penyakit tertentu.
• Bila hasil perhitungan < 1, artinya paparan memiliki efek protektif
terhadap penyakit, paparan melindungi atau mengurangi risiko
penyakit tertentu.
Sebagai contoh sebuah penelitian kohort ingin melihat risiko orang
yang merokok untuk terkena kanker paru di Provinsi X. Pada awal penelitian
sebanyak 5.000 orang yang merokok dijadikan subjek penelitian dan 5.000
orang lainnya sebagai kelompok pembanding (tidak merokok). 20 tahun
kemudian diketahui di antara 5.000 orang yang merokok 200 orang di
antaranya mengalami kanker paru, dan di antara 5.000 orang yang tidak
merokok terdapat 50 orang yang mengalami kanker paru. Hitunglah
risiko relatif kelompok yang merokok untuk terkena penyakit kanker paru
dibandingkan dengan kelompok yang tidak terpapar (perhatikan Tabel 11).
Tabel 11. Data penelitian kohort merokok untuk terkena kanker paru di
Provinsi X
Paparan
Merokok Tidak merokok Jumlah
Penyakit
Kanker paru 200 50 250
Tidak kanker paru 4.800 4.950 9.750
Jumlah 5.000 5.000 10.000
a
Insidensi kumulatif kelompok terpapar ( )
N1
Risk Rasio = = 0,04 : 0.01 = 4
Insidensi kumulatif kelompok tidak terpapar ( b )
N0
a
Odds Kasus ( )
b
Odds Rasio (OR) =
Odds Kontrol ( c )
d
Tabel 12. Gejala klinis difteri di Kabupaten Bangkalan pasca sub PIN difteri Tahun
2012(12)
Tidak imunisasi dan tidak lengkap
imunisasi DPT dasar
Difteri Klinis + - Total
+ 24 7 31
- 41 83 124
Total 65 90 155
Sumber: Utama, 2013
44 EPIDEMIOLOGI
a
Odds Kasus ( )
b
Odds Rasio (OR) = = ( 24/7) : 41/83 = 6.94
Odds Kontrol ( c )
d
(OR – 1)
Attributable Fraction (AF) = x 100
OR
(6.94 – 1)
Attributable Fraction (AF) = x 100 = 85,6%
6.94
Tabel 13. Hubungan antara sumber informasi dan sikap terhadap ODHA (analisis
lanjut data SDKI 2007)
Sikap terhadap ODHA
Sumber Informasi
Negative Positif Total
Media 8.270 6.416 14.686
Non Media 2.810 2.969 5.779
11.080 9.385 20.467
Sumber: Yeni dkk, 2011
F. Ringkasan
Perhitungan dalam epidemiologi bertujuan supaya data yang dihasilkan
memiliki makna dan interpretasi penting untuk dunia kesehatan.
Perhitungan dalam epidemiologi diperlukan untuk menggambarkan kondisi
kesehatan masyarakat, menilai hubungan antara paparan (faktor risiko)
46 EPIDEMIOLOGI
dengan penyakit atau masalah kesehatan lainnya, dan menilai dampak dari
suatu paparan terhadap penyakit dan masalah kesehatan lainnya. Dengan
adanya perhitungan epidemiologi ini dapat diketahui risiko seseorang
untuk mengalami masalah kesehatan dan pada akhirnya berguna untuk
pengendalian dan pencegahan masalah kesehatan. Ada berbagai macam
perhitungan, dari angka kematian, kesakitan, angka prevalensi, insiden
hingga perhitungan risk rasio, odds rasio dan prevalensi rasio.
Angka kematian kasar adalah sebuah estimasi proporsi orang yang
meninggal pada suatu populasi selama periode waktu tertentu. Ada
beberapa istilah dari angka kematian jika dispesifikasikan berdasarkan
kelompok tertentu :1)Angka kematian ibu merupakan risiko meninggal dari
penyebab yang berhubungan dengan kelahiran anak; 2) Angka kematian
neonatal atau bayi baru lahir adalah jumlah kematian bayi usia kurang
dari 28 hari pada periode tertentu, biasanya dalam satu tahun per 1.000
kelahiran hidup pada tahun yang sama; 3) Angka kematian bayi merupakan
angka kematian pada anak yang usianya kurang dari satu tahun; 4) Angka
kematian dapat ditampilkan berdasarkan kelompok khusus dalam populasi,
seperti umur, ras, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografis, atau spesifik
kematian akibat penyakit tertentu.
Ukuran asosiasi dalam epidemiologi merupakan ukuran yang
digunakan untuk melihat hubungan paparan dengan penyakit. Ukuran ini
dapat diekspresikan dalam bentuk ukuran rasio dan ukuran beda beberapa
ukuran rasio di antaranya adalah risk rasio, odds rasio, dan rasio prevalensi.
Informasi yang didapat mengenai status paparan dan penyakit. Hasil
perhitungan dapat diinterpretasikan: bila hasil perhitungan = 1, artinya
tidak ada asosiasi antara paparan dan penyakit, hasil perhitungan > 1,
artinya paparan merupakan faktor risiko penyakit dan hasil perhitungan
< 1, artinya paparan memiliki efek protektif terhadap penyakit.
Tabel 14. Status imunisasi polio dan kejadian polio paska PIN 2010
Tidak imunisasi dan tidak lengkap imunisasi Polio
+ - Total
Polio + 34 5 39
- 42 120 162
Total 76 125 201
Tabel 15. Kasus kontrol penggunaan helm dan luka pada kepala
Luka pada Kepala
Kasus Kontrol Total
Penggunaan
Tidak 67 140 207
Helm
Ya 31 126 157
Total 98 266 364
Sumber: Webb, 2005, hal. 111
48 EPIDEMIOLOGI
DAFTAR PUSTAKA
1. Ryadi S, Wijayanti. Dasar-dasar Epidemiologi. Jakarta: Salemba Medika.
2011. P.10-11
2. Bonita R, Baeglehole R, Kjellstorm T. Basic of Epidemiology.
Switzerland: WHO Press; 2006. (cited. Available from: http://
whqlibdoc.who.int/publications/2006/9241547073_eng.pdf. p.15-36
3. Kemenhumham Indonesia. UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
Journal (serial on the Internet). 2009 Date: Available from: http://www.
pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/UU_36_Tahun_2009%5B1%5D.pdf.
4. Last JM. A Dictionary of Epidemiology. Edition F, editor. New York: Oxford
University Press. 2001. P.52
5. Timmreck TC. Epidemiologi Suatu Pengantar. Jakarta: EGC; 2004.
6. Webb P, Bain C, Pirozzo S. Essential Epidemiology, An Introduction for
Students and Health Professionals. New York: Cambridge University Press.
2005. P.28-60, 89-115
7. Bhopal RS, editor. Concepts of Epidemiology: An Integrated Introduction to
the Ideas, Theories, Principles and Methods of Epidemiology. United State:
Oxford University Press. 2002.
8. Murti B. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 1997.
9. Depkes RI. Laporan Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta:
Balitbangkes Depkes RI. 2008.
10. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Depkes RI.
2011.
11. Department of Health-Indonesia. Basic Health Research -RISKESDAS.
Jakarta: Department of Health-Indonesia. 2010.
12. Utama F. Determinan Kejadian Difteri Klinis di Kabupaten Bangkalan
Pasca Sub PIN Difteri Tahun 2012. Thesis. In press 2013.
13. Yeni, Rini Mutahar, Najmah. Determinants of Indonesian People
Attitudes Towards People Living with HIV/AIDS (PLWHA). International
Journal of Public Health Research 2011(Spesial Edition):218-22.
STANDARDISASI DALAM
EPIDEMIOLOGI
51
A. Pendahuluan
U
ntuk mengetahui apakah angka kematian atau kesakitan satu
jenis penyakit di suatu provinsi/negara lebih tinggi atau lebih
rendah dari provinsi/negara lain, biasanya kita membandingkan
angka kematian/kesakitan kasar pada penyakit tertentu. Sehingga kita
bisa mengukur apakah tingkat kematian/kesakitan di suatu negara dapat
menjadi tolak ukur tingkat kesehatan pada suatu negara dibandingkan
di negara lain. Misalnya, jika kita perhatikan Tabel 16 di bawah ini,
angka kematian kasar atau crude rate ratio dari penyakit jantung iskemik
pada negara maju seperti, Jerman, Australia, Kanada, 4 kali lebih tinggi
daripada negara Jepang dan Brazil. Hal yang patut dianalisis yaitu ‘apakah
perbandingan ini tepat dan adil?’ melihat kemungkinan perbedaan sebaran
populasi pada setiap negara dan jumlah kasus yang ada.(1)
52 EPIDEMIOLOGI
karena itu, jika kita bandingkan kesehatan jantung pada dua negara ini
tidak memiliki makna yang tidak berarti secara signifikan. Dengan kata
lain, umur dapat menjadi faktor perancu (confounding factors) utama yang
memengaruhi angka rata-rata kasar kematian dari populasi dengan penyakit
jantung iskemik pada kedua negara. Salah satu cara untuk melakukan
perbandingan angka kesakitan atau kematian pada dua negara atau lebih
adalah dengan menggunakan teknik standardisasi.
JERMAN BRAZIL
Age (years)
% of population % of population
Sumber: www.cdvinfobase.ca, dalam Webb, 2005(1)
54 EPIDEMIOLOGI
C. Standardisasi Langsung
Standardisasi langsung memberikan hasil yang lebih akurat ketika
jumlah dari angka kasus kecil pada setiap kelompok umur/jenis kelamin
pada populasi studi.(3) Metode langsung bisa digunakan untuk menghitung
angka rata-rata yang terstandadrisasi, seperti rata-rata tekanan darah yang
disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin pada kelompok pekerjaan yang
berbeda.(3) Pada standardisasi langsung, angka rata-rata spesifik umur/jenis
kelamin per kelompok populasi di dalam studi diaplikasikan ke populasi
standar.(1, 3, 4) Untuk menggunakan standardisasi langsung, hal-hal yang
dibutuhkan adalah.(1, 3)
STANDARDISASI LANGSUNG
Distribusi populasi standar berdasarkan kelompok umur/
jenis kelamin
Membutuhkan rata-rata spesifik umur/sex pada populasi
studi, dan komposisi populasi berdasarkan seks/umur
pada populasi standar
hasilnya:
RATA-RATA YANG TELAH DISTANDARDISASI OLEH
UMUR/JENIS KELAMIN (AGE/SEX MORTALITY/INCIDENCE
STANDARDIZED RATE)
1. 2.
Hitung angka rata-rata pada setiap Pilih Standar populasi yang akan
stratum (strata/kelompok umur) digunakan sebagai acuan standar,
misal populasi standar dunia
3. 4.
Kalikan rata-rata spesifik umur pada Jumlahkan semua hasil pada semua
populasi studi dengan populasi strata dari kasus/kejadian yang
standar pada setiap kelompok umur diharapkan, lalu Bagi jumlah total
untuk mendapatkan jumlah kasus/ kasus yang diharapkan dengan
kejadian yang diharapkan jumlah populasi standar
56 EPIDEMIOLOGI
= ∑ (d*e)/ ∑ E
Poin A Total Angka kematian yang
Poin B diharapkan/Total Populasi
Standar
Poin C (EXPECTED DEATH/STANDARD
dst POPULATION *100.000)
Total ∑A ∑B ∑D ∑E ∑ xi wi
Contoh 1
STANDARDISASI ANGKA KEMATIAN AKIBAT DBD DI KECAMATAN IT II
TERHADAP POPULASI DI SUNGAI BORANG KOTA PALEMBANG
Ibu Sartik dan Ibu Uca Ayu Framadiesti, Dinas Kesehatan Kota Palembang
mengamati data kasus kesakitan akibat DBD di dua kecamatan di
Palembang, Kecamatan Ilir Timur II dan Kecamatan Sematang Borang. Lalu
mereka memutuskan untuk melakukan standardisasi. Perhatikan proses
perhitungan yang mereka lakukan!
58 EPIDEMIOLOGI
Langkah 1: Melakukan perhitungan dasar yaitu, angka kesakitan kasar
(crude mortality rate) akibat DBD.
Tabel 20. Data kejadian kesakitan akibat Demam Berdarah Dengue (DBD) di dua
kecamatan di Kota Palembang
Kecamatan
Umur Kecamatan IT II
Sematang Borang
(Tahun)
Populasi Kasus Populasi Kasus
≤1 3.698 1 754 -
1-4 15.474 11 1.719 -
5-9 2.922 35 462 4
10 - 14 9.578 20 2.098 3
≥ 15 21.798 22 3.564 3
Jumlah 53.470 89 8.597 10
Sumber: Sartik dan Uca, 2013
(2)
Hal yang perlu dipahami, adilkah jika mereka berdua langsung melaporkan
kepada para petugas Puskesmas bahwa angka kematian DBD di IT II
lebih tinggi 43% I (1.66 versus 1.16 per 1.000 populasi berisiko) (Lihat
perhitungan di bawah ini)?
Tidak adil bukan! Tahap pertama yang perlu kita lakukan adalah
menganalisis perbedaan data kasus dan populasi pada kedua kecamatan
tersebut? Secara umum, total kasus kesakitan karena DBD dan total
penduduk di Kecamatan IT II lebih banyak dibandingkan Kecamatan
Sematang Borang. Jumlah kasus dan populasi per kelompok umur pun
berbeda jauh antara kedua kecamatan tersebut. Kasus DBD di Kecamatan
IT II pada kelompok umur 5-9 tahun umumnya paling banyak daripada
kelompok umur lainnya, sedangkan di Kecamatan Sematang Borang, jumlah
kasus kesakitan karena DBD cenderung stabil antara kelompok umur di
atas 5 tahun.
Lalu apa yang kita lakukan supaya perbandingan angka kesakitan
karena DBD antara dua kecamatan itu seimbang? Kita perlu melakukan
standardisasi sebelum kita membandingkan kedua data pada kedua
kecamatan ini. Bagaimana perhitungan standardisasi? Berapa tipe
89
Angka Kesakitan = x 1.000 = 1.66 per 1.000 populasi berisiko
53.479
10
Angka Kesakitan = x 1.000 = 1.16 per 1.000 populasi berisiko
8.597
60 EPIDEMIOLOGI
Langkah-langkah dalam melakukan standardisasi langsung adalah sebagai
berikut.
Tabel 22. Angka kematian karena DBD di IT II sebelum dan sesudah distandardisasi
Angka Kematian karena DBD
Kecamatan
Per 1.000 populasi berisiko
Sebelum distandardisasi Setelah distandardisasi
IT II 1,66 1,74
Contoh 2
STANDARDISASI ANGKA KEMATIAN PENYAKIT JANTUNG DI JERMAN
TERHADAP POPULASI DUNIA
Menstandardisasi angka rata-rata penyakit jantung Iskemik (Ischemic Hearth
Disease/IHD) pada laki-laki di Jerman terhadap populasi studi dengan
menggunakan populasi standar dunia (WHO).
Langkah-langkah yang dilakukan untuk menstandardisasi angka kematian
pada laki-laki di Jerman terhadap populasi standar dunia adalah sebagai
berikut (lihat Tabel 23, 24).
1. 2.
Hitung angka rata-rata pada setiap Pilih Standar populasi yang akan
stratum (strata/kelompok umur) ** digunakan sebagai acuan standar,
KOLOM D misal populasi standar dunia **
KOLOM E
3. 4.
Kalikan rata-rata spesifik umur pada Jumlahkan semua hasil pada semua
populasi studi dengan populasi strata dari kasus/kejadian yang
standar pada setiap kelompok umur diharapkan
untuk mendapatkan jumlah kasus/ Bagi jumlah total kasus yang
kejadian yang diharapkan **KOLOM diharapkan dengan jumlah populasi
F standar
62 EPIDEMIOLOGI
Tabel 23. Standardisasi langsung angka kematian penyakit jantung Iskemik pada
laki-laki di Jerman terhadap populasi dunia sebagai standar
A B C D E F
Jumlah Angka kematian Populasi Kasus
Kelompok
kematian Jumlah laki- di Jerman (per standar kematian
Umur
Penyakit laki di Jerman 100.000) per dunia yang di
(tahun)
jantung kelompok umur (WHO) harapkan
0-4 0 2.032.000 .................. 12.000 ................
5-9 0 2.296.000 .................. 10.000 ................
10-14 0 2.362.000 .................. 9.000 ................
15-19 11 2.353.000 .................. 9.000 ................
20-24 15 2.283.000 .................. 8.000 ................
25-29. 42 2.990.000 .................. 8.000 ................
30-34 142 3.722.000 .................. 6.000 ................
35-39 407 3.548.000 .................. 6.000 ................
40-44 839 3.061.000 .................. 6.000 ................
45-49 1.484 2.801.000 .................. 6.000 ................
50-54 2.396 2.295.000 .................. 5.000 ................
55-59 5.352 2.903.000 .................. 4.000 ................
60-64 8.080 2.505.000 .................. 4.000 ................
65-69 11.562 1.844.000 .................. 3.000 ................
70-74 12.605 1.350.000 .................. 2.000 ................
75-79 12.700 869.000 .................. 1.000 ................
80-84 12.727 403.000 .................. 500 ................
85+ 16.213 376.000 .................. 500 ................
Total 84.575 39.993.000 .................. 100.000 ................
Sumber: Webb, et al 2003 (1)
Tabel 24. Proses standardisasi langsung angka kematian penyakit jantung Iskemik
pada laki-laki di Jerman terhadap populasi dunia sebagai standar(1)
A B C D E F
Kelompok Jumlah Jumlah Angka Populasi Kasus
umur kematian laki-laki di kematian di standar kematian yang
(tahun) Penyakit Jerman Jerman (per dunia diharapkan (D
jantung 100.000) (WHO) X E)
(B:C) (1) (2) (3)
0-4 0 2.032.000 0,00 12.000 0,00
5-9 0 2.296.000 0,00 10.000 0,00
10-14 0 2.362.000 0,00 9.000 0,00
15-19 11 2.353.000 0,47 9.000 0,04
20-24 15 2.283.000 0,66 8.000 0,05
25-29 42 2.990.000 1,40 8.000 0,11
30-34 142 3.722.000 3,82 6.000 0,23
35-39 407 3.548.000 11,47 6.000 0,69
40-44 839 3.061.000 27,41 6.000 1,64
45-49 1.484 2.801.000 52,98 6.000 3,18
50-54 2.396 2.295.000 104,40 5.000 5,22
55-59 5.352 2.903.000 184,36 4.000 7,37
60-64 8.080 2.505.000 322,55 4.000 12,90
65-69 11.562 1.844.000 627,01 3.000 18,81
70-74 12.605 1.350.000 933,70 2.000 18,67
75-79 12.700 869.000 1461,45 1.000 14,61
80-84 12.727 403.000 3158,06 500 15,79
85+ 16.213 376.000 4311,97 500 21,56
Total 84.575 39.993.000 211,47 100.000 120,87(4)
Sumber: Webb, 2003(1)
64 EPIDEMIOLOGI
Interpretasi: Angka kematian karena penyakit Jantung Iskemik di Jerman
menurun hingga 50% setelah distandardisasi dengan populasi dunia (211
versus 121 per 100.000 populasi). Di Tabel 24 terlihat bahwa komposisi
populasi per kelompok umur negara Jerman dan populasi standar dunia
berbeda dengan jelas. Jerman cenderung mempunyai populasi kelompok
umur tua lebih banyak dibanding dengan populasi standar dunia. Oleh
karena itu, jika kita akan membandingkan angka kematian laki-laki karena
penyakit jantung terhadap populasi standar dunia, angka kematian pada
populasi laki-laki di Jerman sebaiknya distandardisasi terlebih dahulu
untuk mendapatkan hasil yang setara. Sehingga kita juga bisa melakukan
standardisasi beberapa negara untuk membandingkan angka kematian
karena suatu penyakit dengan adil.
1.
Tersedianya total data kematian/
kesakitan dan jumlah populasi studi
per kelompok umur/jenis kelamin,
2.
Tentukan dan hitung angka rata-rata
dan data kasus dan populasi per
pada populasi standar
kelompok umur/jenis kelamin pada
populasi standar
4.
Jumlahkan total kasus yang diamati
3. (observed cases) pada populasi studi
Hitunglah angka rata-rata yang dan total kasus yang diharapkan
diharapkan (Expected rate=study (expected cases) pada populasi standar
population for each stratum *
standard rate) pada populasi standar • Bagi total kasus yang diobservasi
(observed cases) dengan total kasus
yang diharapkan (expected cases)
66 EPIDEMIOLOGI
Rasio kematian-kesakitan terstandardisasi (SMR/SIR) = ∑O : ∑E
∑O = jumlah kasus yang diobservasi di populasi studi (Observed cases pada populasi
study)
∑E = Jumlah kasus yang diharapkan (Expected cases) = ∑ (populasi studi tiap level*
Angka rata-rata pada populasi standar)
Contoh 3
STANDARDISASI PENYAKIT JANTUNG ISCHEMIK PADA LAKI-LAKI
BRAZIL TERHADAP POPULASI STANDAR DI JERMAN
Diketahui total jumlah kematian yang diamati (Observed number of deaths) di
Brazil = 39.437. Hitunglah rasio kematian terstandardisasi untuk penyakit
Jantung Iskemik pada laki-laki di Brazil dengan populasi standar Jerman?
Langkah-langkah dalam melakukan standardisasi tidak langsung adalah
sebagai berikut.
1.
Tersedianya data populasi studi per 2.
kelompok umur pada laki-laki di Tentukan dan hitung angka rata-rata
negara Brazil, dan data kasus dan kematian karena penyakit Jantung
populasi per kelompok umur pada Ischemik per kelompok umur pada
populasi standar, Jerman populasi Jerman-- Kolom E
4.
3. Jumlahkan total observed cases pada
Hitunglah angka rata-rata yang populasi Brazil dan total expected
diharapan (Expected rate=study cases pada populasi Jerman
population for each stratum * • Bagi total kasus yang diobservasi
standard rate) -- Kolom F (observed cases) dengan total kasus
yang diharapkan (expected cases)
68 EPIDEMIOLOGI
Interpretasi: Angka kematian kasar dari penyakit Jantung Iskemik pada
laki-laki Brazil kurang dari ¼ dari angka kematian kasar karena penyakit
Jantung Iskemik pada laki-laki Jerman (47 versus 211 per 100.000 penduduk
per tahun), tetapi umur rata-rata dari populasi Brazil sangat lebih rendah
dari populasi Brazil daripada Jerman. Ketika kita standardisasi dengan
umur, Rasio Kematian yang distandardisasi (SMR) bernilai 0.56 yang
mengindikasi bahwa angka kematian karena Penyakit Jantung Iskemik di
Brazil adalah setengah dari angka kematian penyakit yang sama di Jerman.
CONTOH 4
STANDARDISASI TIDAK LANGSUNG, ANGKA KEMATIAN AKIBAT DBD DI
KEC IT II DENGAN KEC. SUNGAI BORANG SEBAGAI STANDAR POPULASI
Ibu Sartik dan Ibu Uca Ayu Framadiesti, Dinas Kesehatan Kota Palembang
mengamati data kasus kesakitan akibat DBD di dua Kecamatan di
Palembang, Kecamatan Ilir Timur III dan Kecamatan Sematang Borang. Jika
hanya diketahui total kasus (n = 89 kasus) populasi per strata pada Kec.
IT II dan, dan diketahui angka rata-rata kematian pada populasi standar di
Kec. S. Borang, Standardisasi apa yang bisa mereka lakukan?
Tabel 27. Perhitungan standardisasi tidak langsung kejadian kematian akibat Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan IT II distandardisasi oleh data di
Kecamatan Sematang Borang Kota Palembang
Kecamatan Angka Jumlah
Kecamatan IT II
Umur Sematang Borang kematian Kasus
(Tahun) Tot spesifik pada yang di
Populasi Populasi Kasus Kec, Borang harapkan
kasus
≤1 3.698 754 - 0,00
1-4 15.474 1.719 - 0,00 0,00
5-9 2.922 462 4 8,66 25,30
10 - 14 9.578 2.098 3 1,43 13,70
≥ 15 21.798 3.564 3 0,84 18,35
Jumlah 53.470 89 8.597 10 1,16 57,34
Sumber: Sartik danUca, Dinas Kesehatan Kota Palembang, 2013
(2)
E. Ringkasan
Ketika terdapat perbedaan jumlah populasi berbeda di beberapa negara
atau provinsi, perbedaan jumlah kasus atau kematian per kelompok/strata
pada beberapa negara atau provinsi atau tempat lainnya, maka diperlukan
metode perhitungan standardisasi. Standardisasi perlu dilakukan untuk
memperoleh perbandingan data mengenai suatu penyakit atau kondisi
penyakit secara setara. Standardisasi langsung bisa dilakukan jika pada
populasi studi terdapat rata-rata kesakitan atau kematian per strata dan
angka populasi standar per strata. Tetapi jika angka rata-rata kesakitan
atau kematian diketahui pada populasi standar, dan hanya ada total kasus
kesakitan/kematian pada populasi studi dan jumlah populasi studi per
strata, maka kita dapat melakukan standardisasi tidak langsung.
Standardisasi langsung menghasilkan angka rata-rata kematian/
kesakitan umur-jenis kelamin yang telah distandardisasi atau age-sex
standardized rate. Sedangkan, pada standardisasi tidak langsung angka
rata-rata tidak dapat dihasilkan, tetapi angka rasio/kesakitan umur-jenis
70 EPIDEMIOLOGI
kelamin yang telah distandardisasi atau Standardised mortality (incidence)
ratio (+age-sex standardised rate).
Langkah-langkah perhitungan pada standardisasi langsung; 1) Hitung
angka rata-rata pada setiap stratum (strata/kelompok umur); 2) Pilih
populasi standar yang akan digunakan sebagai acuan standar, misal populasi
standar dunia; 3) Kalikan rata-rata spesifik umur pada populasi studi dengan
populasi standar pada setiap kelompok umur untuk mendapatkan jumlah
kasus/kejadian yang diharapkan; 4) Jumlahkan semua hasil pada semua
strata dari kasus/kejadian yang diharapkan, lalu bagi jumlah total kasus yang
diharapkan dengan jumlah populasi standar. Sedangkan pada standardisasi
tidak langsung, langkah-langkahnya; 1) Tentukan dan hitung angka rata-
rata pada populasi standar; 2) Hitunglah angka rata-rata yang diharapkan
(Expected rate=study population for each stratum * standard rate) pada populasi
standard; 3) Jumlahkan total kasus yang diamatin (observed cases) pada
populasi studi dan total kasus yang diharapkan (expected cases) pada populasi
standar dan terakhir bagi total observed cases dengan total expected cases.
Tabel 28. Standardisasi langsung angka kematian penyakit jantung Iskemik pada
laki-laki di Jerman terhadap populasi Afrika sebagai standar
A B C D E F
Angka rata- Jumlah kasus
Kelompok Jumlah kematian Jumlah Populasi
rata kematian yang diharapkan
Umur penyakit jantung laki-laki di Standar
di Jerman di populasi
(tahun) di Jerman Jerman Afrika
(per 100.000) standar
0-4 0 2.032.000
5-9 0 2.296.000
10-14 0 2.362.000
15-19 824 646.962
20-24 89 682.309
Tabel 29. Jumlah kasus baru pada penyakti Z pada komunitas A dan B
Komunitas A Komunitas B
Umur Jumlah Kasus Baru Jumlah Kasus Baru
Populasi Penyakit Z Populasi Penyakit Z
18-50 years 8.000 55 6.000 48
> 50 years 11.000 115 3.000 60
Total 19.000 170 9.000 108
72 EPIDEMIOLOGI
e. Hitunglah rasio insiden penyakit Z pada populasi B yang
telah terstandardisasi terhadap populasi A? Termasuk jenis
standardisasi apa kasus ini?
f. Bandingkan hasil angka insiden dan angka rasio insiden kasar
penyakit Z setelah distandardisasi, apa kesimpulan Anda?
DAFTAR PUSTAKA
1. Webb, P., C. Bain, and S. Pirozzo, Direct standardization and Indirect
Standardization in Essential Epidemiology, An Introduction for Students and
Health Professionals. Cambridge, New York: University Press. 2005. p.
334-340.
2. Sartik and U.A. Framadiesti, Studi Kasus Standardisasi Langsung dan Tidak
Langsung. Palembang: Prodi S2 IKM Unsri. 2014.
3. Kirkwood, B.R. and J.A.C. Sterne, Standardization, in Medical Statistics.
Victoria: Blackwell Science. 2003. p. 263-271.
4. Rothman, K.J., Epidemiology, An Introduction. New York: Oxford
University Press. 2002.
MEMAHAMI KONSEP
FAKTOR PERANCU
75
A. Pendahuluan
D
ata pada Tabel 30 di bawah ini adalah contoh data penelitian yang
dilakukan Najmah dkk, 2011(1) di mana mencari hubungan antara
akses pelayanan terhadap perilaku akses program pelayanan jarum
dan alat suntik dan perilaku penggunaan jarum dan alat suntik tidak steril
sebelum dan setelah dikontrol dengan variabel-variabel lainnya seperti
pendidikan, pendapatan, umur, lamanya menyuntik dan pengetahuan
mengenai HIV/AIDS dan pengurangan dampak buruk (OR kasar/crude OR
versus OR dikontrol/adjusted OR). Coba Anda perhatikan perbedaannya
OR sebelum dan setelah dikontrol oleh faktor perancu?
Angka rasio kasar memperlihatkan bahwa pengguna napza suntik
(penasun) yang mengakses Layanan Jarum dan Alat Suntik Steril (LJASS)
cenderung 1,07x untuk menggunakan jarum dan alat suntik tidak steril
ketika mengonsumsi napza, tetapi setelah dikontrol oleh beberapa faktor
perancu, penasun yang akses layanan LJASS cenderung melindungi penasun
dari perilaku berisiko dalam menggunakan jarum suntik tidak steril sebesar
31% dibandingkan penasun yang tidak akses LJASS (OR 0.69) pada sampel
penelitian (lihat Tabel 30).
Tabel 30. Analisis faktor yang berkaitan pada akses Layanan Jarum dan Alat Suntik
Steril (LJASS) dan perilaku penggunaan jarum dan alat suntik tidak steril
Variabel (Outcome: Perilaku berisiko OR kasar/ OR yang telah
menggunakan jarum dan alat suntik OR(95%CI), Sig dikontrol (95%CI),
tidak steril, 1=Ya 0=Tidak) sig
Akses terhadap layanan jarum dan alat 1.07 (0.49-2.31), 0.69 (0.23-2.06),
suntik steril (LJASS)/ 1= tidak, 1 =iya) 0.87 0.51
Sumber: Najmah dkk, 2011(1)
*dikontrol oleh tingkat pendidikan, pendapatan, umur, lamanya penggunaan narkoba suntuk, pengetahuan dan
sikap terhadap HIV dan pengurangan dampak buruk/harm reduction.
76 EPIDEMIOLOGI
tanpa rokok setelah intervensi dilakukan. Apakah tingkat pendidikan dan
sikap responden termasuk faktor perancu atau bukan?
Tabel 31. rasio prevalensi perilaku merokok setelah dikontrol oleh variabel perancu
Rasio Prevalen
Variabel
Crude PR Ajusted PR*
Jadi apa yang bisa Anda simpulkan? Bisakah Anda hanya melaporkan
angka rasio kasar dalam penelitian Anda? Ketika Anda membaca jurnal
ilmiah, apa yang Anda perhatikan, apakah mereka hanya menampilkan
angka rasio kasar atau angka rasio yang telah dikontrol oleh faktor
perancu atau adjusted ratio apakah mereka melaporkan keduanya? Mari kita
diskusikan pada bab faktor perancu/pengganggu atau confoundings factors.
KASUS PERTAMA
UMUR SEBAGAI FAKTOR PERANCU TERHADAP HUBUNGAN
MEROKOK DAN RISIKO KEMATIAN
78 EPIDEMIOLOGI
Dengan mempertimbangkan data mortalitas berikut, yang dirangkum
dari studi yang mengamati kebiasaan merokok pada penduduk di
Whickham, Inggris, pada periode 1972-1974 dan kemudian diikuti lebih
dari 20 tahun subjek yang diinterview yang bertahan hidup. Di antara 1314
wanita yang disurvei, hampir setengahnya adalah perokok. Anehnya,
proporsi perokok yang meninggal selama 20 tahun diikuti lebih kecil dari
yang bukan perokok. Data penelitian ditampilkan pada Tabel 32.(3)
Tabel 32. Risiko kematian dalam periode 20 tahun pada wanita di Whickham, Inggris,
berdasarkan status merokok pada awal periode
Status Vital Perokok Bukan Perokok Total
Umur
Merokok Kematian
80 EPIDEMIOLOGI
Tabel 33. Risiko kematian dalam periode 20 tahun pada wanita Whickham, Inggris
berdasarkan status perokok di awal periode dan berdasarkan usia
Usia (tahun) Status Vital Perokok Bukan Perokok Total Risiko Kematian
18-24 Meninggal 2 1 3
Hidup 53 61 114
Risiko 0,04 0,02 0,03 2
25-34 Meninggal 3 5 8
Hidup 121 152 273
Risiko 0,02 0,03 0,03 0.6
35-44 Meninggal 14 7 21
Hidup 95 114 209
Risiko 0,13 0,06 0,09 2.1
45-54 Meninggal 27 12 39
Hidup 103 66 169
Risiko 0,21 0,15 0,19 1.4
55-64 Meninggal 51 40 91
Hidup 64 81 145
Risiko 0,44 0,33 0,39 1.3
65-74 Meninggal 29 101 130
Hidup 7 28 35
Risiko 0,81 0,78 0,79 1.03
75+ Meninggal 13 64 77
Hidup 0 0 0
Risiko 1,00 1,00 1,00 1.00
TOTAL 582 723
Sumber: Rothman, 2002 (3)
KASUS KEDUA
AKTIVITAS FISIK MENDISTORSI HUBUNGAN ANTARA ASUPAN ENERGI
DAN RISIKO TERKENA PENYAKIT JANTUNG
82 EPIDEMIOLOGI
Aktivitas Fisik
(Physical Activity)
Gambar 14. Asosiasi asupan energi dan kejadian penyakit jantung didistorsi oleh
variabel aktivitas fisik
*Odds kejadian penyakit jantung pada kelompok asupan energi tinggi = 730/600 = 1.22
**Odds penyakit jantung pada kelompok asupan energi rendah = 700/540 = 1.30
***Nilai Rasio Odds kasar (Crude Odds Ratio) = 1.22/1.30 = 0.94
Tabel 35. Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung distratifikasi dengan
variabel aktivitas fisik
Aktivitas Fisik Aktif Aktivitas Fisik Rendah
Ya Tidak Ya Tidak
Aktivitas Fisik
(Physical Activity)
Gambar 15. Kondisi 1: identifikasi asosiasi antara asupan energi dan tingkat
aktivitas fisik
84 EPIDEMIOLOGI
Untuk menghitung apakah ada asosiasi antara faktor paparan dan
faktor perancu, pada studi kasus kontrol, kita hanya menghitung asosiasi
pada kelompok kontrol, tetapi pada studi kohort, kita menggunakan semua
sampel. Pada contoh kasus II, kita hanya menghitung data pada kelompok
tidak berpenyakit jantung (grup kontrol).
Tabel 36. Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung distratifikasi dengan
variabel aktivitas fisik
Aktivitas Fisik Aktif Aktivitas Fisik Rendah
Asupan Energi Penyakit Jantung Penyakit Jantung
Ya Tidak Ya Tidak
Tinggi 520 510 210 90
Rendah 100 150 600 390
Sumber: Webb, 2005
*Odds pada kelompok aktivitas fisik aktif pada asupan energi tinggi = 510/90 = 5,67
**Odds pada kelompok aktivitas fisik rendah pada asupan energi rendah = 150/390 = 0.38
***Odds rasio kasar = 5.67/0.38 = 14. 92
^Proporsi aktivitas aktif pada asupan energi tinggi = 510/600 = 0.85 (85%)
^Proporsi aktivitas fisik tinggi pada asupan energi rendah = 150/540 = 0.27 (27%)
^^Ada perbedaan proporsi yang signifikan antara aktivitas fisik pada energi tinggi dan rendah
Aktivitas Fisik
(Physical Activity)
Gambar 16. Kondisi 2: identifikasi asosiasi variabel kejadian penyakit jantung dan
variabel aktivitas fisik
Ya Tidak Ya Tidak
*Odds penyakit jantung pada kelompok aktivitas fisik tinggi = 620/660 = 0.93
**Odds penyakit jantung pada kelompok aktivitas fisik rendah = 810/480 = 1.69
***Crude Odds Rasio = 0.93/1.69 = 0.55
86 EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan kriteria di atas dapat kita simpulkan aktivitas fisik
memenuhi ketiga kriteria sebagai faktor perancu. Jika salah satu kriteria
tidak terpenuhi, maka kita faktor tersebut bukan merupakan waktu
perancu.
Tabel 39. Stratifikasi faktor paparan dan outcome oleh faktor perancu
Faktor Perancu strata x (group x) Faktor Perancu strata y (group y)
Ya Tidak Ya Tidak
Terpapar
d1x h1 x d1y h1 y
(group 1)
Tidak Terpapar
d0 x h0 x d0 y h0 y
(group 0)
Sumber: Kirkwood, 2003(5)/ *d = kelompok sakit h = kelompok sehat
88 EPIDEMIOLOGI
Rumus OR Mantel Haenzal sebagai berikut.(5)
∑ (wi x ORi )
A POOLED OR Mantel Haenszal =
∑ wi
W = (d0 x h1)/n -------------- OR = (d1 x h0)/(d0 x h1)
*Odds kejadian penyakit jantung pada kelompok asupan energi tinggi = 730/600 = 1.22
**Odds penyakit jantung pada kelompok asupan energi rendah = 700/540 = 1.30
***Crude Odds Ratio = 1.22/1.30 = 0.94
Table 41. Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung distratifikasi dengan
variabel aktivitas fisik
Aktivitas Fisik Aktif Aktivitas Fisik Rendah
Asupan Energi Penyakit Jantung Penyakit Jantung
Ya Tidak Ya Tidak
Tabel 42. Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung distratifikasi dengan
variabel aktivitas fisik
Aktivitas Fisik Aktif Aktivitas Fisik Rendah
Ya Tidak Ya Tidak
Tinggi
520 (d1) 510 (h1) 210 (d1) 90 (h1)
(group 1)
Rendah
100 (d0) 150 (h0) 600 (d0) 390 (h0)
(group 0)
90 EPIDEMIOLOGI
Bandingkan hasil ORMH (OR 1.52 (95% CI 1.25-1.86) dengan OR
kasar (OR 0.94, 95% Derajat kepercayaan 0.80-1.10). Dapat disimpulkan
bahwa ada perbedaan lebih dari 10%, maka aktivitas fisik merancu asosiasi
asupan energi dan penyakit jantung.
F. Ringkasan
Faktor perancu/penggangu atau confounding factors adalah distorsi
dalam memprediksi hubungan atau asosiasi antara faktor eksposur dan
92 EPIDEMIOLOGI
Gambaran apakah alkohol merupakan faktor risiko dari kanker paru-paru?
Bayangkan sebuah studi kasus kontrol yang kecil dengan 20 kasus
(orang yang mengidap kanker paru-paru) dan 20 kontrol yang tidak
terkena kanker paru-paru). Apakah minum alkohol berhubungan dengan
risiko kanker paru-paru? Jika semua kasus dan control ditanya tentang
konsumsi alkohol mereka. Kita bisa mengklasifikasi orang/mereka sebagai
‘peminum’ atau bukan peminum dan kita bisa menghitung odds rasio
untuk memperkirakan kekuatan dari hubungan antara alkohol dengan
kanker paru-paru.(4)
Peminum alkohol 10 5
Bukan peminum 10 15
Tabel 44. Stratifikasi hubungan antara alkohol dan kanker paru oleh status
merokok
Penyakit Jantung
Asupan Energi
Kasus Kontrol
Peminum Alkohol 9 3
Perokok
Bukan Peminum Alkohol 3 1
Peminum Alkohol 1 2
Bukan Perokok
Bukan Peminum Alkohol 7 14
Sumber: Webb, 2005
VARIABEL PENGGANGGU
(Merokok)
DAFTAR PUSTAKA
1. Najmah, Nuralam Fajar, and Rico Januar Sitorus, The Effect of Needle
and Syringe Program on Injecting Drug Users’ Use of Non-Sterile
Syringe and Needle Behaviour in Palembang, South Sumatera Province.
Indonesia International Journal of Public Health Research. 2011. (Spesial
Issue): p. 193-199.
2. Last, J.M., A Dictionary of Epidemiology, ed. F. Edition. New York: Oxford
University Press. 2001. p. 37
3. Rothman, K.J., Epidemiology, An Introduction. New York: Oxford
University Press. 2002. p. 1-7 and 144-157
4. Webb, P., C. Bain, and S. Pirozzo, Essential Epidemiology, An Introduction
for Students and Health Professionals. New York: Cambridge University
Press. 2005. p. 181-201
5. Kirkwood, B.R. and J.A.C. Sterne, Medical Statistics. Second ed. Victoria:
Blackwell Science. 2003. p. 177-185
94 EPIDEMIOLOGI
Bab 5
SKRINING/PENAPISAN
DALAM EPIDEMIOLOGI
95
A. Pendahuluan
P
encegahan selalu lebih baik daripada pengobatan, karena bisa
meningkatkan produktivitas ketika dalam kondisi sehat. Namun,
kebanyakan manusia mengetahui kondisi kesehatannya terganggu
pada waktu yang terlambat. Sebagai contoh penyakit yang manifestasinya
lama tetapi bisa diketahui sejak dini adalah kanker payudara. Kanker
payudara bisa dideteksi secara dini, misalnya dengan mengetahui faktor
keturunan (genetik), adanya benjolan yang bisa dilakukan sendiri
(SADARI) ataupun melakukan pemeriksaan mamografi. Walaupun
payudara akan terpapar dengan radiasi dalam jumlah kecil, namun manfaat
dari pemeriksaan mamografi lebih besar karena mengetahui adanya
kemungkinan gangguan payudara sejak dini, akan mempercepat tindakan
pengobatan, sehingga kemoterapi atau prosedur pengangkatan payudara
(mastectomy) dapat dihindari.
Setiap penyakit atau kondisi kesehatan memiliki manifestasi gejala
tertentu baik penyakit menular maupun tidak menular. Gejala ini terkadang
tidak hanya bersifat spesifik bagi satu penyakit tetapi juga spesifik untuk
beberapa penyakit lainnya. Gejala penyakit bisa berupa keluhan subjektif
yang dirasakan seperti pusing, mual, rasa tidak enak di perut dan juga
gejala yang simptomatik seperti badan panas, ruam-ruam di kulit, adanya
benjolan dan sebagainya. Oleh karena adanya dua tipe manifestasi klinis
inilah, skrining/penapisan harus dilakukan.
Terdapat perdebatan di berbagai negara mengenai pelaksanaan
deteksi dini pada penyakit. Satu pihak menyatakan bahwa fokus deteksi
dini merupakan populasi oportunistik dan yang lainnya menganggap
lebih baik fokus pada populasi yang lebih luas.Ada beberapa persamaan
di antara populasi luas (massa) dengan pendekatan berisiko tinggi (high
risk) untuk pencegahan primer, meskipun tidak persis sama. (1) Kata
‘Skrining/penapisan’ dan ‘penemuan kasus’ juga memiliki arti yang
sedikit berbeda. Istilah ‘skrining/penapisan’ digunakan untuk deteksi
dini dengan pendekatan populasi yang luas (population-wide approaches)
dan ‘penemuan kasus’ untuk deteksi dini dengan pendekatan populasi
oportunistik (opportunistic attempt approaches).(1) Meskipun skrining/
penapisan ditujukan pada populasi luas, bukan berarti semua jenis populasi
96 EPIDEMIOLOGI
masuk ke dalam populasi skrining/penapisan. Kriteria populasi skrining/
penapisan menyesuaikan dengan faktor risiko dari jenis penyakit yang
akan di skrining/penapisan. contohnya tidak akan melakukan skrining/
penapisan Kanker Leher Rahim (Ca-cervics) pada populasi anak-anak,
atau melakukan skrining/penapisan kanker prostat pada populasi wanita.
Menurut Marchand, et.al (1998), dalam pembahasan jurnalnya mengenai
perbandingan efektivitas biaya antara skrining/penapisan dan penemuan
kasus TBC, skrining/penapisan lebih efektif dibandingkan dengan
penemuan kasus di fasilitas kesehatan dengan asumsi tidak terjadi infeksi
nosokomial di sana.(2)
98 EPIDEMIOLOGI
C. Pelaksanaan Skirinig di Dunia Kesehatan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa skrining/penapisan
dibutuhkan dalam mendeteksi adanya penyakit sebelum dilakukan
diagnosis klinis. Maka yang harus dipahami dalam melakukan skrining/
penapisan adalah riwayat alamiah atau perjalanan sebuah penyakit dimulai
dari biological onset hingga pada outcome dari suatu penyakit. Gambaran
mengenai riwayat alamiah dari suatu penyakit dapat terlihat pada ilustrasi
di bawah ini.
δ Φ
CP 1 CP 2 CP 3
TITIK KRITIS/CP
TIME
Sumber: Webb, et al 2005
100 EPIDEMIOLOGI
Contoh 2: Skrining/penapisan penyalahgunaan alkohol, merokok dan
napza lainnya (The ASSIST project – Alcohol, Smoking and Substance Involvement
Screening Test)(7)
Skrining/penapisan ASSIST dikembangkan oleh Badan Kesehatan
Dunia (WHO) untuk mengidentifikasi penyalahgunaan napza, alkohol dan
merokok. Kuesioner dari skrining/penapisan ASSIST berisi 8 pertanyaan
digunakan untuk menginvestigasi 10 unsur utama zat adiktif. Kuesioner
juga dilengkapi tabel yang bisa diisi sesuai dengan rekaman medis pasien.
Intervensi singkat para praktisi kesehatan kepada masyarakat yang
mengikuti skrining/penapisan dilakukan berupa motivasi, dan promosi
kesehatan dilakukan kepada kelompok yang berisiko mengonsumsi alkohol,
merokok dan mengonsumsi zat napza lainnya.(7)
102 EPIDEMIOLOGI
sedangkan jika suatu skrining/penapisan memiliki spesifisitas yang rendah
akan menghasilkan banyak ‘false positif’.
Validitas prediktif (predictive validity,
Petunjuk !
prognostic validity) m e r u j u k ke p a d a
kesesuaian antara hasil pengukuran alat Nilai prediksi positif adalah
ukur sekarang dan hasil pengukuran persentase dari semua orang
standar emas di masa mendatang. Berbeda dengan hasil tes positif pada
orang yang benar sakit,
dengan validitas sewaktu hasil pengukuran sedangkan nilai prediksi
standar emas dalam validitas prediktif negatif adalah persentsi dari
belum tersedia saat ini, melainkan baru semua orang dengan hasil
diketahui beberapa waktu mendatang. (9) tes negatif pada orang yang
benar-benar sehat.
Nilai prediktif positif adalah proporsi pasien
yang benar-benar positif (true positive) di antara keseluruhan penderita
yang menunjukkan hasil tes konfirmasi positif.(8) Nilai ini menjelaskan
kita seberapa besar kemungkinan hasil tes positif menunjukkan adanya
penyakit.(1) Nilai Prediktif Negatif adalah persentase dari semua pasien
yang benar-benar negatif (sehat/true negative) di antara semua pasien yang
menunjukkan hasil tes negatif.(1) Jika dibandingkan dengan pemeriksaan
standar emas, nilai prediktif positif adalah probabilitas subjek yang
diidentifikasi positif oleh alat ukur benar-benar akan positif menurut
standar emas di kemudian hari. Sedangkan, nilai prediktif negatif adalah
probabilitas subjek yang diidentifikasi negatif oleh alat ukur akan benar-
benar negatif menurut standar emas di kemudian hari.(9)
Kita analogikan pada kasus kanker serviks dengan tes pap smear. Dari
Gambar 19, dapat disimpulkan empat outcome yang dapat terjadi pada tes
skrining/penapisan kanker serviks pada wanita usia subur. Seorang wanita
dengan kanker serviks ketika diperiksa dengan pap smear hasilnya juga positif
kanker serviks, disebut positif benar atau true positive’, sedangkan jika hasil
tes pap smearnya negatif, disebut negatif palsu atau ‘false negative’. Sedangkan
jika wanita pada kenyataannya tidak menderita kanker serviks, pada tes pap
smear pun menunjukkan hasil negatif, disebut dengan negatif benar atau
true negative, sebaliknya kalau hasil tes menunjukkan positif, maka disebut
104 EPIDEMIOLOGI
dengan positif palsu atau ‘false positive’. 1) Berapa jumlah wanita dengan
kanker serviks dan hasil pap smearnya menunjukkan positif? 2)Berapa
jumlah wanita sehat yang pada tes pap smear hasilnya negatif dan tes pap
smear menunjukkan hasil positif? (Jawaban 1.PB ’50’; 2. NB’90’ & PP’45’).
Untuk pengujian yang akurat harus menghasilkan kategori kelompok
positif palsu dan negatif palsu yang sedikit. Jadi, bagaimana melakukan
tes skrining/penapisan kanker serviks yang baik? Ada dua hal yang
harus dipertimbangkan yaitu seberapa baik tes skrining/penapisan ini
mengidentifikasi wanita yang benar-benar menderita kanker serviks dalam
artian kategori Positif benar? dan seberapa tepat tes ini mengklasifikasikan
wanita sehat pada tes pap smear negatif dalam artian kategori Negatif
Benar?.(1) Untuk itu perhitungan sensitivitas dan spesifisitas dilakukan.
Positif Benar
Sensitivitas = x 100%
Positif Benar + Negatif Palsu
50
Sensitivitas = x 100% = 83%
50 + 10
Negatif Benar
Spesifisitas = x 100%
Positif Palsu + Negatif Benar
90
Spesifisitas = x 100% = 67%
45 + 90
Negatif Benar
Nilai Prediktif Negatif = x 100%
Negatif Benar + Negatif Palsu
90
Nilai Prediktif Negatif = x 100% = 90%
90 + 10
Positif Benar
Nilai Prediktif Positif = x 100%
Positif Benar + Positif Palsu
50
Nilai Prediktif Positif = x 100% = 52%
50 + 45
106 EPIDEMIOLOGI
dari 5 hari, batuk-batuk, kesulitan dalam bernapas dan peningkatan ritme
pernapasan.Untuk mengkonfirmasi kasus dilakukan pemeriksaan darah
mikroskopik untuk menemukan adanya parasit malaria di dalam darah.
Hasilnya sebanyak 463 orang yang menunjukkan gejala klinis malaria
dan 220 di antaranya positif parasitemia. Selanjutnya 161 orang tidak
ditemukan gejala klinis namun 32 sampel darah anak menunjukkan positif
parasitemia.
1. Tabulasikan data di atas dan narasikan berapa jumlah positif benar,
negatif salah, positif salah, dan negatif benar.
2. Hitunglah sensitivitas tes darah mikroskopis untuk parasitemia
malaria.
3. Hitunglah spesifisitas tes darah mikroskopis untuk parasitemia
malaria.
4. Hitunglah nilai prediktif positif dan nilai prediktif negatif tes darah
mikroskopis untuk parasitemia malaria.
Penyelesaian:
Pada Tabel 45 dapat diketahui, jumlah positif benar adalah 220 orang,
jumlah negatif salah 243 orang, jumlah positif salah adalah 32 orang, dan
jumlah negatif benar adalah 129 orang. Dari kasus di atas dapat dibuat
tabulasi data sebagai berikut.
129
Nilai Prediktif Negatif = x 100% = 34,6%
129 + 243
220
Nilai Prediktif Positif = x 100% = 87,3%
220 + 32
Hasil nilai prediktif positif lebih tinggi dari nilai prediktif negatif. Hasil
ini menunjukkan hasil tes mikroskopis positif dapat memprediksi anak-
anak dengan gejala malaria cukup tinggi, sedangkan hasil tes mikroskopis
negatif dapat benar-benar memprediksi anak-anak bebas dari malaria cukup
rendah, dengan kata lain banyak kasus negatif berdasarkan hasil skrining/
penapisan, pada kenyataannya memiliki penyakit malaria.
108 EPIDEMIOLOGI
Hal ini berkaitan dengan biaya relatif dari program skrining/penapisan
dan dalam kaitannya dengan jumlah kasus yang terdeteksi serta
nilai prediksi positif. Pengeluaran yang harus dikeluarkan untuk
kegiatan skrining/penapisan harus selaras dengan mengurangi angka
morbiditas dan mortalitas. Namun kriteria ini menjadi tidak berlaku
pada kasus tertentu seperti keganasan/keparahan dari suatu penyakit.
Contohnya skrining/penapisan Fenilketouria atau Phenylketouria
(PKU) pada bayi baru lahir. Fenilketouria adalah gangguan desakan
autosomal genetik yang dikenali dengan kurangnya enzim fenilalanin
hidroksilase (PAH). Enzim ini sangat penting dalam mengubah asam
amino fenilalanina menjadi asam amino tirosina. Jika penderita
mengonsumsi sumber protein yang mengandung asam amino ini,
produk akhirnya akan terakumulasi di otak, yang mengakibatkan
retardasi mental. Meskipun hanya satu dari 15.000 bayi yang terlahir
dengan kondisi ini, karena faktor kemudahan, murah dan akurat maka
skrining/penapisan ini sangat bermanfaat untuk dilakukan kepada
setiap bayi yang baru lahir.
2. Skrining/penapisan harus aman dan dapat diterima oleh masyarakat
luas. Dalam proses skrining/penapisan membutuhkan partisipasi dari
masyarakat yang dinilai cocok untuk menjalani pemeriksaan. Oleh
karena itu, skrining/penapisan harus aman dan tidak memengaruhi
kesehatannya.
3. Skrining/penapisan harus akurat dan reliable. Tingkat akurasi
menggambarkan sejauh mana hasil tes sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya dari kondisi kesehatan/penyakit yang diukur. Sedangkan
reliabilitas biasanya berhubungan salah satu dengan standardisasi
atau kalibrasi peralatan pengujian atau keterampilan dan keahlian dari
orang-orang menginterpretasikan hasil tes.
4. Harus mengerti riwayat alamiah penyakit dengan baik dan percaya
bahwa dengan melakukan skrining/penapisan maka akan meng
hasilkan kondisi kesehatan yang jauh lebih baik. Misalnya pada
kanker prostat, secara biologis penderita kanker tidak bisa dibedakan,
namun kemungkinan banyak pria yang kanker bisa terdeteksi oleh
pemeriksaan ini (PSA Test). Meskipun demiikian, skrining/penapisan
H. Ringkasan
Skrining/penapisan merupakan upaya untuk mendeteksi suatu
penyakit atau kondisi kesehatan secara dini pada populasi sehat. Skrining/
penapisan dilakukan untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan di
populasi. Skrining/penapisan dilakukan biasanya untuk riwayat alamiah
penyakit jelas dan umum ditemukan di populasi. Alat tes yang digunakan
untuk skrining/penapisan tes juga dapat diterima oleh orang banyak.
Tersedianya pelayanan kesehatan untuk populasi yang termasuk dalam
positif benar dan positif palsu.
110 EPIDEMIOLOGI
Kombinasi sensitivitas dan spesifisitas adalah penting dalam
melakukan kegiatan tes skrining/penapisan. Sensitivitas adalah bagaimana
akuratnya suatu tes yang mengklarifikasikan orang sakit adalah benar-
benar sakit pada kenyataannya sedangkan spesifisitas adalah bagaimana
akuratnya suatu tes yang mengklarifikasikan orang sehat adalah benar-
benar sehat pada kenyataannya. Sensitivitas rendah berarti bahwa tes
akan melewatkan banyak individu yang memiliki penyakit ini, sedangkan
spesifisitas yang rendah menunjukkan bahwa tes akan menempatkan
banyak orang dalam kelompok yang berpenyakit meskipun mereka tidak
memiliki penyakit. Dalam jargon epidemiologi dikatakan bahwa suatu
skrining/penapisan dengan sensitivitas yang rendah akan meningkatkan
beberapa jumlah ‘false negatif’ sedangkan jika suatu skrining/penapisan
memiliki spesifisitas yang rendah akan menghasilkan banyak ‘false positif’.
Alat ukur memiliki nilai prediktif positif tinggi bila di kemudian
hari terbukti banyak terjadi positif benar (true positive) dan sedikit positif
palsu (false positive). Alat ukur memiliki nilai prediktif negatif tinggi bila
di kemudian hari banyak terjadi negatif benar (NB) dan sedikit negatif
palsu (NP).
Latihan Skrining/Penapisan
1. Jelaskan yang Anda pahami dari skirining dalam epidemiologi!
2. Kenapa kita melakukan skrining/penapisan?
3. Berikan contoh pelaksanaan tes skrining/penapisan pada Badan
Kesehatan Dunia, tuliskan sumber website sumber contohnya (www.
who.int)!
4. Jelaskan perbedaan sensitivitas dan spesifisitas!
5. Jelaskan yang dimaksud dengan sensitivitas dan spesifisitas rendah!
6. Jelaskan perbedaan nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif!
7. Lakukan perhitungan untuk soal di bawah ini, hitunglah sensitivitas,
spesifisitas, nilai prediktif positif dan nilai prediktif negatif, dan
interpretasikan?
112 EPIDEMIOLOGI
Hitunglah sensitivitas dan spesifisitas dari skrining/penapisan Infark
otot jantung?
Berapa jumlah positif benar dan negatif benar pada skrining/penapisan
ini?
10. Jelaskan prinsip yang harus dipertimbangkan sebelum melaksanakan
skrining/penapisan?
(Hasil Diskusi Latihan ini bisa diakses pada http://elearning.unsri.ac.id/, pilih sebagai guest (untuk yang bukan
mahasiswa FKM Unsri, pilih Fakultas Kesehatan Masyarakat, pilih mata kuliah Metode Epidemiologi, pasword: me,
materi Skrining, atau http://metopidfkmunsri.blogspot.com)
DAFTAR PUSTAKA
1. Webb P, Bain C, Pirozzo S. Essential Epidemiology, An Introduction for
Students and Health Professionals. New York: Cambridge University Press;
2005. p.290-312
2. Marchand R, Tousignant, Chang H. Cost-effectiveness of screening
compared to case-finding approaches to tuberculosis in long-term
care facilities for the elderly. International Journal of Epidemiology. 1999
28 Maret 2014;28:563-70.
3. Last JM. A Dictionary of Epidemiology. Edition F, editor. New York: Oxford
University Press; 2001. p.165-167
4. Bhopal RS, editor. Concepts of Epidemiology: An integrated introduction
to the ideas, theories, principles and methods of epidemiology; 2002. United
State: Oxford University Press; 2002.
5. Bonita R, Baeglehole R, Kjellstorm T. Basic of Epidemiology.
Switzerland: WHO Press; 2006 (cited. Available from: http://
whqlibdoc.who.int/publications/2006/9241547073_eng.pdf. p.110-
114
6. Unit Pengkajian Teknologi Kesehatan. Skrining Kanker Leher
Rahim dengan Metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA).
Jakarta: Departemen Kesehatan; 2008 (cited. Available from: http://
buk.depkes.go.id/index.php?option=com_docman&task=doc_
download&gid=279&Itemid=142.
114 EPIDEMIOLOGI
Bab 6
115
A. Pendahuluan
I
nvestigasi epidemiologi bertujuan untuk menjawab fenomena
kejadian kesehatan yang ada di populasi. Anda bisa mengaplikasikan
berbagai tipe studi desain dalam investigasi Anda, tergantung
situasi dan kondisi tertentu dan tingkat validitas yang Anda ingin capai.
Perhatikan contoh di bawah ini, pernahkah Anda bertanya akan suatu
kondisi berikut ini.
1. Anda ingin mengetahui trend penyakit di suatu daerah.
2. Anda ingin mengetahui hubungan antara variabel umur dan kejadian
kanker prostat.
3. Anda ingin menganalisis perbedaan karakteristik anak-anak yang
mengalami keracunan makanan dan tidak mengalami keracunan
makanan pada saat pesta ulang tahun si X.
4. Anda ingin mengetahui apakah rokok dapat menyebabkan berbagai
kanker di masa depan.
5. Kenapa angka prevalensi HIV lebih tinggi di Papua dibandingkan di
Sumatera.
6 ..............................................................................................................
7. ..............................................................................................................
(coba Anda tulis pertanyaan dalam pikiran Anda…)
Secara garis besar, desain penelitian dalam epidemiologi terbagi
menjadi dua kelompok besar yaitu penelitian eksperimental dan
penelitian observasi.Tujuan dari penelitian eksperimen/uji klinis adalah
untuk mengukur efek dari suatu intervensi terhadap hasil tertentu yang
diprediksi sebelumnya. Desain ini merupakan metode utama untuk
menginvestigasi terapi baru. Misal, efek dari
Petunjuk ! obat X dan obat Y terhadap kesembuhan
penyakit Z atau efektivitas suatu program
Desain studi penelitian kesehatan terhadap peningkatan kesehatan
Epidemiologi terbagi
menjadi dua yaitu Penelitian masyarakat.
Eksperimental dan penelitian Sedangkan penelitian observasional
Observasional.
tidak melakukan intervensi apa pun, tetapi,
116 EPIDEMIOLOGI
peneliti hanya mengobservasi kejadian atau fenomena yang terjadi di suatu
masyarakat untuk menjawab pertanyaan penelitian. Misalnya, peneliti ingin
mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu tentang gizi anak terhadap
status gizi anak. Peneliti tidak melakukan intervensi berupa penyuluhan
atau pelatihan seputar gizi anak kepada target penelitian terlebih dahulu.
Peneliti hanya menyelidiki apakah salah satu yang memengaruhi status
gizi anak itu adalah pengetahuan ibu yang telah mereka miliki sebelumnya
tentang gizi anak, mungkin dari media atau penyuluhan rutin oleh tenaga
kesehatan di lokasi setempat.
Contoh lainnya, peneliti ingin mengetahui faktor apakah yang berkaitan
dengan kejadian bunuh diri di daerah X. Peneliti bisa mengumpulkan data
dari keluarga yang salah satu anggota keluarganya melakukan bunuh diri
kemudian dibandingkan dengan data dari keluarga yang tidak ada anggota
keluarganya bunuh diri untuk menyelidiki penyebabnya. Penyelidikan
fenomena bunuh diri bisa dengan mengumpulkan informasi mengenai
sosioekonomi, status pernikahan, perilaku minum alkohol, kekerasan dalam
rumah tangga, atau pertanyaan lainnya pada dua kelompok tersebut, lalu
membandingkannya.
STUDI KASUS 1
Gambar 20. Metadon yang dberikan secara oral studi desain observasional
B. Studi Observasional
Secara umum, studi observasi terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu
studi deskriptif dan studi analitik. Studi deskriptif umumnya paling sering
digunakan untuk menggambarkan pola penyakit dan untuk mengukur
kejadian dari faktor risiko untuk penyakit (pajanan) pada satu populasi.
Sedangkan jika kita ingin mengetahui asosiasi antara kejadian penyakit dan
faktor risikonya, maka studi analitik dilakukan. Ada beberapa tipe studi
observasional secara umum, antara lain:(1, 2)
Studi Deskriptif
Studi Analitik
118 EPIDEMIOLOGI
Studi deskriptif merupakan langkah awal dalam melakukan investigasi
epidemiologi. Studi ini menjawab pertanyaan berkaitan dengan aspek
epidemiologi yang meliputi ‘orang, tempat dan waktu’ dan aspek ini
dipergunakan untuk menjawab pertanyaan ‘siapa?, apa?, di mana? dan
ketika?’. Termasuk sebagai studi deskriptif adalah survei prevalensi, studi
migrant dan kasus berurutan (case series).(1, 2) Survei prevalensi dilakukan
untuk menggambarkan kondisi kesehatan suatu populasi atau faktor risiko
kesehatan, misalnya Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia,
dilakukan secara rutin setiap dua-tiga tahun sekali, untuk melihat kondisi
kesehatan masyarakat di Indonesia dan berguna untuk melakukan
perencanaan kesehatan.
Studi migrant dilakukan jika kita ingin melihat perbedaan kondisi
kesehatan atau penyakit pada masyarakat berbeda etnik, suku dan negara.
Studi ini juga melihat perubahan pola penyakit pada etnik yang berbeda
jika mereka bermigrasi ke negara lainnya. Misal, etnik Jawa yang tinggal
di Indonesia akan memiliki pola penyakit berbeda dengan etnik Jawa yang
telah lama tinggal di Australia. Ataupun perbedaan pola penyakit etnik
Jepang yang tinggal di Jepang dan etnik Jepang yang telah lama bermigrasi
ke Amerika. Sedangkan, case series (studi kasus berturut-turut) dilakukan
jika kita ingin melihat karakteristik suatu penyakit yang terjadi di suatu
populasi. Misal, kejadian Flu Burung pada manusia di Indonesia. Kita bisa
mempelajari karakteristik pasien Flu Burung di Rumah Sakit X di Indonesia
dengan memerhatikan perbedaan karakteristik pasien, gejala umum dan
spesifik Flu Burung pada beberapa pasien yang positif ataupun terduga
(suspect) menderita Flu Burung.
Ketika kita akan menggali pertanyaan ‘kenapa’, kita perlu melakukan
studi analitik untuk menjawab pertanyaan tersebut. Studi Analitik
merupakan studi yang menganalisis hubungan antara status kesehatan dan
variabel lainnya.(1, 2) Sebagai contoh, penelitian Najmah dkk.,(3) melakukan
investigasi faktor-faktor yang memengaruhi perilaku penggunaan
alat dan jarum suntik tidak steril pada pengguna napza suntik. Selain
melakukan studi deskriptif sebagai langkah epidemiologi awal, peneliti
menggambarkan karakterikstik penasun di Kota Palembang, peneliti
melakukan studi analitik juga untuk mengetahui, hubungan antara faktor
karakteristik penasun dan variabel lainnya (lama menggunakan napza
120 EPIDEMIOLOGI
Bagaimana studi analitik? Kita bisa menghubungkan beberapa variabel,
misalnya:
1. Identifikasi perbedaan umur dan kepadatan tulang pada wanita lansia.
2. Analisis hubungan konsumsi kalsium dan vitamin D terhadap kejadian
patah tulang pinggul.
3. Identifikasi hubungan antara aktivitas fisik dan pencegahan patah
tulang pinggul pada wanita lansia dan sebagainya.
CASE CONTROL
KASUS-KONTROL
paparan pada masa lalu,
Outcome pada masa sekarang
Gambar 23. Jenis penelitian observasional secara garis besar: potong lintang (cross
sectional), kohort (cohort), dan kasus kontrol (case-control)
122 EPIDEMIOLOGI
Dalam studi kasus 1, kita mengamati pengguna narkoba suntik tanpa
membedakan mereka akses atau tidak akses PTRM atau status mereka dari
HIV/AIDS atau overdosis narkoba. Sampel kita semua pengguna narkoba
lalu kita telusuri apakah mereka akses PTRM dan pernah overdosis atau
sebaliknya. Perhitungan yang bisa dihitung angka prevalensi dan rasio
prevalensi. Kita mengumpulkan data dalam satu waktu dengan target
sampel adalah pengguna narkoba suntik di suatu daerah atau provinsi
(lihat Gambar 24).
Gambar 24. Aplikasi studi desain potong lintang (cross sectional) terhadap studi
kasus PTRM dan kematian akibat overdosis atau HIV/AIDS dan BBV
124 EPIDEMIOLOGI
d. Sumber daya dan dana yang efisien karena pengukuran dilakukan
dalam satu waktu.
e. Kerja sama penelitian (response rate) dengan desain ini umumnya tinggi.
126 EPIDEMIOLOGI
waktu
PTRM
Sakit/mati akibat HIV
dan penyakit yang
ditularkan melalui
darah & overdosis
(Kelompok Kasus)
Tidak Akses PTRM
Penasun
PTRM
Negatif dari HIV
dan penyakit yang
ditularkan melalui
darah & overdosis
(Kelompok Kontrol)
Tidak Akses PTRM
Gambar 26. Aplikasi studi desain kasus-kontrol (case control) terhadap studi kasus
PTRM dan kematian akibat overdosis atau HIV/AIDS dan BBV
Silahkan gambar alur penelitian studi kasus 2 Status gizi ibu dan
kejadian BBLR dengan studi desain kasus kontrol pada gambar di bawah ini.
128 EPIDEMIOLOGI
dapatkan adalah Odds Rasio (OR). Walaupun asosiasi bisa ditegakkan
dengan perhitungan odds rasio, tetapi tidak bisa menghitung risiko
absolut (abosulute risk) karena angka insiden tidak diketahui.
c. Bias seleksi. Tidak mudah untuk memilih responden pada kelompok
kontrol, karena responden sebisa mungkin tidak terpapar dari faktor
risiko yang merupakan penyebab dari penyakit pada kelompok kasus,
karena kemungkinan kelompok kontrol bisa menderita sakit yang sama
seperti kelompok kasus, tetapi masih tahap tanpa gejala (asymptomatic
group) dengan faktor risiko tersebut. Sehingga kemungkinan terjadinya
bias seleksi sangat besar. Misal, untuk mengetahui hubungan antara
kasus kanker paru-paru dan merokok. Untuk pemilihan kasus kontrol,
peneliti harus semaksimal mungkin untuk memilih kelompok ini
pada pasien penyakit selain kasus kanker, yang tidak terpapar dengan
rokok, misal penyakit maag, pasien katarak yang bukan perokok dan
sebagainya.
d. Bias informasi dan bias recall. Seperti kita pahami, bahwa informasi
yang kita akan dapatkan tergantung daya ingat responden. Rekam
medis dapat meminimalisir bias informasi, tetapi tidak semua faktor
risiko/paparan terdokumentasi pada rekam medis. Oleh karena itu,
kemungkinan bias pada informasi tetap ada, terutama untuk kelompok
kontrol. Kelompok kasus akan cenderung lebih mengingat faktor risiko
yang dia alami daripada kelompok kontrol. Seperti contoh di atas, ibu
dengan anak BBLR, umumnya daya ingat akan faktor paparan yang
dia alami, memorinya akan lebih tinggi daripada ibu yang melahirkan
bayi normal, misalnya status merokok, status gizi, periksa kehamilan
dan sebagainya.
Untuk kelebihannya, tentu saja desain ini sangat tepat sekali pada
kasus yang jarang terjadi di masyarakat, seperti kasus kanker, HIV/AIDS,
sehingga kita bisa mengetahui faktor risiko suatu kondisi kesehatan dengan
metode retrospektif dengan cepat, responden ditanya tentang faktor
paparan yang telah terjadi pada periode tertentu di masa lampau hingga
terjadinya penyakit. Kemudian, desain ini bisa dilakukan pada jumlah
sampel terbatas dan bisa mengeksplorasi banyak faktor paparan di masa
lampau pada satu outcome. Kelebihan lainnya, odds rasio nilainya mendekati
3. Desain Kohort
Ketika peneliti mempunyai waktu, tenaga dan pendanaan yang cukup
dan telah banyak penelitian sebelumnya melakukan penelitian dengan
desain potong lintang dan kasus-kontrol, maka pilihan selanjutnya adalah
desain kohort. Kelebihan studi kohort adalah kita bisa menilai kausalitas
karena faktor paparan terjadi sebelum responden sakit, sehingga adanya
tingkat alur jelas antara faktor paparan kemudian baru terjadi sakit.
Oleh karena itu, tingkat bias bisa diminimalisir terutama bias informasi,
karena responden diikuti oleh peneliti ke depan (prospektif). Kemudian
faktor perancu bisa dikontrol dan memungkinkan beberapa outcome hasil
penelitian dapat dihasilkan dalam penelitian ini. Studi ini juga sangat
baik untuk faktor paparan yang jarang terjadi dan memungkinkan peneliti
menghitung angka insiden (incidence rates).(1, 2, 8)
Kelemahan studi dengan desain kohort adalah memerlukan waktu yang
panjang terutama untuk mengetahui efek dari beberapa faktor paparan
karena desain ini umumnya untuk menginvestigasi penyakit kronik.
Desain ini juga membutuhkan jumlah sampel penelitian dalam cukup besar
yang bisa bermanfaat jika adanya banyak sampel yang hilang sepanjang
penelitian berlangsung dalam periode tertentu (loss of follow up). Biaya
yang dibutuhkan juga tidak murah pada desain ini. Kelemahan lainnya,
jika penyakit yang diteliti jarang terjadi baik di grup yang terpapar dan
grup tidak terpapar, sangat sulit sekali mencari responden dalam jumlah
yang sangat banyak.(1, 2, 8)
Contoh yang fenomenal adalah Framingham Cohort, yang dilakukan pada
lebih dari 5.209 responden yang berumur 30-62 tahun di Framingham,
Ma, Boston hingga tiga generasi yang dimulai pada tahun 1948 dan diikuti
hingga lebih dari 50 tahun ke depan (untuk melihat hasil penelitian
dapat diakses di http://www.bmc.org/strokecerebrovascular/research/
framinghamstudy.htm).
130 EPIDEMIOLOGI
Sudah lebih dari 1.000 publikasi untuk penelitian ini. Contoh
beberapa topik yang sudah dieksplorasi selama lebih kurang 50 tahun
itu antara lain:
a. Faktor risiko vaskular baik yang konvensional maupun baru.
b. Tindakan longitudinal penyakit subklinis yang dikumpulkan melalui
ultrasound seri karotis, echocardiography, tonometry arteri dan CT dan MR
pencitraan struktur jantung, arteri pusat dan aterosklerosis koroner.
c. Data mengenai perubahan struktural dan fungsional subklinis yang
menyertai penuaan otak dikumpulkan melalui MRI otak volumetrik
dan pengujian kognitif rinci.
d. Data insiden titik akhir klinis stroke, gangguan kognitif ringan tanpa
demensia dan demensia klinis (pembuluh darah dan tipe alzheimer).
Data ini dikumpulkan melalui pemeriksaan dan tindak lanjut oleh ahli
saraf studi dan neuropsychologists. Informasi tentang fase klinis setelah
onset penyakit juga tersedia.
e. Informasi mengenai diet, aktivitas fisik, depresi dan jaringan sosial.
f. Data alternatif penyebab morbiditas dan mortalitas termasuk kanker,
jantung dan penyakit pembuluh darah perifer, tulang, paru-paru dan
penyakit ginjal.
g. Database genetik padat termasuk genom informasi polimorfisme lebar
pada 550.000 SNP dan pemetaan lebih dari 50 gen kandidat potensial
relevansi kardiovaskular pada lebih dari 9.000 orang di 3 generasi.
Untuk studi kasus 1, PTRM dan kejadian kematian akibat overdosis
atau kesakitan akibat HIV/AIDS, penulis telah membuat alur penelitian
dengan desain kohort di bawah ini, coba jelaskan bagaimana penelitian ini
bisa dilakukan dengan desain ini!
Arah Pertanyaan
Gambar 28. Aplikasi studi desain kohort (cohort) terhadap studi kasus PTRM dan
kematian akibat overdosis atau HIV/AIDS dan BBV
Sakit
Terpapar
Sehat
Populasi
Terdefinisi
Sakit
Tidak
Terpapar
Sehat
Waktu
Arah Pertanyaan
132 EPIDEMIOLOGI
membahas penelitian eksperimental atau intervensi (intervention trial).
Tujuan dari penelitian eksperimental adalah untuk mengukur efek dari
suatu intervensi terhadap hasil tertentu yang diprediksi sebelumnya.
Desain ini merupakan metode utama untuk menginvestigasi terapi baru.
Misal, efek dari obat X dan obat Y terhadap kesembuhan penyakit Z atau
efektivitas suatu program kesehatan terhadap peningkatan kesehatan
masyarakat. Beberapa contoh penelitian dengan desain eksperimental,
seperti; 1) mengukur efektivitas penggunaan antibiotik terhadap
perawatan wanita dengan gejala infeksi saluran urin dengan hasil tes urin
negatif /negative urine dipstict testing,(6) efektivitas program MEND (Mind,
Exercise, Nutrition, Do it) terhadap tingkat obesitas pada anak-anak (www.
mendcentral.org)(7) dan efektivitas kawasan tanpa rokok (non-smoking
area) pada tingkat rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir pada tahun 2014,
Sumatera Selatan (Najmah dkk, 2014).(1)
Kelebihan penelitian eksperimental adalah memungkinkan untuk
dilakukan randomisasi dan melakukan penilaian penelitian dengan double-
blind. Teknik randomisasi hanya dapat dilakukan pada penelitian intervensi
dibandingkan penelitian observasional. Dengan teknik randomisasi,
peneliti bisa mengalokasikan sampel penelitian ke dalam dua atau lebih
kelompok berdasarkan kritieria yang telah ditentukan peneliti lalu diikuti
ke depan. Teknik randomisasi bertujuan untuk menciptakan karakteristik
antar kelompok hampir sama dalam penelitian. Kemudian, desain ini juga
memungkinkan peneliti melakukan double-blind dan juga triple blind, di
mana peneliti maupun responden ataupun statistisian tidak mengetahui
status responden apakah termasuk dalam kelompok intervensi atau non-
intervensi. Kekuatan desain ini bisa meminimalisir faktor perancu yang
dapat menyebabkan bias dalam hasil penelitian.(1, 2, 8)
Kelemahan penelitian eksperimental berkaitan dengan masalah
etika, waktu dan masalah pengorganisasian penelitian. (8) Intervensi
biasanya berkaitan dengan manusia, dan membutuhkan kerja sama dari
responden pada kelompok intervensi/non intervensi, tenaga kesehatan,
peneliti, laboran dan sebagainya terkait dengan penelitian, sehingga
butuh manajemen yang tidak mudah karena melibatkan banyak pihak.
Untuk mengurangi isu etika, ketika kita melakukan intervensi baru pada
Random
Sakit
Terpapar/
Intervensi
Sehat
Populasi
Terdefinisi
Tidak Sakit
Terpapar/
Non
Intervensi Sehat
Waktu
Arah Pertanyaan
Random/Alokasi Acak
Kelompok Sakit
Terpapar
(Kluster A) Sehat
Populasi
Terdefinisi
Kelompok Sakit
tidak
Terpapar
(Kluster B) Sehat
Waktu
Arah Pertanyaan
134 EPIDEMIOLOGI
Bonita (2006), mengelompokkan studi klinis menjadi beberapa tipe,(1)
antara lain:
Arah Pertanyaan
Gambar 32. Aplikasi studi eksperimen terhadap studi kasus PTRM dan kematian
akibat overdosis atau HIV/AIDS dan BBV
D. Ringkasan
Tidak ada studi desain yang sempurna, semua desain saling melengkapi
satu sama lain secara umum, studi observasi terbagi menjadi dua bagian
besar, yaitu studi deskriptif dan studi analitik. Studi deskriptif umumnya
paling sering digunakan untuk menggambarkan pola penyakit dan untuk
mengukur kejadian dari faktor risiko untuk penyakit (pajanan) pada satu
populasi. Sedangkan jika kita ingin mengetahui asosiasi antara kejadian
penyakit dan faktor risikonya, maka studi analitik dilakukan.
Pada studi analitik, yang paling tinggi adalah desain eksperimental. Pada
studi eksperimental bertujuan untuk mengukur efek dari suatu intervensi
terhadap hasil tertentu yang diprediksi sebelumnya. Desain ini merupakan
136 EPIDEMIOLOGI
metode utama untuk menginvestigasi terapi baru. Namun desain ini sering
menghadapi kendala pada etik dan pengorganisasian penelitian serta
dana yang tinggi. Jika uji klinis tidak memungkinkan dilakukan karena
keterbatasan penelitian, studi observasional bisa diaplikasikan. Desain yang
termudah adalah potong lintang. Kita melakukan investigasi faktor paparan
dan outcome pada satu waktu dan bisa dilakukan pada banyak responden
dalam waktu singkat dan sumber daya yang terbatas. Namun, ketika kita
ingin mendapatkan hasil studi dengan tingkat bias yang lebih rendah, kita
bisa melakukan studi kasus kontrol (faktor paparan terjadi dimasa lalu
dan kejadian penyakit terjadi pada masa sekarang)dan selanjutnya kohort
(faktor paparan terjadi dimasa sekarang, lalu diselidiki hingga kejadian
penyakit apakah akan terjadi di masa depan).
138 EPIDEMIOLOGI
Bab 7
PERHITUNGAN SAMPEL
DALAM PENELITIAN
EPIDEMIOLOGI
139
A. Pendahuluan
S
ering kali di dalam melakukan sebuah penelitian, sumber daya yang
tersedia baik itu berupa tenaga, waktu maupun dana sangatlah
terbatas. Hal ini, tidak memungkinkan peneliti untuk menganalisis
semua unit yang ada di dalam populasi. Oleh karena itu, perlunya dilakukan
sampling dengan hanya mengambil sebagian sampel dari keseluruhan
unit populasi yang ada. Sehingga, proses penelitian yang dilakukan akan
lebih efektif dan efisien terutama dalam hal biaya penelitian yang harus
dikeluarkan.
Selain efektivitas biaya penelitian, waktu yang dibutuhkan akan lebih
sedikit jika total sampel yang diobservasi sedikit, sehingga hasil penelitian
akan lebih cepat diperoleh. Sampling akan memberikan hasil pengukuran
yang akurat dan valid dibandingkan dengan mengukur semua unit dalam
populasi jika dilakukan dengan teknis sampling yang benar dan secara
random (acak). Pengukuran terhadap unit yang lebih banyak, berpotensi
meningkatkan bias dalam pengukuran. Akibatnya, hasil yang diperoleh
tidak menggambarkan keadaan yang ingin diukur.
INFERENSIAL
POPULASI
Derajat Kepercayaan 95 %
STATISTIK
SAMPEL
1, 2, 3,..........
Sumber: Kirkwood, 2003(1)
140 EPIDEMIOLOGI
B. Definisi dan Konsep Populasi dan Sampel
Populasi atau disebut juga universe adalah sekelompok individu yang
memiliki karakteristik sama, seperti sekelompok individu di masyarakat
yang mempunyai umur, seks, pekerjaan, status sosial yang sama atau objek
lain yang mempunyai karakteristik sama seperti golongan darah A, B, AB,
dan O, sedangkan sampel sendiri adalah sebagian kecil dari populasi atau
objek yang memiliki karakteristik sama.(2) Sedangkan Sudjana mengatakan
pula bahwa populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, baik hasil
menghitung maupun pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif, daripada
karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap dan jelas.
Menurut Sudjana, sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi
dengan menggunakan cara-cara tertentu. Maka, dapat disimpulkan bahwa
sampel merupakan bagian dari populasi.(3) Definisi ini juga didukung oleh
Kamus Epidemiologi, sampel adalah sebuah himpunan bagian dari populasi
di mana dapat berupa acak (random) maupun tidak acak (non random) serta
dapat mewakili atau tidak mewakili sama sekali.(4)
Beberapa alasan mengapa perlunya melakukan sampling adalah sebagai
berikut.(3)
1. Ukuran Populasi
Ukuran populasi terbagi menjadi dua yaitu populasi terhingga dan
populasi tak terhingga. Populasi tak hingga sudah dipastikan akan
dilakukan pemilihan sampel sedangkan untuk populasi terhingga
belum tentu demikian. Meskipun populasi terhingga diketahui,
dengan jumlah yang besar maka pertimbangan untuk melakukan
sampling harus dilakukan. Kepraktisan pengumpulan dan analisis
data merupakan pertimbangannya.
2. Masalah biaya dan waktu
Pendanaan juga menjadi faktor pertimbangan dalam suatu penelitian.
Semakin besar objek penelitian maka biaya yang akan dikeluarkan
akan semakin besar. Dan tidak semua peneliti ingin menghabiskan
waktunya bertahun-tahun untuk melakukan penelitian.
142 EPIDEMIOLOGI
populasi (kerepresentatifan), hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam
menentukan besar sampel. Besar sampel adalah keperluan analisis.
Beberapa analisis atau uji statistik memerlukan persyaratan besar sampel
minimal tertentu dalam penggunaannya.(5)
Menurut Tull dan Hawkins dalam Budiman,(2) ada tujuh langkah
dalam proses sampling yaitu: 1) mendefinisikan populasi, yang terdiri
dari elemen, unit sampling, tempat dan waktu; 2) Menentukan kerangka
sampling (sampling frame), termasuk menentukan target populasi dan
populasi sampling; 3) menentukan sampling unit, unit dasar dari elemen
populasi yang akan dijadikan sampel; 4) menentukan metode sampling,
secara random atau non-random; 5) Menentukan ukuran sampel, sesuai
dengan studi desain, tes hipotesa serta power dan derajat kepercayaan
yang diinginkan; 6) menspesifikasikan rencana sampling, teknis di
lapangan seperti kelengkapan perangkat lunak dan keras seperti kuesioner,
pewawancara, jadwal penelitian dan sebagainya; dan 7) memilih sampel,
sesuai protokol atau proposal penelitian yang telah disiapkan.
Sedangkan menurut Elwood,(6) ada 5 (lima) level/tingkatan seleksi
subjek penelitian antara lain:
1. Target Populasi (targeted population) adalah populasi target yang
diperlukan untuk mengaplikasikan hasil penelitian yang lebih luas dari
sumber populasi. Misal, kita ingin mengaplikasikan uji klinis perawatan
klinis tertentu tidak hanya pada sumber populasi, seperti di RS di Negara
X, tetapi juga RS di banyak negara di masa yang akan datang.
2. Sumber Populasi, (source population) adalah populasi yang bisa
didefinisikan dan dihitung, dan proporsi subjek yang memenuhi syarat
(eligible subjects) biasanya dihitung dari jumlah populasi sumber. Ada
beberapa studi menyatakan populasi sumber tidak bisa dihitung secara
tepat, walaupun definisi sumber populasi tetap harus jelas dalam suatu
penelitian. Di dalam populasi sumber ada empat kelompok yaitu a)
kelompok yang memenuhi syarat, b) kelompok yang hanya diukur
tetapi dinyatakan tidak memenuhi syarat, c) kelompok yang tidak bisa
diklarifikasikan karena informasi subjek kurang, d) kelompok yang
tidak bisa diklarifikasikan/dikelompokkan karena kurangnya sumber,
ketidaksediaan informasi atau alasan lainnya.
Populasi Target
Populasi Sumber
Subjek tidak dinilai, subjek dinilai tetapi
tidak memenuhi kriteria dan subjek tidak
Subjek yang bisa diklarifikasikan
memenuhi kriteria
Eksklusi karena subjek mati, tidak mampu
bekerja sama, isu administrasi, kerahasiaan,
Subjek yang masuk dan tidak mau mengikuti studi
dalam penelitian
Tidak mengikuti studi hingga akhir, data
hilang, hilang dalam penelitian (loss to
Partisipan Studi follow-up)
Sumber: Elwood, Critical Appraisal Page 76-79(6)
144 EPIDEMIOLOGI
SM Kalus, LH Kornman, JA Quinlivan, 2007, “Managing back pain in preganancy
using a support garment: a randomised trial” An International Journal of Obstetrics
and Gynaecology.
(download file di www.metopidfkmunsri.blogspot.com)
Study Participants
: Those who continued in trial and provided final outcome
data
(94 participants left, n case = 46 and 9 dropped out, n
control=48 and 12 dropped out)
Teknik Sampling
146 EPIDEMIOLOGI
ini berupa daftar penduduk yang memuat identitas seluruh penduduk
secara jelas. Cara yang bisa dilakukan untuk mengambil sampel
secara acak antara lain dengan menggunakan tabel random dan paket
komputer. Pada teknik acak sederhana ini semua sampel dari yang
pertama sampai yang ke- n akan dipilih secara acak.
b. Acak sistematis (Systematic random sampling)
Pada teknik acak sistematik, populasi yang ingin diambil sampel adalah
populasi homogen dengan sedikit variasi atau pola tertentu. Contoh
populasi seperti ini adalah pasien yang ada di suatu rumah sakit. Selain
populasi yang homogen, pada teknik ini diwajibkan adanya kerangka
sampel. Pengambilan sampel pada acak sistematis sedikit berbeda
dengan acak sederhana. Pada acak sistematis, hanya sampel pertama
yang akan diambil secara acak, sedangkan untuk sampel kedua dan
seterusnya akan diambil sesuai dengan interval tertentu.
Misalnya, seorang peneliti ingin melakukan penelitian di rumah sakit
Y mengenai kualitas pelayanan program BPJS di rumah sakit tersebut.
Jumlah sampel yang ingin diambil adalah 50 orang pasien dari 300
pasien yang ada. Interval yang akan digunakan untuk mengambil
sampel adalah 300/50 = 6. Apabila yang terpilih secara acak untuk
sampel pertama adalah pasien nomor 10, maka sampel kedua akan
diambil pada kelipatan 6 yaitu pasien nomor 16, dan begitu seterusnya
untuk sampel berikutnya hingga diperolah 50 orang pasien sebagai
sampel.
c. Acak berstrata (Stratified random sampling)
Teknik sampling stratifikasi ini dapat dilakukan pada populasi yang
heterogen (bervariasi). Oleh karena itu, pada teknik sampling ini
populasi harus dibagi menurut strata tertentu misalnya status
ekonomi (ekonomi rendah dan ekonomi menengah ke atas).
Tujuannya agar semua karakteristik pada populasi tersebut dapat
terwakili semuanya.
Dengan menggunakan teknik stratifikasi, peneiliti dapat meng
generalisasi hasil peneilitiannya pada subpopulasi (strata) tertentu.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada penarikan sampel dengan
148 EPIDEMIOLOGI
Kasus
Kontrol
Tahap pertama:
memilih cluster (desa). Desa Tanjung
Dari 227 desa dipilih n Tahap kedua:
Pule responden Memilih responden
4 desa sebagai cluster
secara random dengan menggunakan teknik simple
cara pps terhadap jumlah random sampling. Besar
Desa n
penduduk sampel minimal pada tiap
Lubuk Sakti responden cluster dialokasikan sama.
150 EPIDEMIOLOGI
Tabel 50. Jumlah sampel dari masing-masing RT yang terpilih
Jumlah
No RT Jumlah rumah
sampel
1 RT 05 (11 Ulu) 20 15
2 RT 10 (11 Ulu) 25 19
3 RT 04 (13 Ulu) 30 22
4 RT 08 (13 Ulu) 18 13
5 RT 11 (13 Ulu) 25 19
6 RT 26 (13 Ulu) 16 12
TOTAL 134 100
Sumber: Najmah, 2007.
152 EPIDEMIOLOGI
(Za √2PQ + Zb √P1Q1 + P2Q2 )2
............. (7.1)
(P1 – P2)2
Keterangan:
Zα : Deviat baku alpha
Zβ : Deviat baku beta
P1 : Proporsi penyakit/disease (masalah penelitian) pada kelompok uji, kelompok berisiko, atau kelompok
terpajan.
P2 : Proporsi penyakit/disease (masalah penelitian) pada kelompok standar, kelompok tidak berisiko, atau
kelompok tidak terpajan.
P1-P2 : Selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna.
P : Proporsi total (P1 + P2/2)
Q1 : 1 – P1
Q2 : 1 – P2
Pada penelitian potong lintang dengan skala ukur variabel adalah data
numerik yang tidak berpasangan, rumus besar sampel yang dapat dipakai
adalah rumus 7.2.
2
(Za + Zb)S
2 ........... (7.2)
X1 – X2
Di mana:
(n1 – 1)S12 + (n2 – 1)S22 ........... (7.3)
S2 =
(n1 – 1) + (n2 – 1)
Keterangan:
Zα : Deviat baku alpha
Zβ : Deviat baku beta
S : Simpangan baku gabungan
X1-X2 : Selisih rata-rata yang dianggap bermakna
n1 : Besar sampel pada kelompok 1
n2 : Besar sampel pada kelompok 2
S12 : Simpangan baku pada kelompok 1 pada penelitian sebelumnya
S22 : Simpangan baku pada kelompok 2 pada penelitian sebelumnya
Penyelesaian:
Langkah 1. Hal yang diketahui:
P1 = 0,35
P2 = 0,1
α = 0,05 (Zα = 1.96)
β = 0,2 (Zβ = 0.84)
P = (0,35+0,1)/2 = 0,225
Q1 = 1 – 0,35 = 0,65
Q2 = 1 – 0,1 = 0,9
Q = (Q1+Q2)/2 = 0.775
Interpretasi:
Berdasarkan hasil perhitungan besar sampel diperoleh sebanyak 43 sampel
minimal. Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang membandingkan
dua kelompok yaitu kelompok dengan faktor risiko (obesitas) dan kelompok
154 EPIDEMIOLOGI
tanpa faktor risiko (tidak obesitas). Oleh karena itu, besar sampel minimal
pada penelitian ini adalah sebanyak 43 orang untuk kelompok faktor risiko
dan 43 orang pada kelompok tanpa faktor risiko. Sehingga besar sampel
minimal yang diperlukan pada penelitian ini adalah 86 orang.
2
(Za + Zb)S
n= 2
X1 – X2
2
(1,64 + 1,28)40
=2
20
= 69
P1 (1 – P2)
OR = ........... (7.4)
P2 (1 – P1)
(OR).P2
P1 = ........... (7.5)
(OR).P2 + (1 – P2)
156 EPIDEMIOLOGI
Penyelesaian:
Langkah 1. Hal yang diketahui:
P2 = 0,25
α = 0,05 (Zα = 1.96)
β = 0,2 (Zβ = 0.84)
OR = 2
(OR).P2
P1 =
(OR).P2 + (1 – P2)
(2).0,25
= = 0,4
(2).0,25 + (1 – 0,25)
Q1 = (1 – 0,4) = 0,6
Q2 = (1 – 0,25) = 0,75
P = (P1 + P2)/ 2 = (0,4+0,25)/2 = 0,325
Q = 1 – P = 0,675
S = 35,9
158 EPIDEMIOLOGI
G. Perhitungan Sampel Studi Kohort (Cohort)
Apabila penelitian dilakukan pada data kategorik yang tidak
berpasangan, maka rumus besar sampel yang dipakai adalah rumus 7.1.
Sedangkan untuk penelitian pada data numerik yang tidak berpasangan,
rumus besar sampel yang dapat dipakai adalah rumus 7.2. Perhitungan
sampel minimal pada desain studi kohort sama seperti pada desain studi
lainnya. Apabila peneliti kesulitan mendapatkan proporsi penyakit pada
kelompok yang terpapar (P1) dari kepustakaan, nilai P1 dapat dihitung
dengan menentukan terlebih dahulu nilai RR yang dianggap bermakna.
Sehingga nilai P1 dapat dihitung dengan rumus 7.6.(7, 8)
P1 = RR * P2 ........... (7.6)
Penyelesaian:
Langkah 1. Hal yang diketahui:
P1 = 0,45
P2 = 0,2
α = 0,05 (Zα = 1.96)
β = 0,2 (Zβ = 0.84)
Interpretasi:
Berdasarkan hasil perhitungan di atas diperoleh besar sampel minimal
sebanyak 54 orang. Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang
membandingkan dua kelompok yaitu kelompok dengan faktor risiko
(terpapar radiasi nuklir) dan kelompok tanpa faktor risiko (tidak terpapar).
Oleh karena itu, besar sampel minimal pada penelitian ini adalah sebanyak
54 orang untuk kelompok faktor risiko dan 54 orang pada kelompok
tanpa faktor risiko. Sehingga besar sampel minimal yang diperlukan pada
penelitian ini adalah 108 orang.
160 EPIDEMIOLOGI
pekerja yang menderita gangguan fungsi paru pada kelompok yang tidak
terpajan debu mencapai 29%. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa
pekerja yang terpajan debu berisiko 2 kali lebih tinggi untuk menderita
gangguan fungsi paru dibandingkan pekerja yang tidak terpajan debu.
Dengan alpha 5% dan kekuatan uji 80%, hitunglah besar sampel minimal
yang diperlukan dalam penelitian tersebut.
P2 = 0,29
RR = 2
P1 = RR*P2 = 2*0,29 0,58
α = 0,05 (Zα = 1.96)
β = 0,2 (Zβ = 0.84)
Q1 = 1 – 0,58 = 0,42
Q2 = 1 – 0,29 = 0,71
P = (P1+P2)/2 = (0,58+0,29)/2 0,44
Q = 1 – P = 0,56
Interpretasi:
Berdasarkan hasil perhitungan di atas diperoleh besar sampel minimal
sebanyak 45 orang. Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang
membandingkan dua kelompok yaitu kelompok dengan faktor risiko
(terpapar debu) dan kelompok tanpa faktor risiko (tidak terpapar debu).
Penyelesaian:
Langkah 1. Hal yang diketahui:
P2 = 0,4
α = 0,05 (Zα = 1.96)
162 EPIDEMIOLOGI
β = 0,2 (Zβ = 0.84)
RR = 2
P1 = (2*P2) = (2*0,4) = 0,8
P = (0,4 +0,8 ) /2 = 0,6
Q1 = 1 – 0,8 = 0,2
Q2 = 1 – 0,4 = 0,6
Q = 1 – P = 0,4
Interpretasi:
Berdasarkan hasil perhitungan di atas diperoleh besar sampel minimal
sebanyak 23 orang. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental
yang membandingkan dua kelompok yaitu kelompok dengan intervensi
obat baru (obat X) dan kelompok dengan intervensi obat standar (obat
Y). Oleh karena itu, besar sampel minimal pada penelitian ini adalah
sebanyak 23 orang untuk kelompok obat X dan 23 orang pada kelompok
obat Y. Sehingga besar sampel minimal yang diperlukan pada penelitian
ini adalah 46 orang.
Kesalahan (a, b) Za Zb
Non Hipotesis
Hipotesis satu
(Deskriptif) Hipotesis
arah
dua arah
1% 2.81 2.57 2.57
5% 1.96 1.64 1.64
10% 1.64 1.44 1.44
15% 1.44 1.28 1.28
20% 1.28 0.48 0.84
I. Ringkasan
Dalam melakukan penelitian, kita perlu menentukan sampel penelitian
yang bisa mewakili populasi di mana penelitian tersebut dilakukan
atau sampel bisa digeneralisasi di populasi. Langkah-langkah dalam
pengambilan sampel dimulai dari ditentukanya populasi target, populasi
sumber, populasi yang memenuhi kriteria, sampel yang masuk dalam studi
dan sampel yang mengikuti hingga akhir studi. Hal penting juga yang
harus diperhatikan dalam sampling adalah teknik pengambilan sampel
dan teknik perhitungan sampel.
Secara garis besar teknik penarikan sampel dibagi menjadi dua yaitu
secara acak (probability random sampling) dan tidak acak (non probability
random sampling). Pada teknik pengambilan sampel secara acak, sampel
diambil secara acak dengan mempertimbangkan bahwa semua unit di
dalam populasi harus mempunyai peluang yang sama untuk terpilih
sebagai sampel meliputi sampling secara acak, sistematis, stratifikasi,
kluster ataupun multistage/bertahap. Sedangkan pada teknik pengambilan
sampel tidak acak, sampel dipilih secara tidak acak sehingga semua unit
di populasi tidak punya peluang yang sama untuk terpilih sebagai sampel,
termasuk teknik bola salju dan respondent driven sampling, secara kuota,
secara insidental, dan ketentuan/ teknik judgement.
164 EPIDEMIOLOGI
Untuk perhitungan besar sampel bisa dilakukan dengan menggunakan
rumus yang sudah ada dan disesuaikan dengan desain penelitian yang
digunakan, yang penting harus diketahui. Pada penelitian analitik kategori
tidak berpasangan beberapa nilai yang dibutuhkan seperti: Zα (Deviat
baku alpha), Zβ (Deviat baku beta), P1 (Proporsi penyakit/disease (masalah
penelitian) pada kelompok uji, kelompok berisiko, atau kelompok terpajan),
dan P2 (Proporsi penyakit/disease (masalah penelitian) pada kelompok
standar, kelompok tidak berisiko, atau kelompok tidak terpajan). Sedangkan
untuk data numerik tidak berpasangan data yang dibutuhkan adalah Zα
(Deviat baku alpha), Zβ (Deviat baku beta), S (Simpangan baku gabungan),
X1-X2 (Selisih rata-rata yang dianggap bermakna), n1 (Besar sampel pada
kelompok 1), n2 (Besar sampel pada kelompok 2), S12 (Simpangan baku
pada kelompok 1 pada penelitian sebelumnya), dan S22 (Simpangan baku
pada kelompok 2 pada penelitian sebelumnya).
166 EPIDEMIOLOGI
ditetapkan kesalahan tipe I sebesar 5%, dan kesalahan tipe II sebesar
20%. Jumlah sampel ibu dengan IMT kurus sebanyak 15 orang dan ibu
dengan IMT normal sebanyak 20 orang. Dengan hipotesis dua arah,
hitunglah besar sampel minimal yang diperlukan pada penelitian ini
untuk membuktikan hubungan antara IMT dan berat bayi lahir?
DAFTAR PUSTAKA
1. Kirkwood BR, Sterne JAC. Medical Statistics. Second ed. Victoria:
Blackwell Science; 2003. p.9
2. Budiman C. Pengantar Statistik Kesehatan. Jakarta: EGC; 1995. p.37-45
3. Sudjana. Metoda Statistika. 6, editor. Bandung: Tarsito; 1975.
4. Last JM. A. Dictionary of Epidemiology. Edition F, editor. New York: Oxford
University Press; 2001. p.162-163
5. Perhitungan Besar Sampel (database on the Internet). E Library
Fakultas Kedokteran UWKS. 2011.
6. Elwood M. Critical Appraisal of Epidemiological Studies and Clinical Trials.
New York: Oxford University Press; 2007. p.76-69
7. Sophiyudin D. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika; 2010. p.15-70
8. Hastono SP, Sabri L. Statistik Kesehatan. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada; 2010.
9. Najmah, Fenny Etrawati, Yeni, Feranita Utama. Pemodelan Kawasan
Tanpa Rokok (non-smoking area modeling) pada tingkat rumah tangga di
Kabupaten Ogan Ilir– Sumatera Selatan-Indonesia’(Modelling of Non-
Smoking Area in Household Level in Ogan Ilir City, South Sumatera,
Indonesia). Proposal Hibah Kompetitif Ogan Ilir: BOPTN Universitas
Sriwijaya; 2014.
10. Najmah, Farouk H, Hasyim H. Berbagai faktor yang berhubungan
dengan perilaku ibu dalam mengunakan jamban sehat di daerah aliran
Sungai Musi. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. 2007; 39(1):8.
SURVEILANS DALAM
EPIDEMIOLOGI
169
A. Pendahuluan
SURVEILANS TB PARU(1)
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular penting
yang muncul kembali (re-emerging communicable
disease) dewasa ini dan umumnya program yang
terkait dengan TB mempunyai data lengkap. Surveilans
umumnya relatif baik kualitasnya (dibandingkan dengan
program kesehatan lain). Hal ini, dikarenakan TB
merupakan penyakit yang mengancam hidup pada orang
dewasa yang biasanya mencari pertolongan pada dokter
yang kemudian menjaga catatan riwayat penyakit pada
pasien. Selanjutnya, pengobatan biasanya dilakukan di
bawah pengawasan, sehingga tersedia banyak informasi
terkait hasil pengobatan. Sebagian informasi tersebut
berbentuk data mentah; data penting lainnya yang tidak
dikompilasi (digabungkan) secara terpusat. Di berbagai
negara, surveilans data dilengkapi dengan informasi
dari survei berbasis populasi dan kedua jenis data
tersebut saling melengkapi informasi tentang penyakit.
Analisis data rutin surveilans dapat terlihat melalui:
• Beban nasional akibat TB
• Trend/Grafik insiden TB
• Konsistensi angka penemuan kasus TB
(case detection rates)
• Variasi insiden TB per wilayah/daerah
Studi kasus TB Paru dan Flu Burung adalah sebagian upaya kecil
dalam mengontrol penyebaran penyakit menular di Indonesia dan
beberapa negara di dunia. Ketika kita mempunyai data rutin, ini sangat
membantu dalam mengetahui trend penyaki tertentu sehingga jika
terjadi wabah/outbreak maka akan diidentifikasi dengan cepat. Biasanya
dinas kesehatan mengumpulkan data baik secara aktif ataupun pasif
dari berbagai Puskesmas di wilayah kerjanya untuk penyakit menular
170 EPIDEMIOLOGI
yang penting. Sedangkan, untuk beberapa penyakit menular yang tidak
rutin, seperti kejadian Flu Burung pada manusia, surveilans sentinel
merupakan alternatifnya. Jadi pencarian data dipusatkan pada pusat-pusat
kemungkinan terjadinya penyebaran penyakit seperti di pasar tradisional,
tempat pemotongan unggas, dan tempat pengolahan makanan berbasis
unggas.
Surveilans dan kegiatan analisis diperlukan untuk mengukur kemajuan
terkait target penyakit khusus dalam Millennium Development Goals. Misal:
penanggulangan TB termasuk dalam MDGS No. 6 yakni memerangi
penyakit HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya. Penanggulangan TB
termasuk dalam MDGS No. 6 yakni memerangi penyakit HIV/AIDS,
malaria dan penyakit lainnya.(1)
Tabel 51. Indikator MDGs No. 6 memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya
172 EPIDEMIOLOGI
berfokus pada permasalahan yang terkait dengan kematian, penyakit dan
kecacatan saja, tetapi juga pada isu kesehatan positif yang bertujuan untuk
meningkatkan kesehatan pada suatu negara. Istilah “penyakit” meliputi
semua perubahan kesehatan yang kurang baik, termasuk cedera dan
kesehatan mental.
Surveilans merupakan suatu proses yang sistematik meliputi
pengumpulan, pemeriksaan, analisis data serta diseminasi informasi
pada waktu dan orang yang tepat sehingga dapat dilakukan tindakan
lanjutan. Menurut WHO, surveilans merupakan ciri penting dalam praktik
epidemiologi. Keutamaan dari kegiatan monitoring terhadap fakta adalah
merupakan suatu proses dan berkelanjutan di mana monitoring merupakan
kegiatan berselang dan tidak disengaja. Selain itu, Center for Disease Control
and Prevention (CDC) mendefinisikan surveilans sebagai suatu proses
sistematik meliputi pengumpulan, analisis, dan interpretasi dari data
kesehatan, berguna untuk perencanaan, pelaksanaan dan penilaian praktik
kesehatan masyarakat yang terkait erat dengan waktu diseminasi data
kepada pihak yang memerlukan informasi tersebut. Oleh karena itu, data
hasil surveilans ini dapat digunakan sebagai landasan dalam melakukan
tindakan pencegahan dan penanggulangan (pengontrolan). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa sistem surveilans meliputi kapasitas fungsional
dari pengumpulan data, analisis dan diseminasi terkait berbagai program
kesehatan masyarakat.(4-7)
174 EPIDEMIOLOGI
D. Sumber Data Surveilans
Surveilans seharusnya memberikan gambaran yang terperinci
mengenai data surveilans yakni berupa kegiatan kontinu atau berkelanjutan
dalam menganalisis, menginterpretasikan dan memberikan umpan balik
dari pengumpulan data secara sistematik. Biasanya, proses tersebut
mengutamakan penggunaan metode secara praktis, satu kesatuan dan
cepat dibandingkan keakuratan dan kelengkapan. Melalui pengamatan
terhadap trend orang, tempat dan waktu, perubahan dapat diamati atau
diantisipasi dengan menggunakan program (kegiatan) yang tepat termasuk
investigasi dan pengukuran terhadap sumber-sumber data yang terkait
secara langsung dengan penyakit atau faktor-faktor yang memengaruhi
terjadinya penyakit tersebut.
Untuk mendukung analisis pelaksanaan surveilans di masyarakat dan
perencanaan program tindak lanjut, maka diperlukan data yang adekuat.
Berikut berbagai sumber data yang dapat digunakan untuk memenuhi
tujuan surveilans yakni meliputi karakteristik penyakit baik secara umum
dan khusus, meliputi:(4)
1. Laporan mortalitas dan morbiditas berdasarkan registrasi kematian,
laporan rumah sakit, aktivitas sentinel umum, atau catatan penting
lainnya.
2. Diagnosis laboratorium.
3. Laporan outbreak atau wabah.
4. Pemanfaatan vaksin (pemanfaatan dan efek samping).
5. Catatan ketidakhadiran karena sakit.
6. Faktor yang memengaruhi penyakit termasuk perubahan biologis
dalam bibit penyakit, vektor maupun perantara.
7. Kerentanan keparahan penyakit diukur melalui tes kulit atau surveilans
serologi (bank serum).
Pengumpulan data dalam surveilans dapat dilakukan melalui berbagai
elemen dalam rantai penyebab penyakit misalnya faktor risiko perilaku,
kegiatan pencegahan penyakit, kasus dan program serta biaya pengobatan
1. Surveilans Aktif
Pemeriksaan serologi untuk penyakit malaria bisa kita lakukan pada
daerah endemis Malaria jika data yang tersedia oleh tenaga kesehatan
tidak lengkap ataupun angka insiden terlihat rendah. Ataupun surveilans
176 EPIDEMIOLOGI
terhadap angka cakupan imunisasi dapat dilakukan di suatu negara, jika
data yang ada di departemen kesehatan di negara setempat menunjukkan
angka cakupan imunisasi tinggi tetapi angka insiden penyakit Polio, Campak
dan Difteri masih tersebar tinggi di beberapa provinsi. Contoh lainnya,
adanya wabah keracunan makanan di desa X setelah penyelenggaraan pesta
pernikahan, lalu tenaga surveilans kesehatan melakukan pengumpulan data
dengan wawancara dan mengumpulan sampel makanan untuk diperiksa
di laboratorium.
Beberapa contoh di atas adalah sedikit contoh pelaksanaan surveilans
aktif. Surveilans aktif pada umumnya menggunakan petugas khusus
surveilans yang akan melakukan kunjungan berkala ke lapangan, desa-
desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya meliputi
puskesmas, klinik, dan rumah sakit. Tujuan kegiatan ini adalah untuk
mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan
kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus yang terindeks.
Beberapa kelebihan surveilans aktif yakni tingkat keakuratannya lebih
baik dibandingkan surveilans pasif. Hal ini disebabkan karena petugas
secara khusus untuk ditunjuk untuk melakukan kegiatan surveilans untuk
penyakit tertentu. Selain itu, surveilans aktif dapat mengidentifikasi wabah/
outbreak lokal. Namun demikian, surveilans aktif memiliki kelemahan
yakni membutuhkan biaya yang lebih besar serta tingkat kesulitan untuk
operasionalisasinya lebih tinggi dibandingkan surveilans pasif.
2. Surveilans Pasif
Prinsip surveilans pasif adalah memantau penyakit secara pasif, dengan
menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang
tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan meliputi puskesmas, klinik dan
rumah sakit. Surveilans pasif memiliki beberapa kelebihan juga yakni relatif
murah dan mudah untuk dilakukan dibandingkan dengan surveilans aktif.
Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit
infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans pasif dapat
dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional.
Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi
kecenderungan/trend penyakit. Data yang dihasilkan cenderung under-
3. Surveilans Sentinel
Sistem surveilans sentinel diaplikasikan ketika daya dengan kualitas
tinggi dibutuhkan mengenai penyakit tertentu yang tidak bisa diperoleh
dari sistem surveilans pasif. Sistem sentinel membutuhkan jaringan
atau pusat titik pelaporan kasus yang terpilih. Misalnya pelaporan kasus
meningococcus atau Pnemumococcus pada jaringan rumah sakit besar
yang memiliki kualitas data yang baik.(12) Pusat kesehatan yang bisa
dijadikan pusat surveilans sentinel, harus memenuhi beberapa kriteria, mau
berpartisipasi, melayani populasi yang luas, sumber daya tenaga kesehatan
untuk mendiagnosis, merawat kasus dan melaporkan kasus yang terdektis
oleh surveilans dan memiliki laboratorium diagnostik dengan kualitas baik.
Penggunaan situasi sentinel telah menjadi pendekatan yang lebih
disukai untuk human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome
(HIV /AIDS). Surveilans untuk negara tertentu di mana surveilans berbasis
populasi nasional untuk infeksi HIV tidak layak. Pendekatan ini didasarkan
pada survey serologi periodic dilakukan di lokasi yang dipilih dengan
subkelompok populasi yang terdefinisi dengan baik (misalnya, klinik
prenatal). Dalam strategi ini, pejabat kesehatan menentukan subkelompok
populasi dan daerah untuk belajar dan kemudian mengidentifikasi sarana
pelayanan kesehatan yang melayani para penduduk yang mampu dan
bersedia untuk berpartisipasi. Fasilitas ini kemudian melakukan survei
serologi setidaknya setiap tahun untuk memberikan perkiraan statistik
yang valid dari prevalensi HIV.
Sistem surveilans lainnya yang dapat diperluas pada level komunitas,
disebut surveilans komunitas (community surveillance). Dalam surveilans
komunitas, informasi dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader
kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan diagnosis kasus bagi kader
178 EPIDEMIOLOGI
kesehatan. Definisi kasus yang sensitif dapat membantu para kader
kesehatan mengenali dan merujuk kasus tersangka (probable cases) ke
fasilitas kesehatan tingkat pertama.Petugas kesehatan di tingkat lebih
tinggi dilatih menggunakan definisi kasus lebih spesifik, yang memerlukan
konfirmasi laboratorium. surveilans komunitas mengurangi kemungkinan
negatif palsu (JHU, 2006).(8)
Pasien
Pustu, Klinik Swasta/
Rawat Jalan
Bidan Desa Private
Puskesmas
Sumber: Pedoman Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons, Kemenkes RI, 2012(14)
180 EPIDEMIOLOGI
FORMAT LAPORAN VIA SMS
Puskesmas/Pustu/Bidan* : ..................................................
Kecamatan : ..................................................
Kabupaten/Kota : ………………..................................
Periode pelaporan dari Minggu tanggal ……/……/…….. sampai Sabtu tanggal
……/……/……….
182 EPIDEMIOLOGI
C Tersangka Demam mendadak tanpa sebab yang jelas 2-7 hari, mual,
Demam Dengue muntah, sakit kepala, nyeri di belakang bola mata (nyeri retro
orbital), nyeri sendi, dan adanya manifestasi perdarahan
sekurang-kurangnya uji torniquet positif.
D Pneumonia Pada usia <5 tahun ditandai dengan batuk dan/atau tanda
kesulitan bernapas (adanya nafas cepat, kadang disertai tarikan
dinding dada bagian bawah kedalam (TDDK) atau gambaran
radiologi foto torak menunjukkan infiltrat paru akut), frekuensi
napas berdasarkan usia penderita:
• <2 bulan: 60/menit
• 2-12 bulan: 50/menit
• 1-5 tahun: 40/menit
Pada usia >5thn ditandai dengan demam ≥ 38°C, batuk dan/
atau kesulitan bernapas, dan nyeri dada saat menarik napas.
E Diare Berdarah Diare dengan darah disertai atau tidak disertai dengan lendir
atau Disentri dalam tinja, dapat juga disertai dengan adanya tenesmus.
F Tersangka Dengan anamnesis pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam,
Demam Tifoid gangguan saluran cerna dan tanda gangguan kesadaran.
G Sindrom Gejala penyakit yang timbul secara mendadak (< 14 hari)
Jaundice Akut ditandai dengan kulit dan sklera berwarna ikterik/kuning dan
urin berwarna gelap.
H Tersangka Demam mendadak di atas 38,5 °C dan nyeri sendi yang hebat
Chikungunya dapat disertai adanya ruam.
J Tersangka Flu ILI dengan kontak unggas sakit atau mati mendadak, produk
Burung pada unggas atau leukopenia atau pneumonia.
Manusia
K Tersangka Demam >38°C selama 3 hari atau lebih disertai bercak
Campak kemerahan berbentuk makulopapular, batuk, pilek atau mata
merah (konjungivitis).
L Tersangka Difteri Panas >38°C, sakit menelan, sesak napas disertai bunyi (stridor)
dan ada tanda selaput putih keabu-abuan (pseudomembran)
di tenggorokan dan pembesaran kelenjar leher.
M Tersangka Batuk lebih dari 2 minggu disertai dengan batuk yang khas
Pertussis (terus-menerus/paroxysmal), napas dengan bunyi “whoop”
dan kadang muntah setelah batuk.
N AFP (Lumpuh Kasus lumpuh layuh mendadak, BUKAN disebabkan oleh ruda
Layuh paksa/trauma pada anak < 15 tahun.
Mendadak)
P Kasus Gigitan Kasus gigitan hewan (Anjing, Kucing, Tupai, Monyet, Kelelawar)
Hewan Penular yang dapat menularkan rabies pada manusia.
Rabies atau
Kasus dengan gejala stadium prodromal (demam, mual,
malaise/lemas), atau kasus dengan gejala stadium sensoris (rasa
nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka,
cemas dan reaksi berlebihan terhadap ransangan sensorik).
184 EPIDEMIOLOGI
2. STEPwise Approach to Surveillance (STEPS)
Secara global, penyakit serebrovaskular (stroke) merupakan penyebab
utama kedua kematian. Penyakit ini dominan terjadi pada orang dewasa usia
pertengahan dan lebih tua. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2005,
stroke sebagai penyumbang 5,7 juta kematian di seluruh dunia, setara dengan
9,9% dari seluruh kematian. Lebih dari 85% dari kematian ini diestimasikan
terjadi pada orang yang hidupdi negara-negara berpenghasilan rendah atau
menengah dan sepertiganya terjadi pada usia kurang dari 70 tahun.(16)
Stroke Internasional: pendekatan bertahap surveilans stroke
(STEPwise-stroke) yang membentuk kerangka kerja untuk pengawasan dan
pengumpulan data dan bertujuan untuk menyediakan data untuk semua
negara anggota WHO.(12) STEPwiseStroke mengidentifikasi tiga kelompok
yang berbeda dari pasien stroke yang menimbulkan beban stroke dalam
komunitas atau populasi tertentu. Urutan identifikasi didasarkan pada
kompleksitasnya meliputi: Informasi tentang pasien stroke dirawat
difasilitas kesehatan (Langkah 1), Identifikasi kejadian stroke fatal yang
berbasis masyarakat (Langkah 2), Perkiraan kejadian stroke non-fatal
berbasis masyarakat (Langkah 3).(16)
G. Ringkasan
Surveilans merupakan kegiatan kontinu yang dilakukan untuk
menganalisis, menginterpretasikan dan memberikan umpan balik dari
pengumpulan data (penyakit menular dan tidak menular) secara sistematik.
Biasanya, proses tersebut mengutamakan penggunaan metode secara
praktis, satu kesatuan dan cepat dibandingkan keakuratan dan kelengkapan.
Surveilans terbagi menjadi tiga yaitu surveilans akti, surveilans pasif
dan sentinel. Surveilans aktif memiliki beberapa kelebihan yakni tingkat
DAFTAR PUSTAKA
1. Bonita R, Baeglehole R, Kjellstorm T. Basic of Epidemiology.
Switzerland: WHO Press; 2006 (cited. Available from: http://
whqlibdoc.who.int/publications/2006/9241547073_eng.pdf. p.127-
130
2. Najmah, Ainy A. Problem Solving of Avian Influenza in Indonesia.
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. 2007;39(3):3.
3. Departemen Kesehatan RI. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta: Depkes
RI; 2009.
4. Last JM. A. Dictionary of Epidemiology. Edition F, editor. New York:
Oxford University Press; 2001. p. 167, 174
5. Webb P, Bain C, Pirozzo S. Essential Epidemiology, An Introduction for
Students and Health Professionals. New York: Cambridge University Press;
2005.p.76-87
186 EPIDEMIOLOGI
6. World Health Organization. Communicable Disease Alert and
Response for Mass Gatherings (Key Considerations). Genewa: WHO
Publisher; 2008 (cited. Available from: http://www.who.int).
7. World Health Organization. Surveillance for Prevention, Preparedness
and Early Warning. Genewa: WHO Publisher; 2014 (cited. Available
from: http://www.who.int/cholera/surveillance/en/).
8. World Health Organisation. The Top 10 Causes of Deadth. Journal (serial
on the Internet). 2012 Date: Available from: http://www.who.int/mediacentre/
factsheets/fs310/en/.
9. Centers for Disease Control and Prevention(CDC). Principles of
Epidemiology in Public Health Practice. Public Health Surveillance. Atlanta:
CDC.
10. Rehle T, Lazzari S, Dallabetta G, Asamoah-Odei E. Second-Generation
HIV Surveillance: Better Data for Decision Making Bull World Health
Organization. 2004;82(Medicine):7.
11. Gordis L. Epidemiology. 4th, editor.: Saunders; 2009.
12. World Health Organisation. Sentinel Surveillance. Journal (serial on the
Internet). 2014 Date: Available from: http://www.who.int/immunization/
monitoring_surveillance/burden/vpd/surveillance_type/sentinel/en/.
13. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons
(EWARS). Jakarta: Ditjen PP&PL Kemenkes RI; 2012.
14. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons.
Jakarta: Kemenkes; 2012.
15. Dinas Kesehatan Ogan Ilir Sumsel. Arsip EWARS dan Surveillans.
Indralaya: Kemenkes; 2012.
16. World Health Organization. STEPwise Approach to Stroke Surveillance.
Genewa: WHO Publisher; 2014. (cited. Available from: http://www.
who.int/chp/steps/stroke/en/.
17. Baltimore. Disaster Epidemiology. John Hopkins University; 2006.
189
A. Penelitian Observasional dalam Epidemiologi
P
enelitian observasional merupakan penelitian di mana peneliti hanya
melakukan observasi, tanpa memberikan intervensi pada variabel
yang akan diteliti. Secara garis besar, studi desain observasional ada
tiga jenis: potong lintang (cross sectional), kohort (cohort), dan kasus kontrol
(case-control). Perbedaan secara umum terletak pada faktor paparan (exposure
factors) dan kejadian penyakit (disease). Studi desain potong lintang, faktor
paparan dan kejadian penyakit terjadi pada masa sekarang secara bersamaan
(in the present); studi desain kasus-kontrol, faktor paparan terjadi di masa
lalu dan kejadian penyakit terjadi pada masa sekarang; sedangkan studi
desain kohort, faktor paparan terjadi di masa sekarang, kemudian diselidiki
apakah kejadian penyakit akan terjadi di masa depan.(1, 2)
COHORT
CROSS SECTIONAL
KOHORT
POTONG LINTANG/SURVEI
paparan pada masa sekarang,
paparan dan outcome pada
Outcome pada masa depan
masa sekarang
CASE CONTROL
KASUS-KONTROL
paparan pada masa lalu,
Outcome pada
masa sekarang
Gambar 38. Jenis penelitian observasional secara garis besar: potong lintang (cross
sectional), kohort (cohort), dan kasus kontrol (case-control)
190 EPIDEMIOLOGI
sederhana untuk membedakan antara kesalahan acak dan sistematik.
Bayangkan bahwa studi yang dilakukan, sampelnya bisa ditingkatkan
ukurannya sampai tak terbatas. Ada beberapa tingkat kesalahan yang bisa
dikurangi sampai titik maksimal jika sebuah penelitian memiliki sampel
yang sangat besar; hal-hal tersebut adalah kesalahan acak atau random
error. Jadi, semakin besar jumlah sampel, akan semakin mewakili populasi
yang diteliti sehingga kesalahan dalam pemilihan subjek sampel dapat
diminimalisir, dengan kata lain 95% derajat kepercayaan akan semakin
presisi. Sedangkan kesalahan yang tidak dipengaruhi dengan peningkatan
jumlah responden dalam penelitian disebut dengan kesalahan sistematik
(systematic error) atau dikenal dengan istilah bias.(3)
Bias terdiri dari bias seleksi, bias informasi dan bias recall (mengingat
kembali). Sebuah penelitian bisa menjadi bias pada saat memilih
subjek-subjek penelitian (bias seleksi) disebabkan kesalahan dalam
mengelompokkan responden (kelompok kasus atau kontrol). Bias dapat
juga terjadi karena informasi yang salah, atau disebabkan kesalahan
mengingat informasi pada kedua kelompok yang berbeda. Cara mengukur
variabel pada penelitian, atau faktor perancu yang tidak dikendalikan
dengan baik dapat meningkatkan bias pada penelitian.(3)
1. Bias Seleksi
Bias seleksi adalah kesalahan sistematik pada sebuah studi yang berasal
dari prosedur-prosedur yang digunakan untuk memilih subjek-subjek dan
faktor-faktor yang memengaruhi keikutsertaan responden dalam penelitian.
Bias tersebut terjadi ketika hubungan antara paparan dan penyakit yang
membedakan antara orang-orang yang berpartisipasi dengan orang yang
tidak berpartisipasi pada sebuah studi. Karena hubungan antara paparan
dan penyakit di antara yang tidak berpartisipasi tidak diketahui, keberadaan
bias seleksi biasanya diduga dan dapat diobservasi.
Bias seleksi juga bisa timbul dari beberapa pilihan yang dibuat
langsung oleh peneliti. Sebagai contoh, banyak penelitian tentang pekerja
yang membandingkan laju kematian antara pekerja-pekerja pada pekerjaan
khusus terhadap populasi umum. Perbandingan ini menjadi bias karena
populasi umum terdiri dari orang yang tidak bisa bekerja dikarenakan sakit.
2. Bias Informasi
Bias informasi merupakan kesalahan sistematik dalam sebuah
penelitian yang bisa muncul karena informasi yang dikumpulkan tentang
atau dari subjek penelitian yang salah (tidak tepat). Informasi sering
dimaksudkan menjadi salah klasifikasi jika variabel yang diukur pada
sebuah kategori yang mutlak dan kesalahan yang mengakibatkan seseorang
ditempatkan pada sebuah kategori yang salah. Sebagai contoh, kesalahan
klasifikasi jika seorang perokok berat dikategorikan sebagai perokok
ringan. Khususnya, dua variabel utama dalam penelitian epidemiologi
menghubungkan paparan dan penyakit, bisa menimbulkan asosiasi yang
kurang tepat. Salah satu yang termasuk dalam bias informasi adalah bias
recall.
Bias recall adalah sebuah kesalahan sistematik dalam responden
mengingat dan melaporkan faktor risiko/paparan yang telah dia alami.
Responden yang mengalami suatu kondisi kesehatan seperti melahirkan
anak yang mengalami down syndrome akan lebih mengingat ataupun
sebaliknya tentang obat-obatan yang dia konsumsi selama kehamilannya
daripada ibu yang melahirkan anak normal. Klasifikasi yang berbeda-beda
karena informasi tentang faktor paparan salah diklasifikasi dengan cara
berbeda-beda untuk subjek dengan atau tanpa penyakit. Sama halnya
dengan kesalahan pengkategorian (differential misclassification) yaitu
kesalahan dalam hal follow up responden (biased follow up) di mana orang-
orang yang tidak terpapar terdiagnosis penyakit lebih banyak daripada
orang-orang yang terpapar. Sebagai contoh, seorang peneliti menggunakan
studi kohort untuk mengukur akibat dari merokok terhadap kejadian
192 EPIDEMIOLOGI
penyakit empisema. Pada penelitian tersebut ingin diketahui kejadian
empisema. Terdapat pertanyaan yang menanyakan tentang diagnosis medis
(terkait empisema) tetapi tidak dilakukan pemeriksaan untuk memastikan
diagnosis tersebut. Diagnosis tersebut (menggunakan kuesioner) mungkin
menyatakan terjadinya empisema. Diagnosis yang salah lebih sering terjadi
pada perokok daripada bukan perokok. Karena pada perokok, terdapat
komplikasi penyakit pernapasan yang menyerupai empisema.
3. Faktor Perancu
Faktor perancu atau confounding factors adalah distorsi dalam
memprediksi hubungan atau asosiasi antara faktor eksposur dan outcome
(hasil) sehingga asosiasi sebenarnya tidak tampak atau ditutupi oleh faktor
lainnya. Pengaruh faktor perancu bisa memperbesar atau memperkecil
hubungan sebenarnya. Jadi, suatu variabel mungkin sebenarnya bisa
faktor protektif terhadap suatu kondisi kesehatan atau penyakit, tetapi
hasil penelitian menunjukkan variabel tersebut bisa menjadi faktor risiko
terhadap suatu kondisi kesehatan atau penyakit atau hubungan. Dalam
setiap penelitian, faktor-faktor perancu akan selalu diidentifikasi sehingga
dalam pengolahan data, hasil asosiasi yang lebih akurat dapat diperoleh
setelah dikontrol oleh faktor perancu.(1, 4) Misal, faktor perancu bisa
ditemukan pertama, pada umur sebagai faktor perancu terhadap hubungan
merokok dan risiko kematian dan kedua, aktivitas fisik mendistorsi
hubungan antara asupan energi dan risiko terkena penyakit jantung (lebih
jelas lihat di Bab Faktor Perancu).
194 EPIDEMIOLOGI
Tabel 54. Cheklist STROBE pada penelitian observasional
Item No Rekomendasi
Judul dan 1 a) Menampilkan studi desain penelitian dengan istilah desain yang
Abstrak digunakan dalam judul atau abstrak, misal potong lintang, kasus
kontrol atau kohort.
b) Menyediakan abstrak, ringkasan informatif dan seimbang apa
yang telah dilakukan dan apa yang ditemukan.
Pendahuluan
Latar 2 Jelaskan latar belakang ilmiah dan rasional penelitian yang
Belakang dilaporkan.
Tujuan 3 Tujuan khusus, termasuk hipotesis yang lebih spesifik.
Metode
Desain studi 4 Menampilkan kunci utama yaitu studi desain pada penelitian.
Tempat dan 5 Jelaskan pengaturan, lokasi, dan tanggal yang relevan, termasuk
Waktu periode perekrutan, paparan, follow-up, dan pengumpulan data.
Responden 6 a) Studi kohort berikan kriteria pemilihan sampel, populasi sumber
penelitian dan metode pemilihan sampel atau responden. Jelaskan metode
tindak lanjut atau follow up Studi kasus-kontrol berikan kriteria
kelayakan, dan sumber-sumber dan metode kasus penetapan dan
pemilihan kontrol. Berikan alasan untuk pilihan kasus dan kontrol
Studi cross-sectional berikan kriteria kelayakan, dan sumber-
sumber dan metode seleksi sampel atau responden.
b) Studi kohort Untuk studi dengan matching, jelaskan kriteria dan
jumlah terpajan dan tidak terpajan Studi kasus-kontrol untuk studi
matching, berikan kriteria dan jumlah kontrol per kasus.
Variabel 7 Jelas mendefinisikan semua hasil, eksposur, prediktor, perancu
potensial, dan efek modifikasi. Berikan kriteria diagnostik, jika berlaku.
Sumber Data/ 8* Untuk setiap variabel, memberikan sumber data dan rincian metode
Metode penilaian (pengukuran). Jelaskan perbandingan metode pengukuran
Pengukuran jika ada lebih dari satu kelompok.
Bias Ukuran 9 Jelaskan upaya untuk mengatasi potensi sumber bias.
Studi Variabel 10 Jelaskan cara pengukuran sampel.
Kuantitatif 11 Jelaskan bagaimana analisis data dilakukan. Jika ada, jelaskan
kelompok mana yang dipilih dan alasannya.
Metode 12 a) Jelaskan semua metode statistik, termasuk yang digunakan
Statistik untuk mengontrol faktor perancu.
b) Jelaskan metode yang digunakan untuk meneliti subgrup dan
interaksi.
c) Jelaskan bagaimana data yang hilang itu ditanggulangi.
d) Studi Cohort jika berlaku, menjelaskan bagaimana data lost of
follow up dijelaskan.
e) Studi kasus-kontrol Jika berlaku, menjelaskan bagaimana
matching kasus dan kontrol ditujukan.
f) Studi potong lintang Jika berlaku, menjelaskan metode
perhitungan dan pemilihan sampel.
g) Jelaskan setiap analisis sensitivitas.
196 EPIDEMIOLOGI
Latihan 1: Telaah Kritis Artikel Penelitian Kasus Kontrol
Silahkan didownload di
http://www.ijphr.ukm.my/Lists/Publish%20Issue/DispForm.aspx?ID=26
Hip Structure Associated With Hip Fracture in Women: Data from the Geelong
Osteoporosis Study (GOS) Data Analysis-Geelong, Australia(6)
Najmah1*, L. Gurrin2, M.Henry3, J.Pasco3
Faculty of Public Health Sriwijaya University, Kampus Unsri Indralaya, Ogan Ilir,
1
ABSTRACT
Backgrounds: Aging leads to changes in bones to be highly fragile causing fractures.
In this research, changes in the dimensions of the hip structure can be measured by
using a computer program called ‘Hip Structural Analysis (HSA)’. The objective of
this study is to estimate the association between hip geometries in Femoral Neck
(FN) and the risk of hip fracture in older women.
Methods: A case control study was performed to explore the objective respectively
using the data of participants from population cohort and fracture cohort of the
Geelong Osteoporosis Cohort Geelong, Southern Victoria, Australia. Simple and
multiple logistic regressions were performed.
Results and Discussion: Of total of 598, comparing Fracture group (44 subjects)
and non-fracture group (454 subjects) aged over 63 years, the odds of hip fracture
increased by approximately 2 fold for each 1 SD increase in width (OR=1.70(1.18-
2.45,p 0.005), endocortical diameter (OR=1.80 (1,23-2.62, p=0.002), and buckling
ratio (OR=1.85(1.32- 2.61, p < 0.0001) and for each 1 SD decrease in BMD
(OR=1.98(1.21-3.23, p.0.006) and average cortical thickness (OR=2.02(1.23-3.34),
Tabel 55. Cheklist STROBE pada penelitian observasional dengan judul ‘The effect of
needle and syringe program on injecting drug users’ use of non-sterile syringe and
needle behaviour in Palembang, South Sumatera Province, Indonesia’
Dilaporkan
Bagian/Topik Daftar Point pada
Halaman
1. Judul dan 1 Methods: 185
abstrak A case control study was performed to explore the
objective.
respectively using the data of participants from population
cohort and fracture cohort of the Geelong Osteoporosis
Cohort Geelong, Southern Victoria, Australia.
Background: Aging leads to changes in bones to be highly 185
fragile causing fractures. In this research, changes in the
dimensions of the hip structure can be measured by
using a computer program called ‘Hip Structural Analysis
(HSA)’…….etc.
Pendahuluan
2. Latar 2 Background and Rationale: Hip fracture is a major 186
belakang/ public health problem and a leading cause of morbidity,
rasionalitas hospitalisation and mortality in particular cases (Deng et
al., 2002, Hannan, 2001, Wehren and Magaziner, 2003,
Khasraghi, 2003). Hip fractures are also associated with
certain medical complications, including electrolyte
imbalance, urinary tract infection, respiratory failure
and delirium in both men and women (Khasraghi,
2003). In the early twenty-first century, the estimated
number of incident osteoporotic hip fractures was 1.6
million worldwide; with approximately 70 % of these
occurred in women. The Disability Adjusted Life Years
(DALYs) for hip fracture was 0.82 million in men and
1.53 million in women within the same year. Moreover,
hip fracture contributed for 41 % of the global burden
of osteoporosis in 2000 (Johnell and Kanis, 2006).
198 EPIDEMIOLOGI
In Australia, hip fractures were predicted to increase for
36 % between 1996 and 2006 (from 15000 to 21000 cases)
(Sanders et al., 1999a). This significant increase was due to
the increased number of elderly aged 85 years and over
as Australia faces the challenges of an aging population
(Sanders et al., 1999a). Furthermore, hip fractures are
projected to increase by twofold in 2026 and fourfold in
2051 (Sanders et al., 1999a) with hospitalization rate of
almost 100 % (Pasco et al., 2005). A number of studies
showed that women have a higher incidence of hip fractures
than men (Sanders et al., 1999b, Seeman, 2002, Wehren
and Magaziner, 2003).
3. Tujuan 3 Objectives: The objective of the research was to examinethe 186
association between hip geometries in Femoral Neck and the
risk of hip fracture in older women.
Metode
4. Rancangan 4 Study design: A case control design was used to determine 186
penelitian risk factors of fracture, in particular, measured from FN
geometries.
5. Tempat 5 Study Area: The GOS, a population-based cohort study 186
penelitian was based in a region surrounding Geelong in Southern
Victoria (Henry et al., 2000). The region named Barwon
Statistical Divisions, was defined by the Australia Bureau
of Statistics (Henry et al., 2000). The region consists of
stable urban and rural populations that may represent
the Australian populations (Henry et al., 2000). A small
number of radiological centres indicates a complete
ascertainment can be attained by accessing all radiological
reports (Pasco et al., 1999). There are two cohort data in
the GOS; fracture cohort (Sanders, 1998) and population
cohort (Henry et al., 2000).
6. Partisipan 6 Study Area: Study Sample in this research is that the eligible 186-187
case and control sample was made up of participants in
fracture cohort and population cohort of the Geelong
Osteporosis Study respectively in older group aged ≥ 64
years old. The inclusion criterion for case group was also
that participants have sustained in the low trauma group
of hip fracture. Low trauma group was defined by the GOS
researchers as fracture due to accidental fall from less than
standing height (lying/sitting), accidental fall from standing
height, a spontaneous fracture and other fracture except
due to transportation accidents.
(b) Untuk studi yang memuat adanya proses pencocokan, -
pada kriteria dan jumlah terpapar dan tidak terpapar
200 EPIDEMIOLOGI
of fracture were able to be described clearly. Regression 187
coefficient (the first objective), the Odds Ratio (the second
objective), the 95 % confidence interval and p value were
reported.
(b) Jelaskan metode yang digunakan untuk meneliti -
subgrup dan interaksi tidak dilakukan
(c) Menjelaskan bagaimana missing data terjadi -
202 EPIDEMIOLOGI
Latihan 2: Telaah Kritis Artikel Penelitian Kasus Kontrol
Lakukan latihan 2 secara mandiri
Judul Penelitian: “The Effect of Needle and Syringe Program on Injecting Drug
Users’ Use of Non- Sterile Syringe and Needle Behaviour in Palembang, South
Sumatera Province, Indonesia” Peneliti: Najmah*, Nuralam Fajar, Rico Januar
Sitorus Jurnal: International Journal of Public Health Research Special Issue 2011,
pp (193-198) Tahun: 2011
Faculty of Public Health, Sriwijaya University, Kampus Unsri Indralaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Indonesia,
*For reprint and all correspondence: Najmah, Faculty of Public Health, Sriwijaya University, Kampus Unsri Indra-
laya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Indonesia,Hp: +6285267412242 E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Introduction: HIV/AIDS has become one of international public health problem. An
effective method to spread HIV/AIDS is through shared needle and syringe among
Injecting Drug Users (IDUs). Many studies have been undertaken to know the effect
of Needle and Syringe Program (NSP) to reduce the risk behaviours of IDUs in sharing
needle and syringe among IDUs. NSP has been implemented in Palembang since 2009.
However, there is no previous research to examine IDUs behaviours in using non sterile
injection and syringe in Palembang. Therefore, a research is needed to be undertaken
to know the effect of NSP on IDUs’ behaviours in using sterile needle an syringe.
Objective: To identify association between seeking behaviours of NSP on IDUs’
behaviours in using sterile needle and syringe.
Methods: This was a case control study with respondents recruited using snowball
and purposive technique. Simple and multiple logistic regression tests were performed
using statistics program (Stata version 10) to identify main association between NSP
Latihan 3: Telaah Kritis Studi Desain Potong Lintang, Kasus Kontrol dan
Kohort
Carilah satu jurnal dengan studi desain potong lintang, kasus kontrol
dan kohort, lalu lakukan telaah kritis secara kelompok.
D. Ringkasan
Pada penelitian observasional, ada beberapa kelemahan yang kita
temukan pada desain ini, seperti bias dan faktor perancu. Bias terdiri dari
bias seleksi, bias informasi dan bias recall (mengingat kembali). Sebuah
penelitian bisa menjadi bias pada saat memilih subjek-subjek penelitian
(bias seleksi) disebabkan kesalahan dalam mengelompokkan responden
(kelompok kasus atau kontrol). Bias dapat juga terjadi karena informasi
yang salah, atau disebabkan kesalahan mengingat informasi pada kedua
kelompok yang berbeda. Cara mengukur variabel pada penelitian, atau
faktor perancu yang tidak dikendalikan dengan baik dapat meningkatkan
bias pada penelitian.
204 EPIDEMIOLOGI
Salah satu untuk mengurangi kelemahan dalam merancang atau
melakukan penelitian observasional, maka dikembangkan panduan
pelaporan penelitian observasional dalam epidemiologi. Penulisan dan
pelaporan penelitian tersebut sering tidak memadai, yang menghambat
penilaian kekuatan dan kelemahan dan generalisasi suatu penelitian. Oleh
karena itu, ada panduan yaitu The Strengthening the Reporting of Observational
Studies in Epidemiology (STROBE) yang mengembangkan rekomendasi berupa
ceklist tentang apa yang harus disertakan dalam laporan yang akurat dan
lengkap dari studi observasional, dimulai dari latar belakang, metodologi,
hasil dan pembahasan serta informasi lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Webb P, Bain C, Pirozzo S. Essential Epidemiology, An Introduction for
Students and Health Professionals. New York: Cambridge University Press;
2005. p.117-125, 183-186
2. Bonita R, Baeglehole R, Kjellstorm T. Basic of Epidemiology. Switzerland:
WHO Press; 2006 (cited. Available from: http://whqlibdoc.who.int/
publications/2006/9241547073_eng.pdf. p. 40-49)
3. Rothman KJ. Epidemiology, An Introduction. New York: Oxford University
Press; 2002. p.94-112
4. Last JM. A Dictionary of Epidemiology. Edition F, editor. New York: Oxford
University Press; 2001. p.37
5. Vandenbroucke J, P, et al. Strengthening the Reporting of Observational
Studies in Epidemiology (STROBE): Explanation and Elaboration.
PLoS Medicine. 2007;4(10):1628-54.
6. Najmah, L. Gurrin, M.Henry, J.Pasco. Hip Structure Associated With
Hip Fracture in Women: Data from the Geelong Osteoporosis Study
(Gos) Data Analysis-Geelong,Australia. International Journal of Public
Health Research 2011. 2011(Special Issue):185-92.
7. Najmah, Nuralam Fajar, RIco Januar Sitorus. The Effect of Needle and
Syringe Program on Injecting Drug Users’ Use of Non-Sterile Syringe
and Needle Behaviour in Palembang, South Sumatera Province, Indonesia
International Journal of Public Health Research 2011. (Spesial Issue):193-9.
207
A. Pendahuluan
P
eneliti dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sriwijaya, Najmah, Fenny Etrawati, Yeni dan Feranita Utama,
Ingin mengetahui efektivitas kawasan tanpa rokok (non-smoking
area) pada tingkat rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir pada tahun 2014,
Sumatera Selatan. Peneliti membuat peta pemikiran penelitian. Peneliti
akan mengangkat tema ‘Pemodelan Kawasan Tanpa Rokok (non-smoking
area modeling) pada tingkat rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir’ (Lihat
Abstrak Penelitian pada studi kasus 1 dan Gambar 39).(1)
Intervensi yang dikembangkan adalah inisiasi kawasan tanpa rokok
pada tingkat rumah tangga di Ogan Ilir akan dilakukan melalui penerapan
model intervensi agen pusat pengendalian penyakit Amerika (Control
Disease Centers of USA). Intervensi dilakukan di 2 klaster atau desa dan 2
desa kelompok kontrol di Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Pertanyaan yang
harus dikritisi:
1. Apakah yang peneliti tulis sesuai dengan kaidah-kaidah baku secara
internasional?
2. Dari segi penulisan proposal penelitian, apa saja yang harus diperbaiki?
3. Bagaimana laporan penelitian seharusnya ditulis? dan sebagainya.
Pada bab ini, kita akan membahas bagaimana kita menelaah suatu
penelitian ekaperimen yang sesuai prosedur CONSORT atau standar
pelaporan penelitian eksperimen yang terkonsolidasi atau dikenal dengan
CONSORT (Consolidated Standards of Reporting Trials).
208 EPIDEMIOLOGI
Survei awal Intervensi Pr
ogram
1. Penggandaan 1. Training na
kes atau
kuesioner penelitian kader
2. Perekrutan dan 2. Konseling
training enumerator 3. Sms gaul pr
omosi
sebanyak 4 orang kesehatan Post test
mahasiswa FKM 4. Pemberian 1. Pengumpulan data
permen
UNSRI herbal pada kelompok
3. Pengumpulan data 5. Celengan intervensi
sehat
pada kelompok 2. Pengolahan data
non- intervensi meliputi entry,
Luaran dan indikator
di lapangan oleh penelitian tahap dua
editing, coding
enumerator (intervensi program) dan cleaning.
1. Bidan konselor yang telah
Luaran dan Indikator terlatih memberikan
penelitian tahap satu (pre konseling
test) 2. Penerapan intervensi
1. Gambaran awal perilaku smoking cesssation yang Rencana Analisis
merokok responden diadopsi dari CDC pada 1. Analisis Univariat
sebelum intervensi tingkat rumah tangga 2. Analisis Bivariat
2. Gambaran awal 3. Perubahan perilaku 3. Analisis Multivariat
pengetahuan responden merokok
3. Gambaran karakteristik 4. Penurunan Proporsi
sosiodemografi responden penyakit ISPA, Pneuomia,
4. Proporsi penyakit ISPA, dan TB
Pneuomia, dan TB
Luaran dan indikator penelitian tahap tiga (post test)
Data yang telah dikumpulkan pada tahap survei awal
akan disajikan sebagai informasi awal yang akan
dianalisis bersama-sama dengan data pada tahap ini.
Analisis data akan dilakukan menggunakan aplikasi
SPSS. Pada tahap ini akan dilihat efektivitas intervensi
program yang diberikan, perubahan perilaku dan
cost effectiveness melalui celengan sehat. Output
dari intervensi program ini diharapkan adanya
perubahan perilaku merokok responden sehingga
dapat tercipta rumah tangga tanpa asap rokok.
Gambar 39. Peta pemikiran penelitian pemodelan kawasan tanpa rokok (non-
smoking area modeling) pada tingkat rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir (lihat
abstrak penelitian pada studi kasus)
210 EPIDEMIOLOGI
berdasarkan kritieria yang telah ditentukan peneliti lalu diikuti ke depan.
Teknik randomisasi bertujuan untuk menciptakan karakteristik antar
kelompok hampir sama dan jumlah sampel tiap kelompok seimbang dalam
penelitian.(4, 5)
4. Penyamaran (Blinding)
Penelitian eksperimen/uji klinis dengan teknik randomisasi akan
lebih besar kualitasnya jika dalam pengukurannya dilakukan penyamaran
(blinding). Terdapat tiga jenis penyamaran yaitu single blind, double blind, dan
triple blind (satu, dua dan tiga penyamaran). Kita juga bisa melakukan single
blind dan triple blind. Pada single blind, salah satu dari subjek penelitian atau
peneliti tidak mengetahui ke dalam kelompok mana subjek dialokasikan.
Pada double-blind, peneliti maupun responden atau responden dan pengolah
data(statistisian) tidak mengetahui status responden apakah termasuk
dalam kelompok intervensi atau non-intervensi. Sedangkan pada triple blind,
selain subjek dan peneliti, tim monitoring penelitian juga tidak mengetahui
ke dalam kelompok mana subjek dialokasikan. Kekuatan desain ini bisa
meminimalisir faktor perancu yang dapat menyebabkan bias dalam hasil
penelitian.(4, 5)
212 EPIDEMIOLOGI
D. Pelaporan Studi Eksperimen dengan Standar yang
Telah Disepakati/CONSORT (Consolidated Standards of
Reporting Trials)
Desain eksperimen dikenal sebagai ‘gold standard’ di antara desain
penelitan epidemiologi lainnya. Metode eksperimen dianggap bisa
menghasilkan penelitian dengan tingkat bias paling rendah sehingga dapat
menjadi bukti yang paling tinggi atas efikasi suatu produk atau intervensi
kesehatan. Penelitian dengan desain ini jika dirancang, dilakukan dan
dilaporkan dengan akurat, dapat menjadi ‘goldstandard’ dalam menentukan
kebijakan.
Walaupun demikian, desain intervensi juga bisa menghasilkan bias jika
metode penelitian tidak akurat. Oleh karena itu, untuk menilai penelitian
eksperimen secara akurat, pembaca membutuhkan informasi yang lengkap
dan jelas pada metodologi, gambaran dan informasi penting lainnya pada
penelitian yang dilakukan penulis. Oleh karena itu, dikembangkan standar
pelaporan penelitian eksperimen yang terkonsolidasi atau dikenal dengan
CONSORT (Consolidated Standards of Reporting Trials) untuk mempermudah
dalam pelaporan setiap hasil penelitian eksperimen dengan metodologi
yang dapat meningkatkan kualitas hasil penelitian.(6, 7)
Tabel 56. Poin-poin yang perlu dilaporkan pada penelitian eksperimen randomisasi
CONSORT 2010
Dilaporkan
Bagian/Topik Kode Daftar Poin pada
halaman #
Judul dan 1a Identifikasi sebagai penelitian eksperimen randomisasi
abstrak pada judul/abstrak.
1b Rangkuman penelitian terstruktur dari desain penelitian,
metode, hasil dan kesimpulan.
Pendahuluan
Latar 2a Latar belakang yang ilmiah dan penjelasan rasional
belakang dan penelitian.
tujuan 2b Tujuan atau hipotesis spesifik/khusus.
214 EPIDEMIOLOGI
Hasil
Alur 13a Untuk setiap kelompok, jumlah peserta yang secara
Partisipan acak dialokasikan, menerima pengobatan/intervensi,
(diagram dan yang dianalisis untuk hasil primer.
sangat 13b Untuk setiap kelompok, partisipan yang hilang dan
dianjurkan) dikeluarkan setelah randomisasi, bersama dengan
alasan.
Rekruitmen 14a Tanggal periode perekrutan dan tindak lanjut.
14b Mengapa penelitian berakhir atau dihentikan.
Data dasar 15 Sebuah tabel karakteristik demografi dan karakteristik
(Baseline klinis untuk setiap kelompok.
data)
Jumlah yang 16 Untuk setiap kelompok, jumlah peserta(penyebut)
dianalisis termasuk dalam analisis masing-masing dan apakah
analisis itu dilakukan pada kelompok alokasi awal.
Keluaran dan 17a Untuk setiap hasil primer dan sekunder, hasil untuk
Estimasi masing-masing kelompok, dan ukuran nilai di populasi
dan presisi (seperti tingkat kepercayaan 95%).
17b Untuk hasil binary, penyajian ukuran efek absolut
maupun relatif direkomendasikan.
Analisis 18 Analisis lainnya, termasuk analisis subkelompok
Lanjutan dan analisis yang disesuaikan (adjusted analysis),
(Ancillary membedakan hasil yang spesifik dan hasil eksplorasi.
analyses)
Bahaya 19 Semua bahaya/efek yang tidak diinginkan yang dapat
(Harms) timbul pada setiap kelompok penelitian.
Diskusi
Keterbatasan 20 Keterbatasan penelitian; mempertimbangkan sumber
potensial bias, ketidaktepatan, dan jika relevan, analisis
multiple.
Generalisasi 21 Generalisasi (validitas eksternal) dari temuan penelitian.
Interpretasi 22 Interpretasi harus konsisten dengan hasil,
menyeimbangkan manfaat dan bahaya, dan
menambahkan hasil penelitian sebelumnya yang
relevan.
Informasi Lainnya
Registrasi 23 Nomor pendaftaran dan nama registry penelitian.
Protokol/ 24 Di mana protokol penelitian dapat diakses penuh, jika
Proposal tersedia.
Sumber dana 25 Sumber dana dan dukungan lainnya (seperti penyediaan
penelitian obat-obatan), peran penyandang dana.
Sumber: Douglas G. Altman, 2001, Schulz, 2010(6, 7)
ABSTRAK
PEMODELAN KAWASAN TANPA ROKOK
(NON-SMOKING AREA MODELLING)
PADA TINGKAT RUMAH TANGGA
DI KABUPATEN OGAN ILIR
Najmah, Fenny Etrawati, Yeni, Feranita Utama
(Proposal Penelitian Hibah Kompetitif Universitas Sriwijaya)
Latar Belakang: Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) merupakan salah satu upaya
pengendalian produk tembakau guna peningkatan kesehatan masyarakat. Berbagai
bentuk regulasi mengenai komitmen terhadap KTR telah diterbitkan baik di tingkat
nasional maupun di tingkat daerah. Secara umum, dalam peraturan tersebut rumah
tangga tidak disebutkan secara eksplisit sebagai sasaran penerapan kawasan tanpa
rokok. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa trend peningkatan perokok aktif saat
ini tidak hanya didominasi oleh kelompok dewasa namun juga remaja. Kondisi ini
juga memicu peningkatan dampak kesehatan bagi perokok aktif dan perokok pasif.
Berbagai penyakit yang bisa dipicu melalui perilaku merokok antara lain Infeksi Saluran
Pernapasan Atas (ISPA), Pneumonia dan TB.
216 EPIDEMIOLOGI
Metode Penelitian: Inisiasi kawasan tanpa rokok pada tingkat rumah tangga di Ogan
Ilir akan dilakukan melalui penerapan model intervensi CDC pada 4 desa dan 200
sampel yang dipilih melalui metode cluster random sampling. Penelitian ini meliputi
tiga tahapan utama, tahapan pertama, dilakukan pengumpulan data kuantitatif pada
dua desa kontrol untuk melihat gambaran perilaku merokok masyarakat tanpa
intervensi. Tahapan kedua, yakni melakukan penerapan model intervensi CDC pada
kelompok intervensi yang meliputi: 1) brief clinical treatment dengan memberikan
pelatihan terhadap 8 bidan, 2) konseling terpadu dengan target kepala rumah tangga,
3) promosi kesehatan terkait KTR melalui SMS gaul (telephone celluler), 4) intervensi
pemberian permen pengganti produk rokok, 5) pemberian motivasi pemindahan
anggaran belanja rokok untuk tabungan sehat. Tahapan ketiga, pengukuran dilakukan
pada kelompok intervensi setelah satu bulan intervensi dilaksanakan. Analisis regresi
sederhana dan regresi berganda dilakukan untuk mengukur efektivitas pemodelan KTR
di Ogan Ilir. Melalui pemodelan ini diharapkan perubahan perilaku yang terjadi pada
masyarakat dapat berlangsung langgeng dan berkesinambungan berdasarkan sosial
budaya masyarakat setempat.
Kata-kata kunci: Kawasan Tanpa Rokok, rumah tangga, model intervensi CDC,
perilaku.
METODOLOGI PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan riset kuantitatif dengan desain penelitian cluster
experiment. Pada penelitian ini akan dilakukan pengukuran pada kelompok yang
diintervensi dan kelompok yang tidak diintervensi. Penelitian ini dilakukan dalam
3 (tiga) tahap penting yaitu pertama, pengumpulan data kuantitatif pada kelompok
kontrol/non intervensi, kedua, adalah pelaksanaan intervensi dan ketiga, pengumpulan
data kuantitatif pada kelompok intervensi setelah intervensi.
Lokasi penelitian ini adalah di Kabupaten Ogan Ilir. Adapun populasi penelitian
ini adalah seluruh rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir. Unit sampling adalah rumah
tangga dan sampel penelitian adalah sebagian rumah tangga yang ada di Kabupaten
Ogan Ilir. Sampel akan diambil dengan menggunakan teknik cluster random sampling.
Dari total 227 desa yang ada di 16 kecamatan di Kabupaten Ogan Ilir maka
akan dipilih 4 desa sebagai cluster. Dari 4 cluster terpilih akan dipilih dua desa sebagai
kelompok yang mendapat intervensi dan dua desa sebagai kelompok kontrol yang
tidak diintervensi. Adapun teknik pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar
40 berikut ini.
218 EPIDEMIOLOGI
yang diintervensi dan 2 desa
sebagai kelompok kontrol
Desa Tanjung n (tidak diintervensi) dengan
Pinang 2 responden cara random
Kontrol
Tahap pertama:
memilih cluster (desa). Desa Tanjung n Tahap kedua:
Dari 227 desa dipilih 4 Pule responden Memilih responden
desa sebagai cluster secara menggunakan teknik simple
random dengan cara pps random sampling. Besar
terhadap jumlah penduduk Desa Lubuk n sampel minimal pada tiap
Sakti responden cluster dialokasikan sama.
Keterangan:
s2 = varians dari beda 2 rata-rata pasangan
Z1-α/2 = nilai z pada interval kepercayaan 1-α/2 uji hipotesis dilakukan dua arah (two tailed) (1,96)
z1-β = nilai z pada kekuatan uji (power) 1-β 80% (0,84)
μ1 = perkiraan rata-rata sebelum intervensi
μ2 = perkiraan rata-rata sesudah intervensi (didapat dari penelitian terdahulu atau penelitian awal
Deff = desain efek (2)
Besar sampel minimal akan dihitung menggunakan aplikasi sample size 2.0.
Pada penelitian ini diasumsikan perbedaan rata-rata skor perilaku merokok sebelum
dan sesudah intervensi adalah 10% dengan varians s2 sebesar 5%. Berdasarkan
hasil perhitungan diperoleh besar sampel minimal untuk satu kelompok adalah 40
responden. Dengan mempertimbangkan tingkat keanekaragaman masyarakat Ogan
Ilir yang cukup heterogen maka jumlah sampel minimal dikali desain efek(2) sehingga
menjadi 80 responden.
Penelitian ini merupakan uji hipotesis untuk beda dua rata-rata kelompok
maka jumlah sampel minimal harus dikali 2 menjadi 160 reponden. Karena jumlah
cluster yang dipilih sebanyak 4 desa maka untuk setiap desa akan diambil responden
sebanyak 40 respoden. Namun, mempertimbangkan kondisi di lapangan maka untuk
menghindari adanya loss to follow up atau sampel drop out, besar sampel minimal akan
ditambah sebanyak 20% yaitu 8 responden pada tiap cluster sehingga menjadi 48
responden. Jadi total besar sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini
adalah 192 responden. Oleh karena itu, di lapangan jumlah sampel yang akan diambil
pada tiap cluster akan digenapkan menjadi 50 reponden per cluster (desa) sehingga total
sampel yang akan diambil menjadi 200 responden.
Tahap pertama pada pengambilan sampel adalah melakukan pemilihan cluster
secara probability proportionateto size (pps) terhadap jumlah penduduk di 16 kecamatan
(227 desa) dengan cara random menggunakan aplikasi komputer. Pengambilan sampel
dengan cara pps terhadap jumlah penduduk akan membuat sampel terbobot dengan
sendirinya (self weighted) sehingga tidak diperlukan pembobotan lagi pada saat analisis.
Metode ini memungkinkan setiap desa mempunyai peluang yang sama untuk terpilih
sebagai cluster. Berdasarkan hasil random menggunakan aplikasi komputer diperoleh 4
desa yang akan menjadi lokasi penelitian yaitu Desa Ulak Segelung, Desa Tanjung
Pule, Desa Tanjung Pinang 2 dan Desa Lubuk Sakti.
Setelah desa terpilih kemudian dilakukan randomisasi lagi untuk menentukan
desa mana yang mendapat intervensi dan desa mana yang tidak mendapat intervensi.
Randomisasi intervensi dilakukan dengan menggunakan undian koin. Hasil
randomisasi menggunakan pelemparan koin diperoleh desa yang akan mendapat
intervensi adalah Desa Ulak Segelung dan Tanjung Pinang 2. Sedangkan desa yang
akan menjadi kontrol adalah Desa Tanjung Pule dan Desa Lubuk Sakti.
220 EPIDEMIOLOGI
Pelatihan tenaga kesehatan atau kader akan dilakukan oleh peneliti bersama
anggota peneliti. Pelatihan akan diberikan sebanyak satu (1) kali selama dua hari
kepada tenaga kesehatan atau kader. Materi pelatihan yang diberikan meliputi
bahaya rokok dan pentingnya kawasan tanpa asap rokok. Tenaga kesehatan juga
akan diberikan flipchart yang mempermudah mereka melakukan konseling tentang
rokok.
2) Konseling terpadu
Konseling yang akan diberikan mengenai kawasan rumah tangga tanpa asap
rokok. Konseling ini akan diberikan oleh tenaga kesehatan atau kader yang telah
di training mengenai substansi materi yang harus disampaikan kepada klien.
Responden yang akan menjadi target konseling terpadu ini adalah kepala rumah
tangga (ayah). Responden dimotivasi untuk merokok tidak di dalam ruangan
tertutup, seperti rumah. Jika mereka ingin merokok, mereka disarankan untuk
merokok di ruangan terbuka, seperti halaman rumah dan tidak merokok di depan
anak-anak. Konsep ini dilakukan untuk mengurangi dampak buruk dari asap
rokok bagi perokok pasif di tingkat rumah tangga.
Konseling terpadu akan diberikan sebanyak satu (1) kali hingga dua kali dalam
satu bulan oleh tenaga kesehatan yang telah dilatih. Konseling ini akan diberikan
secara individual dengan cara datang ke rumah tangga yang terpilih menjadi
responden ataupun kelompok. Waktu pemberian konseling akan dilakukan secara
terpadu pada waktu sore hari pada hari-hari libur seperti Sabtu dan Minggu.
3) SMS gaul promosi kesehatan
Sasaran program SMS gaul ini adalah remaja. Apabila di rumah tangga terpilih
ada anggota rumah tangga yang berstatus remaja maka sms gaul akan diberikan
sebagai penguat program intervensi kawasan rumah tangga tanpa asap rokok yang
diberikan kepada kepala keluarga. SMS gaul adalah salah satu cara yang dipilih
sebagai sarana promosi kesehatan melalui mobile phone (handphone). Melalui sms
gaul diharapkan promosi kesehatan dapat diberikan secara kontinu dan tepat
sasaran. Hal ini dikarenakan banyaknya masyarakat yang telah menggunakan
handphone terutama kalangan remaja, sehingga dianggap handphone sebagai
salah media yang dapat efektif dalam penyebaran informasi kesehatan. SMS gaul
akan diberikan secara rutin setiap hari selama satu bulan (30 hari) kepada remaja
oleh tim.
SMS gaul akan berisi pesan edukasi terhadap remaja mengenai bahaya rokok
dan ajakan untuk tidak merokok di dalam ruang tertutup dalam hal ini rumah.
Untuk remaja yang bukan perokok, sms ini akan memotivasi mereka untuk tidak
akan mencoba merokok pada usia muda. Remaja yang menjadi target sasaran
akan dimotivasi untuk meneruskan pesan singkat ini kepada peer mereka atau
teman sebaya mereka sehingga upaya promosi kesehatan bisa meningkatkan
pengetahuan remaja tentang bahaya rokok.
4) Intervensi pemberian permen herbal pengganti rokok
Sasaran program ini adalah remaja dan orang tua. Intervensi pemberian permen
ini dilakukan setelah konseling diberikan. Diharapkan melalui pemberian permen
herbal seperti aroma jahe, cengkeh dan mint ini dapat meminimalisir perilaku
merokok di dalam rumah. Apabila saat berada di dalam rumah responden ingin
222 EPIDEMIOLOGI
b. Analisis bivariat
Analisis bivariat ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara
dua variabel yaitu variabel independen dengan variabel dependen. Penelitian ini
merupakan analisis terhadap data dependen. Oleh karena itu, uji statistik yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis untuk pengukuran data berpasangan
yaitu uji t independen (independent sample t test) dengan derajat kemaknaan (a) sebesar
5%. Analisis bivariat ini akan dilakukan dengan menggunakan aplikasi komputer untuk
statistik. Selain itu, dalam penelitian ini akan dilakukan perhitungan Odds Ratio (OR)
untuk mengetahui besarnya perbedaan perilaku merokok antara kelompok intervensi
dan non intervensi.
c. Analisis multivariat
Analisis ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengaruh intervensi yang telah
diberikan terhadap perubahan perilaku setelah dikontrol oleh variabel demografi.
Analisis multivariat untuk melihat berapa besar pengaruh intervensi yang diberikan
terhadap perilaku merokok.
Tabel 57. Poin-poin yang perlu dilaporkan pada metodologi penelitian eksperimen
cluster pada judul pemodelan kawasan tanpa rokok (non-smoking area
modeling) pada tingkat rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir
Dilaporkan
Bagian/Topik Kode Daftar Poin pada
halaman #
Metode
Desain 3a Penelitian ini merupakan riset kuantitatif dengan desain
Penelitian penelitian cluster experiment. Pada penelitian ini akan V
dilakukan pengukuran pada kelompok yang diintervensi
dan kelompok yang tidak diintervensi. Penelitian ini
dilakukan dalam 3 tahap penting yaitu pengumpulan
data kuantitatif pada kelompok kontrol/non intervensi,
kedua adalah pelaksanaan intervensi dan ketiga
pengumpulan data kuantitatif pada kelompok intervensi
setelah intervensi.
3b Perubahan penting pada metode setelah penelitian -
dimulai (seperti kriteria sampel yang memenuhi syarat),
dengan alasan.
Partisipan/ 4a Adapun kriteria inklusi pengambilan sampel untuk V
Responden kelompok yang akan diintervensi dan kelompok kontrol
yang tidak diintervensi adalah sebagai berikut.
1. Responden adalah kepala keluarga
2. Status sudah menikah
3. Status responden adalah perokok
aktif.
224 EPIDEMIOLOGI
Mekanisme 9 Mekanisme yang digunakan untuk -
Alokasi mengimplementasikan urutan alokasi acak (seperti
penyem kontainer berurutan nomor), menjelaskan langkah-
bunyian langkah yang diambil untuk menyembunyikan urutan
(Allocation sampai intervensi dilakukan.
concealment
mechanism)
Implementasi 10 Siapa melakukan urutan alokasi, yang mendaftar -
peserta, dan siapa yang mengalokasikan peserta untuk
kelompok penelitian.
Blinding 11a Jika dilakukan, siapa yang tidak tahu status responden -
setelah pengalokasikan intervensi(misalnya, peserta,
penyedia layanan, mereka menilai hasil) dan bagaimana
pelaksanaanya
11b ‘Tidak memungkinkan melakukan blindeing.
Jika relevan,deskripsi kesamaan/kemiripan intervensi.
Metode 12a ‘Analisis univariat, bivariate dan multivariat’. v
Statistik 12b Metode untuk analisis tambahan, seperti analisis -
subkelompok diananalisis yang disesuaikan/dikontrol.
Sumber: Douglas G. Altman, 2001, Schulz, 2010,(6, 7) Najmah, 2014(1)
E. Ringkasan
Telaah kritis uji klinis atau studi eksperimen/uji klinis dilakukan
untuk mengoptimalkan kemampuan pembaca dalam menilai mana jurnal
yang baik dan kurang baik dalam pelaporan. Ada beberapa istilah yang
harus dipahami pembaca yaitu randomisasi, teknik penyamaran (blinding)
dan teknik-teknik yang dilakukan dalam proses randomisasi serta faktor
perancu. Ada panduan yang telah ditetapkan yaitu standar pelaporan
penelitian eksperimen yang terkonsolidasi atau dikenal dengan CONSORT
(Consolidated Standards of Reporting Trials) untuk mempermudah dalam
pelaporan setiap hasil penelitian eksperimen dengan metodologi yang
dapat meningkatkan kualitas hasil penelitian. CONSORT mengembangkan
rekomendasi berupa cheklist tentang apa yang harus disertakan dalam
laporan yang akurat dan lengkap dari studi observasional, dimulai dari
latar belakang, metodologi, hasil dan pembahasan serta informasi lainnya.
Tabel 58. Poin-poin yang perlu dilaporkan pada penelitian eksperimen randomisasi
CONSORT 2010 pada penelitian “managing back pain in pregnancy using
a support garment: a randomised trial”
Dilaporkan
Bagian/Topik Kode Daftar Poin pada
halaman #
Judul dan 1a Identifikasi sebagai penelitian eksperimen
abstrak randomisasi pada judul/abstrak.
1b rangkuman penelitian terstruktur dari desain
penelitian, metode, hasil dan kesimpulan.
226 EPIDEMIOLOGI
Pendahuluan
Latar 2a Latar belakang yang ilmiah dan penjelasan rasional
belakang dan penelitian.
tujuan 2b Tujuan atau hipotesis spesifik/khusus.
Metode
Desain 3a Gambaran desain penelitian (seperti paralel,
Penelitian faktorial), termasuk alokasi rasio.
3b Perubahan penting pada metode setelah penelitian
dimulai (seperti kriteria sampel yang memenuhi
syarat), dengan alasan.
Partisipan/ 4a Kriteria responden yang memenuhi syarat.
Responden 4b Tempat dan lokasi di mana data dikumpulkan.
Intervensi 5 Intervensi untuk setiap kelompok dengan penjelasan
detail untuk memungkinkan replikasi, termasuk
bagaimana dan kapan partisipan diadministrasi/
rekruit.
Outcome/ 6a Ukuran hasil utama dan kedua (secondary)
Keluaran didefinisikan secara spesifik dan lengkap, termasuk
bagaimana dan kapan mereka diukur.
6b Setiap perubahan hasil penelitian setelah penelitian
dimulai, dengan alasan.
Ukuran 7a Menjelaskan perhitungan sampel.
sampel 7b Jika ada, penjelasan dari analisis interim dan aturan
sampel.
Randomisasi 8a Metode yang digunakan untuk menghasilkan urutan
urutan sampel alokasi acak.
(sequence 8b Jenis pengacakan, rincian pembatasan (seperti
generation) pemblokiran dan ukuran blok).
Mekanisme 9 Mekanisme yang digunakan untuk
Alokasi mengimplementasikan urutan alokasi acak (seperti
penyem kontainer berurutan nomor), menjelaskan langkah-
bunyian langkah yang diambil untuk menyembunyikan urutan
(Allocation sampai intervensi dilakukan.
concealment
mechanism)
Implementasi 10 Siapa melakukan urutan alokasi, yang mendaftar
peserta, dan siapa yang mengalokasikan peserta
untuk kelompok penelitian.
Penyamaran 11a Jika dilakukan, siapa yang tidak tahu status responden
(Blinding) setelah pengalokasikan intervensi (misalnya,
peserta, penyedia layanan, mereka menilai hasil) dan
bagaimana pelaksanaannya.
11b Jika relevan, deskripsi kesamaan/kemiripan
intervensi.
228 EPIDEMIOLOGI
Informasi Lainnya
Registrasi 23 Nomor pendaftaran dan nama registry penelitian.
Protokol/ 24 Di mana protokol penelitian dapat diakses penuh,
Proposal jika tersedia.
Sumber dana 25 Sumber dana dan dukungan lainnya (seperti
penelitian penyediaan obat-obatan), peran penyandang dana.
Sumber: Douglas G. Altman, 2001, Schulz, 2010(6, 7)
DAFTAR PUSTAKA
1. Najmah, Fenny Etrawati, Yeni, Feranita Utama. Pemodelan Kawasan
Tanpa Rokok (non-smoking area modeling) pada tingkat rumah tangga
di Kabupaten Ogan Ilir- Sumatera Selatan-Indonesia’(Modelling
of Non-Smoking Area in Household Level in Ogan Ilir City, South
Sumatera, Indonesia). Proposal Hibah Kompetitif Ogan Ilir: BOPTN
Universitas Sriwijaya; 2014.
2. Richards D, Les Toop, Stephen Chambers, Lynn Fletcher. Response
to antibiotivs of women with symptoms of urinary tract infection but
negative dipstick urine test results: double blind randomised controlled
trial. BMJ. 2008 22 June 2005:1-5.
3. Sacher PM, Maria Kolotourou, Paul M. Chadwick, Tim J. Cole, Margaret
S. Lawson, Alan Lucas, et al. Randomized Controlled Trial of the MEND
Program: A Family-based Community Intervention for Childhood Obesity.
Obesity. 2010;18(1):S62-S8.
4. Elwood M. Critical Appraisal of Epidemiological Studies and Clinical Trials.
New York: Oxford University Press; 2007. p.28-36
5. Sophiyudin D. Telaah Kritis pada Penelitian Klinis. 2012.
6. Douglas G. Altman, DSc; Kenneth F. Schulz, David Moher, Matthias
Egger, Frank Davidoff, Diana Elbourne, et al. The Revised CONSORT
Statement for Reporting Randomized Trials: Explanation and Elaboration.
Annals of Internal Medicine. 2001;134(8):663-94.
7. Schulz KF, DGA, David Moher. CONSORT 2010 Statement: Updated
Guidelines for Reporting Parallel Group Randomised Trials. PLoS Medicine.
2010 March 2010;7(3).
231
Riskesdas Riset Kesehatan Dasar
SDKI Suevei Demografi dan Kesehatan Indonesia
STBP Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku
STROBE The Strengthening the Reporting of Observational Studies
in Epidemiology
TB Tuberkulosis
WHO World Health Organisation
232 EPIDEMIOLOGI
DAFTAR ISTILAH
EPIDEMIOLOGI UNTUK MAHA-
SISWA KESEHATAN MASYARAKAT
233
Blinding Prosedur untuk menyembunyikan informasi
mengenai obat yang diberikan. Terdapat tiga jenis
penyamaran yaitu single blind, double blind, dan triple
blind (satu, dua dan tiga penyamaran)
Concealment Prosedur untuk menyembunyikan informasi
tentang hasil randomisasi.
Confounding factor/ Distorsi dalam memprediksi hubungan atau
Perancu asosiasi antara faktor eksposur dan outcome (hasil)
sehingga asosiasi sebenarnya tidak tampak atau
ditutupi oleh faktor lainnya.
Endemik Adanya penyakit atau agen menular yang tetap
dalam suatu area geografis tertentu, dapat juga
berkenaan dengan adanya penyakit yang secara
normal biasa timbul dalam suatu area tertentu.
Seperti DBD endemis di Indonesia, Malaria
endemis di Bangka/Belitung.
Hyperendemic: menyatakan suatu penularan hebat
yang menetap (terus-menerus).
Holoendemic: tingkat infeksi yang cukup tinggi sejak
awal kehidupan dan dapat memengaruhi hampir
seluruh populasi.
Common Source Epidemic (CSE) adalah suatu
letusan penyakit yang disebabkan oleh terpaparnya
sejumlah orang dalam suatu kelompok secara
menyeluruh dan terjadinya dalam waktu yang
relatif singkat (sangat mendadak).
Propagated atau Progressive Epidemic bentuk
epidemi ini terjadi karena adanya penularan dari
orang ke orang baik secara langsung maupun
tidak langsung melalui udara, makanan maupun
vektor. Kejadian epidemi semacam ini relatif lebih
lama waktunya sesuai dengan sifat penyakit serta
lamanya masa tunas. Juga sangat dipengaruhi oleh
kepadatan penduduk serta penyebaran anggota ma-
234 EPIDEMIOLOGI
syarakat yang rentan terhadap penyakit tersebut.
Masa tunas penyakit tersebut di atas adalah sekitar
satu bulan sehingga tampak bahwa masa epidemi
cukup lama dengan situasi peningkatan jumlah
penderita dari waktu ke waktu sampai pada saat
di mana jumlah anggota masyarakat yang rentan
mencapai batas yang minimal.
Epidemic Kejadian atau peristiwa dalam suatu masyarakat
atau wilayah dari suatu kasus penyakit tertentu
(atau suatu kasus kejadian yang luar biasa)
yang secara nyata melebihi dari jumlah yang
diperkirakan.
Epidemiologi Distribusi dan determinan suatu kondisi kesehatan
di populasi khusus/tertentu dan tujuan pelaksanaan
studi ini adalah untuk mengendalikan masalah
kesehatan
Faktor lingkungan Semua faktor di luar pejamu (host) yang
(environment) memengaruhi status kesehatan populasi. Faktor
lingkungan meliputi lingkungan sosial ekonomi
(lingkungan kerja, keadaan perumahan, keadaan
sosial masyarakat, bencana alam, kemiskinan dan
lain-lain), lingkungan biologi (flora; sumber bahan
makanan dan fauna; sebagai sumber protein) dan
lingkungan fisik (geologi, iklim, geografik)[10].
Human Reservoir Penyakit menular umumnya memiliki reservoir
manusia. Penyakit yang ditularkan dari orang ke
orang tanpa perantara termasuk penyakit menular
seksual, campak, gondok, infeksi streptokokus, dan
bakteri pathogen pernafasan.
Immunitas/ Kekebalan yang biasanya dihubungkan dengan
kekebalan adanya antibodi atau hasil aksi sel-sel yang
spesifik terhadap mikro-organisme penyebab atau
racunnya, dan yang dapat menimbulkan penyakit
menular tertentu.
236 EPIDEMIOLOGI
pat tertentu, serta dalam kondisi tertentu, sebagai
usaha untuk mencegah maupun membatasi
penularan langsung dan tidak langsung terhadap
agen menular dari mereka yang terinfeksi kepada
mereka yang rentan atau mereka yang dapat
menyebarkan agen tersebut kepada yang lain.
Karier/Carrier Manusia (orang) atau hewan tempat berdiamnya
agen menular spesifik dengan adanya penyakit
yang secara klinis tidak terlihat nyata, tetapi dapat
bertindak sebagai sumber infeksi yang cukup
penting.
Health carrier (inapparent) adalah host yang
dalam hidupnya kelihatan sehat karena tidak
menampakkan gejala klinis, tetapi membawa
unsur penyebab penyakit yang dapat ditularkan
pada orang lain.
Incubatory carrier (masa tunas) ialah host yang
masih dalam masa tunas/inkubasi, tetapi telah
mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/
sebagai sumber penularan.
Convalescent carrier (baru sembuh klinis) ialah host
yang baru sembuh dari penyakit menular tertentu,
tetapi masih merupakan sumber penularan
penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang
masa penularannya kemungkinan hanya sampai
tiga bulan.
Chronis carrier (menahun) merupakan sumber
penularan yang cukup lama.
Kasus Kontrol (Case Paparan pada masa lampau, outcome pada masa
Control) sekarang
Kohort Paparan pada masa sekarang, outcome/penyakit di
masa depan
238 EPIDEMIOLOGI
Periode Penularan/ Waktu atau selama waktu tertentu di mana agen
Communicable menular dapat dipindahkan baik secara langsung
period maupun tidak langsung dari orang terinfeksi
ke orang lain, dari hewan terinfeksi ke manusia
atau dari orang terinfeksi ke hewan, termasuk
arthropoda.
Pintu Keluar Jalan di mana patogen meninggalkan inangnya.
(Portal of Exit) Portal ke luar biasanya sesuai dengan tempat di
mana patogen berada, bisa saluran pernafasan,
saluran sekresi dan ekstresi, plasenta dan seba
gainya.
Pintu Masuk Mengacu pada cara patogen memasuki pejamu yang
(Portal of Entry) rentan. Pintu masuk ke pejamu harus melalui ke
jaringan tubuh di mana patogen dapat berkembang
biak atau racun dapat menyebar.
Populasi Berisiko Populasi yang memiliki kemungkinan untuk
terkena suatu penyakit.
Potong Lintang Paparan dan outcome pada masa sekarang
(Cross sectional)
Pre patogenitas Kondisi di mana gejala klinis penyakit belum
terlihat.
Prevalensi Proporsi orang yang berpenyakit dari suatu
populasi pada satu titik waktu atau periode waktu.
Prevalensi titik menunjukkan proporsi individu
yang sakit pada satu titik waktu tertentu.
Prevalensi periode menunjukkan proporsi individu
yang sakit pada periode waktu tertentu, sehingga
prevalensi periode memuat prevalensi titik dan
juga kasus baru (insidensi).
Random Error Kesalahan acak.
Randomisasi Alokasi secara random/acak bertujuan untuk
menciptakan karakteristik antar kelompok hampir
sama dan jumlah sampel tiap kelompok seimbang
dalam penelitian.
240 EPIDEMIOLOGI
Kemungkingkinan kasus terdiagnosis dengan
benar atau probabilitas setiap kasus yang ada
teridentifikasi dengan uji skrining/penapisan/
penapisan.
Sistematik Error/ Kesalahan sistematis, Bias terdiri dari bias seleksi,
Bias bias informasi dan bias recall (mengingat kembali).
Penapisan/Skrining Proses pendeteksian kasus/kondisi kesehatan
pada populasi sehat pada kelompok tertentu
sesuai dengan jenis penyakit yang akan dideteksi
dini dengan upaya meningkatkan kesadaran
pencegahan dan diagnosis dini bagi kelompok
yang termasuk risiko tinggi.
Spesifisitas Proporsi orang yang benar-benar tidak sakit dan
tidak sakit pula saat diidentifikasi dengan tes
skrining/penapisan/penapisan.
Kemungkinan benar mengidentifikasi orang tidak
sakit dengan tes skrining/penapisan/penapisan.
Standardisasi Proses penakaran dari angka rata-rata dari dua
atau lebih kategori dengan susunan spesifik dari
populasi yang menjadi takaran atau perbandingan.
Standardisasi langsung dan standardisasi tidak
langsung.
STROBE (The Salah satu inisiatif dalam pengembangan reko
Strengthening mendasi tentang apa yang harus disertakan
the Reporting of dalam laporan yang akurat dan lengkap dari studi
Observational Studies observasional.
in Epidemiology)
Sumber Infeksi Orang atau objek tempat pejamu ditularkan oleh
agen penyebab penyakit
Surveilans Suatu proses yang sistematik meliputi pengum
pulan, pemeriksaan, analisis data serta diseminasi
informasi pada waktu dan orang yang tepat
sehingga dapat dilakukan tindakan lanjutan.
242 EPIDEMIOLOGI
Vektor kutu louse (louse borne diseases) antara lain:
epidemic tifus fever dan epidemic relapsing fever.
Vektor kutu flea (flea borne diseases) pada penyakit
pes dan tifus murni.
Vektor kutu mite (mite borne diseases) antara
lain: scrub tifus (tsutsugamushi) dan vesicular
ricketsiosis.
Vektor kutu jenis tick (tick borne diseases) antara
lain: spotted fever, epidemic relapsing fever dan lain-lain.
Penyakit oleh serangga lainnya seperti sunfly ever,
lesmaniasis, barthonellosis oleh lalat phlebotonus,
onchocerciasis oleh blackflies genus simulium,
serta trypanosomiasis di Afrika oleh lalat tse-tse,
dan juga di Amerika oleh kotoran kutu trimatomid.
Virulensi Ukuran tingkat keparahan penyakit atau tingkat
patogenisitas agen memperparah kondisi suatu
penyakit, yang dapat bervariasi dari yang sangat
rendah hingga sangat tinggi. Atau dengan kata lain
kemampuan agen penyakit untuk menyebabkan
keparahan/stadium lanjut hingga kematian.
Wabah Penyakit menular yang berjangkit dengan cepat,
menyerang sejumlah besar orang di daerah yang
luas.
Zoonosis Zoonosis mengacu pada penyakit menular yang
ditularkan secara alamiah dari hewan vertebrata ke
manusia, contohnya rabies pada anjing dan kucing
tanpa imunisasi rabies.
245
(terbit 2011, nuhamedika) dan Epidemiologi Penyakit Menular (terbit 2016,
Tim Penerbit). Penulis lagi menyelesaikan buku selanjutnya yang berjudul
Statistika Kesehatan, Aplikasi Stata dan SPSS disela waktu luang selagi
menempuh strata 3 di Auckland. Teman teman pembaca dapat mengakses
beberapa materi bidang kesehatan masyarakat (epidemiologi dan aplikasi
statistika) secara virtual di www.metopidfkmunsri.blogspot.com, www.
madfkmunsri.blogspot.com dan www.queencyhimada.blogpsot.com (our
sharing journey, Melbourne and Auckland).
246 EPIDEMIOLOGI