2016 Epidemiologi Untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 274

RAJAWALI PERS

Divisi Buku Perguruan Tinggi


PT RajaGrafindo Persada
DEPOK
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)
Najmah
Epidemiologi: Untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat/Najmah
—Ed. 2.—Cet. 3—Depok: Rajawali Pers, 2019.
xxviii, 246 hlm., 23 cm
ISBN 978-602-425-052-2

1. Epidemiologi I. Judul
614. 4

Hak cipta 2015, pada penulis

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun,
termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit
2015.1474 RAJ
Najmah, SKM, MPH
EPIDEMIOLOGI: Untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat

Cetakan ke-2, Agustus 2016


Cetakan ke-3, Januari 2019
Hak penerbitan pada PT RajaGrafindo Persada, Depok
Desain cover oleh [email protected]
Dicetak di Kharisma Putra Utama Offset

PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Anggota IKAPI
Kantor Pusat:
Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok 16956
Tel/Fax : (021) 84311162 – (021) 84311163
E-mail : [email protected] Http: //www.rajagrafindo.co.id

Perwakilan:
Jakarta-16956 Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Depok, Telp. (021) 84311162.
Bandung-40243, Jl. H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi, Telp. 022-5206202. Yogyakarta-Perum. Pondok Soragan Indah Blok
A1, Jl. Soragan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Telp. 0274-625093. Surabaya-60118, Jl. Rungkut Harapan Blok A No. 09, Telp.
031-8700819. Palembang-30137, Jl. Macan Kumbang III No. 10/4459 RT 78 Kel. Demang Lebar Daun, Telp. 0711-445062.
Pekanbaru-28294, Perum De' Diandra Land Blok C 1 No. 1, Jl. Kartama Marpoyan Damai, Telp. 0761-65807. Medan-20144, Jl.
Eka Rasmi Gg. Eka Rossa No. 3A Blok A Komplek Johor Residence Kec. Medan Johor, Telp. 061-7871546. Makassar-90221, Jl.
Sultan Alauddin Komp. Bumi Permata Hijau Bumi 14 Blok A14 No. 3, Telp. 0411-861618. Banjarmasin-70114, Jl. Bali No. 31
Rt 05, Telp. 0511-3352060. Bali, Jl. Imam Bonjol Gg 100/V No. 2, Denpasar Telp. (0361) 8607995. Bandar Lampung-35115,
Jl. P. Kemerdekaan No. 94 LK I RT 005 Kel. Tanjung Raya Kec. Tanjung Karang Timur, Hp. 081222805479.
Yang Tercinta
Mamah Enni Erosa (ALM) dan Papah. Usman Nurdin
Ma’e Sumiati dan Pa’e Sayuti
Abi Kusnan Sayuti
Dua ratu kami, Queency Qoryra Himada &
Maitreya Adilla Sultanah

Pendamping Penulisan buku ini


Prof. dr. Siti Fatimah Muis, M.Sc.,SpGK

Asisten utama penulis yang luar biasa


Yenni, Feranita Utama, Fenny Etrawati, Harun Al-Rasyid
KATA SAMBUTAN/PRAKATA

P
uji syukur kehadirat Allah Swt. dengan ridhonya akhirnya buku“
Epidemiologi untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat” ini dapat
diselesaikan. Kami menyambut baik penerbitan buku ini karena
dengan adanya buku ini dimungkinkan para mahasiswa lebih mudah dalam
mempelajari ilmu epidemiologi. Buku ini dapat dijadikan sebagai buku
acuan bagi mahasiswa, dosen dan para praktisi dalam penerapan ilmu
epidemiologi di lapangan. Buku ini secara garis besar memuat informasi
mengenai perhitungan dasar epidemiologi, skrining, standardisasi, faktor
perancu, desain epidemiologi serta telaah kritis di bidang epidemiologi.
Pada kesempatan ini saya selaku Dekan FKM Unsri mengucapkan
terima kasih pada penulis semoga ke depan lebih bersemangat lagi
dalam menghasilkan karya ilmiah berupa pemikiran maupun tulisan
guna pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kesehatan
masyarakat. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam penerbitan buku ini, PT RajaGrafindo
Persada. Dengan adanya buku ini diharapkan dapat meningkatkan mutu
proses belajar mengajar, terciptanya atmosfer akademik yang lebih kondusif

vii
sehingga berdampak terhadap peningkatan kompetensi mahasiswa. Semoga
buku ini bermanfaat bagi kita semua.


Indralaya, 2 Desember 2014
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sriwijaya

Iwan Stia Budi, SKM., M.Kes


NIP. 197712062003121003

viii EPIDEMIOLOGI
KOMENTAR PEMBACA

“Mudah-mudahan buku ini akan sangat bermanfaat bagi pembaca


yang peduli pada masalah kesehatan, khususnya bagi yang melakukan
studi tentang epidemiologi”.

Prof. Dr. Hj. Badia Perizade, M.B.A


Rektor Universitas Sriwijaya

***
Gaya penulisan menarik dan sangat pas untuk mahasiswa dan praktisi
kesehatan masyarakat, good job, Najmah.

dr. Putu Ayu Swandewi Astuti, MPH


Kaprodi IKM, Universitas Udayana, Bali

***
“Buku ini menyajikan pembelajaran epidemiologi yang inovatif
dengan menggunakan bahasa yang sederhana. Dengan contoh perhitungan
yang dipaparkan secara bertahap namun komprehensif, buku ini akan
mampu memberi kemudahan bagi mahasiswa dalam memahami ilmu
epidemiologi”.

ix
Dwidjo Susilo, SE, MBA, MPH
Alumni School of Population Health University of Melbourne, bekerja
sebagai Tenaga Ahli Jaminan Sosial
pada GIZ Social Protection Program

***
“An excellent book on a difficult and complex subject. Convoluted Concepts
have been explained and communicated in elaborate manner with simplicity, easy to
understand format, reinforced by attractive illustrations and comprehensive tabulation.
Recommended reading for Medical students and researchers in public health”.

dr. Shahid Mahmood MBBS;


MPH- Epi & Bio; M.Phil-PhD
Student School of Population and Global Health
University of Melbourne, Victoria Australia

***
Epidemiologi merupakan salah satu ilmu yang wajib dipahami oleh
mahasiswa maupun praktisi kesehatan khususnya bidang Kesehatan
Masyarakat. Melalui buku ini, mahasiswa lebih mudah mempelajari
dan memahami epidemiologi karena menggunakan gaya penulisan yang
komunikatif dan informatif. Selain itu, buku ini juga disertai dengan
ilustrasi atau contoh kasus, dan latihan soal-soal sehingga mahasiswa
dapat langsung mengaplikasikan ilmu epidemiologi.

Desy Indah Permatasari


Mahasiswa FKM Unsri
Buku ini sangat bermanfaat tidak hanya bagi mahasiswa kesehatan di
strata 1 tetapi juga strata 2. Apalagi dalam menyongsong uji kompetensi
salah satu syarat STR Sarjana Kesehatan Masyarakat, mahasiswa dapat
belajar epidemiologi berdasarkan contoh-contoh kasus dan narasi yang
dijelaskan pada buku ini.

Rini Mutahar, SKM, MKM


Kaprodi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Unsri

x EPIDEMIOLOGI
KATA PENGANTAR

D
engan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah Swt.
karena atas Ridho, Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan buku “Epidemiologi untuk Mahasiswa
Kesehatan Masyarakat”. Buku ini disusun guna mempermudah
mahasiswa D3 Kesehatan, S1 dan S2 dan praktisi khususnya di bidang
Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran dalam mengaplikasikan Ilmu
Epidemiologi terkait epidemiologi dasar, perhitungan-perhitungan dasar
epidemiologi, skrining/penapisan, standardisasi, faktor perancu, surveilans,
studi desain epidemiologi, serta telaah kritis pada studi klinis dan
observasional, perhitungan sampel dan ilmu epidemiologi lainnya. Pada
setiap bab, penulis memberikan contoh dari beberapa penelitian penulis
dan peneliti lainnya dari beberapa referensi sehingga dapat meningkatkan
pemahaman pembaca dan dapat dipelajari secara berkesinambungan.
Dalam proses penulisan buku ini penulis tentunya men­dapatkan
bantuan dari semua pihak yang tulus dan ikhlas memberikan sumbangan
berupa pikiran, bimbingan, dorongan dan nasehat. Untuk itu rasa terima
kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:
1. Subdit HKI dan Publikasi Direktorat Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian

Kata Pengantar xi
xi
Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memfasilitasi penulis dalam
program hibah penulisan buku ajar Perguruan Tinggi tahun 2014.
2. Prof. dr. Siti Fatimah Muis, M.Sc., SpGK guru besar Universitas
Diponegoro sebagai pendamping/penyunting buku ini, yang telah
meluangkan waktu dan pikirannya untuk membantu merevisi buku
ini.
3. Rektor Universitas Sriwijaya, Prof. Badia Perizade, Dekan Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya, Hamzah Hasyim, SKM,
MKM (Dekan periode 1) dan Iwan Stia Budi, SKM, M.Kes (Dekan
periode 2) serta para Pembantu Dekan FKM Unsri beserta Kaprodi
FKM Unsri serta Ketua Lembaga Penelitian Unsri.
4. Rekan kerja di lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sriwijaya.
5. Kedua Orang Tua Eni Erosa (Almh) dan Usman Nurdin yang selalu
mengutamakan pendidikan bagi anaknya dalam kondisi keterbatasan.
Saudara saya: M. Reza Arsyadi & Etty Yulianti, Rina Nur’ain &
Iskandarian, M. Faris Nurdiansyah & Yunita Lestari, M. Nirwan Fauzan
& Widyawaiti, Rumiaty dan Sulaiman dan Karmina dan Halim untuk
tali persaudaraan yang tiada akhir.
6. Suami tercinta Kusnan Sayuti, SE dan anak-anakku Queency dan
Adila, terima kasih atas cinta dan kasih sayang kalian.
7. Teman-teman yang telah membantu menelaah dan proses pengeditan
buku ini, Prof. Sori Muda Saraumpaet (USU), dr. Husnil Farouk,
MPH, Rini Mutahar, SKM, MKM, Misnaniarti, SKM, MKM, Feranita
Utama, SKM, M.Kes, Fenny Etrawati, SKM, MKM Yeni, SKM, MKM,
Ririn Yaumil Pratiwi, SKM, Ima Fransiska, S.Sos, serta mahasiswaku
yang kreatif Harun Al Rasyid, SKM, Adelina Fitri, SKM dan Rusyda
Ihwani Tantia Nova, SKM dan teman-teman lainnya yang tidak bisa
disebutkan satu persatu.
8. Terima kasih untuk tim E-Learning , Tri Novia Kumalasari, SKM, M.Kes
dan Harun Al Rasyid, SKM terlibat langsung dalam mendesain slides
dan video interaktif untuk mendukung pembelajaran buku ini.

xii EPIDEMIOLOGI
9. Almamaterku tercinta, MI Azhariah Palembang, SMP N 35 Palembang,
SMU N 8 Palembang, Prodi IKM FK Unsri, School of Population Health-
The University of Melbourne, Australia.

Penulis menyadari masih banyak keterbatasan dalam buku ini dan


jauh dari kesempurnaan karena penulis masih proses belajar dan akan
terus belajar. Saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan guna
menyempurnakan buku ini, sehingga ke depan dapat menjadi lebih baik,
feel free to send me an email ([email protected]).


Auckland, 14 Juli 2016
Penulis,

Najmah, SKM, MPH

Kata Pengantar xiii


(Halaman ini sengaja dikosongkan)
DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN/PRAKATA vii


KOMENTAR PEMBACA ix
KATA PENGANTAR xi
DAFTAR ISI xv
DAFTAR TABEL xxi
DAFTAR GAMBAR xxv

BAB 1 EPIDEMIOLOGI DASAR 1


A. Pendahuluan 2
B. Definisi dan Tujuan Epidemiologi 3
C. Sejarah Epidemiologi 6
D. Konsep Segitiga Epidemiologi
(Triad Epidemiologi) 8
E. Konsep Riwayat Alamiah Penyakit dan
Pencegahan Epidemiologi 15
F. Ringkasan 24

xv
Latihan Epidemiologi Dasar 25
Daftar Pustaka 25

BAB 2 PERHITUNGAN DALAM EPIDEMIOLOGI 27


A. Pendahuluan 28
B. Konsep Sehat Sakit 28
C. Definisi Kasus/Penyakit dan Populasi
Berisiko 32
D. Angka Kematian dan Angka kesakitan 33
E. Rasio (Ratio)dan Risiko (Risk) 41
F. Ringkasan 46
Latihan Perhitungan dalam Epidemiologi 47
Daftar Pustaka 49

BAB 3 STANDARDISASI DALAM EPIDEMIOLOGI 51


A. Pendahuluan 52
B. Definisi dan Pembagian Standardisasi 53
C. Standardisasi Langsung 55
D. Standardisasi Tidak Langsung
(Indirect standardization) 65
E. Ringkasan 70
Latihan Standardisasi dalam Epidemiologi 71
Daftar Pustaka 73

BAB 4 MEMAHAMI KONSEP FAKTOR PERANCU 75


A. Pendahuluan 76
B. Definisi Faktor Perancu 77
C. Aplikasi Penilaian Faktor Perancu dengan
Memerhatikan Tiga Kondisi Perancu 78

xvi EPIDEMIOLOGI
D. Aplikasi Penilaian Faktor Perancu dengan
Mantel-Haenszel 87
E. Batasan Utama Faktor Perancu (confounding) 91
F. Ringkasan 91
Latihan Faktor Perancu 92
Daftar Pustaka 94

BAB 5 SKRINING/PENAPISAN DALAM


EPIDEMIOLOGI 95
A. Pendahuluan 96
B. Definisi Tes Skrining/Penapisan 97
C. Pelaksanaan Skirinig di Dunia Kesehatan 99
D. Sensitifitas Versus Spesifisitas Uji Skrining/
Penapisan dan Nilai Prediksi Positif Versus
Nilai Prediksi Negatif 101
E. Perhitungan Sensitivitas dan Spesifisitas 103
F. Perhitungan Nilai Prediktif Positif dan
Nilai Prediktif Negatif 106
G. Prinsip dalam Skrining/Penapisan 108
H. Ringkasan 110
Latihan Skrining/Penapisan 111
Daftar Pustaka 113

BAB 6 STUDI DESAIN DALAM EPIDEMIOLOGI 115


A. Pendahuluan 116
B. Studi Observasional 118
C. Studi Desain Eksperimental/Uji Klinis 132
D. Ringkasan 136
Latihan Studi Desain Epidemiologi Observasional 137
Daftar Pustaka 138

Daftar Isi xvii


BAB 7 PERHITUNGAN SAMPEL DALAM
PENELITIAN EPIDEMIOLOGI 139
A. Pendahuluan 140
B. Definisi dan Konsep Populasi dan Sampel 141
C. Pemilihan Sampel pada Epidemiologi 142
D. Teknik Pengambilan Sampel/Subjek
Penelitian 146
E. Perhitungan Sampel Studi Potong Lintang
(Cross Sectional) 152
F. Perhitungan Sampel Studi Kasus Kontrol
(Case Control) 156
G. Perhitungan Sampel Studi Kohort (Cohort) 159
H. Perhitungan Sampel Studi Eksperimental 162
I. Ringkasan 164
Latihan Perhitungan Sampel 165
Daftar Pustaka 167

BAB 8 SURVEILANS DALAM EPIDEMIOLOGI 169


A. Pendahuluan 170
B. Konsep dan Definisi Surveilans dalam
Epidemiologi 172
C. Tujuan dan Manfaat Pelaksanaan Surveilans 173
D. Sumber Data Surveilans 175
E. Surveilans Aktif, Pasif dan Sentinel 176
F. Aplikasi Pelaksanaan Surveilans 179
G. Ringkasan 185
Daftar Pustaka 186

xviii EPIDEMIOLOGI
BAB 9 TELAAH KRITIS PENELITIAN
OBSERVASIONAL EPIDEMIOLOGI 189
A. Penelitian Observasional dalam Epidemiologi 190
B. Istilah-Istilah Penting dalam Telaah Kritis
Penelitian Observasional Epidemiologi 190
C. Pedoman Pelaporan Studi Desain Operasional 193
Latihan 1: Telaah Kritis Artikel Penelitian
Kasus Kontrol 197
Latihan 2: Telaah Kritis Artikel Penelitian
Kasus Kontrol 203
Latihan 3: Telaah Kritis Studi Desain Potong
Lintang, Kasus Kontrol dan Kohort 204
D. Ringkasan 204
Daftar Pustaka 205

BAB 10 TELAAH KRITIS PENELITIAN


EKSPERIMENTAL EPIDEMIOLOGI 207
A. Pendahuluan 208
B. Penelitian Eksperimen/Uji Klinis (Uji Klinis)
dalam Epidemiologi 210
C. Istilah pada Telaah Kritis Penelitian
Eksperimen/Uji Klinis 210
D. Pelaporan Studi Eksperimen dengan Standar
yang Telah Disepakati/CONSORT
(Consolidated Standards of Reporting Trials) 213
E. Ringkasan 225
Latihan Telah Kritis 226
Daftar Pustaka 229

DAFTAR SINGKATAN 231


DAFTAR ISTILAH EPIDEMIOLOGI 233
BIODATA PENULIS 245

Daftar Isi xix


(Halaman ini sengaja dikosongkan)
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Penjelasan definisi epidemiologi 5


Tabel 2 Angka kematian penyakit kolera di wilayah London
yang disuplai oleh perusahaan air minum (8 Juli–26
Agustus 1845) 7
Tabel 3 Istilah-istilah rantai penularan penyakit
(7)
10
Tabel 4 Faktor pencegahan berdasarkan fase pre-patogenesis
dan patogenesis 19
Tabel 5 Tingkatan pencegahan penyakit 20
Tabel 6 Perbedaan pencegahan dengan pendekatan populasi dan
individu dengan risiko tinggi 22
Tabel 7 Pengukuran kematian yang berhubungan dengan
kelahiran bayi 35
Tabel 8 Faktor yang memengaruhi prevalensi 39
Tabel 9 Perbedaan prevalensi dan insidensi 41
Tabel 10 Tabel kontingensi data insidensi kumulatif 42
Tabel 11 Data penelitian kohort merokok untuk terkena kanker
paru di Provinsi X 43
Tabel 12 Gejala klinis difteri di Kabupaten Bangkalan pasca sub
PIN difteri Tahun 2012(12) 44

xxi
Tabel 13 Hubungan antara sumber informasi dan sikap terhadap
ODHA (analisis lanjut data SDKI 2007) 46
Tabel 14 Status imunisasi polio dan kejadian polio paska PIN
2010 48
Tabel 15 Kasus kontrol pengggunaan helm dan luka pada kepala 48
Tabel 16 Angka kematian kasar penyakit jantung Iskemik pada
lelaki pada beberapa negara, 1995-1998 52
Tabel 17 Perbedaan standardisasi langsung dan tidak langsung 54
Tabel 18 Proses perhitungan pada standardisasi langsung 56
Tabel 19 Contoh beberapa populasi standar yang umum 58
Tabel 20 Data kejadian kesakitan akibat Demam Berdarah Dengue
(DBD) di dua kecamatan di Kota Palembang 59
Tabel 21 Perhitungan standardisasi langsung kejadian kematian
akibat Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan
IT II distandardisasi oleh data di Kecamatan Sematang
Borang Kota Palembang 60
Tabel 22 Angka kematian karena DBD di IT II sebelum dan
sesudah distandardisasi 62
Tabel 23 Standardisasi langsung angka kematian penyakit jantung
Iskemik pada laki-laki di Jerman terhadap populasi dunia
sebagai standar 63
Tabel 24 Proses standardisasi langsung angka kematian penyakit
jantung Iskemik pada laki-laki di Jerman terhadap
populasi dunia sebagai standar(1) 64
Tabel 25 Proses perhitungan pada standardisasi tidak langsung
(1, 3)
66
Tabel 26 Proses perhitungan Standardisasi Tidak Langsung
(SMR) untuk penyakit jantung Ischemik pada laki-laki
di Brazil dibandingkan dengan populasi standar Jerman 68
Tabel 27 Perhitungan standardisasi tidak langsung kejadian
kematian akibat Demam Berdarah Dengue (DBD) di
Kecamatan IT II distandardisasi oleh data di Kecamatan
Sematang Borang Kota Palembang 69
Tabel 28 Standardisasi langsung angka kematian penyakit jantung
Iskemik pada laki-laki di Jerman terhadap populasi
Afrika sebagai standar 71

xxii EPIDEMIOLOGI
Tabel 29 Jumlah kasus baru pada penyakti Z pada komunitas A
dan B 72
Tabel 30 Analisis faktor yang berkaitan pada akses layanan jarum
dan alat suntik steril (LJASS) dan perilaku penggunaan
jarum dan alat suntik tidak steril 76
Tabel 31 Rasio Prevalensi Perilaku Merokok setelah dikontrol
oleh variabel Perancu 77
Tabel 32 Risiko kematian dalam periode 20 tahun pada wanita di
Whickham, Inggris, berdasarkan status merokok pada
awal periode 79
Tabel 33 Risiko kematian dalam periode 20 tahun pada wanita
Whickham, Inggris berdasarkan status perokok di awal
periode dan berdasarkan usia 81
Tabel 34 Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung 83
Tabel 35 Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung
distratifikasi dengan variabel aktivitas fisik 83
Tabel 36 Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung
distratifikasi dengan variabel aktivitas fisik 85
Tabel 37 Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung
distratifikasi dengan variabel aktivitas fisik 86
Tabel 38 Asosiasi antara aktivitas fisik dan penyakit jantung 86
Tabel 39 Stratifikasi faktor paparan dan outcome oleh faktor
perancu 88
Tabel 40 Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung 89
Tabel 41 Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung
distratifikasi dengan variabel aktivitas fisik 89
Tabel 42 Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung
distratifikasi dengan variabel aktivitas fisik 90
Tabel 43 Perhitungan odds rasio untuk hubungan antara alkohol
dan kanker paru-paru 93
Tabel 44 Stratifikasi hubungan antara alkohol dan kanker paru
oleh status merokok 93
Tabel 45 Skrining/penapisan gejala malaria berdasarkan tes darah
mikroskopis pada Kecamatan A Provinsi X 107
Tabel 46 Data hasil tes HIV pada pengguna narkoba suntik pada
Provinsi X di Negara Z 112
Tabel 47 Tipe studi desain observasional 118

Daftar Tabel xxiii


Tabel 48 Beberapa tipe studi eksperimental 135
Tabel 49 Perbedaan umum cluster RCT dan indivudually RCT 135
Tabel 50 Jumlah Sampel dari masing-masing RT yang terpilih 151
Tabel 51 Indikator MDGs No. 6 memerangi HIV/AIDS, malaria
dan penyakit lainnya 171
Tabel 52 Kode SMS untuk berbagai penyakit 181
Tabel 53 Definisi operasional kasus/penyakit 182
Tabel 54 Cheklist STROBE pada penelitian observasional 195
Tabel 55 Cheklist STROBE pada penelitian observasional dengan
judul ‘The effect of needle and syringe program on injecting
drug users’ use of non-sterile syringe and needle behaviour in
Palembang, South Sumatera Province, Indonesia’ 198
Tabel 56 Poin-poin yang perlu dilaporkan pada penelitian
eksperimen randmisasi CONSORT 2010 213
Tabel 57 Poin-poin yang perlu dilaporkan pada metodologi
penelitian eksperimen cluster pada judul pemodelan
kawasan tanpa rokok (non-smoking area modeling) pada
tingkat rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir 223
Tabel 58 Poin-poin yang perlu dilaporkan pada penelitian
eksperimen randomisasi CONSORT 2010 pada
penelitian “Managing back pain in preganancy using a
support garment: a randomised trial” 226

xxiv EPIDEMIOLOGI
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Jumlah penderita HIV per tahun di Provinsi Sumatera


Selatan (tahun 1995 s.d Juni 2011)(1, 2) 2
Gambar 2 Triad epidemiologi 8
Gambar 3 Keadaan berpenyakit disebabkan ketidak­seimbangan
segitiga epidemiologi pada kondisi A (agen
bertambah), B (kondisi pejamu rentan), C dan D
(ketidak­seimbangan karena perubahan lingkungan) 9
Gambar 4 Rantai penularan penyakit 10
Gambar 5 Agen bisa meliputi, agen biologik (virus, bakteri,
protozoa), nutrisi (lemak jenuh, kurang serat), dan
fisika (cahaya, kelembaban)(8) 12
Gambar 6 Faktor penjamu bisa meliputi faktor genetik, riwayat
penyakit, umur, jenis kelamin, fisiologi dan imunitas (8) 14
Gambar 7 Faktor lingkungan meliputi faktor sosial ekonomi,
lingkungan biologi dan lingkungan fisik(3, 4, 8) 15
Gambar 8 Riwayat alamiah penyakit 16
Gambar 9 Riwayat alamiah penyakit HIV/AIDS (10)
17
Gambar 10 Ilustrasi kombinasi definisi sehat berdasarkan
beberapa lembaga kesehatan dan pakar kesehatan
(1,2,3)
29

Daftar Gambar xxvxxv


Gambar 11 Ilustrasi definisi sakit berdasarkan kamus kedokteran
dan epidemiologi(4) 31
Gambar 12 Distribusi umur pada populasi di Brazil (1995)
dan Jerman (1998) 53
Gambar 13 Asosiasi merokok dan kejadian kematian
oleh variabel umur 80
Gambar 14 Asosiasi asupan energi dan kejadian penyakit jantung
didistorsi oleh variabel aktivitas fisik 83
Gambar 15 Kondisi 1: identifikasi asosiasi antara asupan energi
dan tingkat aktivitas fisik 84
Gambar 16 Kondisi 2: identifikasi asosiasi variabel kejadian
penyakit jantung dan variabel aktivitas fisik 85
Gambar 17 Strategi analisis faktor perancu dan efek modifikasi 88
Gambar 18 Riwayat alamiah penyakit (diadaptasi dari Sackett
dkk., 1991) 99
Gambar 19 Kemungkinan outcome dari test skrining/penapisan , (1)

contoh pada kasus tes pas smear dan kejadian Kanker


Serviks 104
Gambar 20 Metadon yang dberikan secara oral studi desain
observasional 117
Gambar 21 Gambaran anatomi tulang pinggul femur pada
pinggul 120
Gambar 22 Memerhatikan variabel dependen dan variabel
independen 121
Gambar 23 Jenis penelitian observasional secara garis besar:
potong lintang (cross sectional), kohort (cohort), dan
kasus kontrol (case-control) 122
Gambar 24 Aplikasi studi desain potong lintang (cross sectional)
terhadap studi kasus PTRM dan kematian akibat
overdosis atau HIV/AIDS dan BBV 123
Gambar 25 Alur studi desain potong lintang (2)
124
Gambar 26 Aplikasi studi desain kasus-kontrol (case control)
terhadap studi kasus PTRM dan kematian akibat
overdosis atau HIV/AIDS dan BBV 127
Gambar 27 Alur studi desain kasus kontrol (case control) 128
Gambar 28 Aplikasi studi desain Kohort (cohort) terhadap studi
kasus PTRM dan kematian akibat overdosis atau
HIV/AIDS dan BBV 132

xxvi EPIDEMIOLOGI
Gambar 29 Alur studi desain kohort 132
Gambar 30 Alur desain penelitian Randomised Controlled Trial
(RCT)(1,2) 134
Gambar 31 Alur desain penelitian Cluster Controlled Trial (CRCT)
(1,2)
134
Gambar 32 Aplikasi studi eksperimen terhadap studi kasus
PTRM dan kematian akibat overdosis atau HIV/
AIDS dan BBV 136
Gambar 33 Generalisasi hasil penelitian pada sampel ke populasi 140
Gambar 34 Langkah-langkah dalam menyeleksi sampel penelitian 144
Gambar 35 Klasifikasi teknik sampling secara umum 146
Gambar 36 Aplikasi teknik klaster 149
Gambar 37 Skema pengiriman data 180
Gambar 38 Jenis penelitian observasional secara garis besar:
potong lintang (cross sectional), kohort (cohort), dan
kasus kontrol (case-control) 190
Gambar 39 Peta pemikiran penelitian pemodelan kawasan
tanpa rokok (non-smoking area modeling) pada tingkat
rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir’ (lihat abstrak
penelitian pada studi kasus) 209
Gambar 40 Teknik pemilihan sampel 218
Gambar 41 Belly Bra 226
Gambar 42 Tulbigrip (Control) 226

Daftar Gambar xxvii


Cara Mengaksesnya:
1. Masuk ke www.elearning.
Buku ini unsri.ac.id
Dilengkapi 2. Pilih login sebagai "guest",
Video & Slide 3. Lalu pilih Fakultas Kesehatan
Pembelajaran Masyarakat, dan mata
kuliah Epidemiologi untuk
Interaktif yang
Mahasiswa Kesehatan
Dapat Diakses
Masyarakat (pasword
epid) atau Metode
Epidemiologi(pasword me).

Silakan Menikmati
Video dan Slides Perkuliahan Epidemiologi.

Have Fun...

xxviii EPIDEMIOLOGI
Bab 1

EPIDEMIOLOGI DASAR

Kompetensi dasar yang ingin dicapai adalah agar mahasiswa


mampu memahami dasar-dasar epidemiologi. Dalam bab ini
dipelajari tentang: mengenal epidemiologi, konsep sehat dan sakit,
dan triad epidemiologi dan tingkat pencegahan.
Indikator tercapainya kompetensi dasar adalah setelah selesai
mempelajari bab ini diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan
sejarah epidemiologi dan konsep definisi epidemiologi, mampu
menjelaskan tujuan epidemiologi, mampu menjelaskan triad
epidemiologi dan tingkat pencegahan.

1
A. Pendahuluan

K
etika Anda bertugas sebagai detektif kesehatan/detektif penyakit
(Disease Detective) dalam suatu kasus HIV di Indonesia, apa yang
Anda akan lakukan dengan melihat grafik pada Gambar 1?

45000
40000
Incidence of HIV/AIDS

35000
30000
25000
20000
15000
10000 AIDS
5000
HIV
0
1987-
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
2005
AIDS 5234 3642 4762 5231 6610 7392 8133 10659 11493 7875 6081
HIV 859 7195 6048 10362 9793 21591 21031 21511 29037 32711 30935
Year


70

60

50 44.1 43.3 42.3 41.2 40.6


38.7
40 34.4 35.3

30

20

10

0
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Men Women

Gambar 1. Jumlah kasus HIV dan kasus AIDS di Indonesia dari tahun 1987-
November 2015 dan proporsi Insidens HIV berdasarkan jenis kelamin (1, 2)

Coba tuliskan beberapa hal yang akan Anda investigasi.


1. ..............................................................................................................
2. ..............................................................................................................
3. ..............................................................................................................

2 EPIDEMIOLOGI
4. ..............................................................................................................
5. ..............................................................................................................
6. dan seterusnya
Tuliskan sebanyak mungkin apa yang ada dalam pikiran Anda, dan
apa yang akan Anda lakukan dengan mengamati gambar?
Kita akan mencoba mengidentifikasi apa yang seharusnya Anda lakukan
sebagai detektif kesehatan atau kita kenal dengan istilah epidemiologis;
1. Bagaimana gambaran distribusi HIV di Indonesia?
2. Apakah karakteristik orang dengan HIV ditinjau dari jenis kelamin,
umur, tempat tinggal, profesi?
3. Apa saja faktor-faktor (determinan) yang memengaruhi peningkatan
jumlah kasus HIV di Indonesia; tingkat pengetahuan HIV, penularan
tinggi di kelompok risiko tinggi, kurangnya penggunaan kondom pada
wanita pekerja seksual dan pria berisiko tinggi, seperti sopir truk luar
kota.
4. Bagaimana riwayat penyakit HIV?
5. Berapa angka kesakitan dan kematian penderita HIV?
6. Bagaimana penularan HIV?
7. Bagaimana cara mengendalikan penularan HIV/AIDS di Indonesia?
Berdasarkan Gambar 1 banyak hal yang harus dipelajari dalam
epidemiologi, mulai dari definisi, tujuan epidemiologi, konsep segitiga
epidemiologi, riwayat alamiah penyakit, tingkat pencegahan penyakit,
perhitungan epidemiologi dan ilmu epidemiologi dasar lainnya sehingga
bisa menghasilkan kebijakan kesehatan yang tepat. Pada bab ini pembuka
ini, kita akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan epidemiologi dasar.

B. Definisi dan Tujuan Epidemiologi


Berdasarkan ilustrasi studi kasus HIV/AIDS di atas, pertama-tama
kita telaah apa itu epidemiologi. Ada beberapa definisi epidemiologi yang
perlu kita ketahui;(3)

Bab 1 ~ Epidemiologi Dasar 3


1) Ilmu tentang epidemi/kejadian penyakit (The science of epidemics)
(Concise Oxford Dictionary, 1964); 2) Ilmu tentang kejadian penyakit
(The science of the occurance of illness) (Miettinen, 1978); 3) Studi tentang
distribusi dan determinan penyakit pada manusia (The study of the
distribution and determinants of disease in humans) (MacMahon and Pugh,
1970) dan 4) Studi tentang distribusi dan determinan kejadian terkait
dengan kesehatan pada populasi spesifik dan aplikasi studi untuk
mengendalikan masalah kesehatan (The study of the distribution and
determinants of health-related states or events in specified populations, and the
applications of this study to control of health problems).(4)

Last (2001), menjelaskan dalam kamus


Petunjuk !
epidemiologi makna dari definisinya sebagai
Epidemiologi mempelajari berikut: epidemiologi adalah studi tentang
tentang distribusi dan distribusi dan determinan suatu kondisi
determinan kejadian
kesehatan di populasi khusus/tertentu dan
penyakit dan kondisi
kesehatan lainnya pada tujuan pelaksanaan studi ini adalah untuk
populasi umum atau khusus mengendalikan masalah kesehatan. Studi
untuk memberikan masukan ini termasuk ‘surveilans, observasi, menguji
kebijakan kesehatan dalam
hipotesa, penelitian analisis dan uji coba’.
mengontrol masalah
kesehatan. Distribusi mencakup analisis waktu, tempat
dan status ekonomi dari orang yang terkena
masalah kesehatan. Determinan adalah faktor fisik, biologi, sosial, budaya,
dan perilaku yang memengaruhi kesehatan.(4)
Kondisi dan kejadian yang berkaitan dengan kesehatan termasuk
penyakit, penyebab kematian, perilaku seperti merokok, perilaku upaya
pencegahan dan penggunaan pelayanan kesehatan. Populasi spesifik
adalah mereka dengan karakterisik tertentu yang teridentifikasi dalam
jumlah yang terdefinisi dengan tepat. Penerapan dari ilmu epidemiologi
ini adalah untuk mengendalikan penyakit yang secara eksplisit bertujuan
untuk mempromosikan, melindungi dan memulihkan kesehatan.(4)
Berdasarkan definisi-definisi menurut beberapa ahli ini, dapat
disimpulkan bahwa ‘epidemiologi mempelajari tentang distribusi dan
determinan kejadian penyakit dan kondisi kesehatan lainnya’. Pada populasi
umum atau khusus untuk memberikan masukan kebijakan kesehatan dalam
mengontrol masalah kesehatan.

4 EPIDEMIOLOGI
Tabel 1. Penjelasan definisi epidemiologi
Term Penjelasan
Studi Terdiri dari, surveilans pengamatan, pengujian hipo­
tesis, penelitian dan percobaan analitis.
Distribusi Merujuk pada analisis: waktu, orang, tempat dan
kelompok orang yang terkena dampak.
Determinan Meliputi faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan:
biologi, kimia, fisik, sosial, budaya, ekonomi, genetik
dan perilaku.
Kondisi kesehatan Merujuk kepada: penyakit, penyebab kematian, perilaku
seperti penggunaan tembakau, keadaan kesehatan
yang positif, reaksi terhadap upaya pencegahan dan
penyediaan dan penggunaan layanan kesehatan.
Populasi Spesifik Termasuk orang-orang dengan karakteristik yang dapat
diidentifikasi, seperti kelompok kerja.
Penerapan pencegahan Tujuan kesehatan masyarakat mempromosikan,
dan pengendalian melindungi, dan memulihkan kesehatan.
Sumber: Bonita (2006) dan Last (2001)(4, 5)

Tujuan dari ilmu epidemiologi adalah(5): 1) Mengidentifikasi penyebab


penyakit dan faktor risiko terkait; 2) Menentukan seberapa luas atau banyak
penyakit ditemukan di populasi. Hal ini bertujuan untuk memprediksi
beban (burden) penyakit di masyarakat dalam mengoptimalkan perencanaan
pelayanan dan fasilitas kesehatan; 3) Mempelajari riwayat penyakit alamiah
dan prognosis penyakit; 4) Mengevaluasi pelayanan dan pencegahan
kesehatan yang sudah ada dan yang terbarukan; dan 5) Menyediakan
dasar dalam mengembangkan kebijakan kesehatan terkati dengan masalah
lingkungan, isu genetik dan pertimbangan lain menyangkut pencegahan
penyakit dan promosi keseahatan.
Untuk mempermudah dalam mengerti definisi dan tujuan epide­
miologi, kita misalkan permasalahan HIV/AIDS di Indonesia. Dengan
epidemiologi, kita dapat mengetahui penyebab penyebaran HIV yang
cepat di Sumatera Selatan, dengan melakukan studi epidemiologi “faktor
risiko penyebaran HIV/AIDS di populasi risiko tinggi di Indonesia” dapat
diinvestigasi. Dari studi epidemiologi tersebut, kita dapat mengidentifikasi
sebaran HIV/AIDS terbaru di Indonesia, mengidentifikasi riwayat alamiah

Bab 1 ~ Epidemiologi Dasar 5


penyakit ODHA dengan dan tanpa pengobatan Antiretroviral (ARV). Lalu
evaluasi program HIV/AIDS pun dapat dilakukan, dengan subjek ODHA
maupun penyedia pelayanan bagi ODHA seperti pengobatan antiretroviral,
pelayanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) yang dikenal
dengan program PMTCT (Prevention of mother to child transmission). Sehingga
hasil studi bisa menyarankan tindakan lanjut dalam program HIV/AIDS,
maupun akses kesehatan yang bebas diskriminasi bagi ODHA (Orang
dengan HIV/AIDS) dan pencapaian penggunaan pelayanan kesehatan
HIV/AIDS yang optimal.

C. Sejarah Epidemiologi
Epidemiologi merupakan ilmu yang sudah berkembang, bahkan sejak
ribuan tahun sebelum disiplin klinis berkembang dengan pesat seperti saat
ini. Hippocrates merupakan tokoh pertama yang mulai mengembangkan
‘bibit/tunas’ ilmu epidemiologi ini, lebih dari 2000 tahun yang lalu.
Hippocrates (460-375 BC) menyadari bahwa faktor lingkungan dan
perilaku dapat memengaruhi kejadian penyakit. Pada masa The Dark
Ages dan Middle Ages (AD 500-1500) menjelaskan tentang sebab akibat
perkembangan suatu penyakit. Pengenalan metode kuantitatif pada
epidemiologi dilakukan oleh John Graunt (1620-1674) yang mempelajari
dan membandingkan gambaran dan register data kematian dan kelahiran
pada kelompok umur berbeda, laki-laki dan perempuan dan trend kematian.
Dia juga menciptakan the life-table pertama kali. Kemudian, perkembangan
ini berlanjut hingga abad kesembilan belas di mana distribusi penyakit
pada kelompok populasi tertentu ditemukan dalam jumlah yang cukup
besar.(3, 6)
Temuan paling bermakna dalam bidang epidemiologi adalah temuan
yang dilakukan oleh John Snow. Snow menemukan bahwa adanya hubungan
antara air minum yang dipasok oleh perusahaan setempat dengan kejadian
kolera di London, Inggris. Penelitian Epidemiologi Snow adalah satu
bentuk aspek dari serangkaian luas investigasi yang mencoba menilai
hubungan antara aspek fisik, kimia, biologi, sosiologi dan politik.(6) John
Snow mendatangi rumah setiap orang yang meninggal akibat kolera di
London selama 1848-1849 dan 1853-1854, dan mencatat hubungan

6 EPIDEMIOLOGI
yang jelas antara sumber air minum dan
Petunjuk !
kematian akibat penyakit kolera tersebut.
Dia membandingkan kematian kolera Hippocrates “faktor
di wilayah dengan persediaan air yang lingkungan dapat
memengaruhi kejadian
berbeda seperti yang ada pada tabel di
penyakit”.
bawah ini dan menunjukkan bahwa baik John Snow “hubungan antara
jumlah kematian dan tingkat kematian air minum yang disuplai oleh
lebih tinggi di antara orang-orang yang perusahaan setempat dengan
kejadian kolera di London”.
disediakan oleh perusahaan air Southwark.
(3, 6)

Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, Snow mem­bangun sebuah


teori tentang hubungan penyakit menular dan menyimpulkan bahwa
kolera disebarkan oleh air yang terkontaminasi. Dia mampu mendorong
perbaikan dalam penyediaan air jauh sebelum penemuan organisme yang
bertanggung jawab atas terjadinya kolera; penelitiannya memiliki dampak
langsung dan luas pada kebijakan publik.

Tabel 2. Angka kematian penyakit kolera di wilayah London yang disuplai oleh
perusahaan air minum (8 Juli–26 Agustus 1845)

Angka Kematian
Perusahaan Jumlah Populasi Kasus Mati
Kolera (per 1000
Air Minum tahun 1851 Kolera
orang)
Soutwark 167.654 844 5.0
Lambeth 19.133 18 0.9
Sumber: Bonita, 2006,
(6)

Karya Snow mengingatkan kita tentang upaya kesehatan masyarakat,


seperti peningkatan sanitasi dan penyediaan air, telah memberikan
kontribusi yang sangat besar bagi kesehatan masyarakat, dan dalam banyak
kasus sejak tahun 1850, studi epidemiologi telah mengidentifikasi langkah-
langkah yang tepat untuk diambil. Perlu diperhatikan bahwa wabah kolera
masih sering terjadi pada masyarakat miskin terutama di negara-negara
berkembang. Pada tahun 2006, Angola melaporkan 40.000 kasus kolera
dan 1.600 kematian akibat kolera; Sudan melaporkan 13.852 kasus yang
mengakibatkan 516 kematian dalam beberapa bulan pertama.(6)

Bab 1 ~ Epidemiologi Dasar 7


Membandingkan rate penyakit pada subgrup dari populasi masyarakat
umum menjadi hal yang umum di akhir abad kesembilan belas dan awal
abad kedua puluh. Pendekatan ini pada awalnya hanya digunakan untuk
pengendalian penyakit menular, namun selain itu juga terbukti sebagai
cara yang berguna untuk melihat hubungan kondisi lingkungan atau
agen untuk penyakit tertentu. Pada pertengahan abad ke-20, metode ini
diterapkan untuk penyakit tidak menular kronis seperti penyakit jantung
dan kanker, terutama di negara-negara maju. Epidemiologi dalam bentuk
modern adalah disiplin ilmu yang relatif baru dan menggunakan metode
kuantitatif untuk mempelajari penyakit pada populasi masyarakat, untuk
menginformasikan upaya pencegahan dan pengendalian serta dimulainya
penelitian terkait epidemiologi genetik.(6)

D. Konsep Segitiga Epidemiologi (Triad Epide­miologi)


Triad epidemiologi atau segitiga epidemiologi adalah suatu model
yang mengilustrasikan bagaimana penyakit menular menyebar. Triad
epidemiologi terdiri dari agen, pejamu (host) dan lingkungan. Ketiga
faktor ini saling terkait dan bersinergi satu sama lain (Gambar 2). Ketika
salah satu dimensi tidak seimbang, misal ketika imunitas pejamu rentan
atau lingkungan cuaca berubah, atau jumlah sumber penyakit bertambah,
akan menyebabkan ketidakseimbangan kesehatan seseorang yang akan
menyebabkan sakit (Gambar 3).

Transmisi/Penularan

Agen Pejamu

Lingkungan
Gambar 2. Triad epidemiologi

8 EPIDEMIOLOGI
P A
A P
L L
A : Agen
P A A B P : Pejamu
A P L : Lingkungan
L L A P
C D
L

Sumber: webb, et al 2005, http://metopidfkmunsri.blogspot.com/

Gambar 3. Keadaan berpenyakit disebabkan ketidakseimbangan


segitiga epidemiologi pada kondisi A (agen bertambah),
B (kondisi pejamu rentan), C dan D (ketidakseimbangan
karena perubahan lingkungan)

1. Rantai Penularan
Penyakit menular terjadi sebagai hasil interaksi antara agen, pejamu
dan lingkungan serta proses transmisi di antaranya. Pengendalian penyakit
tersebut dapat mencakup perubahan satu atau lebih dari komponen ini,
yang semuanya dipengaruhi oleh lingkungan.Penyakit ini dapat memiliki
berbagai efek dan bervariasi, mulai dari infeksi, kemudian kondisi
normal seperti biasa (tanpa tanda-tanda atau gejala), kemudian penyakit
bertambah parah dan berakhir pada kematian. Tujuan utama epidemiologi
penyakit menular adalah untuk memperjelas proses infeksi dengan tujuan
mengembangkan, melaksanakan dan mengevaluasi langkah-langkah
pengendalian penyakit dengan tepat. Pengetahuan tentang masing-masing
faktor dalam rantai infeksi mungkin diperlukan sebelum intervensi yang
dilakukan kecuali untuk penyakit rantai penularan khusus/spesifik.(6)
Misalnya, HIV dapat dicegah dengan penggunaan kondom pada kelompok
berisiko HIV, tetapi pengetahuan tentang pentingnya kondom saja tidak
dapat mencegah penularan HIV tanpa kesadaran dan komitmen negara
untuk memfasilitasi akses terhadap kondom sehingga epidemik HIV dapat
ditekan jumlahnya di Indonesia.

Bab 1 ~ Epidemiologi Dasar 9


Rantai Penularan
Reservoir Pejamu yang rentan
Cara Penularan
Pintu Masuk
Droplet
Agen

Vektor
Vehicle
Melalui Udara

Sumber: Centers for Disease Control and Prevention. Principles of epidemiology, 2nd ed. Atlanta: U.S. Department of
Health and Human Services; 1992(7)

Gambar 4. Rantai penularan penyakit

Tabel 3. Istilah-istilah rantai penularan penyakit(7)


Istilah Definisi
Reservoir Reservoir agen menular adalah habitat di mana agen
biasanya hidup, tumbuh, dan berkembang biak. Yang
termasuk reservoir adalah manusia, hewan, dan
lingkungan. Reservoir bisa jadi menjadi sumber dari mana
agen ditularkan ke pejamu ataupun tidak. Misalnya,
reservoir Clostridium botulinum adalah tanah, tetapi
sumber dari kebanyakan infeksi botulisme dari makanan
kaleng yang mengandung spora C. Botulinum.
Human Reservoir Reservoir manusia. Banyak penyakit menular umum
memiliki reservoir manusia. Penyakit yang ditularkan
dari orang ke orang tanpa perantara termasuk penyakit
menular seksual, campak, gondok, infeksi streptokokus,
dan banyak pathogen pernapasan. Karena manusia adalah
satu-satunya reservoir untuk virus cacar, yang terjadi
secara alami cacar dapat ditularkan setelah kasus manusia
terakhir diidentifikasi dan diisolasi.

10 EPIDEMIOLOGI
Istilah Definisi
Zoonosis Zoonosis mengacu pada penyakit menular yang ditularkan
secara alamiah dari hewan vertebrata ke manusia,
contohnya brucellosis (sapi dan babi), anthrax (domba),
plague (hewan pengerat), trichinellosis/trichinosis (babi),
tularemia (kelinci), dan rabies (kelelawar, musang, anjing,
dan mamalia lainnya).
Vektor Binatang, paling sering arthropoda (misalnya serangga),
yang menularkan zat pathogen dari orang yang terinfeksi
dan ditularkan ke individu yang rentan/berisiko.
Portal of Exit Jalan di mana patogen meninggalkan inangnya.
Portal keluar biasanya sesuai dengan tempat di mana
patogen berada. Misalnya, virus influenza dan bakteri
Mycobacterium tuberculosis ke luar dari saluran
pernapasan, schistosomes melalui urin, vibrio kolera di
tinja. Beberapa agen yang ditularkan melalui darah dapat
keluar dengan menyeberangi plasenta dari ibu ke janin
(rubella, sifilis, toksoplasmosis), sementara yang lain
keluar melalui luka atau jarum pada kulit (hepatitis B) atau
arthropoda penghisap darah (malaria).
Pintu Masuk Mengacu pada cara patogen memasuki pejamu yang
(Portal of Entry) rentan. Pintu masuk ke pejamu harus melalui ke jaringan
tubuh di mana patogen dapat berkembang biak atau racun
dapat menyebar.
Transmisi Langsung Kontak langsung adalah penularan penyakit melalui kulit
(direct contact) ke kulit (skin to skin), ciuman, dan hubungan seksual.
Kontak langsung juga mengacu pada kontak dengan tanah
atau vegetasi . Misal, infeksi mononukleosis (“mencium
penyakit”) dan Gonore yang menyebar dari orang ke orang
melalui kontak langsung. Cacing tambang menyebar melalui
kontak langsung dengan tanah yang terkontaminasi.
Transmisi tidak Transmisi tidak langsung mengacu pada penularan agen
langsung infeksius dari reservoir ke pejamu oleh partikel tersuspensi
udara (air borne), benda mati (vehicle), atau vektor.
Sumber: Centers for Disease Control and Prevention (1992), Last, 2001.

2. Agen Penular (Agent)


Agen adalah faktor penyebab dapat berupa unsur mati atau hidup yang
terdapat dalam jumlah berlebih atau kurang. Agen adalah mikroorganisme,

Bab 1 ~ Epidemiologi Dasar 11


zat kimia atau radiasi yang ada, keberadaannya berlebihan atau faktor
seperti cenderung tidak ada dalam menimbulkan suatu penyakit. (4)
Sejumlah besar mikroorganisme menyebabkan penyakit pada manusia.
Infeksi adalah masuk dan berkembangnya (memperbanyak diri) agen
menular pada pejamu. Infeksi tidak sama dengan penyakit, beberapa infeksi
tidak menghasilkan penyakit klinis. Agen bisa meliputi, agen biologik
(virus, bakteri, protozoa dan lain-lain), gizi (lemak jenuh, kurang serat),
dan fisika (cahaya, kelembaban).(8)

BIOLOGIK

GIZI FISIKA

FISIK KIMIA

Gambar 5. Agen bisa meliputi, agen biologik (virus, bakteri, protozoa), nutrisi
(lemak jenuh, kurang serat), dan fisika (cahaya, kelembaban)(8)

Karakteristik khusus dari setiap agen penting dalam menentukan sifat


infeksi, yang ditentukan oleh faktor-faktor berikut ini.(3, 6, 11)
a. Dosis Infektif (Infektivitas) adalah jumlah yang diperlukan untuk
menyebabkan infeksi pada pejamu yang rentan. Dihitung dari jumlah
individu yang terinfeksi dibagi dengan jumlah individu yang berisiko
terhadap penyakit tertentu.
b. Patogenisitas adalah kemampuan agen untuk berkembang biak untuk
menimbulkan penyakit klinis, diukur dengan rasio jumlah orang yang
terkena penyakit secara klinis dengan jumlah orang yang terinfeksi
dengan penyakit tertentu.
c. Virulensi adalah ukuran tingkat keparahan penyakit atau tingkat agen
memperparah kondisi suatu penyakit, yang dapat bervariasi dari yang

12 EPIDEMIOLOGI
sangat rendah hingga sangat tinggi. Atau dengan kata lain, kemampuan
agen penyakit untuk menyebabkan keparahan/stadium lanjut hingga
kematian. Virulensi dihitung dari jumlah kasus klinis yang parah/
stadium lanjut dibagi dengan jumlah individu yang terinfeksi. Tingkat
virulensi dipengaruhi oleh jumlah bakteri, jalur masuk ke tubuh inang,
mekanisme pertahanan inang, dan faktor virulensi bakteri.
d. Reservoir Agen adalah habitat alami agen, yang mungkin termasuk
manusia, hewan dan sumber lingkungan.
e. Sumber infeksi adalah orang atau objek tempat pejamu ditularkan
oleh agen penyebab penyakit. Informasi dari reservoir dan sumber
infeksi dibutuhkan untuk membuat langkah-langkah pengendalian
yang efektif. Sumber infeksi yang penting adalah orang sebagai carier
(pembawa) di mana ia terinfeksi namun tidak menunjukkan gejala-
gejala klinis. Durasi pembawa penyakit bervariasi antara agen. Karier
bisa jadi asimtomatik sepanjang perjalanan infeksi atau karier mungkin
terbatas pada tahap tertentu dari penyakit. Karier memainkan peran
besar dalam penyebaran penyakit ke seluruh dunia seperti Human
Immunodeficiency Virus (HIV) karena transmisi seksual sengaja selama
periode tanpa gejala yang panjang.

3. Pejamu
Faktor pejamu atau host adalah orang atau hewan termasuk burung
dan artopoda yang menyediakan tempat yang cocok untuk agen infeksius
agar tumbuh dan berkembang biak dalam kondisi alamiah. Titik-titik
masuk (portal of entry) ke pejamu bervariasi dengan agen dan termasuk
kulit, selaput lendir, dan pernapasan dan saluran pencernaan.(6) Faktor
penjamu bisa meliputi faktor genetik, riwayat penyakit, umur, jenis
kelamin, psikologi, fisiologi dan imunitas.(8)
Sebagai contoh Imunisasi Pasif. Antibodi dibentuk sebagai bagian
dari respons kekebalan alami terhadap patogen dapat diperoleh dari donor
darah dan setelah terkena/terpajan beberapa penyakit (seperti rabies,
difteri, varicella-zoster dan hepatitis B) kepada orang-orang yang belum
diimunisasi secara memadai. Transmisi pasif lainnya seperti antibodi dari

Bab 1 ~ Epidemiologi Dasar 13


ibu melalui plasenta juga dapat memberikan resistensi terhadap infeksi
pada janin. Contoh lainnya, genetik, keluarga yang memiliki riwayat
penyakit keluarga seperti diabetes, kanker payudara, hipertensi, cenderung
akan menurunkan penyakitnya pada anak-anak dan cucu-cucunya. Dengan
kata lain, orang yang memiliki faktor genetik penyakit tertentu, lebih rentan
terkena penyakit tersebut dibandingkan dengan orang tanpa faktor genetik.

GENETIK

IMUNITAS RIWAYAT
PENYAKIT

FISIOLOGI UMUR

PSIKOLOGI

Gambar 6. Faktor penjamu bisa meliputi faktor genetik, riwayat penyakit, umur,
jenis kelamin, fisiologi dan imunitas(8)

4. Lingkungan
Faktor lingkungan adalah semua unsur di luar dari faktor individu
pejamu yang memengaruhi status kesehatan populasi, meliputi faktor
sosial ekonomi, lingkungan biologi dan lingkungan fisik. Lingkungan
memainkan peran penting dalam perkembangan penyakit menular. Sanitasi
umum, suhu, polusi udara, cuaca, dan kualitas air merupakan beberapa
faktor yang memengaruhi semua tahap dalam rantai infeksi. Nyamuk akan
sangat mudah berkembang biak pada musim hujan. Selain itu, faktor sosial
ekonomi, seperti kepadatan kondisi perumahan, ketersediaan makanan,
kepadatan penduduk dan kemiskinan adalah sangat penting(3, 4, 8) (lihat
Gambar 7).

14 EPIDEMIOLOGI
SOSIAL
FISIK
EKONOMI

BIOLOGI

Gambar 7. Faktor lingkungan meliputi faktor sosial ekonomi, lingkungan biologi


dan lingkungan fisik(3, 4, 8)

E. Konsep Riwayat Alamiah Penyakit dan Pen­cegahan


Epidemiologi
Adanya kecenderungan(trend) perubahan pola angka kematian maupun
kesakitan menunjukkan bahwa penyebab utama penyakit dapat dicegah.
Namun demikian, orang yang sehat pun akan mengalami peningkatan
risiko untuk menjadi sakit karena beberapa faktor seperti usia, dan risiko
kematian seumur hidup untuk setiap populasi adalah 100%. Namun,
sebagian besar populasi dipengaruhi oleh penyakit tertentu yang dapat
dicegah.(6) Perhatikan contoh berikut ini, apa yang bisa Anda simpulkan?
Contoh 1: Jika kita amati data Riset Kesehatan Dasar (2010), ‘Secara
nasional prevalensi penduduk umur 15 tahun ke atas yang merokok tiap
hari sebesar 28,2%’. Secara nasional, rata-rata jumlah batang rokok yang
dihisap tiap hari adalah 1-10 batang oleh lebih dari separuh (52,3%)
perokok dan sekitar 20% sebanyak 11-20 batang per hari. Rata-rata umur
mulai merokok secara nasional adalah 17,6 tahun dengan persentase
penduduk yang mulai merokok tiap hari terbanyak pada umur 15-19
tahun.(9) Berdasarkan data Riskesdas ini, kita dapat memprediksi bahwa
penyakit yang berkaitan dengan merokok di Indonesia termasuk gangguan
pernapasan, penyakit berkaitan Paru dan Jantung dan bahkan kejadian

Bab 1 ~ Epidemiologi Dasar 15


kanker paru akan semakin meningkat beberapa dekade ke depan. Jika
perilaku merokok tidak dapat dikurangi sejak dini, semakin banyak
produktivitas kerja dan umur yang dapat berkurang akibat sakit yang
berkaitan dengan perilaku merokok. Biaya untuk pengobatan dan beban
keluarga pun akan meningkat. Sehingga percegahan terhadap penyakit yang
berkaitan dengan merokok harus dilakukan sedini mungkin, baik secara
primordial, primer, sekunder maupun tersier.
Contoh 2: Studi lainnya menunjukkan bahwa mereka sering
mengembangkan pola penyakit dari populasi pejamu. Sebagai contoh,
tingkat kanker lambung pada orang yang lahir di Hawaii untuk orang
tua Jepang lebih rendah daripada orang yang lahir di Jepang. Setelah dua
generasi di Amerika Serikat, orang-orang keturunan Jepang memiliki
tingkat kanker lambung yang sama seperti penduduk AS pada umumnya.
Fakta bahwa dibutuhkan satu generasi atau lebih untuk menurunkan
tingkat menunjukkan pentingnya faktor paparan – seperti diet – pada awal
kehidupan. Sehingga pencegahan pun harus sedini mungkin dilakukan.
Untuk memahami konsep tingkat pencegahan, kita harus memahami
riwayat alamiah penyakit. Riwayat alamiah penyakit adalah perkembangan
secara alamiah suatu penyakit (tanpa intervensi/campur tangan medis)
sehingga suatu penyakit berlangsung secara natural.(4) Coba perhatikan
riwayat alamiah kasus HIV (Gambar 8). Ada dua fase secara umum yaitu,
fase pre-patogenesis dan fase patogenesis. Fase pre-patogenesis adalah
fase sebelum terjadinya sakit dan fase patogenesis di mana kondisi sakit
telah terjadi.

MASA PRE- MASA


PATHOGENESIS PATHOGENESIS
Masa Masa Masa Meninggal
awal lanjut penyem­ Kronis
sakit sakit buhan Cacat
A
HORIZON KLINIS Sembuh
H E Awal
terjadi Waktu
sakit Tempat
Orang

Gambar 8. Riwayat alamiah penyakit

16 EPIDEMIOLOGI
Sumber: Dirjen P2PL Depkes RI, 2006

Gambar 9. Riwayat alamiah penyakit HIV/AIDS(10)

Secara umum, riwayat alamiah penyakit melalui beberapa tahap


berikut ini.
1. Tahap Prepatogenesis
Pada tahap ini, individu dalam keadaan sehat, tetapi mereka rentan
terhadap agen penyakit (stage of susceptible). Selain itu, telah terjadi
interaksi antara pejamu dan agen di luar tubuh pejamu. Jika imunitas
pejamu sedang lemah, atau bibit penyakit (agen) lebih ganas, dan
kondisi lingkungan (environment) tidak menguntungkan bagi pejamu
maka penyakit akan melanjutkan riwayat alamiahnya yakni ke tahap
Patogenesis.
2. Tahap Patogenesis
Pada tahap ini terdiri dari 4 (empat) sub-tahap, yaitu:
a. Tahap Inkubasi
Merupakan waktu yang dibutuhkan sejak awal paparan/infeksi
oleh agen penyebab penyakit hingga timbulnya gejala dan tanda
klinis disebut masa inkubasi.

Bab 1 ~ Epidemiologi Dasar 17


b. Tahap Dini
Pada tahap dini, terjadi gangguan patologis dan gejala penyakit
mulai muncul (stage of subclinical disease). Sebaiknya, pada tahap
ini dilakukan diagnosis dini.
c. Tahap Lanjut
Pada tahap lanjut, gangguan patologis menjadi lebih berat
dan gejala penyakit terlihat lebih jelas (stage of clinical disease)
sehingga mudah menegakkan diagnosis penyakit dan dibutuhkan
pengobatan yang tepat agar penyakit tidak bertambah parah.
d. Tahap Akhir
Merupakan tahap terakhir dari perjalanan penyakit dengan lima
kemungkinan keadaan pejamu, yakni sembuh sempurna, sembuh
dengan cacat, karier, kronik, atau kematian.
Coba Anda jelaskan periode riwayat alamiah penyakit HIV-AIDS
berdasarkan Gambar 9!

Untuk mencegah penularan HIV/AIDS di remaja, dilakukan promosi


kesehatan melalui media cetak maupun media elektronik, lalu promosi
kondom pun digencarkan untuk populasi khusus seperti wanita pekerja
seksual (WPS), pria berisiko tinggi (sopir truk antar kota), homo seksual,
pengguna narkoba suntik dan lain-lain. Sehingga pencegahan primordial
dan primer dapat dilakukan untuk mencegah perkembangan awal HIV/
AIDS. Jika orang sudah menderita HIV, dilakukan pengobatan untuk
mengurangi perkembangan virus HIV di dalam tubuh ODHA (Orang
dengan HIV-AIDS) tersebut dengan memberikan obat Anti Retroviral
(ARV) seumur hidup. Hal ini termasuk ‘Pencegahan Sekunder’ untuk
mengurangi tingkat keparahan dan komplikasi terhadap berbagai penyakit

18 EPIDEMIOLOGI
yang bisa menyerang ODHA dan memperpanjang usia harapan hidup
ODHA. Ketika orang dengan HIV telah masuk ke fase AIDS, di mana
kondisi mereka mengalami berbagai komplikasi akibat makin melemahnya
sistem kekebalan tubuh seperti komplikasi TBC, diare kronis yang tidak
sembuh-sembuh. Yang dilakukan adalah perawatan medis secara intensif
dengan tambahan obat-obat lainnya untuk pencegahan tersier, sehingga
angka harapan hidup penderita AIDS bisa bertambah, walaupun untuk
saat ini AIDS belum dapat disembuhkan dan berakhir dengan kematian.

Tabel 4. Faktor pencegahan berdasarkan fase pre-patogenesis dan patogenesis


Fase Pre-Patogenesis Fase Patogenesis
Pencegahan Primer Pencegahan Sekunder Pencegahan
Pencegahan perkembangan awal Deteksi awal keberadaan Tersier
penyakit penyakit untuk mengurangi Pengurangan
tingkat keparahan dan dampak dari
komplikasi penyakit

Promosi Perlindungan Diagnosis awal Pembatasan Rehabilitasi


Kesehatan umum dan dan perawatan ketidak­-
spesifik tepat waktu mampuan
Penyuluhan Seks, Imunisasi Skrining penyakit Pengobatan Rehabilitasi
Narkoba kanker kanker pasien stroke
Sumber: Kombinasi dari Gordis, 2009(5), & Ryadi, 2011(8)

Empat tingkat pencegahan, sesuai dengan fase yang berbeda dalam


perkembangan penyakit, yang primordial, primer, sekunder dan tersier. Ada
juga yang membaginya tiga level saja tanpa fase primordial. Masing-
masing level tersebut terdapat faktor atau kondisi yang berperan yang
dapat menyebabkan penyakit. Dalam situasi di mana bukti dari peran
tersebut tidak lengkap, tetapi risiko tidak mencegah ancaman kesehatan
masyarakat dianggap terlalu tinggi, tindakan preventif masih dapat
diambil dan dapat diberi label “prinsip pencegahan”. Semua tingkat
pencegahan penting dan saling melengkapi. Pencegahan primordial
dan primer memberikan kontribusi besar untuk kesehatan seluruh
penduduk, sedangkan pencegahan sekunder dan tersier umumnya
berfokus pada orang yang sudah memiliki tanda-tanda penyakit. (6)

Bab 1 ~ Epidemiologi Dasar 19


Tabel 5. Tingkatan pencegahan penyakit
Tingkat
Fase Penyakit Tujuan Kegiatan Target
Pencegahan
Primodial Kondisi ekonomi, Membangun dan Tindakan yang menghambat munculnya Jumlah populasi atau
sosial, dan ling­ meme­li­hara kondisi kondisi gawat dari, aspek ekonomi, kelom­pok yang dipilih;
kungan yang men­ yang me­mini­malkan sosial, perilaku dan lingkungan. dicapai melalui kebijakan

20 EPIDEMIOLOGI
dasari mengarah bahaya/efek negatif kesehatan masyarakat dan
ke penyebab bagi kesehatan promosi kesehatan.
Primer Faktor penyebab Mengurangi insiden Perlindungan kesehatan dengan Jumlah populasi, kelompok
spesifik penyakit upaya pribadi dan komunal, seperti yang dipilih dan individu
meningkatkan status gizi, memberikan yang sehat; dicapai melalui
imunisasi, dan menghilangkan risiko kebijakan kesehatan
lingkungan. masya­rakat.
Sekunder Tahap awal Mengurangi prevalensi Langkah-langkah yang tersedia bagi Individu yang berisiko
Penyakit penyakit dengan mem­ individu dan masyarakat untuk tinggi dan pasien; dicapai
per­­pendek riwayat deteksi dini dan intervensi cepat melalui pengobatan
alamiah penyakit untuk mengendalikan penyakit & pencegahan.
meminimalkan kecacatan (misalnya
melalui program skrining).
Tersier Tahap akhir Mengurangi jumlah Tindakan yang bertujuan memini­ pasien; dicapai melalui
penyakit dan dampak malisir dampak penyakit jangka panjang rehabilitasi.
komplikasi dan cacat; mengurangi masa sakit;
memaksimalkan produktivitas.
Sumber: Bonita (2006)(6)
1. Pencegahan Primordial
Tujuan dari pencegahan primordial adalah meningkatkan dan
memelihara kondisi yang meminimalkan efek negatif bagi kesehatan.
Seperti contoh kasus merokok. Merokok banyak menyebabkan penyakit
seperti gangguan paru dan kanker Paru di masa akan datang. Dengan
memberlakukan kebijakan melarang mengiklankan rokok di media cetak
dan elektronik, meningkatkan pajak rokok, menciptakan kawasan tanpa
rokok dan kebijakan kesehatan lainnya yang mendukung preventif perilaku
merokok terutama pada usia muda.(6) Walaupun di Indonesia kebijakan-
kebijakan ini tidak mudah dilakukan karena banyaknya kepentingan pihak-
pihak industri dan pekerja industri tembakau dari masyarakat menengah
ke bawah. Program-program tersebut perlu melibatkan sektor pertanian,
industri makanan dan sektor impor/ekspor makanan. Contoh tingkat
pencegahan primordial lainnya adalah program untuk mempromosikan
aktivitas fisik secara teratur untuk mengurangi penyakit degeneratif di
kemudian hari.(6) Di negara maju yang memiliki kasus penyakit tidak
menular cukup tinggi, banyak masyarakatnya melakukan aktivitas fisik
dalam kehidupan sehari-hari seperti menggunakan sepeda, jalan kaki
menuju ke sekolah ataupun kantornya yang didukung oleh fasilitas
pengendara sepeda dan pejalan kaki yang baik.

2. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah untuk membatasi timbulnya
penyakit dengan mengendalikan penyebab spesifik dan faktor risiko. Upaya
pencegahan primer dapat diarahkan pada seluruh masyarakat dengan tujuan
untuk mengurangi risiko rata-rata (strategi berbasis massa atau populasi);
atau orang-orang yang berisiko tinggi sebagai akibat dari paparan tertentu
(strategi berbasis individu yang berisiko tinggi).(6)
Keuntungan utama dari strategi populasi adalah seseorang tidak
harus mengidentifikasi kelompok berisiko tinggi tetapi hanya mengurangi
(dengan jumlah yang kecil) faktor risiko yang ada pada seluruh populasi.
Kerugian utamanya adalah strategi ini memberikan sedikit manfaat
untuk banyak orang karena sebagian memiliki risiko absolut terhadap
penyakit yang cukup rendah. Sebagai contoh, kebanyakan orang akan

Bab 1 ~ Epidemiologi Dasar 21


mengenakan sabuk pengaman saat mengemudi mobil sepanjang hidupnya
tanpa pernah mengalami kecelakaan. Penggunaan sabuk pengaman secara
luas telah sangat bermanfaat bagi populasi secara keseluruhan, namun
manfaat sedikit jelas diakui oleh orang-orang yang tidak pernah secara
pribadi terlibat dalam kecelakaan. Fenomena ini telah disebut paradoks
pencegahan.(6)

Tabel 6. Perbedaan pencegahan dengan pendekatan populasi dan individu dengan


risiko tinggi
Pendekatan Individu
Ciri-ciri Pendekatan Populasi
Risiko Tinggi
Keuntungan Bebas/Radikal Cocok untuk individu
Potensi besar untuk Motivasi subjek
seluruh populasi Motivasi dokter/ tenaga
Pencegahan harus sesuai kesehatan
dan dapat dilakukan pada Tepat untuk perhitungan risk
periode waktu tertentu rasio (RR)
(Behaviourally)
Kerugian Manfaat kecil untuk individu Kesulitan dalam mengidentifi-
Kurangnya Motivasi Subjek kasi individu yang berisiko tinggi
Kurangnya Motivasi dokter (membutuhkan skrining)
Perhitungan risk rasio kurang Efek sementara
tepat Efek terbatas
Pencegahan harus sesuai dan
dapat dilakukan pada periode
waktu tertentu (Behaviourally
appropriate)
Sumber: Bonita, 2006(6)

Alternatif pendekatan ini berfokus pada individu tertentu dalam


upaya untuk mengurangi kadar kolesterol pada individu-individu tersebut.
Meskipun strategi individu fokus pada kelompok dengan risiko tinggi (yang
bertujuan untuk melindungi orang yang rentan), tetapi yang paling efisien
untuk orang-orang yang paling berisiko terhadap penyakit tertentu karena
orang-orang ini dapat berkontribusi secara keseluruhan terhadap beban
penyakit dalam populasi. Kerugian utama dari strategi individu dengan
risiko tinggi ini adalah biasanya memerlukan program skrining (penapisan)
untuk mengidentifikasi kelompok berisiko tinggi, sesuatu yang sering

22 EPIDEMIOLOGI
sulit dan mahal.(6) Menggabungkan strategi berbasis populasi dan strategi
berbasis individu berisiko tinggi berguna dalam banyak situasi.
Beberapa contoh lainnya yang termasuk pencegahan primer adalah
penyuluhan secara intensif, perbaikan rumah sehat, perbaikan gizi,
peningkatan higiene perorangan dan perlindungan terhadap lingkungan
yang tidak menguntungkan, memberikan imunisasi, perlindungan kerja
dan nasihat perkawinan dan pendidikan seks yang bertanggung jawab.(8)

3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan mengurangi konsekuensi yang lebih
serius dari penyakit melalui diagnosis dini dan pengobatan. Ini mencakup
langkah-langkah yang tersedia bagi individu dan populasi untuk mendeteksi
dini dan intervensi yang efektif. Pencegahan ini diarahkan pada periode antara
timbulnya penyakit dan masa diagnosis, dan bertujuan untuk mengurangi
prevalensi penyakit. Pencegahan sekunder dapat diterapkan hanya untuk
penyakit dengan riwayat alamiah yang jelas mencakup masa inkubasi,
subklinis dan klinis yang jelas, untuk mudah diidentifikasi dan diobati,
sehingga perkembangan penyakit ke tahap yang lebih serius dapat dihentikan.
Dua persyaratan utama agar program pencegahan sekunder dapat bermanfaat
adalah metode yang aman dan akurat mendeteksi penyakit (lebih baik pada
tahap praklinis) dan metode intervensi yang efektif.(6, 8)
Yang termasuk dalam pencegahan sekunder adalah penyempurnaan
dan intensifikasi pengobatan lanjutan agar penyakit tidak bertambah
parah, pencegahan terhadap komplikasi maupun cacat setelah sembuh,
perbaikan fasilitas kesehatan sebagai penunjang, dan pengurangan beban-
beban nonmedis (sosial) pada seorang penderita sehingga termotivasi
untuk meneruskan pengobatan dan perawatan diri.(8) Berikut contoh
langkah-langkah pencegahan sekunder yang banyak digunakan meliputi
pengujian penglihatan dan pendengaran pada anak usia sekolah, skrining
untuk tekanan darah tinggi di usia pertengahan, pengujian untuk gangguan
pendengaran pada pekerja pabrik, dan pengujian kulit dan data radiografi
untuk diagnosis tuberkulosis.(6)

Bab 1 ~ Epidemiologi Dasar 23


4. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier bertujuan mengurangi perkembangan atau
komplikasi penyakit dan merupakan aspek penting dari pengobatan
terapi dan rehabilitasi. Ini terdiri dari langkah-langkah yang dimaksudkan
untuk mengurangi gangguan dan cacat, meminimalkan penderitaan
yang disebabkan oleh memburuknya kesehatan dan membantu pasien
dalam menyesuaian kondisi yang tidak dapat disembuhkan. Sering kali
sulit membedakan antara pencegahan tersier dan pengobatan, karena
pengobatan penyakit kronis merupakan salah satu bagian dari tujuan
pencegahan kekambuhan.(6, 8) Rehabilitasi pasien dengan penyakit polio,
kusta, stroke, cedera, kebutaan dan kondisi kronis lainnya adalah hal yang
penting agar mereka dapat hidup dalam kehidupan sosial sehari-hari.

F. Ringkasan
Epidemiologi mempelajari tentang distribusi dan determinan
kejadian penyakit dan kondisi kesehatan lainnya pada populasi umum
atau khusus untuk memberikan masukan kebijakan kesehatan dalam
mengontrol masalah kesehatan. Tujuan dari ilmu epidemiologi adalah
1) Mengidentifikasi penyebab penyakit dan faktor risiko terkait; 2)
Menentukan seberapa luas atau banyak penyakit ditemukan di populasi;
3) Mempelajari riwayat penyakit alamiah dan prognosis penyakit; 4)
Mengevaluasi pelayanan dan pencegahan kesehatan yang sudah ada dan
yang terbarukan; 5) Menyediakan dasar dalam mengembangkan kebijakan
kesehatan terkait dengan masalah lingkungan, isu genetik dan pertimbangan
lain menyangkut pencegahan penyakit dan promosi kesehatan.
Kondisi kesehatan dipengaruhi oleh triad epidemiologi terdiri dari
agen, pejamu dan lingkungan. Ketiga faktor ini saling terkait dan bersinergi
satu sama lain. Ketika salah satu dimensi tidak seimbang, misal ketika
imunitas pejamu rentan atau lingkungan cuaca berubah, atau jumlah
sumber penyakit bertambah, akan menyebabkan ketidakseimbangan
kesehatan seseorang yang akan menyebabkan sakit.
Oleh karena itu, diperlukan empat tingkat pencegahan, sesuai dengan
fase yang berbeda dalam perkembangan penyakit, yaitu primordial, primer,

24 EPIDEMIOLOGI
sekunder dan tersier. Masing-masing level tersebut terdapat faktor atau
kondisi yang berperan yang dapat menyebabkan penyakit. Tujuan dari
pencegahan primordial adalah meningkatkan dan memelihara kondisi yang
meminimalkan efek negatif bagi kesehatan sedangkan tujuan pencegahan
primer adalah untuk membatasi timbulnya penyakit dengan mengendalikan
penyebab spesifik dan faktor risiko. Pada pencegahan sekunder bertujuan
mengurangi konsekuensi yang lebih serius dari penyakit melalui diagnosis
dini dan pengobatan. Ini mencakup langkah-langkah yang tersedia bagi
individu dan populasi untuk mendeteksi dini dan intervensi yang efektif,
dan tahap pencegahan akhir yaitu tersier untuk mengurangi perkembangan
atau komplikasi penyakit dan merupakan aspek penting dari pengobatan
terapi dan rehabilitasi.

Latihan Epidemiologi Dasar


1. Apa ilmu epidemiologi itu?
2. Kenapa epidemiologi disebut sebagai detektif kesehatan?
3. Jelaskan triad epidemiologi satu penyakit menular dan tidak menular,
serta tingkat pencegahan yang dapat dilakukan
4. Jelaskan istilah-istilah yang Anda pahami mengenai reservoir, airborne
transmission dan vektor, serta berikan contoh?
5. Apakah perbedaan pencegahan primordial dan primer, berikan contoh?
6. Jelaskan riwayat alamiah salah satu penyakit menular yang Anda
ketahui?

DAFTAR PUSTAKA
1. Ministry of Health-Indonesia. (2015). Report of Situation Analysis of HIV
AIDS in 2015 (update Nov 2015). Jakarta: Depkes RI. Retrieved from
http://www.aidsindonesia.or.id/list/7/Laporan-Menkes
2. Najmah, 2016, PGR9: Empowering women living with HIV in Indonesia
(Draft), The Auckland University of Technology: Auckland.

Bab 1 ~ Epidemiologi Dasar 25


3. Najmah, Elvi Sunarsih, Asmaripa Ainy, Boursnell M. Implementation
of HIV/AIDS Prevention and Treatment Program in South Sumatera,
Indonesia. Archive Community Health (ACH) 2013.
4. Webb P, Bain C, Pirozzo S. Essential Epidemiology, An Introduction for
Students and Health Professionals. New York: Cambridge University Press;
2005. p. 256-267
5. Last JM. A Dictionary of Epidemiology. Edition F, editor. New York: Oxford
University Press. 2001. p.62
6. Gordis L. Epidemiology. 4th, editor.: Saunders. 2009. p.3-17
7. Bonita R, Baeglehole R, Kjellstorm T. Basic of Epidemiology.
Switzerland: WHO Press; 2006 (cited. Available from: http://
whqlibdoc.who.int/publications/2006/9241547073_eng.pdf). p. 99-
109
8. CDC. Introduction to Epidemiology, Chain of Infection. Journal (serial
on the Internet). 2012 Date: Available from: http://www.cdc.gov/osels/
scientific_edu/ss1978/lesson1/Section10.html.
9. Ryadi S, Wijayanti. Dasar-dasar Epidemiologi. Jakarta: Salemba Medika;
2011. p. 22-27
10. Department of Health-Indonesia. Basic Health Research -RISKESDAS.
Jakarta: Department of Health-Indonesia; 2010.
11. Dirjen P2PL Depkes RI. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan
Pengobatan bagi ODHA. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI. 2006.
12. Murti B. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 1997.
13. Bustan, M.N. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta. 2006.

26 EPIDEMIOLOGI
Bab 2

PERHITUNGAN DALAM
EPIDEMIOLOGI

Kompetensi yang ingin dicapai adalah mahasiswa mampu


memahami perhitungan dan interpretasi dalam Epidemiologi.
Dalam bab ini akan dipelajari tentang konsep perhitungan
dalam Epidemiologi, angka kematian dan angka kesakitan,
prevalensi dan insidensi, odds rasio, risk rasio dan prevalensi
rasio.
Indikator yang dari tercapainya kompetensi pada bab
ini adalah mahasiswa mampu menjelaskan perhitungan
angka kematian dan interpretasi hasil perhitungan, mampu
menjelaskan perbedaan prevalensi dan insidensi dan
mampu menjelaskan perhitungan odds rasio, risk rasio dan
prevalensi rasio.

27
A. Pendahuluan

K
etika kita sebagai peneliti ataupun tenaga kesehatan di dinas
kesehatan, kita akan mengumpulkan data, baik secara primer
maupun sekunder, seperti data tentang karakteristik responden
penelitian, data kasus penyakit, data perilaku berisiko wanita, dan lain-lain.
Sebagai epidemiologis, bagaimana kita membuat data ini lebih bermakna
dan dapat bermanfaat bagi kebijakan kesehatan? Salah satu cara yang kita
lakukan adalah melakukan berbagai perhitungan dalam epidemiologi.
Perhitungan dalam epidemiologi diperlukan untuk menggambarkan
kondisi kesehatan masyarakat, menilai hubungan antara paparan (faktor
risiko) dengan penyakit atau masalah kesehatan lainnya, dan menilai
dampak dari suatu paparan terhadap penyakit dan masalah kesehatan
lainnya. Dengan adanya perhitungan epidemiologi ini dapat diketahui risiko
seseorang untuk mengalami masalah kesehatan dan pada akhirnya berguna
untuk pengendalian dan pencegahan masalah kesehatan. Mari kita pahami
dulu konsep sehat dan sakit, definisi kasus/penyakit dan definisi populasi
berisiko terlebih dahulu sebelum melakukan perhitungan epidemiologi.

B. Konsep Sehat Sakit


Perkembangan teknologi dan budaya mengubah cara pandang
masyarakat dengan meninggalkan konsep sakit dan mulai menganut ke
arah konsep sehat. Masyarakat cenderung sadar akan pentingnya sehat
dan melakukan tindakan preventif seperti pemeriksaan kesehatan berkala,
imunisasi, tes pas-smear dan tindakan preventif lainnya agak tidak jatuh
sakit.(1)
Bustan (2012: 24), mengemukakan bahwa secara sederhana konsep
sehat sakit dapat dianggap bergerak dari satu titik sehat ke titik sakit
melalui suatu garis horizontal. Perbedaan latar belakang sosial dan budaya
sering kali menyebabkan adanya perbedaan dalam menentukan apakah
seseorang berada dalam kondisi sehat atau dalam kondisi sakit. Luasnya
jangkauan persepsi tentang sehat dan sakit menyebabkan perlu adanya
kriteria atau definisi tentang apa yang disebut dengan sehat dan apa yang
disebut dengan sakit.

28 EPIDEMIOLOGI
WHO (1948), mendefinisikan “Health is a state of complete physical, mental
and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity”. Kesehatan
yang dimaksud dalam definisi WHO ini, mengandung 3 (tiga) hal yakni
sempurna secara fisik, sempurna secara mental, dan sempurna secara
sosial. Selain itu sehat tidak hanya dibatasi oleh terbebas dari penyakit
atau terbebas dari kelemahan. Definisi ini mendapat kritik karena sulit
mendefinisikan dan mengukur yang dimaksud dengan kondisi sempurna.(2)
Definisi kesehatan juga disampaikan oleh Davey et al (1984), yang
menyatakan “Health is defined as the ability for the individual to function in a
way which is acceptable to the group from which they belong”. Dalam definisi
ini, kesehatan akan sangat tergantung dari kelompok di mana individu
berada. Di Misalnya, negara-negara barat, perilaku seks di luar menikah
adalah hal yang biasa, untuk Indonesia sendiri hal tersebut merupakan
perilaku menyimpang. Sehingga bagi masyarakat Indonesia, individu yang
melakukan seks di luar nikah merupakan individu yang sakit secara sosial.

Fisik

Mental

KONDISI SEMPURNA/
SEHAT SECARA: Produktif

Sosial

Spiritual

Gambar 10. Ilustrasi kombinasi definisi sehat berdasarkan beberapa lembaga


kesehatan dan pakar kesehatan(1,2,3)

Bab 2 ~ Perhitungan dalam Epidemiologi 29


Definisi kesehatan yang lebih komprehensif tertuang dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 yang menyebutkan
kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara
sosial dan ekonomis.(3)
Dari beberapa definisi ini dapat kita simpulkan bahwa kesehatan
meliputi berbagai aspek yaitu fisik, mental dan spiritual, serta sosial serta
spiritual. Individu yang sehat tidak hanya ditandai dengan tidak adanya
penyakit dan terbebas dari kelemahan, namun juga memungkinkan
individu tersebut untuk melangsungkan kehidupannya secara produktif
(Lihat Gambar 10).
Penyakit (disease) dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi adanya
penyimpangan atau gangguan dari stuktur atau fungsi normal bagian, organ
atau sistem tubuh yang dimanifestasikan dengan sejumlah karakteristik
dari gejala dan tanda, baik etiologi, patologi, dan prognosis diketahui
maupun tidak diketahui (http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/
disease). Penyakit dalam kata penyakit (disease) terkait dengan disfungsi
dari fisiologi dan psikologi (Last, 2001: 52), di mana status penyakit dapat
ditentukan oleh kriteria medis.(4)
Sakit (illness) juga dapat didefinisikan sebagai penyakit dari tubuh
atau pikiran, kondisi kesehatan yang buruk atau kondisi yang tidak sehat.
Sakit (illness) merupakan sebuah proses abnormal di mana aspek sosial,
fisik, emosional atau intelektual seseorang berada dalam kondisi dan
fungsi yang menurun atau melemah dibandingkan dengan kondisi orang
tersebut sebelumnya (sumber http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/
illness). Sakit dalam kata illness bersifat subjektif terkait dengan apa yang
dirasakan individu. Dalam bahasa Inggis dikenal pula istilah sickness. Sakit
dalam kata sickness terkait dengan disfungsi sosial.(4)
Secara sederhana, sakit dapat ditandai dengan melemahnya kondisi
emosional, fisik atau intelektual yang menyebabkan kesehatan menjadi
buruk. Coba perhatikan Gambar 11 di bawah ini. Seseorang dikategorikan
sakit atau tidak didasarkan pada diagnosis yang telah ditegakkan. Kriteria
diagnosis biasanya didasarkan pada gejala, tanda, riwayat dan hasil tes.(4)
Setiap penyakit tidak harus sama dalam menggunakan kriteria diagnosis.

30 EPIDEMIOLOGI
Sebagai contoh, seseorang diidentifikasi sebagai penderita TB Paru apabila
telah menunjukkan gejala dan tanda seperti batuk lebih dari dua minggu,
dan ditemukan bakteri penyebab TB Paru pada pemeriksaan sputum.
Penyakit hepatitis diidentifikasi bila ditemukan antibodi dalam darah,
penyakit asbestosis diidentifikasi bila ada tanda dan gejala perubahan
spesifik pada paru, adanya fibrosis jaringan paru pada hasil radiografi
atau adanya pengentalan pleura dan HIV dideteksi dengan tes HIV
pertama adalah untuk menguji antibodi dalam darah atau air liur. Jika
tes HIV ini positif, tes HIV kedua disebut Western blot dilakukan untuk
sebagai konfirmasi tes pertama.(2) Contoh lainnya, orang yang mengalami
gangguan kejiwaan seperti pasien Schizopenia, secara fisik mereka terlihat
sehat, namun secara emosional sosial dan psikologis mereka termasuk
kategori sakit.

Emosional

Fisik

KONDISI ABNORMAL/
MELEMAHNYA: Intelektual

Psikologi

Sosial

Gambar 11. Ilustrasi definisi sakit berdasarkan


kamus kedokteran dan epidemiologi(4)

Bab 2 ~ Perhitungan dalam Epidemiologi 31


C. Definisi Kasus/Penyakit dan Populasi Berisiko
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan perhitungan
epidemiologi adalah definisi kasus serta penentuan kelompok berisiko.
Definisi kasus harus jelas sehingga tidak ada salah penafsiran dalam
menginterpretasikan dan membandingkan data masalah kesehatan.
Sebelum mendefinisikan kasus, kita perlu mengetahui bagaimana diagnosis
penyakit ditegakkan.
Sebagai contoh, definisi kasus malaria dengan hanya berdasarkan gejala
klinis dan dengan pemeriksaan laboratorium tentu akan sangat berbeda.
Dahulu daerah yang kurang fasilitas laboratorium mengkategorikan
individu yang menderita malaria hanya berdasarkan gejala klinis, sehingga
laporannya berupa angka Annual Malaria Incidence (AMI). Sedangkan daerah
yang fasilitas laboratorium sudah baik, mengkategorikan individu yang
menderita malaria berdasarkan hasil pemeriksaan parasit dalam darah,
sehingga laporannya berupa Annual Parasite Incidence (API). Angka AMI dan
API tentu saja tidak bisa dibandingkan secara langsung.
Penentuan populasi berisiko penting dalam pengukuran dan studi
epidemiologi. Populasi berisiko merupakan populasi yang memiliki
kemungkinan untuk terkena suatu penyakit. Gambaran masalah kesehatan
dan besarnya risiko dapat kita ketahui secara tepat bila jumlah kasus dan
populasi yang berisiko diketahui.(2) Misalnya, penyakit polio. Penyakit ini
umumnya akan menyerang anak-anak yang berusia < 15 tahun dan tidak
pernah mendapatkan imunisasi polio. Sehingga yang menjadi kelompok
berisiko penyakit polio adalah individu yang tidak pernah mendapat
imunisasi polio dan berusia < 15 tahun. Populasi berisiko juga dapat
dibatasi berdasarkan demografi, geografi dan faktor lingkungan.(2)
Contoh lainnya adalah kanker leher rahim, kelompok risiko untuk
kanker ini adalah wanita umur 25-69 tahun. Bagaimana dengan HIV,
siapakah kelompok berisikonya? Yang termasuk kelompok berisiko HIV
adalah pengguna narkoba suntik, wanita pekerja seksual, homoseksual
dan pria yang berisiko seperti bekerja jauh dari pasangannya (misal sopir
truk, bus antar kota dan sebagainya).

32 EPIDEMIOLOGI
D. Angka Kematian dan Angka Kesakitan
Ukuran frekuensi dalam epidemiologi dapat berupa angka kematian
dan angka kesakitan. Beberapa ukuran kematian antara lain sebagai berikut.

1. Angka Kematian Kasar (Crude Death Rate)


Angka kematian kasar adalah sebuah estimasi proporsi orang yang
meninggal pada suatu populasi selama periode waktu tertentu.(4) Angka
kematian kasar untuk semua kematian atau sebuah penyebab spesifik dari
kematian diformulasikan dengan rumus berikut ini.(2, 4)

Jumlah Kasus Kematian


Angka Kematian Kasar = x 1.000
Jumlah Populasi Berisiko Meninggal

Denominator atau penyebut merupakan jumlah populasi, biasanya


estimasi jumlah penduduk pada pertengahan tahun. Angka kematian
kasar tidak mempertimbangkan kematian berdasarkan variasi pada umur,
jenis kelamin, ras, kelas sosial ekonomi dan faktor lainnya. Biasanya
tidak cukup menggunakan perbedaan waktu dan daerah geografis dalam
membandingkan kematian yang terjadi.(2, 4, 5)

2. Angka Kematian Ibu, Neonatal dan Bayi


Kematian ibu dan kematian bayi merupakan indikator utama dalam
menentukan status kesehatan masyarakat.

a. Angka Kematian Ibu (Maternal Mortality Rate)


Kematian ibu didefinisikan WHO sebagai kematian perempuan yang
mengandung atau meninggal dalam 42 hari setelah akhir kehamilannya,
terlepas dari lamanya kehamilan atau letak kehamilannya. Angka kematian
ibu merupakan risiko meninggal dari penyebab yang berhubungan dengan
kelahiran anak. Pembilang mencakup semua kematian di seputar kehamilan
atau akibat kehamilan atau kematian akibat penyebab di saat nifas, dan
penyebut merupakan jumlah total kelahiran hidup pada periode waktu
tertentu. Secara sederhana angka kematian ibu dapat diformulasikan
sebagai berikut.(2, 4, 5)

Bab 2 ~ Perhitungan dalam Epidemiologi 33


Jumlah Kasus Kematian Ibu Akibat Kehamilan,
Persalinan dan Nifas x 100.000
Angka Kematian Ibu =
Jumlah Kelahiran Hidup
*periode 1 tahun dan populasi yang sama

b. Angka Kematian Neonatal (Neonatal Mortality Rate)


Angka kematian neonatal atau bayi baru lahir adalah jumlah kematian
bayi usia kurang dari 28 hari pada periode tertentu, biasanya dalam satu
tahun per 1.000 kelahiran hidup pada tahun yang sama. Angka kematian
neonatal menunjukkan buruknya perawatan neonatal, berat badan lahir
rendah, infeksi, kurangnya sarana dan prasarana kesehatan, cidera,
prematuritas, dan defek atau cacat lahir. Angka kematian neonatal dapat
diformulasikan sebagai berikut.(4, 5, 12)

∑ Kematian Bayi di bawah 28 hari *


Angka Kematian Neonatal = x 1.000
∑ Kelahiran Hidup *
*periode 1 tahun dan populasi yang sama

c. Angka Kematian Bayi (Infant Mortality Rate)


Angka kematian bayi merupakan angka kematian pada anak yang
usianya kurang dari satu tahun, dapat diformulasikan dalam rumus sebagai
berikut.(2, 4, 5)

∑ Kematian Bayi Usia ≤ 1 Tahun *


Angka Kematian Bayi = x 1.000
∑ Kelahiran Hidup *

3. Angka Kematian Spesifik


Angka kematian dapat ditampilkan berdasarkan kelompok khusus
dalam populasi, seperti umur, ras, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografis,
atau spesifik kematian akibat penyakit tertentu. Angka kematian spesifik
berdasarkan usia dan jenis kelamin, dapat didefinisikan sebagai berikut.(7)

34 EPIDEMIOLOGI
∑ Kematian yang terjadi dalam kelompok usia dan jenis kelamin*
Angka Kematian Spesifik = x 1.000
Estimasi ∑ populasi pada kelompok usia dan jenis kelamin *

*populasi yang telah ditentukan pada periode tertentu

Ada beberapa ukuran kematian lainnya yang terkait dengan kelahiran


bayi hidup. Perbedaan antara ukuran yang satu dengan yang lainnya dapat
dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Pengukuran kematian yang berhubungan dengan kelahiran bayi


Kematian Populasi berisiko
Ukuran Catatan
(pembilang) (penyebut)
Angka Kematian di kalangan Jumlah kelahiran Penyebut harus semua
Kematian Ibu perempuan dari akibat hidup pada tahun wanita hamil, namun
komplikasi dalam yang sama informasi ini tidak dicatat
persalinan dalam 1 secara langsung
tahun (biasanya hanya
kematian sampai 42 hari
setelah lahir, kadang-
kadang kematian hingga
1 tahun setelah kelahiran
juga termasuk
Lahir Mati Jumlah lahir mati Lahir hidup Terkadang dihitung
atau Angka dalam 1 tahun, di mana ditambah sebagai rasio jumlah
Kematian kelahiran kematian janin kematian janin kematian janin untuk
Janin setelah usia 28 minggu pada tahun yang jumlah kelahiran hidup
kehamilan, meskipun titik sama (termasuk kematian
waktu lainnya juga dapat janin). Sering disebut
digunakan (misalnya 20 rasio kematian janin
minggu)
Angka Kematian janin dan Lahir hidup Dapat dihitung sebagai
Kematian kematian hingga 7 hari ditambah rasio jumlah kematian
Perinatal Kelahiran kematian janin untuk jumlah kelahiran
pada tahun yang hidup (termasuk
sama kematian janin) dan
disebut rasio kematian
perinatal . Mungkin juga
mencakup kematian
hingga 28 hari kehidupan
Angka Kematian pada anak usia Jumlah kelahiran Hanya kelahiran hidup
Kematian kurang dari 28 hari hidup pada tahun yang termasuk dalam
Neonatal yang sama penyebut karena hanya
bayi yang lahir hidup
berisiko meninggal
sebelum usia 28 hari

Bab 2 ~ Perhitungan dalam Epidemiologi 35


Angka Kematian pada anak usia Jumlah kelahiran Tegasnya, penyebut harus
Kematian lebih dari 28 hari sampai hidup pada tahun mengecualikan anak-anak
Pasca- 1 tahun yang sama yang meninggal sebelum
Neonatal usia 28 hari karena mereka
tidak lagi berisiko
Angka Kematian pada anak- Jumlah usia Kemungkinan indikator
Kematian anak sampai dengan usia kelahiran hidup yang paling banyak
Bayi 1 tahun pada tahun yang digunakan dari
sama keseluruhan kesehatan
masyarakat
Angka Kematian pada anak usia Jumlah anak- Contoh dari angka
Kematian 1-4 tahun anak usia 1-4 kematian usia tertentu
Anak tahun dalam
populasi
Rasio kasus- Jumlah yang meninggal Jumlah yang Proporsi dari orang-orang
kematian/ akibat penyakit dalam terkena penyakit yang meninggal karena
Case Fatality jangka waktu tertentu penyakit dalam (biasanya
Rate (CFR) pendek) jangka waktu
tertentu (Sebenarnya
ukuran dari insiden
kumulatif)
Sumber: Webb, 2005(6)

Contoh:
a. Pada hasil sensus penduduk di Kota Z tahun 2005, didapatkan
kematian bayi umur < 1 tahun sebanyak 356 bayi, dan didapatkan
pada tahun tersebut terdapat 521.390 kelahiran bayi baru. Hitung
Angka Kematian Bayi di Kota Z pada tahun tersebut?
Penyelesaian:

∑ Kematian Bayi Usia ≤ 1 tahun*


Angka Kematian Bayi = x 1.000
∑ Kelahiran Hidup*

356
= x 1.000
521.390

= 0,68 per 1.000 Kelahiran Hidup


Maka, dapat disimpulkan bahwa angka kematian bayi di Kota Z tahun
2005 adalah 0,68 per 1.000 kelahiran hidup atau 68 kematian per
100.000 kelahiran hidup.

36 EPIDEMIOLOGI
b. Pada hasil sensus penduduk di Kabupaten A tahun 2008, didapatkan
kelahiran bayi sebanyak 3.067.800 bayi lahir. Pada tahun tersebut
terdapat jumlah kematian ibu akibat persalinan sebanyak 320 ibu,
sedangkan kematian bayi pada umur < 28 hari sebanyak 220 bayi.
Hitung angka kematian neonatal dan angka kematian ibu di Kabupaten
A tersebut!
Penyelesaian:

∑ Kematian Bayi di bawah 28 hari*


Angka Kematian Neonatal = x 1.000
∑ Kelahiran Hidup*

*periode 1 tahun dan populasi yang sama

220
= x 1.000
3.067.800

= 0,071 per 1.000 Kelahiran Hidup

Maka, dapat disimpulkan bahwa angka kematian bayi neonatap di


Kab. A tahun 2008 adalah 0,071 per 1000 kelahiran hidup. Atau 7 per
100.000 kelahiran hidup.

Jumlah Kasus Kematian Ibu Akibat


Kehamilan, Persalinan dan Nifas x 100.000
Angka Kematian Ibu =
Jumlah Kelahiran Hidup

320
= x 100.000
3.067.800

= 10 per 100.000 Kelahiran Hidup

Maka, dapat disimpulkan bahwa angka kematian ibu di Kab. A tahun


2008 adalah 10 per 100.000 kelahiran hidup.

4. Prevalensi dan Insidensi


Prevalensi adalah proporsi orang yang berpenyakit dari suatu
populasi pada satu titik waktu atau periode waktu. Prevalensi juga dapat

Bab 2 ~ Perhitungan dalam Epidemiologi 37


menunjukkan masalah kesehatan lainnya atau kondisi tertentu misalnya
prevalensi perilaku merokok. Prevalensi dapat dirumuskan sebagai berikut.
(2, 6, 8)

∑ Individu yang sakit *


Prevalensi = x 1.000
∑ Populasi yang berisiko *

Ada dua jenis prevalensi, yaitu prevalensi titik (point prevalence)


dan prevalensi periode (period prevalence). Prevalensi titik menunjukkan
proporsi individu yang sakit pada satu titik waktu tertentu, dan prevalensi
periode menunjukkan proporsi individu yang sakit pada periode waktu
tertentu, sehingga prevalensi periode memuat prevalensi titik dan juga
kasus baru (insidensi). Prevalensi titik menggambarkan jumlah kasus
(individu yang sakit) dibandingkan dengan populasi berisiko pada satu
titik waktu tertentu.(5, 8) Misalnya hasil riset kesehatan dasar tahun 2007,
menunjukkan prevalensi penderita hipertensi usia 18 sampai dengan 24
tahun berdasarkan hasil pengukuran pada riset ini adalah 12,2.(9) Dari
contoh ini terlihat bahwa numerator prevalensi titik adalah orang yang
menderita hipertensi pada saat riset ini dilakukan. Titik waktu tidak hanya
terbatas pada waktu berdasarkan kalender yang sama tetapi dapat juga
berdasarkan peristiwa yang penting. Misalnya waktu hamil anak terakhir,
saat diimunisasi, dan lain sebagainya. Contoh prevalensi periode adalah
prevalensi periode penyakit TB Paru yang didiagnosis oleh tenaga kesehatan
pada kelompok masyarakat yang tinggal di pedesaan pada tahun 2010
adalah 0,75 %.(10) Numerator pada contoh ini merupakan orang yang sakit
TB Paru selama tahun 2010 baik kasus lama maupun kasus baru.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi angka prevalensi yaitu
keganasan (severity) suatu penyakit, durasi sakit, dan jumlah kasus baru.
Jika banyak orang meninggal akibat suatu penyakit, dengan kata lain
keganasan penyakit tersebut tinggi, maka dalam waktu singkat angka
prevalensi cenderung akan turun. Prevalensi penyakit yang mempunyai
durasi sakit singkat cenderung lebih rendah dibandingkan prevalensi
penyakit yang memiliki durasi sakit lama. Kasus baru yang cukup banyak
juga akan meningkatkan prevalensi penyakit tersebut. Secara lebih jelas,
faktor-faktor yang memengaruhi prevalensi dapat dilihat pada Tabel 8.

38 EPIDEMIOLOGI
Tabel 8. Faktor yang memengaruhi prevalensi
Prevalensi meningkat bila: Prevalensi menurun bila:
Durasi penyakit yang panjang Durasi penyakit yang singkat
Perpanjangan hidup pasien tanpa Tingginya angka fatalitas penyakit
pengobatan
Peningkatan jumlah kasus baru Penurunan jumlah kasus baru
Masuknya kasus baru ke dalam Masuknya kasus orang-orang yang
populasi sehat ke dalam populasi
Keluarnya orang-orang yang sehat Keluarnya orang-orang yang sakit
Masuknya orang-orang mungkin Meningkatnya angka pengobatan
terkena penyakit kasus
Meningkatnya fasilitas diagnosis
sehingga laporan lebih baik

Sumber: Bonita, 2006(2)

Insidensi menunjukkan kasus baru yang ada dalam populasi. Insidensi


juga merupakan kejadian (kasus) yang baru saja memasuki fase klinik
dalam riwayat alamiah penyakit.(2, 6, 8)
Rumus insidensi:

∑ kejadian baru *
Angka Insiden = x 1.000
∑ Populasi yang berisiko *
*pada waktu tertentu

Contoh insidensi, pada tahun 2010 diketahui terdapat 17.139 kasus


campak di Indonesia. Pada kasus ini seluruh penduduk Indonesia pada
tahun 2010 dianggap sebagai orang yang terpapar risiko untuk terkena
penyakit campak. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 adalah
237.641.326 jiwa. Sehingga diperoleh hasil angka insidensi adalah 0,00073
atau dapat disederhanakan angka insidensi penyakit campak pada tahun
2010 di Indonesia adalah 7,3 per 10.000 penduduk.(11)
Ada dua jenis insidensi yaitu insidensi kumulatif dan laju insidensi.
Insidensi kumulatif merupakan proporsi kasus baru pada populasi berisiko
pada periode waktu tertentu. Insidensi kumulatif dapat menaksir risiko
seseorang untuk terkena suatu penyakit pada jangka waktu tertentu.(8)

Bab 2 ~ Perhitungan dalam Epidemiologi 39


Rumus insidesi kumulatif:

∑ orang yang mendapatkan penyakit *


= x 1.000
∑ orang yang bebas dari penyakit dalam Populasi yang berisiko*

*pada periode waktu tertentu


**pada permulaan periode

Laju insidensi menunjukkan kecepatan kejadian baru terjadi pada


populasi. Laju insidensi merupakan proporsi jumlah orang yang baru
menderita penyakit di antara jumlah orang dalam risiko dikali dengan
lamanya ia dalam risiko. Rumus laju insidensi:

∑ kasus baru penyakit


= x 1.000
∑ orang dalam Populasi yang berisiko x lamanya masing-masing risiko

Perbedaan insidensi kumulatif dan laju insidensi terletak pada


denominatornya. Hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan individu
atau subjek anggota populasi berisiko adalah individu atau subjek tersebut
harus memenuhi kriteria: (1) tidak sedang/telah terjangkit penyakit yang
diteliti (kecuali variabel hasilnya adalah kematian), (2) tidak imun terhadap
penyakit yang diteliti, (3) memiliki sasaran penyakit, (4) hidup, (5) masih
dalam jangkauan pengamatan.(8)
Perbedaan utama prevalensi dan insidensi adalah prevalensi
menunjukkan proporsi individu yang sakit dari populasi berisiko pada
waktu tertentu sedangkan insidensi menunjukkan proporsi kasus baru pada
populasi berisiko kasus pada periode waktu tertentu. Perbedaan prevalensi
dan insidensi secara rinci dapat dilihat pada Tabel 9.
Prevalensi bergantung pada insidensi dan durasi penyakit. Bila
prevalensi rendah dan tidak ada perubahan berarti dengan waktu, maka
dapat dirumuskan: Prevalensi (P) = Insidensi (I) x rata-rata durasi penyakit
(D). Rumus ini berlaku bila tidak ada pencegahan dan tidak ada pengobatan
untuk penyakit ini.(2, 6, 8)

40 EPIDEMIOLOGI
Tabel 9. Perbedaan prevalensi dan insidensi
Prevalensi Insidensi
Numerator Jumlah kasus yang ada dari Jumlah kasus baru dari suatu
suatu penyakit pada satu penyakit selama periode
waktu tertentu waktu tertentu
Denominator Populasi berisiko Populasi berisiko
Fokus Ada atau tidak adanya Ketika kejadian adalah kasus
penyakit baru
Periode waktu berubah-ubah; Permulaan waktu dari
kadang sebuah potret waktu penyakit
Penggunaan Mengestimasi kemungkinan Memperlihatkan risiko untuk
populasi menjadi sakit pada menjadi sakit. Pengukuran
periode waktu selama studi utama pada penyakit atau
(penelitian) kondisi akut, tetapi juga
digunakan untuk penyakit
kronis.
Lebih banyak digunakan
pada studi (penelitian) yang
menginvestigasi penyebab.
Sumber : Bonita, 2006(2)

Program pencegahan yang berhasil akan menurunkan insidensi.


Pengobatan yang berhasil untuk penyakit akut, akan berdampak pada
pengurangan prevalensi, dan untuk penyakit kronis kadangkala akan
meningkatkan angka prevalensi. Misalnya saja pengobatan HIV/AIDS,
pengobatan ini bukan mengurangi jumlah orang yang mengidap HIV tetapi
memperpanjang usia orang dengan HIV, sehingga prevalensi orang yang
mengidap HIV tetap atau bahkan meningkat.
Dalam penelitian untuk menentukan faktor risiko insidensi lebih
bermanfaat dibandingkan dengan prevalensi. Namun, dalam pengalokasian
intervensi kesehatan masyarakat, prevalensi lebih bernilai dibandingkan
dengan insidensi.(2, 6, 8)

E. Rasio (Ratio) dan Risiko (Risk)


Ukuran asosiasi dalam epidemiologi merupakan ukuran yang
digunakan untuk melihat hubungan paparan dengan penyakit. Ukuran ini
dapat diekspresikan dalam bentuk ukuran rasio dan ukuran beda beberapa

Bab 2 ~ Perhitungan dalam Epidemiologi 41


ukuran rasio di antaranya adalah risk rasio, odds rasio, dan rasio prevalensi.
Informasi yang didapat mengenai status paparan dan penyakit dapat kita
sederhanakan dalam bentuk tabel. Umumnya paparan diklasifikasikan
menjadi dua kategori sehingga akan sering digunakan tabel kontingensi
(Tabel 2x2). Namun tidak menutup kemungkinan tabel yang terbentuk
lebih dari 2x2. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat contoh tabel yang
digunakan untuk data insidensi kumulatif.(2, 6, 8)

Tabel 10. Tabel kontingensi data insidensi kumulatif

Paparan
Ya Tidak Total
Penyakit
Ya A B M1 = a+b
Tidak C D M0 = c+d
Total N1 = a+c N0 = b+d T = a+b+c+d

1. Risiko Rasio (Risk Ratio/Risk Rasio)


Risk rasio atau disebut juga Relative risk (RR) merupakan rasio dari
risiko untuk terjadinya penyakit pada kelompok terpapar dibandingkan
kelompok yang tidak terpapar.(2) Murti (1997, 182), mendefinisikan
risiko relatif sebagai ukuran yang dapat menunjukkan berapa kali risiko
untuk mengalami penyakit pada populasi terpapar relatif dibandingkan
dengan populasi tidak terpapar.(8) Insidensi kumulatif kelompok terpapar
merupakan proporsi kasus baru pada kelompok yang terpapar, sedangkan
insidensi kumulatif kelompok tidak terpapar merupakan proporsi kasus
baru pada kelompok yang tidak terpapar. Risiko rasio disebut juga rasio
insidensi kumulatif/Cummulative Incidence Ratio (CIR).
Rumus Risk Rasio:
a
Insidensi kumulatif kelompok terpapar ( )
N1
Risk Rasio =
Insidensi kumulatif kelompok tidak terpapar ( b )
N0

Hasil perhitungan dapat diinterpretasikan:


• Bila hasil perhitungan = 1, artinya tidak ada asosiasi antara paparan
dan penyakit.

42 EPIDEMIOLOGI
• Bila hasil perhitungan > 1, artinya paparan merupakan faktor risiko
penyakit, paparan meningkatkan risiko terkena penyakit tertentu.
• Bila hasil perhitungan < 1, artinya paparan memiliki efek protektif
terhadap penyakit, paparan melindungi atau mengurangi risiko
penyakit tertentu.
Sebagai contoh sebuah penelitian kohort ingin melihat risiko orang
yang merokok untuk terkena kanker paru di Provinsi X. Pada awal penelitian
sebanyak 5.000 orang yang merokok dijadikan subjek penelitian dan 5.000
orang lainnya sebagai kelompok pembanding (tidak merokok). 20 tahun
kemudian diketahui di antara 5.000 orang yang merokok 200 orang di
antaranya mengalami kanker paru, dan di antara 5.000 orang yang tidak
merokok terdapat 50 orang yang mengalami kanker paru. Hitunglah
risiko relatif kelompok yang merokok untuk terkena penyakit kanker paru
dibandingkan dengan kelompok yang tidak terpapar (perhatikan Tabel 11).

Tabel 11. Data penelitian kohort merokok untuk terkena kanker paru di
Provinsi X
Paparan
Merokok Tidak merokok Jumlah
Penyakit
Kanker paru 200 50 250
Tidak kanker paru 4.800 4.950 9.750
Jumlah 5.000 5.000 10.000

Insidensi kelompok terpapar = 200/5.000 = 0,04


Insidensi kelompok tidak terpapar = 50/5.000 = 0,01

a
Insidensi kumulatif kelompok terpapar ( )
N1
Risk Rasio = = 0,04 : 0.01 = 4
Insidensi kumulatif kelompok tidak terpapar ( b )
N0

Berdasarkan perhitungan di atas, maka dengan RR sebesar 4 dapat


diinterpretasikan sebagai risiko orang yang merokok untuk terkena kanker
paru adalah 4 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak
merokok.

Bab 2 ~ Perhitungan dalam Epidemiologi 43


2. Odds Rasio
Odds menunjukkan rasio dua nilai dikotomi. Odds kasus artinya
perbandingan jumlah kasus terpapar dengan kasus tidak terpapar,
sedangkan odds kontrol artinya perbadingan jumlah kontrol terpapar
dan kontrol tidak terpapar. Odds ratio (OR) atau odds rasio merupakan
perbandingan odds subjek sakit dengan odds subjek tak sakit. Odds
rasio merupakan sebuah pendekatan risiko relatif yang digunakan dalam
penelitian kasus kontrol. Pada penelitian kasus kontrol, laju insidensi
hampir tidak mungkin diketahui karena paparan tidak diamati dari awal
penelitian.(2, 6, 8)
Rumus Rasio Odds adalah:

a
Odds Kasus ( )
b
Odds Rasio (OR) =
Odds Kontrol ( c )
d

Contoh, sebuah penelitian kasus kontrol ingin mengetahui faktor


yang memengaruhi kejadian difteri klinis pada anak yang berusia < 15
tahun di Kabupaten Bangkalan pasca sub PIN difteri tahun 2012 (Utama,
2013). Salah satu faktor yang diteliti adalah status imunisasi DPT dasar.
Status DPT dasar dalam penelitian ini dibedakan menjadi tiga kategori,
namun dalam contoh ini cukup diklasifikasikan menjadi dua kategori. Hasil
penelitian dapat dilihat pada Tabel 12.(12)

Tabel 12. Gejala klinis difteri di Kabupaten Bangkalan pasca sub PIN difteri Tahun
2012(12)
Tidak imunisasi dan tidak lengkap
imunisasi DPT dasar
Difteri Klinis + - Total
+ 24 7 31
- 41 83 124
Total 65 90 155
Sumber: Utama, 2013

44 EPIDEMIOLOGI
a
Odds Kasus ( )
b
Odds Rasio (OR) = = ( 24/7) : 41/83 = 6.94
Odds Kontrol ( c )
d

Hasil perhitungan ini dapat diinterpretasikan bahwa risiko anak yang


tidak pernah imunisasi dasar atau status imunisasi dasar tidak lengkap
untuk terkena difteri klinis di Kabupaten Bangkalan pasca sub PIN difteri
tahun 2012 adalah 7 kali dibandingkan anak dengan riwayat status
imunisasi DPT dasar lengkap.
Ada perhitungan risiko yang berkontribusi atau Attributable risk pada
desain kasus kontrol. Kita tidak bisa menghitung angka insiden pada
penyakit kelompok yang terpapar dan tidak terpapar pada desain kasus
kontrol, tetapi kita bisa menghitung proporsi yang berkontribusi atau
attributable fraction dengan rumus di bawah ini. Hasil Attributable fraction
pada kasus difteri adalah 85,6 % yang berarti 85,6 % proporsi difteri di
antara anak-anak yang tidak pernah imunisasi dasar atau status imunisasi
dasar tidak lengkap benar-benar dikontribusi dari status imunisasi yang
tidak pernah atau tidak lengkap, sehingga difteri sebenarnya dapat dicegah
jika anak-anak diimunisasi dengan lengkap.

(OR – 1)
Attributable Fraction (AF) = x 100
OR

(6.94 – 1)
Attributable Fraction (AF) = x 100 = 85,6%
6.94

3. Rasio Prevanlensi (Prevalence Ratio)


Penelitian potong lintang (cross sectional) merupakan penelitian dengan
data prevalensi. Untuk melihat hubungan antara paparan dan penyakit
maka digunakanlah ukuran rasio prevalensi/prevalence ratio (PR). Ukuran
rasio prevalensi dapat menggunakan rumus odds rasio maupun risk rasio,
hanya saja data yang digunakan bukan data kumulatif insidensi melainkan
data prevalensi.(2, 6, 8) Sebagai contoh, sebuah penelitian oleh Yenni dkk,

Bab 2 ~ Perhitungan dalam Epidemiologi 45


ingin melihat faktor yang memengaruhi sikap penduduk terhadap ODHA
berdasarkan Data SDKI tahun 2007.(13) Salah satunya faktor yang diteliti
adalah sumber informasi. Data SDKI tahun 2007 berupa sumber informasi
dan sikap terhadap ODHA dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Hubungan antara sumber informasi dan sikap terhadap ODHA (analisis
lanjut data SDKI 2007)
Sikap terhadap ODHA
Sumber Informasi
Negative Positif Total
Media 8.270 6.416 14.686
Non Media 2.810 2.969 5.779
11.080 9.385 20.467
Sumber: Yeni dkk, 2011

Dengan menggunakan pendekatan rumus OR, maka


8.270 x 2.969
PR =
2.810 x 6.416
PR = 1,36

Dengan menggunakan pendekatan rumus RR, maka


(8.270/14.686)
PR = = 1.16
(2.810/5.779)

Kesimpulannya, bahwa ada hubungan antara sumber informasi dengan


perilaku diskriminasi dengan perilaku diskriminasi atau stigma penduduk
dengan sumber informasi berupa media. Penduduk dengan sumber
informasi ODHA cenderung 1,36 kali (OR) atau 1,16 (RR) mempunyai
sikap negatif terhadap ODHA dibandingkan kelompok penduduk dengan
sumber informasi berupa nonmedia.

F. Ringkasan
Perhitungan dalam epidemiologi bertujuan supaya data yang dihasilkan
memiliki makna dan interpretasi penting untuk dunia kesehatan.
Perhitungan dalam epidemiologi diperlukan untuk menggambarkan kondisi
kesehatan masyarakat, menilai hubungan antara paparan (faktor risiko)

46 EPIDEMIOLOGI
dengan penyakit atau masalah kesehatan lainnya, dan menilai dampak dari
suatu paparan terhadap penyakit dan masalah kesehatan lainnya. Dengan
adanya perhitungan epidemiologi ini dapat diketahui risiko seseorang
untuk mengalami masalah kesehatan dan pada akhirnya berguna untuk
pengendalian dan pencegahan masalah kesehatan. Ada berbagai macam
perhitungan, dari angka kematian, kesakitan, angka prevalensi, insiden
hingga perhitungan risk rasio, odds rasio dan prevalensi rasio.
Angka kematian kasar adalah sebuah estimasi proporsi orang yang
meninggal pada suatu populasi selama periode waktu tertentu. Ada
beberapa istilah dari angka kematian jika dispesifikasikan berdasarkan
kelompok tertentu :1)Angka kematian ibu merupakan risiko meninggal dari
penyebab yang berhubungan dengan kelahiran anak; 2) Angka kematian
neonatal atau bayi baru lahir adalah jumlah kematian bayi usia kurang
dari 28 hari pada periode tertentu, biasanya dalam satu tahun per 1.000
kelahiran hidup pada tahun yang sama; 3) Angka kematian bayi merupakan
angka kematian pada anak yang usianya kurang dari satu tahun; 4) Angka
kematian dapat ditampilkan berdasarkan kelompok khusus dalam populasi,
seperti umur, ras, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografis, atau spesifik
kematian akibat penyakit tertentu.
Ukuran asosiasi dalam epidemiologi merupakan ukuran yang
digunakan untuk melihat hubungan paparan dengan penyakit. Ukuran ini
dapat diekspresikan dalam bentuk ukuran rasio dan ukuran beda beberapa
ukuran rasio di antaranya adalah risk rasio, odds rasio, dan rasio prevalensi.
Informasi yang didapat mengenai status paparan dan penyakit. Hasil
perhitungan dapat diinterpretasikan: bila hasil perhitungan = 1, artinya
tidak ada asosiasi antara paparan dan penyakit, hasil perhitungan > 1,
artinya paparan merupakan faktor risiko penyakit dan hasil perhitungan
< 1, artinya paparan memiliki efek protektif terhadap penyakit.

Latihan Perhitungan dalam Epidemiologi


1. Hitunglah angka kematian ibu jika diketahui, angka kematian ibu di
Provinsi X adalah 10 dengan jumlah kelahiran hidup, sebesar 10.200
kelahiran hidup? Interpretasikan?

Bab 2 ~ Perhitungan dalam Epidemiologi 47


2. Jika diketahui angka kematian bayi neonatal sebelum 28 hari sebanyak
2 orang dengan jumlah kelahiran hidup sebanyak 1.000 bayi pada
tahun 2010 di Kota Z, hitunglah angka kematian neonatal dan
interpretasikan.
3. Jelaskan perbedaan angka prevalensi dan angka insidensi!
4. Jelaskan perbedaan angka risk rasio dan prevalensi rasio!
5. Hitunglah
a. Jika penelitian di bawah ini menggunakan studi desain kasus
kontrol, hitunglah odds rasio pada penelitian di bawah ini dan
interpretasikan (Tabel 14)?
b. Jika penelitian di bawah ini menggunakan studi potong lintang,
hitunglah prevalensi rasio dan interpretasikan (Tabel 14)?
c. Hitunglah odds rasio dan attributable fraction antara penggunaan
helm (tidak=terpapar, menggunakan=tidak terpapar) dan
kejadian luka pada kepala pada Tabel 15, interpretasikan?

Tabel 14. Status imunisasi polio dan kejadian polio paska PIN 2010
Tidak imunisasi dan tidak lengkap imunisasi Polio
+ - Total
Polio + 34 5 39
- 42 120 162
Total 76 125 201

Tabel 15. Kasus kontrol penggunaan helm dan luka pada kepala
Luka pada Kepala
Kasus Kontrol Total
Penggunaan
Tidak 67 140 207
Helm
Ya 31 126 157
Total 98 266 364
Sumber: Webb, 2005, hal. 111

48 EPIDEMIOLOGI
DAFTAR PUSTAKA
1. Ryadi S, Wijayanti. Dasar-dasar Epidemiologi. Jakarta: Salemba Medika.
2011. P.10-11
2. Bonita R, Baeglehole R, Kjellstorm T. Basic of Epidemiology.
Switzerland: WHO Press; 2006. (cited. Available from: http://
whqlibdoc.who.int/publications/2006/9241547073_eng.pdf. p.15-36
3. Kemenhumham Indonesia. UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
Journal (serial on the Internet). 2009 Date: Available from: http://www.
pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/UU_36_Tahun_2009%5B1%5D.pdf.
4. Last JM. A Dictionary of Epidemiology. Edition F, editor. New York: Oxford
University Press. 2001. P.52
5. Timmreck TC. Epidemiologi Suatu Pengantar. Jakarta: EGC; 2004.
6. Webb P, Bain C, Pirozzo S. Essential Epidemiology, An Introduction for
Students and Health Professionals. New York: Cambridge University Press.
2005. P.28-60, 89-115
7. Bhopal RS, editor. Concepts of Epidemiology: An Integrated Introduction to
the Ideas, Theories, Principles and Methods of Epidemiology. United State:
Oxford University Press. 2002.
8. Murti B. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 1997.
9. Depkes RI. Laporan Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta:
Balitbangkes Depkes RI. 2008.
10. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Depkes RI.
2011.
11. Department of Health-Indonesia. Basic Health Research -RISKESDAS.
Jakarta: Department of Health-Indonesia. 2010.
12. Utama F. Determinan Kejadian Difteri Klinis di Kabupaten Bangkalan
Pasca Sub PIN Difteri Tahun 2012. Thesis. In press 2013.
13. Yeni, Rini Mutahar, Najmah. Determinants of Indonesian People
Attitudes Towards People Living with HIV/AIDS (PLWHA). International
Journal of Public Health Research 2011(Spesial Edition):218-22.

Bab 2 ~ Perhitungan dalam Epidemiologi 49


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
Bab 3

STANDARDISASI DALAM
EPIDEMIOLOGI

Kompetensi Dasar yang ingin dicapai pada bab ini adalah


mahasiswa mampu memahami konsep standardisasi dalam
bidang epidemiologi, baik langsung dan tidak langsung. Indikator
keberhasilan adalah mahasiswa mampu menjelaskan kegunaan
standardisasi, mampu menjelaskan perbedaan standardisasi
langsung dan tidak langsung (direct and indirect standardization)
pada bidang epidemiologi, mampu menghitung dan
menginterpretasi ‘age standardized rate’ pada direct standardization
dan mampu menghitung dan menginterpretasi angka kematian/
kesakitan yang sudah terstandardisasi (Standardized Mortality/
Incidence Rate (SMR/SIR)) dan rasio kematian/kesakitan yang
terstandardisasi (Standardized Mortality/Incidence Ratio/SMR/SIR)
Materi Pembelajaran pada bab ini adalah konsep standardisasi,
konsep standardisasi langsung/dan standardisasi tidak langsung
serta perhitungan dan interpretasi angka kematian/kesakitan yang
sudah terstandardisasi (Standardized Mortality/Incidence Rate
(SMR/SIR)) dan rasio kematian/kesakitan yang terstandardisasi
(Standardized Mortality/Incidence Ratio/SMR/SIR)

51
A. Pendahuluan

U
ntuk mengetahui apakah angka kematian atau kesakitan satu
jenis penyakit di suatu provinsi/negara lebih tinggi atau lebih
rendah dari provinsi/negara lain, biasanya kita membandingkan
angka kematian/kesakitan kasar pada penyakit tertentu. Sehingga kita
bisa mengukur apakah tingkat kematian/kesakitan di suatu negara dapat
menjadi tolak ukur tingkat kesehatan pada suatu negara dibandingkan
di negara lain. Misalnya, jika kita perhatikan Tabel 16 di bawah ini,
angka kematian kasar atau crude rate ratio dari penyakit jantung iskemik
pada negara maju seperti, Jerman, Australia, Kanada, 4 kali lebih tinggi
daripada negara Jepang dan Brazil. Hal yang patut dianalisis yaitu ‘apakah
perbandingan ini tepat dan adil?’ melihat kemungkinan perbedaan sebaran
populasi pada setiap negara dan jumlah kasus yang ada.(1)

Tabel 16. Angka kematian kasar penyakit jantung Iskemik


pada lelaki pada beberapa negara, 1995-1998
Angka kematian kasar Jantung
Negara
Iskemik per 105 per tahun
Jerman 211
Australia 168
Kanada 160
Singapura 118
Spanyol 116
Jepang 50
Brazil 47
Sumber: Global Cardiovascular Infobase, www.cvdinfobase.ca, Accessed 23 Sep-
tember 2003 dalam Webb, 2005

Bisa kita amati bahwa kelemahan utama dari membandingkan


angka rata-rata kasar (‘crude rates’) adalah angka rata-rata ini tidak
memperhitungkan fakta bahwa perbedaan populasi memiliki perbedaan
struktur umur dan risiko menjadi sakit atau kematian bervariasi terhadap
umur. Pada grafik jumlah penduduk di Jerman dan Brazil, dapat kita
lihat bahwa, proporsi penduduk tua itu lebih banyak di negara Jerman,
sedangkan, proporsi penduduk muda lebih banyak terdapat di Brazil. Oleh

52 EPIDEMIOLOGI
karena itu, jika kita bandingkan kesehatan jantung pada dua negara ini
tidak memiliki makna yang tidak berarti secara signifikan. Dengan kata
lain, umur dapat menjadi faktor perancu (confounding factors) utama yang
memengaruhi angka rata-rata kasar kematian dari populasi dengan penyakit
jantung iskemik pada kedua negara. Salah satu cara untuk melakukan
perbandingan angka kesakitan atau kematian pada dua negara atau lebih
adalah dengan menggunakan teknik standardisasi.

JERMAN BRAZIL
Age (years)

% of population % of population
Sumber: www.cdvinfobase.ca, dalam Webb, 2005(1)

Gambar 12. Distribusi umur pada populasi di Brazil (1995)


dan Jerman (1998)

B. Definisi dan Pembagian Standardisasi


Menurut Webb et al (2005), standardisasi merupakan suatu metode
yang digunakan untuk menghasilkan ukuran yang setara atau komparabel
antara beberapa populasi atau subgrup, dengan memperhitungkan faktor
perancu utama, seperti perbedaan umur dan jenis kelamin pada komposisi
populasi atau subpopulasi yang berbeda.(3) Sedangkan menurut Rothman
(2002), standardisasi adalah sebuah metode dengan menggabungkan
angka rata-rata kategori spesifik ke dalam nilai kesimpulan tunggal dengan
mengambil rata-rata yang telah ditakar.(4) Standardisasi menakar angka
rata-rata spesifik kategori dengan menggunakan hasil ukuran yang berasal
dari populasi standar. Dengan kata lain, standardisasi merupakan proses
penakaran dari angka rata-rata dari dua atau lebih kategori dengan susunan

Bab 3 ~ Standardisasi dalam Epidemiologi 53


spesifik dari populasi yang menjadi takaran atau perbandingan.(4) Oleh karena
itu, hasilnya merupakan kumpulan angka rata-rata yang terstandardisasi
(standardised rates).
Sedangkan pada standardisasi tidak langsung, angka rata-rata spesifik
umur/jenis kelamin per kelompok dari populasi standar diaplikasikan
pada setiap kelompok dalam populasi studi. Sehingga hasil dari
standardisasi tidak langsung adalah rasio angka kematian atau kesakitan
yang terstandardisasi (standardised mortality/incidence ratios/SMR/SIR).(3)
Walaupun demikian, perhitungan angka rara-rata yang distandardisasi,
langsung ataupun tidak langsung, pada dasarnya sama.(4) Kedua metode
ini bisa digunakan untuk mempertimbangkan faktor lain selain umur dan
jenis kelamin, seperti perbedaan komposisi ras/suku dalam kelompok
studi.(3)

Tabel 17. Perbedaan standardisasi langsung dan tidak langsung


Standardisasi
Perbedaan Standardisasi Langsung
Tidak Langsung
Metode Angka rata-rata studi Angka rata-rata pada populasi
diaplikasikan pada populasi standar diaplikasikan pada
standar populasi studi
Data yang Angka spesifik rata-rata umur- Komposisi variabel umur-jenis
dibutuhkan pada jenis kelamin (Age-sex specific kelamin dan total kematian atau
Populasi studi rates) kasus (Age-sex composition +
total deaths or cases)
Atau jumlah kasus kematian/
kesakitan per kelompok
umur-jenis kelamin dan jumlah
populasi per kelompok umur/
jenis kelamin
Data yang Komposisi variabel umur-jenis Angka spesifik rata-rata umur-
dibutuhkan pada kelamin jenis kelamin (Age-sex specific
Populasi standar rates)
Hasil Angka rata-rata umur-jenis Rasio angka kematian-
kelamin yang terstandardisasi kesakitan yang terstandardisasi
(Age-sex standardised mortality/ (Standardised mortality
incidencerate) (morbidity) ratio (+age-sex
adjusted ratio))
Sumber: Kirkwood, B.R. and J.A.C. Sterne, 2003(3)

54 EPIDEMIOLOGI
C. Standardisasi Langsung
Standardisasi langsung memberikan hasil yang lebih akurat ketika
jumlah dari angka kasus kecil pada setiap kelompok umur/jenis kelamin
pada populasi studi.(3) Metode langsung bisa digunakan untuk menghitung
angka rata-rata yang terstandadrisasi, seperti rata-rata tekanan darah yang
disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin pada kelompok pekerjaan yang
berbeda.(3) Pada standardisasi langsung, angka rata-rata spesifik umur/jenis
kelamin per kelompok populasi di dalam studi diaplikasikan ke populasi
standar.(1, 3, 4) Untuk menggunakan standardisasi langsung, hal-hal yang
dibutuhkan adalah.(1, 3)

STANDARDISASI LANGSUNG
 Distribusi populasi standar berdasarkan kelompok umur/
jenis kelamin
 Membutuhkan rata-rata spesifik umur/sex pada populasi
studi, dan komposisi populasi berdasarkan seks/umur
pada populasi standar
 hasilnya:
RATA-RATA YANG TELAH DISTANDARDISASI OLEH
UMUR/JENIS KELAMIN (AGE/SEX MORTALITY/INCIDENCE
STANDARDIZED RATE)

Langkah-langkah standardisasi langsung, sebagai berikut.(1, 3)

1. 2.
Hitung angka rata-rata pada setiap Pilih Standar populasi yang akan
stratum (strata/kelompok umur) digunakan sebagai acuan standar,
misal populasi standar dunia

3. 4.
Kalikan rata-rata spesifik umur pada Jumlahkan semua hasil pada semua
populasi studi dengan populasi strata dari kasus/kejadian yang
standar pada setiap kelompok umur diharapkan, lalu Bagi jumlah total
untuk mendapatkan jumlah kasus/ kasus yang diharapkan dengan
kejadian yang diharapkan jumlah populasi standar

Bab 3 ~ Standardisasi dalam Epidemiologi 55


Tabel 18. Proses perhitungan pada standardisasi langsung
RATA-RATA YANG TELAH
Kematian Angka DISTANDAR­DISASI OLEH UMUR
Jumlah Angka Rata- Populasi
pada kematian yang (STANDARDISED MORTALITY
Umur Populasi rata Kematian Standar (e)/
populasi diharapkan RATE (SMR)
Studi (b) (d=a/b*100000) Weight
Studi (a) (d*e)} = ∑ xi wi/∑wi

56 EPIDEMIOLOGI
= ∑ (d*e)/ ∑ E
Poin A Total Angka kematian yang
Poin B diharapkan/Total Populasi
Standar
Poin C (EXPECTED DEATH/STANDARD
dst POPULATION *100.000)
Total ∑A ∑B ∑D ∑E ∑ xi wi

Angka Kematian ∑wi


Kasar (Crude rate)=
∑ A/ ∑ B * 100.000
Sumber: Webb dan Kirkwood et al(1, 3)
Langkah-langkah perhitungan pada standardisasi langsung;
1. Hitung angka rata-rata pada setiap stratum (strata/kelompok umur).
Angka rata-rata spesifik kematian per kelompok umur = (Angka
kematian per kelompok/jumlah populasi per kelompok) x 100.000
=(d=a/b*100.000).
2. Pilih populasi standar yang akan digunakan sebagai acuan standar,
misal populasi standar dunia (e/wi) (Tabel 18).
3. Kalikan rata-rata spesifik umur pada populasi studi dengan populasi
standar pada setiap kelompok umur untuk mendapatkan jumlah kasus/
kejadian yang diharapkan.
Angka kematian-kesakitan yang diharapkan = ∑ (Angka rata-rata
kematian pada populasi studi per kelompok x populasi standar per
kelompok/Weight) =(d*e).
4. Jumlahkan semua hasil pada semua strata dari kasus/kejadian yang
diharapkan, lalu bagi jumlah total kasus yang diharapkan dengan
jumlah populasi standar.

Angka kematian/kesakitan yang sudah terstandardisasi


Total angka kematian/kesakitan yang diharapkan
=
Jumlah standar populasi x 1.000.000
= ∑xi.wi/∑wi

Lalu bandingkan dengan angka kesakitan/kematian kasar...apakah berbeda


dengan nilai yang telah distandardisasi...
Angka Kematian Kasar (Crude rate) = total kematian-kesakitan/total
populasi studi = ∑A/∑B * 100.000

Bab 3 ~ Standardisasi dalam Epidemiologi 57


Tabel 19. Contoh beberapa populasi standar yang umum
A B C D E
Kelompok World
Standar Standar Standar WHO
Umur Health
Afrika Eropa  terbaru 
 (tahun) Organization
0-4 12.000 10.000 8.000 8.860
5-9. 10.000 10.000 7.000 8.690
10-14. 9.000 10.000 7.000 8.600
15-19. 9.000 10.000 7.000 8.470
20-24. 8.000 10.000 7.000 8.220
25-29. 8.000 10.000 7.000 7.930
30-34. 6.000 10.000 7.000 7.610
35-39. 6.000 10.000 7.000 7.150
40-44. 6.000 5.000 7.000 6.590
45-49. 6.000 5.000 7.000 6.040
50-54. 5.000 3.000 7.000 5.370
55-59. 4.000 2.000 6.000 4.550
60-64. 4.000 2.000 5.000 3.720
65-69. 3.000 1.000 4.000 2.960
70-74. 2.000 1.000 3.000 2.210
75-79. 1.000 500 2.000 1.520
80-84. 500 300 1.000 910
85+ 500 200 1.000 635
Total 100.000 100.000 100.000 100.000*
Sumber: Kirkwood, B.R. and J.A.C. Sterne, 2003(3)
*Total populasi dibulatkan

Contoh 1
STANDARDISASI ANGKA KEMATIAN AKIBAT DBD DI KECAMATAN IT II
TERHADAP POPULASI DI SUNGAI BORANG KOTA PALEMBANG
Ibu Sartik dan Ibu Uca Ayu Framadiesti, Dinas Kesehatan Kota Palembang
mengamati data kasus kesakitan akibat DBD di dua kecamatan di
Palembang, Kecamatan Ilir Timur II dan Kecamatan Sematang Borang. Lalu
mereka memutuskan untuk melakukan standardisasi. Perhatikan proses
perhitungan yang mereka lakukan!

58 EPIDEMIOLOGI
Langkah 1: Melakukan perhitungan dasar yaitu, angka kesakitan kasar
(crude mortality rate) akibat DBD.

Tabel 20. Data kejadian kesakitan akibat Demam Berdarah Dengue (DBD) di dua
kecamatan di Kota Palembang
Kecamatan
Umur Kecamatan IT II
Sematang Borang
(Tahun)
Populasi Kasus Populasi Kasus
≤1 3.698 1 754 -
1-4 15.474 11 1.719 -
5-9 2.922 35 462 4
10 - 14 9.578 20 2.098 3
≥ 15 21.798 22 3.564 3
 
Jumlah 53.470 89 8.597 10
Sumber: Sartik dan Uca, 2013
(2)

Hal yang perlu dipahami, adilkah jika mereka berdua langsung melaporkan
kepada para petugas Puskesmas bahwa angka kematian DBD di IT II
lebih tinggi 43% I (1.66 versus 1.16 per 1.000 populasi berisiko) (Lihat
perhitungan di bawah ini)?
Tidak adil bukan! Tahap pertama yang perlu kita lakukan adalah
menganalisis perbedaan data kasus dan populasi pada kedua kecamatan
tersebut? Secara umum, total kasus kesakitan karena DBD dan total
penduduk di Kecamatan IT II lebih banyak dibandingkan Kecamatan
Sematang Borang. Jumlah kasus dan populasi per kelompok umur pun
berbeda jauh antara kedua kecamatan tersebut. Kasus DBD di Kecamatan
IT II pada kelompok umur 5-9 tahun umumnya paling banyak daripada
kelompok umur lainnya, sedangkan di Kecamatan Sematang Borang, jumlah
kasus kesakitan karena DBD cenderung stabil antara kelompok umur di
atas 5 tahun.
Lalu apa yang kita lakukan supaya perbandingan angka kesakitan
karena DBD antara dua kecamatan itu seimbang? Kita perlu melakukan
standardisasi sebelum kita membandingkan kedua data pada kedua
kecamatan ini. Bagaimana perhitungan standardisasi? Berapa tipe

Bab 3 ~ Standardisasi dalam Epidemiologi 59


standardisasi yang dapat kita lakukan? Bagaimana menginterpretasi data
sebelum dan sesudah distandardisasi?
Angka Kesakitan Kasar DBD pada Kecamatan Ilir Timur (IT) II
Jumlah Kasus Kesakitan
Angka Kesakitan = x 1.000
Jumlah Populasi at Risk

89
Angka Kesakitan = x 1.000 = 1.66 per 1.000 populasi berisiko
53.479

Angka Kesakitan Kasar DBD pada Kecamatan Sematang Borang


Jumlah Kasus Kesakitan
Angka Kesakitan = x 1.000
Jumlah Populasi at Risk

10
Angka Kesakitan = x 1.000 = 1.16 per 1.000 populasi berisiko
8.597

Langkah 2: Melakukan proses perhitungan standardisasi

Tabel 21. Perhitungan standardisasi langsung kejadian kematian akibat Demam


Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan IT II distandardisasi oleh data di
Kecamatan Sematang Borang Kota Palembang
Kecamatan
Angka Kematian Angka kematian
Umur Kecamatan IT II Sematang Borang
(step 1) yang diharapkan
(Tahun) (step 2)
(step 3,4)
Populasi Kasus Spesifik IT II Populasi Kasus
      per 1000   per 1000
≤1 3.698 1 0,27 754 - 0,20
1-4 15.474 11 0,71 1.719 - 1,22
5-9 2.922 35 11,98 462 4 5,53
10 - 14 9.578 20 2,09 2.098 3 4,38
≥ 15 21.798 22 1,01 3.564 3 3,60
Jumlah 53.470 89 8.597 10 14,94
Sumber: Sartik dan Uca, Dinas Kesehatan Kota Palembang, 2013
(2)

60 EPIDEMIOLOGI
Langkah-langkah dalam melakukan standardisasi langsung adalah sebagai
berikut.

Lalu hitunglah Angka Kematian yang sudah terstandardisasi (Standardised


Mortality Rate (SMR))
= (Total Angka Kematian yang diharapkan/jumlah standar
populasi)*100.000
= (14.94/8.597) * 1.000
= 1,74 per 1.000
Setelah distandardisasi, lalu kita bisa secara adil membandingkan angka
kematian akibat DBD di dua kecamatan ini. Sebelum distandardisasi
dengan populasi di Kecamatan Sematang Borang, perbandingan angka
kematian antara Kecamatan IT II dan S. Borang adalah 1,66 versus 1,16,
tetapi setelah angka kematian di IT II distandardisasi dengan populasi di
S. Borang, perbandingan angka kematian akibat DBD kedua kecamatan
tersebut menjadi 1,74 versus 1,16 per 1.000. Dengan kata lain, terjadi

Bab 3 ~ Standardisasi dalam Epidemiologi 61


kenaikan sekitar 5%. Walau perbedaan sebelum dan sesudah standardisasi
kurang dari 10%, tetapi menggunakan angka kematian karena DBD di IT
II yang telah distandardisasi akan lebih setara jika kita membandingkan
dengan angka kematian karena DBD dengan Kecamatan Sematang Borang.

Tabel 22. Angka kematian karena DBD di IT II sebelum dan sesudah distandardisasi
Angka Kematian karena DBD
Kecamatan
Per 1.000 populasi berisiko
Sebelum distandardisasi Setelah distandardisasi
IT II 1,66 1,74

Contoh 2
STANDARDISASI ANGKA KEMATIAN PENYAKIT JANTUNG DI JERMAN
TERHADAP POPULASI DUNIA
Menstandardisasi angka rata-rata penyakit jantung Iskemik (Ischemic Hearth
Disease/IHD) pada laki-laki di Jerman terhadap populasi studi dengan
menggunakan populasi standar dunia (WHO).
Langkah-langkah yang dilakukan untuk menstandardisasi angka kematian
pada laki-laki di Jerman terhadap populasi standar dunia adalah sebagai
berikut (lihat Tabel 23, 24).

1. 2.
Hitung angka rata-rata pada setiap Pilih Standar populasi yang akan
stratum (strata/kelompok umur) ** digunakan sebagai acuan standar,
KOLOM D misal populasi standar dunia **
KOLOM E

3. 4.
Kalikan rata-rata spesifik umur pada Jumlahkan semua hasil pada semua
populasi studi dengan populasi strata dari kasus/kejadian yang
standar pada setiap kelompok umur diharapkan
untuk mendapatkan jumlah kasus/ Bagi jumlah total kasus yang
kejadian yang diharapkan **KOLOM diharapkan dengan jumlah populasi
F standar

62 EPIDEMIOLOGI
Tabel 23. Standardisasi langsung angka kematian penyakit jantung Iskemik pada
laki-laki di Jerman terhadap populasi dunia sebagai standar
A B C D E F
Jumlah Angka kematian Populasi Kasus
Kelompok
kematian Jumlah laki- di Jerman (per standar kematian
Umur
Penyakit laki di Jerman 100.000) per dunia yang di­
(tahun)
jantung kelom­pok umur (WHO) harapkan
0-4 0 2.032.000 .................. 12.000 ................
5-9 0 2.296.000 .................. 10.000 ................
10-14 0 2.362.000 .................. 9.000 ................
15-19 11 2.353.000 .................. 9.000 ................
20-24 15 2.283.000 .................. 8.000 ................
25-29. 42 2.990.000 .................. 8.000 ................
30-34 142 3.722.000 .................. 6.000 ................
35-39 407 3.548.000 .................. 6.000 ................
40-44 839 3.061.000 .................. 6.000 ................
45-49 1.484 2.801.000 .................. 6.000 ................
50-54 2.396 2.295.000 .................. 5.000 ................
55-59 5.352 2.903.000 .................. 4.000 ................
60-64 8.080 2.505.000 .................. 4.000 ................
65-69 11.562 1.844.000 .................. 3.000 ................
70-74 12.605 1.350.000 .................. 2.000 ................
75-79 12.700 869.000 .................. 1.000 ................
80-84 12.727 403.000 .................. 500 ................
85+ 16.213 376.000 .................. 500 ................
Total 84.575 39.993.000 .................. 100.000 ................
Sumber: Webb, et al 2003 (1)

Angka Kematian yang sudah terstandardisasi (Standardised Mortality Rate


(SMR))
= (Total Angka Kematian yang diharapkan/jumlah standar
populasi)*100.000
= (120,89/10.000) * 100.000
= 120,89
= 121 per 100.000 populasi

Bab 3 ~ Standardisasi dalam Epidemiologi 63


Bandingkan hasilnya dengan angka kematian sebelum terstandardisasi
(angka kematian kasar) laki-laki di Jerman= Total Kematian/Total Populasi
* 100.000= (84.575/39.993.000) *100.000= 211 per 100.000 populasi.

Tabel 24. Proses standardisasi langsung angka kematian penyakit jantung Iskemik
pada laki-laki di Jerman terhadap populasi dunia sebagai standar(1)

A B C D E F
Kelompok Jumlah Jumlah Angka Populasi Kasus
umur kematian laki-laki di kematian di standar kematian yang
(tahun) Penyakit Jerman Jerman (per dunia di­harapkan (D
jantung 100.000) (WHO) X E)
(B:C) (1) (2) (3)
0-4 0 2.032.000 0,00 12.000 0,00
5-9 0 2.296.000 0,00 10.000 0,00
10-14 0 2.362.000 0,00 9.000 0,00
15-19 11 2.353.000 0,47 9.000 0,04
20-24 15 2.283.000 0,66 8.000 0,05
25-29 42 2.990.000 1,40 8.000 0,11
30-34 142 3.722.000 3,82 6.000 0,23
35-39 407 3.548.000 11,47 6.000 0,69
40-44 839 3.061.000 27,41 6.000 1,64
45-49 1.484 2.801.000 52,98 6.000 3,18
50-54 2.396 2.295.000 104,40 5.000 5,22
55-59 5.352 2.903.000 184,36 4.000 7,37
60-64 8.080 2.505.000 322,55 4.000 12,90
65-69 11.562 1.844.000 627,01 3.000 18,81
70-74 12.605 1.350.000 933,70 2.000 18,67
75-79 12.700 869.000 1461,45 1.000 14,61
80-84 12.727 403.000 3158,06 500 15,79
85+ 16.213 376.000 4311,97 500 21,56
Total 84.575 39.993.000 211,47 100.000 120,87(4)
Sumber: Webb, 2003(1)

64 EPIDEMIOLOGI
Interpretasi: Angka kematian karena penyakit Jantung Iskemik di Jerman
menurun hingga 50% setelah distandardisasi dengan populasi dunia (211
versus 121 per 100.000 populasi). Di Tabel 24 terlihat bahwa komposisi
populasi per kelompok umur negara Jerman dan populasi standar dunia
berbeda dengan jelas. Jerman cenderung mempunyai populasi kelompok
umur tua lebih banyak dibanding dengan populasi standar dunia. Oleh
karena itu, jika kita akan membandingkan angka kematian laki-laki karena
penyakit jantung terhadap populasi standar dunia, angka kematian pada
populasi laki-laki di Jerman sebaiknya distandardisasi terlebih dahulu
untuk mendapatkan hasil yang setara. Sehingga kita juga bisa melakukan
standardisasi beberapa negara untuk membandingkan angka kematian
karena suatu penyakit dengan adil.

D. Standardisasi Tidak Langsung (Indirect Standar­dization)


Standardisasi tidak langsung atau indirect standardisation diukur dengan
membandingkan jumlah kematian atau kesakitan yang diamati (observed
number of mortality or morbidity) dan jumlah kematian atau kesakitan yang
diharapkan, yang dikenal juga dengan istilah ‘standardised mortality ratio
(SMR)’. SMR digunakan ketika angka umur rata-rata (the age-specific rates)
untuk populasi yang dipelajari tidak diketahui tetapi total kasus pada
populasi studi diketahui. SMR juga digunakan ketika perhitungan rata-rata
untuk populasi kecil di mana kita tidak bisa menghasilkan angka umur
rata-rata yang stabil.(1, 3, 4)
Untuk menggunakan standardisasi tidak langsung, hal-hal yang
dibutuhkan adalah(1, 3):

STANDARDISASI TIDAK LANGSUNG


 Menggunakan Populasi studi.
 Membutuhkan data: 1) komposisi umur/seks dan total kematian/
kasus, dan rata-rata spesifik berdasarkan umur/seks dan total rata-
rata pada populasi standar, 2) total angka kematian/kesakitan pada
populasi studi dan jumlah populasi pada setiap strata pada populasi
studi.
 Hasil:
Angka Kematian/Kesakitan yang sudah distandardisasi + Rata-
rata yang telah distandardisasi dengan umur/seks (Standardised
Mortality Ratio (SMR) atau Standardised Incidence Ratio (SIR).

Bab 3 ~ Standardisasi dalam Epidemiologi 65


Tabel 25. Proses perhitungan pada standardisasi tidak langsung(1, 3)
Kematian/ Angka Rata- Standardised
Jumlah Expected
kasus pada rata pada Mortality Ratio
Age Populasi cases
populasi populasi (SMR)/Standar­dised
Studi (b) (b*c)
Studi (a) standar (c) Incidence Ratio (SIR)
Point A
Point B
Point C
Total ∑O ∑B ∑E ∑c
ẋ = ∑O/∑E
Sumber: Webb dan Kirkwood et al (1, 3)

Langkah-langkah dalam melakukan standardisasi tidak langsung,


adalah sebagai berikut.(1, 3)

1.
Tersedianya total data kematian/
kesakitan dan jumlah populasi studi
per kelompok umur/jenis kelamin,
2.
Tentukan dan hitung angka rata-rata
dan data kasus dan populasi per
pada populasi standar
kelompok umur/jenis kelamin pada
populasi standar

4.
Jumlahkan total kasus yang diamati
3. (observed cases) pada populasi studi
Hitunglah angka rata-rata yang dan total kasus yang diharapkan
diharapkan (Expected rate=study (expected cases) pada populasi standar
population for each stratum *
standard rate) pada populasi standar • Bagi total kasus yang diobservasi
(observed cases) dengan total kasus
yang diharapkan (expected cases)

66 EPIDEMIOLOGI
Rasio kematian-kesakitan terstandardisasi (SMR/SIR) = ∑O : ∑E

∑O = jumlah kasus yang diobservasi di populasi studi (Observed cases pada populasi
study)
∑E = Jumlah kasus yang diharapkan (Expected cases) = ∑ (populasi studi tiap level*
Angka rata-rata pada populasi standar)

Contoh 3
STANDARDISASI PENYAKIT JANTUNG ISCHEMIK PADA LAKI-LAKI
BRAZIL TERHADAP POPULASI STANDAR DI JERMAN
Diketahui total jumlah kematian yang diamati (Observed number of deaths) di
Brazil = 39.437. Hitunglah rasio kematian terstandardisasi untuk penyakit
Jantung Iskemik pada laki-laki di Brazil dengan populasi standar Jerman?
Langkah-langkah dalam melakukan standardisasi tidak langsung adalah
sebagai berikut.

1.
Tersedianya data populasi studi per 2.
kelompok umur pada laki-laki di Tentukan dan hitung angka rata-rata
negara Brazil, dan data kasus dan kematian karena penyakit Jantung
populasi per kelompok umur pada Ischemik per kelompok umur pada
populasi standar, Jerman populasi Jerman-- Kolom E

4.
3. Jumlahkan total observed cases pada
Hitunglah angka rata-rata yang populasi Brazil dan total expected
diharapan (Expected rate=study cases pada populasi Jerman
population for each stratum * • Bagi total kasus yang diobservasi
standard rate) -- Kolom F (observed cases) dengan total kasus
yang diharapkan (expected cases)

Bab 3 ~ Standardisasi dalam Epidemiologi 67


Tabel 26. Proses perhitungan Standardisasi Tidak Langsung (SMR) untuk penyakit
jantung Ischemik pada laki-laki di Brazil dibandingkan dengan populasi
standar Jerman
A B C D E F
Populasi Jumlah Angka Jumlah kasus
Jumlah
Kelompok Laki-laki kematian kematian di kematian yang di­
laki-laki di
Umur di Brazil Penyakit Jerman (per harapkan di Brazil
Jerman
(x1.000) jantung 100.000 (C:D) (BXE)/100
0-4 9.025 0 2.032.000 0,00 0,00
5-9 8.703 0 2.296.000 0,00 0,00
10-14 8.604 0 2.362.000 0,00 0,00
15-19 8.109 11 2.353.000 0,47 37,91
20-24 7.360 15 2.283.000 0,66 48,36
25-29 6.841 42 2.990.000 1,40 96,09
30-34 6.642 142 3.722.000 3,82 253,40
35-39 5.622 407 3.548.000 11,47 644,91
40-44 4.707 839 3.061.000 27,41 1290,16
45-49 3.745 1.484 2.801.000 52,98 1984,14
50-54 2.912 2.396 2.295.000 104,40 3040,15
55-59 2.454 5.352 2.903.000 184,36 4524,22
60-64 1.957 8.080 2.505.000 322,55 6312,40
65-69 1.583 11.562 1.844.000 627,01 9925,51
70-74 1.138 12.605 1.350.000 933,70 10625,55
75-79 721 12.700 869.000 1461,45 10537,05
80+ 583 28.940 779.000 3715,02 21658,56
           
Total 80.706,00 84.575 39.993.000 211,47 70.978,42
Sumber: Webb, 2003(1)
*dikali 100 (bukan 100.000) karena selisih angka kematian di Jerman per100.000 (kolom E) sedangkan jumlah
populasi di Brazil (kolom B) dikali 1000 dari jumlah yang ada ditabel

Jumlah kematian yang diharapkan (Expected number) jika Brazil mempunyai


angka rata-rata kematian sama seperti Jerman = 70.979 kasus.
Total jumlah kematian yang diamati (Observed number of deaths) di Brazil
= 39.437
Rasio Kematian yang terstandardisasi (Standardised Mortality Ratio/SMR)
SMR = ∑O/∑E = 39.437 : 70.979 = 0,56

68 EPIDEMIOLOGI
Interpretasi: Angka kematian kasar dari penyakit Jantung Iskemik pada
laki-laki Brazil kurang dari ¼ dari angka kematian kasar karena penyakit
Jantung Iskemik pada laki-laki Jerman (47 versus 211 per 100.000 penduduk
per tahun), tetapi umur rata-rata dari populasi Brazil sangat lebih rendah
dari populasi Brazil daripada Jerman. Ketika kita standardisasi dengan
umur, Rasio Kematian yang distandardisasi (SMR) bernilai 0.56 yang
mengindikasi bahwa angka kematian karena Penyakit Jantung Iskemik di
Brazil adalah setengah dari angka kematian penyakit yang sama di Jerman.

CONTOH 4
STANDARDISASI TIDAK LANGSUNG, ANGKA KEMATIAN AKIBAT DBD DI
KEC IT II DENGAN KEC. SUNGAI BORANG SEBAGAI STANDAR POPULASI
Ibu Sartik dan Ibu Uca Ayu Framadiesti, Dinas Kesehatan Kota Palembang
mengamati data kasus kesakitan akibat DBD di dua Kecamatan di
Palembang, Kecamatan Ilir Timur III dan Kecamatan Sematang Borang. Jika
hanya diketahui total kasus (n = 89 kasus) populasi per strata pada Kec.
IT II dan, dan diketahui angka rata-rata kematian pada populasi standar di
Kec. S. Borang, Standardisasi apa yang bisa mereka lakukan?

Tabel 27. Perhitungan standardisasi tidak langsung kejadian kematian akibat Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan IT II distandardisasi oleh data di
Kecamatan Sematang Borang Kota Palembang
Kecamatan Angka Jumlah
Kecamatan IT II
Umur Sematang Borang kematian Kasus
(Tahun) Tot spesifik pada yang di­
Populasi Populasi Kasus Kec, Borang harapkan
kasus
≤1 3.698   754 - 0,00  
1-4 15.474   1.719 - 0,00 0,00
5-9 2.922   462 4 8,66 25,30
10 - 14 9.578   2.098 3 1,43 13,70
≥ 15 21.798   3.564 3 0,84 18,35
Jumlah 53.470 89 8.597 10 1,16 57,34
Sumber: Sartik danUca, Dinas Kesehatan Kota Palembang, 2013
(2)

Bab 3 ~ Standardisasi dalam Epidemiologi 69


Tuliskan langkah-langkah yang harus dilakukan Bu Sartik dan Uca dalam
perhitungan standardisasi tidak langsung.

Lalu lakukan perhitungan rasio kematian akibat DBD di Kecamatan IT II


yang telah distandardisas dan interpretasikan.

E. Ringkasan
Ketika terdapat perbedaan jumlah populasi berbeda di beberapa negara
atau provinsi, perbedaan jumlah kasus atau kematian per kelompok/strata
pada beberapa negara atau provinsi atau tempat lainnya, maka diperlukan
metode perhitungan standardisasi. Standardisasi perlu dilakukan untuk
memperoleh perbandingan data mengenai suatu penyakit atau kondisi
penyakit secara setara. Standardisasi langsung bisa dilakukan jika pada
populasi studi terdapat rata-rata kesakitan atau kematian per strata dan
angka populasi standar per strata. Tetapi jika angka rata-rata kesakitan
atau kematian diketahui pada populasi standar, dan hanya ada total kasus
kesakitan/kematian pada populasi studi dan jumlah populasi studi per
strata, maka kita dapat melakukan standardisasi tidak langsung.
Standardisasi langsung menghasilkan angka rata-rata kematian/
kesakitan umur-jenis kelamin yang telah distandardisasi atau age-sex
standardized rate. Sedangkan, pada standardisasi tidak langsung angka
rata-rata tidak dapat dihasilkan, tetapi angka rasio/kesakitan umur-jenis

70 EPIDEMIOLOGI
kelamin yang telah distandardisasi atau Standardised mortality (incidence)
ratio (+age-sex standardised rate).
Langkah-langkah perhitungan pada standardisasi langsung; 1) Hitung
angka rata-rata pada setiap stratum (strata/kelompok umur); 2) Pilih
populasi standar yang akan digunakan sebagai acuan standar, misal populasi
standar dunia; 3) Kalikan rata-rata spesifik umur pada populasi studi dengan
populasi standar pada setiap kelompok umur untuk mendapatkan jumlah
kasus/kejadian yang diharapkan; 4) Jumlahkan semua hasil pada semua
strata dari kasus/kejadian yang diharapkan, lalu bagi jumlah total kasus yang
diharapkan dengan jumlah populasi standar. Sedangkan pada standardisasi
tidak langsung, langkah-langkahnya; 1) Tentukan dan hitung angka rata-
rata pada populasi standar; 2) Hitunglah angka rata-rata yang diharapkan
(Expected rate=study population for each stratum * standard rate) pada populasi
standard; 3) Jumlahkan total kasus yang diamatin (observed cases) pada
populasi studi dan total kasus yang diharapkan (expected cases) pada populasi
standar dan terakhir bagi total observed cases dengan total expected cases.

Latihan Standardisasi dalam Epidemiologi


1. Latihan Standardisasi Langsung
Hitunglah angka kematian kasar laki-laki di Jerman karena penyakit
jantung dan angka kematian laki-laki di Jerman yang distandardisasi
oleh populasi standar Afrika, Jelaskan hasil yang Anda dapatkan?

Tabel 28. Standardisasi langsung angka kematian penyakit jantung Iskemik pada
laki-laki di Jerman terhadap populasi Afrika sebagai standar
A B C D E F
Angka rata- Jumlah kasus
Kelompok Jumlah kematian Jumlah Populasi
rata kematian yang di­harapkan
Umur penyakit jantung laki-laki di Standar
di Jerman di populasi
(tahun) di Jerman Jerman Afrika
(per 100.000) standar
0-4 0 2.032.000
5-9 0 2.296.000
10-14 0 2.362.000
15-19 824 646.962
20-24 89 682.309

Bab 3 ~ Standardisasi dalam Epidemiologi 71


25-29 105 711.924
30-34 348 702.012
35-39 592 714.044
40-44 644 683.704
45-49 876 755.563
50-54 849 726.262
55-59. 1.287 768.574
60-64. 1.711 712.380
65-69. 2.376 657.973
70-74. 3.290 606.481
75-79. 4.235 456.836
80-84. 5.585 368.410
85+ 8.036 301.416
Total 30.847 16.184.850

Sumber: Webb, 2005

2. Perhitungan standardisasi langsung dan tidak langsung

Tabel 29. Jumlah kasus baru pada penyakti Z pada komunitas A dan B
Komunitas A Komunitas B
Umur Jumlah Kasus Baru Jumlah Kasus Baru
Populasi Penyakit Z Populasi Penyakit Z
18-50 years 8.000 55 6.000 48
> 50 years 11.000 115 3.000 60
Total 19.000 170 9.000 108

Perhatikan Tabel 29 di atas, lalu jawablah pertanyaan di bawah ini:


a. Apa yang Anda bisa jelaskan dari data pada populasi A dan B?
b. Hitunglah angka insiden penyakit Z pada populasi A dan B?
c. Hitunglah angka rasio insiden penyakit Z pada populasi B terhadap
populasi A?
d. Hitunglah angka rata-rata insiden penyakit Z pada populasi B
yang telah distandardisasi terhadap populasi A? Termasuk jenis
standardisasi apa kasus ini?

72 EPIDEMIOLOGI
e. Hitunglah rasio insiden penyakit Z pada populasi B yang
telah terstandardisasi terhadap populasi A? Termasuk jenis
standardisasi apa kasus ini?
f. Bandingkan hasil angka insiden dan angka rasio insiden kasar
penyakit Z setelah distandardisasi, apa kesimpulan Anda?

DAFTAR PUSTAKA
1. Webb, P., C. Bain, and S. Pirozzo, Direct standardization and Indirect
Standardization in Essential Epidemiology, An Introduction for Students and
Health Professionals. Cambridge, New York: University Press. 2005. p.
334-340.
2. Sartik and U.A. Framadiesti, Studi Kasus Standardisasi Langsung dan Tidak
Langsung. Palembang: Prodi S2 IKM Unsri. 2014.
3. Kirkwood, B.R. and J.A.C. Sterne, Standardization, in Medical Statistics.
Victoria: Blackwell Science. 2003. p. 263-271.
4. Rothman, K.J., Epidemiology, An Introduction. New York: Oxford
University Press. 2002.

Bab 3 ~ Standardisasi dalam Epidemiologi 73


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
Bab 4

MEMAHAMI KONSEP
FAKTOR PERANCU

Kompetensi Dasar yang ingin dicapai adalah mahasiswa


mampu memahami konsep faktor perancu dalam bidang
epidemiologi. Materi dalam bab ini adalah definisi faktor
perancu, kriteria faktor perancu, penilaian dan perhitungan
faktor perancu dan strategi pengendalian faktor perancu.
Indikator keberhasilan pembelajaran bab ini adalah
mahasiswa mampu menjelaskan beberapa poin penting dalam
definisi faktor perancu, menjelaskan kriteria faktor perancu,
menjelaskan penilaian dan kuantifikasi faktor perancu serta
bagaimana strategi pengendalian faktor perancu.

75
A. Pendahuluan

D
ata pada Tabel 30 di bawah ini adalah contoh data penelitian yang
dilakukan Najmah dkk, 2011(1) di mana mencari hubungan antara
akses pelayanan terhadap perilaku akses program pelayanan jarum
dan alat suntik dan perilaku penggunaan jarum dan alat suntik tidak steril
sebelum dan setelah dikontrol dengan variabel-variabel lainnya seperti
pendidikan, pendapatan, umur, lamanya menyuntik dan pengetahuan
mengenai HIV/AIDS dan pengurangan dampak buruk (OR kasar/crude OR
versus OR dikontrol/adjusted OR). Coba Anda perhatikan perbedaannya
OR sebelum dan setelah dikontrol oleh faktor perancu?
Angka rasio kasar memperlihatkan bahwa pengguna napza suntik
(penasun) yang mengakses Layanan Jarum dan Alat Suntik Steril (LJASS)
cenderung 1,07x untuk menggunakan jarum dan alat suntik tidak steril
ketika mengonsumsi napza, tetapi setelah dikontrol oleh beberapa faktor
perancu, penasun yang akses layanan LJASS cenderung melindungi penasun
dari perilaku berisiko dalam menggunakan jarum suntik tidak steril sebesar
31% dibandingkan penasun yang tidak akses LJASS (OR 0.69) pada sampel
penelitian (lihat Tabel 30).

Tabel 30. Analisis faktor yang berkaitan pada akses Layanan Jarum dan Alat Suntik
Steril (LJASS) dan perilaku penggunaan jarum dan alat suntik tidak steril
Variabel (Outcome: Perilaku berisiko OR kasar/ OR yang telah
menggunakan jarum dan alat suntik OR(95%CI), Sig dikontrol (95%CI),
tidak steril, 1=Ya 0=Tidak) sig

Akses terhadap layanan jarum dan alat 1.07 (0.49-2.31), 0.69 (0.23-2.06),
suntik steril (LJASS)/ 1= tidak, 1 =iya) 0.87 0.51
Sumber: Najmah dkk, 2011(1)
*dikontrol oleh tingkat pendidikan, pendapatan, umur, lamanya penggunaan narkoba suntuk, pengetahuan dan
sikap terhadap HIV dan pengurangan dampak buruk/harm reduction.

Contoh lainnya, perhatikan tabel 31. Hasil penelitian studi intervensi


terpadu mengurangi perilaku merokok, menunjukkan rasio prevalensi
perilaku merokok pada masyarakat di Ogan Ilir-Sumaera Selatan
memperlihatkan tidak adanya perubahan yang signifikan, sebelum dan
setelah dikontrol oleh faktor tingkat pendidikan dan sikap terhadap kawasan

76 EPIDEMIOLOGI
tanpa rokok setelah intervensi dilakukan. Apakah tingkat pendidikan dan
sikap responden termasuk faktor perancu atau bukan?

Tabel 31. rasio prevalensi perilaku merokok setelah dikontrol oleh variabel perancu
Rasio Prevalen
Variabel
Crude PR Ajusted PR*

Intervensi *0,462 *0,463


Pendidikan 0,131 *0,152
Pekerjaan -0,064 -
Usia (tahun) -0,071 -
Skor sikap -0,227 *0,216
Skor pengetahuan -0,052 -
*dikontrol oleh tingkat pendidikan dan sikap, nilai p < 0,005
Sumber: (Najmah, Fenny F, Yeni, Feranita U, dkk, 2015, Studi Intervensi Klaster Kawasan Tanpa Rokok Tingkat
Rumah Tangga, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional: Vol 9, No. 4, Mei 2015, hlm. 378)

Jadi apa yang bisa Anda simpulkan? Bisakah Anda hanya melaporkan
angka rasio kasar dalam penelitian Anda? Ketika Anda membaca jurnal
ilmiah, apa yang Anda perhatikan, apakah mereka hanya menampilkan
angka rasio kasar atau angka rasio yang telah dikontrol oleh faktor
perancu atau adjusted ratio apakah mereka melaporkan keduanya? Mari kita
diskusikan pada bab faktor perancu/pengganggu atau confoundings factors.

B. Definisi Faktor Perancu


Kita kadang berpikir apakah semua hasil penelitian itu benar hasilnya,
apakah ada kemungkinan hasil penelitian yang dihasilkan bukan hubungan
sebenarnya? Hasil penelitian kelihatannya menunjukkan ada hubungan
antara dua variabel penelitian, tetapi faktanya mungkin sebenarnya tidak
ada hubungan di antara kedua variabel tersebut atau sebaliknya.
Faktor perancu berasal dari bahasa Latin, ‘confundere’ yang berarti
bergabung atau tercampur secara bersama-sama (‘mix together’). Beberapa
definisi faktor perancu atau confounding dari kamus epidemiology(2) sebagai
berikut.

Bab 4 ~ Memahami Konsep Faktor Perancu 77


1. A situation in which the effects of two processes are not separated. The distortion
of the apparent effect of an exposure on risk brought about by the association
with other factors that can influence the outcome.
2. A relationship between the effects of two or more causal factors as observed in a
set of data such that it is not logically possible to separate the contribution that
any single causal factor has made to an effect.
3. A situation in which a measure of the effect of an exposure on risk is distorted
because of the association of exposure with other factor (s) that influence the
outcome understudy.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan faktor perancu atau confounding
factors adalah distorsi oleh variable lainnya dalam memprediksi hubungan
atau asosiasi antara faktor eksposur dan outcome (hasil) sehingga asosiasi
sebenarnya tidak tampak atau ditutupin oleh faktor lainnya. Faktor perancu
terkadang tidak dapat dipisahkan antara suatu asosiasi. Pengaruh faktor
perancu bisa memperbesar atau memperkecil hubungan sebenarnya. Jadi,
suatu variabel mungkin sebenarnya bisa faktor protektif terhadap suatu
kondisi kesehatan atau penyakit, tetapi hasil penelitian menunjukkan
variabel tersebut bisa menjadi faktor resiko terhadap suatu kondisi
kesehatan atau penyakit atau hubungan. Faktor perancu dikatakan negatif
ketika faktor ini cenderung menyamarkan atau mengurangi daripada
memperbesar-besarkan suatu hubungan.

C. Aplikasi Penilaian Faktor Perancu dengan Memerhatikan


Tiga Kondisi Perancu
Untuk memahami konsep faktor perancu, berikut dua contoh kasus,
pertama, umur sebagai faktor perancu terhadap hubungan merokok dan
risiko kematian, dan kedua, aktivitas fisik mendistorsi hubungan antara
asupan energi dan risiko terkena penyakit jantung.

KASUS PERTAMA
UMUR SEBAGAI FAKTOR PERANCU TERHADAP HUBUNGAN
MEROKOK DAN RISIKO KEMATIAN

78 EPIDEMIOLOGI
Dengan mempertimbangkan data mortalitas berikut, yang dirangkum
dari studi yang mengamati kebiasaan merokok pada penduduk di
Whickham, Inggris, pada periode 1972-1974 dan kemudian diikuti lebih
dari 20 tahun subjek yang diinterview yang bertahan hidup. Di antara 1314
wanita yang disurvei, hampir setengahnya adalah perokok. Anehnya,
proporsi perokok yang meninggal selama 20 tahun diikuti lebih kecil dari
yang bukan perokok. Data penelitian ditampilkan pada Tabel 32.(3)

Tabel 32. Risiko kematian dalam periode 20 tahun pada wanita di Whickham, Inggris,
berdasarkan status merokok pada awal periode
Status Vital Perokok Bukan Perokok Total

Meninggal 139 230 369

Hidup 443 502 945

Total 582 723 1,314

Risiko (meninggal/total) 0,24 0.31 0,28


Sumber: Rothman, 2002(3)

Hanya 24% wanita perokok yang mengikuti survei yang meninggal


dalam kurun waktu 20 tahun tersebut. Kontrasnya, 31% wanita bukan
perokok meninggal selama kurun waktu follow-up. Apakah perbedaan ini
mengindikasikan bahwa wanita yang perokok memiliki harapan hidup
yang lebih baik daripada yang bukan perokok? Belum tentu. Hal-hal yang
perlu dikritisi adalah:
1. Satu keberatan menjadi titik utama oleh banyak pembaca adalah bahwa
informasi mengenai perokok hanya diambil sekali, yaitu pada awal
penelitian.
2. Kebiasaan merokok bagi beberapa wanita bisa berubah dalam
periode waktu follow up. Dapatkah perubahan kebiasaan merokok itu
menjelaskan hasil yang muncul untuk menghormati keuntungan bagi
perokok?
3. Secara teoretis adalah mungkin bahwa banyak perokok berhenti
segera setelah survei dan yang tidak merokok mulai merokok.
Walaupun mungkin, skenario ini tidak bisa dibuktikan, dan tanpa

Bab 4 ~ Memahami Konsep Faktor Perancu 79


adanya bukti untuk perubahan kebiasaan merokok ini, skenario ini
tidak cukup kuat untuk mengkritisi hasil dari penelitian ini.
Penjelasan yang lebih realistis untuk temuan tidak biasa ini menjadi
lebih jelas bila kita mengevaluasi data dalam kategori umur, sebagaimana
ditampilkan pada Tabel 33 (risiko tiap kelompok usia dihitung dengan
membagi jumlah yang meninggal dalam tiap kelompok perokok dengan
total yang masih hidup atau sudah meninggal) (Lihat Gambar 13 dan
Tabel 33).(3)
Coba perhatikan Tabel 33 data spesifik usia menunjukkan pada usia
termuda dan tertua hanya ada perbedaan kecil di antara perokok dan bukan
perokok dalam risiko kematian. Beberapa meninggal pada kategori usia
yang muda, tanpa membedakan perokok ataupun bukan perokok, dan di
antara wanita yang tertua, hampir setiap orang meninggal dalam kurun
waktu 20 tahun penelitian. Untuk wanita dengan kategori umur dewasa
(pertengahan), ada suatu risiko konsisten untuk risiko kematian lebih
besar bagi perokok, hal ini sangat berbeda jika kita hanya memerhatikan
data umum pada Tabel 32 saja.

Umur

Merokok Kematian

Gambar 13. Asosiasi merokok dan kejadian kematian


oleh variabel umur

80 EPIDEMIOLOGI
Tabel 33. Risiko kematian dalam periode 20 tahun pada wanita Whickham, Inggris
berdasarkan status perokok di awal periode dan berdasarkan usia
Usia (tahun) Status Vital Perokok Bukan Perokok Total Risiko Kematian

18-24 Meninggal 2 1 3
Hidup 53 61 114
Risiko 0,04 0,02 0,03 2
25-34 Meninggal 3 5 8
Hidup 121 152 273
Risiko 0,02 0,03 0,03 0.6
35-44 Meninggal 14 7 21
Hidup 95 114 209
Risiko 0,13 0,06 0,09 2.1
45-54 Meninggal 27 12 39
Hidup 103 66 169
Risiko 0,21 0,15 0,19 1.4
55-64 Meninggal 51 40 91
Hidup 64 81 145
Risiko 0,44 0,33 0,39 1.3
65-74 Meninggal 29 101 130
Hidup 7 28 35
Risiko 0,81 0,78 0,79 1.03
75+ Meninggal 13 64 77
Hidup 0 0 0
Risiko 1,00 1,00 1,00 1.00
TOTAL 582 723
Sumber: Rothman, 2002 (3)

Mengapa wanita yang bukan perokok memiliki risiko kematian yang


lebih tinggi dalam populasi studi secara keseluruhan? Alasannya jelas
terlihat pada Tabel 33, antara lain(3):
1. Proporsi wanita bukan perokok lebih besar pada kategori usia yang
lebih tua, kategori usia juga berkontribusikan pada lebih tingginya
proporsi angka kematian. Perbedaan distribusi usia antara perokok
dan bukan perokok merefleksikan fakta bahwa, bagi sebagian besar
orang, kebiasaan merokok jangka panjang ditentukan pada usia yang
lebih muda. Selama puluhan tahun sebelum penelitian di Whickham,
ada tren peningkatan proporsi wanita muda untuk menjadi perokok.

Bab 4 ~ Memahami Konsep Faktor Perancu 81


2. Wanita tertua dalam penelitian Whickham tumbuh dewasa selama
sebuah periode ketika beberapa wanita menjadi perokok, dan mereka
cenderung tetap tidak merokok sepanjang usia mereka. Waktu berlalu,
dan proporsi wanita dalam jumlah besar yang baru memasuki masa
remaja atau dewasa mudanya menjadi perokok. Hasilnya adalah
distribusi usia yang sangat berbeda untuk wanita perokok dan bukan
perokok di Whickham.
Bila perbedaan dalam distribusi usia ini diabaikan, orang akan
menyimpulkan dengan keliru bahwa merokok tidak ada hubungannya
dengan tingginya risiko kematian. Kenyataannya, merokok ada hubungannya
dengan risiko kematian yang tinggi, tetapi variable pengganggu/confounding
‘usia’ telah menyamarkan hubungan ini dalam data umum di Tabel 32.(3)
Stratifikasi umur dilakukan untuk melihat asosiasi sebenarnya antara kedua
variabel utama, untuk meminimalisir dampak dari faktor perancu, umur.

KASUS KEDUA
AKTIVITAS FISIK MENDISTORSI HUBUNGAN ANTARA ASUPAN ENERGI
DAN RISIKO TERKENA PENYAKIT JANTUNG

Apakah hubungan antara asupan makanan (energy intake) dan penyakit


jantung dirancu oleh aktivitas fisik (olahraga/physical activity).(4) Jika kita
hitung asosiasi antara asupan energi dan kejadian penyakit jantung adalah
0.94 (OR 0.94, 95% derajat kepercayaan 0.80-1.10). Dari hasil odds rasio
(Odds ratio-OR) dapat disimpulkan bahwa asupan energi tinggi dapat
mengurangi risiko menderita penyakit jantung sebesar 6% dibandingkan
dengan kelompok yang mengonsumsi asupan energi rendah. Secara teori
dan hasil penelitian lainnya, asupan energi tinggi bisa meningkatkan
risiko penyakit jantung. Apakah asosisasi kedua variabel ini menunjukkan
hubungan sebenarnya atau dipengaruhi oleh faktor perancu, seperti
aktivitas fisik? (Gambar 14)

82 EPIDEMIOLOGI
Aktivitas Fisik
(Physical Activity)

Asupan Energi Penyakit Jantung


(Energy Intake) (Hearth Disease)

Gambar 14. Asosiasi asupan energi dan kejadian penyakit jantung didistorsi oleh
variabel aktivitas fisik

Tabel 34. Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung


Penyakit Jantung
Asupan Energi Total
Ya Tidak
Tinggi 730 600 1.330
Rendah 700 540 1.240
Total 1.430 1.140 2.570
Sumber: Webb, 2005

*Odds kejadian penyakit jantung pada kelompok asupan energi tinggi = 730/600 = 1.22
**Odds penyakit jantung pada kelompok asupan energi rendah = 700/540 = 1.30
***Nilai Rasio Odds kasar (Crude Odds Ratio) = 1.22/1.30 = 0.94

Tabel 35. Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung distratifikasi dengan
variabel aktivitas fisik
Aktivitas Fisik Aktif Aktivitas Fisik Rendah

Asupan Energi Penyakit Jantung Penyakit Jantung

Ya Tidak Ya Tidak

Tinggi 520 510 210 90

Rendah 100 150 600 390


Sumber: Webb, 2005

Bab 4 ~ Memahami Konsep Faktor Perancu 83


TEKNIK PERTAMA:
Memenuhi Tiga Kriteria Faktor Perancu

Ada tiga kondisi untuk menetapkan apakah suatu variabel termasuk


faktor perancu atau tidak: 1) ada asosiasi antara variabel independen dan
variabel perancu, 2) ada asosiasi antara variabel dependen dan variabel
perancu, 3) variabel perancu bukan merupakan faktor intermediet
(intermediate factor) di antara variabel eksposur dan outcome (confounding
factor is not an intermediate in association).(4)
Berikut ini adalah tiga langkah dalam menginvestigasi faktor perancu,
sebagai berikut.
Langkah 1: Mengidentifikasi asosiasi antara variabel independen (pajanan)
dan variabel perancu.
Kita menginvestigasi apakah terdapat asosiasi antara asupan energi
dan tingkat aktivitas fisik. Odds rasio, risk rasio, dan prevalens rasio bisa
dihitung untuk mengetahui hubungan asosiasi. Hasil perhitungan pada
Tabel 35 menunjukkan bahwa tingginya asupan energi meningkatkan
aktivitas fisik (OR 14,92). Kita juga bisa menghitung perbedaan proporsi
antara asupan energi pada kelompok aktivitas tinggi dan pada kelompok
aktivitas rendah. Kriteria pertama terpenuhi bahwa ada hubungan antara
faktor perancu dan faktor pajanan/paparan.

Aktivitas Fisik
(Physical Activity)

Asupan Energi Penyakit Jantung


(Energy Intake) (Hearth Disease)

Gambar 15. Kondisi 1: identifikasi asosiasi antara asupan energi dan tingkat
aktivitas fisik

84 EPIDEMIOLOGI
Untuk menghitung apakah ada asosiasi antara faktor paparan dan
faktor perancu, pada studi kasus kontrol, kita hanya menghitung asosiasi
pada kelompok kontrol, tetapi pada studi kohort, kita menggunakan semua
sampel. Pada contoh kasus II, kita hanya menghitung data pada kelompok
tidak berpenyakit jantung (grup kontrol).

Tabel 36. Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung distratifikasi dengan
variabel aktivitas fisik
Aktivitas Fisik Aktif Aktivitas Fisik Rendah
Asupan Energi Penyakit Jantung Penyakit Jantung
Ya Tidak Ya Tidak
Tinggi 520 510 210 90
Rendah 100 150 600 390
Sumber: Webb, 2005
*Odds pada kelompok aktivitas fisik aktif pada asupan energi tinggi = 510/90 = 5,67
**Odds pada kelompok aktivitas fisik rendah pada asupan energi rendah = 150/390 = 0.38
***Odds rasio kasar = 5.67/0.38 = 14. 92
^Proporsi aktivitas aktif pada asupan energi tinggi = 510/600 = 0.85 (85%)
^Proporsi aktivitas fisik tinggi pada asupan energi rendah = 150/540 = 0.27 (27%)
^^Ada perbedaan proporsi yang signifikan antara aktivitas fisik pada energi tinggi dan rendah

Langkah 2: Mengidentifikasi asosiasi antara variabel dependen dan variabel


perancu.
Asosiasi antara variabel kejadian penyakit jantung dan variabel
aktivitas fisik diselidiki (Gambar 16). Hasil perhitungan didapatkan, ada
hubungan antara aktivitas fisik dan kejadian penyakit jantung. Semakin
aktif seseorang beraktivitas fisik, semakin rendah risiko untuk menderita
penyakit jantung (OR=0.55, 95% CI: 0.48-0.65) (Tabel 38).

Aktivitas Fisik
(Physical Activity)

Asupan Energi Penyakit Jantung


(Energy Intake) (Hearth Disease)

Gambar 16. Kondisi 2: identifikasi asosiasi variabel kejadian penyakit jantung dan
variabel aktivitas fisik

Bab 4 ~ Memahami Konsep Faktor Perancu 85


Tabel 37. Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung distratifikasi dengan
variabel aktivitas fisik
Aktivitas Fisik Aktif Aktivitas Fisik Rendah

Asupan Energi Penyakit Jantung Penyakit Jantung

Ya Tidak Ya Tidak

Tinggi 520 510 210 90

Rendah 100 150 600 390

Tabel 38. Asosiasi antara aktivitas fisik dan penyakit jantung


Penyakit Jantung
Aktivitas Fisik
Ya Tidak

Tinggi 620 (520+100) 660 (510+150)

Rendah 810 (210+600) 480 (90+390)


Sumber: Webb, 2005

*Odds penyakit jantung pada kelompok aktivitas fisik tinggi = 620/660 = 0.93
**Odds penyakit jantung pada kelompok aktivitas fisik rendah = 810/480 = 1.69
***Crude Odds Rasio = 0.93/1.69 = 0.55

Langkah 3: Variabel perancu bukan merupakan faktor intermediet


(intermediate factor) di antara variabel paparan dan outcome.
Variabel perancu tidak menjadi jalur penyebab (an causal pathway) di
antara variabel paparan dan outcome (not lie on the causal pathway). Dalam
kasus kedua, variabel aktivitas fisik, bukan ‘penyebab antara’ asupan energi
dan kejadian jantung. Asupan energi tidak menyebabkan seseorang untuk
beraktivitas tinggi lalu baru mengakibatkan penyakit jantung. Aktivitas
fisik berhubungan secara independen dengan kejadian penyakit jantung
dan asupan energi. Dengan kata lain, kita tidak harus mengonsumsi
asupan energi tinggi lalu kita beraktivitas tinggi dulu baru menurunkan
atau meningkatkan risiko penyakit jantung.

86 EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan kriteria di atas dapat kita simpulkan aktivitas fisik
memenuhi ketiga kriteria sebagai faktor perancu. Jika salah satu kriteria
tidak terpenuhi, maka kita faktor tersebut bukan merupakan waktu
perancu.

D. Aplikasi Penilaian Faktor Perancu dengan Mantel-


Haenszel
Untuk mengetahui apakah suatu variabel merancu asosiasi antar
variabel terpajan dan outcome, kita dapat menghitung rasio kasar (crude
parameter), lalu rasio yang sudah dikontrol dengan variabel perancu kita
bandingkan. Jika ada perbedaan antara rasio kasar dan rasio yang sudah
dikontrol (adjusted ratio), maka ada kemungkinan ada faktor lain yang
merancu asosiasi antara faktor terpajan dan status penyakit (outcome).
Jika perbedaan mencapai minimal 10%, maka dapat disimpulkan variabel
tersebut merancu asosiasi yang ada. Namun jika tidak ada perbedaan kedua
nilai rasio yang signifikan (< 10%), maka variabel tersebut bukan faktor
perancu atau faktor konfounding.
Perhitungan rasio Mantel-Haenszel menyediakan rasio odds yang telah
terkontrol sebagai estimasi risiko relatif yang didapat dari kumpulan data
yang telah dikelompokkan dan dipasangkan. Perhitungan statistiknya
dengan mempertimbangkan angka rata-rata dari rasio odds individu yang
berasal dari stratifikasi sampel ke dalam beberapa level yang secara internal
sama (homogen) dengan mempertimbangkan faktor perancu.(2) Berikut
strategi dalam mengidentifikasi faktor perancu dengan perhitungan rasio
Mantel-Haenszel (Gambar 17):(4)
1. Hitunglah rasio kasar
2. Stratifikasi dan hitunglah rasio masing-masing level/strata
3. Hitunglah rasio yang telah dikontrol
4. Jika rasio kasar dan rasio yang telah dikontrol nilainya sama, dapat
disimpulkan tidak ada faktor perancu, namun jika nilai rasio kasar
dan rasio yang telah dikontrol nilainya berbeda, kemungkinan faktor
perancu ada.

Bab 4 ~ Memahami Konsep Faktor Perancu 87


Hitunglah angka parameter kasar
(OR, RR, atau PR)

Stratifikasi dan hitunglah


parameter per strata

Hitunglah angka parameter yang


sudah dikontrol faktor perancu

Angka parameter kasar tidak sama


Angka parameter kasar = angka
dengan angka parameter dikontrol
parameter dikontrol
‘Ada faktor perancu utama’

Tidak ada efek modifikasi Ada efek modifikasi


Hitunglah RR gabungan (Pooled RR)
Gunakan RR per strata

Angka parameter kasar = angka Angka parameter kasar berbeda


parameter dikontrol angka parameter dikontrol
‘Tidak ada faktor perancu utama’ ‘ada faktor perancu utama’

Gunakan parameter kasar Gunakan parameter yang dikontrol

Sumber: Webb, 2005

Gambar 17. Strategi analisis faktor perancu dan efek modifikasi

Tabel 39. Stratifikasi faktor paparan dan outcome oleh faktor perancu
Faktor Perancu strata x (group x) Faktor Perancu strata y (group y)

Paparan Outcome/Penyakit Outcome/Penyakit

Ya Tidak Ya Tidak

Terpapar
d1x h1 x d1y h1 y
(group 1)

Tidak Terpapar
d0 x h0 x d0 y h0 y
(group 0)
Sumber: Kirkwood, 2003(5)/ *d = kelompok sakit h = kelompok sehat

88 EPIDEMIOLOGI
Rumus OR Mantel Haenzal sebagai berikut.(5)

∑ (wi x ORi )
A POOLED OR Mantel Haenszal =
∑ wi
W = (d0 x h1)/n -------------- OR = (d1 x h0)/(d0 x h1)

Contoh kasus aktivitas fisik mendistorsi hubungan antara asupan


energi dan penyakit jantung dengan perhitungan Mantel-Haenszel.
Langkah-langkah dalam mengidentifikasi faktor perancu dengan
perhitungan rasio Mantel-Haenszel dalam kasus aktivitas fisik mendistorsi
hubungan antara asupan energi dan penyakit jantung (Gambar 14) adalah
sebagai berikut.
Langkah 1: Hitung rasio kasar (crude ratio) dari asosiasi antara asupan
energi dan kejadian penyakit jantung. Dari hasil perhitungan didapatkan
odds rasio adalah 0.94 (OR 0.94, 95% Derajat kepercayaan 0.80-1.10).

Tabel 40. Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung


Penyakit Jantung
Asupan Energi Total
Ya Tidak

Tinggi 730 600 1.330


Rendah 700 540 1.240
Total 1.430 1.140 2.570
Sumber: Webb, 2005

*Odds kejadian penyakit jantung pada kelompok asupan energi tinggi = 730/600 = 1.22
**Odds penyakit jantung pada kelompok asupan energi rendah = 700/540 = 1.30
***Crude Odds Ratio = 1.22/1.30 = 0.94

Langkah 2: Stratifikasi asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung


dengan variabel aktivitas fisik.

Table 41. Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung distratifikasi dengan
variabel aktivitas fisik
Aktivitas Fisik Aktif Aktivitas Fisik Rendah
Asupan Energi Penyakit Jantung Penyakit Jantung
Ya Tidak Ya Tidak

Tinggi 520 510 210 90


Rendah 100 150 600 390
Sumber: Webb, 2005(4)

Bab 4 ~ Memahami Konsep Faktor Perancu 89


Langkah 3: Hitung OR Mantel Haenszal atau pooled ratio(5)

∑ (wi x ORi ) ∑ (wi x ORi )


A POOLED OR Mantel Haenszal = ORMH =
∑ wi ∑ wi

W = (d0 x h1) / n *d = kelompok sakit h = kelompok sehat

Tabel 42. Asosiasi antara asupan energi dan penyakit jantung distratifikasi dengan
variabel aktivitas fisik
Aktivitas Fisik Aktif Aktivitas Fisik Rendah

Asupan Energi Penyakit Jantung Penyakit Jantung

Ya Tidak Ya Tidak

Tinggi
520 (d1) 510 (h1) 210 (d1) 90 (h1)
(group 1)

Rendah
100 (d0) 150 (h0) 600 (d0) 390 (h0)
(group 0)

Untuk aktivitas fisik tinggi


OR = (d1/h1) : (d0/h0) = (d1 x h0) : (d0 x h1) = (520 x 150) : (100
x 510) = 1,53
Weight = w = (d0 x h1)/n = (100 x 510)/1280 = 39,8
Untuk aktivitas fisik rendah
OR = (d1/h1) : (d0/h0) = (d1 x h0) : (d0 x h1) = (210 x 390) : (600
x 90) = 1,52
Weight = w = (d0 x h1)/n = (600 x 90)/1290 = 41,9(4, 5)
∑ (wi x ORi )
A POOLED OR Mantel Haenszal =
∑ wi

(39.8 x 1.53) + (41.9 x 1.52)


ORMH = = 1.52
(39.8 + 41.9)

95% CI : 1.25 to 1.86

90 EPIDEMIOLOGI
Bandingkan hasil ORMH (OR 1.52 (95% CI 1.25-1.86) dengan OR
kasar (OR 0.94, 95% Derajat kepercayaan 0.80-1.10). Dapat disimpulkan
bahwa ada perbedaan lebih dari 10%, maka aktivitas fisik merancu asosiasi
asupan energi dan penyakit jantung.

E. Batasan Utama Faktor Perancu (confounding)


Batasan utama dalam menganalisis faktor perancu, adalah sebagai
berikut.(3, 4, 5)
1. Faktor perancu dapat terjadi dalam penelitian apa pun, dan
hampir semua laporan penelitian yang menghitung asosiasi akan
mencantumkan hasil asosiasi yang telah ‘disesuaikan’ nya/dikontrol
dengan faktor perancu.
2. Faktor perancu yang diketahui bisa diidentifikasi dan disesuaikan pada
analisis jika informasi mengenai faktor perancu dikumpulkan pada
saat penelitian.
3. Walaupun asosiasi sudah dikontrol oleh faktor perancu, masih ada
kemungkinan faktor perancu yang tersisa (residual confoundings) oleh
karena faktor perancu yang telah diukur ataupun faktor perancu yang
belum diketahui.
4. Mengontrol faktor perancu dapat dilakukan dengan metode:
a. Restriksi ataupun matching, misal hanya merekrut wanita dengan
risiko kanker payudara umur 20-50 tahun, merekrut laki-laki yang
tidak merokok saja.
b. Stratifikasi, seperti yang kita lakukan dengan meng­gunakan
metode Mantel Haenszal.
c. Analisis Regresi Logistik/Regresi Berganda, dengan analisis lanjut
dan memasukkan semua faktor perancu ke dalam analisis data
antara asosiasi utama.

F. Ringkasan
Faktor perancu/penggangu atau confounding factors adalah distorsi
dalam memprediksi hubungan atau asosiasi antara faktor eksposur dan

Bab 4 ~ Memahami Konsep Faktor Perancu 91


outcome (hasil) sehingga asosiasi sebenarnya tidak tampak atau ditutupi
oleh faktor lainnya. Pengaruh faktor perancu bisa memperbesar atau
memperkecil hubungan sebenarnya. Dengan demikian, suatu variabel
mungkin sebenarnya bisa faktor protektif terhadap suatu kondisi kesehatan
atau penyakit, tetapi hasil penelitian menunjukkan variabel tersebut bisa
menjadi faktor risiko terhadap suatu kondisi kesehatan atau penyakit atau
hubungan. Ada dua teknik untuk menganalisis faktor perancu, pertama,
memenuhi tiga kondisi untuk menetapkan apakah suatu variabel
termasuk faktor perancu: 1) ada asosiasi antara variabel independen
dan variabel perancu, 2) ada asosiasi antara variabel dependen dan
variabel perancu, 3) variabel perancu bukan merupakan faktor intermediet
(intermediate factor) di antara variabel eksposur dan outcome (confounding
factor is not an intermediate in association); kedua, dengan melakukan
perbandingan rasio kasar dan rasio setelah dikontrol oleh faktor perancu
(crude and adjusted ratio), dengan perhitungan rasio Mantel-Haenszel. Hal
yang penting untuk diketahui, bahwa walaupun asosiasi sudah dikontrol
oleh faktor perancu, masih ada kemungkinan faktor perancu yang tersisa
(residual confoundings) oleh karena faktor perancu yang telah diukur ataupun
faktor perancu yang belum diketahui.

Latihan Faktor Perancu


1. Usia adalah variabel yang sering menjadi variabel perancu dalam
epidemiologi, karena banyak kejadian penyakit berubah seiring dengan
perubahan usia. Perubahan risiko penyakit dengan usia sering disebut
sebagai efek usia. Apakah bisa diterima jika usia memiliki pengaruh
terhadap risiko penyakit, ataukah lebih bijak berpikir bahwa pengaruh
dari usia itu sendiri dipengaruhi faktor perancu lain?
2. Banyak orang di Jakarta meninggal akibat penyakit kardiovaskular tiap
tahunnya dibandingkan dengan orang yang tinggal di Kalimantan.
Apakah penjelasan yang paling penting untuk perbedaan ini? Apakah
faktor tambahan yang bisa menjelaskan perbedaan angka kematiannya
menurut Anda?
3. Investigasi apakah merokok (smoking) termasuk faktor perancu asosiasi
antara kebiasaan minum alkohol dan kanker paru-paru?

92 EPIDEMIOLOGI
Gambaran apakah alkohol merupakan faktor risiko dari kanker paru-paru?
Bayangkan sebuah studi kasus kontrol yang kecil dengan 20 kasus
(orang yang mengidap kanker paru-paru) dan 20 kontrol yang tidak
terkena kanker paru-paru). Apakah minum alkohol berhubungan dengan
risiko kanker paru-paru? Jika semua kasus dan control ditanya tentang
konsumsi alkohol mereka. Kita bisa mengklasifikasi orang/mereka sebagai
‘peminum’ atau bukan peminum dan kita bisa menghitung odds rasio
untuk memperkirakan kekuatan dari hubungan antara alkohol dengan
kanker paru-paru.(4)

Tabel 43. Perhitungan odds rasio untuk hubungan antara


alkohol dan kanker paru-paru
Kasus Kontrol

Peminum alkohol 10 5

Bukan peminum 10 15

Sekarang hitung OR untuk alkohol dan kanker paru-paru secara


terpisah untuk (i) perokok dan (ii) bukan perokok. Apakah alkohol
berhubungan dengan kanker paru-paru di antara para perokok? Di antara
bukan perokok? Bagaimana Anda menjelaskan perubahan pola hubungan
antara alkohol-kanker paru-paru?

Tabel 44. Stratifikasi hubungan antara alkohol dan kanker paru oleh status
merokok
Penyakit Jantung
Asupan Energi
Kasus Kontrol

Peminum Alkohol 9 3
Perokok
Bukan Peminum Alkohol 3 1

Peminum Alkohol 1 2
Bukan Perokok
Bukan Peminum Alkohol 7 14
Sumber: Webb, 2005

Bab 4 ~ Memahami Konsep Faktor Perancu 93


PAPARAN PENYAKIT
(Minum alkohol) (kanker paru)

VARIABEL PENGGANGGU
(Merokok)

DAFTAR PUSTAKA
1. Najmah, Nuralam Fajar, and Rico Januar Sitorus, The Effect of Needle
and Syringe Program on Injecting Drug Users’ Use of Non-Sterile
Syringe and Needle Behaviour in Palembang, South Sumatera Province.
Indonesia International Journal of Public Health Research. 2011. (Spesial
Issue): p. 193-199.
2. Last, J.M., A Dictionary of Epidemiology, ed. F. Edition. New York: Oxford
University Press. 2001. p. 37
3. Rothman, K.J., Epidemiology, An Introduction. New York: Oxford
University Press. 2002. p. 1-7 and 144-157
4. Webb, P., C. Bain, and S. Pirozzo, Essential Epidemiology, An Introduction
for Students and Health Professionals. New York: Cambridge University
Press. 2005. p. 181-201
5. Kirkwood, B.R. and J.A.C. Sterne, Medical Statistics. Second ed. Victoria:
Blackwell Science. 2003. p. 177-185

94 EPIDEMIOLOGI
Bab 5

SKRINING/PENAPISAN
DALAM EPIDEMIOLOGI

Kompetensi dasar yang ingin dicapai adalah mahasiswa


mampu menjelaskan tes skrining/penapisan dalam
epidemiologi. Indikatornya adalah mahasiswa mampu
menjelaskan konsep skrining/penapisan dalam
epidemiologi, mampu menjelaskan perhitungan skrining/
penapisan dalam epidemiologi, mampu menginterpretasikan
hasil skrining/penapisan dalam epidemiologi dan
menjelaskan prinsip dalam skrining/penapisan.
Materi dalam bab ini adalah konsep dasar metode
skirining/penapisan, definisi skrining/penapisan,
perhitungan dalam tes skrining/penapisan dan interpretasi;
perhitungan sensitivitas dan spesifisitas, nilai prediksi positif
dan negatif serta prinsip dalam skrining/penapisan.

95
A. Pendahuluan

P
encegahan selalu lebih baik daripada pengobatan, karena bisa
meningkatkan produktivitas ketika dalam kondisi sehat. Namun,
kebanyakan manusia mengetahui kondisi kesehatannya terganggu
pada waktu yang terlambat. Sebagai contoh penyakit yang manifestasinya
lama tetapi bisa diketahui sejak dini adalah kanker payudara. Kanker
payudara bisa dideteksi secara dini, misalnya dengan mengetahui faktor
keturunan (genetik), adanya benjolan yang bisa dilakukan sendiri
(SADARI) ataupun melakukan pemeriksaan mamografi. Walaupun
payudara akan terpapar dengan radiasi dalam jumlah kecil, namun manfaat
dari pemeriksaan mamografi lebih besar karena mengetahui adanya
kemungkinan gangguan payudara sejak dini, akan mempercepat tindakan
pengobatan, sehingga kemoterapi atau prosedur pengangkatan payudara
(mastectomy) dapat dihindari.
Setiap penyakit atau kondisi kesehatan memiliki manifestasi gejala
tertentu baik penyakit menular maupun tidak menular. Gejala ini terkadang
tidak hanya bersifat spesifik bagi satu penyakit tetapi juga spesifik untuk
beberapa penyakit lainnya. Gejala penyakit bisa berupa keluhan subjektif
yang dirasakan seperti pusing, mual, rasa tidak enak di perut dan juga
gejala yang simptomatik seperti badan panas, ruam-ruam di kulit, adanya
benjolan dan sebagainya. Oleh karena adanya dua tipe manifestasi klinis
inilah, skrining/penapisan harus dilakukan.
Terdapat perdebatan di berbagai negara mengenai pelaksanaan
deteksi dini pada penyakit. Satu pihak menyatakan bahwa fokus deteksi
dini merupakan populasi oportunistik dan yang lainnya menganggap
lebih baik fokus pada populasi yang lebih luas.Ada beberapa persamaan
di antara populasi luas (massa) dengan pendekatan berisiko tinggi (high
risk) untuk pencegahan primer, meskipun tidak persis sama. (1) Kata
‘Skrining/penapisan’ dan ‘penemuan kasus’ juga memiliki arti yang
sedikit berbeda. Istilah ‘skrining/penapisan’ digunakan untuk deteksi
dini dengan pendekatan populasi yang luas (population-wide approaches)
dan ‘penemuan kasus’ untuk deteksi dini dengan pendekatan populasi
oportunistik (opportunistic attempt approaches).(1) Meskipun skrining/
penapisan ditujukan pada populasi luas, bukan berarti semua jenis populasi

96 EPIDEMIOLOGI
masuk ke dalam populasi skrining/penapisan. Kriteria populasi skrining/
penapisan menyesuaikan dengan faktor risiko dari jenis penyakit yang
akan di skrining/penapisan. contohnya tidak akan melakukan skrining/
penapisan Kanker Leher Rahim (Ca-cervics) pada populasi anak-anak,
atau melakukan skrining/penapisan kanker prostat pada populasi wanita.
Menurut Marchand, et.al (1998), dalam pembahasan jurnalnya mengenai
perbandingan efektivitas biaya antara skrining/penapisan dan penemuan
kasus TBC, skrining/penapisan lebih efektif dibandingkan dengan
penemuan kasus di fasilitas kesehatan dengan asumsi tidak terjadi infeksi
nosokomial di sana.(2)

B. Definisi Tes Skrining/Penapisan


Skrining/penapisan merupakan proses pendeteksian kasus/kondisi
kesehatan pada populasi sehat pada kelompok tertentu sesuai dengan jenis
penyakit yang akan dideteksi dini dengan upaya meningkatkan kesadaran
pencegahan dan diagnosis dini bagi kelompok yang termasuk risiko tinggi.
Pada negara maju, umumnya proses skrining/penapisan dilakukan pada
penyakit tidak menular, misalnya kanker payudara yang dilakukan pada
kelompok berisiko seperti wanita terlahir kembar, ada genetik keluarga,
wanita yang tidak menikah, wanita yang tidak menyusui (red ngASI)
anaknya dan pola diet dan gaya hidup yang tidak sehat, wanita pengguna
KB hormonal, wanita yang menstruasi pertama di bawah 12 tahun dan
menopause di atas 55 tahun. Berikut dijelaskan definisi skrining/penapisan
menurut beberapa ahli epidemiologi.
Menurut Webb (2005), skrining/
Petunjuk !
p e n a p i s a n m e r u p a ka n m e t o d e t e s
sederhana yang digunakan secara luas Skrining/Penapisan adalah
pada populasi sehat atau populasi yang proses menggunakan tes
tanpa gejala penyakit (asimptomatik). dalam skala besar untuk
mengidentifikasi adanya
Skrining/penapisan tidak dilakukan untuk penyakit pada orang sehat
mendiagnosis kehadiran suatu penyakit, (Bonita, 2006)
tetapi untuk memisahkan populasi subjek
skrining/penapisan menjadi dua kelompok yaitu orang-orang yang lebih
berisiko menderita penyakit tersebut dan orang-orang yang cenderung

Bab 5 ~ Skrining/Penapisan dalam Epidemiologi 97


kurang berisiko terhadap penyakit tertentu. Mereka yang mungkin memiliki
penyakit (yaitu, mereka yang hasilnya positif) dapat menjalani pemeriksaan
diagnostik lebih lanjut dan melakukan pengobatan jika diperlukan.(1)
Menurut Komisi Penyakit Kronis AS (1951), dalam kamus Epidemiologi
(A Dictionary of Epidemiology), skrining/penapisan didefinisikan sebagai
“identifikasi dugaan penyakit atau kecacatan yang belum dikenali dengan
menerapkan pengujian, pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat
diterapkan dengan cepat. Tes skrining/penapisan memilah/memisahkan
orang-orang yang terlihat sehat untuk dikelompokkan menjadi kelompok
orang yang mungkin memiliki penyakit dan kelompok orang yang mungkin
sehat. Sebuah tes skrining/penapisan ini tidak dimaksudkan untuk menjadi
upaya diagnosis. Orang dengan temuan positif menurut hasil skrining/
penapisan atau suspek suatu kasus harus dirujuk ke dokter untuk diagnosis
dan menjalani pengobatan yang diperlukan.(3)
Skrining/penapisan juga merupakan pemeriksaan untuk membantu
mendiagnosis penyakit (atau kondisi prekursor penyakit) dalam fase awal
riwayat alamiah atau di ujung kondisi yang belum parah dari spektrum
dibanding yang dicapai dalam praktik klinis rutin.(4) Sedangkan menurut
Bonita et.al (2006), skrining/penapisan adalah proses menggunakan tes
dalam skala besar untuk mengidentifikasi adanya penyakit pada orang
sehat. Tes skrining/penapisan biasanya tidak menegakkan diagnosis,
melainkan untuk mengidentifikasi faktor risiko pada individu, sehingga bisa
menentukan apakah individu membutuhkan tindak lanjut dan pengobatan.
Untuk yang terdeteksi sebagai individu yang sehat pun, bukan berarti
terbebas 100% dari suatu penyakit karena tes skrining/penapisan dapat
salah.(5)
Inisiatif untuk skrining/penapisan biasanya berasal dari peneliti ​​atau
orang atau badan kesehatan dan bukan dari keluhan pasien. Skrining/
penapisan biasanya berkaitan dengan penyakit kronis dan bertujuan untuk
mendeteksi penyakit yang belum umum dalam pelayanan medis. Skrining/
penapisan dapat mengidentifikasi faktor-faktor risiko, faktor genetik, dan
pencetus, atau indikasi suatu penyakit.(3)

98 EPIDEMIOLOGI
C. Pelaksanaan Skirinig di Dunia Kesehatan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa skrining/penapisan
dibutuhkan dalam mendeteksi adanya penyakit sebelum dilakukan
diagnosis klinis. Maka yang harus dipahami dalam melakukan skrining/
penapisan adalah riwayat alamiah atau perjalanan sebuah penyakit dimulai
dari biological onset hingga pada outcome dari suatu penyakit. Gambaran
mengenai riwayat alamiah dari suatu penyakit dapat terlihat pada ilustrasi
di bawah ini.

Onset Biologis Diagnosis Awal Diagnosis Klinis Outcome

 δ Φ
CP 1 CP 2 CP 3
TITIK KRITIS/CP

Waktu Ideal untuk Skrining

TIME
Sumber: Webb, et al 2005

Gambar 18. Riwayat alamiah penyakit


(diadaptasi dari Sackett dkk., 1991)

Dalam riwayat alamiah penyakit terdapat titik kritis (critical point)


yang harus diperhatikan, titik kritis ini tidak boleh terlewat karena proses
alamiah penyakit tidak dapat diubah lagi dan bisa jadi pengobatan yang
dilakukan akan sia-sia. Misalnya, pada titik di mana kanker mulai menyebar
ke jaringan lain (metastasis). Jika dilakukan skrining/penapisan pada
titik sebelum ada kemungkinan untuk mendeteksi penyakit (CP1), maka
tidak akan mengurangi dampak akibat kanker karena pengobatan dini
tidak berpengaruh terhadap perjalanan penyakit atau outcome penyakit;
bisa menyebabkan kematian atau kecacatan.(1) Sebaliknya jika skirining
dilakukan setelah diagnosis klinis (CP3), maka seharusnya pengobatan akan
jauh lebih efektif dibandingkan melakukan skrining/penapisan pada fase
ini. Waktu ideal dilakukannya skrining/penapisan adalah pada titik antara
kemungkinan deteksi awal dengan diagnosis klinis (CP2). Jika skrining/
penapisan dilakukan pada fase ini maka kemungkinan akan berpengaruh
terhadap perjalanan penyakit dan meningkatkan kualitas hidup penderita.(1)

Bab 5 ~ Skrining/Penapisan dalam Epidemiologi 99


Contoh 1: Skrining/penapisan pada Kanker Leher Rahim(6)
Salah satu contoh pelaksanaan
Petunjuk ! skrining/penapisan adalah skrining/
penapisan kanker leher rahim. Kanker leher
Contoh Pelaksanaan Uji
rahim adalah keganasan dari leher rahim
Skrining
• Skrining pada Kanker Servik (serviks) yang disebabkan oleh virus HPV
• Skrining pada kanker (Human Papiloma Virus). Di seluruh dunia,
payudara penyakit ini merupakan jenis kanker ke
• Skrining pada
dua terbanyak yang diderita perempuan.
penyalahgunaan alcohol,
rokok dan napza lainnya Saat ini di seluruh dunia diperkirakan lebih
• Skrining pada dari 1 juta perempuan menderita kanker
pendengaran anak-anak leher rahim1 dan 3-7 juta orang perempuan
• Skrining Malaria
memiliki lesi prekanker derajat tinggi (high
grade dysplasia). Penelitian WHO tahun 2005
menyebutkan, terdapat lebih dari 500.000 kasus baru, dan 260.000 kasus
kematian akibat kanker leher rahim, 90% di antaranya terjadi di negara
berkembang. Angka insiden tertinggi ditemukan di negara-negara Amerika
bagian tengah dan selatan, Afrika Timur, Asia Selatan, Asia Tenggara dan
Melanesia.
Praktik standar untuk menskrining/penapisan wanita yang
menggunakan sitologi (Pap Smear), dan ketika hasil sitologi positif
diagnosis Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) didasarkan pada pemeriksaan
koloskopi selanjutnya, biopsi lesi yang mencurigakan, dan kemudian
pengobatan hanya saat CIN2 + telah dikonfirmasi secara histologi. Metode
skrining/penapisan tradisional ini membutuhkan sumber daya manusia
yang sangat terlatih dan peralatan laboratorium dalam jumlah yang besar.
Tujuan dari program “skrining/penapisan dan pengobatan” kanker
serviks adalah untuk mengurangi kejadian kanker serviks dan kematian.
Program ini harus mencakup tes skrining/penapisan atau strategi (urutan
tes) dan dihubungkan dengan pengobatan yang sesuai untuk CIN, dan juga
menyediakan rujukan untuk pengobatan wanita dengan kanker serviks
invasif. Tes skrining/penapisan umum yang banyak digunakan termasuk tes
untuk human papilloma virus (HPV), sitologi (tes Pap Smear), dan inspeksi
visual dengan asam asetat (VIA) ditindaklanjuti.

100 EPIDEMIOLOGI
Contoh 2: Skrining/penapisan penyalahgunaan alkohol, merokok dan
napza lainnya (The ASSIST project – Alcohol, Smoking and Substance Involvement
Screening Test)(7)
Skrining/penapisan ASSIST dikembangkan oleh Badan Kesehatan
Dunia (WHO) untuk mengidentifikasi penyalahgunaan napza, alkohol dan
merokok. Kuesioner dari skrining/penapisan ASSIST berisi 8 pertanyaan
digunakan untuk menginvestigasi 10 unsur utama zat adiktif. Kuesioner
juga dilengkapi tabel yang bisa diisi sesuai dengan rekaman medis pasien.
Intervensi singkat para praktisi kesehatan kepada masyarakat yang
mengikuti skrining/penapisan dilakukan berupa motivasi, dan promosi
kesehatan dilakukan kepada kelompok yang berisiko mengonsumsi alkohol,
merokok dan mengonsumsi zat napza lainnya.(7)

D. Sensitivitas Versus Spesifisitas Uji Skrining/Penapisan


dan Nilai Prediksi Positif Versus Nilai Prediksi Negatif
Salah satu kriteria dalam tes skrining/
penapisan adalah akurat dan reliabilitas. Petunjuk !
Akurat menunjukkan sejauh mana
Kombinasi sensitivitas dan
hasil skrining/penapisan sesuai dengan
spesifisitas adalah penting
kenyataannya. Sedangkan reliabilitas dalam melakukan kegiatan
berhubungan dengan standardisasi tes skrining. Sensitivitas
perangkat pengujian atau tes konfir­ adalah bagaimana
akuratnya suatu tes yang
masi. (1) Dengan kata lain, relia­b ilitas
mengklarifikasikan orang
menunjukkan konsistensi alat peng­ukuran, sakit adalah benar-benar
jika pengukuran dilakukan berulang kali, sakit pada kenyataanya
hasil yang diperoleh tidak jauh berbeda. sedangkan spesifisitas adalah
bagaimana akuratnya suatu
Dalam tes konfirmasi, Thornier dan Remain
test yang mengklarifikasikan
(1961), mene­mukan sebuah metode yang orang sehat adalah
bernama Screening Test Thorner-Remain. benar-benar sehat apada
Metode ini berupa alat konfirmasi diagnosis kenyataanya.
berupa tabulasi 2x2 yang menghasilkan nilai
sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif dan prevalensi.(8) Menurut kamus
Epidemiologi (A Dictionary of Epidemiology), sensitivitas adalah proporsi
orang yang benar-benar sakit dalam populasi yang juga diidentifikasi

Bab 5 ~ Skrining/Penapisan dalam Epidemiologi 101


sebagai orang sakit oleh tes skrining/penapisan. Sensitivitas adalah
kemungkinan kasus terdiagnosis dengan benar atau probabilitas setiap
kasus yang ada teridentifikasi dengan uji skrining/penapisan. (frase: tingkat
true positif).(3) Hal yang sama yang disampaikan oleh webb, et.al (2005)
bahwa sensitivitas merupakan ukuran yang mengukur seberapa baik sebuah
tes skrining/penapisan mengklasifikasikan orang yang sakit benar-benar
sakit. Sensitivitas digambarkan sebagai persentase orang dengan penyakit
dengan hasil tes positif juga.(1) Jika dibandingkan dengan pemeriksaan
standar (gold standard), Sensitivitas adalah proporsi subjek yang positif
menurut standar emas yang diidentifikasi sebagai positif oleh alat ukur.(9)
Sensitivitas mengukur seberapa sering tes menjadi positif pada orang-
orang yang kita tahu memiliki penyakit pada kenyataannya. Misalnya
jika kita melakukan tes pada sampel untuk dikembangbiakkan (dikultur)
dari 100 wanita dengan infeksi Klamidia Servik, selanjutnya hasil kultur
menunjukkan 80 di antaranya positif. Dengan demikian, dapat dikatakan
pada kasus ini sensitivitas dari kultur Klamidia jaringan adalah 80%.(10)
Sedangkan spesifisitas berdasarkan Kamus Epidemiologi adalah
proporsi orang yang benar-benar tidak sakit dan tidak sakit pula saat
diidentifikasi dengan tes skrining/penapisan. Ini adalah ukuran dari
kemungkinan benar mengidentifikasi orang tidak sakit dengan tes skrining/
penapisan (frase:angka true negatif). Webb, et.al (2005), menyampaikan
bahwa sensitivitas merupakan ukuran yang mengukur seberapa baik
sebuah tes skrining/penapisan mengklasifikasikan orang yang tidak
sakit sebagai orang benar benar yang tidak memiliki penyakit pada
kenyataannya. Sensitivitas digambarkan sebagai persentase orang tanpa
penyakit yang secara tes negatif.(1) Jika dibandingkan dengan alat ukur
standar, spesifisitas adalah proporsi subjek yang negatif menurut standar
emas yang diidentifikasi sebagai negatif oleh alat ukur.(9)
Sensitivitas rendah berarti bahwa tes akan melewatkan banyak
individu yang memiliki penyakit ini, sedangkan spesifisitas yang rendah
menunjukkan bahwa tes akan menempatkan banyak orang dalam kelompok
yang berpenyakit meskipun mereka tidak memiliki penyakit. Dalam
jargon epidemiologi dikatakan bahwa suatu skrining/penapisan dengan
sensitivitas yang rendah akan meningkatkan beberapa jumlah ‘false negatif’

102 EPIDEMIOLOGI
sedangkan jika suatu skrining/penapisan memiliki spesifisitas yang rendah
akan menghasilkan banyak ‘false positif’.
Validitas prediktif (predictive validity,
Petunjuk !
prognostic validity) m e r u j u k ke p a d a
kesesuaian antara hasil pengukuran alat Nilai prediksi positif adalah
ukur sekarang dan hasil pengukuran persentase dari semua orang
standar emas di masa mendatang. Berbeda dengan hasil tes positif pada
orang yang benar sakit,
dengan validitas sewaktu hasil pengukuran sedangkan nilai prediksi
standar emas dalam validitas prediktif negatif adalah persentsi dari
belum tersedia saat ini, melainkan baru semua orang dengan hasil
diketahui beberapa waktu mendatang. (9) tes negatif pada orang yang
benar-benar sehat.
Nilai prediktif positif adalah proporsi pasien
yang benar-benar positif (true positive) di antara keseluruhan penderita
yang menunjukkan hasil tes konfirmasi positif.(8) Nilai ini menjelaskan
kita seberapa besar kemungkinan hasil tes positif menunjukkan adanya
penyakit.(1) Nilai Prediktif Negatif adalah persentase dari semua pasien
yang benar-benar negatif (sehat/true negative) di antara semua pasien yang
menunjukkan hasil tes negatif.(1) Jika dibandingkan dengan pemeriksaan
standar emas, nilai prediktif positif adalah probabilitas subjek yang
diidentifikasi positif oleh alat ukur benar-benar akan positif menurut
standar emas di kemudian hari. Sedangkan, nilai prediktif negatif adalah
probabilitas subjek yang diidentifikasi negatif oleh alat ukur akan benar-
benar negatif menurut standar emas di kemudian hari.(9)

E. Perhitungan Sensitivitas dan Spesifisitas


Dalam pelaksanaan tes skrining/penapisan, kita dapat melakukan
evaluasi terhadap hasil tes yang dilakukan dengan membandingkan hasil
dengan Standar Emas atau standar yang paling baik (‘gold standard’) yang
secara ideal akan memberikan 100% hasil yang benar. Tes standar ini boleh
jadi lebih mahal dan sangat memakan waktu yang lama atau mungkin
kombinasi pelaksanaan investigasi di rumah sakit ini sangat tepat/realiabel
untuk melakukan diagnosis tapi tidak cocok untuk penggunaan skrining/
penapisan yang rutin.(1) coba Anda perhatikan Gambar 19, apa yang bisa
Anda simpulkan?

Bab 5 ~ Skrining/Penapisan dalam Epidemiologi 103


Contoh Kasus 1: Tes Pap Smear dan Penyakit Kanker Serviks

Status penyakit/kondisi kesehatan


Positif/Sakit Negatif/Sehat

Positif Positif Benar/PB Positif Palsu/PP


(True positives) (False Positives)
Hasil tes
Negatif Palsu/NP Negatif Benar/NB
Negatif (False Negatives) (True Negatives)

Status Kanker Servik


Positif Negatif

Positif Benar/PB Positif Palsu/PP


Positif (True positives) (False Positives)
50 45
Tes Pas Smear
Negatif Palsu/NP Negatif Benar/NB
Negatif (False Negatives) (True Negatives)
10 90

Sumber: Webb et al, 2005

Gambar 19. Kemungkinan outcome dari tes skrining/penapisan,(1) contoh pada


kasus tes pas smear dan kejadian Kanker Serviks

Kita analogikan pada kasus kanker serviks dengan tes pap smear. Dari
Gambar 19, dapat disimpulkan empat outcome yang dapat terjadi pada tes
skrining/penapisan kanker serviks pada wanita usia subur. Seorang wanita
dengan kanker serviks ketika diperiksa dengan pap smear hasilnya juga positif
kanker serviks, disebut positif benar atau true positive’, sedangkan jika hasil
tes pap smearnya negatif, disebut negatif palsu atau ‘false negative’. Sedangkan
jika wanita pada kenyataannya tidak menderita kanker serviks, pada tes pap
smear pun menunjukkan hasil negatif, disebut dengan negatif benar atau
true negative, sebaliknya kalau hasil tes menunjukkan positif, maka disebut

104 EPIDEMIOLOGI
dengan positif palsu atau ‘false positive’. 1) Berapa jumlah wanita dengan
kanker serviks dan hasil pap smearnya menunjukkan positif? 2)Berapa
jumlah wanita sehat yang pada tes pap smear hasilnya negatif dan tes pap
smear menunjukkan hasil positif? (Jawaban 1.PB ’50’; 2. NB’90’ & PP’45’).
Untuk pengujian yang akurat harus menghasilkan kategori kelompok
positif palsu dan negatif palsu yang sedikit. Jadi, bagaimana melakukan
tes skrining/penapisan kanker serviks yang baik? Ada dua hal yang
harus dipertimbangkan yaitu seberapa baik tes skrining/penapisan ini
mengidentifikasi wanita yang benar-benar menderita kanker serviks dalam
artian kategori Positif benar? dan seberapa tepat tes ini mengklasifikasikan
wanita sehat pada tes pap smear negatif dalam artian kategori Negatif
Benar?.(1) Untuk itu perhitungan sensitivitas dan spesifisitas dilakukan.

Positif Benar
Sensitivitas = x 100%
Positif Benar + Negatif Palsu

50
Sensitivitas = x 100% = 83%
50 + 10

Negatif Benar
Spesifisitas = x 100%
Positif Palsu + Negatif Benar

90
Spesifisitas = x 100% = 67%
45 + 90

Spesifisitas mengukur seberapa sering tes menjadi negatif ketika sedang


digunakan pada orang-orang yang kita tahu tidak memiliki penyakit.
Idealnya, sebuah hasil tes konfirmasi untuk penyakit haruslah selalu negatif
ketika digunakan pada orang yang sehat dan hal yang demikian disebut
dengan memiliki spesifisitas 100%.(9) Dari hasil di atas, diketahui bahwa
sensitivitas tes pap smear adalah 83% dan spesifisitas 67%. Dari hasil ini
dapat disimpulkan, tes pap smear dapat mengklarifikasikan WUS dengan
kanker serviks benar-benar sakit pada kenyataannya adalah sekitar 83%.
Sedangkan, hasil tes pap smear dapat mengkonfirmasi wanita usia subur
yang benar-benar bebas dari kanker serviks sesuai hasil dan kenyataannya
sebesar 67%.

Bab 5 ~ Skrining/Penapisan dalam Epidemiologi 105


F. Perhitungan Nilai Prediktif Positif dan Nilai Prediktif
Negatif
Alat ukur memiliki nilai prediktif positif tinggi bila dikemudian hari
terbukti banyak terjadi positif benar (true positive) dan sedikit positif
palsu (false positive). Alat ukur memiliki nilai prediktif negatif tinggi bila
dikemudian hari banyak terjadi negatif benar (NB) dan sedikit negatif
palsu (NP). Alat ukur memiliki validitas prediktif tinggi jika memberikan
skor nilai prediktif positif dan nilai prediktif negatif mendekati 100%.(9)
Nilai prediksi positif dan negatif terhadap tes pap smear adalah 52% dan
90%. Dari hasil tes pap smear dapat disimpulkan, bahwa tes pap smear
memiliki nilai negatif tinggi, ini berarti di masa yang akan datang, kejadian
kasus kanker serviks sesuai dengan hasil tes pap smear akan terdeksi tinggi
dan kemungkinan akan terjadinya negatif palsu sangat sedikit, karena
mendekati 100%. Sedangkan nilai prediksi positif menunjukkan bahwa
hanya sekitar 52%; hanya sebagian hasil tes pap smear di masa akan datang
akan menunjukkan orang yang benar-benar sakit.

Negatif Benar
Nilai Prediktif Negatif = x 100%
Negatif Benar + Negatif Palsu

90
Nilai Prediktif Negatif = x 100% = 90%
90 + 10

Positif Benar
Nilai Prediktif Positif = x 100%
Positif Benar + Positif Palsu

50
Nilai Prediktif Positif = x 100% = 52%
50 + 45

Contoh 2: Skrining/penapisan malaria


Sebuah skrining/penapisan malaria dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Provinsi X pada populasi anak < 5 tahun (terdapat 624 anak) di
Kecamatan A Kab. Provinsi X pada bulan Oktober 2013, adanya kejadian
luar biasa pada kelompok anak-anak pada tahun 2012 menjadi alasan
dilakukannya skrining/penapisan.Gejala klinis malaria adalah panas lebih

106 EPIDEMIOLOGI
dari 5 hari, batuk-batuk, kesulitan dalam bernapas dan peningkatan ritme
pernapasan.Untuk mengkonfirmasi kasus dilakukan pemeriksaan darah
mikroskopik untuk menemukan adanya parasit malaria di dalam darah.
Hasilnya sebanyak 463 orang yang menunjukkan gejala klinis malaria
dan 220 di antaranya positif parasitemia. Selanjutnya 161 orang tidak
ditemukan gejala klinis namun 32 sampel darah anak menunjukkan positif
parasitemia.
1. Tabulasikan data di atas dan narasikan berapa jumlah positif benar,
negatif salah, positif salah, dan negatif benar.
2. Hitunglah sensitivitas tes darah mikroskopis untuk parasitemia
malaria.
3. Hitunglah spesifisitas tes darah mikroskopis untuk parasitemia
malaria.
4. Hitunglah nilai prediktif positif dan nilai prediktif negatif tes darah
mikroskopis untuk parasitemia malaria.
Penyelesaian:
Pada Tabel 45 dapat diketahui, jumlah positif benar adalah 220 orang,
jumlah negatif salah 243 orang, jumlah positif salah adalah 32 orang, dan
jumlah negatif benar adalah 129 orang. Dari kasus di atas dapat dibuat
tabulasi data sebagai berikut.

Tabel 45. Skrining/penapisan gejala malaria berdasarkan tes darah mikroskopis


pada Kecamatan A Provinsi X
Gejala Penyakit
Test darah mikroskopis
Malaria Sehat Total

Positif 220 32 252

Negatif 243 129 372

Total 463 161 624

Sensitivitas tes darah mikroskopis


220
Sensitivitas = x 100% = 47,5%
463

Bab 5 ~ Skrining/Penapisan dalam Epidemiologi 107


Spesifisitas tes darah mikroskopis
129
Spesifisitas = x 100% = 80,12%
161

Interpretasi: Uji sensitivitas yang menunjukkan hasil 47,5%


mengindikasikan bahwa tes darah mikroskopis dapat mengklarifikasikan
anak-anak benar-benar dengan gejala malaria sebesar 47,5%, sedangkan
hasil spesifisits menunjukkan hasil 80,12% berarti tes darah mikroskopis
dapat mengklarifikasikan anak-anak benar-benar sehat pada anak tanpa
gejala malaria sebesar 80,12%.

129
Nilai Prediktif Negatif = x 100% = 34,6%
129 + 243

220
Nilai Prediktif Positif = x 100% = 87,3%
220 + 32

Hasil nilai prediktif positif lebih tinggi dari nilai prediktif negatif. Hasil
ini menunjukkan hasil tes mikroskopis positif dapat memprediksi anak-
anak dengan gejala malaria cukup tinggi, sedangkan hasil tes mikroskopis
negatif dapat benar-benar memprediksi anak-anak bebas dari malaria cukup
rendah, dengan kata lain banyak kasus negatif berdasarkan hasil skrining/
penapisan, pada kenyataannya memiliki penyakit malaria.

G. Prinsip dalam Skrining/Penapisan


Untuk menghasilkan program skrining/penapisan yang bermanfaat
bagi masyarakat luas, harus ada kriteria tertentu dalam memilih penyakit
apa yang akan diskrining/penapisan. Berikut beberapa katrakteristik
penyakit yang harus dipertimbangkan dalam memutuskan kebijakan
skrining/penapisan.(1,11)
1. Jenis penyakit harus termasuk jenis penyakit yang parah, yang relatif
umum dan dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat oleh
masyarakat. Pada umumnya memiliki prevalensi yang tinggi pada
tahap pra-klinis.

108 EPIDEMIOLOGI
Hal ini berkaitan dengan biaya relatif dari program skrining/penapisan
dan dalam kaitannya dengan jumlah kasus yang terdeteksi serta
nilai prediksi positif. Pengeluaran yang harus dikeluarkan untuk
kegiatan skrining/penapisan harus selaras dengan mengurangi angka
morbiditas dan mortalitas. Namun kriteria ini menjadi tidak berlaku
pada kasus tertentu seperti keganasan/keparahan dari suatu penyakit.
Contohnya skrining/penapisan Fenilketouria atau Phenylketouria
(PKU) pada bayi baru lahir. Fenilketouria adalah gangguan desakan
autosomal genetik yang dikenali dengan kurangnya enzim fenilalanin
hidroksilase (PAH). Enzim ini sangat penting dalam mengubah asam
amino  fenilalanina menjadi asam amino tirosina. Jika penderita
mengonsumsi sumber protein yang mengandung asam amino ini,
produk akhirnya akan terakumulasi di otak, yang mengakibatkan
retardasi mental. Meskipun hanya satu dari 15.000 bayi yang terlahir
dengan kondisi ini, karena faktor kemudahan, murah dan akurat maka
skrining/penapisan ini sangat bermanfaat untuk dilakukan kepada
setiap bayi yang baru lahir.
2. Skrining/penapisan harus aman dan dapat diterima oleh masyarakat
luas. Dalam proses skrining/penapisan membutuhkan partisipasi dari
masyarakat yang dinilai cocok untuk menjalani pemeriksaan. Oleh
karena itu, skrining/penapisan harus aman dan tidak memengaruhi
kesehatannya.
3. Skrining/penapisan harus akurat dan reliable. Tingkat akurasi
menggambarkan sejauh mana hasil tes sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya dari kondisi kesehatan/penyakit yang diukur. Sedangkan
reliabilitas biasanya berhubungan salah satu dengan standardisasi
atau kalibrasi peralatan pengujian atau keterampilan dan keahlian dari
orang-orang menginterpretasikan hasil tes.
4. Harus mengerti riwayat alamiah penyakit dengan baik dan percaya
bahwa dengan melakukan skrining/penapisan maka akan meng­
hasilkan kondisi kesehatan yang jauh lebih baik. Misalnya pada
kanker prostat, secara biologis penderita kanker tidak bisa dibedakan,
namun kemungkinan banyak pria yang kanker bisa terdeteksi oleh
pemeriksaan ini (PSA Test). Meskipun demiikian, skrining/penapisan

Bab 5 ~ Skrining/Penapisan dalam Epidemiologi 109


kanker prostat juga berbahaya sehingga umumnya skrining/penapisan
ini tidak dianjurkan, meskipun dapat digunakan.
5. Skrining/penapisan akan sangat bermanfaat jika dilakukan pada saat
yang tepat. Periode antara kemungkinan diagnosis awal dapat dilakukan
dan periode kemunculan gejala merupakan waktu yang sangat tepat (lead
time). Namun jika penyakit berkembang dengan cepat dari tahap pra-
klinis ke tahap klinis maka intervensi awal kurang begitu bermanfaat,
dan akan jauh lebih sulit untuk mengobati penyakit tersebut.
6. Kebijakan, prosedur dan tingkatan uji harus ditentukan untuk
menentukan siapa yang harus dirujuk untuk pemeriksaan, diagnosis
dan tindakan lebih lanjut.
Sistem pelayanan kesehatan dapat mengatasi banyaknya diagnosis
dan pengobatan tambahan karena menemukan penyakit yang umum
yang positif palsu. Sebelum memulai program skrining/penapisan sangat
penting untuk menilai infrastruktur yang dibutuhkan untuk mendukung
pelaksanaannya. Fasilitas-fasilitas tersebut tentu dibutuhkan untuk
proses skrining/penapisan tapi, sama pentingnya juga untuk konfirmasi
lanjutan mengenai pengujian dan diagnosis, pengobatan dan tindak lanjut
bagi yang positif. Perkiraan (Nilai Prediktif) sangat dibutuhkan dalam
sebagai kemungkinan pengambilan skrining/penapisan, jumlah total
yang hasilnya positif (termasuk positif palsu), tersangka (berdasarkan
prevalens penyakit dan sensitivitas serta spesifisitas hasil pemeriksaan)
dan kemungkinan dampak yang dihasilkan berupa peningkatan
permintaan pelayanan medis.(1)

H. Ringkasan
Skrining/penapisan merupakan upaya untuk mendeteksi suatu
penyakit atau kondisi kesehatan secara dini pada populasi sehat. Skrining/
penapisan dilakukan untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan di
populasi. Skrining/penapisan dilakukan biasanya untuk riwayat alamiah
penyakit jelas dan umum ditemukan di populasi. Alat tes yang digunakan
untuk skrining/penapisan tes juga dapat diterima oleh orang banyak.
Tersedianya pelayanan kesehatan untuk populasi yang termasuk dalam
positif benar dan positif palsu.

110 EPIDEMIOLOGI
Kombinasi sensitivitas dan spesifisitas adalah penting dalam
melakukan kegiatan tes skrining/penapisan. Sensitivitas adalah bagaimana
akuratnya suatu tes yang mengklarifikasikan orang sakit adalah benar-
benar sakit pada kenyataannya sedangkan spesifisitas adalah bagaimana
akuratnya suatu tes yang mengklarifikasikan orang sehat adalah benar-
benar sehat pada kenyataannya. Sensitivitas rendah berarti bahwa tes
akan melewatkan banyak individu yang memiliki penyakit ini, sedangkan
spesifisitas yang rendah menunjukkan bahwa tes akan menempatkan
banyak orang dalam kelompok yang berpenyakit meskipun mereka tidak
memiliki penyakit. Dalam jargon epidemiologi dikatakan bahwa suatu
skrining/penapisan dengan sensitivitas yang rendah akan meningkatkan
beberapa jumlah ‘false negatif’ sedangkan jika suatu skrining/penapisan
memiliki spesifisitas yang rendah akan menghasilkan banyak ‘false positif’.
Alat ukur memiliki nilai prediktif positif tinggi bila di kemudian
hari terbukti banyak terjadi positif benar (true positive) dan sedikit positif
palsu (false positive). Alat ukur memiliki nilai prediktif negatif tinggi bila
di kemudian hari banyak terjadi negatif benar (NB) dan sedikit negatif
palsu (NP).

Latihan Skrining/Penapisan
1. Jelaskan yang Anda pahami dari skirining dalam epidemiologi!
2. Kenapa kita melakukan skrining/penapisan?
3. Berikan contoh pelaksanaan tes skrining/penapisan pada Badan
Kesehatan Dunia, tuliskan sumber website sumber contohnya (www.
who.int)!
4. Jelaskan perbedaan sensitivitas dan spesifisitas!
5. Jelaskan yang dimaksud dengan sensitivitas dan spesifisitas rendah!
6. Jelaskan perbedaan nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif!
7. Lakukan perhitungan untuk soal di bawah ini, hitunglah sensitivitas,
spesifisitas, nilai prediktif positif dan nilai prediktif negatif, dan
interpretasikan?

Bab 5 ~ Skrining/Penapisan dalam Epidemiologi 111


Tabel 46. Data hasil tes HIV pada pengguna narkoba suntik pada Provinsi X di
Negara Z

Tes pada Pengguna Tes HIV


Narkoba Suntik Positif Negatif Total

Positif 500 50 550


Negatif 30 420 450
Total 530 470 1000

8. Sebuah tes skrining/penapisan dengan mamografi untuk mendeteksi


kanker payudara di Provinsi X sedang dievaluasi keefektifan dan
sensitivitasnya. Mamografi tersebut dilakukan pada 880 WUS. Dan
didapatkan fakta bahwa 200 orang yang didiagnosis terkena penyakit
kanker payudara, hasil ujinya positif. Sedangkan 20 orang yang
terkena kanker payudara, menunjukkan hasil uji yang negatif. Dan
terdapat 30 orang yang tidak terkena penyakit kanker payudara, hasil
mamografinya positif. Berdasarkan Informasi tersebut, maka:
a. Identifikasikan jumlah WUS yang masuk dalam kategori: Positif
Benar/True Positive; Positif Palsu/False Positive; Negatif Palsu/False
Negative dan Negatif Benar/True Negative? Gambarkan tabelnya!
b. Hitunglah persentase sensitivitasnya!
c. Tentukan berapa spesivisitasnya!
d. Berapakah nilai prediktif  positifnya?
e. Berapakah nilai prediktif  negatifnya?
f. Berikan satu contoh perhitungan sensitivitas dan spesifisitas pada
data kesehatan!
9. Dilakukan Tes Criatinine Kinase untuk Membantu Diagnosis Infark
Otot Jantung pada Rumah Sakit X, hasil diperoleh sebagai berikut.

Infark Otot Jantung


Hasil CK tes
Ya Tidak Total

Positif (>=80IU) 230 16 246


Negatif (<80IU) 15 116 131
Total 245 122 377

112 EPIDEMIOLOGI
Hitunglah sensitivitas dan spesifisitas dari skrining/penapisan Infark
otot jantung?
Berapa jumlah positif benar dan negatif benar pada skrining/penapisan
ini?
10. Jelaskan prinsip yang harus dipertimbangkan sebelum melaksanakan
skrining/penapisan?
(Hasil Diskusi Latihan ini bisa diakses pada http://elearning.unsri.ac.id/, pilih sebagai guest (untuk yang bukan
mahasiswa FKM Unsri, pilih Fakultas Kesehatan Masyarakat, pilih mata kuliah Metode Epidemiologi, pasword: me,
materi Skrining, atau http://metopidfkmunsri.blogspot.com)

DAFTAR PUSTAKA
1. Webb P, Bain C, Pirozzo S. Essential Epidemiology, An Introduction for
Students and Health Professionals. New York: Cambridge University Press;
2005. p.290-312
2. Marchand R, Tousignant, Chang H. Cost-effectiveness of screening
compared to case-finding approaches to tuberculosis in long-term
care facilities for the elderly. International Journal of Epidemiology. 1999
28 Maret 2014;28:563-70.
3. Last JM. A Dictionary of Epidemiology. Edition F, editor. New York: Oxford
University Press; 2001. p.165-167
4. Bhopal RS, editor. Concepts of Epidemiology: An integrated introduction
to the ideas, theories, principles and methods of epidemiology; 2002. United
State: Oxford University Press; 2002.
5. Bonita R, Baeglehole R, Kjellstorm T. Basic of Epidemiology.
Switzerland: WHO Press; 2006 (cited. Available from: http://
whqlibdoc.who.int/publications/2006/9241547073_eng.pdf. p.110-
114
6. Unit Pengkajian Teknologi Kesehatan. Skrining Kanker Leher
Rahim dengan Metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA).
Jakarta: Departemen Kesehatan; 2008 (cited. Available from: http://
buk.depkes.go.id/index.php?option=com_docman&task=doc_
download&gid=279&Itemid=142.

Bab 5 ~ Skrining/Penapisan dalam Epidemiologi 113


7. WHO. The ASSIST project - Alcohol, Smoking and Substance
Involvement Screening Test. Journal (serial on the Internet). 2007
Date: Available from: http://www.who.int/substance_abuse/activities/
assist/en/.
8. Ryadi S, Wijayanti. Dasar-dasar Epidemiologi. Jakarta: Salemba Medika;
2011.p. 32-38
9. Validitas dan Realibilitas Pengukuran (database on the Internet).
Universitas Negeri Solo. 2011 (cited 1 April 2014). Available from:
http://fk.uns.ac.id/index.php/download/file/61.
10. Giesecke J. Modern Infection Disease Epidemiology. Second Edition
ed. USA: Oxford University Press Inc.; 2002.
11. Timmreck TC. Epidemiologi Suatu Pengantar. Jakarta: EGC; 2001.

114 EPIDEMIOLOGI
Bab 6

STUDI DESAIN DALAM


EPIDEMIOLOGI

Kompetensi Dasar yang ingin dicapai pada bab ini


adalah mahasiswa mampu memahami berbagai desain
studi dalam epidemiologi. Materi pembelajaran pada
bab ini meliputi desain studi epidemiologi observasi dan
eksperimental/uji klinis, desain studi potong lintang, kasus
kontrol, kohort dan studi desain eksperimental secara
individu dan kelompok (randomised controlled trial dan
cluster randomised controlled trial).
Indikator tercapainya kompetensi dasar adalah
mahasiswa mampu menjelaskan konsep studi desain
dalam epidemiologi, menjelaskan jenis studi desain dalam
epidemiologi dan menjelaskan perbedaan antar studi
desain dalam epidemiologi.

115
A. Pendahuluan

I
nvestigasi epidemiologi bertujuan untuk menjawab fenomena
kejadian kesehatan yang ada di populasi. Anda bisa mengaplikasikan
berbagai tipe studi desain dalam investigasi Anda, tergantung
situasi dan kondisi tertentu dan tingkat validitas yang Anda ingin capai.
Perhatikan contoh di bawah ini, pernahkah Anda bertanya akan suatu
kondisi berikut ini.
1. Anda ingin mengetahui trend penyakit di suatu daerah.
2. Anda ingin mengetahui hubungan antara variabel umur dan kejadian
kanker prostat.
3. Anda ingin menganalisis perbedaan karakteristik anak-anak yang
mengalami keracunan makanan dan tidak mengalami keracunan
makanan pada saat pesta ulang tahun si X.
4. Anda ingin mengetahui apakah rokok dapat menyebabkan berbagai
kanker di masa depan.
5. Kenapa angka prevalensi HIV lebih tinggi di Papua dibandingkan di
Sumatera.
6 ..............................................................................................................
7. ..............................................................................................................
(coba Anda tulis pertanyaan dalam pikiran Anda…)
Secara garis besar, desain penelitian dalam epidemiologi terbagi
menjadi dua kelompok besar yaitu penelitian eksperimental dan
penelitian observasi.Tujuan dari penelitian eksperimen/uji klinis adalah
untuk mengukur efek dari suatu intervensi terhadap hasil tertentu yang
diprediksi sebelumnya. Desain ini merupakan metode utama untuk
menginvestigasi terapi baru. Misal, efek dari
Petunjuk ! obat X dan obat Y terhadap kesembuhan
penyakit Z atau efektivitas suatu program
Desain studi penelitian kesehatan terhadap peningkatan kesehatan
Epidemiologi terbagi
menjadi dua yaitu Penelitian masyarakat.
Eksperimental dan penelitian Sedangkan penelitian observasional
Observasional.
tidak melakukan intervensi apa pun, tetapi,

116 EPIDEMIOLOGI
peneliti hanya mengobservasi kejadian atau fenomena yang terjadi di suatu
masyarakat untuk menjawab pertanyaan penelitian. Misalnya, peneliti ingin
mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu tentang gizi anak terhadap
status gizi anak. Peneliti tidak melakukan intervensi berupa penyuluhan
atau pelatihan seputar gizi anak kepada target penelitian terlebih dahulu.
Peneliti hanya menyelidiki apakah salah satu yang memengaruhi status
gizi anak itu adalah pengetahuan ibu yang telah mereka miliki sebelumnya
tentang gizi anak, mungkin dari media atau penyuluhan rutin oleh tenaga
kesehatan di lokasi setempat.
Contoh lainnya, peneliti ingin mengetahui faktor apakah yang berkaitan
dengan kejadian bunuh diri di daerah X. Peneliti bisa mengumpulkan data
dari keluarga yang salah satu anggota keluarganya melakukan bunuh diri
kemudian dibandingkan dengan data dari keluarga yang tidak ada anggota
keluarganya bunuh diri untuk menyelidiki penyebabnya. Penyelidikan
fenomena bunuh diri bisa dengan mengumpulkan informasi mengenai
sosioekonomi, status pernikahan, perilaku minum alkohol, kekerasan dalam
rumah tangga, atau pertanyaan lainnya pada dua kelompok tersebut, lalu
membandingkannya.

STUDI KASUS 1

Gambar 20. Metadon yang dberikan secara oral studi desain observasional

Bab 6 ~ Studi Desain dalam Epidemiologi 117


Untuk lebih memahami perbedaan studi klinis dan observasi, coba
diskusikan contoh kasus ini, seorang peneliti ingin mengetahui apakah
layanan pemberian metadon dalam Program Terapi Rumatan Metadon
(PTRM) kepada pengguna narkoba suntik dapat mengurangi penularan
penyakit menular seksual berbasis darah termasuk HIV/AIDS dan
kematian karena overdosis narkoba di Kota Palembang Indonesia, desain
studi apakah yang cocok untuk mengetahui efektivitas PTRM terhadap
penurunan HIV/AIDS dan kejadian overdosis? Mari kita diskusikan pada
pembahasan selanjutnya.

B. Studi Observasional
Secara umum, studi observasi terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu
studi deskriptif dan studi analitik. Studi deskriptif umumnya paling sering
digunakan untuk menggambarkan pola penyakit dan untuk mengukur
kejadian dari faktor risiko untuk penyakit (pajanan) pada satu populasi.
Sedangkan jika kita ingin mengetahui asosiasi antara kejadian penyakit dan
faktor risikonya, maka studi analitik dilakukan. Ada beberapa tipe studi
observasional secara umum, antara lain:(1, 2)

Tabel 47. Tipe studi desain observasional


Tipe Studi Observasional Alternatif Nama Lain Unit Studi

Studi Deskriptif

Case series Kasus Berurutan Individu

Studi Migrant Studi Migran Populasi

Studi Prevalensi Survei Populasi

Studi Analitik

Studi Ekologi Korelasi Populasi

Potong Lintang Prevalensi Individu

Kasus Kontrol Kasus-Referensi Individu

Kohort Follow-up Individu


Sumber: Bonita, 2006 dan Webb et al 2005(1, 2)

118 EPIDEMIOLOGI
Studi deskriptif merupakan langkah awal dalam melakukan investigasi
epidemiologi. Studi ini menjawab pertanyaan berkaitan dengan aspek
epidemiologi yang meliputi ‘orang, tempat dan waktu’ dan aspek ini
dipergunakan untuk menjawab pertanyaan ‘siapa?, apa?, di mana? dan
ketika?’. Termasuk sebagai studi deskriptif adalah survei prevalensi, studi
migrant dan kasus berurutan (case series).(1, 2) Survei prevalensi dilakukan
untuk menggambarkan kondisi kesehatan suatu populasi atau faktor risiko
kesehatan, misalnya Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia,
dilakukan secara rutin setiap dua-tiga tahun sekali, untuk melihat kondisi
kesehatan masyarakat di Indonesia dan berguna untuk melakukan
perencanaan kesehatan.
Studi migrant dilakukan jika kita ingin melihat perbedaan kondisi
kesehatan atau penyakit pada masyarakat berbeda etnik, suku dan negara.
Studi ini juga melihat perubahan pola penyakit pada etnik yang berbeda
jika mereka bermigrasi ke negara lainnya. Misal, etnik Jawa yang tinggal
di Indonesia akan memiliki pola penyakit berbeda dengan etnik Jawa yang
telah lama tinggal di Australia. Ataupun perbedaan pola penyakit etnik
Jepang yang tinggal di Jepang dan etnik Jepang yang telah lama bermigrasi
ke Amerika. Sedangkan, case series (studi kasus berturut-turut) dilakukan
jika kita ingin melihat karakteristik suatu penyakit yang terjadi di suatu
populasi. Misal, kejadian Flu Burung pada manusia di Indonesia. Kita bisa
mempelajari karakteristik pasien Flu Burung di Rumah Sakit X di Indonesia
dengan memerhatikan perbedaan karakteristik pasien, gejala umum dan
spesifik Flu Burung pada beberapa pasien yang positif ataupun terduga
(suspect) menderita Flu Burung.
Ketika kita akan menggali pertanyaan ‘kenapa’, kita perlu melakukan
studi analitik untuk menjawab pertanyaan tersebut. Studi Analitik
merupakan studi yang menganalisis hubungan antara status kesehatan dan
variabel lainnya.(1, 2) Sebagai contoh, penelitian Najmah dkk.,(3) melakukan
investigasi faktor-faktor yang memengaruhi perilaku penggunaan
alat dan jarum suntik tidak steril pada pengguna napza suntik. Selain
melakukan studi deskriptif sebagai langkah epidemiologi awal, peneliti
menggambarkan karakterikstik penasun di Kota Palembang, peneliti
melakukan studi analitik juga untuk mengetahui, hubungan antara faktor
karakteristik penasun dan variabel lainnya (lama menggunakan napza

Bab 6 ~ Studi Desain dalam Epidemiologi 119


suntik, pengetahuan tentang pengurangan dampak buruk (harm reduction)
dan HIV, sikap terhadap harm reduction dan sebagainya) terhadap perilaku
penggunaan jarum dan alat suntik steril. Peneliti melakukan studi analitik
dengan menganalisis hubungan antara karakteristik penasun, dan variabel
lainnya terhadap perilaku penasun tersebut.
Studi lainnya, misalnya kejadian patah tulang pinggul pada wanita
lansia di Indonesia, ketika kita melakukan studi deskriptif apa yang bisa
kita investigasi? Kita bisa investigasi beberapa pertanyaan seperti:
1. Gambaran dimensi-dimensi tulang pinggul lansia berdasarkan hasil
X-Ray, seperti kepadatan tulang, diameter endokortikal, lebar leher
femur, dan dimensi lainnya.
2. Prevalensi patah tulang pinggul pada wanita lansia pada desa dan kota
di 10 provinsi terbesar di Indonesia.
3. Trend kejadian patah tulang pinggul pada wanita lansia dari tahun
2005-2014 di Indonesia.
4. Proporsi konsumsi vitamin D, kalsium dan penggunaan hormon steroid
pada wanita lansia.
5. Gambaran kebiasaan aktivitas fisik wanita lansia di Indonesia.

Sumber: Najmah dkk, 2011(4)

Gambar 21. Gambaran anatomi tulang pinggul femur pada pinggul

120 EPIDEMIOLOGI
Bagaimana studi analitik? Kita bisa menghubungkan beberapa variabel,
misalnya:
1. Identifikasi perbedaan umur dan kepadatan tulang pada wanita lansia.
2. Analisis hubungan konsumsi kalsium dan vitamin D terhadap kejadian
patah tulang pinggul.
3. Identifikasi hubungan antara aktivitas fisik dan pencegahan patah
tulang pinggul pada wanita lansia dan sebagainya.

Langkah-langkah dalam menentukan tipe desain studi observasional


dalam epidemiologi,(1, 2) pelajari kembali STUDI KASUS 1
Tahap pertama: tentukan variabel dependen dan variabel independennya.
Dalam studi ini, dapat kita pelajari bahwa variabel independennya adalah
program terapi rumatan metadon sedangkan variabel dependennya adalah
angka kesakitan atau kematian akibat HIV/AIDS dan penyakit yang
ditularkan melalui darah lainnya dan overdosis narkoba.

Independen • Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM)

• Kesakitan/Kematian Akibat HIV dan penyakit


Dependen yang ditularkan melalui darah & Overdosis

Gambar 22. Memerhatikan variabel dependen dan variabel independen

Tahap kedua: tentukan studi desain yang tepat untuk mengetahui


efektivitas PTRM. Secara garis besar, studi desain observasional ada tiga
jenis: Potong Lintang (Cross sectional), Kohort (Cohort), dan Kasus Kontrol
(Case-control). Perbedaan secara umum terletak pada faktor paparan
(exposure factors) dan kejadian penyakit (disease). Studi desain potong
lintang, faktor paparan dan kejadian penyakit terjadi pada masa sekarang
secara bersamaan (in the present); studi desain kasus-kontrol, faktor paparan
terjadi dimasa lalu dan kejadian penyakit terjadi pada masa sekarang;
sedangkan desain kohort, faktor paparan terjadi di masa sekarang, lalu
diselidiki hingga kejadian penyakit apakah akan terjadi di masa depan.

Bab 6 ~ Studi Desain dalam Epidemiologi 121


COHORT
CROSS SECTIONAL
KOHORT
POTONG LINTANG/SURVEI
paparan pada masa sekarang,
paparan dan outcome pada
Outcome pada masa depan
masa sekarang

CASE CONTROL

KASUS-KONTROL
paparan pada masa lalu,
Outcome pada masa sekarang

Sumber: Bonita, 2006 dan Webb et al 2005(1, 2)

Gambar 23. Jenis penelitian observasional secara garis besar: potong lintang (cross
sectional), kohort (cohort), dan kasus kontrol (case-control)

Studi lainnya, studi ekologi jarang digunakan untuk membuktikan uji


hipotesa sebab akibat tetapi sering menjadi dasar untuk mengembangkan
hipotesa. Studi ini mudah dilakukan jika data rutin siap tersedia, tapi hasil
studi ekologi sulit untuk di interpretasikan. Perbedaan angka kesakitan
atau kematian pada beberapa populasi yang dibandingkan sangat besar
dipengaruhi oleh faktor paparan lainnya, dengan kata lain faktor perancu
dalam studi ekologi sangatlah tinggi.(2)

1. Desain Potong Lintang (Cross Sectional)


Bila kita memiliki keterbatasan dana, waktu dan tenaga, alternatif
desain yang sederhana adalah desain potong lintang. Desain potong lintang
dikenal juga dengan istilah survei. Kunci utama dalam desain potong
lintang adalah sampel dalam suatu survei direkrut tidak berdasarkan status
paparan atau suatu penyakit/kondisi kesehatan lainnya, tetapi individu yang
dipilih menjadi subjek dalam penelitian adalah mereka yang diasumsikan
sesuai dengan studi yang akan kita teliti dan mewakili populasi yang akan
diteliti secara potong lintang sehingga hasil studi bisa digeneralisasikan ke
populasi. Oleh karena itu, faktor paparan dan kejadian penyakit/kondisi
kesehatan diteliti dalam satu waktu.(2)

122 EPIDEMIOLOGI
Dalam studi kasus 1, kita mengamati pengguna narkoba suntik tanpa
membedakan mereka akses atau tidak akses PTRM atau status mereka dari
HIV/AIDS atau overdosis narkoba. Sampel kita semua pengguna narkoba
lalu kita telusuri apakah mereka akses PTRM dan pernah overdosis atau
sebaliknya. Perhitungan yang bisa dihitung angka prevalensi dan rasio
prevalensi. Kita mengumpulkan data dalam satu waktu dengan target
sampel adalah pengguna narkoba suntik di suatu daerah atau provinsi
(lihat Gambar 24).

PTRM + sakitan/mati akibat HIV dan penyakit yang


ditularkan melalui darah & overdosis
PTRM + negatif dari HIV dan penyakit yang
Penasun ditularkan melalui darah & overdosis
(Pengguna
Narkoba Suntik) Tidak akses PTRM + sakit/mati akibat dari HIV dan
penyakit yang ditularkan melalui darah & overdosis

Tidak akses PTRM + negatif dari HIV dan penyakit


yang ditularkan melalui darah & overdosis

Gambar 24. Aplikasi studi desain potong lintang (cross sectional) terhadap studi
kasus PTRM dan kematian akibat overdosis atau HIV/AIDS dan BBV

Banyak sekali survei, studi deskriptif yang dilakukan di Indonesia.


Contoh penelitian yang menggunakan desain ini adalah Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan Kementrian Kesehatan Indonesia,
surveilans terpadu biologis dan perilaku (STBP) pada kelompok risiko
tinggi HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya, Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia (SDKI). Jika kita ingin menganalisis lebih lanjut
dengan menghubungkan beberapa variabel yang ada pada survei di atas,
misalnya hubungan antara pengetahuan ibu tentang HIV/AIDS terhadap
sikap ibu kepada ODHA, data pada Riskesdas maka kita lakukan studi
potong lintang dan bisa menghitung rasio prevalensi atau asosiasi yang
kita inginkan.

Bab 6 ~ Studi Desain dalam Epidemiologi 123


Populasi terdefinisi
(Defined population)

Mengumpulkan data paparan dan penyakit


secara bersamaan

(+) paparan (+) paparan (-) paparan (-) paparan


(+) penyakit (-) penyakit (+) penyakit (-) penyakit

Gambar 25. Alur studi desain potong lintang(2)


* (+)ada ;(-) tidak ada

Kelemahan studi desain potong lintang, antara lain:


a. Keterbatasan dimensi dari interpretasi sebab akibat, yang kita kenal
dengan istilah fenomena ayam dan telur (chicken and egg), kita kurang
mengetahui apakah sebab atau akibat duluan dari suatu kondisi
kesehatan atau penyakit.
b. Desain ini tidak efisien untuk faktor paparan atau penyakit (outcome)
yang jarang terjadi. Untuk pengolahan data analitik, kita membutuhkan
faktor paparan dan penyakit dengan jumlah yang cukup sehingga
peneliti bisa melakukan analisis asosiasi lebih lanjut.
c. Kasus prevalensi kemungkinan tidak mewakili semua populasi jika
angka rata-rata respons (response rate) yang bersedia mengikuti survei
tidak mencapai target yang ditentukan.
Adapun kelebihan dari desain potong lintang adalah:
a. Mengukur angka prevalensi, bukan angka insiden.
b. Sampel dalam studi dapat mewakili populasi dengan teknik sampling.
c. Metode dan desain serta definisi penelitian bisa distandar­disasi,
reliable dan single blind sehingga survei berulang dapat dilakukan untuk
mengetahui trend penyakit atau kondisi kesehatan dan kebutuhan
pelayanan kesehatan suatu negara dalam kurun waktu tertentu.

124 EPIDEMIOLOGI
d. Sumber daya dan dana yang efisien karena pengukuran dilakukan
dalam satu waktu.
e. Kerja sama penelitian (response rate) dengan desain ini umumnya tinggi.

2. Desain Kasus Kontrol


Ketika kita bisa membedakan status responden sebagai kelompok
yang menderita suatu penyakit atau suatu kondisi kesehatan dan status
responden yang sehat atau memiliki penyakit lainnya, maka kita bisa
melakukan penelitian dengan kasus kontrol atau case control. Ada dua
kelompok partisipan yang akan direkrut dalam penelitian dengan studi
ini, kelompok kasus dan kelompok kontrol. Partisipan di kelompok kasus
pada sumber populasi didefinisikan sebagai semua orang yang akan
datang ke pusat layanan kesehatan, baik Klinik, Puskesmas maupun
Rumah Sakit dan datanya akan disimpan dalam rekam medis jika mereka
menderita penyakit yang akan diteliti. Permasalahan yang sering muncul,
pusat layanan kesehatan umumnya melayani masyarakat yang berbeda
penyakitnya sehingga pola rujukan dan reputasi pusat layanan kesehatan
sangat menentukan perekrutan kelompok kasus yang optimal.(5)
Sedangkan, partisipan pada kelompok kontrol, dapat dipilih dengan
beberapa cara, antara lain:(5)
a. Kontrol dari Populasi (Population controls): kelompok kontrol diambil
langsung dari populasi, umumnya dilakukan jika ada data registrasi
populasi, atau kelompok tertentu. Hal ini biasanya dilakukan di negara
maju yang memiliki data registrasi yang komprehensif sehingga bisa
dilakukan melalui telepon, dan melalui surat/pos.
b. Kontrol dari tetangga (Neighbourhood controls): kelompok kontrol
diambil dari sekitar kelompok kasus yang ada, misal lebih kurang 10
meter tinggal di sekitar kasus. Misal, satu kasus yang melakukan bunuh
diri, kelompok kontrol dipilih dari tetangga yang tidak melakukan
bunuh diri.
c. Kontrol dari Klinik atau Rumah Sakit (Hospital or clinic based controls):
kelompok kontrol dipilih pada pusat layanan kesehatan yang sama
dengan kelompok kasus direkrut, tetapi memiliki penyakit yang

Bab 6 ~ Studi Desain dalam Epidemiologi 125


berbeda dan penyakitnya tidak berhubungan dengan faktor paparan
pada kelompok kasus, misal kelompok kasus adalah pasien kanker
paru, kelompok kontrol bisa dipilih dari pasien yang menderita
gangguan pencernaan, sangat dihindari memilih kelompok kontrol
yang juga merokok karena berhubungan dengan kanker paru.
d. Kontrol dari orang yang telah meninggal (Dead people): kelompok
kontrol direkrut dari responden yang telah meninggal karena penyakit
lain dari kelompok kasus, umumnya kita menggunakan proxy atau
perwakilan kelompok kontrol yang bisa kita wawancarai sama seperti
menginvestigasi informasi dari keluarga kelompok kasus yang telah
meninggal.
Mari kita aplikasikan studi kasus 1 dengan studi desain kasus kontrol,
penulis telah membuat alur penelitian dengan desain kasus kontrol di
bawah ini, coba jelaskan bagaimana penelitian ini bisa dilakukan dengan
desain ini. Silahkan coba Anda jelaskan alur di atas, Apa yang kita mulai,
dari mana kita memulai dan apa yang kita telusuri ke belakang? Tuliskan
jawabanmu di sini.
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................

126 EPIDEMIOLOGI
waktu

Arah Pertanyaan (tentang paparan masa lalu)

PTRM
Sakit/mati akibat HIV
dan penyakit yang
ditularkan melalui
darah & overdosis
(Kelompok Kasus)
Tidak Akses PTRM
Penasun
PTRM
Negatif dari HIV
dan penyakit yang
ditularkan melalui
darah & overdosis
(Kelompok Kontrol)
Tidak Akses PTRM

Gambar 26. Aplikasi studi desain kasus-kontrol (case control) terhadap studi kasus
PTRM dan kematian akibat overdosis atau HIV/AIDS dan BBV

Untuk memahami desain ini, kita lanjutkan pada studi kasus 2.

“Peneliti ingin mengetahui apakah status gizi ibu memengaruhi


kejadian BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) di Sumatera Selatan.
Karena kejadian BBLR tidak terlalu sering terjadi, maka peneliti
memutuskan untuk melakukan penelitian dengan desain kasus
kontrol”. Apa yang harus kita pahami dalam studi kasus 2 ini?

Pertama, peneliti menentukan kriteria kelompok kontrol dan kasus.


Untuk kelompok kontrol, peneliti memberi kriteria yaitu ibu yang
melahirkan anak yang tidak BBLR (>=2.500 gram), sedangkan untuk
kelompok kasus, kriteria inklusinya adalah ibu yang melahirkan anak
yang BBLR. Peneliti ingin mengetahui hubungan status gizi ibu dengan
risiko terjadinya BBLR. Lalu peneliti menanyakan pertanyaan berkaitan
dengan status gizi (dengan kategori status gizi ibu baik dan status ibu
gizi kurang) dan risiko BBLR kepada ibu-ibu yang baru saja melahirkan
anaknya di beberapa rumah sakit dan klinik bersalin di Sumatera Selatan.
Coba perhatikan alur desain penelitian kasus kontrol di bawah ini, dan
coba buat alur yang sama untuk studi kasus BBLR.

Bab 6 ~ Studi Desain dalam Epidemiologi 127


Sumber: Webb et al, 2005(2)

Gambar 27. Alur studi desain kasus kontrol (case control)

Silahkan gambar alur penelitian studi kasus 2 Status gizi ibu dan
kejadian BBLR dengan studi desain kasus kontrol pada gambar di bawah ini.

Berdasarkan dua studi kasus sebelumnya, mari kita simpulkan


kelemahan dan kelebihan penelitian dengan menggunakan studi desain
kasus kontrol. Kelemahan penelitian dengan studi desain kasus kontrol
adalah:(5, 8)
a. Hanya bisa menginvestigasi satu penyakit outcome atau satu kondisi
kesehatan/penyakit, karena kita mulai dari satu kondisi kesehatan
dan kita kilas balik ke belakang banyak paparan yang mungkin telah
terjadi.
b. Tidak bisa menghitung angka insiden atau ukuran asosiasi absolut
lainnya. Kasus dipilih dari populasi sumber yang memiliki outcome,
sedangkan kelompok kontrol merupakan estimasi distribusi faktor
paparan dari populasi sumber, sehingga hasil perhitungan yang kita

128 EPIDEMIOLOGI
dapatkan adalah Odds Rasio (OR). Walaupun asosiasi bisa ditegakkan
dengan perhitungan odds rasio, tetapi tidak bisa menghitung risiko
absolut (abosulute risk) karena angka insiden tidak diketahui.
c. Bias seleksi. Tidak mudah untuk memilih responden pada kelompok
kontrol, karena responden sebisa mungkin tidak terpapar dari faktor
risiko yang merupakan penyebab dari penyakit pada kelompok kasus,
karena kemungkinan kelompok kontrol bisa menderita sakit yang sama
seperti kelompok kasus, tetapi masih tahap tanpa gejala (asymptomatic
group) dengan faktor risiko tersebut. Sehingga kemungkinan terjadinya
bias seleksi sangat besar. Misal, untuk mengetahui hubungan antara
kasus kanker paru-paru dan merokok. Untuk pemilihan kasus kontrol,
peneliti harus semaksimal mungkin untuk memilih kelompok ini
pada pasien penyakit selain kasus kanker, yang tidak terpapar dengan
rokok, misal penyakit maag, pasien katarak yang bukan perokok dan
sebagainya.
d. Bias informasi dan bias recall. Seperti kita pahami, bahwa informasi
yang kita akan dapatkan tergantung daya ingat responden. Rekam
medis dapat meminimalisir bias informasi, tetapi tidak semua faktor
risiko/paparan terdokumentasi pada rekam medis. Oleh karena itu,
kemungkinan bias pada informasi tetap ada, terutama untuk kelompok
kontrol. Kelompok kasus akan cenderung lebih mengingat faktor risiko
yang dia alami daripada kelompok kontrol. Seperti contoh di atas, ibu
dengan anak BBLR, umumnya daya ingat akan faktor paparan yang
dia alami, memorinya akan lebih tinggi daripada ibu yang melahirkan
bayi normal, misalnya status merokok, status gizi, periksa kehamilan
dan sebagainya.
Untuk kelebihannya, tentu saja desain ini sangat tepat sekali pada
kasus yang jarang terjadi di masyarakat, seperti kasus kanker, HIV/AIDS,
sehingga kita bisa mengetahui faktor risiko suatu kondisi kesehatan dengan
metode retrospektif dengan cepat, responden ditanya tentang faktor
paparan yang telah terjadi pada periode tertentu di masa lampau hingga
terjadinya penyakit. Kemudian, desain ini bisa dilakukan pada jumlah
sampel terbatas dan bisa mengeksplorasi banyak faktor paparan di masa
lampau pada satu outcome. Kelebihan lainnya, odds rasio nilainya mendekati

Bab 6 ~ Studi Desain dalam Epidemiologi 129


risiko rasio (risk ratio), terutama pada kasus yang jarang terjadi. Nilai odds
rasio merupakan rata-rata, karena kelompok kasus dan kontrol seharusnya
mewakili populasi dengan memerhatikan paparan.(5, 8)

3. Desain Kohort
Ketika peneliti mempunyai waktu, tenaga dan pendanaan yang cukup
dan telah banyak penelitian sebelumnya melakukan penelitian dengan
desain potong lintang dan kasus-kontrol, maka pilihan selanjutnya adalah
desain kohort. Kelebihan studi kohort adalah kita bisa menilai kausalitas
karena faktor paparan terjadi sebelum responden sakit, sehingga adanya
tingkat alur jelas antara faktor paparan kemudian baru terjadi sakit.
Oleh karena itu, tingkat bias bisa diminimalisir terutama bias informasi,
karena responden diikuti oleh peneliti ke depan (prospektif). Kemudian
faktor perancu bisa dikontrol dan memungkinkan beberapa outcome hasil
penelitian dapat dihasilkan dalam penelitian ini. Studi ini juga sangat
baik untuk faktor paparan yang jarang terjadi dan memungkinkan peneliti
menghitung angka insiden (incidence rates).(1, 2, 8)
Kelemahan studi dengan desain kohort adalah memerlukan waktu yang
panjang terutama untuk mengetahui efek dari beberapa faktor paparan
karena desain ini umumnya untuk menginvestigasi penyakit kronik.
Desain ini juga membutuhkan jumlah sampel penelitian dalam cukup besar
yang bisa bermanfaat jika adanya banyak sampel yang hilang sepanjang
penelitian berlangsung dalam periode tertentu (loss of follow up). Biaya
yang dibutuhkan juga tidak murah pada desain ini. Kelemahan lainnya,
jika penyakit yang diteliti jarang terjadi baik di grup yang terpapar dan
grup tidak terpapar, sangat sulit sekali mencari responden dalam jumlah
yang sangat banyak.(1, 2, 8)
Contoh yang fenomenal adalah Framingham Cohort, yang dilakukan pada
lebih dari 5.209 responden yang berumur 30-62 tahun di Framingham,
Ma, Boston hingga tiga generasi yang dimulai pada tahun 1948 dan diikuti
hingga lebih dari 50 tahun ke depan (untuk melihat hasil penelitian
dapat diakses di http://www.bmc.org/strokecerebrovascular/research/
framinghamstudy.htm).

130 EPIDEMIOLOGI
Sudah lebih dari 1.000 publikasi untuk penelitian ini. Contoh
beberapa topik yang sudah dieksplorasi selama lebih kurang 50 tahun
itu antara lain:
a. Faktor risiko vaskular baik yang konvensional maupun baru.
b. Tindakan longitudinal penyakit subklinis yang dikumpulkan melalui
ultrasound seri karotis, echocardiography, tonometry arteri dan CT dan MR
pencitraan struktur jantung, arteri pusat dan aterosklerosis koroner.
c. Data mengenai perubahan struktural dan fungsional subklinis yang
menyertai penuaan otak dikumpulkan melalui MRI otak volumetrik
dan pengujian kognitif rinci.
d. Data insiden titik akhir klinis stroke, gangguan kognitif ringan tanpa
demensia dan demensia klinis (pembuluh darah dan tipe alzheimer).
Data ini dikumpulkan melalui pemeriksaan dan tindak lanjut oleh ahli
saraf studi dan neuropsychologists. Informasi tentang fase klinis setelah
onset penyakit juga tersedia.
e. Informasi mengenai diet, aktivitas fisik, depresi dan jaringan sosial.
f. Data alternatif penyebab morbiditas dan mortalitas termasuk kanker,
jantung dan penyakit pembuluh darah perifer, tulang, paru-paru dan
penyakit ginjal.
g. Database genetik padat termasuk genom informasi polimorfisme lebar
pada 550.000 SNP dan pemetaan lebih dari 50 gen kandidat potensial
relevansi kardiovaskular pada lebih dari 9.000 orang di 3 generasi.
Untuk studi kasus 1, PTRM dan kejadian kematian akibat overdosis
atau kesakitan akibat HIV/AIDS, penulis telah membuat alur penelitian
dengan desain kohort di bawah ini, coba jelaskan bagaimana penelitian ini
bisa dilakukan dengan desain ini!

Bab 6 ~ Studi Desain dalam Epidemiologi 131


Sakit/mati akibat HIV dan penyakit yang
ditularkan melalui darah & Overdosis
Akses PTRM
Negatif dari HIV dan penyakit yang
ditularkan melalui darah & Overdosis
Penasun
Sakit/mati akibat HIV dan penyakit yang
ditularkan melalui darah & Overdosis
Tidak
Akses PTRM
Negatif dari HIV dan penyakit yang
ditularkan melalui darah & Overdosis
Waktu

Arah Pertanyaan

Gambar 28. Aplikasi studi desain kohort (cohort) terhadap studi kasus PTRM dan
kematian akibat overdosis atau HIV/AIDS dan BBV

Sakit
Terpapar
Sehat
Populasi
Terdefinisi
Sakit
Tidak
Terpapar
Sehat
Waktu

Arah Pertanyaan

Sumber: Webb et al, 2005(2)

Gambar 29. Alur studi desain kohort

C. Studi Desain Eksperimental/Uji Klinis


Pada desain kohort, kita hanya mengobservasi sehingga kita tidak
dapat memberikan intervensi atau faktor paparan secara random pada
kelompok paparan dan tidak paparan. Pada pembahasan ini, kita akan

132 EPIDEMIOLOGI
membahas penelitian eksperimental atau intervensi (intervention trial).
Tujuan dari penelitian eksperimental adalah untuk mengukur efek dari
suatu intervensi terhadap hasil tertentu yang diprediksi sebelumnya.
Desain ini merupakan metode utama untuk menginvestigasi terapi baru.
Misal, efek dari obat X dan obat Y terhadap kesembuhan penyakit Z atau
efektivitas suatu program kesehatan terhadap peningkatan kesehatan
masyarakat. Beberapa contoh penelitian dengan desain eksperimental,
seperti; 1) mengukur efektivitas penggunaan antibiotik terhadap
perawatan wanita dengan gejala infeksi saluran urin dengan hasil tes urin
negatif /negative urine dipstict testing,(6) efektivitas program MEND (Mind,
Exercise, Nutrition, Do it) terhadap tingkat obesitas pada anak-anak (www.
mendcentral.org)(7) dan efektivitas kawasan tanpa rokok (non-smoking
area) pada tingkat rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir pada tahun 2014,
Sumatera Selatan (Najmah dkk, 2014).(1)
Kelebihan penelitian eksperimental adalah memungkinkan untuk
dilakukan randomisasi dan melakukan penilaian penelitian dengan double-
blind. Teknik randomisasi hanya dapat dilakukan pada penelitian intervensi
dibandingkan penelitian observasional. Dengan teknik randomisasi,
peneliti bisa mengalokasikan sampel penelitian ke dalam dua atau lebih
kelompok berdasarkan kritieria yang telah ditentukan peneliti lalu diikuti
ke depan. Teknik randomisasi bertujuan untuk menciptakan karakteristik
antar kelompok hampir sama dalam penelitian. Kemudian, desain ini juga
memungkinkan peneliti melakukan double-blind dan juga triple blind, di
mana peneliti maupun responden ataupun statistisian tidak mengetahui
status responden apakah termasuk dalam kelompok intervensi atau non-
intervensi. Kekuatan desain ini bisa meminimalisir faktor perancu yang
dapat menyebabkan bias dalam hasil penelitian.(1, 2, 8)
Kelemahan penelitian eksperimental berkaitan dengan masalah
etika, waktu dan masalah pengorganisasian penelitian. (8) Intervensi
biasanya berkaitan dengan manusia, dan membutuhkan kerja sama dari
responden pada kelompok intervensi/non intervensi, tenaga kesehatan,
peneliti, laboran dan sebagainya terkait dengan penelitian, sehingga
butuh manajemen yang tidak mudah karena melibatkan banyak pihak.
Untuk mengurangi isu etika, ketika kita melakukan intervensi baru pada

Bab 6 ~ Studi Desain dalam Epidemiologi 133


satu kelompok, kelompok lainnya sebaiknya diberikan intervensi standar
sehingga masalah etika bisa diminimalisir (bukan plasebo) atau tanpa
intervensi pada kelompok kontrol.

Random
Sakit
Terpapar/
Intervensi
Sehat
Populasi
Terdefinisi
Tidak Sakit
Terpapar/
Non
Intervensi Sehat
Waktu

Arah Pertanyaan

Gambar 30. Alur desain penelitian Randomised Controlled Trial (RCT)(1,2)

Random/Alokasi Acak
Kelompok Sakit
Terpapar
(Kluster A) Sehat
Populasi
Terdefinisi
Kelompok Sakit
tidak
Terpapar
(Kluster B) Sehat
Waktu

Arah Pertanyaan

Gambar 31. Alur desain penelitian Cluster Controlled Trial (CRCT)(1,2)

134 EPIDEMIOLOGI
Bonita (2006), mengelompokkan studi klinis menjadi beberapa tipe,(1)
antara lain:

Tabel 48. Beberapa tipe studi eksperimental


Tipe Studi Eksperimental Alternatif Nama Lain Unit Studi

Studi Eksperimen/Uji Klinis

Uji Randomised Controlled Uji Klinis Individu


(Randomised Controlled Trial)

Uji Klaster (Cluster Randomised Prevalensi Kelompok


Controlled Trial)

Uji Lapangan (Field Trip) Kasus-Referensi

Uji Komunitas (Community Studi Intervensi Komunitas Orang Sehat


Trials) Komunitas
Sumber: Bonita, 2006

Tabel 49. Perbedaan umum cluster RCT dan indivudually RCT


Cluster Individually
Karakteristik
Randomised Trial Randomised trial

Apa/Siapa yang Kelompok atau kluster Individu/personal


dirandomisasi

Kejadian Intervensi Sering dilaksanakan pada Diimplementasikan pada


(Nature of Intervention) level kelompok/klaster tingkatan individu
(contoh puskesmas, desa,
rumah sakit)

Ukuran sampel Harus memperhitungkan Mengasumsikan setiap


nilai korelasi dalam klaster- orang itu mandiri/
klaster independen

Analisis Harus memperhitungkan Mengasumsikan setiap


klaster/kelompok orang
Sumber: Dallas, 2008

Secara garis besar, desain eksperimental dalam epidemiologi, dibagi


menjadi dua kelompok besar; 1) penelitian eksperimen/randomised controlled
trial (RCT) dan 2) penelitian eksperimen klaster/cluster randomised controlled
trial (Cluster RCT). Eksperimen dengan desain RCT umumnya dilakukan
untuk intervensi secara individu seperti percobaan obat baru, efektivitas

Bab 6 ~ Studi Desain dalam Epidemiologi 135


vaksin sedangkan kluster RCT dilakukan untuk intervensi secara kelompok
(cluster) seperti untuk melihat efektivitas promosi dan pelayanan kesehatan,
efektivitas intervensi terpadu pada rumah tangga tanpa asap rokok.
Dalam perhitungan analisis statistik dan perhitungan sampel, korelasi
dan jumlah kluster lebih harus diperhitungkan dibandingkan desain RCT
yang berasumsi setiap individu itu mandiri. Berikut perbedaan RCT dan
cluster RCT secara umum;(9) lihat Tabel 48.

Sakit/mati akibat HIV dan penyakit yang


ditularkan melalui darah & Overdosis
Akses PTRM
Negatif dari HIV dan penyakit yang
ditularkan melalui darah & Overdosis
Penasun
Sakit/mati akibat HIV dan penyakit yang
ditularkan melalui darah & Overdosis
Tidak
Akses PTRM
Negatif dari HIV dan penyakit yang
ditularkan melalui darah & Overdosis
Waktu

Arah Pertanyaan

Gambar 32. Aplikasi studi eksperimen terhadap studi kasus PTRM dan kematian
akibat overdosis atau HIV/AIDS dan BBV

D. Ringkasan
Tidak ada studi desain yang sempurna, semua desain saling melengkapi
satu sama lain secara umum, studi observasi terbagi menjadi dua bagian
besar, yaitu studi deskriptif dan studi analitik. Studi deskriptif umumnya
paling sering digunakan untuk menggambarkan pola penyakit dan untuk
mengukur kejadian dari faktor risiko untuk penyakit (pajanan) pada satu
populasi. Sedangkan jika kita ingin mengetahui asosiasi antara kejadian
penyakit dan faktor risikonya, maka studi analitik dilakukan.
Pada studi analitik, yang paling tinggi adalah desain eksperimental. Pada
studi eksperimental bertujuan untuk mengukur efek dari suatu intervensi
terhadap hasil tertentu yang diprediksi sebelumnya. Desain ini merupakan

136 EPIDEMIOLOGI
metode utama untuk menginvestigasi terapi baru. Namun desain ini sering
menghadapi kendala pada etik dan pengorganisasian penelitian serta
dana yang tinggi. Jika uji klinis tidak memungkinkan dilakukan karena
keterbatasan penelitian, studi observasional bisa diaplikasikan. Desain yang
termudah adalah potong lintang. Kita melakukan investigasi faktor paparan
dan outcome pada satu waktu dan bisa dilakukan pada banyak responden
dalam waktu singkat dan sumber daya yang terbatas. Namun, ketika kita
ingin mendapatkan hasil studi dengan tingkat bias yang lebih rendah, kita
bisa melakukan studi kasus kontrol (faktor paparan terjadi dimasa lalu
dan kejadian penyakit terjadi pada masa sekarang)dan selanjutnya kohort
(faktor paparan terjadi dimasa sekarang, lalu diselidiki hingga kejadian
penyakit apakah akan terjadi di masa depan).

Latihan Studi Desain Epidemiologi Obser­vasional


1. Jelaskan perbedaan studi kohort dan studi potong lintang?
2. Berikan beberapa contoh judul penelitian dengan studi desain kasus
kontrol?
3. Berikan beberapa contoh judul penelitian dengan studi desain kohort?
4. Berikan beberapa contoh judul penelitian dengan studi desain potong
lintang?
5. Jelaskan kelebihan dan kelemahan studi desain kasus kontrol?
6. Buatlah mind mapping kesimpulan materi studi desain observasional?

Latihan Studi Desain Epidemiologi Obser­vasional


1. Jelaskan tipe-tipe pada studi desain eksperimental atau uji klinis?
2. Berikan satu contoh ide penelitian uji klinis/eksperimental, jelaskan
studi yang Anda gunakan disertai alur?
3. Jelaskan kelemahan dan kelebihan penelitian dengan studi desain
eksperimental, jelaskan dengan contoh?
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan teknik randomisasi?
5. Buatlah mind mapping kesimpulan materi studi desain eksperimental?

Bab 6 ~ Studi Desain dalam Epidemiologi 137


DAFTAR PUSTAKA
1. Bonita R, Baeglehole R, Kjellstorm T. Basic of Epidemiology.
Switzerland: WHO Press; 2006 (cited. Available from: http://
whqlibdoc.who.int/publications/2006/9241547073_eng.pdf. p.39-51
2. Webb P, Bain C, Pirozzo S. Essential Epidemiology, An Introduction for
Students and Health Professionals. New York: Cambridge University Press;
2005. p. 118-145
3. Najmah, Nuralam Fajar, Rico Januar Sitorus. The Effect of Needle
and Syringe Program on Injecting Drug Users’ Use of Non-Sterile
Syringe and Needle Behaviour in Palembang, South Sumatera Province,
Indonesia International Journal of Public Health Research 2011; (Spesial
Issue):193-9.
4. Najmah, L. Gurrin, M.Henry, J.Pasco. Hip Structure Associated With
Hip Fracture in Women: Data from the Geelong Osteoporosis Study
(Gos) Data Analysis-Geelong,Australia. International Journal of Public
Health Research 2011. 2011(Special Issue):185-92.
5. Rothman KJ. Epidemiology, An Introduction. New York: Oxford University
Press; 2002. p.57-93
6. Richards D, Les Toop, Stephen Chambers, Lynn Fletcher. Response
to antibiotivs of women with symptoms of urinary tract infection but
negative dipstick urine test results: double blind randomised controlled
trial. BMJ. 2008. 22 June 2005:1-5.
7. Sacher PM, Maria Kolotourou, Paul M. Chadwick, Tim J. Cole,
Margaret S. Lawson, Alan Lucas, et al. Randomized Controlled Trial
of the MEND Program: A Family-based Community Intervention for
Childhood Obesity. Obesity. 2010;18(1):S62-S8.
8. Elwood M. Critical Appraisal of Epidemiological Studies and Clinical Trials.
New York: Oxford University Press; 2007. p. 19-44
9. Dallas E. Study Design in Epidemiology. Melbourne; 2008.

138 EPIDEMIOLOGI
Bab 7

PERHITUNGAN SAMPEL
DALAM PENELITIAN
EPIDEMIOLOGI

Kompetensi Dasar yang ingin dicapai di bab ini adalah


mahasiswa mampu memahami konsep rancangan sampel
dan perhitungan sampel. Indikatornya adalah mahasiswa
mampu menjelaskan konsep pemilihan sampel, mampu
menghitung sampel berdasarkan jenis studi desain
epidemiologi dan menginterpretasikannya.
Materi Pembelajaran pada bab ini antara lain: konsep
pemilihan sampel dalam penelitian epidemiologi,
perhitungan sampel studi desain potong lintang,
perhitungan sampel studi desain kasus kontrol,
perhitungan sampel studi desain kohort, perhitungan
sampel studi desain eksperimental.

139
A. Pendahuluan

S
ering kali di dalam melakukan sebuah penelitian, sumber daya yang
tersedia baik itu berupa tenaga, waktu maupun dana sangatlah
terbatas. Hal ini, tidak memungkinkan peneliti untuk menganalisis
semua unit yang ada di dalam populasi. Oleh karena itu, perlunya dilakukan
sampling dengan hanya mengambil sebagian sampel dari keseluruhan
unit populasi yang ada. Sehingga, proses penelitian yang dilakukan akan
lebih efektif dan efisien terutama dalam hal biaya penelitian yang harus
dikeluarkan.
Selain efektivitas biaya penelitian, waktu yang dibutuhkan akan lebih
sedikit jika total sampel yang diobservasi sedikit, sehingga hasil penelitian
akan lebih cepat diperoleh. Sampling akan memberikan hasil pengukuran
yang akurat dan valid dibandingkan dengan mengukur semua unit dalam
populasi jika dilakukan dengan teknis sampling yang benar dan secara
random (acak). Pengukuran terhadap unit yang lebih banyak, berpotensi
meningkatkan bias dalam pengukuran. Akibatnya, hasil yang diperoleh
tidak menggambarkan keadaan yang ingin diukur.

INFERENSIAL

POPULASI
Derajat Kepercayaan 95 %

STATISTIK

Nilai perbedaan rata-rata/


OR/RR/PR di sampel

SAMPEL
1, 2, 3,..........
Sumber: Kirkwood, 2003(1)

Gambar 33. Generalisasi hasil penelitian pada sampel ke populasi

140 EPIDEMIOLOGI
B. Definisi dan Konsep Populasi dan Sampel
Populasi atau disebut juga universe adalah sekelompok individu yang
memiliki karakteristik sama, seperti sekelompok individu di masyarakat
yang mempunyai umur, seks, pekerjaan, status sosial yang sama atau objek
lain yang mempunyai karakteristik sama seperti golongan darah A, B, AB,
dan O, sedangkan sampel sendiri adalah sebagian kecil dari populasi atau
objek yang memiliki karakteristik sama.(2) Sedangkan Sudjana mengatakan
pula bahwa populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, baik hasil
menghitung maupun pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif, daripada
karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap dan jelas.
Menurut Sudjana, sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi
dengan menggunakan cara-cara tertentu. Maka, dapat disimpulkan bahwa
sampel merupakan bagian dari populasi.(3) Definisi ini juga didukung oleh
Kamus Epidemiologi, sampel adalah sebuah himpunan bagian dari populasi
di mana dapat berupa acak (random) maupun tidak acak (non random) serta
dapat mewakili atau tidak mewakili sama sekali.(4)
Beberapa alasan mengapa perlunya melakukan sampling adalah sebagai
berikut.(3)
1. Ukuran Populasi
Ukuran populasi terbagi menjadi dua yaitu populasi terhingga dan
populasi tak terhingga. Populasi tak hingga sudah dipastikan akan
dilakukan pemilihan sampel sedangkan untuk populasi terhingga
belum tentu demikian. Meskipun populasi terhingga diketahui,
dengan jumlah yang besar maka pertimbangan untuk melakukan
sampling harus dilakukan. Kepraktisan pengumpulan dan analisis
data merupakan pertimbangannya.
2. Masalah biaya dan waktu
Pendanaan juga menjadi faktor pertimbangan dalam suatu penelitian.
Semakin besar objek penelitian maka biaya yang akan dikeluarkan
akan semakin besar. Dan tidak semua peneliti ingin menghabiskan
waktunya bertahun-tahun untuk melakukan penelitian.

Bab 7 ~ Perhitungan Sampel dalam Penelitian 141


3. Penelitian yang sifatnya kemungkinan berbahaya
Masalah ini biasanya terjadi pada desain studi eksperimental murni.
Seperti percobaan obat dan pengambilan darah pada populasi umum
(masyarakat). Terdapat kemungkinan efek penelitian yang berbahaya.
4. Masalah ketelitian
Semakin besar jumlah objek penelitian, maka akan semakin besar
kemungkinan bias akan terjadi. Hal ini dapat terjadi karena semakin
besar objek penelitian, semakin besar masalah ketelitian. Masalah
ketelitian dapat bersumber dari petugas lapangan bahkan peneliti
sekalipun. Masalah ketelitian lebih bersifat subjektif artinya kesalahan
manusia (human error) lebih banyak terjadi sehingga bias bisa
mengurangi validitas sebuah penelitian.
Dapat kita mengambil garis besar, bahwa keuntungan mengaplikasikan
teknik pemilihan sampel adalah data yang diperoleh lebih komprehensif
dan representatif serta merupakan refleksi dari karakteristik populasi
yang sedang diteliti, memerlukan dana serta tenaga pelaksana yang lebih
sedikit bila dibandingkan dengan sensus, mudah dikerjakan dan hasilnya
dapat segera dievaluasi dan dianalisis serta dapat mengurangi bias seleksi
dengan cara melakukan randomisasi.(2)

C. Pemilihan Sampel pada Epidemiologi


Dalam penelitian, kita membutuhkkan data untuk dianalisis lebih
lanjut. Data dapat berupa numerik maupun kategorik. Pengumpulan
data dapat dilakukan pada setiap anggota yang ada di dalam populasi.
Namun cara ini sangat sulit, dalam kondisi tertentu di mana jumlah
populasi sangatlah besar. Untuk itulah pemilihan sampel (sampling)
dilakukan. Syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam pemilihan sampel
adalah representatif atau mewakili populasi. Menurut Notobroto
(2011), keterwakilan populasi oleh sampel dalam penelitian merupakan
syarat penting untuk suatu generalisasi atau inferensi. Pada dasarnya
semakin homogen nilai variabel yang diteliti, semakin kecil sampel yang
dibutuhkan, sebaliknya semakin heterogen nilai variabel yang diteliti,
semakin besar sampel yang dibutuhkan. Di samping keterwakilan

142 EPIDEMIOLOGI
populasi (kerepresentatifan), hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam
menentukan besar sampel. Besar sampel adalah keperluan analisis.
Beberapa analisis atau uji statistik memerlukan persyaratan besar sampel
minimal tertentu dalam penggunaannya.(5)
Menurut Tull dan Hawkins dalam Budiman,(2) ada tujuh langkah
dalam proses sampling yaitu: 1) mendefinisikan populasi, yang terdiri
dari elemen, unit sampling, tempat dan waktu; 2) Menentukan kerangka
sampling (sampling frame), termasuk menentukan target populasi dan
populasi sampling; 3) menentukan sampling unit, unit dasar dari elemen
populasi yang akan dijadikan sampel; 4) menentukan metode sampling,
secara random atau non-random; 5) Menentukan ukuran sampel, sesuai
dengan studi desain, tes hipotesa serta power dan derajat kepercayaan
yang diinginkan; 6) menspesifikasikan rencana sampling, teknis di
lapangan seperti kelengkapan perangkat lunak dan keras seperti kuesioner,
pewawancara, jadwal penelitian dan sebagainya; dan 7) memilih sampel,
sesuai protokol atau proposal penelitian yang telah disiapkan.
Sedangkan menurut Elwood,(6) ada 5 (lima) level/tingkatan seleksi
subjek penelitian antara lain:
1. Target Populasi (targeted population) adalah populasi target yang
diperlukan untuk mengaplikasikan hasil penelitian yang lebih luas dari
sumber populasi. Misal, kita ingin mengaplikasikan uji klinis perawatan
klinis tertentu tidak hanya pada sumber populasi, seperti di RS di Negara
X, tetapi juga RS di banyak negara di masa yang akan datang.
2. Sumber Populasi, (source population) adalah populasi yang bisa
didefinisikan dan dihitung, dan proporsi subjek yang memenuhi syarat
(eligible subjects) biasanya dihitung dari jumlah populasi sumber. Ada
beberapa studi menyatakan populasi sumber tidak bisa dihitung secara
tepat, walaupun definisi sumber populasi tetap harus jelas dalam suatu
penelitian. Di dalam populasi sumber ada empat kelompok yaitu a)
kelompok yang memenuhi syarat, b) kelompok yang hanya diukur
tetapi dinyatakan tidak memenuhi syarat, c) kelompok yang tidak bisa
diklarifikasikan karena informasi subjek kurang, d) kelompok yang
tidak bisa diklarifikasikan/dikelompokkan karena kurangnya sumber,
ketidaksediaan informasi atau alasan lainnya.

Bab 7 ~ Perhitungan Sampel dalam Penelitian 143


Tingkatan dalam pemilihan subjek penelitian/sampel penelitian

Tingkatan Seleksi Kriteria Eksklusi

Populasi Target

Populasi Sumber
Subjek tidak dinilai, subjek dinilai tetapi
tidak memenuhi kriteria dan subjek tidak
Subjek yang bisa diklarifikasikan
memenuhi kriteria
Eksklusi karena subjek mati, tidak mampu
bekerja sama, isu administrasi, kerahasiaan,
Subjek yang masuk dan tidak mau mengikuti studi
dalam penelitian
Tidak mengikuti studi hingga akhir, data
hilang, hilang dalam penelitian (loss to
Partisipan Studi follow-up)
Sumber: Elwood, Critical Appraisal Page 76-79(6)

Gambar 34. Langkah-langkah dalam menyeleksi sampel penelitian

3. Subjek yang memenuhi syarat (eligible subjects) adalah subjek yang


memenuhi kriteria inklusi dari suatu penelitian. Subjek yang
memenuhi syarat bisa dikeluarkan dari studi jika meninggal, tidak
mampu bekerja sama, masalah administrasi, atau mereka tidak mau
berpartisipasi.
4. Subjek dalam studi (study entrants) adalah subjek penelitian yang
mengikuti penelitian, tetapi tidak mengikuti hingga akhir penelitian,
ini biasanya untuk penelitian dengan studi desain kohort atau uji klinis
yang perlu mengikuti subjek penelitian dalam beberapa waktu.
5. Partisipan dalam studi (study participants) adalah subjek penelitian
yang mengikuti penelitian hingga akhir penelitian.
Contoh tingkat pemilihan sampel berdasarkan Elwood pada penelitian
di bawah ini.
Judul Penelitian
“Managing back pain in preganancy using a support garment: a randomised trial”.

144 EPIDEMIOLOGI
SM Kalus, LH Kornman, JA Quinlivan, 2007, “Managing back pain in preganancy
using a support garment: a randomised trial” An International Journal of Obstetrics
and Gynaecology.
(download file di www.metopidfkmunsri.blogspot.com)

Target population(s) : Pregnant women in Melbourne, Victoria, Australia

Source population(s) : Pregnant women at the antenatal clinics of tertiary referral


hospital, The Royal Women’s Hospital, Melbourne,
Australia.

Eligible subject(s) : Pregnant women between 20 and 36 weeks of


pregnancy with lumbar back pain or posterior pelvic
(sacroiliac joint), excluded women with high back pain
or symphysiolysis with no concomitant lumbar pack or
posterior pelvic pain and the women who were non-
English Speaking.

Study Entrants : Eligible and agreed to participate and to be randomized


(115 randomised, 55 case, 60 control)

Study Participants
: Those who continued in trial and provided final outcome
data
(94 participants left, n case = 46 and 9 dropped out, n
control=48 and 12 dropped out)

115 women enrolled in the study

55 women randomised to the BellyBra 60 women randomised to tubigrip

9 lost to follow up 12 lost to follow up


-2 delivered within the study period -3 delivered within the study period
-7 failed to attend their follow-up -9 failed to attend their follow-up
appointment and could not be contacted appointment and could not be contacted

46 women with complete data 48 women with complete data

Bab 7 ~ Perhitungan Sampel dalam Penelitian 145


D. Teknik Pengambilan Sampel/Subjek Penelitian
Secara garis besar teknik penarikan sampel dibagi menjadi dua
yaitu pemilihan sampel secara acak (probability random sampling) dan
pemilihan sampel tidak acak (non probability random sampling). Pada
teknik pemilihan sampel secara acak, sampel diambil secara acak
dengan mempertimbangkan bahwa semua unit di dalam populasi harus
mempunyai peluang yang sama untuk terpilih sebagai sampel. Sedangkan
pada teknik pemilihan sampel tidak acak, sampel dipilih secara tidak acak
sehingga semua unit dipopulasi tidak punya peluang yang sama untuk
terpilih sebagai sampel.(7)

Teknik Sampling

pemilihan sampel secara acak pemilihan sampel tidak acak

1. Acak Sederhana 1. Teknik Purposif


2. Acak Sistematik 2. Teknik Insidental
3. Acak Berstrata 3. Kuota
4. Acak Klaster 4. Teknik Bola Salju
5. Acak Berjenjang 5. Respondent Driven Sampling
6. Teknik Judgement

Sumber: Budiman, Sophiyudin, Hastono, Sudjana.(2, 3, 7, 8)

Gambar 35. Klasifikasi teknik sampling secara umum

1. Pemilihan Sampel Secara Acak/Random


Penarikan sampel dengan random secara umum dibagi menjadi lima,
yaitu sebagai berikut:(2, 3, 7, 8)
a. Acak sederhana (Simple random sampling)
Teknik secara acak sederhana dapat dilakukan jika populasi yang akan
kita ukur homogen (tidak bervariasi). Selain itu, secara geografis
populasi kita tidak berada pada area sangat luas. Apabila populasi
kita homogen dan secara geografis tidak terlalu luas, maka syarat
berikutnya adalah harus adanya kerangka sampel. Kerangka sampel

146 EPIDEMIOLOGI
ini berupa daftar penduduk yang memuat identitas seluruh penduduk
secara jelas. Cara yang bisa dilakukan untuk mengambil sampel
secara acak antara lain dengan menggunakan tabel random dan paket
komputer. Pada teknik acak sederhana ini semua sampel dari yang
pertama sampai yang ke- n akan dipilih secara acak.
b. Acak sistematis (Systematic random sampling)
Pada teknik acak sistematik, populasi yang ingin diambil sampel adalah
populasi homogen dengan sedikit variasi atau pola tertentu. Contoh
populasi seperti ini adalah pasien yang ada di suatu rumah sakit. Selain
populasi yang homogen, pada teknik ini diwajibkan adanya kerangka
sampel. Pengambilan sampel pada acak sistematis sedikit berbeda
dengan acak sederhana. Pada acak sistematis, hanya sampel pertama
yang akan diambil secara acak, sedangkan untuk sampel kedua dan
seterusnya akan diambil sesuai dengan interval tertentu.
Misalnya, seorang peneliti ingin melakukan penelitian di rumah sakit
Y mengenai kualitas pelayanan program BPJS di rumah sakit tersebut.
Jumlah sampel yang ingin diambil adalah 50 orang pasien dari 300
pasien yang ada. Interval yang akan digunakan untuk mengambil
sampel adalah 300/50 = 6. Apabila yang terpilih secara acak untuk
sampel pertama adalah pasien nomor 10, maka sampel kedua akan
diambil pada kelipatan 6 yaitu pasien nomor 16, dan begitu seterusnya
untuk sampel berikutnya hingga diperolah 50 orang pasien sebagai
sampel.
c. Acak berstrata (Stratified random sampling)
Teknik sampling stratifikasi ini dapat dilakukan pada populasi yang
heterogen (bervariasi). Oleh karena itu, pada teknik sampling ini
populasi harus dibagi menurut strata tertentu misalnya status
ekonomi (ekonomi rendah dan ekonomi menengah ke atas).
Tujuannya agar semua karakteristik pada populasi tersebut dapat
terwakili semuanya.
Dengan menggunakan teknik stratifikasi, peneiliti dapat meng­
generalisasi hasil peneilitiannya pada subpopulasi (strata) tertentu.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada penarikan sampel dengan

Bab 7 ~ Perhitungan Sampel dalam Penelitian 147


teknik stratifikasi acak ini antara lain di dalam strata, unit populasi
harus se-homogen mungkin dan di antara strata harus seheterogen
mungkin. Pengambilan sampel pada teknik ini dimulai terlebih dahulu
dengan menentukan strata misalnya status ekonomi. Setelah strata
ditentukan, kemudian harus ada kerangka sampel pada tiap strata.
Apabila kerangka sampel telah tersedia, maka sampel pada tiap strata
dapat dipilih secara acak berdasarkan kerangka sampelnya.
d. Acak klaster (Cluster random sampling)
Teknik klaster dapat dilakukan pada populasi yang heterogen dengan
area geografi yang luas. Pada populasi yang areanya luas sering kali
peneliti kesulitan untuk menghasilkan kerangka sampel. Oleh karena
itu, populasi dibagi menjadi beberapa klaster tertentu. Klaster ini
dapat berupa unit geografi seperti kelurahan, kecamatan atau RT dan
dapat juga berupa kelompok masyarakat tertentu. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam penarikan sampel secara klaster adalah semua
unit di dalam klaster harus seheterogen mungkin dan karakteristik
di antara klaster harus sehomogen mungkin. Setelah populasi dibagi
menjadi klaster-klaster tertentu. Tahap selanjutnya adalah memilih
klaster dari populasi secara acak. Kemudian pada tiap klaster terpilih,
sampel akan diambil secara berdasarkan kerangka sampel yang ada
pada tiap klaster.
Contoh: Peneliti ingin mengukur perilaku merokok di Kabupaten Ogan
Ilir. mengingat area yang luas dan kesulitan mendapatkan kerangka
sampel maka peneliti membagi populasi kedalam beberapa klaster
(desa). Adapun sampel minimal yang dibutuhkan pada penelitian ini
adalah 100 orang. Dari 227 desa yang ada di Kabupaten Ogan Ilir,
dipilihlah 4 desa sebagai klaster. Kemudian pada tiap klaster akan
diambil sejumlah n sampel(9) (Gambar 36).

148 EPIDEMIOLOGI
Kasus

Desa Ulak n Dari 4 cluster (desa)


Kabupaten Ogan Ilir responden ditentukan 2 desa sebagai
16 kecamatan (227 desa)
Segelung
kelompok yang diintervensi
dan 2 desa sebagai kelompok
Desa Tanjung n kontrol (tidak diintervensi)
Pinang 2 responden dengan cara random

Kontrol
Tahap pertama:
memilih cluster (desa). Desa Tanjung
Dari 227 desa dipilih n Tahap kedua:
Pule responden Memilih responden
4 desa sebagai cluster
secara random dengan menggunakan teknik simple
cara pps terhadap jumlah random sampling. Besar
Desa n
penduduk sampel minimal pada tiap
Lubuk Sakti responden cluster dialokasikan sama.

Sumber: Najmah, dkk (2014)(9)

Gambar 36. Aplikasi teknik klaster

Bab 7 ~ Perhitungan Sampel dalam Penelitian 149


e. Acak bertahap (Multistage sampling)
Pada teknik sampel ini, terdiri dari beberapa tahap penarikan sampel
dengan teknik sampling tertentu. Oleh karena itu, pada teknik
acak bertahap biasanya memiliki dua atau lebih teknik sampling
di dalamnya. Misalnya, seorang peneliti ingin meneliti derajat
kesehatan penduduk Indonesia. Area Negara Indonesia yang luas
sehingga sulit diperoleh kerangka sampel. Oleh karena itu, pada
tahap pertama populai di Indonesia dibagi menurut klaster tertentu
yaitu provinsi sebanyak 33 provinsi. Kemudian pada tiap klaster akan
dibagi menjadi strata tertentu, misalnya jenis kelamin laki-laki dan
perempuan. Tahap selanjutnya pada tiap strata akan dipilih sampel
pada kelompok laki-laki dan sampel pada kelompok perempuan di
masing-masing klaster.
Contoh lainnya, Najmah(10) meneliti berbagai faktor yang memengaruhi
penggunaan jamban sehat di daerah Aliran Sungai Musi. Peneliti
mengombinasi tiga teknik pengambilan sampel. Langkah pertama
dilakukan secara acak stratifikasi. Dari empat kelurahan di wilayah
kerja Puskesmas Nagaswidak hanya akan diambil enam rukun
tetangga (RT) sebagai sampel. Dari empat kelurahan tersebut dipilih
dua kelurahan yang mewakili dari kelurahan yang memiliki 4 RT
dan 8 RT secara random dan terpilih kelurahan 11 ulu dan 13 Ulu.
Dari dua kelurahan ini dipilih lagi RT secara random di mana 11 Ulu
diwakili oleh 2 RT dan 13 Ulu diwakili oleh 4 RT. Langkah kedua
pengambilan sampel secara sistematis (Systematic Random Sampling).
Pengambilan RT awal dilakukan secara random yang terpilih adalah
RT 26. RT yang selanjutnya diambil berdasarkan interval 2 ke belakang
(interval=12/6=2). Langkah ketiga dilakukan pengambilan sampel
secara proporsional (Proporsional Random Sampling). Untuk masing-
masing RT yang terpilih menjadi sampel, diambil sampel secara
proporsional sesuai jumlah rumah yang ada di setiap RT yang terpilih
menjadi sampel.

150 EPIDEMIOLOGI
Tabel 50. Jumlah sampel dari masing-masing RT yang terpilih

Jumlah
No RT Jumlah rumah
sampel
1 RT 05 (11 Ulu) 20 15
2 RT 10 (11 Ulu) 25 19
3 RT 04 (13 Ulu) 30 22
4 RT 08 (13 Ulu) 18 13
5 RT 11 (13 Ulu) 25 19
6 RT 26 (13 Ulu) 16 12
TOTAL 134 100
Sumber: Najmah, 2007.

2. Pengambilan Sampel Secara Tidak Acak (Non Probability


Random Sampling)
Ada beberapa metode sampling secara tidak acak secara umum, antara
lain:
a. Teknik bola salju (Snowball sampling) dan Respondent driven
sampling
Ketika saya ingin meneliti tentang pengguna narkoba suntik, sangat
sulit ditemukan pada populasi terbuka karena mereka umumnya
populasi yang tersembunyi (hidden population), maka teknik sampling
yang dapat kita lakukan yaitu dengan cara teknik bola salju atau
respondent driven sampling. Kita merekrut penasun A, lalu penasun A
merekrut penasun B, C, D. Lalu penasun B, merekrut penasun H,
I, J, K, L dan seterusnya. Sehingga dianalogikan seperti bola salju.
Bedanya dengan teknik respondent driven sampling, kita hanya membatasi
responden awal kita dengan jumlah tertentu, misal penasun A hanya
merekrut 3 orang, dan juga penasun B, dan seterusnya, sehingga
diharapkan hasil sampling lebih dapat mewakili populasi penasun di
beberapa titik di Kota X.

Bab 7 ~ Perhitungan Sampel dalam Penelitian 151


b. Pertimbangan peneliti (Purposive random sampling)
Penarikan sampel dilakukan berdasarkan pertimbangan peneliti. Oleh
karena itu, tidak ada pertimbangan random atau peluang yang sama
pada teknik sampling ini. Biasanya, sampel akan dipilih oleh orang
yang sudah mengenal area atau populasi yang ingin diukur. Misal,
peneliti ingin merekrut ibu-ibu hamil yang berkunjung di Puskesmas
X pada waktu yang ditentukan peneliti.
c. Teknik insidental (Insidental random sampling)
Jumlah sampel yang akan diambil seadanya sesuai pertimbangan
peneliti. Biasanya, pengambilan sampel dilakukan secara tiba-tiba.
Misalnya, pengambilan sampel di rumah sakit. Peneliti memilih pasien
yang terdekat atau lewat di depan peneliti saja. Oleh karena itu, hasil
penelitian ini biasanya masih sangat kasar dan tidak dapat digeneralisasi.
Teknik ini hampir sama dengan teknik convenience sampling, yaitu memilih
sampel tanpa protokoler penelitian, dilakukan semaunya peneliti.
d. Kuota (Quota sampling)
Pada teknik ini, jumlah sampel yang akan diambil sudah ditentukan
terlebih dahulu dengan menetapkan kuota tertentu.(7) Misalnya,
peneliti ingin mengukur sikap seseorang mengenai kontrasepsi pada
200 orang penduduk. Maka peneliti menentukan akan mengambil 100
orang laki-laki dan 100 orang perempuan.
e. Teknik judgement (Judgement sampling)
Ketika peneliti menyeleksi sampel dengan kriteria bersyarat, misal
peneliti ingin merekrut kelompok pasien dengan penyakit PJK tetapi
yang merokok saja, maka teknik ini dapat diaplikasikan.

E. Perhitungan Sampel Studi Potong Lintang (Cross


Sectional)
Pada penelitian dengan studi potong lintang, rumus yang digunakan
untuk menghitung besar sampel sangat dipengaruhi oleh skala ukur datanya
yaitu data kategorik atau data numerik. Apabila penelitian dilakukan pada
data kategorik yang tidak berpasangan, maka rumus besar sampel yang
dipakai adalah rumus 7.1.(7, 8)

152 EPIDEMIOLOGI
(Za √2PQ + Zb √P1Q1 + P2Q2 )2
............. (7.1)
(P1 – P2)2
Keterangan:
Zα : Deviat baku alpha
Zβ : Deviat baku beta
P1 : Proporsi penyakit/disease (masalah penelitian) pada kelompok uji, kelompok berisiko, atau kelompok
terpajan.
P2 : Proporsi penyakit/disease (masalah penelitian) pada kelompok standar, kelompok tidak berisiko, atau
kelompok tidak terpajan.
P1-P2 : Selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna.
P : Proporsi total (P1 + P2/2)
Q1 : 1 – P1
Q2 : 1 – P2

Pada penelitian potong lintang dengan skala ukur variabel adalah data
numerik yang tidak berpasangan, rumus besar sampel yang dapat dipakai
adalah rumus 7.2.

2
(Za + Zb)S
2 ........... (7.2)
X1 – X2
Di mana:
(n1 – 1)S12 + (n2 – 1)S22 ........... (7.3)
S2 =
(n1 – 1) + (n2 – 1)
Keterangan:
Zα : Deviat baku alpha
Zβ : Deviat baku beta
S : Simpangan baku gabungan
X1-X2 : Selisih rata-rata yang dianggap bermakna
n1 : Besar sampel pada kelompok 1
n2 : Besar sampel pada kelompok 2
S12 : Simpangan baku pada kelompok 1 pada penelitian sebelumnya
S22 : Simpangan baku pada kelompok 2 pada penelitian sebelumnya

Berikut adalah contoh perhitungan besar sampel pada studi potong


lintang:

Contoh 1. Analisis Data Kategorik Tidak Berpasangan


Seorang peneliti ingin mengetahui apakah terdapat hubungan antara
obesitas (obesitas dan tidak obesitas) dan kejadian stroke (stroke dan
tidak stroke). Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya diketahui bahwa proporsi kejadian
stroke pada orang yang obesitas adalah 35%. Sedangkan proporsi kejadian

Bab 7 ~ Perhitungan Sampel dalam Penelitian 153


stroke pada orang yang tidak obesitas menurut penelitian sebelumnya
adalah 10%. Pada penelitian ini ditetapkan kesalahan tipe I sebesar 5%, dan
kesalahan tipe II sebesar 20%. Dengan hipotesis dua arah, hitunglah besar
sampel minimal yang diperlukan pada penelitian ini untuk membuktikan
hubungan antara obesitas dan kejadian stroke?

Penyelesaian:
Langkah 1. Hal yang diketahui:
 P1 = 0,35
 P2 = 0,1
 α = 0,05 (Zα = 1.96)
 β = 0,2 (Zβ = 0.84)
 P = (0,35+0,1)/2 = 0,225
 Q1 = 1 – 0,35 = 0,65
 Q2 = 1 – 0,1 = 0,9
 Q = (Q1+Q2)/2 = 0.775

Langkah 2. Perhitungan besar sampel:


Berdasarkan skala ukur data, maka perhitungan besar sampel untuk
penelitian ini akan menggunakan rumus besar sampel untuk data kategorik
(rumus 7.1).

(Za √2PQ + Zb √P1Q1 + P2Q2 )2


n=
(P1 – P2)2
(1,96 √2(0,225)(0,775) + 0,84 √(0,35)(0,65) + (0,1)(0,9))2
=
(0,35 – 0,1)2
= 42,5  43 sampel

Interpretasi:
Berdasarkan hasil perhitungan besar sampel diperoleh sebanyak 43 sampel
minimal. Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang membandingkan
dua kelompok yaitu kelompok dengan faktor risiko (obesitas) dan kelompok

154 EPIDEMIOLOGI
tanpa faktor risiko (tidak obesitas). Oleh karena itu, besar sampel minimal
pada penelitian ini adalah sebanyak 43 orang untuk kelompok faktor risiko
dan 43 orang pada kelompok tanpa faktor risiko. Sehingga besar sampel
minimal yang diperlukan pada penelitian ini adalah 86 orang.

Contoh 2. Analisis Data Numerik Tidak Berpasangan


Seorang peneliti ingin mengetahui perbedaan kadar placenta growth
factor (PGF) antara ibu hamil normal dengan ibu hamil yang mengalami
preeclampsia. Dari studi pendahuluan diketahui simpang baku gabungan
adalah sebesar 40. Peneliti menetapkan kesalahan tipe I sebesar 5%,
hipotesis satu arah, kesalahan tipe II sebesar 10%, dan perbedaan rerata
minimal dianggap bermakna adalah 20. Hitunglah besar sampel yang
dibutuhkan pada penelitian ini?
Penyelesaian:
Langkah 1. Hal yang diketahui:
Hipotesis satu arah
Zα : Pada alpha 5% (Zα = 1.64)
Zβ : 10 % (Zβ = 1.28)
X1-X2 : 20
S : 40

Langkah 2. Perhitungan besar sampel:


Berdasarkan skala ukur data, maka perhitungan besar sampel untuk
penelitian ini akan menggunakan rumus besar sampel untuk data kategorik
(rumus 7.2).

2
(Za + Zb)S
n= 2
X1 – X2
2
(1,64 + 1,28)40
=2
20
= 69

Berdasarkan hasil perhitungan besar sampel diperoleh sebanyak


69 sampel minimal. Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang

Bab 7 ~ Perhitungan Sampel dalam Penelitian 155


membandingkan dua kelompok yaitu kelompok dengan kehamilan normal
(n=69)dan kehamilan dengan pre eklampsia (n=69). Sehingga besar
sampel minimal yang diperlukan pada penelitian ini adalah 138 orang.

F. Perhitungan Sampel Studi Kasus Kontrol (Case Control)


Apabila penelitian dilakukan pada data kategorik yang tidak
berpasangan, maka rumus besar sampel yang dipakai adalah rumus 7.1.
Sedangkan untuk penelitian pada data numerik yang tidak berpasangan,
rumus besar sampel yang dapat dipakai adalah rumus 7.2.
Pada desain studi kasus kontrol, untuk menghitung besar sampelnya
sering kali peneliti mengalami kesulitan mendapatkan nilai P 1 dari
kepustakaan. Jika keadaannya seperti itu, maka nilai P1 bisa dihitung
dengan menggunakan rumus 7.4. Cara menghitung nilai P1 dilakukan
dengan menentukan terlebih dahulu nilai OR yang dianggap bermakna.(7, 8)

P1 (1 – P2)
OR = ........... (7.4)
P2 (1 – P1)
(OR).P2
P1 = ........... (7.5)
(OR).P2 + (1 – P2)

Berikut adalah contoh perhitungan besar sampel pada studi kasus


kontrol.

Contoh 1. Analisis Pada Data Kategorik Tidak Berpasangan


Seorang peneliti ingin mengetahui apakah terdapat hubungan antara
pajanan asbes (terpajan dan tidak terpajan) dan kejadian gangguan paru
(gangguan dan tidak gangguan). Penelitian ini menggunakan desain studi
kasus kontrol. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya diketahui bahwa
proporsi yang terpajan asbes pada kelompok kontrol adalah 25%. Pada
penelitian ini ditetapkan bahwa nilai odds ratio yang bermakna adalah 2.
Peneliti menetapkan kesalahan tipe I sebesar 5%, dan kesalahan tipe II
sebesar 20%. Dengan hipotesis dua arah, hitunglah besar sampel minimal
yang diperlukan pada penelitian ini untuk membuktikan hubungan antara
pajanan asbes dan kejadian gangguan paru?

156 EPIDEMIOLOGI
Penyelesaian:
Langkah 1. Hal yang diketahui:
 P2 = 0,25
 α = 0,05 (Zα = 1.96)
 β = 0,2 (Zβ = 0.84)
 OR = 2
 (OR).P2
P1 =
(OR).P2 + (1 – P2)
(2).0,25
= = 0,4
(2).0,25 + (1 – 0,25)
 Q1 = (1 – 0,4) = 0,6
 Q2 = (1 – 0,25) = 0,75
 P = (P1 + P2)/ 2 = (0,4+0,25)/2 = 0,325
 Q = 1 – P = 0,675

Langkah 2. Perhitungan besar sampel:


Berdasarkan skala ukur data, maka perhitungan besar sampel untuk
penelitian ini akan menggunakan rumus besar sampel untuk data kategorik
(rumus 7.1).

(Za √2PQ + Zb √P1Q1 + P2Q2 )2


n=
(P1 – P2)2
(1,96 √ 2(0,325) 0,675 + 0,84 √(0,4) 0,6 + (0,25) 0,75)2
=
(0,4 – 0,25)2
= 152 sampel

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh besar sampel untuk tiap


kelompok adalah 152 orang. Apabila rasio antara kasus dan kontrol
adalah 1 : 1, besar sampel minimal yang harus diambil masing-masing 152
pada kelompok kasus dan 152 pada kelompok kontrol. Misalnya peneliti
menginginkan rasio perbandingan antara kasus dan kontrol 1 : 3, maka

Bab 7 ~ Perhitungan Sampel dalam Penelitian 157


besar sampel minimal yang dibutuhkan adalah 152 pada kelompok kasus
dan 456 sampel pada kelompok kontrol.

Contoh 2. Analisis Pada Data Numerik Tidak Berpasangan


Seorang peneliti ingin mengetahui perbedaan kadar kolesterol
antara pasian yang mendapat terapi A (standar) dengan obat B. dari
kepustakaan diperoleh rerata kadar kolesterol pasien yang mendapat terapi
A dan B masing-masing 180±40 (n=100) dan 190±30 (n=80). Peneliti
menetapkan kesalahan tipe I sebesar 5 %, hipotesis dua arah, kesalahan
tipe II sebesar 10%, dan perbedaan rerata minimal yang dianggap bermakna
adalah 20, rumus besar sampel yang mana yang digunakan dan berapa
besar sampel yang diperlukan?
Penyelesaian:
Langkah 1: yang diketahui
Kesalahan tipe I = 5%. Zα = 1,96
Kesalahan tipe II = 10%m Zβ = 1,28
Selisih minimal yang dianggap bermakna (X1-X2) = 20
Simpang baku gabungan dihitung dengan menggunakan rumus
Obat A, n1=100, s1=40, obat B, n2=80, s2=30

(n1 – 1)S12 + (n2 – 1)S22


S2 =
(n1 – 1) + (n2 – 1)

S = 35,9

Langkah 2. Perhitungan besar sampel:


2
(Za + Zb)S
n= 2
X1 – X2
2
(1,96 + 1,28)35,9
=2
20
= 68

Besar sampel yang dibutuhkan minimal masing-masing kelompok


kasus kontrol adalah 68, jika rasio 1:1.

158 EPIDEMIOLOGI
G. Perhitungan Sampel Studi Kohort (Cohort)
Apabila penelitian dilakukan pada data kategorik yang tidak
berpasangan, maka rumus besar sampel yang dipakai adalah rumus 7.1.
Sedangkan untuk penelitian pada data numerik yang tidak berpasangan,
rumus besar sampel yang dapat dipakai adalah rumus 7.2. Perhitungan
sampel minimal pada desain studi kohort sama seperti pada desain studi
lainnya. Apabila peneliti kesulitan mendapatkan proporsi penyakit pada
kelompok yang terpapar (P1) dari kepustakaan, nilai P1 dapat dihitung
dengan menentukan terlebih dahulu nilai RR yang dianggap bermakna.
Sehingga nilai P1 dapat dihitung dengan rumus 7.6.(7, 8)

P1 = RR * P2 ........... (7.6)

Berikut adalah contoh perhitungan besar sampel pada studi Kohort.

Contoh 1. Analisis Pada Data Kategorik Tidak Berpasangan


Seorang peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara paparan
radiasi nuklir (terpapar dan tidak terpapar) dengan kejadian kanker.
Penelitian dilakukan dengan desain studi kohort. Rencananya pengamatan
dilakukan oleh peneliti terhadap responden selama 3 tahun ke depan.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya diketahui bahwa proporsi
kejadian kanker pada kelompok yang terpapar radiasi nuklir sebesar 45%.
Sedangkan proporsi kejadian kanker pada kelompok yang tidak terpapar
radiasi nuklir sebesar 20%. Dengan derajat kepercayaan sebesar 5% dan
kekuatan uji 80%. Hitunglah besar sampel minimal yang dibutuhkan pada
tiap kelompok untuk membuktikan hubungan antara paparan radiasi nuklir
dan kejadian kanker pada pekerja.

Penyelesaian:
Langkah 1. Hal yang diketahui:
 P1 = 0,45
 P2 = 0,2
 α = 0,05 (Zα = 1.96)
 β = 0,2 (Zβ = 0.84)

Bab 7 ~ Perhitungan Sampel dalam Penelitian 159


 P = (0,45+0,2)/2 = 0,325
 Q1 = 1 – 0,45 = 0,55
 Q2 = 1 – 0,2 = 0,8
 Q = 1 – P = 0,675

Langkah 2. Perhitungan besar sampel:


Berdasarkan skala ukur data, maka perhitungan besar sampel untuk
penelitian ini akan menggunakan rumus besar sampel untuk data kategorik
tidak berpasangan (rumus 7.1)

(Za √2PQ + Zb √P1Q1 + P2Q2 )2


n=
(P1 – P2)2
(1,96 √ 2(0,325) 0,675 + 0,84 √(0,45) 0,55 + (0,2) 0,8)2
=
(0,45 – 0,2)2
= 54 sampel

Interpretasi:
Berdasarkan hasil perhitungan di atas diperoleh besar sampel minimal
sebanyak 54 orang. Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang
membandingkan dua kelompok yaitu kelompok dengan faktor risiko
(terpapar radiasi nuklir) dan kelompok tanpa faktor risiko (tidak terpapar).
Oleh karena itu, besar sampel minimal pada penelitian ini adalah sebanyak
54 orang untuk kelompok faktor risiko dan 54 orang pada kelompok
tanpa faktor risiko. Sehingga besar sampel minimal yang diperlukan pada
penelitian ini adalah 108 orang.

Contoh 2. Analisis Data Kategorik Tidak Berpasangan Menggunakan RR


Penelitian Sebelumnya
Sebuah penelitian ingin mengetahui apakah ada hubungan antara pajanan
debu (terpajan dan tidak terpajan) terhadap kejadian gangguan fungsi paru
(gangguan dan tidak gangguan) pada pekerja di pabrik semen XX. Penelitian
ini menggunakan desain cohort dengan rencana pengamatan dua tahun
ke depan. Berdasarkan penelitian sebelumnya diketahui bahwa proporsi

160 EPIDEMIOLOGI
pekerja yang menderita gangguan fungsi paru pada kelompok yang tidak
terpajan debu mencapai 29%. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa
pekerja yang terpajan debu berisiko 2 kali lebih tinggi untuk menderita
gangguan fungsi paru dibandingkan pekerja yang tidak terpajan debu.
Dengan alpha 5% dan kekuatan uji 80%, hitunglah besar sampel minimal
yang diperlukan dalam penelitian tersebut.
 P2 = 0,29
 RR = 2
 P1 = RR*P2 = 2*0,29  0,58
 α = 0,05 (Zα = 1.96)
 β = 0,2 (Zβ = 0.84)
 Q1 = 1 – 0,58 = 0,42
 Q2 = 1 – 0,29 = 0,71
 P = (P1+P2)/2 = (0,58+0,29)/2  0,44
 Q = 1 – P = 0,56

Langkah 2. Perhitungan besar sampel:


Berdasarkan skala ukur data, maka perhitungan besar sampel untuk
penelitian ini akan menggunakan rumus besar sampel untuk data kategorik
tidak berpasangan (rumus 7.1).

(Za √2PQ + Zb √P1Q1 + P2Q2 )2


n=
(P1 – P2)2
(1,96 √ 2(0,44) 0,56 + 0,84 √(0,58) 0,42 + (0,29) 0,71)2
=
(0,58 – 0,29)2
= 45 sampel

Interpretasi:
Berdasarkan hasil perhitungan di atas diperoleh besar sampel minimal
sebanyak 45 orang. Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang
membandingkan dua kelompok yaitu kelompok dengan faktor risiko
(terpapar debu) dan kelompok tanpa faktor risiko (tidak terpapar debu).

Bab 7 ~ Perhitungan Sampel dalam Penelitian 161


Oleh karena itu, besar sampel minimal pada penelitian ini adalah sebanyak
45 orang untuk kelompok faktor risiko dan 45 orang pada kelompok
tanpa faktor risiko. Sehingga besar sampel minimal yang diperlukan pada
penelitian ini adalah 90 orang.

H. Perhitungan Sampel Studi Eksperimental


Perhitungan sampel minimal pada desain studi uji klinis/eksperimental
dalam penelitian kesehatan masyarakat sama seperti pada desain studi
lainnya. Apabila penelitian dilakukan pada data kategorik yang tidak
berpasangan, maka rumus besar sampel yang dipakai adalah rumus 7.1.
Sedangkan untuk penelitian pada data numerik yang tidak berpasangan,
rumus besar sampel yang dapat dipakai adalah rumus 7.2.
Nilai apa saja yang diperlukan dalam menghitung besar sampel pada
studi eksperimental sama seperti pada studi potong lintang dan cohort. Jika
peneliti kesulitan mendapatkan proporsi penyakit pada kelompok yang
terpapar (P1) dari kepustakaan, nilai P1 dapat dihitung dengan menentukan
terlebih dahulu nilai RR yang dianggap bermakna. Sehingga nilai P1 dapat
dihitung dengan rumus 7.6.(7, 8)
Berikut adalah contoh perhitungan besar sampel pada studi
eksperimental.

Contoh. Analisis Pada Data Kategorik Tidak Berpasangan


Seorang peneliti ingin melakukan pengujian terhadap obat penurun panas
yang baru (obat X). Peneliti ingin membuktikan bahwa ada perbedaan efek
dalam menurunkan panas antara obat baru (obat X) dengan obat standar
(obat Y). Pada penelitian ini ditetapkan nilai RR yang bermakna adalah 2.
Hitunglah besar sampel minimal yang dibutuhkan apabila diketahui bahwa
tingkat kesembuhan obat standar (obat Y) sebesar 40%, dengan alpha 5%
dan kekuatan uji 80%.

Penyelesaian:
Langkah 1. Hal yang diketahui:
 P2 = 0,4
 α = 0,05 (Zα = 1.96)

162 EPIDEMIOLOGI
 β = 0,2 (Zβ = 0.84)
 RR = 2
 P1 = (2*P2) = (2*0,4) = 0,8
 P = (0,4 +0,8 ) /2 = 0,6
 Q1 = 1 – 0,8 = 0,2
 Q2 = 1 – 0,4 = 0,6
 Q = 1 – P = 0,4

Langkah 2. Perhitungan besar sampel:


Berdasarkan skala ukur data, maka perhitungan besar sampel untuk
penelitian ini akan menggunakan rumus besar sampel untuk data kategorik
tidak berpasangan (rumus 7.1).

(Za √2PQ + Zb √P1Q1 + P2Q2 )2


n=
(P1 – P2)2
(1,96 √ 2(0,6) 0,4 + 0,84 √(0,8) 0,2 + 0,4 (0,6))2
=
(0,8 – 0,4)2
= 23 sampel

Interpretasi:
Berdasarkan hasil perhitungan di atas diperoleh besar sampel minimal
sebanyak 23 orang. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental
yang membandingkan dua kelompok yaitu kelompok dengan intervensi
obat baru (obat X) dan kelompok dengan intervensi obat standar (obat
Y). Oleh karena itu, besar sampel minimal pada penelitian ini adalah
sebanyak 23 orang untuk kelompok obat X dan 23 orang pada kelompok
obat Y. Sehingga besar sampel minimal yang diperlukan pada penelitian
ini adalah 46 orang.

Bab 7 ~ Perhitungan Sampel dalam Penelitian 163


Catatan:
Berikut adalah nilai Kesalahan tipe I dan II

Kesalahan (a, b) Za Zb
Non Hipotesis
Hipotesis satu
(Deskriptif) Hipotesis
arah
dua arah
1% 2.81 2.57 2.57
5% 1.96 1.64 1.64
10% 1.64 1.44 1.44
15% 1.44 1.28 1.28
20% 1.28 0.48 0.84

I. Ringkasan
Dalam melakukan penelitian, kita perlu menentukan sampel penelitian
yang bisa mewakili populasi di mana penelitian tersebut dilakukan
atau sampel bisa digeneralisasi di populasi. Langkah-langkah dalam
pengambilan sampel dimulai dari ditentukanya populasi target, populasi
sumber, populasi yang memenuhi kriteria, sampel yang masuk dalam studi
dan sampel yang mengikuti hingga akhir studi. Hal penting juga yang
harus diperhatikan dalam sampling adalah teknik pengambilan sampel
dan teknik perhitungan sampel.
Secara garis besar teknik penarikan sampel dibagi menjadi dua yaitu
secara acak (probability random sampling) dan tidak acak (non probability
random sampling). Pada teknik pengambilan sampel secara acak, sampel
diambil secara acak dengan mempertimbangkan bahwa semua unit di
dalam populasi harus mempunyai peluang yang sama untuk terpilih
sebagai sampel meliputi sampling secara acak, sistematis, stratifikasi,
kluster ataupun multistage/bertahap. Sedangkan pada teknik pengambilan
sampel tidak acak, sampel dipilih secara tidak acak sehingga semua unit
di populasi tidak punya peluang yang sama untuk terpilih sebagai sampel,
termasuk teknik bola salju dan respondent driven sampling, secara kuota,
secara insidental, dan ketentuan/ teknik judgement.

164 EPIDEMIOLOGI
Untuk perhitungan besar sampel bisa dilakukan dengan menggunakan
rumus yang sudah ada dan disesuaikan dengan desain penelitian yang
digunakan, yang penting harus diketahui. Pada penelitian analitik kategori
tidak berpasangan beberapa nilai yang dibutuhkan seperti: Zα (Deviat
baku alpha), Zβ (Deviat baku beta), P1 (Proporsi penyakit/disease (masalah
penelitian) pada kelompok uji, kelompok berisiko, atau kelompok terpajan),
dan P2 (Proporsi penyakit/disease (masalah penelitian) pada kelompok
standar, kelompok tidak berisiko, atau kelompok tidak terpajan). Sedangkan
untuk data numerik tidak berpasangan data yang dibutuhkan adalah Zα
(Deviat baku alpha), Zβ (Deviat baku beta), S (Simpangan baku gabungan),
X1-X2 (Selisih rata-rata yang dianggap bermakna), n1 (Besar sampel pada
kelompok 1), n2 (Besar sampel pada kelompok 2), S12 (Simpangan baku
pada kelompok 1 pada penelitian sebelumnya), dan S22 (Simpangan baku
pada kelompok 2 pada penelitian sebelumnya).

Latihan Perhitungan Sampel


Silahkah kerjakan latihan soal di bawah ini:
1. Jelaskan kenapa kita perlu menentukan sampel pada populasi luas
dalam setiap penelitian!
2. Jelaskan teknik dalam melakukan seleksi sampel!
3. Apakah perbedaan dari populasi sumber dan populasi target?
4. Jelaskan perbedaan pengambilan sampel secara acak dan tidak acak,
berikan contohnya!
5. Jelaskan perbedaan antara teknik pengambilan sampel secara snowball
dan respondent driven sampling, berikan contoh!
6. Jelaskan perbedaan teknik pengambilan sampel secara stratifikasi dan
sistematis!
7. Jelaskan satu contoh pengambilan sampel dengan cara teknik klaster
(cluster sampling)!
8. Hitunglah dan interpretasikan:
Tanti (Rusyda Ihwani Tantia Nova) seorang mahasiswa FKM Unsri
semester VII akan melakukan penelitian mengenai Analisis Kejadian

Bab 7 ~ Perhitungan Sampel dalam Penelitian 165


Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Emas
Kabupaten Tanah Datar Tahun 2014. Dalam penelitiannya Tanti ingin
mengetahui apakah terdapat hubungan antara karakteristik responden
(umur, jenis kelamin, status gizi), kondisi lingkungan fisik rumah
(pencahayaan, ventilasi, jenis lantai, dinding, suhu, kelembaban,
kepadatan hunian dan kontak dengan penderita) dengan kejadian
Tuberkulosis Paru. Penelitian ini menggunakan desain studi kasus
kontrol. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya diketahui bahwa
proporsi yang terpapar faktor risiko karakteristik responden dan
kondisi lingkungan fisik rumah kelompok kontrol masing-masing
adalah 25% dan 45%. Pada penelitian ini ditetapkan bahwa nilai odds
ratio yang bermakna adalah 3. Peneliti menetapkan kesalahan tipe I
sebesar 5%, dan kesalahan tipe II sebesar 20%. Dengan hipotesis dua
arah, hitunglah besar sampel minimal yang diperlukan pada penelitian
ini untuk membuktikan hubungan antara karakteristik responden
(umur, jenis kelamin, status gizi), kondisi lingkungan fisik rumah
(pencahayaan, ventilasi, jenis lantai, dinding, suhu, kelembaban,
kepadatan hunian dan kontak dengan penderita) dengan kejadian
Tuberkulosis Paru?
9. Suatu penelitian ingin mengetahui perbedaan sikap ibu rumah
tangga terhadap HIV/AIDS berdasarkan tempat tinggalnya (desa dan
kota). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa proporsi ibu yang
memiliki sikap negatif terhadap ODHA di pedesaan sebesar 0,94 dan
di perkotaan sebesar 0,85. Desain yang digunakan adalah cross sectional
dengan alpha 5% dan kekuatan uji 90%. Hitunglah besar sampel
minimal yang diperlukan dalam penelitian tersebut?
10. Seorang peneliti ingin mengetahui apakah ada pengaruh indeks masa
tubuh ibu (kurus dan normal) dan berat bayi yang dilahirkan (gram).
Penelitian ini menggunakan desain studi cohort. Berdasarkan hasil
penelitian sebelumnya diketahui bahwa rata-rata rata-rata berat bayi
yang dilahirkan pada ibu dengan indeks masa tubuh kurus adalah 2.100
gram dengan simpangan baku 200 gram. Sedangkan rata-rata berat bayi
yang dilahirkan pada ibu dengan indeks masa tubuh Normal adalah
2.700 gram dengan simpangan baku 150 gram. Pada penelitian ini

166 EPIDEMIOLOGI
ditetapkan kesalahan tipe I sebesar 5%, dan kesalahan tipe II sebesar
20%. Jumlah sampel ibu dengan IMT kurus sebanyak 15 orang dan ibu
dengan IMT normal sebanyak 20 orang. Dengan hipotesis dua arah,
hitunglah besar sampel minimal yang diperlukan pada penelitian ini
untuk membuktikan hubungan antara IMT dan berat bayi lahir?

DAFTAR PUSTAKA
1. Kirkwood BR, Sterne JAC. Medical Statistics. Second ed. Victoria:
Blackwell Science; 2003. p.9
2. Budiman C. Pengantar Statistik Kesehatan. Jakarta: EGC; 1995. p.37-45
3. Sudjana. Metoda Statistika. 6, editor. Bandung: Tarsito; 1975.
4. Last JM. A. Dictionary of Epidemiology. Edition F, editor. New York: Oxford
University Press; 2001. p.162-163
5. Perhitungan Besar Sampel (database on the Internet). E Library
Fakultas Kedokteran UWKS. 2011.
6. Elwood M. Critical Appraisal of Epidemiological Studies and Clinical Trials.
New York: Oxford University Press; 2007. p.76-69
7. Sophiyudin D. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika; 2010. p.15-70
8. Hastono SP, Sabri L. Statistik Kesehatan. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada; 2010.
9. Najmah, Fenny Etrawati, Yeni, Feranita Utama. Pemodelan Kawasan
Tanpa Rokok (non-smoking area modeling) pada tingkat rumah tangga di
Kabupaten Ogan Ilir– Sumatera Selatan-Indonesia’(Modelling of Non-
Smoking Area in Household Level in Ogan Ilir City, South Sumatera,
Indonesia). Proposal Hibah Kompetitif Ogan Ilir: BOPTN Universitas
Sriwijaya; 2014.
10. Najmah, Farouk H, Hasyim H. Berbagai faktor yang berhubungan
dengan perilaku ibu dalam mengunakan jamban sehat di daerah aliran
Sungai Musi. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. 2007; 39(1):8.

Bab 7 ~ Perhitungan Sampel dalam Penelitian 167


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
Bab 8

SURVEILANS DALAM
EPIDEMIOLOGI

Kompetensi Dasar yang ingin dicapai pada bab ini


adalah mahasiswa mampu memahami konsep surveilans
dan aplikasinya dalam epidemiologi. Indikator dalam
pencapaian kompetensi tersebut adalah mahasiswa mampu
menjelaskan konsep surveilans dalam epidemiologi,
mampu menjelaskan perbedaan surveilans aktif, pasif dan
sentinel, mampu menjelaskan prosedur surveilans untuk
beberapa penyakit menular dan tidak menular, dan mampu
menjelaskan contoh pelaksanaan surveilans epidemiologi.
Materi Pembelajaran pada bab ini adalah konsep
surveilans, surveilans aktif, pasif dan sentinel, aplikasi
surveilans.

169
A. Pendahuluan

B erikut merupakan gambaran awal kegiatan surveilans data penyakit


Tuberkulosis Paru (TB Paru) dan Flu Burung:

SURVEILANS TB PARU(1)
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular penting
yang muncul kembali (re-emerging communicable
disease) dewasa ini dan umumnya program yang
terkait dengan TB mempunyai data lengkap. Surveilans
umumnya relatif baik kualitasnya (dibandingkan dengan
program kesehatan lain). Hal ini, dikarenakan TB
merupakan penyakit yang mengancam hidup pada orang
dewasa yang biasanya mencari pertolongan pada dokter
yang kemudian menjaga catatan riwayat penyakit pada
pasien. Selanjutnya, pengobatan biasanya dilakukan di
bawah pengawasan, sehingga tersedia banyak informasi
terkait hasil pengobatan. Sebagian informasi tersebut
berbentuk data mentah; data penting lainnya yang tidak
dikompilasi (digabungkan) secara terpusat. Di berbagai
negara, surveilans data dilengkapi dengan informasi
dari survei berbasis populasi dan kedua jenis data
tersebut saling melengkapi informasi tentang penyakit.
Analisis data rutin surveilans dapat terlihat melalui:
• Beban nasional akibat TB
• Trend/Grafik insiden TB
• Konsistensi angka penemuan kasus TB
(case detection rates)
• Variasi insiden TB per wilayah/daerah

Studi kasus TB Paru dan Flu Burung adalah sebagian upaya kecil
dalam mengontrol penyebaran penyakit menular di Indonesia dan
beberapa negara di dunia. Ketika kita mempunyai data rutin, ini sangat
membantu dalam mengetahui trend penyaki tertentu sehingga jika
terjadi wabah/outbreak maka akan diidentifikasi dengan cepat. Biasanya
dinas kesehatan mengumpulkan data baik secara aktif ataupun pasif
dari berbagai Puskesmas di wilayah kerjanya untuk penyakit menular

170 EPIDEMIOLOGI
yang penting. Sedangkan, untuk beberapa penyakit menular yang tidak
rutin, seperti kejadian Flu Burung pada manusia, surveilans sentinel
merupakan alternatifnya. Jadi pencarian data dipusatkan pada pusat-pusat
kemungkinan terjadinya penyebaran penyakit seperti di pasar tradisional,
tempat pemotongan unggas, dan tempat pengolahan makanan berbasis
unggas.
Surveilans dan kegiatan analisis diperlukan untuk mengukur kemajuan
terkait target penyakit khusus dalam Millennium Development Goals. Misal:
penanggulangan TB termasuk dalam MDGS No. 6 yakni memerangi
penyakit HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya. Penanggulangan TB
termasuk dalam MDGS No. 6 yakni memerangi penyakit HIV/AIDS,
malaria dan penyakit lainnya.(1)

Tabel 51. Indikator MDGs No. 6 memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya

Target 8 Ditanggulanginya penyakit tersebut pada tahun 2015


dan mulai menurunkan kejadian malaria dan penyakit
utama lainnya.
Indikator- indikator Prevalensi TB dan angka kematian; proporsi kasus TB
TB (23-24 dari 48) terdeteksi dan sembuh dalam program DOTS.
Definisi Operasional Jumlah kasus BTA (+) (per 100.000 penduduk); jumlah
kematian akibat TB per 100.000 penduduk/tahun;
proporsi estimasi kasus TB BTA (+) yang terdeteksi
dalam program DOTS pertahun; proporsi kasus TBBTA
(+) yang berhasil diobati dengan DOTS.
Tujuan Khusus Pada tahun 2015, diestimasikan penurunan prevalensi
hingga 50%, penurunan angka kematian hingga
50%; meningkatkan angka deteksi kasus hingga 70%;
meningkatkan angka penyembuhan TB hingga 85%
dari tahun 2000.
Sumber: Bonita R, 2006

Bab 8 ~ Surveilans dalam Epidemiologi 171


Surveilans Sentinel mengatasi Flu Burung
di Indonesia(2)
Flu burung adalah penyakit menular yang mengakibatkan
unggas seperti ayam, angsa, bebek, dan kalkun sakit dan
mati. Walaupun virus ini menyerang Hong Kong dan
Cina pada awalnya, Indonesia terindentifikasi sebagai
negara yang mempunyai kasus Flu Burung pada manusia
terbesar di dunia, dari 33,13 % dari 332 kasus flu burung
pada manusia di dunia pada 25 Oktober 2007. Lebih dari
itu, 110 kasus konfirmasi positif flu burung, 89 kasusnya
meninggal dengan angka case fatality mencapai 80.9 %.

Virus flu burung dapat bermutasi dan akibatnya flu


burung bisa ditularkan pada manusia. Masalah mendasar
yang mempercepat penyebaran flu burung di Indonesia
adalah lingkungan yang tidak sehat dan tingkat perilaku
hidup bersih dan sehat masih rendah. Selain itu,
kurang efektifnya upaya pemerintah pada promosi dan
pencegahan flu burung memperburuk penanganan flu
burung di Indonesia. Hal pokok yang harus dilakukan
yaitu pencegahan penyebaran flu burung antar unggas,
unggas ke manusia dan manusia ke manusia. Melakukan
perilaku hidup bersih dan sehat dan lingkungan sehat pada
pusat penyembelihan dan penjualan unggas, pengolahan
unggas oleh ibu rumah tangga dan memelihara dan deteksi
dini dengan melakukan surveilans sentinel pada pusat-
pusat unggas sangatlah penting untuk meminimalkan
angka kesakitan dan kematian akibat flu burung.

B. Konsep dan Definisi Surveilans dalam Epide­miologi


Pada bab awal telah dijelaskan bahwa epidemiologi merupakan suatu
studi tentang distribusi dan determinan terkait permasalahan kesehatan
di daerah tertentu atau kejadian yang spesifik dalam suatu populasi
dan aplikasi penelitian ini yakni sebagai upaya untuk mencegah dan
mengendalikan permasalahan kesehatan(4) Ahli epidemiologi tidak hanya

172 EPIDEMIOLOGI
berfokus pada permasalahan yang terkait dengan kematian, penyakit dan
kecacatan saja, tetapi juga pada isu kesehatan positif yang bertujuan untuk
meningkatkan kesehatan pada suatu negara. Istilah “penyakit” meliputi
semua perubahan kesehatan yang kurang baik, termasuk cedera dan
kesehatan mental.
Surveilans merupakan suatu proses yang sistematik meliputi
pengumpulan, pemeriksaan, analisis data serta diseminasi informasi
pada waktu dan orang yang tepat sehingga dapat dilakukan tindakan
lanjutan. Menurut WHO, surveilans merupakan ciri penting dalam praktik
epidemiologi. Keutamaan dari kegiatan monitoring terhadap fakta adalah
merupakan suatu proses dan berkelanjutan di mana monitoring merupakan
kegiatan berselang dan tidak disengaja. Selain itu, Center for Disease Control
and Prevention (CDC) mendefinisikan surveilans sebagai suatu proses
sistematik meliputi pengumpulan, analisis, dan interpretasi dari data
kesehatan, berguna untuk perencanaan, pelaksanaan dan penilaian praktik
kesehatan masyarakat yang terkait erat dengan waktu diseminasi data
kepada pihak yang memerlukan informasi tersebut. Oleh karena itu, data
hasil surveilans ini dapat digunakan sebagai landasan dalam melakukan
tindakan pencegahan dan penanggulangan (pengontrolan). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa sistem surveilans meliputi kapasitas fungsional
dari pengumpulan data, analisis dan diseminasi terkait berbagai program
kesehatan masyarakat.(4-7)

C. Tujuan dan Manfaat Pelaksanaan Surveilans


Ada 10 (sepuluh) penyebab utama kematian di dunia pada tahun
2012, meliputi: 1) Penyakit Jantung Iskemik, 2) Stroke, 3) COPD, 4) ISPA,
5) Gangguan Tenggorokan, Bronkus dan Kanker Paru, 6) HIV/AIDS, 7)
Diare, 8) Diabetes Melitus, 9) Kecelakaan lalu lintas, dan 10) Hipertensi.
(8)
Umumnya kematian disebabkan oleh 68 % penyakit tidak menular dan
menular. Pentingnya pelaksanaan monitoring dan pengumpulan data terpadu
dalam mengurangi angka kematian penyakit tersebut sehingga program
kesehatan yang sedang atau akan dilaksanakan sesuai dengan kondisi
kesehatan masyarakat di suatu negara ataupun provinsi.

Bab 8 ~ Surveilans dalam Epidemiologi 173


Pelaksanaan surveilans utamanya memiliki tujuan sebagai berikut.(1, 9)
1. Mengidentifikasi, mendefinisikan, dan mengukur besaran masalah
kesehatan.
2. Mengumpulkan dan menyusun data tentang masalah (dan jika
mungkin, faktor-faktor yang memengaruhinya).
3. Menganalisis dan menginterpretasikan data tersebut.
4. Menyediakan data dan bertanggung jawab untuk menginter­pretasikan
data dalam rangka pengendalian masalah kesehatan.
5. Memantau dan mengevaluasi secara berkala manfaat dan kualitas
surveilans untuk perbaikan pada penggunaan masa depan. Yang
perlu diperhatikan adalah surveilans sebuah masalah/penyakit tidak
termasuk tindakan untuk mengontrol masalah.
Sebagai suatu unsur penting dalam epidemiologi praktis, surveilans
memiliki kegunaan sebagai berikut.(10)
1. Mengenali kasus tertutup atau pada kelompok (klaster) tertentu.
2. Menilai dampak program kesehatan masyarakat dan menilai pola
permasalahan kesehatan masyarakat (tren).
3. Mengukur faktor-faktor risiko/penyebab penyakit.
4. Memantau efektivitas dan mengevaluasi dampak program pencegahan
serta mengontrol pengukuran, strategi intervensi dan perubahan
kebijakan kesehatan.
5. Membuat perencanaan dan menyediakan pengobatan/perawatan.
6. Mengestimasi besaran masalah dalam epidemiologi dan memonitoring
pola penyakit:
a. Menguatkan komitmen.
b. Memobilisasi komunitas/masyarakat.
c. Melakukan advokasi untuk mencukupi sumber daya manusia dan
sumber dana lainnya.

174 EPIDEMIOLOGI
D. Sumber Data Surveilans
Surveilans seharusnya memberikan gambaran yang terperinci
mengenai data surveilans yakni berupa kegiatan kontinu atau berkelanjutan
dalam menganalisis, menginterpretasikan dan memberikan umpan balik
dari pengumpulan data secara sistematik. Biasanya, proses tersebut
mengutamakan penggunaan metode secara praktis, satu kesatuan dan
cepat dibandingkan keakuratan dan kelengkapan. Melalui pengamatan
terhadap trend orang, tempat dan waktu, perubahan dapat diamati atau
diantisipasi dengan menggunakan program (kegiatan) yang tepat termasuk
investigasi dan pengukuran terhadap sumber-sumber data yang terkait
secara langsung dengan penyakit atau faktor-faktor yang memengaruhi
terjadinya penyakit tersebut.
Untuk mendukung analisis pelaksanaan surveilans di masyarakat dan
perencanaan program tindak lanjut, maka diperlukan data yang adekuat.
Berikut berbagai sumber data yang dapat digunakan untuk memenuhi
tujuan surveilans yakni meliputi karakteristik penyakit baik secara umum
dan khusus, meliputi:(4)
1. Laporan mortalitas dan morbiditas berdasarkan registrasi kematian,
laporan rumah sakit, aktivitas sentinel umum, atau catatan penting
lainnya.
2. Diagnosis laboratorium.
3. Laporan outbreak atau wabah.
4. Pemanfaatan vaksin (pemanfaatan dan efek samping).
5. Catatan ketidakhadiran karena sakit.
6. Faktor yang memengaruhi penyakit termasuk perubahan biologis
dalam bibit penyakit, vektor maupun perantara.
7. Kerentanan keparahan penyakit diukur melalui tes kulit atau surveilans
serologi (bank serum).
Pengumpulan data dalam surveilans dapat dilakukan melalui berbagai
elemen dalam rantai penyebab penyakit misalnya faktor risiko perilaku,
kegiatan pencegahan penyakit, kasus dan program serta biaya pengobatan

Bab 8 ~ Surveilans dalam Epidemiologi 175


atau perawatan penyakit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup
sistem surveilans dibatasi oleh sumber daya manusia dan keuangan.
Berikut adalah contoh data yang dapat diperoleh dari data registrasi,
antara lain:(9)
1. Register Vital: Pencatatan kelahiran, pernikahan dan perceraian,
pencatatan kematian.
2. Register digunakan dalam pengobatan pencegahan: Register imunisasi,
register dari orang yang berisiko, register orang positif bagi kondisi
genetic tertentu.
3. Register penyakit tertentu: Register buta, register lahir cacat, register
kanker, register kasus phychiatic, register penyakit jantung iskemik.
4. Register pengobatan: Register radioterapi, register tindak lanjut untuk
mendeteksi penyakit thypoid latrogenic.
5. Register pasca perawatan: Anak-anak cacat, orang cacat.
6. Register dari orang yang berisiko: Anak-anak yang berisiko tinggi
terhadap masalah kesehatan, register bahaya Kerja, register Bahaya
medis, register Orang tua sakit kronis, korban bom atom (Jepang),
dunia perdagangan (New York City).
7. Keterampilan dan register sumber daya.
8. Studi penelitian prospektif.
9. Pendaftar informasi spesifik.

E. Surveilans Aktif, Pasif dan Sentinel


Secara umum, surveilans epidemiologi secara umum terbagi menjadi
3 (tiga) jenis pendekatan yakni surveilans aktif, surveilans pasif dan
surveilans sentinel.(5, 11)

1. Surveilans Aktif
Pemeriksaan serologi untuk penyakit malaria bisa kita lakukan pada
daerah endemis Malaria jika data yang tersedia oleh tenaga kesehatan
tidak lengkap ataupun angka insiden terlihat rendah. Ataupun surveilans

176 EPIDEMIOLOGI
terhadap angka cakupan imunisasi dapat dilakukan di suatu negara, jika
data yang ada di departemen kesehatan di negara setempat menunjukkan
angka cakupan imunisasi tinggi tetapi angka insiden penyakit Polio, Campak
dan Difteri masih tersebar tinggi di beberapa provinsi. Contoh lainnya,
adanya wabah keracunan makanan di desa X setelah penyelenggaraan pesta
pernikahan, lalu tenaga surveilans kesehatan melakukan pengumpulan data
dengan wawancara dan mengumpulan sampel makanan untuk diperiksa
di laboratorium.
Beberapa contoh di atas adalah sedikit contoh pelaksanaan surveilans
aktif. Surveilans aktif pada umumnya menggunakan petugas khusus
surveilans yang akan melakukan kunjungan berkala ke lapangan, desa-
desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya meliputi
puskesmas, klinik, dan rumah sakit. Tujuan kegiatan ini adalah untuk
mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan
kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus yang terindeks.
Beberapa kelebihan surveilans aktif yakni tingkat keakuratannya lebih
baik dibandingkan surveilans pasif. Hal ini disebabkan karena petugas
secara khusus untuk ditunjuk untuk melakukan kegiatan surveilans untuk
penyakit tertentu. Selain itu, surveilans aktif dapat mengidentifikasi wabah/
outbreak lokal. Namun demikian, surveilans aktif memiliki kelemahan
yakni membutuhkan biaya yang lebih besar serta tingkat kesulitan untuk
operasionalisasinya lebih tinggi dibandingkan surveilans pasif.

2. Surveilans Pasif
Prinsip surveilans pasif adalah memantau penyakit secara pasif, dengan
menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang
tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan meliputi puskesmas, klinik dan
rumah sakit. Surveilans pasif memiliki beberapa kelebihan juga yakni relatif
murah dan mudah untuk dilakukan dibandingkan dengan surveilans aktif.
Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit
infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans pasif dapat
dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional.
Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi
kecenderungan/trend penyakit. Data yang dihasilkan cenderung under-

Bab 8 ~ Surveilans dalam Epidemiologi 177


reported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan kesehatan
formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya
rendah, karena waktu petugas terbagi dengan tanggung jawab utama
memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan masing-masing.
Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen pelaporan perlu dibuat
sederhana dan ringkas.

3. Surveilans Sentinel
Sistem surveilans sentinel diaplikasikan ketika daya dengan kualitas
tinggi dibutuhkan mengenai penyakit tertentu yang tidak bisa diperoleh
dari sistem surveilans pasif. Sistem sentinel membutuhkan jaringan
atau pusat titik pelaporan kasus yang terpilih. Misalnya pelaporan kasus
meningococcus atau Pnemumococcus pada jaringan rumah sakit besar
yang memiliki kualitas data yang baik.(12) Pusat kesehatan yang bisa
dijadikan pusat surveilans sentinel, harus memenuhi beberapa kriteria, mau
berpartisipasi, melayani populasi yang luas, sumber daya tenaga kesehatan
untuk mendiagnosis, merawat kasus dan melaporkan kasus yang terdektis
oleh surveilans dan memiliki laboratorium diagnostik dengan kualitas baik.
Penggunaan situasi sentinel telah menjadi pendekatan yang lebih
disukai untuk human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome
(HIV /AIDS). Surveilans untuk negara tertentu di mana surveilans berbasis
populasi nasional untuk infeksi HIV tidak layak. Pendekatan ini didasarkan
pada survey serologi periodic dilakukan di lokasi yang dipilih dengan
subkelompok populasi yang terdefinisi dengan baik (misalnya, klinik
prenatal). Dalam strategi ini, pejabat kesehatan menentukan subkelompok
populasi dan daerah untuk belajar dan kemudian mengidentifikasi sarana
pelayanan kesehatan yang melayani para penduduk yang mampu dan
bersedia untuk berpartisipasi. Fasilitas ini kemudian melakukan survei
serologi setidaknya setiap tahun untuk memberikan perkiraan statistik
yang valid dari prevalensi HIV.
Sistem surveilans lainnya yang dapat diperluas pada level komunitas,
disebut surveilans komunitas (community surveillance). Dalam surveilans
komunitas, informasi dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader
kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan diagnosis kasus bagi kader

178 EPIDEMIOLOGI
kesehatan. Definisi kasus yang sensitif dapat membantu para kader
kesehatan mengenali dan merujuk kasus tersangka (probable cases) ke
fasilitas kesehatan tingkat pertama.Petugas kesehatan di tingkat lebih
tinggi dilatih menggunakan definisi kasus lebih spesifik, yang memerlukan
konfirmasi laboratorium. surveilans komunitas mengurangi kemungkinan
negatif palsu (JHU, 2006).(8)

F. Aplikasi Pelaksanaan Surveilans


1. Pelaksanaan EWARS (The Early Warning Alert and Response
System)
Terdapat berbagai aplikasi dalam surveilans cepat, salah satunya adalah
EWARS (The Early Warning Alert and Response System) atau lebih dikenal dengan
sistem kewaspadaan dini terkait penyakit dan permasalahan kesehatan.(9)
EWARS merupakan salah satu perangkat dalam surveilans untuk mengetahui
secara dini adanya sinyal peringatan/ancaman penyakit menular potensial
KLB. Sebagian besar penyebab penyakit menular yang masuk dalam sistem
kewaspadaan dini adalah penyakit menular yang rata-rata memiliki masa
inkubasi selama 1 minggu (Kemenkes RI, 2011).(13) Menurut WHO (2008),
Sistem Kewaspadaan Dini meliputi 3 (tiga) hal utama yaitu peramalan
peristiwa yang akan datang, pengolahan dan penyebaran informasi kepada
pengambil kebijakan dan masyarakat serta melakukan tindakan yang tepat
dan tepat waktu. Sedangkan respons adalah tindakan yang diambil sebelum,
selama dan segera setelah terjadinya bencana, untuk memastikan bahwa
dampak dari bencana dapat diminimalkan serta memberikan bantuan dan
dukungan kepada masyarakat.(6)
Tujuan pelaksanaan Sistem Kewaspadaaan Dini dan Respons adalah:(13)
1) Menyelenggarakan deteksi dini Kejadian Luar Biasa (KLB) bagi
penyakit menular.
2) Stimulasi dalam melakukan pengendalian KLB penyakit menular.
3) Meminimalkan kesakitan/kematian yang berhubungan dengan KLB.
4) Memonitor kecenderungan penyakit menular.
5) Menilai dampak program pengendalian penyakit yang spesifik.

Bab 8 ~ Surveilans dalam Epidemiologi 179


Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan
RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004. Kejadian Luar Biasa dijelaskan sebagai
timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna
secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Kriteria
tentang Kejadian Luar Biasa mengacu pada Keputusan Dirjen No. 451/91,
tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan KLB.(13)
Dalam mendukung sistem pelaporan EWARS yang baik, diperlukan
kerja sama dan komitmen dari petugas kesehatan secara umum dan
petugas surveilans secara khusus, mulai dari tingkat bawah hingga tingkat
atas sebagai pengambil keputusan dalam menanggulangi permasalahan
kesehatan yang terkait data surveilans. Skema berikut menggambarkan
perjalanan data surveilans yang dikumpulkan oleh petugas.

Pasien
Pustu, Klinik Swasta/
Rawat Jalan
Bidan Desa Private
Puskesmas

Pengumpulan Spesimen Petugas Surveilans Puskesmas

Pengiriman Spesimen Petugas Surveilans Kabupaten/Kota

Petugas Surveilans Provinsi

Otoritas Kesehatan Nasional


Konfirmasi
(Kemenkes RI), Laboratorium Nasional
Laboratorium Provinsi
(Balitbangkes), WHO

Sumber: Pedoman Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons, Kemenkes RI, 2012(14)

Gambar 37. Skema pengiriman data

Selain dilaporkan dalam format laporan (W2), kejadian penyakit atau


permasalahan kesehatan di suatu wilayah dilaporkan dalam format SMS.
Adapun isi dari SMS tersebut meliputi minggu epidemiologi, nama unit
pelapor, kode sms penyakit dan banyaknya kasus. Berikut disajikan kode
SMS untuk berbagai penyakit dan kemudian berdasarkan kode tersebut
dapat dibuat format laporan SMS:(13, 15)

180 EPIDEMIOLOGI
FORMAT LAPORAN VIA SMS

Contoh penulisan SMS: 2,pustu sukoharjo,A10,B15,H3,T4,X110,


artinya:
Minggu epidemiologi ke 2, nama unit pelapor adalah pustu sukoharjo, jumlah
kasus diare = 10, jumlah kasus malaria = 15, jumlah kasus tersangka chikungunya
= 3, jumlah kasus klaster penyakit yang tidak lazim = 4, Jumlah kunjungan = 110

Tabel 52. Kode SMS untuk berbagai penyakit


KODE SMS PENYAKIT JUMLAH KASUS BARU
A Diare Akut
B Malaria Konfirmasi
C Tersangka Demam Dengue
D Pneumonia
E Diare Berdarah atau Disentri
F Tersangka Demam Tifoid
G Sindrom Jaundis Akut
H Tersangka Chikungunya
J Tersangka Flu Burung pada Manusia
K Tersangka Campak
L Tersangka Difteri
M Tersangka Pertussis
N AFP (Lumpuh Layuh Mendadak)
P Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies
Q Tersangka Antraks
R Tersangka Leptospirosis
S Tersangka Kolera
T Klaster Penyakit yang tidak lazim
U Tersangka Meningitis/Ensefalitis
V Tersangka Tetanus Neonatorum
W Tersangka Tetanus
Y ILI (Influenza Like Illness)
Z Tersangka HFMD
X TOTAL (JUMLAH KUNJUNGAN)**
*Pilih salah satu (puskesmas atau pustu atau bidan)
**adalah jumlah seluruh kunjungan pada minggu ini di unit pelayanan kesehatan

Bab 8 ~ Surveilans dalam Epidemiologi 181


Sebagai suatu sistem kewaspadaan dini maka waktu pelaporan kasus
didesain per minggu. Hal ini bertujuan agar data yang didapat di lapangan
selalu up to date sesuai dengan kondisi kesehatan masyarakat pada waktu
tersebut. Oleh karena itu, penanganan kasus juga dapat dilakukan dalam
waktu yang cepat sebelum terjadi penyebaran yang lebih luas berikut
digambarkan Format Laporan Mingguan (W2) dalam EWARS:(13, 15)

FORMAT LAPORAN MINGGUAN (W2)

Puskesmas/Pustu/Bidan* : ..................................................
Kecamatan : ..................................................
Kabupaten/Kota : ………………..................................
Periode pelaporan dari Minggu tanggal ……/……/…….. sampai Sabtu tanggal
……/……/……….

Minggu Epidemiologi ke- : ..........

Kekeliruan dalam pelaporan EWARS mungkin saja terjadi, salah


satunya dapat disebabkan kesalahan dalam memasukkan kode penyakit
dalam format SMS. Kesalahan ini bisa dipicu karena kesalahan dalam
memasukkan kasus penyakit berdasarkan definisi operasionalnya.(13, 15)
Berikut disajikan definisi operasional per kasus/penyakit yang termasuk
dalam EWARS:

Tabel 53. Definisi operasional kasus/penyakit


KODE
PENYAKIT DEFINISI OPERASIONAL
SMS
A Diare Akut • Pada dewasa: BAB (defekasi) dengan tinja lembek atau
setengah cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali sehari atau
dapat berbentuk cair saja.
• Pada anak: BAB yang frekuensinya lebih sering dari biasanya
(pada umumnya 3 kali atau lebih per hari dengan konsistensi
cair dan berlangsung kurang dari 7 hari).
• Pada neonatus yang mendapat ASI: diare akut adalah buang
air besar dengan frekuensi lebih sering (biasanya 5-6 kali per
hari) dengan konsistensi cair.
B Malaria Penderita yang di dalam tubuhnya ada plasmodium atau parasit
Konfirmasi malaria dan dibuktikan dengan RDT (Rapid Diagnostic Test)
positif dan/atau pemeriksaan Mikroskopis positif.

182 EPIDEMIOLOGI
C Tersangka Demam mendadak tanpa sebab yang jelas 2-7 hari, mual,
Demam Dengue muntah, sakit kepala, nyeri di belakang bola mata (nyeri retro
orbital), nyeri sendi, dan adanya manifestasi perdarahan
sekurang-kurangnya uji torniquet positif.
D Pneumonia Pada usia <5 tahun ditandai dengan batuk dan/atau tanda
kesulitan bernapas (adanya nafas cepat, kadang disertai tarikan
dinding dada bagian bawah kedalam (TDDK) atau gambaran
radiologi foto torak menunjukkan infiltrat paru akut), frekuensi
napas berdasarkan usia penderita:
• <2 bulan: 60/menit
• 2-12 bulan: 50/menit
• 1-5 tahun: 40/menit
Pada usia >5thn ditandai dengan demam ≥ 38°C, batuk dan/
atau kesulitan bernapas, dan nyeri dada saat menarik napas.
E Diare Berdarah Diare dengan darah disertai atau tidak disertai dengan lendir
atau Disentri dalam tinja, dapat juga disertai dengan adanya tenesmus.
F Tersangka Dengan anamnesis pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam,
Demam Tifoid gangguan saluran cerna dan tanda gangguan kesadaran.
G Sindrom Gejala penyakit yang timbul secara mendadak (< 14 hari)
Jaundice Akut ditandai dengan kulit dan sklera berwarna ikterik/kuning dan
urin berwarna gelap.
H Tersangka Demam mendadak di atas 38,5 °C dan nyeri sendi yang hebat
Chikungunya dapat disertai adanya ruam.
J Tersangka Flu ILI dengan kontak unggas sakit atau mati mendadak, produk
Burung pada unggas atau leukopenia atau pneumonia.
Manusia
K Tersangka Demam >38°C selama 3 hari atau lebih disertai bercak
Campak kemerahan berbentuk makulopapular, batuk, pilek atau mata
merah (konjungivitis).
L Tersangka Difteri Panas >38°C, sakit menelan, sesak napas disertai bunyi (stridor)
dan ada tanda selaput putih keabu-abuan (pseudomembran)
di tenggorokan dan pembesaran kelenjar leher.
M Tersangka Batuk lebih dari 2 minggu disertai dengan batuk yang khas
Pertussis (terus-menerus/paroxysmal), napas dengan bunyi “whoop”
dan kadang muntah setelah batuk.
N AFP (Lumpuh Kasus lumpuh layuh mendadak, BUKAN disebabkan oleh ruda
Layuh paksa/trauma pada anak < 15 tahun.
Mendadak)
P Kasus Gigitan Kasus gigitan hewan (Anjing, Kucing, Tupai, Monyet, Kelelawar)
Hewan Penular yang dapat menularkan rabies pada manusia.
Rabies atau
Kasus dengan gejala stadium prodromal (demam, mual,
malaise/lemas), atau kasus dengan gejala stadium sensoris (rasa
nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka,
cemas dan reaksi berlebihan terhadap ransangan sensorik).

Bab 8 ~ Surveilans dalam Epidemiologi 183


Q Tersangka 1. Antraks Kulit (Cutaneus Anthrax); Papel pada inokulasi, rasa
Antraks gatal tanpa disertai rasa sakit, 2-3 hari vesikel berisi cairan
kemerahan, haemoragik menjadi jaringan nekrotik, ulsera
ditutupi kerak hitam, kering, Eschar (patognomonik), demam,
sakit kepala dan pembengkakan kelenjar limfe regional.
2. Antraks Saluran Pencernaan (Gastrointestinal Anthrax);
Rasa sakit perut hebat, mual, muntah, tidak nafsu makan,
demam, konstipasi, gastroenteritis akut kadang disertai
darah, hematemesis, pembesaran kelenjar limfe daerah
inguinal, perut membesar dan keras, asites dan oedem
scrotum, melena.
3. Antraks Paru-paru (Pulmonary Anthrax); Gejala klinis
antraks paru-paru sesuai dengan tanda-tanda bronchitis.
Dalam waktu 2-4 hari gejala semakin ber­kembang dengan
gangguan respirasi berat, demam, sianosis, dispnue, stridor,
keringat berlebihan, detak jantung meningkat, nadi lemah
dan cepat. Kematian biasanya terjadi 2-3 hari setelah gejala
klinis timbul.
R Tersangka Pasien dengan gejala demam < 9 hari dengan suhu > 38°C
Leptospirosis disertai gejala khas conjunctival suffusion (radang pada
konjungtiva), nyeri betis, jaundis/ikterik/kuning.
S Tersangka Kolera Penderita berumur lebih dari 5 tahun menjadi dehidrasi berat
karena diare akut cair secara tiba-tiba (biasanya disertai muntah
dan mual), tinjanya cair seperti air cucian beras tanpa rasa sakit
perut atau mulas.
T Klaster Penyakit Didapatkan tiga atau lebih kasus/kematian dengan gejala
yang tidak lazim sama di dalam satu kelompok masyarakat/ desa dalam satu
periode waktu yang sama (lebih kurang 7 hari), yang tidak
dapat dimasukkan ke dalam definisi kasus penyakit yang lain.
U Tersangka Panas > 38°C mendadak, sakit kepala, kaku kuduk, kadang
Meningitis/ disertai penurunan kesadaran dan muntah. Pada anak < 1 tahun
Ensefalitis ubun-ubun besar cembung.
V Tersangka Setiap bayi lahir hidup umur 3-28 hari sulit menyusu/menetek,
Tetanus dan mulut mencucu dan disertai dengan kejang rangsang.
Neonatorum
W Tersangka Ditandai dengan kontraksi dan kekejangan otot mendadak, dan
Tetanus sebelumnya ada riwayat luka.
Y ILI (Influenza Like Penderita dengan gejala demam ≥ 38°C disertai batuk atau
Illness) sakit tenggorokan.
Z Tersangka HFMD Demam 38 - 39°C dalam 3-7 hari, nyeri telan, nafsu makan turun,
(Hand, Foot, muncul vesikel di rongga mulut dan atau ruam di telapak tangan,
Mouth Disease) kaki dan bokong. Biasanya terjadi pada anak di bawah 10 tahun.
X Total Kunjungan Jumlah kunjungan pasien yang datang berobat dan terdaftar di
fasilitas kesehatan (puskesmas atau pustu).
Sumber: Depkes, Dinkes OI.(13, 15)

184 EPIDEMIOLOGI
2. STEPwise Approach to Surveillance (STEPS)
Secara global, penyakit serebrovaskular (stroke) merupakan penyebab
utama kedua kematian. Penyakit ini dominan terjadi pada orang dewasa usia
pertengahan dan lebih tua. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2005,
stroke sebagai penyumbang 5,7 juta kematian di seluruh dunia, setara dengan
9,9% dari seluruh kematian. Lebih dari 85% dari kematian ini diestimasikan
terjadi pada orang yang hidupdi negara-negara berpenghasilan rendah atau
menengah dan sepertiganya terjadi pada usia kurang dari 70 tahun.(16)
Stroke Internasional: pendekatan bertahap surveilans stroke
(STEPwise-stroke) yang membentuk kerangka kerja untuk pengawasan dan
pengumpulan data dan bertujuan untuk menyediakan data untuk semua
negara anggota WHO.(12) STEPwiseStroke mengidentifikasi tiga kelompok
yang berbeda dari pasien stroke yang menimbulkan beban stroke dalam
komunitas atau populasi tertentu. Urutan identifikasi didasarkan pada
kompleksitasnya meliputi: Informasi tentang pasien stroke dirawat
difasilitas kesehatan (Langkah 1), Identifikasi kejadian stroke fatal yang
berbasis masyarakat (Langkah 2), Perkiraan kejadian stroke non-fatal
berbasis masyarakat (Langkah 3).(16)

3. Food Borne Disease Surveillance


WHO mengembangkan surveilans penyakit yang disebarkan lewat
makanan. Penyebab atau agen pathogen penyakit yang di bawah makanan
antara lain Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE), Campylobacter Escherichia
coli infections, Salmonella, dan Shigella species.

G. Ringkasan
Surveilans merupakan kegiatan kontinu yang dilakukan untuk
menganalisis, menginterpretasikan dan memberikan umpan balik dari
pengumpulan data (penyakit menular dan tidak menular) secara sistematik.
Biasanya, proses tersebut mengutamakan penggunaan metode secara
praktis, satu kesatuan dan cepat dibandingkan keakuratan dan kelengkapan.
Surveilans terbagi menjadi tiga yaitu surveilans akti, surveilans pasif
dan sentinel. Surveilans aktif memiliki beberapa kelebihan yakni tingkat

Bab 8 ~ Surveilans dalam Epidemiologi 185


keakuratannya lebih baik dibandingkan surveilans pasif. Hal ini disebabkan
karena petugas dipekerjakan secara khusus untuk menjalankan tanggung
jawabnya. Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut
community surveilance. Dalam communiy surveilance, informasi dikumpulkan
langsung dari komunitas oleh kader kesehatan, sehingga memerlukan
pelatihan diagnosis kasus bagi kader kesehatan.
Untuk mendukung analisis pelaksanaan surveilans di masyarakat dan
perencanaan program tindak lanjut, maka diperlukan data yang adekuat.
Berikut berbagai sumber data yang dapat digunakan untuk memenuhi
tujuan surveilans yakni meliputi karakteristik penyakit baik secara umum
dan khusus, meliputi: Laporan mortalitas dan morbiditas berdasarkan
registrasi kematian, laporan rumah sakit, aktivitas sentinel umum, atau
catatan penting lainnya, diagnosis laboratorium, laporan outbreak. Atau
wabah, pemanfaatan vaksin (pemanfaatan dan efek samping), catatan
ketidakhadiran karena sakit, faktor yang memengaruhi penyakit termasuk
perubahan biologis dalam bibit penyakit, vektor maupun perantara,
kerentanan keparahan penyakit diukur melalui tes kulit atau surveilans
serologi (bank serum).

DAFTAR PUSTAKA
1. Bonita R, Baeglehole R, Kjellstorm T. Basic of Epidemiology.
Switzerland: WHO Press; 2006 (cited. Available from: http://
whqlibdoc.who.int/publications/2006/9241547073_eng.pdf. p.127-
130
2. Najmah, Ainy A. Problem Solving of Avian Influenza in Indonesia.
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. 2007;39(3):3.
3. Departemen Kesehatan RI. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta: Depkes
RI; 2009.
4. Last JM. A. Dictionary of Epidemiology. Edition F, editor. New York:
Oxford University Press; 2001. p. 167, 174
5. Webb P, Bain C, Pirozzo S. Essential Epidemiology, An Introduction for
Students and Health Professionals. New York: Cambridge University Press;
2005.p.76-87

186 EPIDEMIOLOGI
6. World Health Organization. Communicable Disease Alert and
Response for Mass Gatherings (Key Considerations). Genewa: WHO
Publisher; 2008 (cited. Available from: http://www.who.int).
7. World Health Organization. Surveillance for Prevention, Preparedness
and Early Warning. Genewa: WHO Publisher; 2014 (cited. Available
from: http://www.who.int/cholera/surveillance/en/).
8. World Health Organisation. The Top 10 Causes of Deadth. Journal (serial
on the Internet). 2012 Date: Available from: http://www.who.int/mediacentre/
factsheets/fs310/en/.
9. Centers for Disease Control and Prevention(CDC). Principles of
Epidemiology in Public Health Practice. Public Health Surveillance. Atlanta:
CDC.
10. Rehle T, Lazzari S, Dallabetta G, Asamoah-Odei E. Second-Generation
HIV Surveillance: Better Data for Decision Making Bull World Health
Organization. 2004;82(Medicine):7.
11. Gordis L. Epidemiology. 4th, editor.: Saunders; 2009.
12. World Health Organisation. Sentinel Surveillance. Journal (serial on the
Internet). 2014 Date: Available from: http://www.who.int/immunization/
monitoring_surveillance/burden/vpd/surveillance_type/sentinel/en/.
13. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons
(EWARS). Jakarta: Ditjen PP&PL Kemenkes RI; 2012.
14. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons.
Jakarta: Kemenkes; 2012.
15. Dinas Kesehatan Ogan Ilir Sumsel. Arsip EWARS dan Surveillans.
Indralaya: Kemenkes; 2012.
16. World Health Organization. STEPwise Approach to Stroke Surveillance.
Genewa: WHO Publisher; 2014. (cited. Available from: http://www.
who.int/chp/steps/stroke/en/.
17. Baltimore. Disaster Epidemiology. John Hopkins University; 2006.

Bab 8 ~ Surveilans dalam Epidemiologi 187


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
Bab 9

TELAAH KRITIS PENELITIAN


OBSERVASIONAL
EPIDEMIOLOGI

Kompetensi Dasar pada bab ini mahasiswa mampu


menganalisis dan mengkritisi laporan penelitian observasi di
jurnal-jurnal penelitian. Indikator pencapaian kompetensi ini
adalah mahasiswa mampu menjelaskan unsur-unsur dalam
penulisan penelitian pada jurnal penelitian observasi, mampu
mengidentifikasi kriteria dalam penulisan hasil penelitian
observasi dan mampu menganalisis hasil penelitian observasi
dibandingkan dengan standar penulisan yang berlaku untuk
setiap jenis desain penelitian
Materi Pembelajaran pada bab ini adalah review konsep
penelitian observasional, istilah penting dalam telaah kritis
desain observasional dan panduan dalam laporan penelitian
pada desain observasional (The Strengthening the Reporting of
Observational Studies in Epidemiology (STROBE) Statement:
guidelines for reporting observational studies)

189
A. Penelitian Observasional dalam Epidemiologi

P
enelitian observasional merupakan penelitian di mana peneliti hanya
melakukan observasi, tanpa memberikan intervensi pada variabel
yang akan diteliti. Secara garis besar, studi desain observasional ada
tiga jenis: potong lintang (cross sectional), kohort (cohort), dan kasus kontrol
(case-control). Perbedaan secara umum terletak pada faktor paparan (exposure
factors) dan kejadian penyakit (disease). Studi desain potong lintang, faktor
paparan dan kejadian penyakit terjadi pada masa sekarang secara bersamaan
(in the present); studi desain kasus-kontrol, faktor paparan terjadi di masa
lalu dan kejadian penyakit terjadi pada masa sekarang; sedangkan studi
desain kohort, faktor paparan terjadi di masa sekarang, kemudian diselidiki
apakah kejadian penyakit akan terjadi di masa depan.(1, 2)

COHORT
CROSS SECTIONAL
KOHORT
POTONG LINTANG/SURVEI
paparan pada masa sekarang,
paparan dan outcome pada
Outcome pada masa depan
masa sekarang

CASE CONTROL

KASUS-KONTROL
paparan pada masa lalu,
Outcome pada
masa sekarang

Sumber: Bonita, 2006 dan Webb et al 2005(1, 2)

Gambar 38. Jenis penelitian observasional secara garis besar: potong lintang (cross
sectional), kohort (cohort), dan kasus kontrol (case-control)

B. Istilah-istilah Penting dalam Telaah Kritis Penelitian


Observasional Epidemiologi
Dua tipe utama penyebab error dalam studi epidemiologi adalah
kesalahan acak (random error) dan kesalahan sistematik (sistematics error).
Pada penyusunan sebuah penelitian, seorang ahli epidemiologi mencoba
untuk mengurangi kedua sumber kesalahan tersebut. Ada cara yang

190 EPIDEMIOLOGI
sederhana untuk membedakan antara kesalahan acak dan sistematik.
Bayangkan bahwa studi yang dilakukan, sampelnya bisa ditingkatkan
ukurannya sampai tak terbatas. Ada beberapa tingkat kesalahan yang bisa
dikurangi sampai titik maksimal jika sebuah penelitian memiliki sampel
yang sangat besar; hal-hal tersebut adalah kesalahan acak atau random
error. Jadi, semakin besar jumlah sampel, akan semakin mewakili populasi
yang diteliti sehingga kesalahan dalam pemilihan subjek sampel dapat
diminimalisir, dengan kata lain 95% derajat kepercayaan akan semakin
presisi. Sedangkan kesalahan yang tidak dipengaruhi dengan peningkatan
jumlah responden dalam penelitian disebut dengan kesalahan sistematik
(systematic error) atau dikenal dengan istilah bias.(3)
Bias terdiri dari bias seleksi, bias informasi dan bias recall (mengingat
kembali). Sebuah penelitian bisa menjadi bias pada saat memilih
subjek-subjek penelitian (bias seleksi) disebabkan kesalahan dalam
mengelompokkan responden (kelompok kasus atau kontrol). Bias dapat
juga terjadi karena informasi yang salah, atau disebabkan kesalahan
mengingat informasi pada kedua kelompok yang berbeda. Cara mengukur
variabel pada penelitian, atau faktor perancu yang tidak dikendalikan
dengan baik dapat meningkatkan bias pada penelitian.(3)

1. Bias Seleksi
Bias seleksi adalah kesalahan sistematik pada sebuah studi yang berasal
dari prosedur-prosedur yang digunakan untuk memilih subjek-subjek dan
faktor-faktor yang memengaruhi keikutsertaan responden dalam penelitian.
Bias tersebut terjadi ketika hubungan antara paparan dan penyakit yang
membedakan antara orang-orang yang berpartisipasi dengan orang yang
tidak berpartisipasi pada sebuah studi. Karena hubungan antara paparan
dan penyakit di antara yang tidak berpartisipasi tidak diketahui, keberadaan
bias seleksi biasanya diduga dan dapat diobservasi.
Bias seleksi juga bisa timbul dari beberapa pilihan yang dibuat
langsung oleh peneliti. Sebagai contoh, banyak penelitian tentang pekerja
yang membandingkan laju kematian antara pekerja-pekerja pada pekerjaan
khusus terhadap populasi umum. Perbandingan ini menjadi bias karena
populasi umum terdiri dari orang yang tidak bisa bekerja dikarenakan sakit.

Bab 9 ~ Telaah Kritis Penelitian Observasional 191


Akibatnya, keseluruhan dari laju kematian dari pekerja sering lebih rendah
daripada populasi pada umumnya, dan petunjuk perbandingan dari kedua
kelompok tersebut menjadi bias. Bias seleksi ini sering disebut sebagai efek
dari pekerja sehat. Sebuah cara untuk mencegah bias tersebut akan menjadi
perbandingan pada pekerja dengan pekerjaan khusus dan pekerja dengan
pekerjaan lainnya yang membedakan paparan atau hazard dalam pekerjaan
mereka. Jika semua subjek terlibat pada perbandingan adalah pekerja, maka
peneliti bisa menghindari bias dari efek pekerja sehat.

2. Bias Informasi
Bias informasi merupakan kesalahan sistematik dalam sebuah
penelitian yang bisa muncul karena informasi yang dikumpulkan tentang
atau dari subjek penelitian yang salah (tidak tepat). Informasi sering
dimaksudkan menjadi salah klasifikasi jika variabel yang diukur pada
sebuah kategori yang mutlak dan kesalahan yang mengakibatkan seseorang
ditempatkan pada sebuah kategori yang salah. Sebagai contoh, kesalahan
klasifikasi jika seorang perokok berat dikategorikan sebagai perokok
ringan. Khususnya, dua variabel utama dalam penelitian epidemiologi
menghubungkan paparan dan penyakit, bisa menimbulkan asosiasi yang
kurang tepat. Salah satu yang termasuk dalam bias informasi adalah bias
recall.
Bias recall adalah sebuah kesalahan sistematik dalam responden
mengingat dan melaporkan faktor risiko/paparan yang telah dia alami.
Responden yang mengalami suatu kondisi kesehatan seperti melahirkan
anak yang mengalami down syndrome akan lebih mengingat ataupun
sebaliknya tentang obat-obatan yang dia konsumsi selama kehamilannya
daripada ibu yang melahirkan anak normal. Klasifikasi yang berbeda-beda
karena informasi tentang faktor paparan salah diklasifikasi dengan cara
berbeda-beda untuk subjek dengan atau tanpa penyakit. Sama halnya
dengan kesalahan pengkategorian (differential misclassification) yaitu
kesalahan dalam hal follow up responden (biased follow up) di mana orang-
orang yang tidak terpapar terdiagnosis penyakit lebih banyak daripada
orang-orang yang terpapar. Sebagai contoh, seorang peneliti menggunakan
studi kohort untuk mengukur akibat dari merokok terhadap kejadian

192 EPIDEMIOLOGI
penyakit empisema. Pada penelitian tersebut ingin diketahui kejadian
empisema. Terdapat pertanyaan yang menanyakan tentang diagnosis medis
(terkait empisema) tetapi tidak dilakukan pemeriksaan untuk memastikan
diagnosis tersebut. Diagnosis tersebut (menggunakan kuesioner) mungkin
menyatakan terjadinya empisema. Diagnosis yang salah lebih sering terjadi
pada perokok daripada bukan perokok. Karena pada perokok, terdapat
komplikasi penyakit pernapasan yang menyerupai empisema.

3. Faktor Perancu
Faktor perancu atau confounding factors adalah distorsi dalam
memprediksi hubungan atau asosiasi antara faktor eksposur dan outcome
(hasil) sehingga asosiasi sebenarnya tidak tampak atau ditutupi oleh faktor
lainnya. Pengaruh faktor perancu bisa memperbesar atau memperkecil
hubungan sebenarnya. Jadi, suatu variabel mungkin sebenarnya bisa
faktor protektif terhadap suatu kondisi kesehatan atau penyakit, tetapi
hasil penelitian menunjukkan variabel tersebut bisa menjadi faktor risiko
terhadap suatu kondisi kesehatan atau penyakit atau hubungan. Dalam
setiap penelitian, faktor-faktor perancu akan selalu diidentifikasi sehingga
dalam pengolahan data, hasil asosiasi yang lebih akurat dapat diperoleh
setelah dikontrol oleh faktor perancu.(1, 4) Misal, faktor perancu bisa
ditemukan pertama, pada umur sebagai faktor perancu terhadap hubungan
merokok dan risiko kematian dan kedua, aktivitas fisik mendistorsi
hubungan antara asupan energi dan risiko terkena penyakit jantung (lebih
jelas lihat di Bab Faktor Perancu).

C. Pedoman Pelaporan Studi Desain Operasional


Banyak penelitian biomedis adalah observasional. Pelaporan
penelitian tersebut sering tidak memadai, yang menghambat penilaian
kekuatan dan kelemahan serta generalisasi suatu penelitian. Penguatan
pelaporan studi desain observasional pada epidemiologi atau The
Strengthening the Reporting of Observational Studies in Epidemiology (STROBE)
merupakan salah satu inisiatif dalam pengembangan rekomendasi tentang
apa yang harus disertakan dalam laporan yang akurat dan lengkap dari
studi observasional.(5)

Bab 9 ~ Telaah Kritis Penelitian Observasional 193


Tujuan dan penggunaan pernyataan STROBE adalah sebagai daftar
poin-poin yang harus dilengkapi dalam pelaporan artikel tiga desain
studi utama epidemiologi analitis yaitu kohort, kasus kontrol, dan studi
potong lintang. Tujuannya semata-mata untuk memberikan panduan
tentang bagaimana melaporkan penelitian observasional dengan baik,
tanpa membatasi peneliti dalam melakukan ataupun merancang studinya.
Pernyataan STROBE dikembangkan untuk membantu penulis saat
penulisan studi observasional analitik, untuk membantu editor dan tim
penelaah (reviewer) ketika akan mempertimbangkan penelitian tersebut
untuk publikasi, dan untuk membantu pembaca saat mengkritisi atau
menilai artikel yang dipublikasi.(5)
Pernyataan STROBE adalah sebuah daftar periksa yang terdiri dari 22
item yang dianggap penting untuk pelaporan yang baik dari sebuah studi
observasional (Tabel 53). Item ini terdiri dari judul artikel dan abstrak
(item 1), pengenalan (item 2 dan 3), metode (item 4-12), hasil (item
13-17), bagian diskusi (item 18-21), dan informasi lainnya (item 22 pada
pendanaan). Terdapat delapan belas item yang umum untuk semua desain
(cohort, case control, dan cross sectional), sedangkan empat item lainnya (item
6, 12, 14, dan 15) adalah diperuntukkan untuk desain tertentu, dengan
versi yang berbeda untuk seluruh atau sebagian dari item tersebut. Untuk
beberapa item (ditandai dengan tanda bintang), informasi harus diberikan
secara terpisah untuk kasus dan kontrol dalam studi case-control, dan
kelompok terpajan pada kohort dan studi cross-sectional. Meskipun disajikan
di sini sebagai daftar tunggal, daftar periksa terpisah untuk masing-masing
tiga desain studi di situs web Strobe (http://www.strobe-statement.org/
index.php?id=strobe-publications).(5) Berikut pernyataan STROBE daftar
item yang harus ditelaah dalam laporan studi observasional.

194 EPIDEMIOLOGI
Tabel 54. Cheklist STROBE pada penelitian observasional
Item No Rekomendasi
Judul dan 1 a) Menampilkan studi desain penelitian dengan istilah desain yang
Abstrak digunakan dalam judul atau abstrak, misal potong lintang, kasus
kontrol atau kohort.
b) Menyediakan abstrak, ringkasan informatif dan seimbang apa
yang telah dilakukan dan apa yang ditemukan.
Pendahuluan
Latar 2 Jelaskan latar belakang ilmiah dan rasional penelitian yang
Belakang dilaporkan.
Tujuan 3 Tujuan khusus, termasuk hipotesis yang lebih spesifik.
Metode
Desain studi 4 Menampilkan kunci utama yaitu studi desain pada penelitian.
Tempat dan 5 Jelaskan pengaturan, lokasi, dan tanggal yang relevan, termasuk
Waktu periode perekrutan, paparan, follow-up, dan pengumpulan data.
Responden 6 a) Studi kohort berikan kriteria pemilihan sampel, popu­lasi sumber
penelitian dan metode pemilihan sampel atau respon­den. Jelaskan metode
tindak lanjut atau follow up Studi kasus-kontrol berikan kriteria
kelayakan, dan sumber-sumber dan metode kasus penetapan dan
pemilihan kontrol. Berikan alasan untuk pilihan kasus dan kontrol
Studi cross-sectional berikan kriteria kelayakan, dan sumber-
sumber dan metode seleksi sampel atau responden.
b) Studi kohort Untuk studi dengan matching, jelaskan kriteria dan
jumlah terpajan dan tidak terpajan Studi kasus-kontrol untuk studi
matching, berikan kriteria dan jumlah kontrol per kasus.
Variabel 7 Jelas mendefinisikan semua hasil, eksposur, prediktor, perancu
potensial, dan efek modifikasi. Berikan kriteria diagnostik, jika berlaku.
Sumber Data/ 8* Untuk setiap variabel, memberikan sumber data dan rincian metode
Metode penilaian (pengukuran). Jelaskan perbandingan metode pengukuran
Pengukuran jika ada lebih dari satu kelompok.
Bias Ukuran 9 Jelaskan upaya untuk mengatasi potensi sumber bias.
Studi Variabel 10 Jelaskan cara pengukuran sampel.
Kuantitatif 11 Jelaskan bagaimana analisis data dilakukan. Jika ada, jelaskan
kelompok mana yang dipilih dan alasannya.
Metode 12 a) Jelaskan semua metode statistik, termasuk yang digunakan
Statistik untuk mengontrol faktor perancu.
b) Jelaskan metode yang digunakan untuk meneliti subgrup dan
interaksi.
c) Jelaskan bagaimana data yang hilang itu ditanggulangi.
d) Studi Cohort jika berlaku, menjelaskan bagaimana data lost of
follow up dijelaskan.
e) Studi kasus-kontrol Jika berlaku, menjelaskan bagaimana
matching kasus dan kontrol ditujukan.
f) Studi potong lintang Jika berlaku, menjelaskan metode
perhitungan dan pemilihan sampel.
g) Jelaskan setiap analisis sensitivitas.

Bab 9 ~ Telaah Kritis Penelitian Observasional 195


Hasil
Peserta 13* a) Laporkan jumlah individu pada setiap tahap desain penelitian
tersebut, jumlah responden yang memenuhi syarat, mengikuti
proses rekruitmen, dikonfirmasi memenuhi syarat, responden
yang masuk dalam penelitian, mengikuti penelitian hingga akhir,
dan lalu dianalisis.
b) Berikan alasan untuk responden yang tidak berparti­sipasi pada
setiap tahap.
c) Pertimbangkan penggunaan diagram alur.
Deskriptif 14* a) Tampilkan karakteristik peserta penelitian (misalnya, demografi,
Data klinis, sosial) dan informasi faktor paparan dan perancu
potensial.
b) Tampilkan jumlah peserta dengan data yang hilang atau tidak
lengkap.
Outcome 15* a) Studi Kohort menghitung total waktu follow up penelitian
Data (misalnya, rata-rata dan jumlah total).
b) Studi Kasus kontrol; laporan faktor risiko dan outcome/penyakit
atau rangkuman ukuran paparan.
c) Studi potong lintang; laporan jumlah outcome atau hasil
pengukuran.
Hasil Utama 16 a) Memberikan hasil analisis yang telah dikontrol oleh faktor perancu
dan, jika berlaku, nilai derajat kepercayaan di populasi.
b) Laporan batasan pengelompokan variabel kontinu ke variabel
kategori.
c) Jika relevan, pertimbangkan untuk menginterpretasikan
perkiraan risiko relatif menjadi risiko absolut untuk periode
waktu yang bermakna.
Analisis 17 Laporan lain analisis dilakukan dari sub kelompok dan interaksi, dan
lainnya analisis sensitivitas.
Pembahasan
Hasil utama 18 Merangkum hasil penelitian utama sesuai dengan tujuan penelitian.
penelitian
Keterbatasan 19 Diskusikan keterbatasan penelitian, seperti memper­timbangkan
sumber potensial bias atau tidak presisi.
Interpretasi 20 Berikan interpretasi hati-hati secara keseluruhan hasil memper­
timbangkan tujuan, keterbatasan, banyaknya analisis, hasil dari
penelitian serupa, dan bukti lain yang relevan.
Generalisasi 21 Diskusikan generalisasi (validitas eksternal) dari hasil studi.
Informasi Lain
Pendanaan 22 Berikan sumber pendanaan dan peran penyandang dana untuk
penelitian ini dan, jika berlaku, untuk studi utama yang menjadi
dasar penelitian ini.
Sumber: Vandenbroucke J, P, et al, 2007.(3)
(*) Berikan informasi tersebut secara terpisah untuk kasus dan kontrol dalam studi kasus-kontrol, dan, jika berlaku,
untuk terpajan dan tidak terpajan kelompok dalam kelompok dan studi cross-sectional.

196 EPIDEMIOLOGI
Latihan 1: Telaah Kritis Artikel Penelitian Kasus Kontrol

Judul Penelitian: “Hip Structure Associated With Hip Fracture in Women:


Data from the Geelong Osteoporosis Study (GOS) Data Analysis Geelong,
Australia”Peneliti: Najmah, L. Gurrin, M.Henry, J. Pasco Jurnal: International
Journal of Public Health Research Special Issue 2011, pp (185 192) Tahun: 2011

Silahkan didownload di
http://www.ijphr.ukm.my/Lists/Publish%20Issue/DispForm.aspx?ID=26

ABSTRAK JURNAL LATIHAN 1

Hip Structure Associated With Hip Fracture in Women: Data from the Geelong
Osteoporosis Study (GOS) Data Analysis-Geelong, Australia(6)
Najmah1*, L. Gurrin2, M.Henry3, J.Pasco3

Faculty of Public Health Sriwijaya University, Kampus Unsri Indralaya, Ogan Ilir,
1

Sumatera Selatan, Indonesia.


2
School of Population Health, The University of Melbourne, Australia.
3
Department of Clinical and Biomedical Sciences, The University of Melbourne,
Australia.
*For reprint and all correspondence: Najma, Faculty of Public Health, Sriwijaya University, Kampus Unsri Indralaya,
Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Indonesia, Hp: +6285267412242 E-mail: [email protected]

ABSTRACT
Backgrounds: Aging leads to changes in bones to be highly fragile causing fractures.
In this research, changes in the dimensions of the hip structure can be measured by
using a computer program called ‘Hip Structural Analysis (HSA)’. The objective of
this study is to estimate the association between hip geometries in Femoral Neck
(FN) and the risk of hip fracture in older women.
Methods: A case control study was performed to explore the objective respectively
using the data of participants from population cohort and fracture cohort of the
Geelong Osteoporosis Cohort Geelong, Southern Victoria, Australia. Simple and
multiple logistic regressions were performed.
Results and Discussion: Of total of 598, comparing Fracture group (44 subjects)
and non-fracture group (454 subjects) aged over 63 years, the odds of hip fracture
increased by approximately 2 fold for each 1 SD increase in width (OR=1.70(1.18-
2.45,p 0.005), endocortical diameter (OR=1.80 (1,23-2.62, p=0.002), and buckling
ratio (OR=1.85(1.32- 2.61, p < 0.0001) and for each 1 SD decrease in BMD
(OR=1.98(1.21-3.23, p.0.006) and average cortical thickness (OR=2.02(1.23-3.34),

Bab 9 ~ Telaah Kritis Penelitian Observasional 197


p.0.006) controlling for age, height, weight and menopausal status. Findings suggest
that not only is BMD associated with hip fractures, but also other hip geometry
dimensions, including WID, ENDO, AVCO and AVBR, independent of age, height,
weight and physical activity.
Conclusions: These results provide additional insights that the geometries of FN is
associated with fracture neck of femur in older women and strongly suggest its potential
value, not only BMD, as clinical predictors for assessing the risk of hip fracture in
older women. In addition to this, utilization of some combined parameters of bone
geometries in FN might be a more effective method in screening than case findings to
reduce the burden of hip fracture in the future. Further statistical methods is needed
to analyze the combined hip structure to predict hip fracture.

Tabel 55. Cheklist STROBE pada penelitian observasional dengan judul ‘The effect of
needle and syringe program on injecting drug users’ use of non-sterile syringe and
needle behaviour in Palembang, South Sumatera Province, Indonesia’
Dilaporkan
Bagian/Topik Daftar Point pada
Halaman
1. Judul dan 1 Methods: 185
abstrak A case control study was performed to explore the
objective.
respectively using the data of participants from population
cohort and fracture cohort of the Geelong Osteoporosis
Cohort Geelong, Southern Victoria, Australia.
Background: Aging leads to changes in bones to be highly 185
fragile causing fractures. In this research, changes in the
dimensions of the hip structure can be measured by
using a computer program called ‘Hip Structural Analysis
(HSA)’…….etc.
Pendahuluan
2. Latar 2 Background and Rationale: Hip fracture is a major 186
belakang/ public health problem and a leading cause of morbidity,
rasionalitas hospitalisation and mortality in particular cases (Deng et
al., 2002, Hannan, 2001, Wehren and Magaziner, 2003,
Khasraghi, 2003). Hip fractures are also associated with
certain medical complications, including electrolyte
imbalance, urinary tract infection, respiratory failure
and delirium in both men and women (Khasraghi,
2003). In the early twenty-first century, the estimated
number of incident osteoporotic hip fractures was 1.6
million worldwide; with approximately 70 % of these
occurred in women. The Disability Adjusted Life Years
(DALYs) for hip fracture was 0.82 million in men and
1.53 million in women within the same year. Moreover,
hip fracture contributed for 41 % of the global burden
of osteoporosis in 2000 (Johnell and Kanis, 2006).

198 EPIDEMIOLOGI
In Australia, hip fractures were predicted to increase for
36 % between 1996 and 2006 (from 15000 to 21000 cases)
(Sanders et al., 1999a). This significant increase was due to
the increased number of elderly aged 85 years and over
as Australia faces the challenges of an aging population
(Sanders et al., 1999a). Furthermore, hip fractures are
projected to increase by twofold in 2026 and fourfold in
2051 (Sanders et al., 1999a) with hospitalization rate of
almost 100 % (Pasco et al., 2005). A number of studies
showed that women have a higher incidence of hip fractures
than men (Sanders et al., 1999b, Seeman, 2002, Wehren
and Magaziner, 2003).
3. Tujuan 3 Objectives: The objective of the research was to examinethe 186
association between hip geometries in Femoral Neck and the
risk of hip fracture in older women.
Metode
4. Rancangan 4 Study design: A case control design was used to determine 186
penelitian risk factors of fracture, in particular, measured from FN
geometries.
5. Tempat 5 Study Area: The GOS, a population-based cohort study 186
penelitian was based in a region surrounding Geelong in Southern
Victoria (Henry et al., 2000). The region named Barwon
Statistical Divisions, was defined by the Australia Bureau
of Statistics (Henry et al., 2000). The region consists of
stable urban and rural populations that may represent
the Australian populations (Henry et al., 2000). A small
number of radiological centres indicates a complete
ascertainment can be attained by accessing all radiological
reports (Pasco et al., 1999). There are two cohort data in
the GOS; fracture cohort (Sanders, 1998) and population
cohort (Henry et al., 2000).
6. Partisipan 6 Study Area: Study Sample in this research is that the eligible 186-187
case and control sample was made up of participants in
fracture cohort and population cohort of the Geelong
Osteporosis Study respectively in older group aged ≥ 64
years old. The inclusion criterion for case group was also
that participants have sustained in the low trauma group
of hip fracture. Low trauma group was defined by the GOS
researchers as fracture due to accidental fall from less than
standing height (lying/sitting), accidental fall from standing
height, a spontaneous fracture and other fracture except
due to transportation accidents.
(b) Untuk studi yang memuat adanya proses pen­cocokan, -
pada kriteria dan jumlah terpapar dan tidak terpapar

Bab 9 ~ Telaah Kritis Penelitian Observasional 199


7. Variabel- 7 The outcome, fracture status, was measured dichotomously, 187
variabel coded into 1 for cases (fracture group) and 0 for control
(non fracture group). Exposures were hip geometries and
outcome was risk of fracture
8. Sumber 8* Data Collection: This study was conducted using the data 186
data/ drawnfrom the large epidemiological project known as
pengum­ the Geelong Osteoporosis Study (GOS) with a population
pulan cohort (Henry et al., 2000) that commenced in 1994 and
a fracture sample (Sanders, 1998) collected at the same
time period. The date has been extracted and cleaned by
Dr. Margaret Henry.
9. Bias 9 Study Area: The consideration of the exclusion was that 187
hip structure in participants with previous fracture would
be not similar with that in participants who never have
hip fracture previously. Therefore, exclusion might reduce
bias.
10. Study size 10 This study used the population and sample from the GOS. 186
The detail of GOS has been published elsewhere.  
11. Variabel 11 Statistical Analysis: Exposures were hip geometries and 187
kuanti­­­­­ outcome was risk of fracture. Univariable analysis was
tatif performed to find a difference between participants’
characteristics and the outcome. Student t-test was used
for the continuous exposure, while Chi-Square test was
performed for categorical exposure. Pearson’s correlation
was performed to find correlation value between two
hip geometries. Subsequently, the association of hip
geometries and risk of hip fracture was performed by using
logistic regression. This estimated regression coefficients
were expressed by odds ratio for the association between
risk of fracture and hip geometries (dimensions).
12. Metode 12 Statistical Analysis: All analysis procedures were performed
statistic using a statistical computer program, STATA version 10.
Exposures were hip geometries and outcome was risk
of fracture. Univariable analysis was performed to find
a difference between participants’ characteristics and
the outcome. Student t-test was used for the continuous
exposure, while Chi-Square test was performed for
categorical exposure. Pearson’s correlation was performed
to find correlation value between two hip geometries.
Subsequently, the association of hip geometries and risk
of hip fracture was performed by using logistic regression.
This estimated regression coefficients were expressed by
odds ratio for the association between risk of fracture
and hip geometries (dimensions). OR of hip fracture
corresponds to 1 SD change (decrease or increase) in the
Hip structural variables increasing risk of hip fracture,
therefore the interpretation of possible hip predictors

200 EPIDEMIOLOGI
of fracture were able to be described clearly. Regression 187
coefficient (the first objective), the Odds Ratio (the second
objective), the 95 % confidence interval and p value were
reported.
(b) Jelaskan metode yang digunakan untuk meneliti -
subgrup dan interaksi tidak dilakukan
(c) Menjelaskan bagaimana missing data terjadi -

All analysis procedures were performed using a statistical


computer program, STATA version 10. Initially, case and
control definitions were re- Checked to eliminate the
possibility of Misclassification due to statistical properties.
Missing values and wrong coding were also properly
checked and corrected as necessary.
(d) Jika berlaku, menjelaskan bagaimana kasus dan kontrol -
dicocokkan
(e) Menjelaskan setiap analisis sensitivitas dalam -
penelitian
Hasil
13. Partisipan 13* Result: Table 1 shows the basic characteristics of 188
participants in this study according to fracture and non-
fracture. There were 44 participants (8.8%) infracture
group and 454 participants (91.2%) in non-fracture group.
Fracture group had lower weight,older age, and slightly
higher height compared thannon-fracture group.
(a) Berikan alasan mengapa beberapa partisipan tidak -
berpartisipasi pada setiap tahap
(b) Mempertimbangan penggunaan diagram alir -
14. Deskripsi 14* Showed in Table 1: Characteristics of Participants in 188
data Fracture and Non Fracture Group
Mengindikasikan jumlah data partisipan yang hilang untuk -
tiap variabel yang di teliti
15. Keluaran 15* Showed in Table 1: Characteristics of Participants in 188
data Fracture and Non Fracture Group
16. Hasil 16 Showed in Table 2: Association of HSA parameters in NN 189
utama region with hip fracture
Menjelaskan batasan (cut of point) untuk setiap variabel -
kontinu dikategorikan
Jika relevan, pertimbangkan untuk mengartikan estimasi -
risiko relatif menjadi risiko absolut untuk jangka waktu
yang bermakna
17. Analisis 17 Laporan analisis lain yang dilakukan, misalnya analisis -
lain subkelompok dan interaksi, dan analisis sensitivitas.

Bab 9 ~ Telaah Kritis Penelitian Observasional 201


Pembahasan
18. Kunci 18 Discussion: Findings suggest that not only is BMD 189
hasil associated with hip fractures, but also other hip geometry
dimensions, including WID, ENDO, AVCO and AVBR,
independent of age, height, weight and physical activity.
19. 19 Discussion: There are also some limitations in this study. 190
Keterbatasan Firstly, investigating possible confounder factors in this
study was based on self reporting; therefore recall bias
might have also been present.
However, those residual measurements are difficult to be
controlled in every research. Secondly, limitation of DXA
is that it only produces a two dimensional image of bone
to predict a three dimensional image. Projection images
from 3- dimensional can be performed using quantitative
computed tomography (QCT) application. However, this
costly measurement requires much higher effective dose
(Genant, 1993). Thirdly, the small sample size in fracture
group is a potential limitation.
20. 20 Discussion: Association between hip geometries and 189
Interpretasi hip fracture have been widely studied. Zebaze (2007),
concluded in their study in Lebanon that the result of
failure to adapt bone’s architecture to loading may lead
to bone fragility, not just low bone mass. However,
Zebaze used a different method called micro Computed
Tomography. Zebaze et al (2005), argues that DXA is not
a suitable method to measure FN (FN) depth and volume
BMD (vBMD) because DXA assume a circular and a square
cross section. However, Beck et. al (1990) have validated
that HSA using DXA as accurate method in measuring
geometric measurements and strength estimates.
Pulkkinen P (2004) and El-Kaissi et al (2005) found the
similar conclusions to Zebaze. However, both studies used
manufacture rulers to measure hip geometries using a
single observer.
21. 21 Membahas generalisasi (validitas eksternal) dari hasil -
Generalisasi penelitian.
Informasi Lain
22. Sumber Memberikan informasi sumber pendanaan dan peran -
dana penyandang dana untuk penelitian ini dan jika ada untuk studi
asal dari penelitian ini didasarkan.

202 EPIDEMIOLOGI
Latihan 2: Telaah Kritis Artikel Penelitian Kasus Kontrol
Lakukan latihan 2 secara mandiri

Judul Penelitian: “The Effect of Needle and Syringe Program on Injecting Drug
Users’ Use of Non- Sterile Syringe and Needle Behaviour in Palembang, South
Sumatera Province, Indonesia” Peneliti: Najmah*, Nuralam Fajar, Rico Januar
Sitorus Jurnal: International Journal of Public Health Research Special Issue 2011,
pp (193-198) Tahun: 2011

Silahkan download jurnal di


http://www.ijphr.ukm.my/Lists/Publish%20Issue/DispForm.aspx?ID=27

ABSTRAK JURNAL LATIHAN 2

The Effect of Needle and Syringe Program on Injecting Drug Users’


Use of Non-Sterile Syringe and Needle Behaviour in Palembang, South
Sumatera Province, Indonesia(7)
Najmah*, Nuralam Fajar, Rico Januar Sitorus

Faculty of Public Health, Sriwijaya University, Kampus Unsri Indralaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Indonesia,

*For reprint and all correspondence: Najmah, Faculty of Public Health, Sriwijaya University, Kampus Unsri Indra-
laya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Indonesia,Hp: +6285267412242 E-mail: [email protected]

ABSTRACT
Introduction: HIV/AIDS has become one of international public health problem. An
effective method to spread HIV/AIDS is through shared needle and syringe among
Injecting Drug Users (IDUs). Many studies have been undertaken to know the effect
of Needle and Syringe Program (NSP) to reduce the risk behaviours of IDUs in sharing
needle and syringe among IDUs. NSP has been implemented in Palembang since 2009.
However, there is no previous research to examine IDUs behaviours in using non sterile
injection and syringe in Palembang. Therefore, a research is needed to be undertaken
to know the effect of NSP on IDUs’ behaviours in using sterile needle an syringe.
Objective: To identify association between seeking behaviours of NSP on IDUs’
behaviours in using sterile needle and syringe.
Methods: This was a case control study with respondents recruited using snowball
and purposive technique. Simple and multiple logistic regression tests were performed
using statistics program (Stata version 10) to identify main association between NSP

Bab 9 ~ Telaah Kritis Penelitian Observasional 203


access status and behaviours of using non-sterile needle and syringe. Some possible
confounders were also explored. Odds ratio, 95 % Confidence interval and P value
were reported.
Results & Discussion: There were 121 IDUs, consisting of 41 IDUs in cases group
(High risk group to use non sterile injection and syringe) and 80 IDUs in control
group (low risk group to use non sterile injection and syringe). Mostly, respondents
were male with senior high school education level and single status. Crude odds ratio
indicated that IDUs accessing NPSs had an odds of 1.07 to share needle and syringe
among IDUs compared to IDUS without accessing NSPs (OR=1.07, 95 % CI = 0.49-
2.31), p=0.87. After OR was adjusted by knowledge about the spread and prevention
of HIV/AIDS, IDUs’ Attitude towards Harm Reduction, education level, age, length
of using Injectig, and income level, IDUs accessing NSPS tend to minimize their
behaviours to share needle and syringe compared to IDUs in NSPs group by 29 %
(odds ratio, 0.69, 95 % CI = 0.23-2.06, p=0.51). P value showed that there is weak
evidence against the null hypotesis of no association between IDUs accessing NSPs
and risk behavior of using non-sterile needle and syringe. Previous studies indicated
that IDUS using NSPs tend to reduce the use of shared needle and syringe, and tend
to wash their needle and syringe before another IDUs use them again (Gibson, 2001,
Wodak A & Cooney A 2006). Therefore, NSP increase awareness of IDUs to prevent
the spread of HIV/AIDS.
Conclusion: Availability of NSP appeared to reduce the use of shared or non-sterile
syringe or needle in this study, although the association was not significant. One of
the reasons could be the free access of needle and syringe in pharmacy could be one
confounding factors that contributed.

Latihan 3: Telaah Kritis Studi Desain Potong Lintang, Kasus Kontrol dan
Kohort
Carilah satu jurnal dengan studi desain potong lintang, kasus kontrol
dan kohort, lalu lakukan telaah kritis secara kelompok.

D. Ringkasan
Pada penelitian observasional, ada beberapa kelemahan yang kita
temukan pada desain ini, seperti bias dan faktor perancu. Bias terdiri dari
bias seleksi, bias informasi dan bias recall (mengingat kembali). Sebuah
penelitian bisa menjadi bias pada saat memilih subjek-subjek penelitian
(bias seleksi) disebabkan kesalahan dalam mengelompokkan responden
(kelompok kasus atau kontrol). Bias dapat juga terjadi karena informasi
yang salah, atau disebabkan kesalahan mengingat informasi pada kedua
kelompok yang berbeda. Cara mengukur variabel pada penelitian, atau
faktor perancu yang tidak dikendalikan dengan baik dapat meningkatkan
bias pada penelitian.

204 EPIDEMIOLOGI
Salah satu untuk mengurangi kelemahan dalam merancang atau
melakukan penelitian observasional, maka dikembangkan panduan
pelaporan penelitian observasional dalam epidemiologi. Penulisan dan
pelaporan penelitian tersebut sering tidak memadai, yang menghambat
penilaian kekuatan dan kelemahan dan generalisasi suatu penelitian. Oleh
karena itu, ada panduan yaitu The Strengthening the Reporting of Observational
Studies in Epidemiology (STROBE) yang mengembangkan rekomendasi berupa
ceklist tentang apa yang harus disertakan dalam laporan yang akurat dan
lengkap dari studi observasional, dimulai dari latar belakang, metodologi,
hasil dan pembahasan serta informasi lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Webb P, Bain C, Pirozzo S. Essential Epidemiology, An Introduction for
Students and Health Professionals. New York: Cambridge University Press;
2005. p.117-125, 183-186
2. Bonita R, Baeglehole R, Kjellstorm T. Basic of Epidemiology. Switzerland:
WHO Press; 2006 (cited. Available from: http://whqlibdoc.who.int/
publications/2006/9241547073_eng.pdf. p. 40-49)
3. Rothman KJ. Epidemiology, An Introduction. New York: Oxford University
Press; 2002. p.94-112
4. Last JM. A Dictionary of Epidemiology. Edition F, editor. New York: Oxford
University Press; 2001. p.37
5. Vandenbroucke J, P, et al. Strengthening the Reporting of Observational
Studies in Epidemiology (STROBE): Explanation and Elaboration.
PLoS Medicine. 2007;4(10):1628-54.
6. Najmah, L. Gurrin, M.Henry, J.Pasco. Hip Structure Associated With
Hip Fracture in Women: Data from the Geelong Osteoporosis Study
(Gos) Data Analysis-Geelong,Australia. International Journal of Public
Health Research 2011. 2011(Special Issue):185-92.
7. Najmah, Nuralam Fajar, RIco Januar Sitorus. The Effect of Needle and
Syringe Program on Injecting Drug Users’ Use of Non-Sterile Syringe
and Needle Behaviour in Palembang, South Sumatera Province, Indonesia
International Journal of Public Health Research 2011. (Spesial Issue):193-9.

Bab 9 ~ Telaah Kritis Penelitian Observasional 205


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
Bab 10

TELAAH KRITIS PENELITIAN


EKSPERIMENTAL/UJI KLINIS
EPIDEMIOLOGI

Kompetensi Dasar dalam bab ini yang ingin dicapai adalah


mahasiswa mampu menganalisis dan mengkritisi laporan
penelitian orang lain di jurnal-jurnal penelitian. Indikator
dalam pencapaian kompetensi ini adalah mahasiswa mampu
menjelaskan unsur-unsur dalam penulisan penelitian
eksperimen/uji klinis pada jurnal penelitian, mampu
mengidentifikasi kriteria dalam penulisan hasil penelitian
eksperimen/uji klinis, dan mampu menganalisis hasil
penelitian eksperimen/uji klinis dibandingkan dengan standar
penulisan yang berlaku untuk setiap jenis design penelitian.
Materi Pembelajaran dalam bab ini meliputi review tentang
penelitian eksperimen/uji klinis, istilah-istilah penting dalam
telaah kritis uji eksperimen/uji klinis dan menganalisis
jurnal dengan desain eksperimental berdasarkan panduan
dalam laporan penelitian pada desain eksperimen/uji klinis
(CONSORT).

207
A. Pendahuluan

P
eneliti dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sriwijaya, Najmah, Fenny Etrawati, Yeni dan Feranita Utama,
Ingin mengetahui efektivitas kawasan tanpa rokok (non-smoking
area) pada tingkat rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir pada tahun 2014,
Sumatera Selatan. Peneliti membuat peta pemikiran penelitian. Peneliti
akan mengangkat tema ‘Pemodelan Kawasan Tanpa Rokok (non-smoking
area modeling) pada tingkat rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir’ (Lihat
Abstrak Penelitian pada studi kasus 1 dan Gambar 39).(1)
Intervensi yang dikembangkan adalah inisiasi kawasan tanpa rokok
pada tingkat rumah tangga di Ogan Ilir akan dilakukan melalui penerapan
model intervensi agen pusat pengendalian penyakit Amerika (Control
Disease Centers of USA). Intervensi dilakukan di 2 klaster atau desa dan 2
desa kelompok kontrol di Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Pertanyaan yang
harus dikritisi:
1. Apakah yang peneliti tulis sesuai dengan kaidah-kaidah baku secara
internasional?
2. Dari segi penulisan proposal penelitian, apa saja yang harus diperbaiki?
3. Bagaimana laporan penelitian seharusnya ditulis? dan sebagainya.
Pada bab ini, kita akan membahas bagaimana kita menelaah suatu
penelitian ekaperimen yang sesuai prosedur CONSORT atau standar
pelaporan penelitian eksperimen yang terkonsolidasi atau dikenal dengan
CONSORT (Consolidated Standards of Reporting Trials).

208 EPIDEMIOLOGI
Survei awal Intervensi Pr
ogram
1. Penggandaan 1. Training na
kes atau
kuesioner penelitian kader
2. Perekrutan dan 2. Konseling
training enumerator 3. Sms gaul pr
omosi
sebanyak 4 orang kesehatan Post test
mahasiswa FKM 4. Pemberian 1. Pengumpulan data
permen
UNSRI herbal pada kelompok
3. Pengumpulan data 5. Celengan intervensi
sehat
pada kelompok 2. Pengolahan data
non- intervensi meliputi entry,
Luaran dan indikator
di lapangan oleh penelitian tahap dua
editing, coding
enumerator (intervensi program) dan cleaning.
1. Bidan konselor yang telah
Luaran dan Indikator terlatih memberikan
penelitian tahap satu (pre konseling
test) 2. Penerapan intervensi
1. Gambaran awal perilaku smoking cesssation yang Rencana Analisis
merokok responden diadopsi dari CDC pada 1. Analisis Univariat
sebelum intervensi tingkat rumah tangga 2. Analisis Bivariat
2. Gambaran awal 3. Perubahan perilaku 3. Analisis Multivariat
pengetahuan responden merokok
3. Gambaran karakteristik 4. Penurunan Proporsi
sosiodemografi responden penyakit ISPA, Pneuomia,
4. Proporsi penyakit ISPA, dan TB
Pneuomia, dan TB
Luaran dan indikator penelitian tahap tiga (post test)
Data yang telah dikumpulkan pada tahap survei awal
akan disajikan sebagai informasi awal yang akan
dianalisis bersama-sama dengan data pada tahap ini.
Analisis data akan dilakukan menggunakan aplikasi
SPSS. Pada tahap ini akan dilihat efektivitas intervensi
program yang diberikan, perubahan perilaku dan
cost effectiveness melalui celengan sehat. Output
dari intervensi program ini diharapkan adanya
perubahan perilaku merokok responden sehingga
dapat tercipta rumah tangga tanpa asap rokok.

Sumber: Najmah dkk, 2014(1)

Gambar 39. Peta pemikiran penelitian pemodelan kawasan tanpa rokok (non-
smoking area modeling) pada tingkat rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir (lihat
abstrak penelitian pada studi kasus)

Bab 10 ~ Telaah Kritis Penelitian Eksperimental 209


B. Penelitian Eksperimen/Uji Klinis (Uji Klinis) dalam
Epidemiologi
Secara garis besar, desain penelitian dalam epidemiologi terbagi
menjadi dua grup besar; penelitian eksperimen/uji klinis dan penelitian
observasional. Pada bab ini, kita akan membahas penelitian eksperimen/uji
klinis atau intervensi (intervention trial). Tujuan dari penelitian eksperimen/
uji klinis adalah untuk mengukur efek dari suatu intervensi terhadap hasil
tertentu yang diprediksi sebelumnya. Desain ini merupakan metode utama
untuk menginvestigasi terapi baru. Misal, efek dari obat X dan obat Y
terhadap kesembuhan penyakit Z atau efektivitas suatu program kesehatan
terhadap peningkatan kesehatan masyarakat. Beberapa contoh penelitian
dengan desain eksperimen/uji klinis, seperti:
1. Pemodelan Kawasan Tanpa Rokok (non-smoking area modeling) pada
tingkat rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir.(1)
2. Mengukur efektivitas penggunaan antibiotik terhadap perawatan
wanita dengan gejala infeksi saluran urin dengan hasil tes urine negatif
/negative urine dipstict testing.(2)
3. Efektivitas program MEND (Mind, Exercise, Nutrition, Do it) terhadap
tingkat obesitas pada anak-anak (www.mendcentral.org).(3)

C. Istilah pada Telaah Kritis Penelitian Eksperimen/Uji


Klinis
1. Randomisasi
Kelebihan penelitian eksperimen/uji klinis adalah memungkinkan
untuk dilakukan randomisasi. Ada perbedaan antara seleksi secara
random/acak dan alokasi secara random (random selection versus random
allocation). Seleksi secara acak adalah proses randomisasi untuk memilih
keikutsertaan subjek dalam penelitian. Alokasi secara acak adalah proses
randomisasi untuk menentukan ke dalam kelompok manakah subjek akan
diikutsertakan. Yang dimaksud dengan randomisasi pada bab ini adalah
alokasi secara random/acak. Dengan teknik randomisasi, peneliti bisa
mengalokasikan sampel penelitian ke dalam dua atau lebih kelompok

210 EPIDEMIOLOGI
berdasarkan kritieria yang telah ditentukan peneliti lalu diikuti ke depan.
Teknik randomisasi bertujuan untuk menciptakan karakteristik antar
kelompok hampir sama dan jumlah sampel tiap kelompok seimbang dalam
penelitian.(4, 5)

2. Randomisasi Urutan Sampel (Sequence Generation)


Teknik randomisasi dalam mengurutkan sampel dikenal dengan
sequence generation. Metode yang digunakan untuk menghasilkan urutan
alokasi acak adalah dengan menggunakan tabel acak (random-number table)
atau metode acak pada komputer (a computerized random number generator).
Jenis pengacakan, rincian pembatasan (seperti pemblokiran dan ukuran
blok).(5-7)
Berikut adalah contoh randomisasi: randomisasi blok dengan jumlah
subjek per bloknya sebanyak dua.(5) Peneliti menetapkan setiap blok
terdiri atas dua subjek dan pengobatan terdiri atas obat A dan obat B,
maka jenis blok yang mungkin ada dua, yaitu blok AB dan blok BA. Blok
ini kemudian diberi kode angka ganjil untuk AB dan genap BA. Kemudian
dilakukan randomisasi adalah: 1 (ganjil), 3 (ganjil), 4 (genap) dan 5 (ganjil).
Selanjutnya, angka-angka tersebut diganti dengan bloknya yang berturut-
turut yaitu: AB, AB, BA, AB. Sebagai hasil akhir, kita sudah mendapatkan
hasil randomisasi sebagai berikut.

Subjek nomor 1 masuk kelompok A


Subjek nomor 2 masuk kelompok B
Subjek nomor 3 masuk kelompok A
Subjek nomor 4 masuk kelompok B
Subjek nomor 5 masuk kelompok B
Subjek nomor 6 masuk kelompok A
Subjek nomor 7 masuk kelompok A
Subjek nomor 8 masuk kelompok B

Sumber: Sophiyudin, 2012(5)

Bab 10 ~ Telaah Kritis Penelitian Eksperimental 211


3. Mekanisme Alokasi Penyembunyian (Allocation Concealment
Mechanism)
Mekanisme lain yang dapat meningkatkan kualitas suatu hasil
penelitian eksperimen/uji klinis adalah metode penyembunyian
(concealment). Mekanisme yang digunakan untuk mengimplementasikan
urutan alokasi acak (seperti kontainer berurutan nomor), menjelaskan
langkah-langkah yang diambil untuk menyembunyikan urutan sampai
intervensi dilakukan.(7) Hasil randomisasi diletakkan pada amplop yang
tertutup sehingga baik kelompok intervensi maupun kontrol tidak
mengetahui apakah mereka termasuk kelompok intervensi ataupun non-
intervensi. Metode concealment ini berbeda dengan metode randomisasi dan
blinding. Randomisasi adalah prosedur untuk menetukan urutan alokasi
subjek ke dalam kelompok penelitian. Blinding adalah prosedur untuk
menyembunyikan informasi mengenai obat yang diberikan sedangkan
concealment adalah prosedur untuk menyembunyikan informasi tentang
hasil randomisasi. Concealment dilakukan dengan cara menyembunyikan
tabel randomisasi. Metode concealment yang sering digunakan adalah SNOSE
(sequentially, numbered, opaque, sealed envelopes) atau menggunakan amplop
yang berurutan, bernomor, amplop yang tidak transparan dan tertutup.(5, 6)

4. Penyamaran (Blinding)
Penelitian eksperimen/uji klinis dengan teknik randomisasi akan
lebih besar kualitasnya jika dalam pengukurannya dilakukan penyamaran
(blinding). Terdapat tiga jenis penyamaran yaitu single blind, double blind, dan
triple blind (satu, dua dan tiga penyamaran). Kita juga bisa melakukan single
blind dan triple blind. Pada single blind, salah satu dari subjek penelitian atau
peneliti tidak mengetahui ke dalam kelompok mana subjek dialokasikan.
Pada double-blind, peneliti maupun responden atau responden dan pengolah
data(statistisian) tidak mengetahui status responden apakah termasuk
dalam kelompok intervensi atau non-intervensi. Sedangkan pada triple blind,
selain subjek dan peneliti, tim monitoring penelitian juga tidak mengetahui
ke dalam kelompok mana subjek dialokasikan. Kekuatan desain ini bisa
meminimalisir faktor perancu yang dapat menyebabkan bias dalam hasil
penelitian.(4, 5)

212 EPIDEMIOLOGI
D. Pelaporan Studi Eksperimen dengan Standar yang
Telah Disepakati/CONSORT (Consolidated Standards of
Reporting Trials)
Desain eksperimen dikenal sebagai ‘gold standard’ di antara desain
penelitan epidemiologi lainnya. Metode eksperimen dianggap bisa
menghasilkan penelitian dengan tingkat bias paling rendah sehingga dapat
menjadi bukti yang paling tinggi atas efikasi suatu produk atau intervensi
kesehatan. Penelitian dengan desain ini jika dirancang, dilakukan dan
dilaporkan dengan akurat, dapat menjadi ‘goldstandard’ dalam menentukan
kebijakan.
Walaupun demikian, desain intervensi juga bisa menghasilkan bias jika
metode penelitian tidak akurat. Oleh karena itu, untuk menilai penelitian
eksperimen secara akurat, pembaca membutuhkan informasi yang lengkap
dan jelas pada metodologi, gambaran dan informasi penting lainnya pada
penelitian yang dilakukan penulis. Oleh karena itu, dikembangkan standar
pelaporan penelitian eksperimen yang terkonsolidasi atau dikenal dengan
CONSORT (Consolidated Standards of Reporting Trials) untuk mempermudah
dalam pelaporan setiap hasil penelitian eksperimen dengan metodologi
yang dapat meningkatkan kualitas hasil penelitian.(6, 7)

Tabel 56. Poin-poin yang perlu dilaporkan pada penelitian eksperimen randomisasi
CONSORT 2010
Dilaporkan
Bagian/Topik Kode Daftar Poin pada
halaman #
Judul dan 1a Identifikasi sebagai penelitian eksperimen randomisasi
abstrak pada judul/abstrak.
1b Rangkuman penelitian terstruktur dari desain penelitian,
metode, hasil dan kesimpulan.
Pendahuluan
Latar 2a Latar belakang yang ilmiah dan penjelasan rasional
belakang dan penelitian.
tujuan 2b Tujuan atau hipotesis spesifik/khusus.

Bab 10 ~ Telaah Kritis Penelitian Eksperimental 213


Metode
Desain 3a Gambaran desain penelitian (seperti paralel, faktorial),
Penelitian termasuk alokasi rasio.
3b Perubahan penting pada metode setelah penelitian
dimulai (seperti kriteria sampel yang memenuhi syarat),
dengan alasan.
Partisipan/ 4a Kriteria responden yang memenuhi syarat.
Responden 4b Tempat dan lokasi di mana data dikumpulkan.
Intervensi 5 Intervensi untuk setiap kelompok dengan penjelasan
detail untuk memungkinkan replikasi, termasuk
bagaimana dan kapan partisipan diadministrasi/rekruit.
Outcome/ 6a Ukuran hasil utama dan kedua (secondary) didefinisikan
Keluaran secara spesifik dan lengkap, termasuk bagaimana dan
kapan mereka diukur.
6b Setiap perubahan hasil penelitian setelah penelitian
dimulai, dengan alasan.
Ukuran 7a Menjelaskan perhitungan sampel
sampel 7b Jika ada, penjelasan dari analisis interim dan aturan
sampel.
Randomisasi 8a Metode yang digunakan untuk menghasilkan urutan
urutan alokasi acak.
sampel 8b Jenis pengacakan, rincian pembatasan (seperti
(sequence pemblokiran dan ukuran blok).
generation)
Mekanisme 9 Mekanisme yang digunakan untuk
Alokasi mengimplementasikan urutan alokasi acak (seperti
penyem­ kontainer berurutan nomor), menjelaskan langkah-
bunyian langkah yang diambil untuk menyembunyikan urutan
(Allocation sampai intervensi dilakukan.
concealment
mechanism)
Implementasi 10 Siapa melakukan urutan alokasi, yang mendaftar
peserta, dan siapa yang mengalokasikan peserta untuk
kelompok penelitian.
Penyamaran 11a Jika dilakukan, siapa yang tidak tahu status responden
(Blinding) setelah pengalokasikan intervensi (misalnya, peserta,
penyedia layanan, mereka menilai hasil) dan bagaimana
pelaksanaannya.
11b Jika relevan,deskripsi kesamaan/kemiripan intervensi.
Metode 12a Metode statistik yang digunakan untuk analisis hasil
Statistik primer dan sekunder (hasil utama dan turunannya).
12b Metode untuk analisis tambahan, seperti analisis
subkelompok dan analisis yang disesuaikan/dikontrol.

214 EPIDEMIOLOGI
Hasil
Alur 13a Untuk setiap kelompok, jumlah peserta yang secara
Partisipan acak dialokasikan, menerima pengobatan/intervensi,
(diagram dan yang dianalisis untuk hasil primer.
sangat 13b Untuk setiap kelompok, partisipan yang hilang dan
dianjurkan) dikeluarkan setelah randomisasi, bersama dengan
alasan.
Rekruitmen 14a Tanggal periode perekrutan dan tindak lanjut.
14b Mengapa penelitian berakhir atau dihentikan.
Data dasar 15 Sebuah tabel karakteristik demografi dan karakteristik
(Baseline klinis untuk setiap kelompok.
data)
Jumlah yang 16 Untuk setiap kelompok, jumlah peserta(penyebut)
dianalisis termasuk dalam analisis masing-masing dan apakah
analisis itu dilakukan pada kelompok alokasi awal.
Keluaran dan 17a Untuk setiap hasil primer dan sekunder, hasil untuk
Estimasi masing-masing kelompok, dan ukuran nilai di populasi
dan presisi (seperti tingkat kepercayaan 95%).
17b Untuk hasil binary, penyajian ukuran efek absolut
maupun relatif direkomendasikan.
Analisis 18 Analisis lainnya, termasuk analisis subkelompok
Lanjutan dan analisis yang disesuaikan (adjusted analysis),
(Ancillary membedakan hasil yang spesifik dan hasil eksplorasi.
analyses)
Bahaya 19 Semua bahaya/efek yang tidak diinginkan yang dapat
(Harms) timbul pada setiap kelompok penelitian.
Diskusi
Keterbatasan 20 Keterbatasan penelitian; mempertimbangkan sumber
potensial bias, ketidaktepatan, dan jika relevan, analisis
multiple.
Generalisasi 21 Generalisasi (validitas eksternal) dari temuan penelitian.
Interpretasi 22 Interpretasi harus konsisten dengan hasil,
menyeimbangkan manfaat dan bahaya, dan
menambahkan hasil penelitian sebelumnya yang
relevan.
Informasi Lainnya
Registrasi 23 Nomor pendaftaran dan nama registry penelitian.
Protokol/ 24 Di mana protokol penelitian dapat diakses penuh, jika
Proposal tersedia.
Sumber dana 25 Sumber dana dan dukungan lainnya (seperti penyediaan
penelitian obat-obatan), peran penyandang dana.
Sumber: Douglas G. Altman, 2001, Schulz, 2010(6, 7)

Bab 10 ~ Telaah Kritis Penelitian Eksperimental 215


STUDI KASUS 1:
Silahkan lakukan telaah kritis pada judul penelitian di bawah ini, lakukan
telaah kritis pada metodologi penelitian
Judul Penelitian Pemodelan Kawasan Tanpa Rokok (non-smoking area
modeling) pada tingkat rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir(1)

Peneliti : Najmah, Fenny Etrawati, Yeni dan Feranita Utama


Jurnal :-
Tahun : 2014 (masih dalam proses penelitian)
Sumber dana : Hibah Kompetitif BOPTN Universitas Sriwiya

Studi ini masih dalam pelaksanaan penelitian, silahkan dikritisi


bagian metodologi penelitian ini? Anda temukan di halaman berapa poin-
poin telaah kritis penelitian Eksperimen/Uji Klinis, dan apa yang perlu
ditambahkan? Silahkan lakukan secara berkelompok.
Apakah poin-poin yang diperlukan dalam metodologi penelitian
terdapat dalam tulisan ini, silahkan kritisi?

ABSTRAK
PEMODELAN KAWASAN TANPA ROKOK
(NON-SMOKING AREA MODELLING)
PADA TINGKAT RUMAH TANGGA
DI KABUPATEN OGAN ILIR
Najmah, Fenny Etrawati, Yeni, Feranita Utama
(Proposal Penelitian Hibah Kompetitif Universitas Sriwijaya)

Latar Belakang: Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) merupakan salah satu upaya
pengendalian produk tembakau guna peningkatan kesehatan masyarakat. Berbagai
bentuk regulasi mengenai komitmen terhadap KTR telah diterbitkan baik di tingkat
nasional maupun di tingkat daerah. Secara umum, dalam peraturan tersebut rumah
tangga tidak disebutkan secara eksplisit sebagai sasaran penerapan kawasan tanpa
rokok. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa trend peningkatan perokok aktif saat
ini tidak hanya didominasi oleh kelompok dewasa namun juga remaja. Kondisi ini
juga memicu peningkatan dampak kesehatan bagi perokok aktif dan perokok pasif.
Berbagai penyakit yang bisa dipicu melalui perilaku merokok antara lain Infeksi Saluran
Pernapasan Atas (ISPA), Pneumonia dan TB.

216 EPIDEMIOLOGI
Metode Penelitian: Inisiasi kawasan tanpa rokok pada tingkat rumah tangga di Ogan
Ilir akan dilakukan melalui penerapan model intervensi CDC pada 4 desa dan 200
sampel yang dipilih melalui metode cluster random sampling. Penelitian ini meliputi
tiga tahapan utama, tahapan pertama, dilakukan pengumpulan data kuantitatif pada
dua desa kontrol untuk melihat gambaran perilaku merokok masyarakat tanpa
intervensi. Tahapan kedua, yakni melakukan penerapan model intervensi CDC pada
kelompok intervensi yang meliputi: 1) brief clinical treatment dengan memberikan
pelatihan terhadap 8 bidan, 2) konseling terpadu dengan target kepala rumah tangga,
3) promosi kesehatan terkait KTR melalui SMS gaul (telephone celluler), 4) intervensi
pemberian permen pengganti produk rokok, 5) pemberian motivasi pemindahan
anggaran belanja rokok untuk tabungan sehat. Tahapan ketiga, pengukuran dilakukan
pada kelompok intervensi setelah satu bulan intervensi dilaksanakan. Analisis regresi
sederhana dan regresi berganda dilakukan untuk mengukur efektivitas pemodelan KTR
di Ogan Ilir. Melalui pemodelan ini diharapkan perubahan perilaku yang terjadi pada
masyarakat dapat berlangsung langgeng dan berkesinambungan berdasarkan sosial
budaya masyarakat setempat.
Kata-kata kunci: Kawasan Tanpa Rokok, rumah tangga, model intervensi CDC,
perilaku.

METODOLOGI PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan riset kuantitatif dengan desain penelitian cluster
experiment. Pada penelitian ini akan dilakukan pengukuran pada kelompok yang
diintervensi dan kelompok yang tidak diintervensi. Penelitian ini dilakukan dalam
3 (tiga) tahap penting yaitu pertama, pengumpulan data kuantitatif pada kelompok
kontrol/non intervensi, kedua, adalah pelaksanaan intervensi dan ketiga, pengumpulan
data kuantitatif pada kelompok intervensi setelah intervensi.
Lokasi penelitian ini adalah di Kabupaten Ogan Ilir. Adapun populasi penelitian
ini adalah seluruh rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir. Unit sampling adalah rumah
tangga dan sampel penelitian adalah sebagian rumah tangga yang ada di Kabupaten
Ogan Ilir. Sampel akan diambil dengan menggunakan teknik cluster random sampling.
Dari total 227 desa yang ada di 16 kecamatan di Kabupaten Ogan Ilir maka
akan dipilih 4 desa sebagai cluster. Dari 4 cluster terpilih akan dipilih dua desa sebagai
kelompok yang mendapat intervensi dan dua desa sebagai kelompok kontrol yang
tidak diintervensi. Adapun teknik pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar
40 berikut ini.

Bab 10 ~ Telaah Kritis Penelitian Eksperimental 217


Kasus

Desa Ulak n Dari 4 cluster (desa) ditentukan


Kabupaten Ogan Ilir responden 2 desa sebagai kelompok
16 kecamatan (227 desa)
Segelung

218 EPIDEMIOLOGI
yang diintervensi dan 2 desa
sebagai kelompok kontrol
Desa Tanjung n (tidak diintervensi) dengan
Pinang 2 responden cara random

Kontrol
Tahap pertama:
memilih cluster (desa). Desa Tanjung n Tahap kedua:
Dari 227 desa dipilih 4 Pule responden Memilih responden
desa sebagai cluster secara menggunakan teknik simple
random dengan cara pps random sampling. Besar
terhadap jumlah penduduk Desa Lubuk n sampel minimal pada tiap
Sakti responden cluster dialokasikan sama.

Gambar 40 Teknik pemilihan sampel


Besar sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini akan dihitung
menggunakan rumus besar sampel untuk uji hipotesis beda dua rata-rata (Lemeshow,
1997).
Rumus:

Keterangan:
s2 = varians dari beda 2 rata-rata pasangan
Z1-α/2 = nilai z pada interval kepercayaan 1-α/2 uji hipotesis dilakukan dua arah (two tailed) (1,96)
z1-β = nilai z pada kekuatan uji (power) 1-β 80% (0,84)
μ1 = perkiraan rata-rata sebelum intervensi
μ2 = perkiraan rata-rata sesudah intervensi (didapat dari penelitian terdahulu atau penelitian awal
Deff = desain efek (2)

Besar sampel minimal akan dihitung menggunakan aplikasi sample size 2.0.
Pada penelitian ini diasumsikan perbedaan rata-rata skor perilaku merokok sebelum
dan sesudah intervensi adalah 10% dengan varians s2 sebesar 5%. Berdasarkan
hasil perhitungan diperoleh besar sampel minimal untuk satu kelompok adalah 40
responden. Dengan mempertimbangkan tingkat keanekaragaman masyarakat Ogan
Ilir yang cukup heterogen maka jumlah sampel minimal dikali desain efek(2) sehingga
menjadi 80 responden.
Penelitian ini merupakan uji hipotesis untuk beda dua rata-rata kelompok
maka jumlah sampel minimal harus dikali 2 menjadi 160 reponden. Karena jumlah
cluster yang dipilih sebanyak 4 desa maka untuk setiap desa akan diambil responden
sebanyak 40 respoden. Namun, mempertimbangkan kondisi di lapangan maka untuk
menghindari adanya loss to follow up atau sampel drop out, besar sampel minimal akan
ditambah sebanyak 20% yaitu 8 responden pada tiap cluster sehingga menjadi 48
responden. Jadi total besar sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini
adalah 192 responden. Oleh karena itu, di lapangan jumlah sampel yang akan diambil
pada tiap cluster akan digenapkan menjadi 50 reponden per cluster (desa) sehingga total
sampel yang akan diambil menjadi 200 responden.
Tahap pertama pada pengambilan sampel adalah melakukan pemilihan cluster
secara probability proportionateto size (pps) terhadap jumlah penduduk di 16 kecamatan
(227 desa) dengan cara random menggunakan aplikasi komputer. Pengambilan sampel
dengan cara pps terhadap jumlah penduduk akan membuat sampel terbobot dengan
sendirinya (self weighted) sehingga tidak diperlukan pembobotan lagi pada saat analisis.
Metode ini memungkinkan setiap desa mempunyai peluang yang sama untuk terpilih
sebagai cluster. Berdasarkan hasil random menggunakan aplikasi komputer diperoleh 4
desa yang akan menjadi lokasi penelitian yaitu Desa Ulak Segelung, Desa Tanjung
Pule, Desa Tanjung Pinang 2 dan Desa Lubuk Sakti.
Setelah desa terpilih kemudian dilakukan randomisasi lagi untuk menentukan
desa mana yang mendapat intervensi dan desa mana yang tidak mendapat intervensi.
Randomisasi intervensi dilakukan dengan menggunakan undian koin. Hasil
randomisasi menggunakan pelemparan koin diperoleh desa yang akan mendapat
intervensi adalah Desa Ulak Segelung dan Tanjung Pinang 2. Sedangkan desa yang
akan menjadi kontrol adalah Desa Tanjung Pule dan Desa Lubuk Sakti.

Bab 10 ~ Telaah Kritis Penelitian Eksperimental 219


Tahap selanjutnya pengambilan sampel pada tiap cluster yang dilakukan dengan
teknik simple random sampling. Besar sampel minimal pada setiap cluster ditetapkan
sama (alokasi rata), hal ini dapat dilakukan karena pada saat pemilihan cluster telah
dilakukan dengan metode pps terhadap jumlah penduduk. Adapun besar sampel pada
tiap cluster adalah 50 responden.
Adapun kriteria inklusi pengambilan sampel untuk kelompok yang akan
diintervensi dan kelompok kontrol yang tidak diintervensi adalah sebagai berikut.
a. Responden adalah kepala keluarga
b. Status sudah menikah
c. Status responden adalah perokok aktif.
2. Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian yang akan dilakukan meliputi 3 (tiga) tahapan penting yaitu
survei awal, intervensi program dan post test. Secara garis besar, bagan alur tahapan
penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Adapun penjelasan mengenai tahapan
penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Tahap Pertama (Survei awal)
Pada tahap ini akan dilakukan survei awal terhadap gambaran karakteristik
rumah tangga yang ada di desa terpilih. Survei awal akan dilakukan sebelum intervensi
program diberikan kepada kelompok intervensi. Survei awal akan dilakukan melalui
survei lapangan dalam rangka pengumpulan data sekunder seperti jumlah penduduk
di tiap desa, daftar penduduk di tiap desa dan tenaga kesehatan yang ada di desa
tersebut. Informasi dari survei awal ini akan digunakan untuk menentukan secara
random sampel yang akan diambil pada tiap desa. Pada tahap ini juga, dilakukan
pengukuran pada kelompok kontrol (non-intervensi) pada dua desa terpilih.
b. Tahap Kedua (Intervensi Program)
Pada tahap ini akan dilakukan intervensi program mengenai kawasan rumah
tangga tanpa asap rokok. Pemberian intervensi program akan dilakukan setelah proses
pengumpulan data awal (survei awal) selesai dilakukan. Intervensi program akan
dilakukan selama satu (1) bulan. Intervensi program akan dilakukan pada desa terpilih
yaitu Desa Ulak Segelung dan Desa Tanjung Pinang 2. Pada masing-masing desa akan
dipilih 50 orang sampel sebagai responden. Total responden yang akan mendapat
intervensi adalah 100 rumah tangga. Intervensi yang akan digunakan pada penelitian
ini mengadopsi dari pendekatan yang digunakan Pusat pengendalian penyakit dunia
(CDC) dalam upaya mengendalikan tembakau (smoking cessation). Intervensi program
ini diberikan kepada semua anggota rumah tangga terpilih yaitu orang tua dan anak.
Intervensi program yang akan dilakukan pada penelitian ini antara lain:
1) Brief clinical intervention
Pada tahap ini akan dipilih 2 orang tenaga kesehatan atau kader dari setiap desa
untuk pelatihan (training) mengenai rumah tangga tanpa asap rokok. Training
terhadap tenaga kesehatan atau kader bertujuan agar dapat memberikan konseling
seputar rokok dan pentingnya rumah tangga tanpa asap rokok. Hal ini dilakukan
oleh tenaga kesehatan di desa baik bidan maupun kader puskesmas.

220 EPIDEMIOLOGI
Pelatihan tenaga kesehatan atau kader akan dilakukan oleh peneliti bersama
anggota peneliti. Pelatihan akan diberikan sebanyak satu (1) kali selama dua hari
kepada tenaga kesehatan atau kader. Materi pelatihan yang diberikan meliputi
bahaya rokok dan pentingnya kawasan tanpa asap rokok. Tenaga kesehatan juga
akan diberikan flipchart yang mempermudah mereka melakukan konseling tentang
rokok.
2) Konseling terpadu
Konseling yang akan diberikan mengenai kawasan rumah tangga tanpa asap
rokok. Konseling ini akan diberikan oleh tenaga kesehatan atau kader yang telah
di training mengenai substansi materi yang harus disampaikan kepada klien.
Responden yang akan menjadi target konseling terpadu ini adalah kepala rumah
tangga (ayah). Responden dimotivasi untuk merokok tidak di dalam ruangan
tertutup, seperti rumah. Jika mereka ingin merokok, mereka disarankan untuk
merokok di ruangan terbuka, seperti halaman rumah dan tidak merokok di depan
anak-anak. Konsep ini dilakukan untuk mengurangi dampak buruk dari asap
rokok bagi perokok pasif di tingkat rumah tangga.
Konseling terpadu akan diberikan sebanyak satu (1) kali hingga dua kali dalam
satu bulan oleh tenaga kesehatan yang telah dilatih. Konseling ini akan diberikan
secara individual dengan cara datang ke rumah tangga yang terpilih menjadi
responden ataupun kelompok. Waktu pemberian konseling akan dilakukan secara
terpadu pada waktu sore hari pada hari-hari libur seperti Sabtu dan Minggu.
3) SMS gaul promosi kesehatan
Sasaran program SMS gaul ini adalah remaja. Apabila di rumah tangga terpilih
ada anggota rumah tangga yang berstatus remaja maka sms gaul akan diberikan
sebagai penguat program intervensi kawasan rumah tangga tanpa asap rokok yang
diberikan kepada kepala keluarga. SMS gaul adalah salah satu cara yang dipilih
sebagai sarana promosi kesehatan melalui mobile phone (handphone). Melalui sms
gaul diharapkan promosi kesehatan dapat diberikan secara kontinu dan tepat
sasaran. Hal ini dikarenakan banyaknya masyarakat yang telah menggunakan
handphone terutama kalangan remaja, sehingga dianggap handphone sebagai
salah media yang dapat efektif dalam penyebaran informasi kesehatan. SMS gaul
akan diberikan secara rutin setiap hari selama satu bulan (30 hari) kepada remaja
oleh tim.
SMS gaul akan berisi pesan edukasi terhadap remaja mengenai bahaya rokok
dan ajakan untuk tidak merokok di dalam ruang tertutup dalam hal ini rumah.
Untuk remaja yang bukan perokok, sms ini akan memotivasi mereka untuk tidak
akan mencoba merokok pada usia muda. Remaja yang menjadi target sasaran
akan dimotivasi untuk meneruskan pesan singkat ini kepada peer mereka atau
teman sebaya mereka sehingga upaya promosi kesehatan bisa meningkatkan
pengetahuan remaja tentang bahaya rokok.
4) Intervensi pemberian permen herbal pengganti rokok
Sasaran program ini adalah remaja dan orang tua. Intervensi pemberian permen
ini dilakukan setelah konseling diberikan. Diharapkan melalui pemberian permen
herbal seperti aroma jahe, cengkeh dan mint ini dapat meminimalisir perilaku
merokok di dalam rumah. Apabila saat berada di dalam rumah responden ingin

Bab 10 ~ Telaah Kritis Penelitian Eksperimental 221


merokok dapat diganti dengan permen herbal yang diberikan. Pemberian permen
akan diberikan selama satu bulan. Jumlah permen yang diberikan oleh tim adalah
sebanyak 1 paket per responden per minggu selama satu bulan.
5) Celengan Sehat
Responden di motivasi untuk mengurangi kebiasaan merokok dengan
mengalokasikan sebagian uang rokok ke dalam celengan. Sehingga responden bisa
memperhitungkan keuntungan secara ekonomi ketika mereka bisa mengurangi
kebiasaan merokok. Setiap rumah tangga terpilih akan diberikan celengan
sebanyak satu (1) buah. Pada akhir intervensi akan dihitung berapa banyak uang
alokasi untuk rokok yang telah ditabung oleh responden.
c. Tahap Ketiga (Post Test)
Post test akan dilakukan melalui survei lapangan dalam rangka pengumpulan data
kuantitatif pada kelompok intervensi. Pengumpulan data ini akan dilakukan melalui
observasi dan wawancara menggunakan kuesioner yang telah disusun. Pada penelitian
ini, kuesioner yang akan digunakan telah disusun berdasarkan kuesioner baku dari
riset terdahulu mengenai gambaran penyakit, pengetahuan dan perilaku merokok
sebelum dan seusdah intervensi. Adapun kuesioner baku yang dijadikan rujukan yaitu
RISKESDAS 2007 dan RISKESDAS 2010, kuesioner Global Youth Tobacco Survey (GYTS)
2011 dan kuesioner Dunia Remajaku Seru (DAKU!) Tahun 2013. Data kuantitatif yang
akan dikumpulkan antara lain variabel demografi (umur, pendidikan, sosial ekonomi),
pengetahuan dan variabel perilaku merokok sebagai variabel dependen.
Post test akan dilakukan pada semua unit sampling terpilih pada kelompok intervensi
yaitu rumah tangga. Pengumpulan data di lapangan akan dibantu oleh enumerator
yang telah ditunjuk yaitu sebanyak 4 orang mahasiswa FKM UNSRI. Enumerator yang
ditunjuk akan diberi pelatihan terlebih dahulu sebelum melakukan pengumpulan data.
Setelah semua data terkumpul maka akan dilakukan proses pengolahan data dengan
menggunakan aplikasi SPSS. Langkah-langkah pengolahan data yang akan dilakukan
antara lain entry, editing, coding, dan cleaning data.
Data yang telah dikumpulkan pada tahap ini akan disajikan sebagai informasi
awal yang nantinya akan dianalisis bersama-sama dengan data pada tahap selanjutnya.
Data ini akan digunakan sebagai landasan dalam melakukan intervensi program rumah
tangga tanpa asap rokok.
3. Rencana Analisis
Rencana analisis yang akan dilakukan pada penelitian ini antara lain:
a. Analisis univariat
Analisis ini bertujuan untuk melihat deskripsi perilaku merokok responden
dan variabel demografi seperti umur, pendidikan dan sosial ekonomi. Pada variabel
kategorik akan dilihat proporsi masing-masing kategori. Sedangkan pada variabel
numerik seperti umur dan perilaku akan dilihat mean dan standar deviasi apabila data
berdistribusi normal atau median dan range apabila data berdistribusi tidak normal.

222 EPIDEMIOLOGI
b. Analisis bivariat
Analisis bivariat ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara
dua variabel yaitu variabel independen dengan variabel dependen. Penelitian ini
merupakan analisis terhadap data dependen. Oleh karena itu, uji statistik yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis untuk pengukuran data berpasangan
yaitu uji t independen (independent sample t test) dengan derajat kemaknaan (a) sebesar
5%. Analisis bivariat ini akan dilakukan dengan menggunakan aplikasi komputer untuk
statistik. Selain itu, dalam penelitian ini akan dilakukan perhitungan Odds Ratio (OR)
untuk mengetahui besarnya perbedaan perilaku merokok antara kelompok intervensi
dan non intervensi.
c. Analisis multivariat
Analisis ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengaruh intervensi yang telah
diberikan terhadap perubahan perilaku setelah dikontrol oleh variabel demografi.
Analisis multivariat untuk melihat berapa besar pengaruh intervensi yang diberikan
terhadap perilaku merokok.

Tabel 57. Poin-poin yang perlu dilaporkan pada metodologi penelitian eksperimen
cluster pada judul pemodelan kawasan tanpa rokok (non-smoking area
modeling) pada tingkat rumah tangga di Kabupaten Ogan Ilir
Dilaporkan
Bagian/Topik Kode Daftar Poin pada
halaman #
Metode
Desain 3a Penelitian ini merupakan riset kuantitatif dengan desain
Penelitian penelitian cluster experiment. Pada penelitian ini akan V
dilakukan pengukuran pada kelompok yang diintervensi
dan kelompok yang tidak diintervensi. Penelitian ini
dilakukan dalam 3 tahap penting yaitu pengumpulan
data kuantitatif pada kelompok kontrol/non intervensi,
kedua adalah pelaksanaan intervensi dan ketiga
pengumpulan data kuantitatif pada kelompok intervensi
setelah intervensi.
3b Perubahan penting pada metode setelah penelitian -
dimulai (seperti kriteria sampel yang memenuhi syarat),
dengan alasan.
Partisipan/ 4a Adapun kriteria inklusi pengambilan sampel untuk V
Responden kelompok yang akan diintervensi dan kelompok kontrol
yang tidak diintervensi adalah sebagai berikut.
1. Responden adalah kepala keluarga
2. Status sudah menikah
3. Status responden adalah perokok
aktif.

Bab 10 ~ Telaah Kritis Penelitian Eksperimental 223


4b ‘Dari total 227 desa yang ada di 16 kecamatan di V
Kabupaten Ogan Ilir maka akan dipilih 4 desa sebagai
cluster’ 4 desa yang akan menjadi lokasi penelitian yaitu
Desa Ulak Segelung, Desa Tanjung Pule, Desa Tanjung
Pinang 2 dan Desa Lubuk Sakti.
Intervensi 5 ‘Intervensi yang akan digunakan pada penelitian ini V
mengadopsi dari pendekatan yang digunakan Pusat
pengendalian penyakit dunia (CDC) dalam upaya
mengendalikan tembakau (smoking cessation).
Intervensi program ini diberikan kepada semua anggota
rumah tangga terpilih yaitu orang tua dan anak’.
Outcome/ 6a ‘Tahapan penelitian yang akan dilakukan meliputi 3 V
Keluaran tahapan penting yaitu pre test, intervensi program dan
post test’.
6b Setiap perubahan hasil penelitian setelah penelitian -
dimulai, dengan alasan.
Ukuran 7a ‘Penelitian ini merupakan uji hipotesis untuk beda dua v
sampel rata-rata kelompok maka jumlah sampel minimal harus
dikali 2 menjadi 160 reponden. Karena jumlah cluster
yang dipilih sebanyak 4 desa maka untuk setiap desa
akan diambil responden sebanyak 40 respoden. Namun,
mempertimbangkan kondisi di lapangan maka untuk
menghindari adanya loss to follow up atau sampel drop
out, besar sampel minimal akan ditambah sebanyak 20%
yaitu 8 responden pada tiap cluster sehingga menjadi
48 responden. Jadi total besar sampel minimal yang
dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 192 responden.
Oleh karena itu, di lapangan jumlah sampel yang akan
diambil pada tiap cluster akan digenapkan menjadi 50
reponden per cluster (desa) sehingga total sampel yang
akan diambil menjadi 200 responden’.
7b Ketika berlaku, penjelasan dari analisis interim dan -
penghentian peraturan

‘Perlu dijelaskan secara rinci’


Randomisasi 8a Metode yang digunakan untuk menghasilkan urutan -
urutan alokasi acak
sampel 8b Jenis pengacakan, rincian pembatasan (seperti
(sequence pemblokiran dan ukuran blok)
generation)
‘Perlu dijelaskan secara rinci’

224 EPIDEMIOLOGI
Mekanisme 9 Mekanisme yang digunakan untuk -
Alokasi mengimplementasikan urutan alokasi acak (seperti
penyem­ kontainer berurutan nomor), menjelaskan langkah-
bunyian langkah yang diambil untuk menyembunyikan urutan
(Allocation sampai intervensi dilakukan.
concealment
mechanism)
Implementasi 10 Siapa melakukan urutan alokasi, yang mendaftar -
peserta, dan siapa yang mengalokasikan peserta untuk
kelompok penelitian.
Blinding 11a Jika dilakukan, siapa yang tidak tahu status responden -
setelah pengalokasikan intervensi(misalnya, peserta,
penyedia layanan, mereka menilai hasil) dan bagaimana
pelaksanaanya
11b ‘Tidak memungkinkan melakukan blindeing.
Jika relevan,deskripsi kesamaan/kemiripan intervensi.
Metode 12a ‘Analisis univariat, bivariate dan multivariat’. v
Statistik 12b Metode untuk analisis tambahan, seperti analisis -
subkelompok diananalisis yang disesuaikan/dikontrol.
Sumber: Douglas G. Altman, 2001, Schulz, 2010,(6, 7) Najmah, 2014(1)

E. Ringkasan
Telaah kritis uji klinis atau studi eksperimen/uji klinis dilakukan
untuk mengoptimalkan kemampuan pembaca dalam menilai mana jurnal
yang baik dan kurang baik dalam pelaporan. Ada beberapa istilah yang
harus dipahami pembaca yaitu randomisasi, teknik penyamaran (blinding)
dan teknik-teknik yang dilakukan dalam proses randomisasi serta faktor
perancu. Ada panduan yang telah ditetapkan yaitu standar pelaporan
penelitian eksperimen yang terkonsolidasi atau dikenal dengan CONSORT
(Consolidated Standards of Reporting Trials) untuk mempermudah dalam
pelaporan setiap hasil penelitian eksperimen dengan metodologi yang
dapat meningkatkan kualitas hasil penelitian. CONSORT mengembangkan
rekomendasi berupa cheklist tentang apa yang harus disertakan dalam
laporan yang akurat dan lengkap dari studi observasional, dimulai dari
latar belakang, metodologi, hasil dan pembahasan serta informasi lainnya.

Bab 10 ~ Telaah Kritis Penelitian Eksperimental 225


STUDI KASUS 2:
Latihan Telaah Kritis
Lakukan telaah kritis pada paper dengan judul di bawah ini

Judul Penelitian ‘Managing back pain in preganancy using a support


garment: a randomised trial’.
Peneliti : SM Kalus, LH Kornman, JA Quinlivan
Jurnal : An International Journal of Obstetrics and Gynaecology
Tahun : 2007
(download file di www.metopidfkmunsri.blogspot.com)

Sumber: SM Kalus, LH Kornman, JA Quinlivan, 2007

Gambar 41. Belly Bra Gambar 42. Tulbigrip (Control)

Tabel 58. Poin-poin yang perlu dilaporkan pada penelitian eksperimen randomisasi
CONSORT 2010 pada penelitian “managing back pain in pregnancy using
a support garment: a randomised trial”
Dilaporkan
Bagian/Topik Kode Daftar Poin pada
halaman #
Judul dan 1a Identifikasi sebagai penelitian eksperimen
abstrak randomisasi pada judul/abstrak.
1b rangkuman penelitian terstruktur dari desain
penelitian, metode, hasil dan kesimpulan.

226 EPIDEMIOLOGI
Pendahuluan
Latar 2a Latar belakang yang ilmiah dan penjelasan rasional
belakang dan penelitian.
tujuan 2b Tujuan atau hipotesis spesifik/khusus.
Metode
Desain 3a Gambaran desain penelitian (seperti paralel,
Penelitian faktorial), termasuk alokasi rasio.
3b Perubahan penting pada metode setelah penelitian
dimulai (seperti kriteria sampel yang memenuhi
syarat), dengan alasan.
Partisipan/ 4a Kriteria responden yang memenuhi syarat.
Responden 4b Tempat dan lokasi di mana data dikumpulkan.
Intervensi 5 Intervensi untuk setiap kelompok dengan penjelasan
detail untuk memungkinkan replikasi, termasuk
bagaimana dan kapan partisipan diadministrasi/
rekruit.
Outcome/ 6a Ukuran hasil utama dan kedua (secondary)
Keluaran didefinisikan secara spesifik dan lengkap, termasuk
bagaimana dan kapan mereka diukur.
6b Setiap perubahan hasil penelitian setelah penelitian
dimulai, dengan alasan.
Ukuran 7a Menjelaskan perhitungan sampel.
sampel 7b Jika ada, penjelasan dari analisis interim dan aturan
sampel.
Randomisasi 8a Metode yang digunakan untuk menghasilkan urutan
urutan sampel alokasi acak.
(sequence 8b Jenis pengacakan, rincian pembatasan (seperti
generation) pemblokiran dan ukuran blok).
Mekanisme 9 Mekanisme yang digunakan untuk
Alokasi mengimplementasikan urutan alokasi acak (seperti
penyem­ kontainer berurutan nomor), menjelaskan langkah-
bunyian langkah yang diambil untuk menyembunyikan urutan
(Allocation sampai intervensi dilakukan.
concealment
mechanism)
Implementasi 10 Siapa melakukan urutan alokasi, yang mendaftar
peserta, dan siapa yang mengalokasikan peserta
untuk kelompok penelitian.
Penyamaran 11a Jika dilakukan, siapa yang tidak tahu status responden
(Blinding) setelah pengalokasikan intervensi (misalnya,
peserta, penyedia layanan, mereka menilai hasil) dan
bagaimana pelaksanaannya.
11b Jika relevan, deskripsi kesamaan/kemiripan
intervensi.

Bab 10 ~ Telaah Kritis Penelitian Eksperimental 227


Metode 12a Metode statistik yang digunakan untuk analisis hasil
Statistik primer dan sekunder (hasil utama dan turunanya).
12b Metode untuk analisis tambahan, seperti analisis
subkelompok dan analisis yang disesuaikan/dikontrol.
Hasil
Alur 13a Untuk setiap kelompok, jumlah peserta yang secara
Partisipan acak dialokasikan, menerima pengobatan/intervensi,
(diagram dan yang dianalisis untuk hasil primer.
sangat 13b Untuk setiap kelompok, partisipan yang hilang dan
dianjurkan) dikeluarkan setelah randomisasi, bersama dengan
alasan.
Rekruitmen 14a Tanggal periode perekrutan dan tindak lanjut.
14b Mengapa penelitian berakhir atau dihentikan.
Data dasar 15 Sebuah tabel karakteristik demografi dan
(Baseline karakteristik klinis untuk setiap kelompok.
data)
Jumlah yang 16 Untuk setiap kelompok, jumlah peserta (penyebut)
dianalisis termasuk dalam analisis masing-masing dan apakah
analisis itu dilakukan pada kelompok alokasi awal.
Keluaran dan 17a Untuk setiap hasil primer dan sekunder, hasil untuk
Estimasi masing-masing kelompok, dan ukuran nilai dipopulasi
dan presisi (seperti tingkat kepercayaan 95%).
17b Untuk hasil binary, penyajian ukuran efek absolut
maupun relatif direkomendasikan.
Analisis 18 Analisis lainnya, termasuk analisis subkelompok
Lanjutan dan analisis yang disesuaikan (adjusted analysis),
(Ancillary membedakan hasil yang spesifik dan hasil eksplorasi.
analyses)
Bahaya 19 Semua bahaya/efek yang tidak diinginkan yang dapat
(Harms) timbul pada setiap kelompok penelitian.
Diskusi
Keterbatasan 20 Keterbatasan penelitian; mempertimbangkan sumber
potensial bias, ketidaktepatan, dan jika relevan,
analisis multiple.
Generalisasi 21 Generalisasi (validitas eksternal) dari temuan
penelitian.
Interpretasi 22 Interpretasi harus konsisten dengan hasil,
menyeimbangkan manfaat dan bahaya, dan
menambahkan hasil penelitian sebelumnya yang
relevan.

228 EPIDEMIOLOGI
Informasi Lainnya
Registrasi 23 Nomor pendaftaran dan nama registry penelitian.
Protokol/ 24 Di mana protokol penelitian dapat diakses penuh,
Proposal jika tersedia.
Sumber dana 25 Sumber dana dan dukungan lainnya (seperti
penelitian penyediaan obat-obatan), peran penyandang dana.
Sumber: Douglas G. Altman, 2001, Schulz, 2010(6, 7)

DAFTAR PUSTAKA
1. Najmah, Fenny Etrawati, Yeni, Feranita Utama. Pemodelan Kawasan
Tanpa Rokok (non-smoking area modeling) pada tingkat rumah tangga
di Kabupaten Ogan Ilir- Sumatera Selatan-Indonesia’(Modelling
of Non-Smoking Area in Household Level in Ogan Ilir City, South
Sumatera, Indonesia). Proposal Hibah Kompetitif Ogan Ilir: BOPTN
Universitas Sriwijaya; 2014.
2. Richards D, Les Toop, Stephen Chambers, Lynn Fletcher. Response
to antibiotivs of women with symptoms of urinary tract infection but
negative dipstick urine test results: double blind randomised controlled
trial. BMJ. 2008 22 June 2005:1-5.
3. Sacher PM, Maria Kolotourou, Paul M. Chadwick, Tim J. Cole, Margaret
S. Lawson, Alan Lucas, et al. Randomized Controlled Trial of the MEND
Program: A Family-based Community Intervention for Childhood Obesity.
Obesity. 2010;18(1):S62-S8.
4. Elwood M. Critical Appraisal of Epidemiological Studies and Clinical Trials.
New York: Oxford University Press; 2007. p.28-36
5. Sophiyudin D. Telaah Kritis pada Penelitian Klinis. 2012.
6. Douglas G. Altman, DSc; Kenneth F. Schulz, David Moher, Matthias
Egger, Frank Davidoff, Diana Elbourne, et al. The Revised CONSORT
Statement for Reporting Randomized Trials: Explanation and Elaboration.
Annals of Internal Medicine. 2001;134(8):663-94.
7. Schulz KF, DGA, David Moher. CONSORT 2010 Statement: Updated
Guidelines for Reporting Parallel Group Randomised Trials. PLoS Medicine.
2010 March 2010;7(3).

Bab 10 ~ Telaah Kritis Penelitian Eksperimental 229


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
DAFTAR SINGKATAN

AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome


AMI Annual Malaria Incidence
API Annual Parasite Incidence
ARV Anti retroviral
ASSIST Alcohol, Smoking and Substance Involvement Screening Test
BBLR Berat Badan Lahir Rendah
CDC Center for Disease Control and Prevention
CIN Cervical Intraepithelial Neoplasia
EWARS The Early Warning Alert and Response System
HIV Human Immunodeficiency Virus
HPV Human Papiloma Virus
ISPA Infeksi Saluran Pernafasan Atas
KLB Kejadian Luar Biasa
MDGS Millennium Development Goals
MEND Mind, Exercise, Nutrition, Do it
ODHA Orang dengan HIV/AIDS
PMTCT Prevention of mother to child transmission
PTRM Program Terapi Rumatan Metadon

231
Riskesdas Riset Kesehatan Dasar
SDKI Suevei Demografi dan Kesehatan Indonesia
STBP Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku
STROBE The Strengthening the Reporting of Observational Studies
in Epidemiology
TB Tuberkulosis
WHO World Health Organisation

232 EPIDEMIOLOGI
DAFTAR ISTILAH
EPIDEMIOLOGI UNTUK MAHA-
SISWA KESEHATAN MASYARAKAT

Agen Penular Suatu faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur


(Agent) mati atau hidup. Agen adalah suatu faktor seperti
mikroorganisme, zat kimia atau radiasi yang ada,
keberadaannya berlebihan atau faktor yang relatif
tidak ada dalam menimbulkan suatu penyakit[8].
Air Borne Penyebaran unsur penyebab secara aerosol ke pintu
masuk yang sesuai, biasanya saluran pernapasan.
Unsur aerosol adalah pengandung partikel-partikel
di udara yang terdiri dari sebagian, atau dapat
seluruhnya jasad renik.
Virus Flu menyebar melalui bersin yang berupa
droplet-droplet di udara
Angka kematian Sebuah estimasi proporsi orang yang meninggal
kasar pada suatu populasi selama periode waktu tertentu
Antigenisitas Kemampuan agen untuk merangsang reaksi
pertahanan tubuh (imunologis) dalam pejamu.

233
Blinding Prosedur untuk menyembunyikan informasi
mengenai obat yang diberikan. Terdapat tiga jenis
penyamaran yaitu single blind, double blind, dan triple
blind (satu, dua dan tiga penyamaran)
Concealment Prosedur untuk menyembunyikan informasi
tentang hasil randomisasi.
Confounding factor/ Distorsi dalam memprediksi hubungan atau
Perancu asosiasi antara faktor eksposur dan outcome (hasil)
sehingga asosiasi sebenarnya tidak tampak atau
ditutupi oleh faktor lainnya.
Endemik Adanya penyakit atau agen menular yang tetap
dalam suatu area geografis tertentu, dapat juga
berkenaan dengan adanya penyakit yang secara
normal biasa timbul dalam suatu area tertentu.
Seperti DBD endemis di Indonesia, Malaria
endemis di Bangka/Belitung.
Hyperendemic: menyatakan suatu penularan hebat
yang menetap (terus-menerus).
Holoendemic: tingkat infeksi yang cukup tinggi sejak
awal kehidupan dan dapat memengaruhi hampir
seluruh populasi.
Common Source Epidemic (CSE) adalah suatu
letusan penyakit yang disebabkan oleh terpaparnya
sejumlah orang dalam suatu kelompok secara
menyeluruh dan terjadinya dalam waktu yang
relatif singkat (sangat mendadak).
Propagated atau Progressive Epidemic bentuk
epidemi ini terjadi karena adanya penularan dari
orang ke orang baik secara langsung maupun
tidak langsung melalui udara, makanan maupun
vektor. Kejadian epidemi semacam ini relatif lebih
lama waktunya sesuai dengan sifat penyakit serta
lamanya masa tunas. Juga sangat dipengaruhi oleh
kepadatan penduduk serta penyebaran anggota ma-

234 EPIDEMIOLOGI
syarakat yang rentan terhadap penyakit tersebut.
Masa tunas penyakit tersebut di atas adalah sekitar
satu bulan sehingga tampak bahwa masa epidemi
cukup lama dengan situasi peningkatan jumlah
penderita dari waktu ke waktu sampai pada saat
di mana jumlah anggota masyarakat yang rentan
mencapai batas yang minimal.
Epidemic Kejadian atau peristiwa dalam suatu masyarakat
atau wilayah dari suatu kasus penyakit tertentu
(atau suatu kasus kejadian yang luar biasa)
yang secara nyata melebihi dari jumlah yang
diperkirakan.
Epidemiologi Distribusi dan determinan suatu kondisi kesehatan
di populasi khusus/tertentu dan tujuan pelaksanaan
studi ini adalah untuk mengendalikan masalah
kesehatan
Faktor lingkungan Semua faktor di luar pejamu (host) yang
(environment) memengaruhi status kesehatan populasi. Faktor
lingkungan meliputi lingkungan sosial ekonomi
(lingkungan kerja, keadaan perumahan, keadaan
sosial masyarakat, bencana alam, kemiskinan dan
lain-lain), lingkungan biologi (flora; sumber bahan
makanan dan fauna; sebagai sumber protein) dan
lingkungan fisik (geologi, iklim, geografik)[10].
Human Reservoir Penyakit menular umumnya memiliki reservoir
manusia. Penyakit yang ditularkan dari orang ke
orang tanpa perantara termasuk penyakit menular
seksual, campak, gondok, infeksi streptokokus, dan
bakteri pathogen pernafasan.
Immunitas/ Kekebalan yang biasanya dihubungkan dengan
kekebalan adanya antibodi atau hasil aksi sel-sel yang
spesifik terhadap mikro-organisme penyebab atau
racunnya, dan yang dapat menimbulkan penyakit
menular tertentu.

Daftar Istilah 235


Imunitas pasif/Passive humoral immunity: kekebalan
yang didapat dengan pemindahan secara buatan
melalui inokulasi antibodi pelindung yang spesifik;
dan yang berlangsung dengan durasi yang pendek.
Imunitas aktif/Active humoral immunity: kekebalan
yang biasanya dapat berlangsung lama sampai
bertahun-tahun, didapat baik secara alamiah
melalui proses infeksi, dengan atau tanpa gejala
klinis yang jelas, atau secara buatan dengan cara
inokulasi agen penyebabnya itu sendiri yang telah
dimatikan, atau telah dilemahkan, atau dari bagian
protein maupun hasil produk agen penyebabnya.
Induktivitas Kemampuan agen penyakit untuk menyebabkan
terjadinya infeksi, yang dihitung dari jumlah
individu yang terinfeksi dibagi dengan jumlah
individu yang terpapar.
Infektivitas Kemampuan agen untuk masuk, bertahan hidup,
dan berkembang biak dalam pejamu (host). Dosis
infektif adalah jumlah yang diperlukan untuk
menyebabkan infeksi pada pejamu yang rentan.
Insiden Kejadian (kasus) yang baru saja memasuki fase
klinik dalam riwayat alamiah penyakit.
Insidensi kumulatif merupakan proporsi kasus
baru pada populasi berisiko pada periode waktu
tertentu. Insidensi kumulatif dapat menaksir risiko
seseorang untuk terkena suatu penyakit pada
jangka waktu tertentu.
Laju insidensi merupakan proporsi jumlah orang
yang baru menderita penyakit di antara jumlah
orang dalam risiko dikali dengan lamanya ia dalam
risiko.
Isolasi Kegiatan yang dilakukan dengan melakukan
pemisahan, selama masa penularan terhadap orang
atau hewan yang terinfeksi dari yang lain pada tem-

236 EPIDEMIOLOGI
pat tertentu, serta dalam kondisi tertentu, sebagai
usaha untuk mencegah maupun membatasi
penularan langsung dan tidak langsung terhadap
agen menular dari mereka yang terinfeksi kepada
mereka yang rentan atau mereka yang dapat
menyebarkan agen tersebut kepada yang lain.
Karier/Carrier Manusia (orang) atau hewan tempat berdiamnya
agen menular spesifik dengan adanya penyakit
yang secara klinis tidak terlihat nyata, tetapi dapat
bertindak sebagai sumber infeksi yang cukup
penting.
Health carrier (inapparent) adalah host yang
dalam hidupnya kelihatan sehat karena tidak
menampakkan gejala klinis, tetapi membawa
unsur penyebab penyakit yang dapat ditularkan
pada orang lain.
Incubatory carrier (masa tunas) ialah host yang
masih dalam masa tunas/inkubasi, tetapi telah
mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/
sebagai sumber penularan.
Convalescent carrier (baru sembuh klinis) ialah host
yang baru sembuh dari penyakit menular tertentu,
tetapi masih merupakan sumber penularan
penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang
masa penularannya kemungkinan hanya sampai
tiga bulan.
Chronis carrier (menahun) merupakan sumber
penularan yang cukup lama.
Kasus Kontrol (Case Paparan pada masa lampau, outcome pada masa
Control) sekarang
Kohort Paparan pada masa sekarang, outcome/penyakit di
masa depan

Daftar Istilah 237


Kontak/Contact Orang atau hewan yang telah berhubungan/
mengalami hubungan dengan orang atau hewan
terinfeksi, atau lingkungan yang terkontaminasi
sehingga dapat memberikan peluang untuk
memperoleh agent penyakit menular.
Odds Rasio Rasio dua nilai dikotomi yaitu perbandingan odds
subjek sakit dengan odds subjek tak sakit
Odds kasus artinya perbandingan jumlah kasus
terpapar dengan kasus tidak terpapar
Odds kontrol artinya perbadingan jumlah kontrol
terpapar dan kontrol tidak terpapar
Pandemi Kejadian atau peristiwa luar biasa dalam suatu
masyarakat atau wilayah dari suatu penyakit
tertentu yang telah menyebar ke banyak negara
secara luas, seperti Pandemi Flu Burung pada
tahun 1918.
Patogenisitas Kemampuan agen untuk menimbulkan suatu
penyakit klinis, diukur dengan rasio jumlah orang
yang terkena penyakit secara klinis dengan jumlah
orang yang terinfeksi dengan penyakit tertentu
Pejamu (Host) Manusia atau hewan termasuk burung dan
arthropoda yang dapat menjadi tempat
berkembangbiaknya agen infeksius sehingga
terjadinya proses alamiah perkembangan penyakit.
Penyakit menular/ Penyakit yang disebabkan oleh unsur/agen
Communicable penyebab menular tertentu atau hasil racunnya,
disease yang terjadi karena perpindahan/penularan
agen atau hasilnya dari orang yang terinfeksi,
hewan, atau reservoir lainnya (benda lain) kepada
pejamu yang rentan (potencial host), baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui pejamu
perantara hewan (vektor), atau lingkungan yang
tidak hidup.

238 EPIDEMIOLOGI
Periode Penularan/ Waktu atau selama waktu tertentu di mana agen
Communicable menular dapat dipindahkan baik secara langsung
period maupun tidak langsung dari orang terinfeksi
ke orang lain, dari hewan terinfeksi ke manusia
atau dari orang terinfeksi ke hewan, termasuk
arthropoda.
Pintu Keluar Jalan di mana patogen meninggalkan inangnya.
(Portal of Exit) Portal ke luar biasanya sesuai dengan tempat di
mana patogen berada, bisa saluran pernafasan,
saluran sekresi dan ekstresi, plasenta dan seba­
gainya.
Pintu Masuk Mengacu pada cara patogen memasuki pejamu yang
(Portal of Entry) rentan. Pintu masuk ke pejamu harus melalui ke
jaringan tubuh di mana patogen dapat berkembang
biak atau racun dapat menyebar.
Populasi Berisiko Populasi yang memiliki kemungkinan untuk
terkena suatu penyakit.
Potong Lintang Paparan dan outcome pada masa sekarang
(Cross sectional)
Pre patogenitas Kondisi di mana gejala klinis penyakit belum
terlihat.
Prevalensi Proporsi orang yang berpenyakit dari suatu
populasi pada satu titik waktu atau periode waktu.
Prevalensi titik menunjukkan proporsi individu
yang sakit pada satu titik waktu tertentu.
Prevalensi periode menunjukkan proporsi individu
yang sakit pada periode waktu tertentu, sehingga
prevalensi periode memuat prevalensi titik dan
juga kasus baru (insidensi).
Random Error Kesalahan acak.
Randomisasi Alokasi secara random/acak bertujuan untuk
menciptakan karakteristik antar kelompok hampir
sama dan jumlah sampel tiap kelompok seimbang
dalam penelitian.

Daftar Istilah 239


Rasio Prevalensi/ Rasio dari risiko untuk terjadinya penyakit pada
Prevalence Ratio kelompok terpapar dibandingkan kelompok
(PR) yang tidak terpapar dengan menggunakan data
prevalensi.
Reservoir Reservoir agen menular adalah tempat atau
habitat di mana agen biasanya hidup, tumbuh,
dan berkembang biak seperti manusia, hewan, dan
lingkungan. Reservoir dapat menjadi sumber dari
mana agen ditularkan ke pejamu ataupun tidak.
Misalnya, reservoir Clostridium botulinum adalah
tanah, tetapi sumber dari kebanyakan infeksi
botulisme dari makanan kaleng yang mengandung
spora C. Botulinum.
Resisten Mekanisme tubuh mempertahankan diri dari
perkembangbiakan agen penyakit atau kerusakan
dari penyebab lainnya seperti racun.
Inherent resistence: kemampuan untuk melawan
penyakit secara genetis atau diperoleh secara
permanen atau sementara.
Risk Rasio/Relative Rasio dari risiko untuk terjadinya penyakit pada
Risk (RR) kelompok terpapar dibandingkan kelompok yang
tidak terpapar dengan menggunakan data insiden.
Segitiga epidemiologi Suatu konsep dasar dalam epidemiologi yang
(triad epidemiologi) menggambarkan bagaimana terjadinya penyakit
menular, yang terdiri dari tiga faktor utama yaitu
agen, pejamu (host) dan lingkungan (environment).
Apabila terjadi ketidakseimbangan pada salah
satu faktor tersebut, maka dapat menyebabkan
ketidakseimbangan kesehatan seseorang (status
sakit).
Sensitivitas Proporsi orang yang benar-benar sakit dalam
populasi yang juga diidentifikasi sebagai orang
sakit oleh tes skrining/penapisan/penapisan.

240 EPIDEMIOLOGI
Kemungkingkinan kasus terdiagnosis dengan
benar atau probabilitas setiap kasus yang ada
teridentifikasi dengan uji skrining/penapisan/
penapisan.
Sistematik Error/ Kesalahan sistematis, Bias terdiri dari bias seleksi,
Bias bias informasi dan bias recall (mengingat kembali).
Penapisan/Skrining Proses pendeteksian kasus/kondisi kesehatan
pada populasi sehat pada kelompok tertentu
sesuai dengan jenis penyakit yang akan dideteksi
dini dengan upaya meningkatkan kesadaran
pencegahan dan diagnosis dini bagi kelompok
yang termasuk risiko tinggi.
Spesifisitas Proporsi orang yang benar-benar tidak sakit dan
tidak sakit pula saat diidentifikasi dengan tes
skrining/penapisan/penapisan.
Kemungkinan benar mengidentifikasi orang tidak
sakit dengan tes skrining/penapisan/penapisan.
Standardisasi Proses penakaran dari angka rata-rata dari dua
atau lebih kategori dengan susunan spesifik dari
populasi yang menjadi takaran atau perbandingan.
Standardisasi langsung dan standardisasi tidak
langsung.
STROBE (The Salah satu inisiatif dalam pengembangan reko­
Strengthening mendasi tentang apa yang harus disertakan
the Reporting of dalam laporan yang akurat dan lengkap dari studi
Observational Studies observasional.
in Epidemiology)
Sumber Infeksi Orang atau objek tempat pejamu ditularkan oleh
agen penyebab penyakit
Surveilans Suatu proses yang sistematik meliputi pengum­
pulan, pemeriksaan, analisis data serta diseminasi
informasi pada waktu dan orang yang tepat
sehingga dapat dilakukan tindakan lanjutan.

Daftar Istilah 241


Surveilans Aktif, Surveilans Pasif, Surveilans
Sentinel.
Transmisi Langsung Penularan penyakit melalui kulit ke kulit (skin
(direct contact) to skin), ciuman, dan hubungan seksual. Kontak
langsung juga mengacu pada kontak dengan tanah
atau vegetasi.
Transmisi tidak Transmisi tidak langsung mengacu pada penularan
langsung (indirect agen infeksius dari reservoir ke pejamu oleh
contact) partikel tersuspensi udara (airborne), benda mati
(vehicle), atau vektor.
Ukuran Asosiasi Ukuran yang digunakan untuk melihat hubungan
paparan dengan penyakit.
Validitas Prediktif Kesesuaian antara hasil pengukuran alat ukur
(Predictive Validity, sekarang dan hasil pengukuran standar emas di
Prognostic Validity) masa mendatang.
Nilai prediktif positif adalah proporsi yang benar-
benar positif (true positive) di antara keseluruhan
penderita yang menunjukkan hasil tes konfirmasi
positif.
Nilai Prediktif Negatif adalah persentase dari
semua yang benar-benar negatif (sehat/true
negative) di antara semua yang menunjukkan hasil
tes negatif.
Vektor Binatang, paling sering arthropoda (misalnya
serangga), yang menularkan zat pathogen dari orang
yang terinfeksi dan ditularkan ke individu yang
rentan/berisiko.
Penyakit menular yang penularannya terutama
oleh vektor dapat dibagi menurut jenis vektornya.
Vektor nyamuk (mosquito borne diseases) antara
lain: malaria, filariasis, dan beberapa jenis virus
encephalitis, demam virus seperti demam dengue,
virus hemorrhagic seperti dengue hemorrhagic fever
serta yellow fever.

242 EPIDEMIOLOGI
Vektor kutu louse (louse borne diseases) antara lain:
epidemic tifus fever dan epidemic relapsing fever.
Vektor kutu flea (flea borne diseases) pada penyakit
pes dan tifus murni.
Vektor kutu mite (mite borne diseases) antara
lain: scrub tifus (tsutsugamushi) dan vesicular
ricketsiosis.
Vektor kutu jenis tick (tick borne diseases) antara
lain: spotted fever, epidemic relapsing fever dan lain-lain.
Penyakit oleh serangga lainnya seperti sunfly ever,
lesmaniasis, barthonellosis oleh lalat phlebotonus,
onchocerciasis oleh blackflies genus simulium,
serta trypanosomiasis di Afrika oleh lalat tse-tse,
dan juga di Amerika oleh kotoran kutu trimatomid.
Virulensi Ukuran tingkat keparahan penyakit atau tingkat
patogenisitas agen memperparah kondisi suatu
penyakit, yang dapat bervariasi dari yang sangat
rendah hingga sangat tinggi. Atau dengan kata lain
kemampuan agen penyakit untuk menyebabkan
keparahan/stadium lanjut hingga kematian.
Wabah Penyakit menular yang berjangkit dengan cepat,
menyerang sejumlah besar orang di daerah yang
luas.
Zoonosis Zoonosis mengacu pada penyakit menular yang
ditularkan secara alamiah dari hewan vertebrata ke
manusia, contohnya rabies pada anjing dan kucing
tanpa imunisasi rabies.

Daftar Istilah 243


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BIODATA PENULIS

Najmah, lahir tahun 1983, saat ini


sedang menempuh pendidikan strata
3 di School of Public Health, Faculty
of Health and Environmental Science
di Auckland University of Technology,
Selandia Baru di tahun pertama 2015
(New Zealand Asean Awardee).
Pendidikan terakhirnya adalah S2
Master of Public Health (Epidemiology
and Biostatistics) di School of Population Health, Faculty of Medicine,
Dentistry and Health Sciences di The Univesitas of Melbourne, Victoria
(APS Ausaid Awardee) dan strata 1 di Prodi IKM, FK Unsri, Sumsel
Indonesia (red. FKM sekarang).
Penulis berusaha belajar terus dalam menulis bahan-bahan
epidemiologi dan aplikasi statistika ke dalam buku yang mudah dipahami
oleh semua mahasiswa dan praktisi kesehatan. Ini adalah lanjutan buku
keduanya yang berjudul Epidemiologi untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat
(terbit 2015, RajaGrafindo Persada). Buku lainnya karya penulis adalah
Manajemen dan Analisa Data Kesehatan, Kombinasi Teori dan Aplikasi SPSS

245
(terbit 2011, nuhamedika) dan Epidemiologi Penyakit Menular (terbit 2016,
Tim Penerbit). Penulis lagi menyelesaikan buku selanjutnya yang berjudul
Statistika Kesehatan, Aplikasi Stata dan SPSS disela waktu luang selagi
menempuh strata 3 di Auckland. Teman teman pembaca dapat mengakses
beberapa materi bidang kesehatan masyarakat (epidemiologi dan aplikasi
statistika) secara virtual di www.metopidfkmunsri.blogspot.com, www.
madfkmunsri.blogspot.com dan www.queencyhimada.blogpsot.com (our
sharing journey, Melbourne and Auckland).

246 EPIDEMIOLOGI

Anda mungkin juga menyukai