KMK Kel 6, Seni BAKABA.
KMK Kel 6, Seni BAKABA.
KMK Kel 6, Seni BAKABA.
SENI BAKABA
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebudayaan Minangkabau
Disusun Oleh:
Galih Prayoga (1811020023)
Randy Demar (1811020024)
Desri Rahmi Yona (1811020021)
Agung Fitra Suganda (1811020020)
A. Latar Belakang
Masyarakat Melayu Minangkabau menunjukkan kemelayuannya pada tradisi
bercerita atau “bakaba”. Bakaba atau bercerita merupakan cara masyarakat Minangkabau
mengekspresikan nilai seni, budaya, pendidikan dan sosial. Pada waktu masyarakat
menggelar pertunjukan seni bakaba seperti “rabab”, didalamnya terdapat pesan-pesan
bagaimana seseorang hidup tengah masyarakat sebagai manusia yang beradat.
Menikmati kaba, cerita, dan apapun namanya sepanjang sesuai dengan selera
sungguh sangat mengasyikkan serta membuat pembaca terbuai sehingga mereka rela
menghabiskan waktu berlama-lama untuk membaca cerita tersebut. Orang yang berbeda
asal usulnya biasanya mempunyaiselera yang berbeda pula dalam menikmati sebuah
buku cerita. Begitu juga, perbedaan umur dapat pula mempengaruhi prioritas orang
dalam memilih dan memilah bahan bacaannya. Kondisi seperti ini tidak hanya berlaku
ketika membaca cerita klasik/kaba. Kita, umpamanya, tidak perlu heran apabila
memperhatikan seseorang yang sedang membaca buku cerita silat Cina yang ditulis
Asmaraman Kho Ping Hoo, tidak putusputus dan tidak bosan-bosannya mempelototi
buku tersebut dari pagi hingga sore dengan berpuluh-puluh jilid dalam satu judul.
1
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Seni Bakaba
Tradisi lisan digunakan pada awal kehidupan sastera di Minangkabau dan masih
kekal sampai hari ini. Cerita dan hukum adat disampaikan dari penghulu kepada ninik
mamak, dari ninik mamak kepada kemenakan melalui lisan (dari mulut ke mulut). Sistem
pewarisan adat secara lisan ini terbukti masih ditaati dengan setia oleh warganya. Tidak
sekadar ditaati namun tradisi lisan digemari oleh masyarakat Minangkabau. Selain
sebagai cerminan adat istiadat, sejarah, sistem genealogi, dan12 sistem pengetahuan,
tradisi lisan juga menjadi alat kontrol yang ampuh terhadap perilaku masyarakat.
Di Minangkabau, sastra lisan yang disebut kaba pada zaman sekarang telah ditulis
dalam bentuk buku. Kaba merupakan karya anak manusia yang memberikan gambaran
kepada kita tentang masyarakat pada masanya walaupun penggambaran tersebut tidak
selalu sesuai dengan kenyataannya.
Meskipun Nan Putiah mengemukakan bahwa kesusasteraan di Minangkabau
bertitik tolak pada kehalusan budi, tenggang rasa, dan saling hormat menghormati, tetapi
kaba sebagai karya sastra yang memperlihatkan sifat-sifat kemanusiannya tetap memiliki
sisi baik/positif dan sisi buruk/negatif.1
Menurut Taufik Abdullah Kaba merupakan percampuran berbagai konsep
universal yang sejalan dengan tradisi masyarakat Minangkabau.2
Sebuah karya sastra yang berbentuk kaba dapat berupa riwayat rekaan atau cerita,
baik berdasarkan fakta maupun bukan, biasanya disampaikan, ditulis, dan disebarkan
kepada khalayak dengan maksud antara lain agar dapat memberi pembelajaran. Dengan
demikian, kaba seharusnya berisikan wawasan kebaikan untuk kehidupan dengan
harapan agar pembacanya tidak terlanjur melakukan pekerjaan yang salah atau tidak
sesuai dengan norma-norma serta aturan yang berlaku dalam masyarakat. Begitu juga,
seorang pengarang harus berhati-hati dalam menyampaikan imaginasi atau rangkaian
peristiwa yang dibentuk menjadi sebuah kaba.
Kaba sebagai sastra tradisional Minangkabau didendangkan dengan diiringi dengan
alat musik rebab, adok, saluang, atau kecapi. Kaba yang diringi alat musik gesek
1
Nan Putiah, J. DT., & Malako., Mambangkik Batang Tarandam: dalam Upaya Mewariskan dan
Melestarikan Adat Minangkabau, ( 2007), hal. 86.
2
Taufik Abdullah, Minangkabau dalam Perspektif Perubahan Sosial. Dlm. Mestika Zed Perubahan
Sosial di Minangkabau. Padang, ( Pusat Studi Pembangunan dan Perubahan Sosial Universitas Andalas, 1992),
hal.03.
2
dibawakan oleh satu orang, tetapi kaba yang diikuti dengan alat tiup dibawakan oleh
tukang kaba dan peniup alat musik. Pertunjukan kaba biasanya berlangsung semalam
suntuk.3
Ada dua faktor yang dapat menentukan kehadiran khalayak pada pertunjukan kaba:
1. Cara penyajian (presentasi) tukang kaba yang dilihat dari kemerduan suara,
penguasaan lagu tradisional yang disesuaikan dengan jalannya cerita, kemampuan
memberi komentar, dan keahlian dalam menyelipkan selingan untuk
menghidupkan suasa/humor.
2. Faktor kaba yaitu sejauhmana kaba yang dibawakan dikuasai oleh tukang kaba itu
sendiri sebab kaba yang dimainkan biasa sudah diketahui dengan baik oleh orang
yang hadir dalam pertunjukan itu. Namun, faktor yang dominan dalam
pertunjukan kaba adalah kemampuan tukang kaba itu sendiri.
Pada masa anak muda laki-laki Minangkabau tidur di surau, kaba merupakan
cerita pengantar tidur yang dituturkan oleh generasi lebih tua yang disampaikan seperti
menyampaikan sebuah hikayat dan sering diikuti nasehat-nasehat tentang kehidupan.
Tentu saja, cerita yang disampaikan secara lisan ini belum tentu akan sama antara
seorang tukang cerita dengan tukang cerita lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh
cerita yang diterima dari generasi sebelumnya ada bagian-bagian yang terlupa atau juga
karena dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan jarak yang berjauhan.
Pada tahun 50-an di kota-kota di Sumatra Barat masih banyak ditemui tukang
kaba/cerita yang dengan lihainya mendemontrasikan kepintarannya dalam bakaba.4
BAB 3
PENUTUP
3
Esten, M, Minangkabau: Tradisi dan Perubahan (Padang: Angkasa Raya,1993), hal. 32-35.
4
St. Bandaro., & Muchsis, M, Alam Takambang Jadi Guru: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah, (Jakarta: Yayasan Nuansa Bangsa, 2011), hal. 20-21.
3
A. Kesimpulan
Kaba semula adalah cerita lisan yang disampaikan oleh seorang tukang kaba yang
kadangkala diiringi oleh alat musik, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kaba ini
mulai dibukukan setelah tulisan Arab Melayu dipakai di wilayah ini, tetapi tidak ada
jaminan bahwa kaba yang telah dibukukan tersebut memiliki isi yang sama dari satu
penerbit ke penerbit yang lainnya.
Namun, judul dan gambaran wilayah kejadian dari kaba itu kelihatannya tidak
berbeda meskipun orang yang menyusun kembali cerita lisan (kaba) itu dapat saja
berbeda. Kaba berisikan gambaran kehidupan dengan tujuan agar pembaca atau pendengar
tidak terlanjur berbuat sesuatu yang tidak dibenarkan oleh-norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat Minangkabau. Namun, dua kaba yang dibahas di atas ternyata memiliki
berbagai kekurangan yang dapat menjerumuskan pembaca yang tidak memiliki
pengetahuaan Islam yang memadai kepada kesyirikan atau mendorong mereka
mengerjakan sesuatu yang dilarang oleh agama.
Daftar Pustaka
4
Nan Putiah, J. DT., & Malako., Mambangkik Batang Tarandam: dalam Upaya
Mewariskan dan Melestarikan Adat Minangkabau, ( 2007)
St. Bandaro., & Muchsis, M, Alam Takambang Jadi Guru: Adat Basandi Syarak,
Syarak Basandi Kitabullah, (Jakarta: Yayasan Nuansa Bangsa, 2011)