E062182001 - Tesis 1-2

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 49

TESIS

ANALISIS MODEL INSTITUSIONALISME


PADA KEBIJAKAN DANA KELURAHAN DI KECAMATAN
TEMPE KABUPATEN WAJO

(THE ANALYSIS OF INSTITUTIONALISM MODEL OF VILLAGE


ADMINISTRATION FUND POLICY IN TEMPE DISTRICT
WAJO REGENCY)

DISUSUN DAN DIAJUKAN OLEH :

ANDI PARAWANGSYAH
E062182001

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
TESIS

ANALISIS MODEL INSTITUSIONALISME


PADA KEBIJAKAN DANA KELURAHAN DI KECAMATAN
TEMPE KABUPATEN WAJO

(THE ANALYSIS OF INSTITUTIONALISM MODEL OF VILLAGE


ADMINISTRATION FUND POLICY IN TEMPE DISTRICT
WAJO REGENCY)

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan

DISUSUN DAN DIAJUKAN OLEH:

ANDI PARAWANGSYAH
E062182001

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020

i
ii
iii
iv
v
PRAKATA

Alhamdulillahi rabbil alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas

segala rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis

ini dengan judul “Analisis Institusionalisasi Kebijakan Dana Kelurahan di

Kecamatan Tempe Kabupaten Wajo”. Tak lupa pula shalawat dan salam

terhatur kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan dalam

perjuangan menegakkan kebenaran dan kejujuran di muka bumi.

Penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini masih terdapat

kekurangan, untuk itu besar harapan semoga tugas akhir karya ilmiah ini

memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.

Dalam kesempatan ini, penulis menyadari bahwa tanpa bantuan,

bimbingan dari berbagai pihak, tesis ini tidak akan terlaksana dengan baik.

Oleh karena itu, izinkan penulis menyampaikan terima kasih dan

permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang

terlibat langsung maupun tidak langsung dalam proses penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih yang teristimewa dengan penuh cinta

kepada Istri penulis dr. Hj. Andi Putri Dahliana dan kedua putri tercinta

penulis Andi Myesha Adeola Putri dan Andi Medina Putri Izzah. Ibunda Hj.

Andi Bunga Jenne dan Ayahanda H. Andi Muis. Kedua orang tua/mertua

penulis H. Andi Siardin Djemma dan Hj. Andi Putri Anong atas dukungan,

vi
dorongan, doa, serta kasih sayang yang tak terbatas demi keberhasilan

penulis semasa menempuh Pendidikan hingga akhir studi pada Magister

Ilmu Pemerintahan Universitas Hasanuddin. Terima kasih yang sebesar-

besarnya pula penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. H. Rasyid Thaha,

M.Si selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Hj. Indar Arifin, M.Si selaku

pembimbing II yang selalu memberi bimbingan, arahan, saran, petunjuk,

serta bantuan dari awal penulisan hingga terselesaikannya penulisan tesis

ini. semoga dengan apa yang diberikan menjadikan tesis ini lebih

bermanfaat bagi masyarakat dan kepustakaan Magister Ilmu Pemerintahan

Universitas Hasanuddin.

Melalui kesempatan ini, penuli sjuga menghaturkan terima kasih

kepada:

1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA, selaku Rektor Universitas

Hasanuddin beserta para Wakil Rektor dan jajarannya;

2. Prof. Dr. Armin Arsyad, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Hasanuddin beserta para Wakil Dekan dan

jajarannya;

3. Prof, Dr. Hj. Nurlinah, M.si, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu

Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Hasanuddin;

4. Prof. Dr. A. Gau Kadir, M.Si (Alm), Dr. H. Suhardiman Syamsu, M.Si,

dan Dr. Andi Lukman Irwan, S.IP., M.Si, selaku tim penguji yang telah

vii
memberikan masukan, kritikan serta perbaikan atas penulisan tesis ini

sehingga menjadi lebih baik;

5. Seluruh dosen pascasarjana, Bapak Prof. Dr. H. Rasyid Thaha, M.Si,

Bapak Prof. Dr. A. Gau Kadir, M.Si (Alm), Bapak Prof. Dr. Juanda

Nawawi, M.Si, Ibu Prof. Dr. Hj. Nurlinah, M.Si, Ibu Prof. Dr. Rabina

Yunus, M.Si, Ibu Dr. Hj. Indar Arifin, M.Si, Bapak Dr. H. Andi Syamsu

Alam, M.Si (Alm), Bapak Dr. H. A.M.Rusli, M.Si, Bapak Dr.

H.Suhardiman Syamsu, M.Si, Bapak Dr. Jayadi Nas, M.Si, Bapak Dr.

Andi Lukman Irwan, M.Si yang telah memberikan pengetahuan

selama penulis menimba ilmu di Magister Ilmu Pemerintahan

Universitas Hasanuddin;

6. Para pegawai dan staf akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

yang telah memberikan bantuannya kepada penulis;

7. Para informan dalam penulisan tesis ini yang telah dengan baik

menerima dan memberikan bantuannya kepada penulis;

8. Teruntuk Bapak Camat Tempe, Lurah Teddaopu, Lurah

Salomenraleng, dan Lurah Watallipue beserta seluruh jajaranya yang

telah memberikan segala bantuan dalam penelitian ini;

9. Para staf dan pejabat lingkup Kelurahan Padduppa yang telah banyak

memberikan dorongan, perhatian, bantuan yang begitu banyak

selama penulis menimba ilmu. Terima kasih banyak untuk segalanya;

10. Seluruh teman-teman angkatan 2018 Magister Ilmu Pemerintahan

FISIP Unhas; Saharuddin, S.IP, Sampar Bahar, S.IP, Ahmad Affandi,

viii
S.IP, Resky Sirumpang Kanuna, S.IP, Syahril, S.IP, Musdalifah, S.IP,

dan Badriani Mustafa, S.IP, terima kasih atas segala pengalaman,

kesenangan dan keseruan berbagi ilmu, kekompakan, dan kebaikan

yang telah diberikan kepada penulis. Semoga kita semua senantiasa

diberkahi kebahagiaan dan kesuksesan selalu oleh Allah SWT. Amin;

11. Kepada adinda Angkatan 2019 Magister Ilmu Pemerintahan FISIP

Unhas; Muhammad Yusuf, S.IP., M.Si, Fahri, S.IP, dan Marlinah

Rajab, S.IP. Terimas kasih atas pengalamannya berbagi ilmu di kelas;

12. Kepada sahabat-sahabat penulis, Dwipaty crew beserta para

keluarganya yang telah begitu banyak memberikan perhatian kepada

penulis selama ini;

13. Kepada saudara penulis beserta keponakan, dan keluarga terdekat

penulis. Terima kasih atas segala dorongan dan kebersamaannya.

14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang

telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis.

Akhir kata semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada

pembaca dan menjadi rekomendasi untuk selanjutnya.

Makassar, 14 September 2020

Andi Parawangsyah

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

HALAMAN KEASILAN TESIS .................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iii

ABSTRAK ................................................................................................ iv

ABSTRACT ............................................................................................... v

PRAKATA ............................................................................................... vi

DAFTAR ISI .............................................................................................. x

DAFTAR TABEL .................................................................................... xiv

DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xv

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1

1.2. Rumusan Masalah .................................................................... 10

1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................... 10

1.4. Kegunaan Penelitian ................................................................. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 12

2.1. Institusionalisasi Kebijakan Dana Kelurahan ............................... 12

2.1.1. Konsep Institusionalisasi ................................................ 12

2.1.1.1. Rational Choice Institusionalism (RCI) .................. 16

2.1.1.2. Historical Institusionalism (HI) ................................ 18

2.1.1.3. Institusionalisme Sosiologis (SI) ............................ 20

2.1.1.4. Discursive Institutionalism (DI) ............................... 22

x
2.1.1.5. Political Game ........................................................ 23

2.1.2. Analisis Kebijakan Publik ................................................ 24

2.2. Kebijakan Dana Kelurahan ........................................................ 28

2.2.1. Kelurahan ....................................................................... 28

2.2.2. Dana Kelurahan .............................................................. 30

2.3. Penelitian Terdahulu ................................................................. 31

2.4. Kerangka Pikir ........................................................................... 33

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................. 34

3.1. Lokasi Penelitian ....................................................................... 34

3.2. Tipe Penelitian .......................................................................... 35

3.3. Sumber Data ............................................................................. 35

3.3.1. Data Primer ..................................................................... 35

3.3.2. Data Sekunder ................................................................ 35

3.4. Penentuan Informan .................................................................. 37

3.5. Informan .................................................................................... 38

3.6. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 38

3.6.1. Wawancara ..................................................................... 39

3.6.2. Dokumentasi .................................................................... 40

3.6.3. Observasi ....................................................................... 41

3.7. Fokus Penelitian ........................................................................ 42

3.8. Analisis Data ............................................................................. 43

xi
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 44

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .......................................... 44

4.1.1. Gambaran Umum Kabupaten Wajo .................................. 44

4.1.1.1. Kependudukan ....................................................... 47

4.1.1.2. Visi dan Misi Kabupaten Wajo ................................ 48

4.1.2. Gambaran Umum Kecamatan .......................................... 53

4.1.2.1. Kedudukan, Tugas, dan Fungsi .............................. 54

4.1.2.2. Visi dan Misi Kecamatan Tempe ............................ 57

4.1.3. Gambaran Umum Kelurahan ............................................ 58

4.1.3.1. Kelurahan Teddaopu ............................................. 59

4.1.3.2. Kelurahan Watallipue ............................................. 60

4.1.3.3. Kelurahan Salomenraleng ..................................... 61

4.2. Hasil Penelitian dan Pembahasan ............................................. 62

4.2.1. Alokasi Dana Kelurahan ................................................... 62

4.2.2. Model Institusionalisasi Kebijakan Dana Kelurahan ......... 64

4.2.2.1. Rational Choice Institusionalism ............................ 65

4.2.2.2. Historical Institusionalism ....................................... 85

4.2.2.3. Sosiologis Institusionalisme .................................... 96

4.2.2.4. Discursive Institusionalism ................................... 106

4.2.2.5. Political Game ...................................................... 112

4.2.3. Matriks Model Institusionalisasi Kebijakan


Dana Kelurahan .............................................................. 117

xii
BAB V PENUTUP ................................................................................ 128

5.1. Kesimpulan ............................................................................. 128

5.2. Saran ....................................................................................... 129

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Lima Model dalam Proses Kebijakan Publik ......................... 14

Tabel 2. Penelitian Terdahulu ............................................................. 31

Tabel 3. Pembagian dan luas wilayah setiap kecamatan


di Kabupaten Wajo ................................................................ 45

Tabel 4. Jumlah desa dan kelurahan menurut kecamatan


di Kabupaten Wajo ................................................................ 46

Tabel 5. Jumlah penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Wajo .. 47

Tabel 6. Luas wilayah menurut desa/kelurahan di


Kecamatan Tempe ................................................................ 53

Tabel 7. Perbandingan besaran Dana Kelurahan dan Dana Desa


di Kabupaten Wajo ................................................................ 63

Tabel 8. Rincian anggaran belanja langsung menurut program dan


per kegiatan satuan kerja perangkat daerah Kecamatan
Tempe Kelurahan Watallipue, Tahun Anggaran 2019 .......... 67

Tabel 9. Daftar usulan rencana kegiatan prioritas Musrenbang


Kelurahan Salomenraleng Tahun Anggaran 2019 ................ 73

Tabel 10. Data program dan kebijakan pemerintah yang diterapkan


di kalangan masyarakat ........................................................ 88

Tabel 11. Rincian anggaran belanja langsung menurut program dan


per kegiatan satuan kerja perangkat daerah Kecamatan
Tempe Kelurahan Salomenraleng, Tahun Anggaran 2019 ... 92

Tabel 12. Data pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat


program dana kelurahan di Kelurahan Teddaopu,
Tahun Anggaran 2019 .......................................................... 98

Tabel 13. Data partisipasi masyarakat kegiatan


pemberdayaan masyarakat Kelurahan Watallipue,
Tahun Anggaran 2019 ........................................................ 102

Tabel 14. Matriks analisis model institusionalisasi kebijakan dana


kelurahan di Kecamatan Tempe Kabupaten Wajo .............. 118

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Besaran Alokasi Dana Kelurahan di Kecamatan Tempe,


Tahun Anggaran 2019 .......................................................... 8

Gambar 2. Realisasi Anggaran Dana Kelurahan di Kecamatan Tempe,


Tahun Angaran 2019 ............................................................ 9

Gambar 3. Proses kebijakan publik menurut ........................................ 26

Gambar 4. Struktur Organisasi Kecamatan Tempe ............................... 56

Gambar 5. Struktur Organisasi Kelurahan ............................................ 59

Gambar 6. Diagram model institusionalisasi terhadap kebijakan


dana kelurahan di Kecamatan Tempe Kab. Wajo ............. 126

xv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Analisis kebijakan publik merupakan sebuah aktivitas praksis yang

bertujuan untuk memberikan nasihat kebijakan secara riil kepada para

pengambil kebijakan. Oleh karenanya ia bersifat multidisipliner,

kontekstual, dan berorientasi pada pemecahan masalah.1 Analisis

kebijakan dapat dilakukan oleh siapa saja, baik yang berasal dari institusi

pemerintahan maupun dari institusi luar pemerintahan. Dalam kondisi

demikian, kegiatan analisis kebijakan publik sangat membutuhkan

dukungan teori, kaitannya untuk memperkuat kerangka pikir dan metode di

dalam penelitian kebijakan.

Agar dapat berpijak kuat secara akademis, kejelasan posisi

epistemologis dalam analisis kebijakan publik mutlak diperlukan. Dalam

konteks ini, menjadi penting untuk membedakan antara kerangka pikir

(framework), teori, dan model.2 Kerangka pikir dapat diartikan sebagai

ruang lingkup studi, sedangkan teori dapat digunakan untuk menjelaskan

fenomena yang terjadi, dan model merupakan konsep yang disusun untuk

menguji , mengoreksi, dan memperbaiki keberadaan sebuah teori tertentu.

1 Harold Laswell dan Daniel Lerner, The Policy Sciense: Recent Developments in Scope
and Method (Stanford:Standford University Press, 1951); David Weimer dan Alidan R
Vining, Policy Analysis: Concepts and Practice (New Jersey: Prentice Hall, 1992).
2 Elinor Ostorm, “Background on the Institutional Analysis and Development Framework”,
dalam The Policy Studies Journal, 2011, 7-27.

1
Istilah analisis kebijakan publik, sering kali dikaitkan dengan aspek

yang lebih praktis dan terapan. Ketimbang berorientasi akademis, analisis

kebiakan publik dianggap lebih berorientasi pada pemecahan masalah

kebijakan riil di lapangan.3 Secara lebih lugas Thomas Dye mengatakan

bahwa analisis kebijakan publik merupakan penjelasan atas apa yang

dilakukan pemerintah, mengapa pemerintah mengambil kebijakan tersebut,

dan apa dampak dari tindakan tersebut. Lebih lanjut Dye mengatakan

bahwa studi kebijakan publik sebaga analisis tentang kebijakan (analysis of

policy), sedangkang analisis kebijakan publik sebagai analisis untuk

kebijakan (analysis for policy).4

Pada level teori, ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk

mendekati masalah-masalah kebijakan publik, seperti teori perilaku

(behavioralisme), teori strukturalisme, dan teori institusionalisme.5 Teori

behavioralisme menempatkan perilaku manusia sebagai pusat analisis. Ia

menekankan pada motif dan sifat dasar manusia yang menjadi dasar atas

pilihan tindakan dan perilaku tertentu. Sedangkan teori strukturalisme dan

intitusionalisme memiliki dasar pijak yang sama. Pilihan tindakan manusia

lebih ditentukan pada struktur atau institusi yang melingkunginya,

ketimbang faktor sifat dasar dan perilaku.6

3 Fadilah Putra & Apenwar Sanusi, Analisis Kebijakan Publik Neo-Institusionalisme,


Teori dan Praktik, Pustaka LP3ES, Depok, 2019:5
4 Thomas R. Dye, Policy Analysis: What Government Do, Why They Do It, and What
Difference It Makes (Alabama: University of Alabama Press, 1976).
5 Fadilah Putra & Anwar Sanusi, op.cit, hal. 4
6 ibid, hal. 10-11

2
Teori strukturalisme dan institusionalisme terpisah ketika berbicara

dalam konteks kebijakan publik, khususnya dalam dimensi ekonomi-politik.

Teoretikus strukturalis meletakkan dasar pemikirannya di atas kritik

terhadap ketimpangan struktur kekuasaan yang tidak seimbang sebagai

akibat dari eksesifnya praktik kapitalisme dan liberalisme.7 Sedangkan

Institusionalisme adalah sebuah studi yang mempelajari tentang asal-usul,

proses bekerja, dampak, dan strategis reformasi terhadap institusi-institusi

yang ada di masyarakat. Institusi merupakan basis dari berbagai bentuk

interaksi antarmanusia, termasuk politik dan kebijakan publik.8

Kritik institusionalisme terhadap pandangan strukturalisme adalah

bahwa kegagalan pembangunan yang terjadi pada sebuah negara

(berkembang) tidak semata dapat disalahkan pada ketimpangan

internasional. Kapasitas kelembagaan yang ada di negara tersebut dalam

memproduksi kebijakan publik yang baik juga harus menjadi perhatian.

Bahkan, teori institusionalisme menempatkan aspek kualitas kelembagaan

sosial politik sebuah negara sebagai penentu keberhasilan pembangunan.

Kelembagaan yang dimaksud di sini mencakup konstitusi, regulasi,

kapasitas organisasi legislative, yudikatif dan birokrasi, serta berbagai

mekanisme formal penentuan program prioritas dan alokasi anggaran yang

ada di sebuah negara.9

7 ibid, hal. 11
8 ibid, hal. 31
9 ibid, hal. 38

3
Pendekatan institusionalisme adalah suatu subjek masalah yang

mencakup peraturan, prosedur dan organisasi formal pemerintahan.

Pendekatan ini memakai alat-alat ahli hukum dan sejarah untuk

menjelaskan batas-batas pada perilaku politik maupun efektifitas

demokratis.10 Pendekatan ini memfokuskan institusi negara sebagai kajian

utama, bagaimana organisasi institusi itu, apa tanggung jawab dari setiap

perannya, dan bagaimana institusi itu berinteraksi.

Negara sebagai pusat kekuasaan (state power centre) merupakan

inti dari pendekatan institusional. Pendekatan institusionalisme

berkembang pada abad ke-19, dimana belum terjadi perang dunia dan

peran negara sangat dominan dalam kehidupan masyarakat. Fokus dari

pendekatan ini adalah segi konstitusional dan yuridisnya. Bahasan

tradisionalnya menyangkut undang-undang, kedaulatan, kedudukan

kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga negara.

Pendekatan institusionalisme dibagi menjadi dua yaitu

institusionalisme tradisional atau lama, dan institusionalisme baru.

Perbedaan antara keduanya adalah jika institusionalisme lama mengupas

lembaga-lembaga kenegaraan (aparatur negara) seperti apa adanya

secara statis. Sedangkan institusionalisme baru melihat institusi negara

sebagai hal yang dapat diperbaiki ke arah tujuan tertentu yang perlu ada

rencana atau design yang secara praktis menentukan langkah-langkah

10 David Marsh and Garry Stoker, Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik, terj, (New York:
Palgrave MacMillan, 2002), 109.

4
untuk tercapainya tujuan tertentu. Perhatian Institusionalisme baru lebih

tertuju pada analisis ekonomi, kebijakan fiskal moneter, pasar dan

globalisasi ketimbang masalah konstitusi yuridis.11

Studi analisis kebijakan publik dalam perspektif institusionalisme

baru (neo-institusionalisme) menaruh perhatian pada proses berjalan atau

bekerjanya sebuah organisasi tertentu. Maka, dalam melakukan studi neo-

institusionalisme, perlu dibedakan secara tegas antara organisasi dan

institusi.12 Meskipun institusi juga dapat muncul dari dalam organisasi,

tetapi secara umum organisasi merupakan bagian dari institusi . Selznick

mengatakan. Bahwa organisasi adalah alat untuk mencapai tujuan.

Terkadang tujuan tersebut bersifat abstrak dan sangat strategis, sehingga

dibutuhkan tujuan-tujuan jangka pendek untuk merealisasikannya,

sehingga masing-masing tujuan dapat membentuk sejumlah organisasi

yang berbeda. Organisasi-organisasi tersebut membutuhkan seperangkat

institusi, baik formal maupun informal untuk memastikan organisasi dapat

berjalan dengan baik.13

Kebijakan pubik lebih dekat dengan organisasi ketimbang institusi,

sebab kebijakan publik merupakan bagian dari cara atau alat untuk

mencapai tujuan tertentu. Meski demikian, dalam prosesnya, kebijakan

publik tidak lepas dari keberadaan institusi, sebab institusi yang membentuk

11 Retorics, “Pendekatan Institusionalisme”. Diakses dari


http://retorics.blogspot.com/2015/02/pendekatan-institusionalisme.html pada tanggal 3
Oktober 2020 pukul 02.55
12 Philip Selznick, “Institutionalism ‘Old’ and ‘New’, dalam Administrative Science
Quarterly, Volume 41, Number 2, 1996, hal. 270-277.
13 Fadillah Putra & Anwar Sanusi, op.cit, hal. 51-52

5
perilaku para aktor dalam kebijakan publik, baik pada saat kebijakan

diformulasikan maupun diimplementasikan.14

Sejalan dengan itu, berkenaan dengan ditetapkannya Peraturan

Pemerintah Nomor 17 Tahun 2018 tentang Kecamatan turut melahirkan

sebuah kebijakan publik yang disebut dengan kebijakan dana kelurahan.

Kebijakan dana kelurahan semakin menegaskan bahwa pembangunan

sarana prasarana kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di kelurahan

harus berjalan efisien dan efektif. Kebijakan tersebut memberikan jaminan

kepada pemerintah kelurahan agar dapat melakukan kegiatan

pembangunan dan pemberdayaan masyarakat secara kontinyu dan

berkelanjutan dengan melibatkan kelompok masyarakat dan/atau

organisasi kemasyarakatan.15

Alasan lain yang mendorong pemerintah menetapkan kebijakan

tersebut karena melihat keberhasilan Alokasi Dana Desa (ADD) dan

pengelolaan Dana Desa (DD) yang melibatkan kelompok masyarakat

dalam pelaksanaannya. Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan

dana desa menjadi acuan pemerintah dalam menyusun kebijakan dana

kelurahan pada Tahun 2019. Besaran anggaran yang dialokasikan

pemerintah untuk Alokasi Dana Kelurahan sebesar Rp. 3 Triliun yang

dibagikan ke seluruh kelurahan dengan formulasi yang berbeda. Untuk

daerah kota yang tidak memiliki desa, alokasi anggaran dana kelurahan

14 Ibid, hal. 52
15 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2018 tentang Kecamatan Pasal 30 ayat (6)

6
paling sedikit 5% (lima persen) dari APBD setelah dikurangi DAK, dan untuk

daerah kabupaten yang memiliki kelurahan dan kota yang memiliki desa,

alokasi anggaran kelurahan paling sedikit sebesar dana desa terendah

yang diterima oleh desa di kabupaten/kota.16

Implementasi kebijakan dana kelurahan nampaknya akan menjadi

harapan besar bagi masyarakat kelurahan agar pembangunan di tingkat

kelurahan dapat digalakkan lagi. Pemerataan pembangunan sebagaimana

prinsip otonomi daerah akan terwujud karena adanya kepastian

pembangunan yang kontinyu dan konsisten setiap tahunnya. Sehingga

dengan demikian masyarakat kelurahan tidak perlu merasa khawatir

terhadap pembangunan di wilayahnya. Akselerasi pembangunan maupun

pelibatan partisipasi masyarakat akan tersinergi dengan baik dengan

diberlakukannya kebijakan tersebut. Terlebih lagi dalam aturannya,

kebijakan tersebut memberikan regulasi terhadap keterlibatan masyarakat

dalam hal pelaksanaannya.

Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan dewasa ini menjadi

kunci sukses pemerintah dalam hal pembangunan. Dalam hal ini

masyarakat menjadi pengontrol dan pengawas dalam pelaksanaan

pembangunan sehingga anggaran yang disediakan dapat terserap dengan

baik dan efisien. Begitupun dalam rangka pemeliharaan hasil

pembangunan menjadi tanggung jawab bersama kelompok masyarakat

16 Ibid. Pasal 30 ayat 7-8.

7
sehingga kemungkinan pembangunan berkelanjutan dapat terwujud secara

partisipatif.

Kondisi demikian menjadi harapan bagi masyarakat dalam hal

keberlanjutan pembangunan di tingkat kelurahan. Keinginan masyarakat

melihat peningkatan kualitas pembangunan sarana dan prasarana

kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di kelurahan dengan

ditetapkannya kebijakan dana kelurahan memberi tekanan kepada

pemerintah agar dapat mensukseskan pelaksanaan kebijakan tersebut.

Gambar 1. Besaran Alokasi Dana Kelurahan di Kecamatan Tempe,


Tahun Anggaran 2019

Rp345.658.000
Rp316.218.000

Rp273.000.000

Rp97.138.000

Rp53.920.000 Rp24.480.000

KEL. WATALLIPUE KEL. SALOMENRALENG KEL. TEDDAOPU

Sarana dan Prasarana Pemberdayaan Masyarakat

Sumber: Diolah dari data sekunder, 2020

Akan tetapi, berdasarkan data pelaksanaan program dana kelurahan

di Kecamatan Tempe menunjukkan bahwa beberapa kelurahan di

Kecamatan Tempe belum efektif mengimplementasikan program dana

kelurahan yang telah diprogramkan sebagaimana pada gambar 1. Hal

8
tersebut terlihat pada gambar 2 yang mana terdapat beberapa kelurahan

yang hingga akhir periode anggaran masih belum memaksimalkan

pelaksanaan kebijakan dana kelurahan. Kondisi tersebut memunculkan

desakan dari para stakeholder agar program tersebut dapat segera

dilaksanakan dalam rangka meningkatkan kualitas sarana dan prasarana

kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di kelurahan.

Gambar 2. Realisasi Anggaran Dana Kelurahan di Kecamatan Tempe,


Tahun Angaran 2019

Rp316.218.000

Rp273.000.000

Rp97.138.000

Rp53.920.000
Rp0 Rp24.480.000

KEL. WATALLIPUE KEL. SALOMENRALENG KEL. TEDDAOPU

Sarana dan Prasarana Pemberdayaan Masyarakat

Sumber: Diolah dari data sekunder, 2020

Berangkat dari uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian yang berjudul: “Analisis Model Institusionalisme

pada Kebijakan Dana Kelurahan di Kecamatan Tempe Kabupaten

Wajo.”

9
1.2. Rumusan Masalah

Penganggaran Dana Kelurahan oleh pemerintah memberikan

kemampuan keuangan bagi pemerintah kelurahan untuk menjalankan

program pembangunan sarana dan prasarana kelurahan dan

pemberdayaan masyarakat di kelurahan. Akan tetapi dalam praktiknya

sejauh ini pengelolaan dana kelurahan masih belum berjalan efektif karena

masih adanya beberapa kelurahan yang belum mampu menyerap dana

yang telah dialokasikan, maka dari itu muncullah pertanyaan, Bagaimana

model institusionalisasi kebijakan dana kelurahan di Kecamatan Tempe

Kabupaten Wajo?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang dirumuskan sebelumnya, maka yang

menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganilisis model

institusionalisasi kebijakan dana kelurahan di Kecamatan Tempe

Kabupaten Wajo.

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini sebagai berikut:

1) Secara Akademis, penulis berharap dapat menambah wawasan dan

pengetahuan peneliti dalam hal menerapkan hasil penelitian dalam

bentuk karya ilmiah, dan menambah pengetahuan penulis dalam ilmu

pemerintahan. Serta menambah referensi untuk dijadikan acuan

pembelajaran dalam memberi informasi kepada mahasiswa.

10
2) Secara praktis, penulis berharap agar dikemudian hari penelitian ini

dapat menjadi masukan kepada pemerintah dan masyarakat

Kabupaten Wajo bagaimana pengelolaan dana kelurahan.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Institusionalisasi Kebijakan Dana Kelurahan

2.1.1. Konsep Institusionalisme

Institusionalisme adalah sebuah studi yang mempelajari tentang

asal-usul, proses bekerja, dampak, dan strategis reformasi terhadap

institusi-institusi yang ada di masyarakat. Institusi merupakan basis dari

berbagai bentuk interaksi antarmanusia, termasuk politik dan kebijakan

publik.17 Lebih lanjut disebutkan bahwa bahasa adalah salah satu bentuk

dari persepakatan komunal (Convention) yang pada akhirnya terformalisasi

membentuk institusi. Proses formalisasi tersebut kemudian disebut dengan

istilah “institusionalisasi”. Bahkan, terbentuknya negara itu sendiri adalah

hasil dari proses institusionalisasi.18

Hal senada sebelumnya pernah diungkapkan oleh Ferdinand

Tonnies yang mengidentifikasi terbentuknya negara yang dimulai dari

komunitas-komunitas moral (Gemeinschaft) menjelma menjadi sebuah

masyarakat yang lebih terstruktur dan sistematis (Geselschaft), dan pada

akhirnya membentuk sebuah negara (Staat).19 Oleh karena negara

merupakan hasil dari sebuah proses institusionalisasi, maka semua produk

17 Fadillah Putra & Anwar Sanusi, op.cit, hal. 31


18 Ibid, hal. 32
19 Fadillah Putra & Anwar Sanusi, loc.cit

12
yang dihasilkannya, termasuk kebijakan publik, juga tak lepas dari ranah

kajian institusionalisme.

Institusionalisme menempatkan aspek kualitas kelembagaan sosial

politik sebuah negara sebagai penentu keberhasilan pembangunan.

Kelembagaan yang dimaksud di sini mencakup konstitusi, regulasi,

kapasitas organisasi legislative, yudikatif dan birokrasi, serta berbagai

mekanisme formal penentuan program prioritas dan alokasi anggaran yang

ada di sebuah negara. Peneliti lainnya, Helmke dan Levitsky membedakan

institusi formal dan informal dari lima sudut pandang. Pertama, dari

pembentukannya. Kedua, dari komunikasinya. Ketiga, dari penegakannya.

Keempat, dari dokumentasinya. Dan Kelima, dari kodifikasinya.20

Terdapat tiga model utama proses institusionalisasi dalam

mengidentifikasi proses kebijakan publik. Pertama, model Rational Choice

Institutionalism (CRI) yang pertama kali dikembangkan oleh Anthony

Downs, melihat bahwa proses kebijakan berlangsung dalam kerangka

proses rasional. Kedua, model incremental (Historikal Institusionalisme)

yang dikembangkan oleh Charles Lindblom menekankan adanya

keberlanjutan dan akumulasi pada proses kebijakan publik. Dan Ketiga,

model organisasi birokratis yang dikembangkan Graham Allison

menekankan pentingnya institusi dalam proses kebijakan publik.21

20 Fadillah Putra & Anwar Sanusi, op.cit. hal. 40


21 Ibid, hal. 82-84

13
Selain itu, Thissen dan Warren menambahkan dua model lagi yaitu

model politik dan diskursif (Discursive institutionalism) dan model Political

game yang melihat arena kebijakan publik terdiri dari para aktor yang

masing-masing memiliki kekuatan relative seimbang serta memiliki sumber

daya masing-masing (polisentris).22 Selanjutnya dia mengembangkan

kelima tipologi proses kebijakan tersebut ke dalam lima kategori, yaitu

kebijakan publik rasional, politik, diskursif, integrative, dan institusional.

Pengembangan ragam model kebijakan publik tersebut dilihat dari tigas

perpektif, yaitu karakteristik kebijakan, proses kebijakan publik, dan desain

kelembagaannya.23

Tabel 1 Lima Model dalam Proses Kebijakan Publik

Institusion
Perpektif Rasional Politik Wacana Integratif
al
1 2 3 4 5 6
Rasional, Komprom Konstruksi Ragam Dibatasi
Keputusa i antara makna masalah oleh
n Ilmiah aktor- dandebat dan slusi norma,
Kebijakan
aktor nilai,
independ kebiasaan
en
Kronologi Proses Pertukara Berubah- Pola
s, tawar n ubah interaksi
Proses
bertahap menawar argumen/ yang
makna berulang
Tertutup Polisentri Ideologi/ Networki Aturan
Desain dan s dan paradigm ng formal
kelembaga kierarkis elitis dan para jangka dan
an pengikutn pendek informasi
ya
Sumber: Thissen dan Warren 2013

22 Ibid, hal. 86-87


23 Fadillah Putra & Anwar Sanusi, loc.cit

14
Untuk mengetahui lebih jauh terkait dengan model institusionalisme

pada kebijakan dana kelurahan, pada penelitian ini menggunakan model

yang disebutkan oleh Tissen dan Warren yang menyempurnakan ketiga

model sebelumnya dalam mengidentifikasi proses kebijakan publik, yaitu

Rational Choice Institusionalism, Historical Institusionalism,

Institusionalisasi Organisasi Birokratis, Discursive Institutionalism, dan

Political Game.

Kelima model ini merupakan studi analisis kebijakan publik dalam

perspektif neo-institusionalisme yang menaruh perhatian pada proses

kebijakan publik atau bekerjanya sebuah organisasi tertentu.24 Selain itu,

kelima model analisis kebijakan publik tersebut juga dapat melihat

keberlanjutan kebijakan dan perubahan kebijakan publik. Pada bagian

keberlanjutan, kebijakan publik yang ada dan telah diterima oleh para aktor

akan berdampak pada melemah atau mencairnya koalisi-koalisi

kepentingan. Sementara pada bagian perubahan, digunakann untuk

menjelaskan mengapa perubahan kebijakan terjadi, baik secara simultan

maupun terpisah.25

Alasan lainnya, yaitu kelima model institusionalisme tersebut dipilih

pada penelitian ini karena dapat menyediakan informasi dan analisis yang

berbeda satu sama lain. Titik temu teori neo-institusionalisme tersebut

terletak tidak hanya memandang institusi secara formal dan informal,

24 Philip Selznick, “Institusionalism ‘Old and ‘New’”, dalam Administrative Science


Quarterly, Volume 41, Number 2, 1996, hal. 270-277.
25 Fadillah Putra & Anwar Sanusi, op.cit, hal. 61-62.

15
melainkan juga sama-sama tertarik untuk mengkaji dampak dari institusi.

Kebijakan publik merupakan hasil atau dampak paling materil dari

keberadaan institusi, sehingga melakukan analisis kebijakan publik

berdasarkan teori neo-institusionalisme pada dasarnya adalah esensi dari

neo-institusionalisme itu sendiri.26

2.1.1.1. Rational Choice Institusionalism (RCI)

Teori Institusionalisme pilihan rasional (RCI) berpandangan bahwa

institusi merupakan mekanisme formal yang bertujuan meminimalisasi

ketidakpastian dan biaya transaksi.27 Ada dua sudut pandang yang lazim

dianut dalam melihat institusi. Yang pertama melihat institusi sebagai

kendala yang bersifat eksogenus, yaitu institusi merupakan kumpulan

aturan yang mengatur perilaku individu di dalam organisasi dan masing-

masing individu tidak memiliki daya untuk merubahnya. Sudut pandang

kedua melihat aturan dalam institusi diciptakan sendiri (bisa dirubah-rubah)

oleh para pemain di dalamnya. Dalam sudut pandang ini institusi

merupakan cara ekuilibirium dalam melakukan sesuatu.

Selain itu, pada tataran yang lebih operasional terdapat tiga model

tentang bagaimana RCI melihat peran institusi dalam proses kebijakan

publik. Tiga model tersebut adalah principal-agent, game-theory, dan rule-

based models.28. Principal-agent models memberi penekanan pada

hubungan antara pemimpin (principal) dan para pengikut (agent). Seorang

26 Ibid, hal. 63
27 Ibid, hal. 135
28 B Guy Peters. Institutional Theory in Political Science:The New Institutionalism.. 3rd,
(New York: The Continuum International Publishing Group, 2012)

16
atau kelompok orang menjadi pemimpin dan yang lain menjadi pengikut

adalah hasil dari proses yang terlembaga. Dalam konteks kebijakan publik,

hal tersebut lebih kompleks. Bukan saja karena banyaknya pemimpin dan

organisasi yang terlibat, melainkan juga pola hubungan antara pemimpin

dan pengikut di setiap organisasi berbeda. Dalam konteks kenegaraan

memosisikan parlemen sebagai pemimpin dan birokrasi atau administrasi

publik sebagai pengikut (agent).29

Game-theory model tidak memandang ragam aktor dalam konteks

ordinasi dan subordinasi sebagaimana yang ada dalam principall-agent

model. Semua aktor dalam arena kebijakan adalah pemain yangs etara dan

semua memiliki kepentingan yang sama. Mereka semua berinteraksi dalam

aturan main yang sama sebagaimana ditetapkan legislator. Interaksi para

aktor berlangsung dalam sebuah proses yang panjang. Seiring dengan

waktu para pemain (legislator, hakim, birokrat, sektor privat, LSM, dan

sebagainya) akan menemukan keseimbangan kerja sama timbal balik di

antara mereka, karena pola hubungan yang terbentuk telah menjadi

agregat bagi pencapaian maksimal kepentingan masing-masing aktor.30

Rule-Based model lebih banyak memperhatikan intitusi ketimbang

aktor. Aturan dan institusi di sini dengan sengaja dirancang untuk mencapai

keseimbangan dan stabilitas. Senada diungkapkan Elinor Ostrom sebagai

tokoh utama dalam neo-institusinalisme (Fadilah Putra & Anwar Sanusi,

29 Fadillah Putra & Anwar Sanusi, op.cit, hal. 142


30 Ibid, hal. 143

17
2019:143) memandang bahwa aturan dapat membantu untuk

mengendalikan perilaku para aktor, sehingga tidak mengganggu

kepentingan umum.31 Dengan adanya aturan institusi akan dapat bekerja

secara efektif karena bisa mengurangi tindakan aktor yangirasional.

2.1.1.2. Historical Institusionalism (HI)

Analsisis kebijakan publik dalam perspektif HI lebih diarahkan pada

latar (waktu maupun tempat) ketimbang mengisolasi objek amatan,

sebagaimana dilakukan oleh RCI. Kekuatan analisis HI juga dapat

ditemukan dari caranya mencipta harmoni antara ide, aktor, dan institusi.32

HI mengedepankan kekuatan ide sebagai salah satu perwujudan dari

institusi. Dalam konteks itu, HI melihat hubungan dinamis antara ide, aktor,

dan institusi dalam sebuah rentang waktu.

Ada beberapa konsep kunci dalam studi HI. Pertama adalah path-

dependence atau jalur kelaziman. Konsep itu memercayai bahwa sekali

institusi (termasuk kebijakan publik) terbentuk dan diterima masyarakat,

maka ia akan sulit untuk hilang. Justru kecenderungan yang akan terjadi

adalah institusi tersebut akan makin kuat dari waktu ke waktu karena telah

terinternalisasi dalam masyarakat dan membentuk konstituennta sendiri.

Makin menguatnya institusi tersebut juga terjadi karena telah beradaptasi

dengan lingkungannya dalam kurung waktu yang lama, melewati berbagai

resistensi bahkan sejak awal ia diintroduksi.

31 Fadillah Putra & Anwar Sanusi, loc.cit.


32 Erik Blech, “Historical Institutionalism and Judicial Decision-Making Ideas, Institutions,
and Actors in French High Court Hate Speech Rullings” dalam World Politics, Volume
70, Number 1, 2018 hal 53-85.

18
Beberapa konsep penting lainnya yang ada dalam HI adalah

conjunctures, yaitu proses interaksi dampak dari hubungan sebab-akibat

berbagai kejadian. Konsep penting lainnya adalah “persebaran ide”. Dalam

neo-institusionalisme, ide atau system nilai adalah bagian dari institusi

informasl. Konsep “persebaran ide” terkait dengan bagaimana ide yang

dipegang oleh aktor dominan tersebar ke masyarakat (baik melalui paksaan

maupun persuasi) kemudian terinstitusionalisasi kokoh secara formal dan

informal dari waktu ke waktu. Distribusi ide juga berkaitan dengan

bagaimana proses kemunculan ide tandingan (counter discourse) dan

bagaimana masuk serta berhadapan dengan ide dominan.33

Untuk mengungkap proses kebijakan publik, terdapat tiga aspek

yang harus menjadi perhatian, yaitu timing, ordering, dan inter-temporal

linking.34 Timing di sini memiliki maksud bahwa pilihan akan momentum

atau waktu yang tepat menjadi kunci keberhasilan analsiis kebijakan publik.

Kedua adalah ordering yang berarti analis kebijakan publik harus dapat

menetukan tahapan dari proses kebijakan. Terakhir adalah inter-temporal

linking yang merupakan kelanjutan dari ordering. Keterkaitan antarkejadian

dan institusi kerap terikat oleh waktu. Dalam kurung waktu tertentu, institusi

dan kejadian terlihat sangat terkait, tetapi pada waktu yang lain mereka

terkesan tak berhubungan.

33 Erik Blech, “Historical Institutionalism and Judicial Decision-Making Ideas, Institutions,


and Actors in French High Court Hate Speech Rullings” dalam World Politics, Volume
70, Number 1, 2018 hal 53-85.
34 Gerard Boychuk, “Studying Publik Policy: Historical Institutionalism and the
Comparative Method”, dalam Canadian Journal of Political Sciense, Volume 49,
Number 4, 2017, hal 643-761.

19
2.1.1.3. Sosiologis Institusionalisme (SI) / Institusionalisasi

Organisasi Birokratis

Aktor dalam model biroktratis lebih diarahkan pada aktor institusional

atau sekelompok intitusi, kepentingan masing-masing aktor tidak lepas dari

regulasi yang mengatur masing-masing intitusi tersebut. Proses kebijakan

dalam model ini sangat ditentukan oleh proses negoisasi di antara masing-

masing intitusi yang terlibat dalam masalah kebijakan tertentu. Karena itu

langkah awal ketika masalah kebijakan publik muncul yang dilakukan

adalah melakukan megosiasi di antara berbagai institusi yang terlibat untuk

menyepakatai solusi terbaik. Setelah kesepakatan diantara berbagai

institusi tersebut tercapai, maka kebijakan publik tertentu dirumuskan dan

siap untuk diimplementasikan.

Pada tingkat paling akademis, Si dapat didefinisikan sebagai sebuah

teori yang memandang institusi dari perspektif sosiologis. Salah satunya SI

melihat posisi institusi dengan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.

Analisis kebijakan publik berbasis SI, khususya Weberian, akan

memosisikan institusi lebih sebagai sebab terjadinya perubahan sosial

ketimbang sebagai akibat. Dengan demikian, dalam melakukan analisis

terhadap kebijakan publik tak mungkin dapat dilepaskan dari identifikasi

kultural serta system nilai dan norma yang berlaku di masyarakat tempat

kebijakan publik itu berproses.

20
Posisi kebijakan publik dalam Si dapat dilihat dari dua sisi, yaitu

sebagai hasil dari institusi dan sebagaii instrument bagi institusi. Kebijakan

publik sebagai hasil dari institusi, yaitu ketika para aktor kebijakan bertindak

dalam mempertahankan identitas kultural mereka, dan proses

persinggungan antara tindakan tersebut menghasilkan kebijakan publik.

Kebijakan publik merupakan hasil kompromi di antara para pejuang

identitas. Sedangkan pada posisinya yang kedua, kebijakan publik

merupakan instrument bagi insittusi dalam melanggengkan

keberadaannya.35

Pada dasarnya, isntitusi melestarikan keberadaanya melalui dua

proses, yaitu pembelajaran (learning) sosial dan mobilisasi (mobilization)

sosial.36 Proses yang pertama lebih bersifat diskursif dan konstruktivis.

Pada tahap itu, sebuah nilai tertentu mulai diperkenalkan dan ditanamkan

pada alam sadar dan bawah sadar setiap individu. Hasil dari proses itu

adalah kesdaran masyarakat tentang pentingnya keberadaan isntitusi bagi

kehidupan mereka. Tahap yang kedua adalah tahap di mana norma dan

identitas kultural disebarluaskan (process of diffusion). Dalam

menyebarluaskan institusi tersebut, peran komunikasi dan praktek diskursif

menjadi sangat penting. Dengan proses diskursif itu, pemahaman para

aktor tentang kehidupan akan terbentuk. Hal tersebut lambat laun akan

35 Fadillah Putra & Anwar Sanusi, op.cit, hal. 176


36 Jeffrey T Checkel, “Why Comply? Social Learning and European Identity Change”,
dalam International Organization, Volume 55, Issue 03, 2001, hal 553-588,; Nicoleta
Lasan, “european Union Inteventian in the Iranian Crisis – A Sociological Institutionalist
Perspective.’ dalam Romanian Journal of European Affairs (RJEA), Volume 14, Issue
1, 2014, hal 49-67.

21
membentuk standar dan ekspektasi tertentu terhadap berbagai fenomena

di sekitarnya, termasuk kebijakan publik. Dengan demikian, kbijakan publik

berperan lebih sebagai alat bagi institusi letimbang sebagai produk dari

institusi.37

SI melihat posisi institusi bersifat top-down. Artinya, institusi yang

menjelma menjadi cognitive scripts tersebut memberi tekanan kepada para

aktor agar mereka bertindak sejalan dengan konstruksi wacana dan norma

yang ada. Pemerintah dan aktor-aktor kebijakan di luar pemerintah tetap

harus memastikan diri tidak melanggar standar moral dan norma tersebut,

mereka juga masih membutuhkan pengakuan identitas kultural sebagai

bagian dari masyarakat.

2.1.1.4. Discursive Institutionalism (DI)

Diskursif Institusionalisme (DI) mengarahkan perhatian para peneliti

dan analis kebijakan publik pada pentingnya posisi ide dan wacana

(discourse) yang ada dalam konteks institusi tertentu.38 Konsep “wacana”

di sini diartikan tidak hanya sebagai sebentuk pemikiran, tetapi juga proses

bagaimana pemikiran tersebut tersebar luas.39 Schmidt menjelaskan

adanya dua fungsi wacana pada dimensi ide (ideational dimension), yaitu

fungsi kognitif dan normative.

37 Fadillah Putra & Anwar Sanusi, op.cit, hal. 177


38 Vivien A Schmidt, “Doe Discourse Matter in the Politics of Welfare State Adjustment?”,
dalam Comparataive Political Studies, Volume 35, Issue 2, 2002, hal. 168-193
39 Fadillah Putra & Anwar Sanusi, op.cit, hal. 229-230

22
Fungsi wacana sevara kognitif memberikan ruang bagi kemunculan

sebuah ide atau gagasan kebijakan publik tertentu. Sedangkan fungsi

wacana secara normative merupakan kelanjutan dari fungsi kognitif utnuk

memberikan legitimasi atas konstruksi ide kebijakan yang telah terbangun.

Dengan kata lain, fungsi kognitif adalah tentang apa yang “mungkin” atau

“akan” dilakukan (what could be done), sementara fungsi kognitif adalah

tentang apa yang :seharusnya” dilakukan (what should be done).

Dalam konteks proses kebijakan publik, DI memahami hubungan

antara ide dengan kekuasaan dalam tiga hal, Pertama, kekuasaan melalui

ide (Power through ideas), sebuah kapasitas yang dimiliki oleh seorang

aktor politik atau kebijakan untuk meyakinkan (secara persuasif) orang lain

untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan kemauannya. Kedua,

kekuasaan atas ide (Power over ideas) adalah kemampuan seorang aktor

dalam mendominasi makna dari ide yang berlaku di masyarakat. Dan

Ketiga, kekuasaan di dalam ide (Power in ideas) adalah kekuasaan yang

dimiliki oleh sebuah ide dalam mendominasi ide-ide lain yang

berseberangan.40

2.1.1.5. Political Game

Arena kebijakan political game terdiri dari para aktor yang masing-

masing memiliki kekuatan relatif seimbang serta memiliki sumber daya

masing-masing (Polisentris). Dengan demikian, tidak dapat diasumsikan

40 Vivien Schmidt, “Theorizin Ideas and Discourse in Political Science: Intersubjectivity,


Neo-Institutionalism, and the Power of Ideas”, dalam Critical Review: A Journal of
Politics and Society, Volume 29, Number 2, 2017, hal. 248-263

23
bahwa terdapat satu aktor utama yang mendominasi seluruh arena

kebijakan. Dasar pilihan tindakan dari setiap aktor adalah rasionalitas

politik, bagaimana mereka dapat mengakumulasi sumber daya sebanyak-

banyaknya dari protes kebijakan publik yang sedag berlangsung.

Ketika semua aktor dalam kebijakan publik berpikir demikian, maka

arena kebijakan sesungguhnya seperti ppermainan strategi. Di dalamnya

para aktor saling berebut koalisi, emghadang competitor, saling bermain

peran, emngambil kesempatan (oppurtunisme), bahkan menyiasati

pelbagai peraturan yang berlaku.41 Dalam konteks ini, seorang analis

kebijakan publik harus benar-benar dapat menangkap dinamika lingkungan

politik yang sedang terjadi dalam memberikan rekomendasi kebijakan pada

kliennya.

2.1.2. Analisis Kebijakan Publik

Secara etimologis, istilah kebijakan atau policy berasal dari bahasa

Yunani “polis” berarti negara, kota yang kemudian masuk ke dalam bahasa

Latin menjadi “politia” yang berarti negara. Akhirnya masuk ke dalam

bahasa Inggris “policie” yang artinya berkenaan dengan pengendalian

masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan. Istilah “kebijakan”

atau “policy” dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor

(misalnya seorang pejabat, suatu kelompok maupun suatu badan

pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.

Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan relatif memadai

41 Geert Teisman. 1992. Complex Decision-making, a pluricentric View. Hague: Vuga

24
untuk keperluan pembicaraan-pembicaraan biasa, namun menjadi kurang

memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang lebih bersifat ilmiah dan

sistematis menyangkut analisis kebijakan publik.

Budi Winarno (2008:16) menyebutkan secara umum istilah

“kebijakan” atau “policy” digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor

(misalnya seorang pejabat, suatu kelompok maupun suatu lembaga

pemerintahan) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu,

pengertian kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan relatif memadai

untuk pembicaraan-pembicaraan-pembicaraan biasa, namun menjadi

kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang kebih bersifat

ilmiah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan publik oleh karena itu

diperlukan batasan atau konsep kebijakan publik yang lebih tepat.42

Frederickson dan Hart dalam Tangkilisan (2003:19), mengemukakan

kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang

diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan

tertentu sehubungan adanya hambatan-hambatan tertentu sambil mencari

peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang

diinginkan.43 Secara umum, terdapat dua model dalam proses kebijakan

publik, yaitu stagist/linear model dan interactive/garbage can model. Model

stagist/linear bersifat pendekatan manajerial yang memandang proses

kebijakan publik berlangsung secara bertahap. Mulai dari munculnya isu

42 Winarno, Budi. Kebijakan Publik (teori dan proses). Jakarta: Media Pressindo. 2008:16
43 Tangkilisan. Kebijakan dan Manajemen Publik, Jakarta: PT Grasindo. 2003:19

25
kebijakan, agenda setting, formulasi, implementasi, evaluasi, dan

perubahan atau penghentian kebijakan publik.

Salah satu ahli, William N Dunn menjelaskan model linier dalam

memandang proses kebijakan publik memiliki alur secara bertahap. Isu

kebijakan bukan termasuk tahapan formal dalam proses kebijakan publik

karena berproses diluar mekanisme yang ada dalam pemerintahan, kendati

demikian, isu kebijakan ini adalah yang menentukan dalam tahap-tahap

kebijakan publik berikutnya.44

Gambar 3. Proses Kebijakan Publik

Agenda

Isu Formulasi/
Kebijakan Adopsi

Implement
Evaluasi
asi

Sumber: William N Dunn, (1981)

44 Dunn, William N. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. 2003, hal. 24.

26
Berbeda halnya dengan William N Dunn, John Thomas dan Merilee

Grindle yang melihat kebijakan publik lebih sebagai sebuah proses

interaktif.45 Proses kebijakan publik dilihatnya memiliki tahapan lebih

bersifat politis ketimbang manajerial. Bagi Thomas dan Grindlee, model

linier mengabaikan fakta tempat proses implementasi kebijakan publik tidak

jauh berbeda dengan proses formulasi, yakni adanya konflik kepentigan

dan adu argumentasi yang berjalan secara intensif. Bahkan, dalam

implementasi kebijakan aktivitas adu kepentingan cenderung lebih kuat

ketimbang dalam proses formulasi.

Proses kebijakan publik yang interaktif seperti itu memunculkan

argumentasi bahwa keberhasilan kebijakan publik tidak ditentukan oleh

kualitas isi (konten) kebijakan tersebut, melainkan kemampuan para

implementor kebijakan dalam menggalang dukungan dan mengendalikan

oposan.

Lingkup dari studi kebijakan publik sangat luas karena mencakup

berbagai bidang dan sektor. Disamping itu dilihat dari hirarkinya kebijakan

publik dapat bersifat nasional, regional maupun lokal seperti undang-

undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan gubernur,dll.

Secara terminologi pengertian kebijakan publik sangat banyak, tergantung

dari sudut mana kita mengartikannya. Pressman dan Widavsky

mendefinisikan kebijakan publik sebagai hipotesis yang mengandung

kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang bisa diramalkan. Kebijakan

45 Fadillah Putra & Anwar Sanusi, op.cit, hal. 76

27
publik itu harus dibedakan dengan bentuk-bentuk kebijakan yang lain

misalnya kebijakan swasta.46

Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut dapat disimpulkan

bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau

tidak dilakukan oleh pemerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu guna

memecahkan masalah-masalah publik atau demi kepentingan publik.

Kebijakan untuk melakukan sesuatu biasanya tertuang dalam ketentuan-

ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah

sehingga memiliki sifat yang mengikat dan memaksa.

2.2. Kebijakan Dana Kelurahan

2.2.1. Kelurahan

Kelurahan merupakan organisasi Pemerintah terendah yang berada

di wilayah administratif Kecamatan yang dipimpin oleh Lurah. Kelurahan

dalam kondisi tertentu juga disebut sebagai Desa, namun memliki

perbedaan dalam hal letak administratif dan sumber penghasilan

penduduknya. Kelurahan pada umumnya terletak di Ibukota Kecamatan

ataupun secara administratif berada di daerah perkotaan yang sebagian

besar penduduknya bermata pencaharian jasa dan perdagangan.

Menurut PP No. 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan menjelaskan

bahwa Kelurahan merupakan perangkat daerah Kabupaten/Kota yang

berkedudukan di wilayah kecamatan. Sama halnya dengan Camat, Lurah

46 L. Pressman and Wildavsky, Implementation, Barkley and Los Angeles, University of


California Press, 1973:17

28
yang memimpin Kelurahan menerima pelimpahan kewenangan dari

Bupati/walikota sesuai dengan kebutuhan Kelurahan dengan

memperhatikan prinsip efisiensi dan peningkatan kualitas. Dalam hal ini,

Lurah bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Camat.47

Dalam menjalankan tugasnya Lurah sebagaimana diatur dalam

Pasal 5 PP No. 73 tahun 2005 tentang Kelurahan memiliki tugas yang tidak

jauh berbeda sebagaimana dalam pasal 25 PP No. 17 Tahun 2018 tentang

Kecamatan, yakni:48

a. pelaksanaan kegiatan pemerintahan Kelurahan;


b. pelaksanaan pemberdayaan masyarakat;
c. pelaksanaan pelayanan masyarakat;
d. pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban umum;
e. pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
a. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh camat; dan
b. pelaksanaan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan

Beda halnya dengan Kecamatan, Kelurahan dalam penyelenggaran

Pemerintahan dapat membentuk suatu Lembaga Kemasyarakatan yang

memiliki fungsi koordinasi dan mempunyai tugas membantu lurah dalam

pelaksanaan urusan pemerintahan, pembangunan, sosial kemasyarakatan

dan pemberdayaan masyarakat. Disamping itu, Lurah dalam melaksanakan

tugasnya dapat dibantu oleh Kepala Lingkungan dari unsur masyarakat

setempat yang ditunjuk dan diangkat langsung oleh Lurah. Dalam

perkembangannya, Kepala Lingkungan dewasa ini dapat juga diangkat

melalui SK Bupati/Walikota atas usul Lurah melalui Kecamatan.

47 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan, Pasal 3


48 PP 17/2018, op.cit, Pasal 25

29
2.2.2. Dana Kelurahan

Dana Kelurahan adalah alokasi anggaran dalam APBD yang

dimasukkan ke dalam anggaran Kecamatan pada bagian kelurahan untuk

pembangunan sarana dan prasarana Kelurahan dan pemberdayaan

masyarakat di Kelurahan.49 Pelaksanaan dana kelurahan dilaksanakan

berdasarkan usulan musyawarah pembangunan kelurahan dengan

melibatkan kelompok masyarakat dan organisasi kemasyarakatan.

Pengalokasian dana kelurahan dimaksudkan untuk mempercepat

peningkatanan kesejahteraan masyarakat, mengurangi angka kemiskinan,

serta memperkecil kesenjangan pendapatan di masyarakat yang

dimaksudkan untuk pembangunan sarana dan prasarana kelurahan serta

pemberdayaan masyarakat di kelurahan.50 Penganggaran dana kelurahan

bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) Tambahan dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditransfer melalui rekening

Kas Umum Daerah.

Adapun kegiatan yang diakomodir dalam penganggaran dana

kelurahan merupakan kegiatan pelayanan sosial dasar yang berdampak

langsung pada meningkatnya kualitas hidup masyarakat berupa:51

1. Pengadaan, pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan sarana


dan prasarana lingkungan pemukiman;

49 Ibid, Pasal 1-2


50 Angling Aditya Purbaya. Buka Rakernas Apeksi, Mendagri Bahas Dana Kelurahan.
Diakses dari https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4609678/buka-rakernas-
apeksi-mendagri-bahas-dana-kelurahan?_ga=2.9193841.590128126.1568555130-
5558139.1563761709 pada tanggal 15 September 2019 pukul 21.14.
51 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2018 tentang kegiatan
pembangunan sarana dan prasarana kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di
kelurahan, Pasal 3

30
2. Pengadaan, pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan sarana
dan prasarana transportasi;
3. Pengadaan, pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan sarana
dan prasarana kesehatan, dan/atau;
4. Pengadaan, pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan sarana
dan prasarana Pendidikan dan kebudayaan.

Sementara itu, kegiatan pemberdayaan masyarakat digunakan

untuk peningkatan kapasitas dan kapabilitas masyarakat di kelurahan

dengan mendayagunakan potensi dan sumber daya sendiri.52 Kegiatan

yang dimaksudkan sebagai berikut:

1. Pengelolaan kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat;


2. Pengelolaan kegiatan pelayanan Pendidikan dan kebudayaan;
3. Pengelolaan kegiatan pengembangan usaha mikro, kecil dan
menengah;
4. Pengelolaan kegiatan Lembaga kemasyarakatan;
5. Pengelolaan kegiatan ketentraman, ketertiban umum, dan
perlindungan masyarakat, dan/atau;
6. Penguatan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana
serta kejadian luar biasa lainnya.

2.3. Penelitian Terdahulu


Tabel 2 Penelitian terdahulu
Judul Persamaan/
No Nama Hasi Penelitian
Penelitian Perbedaan
1 2 3 4 5
1 Supar Implementa Implementasi program  Penelitian ini
man si Program Dana Alokasi Dana mengkaji
Alokasi Desa (ADD) di pengorganisasian
Dana Desa Kecamatan Sukadana Dana Desa yang
di Kabupaten Kayong dikelola oleh
Kecamatan Utara belum masyarakat mulai
Sukadana dilaksanakan sesuai dari pengusulan
Kabupaten dengan harapan hingga pelaksanaan
Kayong masyarakat desa. Hal kegiatan
Utara ini disebabkan belum
mampunya SDM
Aparat Desa
52 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2018 tentang kegiatan
pembangunan sarana dan prasarana kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di
kelurahan, Pasal 5

31
1 2 3 4 5
 Penelitian ini tidak
mengimplementasikan
pertanggungjawaban membahas tentang
ADD, serta belum dampak dan
optimalnya sosialisasi
keberhasilan
dan koordinasi Dinas
program dana desa
terkait kepada selain itu lokasi
masyarakat Desa. penelitian dan
kondisi wilayah
berbeda
2 Muha Institusiona Pelembagaan  Penelitian ini sama-
mmad lisasi Lembaga Distribusi sama mengkaji
Adlin Lembaga Pangan Masyarakat tentang proses
Sila Distribusi pada Gapoktan intitusionalisasi
Pangan Pemancar belum Lembaga
Masyarakat sepenuhnya masyarakat dalam
melembaga karena menghadapi
anggotanya belum kebijakan yang baru
sepenuhnya mematuhi  Penelitian ini
aturan yang memiliki obyek
ditawarkan pada kajian yang berbeda
program penguatan yakni tentang
LDPM tersebut. ketahanan pangan

3 Fransi Istitusionali Implementasi SAKIP  Penelitian ini


ska sasi Sistem (Sistem Akuntabilitas mengkaji tentang
Iing Akuntabilita Kinerja Instansi proses
Marian s Kinerja Pemerintah) di Kota istitusionalisasi yang
dini Instansi Malang mengalami dilakukan sebuah
Pemerintah proses institusi dalam
institusionalisasi yang menghadapi
di ditandai dengan kebijakan yang baru
Pemerintah adanya indikasi  Penelitian ini
Kota terjadinya memiliki obyek
Malang isomorphism yang kajian yang berbeda
dilakukan oleh institusi yakni tentang SAKIP
Pemerintah Kota
Malang
Sumber: diolah dari data sekunder, 2019

32
2.4. Kerangka Pikir

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka kerangka pemikiran

peneltiian ini dapat dirumuskan. Kebijakan Dana Kelurahan yang

dikeluarkan Pemerintah dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor

17 Tahun 2018 tentang Kecamatan senantiasa menjadi peluang bagi

masyarakat kelurahan dalam melaksanakan pembangunan partisipatif

terkait pembangunan sarana dan prasarana kelurahan dan pemberdayaan

masyarakat di kelurahan. Khususnya di Kecamatan Tempe menjadikan

program Dana Kelurahan sebagai tantangan baru bagi

masyarakat/kelompok masyarakat untuk melibatkan diri dalam kegiatan

pembangunan di wilayahnya. Adapun bagan kerangka Pikir dari penelitian

ini adalah sebagai berikut:

Institusionalisasi

Model Institusionalisme Menurut


Tissen dan Warren
1. Rational Choice Hasil
Kebijakan Institusionalism (RCI) Model
Dana 2. Historical Institusionalism (HI) Institusion
Kelurahan 3. Institusionalisme Organisasi alisasi
Birokrasi (SI)
4. Discursive Institutionalism
5. Political Game

Peraturan Pemerintah No. 17


Tahun 2018 tentang Kecamatan

33

Anda mungkin juga menyukai