Biografi Tokoh

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 6

DESKRIPSI BIOGRAFI TOKOH PAHLAWAN NASIONAL

RAHMAH EL YUNUSIYAH
Pendiri Pondok Pesantren Diniyah Putri Padang Panjang, Politikus.

Email: [email protected]

BIODATA PAHLAWAN NASIONAL RAHMAH EL YUNUSIYAH (1990-1969)

Nama : Rahmah El Yunusiyah

Lahir : Nagari Bukit Surungan, Padang Panjang, Hindia Belanda, 29


Desember 1900 

Wafat : Padang Panjang, Sumatera Barat , 26 Februari 1969 (usia 86 Th)

Nama Ayah : Muhammad Yunus al-Khalidiyah

Nama Ibu : Rafia

Jumlah Bersaudara : 5 (Tiga Perempuan Dan Dua Laki-Laki)

Nama Suami : Bahauddin Lathif (15 Mei 1916 - 22 Juni 1922, Bercerai)

Jumlah Anak :-

Kerabat : Zainuddin Labay El-Yunusy (Kakak)

Isnaniah Saleh (Sepupu)

Gelar Kehormatan : Syaikhah (Diberikan Oleh Universitas Al Azhar Mesir)

BIOGRAFI SYEKHAH HAJJAH RANGKAYO RAHMAH EL YUNUSIYAH

Namanya memang tidak setenar RA Kartini, tetapi peranannya dalam


memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan sangat nyata dan tidak bisa
dipandang sebelah mata. Sejak berusia 23 tahun ia sudah mendirikan sekolah agama
pertama untuk kaum perempuan. Ia juga menjadi perempuan pertama yang memperoleh
gelar “Syaikhah” dari Universitas al-Azhar, Mesir pada 1957.

Syekhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyah (lahir di Nagari Bukit


Surungan, Padang Panjang, Hindia Belanda, 29 Desember 1900 – meninggal di Padang
Panjang, Sumatera Barat ,26 Februari 1969 pada umur 68 tahun). Ia adalah anak bungsu
dari pasangan Muhammad Yunus al-Khalidiyah dan Rafia, memiliki dua kakak
perempuan dan dua kakak laki-laki. Rahmah merupakan seorang reformator pendidikan
Islam dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri Diniyah Putri,
perguruan yang saat ini meliputi taman kanak-kanak hingga sekolah tinggi.
Rahmah El Yunusiyah

www.dakwatuna.com

Keluarga Rahmah adalah penganut agama yang taat. Yunus adalah seorang
ulama yang pernah menuntut ilmu di Mekkah selama empat tahun. Ia bekerja sebagai
qadi di Pandai Sikek, lima kilometer dari Padangpanjang. Istri Yunus, Rafia memiliki
hubungan darah dengan Haji Miskin, ulama pemimpin Perang Padri pada awal abad ke-
19.

Dalam usia enam puluh tahun, Yunus wafat meninggalkan Rahmah yang masih
berusia enam tahun. Dua abangnya yang pernah belajar di Sekolah Desa mengajarkan
Rahmah baca tulis Arab dan Latin. Di bawah asuhan ibu dan kakak-kakaknya, Rahmah
tumbuh sebagai anak yang keras hati dan memiliki kemauan kuat. Mengikuti tradisi
adat, Rahmah dalam usia 16 tahun dinikahkan oleh keluarganya dengan Bahauddin
Lathif, seorang ulama dari Sumpur. Pernikahan mereka berlangsung pada 15 Mei 1916
dan berakhir pada 22 Juni 1922 tanpa meninggalkan anak.

Saat bersekolah di Diniyah School, Rahmah bergabung dengan Persatuan


Murid-murid Diniyah School (PMDS). Ketika duduk di bangku kelas enam, Rahmah
merundingkan gagasannya untuk mendirikan sekolah perempuan sendiri kepada teman-
teman perempuannya di PMDS. Ia menginginkan agar perempuan memperoleh
pendidikan yang sesuai dengan fitrah mereka dan dapat diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari. Kesungguhannya untuk mewujudkan gagasannya ia sampaikan kepada
abangya.

Pada 1 November 1923, Rahmah membuka Madrasah Diniyah Li al-Banat


sebagai bagian dari Diniyah School yang dikhususkan untuk murid-murid putri.
Rahmah mengatur kegiatan belajar mengajar di masjid yang terletak berseberangan
dengan rumah kediamannya di Jalan Lubuk Mata Kucing (sekarang Jalan Abdul Hamid
Hakim), Pasar Usang, Padang Panjang. Dua teman Rahmah, Sitti Nansiah dan Djawana
Basyir termasuk guru terawal, sementara Rahmah merangkap sebagai guru dan
pimpinan. Dengan hadirnya bagian untuk putri, Diniyah School peninggalan Zainuddin
berangsur-angsur hanya dihadiri oleh murid-murid putra, dan Madrasah Diniyah Li al-
Banat yang didirikan Rahmah lebih dikenal sebagai Diniyah Putri.

Pada 1935, Diniyah Putri membuka cabangnya di Jakarta yang membina tiga
sekolah dengan bantuan beberapa pedagang asal Minangkabau dan lulusan lembaga
pendidikan agama di Padangpanjang. Seiring meningkatnya kebutuhan tenaga pengajar,
Rahmah membuka Kulliyyatul Mualimat el Islamiyyah (KMI) pada 1 Februari 1937
sebagai sekolah guru untuk putri dengan lama pendidikan tiga tahun.

Lewat usahanya mendirikan Diniyah Putri dengan seluruh tenaga pengajar dari
perempuan, Rahmah ingin memperlihatkan bahwa perempuan yang selama ini
dipandang lemah dan rendah derajatnya dapat berbuat sebagaimana laki-laki. Rahmah
menolak bantuan tenaga laki-laki untuk ikut menggalang dana pembangunan gedung
yang hancur pasca-gempa 1927, mengatakan bahwa "buat sementara golongan putri
akan mencoba melayarkan sendiri pencalangnya sampai ke tanah tepi" sampai "tenaga
putri tidak sanggup lagi menyelamatkan pencalang itu".

Kepemimpinannya di Diniyah Putri membuatnya sering berpergian ke luar


daerah. Dalam rangka penggalangan dana, Rahmah melakukan perjalanan ke sejumlah
daerah Minangkabau dan luar Minangkabau pada pengujung 1927. Dalam
kunjungannya, Rahmah menemui beberapa tokoh pemimpin Muslim, menyampaikan
cita-cita dan program Diniyah Putri. Di tiap-tiap daerah yang dikunjunginya, Rahmah
berpidato di mimbar untuk menggairahkan umat Muslim berkorban bagi pembangunan
Islam, "terutama untuk putri-putri Islam mempelajari agama Islam yang mereka cintai".

Selama pemerintahan kolonial Belanda, Rahmah menghindari aktivitas di jalur


politik untuk melindungi kelangsungan sekolah yang dipimpinnya Ketika pemerintah
kolonial Belanda melalui Van Straten, sekretaris atau controleur Padang Panjang
menawarkan kepada Rahmah agar Diniyah Putri didaftarkan sebagai lembaga
pendidikan terdaftar sehingga dapat menerima subsidi dari pemerintah, Rahmah
menolak. Ia mengungkapkan bahwa Diniyah Putri adalah sekolah kepunyaan umat,
dibiayai oleh umat, dan tidak memerlukan perlindungan selain perlindungan Allah.
Menurutnya, subsidi dari pemerintah akan mengakibatkan keleluasaan pemerintah
dalam memengaruhi pengelolaan Diniyah Putri.

Sewaktu pendudukan Jepang, Rahmah memimpin Hahanokai di Padang Panjang


untuk membantu perwira Giyugun. Pada masa perang kemerdekaan, ia memelopori
berdirinya TKR di Padang Panjang dan mengerahkan muridnya ikut serta melawan
penjajah walaupun dengan kesanggupan mereka dalam menyediakan makanan dan
obat-obatan. Ia ditangkap oleh Belanda pada 7 Januari 1949 dan ditahan. Dalam pemilu
1955, Rahmah terpilih sebagai anggota DPR mewakili Partai Masyumi, tetapi tidak
pernah lagi menghadiri sidang setelah ikut bergerilya mendukung Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Pada 1938, ia hadir dalam rapat umum di Bukittinggi untuk menentang


Ordonansi Kawin Bercatat. Pada April 1940, Rahmah menghadiri undangan Kongres
Persatuan Ulama Seluruh Aceh di Kotaraja, Aceh. Ia dipandang oleh ulama-ulama Aceh
sebagai ulama perempuan terkemuka di Sumatera.
Dalam politik, Rahmah bergabung dengan Majelis Islam Tinggi Minangkabau
yang berkedudukan di Bukittinggi. Ia menjadi Ketua Hahanokai di Padang Panjang
untuk membantu perjuangan perwira yang terhimpun dalam Giyugun. Ketika terjadi
kecelakaan kereta api pada 23 Desember 1944 dan 11 Maret 1945 di Padangpanjang,
Rahmah menjadikan bangunan sekolah Diniyah Putri sebagai tempat perawatan korban
kecelakaan. Hal ini membuat Diniyah Putri mendapatkan piagam penghargaan dari
pemerintah Jepang. Menjelang berakhirnya pendudukan, Jepang membentuk Cuo Sangi
In yang diketuai oleh Muhammad Sjafei. Rahmah duduk sebagai salah seorang anggota
peninjau Cuo Sangi In. Ketua Cuo Sangi In Muhammad Sjafei. Rahmah yang
megibarkan bendera Merah Putih di halaman perguruan Diniyah Putri. Ia tercatat
sebagai orang yang pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatera Barat.
Berita bahwa bendera Merah Putih berkibar di sekolahnya menjalar ke seluruh pelosok
kota dan daerah Batipuh.

Ketika Komite Nasional Indonesia terbentuk sebagai hasil sidang Panitia


Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 22 Agustus 1945, Soekarno yang
melihat kiprah Rahmah mengangkatnya sebagai salah seorang anggota. Namun, ketika
KNPI mengadakan sidang di Malang, Rahmah tidak hadir karena tak bisa meninggalkan
ibunya yang sedang sakit di Padang Panjang.

Pada 5 Oktober 1945, Soekarno mengeluarkan dekret pembentukan Tentara


Keamanan Rakyat. Pada 12 Oktober 1945, Rahmah memelopori berdirinya Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) untuk Padangpanjang dan sekitarnya. Ia memanggil dan
mengumpulkan bekas anggota Giyugun, mengusahakan logistik dan pembelian
beberapa kebutuhan alat senjata dari harta yang dimilikinya. Bersama dengan bekas
anggota Hahanokai, Rahmah mengatur dapur umum di kompleks perguran Diniyah
Putri untuk kebutuhan TKR. Anggota-anggota TKR ini menjadi tentara inti dari
Batalyon Merapi di bawah pimpinan Anas Karim.

Ketika Agresi Militer Belanda kedua, Belanda menangkap sejumlah pemimpin-


pemimpin Indonesia di Padang Panjang. Ia juga berhasil ditangkap Belanda pada 7
Januari 1949, membuatnya mendekam di tahanan wanita di Padang Panjang. Dan
dilepaskan ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia berdasarkan hasil
Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Rahmah bergabung dengan partai Islam
Masyumi. Dalam pemilu 1955, ia terpilih sebagai anggota DPR mewakili Sumatera
Tengah. Melalui DPR, ia membawa aspirasinya tentang pendidikan dan pelajaran Islam.

Ketika terjadi pergolakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)


di Sumatera Tengah akhir 1958 akibat ketidaksetujuan atas sepak terjang Soekarno,
Rahmah ikut bergerilya di tengah rimba bersama tokoh-tokoh PRRI dan rakyat yang
mendukungnya.

Pada Juni 1957, Rahmah berangkat ke Timur Tengah. Usai menunaikan ibadah
haji, ia mengunjungi Mesir memenuhi undangan Imam Besar Al-Azhar. Dalam satu
Sidang Senat Luar Biasa, Rahmah mendapat gelar kehormatan "Syekhah" dari
Universitas Al-Azhar. Untuk kali pertama dalam sejarah Al-Azhar memberikan gelar
kehormatan syekh pada perempuan. Diniyah Putri memengaruhi pimpinan Al-Azhar
untuk membuka Kulliyatul Lil Banat, fakultas Universitas Al-Azhar yang dikhususkan
untuk perempuan pada 1962.

Rahmah meninggal mendadak dalam usia 71 tahun dalam keadaan berwudu


hendak salat Magrib pada 26 Februari 1969. Jenazahnya dimakamkan di pekuburan
keluarga yang terletak di samping rumahnya. Sehari sebelum ia wafat, Rahmah sempat
menemui Gubernur Sumatra Barat saat itu, Harun Zain, mengharapkan pemerintah
memperhatikan sekolahnya.

Dalam bukunya Islam dan Adat Minangkabau, Hamka menyinggung kiprah


Rahmah di dunia pendidikan dan pembaruan Islam di Minangkabau. Dalam sejarah
Universitas Al-Azhar, baru Rahmah seoranglah perempuan yang diberi gelar Syekhah.
Dalam sejumlah esainya, Azyumardi Azra menyebut perkembangan Islam modern dan
pergerakan Muslimah di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari nama Rahmah sebagai
perintis.

PANDANGAN RAHMAH EL YUNUSIYAH DALAM PENDIDIKAN

Rahmah memperoleh pendidikan atas inisiatifnya sendiri, pada saat masyarakat


memandang kurang perlunya pendidikan bagi perempuan. Rahmah melihat bahwa
perempuan tertinggal dari laki-laki, berada dalam kebodohan dan kepasrahan pada
keadaan sehingga masyarakat pada umumnya termasuk perempuan sendiri
mengganggap diri mereka makhluk yang lemah dan terbatas. Rahmah menolak
emansipasi seperti yang digaungkan oleh feminis. Rahmah ingin perempuan tetap pada
fitrahnya dan anak didiknya menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya kelak.

Sepanjang hidupnya, Rahmah menampilkan dirinya dengan pakaian baju kurung


dan mudawarah. Rahmah memberikan perumpamaan menutup aurat dengan
membandingkan dua orang berjualan di tepi jalan raya. Penjual yang satu membiarkan
jualannya terbuka sementara penjual yang satu lagi menutupi jualannya itu dengan rapi,
takut dihinggapi debu yang berterbangan. "Kalau sekiranya saudara ingin membeli
jualan itu yang manakah yang akan saudara beli,". Selain itu, Rahmah telah
menampilkan ciri khas anak-anak putri dengan pakaian khas Diniyah, kerudung putih
yang mereka lilitkan di kepala, baik di ruangan kelas maupun di halaman sekolah. "Bila
masyarakat melihat gadis-gadis atau wanita-wanita memakai mudawarah, baju kurung
membalut tubuh, sehingga yang kelihatan hanya tangan, muka, dan kaki, maka dengan
spontan mereka menyebut, itulah dia murid-murid Rahmah El Yunusiyah,".

KETELADANAN RAHMAH EL YUNUSIYAH

1. Memperjuangkan hak perempuan


2. Pelopor pendidikan muslimah indonesia bahkan dunia
3. Mengkedepankan pendidikan agama untuk pembentuk akhlak manusia
4. Memperjuangkan hak wanita muslim di Indonesia, khususnya Sumatera Barat
5. Menolak kesetaraan gender karena tuhan sudah memberi porsi masing-masing
makhluk.
6. Dia adalah mujahidah sejati, karena menolak perempuan dijadikan sebagai
wanita penghibur untuk tentara Jepang
7. Kaum perempuan, banyak pelajaran, bahwa menjadi pejuang, menjadi seorang
Mujahidah, tidak perlu sampai mengorbankan kewajiban kita sebagai Ibu dan
Wanita.

Foto Kunjungan Ke Museum Adityawarman, Padang.

Jumat, 23 November 2018

Foto dengan lukisan Rahmah El Yunusiyah Foto dengan latar belakang lukisan gurbernur
Sumbar

Foto dengan Rumah Adat Minangkabau Foto kunjungan bertiga dengan teman sekelas
MKU Pancasila

Anda mungkin juga menyukai