Makalah Zat Ekstraktif

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KIMIA

ZAT EKSTRAKTIF

KELOMPOK 4
 CHIKITA.G.IQBAL (2104070004)  NONY.A.S.AMNIFU (2104070044)
 DIVA.J.D.LUBALU (2104070025)  RIKARDUS AGUNG (2104070070)
 ELIAS HANDI (2104070055)  ROBERTUS.L.NAMANG (2104070071)
 FIONA.D.F.LAPAAN (2104070059)  ROBI.Y.BANI (2104070072)
 IREN.S.HUKI (2104070063)  STEFAN.E.D.ATAWATUN (2104070046)
 JORDHI.Z.HAILITIK (2104070034)  YANDRY.F.MAMBAIT (2104070073)
 KATARINA.V.CO’O (2104070036)  YOHANES.B.A.HARMAN (2104070074)
 MARIA.H.M.SERAN (2104070041)  YOHANES.E.AMLENI (2104070075)
 MARIA.Y.RU’A (2104070069)  YUDITH.A.V.MALAHERE (2104070076)

KEMENTRIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS NUSA CENDANA
FAKULTAS PERTANIAN
PROGAM STUDI KEHUTANAN
KUPANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul "zat ekstraktif"
Kami tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada pak Nixon ramming,S Hut.,M.Si
selaku dosen Mata kuliah kimia yang telah memberikan tugas makalah ini. Kami mengharapkan
agar pembaca dapat mengerti dengan apa yang disampaikan dalam makalah tersebut.
kami menyadari ada kekurangan pada makalh ini. Oleh sebab itu, saran dan kritik senantiasa
diharapkan demi perbaikan karya penulis. Kami juga berharap semoga makalah ini mampu
memberikan pengetahuan tentang zat ekstraktif,

Kupang, 24 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI
COVER

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar belakang


1.2 Perumusan masalah
1.3 Tujuan

BAB II Pembahasan

1.1 Pengertian zat ekstraktif


1.2 Penyebaran zat ekstraktif
1.3 Manfaat zat ekstraktif
1.4 Peran zat ekstraktif pada kayu
1.5 Teknik ekstraksi terhadap pemakaian zat ekstraktif

BAB III Penutupan

1.1 Kesimpulan
1.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Komponen kimia kayu sangat bervariasi, hal ini dipengaurhi oleh faktor tempat tumbuh, iklim
dan letaknya di dalam batang atau cabang. Pada komponen kimia kayu terdiri dari selulosa,
hemiselulosa, lignin dan zat ekstraktif. Zat ekstraktif umumnya adalah zat yang mudah larut
dalam pelarut seperti eter, alkohol, bensin dan air. Persentase zat ekstraktif ini rata-rata 3-8%
dari berat kayu kering tanur. Termasuk di dalamnya minyak-minyakan, resin, lilin, lemak,
tannin, gula pati dan zat warna. Zat ekstraktif tidak merupakan bagian struktur dinding sel
tetapi terdapat dalam rongga sel.
Hillis (1987) mendefinisikan zat ekstraktif sebagai senyawa-senyawa yang dapat diekstrak dari
kayu atau kulit dengan pelarut polar dan non polar. Zat ekstraktif ini bukan merupakan bagian
struktural dinding sel kayu, tetapi sebagai zat pengisi rongga sel. Zat ekstraktif terdiri dari
bermacam-macam bahan yang tidak termasuk bagian dari dinding sel. Komponen ini memiliki
nilai yang penting karena menyebabkan kayu tahan terhadap serangan jamur dan serangga,
memberi bau, rasa dan warna pada kayu.

1.2 Rumusan masalah


1.Pengertian zat ekstraktif
2.Penyebaran zat eksraktif
3.Manfaat zat ekstraktif
4.Peran zat ekstraktif pada kayu
5.Teknik ekstraksi terhadap pemakaian zat ekstraktif

1.3 Tujuan
1.Menjelaskan pengertin zat ekstraktif
2.Menjelaskan penyebaran zat ekstraktif
3.Menjelaskan manfaat dari zat ekstraktif
4.Menjelaskan peran zat ekstraktif pada kayu
5.Teknik ekstraksi terhadap pemakaian zat ektraktif
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertisn zat ekstraktif


Sjostrom (1998) mendefinisikan zat ekstraktif sebagai beraneka ragam senyawa kimia
kayu, meskipun biasanya merupakan bagian kecil yang larut dalam pelarut-pelarut organic netral
atau air. Zat ekstraktif dapat dibagi menjadi tiga sub group yaitu komponen alifatik (lemak dan
lilin), terpen, terpenoid, dan komponen fenolik. Ekstraktif meliputi sejumlah besar senyawa yang
berbeda dan dapat diekstraksi dari kayu dengan menggunakan pelarut polar dan non polar.
Secara kuantitatif, kandungan zat ekstraktif dalam kayu paling kecil bila dibandingkan dengan
kandungan selulosa dan lignin, tetapi secara kualitatif mempunyai pengaruh yang besar terhadap
sifat kayu dan sifat pengolahannya. Menurut Syafii dan Siregar (2006), zat ekstraktif
mempengaruhi proses pulping , dimana semakin tinggi kandungan zat ekstraktif maka akan
semakin tinggi pula konsumsi bahan kimia yang diperlukan dalam proses pulping serta dapat
menyebabkan terjadinya masalah pitch, yaitu terjadinya bintik-bintik pada lembaran pulp yang
dihasilkan Ekstraktif merupakan sejumlah besar senyawa dalam kayu yang dapat diekstraksi
dengan menggunakan pelarut polar dan non polar. Ekstraktif dapat pula diartikan sebagai
senyawa yang larut dalam pelarut organik. Sejumlah kayu mengandung senyawa-senyawa yang
dapat diekstraksi yang bersifat racun atau mencegah bakteri, jamur dan rayap. Ekstraktif juga
dapat memberikan warna dan bau pada kayu (Fengel & Wegener 1995).
Hillis (1987) menyatakan bahwa zat ekstraktif pada pohon di daerah tropis dan subtropis
lebih banyak dari pada pohon di daerah sedang (temperate). Jumlah kadar zat ekstraktif
pada hardwood (kayu daun lebar) lebih banyak dibandingkan softwood (kayu daun jarum). Riset
terhadap 480 sampel Pinus echinata yang hidup pada kondisi dan umur berbeda menunjukkan
bahwa umur mempunyai pengaruh yang sangat dominan dalam jumlah ekstraktif. Hal yang
mempengaruhi kandungan zat ekstraktif dalam kayu diantaranya umur, tempat tumbuh, genetik,
posisi dalam pohon, jenis pelarut yang digunakan dan kecepatan pertumbuhan.
Zat ekstraktif termasuk dalam komponen non-struktural pada kayu dan kulit tanaman
terutama berupa bahan organic yang terdapat pada lumen dan Sebagian pada dinding sel. Dengan
menggunakan air dingin atau panas dan bahan pelarut organic netral seperti alcohol atau eter
maka dapat dilakukan ekstraksi. Jumlah dan jenis zat ekstraktif terdapat tanaman tergantung
pada letaknya dan jenis tanaman. Pada kayu konvensional, zat ekstraktif banyak terdapat pada
kayu teras, getak, lemak, resin, gula, lilin, tanin, alkaloid merupakan beberpa contoh zat
ekstraktif. Selain bahan organic, pada kayu juga terdapat bahan anorganik berupa mineral dan
silika yang tidak dapat larut dalam air atau pelarut organic.

2.2 Penyebaran zat eksraktif


Dumanauw (1990) menyatakan bahwa zat ekstraktif bukan merupakan bagian struktur
dinding sel, tetapi terdapat dalam rongga sel. Sedangkan Sjöström (1995) berpendapat bahwa zat
ekstraktif tidak tersebar secara merata dalam batang dan dinding sel serat. Ekstraktif terdapat pada
tempat tertentu, sebagai contoh asam dalam tumbuhan resin banyak terdapat dalam saluran resin
dalam kulit kayu, sedangkan lemak dan lilin banyak terdapat dalam sel parenkim jari-jari baik pada
kayu daun jarum dan kayu daun lebar.
Selanjutnya Fengel dan Wegener (1995), mengemukakan bahwa zat ekstraktif berpusat pada
resin kanal dan sel perenkim jari-jari. Pada lamela tengah juga terdapat zat ekstraktif dengan
kadar yang lebih rendah jika dibandingkan dengan interseluler dan dinding sel trakeid serta
libriform. Zat ekstraktif terdiri dari berbagai jenis komponen senyawa organik seperti minyak
yang mudah menguap, terpen, asam lemak dan esternya, lilin, alkohol polihidrik, mono dan
polisakarida, alkaloid, dan komponen aromatik (asam, aldehid, alkohol, dimer fenilpropana,
stilbene, flavanoid, tannin dan quinon), zat ekstraktif adalah komponen diluar dinding sel kayu
yang dapat dipisahkan dari dinding sel, tidak larut dengan pelarut air atau organik.

2.3 Manfaat zat ekstraktif


Zat ekstraktif dapat digunakan untuk mengenali suatu jenis kayu. Jenis kayu yang berbeda
menyebabkan kandungan zat ekstraktif yang berbeda pula, sehingga dapat dijadikan sebagai alat
identifikasi/ pengenalan kayu (Dumanauw, 1982).
Sedangkan menurut Sjostrom (1995) bahwa tipe-tipe ekstraktif yang berbeda adalah perlu
untuk memepertahankan fungsi biologi pohon yang bermacam-macam. Sebagai contoh lemak
merupakan sumber energi sel-sel kayu, sedangkan terpenoid-terpenoid rendah, asam-asam resin,
dan senyawa-senyawa fenol melindungi kayu terhadap kerusakan secara mikrobiologi atau
serangan serangga. Ekstraktif tidak hanya penting untuk taksonomi dan biokimia pohon-pohon
tetapi juga penting bila dikaitkan dengan aspek-aspek teknologi. Ekstraktif merupakan bahan
dasar yang berharga untuk pembuatan bahan-bahan kimia organik dan mereka memainkan
perana penting dalam proses pembuatan pulp dan kertas.

2.4 Peran zat ekstraktif pada kayu


Dumanaw (2003) menyatakan bahwa zat ekstraktif memiliki peranan dalam kayu karena
dapat mempengaruhi sifat keawetan, warna, bau dan rasa sesuatu jenis kayu, dapat digunakan
untuk mengenal sesuatu jenis kayu, dapat digunakan sebagai bahan industri, dapat menyulitkan
dalam pengerjaan dan mengakibatkan kerusakan pada alat-alat pertukangan. Zat ekstraktif yang
bersifat racun menyebabkan ketahanan terhadap pelapukan kayu. Hal ini dibuktikan bahwa
ekstrak dari kayu teras lebih bersifat racun daripada ekstrak dari kayu gubal pada pohon yang
sama. Serta, ketahanan terhadap pelapukan kayu teras akan berkurang jika diekstraksi dengan air
panas atau dengan pelarut organik (Syafii et al., 1987).Zat ekstraktif memiliki arti yang penting
dalam kayu karena: Dapat mempengaruhi sifat keawetan, warna, bau dan rasa sesuatu jenis
kayu.Dapat digunakan untuk mengenal sesuatu jenis kayu.Dapat digunakan sebagai bahan
industry.Dapat menyulitkan dalam pengerjaan dan mengakibatkan kerusakan pada alat-alat
pertukangan. Contih peran zat ekstraktif pada kayu kelapa:
A .zat ekstraktif larut dalam air panas zat ekstraktif larut dalam air panas yang terdapat dalam
batamg kayu kelapa berkisar antara 3,75-8,92% dengan nilai nilai rata rata 6,06%. Batang kelapa
bagian atas dan bagian dalam banyak mengandung gula dan pati sehingga proses ekstrasi
tersebut membuat Sebagian besar gula dan pati akan terlarut Ini menunjukkan bahwa bagian
dalam batang kelapa terutama pada ketinggian di atas 15 meter berpotensi untuk diekstraksi
gulanya atau dilakukan isolasi pati untuk dapat dimanfaatkan. Rojo et.al. (1988) menjelaskan
bahwa gula dari batang kelapa dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan untuk pakan ternak
seperti lembu.
B. Zat Eksraktif Larut dalam Alkohol Benzena, Zat ekstraktif yang dapat larut dalam pelarut
organik seperti larutan alkohol benzena antara lain lilin, lemak, resin, minyak dan tanin serta
komponen tertentu yang tidak larut dalam eter . Zat ekstraktif yang larut dalam alkohol benzena
pada batang kelapa berkisar antara 1.88 ~ 8.79% dengan nilai rataan 5.11%. Hasil ini lebih tinggi
dari hasil penelitian Suwinarti (1993) yaitu sebesar 1.1 ~ 3.57% serta Anonim (1985), Rojo et. al.
(1988), Palomar (1990) dan Arancon (1997) dengan nilai rataan 2.6% yang disebabkan
perbedaan tempat tumbuh pohon. Secara longitudinal, distribusi kandungan zat ekstraktif larut
dalam alkohol benzena cenderung tidak beraturan.Bahan non-tanin yang terdapat dalam batang
kelapa yang utama adalah lemak dan lilin karena menurut Sjöstrom (1998) lilin dan lemak
merupakan konstituen utama yang terdapat dalam sel-sel parenkim. Pada kayu kelapa, parenkim
merupakan jaringan dasar yang lebih banyak terdapat pada bagian atas dan bagian dalam batang.
C. Zat Ekstraktif Larut dalam NaOH 1%, Zat ekstraktif yang larut dalam NaOH 1% pada batang
kelapa mempunyai nilai tertinggi 33.61% dan terendah 18.76% dengan nilai rataan 21.04%. Pada
Gambar 3 dapat dilihat bahwa distribusi zat ekstraktif larut dalam NaOH 1% pada batang kelapa
yang mempunyai kecenderungan berupa garis linier positif. Ini berarti semakin ke atas dan ke
dalam maka kandungannya akan semakin tinggi. Secara longitudinal, persamaan regresinya
adalah y = 0.8656x + 20.967 dengan nilai korelasi 0.890 (sangat signifikan) dengan nilai rataan
tertinggi sebesar 28.51% terdapat pada bagian ujung.
Hasil ekstraksi yang diperoleh bergantung pada kandungan ekstrak yang terdapat pada contoh
uji dan jenis pelarut yang digunakan. Untuk dapat melarutkan zat ekstraktif perlu ditambahkan
dua atau lebih jenis pelarut. Proses ekstraksi berkesinambungan dengan menggunakan sederetan
pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya merupakan prosedur klasik untuk memperoleh
kandungan senyawa organic dari jaringan tumbuhan kering (Harborne1987). Fengel dan
Wegener (1995) menyatakan bahwae kstraksi kayu meliputi sejumlah besar senyawa yang
berbeda yang dapat diekstraksi dari kayu dengan menggunakan pelaru tpolar dan nonpolar.
Polaritas sering diartikan sebagai adanya pemisahan kutub muatan positif dan negative dari suatu
molekul sebagai akibat terbentuknya konfigurasi tertentu dari atom-atom penyusunnya. Dengan
demikian, molekul tersebut dapat tertarik oleh molekul yang lain yang juga mempunyai polaritas
yang kurang lebih sama. Senyawa yang terbawa pada proses ekstraksi adalah senyawa yang
mempunyai polaritas sesuai dengan pelarutnya. Prinsip kelarutan adalah “like dissolve like”,
yaitu (1) pelaru tpolar akan melarutkan senyawa polar, demikian juga sebaliknya pelarut non
polar akan melarutkan senyawa non polar, (2) pelarut organic akan melarutkan senyawa organik.
Harborne (1987) mengemukakan bahwa ekstraksi senyawa aktif dari suatu jaringan tanaman
dengan berbagai jenis pelarut pada tingkat kepolaran yang berbeda bertujuan memperoleh hasil
yang optimum, baik jumlah ekstrak maupun senyawa aktif yang terkandung dalam contoh uji.

2.5 Pengaruh zat ekstraktif terhadap kayu


Hal Yang mempengaruhi kandungan zat ekstraktif dalam kayu di antaranya adalah umur,
tempat tumbuh, genetik, posisi dalam pohon, kecepatan pertumbuhan, dan jenis pelarut yang
digunakan. Penelitian terhadap 480 sampel Pinus echinate yang hidup pada kondisi dan umur
berbeda menunjukkan bahwa umur mempunyai pengaruh yang sangat dominan dalam jumlah
zatekstraktif (Hillis 1987). Adanya variasi kandungan zat ekstraktif tidak hanya terdapat di
antara spesies, umur atau tempat tumbuh, tetapi juga dalam pohon yang sama, terutama di antara
kayu gubal dan kayu teras (Tsoumis 1991). Umumnya bagian-bagian yang berbeda dari pohon
yang sama memiliki jumlah maupun komposisi zat ekstraktif yang berbeda (Sjostrom 1998).
Senyawa bioaktif merupakan senyawa yang mempunyai aktivitas biologis terhadap organisme
lain atau pada organisme yang menghasilkan senyawa tersebut. Senyawa bioaktif ini juga banyak
terkandung pada zat ekstraktif. Hutan tropika Indonesia memiliki sumber senyawa-senyawa
metabolit sekunder (zat ekstraktif) yang tak ternilai. Senyawa-senyawa ini dapat dimanfaatkan
sebagai bahan obat untuk mengatasi berbagai penyakit. Obat-obatan modern yang beredar di
pasaran merupakan hasil eksplorasi zat ekstraktif tumbuhan yang terdapat di hutan tropis.
Senyawa bioaktif ini hamper selalu toksik pada dosis tinggi. Setiap zat kimia termasuk senyawa
aktif dari tumbuhan pada dasarnya bersifat racun, bergantung kepada penggunaan, takaran,
pembuatan, cara pemakaian, dan waktu yang tepat untuk mengkonsumsi. Beberapa tanaman
dikenal menghasilkan senyawa bioaktif yang umumnya berupa senyawa-senyawa flavonoid,
glikosida, steroid, alkaloid, dan terpenoid (Meilani 2006). Ekstrak daun sicerek (Clausena
excavate Burm.) yang terbukti berperan sebagai antioksidan dengan cara menghambat peroksida
lipid mengandung senyawa alkaloid, steroid, terpenoid, dan flavonoid(Irawan 2006)
Pelarutan zat ekstraktif
Zat ekstraktif dilarutkan dari dalam kayu menggunakan tiga jenis pelarut berbeda, yaitu masing-
masing etanol 95%, etanol:benzena (1:2), dan air panas. Ekstraksi etanol dan campuran
etanolbenzena dilakukan dengan alat sokhlet selama 12 jam, sedangkan ekstraksi air panas
dilakukan selama 3 jam pada suhu 100 ºC dalam penangas air. Kadar zat ekstraktif terlarut
dihitung berdasarkan selisih berat sampel sebelum dan sesudah ekstraksi dan dinyatakan dalam
persen terhadap berat kering tanur contoh uji.

Bidang radial
Bidang tangensial

Bidang l ongitudinal

Kelarutan zat ekstraktif


Zat ekstraktif merupakan komponen kimia kayu yang mudah telarut dalam pelarut organik
netral. Kelompok zat ekstraktif dengan sifat kimia tertentu dapat dilarutkan atau diisolasi dengan
pelarut yang memiliki kepolaran berbeda. Zat ekstraktif bersifat polar seperti tannin, flavonoid,
lignan, stilbene dan tropolone akan terlarut dalam pelarut polar, sedangkan zat ekstraktif non
polar seperti lemak, lilin dan resin akan terlarut dalam pelarut non polar (Sjostrom 1991).
Zat ekstraktif bersifat polar mendominasi dalam zat ekstraktif kayu nangka dan mangium. Hal ini
ditunjukkan oleh lebih tingginya kelarutan kayu dalam pelarut etanol dan air yang bersifat polar
dibandingkan dengan pelarut etanolbenzena yang lebih bersifat non polar (Gambar 3). Dominasi
senyawa polar dalam zat ekstraktif kayu mangium ditemukan pada lima jenis provenas berbeda
(Lukmandaru 2012).

18 Etanol Etanol-benzena Air panas


16
13 , 4
14
12 10 ,41
10 8 ,56
7 ,73 7 ,22
8
5 ,35
6
4
2
0
Nangka Mangium
Jenis kayu

Kelarutan zat ekstraktif kayu nangka dan mangium dalam pelarut berbeda.

Pengaruh zat ekstraktif terhadap susut kayu


Penyusutan kayu adalah pengurangan dimensi kayu karena perubahan kadar air kayu dibawah
titik jenuh serat. Kayu mempunyai tiga bidang orientasi, yaitu tangensial, radial, dan
longitudinal. Ketiga bidang orientasi kayu tersebut mempunyai sifat penyusutan berbeda. Susut
kayu nangka dan mangium pada arah tangensial berturut-turut sebesar 4,43 dan 7,69%, susut
arah radial 2,04 dan 2,64%, dan susut arah longitudinal 0,23 dan 0,30%. Secara umum zat
ekstraktif berpengaruh terhadap penyusutan kayu, kecuali susut arah longitudinal karena nilainya
yang sangat kecil. Terutama untuk susut arah tangensial dan radial, pelarutan zat ekstraktif dari
dalam kayu nangka dan mangium dengan pelarut etanol, etanolbenzena, dan air panas
meningkatkan susut kayu yang signifikan dibandingkan dengan kontrol (Gambar 4). Hal ini
mengindikasikan bahwa keberadaan zat ekstraktif dalam kayu berkontribusi terhadap stabilitas
dimensi kayu.
Pengaruh zat ekstraktif terhadap kadar air basah dan berat jenis kayu
Kadar air basah menunjukkan kapasitas maksimum kayu menyerap air dan dangat dipengaruhi
oleh kerapatan kayu (Tsoumis 1991). Kadar air basah sampel kontrol kayu nangka (96,73%)
lebih besar dibandingkan dengan kadar air basah. Berdasarkan hasil penelitian ini, zat ekstraktif
dapat mempengaruhi kadar air basah kayu melalui mekanisme fisis dengan pengisian rongga
kayu dan secara kimia melalui sifat higroskopisnya. Zat ekstraktif terdiri atas banyak senyawa
dengan sifat kimia berbeda. Perbedaan tersebut dapat terjadi baik antar jenis maupun dalam jenis
kayu yang sama. Hal ini diduga yang menyebabkan terjadinya perbedaan pengaruh zat ekstraktif
terhadap kadar air basah kayu
Pengaruh zat ekstraktif terhadap nilai kalor kayu dan kerapatannya
Kayu merupakan salah satu biomassa yang dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif
terbarukan. Nilai kalor kayu dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain kerapatan dan sifat kimia
kayu. Penelitian ini menjelaskan pengaruh kadar zat ekstraktif terhadap nilai kalor enam jenis
kayu yang berbeda kerapatan. Karakteristik kayu sebagai bahan energi diuji dengan analisis
proksimat. Kadar zat ekstraktif kayu dinyatakan sebagai kelarutan dalam ekstraksi
etanol/benzena diikuti dengan ekstraksi air panas. Hasil analisis proksimat menunjukkan keenam
jenis kayu yang diuji memiliki nilai kadar air 6.64–11.09%, kadar zat terbang 79.91–84.45%,
kadar abu 0.32–1.18%, kadar karbon terikat 15.10–19.74%, dan nilai kalor 4243–4576 kkal/kg.
Kadar zat ekstraktif berpengaruh terhadap nilai kalor kayu dengan korelasi positif yang tinggi
(R² = 0.81). Hal tersebut diduga berkaitan dengan pengaruh positif zat ekstraktif terhadap
kerapatan dan kadar karbon terikat. Zat ekstraktif terlarut etanol/benzena pada enam jenis kayu
berkontribusi antara 4.34–12.47% terhadap nilai kalor kayu.

2.5 Teknik ekstraksi terhadap pemakaian zat ekstraktif


Ekstraksi Padat Cair
Proses pemisahan pektin yang terkandung dalam kulit buah pisang dapat dilakukan dengan
metode ekstraksi dengan pelarut. Ekstraksi padat cair atau leaching merupakan metode
pemisahan satu atau beberapa komponen (solute) dari campurannya dalam padatan yang tidak
dapat larut (inert) dengan menggunakan pelarut (solvent) berupa cairan (Treybal, R. E., 1980).
Pemisahan dapat terjadi karena adanya driving force yaitu perbedaan konsentrasi solute di
padatan dengan pelarut dan adanya perbedaan kemampuan melarut komponen dalam campuran.
Proses ekstraksi padat cair secara umum terdiri dari lima tahap yaitu (Geankoplis, 1993):
1. Pelarut berpindah dari bulk solution ke seluruh permukaan padatan (terjadi pengontakan antara
pelarut dengan padatan). Proses perpindahan pelarut dari bulk solution ke permukaan padatan
berlangsung seketika saat pelarut dikontakkan dengan padatan. Proses pengontakan ini dapat
berlangsung dengan dua cara yaitu perkolasi atau maserasi.
2. Pelarut berdifusi ke dalam padatan. Proses difusi pelarut ke padatan dapat terjadi karena
adanya perbedaan konsentrasi (driving force) antara solute di pelarut dengan solute di padatan.
3. Solute yang ada dalam padatan larut ke dalam pelarut. Solute dapat larut dalam pelarut karena
adanya gaya elektostatik antar molekul, yaitu disebut gaya dipol-dipol, sehingga senyawa yang
bersifat polar-polar atau nonpolarnonpolar dapat saling berikatan. Selain itu juga terdapat gaya
dipol-dipol induksi atau gaya London yang menyebabkan senyawa polar dapat larut atau
sedikit larut dengan seyawa nonpolar.
4. Solute berdifusi dari padatan menuju permukaan padatan; Proses difusi ini disebabkan oleh
konsentrasi solute dalam pelarut yang berada di dalam poripori padatan lebih besar daripada
permukaan padatan.
5. Solute berpindah dari permukaan padatan menuju bulk solution. Pada tahap ini, tahanan
perpindahan massa solute ke bulk solution lebih kecil daripada di dalam padatan. Proses
ekstraksi berlangsung hingga kesetimbangan tercapai yang ditunjukkan oleh konsentrasi solute
dalam bulk solution menjadi konstan atau tidak ada perbedaan konsentrasi solute dalam bulk
solution dengan padatan (driving force bernilai nol atau mendekati nol).
Pada bahan alami, solute biasanya terkurung di dalam sel sehingga pada proses
pengontakan langsung antara pelarut dengan solute mengakibatkan terjadinya pemecahan
dinding sel karena adanya perbedaaan tekanan antara di dalam dengan di luar dinding sel. Proses
difusi solute dari padatan menuju permukaan padatan dan solute berpindah dari permukaan
padatan menuju cairan berlangsung secara seri. Apabila salah satu berlangsung relatif lebih
cepat, maka kecepatan ekstraksi ditentukan oleh proses yang lambat, tetapi bila kedua proses
berlangsung dengan kecepatan yang tidak jauh berbeda, maka kecepatan ekstraksi ditentukan
oleh kedua proses tersebut (Sediawan dan Prasetya, 1997).
Metode ekstraksi berdasarkan ada tidaknya proses pemanasan dapat dibagi menjadi dua
macam yaitu ekstraksi cara dingin dan ekstrasi cara panas (Hamdani, 2009):

Ekstraksi cara dingin


Pada metode ini tidak dilakukan pemanasan selama proses ekstraksi berlangsung dengan
tujuan agar senyawa yang diinginkan tidak menjadi rusak.
Beberapa jenis metode ekstraksi cara dingin, yaitu:

1. Maserasi atau dispersi


Maserasi merupakan metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut diam atau dengan
adanya pengadukan beberapa kali pada suhu ruangan. Metoda ini dapat dilakukan dengan
cara merendam bahan dengan sekali-sekali dilakukan pengadukan. Pada umumnya
perendaman dilakukan selama 24 jam, kemudian pelarut diganti dengan pelarut baru.
Maserasi juga dapat dilakukan dengan pengadukan secara sinambung (maserasi kinetik).
Kelebihan dari metode ini yaitu efektif untuk senyawa yang tidak tahan panas (terdegradasi
karena panas), peralatan yang digunakan relatif sederhana, murah, dan mudah didapat.
Namun metode ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu waktu ekstraksi yang lama,
membutuhkan pelarut dalam jumlah yang banyak, dan adanya kemungkinan bahwa senyawa
tertentu tidak dapat diekstrak karena kelarutannya yang rendah pada suhu ruang (Sarker,
S.D., et al, 2006).
2. Perkolasi
Perkolasi merupakan metode ekstraksi dengan bahan yang disusun secara unggun dengan
menggunakan pelarut yang selalu baru sampai prosesnya sempurna dan umumnya dilakukan
pada suhu ruangan. Prosedur metode ini yaitu bahan direndam dengan pelarut, kemudian
pelarut baru dialirkan secara terus menerus sampai warna pelarut tidak lagi berwarna atau
tetap bening yang artinya sudah tidak ada lagi senyawa yang terlarut. Kelebihan dari metode
ini yaitu tidak diperlukan proses tambahan untuk memisahkan padatan dengan ekstrak,
sedangkan kelemahan metode ini adalah jumlah pelarut yang dibutuhkan cukup banyak dan
proses juga memerlukan waktu yang cukup lama, serta tidak meratanya kontak antara
padatan dengan pelarut (Sarker, S.D., et al, 2006).

Ekstraksi cara panas


Pada metode ini melibatkan pemanasan selama proses ekstraksi berlangsung. Adanya
panas secara otomatis akan mempercepat proses ekstraksi dibandingkan dengan cara dingin.
Beberapa jenis metode ekstraksi cara panas, yaitu:
1. Ekstraksi refluks
Ekstraksi refluks merupakan metode ekstraksi yang dilakukan pada titik didih pelarut
tersebut, selama waktu dan sejumlah pelarut tertentu dengan adanya pendingin balik
(kondensor). Pada umumnya dilakukan tiga sampai lima kali pengulangan proses pada
rafinat pertama. Kelebihan metode refluks adalah padatan yang memiliki tekstur kasar dan
tahan terhadap pemanasan langsung dapat diekstrak dengan metode ini. Kelemahan metode
ini adalah membutuhkan jumlah pelarut yang banyak ( Irawan, B., 2010).
2. Ekstraksi dengan alat soxhlet
Ekstraksi dengan alat soxhlet merupakan ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru,
umumnya dilakukan menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi konstan dengan
adanya pendingin balik (kondensor). Pada metode ini, padatan disimpan dalam alat soxhlet
dan dipanaskan, sedangkan yang dipanaskan hanyalah pelarutnya. Pelarut terdinginkan
dalam kondensor, kemudian mengekstraksi padatan. Kelebihan metode soxhlet adalah proses
ekstraksi berlangsung secara kontinu, memerlukan waktu ekstraksi yang lebih sebentar dan
jumlah pelarut yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan metode maserasi atau perkolasi.
Kelemahan dari metode ini adalah dapat menyebabkan rusaknya solute atau komponen
lainnya yang tidak tahan panas karena pemanasan ekstrak yang dilakukan secara terus
menerus (Sarker, S. D., et al., 2006; Prashant Tiwari, et al., 2011).
Berikut faktor – faktor yang mempengaruhi ekstraksi (Ubay, 2011).
1. Jenis pelarut
Jenis pelarut mempengaruhi senyawa yang tersari, jumlah zat terlarut yang terekstrak dan
kecepatan ekstraksi.
2. Suhu
Secara umum, kenaikan suhu akan meningkatkan jumlah zat terlarut ke dalam pelarut.
3. Rasio pelarut dan bahan baku
Jika rasio pelarut-bahan baku besar maka akan memperbesar pula jumlah senyawa yang
terlarut. Akibatnya laju ekstraksi akan semakin meningkat.
4. Ukuran partikel
Laju ekstraksi juga meningkat apabila ukuran partikel bahan baku semakin kecil. Dalam arti
lain, rendemen ekstrak akan semakin besar bila ukuran partikel semakin kecil.
5. Pengadukan
Fungsi pengadukan adalah untuk mempercepat terjadinya reaksi antara pelarut dengan zat
terlarut.
6. Lama waktu
Lamanya waktu ekstraksi akan menghasilkan ekstrak yang lebih banyak, karena kontak
antara zat terlarut dengan pelarut lebih lama.

Ekstraksi Cair - Cair


Pada ekstraksi cair-cair, satu komponen bahan atau lebih dari suatu campuran dipisahkan
dengan bantuan pelarut. Ekstraksi cair-cair terutama digunakan apabila pemisahan campuran
dengan cara destilasi tidak mungkin dilakukan (misalnya karena pembentukan azeotrop atau
karena kepekaannya terhadap panas) atau tidak ekonomis. Ekstraksi cair-cair selalu terdiri dari
sedikitnya dua tahap, yaitu pencampuran secara intensif bahan ekstraksi dengan pelarut dan
pemisahan kedua fase cair itu sesempurna mungkin. Pada ekstraksi cair-cair, zat terlarut
dipisahkan dari cairan pembawa (diluen) menggunakan pelarut cair. Campuran cairan pembawa
dan pelarut ini adalah heterogen, jika dipisahkan terdapat 2 fase yaitu fase diluen (rafinat) dan
fase pelarut (ekstrak). Perbedaan konsentrasi zat terlarut di dalam suatu fasa dengan konsentrasi
pada keadaan setimbang merupakan pendorong terjadinya pelarutan (pelepasan) zat terlarut dari
larutan yang ada. Gaya dorong (driving force) yang menyebabkan terjadinya proses ekstraksi
dapat ditentukan dengan mengukur jarak sistem dari kondisi setimbang (Indra Wibawa, 2012).
Untuk mencapai proses ekstraksi cair-cair yang baik, pelarut yang digunakan harus
memenuhi kriteria yaitu kemampuan tinggi melarutkan komponen zat terlarut di dalam
campuran, kemampuan tinggi untuk diambil kembali, perbedaan berat jenis antara ekstrak dan
rafinat lebih besar, pelarut dan larutan yang akan diekstraksi harus tidak mudah campur, tidak
mudah bereaksi dengan zat yang akan diekstraksi, tidak merusak alat secara korosi, tidak mudah
terbakar, tidak beracun dan harganya relatif murah (Martunus & Helwani, 2004;2005).
BAB III
3.1 Kesimpulan
Zat eksraktif merupakan komponen non-struktural pada kayu dan kulit tanaman terutama berupa
bahan organik yang terdapat pada lumen dan sebagian pada dinding sel yang berfungsi sebagai
sifat pengawet.
3.2 Saran
Komponen kimia kayu sangat bervariasi, hal ini dipengaruhi oleh faktor tempat tumbuh, iklim
dan letaknya di dalam batang atau cabang. Pada komponen kimia kayu terdiri dari selulosa,
hemiselulosa, lignin dan zat eksraktif masing-masing sangat dbutuhkan oleh tumbuhan. Maka
dari itu komponen kimia kayu ini perlu ada pada tumbuhan karena dapat memberikan fungsi
yang begitu banyak pada tumbuhan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
https://docplayer.info/39079687-Tinjauan-pustaka-zat-ekstraktif.html
http://repository.unhas.ac.id/id/eprint/1404/
https://berbagibahanilmu.blogspot.com/2015/02/zat-ekstraktif-dalam-kayu-kimia-kayu.html
https://adoc.pub/tinjauan-pustaka-kayu-yang-harus-diketahui-dalam-penggunaan-.html
https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/98287

Anda mungkin juga menyukai