Tanabata Festival

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

TANABATA MATSURI
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Nihon Jijo
Dosen Pengampu : Ni Luh Putu Ari Sulatri, S.S.,M.Si.

CLARA IRENA MAHARESTI


2001581057

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan
baik dan tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas perkuliahan pada mata kuliah
Nihon Jijo. Dalam proses penulisan paper ini, penulis tidak terlepas dari bantuan
dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penulisan
paper ini.
Penulis memohon maaf bila terdapat kesalahan baik kata maupun kalimat
dalam penulisan paper ini. Penulis menyadari pula masih banyak kekurangan dalam
paper ini, maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca.
Semoga penyusunan paper ini dapat memberikan manfaat dan menambah
pengetahuan mengenai Tanabata Matsuri bagi para pembaca.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... 2

DAFTAR ISI .......................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 5

1.3 Tujuan ..................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 6

2.1 Konsep ..................................................................................................... 6

2.1.1 Matsuri................................................................................................... 6

2.1.2 Festival .................................................................................................. 7

2.1.3 Tanabata ................................................................................................ 8

2.2 Pembahasan ............................................................................................ 9

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 24

3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 25


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jepang memiliki tradisi dan budaya yang begitu banyak. Matsuri atau

festival merupakan salah satu tradisi dan budaya yang masih hidup di

masyarakat Jepang hingga saat ini. Meskipun matsuri merupakan salah satu hal

tradisional karena sudah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun lamanya,

matsuri tetap hidup dan dihidupi bahkan menjadi bagian dalam kehidupan

masyarakat Jepang itu sendiri.

Matsuri yang ada di Jepang jumlahnya sangat banyak dan sangat beragam,

tujuan dari matsuri pun sangat beragam. Ada yang diadakan sebagai perayaan

musim tertentu, perayaan hari keagamaan, mengenang peristiwa penting dalam

sejarah Jepang, mengenang peristiwa yang diyakini oleh sebuah kepercayaan

masyarakat, memohon sesuatu pada dewa, dll. Salah satunya adalah Tanabata

Matsuri.

Secara umum, Tanabata Matsuri merupakan kombinasi dari legenda cinta

Cina dan kepercayaan rakyat Jepang yang memiliki sejarah panjang sejak

periode Nara (710-194 M) (Shen 2020: 9). Karena merupakan kombinasi dari

legenda Cina dan kepercayaan rakyat Jepang, terdapat beberapa versi cerita

mengenai sejarah dari Tanabata Matsuri ini.


Tanabata Matsuri yang sudah berlangsung sejak sekitar periode Nara (710-

794 M) hingga saat ini banyak mengalami perubahan dan penyesuaian seiring

berjalannya waktu. Walaupun demikian, perubahan dan penyesuaian ini tidak

menghilngkan kekhasan dari matsuri ini.

Berdasarkan hal tersebut, Tanabata Matsuri dipilih sebagai objek dalam

pembahasan mengenai salah satu matsuri yang ada di Jepang dalam makalah ini

dengan harapan mampu menambah wawasan mengenai Tanabata Matsuri, baik

dari sejarah, perkembangan, dan pelaksanaannya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas sebelumnya, terdapat

beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini. Berikut adalah

rumusan maslaah yang akan dibahas, diantaranya adalah:

1. Bagaimana sejarah dari Tanabata Matsuri?

2. Bagaimana perkembangan dari Tanabata Matsuri?

3. Bagaimana pelaksanaan Tanabata Matsuri?

1.3 Tujuan

Pembahasan dalam makalah ini memiliki tujuan yang ingin dicapai. Tujuan

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui bagaimana sejarah dari Tanabata Matsuri.

2. Mengetahui bagaimana perkembangan dari Tanabata Matsuri.

3. Mengetahui bagaimana pelaksanaan Tanabata Matsuri.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep

2.1.1 Matsuri

Matsuri dituliskan dengan kanji 祭り terbentuk dari kata matsuru (まつる)

yang berarti “melayani, mengurus, menghibur” (Kitagawa, 1987 dalam Shen,

2020) sering diterjemahkan sebagai “festival” atau “pemujaan ilahi”.

Matsuri muncul sebagai ritual keagamaan (Yanagawa, 1998 dalam Shen,

2020). Objek pemujaan dalam matsuri adalah Kami (神, dewa-dewa). Kami

diundang sebagai tamu terhormat dan dilayani serta dihibur dengan baik

sehingga akan melindungi kesejahteraan manusia sebagai penjaga dan

memperbarui kontrak (Matsudaira, 1977 dalam Shen, 2020). Selain harapan

agar melindungi kesejahteraan manusia dan sebagai penjaga, Kami diundang,

dilayani, dan dihormati dengan sangat baik dalam matsuri dengan harapan agar

Kami berkenan untuk mengabulkan keinginan manusia.

Pada Jepang modern, matsuri (yang memiliki arti “festival” dan “pesta”

dalam arti religius) menjadi bermakna festival umum dan kebanyakan desa dan

komunitas di Jepang memiliki sebuah matsuri dalam satu tahun (Ashkenazi

1993: 4).

Matsuri merupakan kombinasi antara ritual dan pesta baik formal maupun

infromal. Hampir setiap tradisi berawal dari ritual keagamaan tetapi dalam
perkembangannya, pengaruh Kami mulai berkurang dan struktur aslinya hancur.

Perubahan ini membuat sulit untuk membedakan batas antara matsuri dengan

acara publik. (Shen 2020).

Matsuri memanifestasikan beberapa fenomena sosial. Jika dilihat dari

namanya, maka dapat dinilai bahwa matsuri adalah sesuatu yang berhubungan

dengan ritual keagamaan Matsuri juga dapat diartikan festival dalam arti biasa.

Matsuri menjadi jawaban pertanyaan tentang apa yang merupakan hiburan

publik. Ketiga, matsuri yang lebih besar dan kompleks membutuhkan

organisasi dan manajemen yang cukup besar. Terakhir, mereka mengambil

tempat dalam masyarakat modern yang telah dan masih mengalami perubahan

radikal. (Ashkenazi, 1993: 7).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa matsuri merupakan

kombinasi antara ritual dan pesta yang berwujud festival. Awalnya, matsuri

memiliki konotasi religius dan objek pemujaannya berpusat pada dewa-dewa.

Pemujaan dewa-dewa ini dilakukan dengan harapan dewa-dewa tersebut

berkenan untuk menjadi penjaga, pelindung kesejahteraan, dan mau

mengabulkan keinginan manusia. Namun seiring perkembangannya matsuri

tidak lagi berpusat pada hal religius tetapi lebih kepada ritual umum yang dapat

dinikmati oleh semua orang secara terbuka.

2.1.2 Festival

Menurt KBBI, kata festival berarti hari atau pekan gembira dalam rangka

peringatan peristiwa penting dan bersejarah; pesta rakyat. Festival adalah salah
satu fenomena sosial yang menampilkan budaya otentik dari satu kebudayaan

yang dapat dinikmati oleh masyarakat secara terbuka. Selain itu, festival

tergolong kedalam special event. Pengertian special event sendiri merupakan

perayaan besar yang cukup kompleks dan dapat diselenggarakan secara

sederhana atau perorangan maupun dengan skala yang lebih besar dan dikelola

secara internasional (Noor, 2013).

Sedangkan menurut W.J.S.Poerwadarminta (dalam Jiunkpe: 1998) festival

dapat diartikan dalam dua pengertian, yaitu :

1. Hari atau pekan gembira dalam rangka peringatan peristiwa penting dan

bersejarah, pesta rakyat.

2. Perlombaan.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa festival

merupakan hari atau pekan gembira yang di dalamnya dapat dilihat adanya

fenomena sosial yang menampilkan budaya otentik dari suatu masyarakat yang

dapat dinikmati oleh masyarakat secara terbuka dan termasuk ke dalam special

event yang mana merupakan perayaan besar yang cukup kompleks dan dapat

diselenggarakan secara sederhana atau perorangan maupun dengan skala yang

lebih besar dan dikelola secara internasional.

2.1.3 Tanabata

Tanabata memiliki kanji 七夕 dapat dibaca shiciseki yang berarti malam

ke-7. Di zaman dulu, Tanabata juga dapat ditulis dengan kanji 棚機 dan tetap

dibaca tanabata. Tanabata menjadi salah satu nama dari festival yang ada di
Jepang. Festival Tanabata ini juga disebut Hoshi Matsuri (星祭) atau Festival

Bintang.

Tanabata merupakan festival musim panas Jepang berdasarkan kisah lama

dan dirayakan pada 7 Juli (atau 7 Agustus di beberapa tempat). Tanabata

diperkirakan merupakan sinkretisme antara tradisi Jepang kuno dengan

perayaan Qixi asal Cina.

2.2 Pembahasan

Tanabata Matsuri (七夕) atau Hoshi Matsuri (星祭) merupakan festival

yang diperkirakan dimulai di Cina dan ditransmisikan ke Jepang selama periode

Edo. Festival ini dikombinasikan dengan adat tradisional masyarakat setempat

untuk menjadi acara resmi di istana kekaisaran dan saat itu, festival ini populer

di kalangan pejabat Jepang. Sedangkan rakyat jelata mulai mengamati festival

ini, dan dengan ciri khas daerah yang berbeda, mereka mengembangkan cara

khas mereka sendiri untuk merayakan festival ini.

Di Cina, festival ini bernama Festival Qixi. Festival ini adalah festival

romantis, yang menjadi perayaan atas legenda kisah cinta Penggembala Sapi

dan Gadis Penenun. Di Cina modern festival ini disebut 'Hari Kasih Sayang

Cina'. Tanabata juga dikenal sebagai hari putri, Festival Qiqiao, Festival

Bintang Ganda, dan sebagainya.

Perayaan yang berasal dari Dinasti Zhou Cina (abad ke-11 SM), adalah

budaya keagamaan yang kompleks yang mencerminkan peradaban pertanian


dan tenun primitif, pemujaan bintang, dan budaya daerah (Meng, 2008 dalam

Shen, 2020). Semula adalah berdoa untuk kekayaan dan keturunan dan

bersyukur kepada leluhur, mencerminkan perkembangan ibadah dalam

masyarakat agraris (Zhang, 1994 dalam Shen, 2020).

Kemudian, setelah menggabungkan legenda cinta Penggembala Sapi dan

Gadis Penenun, ritual festival ini sebagian besar berubah menjadi Qiqiao Dian

(乞巧奠, ritual berdoa untuk ketangkasan menjahit) dan menjadi populer di

seluruh negeri selama Dinasti Tang (618-907 M. ) (Liu dan Li, 2007 dalam Shen,

2020). Pada malam festival, para wanita muda Tionghoa akan menyiapkan meja

untuk persembahan, termasuk anggur dan buah-buahan, dan mencoba

memasukkan benang lima warna melalui tujuh jarum. Sementara itu, mereka

akan menatap bintang Vega dan berdoa untuk tangan yang terampil sebagai

indikasi pernikahan yang baik dan kehidupan yang bahagia (Ōmi, 2004; Wang,

2006 dalam Shen, 2020).

Adapun legenda cinta Tiongkok tersebut digambarkan dalam sebuah puisi

kuno berbahasa Mandarin.

迢迢牵⽜星, 皎皎河汉⼥

纤纤擢素⼿, 札札弄机杼

终⽇不成 章, 泣涕零如⾬

河汉清且浅, 相去复⼏ 许?
盈盈⼀⽔间, 脉脉不得语

Yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi :

Far, remote the “Cowherd”star,

Shining white the “Weaver Girl.”

Slender, her white hand goes out,

Whirring and whirring she works the loom,

All day without finishing,

Sobbing and weeping like rain.

The Silver River is clear and shallow.

How far apart are they from each other?

Clear, transparent across the water,

Loving, loving, unable to speak.

(Sembilan Belas Puisi Lama , anonimus, diterjemahkan oleh Sullivan (2019))

Puisi di atas merupakan puisi dalam sembilan belas puisi kuno yang juga

diketahui sebagai Gushi Shijiushou (古诗⼗九⾸ ), sebuah antologi 19 puisi

Tiongkok selama dinasti Han 202 SM-220 M yang dikumpulkan dalam

antologi Wen Xuan (文選).

Puisi kuno tersebut menceritakan tentang legenda cinta yang tragis antara

Penggembala dan Gadis Penenun yang saling mencintai tetapi dipisahkan oleh
galaksi Bima Sakti. Menurut legenda tersebut, Gadis Penenun merupakan anak

dari Dewi Surga dan Kaisar Alam Semesta. Sebagai seorang peri, dia pandai

menenun awan warna-warni untuk langit setiap hari. Suatu hari, Gadis Penenun

ini memutuskan untuk melarikan diri ke bumi dan menikahi seorang

penggembala secara diam-diam. Gadis Penenun dan Penggembala tersebut

hidup bahagia bersama, namun ketika Dewi Surga menemukan mereka, Dewi

Surga marah. Dia menciptakan sungai (Galaksi Bima Sakti) untuk dapat

memisahkan mereka sebagai hukuman. Mereka hanya diizinkan untuk bertemu

satu kali dalam setahun pada hari ke-7 bulan ke-7 tahun lunar. Namun hal ini

tidak membuat cinta mereka goyah, mereka tetap menunggu hari dimana

mereka dapat bertemu. Melihat cinta antara Gadis Penenun dan Penggembala

yang tidak goyah tersebut, semua burung gagak yang terbang ke surga merasa

iba dan mereka membentuk Jembatan Murai di atas sungai tersebut sehingga

pasangan tersebut bisa bertemu.

Melalui pertukaran budaya antara Cina dan Jepang yang dibawa oleh

sejumlah besar sastrawan dan pengrajin melalui semenanjung Korea sejak abad

ke-5, legenda cinta ini diperkenalkan ke Jepang selama periode Hakuhou (645-

710 M) (Bi, 2007 dan 2013b ; mi, 2004 dalam Shen, 2020).

Plot dan narasi mengalami banyak perubahan karena lingkungan geografis,

budaya, dan adat istiadat (Peng, 2017 dalam Shen, 2020). Tanabata Matsuri di

Jepang merupakan perpaduan antara Festival Qixi Tiongkok dan kepercayaan

Jepang kuno (Kawada, 2016 dalam Shen, 2020).


Orikuchi (1965) menunjukkan kepercayaan tradisional Tanabatahime

Jepang dalam mitos cerita rakyat (Bi, 2013a). Di Jepang kuno, seorang perawan

yang dipilih secara khusus akan mendirikan gudang di pantai dan menenun kain

sambil menunggu kedatangan dewa. Ritual adat ini adalah doa untuk panen

musim gugur. Tana adalah rak yang digantung di sungai sedangkan Tanabata

mengacu pada gadis penenun. Dalam Kojiki (古事記), gadis penenun di sebelah

rak (Tanabatahime) berarti wanita yang menenun di tepi air (Tanabatatsume )

(Nozaki, 2014; Matsuzaki, 2016 dalam Shen, 2020).

Tanabata Jepang tampak mirip dengan Gadis Penenun dalam legenda Cina.

Oleh karena itu, Gadis Penenun dari bumi dalam legenda Jepang dan dari langit

dalam legenda Cina digabungkan menjadi satu.

Dalam Manyoushuu (万葉集, koleksi Waka Jepang tertua) dari periode

Nara berisi lebih dari 130 puisi tentang Tanabata. Dan akhirnya, karakter Cina

qixi (七⼣) diucapkan sebagai tanabata (棚機) (Matsuzaki, 2016 dalam Shen,

2020) dan festival tersebut menjadi tradisi lokal Jepang.

Legenda mengenai sejarah Tanabata Matsuri yang tumbuh di masyarakat

Jepang mengisahkan tentang seorang Penggembala dan Gadis Penenun. Pada

suatu masa hidupkah seorang Dewa Bintang dengan putrinya yang cantik

bernama Orihime (織姫) atau yang dikenal dengan bintang Vega. Setiap hari

Orihime selalu menenun pakaian untuk Sang Dewa. Hal ini membuat Dewa

cemas karena putrinya selalu bekerja keres menenun pakaian tanpa henti.
Akhirnya Sang Dewa mencarikan teman untuk putrinya. Dia memperkenalkan

seorang pria penggembala bernama Hikoboshi (彦星) atau yang dikenal sebagai

bintang Altair. Hikoboshi adalah seorang pemuda yang rajin. Setelah

berkenalan dan berteman, akhirnya Orihime dan Hikoboshi jatuh cinta.

Keduanya selalu bertemu setiap hari hingga mereka melupakan pekerjaan

mereka masing-masing. Orihime tidak lagi menenun sehingga Sang Dewa tidak

lagi memiliki pakaian untuk dipakai. Sedangkan Hikoboshi tidak lagi

menggembalakan sapi-sapinya hingga sapi-sapinya sakit. Hal ini membuat

Dewa marah besar dan memutuskan untuk memisahkan mereka dengan Sungai

Amanogawa (天の川) (Galaksi Bima Sakti). Mereka dilarang bertemu. Hal ini

membuat Orihime bersedih dan menangis setiap hari. Sang Dewa yang tidak

tega melihat putrinya bersedih akhirnya memperbolehkan mereka bertemu

sekali dalam satu tahun di malam ke-7 bulan ke-7 yang dipercaya sebagai hari

keberuntungan. Namun apabila hujan turun dan Sungai Amanogawa meluap

pada hari itu, Orihime dan Hikoboshi tidak bisa bertemu. Maka supaya hujan

tidak turun pada malam itu, mereka bedoa pada malam sebelumnya dengan

menuliskan doa mereka di secarik kertas warna-warni dan menggantungkannya

pada batang bambu.

Berdasarkan legenda tersebut, akhirnya orang Jepang memiliki tradisi untuk

merayakan Tanabata Matsuri pada hari ke-7 bulan ke-7 untuk mendoakan agar

hari itu tidak turun hujan supaya Orihime dan Hikoboshi bisa bertemu.
Pada awalnya, Tanabata Matsuri ini merupakan acara tahunan yang

diadakan di istana kerajaan dan matsuri untuk menghibur Kami. Pada perayaan

itu diadakan Sumo pada siang hari. Pada malam harinya, diadakan penulisan

puisi dan perjamuan. Saat itu, Tanabata Matsuri juga diadakan dalam waktu

yang lama sebagai upacara dalam pengadilan aristokrat. Pada pelaksanaan

perayaan ini, sebagian besar berkaitan dengan nomor tujuh, seperti tujuh

permainan, tujuh persembahan, dan tujuh warna (Omi, 2004 dalam Shen, 2020).

Sampai dengan periode Edo tahun 1603-1868 SM, Tanabata Matsuri

dicatat sebagai salah satu dari lima festival musim (Gosekku) dan dirayakan di

seluruh Jepang oleh semua kalangan.

Pada umumnya, perayaan Tanabata Matsuri ini dimulai tanggal 6 Juli pada

sore hari. Rakyat biasa akan menata persembahan di halaman rumah mereka,

menulis permohonan dalam tanzaku (短冊, kertas warna warni) , menghiasnya

pada sasatake ( 笹 ⽵ , bambu kecil Jepang), dan kemudian berdoa kepada

bintang. Adapun kerajinan kertas buatan tangan yang digantungkan pada

sasatake tersebut terbuat dari washi (和紙, kertas Jepang). Di dalam kerajinan

kertas tersebut terdapat tujuh kartu kertas yang masing-masing melambangkan

harapan baik dan berkah.

Keesokan harinya, masyarakat akan menghanyutkan cabang bambu yang

telah dihias dan persembahan di sungai. Tanabata yang awalnya merupakan

awal dari Obon Matsuri, kebiasaan tersebut juga dianggap sebagai bagian dari

persiapan Obon Matsuri.


Pada periode Edo, Tanabata Matsuri menjadi acara dikalangan anak-anak

terakoya (寺⼦屋, sekolah kuil) (Kamus Shogakukan Jepang dalam Shen,

2020). Perlu diingat bahwa kebiasaan dan dekorasi yang ada dalam Tanabata

Matsuri selalu mengalami perubahan.

Pada tahun 1873, Jepang mengadopsi kalender baru dan menghapuskan

Gosekku. Tanabata Matsuri pun tidak lagi menjadi acara tahunan. Karena hal

ini, semarak perayaan ini tidak lagi ada dan perlahan-lahan mulai memudar dari

kehidupan masyarakat Jepang saat itu. Selain itu, popularitas Tanabata Matsuri

ini juga sempat memudar pada masa restorasi Meiji dan hampir hilang pada

masa depresi ekonomi akibat Perang Dunia I. Setelah melalui perjalanan yang

panjang, Tanabata Matsuri ini mulai kembali dihidupkan setelah Perang Dunia

II. Hal ini bertujuan untuk menggairahkan kehidupan perekonomian Jepang

terutama di wilayah Jepang bagian utara.

Sendai sebagai ibukota dari Prefektur Miyagi memiliki peran penting dalam

perkembangan Tanabata Matsuri di Jepang. Sendai Tanabata Matsuri memiliki

sejarah lebih dari 400 tahun. Berawal ketika pemimpin Sendai, Date Masamune (伊

達政宗, 1567-1636 M), mendorong kerajianan dan keterampilan menenun wanita

dengan penuh semangat dan memromosikan Tanabata Matsuri di Sendai. Delapan

puisi Jepang yang dibuatnya menggambarkan seperti apa rasanya matsuri ini di

masa lalu. Date Masamune menggunakan Tanabata Matsuri untuk memajukan

pendidikan bagi kaum wanita, dan hiasan daun bambu mulai terlihat di rumah

tinggal kalangan samurai dan penduduk kota.


Pada petang saat perayaan matsuri ini, masyarakat meletakkan bambu yang

telah dihias di halaman rumah mereka bersama dengan sayur dan buah-buahan

musiman sebagai persembahan dan doa kepada bintang. Keesokan paginya, setelah

menghanyutkan semua cabang bambu yang dihias di Sungai Hirose, orang-orang

akan membawa kembali batang bambu dan kemudian pergi untuk menyapu

kuburan keluarga. Beberapa ahli cerita rakyat percaya bahwa Tanabata Matsuri

pada periode Edo adalah acara hiburan besar, yang mungkin lebih spektakuler

daripada hari ini (Ishikawa, Kato, et al., editor, 1994 dalam Shen, 2020). Di Sendai,

Tanabata Matsuri lebih dari sekadar dekorasi. Matsuri ini adalah ritual suci untuk

menyambut Dewa Panen. Ini menunjukkan kepercayaan rakyat pada Dewa Air,

Bumi, Bintang serta roh leluhur (Kamus Cerita Rakyat Jepang).

Selama periode Meiji (1868-1912 M), Tanabata Matsuri diturunkan

sebagai acara sekolah. Dari akhir periode Meiji hingga periode Taisho (1912-1926

M), Tanabata memiliki tiga bentuk berbeda di Sendai karena orang membutuhkan

waktu untuk beradaptasi dengan kalender baru yang diputuskan untuk diadopsi oleh

Prefektur Miyagi pada tahun 1910, yang menunda tanggal festival menjadi 6-7

Agustus.

Setelah Perang Dunia I dan gempa besar Kanto tahun 1923, depresi

ekonomi berat terjadi di seluruh wilayah Jepang. Saat itu, masyarakat tidak

berminat untuk melakukan perayaan apapun. Perayaan Tanabata Matsuri menjadi

tidaklah penting. Dekorasi sporadis untuk pertemuan Penggembala Sapi dan Gadis

Penenun tampak sangat sepi.


Untuk merevitalisasi ekonomi saat itu, para pedagang di Sendai

mengadakan acara penjualan bersama pada tahun 1926. Di antara mereka, Omachi

Gochome Kyodokai memasang dekorasi bambu Tanabata yang indah di jalan-jalan

perbelanjaan dan mengadakan kompetisi untuk itu.

Di zaman Meiji dan zaman Taisho, perayaan dilangsungkan secara kecil-

kecilan hingga akhirnya penyelenggaraan diambil alih oleh pusat perbelanjaan di

tahun 1927. Pusat perbelanjaan memasang hiasan Tanabata secara besar-besaran,

orang kemudian berbondong-bondong untuk melihat apa yang sudah lama tidak

mereka lihat. Setelah melaliui beberapa proses, akhirnya Sendai Tanabata Matsuri

benar-benar dihidupkan kembali dan menjadi terkenal di seluruh negeri. Ini

menandai awal dari festival perkotaan dan berfungsi sebagai prototipe Sendai

Tanabata Matsuri saat ini (Ōmi, 2004; Anami, 2009).

Meskipun telah kembali dihidupkan, Perang Dunia II kembali membuat

matsuri ini kehilangan posisi dalam masyarakat Jepang saat itu. Pada tahun 1946,

kota Sendai hancur setelah serangan udara terus menerus. 52 dekorasi bambu di

Jalan Ichibancho yang sunyi (Ichibanchō Tōri) memicu nostalgia Tanabata Matsuri

di masa lalu yang indah. Itu adalah langkah pertama dari kebangkitan festival

setelah Perang Dunia II.

Pada tahun 1947, Kaisar Showa melakukan tur kekaisaran untuk mendorong

dan mengonsolidasi bangsa. Kaisar mengunjungi Sendai pada tanggal 5 Agustus

1947. Meskipun ada dalam kesulitan ekonomi, Sendai mempersiapkan 5000 hiasan

bambu untuk menyambut kaisar. Setiap toko membuat dekorasi dan


menggantungkannya di depan pintu selama tiga hari sebagai pertanda bahwa secara

resmi kehidupan festival sebagai acara pariwisata.

Tahun tahun selanjutnya, Sendai ditunjuk menjadi kota yang didesain untuk

aktivitas pariwisata di Jepang dan telah dinilau oleh dewan pariwisata. Kemudian,

Asosiasi Sendai Tanabata resmi didirikan sebagai penyelenggara matsuri dan

kemudian mereka mengubah tanggal matsuri menjadi 5-7 Agustus. Dengan ini

popularitas Tanabata Matsuri di Sendai mengalami peningkatan pesat. Angka

pariwisata pun ikut meningkat sejalan dengan meningkatnya popularitas Sendai

Tanabata Matsuri.

Meskipun menunjukkan kabar baik atas peningkatan popularitas dan angka

pariwisata, ledakan Sendai Tanabata Matsuri akibat pemberitaan NHK mengenai

matsuri ini pada tahun 1956 membuat pemerintah Sendai khawatir akan status

mereka. Kemungkinan mereka akan kehilangan keuntungan finansial karena

matsuri ini tidak lagi menjadi sesuatu yang spesial jika di seluruh penjuru

mengadakannya. Untuk menyiasati hal ini, penyelenggara festival menetapkan

beberapa persyaratan untuk dekorasi yang digunakan dalam matsuri ini. Di

antaranya dekorasi harus menggunakan washi dan mousouchiku, dekorasi harus

buatan tangan, dekorasi harus memasukkan tujuh jenis kerajinan kertas dari zaman

Edo dan lima sebagai satu set dekorasi standar, dan dekorasi tersebut harus

tradisional dan juga inovatif. Mereka juga meluncurkan gerakan “ikko ippon” (⼀

户⼀本, satu keluarga satu (bambu)) dengan membagikan tiang bambu kepada

siswa sekolah dasar di kota dan menyerukan setiap rumah tangga untuk menghias
dan menampilkan suasana meriah di mana-mana di kota. (Laporan penelitian, No.

28 dalam Shen, 2020).

Setelah itu, Tanabata Matsuri terus menjadi tradisi masyarakat Jepang

hingga saat ini. Saat ini, terdapat sekitar 70 perayaan Tanabata Matsuri di Jepang.

Dikenal tiga Tanabata Matsuri besar di Jepang, yakni Sendai Tanabata Matsuri di

Prefektur Miyagi, Shounan Hairatsuka Tanabata Matsuri di Prefektur Kagawa, dan

Anjou Tanabata Matsuri di Prefektur Aichi. Sendai Tanabata Matsuri menjadi

yang terbesar dan paling terkenal di antaranya.

Di zaman dulu, Jepang merayakan Tanabata Matsuri pada hari ke-7 bulan

ke-7 menurut kalender lunar. Sedangkan saat ini, Tanabata Matsuri dirayakan pada

7 Juli menurut kalender Gregorian, yang sebagian upacaranya dilakukan tanggal 6

Juli pada malam hari. Upacara dilakukan ketika tengah malam dimana bintang-

bintang naik mendekati zenith dan dipercaya saat itulah bintang Altair dan bintang

Vega bertemu. Di saat itu pula, bintang Altair, bintang Vega, dan Galaksi Bima

Sakti paling mudah dilihat dari bumi. Tetapi, di beberapa wilayah seperti Hokkaido

dan Sendai, Tanabata Matsuri dirayakan pada tanggal 7 Agustus, karena tanggal 7

Agustus lebih dekat dengan hari ke-7 bulan ke-7 dalam kalender lunar tradisional

dan kemungkinan hari cerah pada hari ke-7 bulan ke-7 kalender lunar lebih besar

daripada 7 Juli yang masih merupakan musim panas. Hujan yang turun di malam

Tanabata disebut Sairuiu (洒涙雨 ?). Masyarakat pada wilayah-wilayah tersebut

sering melakukan upacara Obon, suatu periode pada pertengahan Agustus ketika

kerabat yang telah meninggal dipercaya akan kembali, bersamaan dengan upacara

tanabata.
Di beberapa wilayah, perayaan Tanabata Matsuri seperti di Sendai

(Prefektur Miyagi) dan Hiratsuka (Prefektur Kanagawa) dikenal dengan tampilan

tanabata yang rumit. Pusat perbelanjaan di kedua kota ini menampilkan dekorasi

besar yang disponsori oleh toko-toko lokal, yang mencoba untuk saling

mengalahkan dalam ukuran pajangan untuk festival ini.

Baik itu anak-anak ataupun orang dewasa, mereka menulis keinginan

mereka pada potongan kertas berwarna yang sempit dan menggantungnya, bersama

dengan hiasan kertas lainnya, pada cabang bambu yang ditempatkan di halaman

belakang atau pintu masuk rumah mereka. Mereka kemudian berdoa dengan

sungguh-sungguh agar keinginan mereka terkabul. Penggantungan hiasan berupa

secarik kertas di batang pohon bambu saat Tanabata Matsuri ini diibaratkan oleh

jepang sebagai 'Pohon Natal Di Musim Panas (Summer Christmas Tree). Penulisan

dan penggantungan secarik kertas harapan ini berakhir ketika Obon Matsuri

(Festival Arwah) dimulai. Pohon bambu yang sudah digantungi banyak kertas

harapan, akan dihanyutkan ke sungai sebagai pertanda agar kemalangan atau nasib

buruk ikut hanyut terbawa oleh air dan doa segera terkabul. Namun kebiasaan ini

sekarang makin ditinggalkan orang karena hiasan banyak yang terbuat dari plastik

dan akan mengotori air.

Lebih lanjut, dalam matsuri ini terdapat beberapa dekorasi yang dibutuhkan,

antara lain :

1. 短 册 (tanzaku) : kertas untuk menulis permohonan

2. 纸 衣 (kamigoromo) baju kertas, yang dipercayai dapat membuat kita

pandai menjahit
3. 折り鶴 (orizuru) : origami berbentuk bangau, simbol untuk umur panjang

4. 巾 着 (kinchaku) : bisnis yang baik

5. 投 网 (toami) : jala, agar dimudahkan dalam mencari ikan

6. くずかご(kuzukago) : keranjang sampah, simbol kebersihan

7. 吹き流し(fukinagashi) : pita yang menjulur-julur, biasanya berwarna-

warni, menandai kebahagiaan


Di beberapa sekolah dasar, murid-murid menempelkan harapan mereka

pada sebatang bambu besar, dan yang lainnya membuat sandiwara tentang legenda

Penggembala Sapi dan Gadis Penenun.

Selain berkaitan dengan dekorasi yang ramai dan berwarna-warni, terdapat

pula lagu rakyat mengenai Tanabata Matsuri ini. Lagu tersebut menceritakan

tentang hiasan Tanabata Matsuri yang dipasang di depan rumah-rumah Jepang,

biasanya pohon bambu yang ramping diletakkkan di pagar rumah atau depan

halaman, hiasan-hiasan dan kertas warna-warninya begitu menarik perhatian.

笹の葉 さらさら軒端に ゆれる

お星さま きらきら

金銀 すなご

ごしきの たんざく私が書いた

お星さま きらきら

空から見てる

Yang artinya :
Daun-daun bambu bergoyang menimbulkan desiran pada atap rumah

Bintang agung berkelap-kelip

Bertaburan bagai emas dan perak

Pada kertas permohonan yang berwarna warni aku menulis

Bintang agung yang berkelap-kelip

Menatapku dari langit

(dalam H., Dudi Suwandi, dkk., 2014)

Saat perayaan Tanabata Matsuri sudah dekat, ranting-ranting bambu yang

dihias dapat terlihat di sekitar lingkungan, dan hal ini menandakan bahwa musim

panas akhirnya tiba dan liburan musim panas sudah dekat.


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Festival Qixi dari Cina ditransmisikan ke Jepang selama periode Edo

melalui Semenanjung Korea. Sinkretisme antara legenda cinta Cina dengan

kepercayaan masyarakat Jepang kuno manghasilkan Tanabata Matsuri (七⼣) atau

Hoshi Matsuri (星祭) yang kini dirayakan pada tanggal 7 Juli ataupun hari ke-7

bulan ke-7 kalender lunar oleh masyarakat Jepang.

Setelah mengalami perjalanan yang panjang bahkan sempat memudar

karena perang dunia, matsuri ini berhasil kembali dihidupkan dan bertahan hingga

saat ini.

Pada petang saat perayaan matsuri ini, masyarakat meletakkan bambu yang

telah dihias dengan kertas washi warna-warni yang didalamnya dituliskan harapan-

harapan di halaman rumah mereka bersama dengan sayur dan buah-buahan

musiman sebagai persembahan dan doa kepada bintang. Keesokan paginya, cabang

bambu yang telah dihias tersebut dihanyutkan ke sungai dengan harapan agar nasib

buruk ikut hanyut terbawa oleh air dan doa mereka segera terkabul. Namun

kebiasaan ini sekarang makin ditinggalkan orang karena hiasan banyak yang terbuat

dari plastik dan akan mengotori air.


DAFTAR PUSTAKA

Shen, Yujie. 2020. Traditional Festival as a Tourism Event: Stakeholders’ Influence

on the Dynamics of the Sendai Tanabata Festival in Japan. Department of

Culture Studies and Oriental Languages (IKOS) University of Oslo.

Li, Xioajiao. 2018. Comparison of the Similarities and Differences between

Chinese and Japanese Traditional Festivals and Study of Teaching Guidance

Significance. School of Foreign Studies, Xi`an University.

H., Dudi Suwandi, dkk. 2014. Tanabata. Universitas Padjadjaran. Makalah.

Renshaw, Steven L. 2011. Celebration of seasonally based holidays and festivals in

Japan: a study in cultural adaptation”. Kanda University of International

Studies, Japan.

Ashkenazi, Michael. 1993. Matsuri: Festivals of a Japanese Town. Honolulu.

University of Hawaii Press.

KBBI daring. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/festival. Diakses pada tanggal 4

Oktober 2021.

Folk Legends Tanabata. Kids Web Japan. https://web-

japan.org/kidsweb/folk/tanabata/index.html. Diakses pada tanggal 4 Oktober

2021.

Tanabata Festival (July). The Japan Society.

https://www.japansociety.org.uk/resource?resource=37 . Diakses pada

tanggal 4 Oktober 2021.

Anda mungkin juga menyukai