Rock Slope Stability

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 58

Teknik Geologi

Sekolah Tinggi Teknologi Nasional


Yogyakarta

Rock Slope Stability

Paramitha T. Trisnaning
Faktor keamanan atau
Fs (Factor of safety)
nilai yang mengekspresikan tingkat kestabilan lereng,
ditunjukkan dengan rasio kuat geser atau gaya penahan
terhadap kuat tekan atau gaya penggerak
yang bekerja pada suatu lereng.
𝐠𝐚𝐲𝐚 𝐩𝐞𝐧𝐚𝐡𝐚𝐧
Fs =
𝐠𝐚𝐲𝐚 𝐩𝐞𝐧𝐠𝐠𝐞𝐫𝐚𝐤

Crozier & Glade; 2004

Kestabilan lereng dipengaruhi oleh :


1) kuat geser, berperan sebagai gaya penahan yang
bekerja pada lereng itu sendiri;
2) kuat tekan, berperan sebagai gaya penggerak.

Karnawati, 2005
Gaya-gaya pengontrol kestabilan lereng
(Karnawati, D.; 2005)

𝐠𝐚𝐲𝐚 𝐩𝐞𝐧𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐑 (𝐰 𝐜𝐨𝐬 ) 𝐭𝐚𝐧 +𝐜


Fs = = =
𝐠𝐚𝐲𝐚 𝐩𝐞𝐧𝐠𝐠𝐞𝐫𝐚𝐤 𝐓 𝐰 𝐬𝐢𝐧 
Gaya-gaya yang berperan pada kestabilan lereng
dengan bidang gelincir setengah lingkaran (a)
dan bidang gelincir planar (b)

Hunt, R.E., 2007


Tahapan terjadinya pergerakan lereng beserta
komponen pengontrol dan pemicu

Modifikasi dari Karnawati, D., 2005


Tahapan terjadinya pergerakan lereng

1. Tahap stabil  kondisi lereng stabil atau batas kestabilan


relatif tinggi terhadap proses alam yang dapat mengurangi
kestabilan lereng  gaya penahan lebih besar daripada
gaya penggerak  Fs > 1.
2. Tahap rentan  kondisi lereng siap bergerak tanpa adanya
faktor pemicu dari luar lereng  gaya penahan seimbang
dengan gaya penggerak  Fs = 1.
3. Tahap kritis  lereng yang dapat mengalami pergerakan
setiap saat apabila faktor pemicu lebih besar dari
ketahanan lereng  gaya penahan lebih kecil dari gaya
penggerak  Fs < 1.
4. Tahap benar-benar bergerak  tahap terakhir, kondisi
lereng memiliki nilai kestabilan mendekati 0.

Crozier & Glade; 2004


Gaya penahan
 menahan material penyusun lereng untuk tetap
berada di tempatnya.
Dipengaruhi oleh : kuat geser material penyusun lereng
yang bekerja di sepanjang bidang gelincir.

Kuat geser material penyusun lereng dikontrol oleh :


1) nilai kohesi (c), dipengaruhi oleh kekuatan sementasi
antar partikel ataupun kekuatan ikatan antar molekul
penyusun partikel material penyusun lereng.
2) sudut gesekan dalam ()  nilai kekuatan gesekan
antar partikel material penyusun lereng.

Karnawati, 2005
Gaya
penahan

Kondisi alam dan lingkungan pada


masing-masing daerah, yaitu :
1) kondisi geomorfologi,
Faktor
2) kondisi batuan penyusun lereng,
pengontrol 3) kondisi struktur geologi,
4) kondisi hidrologi lereng, dan
5) kondisi tataguna lahan.

Karnawati, 2005
Kondisi geomorfologi

Kemiringan lereng memberikan peran yang cukup besar


terkait kestabilan lereng. Seiring dengan pertambahan
besar kemiringan lereng, semakin besar kemungkinan
lereng mengalami pergerakan/failure  semakin besar
gaya penggeraknya pada kondisi lereng curam.

Kemiringan lereng sebagai pengontrol mekanisme


pergerakan pada lereng. (Karnawati, 2005)

Derajat Kemiringan
No. Mekanisme pergerakan
Lereng
1. Lebih dari 40O Jatuhan & robohan
2. 20O – 40O Luncuran
3. 10O – 20O Aliran ataupun rayapan
Kondisi Batuan Penyusun Lereng

Suatu lereng, tersusun oleh massa batuan yang te-


lah mengalami proses pelapukan ataupun alterasi
akan mudah menyimpan air  kenaikan derajat keje-
nuhan dan peningkatan berat massa batuannya. Pada
saat bersamaan menyebabkan penurunan kuat geser
 mengakibatkan terjadinya pergerakan pada lereng.
Kondisi Struktur Geologi

• Struktur geologi  bidang diskontinuitas berupa :


bidang kekar, sesar maupun bidang perlapisan dan
foliasi.

• Lereng rentan mengalami pergerakan apabila tersusun


oleh massa batuan dengan kemiringan bidang diskon-
tinuitas relatif searah dengan kemiringan lereng atau-
pun menghadap ke arah luar lereng  memperkecil,
bahkan menghilangkan kekuatan batuan penyusun le-
reng  memperkecil gaya penahan yang bekerja pada
lereng dan akan memperbesar gaya penggeraknya 
terjadinya pergerakan pada lereng.

Priyono, 2008
Kondisi Hidrologi Lereng

• Kondisi hidrologi lereng dengan airtanah dangkal atau


akuifer menggantung dapat mempermudah terjadinya
pergerakan pada lereng  lereng akan mudah meng-
alami kenaikan tekanan air pori akibat infiltrasi air 
memudahkan terjadinya pergerakan lereng.

• Lereng yang tersusun oleh dua lapisan batuan dengan


koefisien permeabilitas berbeda, yaitu lapisan
permeabel dan lapisan impermeabel pada bagian
bawahnya akan mempermudah terjadinya pergerakan
pada lereng.

Kirby, 1978
Kondisi Tataguna Lahan

• Pemanfaatan dan pengolahan lahan memberikan


pengaruh terhadap kestabilan lereng.

• Budidaya tanaman dengan jenis dan cara tanam


yang tepat dapat berperan menjaga kestabilan
lereng, dan sebaliknya.
Gaya penggerak
 menyebabkan material penyusun lereng bergerak
menuruni lereng.
Dipengaruhi oleh : berat massa, tekanan hidrostatis air
pengisi pori-pori material penyusun lereng, beban dan
getaran pada lereng.

Karnawati, 2005
Gaya Faktor
penggerak pemicu

Faktor pemicu dapat mengganggu kestabilan


lereng  menyebabkan pergerakan pada
lereng, karena relatif meningkatkan gaya
penggerak terhadap gaya penahan.
Faktor pemicu, berupa faktor alamiah
maupun non alamiah, yaitu :
1) infiltrasi air permukaan ke dalam lereng,
2) getaran, dan
3) aktivitas manusia.

Karnawati, 2005
Infiltrasi Air

• Infiltrasi air dapat bersifat alamiah maupun non


alamiah. Infiltrasi air alamiah  proses masuknya
air hujan ataupun air sungai. Infiltrasi air non
alamiah  masuknya air kolam, air selokan,
maupun air irigasi.

• Masuknya air ke dalam lereng akan menaikkan


muka airtanah dan meningkatkan kadar jenuh
airnya  mem-perbesar tekanan air pori dan
merenggangkan ikatan antar butir partikel material
penyusun lereng  menyebabkan terganggunya
kestabilan lereng.
Getaran

• Getaran sebagai pemicu pergerakan lereng dapat bersifat


alamiah maupun non alamiah. Getaran non alamiah 
ditimbulkan oleh ledakan pada lereng maupun gerakan
lalu lintas. Getaran alamiah  ditimbulkan oleh gempa-
bumi tektonik maupun gempa vulkanik.

• Getaran yang dihasilkan selama gempabumi, terutama


oleh gempabumi tektonik telah memicu terjadinya perge-
rakan pada lereng di banyak kondisi topografi dan geologi
berbeda. Kelompok pergerakan lereng yang kerapkali
terjadi selama gempabumi : 1) luncuran & jatuhan, 2) lun-
curan terkoordinasi dan 3) pencaran & aliran lateral.

Keefer, 1984 b dalam Wilson & Keefer, 1985


Aktivitas Manusia

• Aktivitas manusia kerapkali mengubah fungsi tata-


guna lahan dan morfologi yang menyebabkan ber-
kurang, bahkan hilangnya ketahanan lereng.

• Aktivitas manusia sebagai pemicu terjadinya per-


gerakan lereng, antara lain : 1) penebangan &
pembukaan hutan; 2) penanaman jenis pohon yang
terlalu berat dengan jarak tanam terlalu rapat; 3)
penambangan yang tidak berwa-wasan lingkungan
dan 4) pemotongan tebing atau lereng untuk infra-
struktur & pemukiman.
Grafik sudut
kemiringan lereng
terhadap faktor
kestabilan oleh
Taylor, 1948 dalam
Sayao, 2004
Analisis Kestabilan Lereng

Pada analisis ini, suatu lereng batuan ber-


potensi mengalami pergerakan dikontrol oleh
jenis dan tingkat kehadiran bidang diskontinui-
tas, dengan jenis pergerakan :
1) Circular Failure,
2) Planar Failure,
3) Wedge Failure, dan
3) Toppling Failure. .

(Hoek & Bray, 1981)


Circular Failure – Luncuran Rotasional

Circular failure  terjadi pada


lereng batuan yang telah
mengalami lapuk tinggi atau-
pun mengalami pengkekaran
secara acak, serta dijumpai ter-
jadi pada timbunan tanah.

Circular failure merupakan


salah satu jenis luncuran ro-
tasional yang dijumpai terjadi
terutama pada lereng batuan.

(Hoek & Bray, 1981)


• Luncuran rotasional  pergerakan menuruni lereng
suatu massa tanah, batuan, ataupun bahan rombakan
mengikuti bi-dang gelincir atau bidang dengan tegangan
geser paling kuat.

• Luncuran diawali dengan terbentuknya rekahan


memanjang pada bagian atas permukaan lereng dan
selanjutnya akan berkembang sebagai bidang gelincir.

• Area luncuran dari circular failure relatif luas dan dangkal


dengan bidang gelincirnya tidak selalu dikontrol oleh
bidang diskontinuitas dan mendekati bentuk setengah
lingkaran.
Analisis Kestabilan pada Circular Failure dengan
Metode Bishop, 1955 dalam Sayao, 2004

 (N2)
Fs =
 (N1)

N2 = W sin  dan N1 = [W cos  - u L] tan  + c L


Keterangan :
W : berat bidang irisan 
W = b  (i hi);
U : tekanan air pori pada
dasar bidang gelincir
 U = u/l;
b : lebar irisan;
i : unit berat tanah;
h : mean tinggi irisan;  : sudut dasar irisan;
u : tekanan pori (kN/m2); i : kemiringan lereng;
l : panjang bidang gelincir; c : nilai kohesi (kN/m2); dan
H : tinggi lereng;  : sudut gesekan dalam.
Planar Failure – Luncuran Translasional

Planar failure  pergerakan


luncuran pada lereng batuan
mengikuti bidang diskontinui-
tas tunggal.

Planar failure merupakan


bagian dari luncuran transla-
sional.

Luncuran translasional  je-


nis luncuran dengan bentuk
bidang gelincir planar atau se-
dikit bergelombang.
• Pergerakan pada planar failure dikontrol oleh :
1) jurus bidang diskontinuitas yang relatif paralel
dengan permukaan lereng dan
2) kemiringan bidang diskontinuitas relatif menghadap
ke luar lereng.

• Planar failure dijumpai mengikuti bidang gelincir berupa :


bidang sesar, bidang kekar, permukaan perlapisan,
ataupun kontak antara batuan impermeabel dengan
material lepas di atasnya.

Goodman & Bray, 1976 dalam Norrish & Wyllie, 1996


Keterangan :

f : arah kemiringan permukaan lereng;
p : arah dip bidang diskontinuitas;

f : kemiringan lereng;
p : dip bidang diskontinuitas; dan
p : sudut gesekan dalam bidang
diskontinuitas.

Planar failure dapat terjadi apabila:


1. p = f ± 20°; dan
2. p < f
3. f > p

Goodman & Bray, 1976 dalam Norrish & Wyllie, 1996


modifikasi Hoek & Bray, 1981 oleh Norrish & Wyllie, 1996
Keterangan :
H : ketinggian permukaan lereng; c : nilai kohesif permukaan bi-
f : sudut kemiringan (dip) per- dang gelincir;
mukaan lereng;  : sudut gesekan dalam permu-
 s : sudut kemiringan (dip) lereng kaan bidang gelincir;
bagian atas; r : densitas batuan;
 p : sudut kemiringan (dip) bidang w : densitas air;
gelincir; Zw : tinggi air pada tension crack;
b : jarak tension crack dari puncak Z : kedalaman tension crack;
lereng; U : uplift water force;
a : percepatan horisontal, gang- V : driving water force;
guan oleh adanya ledakan W : berat blok yang bergerak; dan
ataupun gempabumi;
A : area bidang gelincir.
T : tegangan pada bolts/cables;
θ : sudut kemiringan bolts/cables
terhadap bidang gelincir;

modifikasi Hoek & Bray, 1981 oleh Norrish & Wyllie, 1996
Tension crack terletak pada permukaan lereng.
• kedalaman tension crack :
Z = (H cot Yf – b) (tan Yf – tan Yp);
• berat blok batuan :
W = (1/2) r H2 [(1 – Z/H)2 cot Yp (cot Yp tan Yf – 1)];
• area bidang gelincir :
A = (H cot Yf – b) sec Yp.

Hoek & Bray, 1981


Tension crack terletak pada bagian atas lereng.
• kedalaman tension crack :
Z = H + b tan Ys – (b + H cot Yf ) tan Yp;
• berat blok batuan :
W = (1/2) r (H2 cot Yf X + b HX + b Z);
X = (1 – tan Yp cot Yf ); dan
• area bidang gelincir :
A = (H cot Yf + b) sec Yp.

Hoek & Bray, 1981


Nilai faktor keamanan (Fs) untuk kedua kondisi tersebut di
atas dapat diperoleh dengan persamaan :
Fs
(𝑐 𝐴 + W cos p − 𝑎 sin p − 𝑈 − 𝑉 sin p + 𝑇 cos θ tan )
=
[W sin p + 𝑎 cos p + 𝑉 cos p − T cos θ]

dengan U = (1/2) w Zw A dan V = (1/2) w Zw 2.

Hoek & Bray, 1981


Wedge Failure – Pergerakan Lereng Membaji

Wedge failure  pergera-


kan luncuran pada lereng
batuan oleh adanya dua
bidang diskontinuitas yang
saling memotong memben-
tuk sudut oblique, sehingga
terbentuk blok wedge yang
bergerak sepanjang perpo-
tongan dua bidang diskon-
tinuitas.
Tahap
pembentukan
wedge failure

(Moore, 1986 dalam


Norrish & Wyllie, 1996)
Proses pembentukan & pergerakan wedge failure

a) Tersingkapnya suatu tubuh batuan oleh kegiatan penggali-


an atau proses konstruksi. Hal ini, akan semakin memper-
jelas garis perpotongan yang membentuk sumbu
pergeseran.

b) Perpotongan bidang kekar dengan bidang perlapisan mau-


pun foliasi pada batuan akan membentuk garis perpotong-
an menyerupai huruf V dan membentuk blok wedge.

c) Perpotongan tersebut menyebabkan kondisi lereng tidak


stabil dan oleh adanya getaran ataupun pembebanan, akan
memicu pergerakan blok wedge sepanjang bidang perpo-
tongan atau sepanjang bidang tercuram mengikuti arah
kemiringan maksimum.

Moore, 1986 dalam Norrish & Wyllie, 1996


Pembentukan wedge failure, terutama dipengaruhi oleh :
• jenis batuan dan
• struktur yang berkembang pada batuan.

Batuan beku dengan kekar ortogonal, batuan sedimen


berlapis, maupun batuan metamorf berfoliasi akan lebih
mudah membentuk wedge failure daripada jenis batuan
masif lainnya.

Pergerakan blok wedge  berlangsung secara cepat


dalam hitungan detik hingga menit maupun berlangsung
secara perlahan dalam hitungan bulan.

Piteau, 1972 dalam Norrish & Wyllie, 1996


Keterangan :

f :
arah kemiringan perm. lereng;
a :
arah dip bidang a;
b :
arah dip bidang b;
f :
kemiringan lereng;
a :
dip bidang diskontinuitas;
b :
dip bidang diskontinuitas;
 :
sudut gesekan pada dasar
lempeng/kolom batuan;
i : plunge dari perpotongan kedua
bidang; dan
i : azimuth dari perpotongan kedua
Pengujian Markland : bidang.
a/b diantara i & f, maka sliding Wedge failure dapat terjadi apabila:
akan terbentuk pada kondisi tercu-
1. i = f relatif paralel terhadap
ram/dip maks. dari bid. a & bid. b.
permukaan lereng);
Sliding akan terbentuk pada garis
perpotongan antara bid. a & bid. b. 2. i < f
3.  < i
Hoek & Bray, 1981
Wedge failure pada berbagai kondisi lereng
(modifikasi dari Hoek & Bray, 1981 oleh Norrish & Wyllie, 1996)
 Geometri blok wedge dapat Geometri blok wedge
ditentukan berdasarkan letak &
orientasi  1) kedua bidang
diskontinuitas yang saling ber-
potongan, 2) permukaan lereng,
3) permukaan lereng bagian
atas, & 4) bidang yang mewakili
tension crack, apabila dijumpai
pada lereng batuan.
 Ukuran blok wedge ditentukan
berdasarkan jarak vertikal dari
puncak lereng hingga garis
perpotongan kedua bidang
diskontinuitas.
 Apabila dijumpai tension crack,
lokasi bidang batas terhadap
puncak lereng haruslah akurat
dalam menentukan ukuran blok
wedge.
Hoek & Bray, 1981
Tidak dijumpainya
tension crack pada lereng,
dengan kondisi kejenuhan
lereng ditentukan
berdasarkan asumsi

3 𝑤 𝑤
Fs = ca X + cb Y + A − X tan a + 𝐵 − Y tan b
𝑟 H 2𝑟 2𝑟

Hoek & Bray, 1981


Lereng dalam kondisi kering

3
Fs = ca X + cb Y + A tan a + B tan b
𝑟 H
Fs = A tan a + B tan b,
sudut gesekan dalam sebagai kuat geser

Hoek & Bray, 1981


Lereng dalam kondisi kering

3
Fs = ca X + cb Y + A tan a + B tan b
𝑟H
sin 24
X= ; Nilai derajat :
(s in 45 cos θna) 2
13 : 81O
untuk lereng dalam kondisi kering
24 : 58O
sin 13 35 : 41O
Y=
s in 35 (cos θnb  1) 45 : 42O
cos a − cos b (cos θna  nb) nb  1 : 54O
A= nb  2 : 26O
s in i (sin2 θna  nb)
cos b − cos a (cos θna  nb) na  nb : 66O
B=
s in i (sin2 θna  nb) i : 35O

Hoek & Bray, 1981


Sudut gesekan dalam kedua bidang sama

sin  sin 
Fs =
sin(/2) tan i

Hoek & Bray, 1981


Parameter dari persamaan :
ca & cb : nilai kohesif bid. a & bid. b;
a & b : sudut gesekan pada bid. a & bid. b;
a & b : kemiringan (dip) bid. a & bid. b;
 : sudut gesekan dalam;
i : plunge garis perpotongan;
r : unit berat batuan;
w : unit berat air;
 : lihat pada Gambar;
 : sudut antar bidang pembentuk blok wedge;
H : total ketinggian blok wedge; dan
X, Y, A & B : faktor penentu dimensi, dipengaruhi geometri blok wedge.

Hoek & Bray, 1981


Toppling Failure --
Robohan  pergerakan secara
Robohan
rotasi ke arah luar lereng suatu
material penyusun lereng yang
terbagi menjadi beberapa lem-
peng/kolom batuan vertikal
dengan kemiringan hampir
vertikal hingga vertikal.

Robohan lempeng/kolom ba-


tuan di awali dengan pergerak-
an secara rotasi pada satu titik
tertentu pada atau dekat dasar
lereng dan pada saat bersama-
an terjadi pergeseran di antara
lapisan batuan.
• Lempeng/kolom batuan terbentuk oleh satu set kekar dengan
jurus bidang kekar lebih kurang paralel terhadap permukaan
lereng dan arah kemiringannya menghadap keluar lereng.
• Robohan terjadi pada kolom basal/batuan beku masif lainnya
yang terkekarkan dengan kemiringan relatif vertikal dan
menghadap keluar lereng. Dijumpai terjadi pada batuan me-
tamorf berfoliasi dan batuan sedimen berlapis yang dikare-
nakan suatu proses geologi mengubah kondisi batuan menjadi
hampir vertikal hingga vertikal.
• Robohan dapat berkembang menjadi jatuhan ataupun lun-
curan, dipengaruhi oleh geometri lereng, geometri material
penyusun lereng dan geometri permukaan bidang pergeser-
an, orientasi maupun luasannya.

Hoek & Bray, 1981


Berdasarkan asosiasi per-
gerakan robohan dengan
mekanisme gerakan lereng
lainnya, robohan batuan
dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu :
1) robohan primer dan
2) robohan sekunder.

(Hoek & Bray, 1981)


Robohan primer

Dikontrol oleh :
1) kerapatan bidang diskontinuitas pada batuan
penyusun lereng dan
2) dimensi & bentuk lempeng atau kolom batuan.

Robohan sekunder

Jenis robohan yang terbentuk berasosiasi dengan


mekanisme pergerakan lereng lain seperti luncuran
batuan.
Robohan fleksural  gerak roboh pada
lereng yang tersusun oleh batuan dengan
bidang diskontinuitas relatif rapat dan
kemiringan relatif vertikal.
Robohan Primer

Robohan blok, terjadi pada tubuh batuan


dengan jarak bidang diskontinuitas reng-
gang dan bentuk blok batuan relatif lebar.

Robohan blok-fleksural, dicirikan oleh


fleksural pseudo-continuous suatu lempeng
/kolom batuan yang panjang oleh adanya
akumulasi gerakan sepanjang perpotong-
an kekar.
Slide toe toppling, terjadi pada lereng yang ter-
susun oleh dua jenis batuan berbeda. Bagian
atas tersusun oleh material lepas dan kaki le-
reng tersusun oleh lempeng/kolom batuan
dengan kemiringan relatif vertikal. Robohan 
pembebanan material lepas di atasnya.
Robohan Sekunder

Slide head toppling, terjadi oleh adanya perge-


rakan blok batuan pada bagian bawah lereng
 memicu gerak robohan pada blok batuan di
atasnya.

Toppling & slumping, terjadi pada lempeng/


kolom batuan dikarenakan adanya proses pela-
pukan material yang terletak di bawahnya.
Slide base toppling, terjadi pada lereng dengan
penyusunnya berupa material lepas dan terletak
Robohan Sekunder

di atas batuan yang terkekarkan. Robohan


terjadi pada saat batuan terkekarkan bergerak
turun dan menyeret material lepas di atasnya.

Tension crack toppling  robohan pada lereng


yang tersusun oleh material kohesif, akibat
terbentuknya rekahan pada bagian atas lereng.
Keterangan :

f : arah kemiringan permukaan lereng;
p : arah dip bidang diskontinuitas;

f : kemiringan lereng;
p : dip bidang diskontinuitas;
b : sudut gesekan pada dasar
lempeng/kolom batuan;
p : sudut gesekan dalam bidang
diskontinuitas; dan
x : lebar lempeng/kolom batuan.
Robohan dapat terjadi apabila:
1. i = (p ± 180°) ± 20°; dan
2. (90° - p) ≤ (f - p)

Goodman & Bray, 1976 dalam Norrish & Wyllie, 1996


• Setiap lempeng/kolom ba-
tuan bergerak secara ber-
urutan dari kaki lereng
hingga bagian puncak 
dapat dibedakan kondisi
kestabilan lereng  stabil,
mengalami pergeseran dan
terjadi robohan.

• Kestabilan lereng terhadap


robohan, tergantung pada
ge-metri blok batuan, kuat
geser sepanjang dasar & tepi
lempeng/kolom batuan dan
gaya eksternal.

Goodman & Bray, 1976


dalam Norrish & Wyllie, 1996
• Nilai faktor keamanan lereng dapat ditentukan berdasarkan
rasio antara nilai tangen dari sudut gesekan dalam sepanjang
dasar lempeng/kolom batuan (Tan avalaible) dengan nilai
tangen sudut gesekan pada limit equilibrium (Tan required).
Tan avalaible
𝐅𝐬 =
Tan required

• Nilai faktor keamanan dapat ditentukan pula berdasarkan


rasio lebar lempeng atau kolom batuan (x) dengan batas
lebar lempeng atau kolom teoritis (xe).
x
𝐅𝐬 = ;
xe

Hoek & Bray, 1981


SEKIAN UNTUK HARI INI

Anda mungkin juga menyukai