KUSTA - Keluarga Binaan (Rusdiana Silaban)

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 30

KUSTA

Diajukan untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi


salah satu syarat menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di Ilmu
Kesehatan Masyarakat Puskesmas Kedurus Surabaya

Disusun oleh:
Rusdiana Silaban (6120019034)

Pembimbing Lapangan:
Gerryd Dina, dr., M.Kes
Choirul Anwar. F, dr.

Pembimbing Departement:
Warda Elmaida. R, dr., M.Ked.Trop

Departemen / SMF Ilmu Kesehatan Masyarakat


Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya
Puskesmas Kedurus Surabaya
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae dan bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Masa tunas dari
penyakit kusta sangat bervariasi, yaitu antara 40 hari sampai 40 tahun dan
pada umumnya penyakit ini membutuhkan waktu antara tiga hingga lima
tahun (Kemenkes, 2012).
Indonesia berada di peringkat ketiga di dunia setelah India dan
Brazil, dengan jumlah Penderita Kusta baru pada tahun 2017 mencapai
15.910 Penderita Kusta (angka penemuan Penderita Kusta baru 6,07 per
100.000 penduduk) (Kemenkes, 2012). Penderita kusta di Jawa Timur
adalah 24% dari penderita kusta di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kusta


Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India
kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kusta merupakan
penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae
yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu
kulit dan mukosa traktur resiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ
lain kecuali system saraf pusat (Menaldi, 2019).

2.2 Epidemiologi
Distribusi angka penemuan kasus baru kusta di dunia yang terlapor
di WHO pada tahun 2012 terlihat pada peta di bawah ini sebagai berikut
(Kemenkes, 2012) :

Gambar 2.1 Distribusi penemuan kasus kusta di dunia (Kemenkes, 2012).


Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia setelah India dan
Brazil, dengan jumlah penderita kusta baru pada tahun 2017 mencapai
15.910 penderita kusta (6.07 per 100.000 penduduk). Sampai dengan tahun
2017 masih terdapat 10 (sepuluh) provinsi dan 142 (seratus empat puluh
dua) kabupaten/kota yang belum mencapai Eliminasi Kusta (Wati, 2019).
Gambar 2.2 Capaian eliminasi kusta tingkat provinsi di Indonesia (Wati,
2019).

Gambar 2.3 Trend penderita kusta di Indonesia tahun 2011-2018 (Wati,


2019).

2.3 Etiologi
Penyebab dari penyakit ini adalah kuman kusta yang berbentuk
batang di kelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies
Mycobacterium, dan biasa berkelompok dan ada yang tersebar satu – satu
dengan ukuran panjang 1-8 mic, lebar 0,2 - 0,5 mic yang bersifat tahan
asam, Mycobacterium leprae juga merupakan bakteri aerobik, tidak
membentuk spora, berbentuk basil, dann tidak dapat dibiakkan secara in
vitro. Sifat tahan asam Mycobacterium leprae disebabkan adanya asam
mikolat dan komponen seperti lilin yang mengikat karbol fuksin. Kuman ini
mempunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang
lambat di sel Schwann menstimulasi respon cell-mediated immune, yang
menyebabkan reaksi inflamasi kronik. Masa tunas pada M.leprae sangat
bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata-
rata 3-5 tahun (Menaldi, 2019).
Cara penularan masih belum diketahui pasti hanya berdasarkan
anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung dengan kulit yang lama dan
erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M.leprae masih dapat
hidup beberapa hari dalam droplet (Menaldi, 2019).

2.4 Gejala Klinis dan Klasifikasi


Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis,
bakterioskopis, histopatologi, dan serologis. Penentuan tipe kusta perlu
perlu dilakukan agar dapat mendapat terapi yang tepat. Berikut ini zona
spektrum kusta menurut macam klasifikasi (Menaldi, 2019).
Table 2.1 Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi (Menaldi,
2019).
Klasifikasi Zona Spektrum Kusta
Ridley & Jopling TT BT BB BL LL
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa
WHO PB MB
Puskesmas PB MB

Klasifikasi Ridley-Jopling, penyakit kusta dapat di klasifikasikan


dalam tiga tipe, yaitu : Kusta tipe indetermnate (I), Tuberculoid (TT),
Borderline Lepramatause (BL), dan Lepramatouse (LL). Sedangkan
menurut WHO penyakit kusta di klasifikasikan dalam dua tipe yaitu : tipe
Pausi Basiler (PB), dan tipe Multi Basiler (MB) (Kemenkes, 2012).
1. Klasifikasi Ridley-Jopling
a. Penyakit Kusta Indeterminate
Lesi kulit terdiri dari suatu makula yang pipih dan
tunggal, biasanya sedikit hipopigmentasi ataupun sedikit
erythematose, sedikit oval ataupun bulat dalam hal bentuk.
Permukaannya rata dan licin, tidak di temukan tanda-tanda
ataupun perubahan tekstur kulit. Pemeriksaan Basil Tahan
Asam (BTA) pada umumnya negatif atau sedikit positif
b. Penyakit Kusta Tipe Tubercoloid
Jenis Lesi ini pada umumnya bersifat stabil, lesi pada
umumnya berwarna kemerah-merahan dan kecoklat-
coklatan ataupun mengalami hipopigmentasi berbentuk oval
atau bulat, berbatas tegas dari kulit yang normal di
sekitarnya.
c. Penyakit Kusta Tipe Bordeline
Tipe ini sangat labil (tidak stabil), lesi-lesi kulit pada
umumnya sukkulent atau eras, pleimorfik menebal secara
seragam (uniform) atau pun dengan suatu daerah
penyambuhan sentral.
d. Penyakit Kusta Tipe Bordeline Tuberculoid (BT)
Lesi kulit dapat ditentukan dari beberapa sampai
banyak berwarna kemerah–merahan sampai kecoklat-
coklatan atau hypochronik, dan ada lesi-lesi yang tersendiri
yang dapat meninggi batasnya tampak dengan nyata apabila
dibandingkan dengan kulit yang sehat di sekelilingnya.
Syaraf–syaraf tepi kadang dapat terus menebal, dengan hasil
pemeriksaan BTA positif yang ringan.
e. Penyakit Kusta Tipe Bordeline Lepramatouse (BL)
Lesi kulit bentuknya berbagai ragam, bervariasi
dalam hal ukuran, menebal atau mengalami infitrasi,
berwarna kemerahmerahan ataupun kecoklatan, sering
banyak dan meluas. Hasil pemeriksaan BTA adalah positif.
f. Penyakit Kusta Tipe Lepramatouse (LL)
Pada tipe penyakit kusta Lepramatouse yang sub
polar, lesilesi kulit sangat menyerupai lesi-lesi penyakit
kusta Lepramatouse yang polar, namun masih dijumpai
sejumlah kecil sisa lesi-lesi dari kusta yang asimetrik, juga
kerusakan syaraf (tepi yang asimetrik dengan pembesaran
syaraf dapat pula diperlihatkan pada tipe kusta ini.
2. Klasifikasi WHO
Table 2.2 Diagnosis Klinis Menurut WHO (Kemenkes, 2012).
PB MB
➢ 1-5 lesi ➢ > 5 lesi
➢ Distribusi asimetris ➢ Distribusi
simetris
➢ Mengenai 1 saraf
tepi ➢ Mengenai >1
saraf tepi
➢ BTA (-)
➢ BTA (+)

2.5 Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal
(tanda utama), yaitu (Kemenkes, 2012):
1. Lesi (Kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit dapat berbentuk bercak keputih–putihan
(hipopigmentasi) atau kemerah – merahan (eritematous). Mati rasa
dapat bersifat kurang rasa (nipestesi) atau tidak merasa sama sekali
(anestesi) (Kemenkes, 2012).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan
kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf bisa
berupa gangguan fungsi sensorik seperti mati rasa, gangguan fungsi
motoris seperti kelemahan otot (Parese) atau kelumpuhan (Paralise),
gangguan fungsi otonom seperti kulit kering, retak, pembengkakan
(edema) (Kemenkes, 2012).
3. Basil Tahan Asam Positif
Bahan pemeriksaan BTA diambil dari kerokan kulit (skin
smear), cuping telinga dan bagian aktif suatu lesi kulit. Untuk tujuan
tertentu kadang diambil dari bagian tubuh tertentu (biopsi).
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat
sekurangkurangnya dua dari tanda-tanda kardinal diatas atau bila
terdapat tanda (BTA positif) diambil dari bagian kulit yang
dicurigai. Bilamana terdapat hanya salah satu dari empat tanda
pertama 1- 4, maka pemeriksaan laboratium diulangi lagi, terutama
bila hanya terdapat tanda infiltrat. Dan apabila tidak adanya cardinal
sign bisa dinyatakan tersangka (suspek) kusta (Kemenkes, 2012).
Pemeriksaan Saraf Tepi
a. N. auricularis magnus
Pasien menoleh ke kanan/kiri semaksimal mungkin, maka
saraf yang terlibat akan terdorong oleh otot-otot di bawahnya
sehingga dapat terlihat pembesaran saraf. Dua jari pemeriksa
diletakkan di atas persilangan jalannya saraf dengan arah otot. Bila
ada penebalan, maka akan teraba jaringan seperti kabel atau kawat.
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan
nyeri atau tidaknya (Kemenkes, 2012).
b. N. ulnaris
Tangan yang diperiksa rileks, sedikit fleksi dan diletakkan di
atas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi
ulnaris dan merasakan adanya penebalan atau tidak Bandingkan
kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau
tidaknya (Kemenkes, 2012).
c. N. peroneus lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di
sebelah lateral dari capitulum fibulae, dan merasakan ada
penebalana atau tidak. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar,
bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya (Kemenkes, 2012).
d. N. tibialis posterior
Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua
tangan, meraba bagian posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah
tumit. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat,
lunak, dan nyeri atau tidaknya (Kemenkes, 2012).
Pemeriksaan Fungsi Saraf
a. Tes sensorik: Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air
hangat dan dingin (Kemenkes, 2012).
➢ Rasa raba: Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya,
disinggungkan ke kulit pasien. Kapas disinggungkan ke kulit
yang lesi dan yang sehat, kemudian pasien disuruh menunjuk
kulit yang disinggung dengan mata terbuka. Jika hal ini telah
dimengerti, tes kembali dilakukan dengan mata pasien
tertutup.
➢ Rasa nyeri: Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit
pasien. Setelah disentuhkan bagian tajamnya, lalu
disentuhkan bagian tumpulnya, kemudia pasien diminta
menentukan tajam atau tumpul. Tes dilakukan seperti
pemeriksaan rasa raba.
➢ Rasa Suhu: Menggunakan dua buah tabung reaksi yang
berisi air panas dan air dingin. Tabung reaksi disentuhkan ke
kulit yang lesi dan sehat secara acak, dan pasien diminta
menentukan panas atau dingin.
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula
anestesi pada penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi
dengan tes anhidrosis, yaitu (Kemenkes, 2012):
➢ Tes keringat dengan tinta (tes Gunawan)
➢ Tes Pilokarpin
➢ Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.
medianus, n. radialis, dan n. peroneus
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaaan bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan obat. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau
usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan Ziehl
Neelson. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan
berarti orang tersebut tidak mengandung basil M.Leprae. Pertama –
tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh
basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil.
Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya
minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan
2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan
paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada
atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga
biasanya didapati banyak M. leprae. Kepadatan BTA tanpa
membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan indeks bakteri (I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut
Ridley (Kemenkes, 2012).
➢ 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
➢ 1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
➢ 2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
➢ 3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
➢ 4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
➢ 5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
➢ 6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid
dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid. IM= Jumlah solidx
100 %/ Jumlah solid + Non solid. Syarat perhitungan IM adalah
jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat
IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam
1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari
100 lapangan (Kemenkes, 2012).
2. Pemeriksaan serologi
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu
diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan
bakteriologik tidak jelas. Pemeriksaan serologik adalah MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme
Linked Immuno-Sorbent Assay) dan ML dipstick (Mycobacterium
Leprae dipstick) (Kemenkes, 2012).
Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Penyakit kusta yang merupakan
suatu reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibodi
(humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi
terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis
terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi
tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan
pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral
(Kemenkes, 2012).
Tabel 2.3 Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 Dan Tipe 2 (Kemenkes, 2012).
No. Gejala/tanda Tipe I (reversal) Tipe II (ENL)
1 Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise dan
Febris
2 Peradangan di Bercak kulit lama menjadi Timbul nodul kemerahan,
Kulit lebih meradang (merah), lunak, dan nyeri tekan.
dapat timbul bercak baru Biasanya pada lengan dan
tungkai. Nodul dapat pecah
(ulserasi)
3 Waktu terjadi Awal pengobatan MDT Setelah pengobatan yang
lama, umumnya lebih dari
6 bulan
4 Tipe kusta PB atau MB MB

5 Saraf Sering terjadi Umumnya Dapat terjadi


berupa nyeri tekan saraf dan
atau
gangguan fungsi saraf
6 Keterkaitan Hampr tidak ada Terjadi pada mata, KGB,
organ lain sendi, ginjal, testis, dll
7 Faktor pencetus • Melahirkan • Emosi
• Obat-obat yang • Kelelahan dan stress
meningkatkan kekebalan fisik lainnya
tubuh • kehamilan
2.6 Diagnosis Banding
Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding lepra:
ada makula hipopigmentasi, ada daerah anestesi, pemeriksaan bakteriologi
memperlihatkan basil tahan asam, ada pembengkakan/pengerasan saraf tepi
atau cabang-cabangnya (Kemenkes, 2012).
a. Tipe I (makula hipopigmentasi): tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis
rosea, atau dermatitis seboroik atau dengan liken simpleks kronik.
b. Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi): tinea
korporis, psoriasis,lupus eritematosus tipe diskoid atau pitiriasis
rosea
c. Tipe BT, BB, BL (infiltrat merah tak berbatas tegas): selulitis,
erysipelas atau psoriasis.
d. Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematous sistemik,
dermatomiositis, atau erupsi obat (Kemenkes, 2012).

2.7 Tatalaksana
Untuk mencegah resistensi, pengobatan tuberculosis telah
menggunakan multi drug treatment (MDT). Selain itu, tujuan MDT adalah
memperpendek masa pengobatan dan mempercepat pemutusan mata rantai
penularan. Tujuan pengobatan pada penyakit kusta adalah (Kemenkes,
2012):
1. Memutuskan mata rantai penularan
2. Mencegah resistensi obat
3. Memperpendek masa pengobatan
4. Meningkatkan keteraturan berobat
5. Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang
sudah ada sebelum pengobatan.
a. Pengobatan MH
➢ DDS (4,4 diamino-difenil-sulfon, Dapson)
a) Bersifat bakteriostatik menghambat enzim dihidrofolat
sintetase, bekerja sebagai antimetabolite PABA
b) Dosis: dewasa (50-100mg/hari); anak (2mg/KgBB)
c) Efek samping: insomnia, erupsi obat, hepatitis, anemia
hemolitik, leukopenia (Kemenkes, 2012).
➢ Rifampicin
a) Merupakan obat paling ampuh dengan sifat bactericidal
untuk BTA
b) Dosis: 600mg/hari (5-15mg/KgBB/hari)
c) Efek samping: gangguan GIT, erupsi kulit, hepatotoksi dan
nefrotoksik (Kemenkes, 2012).
➢ Klofasimin (B-663, Lamprene)
a) Merupakan derivate zat warna iminofenazin dengan efek
bakteriostatik, cara mengganggu metabolism radikal oksigen
b) Efek anti-inflamasi berguan untuk reaksi lepra, harga
relative mahal
c) Dosis: 50mg/ hari atau 100mg/ 3x seminggu
(1mg/KgBB/hari); 300mg/ bulan untuk cegah reaksi lepra
d) Efek samping: pigmentasi kulit (hiperpigmentasi, keringat
dan air mata merah), gangguan GIT (anorexia, vomitus,
diare, dan kadang-kadang nyeri abdomen) (Kemenkes,
2012).
Gambar 2.4 MDT Regimen
*hari pertama obat harus diminum didepan petugas
*PB: 6 blister range waktu 6-9 bulan
*MB: 12 blister rang waktu 12-18 bulan

Table 2.4 Terapi Tipe PB (Kemenkes, 2012).


Jenis Obat <5 th 5-9 th 10-15 th >15 th Keterangan
Minum di
300 450 600
Rifampisin depan
mg/bln mg/bln mg/bln
petugas
Berdasarkan Minum di
25 100
berat badan 50 mg/bln depan
mg/bln mg/bln
DDS petugas
25 50 100 Minum di
mg/bln mg/hari mg/hari rumah
Table 2.5 Terapi Tipe MB (Kemenkes, 2012).
Jenis Obat <5 th 5-9 th 10-15 th >15 th Keterangan
Minum di
300 450 600
Rifampisin depan
mg/bln mg/bln mg/bln
petugas
Minum di
50 100
25 mg/bln depan
mg/bln mg/bln
Dapson petugas
Berdasarkan 50 100 Minum di
25 mg/bln
berat badan mg/bln mg/bln rumah
Minum di
100 150 300
depan
mg/bln mg/bln mg/bln
petugas
Lampren
50 mg
50 mg 2x 50 Minum di
tiap 2
seminggu mg/hari rumah
hari

Table 2.6 Efek samping dan penanganan (Kemenkes, 2012).


Masalah Nama Obat Penanganan
Ringan :
Air seni berwarna merah Rifampisin Reassurance
Perubahan warna kulit Clofazimin Konseling
menjadi coklat
Masalah gastrointestinal Semua obat (3 obat Obat diminum bersama
dalam MDT) dengan makanan (atau
setelah makan)
Anemia Dapson Berikan Fe dan asam
folat
Serius :
Ruam kulit yang gatal Dapson Hentikan dapson, rujuk
Alergi urtikaria Dapson atau Rifampisin Hentikan keduanya,
rujuk
Icterus (kuning) Rifampisin Hentikan rifampisin,
rujuk
Shock, purpura, gagal Rifampisin Hentikan rifampisin,
ginjal rujuk
b. Pengobatan Reaksi Kusta
a) Reaksi Reversal
➢ Obat utama dilanjutkan
➢ Ada gejala diobati secara simptomatis (Ex. antipiretik)
➢ Prednisone mulai dari 40mg/hari (Kemenkes, 2012).
b) Reaksi Eritema Nodusum Leprosum
➢ Obat utama dilanjutkan
➢ Ada gejala diobati secara simptomatis (Ex. antipiretik)
➢ Prednisone mulai dari 40mg/hari selama 2 minggu
➢ Klofazimin 300mg/hari (diresepkan sendiri) (Kemenkes,
2012).

2.8 Upaya Pengendalian Penularan


Upaya pemutusan rantai penularan penyakit kusta dapat dilakukan
melalui (Kemenkes RI, 2012):
a. Pengobatan MDT pada pasien kusta
b. Vaksinasi BCG
Vaksinasi BCG satu dosis dapat memberikan perlindungan
sebesar 50%, dengan pemberian dua dosis dapat memberikan
perlindungan terhadap kusta hingga 80% (Kemenkes RI, 2012).

2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit kusta, yaitu cacat dapat
berupa gangguan sensorik, motoric, dan otonom. Selain itu, dapat terjadi
infeksi sekunder dan sepsis (Menaldi, 2019).
Untuk melakukan pencegahan cacat adalah dengan melaksanakan
diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat.
Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai
gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera
mungkin (Kemenkes, 2012).
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


• Nama : Ny. N
• Umur : 43 tahun
• Jenis kelamin : Perempuan
• Kewarganegaraan : Indonesia
3.2 Anamnesis (Autoanamnesis dan Heteroanamnesis)
Aspek personal
Keluhan utama Bercak merah
Riwayat perjalanan penyakit Bercak merah mati rasa awalnya
dirasakan pada paha kiri sejak kurang
lebih 10 bulan yang lalu, bercak merah
terasa tebal semakin bertambah banyak
di lengan atas kiri, lengan bawah
kanan, kedua telapak kaki, badan dan
wajah. Awal muncul hingga sekarang
warna dan bentuk bercak menetap.
Bercak awalnya dirasakan gatal ringan
dan sempat digaruk kemudian sekarang
pasien tidak merasa gatal. Bercak tidak
nyeri dan tidak panas. Kulit tidak
mengkilat dan tidak bersisik. Bercak
bertambah jika pasien lelah dan stress.
Bercak bertambah ketika istirahat.
Terasa kesemutan sejak lama (pasien
tidak mengetahui pasti tetapi dikatakan
lebih dahulu munculnya bercak merah)
pada kedua tangan dan kaki. Tidak ada
kelemahan anggota gerak. Tidak ada
nyeri sendi. Tidak ada penurunan
penciuman, gangguan penglihatan,
gangguan pendengaran. Rambut dan
alis tidak rontok.
Saat bercak merah muncul pasien
mengaku ada demam (tetapi pasien
lupa demam terjadi berapa hari, pasien
mengatakan tidak sampai seminggu),
demam dirasakan terus-menerus
sepanjang hari. Nafsu makan
berkurang sejak demam muncul tetapi
sekarang nafsu makan baik tetapi
sebulan terakhir ini pasien mengurangi
makan karena diet. Tidak ada mual,
muntah, nyeri ulu hati, nyeri kepala.
Pasien memiliki riwayat kontak dengan
anak keduanya yang memiliki riwayat
kusta 7 tahun yang lalu. Tidak ada
riwayat kontak zat iritan lainnya. BAK
warna kemerahan, lancar dan tidak
nyeri. BAB warna kuning kecoklatan
dan tidak nyeri.
Pasien tidak pernah pindah domisili.
Pasien tidak memiliki riwayat
bepergian keluar kota.
Aspek klinis Pasien mengharapkan bahwa dirinya
cepat sembuh dan menginginkan
bahwa keluarganya tidak ada yang
mengalami hal serupa lagi.
Riwayat Pengobatan Pasien menjalani terapi selama 7 bulan
Riwayat Penyakit Dahulu Tidak pernah mengalami hal serupa
sebelumnya. Alergi (-), autoimmune (-
), trauma (-), hipertensi (-), diabetes
melitus (-), TBC paru (-).
Riwayat penyakit keluarga Sekitar 7 tahun lalu, anak pasien
mengalami hal serupa dan telah tuntas
pengobatan selama 1 tahun.
Riwayat reproduksi -
Aspek risiko internal
Riwayat social dan perilaku Pasien berkomunikasi baik dan
kooperatif.
Aspek risiko eksternal
Keluarga Keluarga pasien sangat peduli kepada
kesehatan pasien dan selalu
mengusahakan yang terbaik.

3.3 Pemeriksaan Fisik


• Keadaan umum : Baik
• Kesadaran : GCS E4/V5/M6
• Vital sign :
o Takanan darah : 100/70 mmHg
o Nadi : 90 x/m
o RR : 20 x/m
o Suhu : 36.8 °C
• Kepala-leher :
o Anemis (-), icterus (-), cyanosis (-), dispneu (-)
o Madarosis (-), facies leonia (-)
o Trakea letak tengah, tidak ada pembesaran tiroid, tidak ada
pembesaran kelenjar getah bening
• Paru :
o Inspeksi : normochest, simetris
o Palpasi : pergerakan napas simetris kanan kiri,
fremitus raba sama simetris
o Perkusi : sonor/sonor
o Auskultasi : vesikuler/vesikuler, wheezing -/-, rhonki -/-
• Jantung :
o Inspeksi : normochest, ictus cordis tidak terlihat
o Palpasi : ictus kordis tidak teraba
o Perkusi : tidak dievaluasi
o Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
• Abdomen :
o Inspeksi : meteorismus (-), Asites (-)
o Auskultasi : BU (+)
o Palpasi : nyeri tekan di semua kuadran (-), hepar lien
tak teraba
o Perkusi : timpani/timpani di semua kuadran
• Ekstremitas : akral hangat-kering-merah, CRT >2 detik,
pitting edema -/-, ulkus (-), claw hand (-), drop foot (-)
• Pemeriksaan saraf :
o Nervus facialis : dalam batas normal
o Nervus auricularis magnus : dalam batas normal
o Nervus medianus : dalam batas normal
o Nervus ulnaris : dalam batas normal
o Nervus radialis : dalam batas normal
o Nervus peroneus komunis : dalam batas normal
o Nervus tibialis posterior : menebal, tidak ada nyeri
tekan
• Effloresensi kulit :
o Regio facial macula sampai plak eritem hipoestesi berbentuk
tidak khas multiple nummular hingga plakat berbatas tak
tegas.
o Regio truncus posterior macula eritem hipoestesi berbentuk
tidak plakat khas berbatas tak tegas.
o Regio brachii dextra macula eritem hipoestesi berbentuk
tidak khas plakat berbatas tak tegas.
o Regio antebrachia sinistra macula eritem hipoestesi
berbentuk tidak khas nummular berbatas tegas.

• Charting :

Gambar 3.1 Charting kusta


Gambar 3.2 POD kusta
POD :
• Mata lagoftalmus : kanan-kiri : -/-
• Tangan :
o Nyeri tekan ulnaris : tidak ada nyeri tekan
o Kekuatan otot : jari ke V, ibu jari dan pergelangan
kanan – kiri kuat
o Rasa raba : tidak ada mati rasa
• Kaki :
o Nyeri tekan peroneus : ditemukan nyeri tekan pada
kaki kanan
o Nyeri tekan tibialis : tidak ada nyeri tekan
o Kekuatan otot : kaki kanan-kiri kuat
o Rasa raba : telapak kaki kanan-kiri terdapat
kurang/mati rasa
➢ Kesimpulan pemeriksaan pasien mengalami reaksi
kusta
3.4 Pemeriksaan Penunjang
• BTA Kusta : negative
3.5 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

3.6 Diagnosis dan Aspek Fungsional


• Diagnosis : Kusta tipe MB, Reaksi kusta tipe 1
• Aspek fungsional : Skala I, tidak ada kesulitan, dimana pasien
dapat hidup mandiri.
3.7 Tatalaksana
Terapi
Terapi Kusta
• Kapsul Rifampisin 600 mg/bulan (minum di depan petugas)
• Tablet Dapsone 1x100 mg (tablet pertama tiap bulan minum di
depan petugas, sisanya minum di rumah)
• Kapsul Klofazimin 300 mg/bulan (minum di depan petugas)
• Kapsul Klofazimin 1x50 mg (minum di rumah)
Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar

Note : pengobatan dilakukan selama 12 bulan, pasien dianjurkan untuk


control pengobatan tiap bulan atau jika terdapat keluhan
Terapi Reaksi Kusta Tipe 1
• Tablet Prednison 1x5 mg selama 2 minggu kemudian dievalusi
kembali
Terapi Tambahan
• Tablet Vitamin B6 2x10 mg
3.8 Prognosis
• Dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Alur Kunjungan


Pasien mengunjungi Puskesmas Kedurus Surabaya terlebih dahulu
pada pukul 08.30 WIB untuk mengambil obat bulanan sambil dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik di Poli TBC Puskesmas Kedurus
Surabaya. Setelah pemeriksaan di puskesmas, home visite dilakukan untuk
anamnesis dan pemeriksaan fisik pada beberapa anggota keluarga. Bentuk
keluarga extended family.
Pasien dan beberapa anggota keluarga sangat kooperatif. Seluruh
anggota keluarga sangat tanggap terhadap masalah kesehatan pasien dan
meyakini medis tetapi keluarga masih kurang pengetahuan mengenai
penyakit kusta. Hubungan pasien dengan beberapa tetangga sedikit kurang
harmonis karena penyakit kulitnya.
Kunjungan pertama dilakukan edukasi meliputi pengertian,
penyebab, cara penularan, gejala klinis, pengobatan, efek samping obat,
pencegahan dan penyulit pada penyakit kusta. Media yang diberikan berupa
brosur. Selain itu, support ke pasien untuk kepatuhan mengonsumsi obat
dilakukan untuk menghindari terjadinya penyulit yang tidak diinginkan
pada penyakit kusta.
Kunjungan kedua dilakukan monitoring keadaan pasien. Dan
mengedukasi berhenti merokok untuk anggota keluarga yang merokok.
4.2 Daftar Permasalahan
Adapun permasalahan yang ada pada keluarga Ny. N adalah sebagai
berikut :
a. Kurangnya pengetahuan tentang pengertian, penyebab, cara
penularan, gejala klinis, pengobatan, efek samping obat, pencegahan
dan penyulit pada penyakit kusta.
b. Kesehatan lingkungan :
• Ada satu anggota keluarga perokok aktif
4.3 Analisis Kebutuhan
4.3.1 Kebutuhan Fisik-Biomedis
a. Kecukupan Gizi
Kecukupan gizi pasien dan keluarga cukup baik.
Pasien mengaku sering mengonsumsi ikan, ayam, tahu,
tempe, sayur, susu tetapi tidak memperhatikan porsi masing-
masing komponen. Pasien dan keluarga jarang mengonsumsi
buah. Selain itu, sebulan terakhir ini pasien mengaku porsi
makan lebih sedikit dari biasanya, yakni 1x/hari karena diet
ingin menguruskan berat badan.
Pasien dan keluarga dianjurkan untuk memperbaiki
kebutuhan gizi meliputi jenis, jumlah dan jadwal agar dapat
meningkatkan system imun.
b. Kegiatan Fisik
Pasien jarang berolahraga. Selama ini pasien
menganggap aktivitas di rumah seperti menyapu, cuci piring,
cuci baju dan lainnya adalah olahraga. Pasien diberikan
edukasi mengenai olahraga dan dianjurkan olahraga aerobic
sebanyak 5x per minggu atau 150 menit per minggu dengan
tujuan meningkatkan system imun.
c. Akses Pelayanan Kesehatan
Seluruh anggota keluarga sudah memiliki kartu
BPJS.
4.3.2 Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial
a Lingkungan Biologis
Perawatan diri pasien baik. Pemenuhan kebutuhan
dasar pasien dapat dilakukannya secara mandiri. Adanya
penyakit kusta menimbulkan ketidaknyamanan, gangguan
sensoris, risiko cacat jika tidak diterapi sehingga pasien
diberikan edukasi mengenai penyakit kusta supaya pasien
patuh terhadap terapi dan mencegah penyulit pada penyakit
kusta. Keluarga pasien juga dianjurkan untuk memberikan
support terhadap pengobatan pasien. Pasien juga merasa
adanya perubahan penampilan dan tidak percaya diri
sehingga perlu diberikan pendampingan psikis.
b Faktor Psikologis dan Sosial
Pasien tidak denial atau menolak dengan penyakit
yang dideritanya dan pasien percaya terhadap medis. Tetapi
pasien sedikit cemas terhadap penyulit pada penyakit kusta.
Pasien sering menarik diri dari beberapa tetangga
karena penyakit kulitnya. Pasien dianjurkan untuk bersabar
dan senantiasa tidak menjauh dari orang-orang yang
memberi dukungan terhadap pengobatannya terutama
keluarga sehingga memberikan kedamaian dan ketenangan.

4.4 Intervensi
4.4.1 Rencana Intervensi
Rencana intervensi yang dilakukan meliputi :
a. Meningkatkan pengetahuan mengenai penyakit kusta
Pengetahuan mengenai kusta oleh pasien dan
keluarga dapat mempengaruhi prognosis pasien, mengurangi
risiko kecacatan dan dapat mengurangi angka kejadian kusta
dengan pahamnya cara penularan pada kusta.
b. Memberikan support pengobatan pasien
Pengobatan kusta dilakukan dalam waktu satu tahun
sehingga pasien dapat stress. Dukungan keluarga atau orang
sekitar sangat dibutuhkan untuk kepatuhan berobat dan
meningkatkan imun pasien.
c. Meningkatkan pengetahuan mengenai rokok
Ditemukan satu anggota keluarga pasien rutin
mengonsumsi rokok di dalam atau di luar rumah sehingga
perlu diberikan edukasi untuk berhenti merokok karena
dapat berdampak pada kesehatan individu dan keluarga.
4.4.2 Implementasi Intervensi
a. Meningkatkan pengetahuan mengenai penyakit kusta
Pasien dan keluarga diberikan edukasi mengenai
kusta dengan media brosur. Edukasi meliputi pengertian,
penyebab, cara penularan, gejala klinis, pengobatan, efek
samping obat, pencegahan dan penyulit pada penyakit kusta.
b. Memberikan support pengobatan pasien
Pasien diberikan dukungan untuk patuh
mengonsumsi obat supaya tidak terjadi penyulit kusta.
Keluarga diberi edukasi agar selalu memberikan support,
perhatian yang besar dan memberikan rasa nyaman ke
pasien.
c. Meningkatkan pengetahuan mengenai merokok
Keluarga diberikan edukasi secara lisan mengenai
dampak merokok terhadap kesehatan dan disarankan untuk
merokok di luar rumah agar tidak memberikan paparan
bahaya rokok ke orang sekitar.
4.4.3 Media Promosi Kesehatan
Media promosi yang digunakan, yaitu brosur yang dijelaskan
menggunakan tablet.
BAB V
SIMPULAN

Kusta merupakan penyakit kronis yang diakibatkan oleh Mycobacterium


leprae. Kusta dapat didiagnosis secara klinis atau biopsy kulit atau PCR jaringan.
Kusta memiliki klasifikasi, yaitu pausibasiler dan multibasiler. Pada kasus di atas
pasien termasuk klasifikasi multibasiler dan berdasarkan table POD pasien
mengalami reaksi kusta. Kusta dapat dicegah dan diobati sehingga penting untuk
meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai kusta. Kusta memiliki jangka
waktu terapi yang cukup lama sehingga butuh diberikan dukungan pada penderita
kusta. Dampak jika kusta tidak dideteksi dan diobati dengan cepat dan tepat dapat
menimbulkan beberapa penyulit atau kecacatan yang berdampak terhadap kualitas
hidup pasien.
LAMPIRAN 1 : Denah Rumah

Ruang Tamu

Kamar 1

Ruang TV

Kamar 2

Ruang Sholat

Kamar Dapur
Mandi
Tempat Cuci Piring

Keterangan :
Pintu
Jendela
Kaca transparan

Anda mungkin juga menyukai