KUSTA - Keluarga Binaan (Rusdiana Silaban)
KUSTA - Keluarga Binaan (Rusdiana Silaban)
KUSTA - Keluarga Binaan (Rusdiana Silaban)
Disusun oleh:
Rusdiana Silaban (6120019034)
Pembimbing Lapangan:
Gerryd Dina, dr., M.Kes
Choirul Anwar. F, dr.
Pembimbing Departement:
Warda Elmaida. R, dr., M.Ked.Trop
2.2 Epidemiologi
Distribusi angka penemuan kasus baru kusta di dunia yang terlapor
di WHO pada tahun 2012 terlihat pada peta di bawah ini sebagai berikut
(Kemenkes, 2012) :
2.3 Etiologi
Penyebab dari penyakit ini adalah kuman kusta yang berbentuk
batang di kelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies
Mycobacterium, dan biasa berkelompok dan ada yang tersebar satu – satu
dengan ukuran panjang 1-8 mic, lebar 0,2 - 0,5 mic yang bersifat tahan
asam, Mycobacterium leprae juga merupakan bakteri aerobik, tidak
membentuk spora, berbentuk basil, dann tidak dapat dibiakkan secara in
vitro. Sifat tahan asam Mycobacterium leprae disebabkan adanya asam
mikolat dan komponen seperti lilin yang mengikat karbol fuksin. Kuman ini
mempunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang
lambat di sel Schwann menstimulasi respon cell-mediated immune, yang
menyebabkan reaksi inflamasi kronik. Masa tunas pada M.leprae sangat
bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata-
rata 3-5 tahun (Menaldi, 2019).
Cara penularan masih belum diketahui pasti hanya berdasarkan
anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung dengan kulit yang lama dan
erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M.leprae masih dapat
hidup beberapa hari dalam droplet (Menaldi, 2019).
2.5 Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal
(tanda utama), yaitu (Kemenkes, 2012):
1. Lesi (Kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit dapat berbentuk bercak keputih–putihan
(hipopigmentasi) atau kemerah – merahan (eritematous). Mati rasa
dapat bersifat kurang rasa (nipestesi) atau tidak merasa sama sekali
(anestesi) (Kemenkes, 2012).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan
kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf bisa
berupa gangguan fungsi sensorik seperti mati rasa, gangguan fungsi
motoris seperti kelemahan otot (Parese) atau kelumpuhan (Paralise),
gangguan fungsi otonom seperti kulit kering, retak, pembengkakan
(edema) (Kemenkes, 2012).
3. Basil Tahan Asam Positif
Bahan pemeriksaan BTA diambil dari kerokan kulit (skin
smear), cuping telinga dan bagian aktif suatu lesi kulit. Untuk tujuan
tertentu kadang diambil dari bagian tubuh tertentu (biopsi).
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat
sekurangkurangnya dua dari tanda-tanda kardinal diatas atau bila
terdapat tanda (BTA positif) diambil dari bagian kulit yang
dicurigai. Bilamana terdapat hanya salah satu dari empat tanda
pertama 1- 4, maka pemeriksaan laboratium diulangi lagi, terutama
bila hanya terdapat tanda infiltrat. Dan apabila tidak adanya cardinal
sign bisa dinyatakan tersangka (suspek) kusta (Kemenkes, 2012).
Pemeriksaan Saraf Tepi
a. N. auricularis magnus
Pasien menoleh ke kanan/kiri semaksimal mungkin, maka
saraf yang terlibat akan terdorong oleh otot-otot di bawahnya
sehingga dapat terlihat pembesaran saraf. Dua jari pemeriksa
diletakkan di atas persilangan jalannya saraf dengan arah otot. Bila
ada penebalan, maka akan teraba jaringan seperti kabel atau kawat.
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan
nyeri atau tidaknya (Kemenkes, 2012).
b. N. ulnaris
Tangan yang diperiksa rileks, sedikit fleksi dan diletakkan di
atas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi
ulnaris dan merasakan adanya penebalan atau tidak Bandingkan
kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau
tidaknya (Kemenkes, 2012).
c. N. peroneus lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di
sebelah lateral dari capitulum fibulae, dan merasakan ada
penebalana atau tidak. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar,
bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya (Kemenkes, 2012).
d. N. tibialis posterior
Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua
tangan, meraba bagian posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah
tumit. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat,
lunak, dan nyeri atau tidaknya (Kemenkes, 2012).
Pemeriksaan Fungsi Saraf
a. Tes sensorik: Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air
hangat dan dingin (Kemenkes, 2012).
➢ Rasa raba: Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya,
disinggungkan ke kulit pasien. Kapas disinggungkan ke kulit
yang lesi dan yang sehat, kemudian pasien disuruh menunjuk
kulit yang disinggung dengan mata terbuka. Jika hal ini telah
dimengerti, tes kembali dilakukan dengan mata pasien
tertutup.
➢ Rasa nyeri: Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit
pasien. Setelah disentuhkan bagian tajamnya, lalu
disentuhkan bagian tumpulnya, kemudia pasien diminta
menentukan tajam atau tumpul. Tes dilakukan seperti
pemeriksaan rasa raba.
➢ Rasa Suhu: Menggunakan dua buah tabung reaksi yang
berisi air panas dan air dingin. Tabung reaksi disentuhkan ke
kulit yang lesi dan sehat secara acak, dan pasien diminta
menentukan panas atau dingin.
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula
anestesi pada penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi
dengan tes anhidrosis, yaitu (Kemenkes, 2012):
➢ Tes keringat dengan tinta (tes Gunawan)
➢ Tes Pilokarpin
➢ Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.
medianus, n. radialis, dan n. peroneus
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaaan bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan obat. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau
usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan Ziehl
Neelson. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan
berarti orang tersebut tidak mengandung basil M.Leprae. Pertama –
tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh
basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil.
Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya
minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan
2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan
paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada
atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga
biasanya didapati banyak M. leprae. Kepadatan BTA tanpa
membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan indeks bakteri (I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut
Ridley (Kemenkes, 2012).
➢ 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
➢ 1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
➢ 2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
➢ 3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
➢ 4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
➢ 5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
➢ 6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid
dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid. IM= Jumlah solidx
100 %/ Jumlah solid + Non solid. Syarat perhitungan IM adalah
jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat
IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam
1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari
100 lapangan (Kemenkes, 2012).
2. Pemeriksaan serologi
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu
diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan
bakteriologik tidak jelas. Pemeriksaan serologik adalah MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme
Linked Immuno-Sorbent Assay) dan ML dipstick (Mycobacterium
Leprae dipstick) (Kemenkes, 2012).
Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Penyakit kusta yang merupakan
suatu reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibodi
(humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi
terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis
terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi
tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan
pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral
(Kemenkes, 2012).
Tabel 2.3 Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 Dan Tipe 2 (Kemenkes, 2012).
No. Gejala/tanda Tipe I (reversal) Tipe II (ENL)
1 Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise dan
Febris
2 Peradangan di Bercak kulit lama menjadi Timbul nodul kemerahan,
Kulit lebih meradang (merah), lunak, dan nyeri tekan.
dapat timbul bercak baru Biasanya pada lengan dan
tungkai. Nodul dapat pecah
(ulserasi)
3 Waktu terjadi Awal pengobatan MDT Setelah pengobatan yang
lama, umumnya lebih dari
6 bulan
4 Tipe kusta PB atau MB MB
2.7 Tatalaksana
Untuk mencegah resistensi, pengobatan tuberculosis telah
menggunakan multi drug treatment (MDT). Selain itu, tujuan MDT adalah
memperpendek masa pengobatan dan mempercepat pemutusan mata rantai
penularan. Tujuan pengobatan pada penyakit kusta adalah (Kemenkes,
2012):
1. Memutuskan mata rantai penularan
2. Mencegah resistensi obat
3. Memperpendek masa pengobatan
4. Meningkatkan keteraturan berobat
5. Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang
sudah ada sebelum pengobatan.
a. Pengobatan MH
➢ DDS (4,4 diamino-difenil-sulfon, Dapson)
a) Bersifat bakteriostatik menghambat enzim dihidrofolat
sintetase, bekerja sebagai antimetabolite PABA
b) Dosis: dewasa (50-100mg/hari); anak (2mg/KgBB)
c) Efek samping: insomnia, erupsi obat, hepatitis, anemia
hemolitik, leukopenia (Kemenkes, 2012).
➢ Rifampicin
a) Merupakan obat paling ampuh dengan sifat bactericidal
untuk BTA
b) Dosis: 600mg/hari (5-15mg/KgBB/hari)
c) Efek samping: gangguan GIT, erupsi kulit, hepatotoksi dan
nefrotoksik (Kemenkes, 2012).
➢ Klofasimin (B-663, Lamprene)
a) Merupakan derivate zat warna iminofenazin dengan efek
bakteriostatik, cara mengganggu metabolism radikal oksigen
b) Efek anti-inflamasi berguan untuk reaksi lepra, harga
relative mahal
c) Dosis: 50mg/ hari atau 100mg/ 3x seminggu
(1mg/KgBB/hari); 300mg/ bulan untuk cegah reaksi lepra
d) Efek samping: pigmentasi kulit (hiperpigmentasi, keringat
dan air mata merah), gangguan GIT (anorexia, vomitus,
diare, dan kadang-kadang nyeri abdomen) (Kemenkes,
2012).
Gambar 2.4 MDT Regimen
*hari pertama obat harus diminum didepan petugas
*PB: 6 blister range waktu 6-9 bulan
*MB: 12 blister rang waktu 12-18 bulan
2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit kusta, yaitu cacat dapat
berupa gangguan sensorik, motoric, dan otonom. Selain itu, dapat terjadi
infeksi sekunder dan sepsis (Menaldi, 2019).
Untuk melakukan pencegahan cacat adalah dengan melaksanakan
diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat.
Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai
gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera
mungkin (Kemenkes, 2012).
BAB III
LAPORAN KASUS
• Charting :
4.4 Intervensi
4.4.1 Rencana Intervensi
Rencana intervensi yang dilakukan meliputi :
a. Meningkatkan pengetahuan mengenai penyakit kusta
Pengetahuan mengenai kusta oleh pasien dan
keluarga dapat mempengaruhi prognosis pasien, mengurangi
risiko kecacatan dan dapat mengurangi angka kejadian kusta
dengan pahamnya cara penularan pada kusta.
b. Memberikan support pengobatan pasien
Pengobatan kusta dilakukan dalam waktu satu tahun
sehingga pasien dapat stress. Dukungan keluarga atau orang
sekitar sangat dibutuhkan untuk kepatuhan berobat dan
meningkatkan imun pasien.
c. Meningkatkan pengetahuan mengenai rokok
Ditemukan satu anggota keluarga pasien rutin
mengonsumsi rokok di dalam atau di luar rumah sehingga
perlu diberikan edukasi untuk berhenti merokok karena
dapat berdampak pada kesehatan individu dan keluarga.
4.4.2 Implementasi Intervensi
a. Meningkatkan pengetahuan mengenai penyakit kusta
Pasien dan keluarga diberikan edukasi mengenai
kusta dengan media brosur. Edukasi meliputi pengertian,
penyebab, cara penularan, gejala klinis, pengobatan, efek
samping obat, pencegahan dan penyulit pada penyakit kusta.
b. Memberikan support pengobatan pasien
Pasien diberikan dukungan untuk patuh
mengonsumsi obat supaya tidak terjadi penyulit kusta.
Keluarga diberi edukasi agar selalu memberikan support,
perhatian yang besar dan memberikan rasa nyaman ke
pasien.
c. Meningkatkan pengetahuan mengenai merokok
Keluarga diberikan edukasi secara lisan mengenai
dampak merokok terhadap kesehatan dan disarankan untuk
merokok di luar rumah agar tidak memberikan paparan
bahaya rokok ke orang sekitar.
4.4.3 Media Promosi Kesehatan
Media promosi yang digunakan, yaitu brosur yang dijelaskan
menggunakan tablet.
BAB V
SIMPULAN
Ruang Tamu
Kamar 1
Ruang TV
Kamar 2
Ruang Sholat
Kamar Dapur
Mandi
Tempat Cuci Piring
Keterangan :
Pintu
Jendela
Kaca transparan