KELOMPOK 3 BANGSAL NEUROLOGI Fix

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 73

CASE REPORT STUDY

BANGSAL NEUROLOGI
“STROKE HEMORAGIK, GAGAL GINJAL KRONIS DAN
HIPERTENSI”
PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)
DI RUMAH SAKIT OTAK DR. Drs. MUHAMMAD HATTA
Periode 31 Mei – 24 Juli 2021

Oleh:

KELOMPOK III

AMELIA SAPUTRI, S.Farm 2030122003

ANNISA, S.Farm 2030122008

AZIMAH SOLEHA D, S.Farm 2030122012

DONA FAUZIYAH, S.Farm 2030122017

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

PADANG

2021
KATA PENGANTAR

Assalammualaikum warrahmatullahi wabbarakatuh

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Study Bangsal

Neurologi mengenai penyakit Stroke Hemoragik, Hipertensi dan Gagal Ginjal

Kronis yang dilakukan di Rumah Sakit Otak DR. Drs. M. Hatta Bukittinggi.

Laporan ini dibuat untuk melengkapi tugas-tugas bagi mahasiswa Profesi

Apoteker Universitas Perintis Indonesia Yayasan Perintis Padang dan ditulis

berdasarkan teori serta hasil pengamatan selama melakukan Praktek Kerja Profesi

Apoteker (PKPA).

Penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuan, bimbingan, arahan,

serta masukan dari berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan

laporan studi kasus ini.Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan baik

dalam segi penyusunan maupun tata bahasanya sehingga penulis berharap saran,

kritikan dan masukannya demi kesempurnaan laporan studi kasus ini.Semoga

laporan studi kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bukittinggi, Juni 2021

Penulis

i
BAB 1

PENDAHULUAN

Menurut World Health Organization (WHO) stroke adalah manifestasi

klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun global, yang berlangsung

dengan cepat dan lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian tanpa

ditemukannya penyakit selain daripada gangguan vaskular. Berdasarkan kelainan

patologisnya, stroke dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stroke hemoragik dan

stroke non hemoragik (stroke iskemik). Stroke hemoragik diakibatkan oleh

pecahnya pembuluh darah di otak, sedangkan stroke non hemoragik disebabkan

oleh oklusi pembuluh darah otak yang kemudianatau total. Hanya 15% saja yang

dapat sembuh total dari serangan stroke dan kecacatan. Jumlah penderita stroke di

Indonesia terus meningkat. Pada Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) jumlah

penderita stroke di tahun 2007 usia 45-54 sekitar 8 persen, sedangkan pada tahun

2013 mencapai 10 persen. Jumlah penderita stroke usia 55-64 tahun pada

Riskesdas 2007 sebanyak 15 persen, sedangkan pada Riskesdas 2013 mencapai 24

persen.

Secara global stroke menempati ranking ke-2 pembunuh terbesar.

Walaupun demikian, kecacatan yang ditimbulkan oleh stroke justru jauh lebih

besar daripada angka kematian yang ditimbulkannya. Perkiraan anggaran yang

dihabiskan untuk perawatan stroke termasuk dengan perhitungan hilangnya

produktivitas akibat stroke adalah sebesar 68,9 juta dollar AS sepanjang tahun

2009 di Amerika Serikat (WHO, 2005). Di lndonesia, stroke semakin menjadi

masalah utama kesehatan masyarakat. Bersama penyakit kardiovaskular lainnya,

stroke telah menjadisalah satu pembunuh nomorsatu (Misbach,2011).

1
Beberapa faktor resiko terjadinya stroke antara lain hipertensi, diabetes

mellitus, aterosklerosis, anemia, penggunaan heparin, hiperlipidemia,

hiperkromositemia dan malnutrisi protein (Runtuwene Th, 2001). Keberadaan

gagal ginjal kronik (GGK) telah dihubungkan dengan meningkatnya resiko

terjadinya stroke. Pada sebuah penelitian di lndia ditemukan bahwa insidens

terjadinya stroke pada penderita GGK adalah sebesar L.97%(Krishna PR, 2009).

Secara garis besar faktor risiko stroke dibagi atas faktor risiko yang dapat

dimodifikasi (modifable) dan yang tidak dapat di modifikasi (nonmodifable).

Faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah hipertensi,

penyakit jantung (fibrilasi atrium), diabetes mellitus, merokok, mengkonsumsi

alkohol, hiperlipidemia, kurang aktifitas, dan stenosis arteri karotis. Sedangkan

faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin,

ras/suku, dan faktor genetik. Hipertensi merupakan faktor risiko stroke paling

penting yang dapat dimodifikasi baik bagi laki‐laki ataupun wanita. Hipertensi

dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya stroke sekitar dua sampai empat kali.

Melihat stroke semakin menjadi masalah utama kesehatan masyarakat

yang telah diuraikan diatas maka perlu dilakukan suatu penelitian tentang

penyakit dan kajian terapi pada penyakit stroke, gagal ginjal kronik dan hipertensi.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stroke Hemoragik

Menurut World Health Organization (WHO), stroke merupakan suatu

tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak fokal (global) dengan

gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan

kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vascular. Stroke merupakan

gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan aliran darah dalam otak yang

dapat timbul secara mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa

jam) dengan gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah yang terganggu sebagai hasil

dari infark cerebri (stroke iskemik), perdarahan intraserebral atau perdarahan

subarachnoid (Mardjono, 2009).

Stroke hemoragik,nyang merupakan sekitar 15-20% dari semua stroke,

dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga

terjadi pendarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke dalam jaringan

otak (Prince & Wilson, 2012).

Stroke hemoragik ialah suatu gangguan organik otak yang disebabkan

adanya darah di parenkim otak atau ventrikel (PERDOSSI,2016).

2.2 Patofisiologi

Patofisiologi stroke hemoragik diketahui bahwa adanya darah dalam

parenkim otak akan merusak jaringan otak di sekitarnya melalui 2 mekanisme

yaitu efek mekanis dan efek neurotoksi dari darah dan komponen darah serta

hasil urai dari darah (Cohen, 2000).

Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan

perdarahan subaraknoid. Insiden perdarahan intrakranial kurang lebih 20%

3
adalah stroke hemoragik, dimana masing-masing 10% adalah perdarahan

subaraknoid dan perdarahan intraserebral.

Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya

mikroaneurisemia (Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling

sering terjadi di daerah subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi

kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100-400 mikrometer

mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa

degenerasi lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisemia

Charcot Bouchard. Pada kebanyakan pasien, peningkatan tekanan darah yang

tiba-tiba menyebabkan pecahnya penetrating arteri. Keluarnya darah dari

pmbuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriole dan pembuluh

kapiler yang akhirnya membuat pembuluh darah ini pecah. Hal ini

mengakibatkan volume perdarahan semakin besar (Caplan, 2009).

Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat

menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang

terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul

karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis.

Perdarahan subaraknoid (PSA) terjadi akibat pembuluh darah ke ruang

subaraknoid. Perdarahan subaraknoid umumnya disebabkan oleh rupturnya

aneurisemia sakular atau perdarahan arteriovenous malformation (Caplan,

2009).

2.3 Klasifikasi Stroke Hemoragik

Berdasarkan perjalanan klinis stroke hemoragik dikelompokan sebagai

berikut:

4
1. PIS (Perdarahan Intraserebral)

Perdarahan Intra Serebral diakibatkan oleh pecahnya pembuluh

darah intraserebral sehingga darah keluar dari pembuluh darah dan

kemudian masuk ke dalam jaringan otak. Penyebab PIS biasanya karena

hipertensi yang berlangsung lama lalu terjadi kerusakan dinding pembuluh

darah dan salah satunya adalah terjadinya mikroaneurisma. Faktor

pencetus lain adalah stress fisik, emosi, peningkatan tekanan darah

mendadak yang mengakibatkan pecahnya pembuluh darah. Sekitar 60-

70% PIS disebabkan oleh hipertensi. Penyebab lainnya adalah deformitas

pembuluh darah bawaan, kelainan koagulasi. Bahkan, 70% kasus

berakibat fatal, terutama apabila perdarahannya luas (masif) (Junaidi,

2011).

2. PSA (Perdarahan Subarakhnoid)

Perdarahan sub arachnoid adalah masuknya darah ke ruang

subarachnoid baik dari tempat lain (perdarahan subarachnoid sekunder) dan

sumber perdarahan berasal dari rongga subarachnoid itu sendiri (perdarahan

subarachnoid primer). Penyebab yang paling sering dari PSA primer adalah

robeknya aneurisma (51-75%) dan sekitar 90% aneurisma penyebab PSA

berupa aneurisma sakuler congenital, angioma (6-20%), gangguan koagulasi

(iatronik/obat anti koagulan), kelainan hematologic (misalnya

trombositopenia, leukemia, anemia aplastik), tumor, infeksi (missal

vaskulitis, sifilis, ensefalitis, herpes simpleks, mikosis, TBC), idiopatik atau

tidak diketahui (25%), serta trauma kepala. Sebagian kasus PSA terjadi tanpa

5
sebab dari luar tetapi sepertiga kasus terkait dengan stress mental dan fisik

(Junaidi, 2011).

2.4 Manifestasi Klinis

1. Kehilangan motorik

a. Adanya defisit neurologis/kelumpuhan fokal seperti hemiparesis (lumpuh

sebelah badan kanan/kiri saja).

b. Baal mati rasa sebelah badan, rasa kesemutan, terasa seperti terkena cabai

(terbakar)

c. Mulut mencong, lidah moncong, lidah mencong bila diluruskan.

d. Berjalan menjadi sulit, langkahnya kecil-kecil.

2. Kehilangan komunikasi

a. Bicara jadi pelo

b. Sulit berbahasa kata yang diucapkan tidak sesuai dengan

keinginan/gangguan berbicara berupa pelo, cegal dan kata-katanya tidak

bisa dipahami (afasia).

c. Bicara tidak lancar hanya sepatah kata yang terucap.

d. Bicara tidak ada artinya.

e. Tidak memahami pembicaraan orang lain.

f. Tidak mampu membaca dan penulis.

3. Gangguan persepsi

a. Penglihatan terganggu, penglihatan ganda (diplopia)

b. Gerakan tidak terkoordinasi, kehilangan keseimbangan.

4. Defisit intelektual

a. Kehilangan memori/pelupa

6
b. Rentang perhatian singkat

c. Tidak bisa berkonsentrasi

d. Tidak dapat berhitung

5. Disfungsi kandung kemih Tidak bisa menahan kemih dan sering berkemih

(Junaidi, 2011).

2.5 Faktor Risiko Stroke

Faktor-faktorr risiko stroke dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi merupakan faktor yang

berupa karakteristik atau sifat pada seseorang yang dapat meningkatkan

kemungkinan berkembangnya suatu penyakit tertentu. Faktor risiko stroke

yang tidak dapat dimodifikasi yaitu faktor yang berupa karakteristik atau

sifat pasien yang tidak dapat diubah. Contoh dari faktor ini yaitu usia, jenis

kelamin, dan faktor genetik (Goldstein dkk, 2010).

a. Usia

Risiko mengalami stroke akan semakin meningkat seiring dengan

bertambahnya usia (Pinto & Caple, 2010). Menurut hasil penelitian Saraswati

(2009), diketahui bahwa pada orang lanjut usia pembuluh darah lebih kaku

kareana adanya plak. Hal ini berkaitan dengan proses degenerasi (penuaan)

yang terjadi secara alamiah. Pada saat umur bertambah kondisi jaringan tubuh

sudah mulai kurang fleksibel dan lebih kaku, termasuk pembuluh darah

(Farida, 2009).

b. Jenis Kelamin

7
Menurut Bornstein (2009), survey ASNA (ASEAN Neurologic

Association) melakukan penelitian berskala cukup besar di 28 rumah sakit 20

seluruh indonesia. Penelitian dilakukan pada penderita stroke akut yang

dirawat di rumah sakit (hospital based study) dengan analisis penelitian ini,

dapat diperoleh gambaran bahwa penderita laki-laki lebih banyak dari

perempuan. Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko stroke yang

tidak dapat dimodifikasi. Lebih tingginya kejadian stroke pada laki-laki

diduga karena jenis kelamin laki-laki berhubungan dengan faktor risiko stroke

lainnya yakni kebiasaan merokok dan konsumsi alcohol (Wirasakti, 2012).

Gaya hidup tidak sehat juga dapat menyebabkan stroke berulang karena laki-

laki lebih cenderung mempunyai kebiasaan suka memakan makanan siap saji

disaat makan siang saat bekerja dan selesai bekerja. Hormon juga

mempengaruhi lakilaki lebih banyak terkena stroke daripada perempuan,

karena laki-laki tidak memilki hormon estrogen dan progesteron (Farida,

2009).

c. Faktor Genetik

Riwayat stroke dalam keluarga ada hubungannya dengan stroke

berulang. Terkait dengan riwayat stroke di keluarga, orang dengan riwayat

stroke yakni 7,75 kali dibanding orang yang tanpa riwayat stroke pada

keluarga. Keturunan dari penderita stroke diketahui menyebabkan perubahan

dalam penanda aterosklerosis awal yaitu proses terjadinya timbunan lemak di

bawah lapisan dinding pembuluh darah yang dapat memicu terjadinya stroke

(Aguslina, 2005). Beberapa penelitian lain yang telah dilakukan mengesankan

bahwa riwayat stroke dalam keluarga mencerminkan suatu hubungan antara

8
faktor genetis dengan tidak berfungsinya lapisan dinding pembuluh darah

dalam arteri koronia. Karena orang yang terkena stroke gennya sangat

berpengaruh terhadap keturunannya (Farida, 2009).

2. Faktor yang dapat dimodifikasi

Faktor yang dapat dimodifikasi terdiri dari tingkatan pertama dan kedua.

a. Tingkat pertama faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi, diurutkan

dari tingkat banyaknya kejadian yaitu hipertensi, diabetes mellitus,

merokok, fibrilasi atrium dan disfungsi ventrikel kiri.

b. Tingkatan kedua yaitu terdiri dari kolesterol, hiperlipidemia,

asimtomatik karotid stenosis, sickle cell disease, terapi hormon

esterogen, diet, obesitas, alkohol, migrain, dan hiperkoagulasi.

Kebanyakan dari faktor risiko yang tingkatan kedua ini, memiliki

hubungan dengan pengembangan faktor risiko tingkat pertama, misalnya

obesitas merupakan faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dan

diabetes (Goldstein dkk, 2010).

Faktor risiko yang umumnya menyebabkan stroke yaitu tekanan

darah tinggi (hipertensi). Tekanan darah tidak boleh melebihi 140/90

mmHg. Tekanan darah yang tinggi akan menyebabkan tingginya tekanan

di dinding arteri sehingga bisa menyebabkan bocornya arteri otak, bahkan

ruptur pada arteri otak yang akan mengakibatkan terjadinya stroke

hemoragik. Tekanan darah tinggi juga bisa menyebabkan stroke iskemik

yang dikarenakan oleh adanya atherosclerosis (Silva dkk, 2014).

2.2 Hipertensi

2.2.1 Definisi Hipertensi

9
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan di mana tekanan

darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan distolik ≥ 90 mmHg.

2.2.2 Klasifikasi Hipertensi

Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dibagi menjadi 2 kelompok,

yaitu:

1. Hipertensi essensial atau primer yang tida diketahui penyebabnya (90%)

2. Hipertensi sekunder yang penyebabnya dapat ditentukan (10%), antara lain

kelainan pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid),

penyakit kelenjar adrenal (hiperaldosteronisme) dan lain-lain.

Menurut JNC – VII (2003) hipertensi diklasifikasikan sesuai tertera pada

tabel:

Hipertensi sistolik terisolasi (HST) didefinisikan sebagai tekanan darah

istolik ≥ 140 mmHg dengan tekanan darah diastolic ≥ 90 mmHg. Berbagai studi

membuktikan bahwa pravelensi HST pada usia lanjut sangat tinggi akibat proses

penuaan, akumulasi kolagen, kalsium, serta degradasi elastin pada arteri.

Kekakuan aorta akan meningkatkan tekanan darah sistolik dan pengurangan

volume aorta yang pada akhirnya mengaibatkan penurunan tekanan darah

10
diastolic. HST juga dapat terjadi pada keadaan anemia, hipertiroidisme,

insufisiensi aorta, fistula arteriovena dan penyakit paget.

2.2.3 Patofisiologi

Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan total peripheral resistance.

Apabila terjadi peningkatan salah satu dari variabel tersebut yang tidak

terkompensasi maka dapat menyebabkan timbulnya hipertensi. Tubuh memiliki

sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang

disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan mempertahankan stabilitas tekanan darah

dalam jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan darah sangat kompleks.

Pengendalian dimulai dari sistem reaksi cepat seperti reflex kardiovaskuler

melalui sistem saraf, refleks kemoreseptor, respon iskemia, susunan saraf pusat

yang berasal dari atrium, dan arteri pulmonalis otot polos. Sedangkan sistem

11
pengendalian reaksi lambat melalui perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler

dan rongga intertisial yang dikontrol oleh hormon angiotensin dan vasopresin.

Kemudian dilanjutkan sistem poten dan berlangsung dalam jangka panjang yang

dipertahankan oleh sistem pengaturan jumlah cairan tubuh yang melibatkan

berbagai organ.

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II

dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang

peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung

angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon, renin

(diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang

terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II

inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua

aksi utama. 17 Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik

(ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan

bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan

meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh

(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk

mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara

menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang

pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. 17 Aksi kedua adalah

menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan

hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur

volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam)

dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan

12
diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang

pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.

2.2.4 Faktor Risiko

Faktor risiko hipertensi dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu:

1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah: umur, jenis kelamin dan genetik

2. Faktor risiko yang dapat diubah: merokok, diet rendah serat, konsumsi garam

berlebih, kurang aktifitas fisik, berat badan berlebih/kegemukan, konsumsi

alcohol, dislipidemia dan stress.

2.2.5 Diagnosis

Dalam menegakkan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa tahapan

pemeriksaan yang harus dijalani sebelum menentukan terapi atau tatalaksana yang

akan diambil. Algoritma diagnosis ini diadaptasi dari Canadian Hypertension

Education Program. The Canadian Recommendation for The Management f

Hypertension 2014.

13
2.2.6 Tatalaksana

a. Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologis terdiri dari menghentikan kebiasaan merokok,

menurunkan berat badan berlebih, konsumsi alkohol berlebih, asupan garam

dan asupan lemak, latihan fisik serta meningkatkan konsumsi buah dan sayur.

- Menurunkan berat badan bila status gizi berlebih: peningkatan berat badan

di usia dewasa sangat berpengaruh terhadap tekanan darahnya. Oleh karena

itu, manajemen berat badan sangat penting dalam prevensi dan kontrol

hipertensi.

- Meningkatkan aktifitas fisik: orang yang aktivitasnya rendah berisiko

terkena hipertensi 30-50% daripada yang aktif. Oleh karena itu, aktivitas

14
fisik antara 30-45 menit sebanyak >3x/hari penting sebagai pencegahan

primer dari hipertensi.

- Mengurangi asupan natrium

- Menurunkan konsumsi kafein dan alkohol: kafein dapat memacu jantung

bekerja lebih cepat, sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap

detiknya. Sementara konsumsi alkohol lebih dari 2-3 gelas/hari dapat

meningkatkan risiko hipertensi.

b. Terapi Farmakologi

 Pendekatan Umum Terapi

15
 Berdasarkan Compelling Indications

16
 Agen Antihipertensi Primer

17
18
19
20
 Antihipertensi Agen Alternatif

2.2.7 Komplikasi

Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit

jantung, gagal jantung kongesif, stroke, gangguan penglihatan dan penyakit ginjal.

Tekanan darah yang tinggi umumnya meningkatkan resiko terjadinya komplikasi

tersebut.

a. Otak

Stroke merupakan kerusakan target organ pada otak yang diakibatkan oleh

hipertensi. Stroke timbul karena perdarahan, tekanan intra kranial yang meninggi,

atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan

21
tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang

mendarahi otak mengalami hipertropi atau penebalan, sehingga aliran darah ke

daerah-daerah yang diperdarahinya akan berkurang. Arteri-arteri di otak yang

mengalami arterosklerosis melemah sehingga meningkatkan kemungkinan

terbentuknya aneurisma. Ensefalopati juga dapat terjadi terutama pada hipertensi

maligna atau hipertensi dengan onset cepat. Tekanan yang tinggi pada kelainan

tersebut menyebabkan peningkatan tekanan kapiler, sehingga mendorong cairan

masuk ke dalam ruang intertisium di seluruh susunan saraf pusat. Hal tersebut

menyebabkan neuron-neuron di sekitarnya kolap dan terjadi koma bahkan

kematian.

b. Kardiovaskular

Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner mengalami

arterosklerosis atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah

yang melalui pembuluh darah tersebut, sehingga miokardium tidak mendapatkan

suplai oksigen yang cukup. Kebutuhan oksigen miokardium yang tidak terpenuhi

menyebabkan terjadinya iskemia jantung, yang pada akhirnya dapat menjadi

infark.

c. Ginjal

Penyakit ginjal kronik dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat

tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal dan glomerolus. Kerusakan glomerulus

akan mengakibatkan darah mengalir ke unitunit fungsional ginjal, sehingga nefron

akan terganggu dan berlanjut menjadi hipoksia dan kematian ginjal. Kerusakan

membran glomerulus juga akan menyebabkan protein keluar melalui urin

22
sehingga sering dijumpai edema sebagai akibat dari tekanan osmotik koloid

plasma yang berkurang. Hal tersebut terutama terjadi pada hipertensi kronik.

d. Retinopati

Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah

pada retina. Makin tinggi tekanan darah dan makin lama hipertensi tersebut

berlangsung, maka makin berat pula kerusakan yang dapat ditimbulkan. Kelainan

lain pada retina yang terjadi akibat tekanan darah yang tinggi adalah iskemik optik

neuropati atau kerusakan pada saraf mata akibat aliran darah yang buruk, oklusi

arteri dan vena retina akibat penyumbatan aliran darah pada arteri dan vena retina.

Penderita retinopati hipertensif pada awalnya tidak menunjukkan gejala, yang

pada akhirnya dapat menjadi kebutaan pada stadium akhir.26 Kerusakan yang

lebih parah pada mata terjadi pada kondisi hipertensi maligna, di mana tekanan

darah meningkat secara tiba-tiba. Manifestasi klinis akibat hipertensi maligna juga

terjadi secara mendadak, antara lain nyeri kepala, double vision, dim vision, dan

sudden vision loss.

2.3 Gagal Ginjal Kronis

a. Definisi

Gagal ginlal kronis (GGK) merupakan gangguan fungsi renal yang

progresil dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan

metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit menyebabkan uremia.

(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Dialisis atau transplantasi

ginjal kadang- kadang diperlukan untuk kelangsungan hidup pasien (Brunner &

Suddarth, 2002). CKD didefinisikan oleh konsentrasi kreatinin serum lebih besar

dari 1,2 hingga 1,5 mg/dL (dipiro, 2015).

23
Penyakit ginjal kronis adalah penurunan progresif fungsi ginjal dalam

beberapa bulan atau tahun. penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai kerusakan

ginjal dan/atau penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) kurang dari

60mL/min/1,73 m2 selama minimal 3 bulan (kemenkes, 2017).

b. Etiologi

Dari data yang dikumpulkan oleh Indonesiann Renal Registry (IRB) pada

tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut

glomerulonelritis (25%),diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal

polikistik (10%) (Sudoyo &Aru, 2006).

1. Glomerulonelritis

Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan

primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila'penyakit dasarnya berasal

dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonelritis sekunder apabila kelainan ginjal

terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus

sistemik (LES), mieloma multiple atau amiloidosis.

2. Diabetes Mellitus

Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005)

diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin atau kedua-duanya.

3. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan tekanan darah

diastolik > 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi).

24
4. Ginjal polikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau

material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat

ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di

medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai

keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang

paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit

ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian

besar baru bermanilestasi pada usia di atas 30 tahun.

Ada beberapa factor yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal antara

laian yaitu susceptibility factors (faktor kerentanan) yang mana meningkatkan

risiko penyakit ginjal namun tidak secara langsung menyebabkan kerusakan

ginjal. Yang termasuk dalam kategori ini; lanjut usia, penurunan massa ginjal dan

berat lahir yang rendah, ras atau etnis minoritas, riwayat keluarga, pendapatan

rendah atau pendidikan, peradangan sistemik, dan dyslipidemia. Initiation factors

(faktor inisiasi) secara langsung mengakibatkan kerusakan ginjal dan dapat

dimodifikasi dengan terapi obat. Yang termasuk dalam kategori ini; diabetes

melitus, hipertensi, glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik, granulomatosis,

penyakit vaskular, dan nefropati virus human immunodeficiency (HIV).

Progression factors (factor progresif) mempercepat penurunan fungsi ginjal

setelah inisiasi kerusakan ginjal. Yang termasuk dalam kategori ini; glikemia pada

penderita diabetes, hipertensi, proteinuria, hiperlipidemia, obesitas, dan merokok

(Dipiro et al., 2015).

25
C. Klasifikasi

Penyakit ini didefinisikan dari ada atau tidaknya kerusakan ginjal dan

kemampuan ginjal dalam menjalankan fungsinya. Klasifikasi ini didasarkan atas

dua hal yaitu, atas dasar derajat penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat berdasarkan laju filtrasi

glomerulus (LFG), yang dihitung dengan menggunakan rumus cockcroft-gault

sebagai berikut:

Tabel 1. Stadium GGK (The Renal Association, 2013)

d. Patofisiologi

Penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang

mendasarinya. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertropi struktural dan

fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya

kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokinin dan growth

faktor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh

peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini

26
berlangsung singkat, dan pada akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron

yang progresif – meski terkadang penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.

Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron system

(RAAS) intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperϐiltrasi,

sklerosis dan progresiϐitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis RAAS,

sebagian diperantarai oleh transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal

yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresiϐitas penyakit ginjal

kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat

variabilitas inter individual untuk terjadinya sklerosis dan ϐibrosis

glomerulus maupun tubulointerstitial. Stadium yang paling dini dari penyakit

ginjal kronik adalah terjadinya kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve).

Secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif,

yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.

27
Peningkatan tekanan intra glomerulus mengakibatkan stress dan luka pada

dinding edotelium, dan epitelium. Dikarenakan terjadinya luka pada endothelium

dan epitelium pada glomerulus akibat peningkatan tekanan intra glomerulus,

mengakibatkan terjadinya proteinuria (Steddon et al., 2014). Proteinuria dapat

berkontribusi pada penurunan fungsi ginjal secara progresif. Dikatakan demikian

karena berhubungan dengan tingginya ekskresi protein. Hiperlipidemia umumnya

terjadi pada pasien CKD. Hyperlipidemia pada CKD mengakibatkan resiko tinggi

penyakit kardio vascular (CVD), dan ketidak normalan lemak sehingga dapat

mempertinggi keruskan. Meningkatnya LDL dapat mengakibatkan kerusakan

glomerular yang didasari oleh terjadinya serangkaian kejadian seluler di sel

mesangial dan melalui oksidasi ke turunan yang lebih sitotoksik dari salah satu sel

serta peningkatkan pembentukan partikel lipid aterogenik, dan menigkatnya

oksidasi dari LDL (memunculkan aterogenesis yang dapat mengakibatkan

aterosklerosis) (Allderedge et al., 2013).

Sistem renin-angiotensisn-aldosteron (RAAS) memiliki peran dalam

berkembangnya penyakit ginjal kronik (CKD). Peningkatan aktivitas intrarenal

dari sistem renin-angiotensisn-aldosteron (RAAS), memiliki kontribusi pada

hiperfiltrasi, dan hipertropi serta sklerosis. Renin merupakan enzim yang dibentuk

dan disimpan dalam apparatus juxtaglomerular dan dilepaskan sebagai respon

terhadap penurunana tekanan intraarteri aferen, penurunanan kadar natrium

ultrafiltrasi glomerulus dan aktivasi system safar simpatik. Pada pasien dengan

CKD, teknanan intra-renal seringkali rendah dan sering terjadi aktifitas simpatik

yang berlebih. Renin menyebabkan pembelahan protein angiotensinogen, yang

diproduksi oleh hati, untuk menghasilkan angiotensin I. Angiotensin I diubah

28
menjadi angiotensin II oleh angiotensin converting enzyme (ACE). Angiotensin II

memiliki dua efek farmakologis yang utama. Pertama, sebagai pemicu produksi

hormone aldosterone aldosterone mineralokortikoid pada glumerulosa korteks

adrenal, dengan penambahan garam tubular distal dan reabsorbsi air. Selanjutnya,

menyebabkan pelepasan hormone antidiuretik (ADH), yang meningkatkan

reabsorbsi natrium tubular piroksimal dan meningkatkan rasa haus. Aldosteron

dan ADH menurunkan pengeluaran air dari tubuh, dan tetap memberikan rasa

haus, hal ini tentu saja mengakibatkan meningkatnya volume cairan dan tekanan

darah (Diyah, 2020).

e. Manifestasi Klinis

Manifestasi kardiovaskular pada gagal ginjal kronis mencakup hipertensi,

gagal jantung kongestif dan edema pulmoner sedangkan gejala dermatologi yang

sering terjadi mencakup rasa gatal yang parah dan gejala gastrointestinal juga

sering terjadi mencakup anoreksia, mual, muntah, dan cegukan (Cut Husna,

2010). Beberapa gejala dan pemeriksaan yang dapat dijadikan pegangan /indikator

telah terjadinya penurunan fungsi ginjal yang signifikan yaitu:

1. Jumlah urin (kemih) berkurang atau tidak ada urin. Jumlah urin < 500 mV24

iam atau < 20 m/KgBB/jam pada orang dewasa dan <1 ml/KgBB4am pada

anak-anak, walaupun jumlah air yang diminum dalam jumlah yang

wajar/normal.

2. PucaVanemia, Penderita terlihat pucat pada muka maupun telapak tangannya,

bila diukur Hb < 10 g/dl.

3. Mual, muntah dan tidak nafsu makan.

4. Nafas berat, mudah sesak bila banyak minum atau melakukan kerja berat.

29
5. Rasa sangat lemah.

6. Sering cegukan/sedakan (hiccup) yang berkepanjangan.

7. Rasa gatal di kulit.

8. Pemeriksaan laboratorium yang penting: ureum darah sangat tinggi.

F. Diagnosa

Menurut marilynn E .Doenges (2000) adalah sebagai berikut :

Pemeriksaan Urine
Volume Biasanya kurang dari 400 ml / 24 jam
atau urine tak ada (anuria)
Warna Secara abnormal urine keruh mungkin
disebabkan oleh pus bakteri, lemah,
partikel koloid, fosfat atau urat
Berat jenis Kurang dari 1,05 (menetap pada 1,010
menunjukkan kerusakan ginjal berat)
Osmolalitas Kurang dari 300 mosm / kg
menunjukkan kerusakan tubular dan
rasio urine serum sering 1 : 1
Klirens Kreatinin Peningkatan kreatinin serum
menunjukan kerusakan ginjal
Natrium Lebih besar dari 40 g/dl, karena ginjal
tidak mampu mereabsorpsi natrium.
(135-145 g/dL)
Protein Derajat tinggi proteinuria (3–4+) secara
kuat menunjukkan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen juga
ada.

30
Pemeriksaan Darah
BUN/Kreatinin Meningkat, biasanya meningkat dalam
proporsi, kadar kreatinin 10 mg/dl.
Diduga batas akhir mungkin rendah
yaitu 5
Hitung darah lengkap Ht namun pula adanya anemia Hb :
kurang dari 7–89/dl, Hb untuk
perempuan (13-15 g/dL), laki-laki (13-
16g/dL)
SDM Waktu hidup menurun pada defesiensi
eriropoetin seperti pada azotemia.

Pemeriksaan penunjang

1. KUB Foto : menunjukkan ukuran ginjal / ureter / kandug kemih dan adanya

obstruksi (batu).

2. Pielogram retrograde : Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter.

3. Arteriogram ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi

ekstravakuler massa. Sistrouretrografi berkemih : menunjukkan

ukurankandung kemih, refiuks kedalam ureter, rebonsi.

4. Ultrasono ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa. Kistaobstruksi

pada saluran kemih bagian atas.

5. Biopsi ginjal : mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan

pelvis ginjal : keluar batu hematuria dan pengangkatan tumor selektif.

6. EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidak keseimbangan

elektrolitasam/basa.

7. Foto kaki, tengkorak, kolumna spinal, dan tangan : Dapat menunjukkan

deminarilisasi, kalsifikasi.

31
G. Penatalaksanaan

1. Tujuan terapi

Tujuan yang di harapkan adalah memperlambat perkembangan CKD

minimalisasi perkembangan atau keparahan komplikasi.

2. Terapi non farmakologi

a. Diet rendah protein (0,6-0,75 g/kg/hari) dapat membantu memperlambat

perkembangan CKD pada pasien dengan atau tanpa diabetes. Meskipun

efeknya cenderung kecil.

b. Pembatasan Glukosa

Disarankan pemeriksaan hemoglobin A1c (HbA1c) 7.0% (53mmol/mol)

untuk mencegah dan menunda perkembangan komplikasi mikrovaskuler

diabetes pada pasien GGK dengan diabetes.

c. Hentikan merokok.

d. Diet natrium, diusahakan < 2.4 g per hari.

e. Menjaga berat badan.

BMI (Body Mass Index) <25, lingkar pinggang < 102cm untuk pria,

dan < 88cm untuk wanita.

f. Olahraga

Direkomendasikan melakukan olahraga ringan 30-60 menit seperti jalan

santai, jogging, bersepeda atau berenang selama 4-7 hari tiap minggu.

Terapi non farmakologi lain yang dilakukan pada pasien GGK terutama

yang sudah stage 5 adalah :

32
a) Hemodialisis

Merupakan tindakan untuk membuang sampah metabolisme yang tak bisa

dikeluarkan oleh tubuh, seperti adanya ureum di dalam darah. Dilakukan jika

pasien menderita GGK stadium 5 dan telah diberikan diuretik namun tidak

berefek.

b) Operasi AV Shunt (arterio veno shunting)

Merupakan tindakan yang pertama kali dilakukan kepada pasien sebelum

menjalankan hemodialisis rutin. Operasi ini adalah operasi pembuatan saluran

untuk hemodialisis.

3. Terapi Farmakologi

Pada hiperglikemia

 Terapi intensif pada pasien dengan diabetes tipe 1 dan 2 dapat mengurangi

komplikasi mikrovaskular, termasuk nefropati. Terspi intensif dapat termasuk

insulin atau obat oral dan melibatkan pengukuran kadar guladarah setidaknya

tiga kali sehari.

 Perkembangan CKD dapat dibatasi melalui control optimal terhadap

hiperglikemia dan hipertensi.

33
34
Pada penderita hipertensi

 Control tekanan darah yang dapat mengurangi laju penurunan GFR dan

albuminuria pada pasien dengan atau tanpa diabetes.

35
 Terapi antihipertensi untuk pasien CKD dengan diabetes atau tanpa diabetes

sebaiknya diawali dengan pemberian inhibitor ACE, atau bloker reseptot

angiostensin II. Bloker kanal kalsium nondihidropiridin biasanya digunakan

sebagai obat antiproteinuria lini kedua apabila penggunaan inhibitor ACE atau

ARB tidak dapat ditoleransi.

36
Pada hiperlipidemia

 Pembatasan asupan protein, penggunaan obat-obatan penurun kolesterol,

penghentian kebiasaaan merokok, dan manajemen anemia dapat membantu

memperlambat laju perkembangan CKD.

 Tujuan utama penggunaan obat-obatan penurun kolesterol pada kondisi CKD

adalah untuk menurunkan risiko perkembangan penyakit kardiovaskular

aterosklerosis.

 Tujuan kedua adalah untuk mengurangi terjadinya proteinuria dan penurunan

fungsi ginjal, yang terlihat pada penggunaan statin.

37
BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : An. I. R
Umur : 29 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl.xxx
Tanggal masuk : 10Juni 2021
Tanggal keluar : 17 juni 2021
No. Rekam Medik : 0014**
3.2 Anamnesa
Seorang pasien berinisial An. I. R dibawa oleh keluarganya ke Rumah Sakit
otak DR.DRS.M. Hatta Bukittinggi dengan keluhan lemah anggota gerak sebelah
kiri ± 2 hari SMRS.
3.2.1 Riwayat Penyakit Sekarang
- Lemah anggota gerak ± 2 hari SMRS
- Nyeri kepala
- Muntah
- Demam
- Banyak tidur
- Gelisah
3.2.2 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menderita penyakit hipertensi dan jantung
3.2.3 Riwayat Penyakit Keluarga
Berdasarkan wawancara dengan keluarga pasien, memang memiliki riwayat
penyakit hipertensi
3.3 PemeriksaanFisik
Hasil pemeriksaan fisik di Rumah Sakit pada tanggal 2 Juni 2021 :
a. Pemeriksaanfisik
Kondisi Umum : Sedang
Kesadaran : Apatis
Frekuensi Nadi : 96 x/ menit

38
Frekuensi Nafas : 20 x / menit
Suhu : 37,2oC
Tekanan Darah : 200/120 mmHg
Berat Badan : 65 kg
b. PemeriksaanUmum
Kepala : Tidak ditemukan kelainan (normal)
Rambut : Tidak ditemukan kelainan (normal)
Muka : Tidak ditemukan kelainan (normal)
Mata : Tidak ditemukan kelainan (normal)
Telinga : Tidak ditemukan kelainan (normal)
Hidung : Tidak ditemukan kelainan (normal)
Mulut : Tidak ditemukan kelainan (normal)
Gigi : Tidak ditemukan kelainan (normal)
Lidah :Tidak ditemukan kelainan (normal)
Tenggorokan :Tidak ditemukan kelainan (normal)
Dada : Tidak ditemukan kelainan (normal)
Toraks : Tidak ditemukan kelainan (normal)
Respirasi : Tidak ditemukan kelainan (normal)
3.4 PemeriksaanPenunjang
- Test Urine
Warna : Kuning
Kekeruhan : Jernih
BJ : 1,010
pH : 5,0
Protein :+1
Glukosa : Negatif
Bilirubin : Negatif
Urobilinogen : Normal
Keton : Negatif
Leukosit : 8-10 /LPB
Eritrosit : 18-20 /LPB
Slinder : 0-1 /LPK
Kristal :0 /LPK

39
Epitel :0 /LPK
- Pemeriksaan DarahLengkap
Hemoglobin : 13,9 g.dL
Leukosit : 13,01 103 µl
Eritrosit : 4,99 jt/µl
Hematokrit : 42,6 %
MCV : 85,3 pl
MCH : 27,8 pg
MCHC : 32,5
- Pemeriksaan Kimia Klinik
Gula darah
Random : 122 mg/dl
Nukhter : 119 mg/dl
2 jam pp : 112 mg/dl
Asam urat : 14,0 mg/dl
Total Kolesterol : 160 mg/dl
HDL Kolesterol : 31 mg/dl
LDL Kolesterol : 103 mg/dl
Trigliserida : 130 mg/dl
Ureum : 71 mg/dl
Kreatinin : 3,3 mg/dl
Natrium : 142 mmol/l
Kalium : 4,4 mmol/l
Klorida : 107 mmol/l
3.5 Diagnosa
Pasienmasukdengandiagnosastroke hemoragik, gagal ginjalkronik dan
hipertensi.
3.6 PENATALAKSANAAN
3.6.1 Terapi/Tindakan yang diberikan di IGD
- O2 3 L
- Ivfd Nacl 0,9% / 12 jam
- Injeksi Ranitidin 1 amp

40
- Infus Manitol 250 cc
- Injeksi lasik 1 amp
- Bic nat 3 x 1
- Simvastatin 1 x 20 mg
- Diltiazem 2 x 60 mg
- Parasetamol 3 x 500 (k/p)
- Asam folat 2 x 1
3.6.2 Terapi/Tindakan yang diberikan di Bangsal Neurologi
- O23 L
- IvfdNacl 0,9% : Eas primer / 12 jam
- Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg
- Injeksi Ceftriaxon
- Simvastatin 1 x 20 mg
- Diltiazem 2 x 60 mg
- Manitol + lasix ½ ampul
- Paracetamol 3 x 500 mg (K/P)
- Bicnat 3 x 1
- Asam folat 2 x 1
- Citicoline 2 x 250 mg
- Concor 1 x 2,5 mg
- Concor 1 x 5 mg
- Candesartan 1 x 16 mg
- Halloperidol 2 x 0,5 mg
- Halloperidol 2 x 1,5 mg
- Clonidine 2 x 1 tab
- Dulcolax suppostoria
3.7 Follow Up
- Hari ke-2 (11 Juni 2021) di Neurologi oleh DPJP
S : Gelisah (+) riwayat hipertensi (+) tidak terkontrol
O : Kesadaran delirium
GCS : E4M5V3= 12

41
A : ICH + CKD + Hipertensi Stage 2 + Delirium ± 3 hari
P : O2 4-6 L
Nacl 0,9% / 8 jam
Manitol 125 cc
Furosemid ½ amp
Paracetamol 3 x 500 mg
Citicoline 2 x 250 mg
Candesartan 1 x 16 mg
Konsul Penyakit Dalam CKD observasi gagal ginjal
Konsul Bedah Saraf
- Hari ke-3 (12 Juni 2021) di Neurologi oleh DPJP
S : Pasien gelisah, konfirmasi pindah ICU
O : GCS : E4M5V3= 12
Tekanan darah 200/120 mmhg
Nadi 110 x/menit
A : ICH + CKD + HT GD 2 + Delirium 4 hari
P : Pasien tetap dirawat diruang biasa
+ Halloperidol 2 x 0.5 mg
+ Clonidin 2 x 1 tablet
- Hari ke-5 (14 Juni 2021) di Neurologi oleh DPJP
S : Penurunan Kesadaran, BAB berkurang
O : Kondisi umum sedang
Tekanan Darah 130/80 mmhg
Kesadaran Apatis
GCS : E4M6V4
A : SH, CKD, PJB + GMO
P : Terapi dilanjutkan, + Dulcolax Supp (K/P), + Asam Folat 1 x 2 mg
- Hari ke-6 (15 Juni 2021) di Neurologi oleh DPJP
S : Gerak mata spontan, kontak tidak kuat, cairan tidak cukup, minum
sedikit
O : Kondisi umum berat
Kesadaran Apatis

42
Tekanan darah 140 / 70 mmhg
GCS : E4M5V4
Motorik : Hemiparese Sinitra
A : Stroke Hemoragik, Gagal Ginjal akut, GMO
P : Infus Nacl 0,9%/ 12 jam, terapi lainnya lanjut
- Hari ke-7 (16 Juni 2021) di Neurologi oleh DPJP
S : Gerak mata spontan, kontak tidak adekuat
O : Kondisi umum sedang
Kesadaran Apatis
Tekanan darah 140 / 80 mmhg
Motorik : Hemiparese Sinitra
A : Stroke Hemoragik, CKD
P : Anjuran rujuk ke RSU M. Djamil Padang
- Hari ke-8 (17 Juni 2021) di Neurologi oleh DPJP
S : Gerak mata spontan, kontak tidak adekuat, lemah anggota gerak kiri
O : Kondisi umum sedang
Kesadaran Apatis
GCS : E4M5V4
Tekanan darah 130 / 80 mmhg
Motorik : Hemiparese Sinitra
A : Stroke Hemoragik + CKD + PJB non sicnotik
P : Rujuk ke RSU M. Djamil Padang

43
BAB IV

DISKUSI

4.1. Drug Related Problem


Check
No Drug Therapy Problem Keterangan/Rekomendasi
list
1. Terapi Obat Yang Tidak Diperlukan

Terapi yang diberikan sudah sesuai dengan


Terdapat terapi tanpa kondisi medis pasien.
indikasi medis - Simvastatin digunakan untuk stabilisasi plak
dan sebagai efek pleitropic
- Injeksi ranitidin digunakan untuk mencegah
stress ulcer
- Paracetamol digunakan untuk menghilangkan
nyeri dan menurunkan suhu tubuh
- Diltiazem digunakan untuk menurunkan
tekanan darah pada hipertensi
- Natrium bicarbonate digunakan sebagai
-
asidosis metabolik
- Asam folat sebagai vitamin
- Citicoline digunakan sebagai suplemen
makanan untuk meningkatkan aliran darah dan
konsumsi oksigen di otak
- Candensatran digunakan sebagai menurunkan
tekanan darah tinggi dan dapat juga digunakan
sebagai pengobatan jantung
- Haloperidol digunakan untuk mengatasi gejala
skizofrenia
- Concor digunakan untuk obat jantung
Pasien tidak mendapatkan terapi tambahan yang
Pasien mendapatkan tidak diperlukan
-
terapi tambahan yang
tidak di perlukan
Pasien tidak memungkinkan menjalani terapi non
Pasien masih farmakologi
memungkinkan -
menjalani terapi non
farmakologi
Tidak terdapat duplikasi terapi
-
Terdapat duplikasi terapi
- Pasien tidak merasakan adanya efek samping
Pasien mendapatkan sehingga tidak ada permasalahan

44
penanganan terhadap
efek samping yang
seharusnya dapat di
cegah
2. Kesalahan Obat
Bentuk sedian sudah disesuaikan dengan kondisi
Bentuk sediaan tidak pasien.
tepat - Simvastatin: karena simvastatin tidak ada
dalam bentuk sediaan injeksi sehingga pasien
diberikan dalam bentuk tablet yang digerus
Karena pasien menggunakan NGT dan pasien
memiliki kesulitan dalam menelan.
- Paracetamol: diberikan dalam bentuk tablet
yang digerus Karena pasien menggunakan
NGT dan pasien memiliki kesulitan dalam
menelan.
-
- Diltiazem, Natrium Bicarbonat, Asam Folat,
Candesartan, Concor, Haloperidol dan
Clonidin: diberikan dalam bentuk tablet yang
digerus Karena pasien menggunakan NGT dan
pasien memiliki kesulitan dalam menelan.
- Injeksi Ranitidine, Injeksi Citicoline, Injeksi
Ceftriaxone, Injeksi Furosemid: diberikan
dalam bentuk injeksi agar mempercepat efek
kerja obat pada pasien
- Dulcolax: diberikan dalam bentuk suppositoria
agar mempercepat efek kerja obat pada pasien.
Tidak terdapat kontraindikasi antar obat dan
Terdapat kontraindikasi -
kondisi pasien
Kondisi pasien dapat disembuhkan dengan obat
Kondisi pasien tidak karena semakin hari keadaan pasien makin
- membaik
dapat disembuhkan oleh
obat
Tidak ada obat yang tidak diindikasikan untuk
Obat tidak diindikasi - pasien
untuk kondisi pasien
Obat yang diberikan sudah efektif dalam proses
Terdapat obat lain yang pengobatan pasien, dimana terapi obat yang
-
efektif diberikan telah sesuai dengan kondisi pasien yang
dapat dilihat pada follow up harian pasien
3. Dosis Tidak Tepat
Dosis terlalu rendah - CrCl pasien:
¿¿

45
- Manitol
Rumus osmolaritas:
2 x kadar Na+ gula darah sewakt BUN
+
18 6
(2 x 142)+ 122 71
= +
18 6
284+122 71
= +
18 6
= 302,5
- Simvastatin 1 x 20 mg (po)
Pada gangguan ginjal berat dosis di atas 10 mg
harus digunakan dengan hati-hati. (tidak perlu
penyuasaian dosis)
- Parasetamol 3 x 500 mg (po) = 1500 mg/hari
Dosis: 325 mg – 650 mg/hari, 4- 6 jam
Dosis maksimum: 3250 mg – 4000 mg/hari
(tidak perlu penyusaian dosis)
- Diltiazem 2 x 60 mg (po) = 120 mg/hari
Dosis: 90 mg – 120 mg/hari
Dosis maksimum 360 mg/hari
(tidak perlu penyusaian dosis)
- Natrium bicarbonate 3 x 500 (po) = 1500
mg/hari
Dosis maksimum: usia <60 tahun: 16 g/hari,
>60 tahun: 8 g/hari
(tidak perlu penyusaian dosis)
- Asam folat 1 x 2 mg/hari = 2 mg/hari
Dosis: 0,4 mg – 1 mg
Dosis maksimum: 4000 mcg/hari atau 4
mg/hari
(tidak perlu penyusaian dosis)
- Candesartan 1 x 16 mg (po) = 16 mg/hari
Dosis awal: 8 mg - 32 mg
Dosis maksimum: 32 mg
(tidak perlu penyusaian dosis)
- Injeksi Ranitidine 2 x 50 mg (IV) = 100
mg/hari
Dosis maksimum: 150 mg/hari
- Lasix 3 x 125 mg (IV) = 375 mg/hari
- Dosis : 20 mg – 80 mg
Dosis maksimum: 150 mg/hari
(tidak perlu penyusaian dosis)
- Citicoline 2 x 250 mg (IV) = 500 mg/hari
Dosis maksimum: 200 – 600 mg/hari
(tidak perlu penyusaian dosis)
- Ceftriaxone 1 x 2 g (IV) = 2 g/hari
Dosis maksimum: 2 g/hari
(tidak perlu penyusaian dosis)

46
- Concor 1 x 2,5 mg (po) = 2,4 mg/hari
Dosis maksimum: 5 – 10 mg/hari
(tidak perlu penyusaian dosis)
- Haloperidol 2 x 0,5 mg (po) = 1 mg/hari
Dosis: 0,5 mg – 5 mg/hari, 2 – 3 jam
Dosis maksimum: 30 mg/hari
(tidak perlu penyusaian dosis)
- Clonidine 2 x 0,15 mg (po) = 0,3 mg/hari
Dosis: 300 – 1200 mcg/hari atau 0,3 – 1,2
mg/hari
Dosis maksimum: 2400 mcg/hari atau 2,4
mg/hari
(tidak perlu penyusaian dosis)
Dosis simvastatin terlalu tinggi untuk pasien
Dosis terlalu tinggi penyakit gangguan fungsi ginjal.
- Simvastatin 1 x 10 mg (po)
Pada gangguan ginjal berat dosis di atas 10 mg
harus digunakan dengan hati-hati.
√ - Ranitidin 2 x 50 mg
Penggunaan ranitidin pada pasien gangguan
ginjal (eGFR < 50 ml/menit ) harus
menggunakan setengah dari dosis normal
(dosis diturunkan menjadi 2 x 25 mg)
(British National Formularium)
Frekuensi obat yang diberikan telah tepat
Frekuensi pengguna - Simvastatin 1 x 1 (po) pada malam hari
tidak tepat - Injeksi ranitidine 2 x 1 (IV) pada pagi dan
malam hari
- Paracetamol 3 x 500 mg (po) di berikan pada
pagi, siang dan malam hari
- Diltiazem 2 x 60 mg (po) diberikan pada pagi
dan malamhari
- Natrium bicarbonate 3 x 500 mg (po) diberikan
pada pagi, siang dan malam hari
- Asam Folat 1 x 2 mg (po) diberikan pada pagi
hari
-
- Candesartan 1 x 16 mg (po) diberikan pada
malam hari
- Lasix 3 x 125 mg (IV) diberikan pada pagi dan
malam hari
- Citicoline 2 x 250 mg/hari (IV) diberikan pada
pagi dan malam hari
- Concor 1 x 2,5 mg (po) diberikan pada pagi
hari
- Haloperidol 2 x 0,5 mg (po) diberikan pada
pagi dan malam hari
- Clonidine 2 x 0,15 mg (po) diberikan pada pagi
dan malam hari

47
Durasi penggunaan sudah tepat
Durasi penggunaan tidak -
tepat
Penyimpanan obat sudah tepat, dimana obat
Penyimpanan tidak tepat -
disimpan didalam tempat obat pasien
4. Reaksi Yang Tidak Diinginkan
Penggunaan simvastatin pada gangguan ginjal
Obat tidak aman untuk - berat dosis di atas 10 mg harus digunakan dengan
pasien hati-hati.
Tidak terjadi reaksi alergi, pasien tidak memiliki
Terjadi reaksi alergi -
riwayat alergi sehingga obat aman digunakan
- Terdapat interaksi obat simvastatin dengan
Terjadi interaksi obat penyakit gangguan ginjal, karena akan
berkaitan dengan resiko efek samping yang
lebih besar, termasuk toksisitas dan
musculoskeletal. Terapi dengan simvastatin
harus diberikan hati-hati dengan dosis yang
-
dikurangi pada pasien dengan gangguan ginjal
berat.
- Diltiazem dengan simvastatin adanya
peningkatan risiko miopati. Dosis dengan
simvastatin jangan melebihi 40 mg (Renal
Drug, Handbook)
Tidak ada dosis yang dinaikan ataupun
Dosis obat dinaikan atau - diturunkan
diturunkan terlalu cepat
Menurut pengamatan tidak ada muncul efek yang
Muncul efek yang tidak - tidak diinginkan selama pemberian terapi
diinginkan
- Administrasi obat yang diberikan sudah tepat.
Administrasi obat yang - Simvastatin: karena simvastatin tidak ada
tidak tepat dalam bentuk sediaan injeksi sehingga pasien
diberikan dalam bentuk tablet yang digerus
Karena pasien menggunakan NGT dan pasien
memiliki kesulitan dalam menelan.
- Paracetamol: diberikan dalam bentuk tablet
yang digerus Karena pasien menggunakan
NGT dan pasien memiliki kesulitan dalam
menelan.
- Diltiazem, Natrium Bicarbonat, Asam Folat,
Candesartan, Concor, Haloperidol dan
Clonidin: diberikan dalam bentuk tablet yang
digerus Karena pasien menggunakan NGT dan
pasien memiliki kesulitan dalam menelan.
- Injeksi Ranitidine, Injeksi Citicoline, Injeksi
Ceftriaxone, Injeksi Furosemid: diberikan

48
dalam bentuk injeksi agar mempercepat efek
kerja obat pada pasien
- Dulcolax: diberikan dalam bentuk suppositoria
agar mempercepat efek kerja obat pada pasien.
5. Ketidaksesuaian Kepatuhan Pasien
Tidak ada obat yang tidak tersedia, semua obat
Obat tidak tersedia - yang dibutuhkan oleh pasien tersedia di apotek
rumah sakit
Pasien tidak mampu menyediakan semua obat
Pasien tidak mampu √ dan dibantu oleh keluarga pasien (orang tua
menyediakan obat pasien) karena tingkat kesadaran pasien apatis.
Pasien tidak mampu mengkonsumsi atau menelan
Pasien tidak bisa obat dengan baik sehingga pasien menggunakan
√ NGT dan pemberian obat dibantu oleh perawat.
menelan obat atau
menggunakan obat
Instruksi penggunaan obat dijelaskan kepada
Pasien tidak mengerti keluarga pasien
-
intruksi penggunanan
obat
Pasien patuh dalam menggunakan obat, obat-
Pasien tidak patuh atau obatan untuk pasien rawat inap disiapkan dalam
- bentuk UDD untuk satu kali pakaian, sehingga
memilih untuk tidak
ketidakpatuhan pasien dapat teratasi.
menggunakan obat
6. Pasien Membutuhkan Terapi Tambahan
Tidak ada kondisi yang tidak mendapatkan terapi
Terdapat kondisi yang -
tidak diterapi
Pasien tidak membutuhkan obat lain yang sinergis
Pasien membutuhkan -
obat lain yang sinergis
Pasien telah mendapatkan terapi profilaksis
Pasien membutuhkan -
terapi profilaksis

4.2 Rekomendasi
Tidak/
No Jenis Obat Rute Dosis Indikasi Komentar
Tepat
1. IVFD NaCl 0,9 % IV - Elektrolit Tepat Pasien
mengalami
kekurangan
nutrisi
2. Simvastatin Per 20 mg Untuk Tepat Penggunaan

49
oral stabilisasi simvastatin
plak, dan pada
efek gangguan
pleitropic ginjal berat
dosis di atas
10 mg harus
digunakan
dengan hati-
hati.
3. Paracetamol Per 500 mg Analgetik Tepat Suhu pasien
oral dan tinggi
antipiretik
4. Diltiazem Per 60 mg Menurunkan Tepat Tekanan dara
oral tekanan pasien tinggi
darah dan
mencegah
teradinya
nyari dada
(angina)

6. Bicnat Per 500 mg Mengatasi Tepat Nyeri


oral asidosis lambung
metabolic,
urin yang
terlalu asam
dan asam
lambung
berlebih
7. Asam Folat Per 2 mg Vitamin dan Tepat Meningkatkan
oral mineral daya tahan
tubuh pasien
8. Candensatran Per 16 mg Menurunkan Tepat Tekanan darah
oral tekanan pasien tinggi
darah
9. Inj. ranitidine IV 50 mg Mengatasi Tepat Nyeri
nyeri lambung
lambung
10. Manitol + lasix ½ IV Mengurangi Tepat Pasien
ampul tekanan mengalami
dalam otak, pemecahan
bola mata pembuluh
dan darah di otak
pembengkak
an otak
11. Citicoline IV 250 mg Mempertaha Tepat Pasien
nkan fungsi mengalam
otak pemecahan
pembuluh

50
darah di otak
12. Inj Cetriaxon IV 2g Mengatasi Tepat
berbagai
infeksi aibat
bakteri
13. Concor Per 2,5 mg Menurunkan Tepat Pasien
oral 5 mg tekanan mengalami
darah tinggi, tekanan darah
membantu tinggi,
mencegah stroke,dan
sroke, CKD
serangan
jantung dan
gagal ginjal
14. Haloperidol Per 0,5 mg Mengatasi Tepat Pasien
oral 1,5 mg tekanan mengalami
darah tinggi tekanan darah
tinggi
15. Clonidin Per 0,15 mg Mengatasi Tepat Pasien
oral tekanan mengalami
darah tinggi tekanan darah
tinggi
16. Dulcolax Suppo Mengalami Tepat Pasien sulit
se sembelit dan BAB
konstipasi

4.3 Rencana Asuhan Kefarmasian


4.3.1 Efek Terapi
Rekomendas Nilai yang Frekuensi
No Tujuan Terapi Parameter
i diinginkan Pemantauan
Menstabilkan plak
1. dan memiliki efek Simvastatin 14 hari
pleiotropic
Diltiazem
Menurunkan Candesartan Tekanan
2. 120/80 mmHg Tiap hari
tekanan darah Clonidin darah

Mengatasi asidosis
Menetralisir
metabolik, urine
asam yang Darah menjadi
3. yang terlalu asam, Bicnat Tiap hari
tinggi di basa
dan asam lambung
dalam darah
berlebih
Mencukupi Kondisi Vitamin dan
4. Vitamin dan Asam folat umum mineral pasien Tiap hari
mineral pasien tercukupi
5. Anti nyeri dan Parasetamol Suhu tubuh 360-37,20 C Tiap hari
penurun demam dan rasa

51
nyeri
Nyeri
Mengatasi nyeri Nyeri
6 Ranitidine inj lambung Tiap hari
lambung lambung
berkurang
Mengurangi
tekanan dalam Kondisi Sakit kepala ↓
Manitol +
7 otak, bola mata dan umum Kesadaran Tiap hari
Lasix
pembengkakan pasien meningkat
otak
Kesadaran
compos
Melindungi otak, Kesadaran
mentis,
8 mempertahankan Citicoline sensorik dan Tiap hari
sensorik dan
fungsi otak motorik
motorik
normal
Menggantikan NaCl 0,9 % + Tidak Cairan tubuh
9 Tiap hari
cairan tubuh eas primer dehidrasi terpenuhi
Mengatasi
Kultur bakteri
10 berbagai infeksi Ceftriaxon inj Tiap hari
(-)
bakteri
Menurunkan
tekanan darah
tinggi, membantu Frekuensi
11 Concor 60-80 x/menit Tiap hari
mencegah stroke, nadi
serangan jantung,
dan masalah ginjal.
Kondisi
12 Antipsikotik Haloperidol umum Tidak gelisah Tiap hari
pasien
Mengatasi sembelit Dulcolax Frekuensi
13 BAB normal Tiap hari
atau konstipasi suppostoria BAB

52
53
4.3.2 Hasil Pemantauan Efek Terapi
Rekomendasi Parameter Nilai yang Frekuensi Hasil pemeriksaan
Terapi Pemantauan diinginkan pemantauan 10-6-21 11-6-21 12-6-21 13-6-21 14-6-21 15-6-21 16-6-21 17-6-21
Menstabilkan
plak dan
Simvastatin <200 mg/dL Tiap 14 hari 160
memiliki efek
pleiotropic
Diltiazem
200/
Candesartan Tekanan darah 120/80 mmHg Tiap hari 190/110 200/100 170/100 130/80 140/80 140/90 130/80
120
Clonidin
Menetralisir
Darah menjadi
Bicnat tingginya asam Tiap hari - - - - - - - -
basa
di dalam darah
Vitamin dan
Kondisi umum
Asam folat mineral pasien Tiap hari - - - - - - -
pasien
tercukupi
Parasetamol Suhu tubuh <36 0 C Tiap hari 38,3 38,2 38,5 37 36,5 36 36,6 36,5
Nyeri lambung
Ranitidine inj Nyeri lambung Tiap hari
berkurang
Sakit
Sakit Sakit Sakit
Sakit kepala ↓ Sakit kepala Sakit Sakit Sakit
Manitol Kondisi umum kepala kepala kepala
Kesadaran Tiap hari kepala agak kepala kepala kepala
lasix pasien berkura berkura berkura
meningkat berat berkura (-) (-) (-)
ng ng ng
ng
Apatis Apatis Apatis Apatis Apatis Apatis Apatis Apatis
Kesadaran dan dan dan dan dan dan dan dan
Kesadaran
compos mentis, sensorik sensorik sensorik sensorik sensorik sensorik sensorik sensorik
Citicoline sensorik dan Tiap hari
sensorik dan motorik motorik motorik motorik motorik motorik motorik motorik
motorik
motorik normal tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak
normal normal normal normal normal normal normal normal
NaCl 0,9% Cairan tubuh Tidak dehidrasi Tiap hari Cairan Cairan Cairan Cairan Cairan Cairan Cairan Cairan

54
tubuh tubuh tubuh tubuh tubuh tubuh tubuh
tubuh
terpenuh terpenuh terpenuh terpenuh terpenuh terpenuh terpenuh
terpenuhi
i i i i i i i
Kadar neutrofil
Ceftriaxon inj Kadar neutrofil Tiap 5 hari 88,8 % - - - - 84,1 % - -
normal
Concor Frekuensi nadi 60-80 x/menit Tiap hari 78 74 87 96 84 80 84 -
Kondisi umum Tidak Tidak Tidak Tidak
Haloperidol Tidak gelisah Tiap hari - - - -
pasien gelisah gelisah gelisah gelisah
Susah BAB
Dulcolax supp Buang air besar BAB normal Tiap hari - - - - - -
BAB lancar

4.3.3 Pemantauan Efek Samping Obat


Nama Obat Manifestasi ESO Regimen Cara Mengatasi ESO Evaluasi
No Dosis Tgl Uraian
1 Simvastatin Bersin-bersin, Pilek, 1 x 20 Banyak minum air putih, dan 10-17 juni Pasien tidak
Sakit tenggorokan, mg po konsumsi buah yang 2021 mengalami efek
Mual, Sembelit. mengandung serat samping
2 Diltiazem Sakit kepala, Pusing, 2 x 60 Istirahat yang cukup, banyak 11-18 juni Pasien tidak
Rasa panas, Batuk, mg po konsumsi air putih, perbanyak 2021 mengalami efek
Hidung tersumbat, makan buah dan sayur samping
Detak jantung
melambat, Mual dan
muntah, Diare atau
konstipasi.
3 Bicnat Mual, Haus,, Perut 3 x 1 po Istirahat yang cukup, jika 11-18 juni Pasien tidak
kembung, Kram pasien mengalami efek 2021 mengalami efek
perut. samping anjurkan kepada samping ini
pasien untuk melaporkan
kepada dokter
4. Asam folat Mual, Kehilangan 2 x 1 po Istirahat yang cukup, jika jika 11-18 juni Pasien tidak

55
nafsu makan, pasien mengalami efek 2021 mengalami efek
Kembung, Rasa pahit samping anjurkan kepada samping ini
atau tidak enak di pasien untuk melaporkan
mulut, Gangguan kepada dokter
tidur, Perubahan
mood.
5. Parasetamol Demam, Muncul 3 x 500 Efek samping tidak selalu 11-18 juni Pasien tidak
ruam kulit yang terasa mg kp terjadi. Timbulnya efek 2021 mengalami efek
gatal, Sakit samping tergantung kondisi samping ini.
tenggorokan., Muncul individual. Adanya reaksi
sariawan, Nyeri hipersensitif seperti ruam kulit,
punggung, Tubuh gatal pemakaiannya dapat
terasa lemah, Kulit dihentikan.
atau mata berwarna
kekuningan,Timbul
memar pada kulit.
6 Candesartan  Sakit kepala, 1x1 Istirahat yang cukup, jika jika 11-17 juni Pasien tidak
Pusing, Mual, pasien mengalami efek 2021 mengalami efek
Muntah, Kelelahan, samping anjurkan kepada samping ini
Nyeri otot. pasien untuk melaporkan
kepada dokter
7 Ranitidine inj Mual dan muntah, 2 x 1 iv Istirahat yang cukup, jika jika 11-15 juni Pasien tidak
Sakit kepala, pasien mengalami efek 2021 mengalami efek
Insomnia, Vertigo, samping anjurkan kepada samping ini
Ruam, Konstipasi. pasien untuk melaporkan
Diare. kepada dokter
8 Manitol Demam, mengggil, 4 x 125 Efek samping tidak selalu 10-12 juni Pasien tidak
sakit kepala, pilek, mg iv terjadi. Timbulnya efek 2021 mengalami efek
Buang air kecil jadi samping tergantung kondisi samping ini
lebih sering, Pusing individual. Istirahat yang cukup

56
atau penglihatan
kabur, Mual atau
muntah.
9 Lasix Mual, muntah, 4 x 125 Efek samping tidak selalu 10-12 juni Pasien tidak
Anoreksia, Iritasi mg iv terjadi. Timbulnya efek 2021 mengalami efek
mulut dan lambung, samping tergantung kondisi samping ini
Diare, sembelit, individual. Adanya reaksi efek
Hipokalemia (kadar samping pasien dapat
kalium yang rendah meelaporkan pada dokter.
dalam tubuh),
Hiperurikemia
(peningkatan kadar
asam urat),
Hiperglikemia
(peningkatan kadar
gula darah),
Gangguan
pendengaran
10 Citicoline  Insomnia, 2 x 250 Istirahat yang cukup, jika jika 11-15 juni Pasien tidak
Sakit kepala, Diare, mg iv pasien mengalami efek 2021 mengalami efek
 Tekanan samping anjurkan kepada samping ini
darah rendah atau pasien untuk melaporkan
hipotensi. kepada dokter.
Timbulnya efek samping
 Tekanan tergantung kondisi individual.
darah tinggi atau
hipertensi.
 Mual.
 Penglihatan
terganggu.

57
 Sakit di
bagian dada.

11 NaCl 0,9% detak jantung cepat. 2 x 1 iv Efek samping tidak selalu 10-18 juni Pasien tidak
demam. gatal-gatal terjadi. Timbulnya efek 2021 mengalami efek
atau ruam, suara samping tergantung kondisi samping ini
serak, Iritasi, nyeri individual. Adanya reaksi
sendi, kaku, atau hipersensitif seperti ruam kulit,
bengkak, dada sesak gatal pemakaiannya dapat
dihentikan
12 Ceftriaxon inj Nyeri perut, Mual, 2 x 1 iv Istirahat yang cukup, jika 12-15 juni Pasien tidak
Muntah, Diare, terjadi efek samping, pasien 2021 mengalami efek
Pusing, Mengantuk, dapat elaporkannya kepada samping ini
Sakit kepala, dokter atau pemakaiannya
Bengkak dan iritasi dapat di hentikan.
pada area suntikan.
13 Concor Pusing, Rasa dingin 2 x 1 po Istirahat yang cukup, 13-18 juni Pasien tidak
atau kebas, Mual, perbanyak makan sayur dan 2021 mengalami efek
muntah, diare, buah, jika terjadi reaksi efefk samping ini
konstipasi, amping, pasien dapat
Kelelahan, Pusing, melaporkannya kepada dokter.
Sakit kepaia (terjadi
pada awal terapi
tetapi biasanya
menghilang sesudah
1-2 minggu), Gagal
jantung, Dispnea
(sesak napas)
14 Haloperidol Kantuk. Pusing. Sakit 2 x 1 po Istirahat yang cukup 12-18 juni Pasien tidak

58
kepala 2021 mengalami efek
samping ini
15 Clonidin Sembelit (konstipasi) 2 x 1 po Perbanyak makan buah dan 12-18 juni Pasien tidak
Sakit kepala atau sayur yang mengandung serat, 2021 mengalami efek
pusing, Rasa kantuk, cukup istirahat, banyak minum samping ini
Mulut kering air putih. Jika terjadi efek
(xerostomia) samping yang parah, pasien
Kelelahan atau dapat melaporkan hal tersebut
lemas, Gangguan kepada dokter.
tidur (insomnia),
Nyeri perut, Mual
atau muntah.
16 Dulcolax supp Sensasi terbakar di Kp Istirahat yang cukup, jika terjdi 14 juni Pasien tidak
dubur, Lemas, Diare, efek samping pasien dapat 2021 mengalami efek
Nyeri atau kram melaporkan hal tersebut kepada samping ini
perut, Mual dan dokter.
muntah, Kram otot,
Gangguan elektrolit,
Urine yang keluar
sedikit.

59
4.4 Pembahasan

Seorang pasien laki-laki berinisial I.R berumur 29 tahun di bawa oleh

keluarganya ke Rumah Sakit otak DR.DRS.M.Hatta Bukittinggi dirawat di

ruangan Irna C lantai 2 melalui IGD pada tanggal 10 Juni 2021. Pasien masuk

IGD dengan keluhan utama lemah anggota gerak sebelah kiri ± 2 hari sebelum

masuk Rumah Sakit (SMRS). Bicara pelo, nyeri kepala, muntah (+), demam,

banyak tidur dan gelisah. Pasien juga memiliki riwayat penyakit Hipertensi tidak

terkontrol dan jantung, serta pasein perokok aktif.

Hasil pemeriksaan fisik menunjukan kondisi umum pasien sadang,


200
kesadaran delirium, tekanan darah /120 mmHg, denyut nadi 96 kali/menit,

pernafasan 20 kali/menit, suhu tubuh 37,20C, dan GCS E3M6V4.

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 10 Juni 2021

menunjukan bahwa asam urat 14,0 mg/dL (tinggi) dimana nilai normalnya 3-7

mg/dL dan pada tanggal 15 Juli 2021 menunjukan bahwa leukosit pasien 13,9%

(tinggi) dimana nilai normalnya 3,50-9,50 10^L. Ureum pasien 289 mg/dL

(tinggi) dimana normalnya 10-50 mg/dL, Kreatinin pasien 10,4 mg/dL dimana

normalnya 0,6-1,1 mg/dL.

Nilai kreatinin klirens pasien adalah:

= ¿¿

Pada tabel 1. Hasil kreatinin klirens pasien berada pada stadium 3b yaitu

penurunan sedang fungsi ginjal.

60
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah lengkap,

pemeriksaan kimia klinik, dan hasil urinalisa, maka diagnosa pada pasien adalah

stroke hemoragik, gagal ginjal kronis dan hipertensi. Tujuan penatalaksanaan

stroke hemoragik menurut dipiro, J.T (2016) adalah mempertahankan suplai

oksigen yang cukup dalam otak, pernafasan, dan sirkulasi darah. Menangani

peningkatan tekanan intrakranial dan tekanan darah yang merupakan penanganan

pada kondisi akut. Mencegah komplikasi dan pendarahan kembali serta mencegah

terjadinya penyumbatan pada otak. Mencegah timbulnya cacat dan kematian yang

bisa terjadi akibat stroke.

Penatalaksanaan pasien dengan stroke hemoragik menurut Dipiro, J.T

(2016) adalah tidak ada terapi dengan obat yang bisa diberikan pada stroke

intrakranial. Yang dapat dilakukan hanya menangani kondisi kritis yang terjadi

pada pasien seperti mengendalikan kenjang, infeksi, dan mencegah pendarahan

kembali. Tekanan darah sering meningkat setelah serangan stroke hemoragik,

penanganan yang tepat sangat dibutuhkan untuk mencegah pendarahan dan

meluasnya hematoma.
200
Pada saat masuk IGD, tekanan darah pasien mencapai /120 mmHg.

Kondisi ini menunjukan bahwa pasien mengalami hipertensi. Hipertensi

merupakan faktor resiko utama terjadinya stroke. Hipertensi meningkatkan resiko

terjadinya stroke sebanyak 6 kali. Dikatakan hipertensi bila tekanan darah lebih
140
besar dari /90 mmHg. Semakin tinggi tekanan darah pasien kemungkinan stroke

akan semakin besar, karena terjadinya kerusakan pada dinding pembuluh darah

sehingga memudahkan terjadinya penyumpatan bahkan pecahnya pembuluh darah

di otak. Pada tanggal 10 Juni 2021, pasien diberikan terapi Oksigen 4-6

61
Liter/menit dengan tujuan untuk menjaga dan meningkatkan suplai oksigen di

otak. Kekurangan suplai okseigen di otak, maka akan menyebabkan terjadinya

hipoksia yang berakibatkan terjadinya perubahan metabolisme aerob yang bisa

berakibatkan terjadinya perubahan metabolisme aerob menjadi anaerob yang bisa

berakibatkan pada kematian sel di otak (Patria & Fairuz, 2012). Sedangkan

pemberian IVFD NacL 0,9% diberikan untuk mempertahakan keseimbangan

cairan dan kebutuhan elektrolit pasien. Keseimbangan cairan di perhitungkan

dengan megukur cairan yang dikelurkan dari tubuh. Pasien juga diberikan manitol

250 cc yang bertujuan untuk menurunkan tekanan intrakranial. Manitol

merupakan diuretik tipe osmotik yang bekerja dengan menarik air dari jaringan

otak ke dalam pembuluh darah otak sehingga akan megurangi volume total otak

dan menurunkan tekanan intrakranial. Pada kasus ini, pemberian manitol

dikombinasi dengan furosemid, karena furosemid dapat memperpanjang kerja

manitol.

Manitol : Rumus osmolaritas:

2 x kadar Na+ gula darah sewakt BUN


+
18 6
(2 x 142)+ 122 71
= +
18 6
284+122 71
= +
18 6
= 302,5

Berdasarkan nilai Mean Blood Pressure (MaBP) didapatkan nilainya lebih

dari 120 mmHg. Nilai MaBP menandakan pasien mengalami hipertensi emergensi

dan tekanan darah pasien segera diturunkan. Terapi yang diberikan untuk

menurunkan tekanan darah pasien selama perawatan di rumah sakit adalah

diltiazem 60 mg 2x1 yang merupakan golongan Calsium Channel Blocker.

62
Diltiazem bekerja dengan cara menghambat perpindahan ion kalsium melewati

membran sel dalam jaringan sistemik dan jaringan koroner otot polos,

memperlambat perpindahan ion kalsium menembus membran sel di kedua otot

jantung dan sel penyusun jantung sehingga bisa menurunkan konduksi sinoatrial

dan atrioventrikular pada jantung (Taro,2003). Dipilih antihipertensi diltiazem

karena memiliki onset waktu kerja lebih cepat dibandingkan obat antihipertensi

golongan Calsium Channel Blocker lainya. Onset kerja diltiazem adalah 30 menit,

puncaknya 2-3 jam durasi 6-8 jam. Dosis diltiazem 30-90 mg 3-4x sehari. Dosis

usual 180-360 mg sehari. Dosis yang digunakan pada pasien sudah tepat yaitu 60

mg 2x sehari. Pada tanggal 11 Juni 2021 ditambahkan candesartan 16 mg 1x

sehari sebagai antihipertensi. Hal ini dilakukan karena melihat tekanan darah

pasein masih tinggi dan belum stabil, sehinggga diperlukan terapi kombinasi

dalam usaha menurunkan tekanan darah pasein. Selain itu pasien juga diberikan

terapi parasetamol yang digunakan sebagai analgetik dan antipiretik, dan

pemberian citicoline 2 x 250 mg agar tidak terjadi perburukan pada penyakit

stroke. Pada tanggal 12 Juni 2021 pasien ditambahkan obat clonidin 2 x 1 tablet,

dn haloperidol 2 x 0,5 mg dan obat diltiazem diberhentikan.

Ranitidin diberikan kepada pasein karena stroke dapat menyebabkan

berbagai macam resiko perdarahan gastrointestinal yang disebabkan oleh stres

ulcer. Ranitidin merupakan antagonis H2, yang bekerja dengan menghambat

produksi asam lambung, mencegah terjadinya iskemik mukosa lambung,

mencegah kerusakan sawar mukosa lambung, dan menjaga sekresi mukus

lambung. Dosis injeksi ranitidin sebagai profilaksis diberikan 2 x50 mg.

63
Simvastatin juga diberikan kepada pasein yang bertujuan mencegah

terjadinya serangan stroke berulang. Simvastatin menurunkan sintesis kolesterol

dengan menghambat aktivitas enzim HMG-CoA reduktase sehingga kadar

kolesterol dalam darah dapat menurun. Tetapi dalam kondisi pada pasien sekarang

tidak terjadi penumpukan plak yang menyebabkan penyumbatan pembuluh darah

(aterosklerosis), sehingga mencegah resiko terjadinya serangan berulang stroke.

Simvastatin diberikan dengan dosis 20-40 mg sekali sehari secara oral. Tetapi

karena kondisi pasien komplikasi penyakit gagal ginjal kronis sehingga dosis

simvastatin harus diturunkan dosisnya menjadi 10 mg perhari ( The Renal Drug

Handbook, 2004).

Injeksi Ceftriaxon diberikan kepada pasein 2x sehari, pemberian antibiotik

ini ditunjukan sebagai profilaksis pada pasein stroke kemungkinan untuk

mengobati infeksi yang terdiagnosa saat masuk atau untuk mencegah terjadinya

infeksi nosokomial yang di peroleh saat di rumah sakit. Secara umum penanda

terjadinya infeksi antara lain jika terjadi peningakatan leukosit dan ditemukan

bakteri pada kultur urin. Pada pasein stroke, kerana adanya gangguan aliran darah

di otak akan mengakibatkan aktivasi leukosit sehingga jumlah leukosit dalam

darah akan meningkat. Peningkatan leukosit pada pasein stroke merupakan

mekanisme hemostasis tubuh akibat terjadinya ishemic brain injury. Penggunaan

antibiotik hanya berdasarkan peningkatan leukosit harus dihindarkan untuk

mencegah resistensi bekteri. Penggunaan antibiotik dianjurkan jika ditemukan

bakteri pada kultur urin dan secara klinis ditemukan tanda-tanda pneumonia pada

pasien stroke. Hal ini dilakukan karena bakteri pneumonia merupakan salah satu

komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien stroke (EUSI, 2003).

64
Pada tanggal 14 Juni 2021 pasien diberikan dulcolax suppose untuk

mengatasi konstipasi pada pasien. Pasien hipertensi tidak boleh mengalami

konstipasi karena ditakutkan pasien akan mengejan terlalu kuat sehingga akan

berisiko meningkatkan tekanan darah pasien yang dapat menyebabkan perburukan

kondisi pasien seperti pecahnya pembuluh darah di otak. Selain itu pasien juga

diberikan terapi asam folat yang digunakan sebagai vitamin dan mineral.

Pada tanggal 16 Juni 2021 pasien di anjurkan oleh dokter untuk rujuk ke

RSUP M. Djamil Padang dikarenakan kreatinin klirens pasien yang tinggi yaitu

stadium 3b yang merupakan penurunan sedang fungsi ginjal sehingga pada

tanggal 17 Juni 2021 pasien di rujuk ke Rumah Sakit M. Djamil Padang untuk

melakukan cuci darah.

Ditinjau dari indikasi dan pemilihan obat, obat yang diterima pasien ada

obat yang tidak tepat dosis yaitu pemberian dosis simvastatin yang tinggi pada

gangguan fungsi ginjal sehingga dosis simvastatin harus diturunkan. Interval,

frekuensi, rute dan lama pemberian obat pada pasien sudah tepat. Selain itu tidak

terdapat duplikasi terapi yang diberikan pada pasien. Obat yang diberikan kepada

pasien sesuai dengan yang tercatat pada rekam medik, hal ini tidak ada kesalahan

dalam penulisan obat, obat yang diterima pasien juga dinilai kompatibel dan

pasien mendapatkan semua obat yang diresepkan.

65
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
 Berdasarkan kasus di atas dapat disimpulkan bahwa dari data anamnesa,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan labor, diagnose utama stroke

hemoragik, hipertensi dan gagal ginjal. Tujuan dari penatalaksanaan pada

stroke hemoragik adalah untuk mengendalikan perdarahan dan mencegah

terjadinya komplikasi.

 Terapi yang diberikan dapat mengatasi stroke hemoragik, dan dapat

menurunkan tekanan darah pasien.

 Untuk pengobatan gagal ginjal, pasien dirujuk ke padang untuk menjalani

cuci darah (dialisis).

5.2 Saran

Disarankan pasien menjaga pola makan, istirahat atau mengurangi

aktivitas (perbanyak istirahat), memperbanyak minum air putih.. Hindari makanan

yang dapat meningkatkan tekanan darah pasien meningkat.

66
BAB VI

EDUKASI

1. Menjelaskan pada keluarga pasien cara pemakaian obat dan aturan


pemakaiannya.
2. Bila lupa minum obat, minum sesegera mungkin, tetapi bila dekat waktu dosis
berikutnya, kembali kejadwal semula dosis jangan di double.
3. Menjelaskan pada pasien bahwa menyimpan obat pada tempat yang sejuk,
kering dan terlindung dari cahaya matahari.
4. Kurangi makanan yang mengandung garam tinggi, bersantan dan minyak
5. Kontrol dan cek tekanan darah, kadar kalium, dan kadar asam urat secara rutin
6. Istirahat yang cukup dan banyak minum air putih minimal 8 gelas/ hari
7. Konsumsi sayur dan buah
8. Lakukan kontrol kembali setelah obat habis
9. Banyak berdoa dan beribadah

67
DAFTAR PUSTAKA

Alih Bahasa: dr. Brahm U. Penerbit. Jakarta : EGC. Hlm: 292-9.

Aru W.Sudoyo, B. S. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (2 Ed., Vol. III).
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam.

Caplan. 2009. Caplan’s Stroke A Clinical Approach. Boston: Saunders Elsevier.

Cohen S T Kamarck, R Mermelsten. 2000. A Global Measure Of Perceived Stress.


Journal Of Health and sosial Behavior. 24(4):385-396.

Dipiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. And Dipiro C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., Mcgraw-Hill Education Companies,
Inggris.

Diyah Candra Anita. 2020. Buku Monograf Penilaian Status Gizi Pasien Gagal Ginjal
Kronis Melalui Biokimiawi Darah. Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta.

Elin et al, 2013. ISO Farmakoterapi 2. Ikatan Apoteker Indonesia

Junaidi, iskandar. 2011. Stroke Waspadai Ancamannya. Yogykarta: C.V. Andi


Offset.

Kemenkes. 2013. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Hipertensi.


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

Kemenkes. 2017. Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Pusat Data Dan Informasi
Kementerian Kesehatan Ri. ISSN2442-7659

Krishna PR, Naresh S, Krishna GRS, Lakshmi AY, Vengamma B, Kumar VS. 2010.
Stroke in chronic kidney disease.

Longo, D. et al., 2011. Harrison's Principles Of Internal Medicine. 18th Ed. New
York, NY: Mcgraw-Hill

Mardjono M, Sidharta P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat.

68
Misbach J. 2011. Stroke: Aspek diagnosik, patofisiologi dan manajemen. Perdossi
press. Jakarta

Ns. Cut Husna, MNS. 2010. Gagal Ginjal Kronis Dan Penanganannya. Literature
Review. Jurnal Keperawatan. Vol 3 No 2.

Nuraini, B. 2015. Risk Factors Of Hypertension. Unversity of Lampung

PERDOSSI. 2016. Pendoman penatalaksanaan stroke. Perhimpunan Dokter spesialis


saraf indonesia. Jakarta

PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular. Edisi


Pertama

PRDK. 2010. Prodil RSUP Prof. Dr. R. D. kandou Manado. Power point presentation

Prince AS, Wilson M L. 2006. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.

Soegondo S. 2005, Diagnosis Dan Klasifikasi Diabetes Mellitus Terkini Dalam


Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu, Balai Penerbit FKUI, Jakarta

Suwitra , K. (2009) Penyakit Gijal Kronis. Dalam A. W. Sudoyo, S. Bambang, A.


Idrus, K. Marcellus Simadibrata ,& S. Setiadi (Ed.) , Buku Ajar Ilmu penyakit
dalam. Jakarta:Interna Publishing

The Renal Drug Handbook. 2009. Third Edition. Oxford.

WHO. 2005. WHO steps stroke manual: The WHO STEP wise approach to stroke
surveillance. WHO Publisher. Geneva

69
Follow Up Pemakaian Obat
Waktu Pemberian
Aturan Rute
10-6-2021 11-6-2021 12-6-2021 13-6-2021 14-6-2021
Nama Obat pakai
1 1 2 1 1 6 1 18 2 6 12 1 2 6 1 1 24
6 6 24
2 8 4 2 8 2 4 8 4 2 8
Simvastatin 1x20 mg po √ √ √ √ √
Diltiazem 2x60 mg po √ √ √ √ √ √ √ √ √
Bicnat 3x1 po √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Asam folat 2x1 Po √ √ √ √ √ √ √ √
Parasetamol 3x500 mg Po √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Candesartan 1x1 Po √ √ √ √
Ranitidine inj 2x1 Iv √ √ √ √ √ √ √ √
Manitol + Tappering Iv √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
lasix off 4321
Citicoline 2x250 mg Iv √ √ √ √ √ √ √ √
NaCl 0,9% + 2x1 Iv √ √ √ √ √ √ √ √ √
Eas primer
Ceftriaxon inj 2x1 Iv √ √ √ √ √ √
1x 2,5 mg Po √ √
Concor 1 x 5 mg po
2 x o,5 mg Po √ √ √ √ √
Haloperidol 2 x 1,5 mg
Clonidin 2x1 Po √ √ √ √ √
Dulcolax supp 1x1 supp √

70
Waktu Pemberian
Aturan Rute 17-6-2021 18-6-2021 19-6-2021
pakai 15-6-2021 16-6-2021
Nama Obat
1 1 2 1 1 6 1 18 2 6 12 1 2 6 1 1 24
6 6 24
2 8 4 2 8 2 4 8 4 2 8
Simvastatin 1x20 mg po √ √ √
Diltiazem 2x60 mg po √ √ √ √ √ √
Bicnat 3x1 po √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Asam folat 2x1 Po √ √ √ √ √ √ √
Parasetamol 3x500 mg Po √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Candesartan 1x1 Po √ √ √
Ranitidine inj 2x1 Iv √ Stop
Manitol + Tappering Iv Stop
lasix off 4321
Citicoline 2x250 mg Iv √
NaCl 0,9% + 2x1 Iv √ √ √ √ √ √
Eas primer
Ceftriaxon inj 2x1 Iv √
1 x 2,5 mg Po √ Stop
Concor 1 x 5 mg Po √ √
2x 0,5 mg Po √ √ Stop
Haloperidol 2 x 1,5 mg Po √ √ √
Clonidin 2x1 Po √ √ √ √ √ √ √
Dulcolax supp 1x1 supp

71

Anda mungkin juga menyukai