LP MENINGIOMA (Revisi)

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULAN

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


DENGAN MENINGIOMA DI RUANG ICU
RSD dr.SOEBANDI

Oleh:

Ela Kusuma Wardani


2001032030

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2021
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi Meningioma
Meningioma merupakan tumor jinak ekstra-aksial atau tumor yang
terjadi di luar jaringan parenkim otak yaitu berasal dari meninges otak.
Meningioma tumbuh dari sel-sel pembungkus arachnoid atau arachnoid
cap cells dan sering diasosiasikan dengan villi arachnoid yang berada di
sinus vena dural. Sel – sel yang berasal dari lapisan luar arachnoid mater
dan arachnoid villi ini menunjukkan kemiripan sitologis yang menonjol
dengan sel tumor meningioma (Al-Hadidy, 2010).
Meningioma umumnya bersifat jinak dan pertumbuhannya
lambat .Namun dalam beberapa kasus meningioma juga menunjukkan
perilaku agresif, seperti invasi ke otak, duramater, tumbuh berdekatan
dengan tulang dan berisiko rekurensi (Shayanfar, 2010).

2.1.
B. Etiologi
Sebab pasti dari meningiom tidak diketahui. Insiden meningkat
dengan kelainan genetik (kehilangan kromosom 22 dan dengan
neurofibromatosis tipe 2). Faktor risiko lain termasuk radiasi kranial,
trauma kepala, kanker payudara (walaupun tidak menentukan).
1. Radiasi Ionisasi
Radiasi ionisasi merupakan salah satu faktor resiko yang telah
terbukti menyebabkan tumor otak.Telah banyak penelitian yang
mendukung hubungan antara paparan radiasi dan meningioma.Salah
satunya adalah penelitian yang menunjukkan peningkatan resiko yang
signifikan pada korban selamat bom atom untuk menderita
meningioma. Proses neoplastik dan perkembangan tumor akibat
paparan radiasi disebabkan oleh perubahan produksi base-pair dan
kerusakan DNA yang belum diperbaiki sebelum replikasi DNA.
Beberapa ciri-ciri untuk membedakan meningioma spontan
dengan akibat paparan radiasi adalah usia muda saat didiagnosis,
periode latensi yang pendek, lesi multipel, rekurensi yang relatif
tinggi, dan kecenderungan meningioma jenis atipikal dan anaplastik
(Calvocoressi & Claus, 2010)
2. Radiasi Telepon Genggam
Hubungan antara penggunaan telepon genggam dengan
kejadian meningioma sampai saat ini belum dapat dipastikan.Secara
teori, telepon genggam menghasilkan radiasi energi radiofrequency
(RF) yang berpotensi menimbulkan panas dan menyebabkan
kerusakan jaringan, namun dari beberapa penelitian tidak dijumpai
adanya hubungan antara radiasi telepon genggam dengan
meningioma.
Penelitian metaanalisis yang dilakukan oleh Lahkola et al
(2005) menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara
penggunaan insiden meningioma, begitupun dengan penelitian
metaanalisis lain yang lebih besar yaitu penelitian INTERPHONE
yang dilakukan pada 13 negara juga memberikan laporan bahwa tidak
dijumpai hubungan antara penggunaan telepon genggam dan insiden
meningioma (Wiemels, 2010; Barnholtz-Sloan, 2007; Calvocoressi &
Claus, 2010).
3. Cedera Kepala
Sejak masa Harvey Cushing, cedera kepala merupakan salah
satu resiko terjadinya meningioma, meskipun hasil peneltian-
penelitian belum memberikan 9 kesimpulan yang konsisten.Salah
satunya adalah penelitian kohort pada penderita cedera kepala dan
fraktur tulang kepala menunjukkan adanya hubungan dengan
terjadinya meningioma secara signifikan.
Penelitian oleh Phillips et al (2002) juga menemukan hasil
bahwa adanya hubungan antara cedera kepala dengan resiko
terjadinya meningioma, terutama riwayat cedera pada usia 10 hingga
19 tahun. Resiko meningioma berdasarkan banyaknya kejadian cedera
kepala dan bukan dari tingkat keparahannya (Wiemels, 2010; Phillips,
2002).
4. Genetik
Beberapa penelitian telah dikhususkan untuk mencari tahu
hubungan antara resiko meningioma dan riwayat keluarga.Umumnya
meningioma merupakan tumor sporadik yaitu tumor yang timbul pada
pasien yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan penderita tumor
otak jenis apapun.Sindroma genetik turunan yang memicu
perkembangan meningioma hanya beberapa dan jarang. Meningioma
sering dijumpai pada penderita dengan Neurofibromatosis type 2
(NF2), dimana pada penderita terjadi kelainan gen autosomal dominan
yang jarang dan disebabkan oleh mutasi germline pada kromosom
22q12 (insiden di US: 1 per 30.000-40.000 jiwa). NF2 merupakan gen
supresor tumor pada Hormon Insiden meningioma yang lebih tinggi
pada wanita dibandingkan dengan laki-laki memicu timbulnya dugaan
bahwa ada pengaruh ekspresi hormon seks. Hormon seks diduga
berperan dalam patogenesis meningioma, dengan ditemukannya
beberapa bukti seperti peningkatan pertumbuhan tumor selama
kehamilan dan perubahan ukuran selama menstruasi.Data
observasional juga menunjukkan bahwa menopause dan
oophorectomy merupakan faktor proteksi terhadap perkembangan
meningioma, sedangkan adipositas berhubungan positif dengan
penyakit ini (Wahab dan Al-Azzawi, 2003).Berbagai studi
menunjukkan bahwa sebagian besar meningioma mengekspresikan
reseptor hormon pada membran sel, dengan berbagai variasi (Marosi,
et. al., 2008). Jaringan meningeal (sel arachnoid) normal sebenarnya
juga mengekspresikan reseptor progesteron dengan frekuensi yang
lebih jarang dibandingkan jaringan meningioma (Leaes, et.al., 2010).
Studi oleh Taghipour, et.al.(2007) menunjukkan reseptor progesteron
yang positif ditemukan secara signifikan pada meningioma benigna
dan berasosiasi dengan prognosis yang lebih baik. 11 Pada beberapa
kasus, seperti usia tua, masalah medis, letak tumor yang sulit diakses,
reseksi inkomplit, dan rekurensi, tindakan bedah saja mungkin tidak
cukup. Pada kondisi tersebut, jika pemeriksaan reseptor progesteron
ditemukan positif, sebagai tambahan terapi radioterapi, manipulasi
hormonal dapat dipertimbangkan (Taghipour, et.al., 2007). Grunberg,
et.al.(2006) telah meneliti penggunaan mifepristone, suatu
antiprogesteron, pada pasien meningioma yang tidak dapat
direseksi.Regresi tumor yang bermakna secara klinis dilaporkan pada
pasien pria dan wanita premenopause. Pasien dengan indeks reseptor
progesteron tertinggi akan mendapatkan manfaat paling baik dari
suatu terapi anti-progesteron, jika terapi hormonal bekerja langsung
pada reseptor progesteron (Wolfsberger, et.al., 2004). Dari
penelitiannya, Wolfsberger, et.al., (2004) disimpulkan bahwa indeks
reseptor progesteron tertinggi didapatkan pada pasien usia di bawah
50 tahun, dengan kategori meningioma WHO grade I, jenis
meningothelial dengan indeks proliferasi sel yang rendah. Beberapa
penelitian juga menghubungkan meningioma dengan kanker
payudara. Keduanya memiliki faktor resiko yang sama, seperti jenis
kelamin, umur, induksi hormon dan variabel lain. Selain itu adanya
faktor resiko seperti hormon eksogen dan endogen, predisposisi
genetik dan variasi perbaikan DNA diduga menjadi dasar hubungan
antara kanker payudara dan meningioma. Namun hubungan langsung
kedua tumor belum dapat dipastikan22Q12, ditemukan tidak aktif
pada 40% meningioma sporadik Selain itu, pada meningioma sporadik
dijumpai hilangnya kromosom, seperti 1p, 6q, 10, 14q dan 18q atau
tambahan kromosom seperti 1q, 9q, 12q, 15q, 17q dan 20q (Evans,
2005; Smith, 2011). Penelitian lain mengenai hubungan antara
kelainan genetik spesifik dengan resiko terjadinya meningioma
termasuk pada perbaikan DNA, regulasi 10 siklus sel, detoksifikasi
dan jalur metabolisme hormon. Penelitian terbaru fokus pada variasi
gen CYP450 dan GST, yaitu gen yang terlibat dalam metabolisme dan
detoksifikasi karsinogen endogen dan eksogen. Namun belum
dijumpai hubungan yang signifikan antara resiko terjadinya
meningioma dan variasi gen GST atau CYP450. Penelitian lain yang
berfokus pada gen supresor tumor TP53 juga tidak menunjukkan
hubungan yang signifikan (Lai, 2005; Malmer, 2005; Choy, 2011).
C. Manifestasi Klinis
Meningioma dapat timbul tanpa gejala apapun dan ditemukan secara
tidak sengaja melalui MRI. Pertumbuhan tumor dapat sangat lambat
hingga tumor dapat mencapai ukuran yang sangat besar tanpa
menimbulkan gejala selain perubahan mental sebelum tiba-tiba
memerlukan perhatian medis, biasanya di lokasi subfrontal. Gejala umum
yang sering muncul meliputi kejang, nyeri kepala hebat, perubahan
kepribadian dan gangguan ingatan, mual dan muntah, serta penglihatan
kabur. Gejala lain yang muncul ditentukan oleh lokasi tumor, dan biasanya
disebabkan oleh kompresi atau penekanan struktur neural penyebab
( Rowland ,2005)
Menurut Rowland, 2005 berdasarkan letaknya meningioma akan
menimbulkan gejala sebagai berikut :
1. Meningioma falx dan parasagital, sering melibatkan sinus sagitalis
superior. Gejala yang timbul biasanya berupa kelemahan pada tungkai
bawah.
2. Meningioma konveksitas, terjadi pada permukaan atas otak. Gejala
meliputi kejang, nyeri kepala hebat, defisit neurologis fokal, dan
perubahan kepribadian serta gangguan ingatan. Defisit neurologis
fokal merupakan gangguan pada fungsi saraf yang mempengaruhi
lokasi tertentu, misalnya wajah sebelah kiri, tangan kiri, kaki kiri, atau
area kecil lain seperti lidah. Selain itu dapat juga terjadi gangguan
fungsi spesifik, misalnya gangguan berbicara, kesulitan bergerak, dan
kehilangan sensasi rasa.
3. Meningioma sphenoid, berlokasi pada daerah belakang mata dan
paling sering menyerang wanita. Gejala dapat berupa kehilangan
sensasi atau rasa baal pada wajah, serta gangguan penglihatan.
Gangguan penglihatan disini dapat berupa penyempitan lapangan
pandang, penglihatan ganda, sampai kebutaan. Dapat juga terjadi
kelumpuhan pada nervus III.
4. Meningioma olfaktorius, terjadi di sepanjang nervus yang
menghubungkan otak dengan hidung. Gejala dapat berupa kehilangan
kemampuan menghidu dan gangguan penglihatan.
5. Meningioma fossa posterior, berkembang di permukaan bawah bagian
belakang otak terutama pada sudut serebelopontin. Merupakan tumor
kedua tersering di fossa posterior setelah neuroma akustik. Gejala
yang timbul meliputi nyeri hebat pada wajah, rasa baal atau
kesemutan pada wajah, dan kekakuan otot-otot wajah. Selain itu dapat
terjadi gangguan pendengaran, kesulitan menelan, dan kesulitan
berjalan.
6. Meningioma suprasellar, terjadi di atas sella tursica, sebuah kotak
pada dasar tengkorak dimana terdapat kelenjar pituitari. Gejala yang
dominan berupa gangguan penglihatan akibat terjadi pembengkakan
pada diskus optikus. Dapat juga terjadi anosmia, sakit kepala dan
gejala hipopituari.
7. Meningioma tentorial. Gejala yang timbul berupa sakit kepala dan
tanda-tanda serebelum.
8. Meningioma foramen magnus, seringkali menempel dengan nervus
kranialis. Gejala yang timbul berupa nyeri, kesulitan berjalan, dan
kelemahan otot-otot tangan.
9. Meningioma spinal, paling sering menyerang daerah dada terhitung
sekitar 25-46% dari tumor spinal primer. Gejala yang timbul
merupakan akibat langsung dari penekanan terhadap medula spinalis
dan korda spinalis, paling sering berupa nyeri radikular pada anggota
gerak, paraparesis, perubahan refleks tendon, disfungsi sfingter, dan
nyeri pada dada. Paraparesis dan paraplegia timbul pada 80% pasien,
namun sekitar 67% pasien masih dapat berjalan.
10. Meningioma intraorbital. Gejala yang dominan terutama pada mata
berupa pembengkakan bola mata, dan kehilangan penglihatan.
11. Meningioma intraventrikular, timbul dari sel araknoid pada pleksus
koroidales dan terhitung sekitar 1% dari keseluruhan kasus
meningioma. Gejala meliputi gangguan kepribadian dan gangguan
ingatan, sakit kepala hebat, pusing seperti berputar. Selain itu dapat
juga terjadi hidrosefalus komunikans sekunder akibat peningkatan
protein cairan otak.

Sumber :2019. Meningioma [Internet]. Available from www.abta.org


2.5 Pathway Meningioma

D. Klasifikasi Meningioma
Klasifikasi Meningioma Klasifikasi meningioma terbagi
berdasarkan lokasi tumor, pola pertumbuhan dan histopatologi. Mayoritas
meningioma terjadi intrakranial, yaitu 12 85-90% daerah supratentorial
sepanjang sinus vena dural, antara lain daerah convexity (34,7%),
parasagital (22,3%), daerah sayap sphenoid (17,1%) (Sherman, 2011).
Lokasi yang lebih jarang ditemukan adalah pada selabung nervus
optikus, angulus cerebellopontine, Meningioma juga dapat timbul secara
ekstrakranial walaupun sangat jarang, yaitu pada medula spinalis, orbita ,
cavum nasi, glandula parotis, mediastinum dan paru-paru.
Variasi timbulnya meningioma (Al-Mefty, 2005) Sedangkan
berdasarkan pola pertumbuhannya, meningioma terbagi dalam bentuk
massa (en masse) dan pertumbuhan memanjang seperti karpet (en plaque).
Bentuk en masse adalah meningioma globular klasik sedangkan bentuk en
plaque adalah tumor dengan adanya abnormalitas tulang dan perlekatan
dura yang luas (Talacchi, 2011).

WHO mengklasifikasikan meningioma melalui tipe sel dan derajat


pada hasil biopsi yang dilihat di bawah mikroskop.Penatalaksanaannya
pun berbedabeda di tiap derajatnya Pembagian meningioma secara
histopatologi berdasarkan WHO 2007 terdiri dari 3 grading dengan resiko
rekuren yang meningkat seiring dengan pertambahan grading (Fischer &
Bronkikel, 2012).
Beberapa subtipe meningioma antara lain:
1. Grade I:
a. Meningothelial meningioma
b. Fibrous (fibroblastic) meningioma
c. Transitional (mixed) meningioma
d. Psammomatous meningioma
e. Angiomatous meningioma
f. Mycrocystic meningioma
g. Lymphoplasmacyte-rich meningioma
h. Metaplastic meningioma
i. Secretory meningioma
Meningioma tumbuh dengan lambat .Jika tumor tidak menimbulkan
gejala, mungkin pertumbuhannya sangat baik jika diobservasi dengan MRI
secara periodic.Jika tumor semakin berkembang, maka pada akhirnya
dapat menimbulkan gejala, kemudian penatalaksanaan bedah dapat
direkomendasikan. Kebanyakan meningioma grade I diterapi dengan
tindakan bedah dan observasi yang continue
2. Grade II:
a. Atypical meningioma
b. Clear cell meningioma
c. Chordoid meningioma
Meningioma grade II disebut juga meningioma atypical. Jenis ini
tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan grade I dan mempunyai angka
kekambuhan yang lebih tinggi juga. Pembedahan adalah penatalaksanaan
awal pada tipe ini. Meningioma grade II biasanya membutuhkan terapi
radiasi setelah pembedahan
3. Grade III: − Rhabdoid meningioma
a. Papillary meningioma
b. Anaplastic (malignant) meningioma
Meningioma berkembang dengan sangat agresif dan disebut
meningioma malignant atau meningioma anaplastik. Meningioma
malignant terhitung kurang dari 1 % dari seluruh kejadian
meningioma.Pembedahan adalah penatalaksanaan 15 yang pertama untuk
grade III diikuti dengan terapi radiasi. Jika terjadi rekurensi tumor, dapat
dilakukan kemoterapi

E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tergantung dari gejala klinis yang ditimbulkan,
usia pasien, dan ukuran serta letak lesi tumor. Sebagai contoh, pasien
usia tua dengan banyak masalah kesehatan lain yang memperberat,
dengan lesi tumor yang kecil dan tidak memberikan gejala dari
menigioma dapat dilakukan terapi konservatif. Pasien tersebut
memerlukan pemantauan MRI setiap tahunnya selama 3 tahun dan dapat
dilanjutkan dengan follow-up secara klinis saja, bila tidak ada hal baru.
1. Embolisasi Endovaskular
Embolisasi terhadap pembuluh darah yang mensuplai
tumor, dapat menggunakan coil atau glue. Embolisasi endovasular
biasanya dilakukan sebelum tindakan pembedahan, dengan tujuan
mengurangi resiko perdarahan yang banyak saat operasi. Embolisasi
dapat menyebabkan nekrosis dari lesi meningioma, yang dapat
meragukan dalam pemeriksaan patologi anatomi dari spesimen
tumor setelah operasi ( Levacic, 2012)
2. Pembedahan
Tumor dan dura pada tumor direseksi. Tujuan pembedahan
adalah reseksi total, tapi dapat saja tidak tercapai, seperti bila
meningioma dekat dengan struktur yang penting, atau pada
meningioma en plaque. Pembedahan dapat memberikan
komplikasi berupa invasi massa tumor ke struktur di sekitarnya,
seperti pada meningioma parasagital, yang dapat menginvasi ke
dalam sinus dura. Stereotactic radiosurgery dapat memberikan
kontrol lokal tumor yang sangat baik. Kortikosteroid preoperatif
dan pascaoperatif signifikan dalam menurunkan angka mortalitas
dan morbiditas terkait dengan reseksi dari tumor. Obat antiepilepsi
seharusnya dimulai sebelum operasi untuk operasi pembedahan
supratentorial dan diteruskan paling tidak selama 3 bulan
(Goldbrunner ,2016)
3. Radioterapi
Radioterapi digunakan pada reseksi tumor incomplete,
meningioma rekuren, dan meningioma derajat tinggi dengan sel
atipikal dan sel yang anaplastik. Penggunaan radioterapi dikaitkan
dengan luaran yang lebih baik. Sebuah penelitian didapatkan
stereotactic radiosurgery dihubungkan dengan kontrol tumor yang
lebih baik (mencapai 10%) dan komplikasi yang lebih kecil.
Stereotactic radiosurgery dalam meningioma termasuk berhasil,
dapat digunakan sebagai terapi primer, terutama pada meningioma
dengan akses sulit untuk dilakukan reseksi, seperti pada meningioma
saraf optikus ( Levacic, 2012)
4. Kemoterapi
Kemoterapi sejauh ini memberikan hasil yang kurang
memuaskan, dipertimbangkan hanya bila tindakan operasi dan
radioterapi gagal dalam mengontrol kelainan. Agen kemoterapi
termasuk hidroksiurea,27–29 telah digunakan tapi dengan angka
keberhasilan yang kecil. Obat lain yang sedang dalam penelitian
termasuk temozolamid, RU-468 dan alfa interferon, juga
memberikan hasil yang kurang memuaskan (Levacic, 2012).
Algoritma Diagnosis dan Tata Laksana Meningioma

Resektabel Operasi

Meningioma

Non Resektabel Radioterapi

Tidak dapat dilakukan kemoterapi


radioterapi

Asimtomatik Observasi Follow up klinis


Simpson 1 dan imaging

Meningioma
Indikasi Histologi
operabel Grade I
pembedahan follow up Simpson >1 Reoperasi

Simtomatik
Non Radiologi Grade II/III
operabel Radioterapi

Tabel Algoritma menurut Pedoman Nasional Tumor otak (Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2017)
Konsep Asuhan Keperawatan Meningioma
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien dan Penanggung Jawab : Nama, Jenis kelamin, Usia ,
Status, Agama, Alamat, Pekerjaan, Pendidikan, Bahasa, Suku bangsa, Dx
Medis, Sumber biaya
2. Riwayat keluarga : Apaka ada anggota keluarga yang menderita
ppenyaktyang sama dengan Pasien
3. Status kesehatan saat ini : Keluhan Utama (saat MRS dan saat ini),
Alasan MRS dan perjalanan penyakit saat ini, Upaya yang dilakukan
untuk mengatasinya
4. Status kesehatan masa lalu : Penyakit yang pernah dialami, Pernah
dirawat, Alergi, Kebiasaan (merokok/kopi/alcohol atau lain – lain yang
merugikan kesehatan)
5. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
1) Tingkat kesadaran CCS, Tanda-tanda vital, Keadaan fisik,
Kepala dan leher, Dada, Payudara dan ketiak, Abdomen,
Genitalia, Integument, Ekstremitas, Pemeriksaan neurologist.
2) Pengkajian saraf cranial :
Olfaktori (penciuman), Optic (penglihatan), Okulomotor (gerak
ekstraokular mata,dilatasi pupil) Troklear (gerak bola mata ke
atas ke bawah), Trigeminal (sensori kulit wajah, pergerakan otot
rahang), Abdusens (gerakan bola mata menyamping), Fasial
(ekspresi fasial dan pengecapan), Auditori (pendengaran),
Glosofaringeal (pengecapan,kemampuan menelan,gerak lidah),
Vagus (sensasi faring,gerakan pita suara), Aksesori (gerakan
kepala dan bahu), Hipoglosal (posisi lidah).
3) Pemeriksaan rom aktif & pasif
5. Pola Kebiasaan
a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan:
Riwayat keluarga tumor, Terpapar radiasi berlebih, Adanya riwayat
masalah visual, hilang ketajaman penglihatan dan diplopia,
Kecanduan Alkohol, Perokok berat, Gangguan kepribadian /
halusinasi
b. Pola Nutrisi metabolic:
Riwayat epilepsy, Nafsu makan hilang, Adanya mual, muntah
selama fase akut, Kehilangan sensasi pada lidah, pipi dan
tenggorokan, Kesulitan menelan, (gangguan pada refleks palatum
dan Faringeal)
c. Pola Eliminasi
Perubahan pola berkemih dan, Buang air besar (Inkontinensia),
Bising usus negative
d. Pola Aktivitas dan Latihan

Gangguan tonus otot terjadinya kelemahan otot,Gangguan tingkat


kesadaran, Resiko trauma karena epilepsy, Hamiparase, ataksia,
Gangguan penglihatan, Merasa mudah lelah, kehilangan sensasi
(Hemiplefia).
e. Pola tidur dan istirahat
Susah untuk beristirahat dan atau mudah tertidur
f. Pola persepsi kognitif dan sensori
Pusing, Sakit kepala, Kelemahan, Tinitus, Afasia motoric,
Hilangnya rangsangan sensorik kontralateral, Gangguan rasa
pengecapan, penciuman dan penglihatan, Penurunan memori,
pemecahan masalah, kehilangan kemampuan masuknya rangsang
visual, Penurunan kesadaran sampai dengan koma, Tidak mampu
merekam gambar, Tidak mampu membedakan kanan/kiri.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Perasaan tidak berdaya dan putus asa, Emosi labil dan kesulitan
untuk mengekspresikan.
h. Pola peran dan Hubungan dengan sesame

Masalah bicara, Metidakmampuan dalam berkomunikasi (kehilangan


komunikasi verbal/ bicara pelo.

i. Reproduksi dan Sesualitas


Adanya gangguan seksualitas dan penyimpangan seksualitas,
Pengaruh/hubungan penyakit terhadap seksualitas.

j. Pola Mekanisme koping dan toleransi terhadap stress


Adanya perasaan cemas, takut, tidak sabar ataupun marah,
Mekanisme koping yang biasa digunakan, Perasaan tidak berdaya,
putus asa, Respon emosional klien terhadap status saat ini, Orang
yang membantu dalam pemecahan masalah,Mudah tersinggung.
k. Sistem Kepercayaan Agama yang dianut
Apakah kegiatan ibadah terganggu

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Arterigrafi atau Ventricolugram ; untuk mendeteksi kondisi patologi
pada sistem ventrikel dan cisterna.
b. CT – SCAN ; Dasar dalam menentukan diagnose
c. Radiogram ; Memberikan informasi yang sangat berharga mengenai
struktur, penebalan dan klasifikasi; posisi kelenjar pinelal yang
mengapur; dan posisi selatursika.
d. Elektroensefalogram (EEG) ; Memberi informasi mengenai
perubahan kepekaan neuron.
e. Ekoensefalogram ; Memberi informasi mengenai pergeseran
kandungan intra serebral
f. Sidik otak radioaktif ; Memperlihatkan daerah-daerah akumulasi
abnormal dari zat radioaktif. Tumor otak mengakibatkan kerusakan
sawar darah otak yang menyebabkan akumulasi abnormal zat
radioaktif
B. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko perfusi Serebral tidak efektif
2. Nyeri akut
3. Gangguan mobilitas fisik
4. Ansietas
C. Intervensi Keperawatan
Tgl/Jam Dx. Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Rencana Tindakan

13-12-2021 Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif Tujuan: Setelah dilakukan tindakan Manajemen Peningkatan TIK
berhubungan dengan penurunan keperawatan 1x8 jam diharapkan tidak
konsentrasi dan suplai oksigen ke otak terjadi risiko perfusi serebral tidak Observasi
efektif.kriteria hasil: 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK
2. Monitor tanda atau gejala peningkatan TIK
1. Tingkat kesadaran meningkat (5)
3. Monitor MAP
2. Tekanan intrakranial menurun (5) Terapeutik
3. Sakit kepala menurun (5)
4. Kecemasan menurun (5) 1. Berikan posisi semi fowler
5. Tekanan darah sistolik membaik (5) 2. Hindari pemberian cairan IV hipotonik
3. Cegah terjadinya kejang
6. Tekanan darah diastolik membaik (5)
Kolaborasi
7. Reflex saraf membaik membaik (5)
1. Kolaborasi dalam pemberian sedasi dan anti
konvulsan, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika
perlu
13-12-2021 Nyeri akut b.d Agen pencedera fisik Setelah dilakukan intervensi selama 1x3 Manajemen Nyeri
jam diharapkan tingkat nyeri menurun,
dengan kriteria hasil : Observasi

1. Keluhan nyeri menurun (5) 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,


frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Meringis menurun (5) 2. Identifikasi skala nyeri
3. Gelisah menurun (5) 3. Identifikasi respon nyeri non verbal
4. Kesulitan tidur menurun (5)
5. Frekuensi nadi membaik (5) Terapeutik
6. Tekanan darah membaik (5)
7. Pola napas membaik (5) 1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hipnosis,
akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi
pijat, aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi
bermain)
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
nyeri (mis. suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)

Edukasi

1. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk


mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian analgetik Pemberian


Analgesik
13-12-2021 Gangguan mobilitas fisik berhubungan Tujuan: Setelah dilakukan tindakan Dukungan mobilisasi
dengan penurunan kekuatan otak keperawatan 3x24 jam diharapkan
Observasi:
mobilitas fisik meningkat dengan kriteria
hasil: 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
lainnya
1. Pergerakan ekstremitas meningkat (5)
2. Identifikasi toleransi fisik melakukan
2. Kekuatan otot meningkat (5)
pergerakan
3. Nyeri menurun (5) 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
4. Kaku sendi menurun (5) sebelum memulai mobilisasi
5. Gerakan terbatas menurun (5) 4. Monitor kondisi umum selama melakukan
6. Kelemahan fisik menurun (5) mobilisasi
Terapeutik:

1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat


bantu
2. Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien
dalam meningkatkan pergerakan
Edukasi

1. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi


2. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
3. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus
dilakukan (mis. Duduk di tempat tidur)
Daftar Pustaka

Al-Hadidy AM, Maani WS, Mahafza WS. 2010. Intracranial Meningioma.


Jordan Medical Journal. 41(1): 37-51 Al-Mefty, O., Heth, J., 2005.
Meningiomas. In: Rengachary, S.S., Ellenbogen, R.G., eds. Principles
of neurosurgery. 2 nd eds. China: Elsevier Mosby, 487-500

Goldbrunner R, Minniti G, Preusser M, Jenkinson M, Sallabanda K, Houdart


E, dkk. 2016. EANO guidelines for the diagnosis and treatment of
meningiomas. Lancet Oncol.; 17(9):e383– 91

Japardi, I., 2002. Gambaran CT Scan Pada Tumor Otak Benigna, Fakultas
Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1991/3/bedahiskandar
%20jap ardi11.pdf.txt. Diakses tanggal 8 September 2019

Malmer, B., Feychting, M., Lonn, S., Ahlbom, A., Henriksson, R., 2005. p53
genotypes and risk of glioma and meningioma. Cancer epidemiol
biomarkers prev 14 (9): 2220-3.

Rowland, Lewis P, ed. 2005. Merritt’s Neurology. 11th ed. New York :
Lippincott Williams & Wilkins.

Saraf S et al. 2011. Update on Meningiomas. The Oncologist. 16: 1604-13.

Talacchi, A., Corsini, F., Gerosa, M., 2011. Hyperostosing meningiomas of


the cranial vault with and without tumor mass. Acta neurochir 153: 53-
61

Wiemels J, Wrensch M, Claus E. 2010. Epidemiology and etiology of


meningioma. J Neurooncol 99: 301-314.

2019. Meningioma [Internet]. Available from www.abta.org

Anda mungkin juga menyukai