Bab Ii

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Pustaka adalah kajian hasil penelitian-penelitian yang telah

dilakukan oleh peneliti terdahulu, meliputi kajian geologi berskala regional maupun

local, berupa textbook, makalah ilmiah/ jurnal. Laporan penlitian, peta, publikasi

pribadi dari peneliti terdahulu. Kajian geologi berskala regional dan lokal

membahas mengenai aspek tataan tektonik, fisiografi, stratigrafi dan struktur

geologi. Tinjauan Pustaka berguna untuk memberikan gambaran awal untuk

memahami kondisi geologi yang ada di ddaerah penelitian. Masing-masing kajian

tersebut dijelaskan sebagai berikut :

2.1 Fisiografi
Kulon Progo merupakan bagian dari zona Jawa Tengah bagian Selatan

(Gambar 2.1 ), yaitu zona plato. Bagian utara dan timur Kulon Progo ini dibatasi

oleh dataran pantai Samudera Indonesia dan bagian baratlaut berhubungan dengan

Pegunungan Serayu Selatan. Berdasarkan relief dan genesanya, wilayah Kabupaten

Kulon Progo dibagi menjadi menjadi beberapa satuan morfologi, yaitu :

A. Satuan Pegunungan Kulon Progo

Satuan ini memanjang dari selatan ke utara dan menempati bagian Daerah

Istimewa Yogyakarta, yang meliputi Kecamatan Kokap, Girimulyo dan Samigaluh

dengan kemiringan lereng antara 15° - 16°.

B. Satuan Perbukitan Sentolo

Satuan ini mempunyai penyebaran yang sempit karena terpotong oleh Sungai

Progo yang memisahkan wilayah Kabupaten Kulon Progo, meliputi Kecamatan

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 4


Pengasih dan Sentolo dengan ketinggian antara 50 sampai 150 m dpal dengan

kelerengan sekitar 15°.

C. Satuan Teras Progo

Satuan ini terletak di sebelah utara satuan Perbukitan Sentolo dan di sebalah

timur penggunungan Kulon Progo yang meliputi Kecamatan Nanggulan,

Kalibawang, terutama di wilayah tepi Kulon Progo.

D. Satuan Dataran Aluvial

Satuan Dataran Aluvial ini memanjang dari barat-timur yang meliputi

Kecamtan Temon, Wates, Panjatan, Glur. Satuan ini didominasi oleh sawah dan

pemukiman.

E. Satuan Dataran Pantai

Satuan Dataran Pantai ini terbagi menjadi 2, yaitu :

1. Sub Satuan Gumuk Pasir

Sub Satuan ini tersebar di sepanjang pantai selatan Yogyakarta, yaitu pantai

Glagah dan Congot. Pantai Glagah juga merupakan tempat bermuaranya sungai

Progo dan Serang yang membawa material sedimen. Sehingga di sini banyak

ditemukan gumuk-gumuk pasir hasil endapan sedimen dari darat dan laut yang

dibantu energi angin.

2. Sub Satuan Dataran Aluvial Pantai

Sub satuan ini terletak disebelah utara satuan gumuk pasir dengan sumber

materialnya berasal dari gumuk pasir yang terbawa oleh angin.

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 5


Menurut van Bammelen (1949), Pegunungan Kulon Progo dilukiskan sebagai

kubah besar dengan bagian puncak datar dan sayap-sayap curam, dikenal sebagai

“Oblong Dome”. Daerah penelitian termasuk ke dalam fisiografi Pegunungan

Kulon Progo yang merupakan suatu bentukan kubah berbentuk empat persegi

Panjang (vam Bemmelen, 1949) yang merupakan bagian timur zona Pegunungan

Serayu Selatan. Sumbu Panjang kubah kurang lebih 32 km berarah selatan

baratdaya – utara timurlaut, sedangkan sumbu penddek kurang lebih 20 km berarah

barat baratlaut – timur tenggara.

Gambar 2.1 Fisiografi bagian tengah dan timur Pulau Jawa (van Bemmelen,
1949)

Dibagian utara dan timur, komplek pegunungan ini dibatasi oleh lembah

Progo, dibagian selatan dan barat dibatasi oleh dataran pantai Jawa Tengah.

Sedangkan di bagian barat laut pegunungan ini berhubungan dengan deretan

Pegunungan Serayu.

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 6


Inti dari dome ini terdiri dari 3 gunung api andesit tua yang sekarang telah

tererosi cukup dalam sehingga di beberapa bagian bekas sapur magma nya telah

tersingkap. Gunung Gajah yang terletak di bagian tengah dome tersebut merupakan

gunung api tertua yang menghasilkan andesit hiperstein augit basaltic. Gunung api

yang kemudian terbenyuk yaitu Gunung Api Ijo yang terletak di bagian selatan.

Kegiatan Gunung Api Ijo ini menghasilkan andesit piroksen basaltic, kemudian

andesit augit hornblrnde, sedang pada tahap terakhir adalah intrusi dasit pada

bagian inti. Setelah kegiatan Gunung Gajah berhenti dan mengalami denudasi, di

bagian utara mulai terbentuk Gunung Menoreh yang merupakan gunung terakhir

pada komplek Pegunungan Kulon Progo. Kegiatan Gunung menorah mula-mula

menghasilkan andesit hornblen, kemudian dihasilkan dasit dan yang terakhir yaitu

andesit.

Dome atau kubah Kulon Progo ini mempunyai puncak yang datar. Bagian

puncak yang datar ini dikenal sebagao “Jonggrangan Platoe” yang tertutup oleh

batugamping koral dan napal dengan memberikan kenampakan topografi karst.

Topografi ini dijumpai disekitar desa Jonggrangan , sehingga litologi di daerah

tersebut dikenal sebagai Formasi Jonggrangan.

Pannekoek (1939), van Bammelen (1949) mengatakan bahwa sisi utara dari

pegunungan Kulon Progo tersebut telah terpotong oleh gawir-gawir sehingga

dibagian ini banyak yang hancur, yang akhirnya tertimbun dibawah alluvial

Magelang.

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 7


2.2 Stratigrafi Regional

Stratigrafi Regional Kulon Progo menurut van Bemmelen (1949) dan Wartono

Rahardjo, dkk (1977), tersusun oleh formasi-formasi dari tua ke muda sebgai

berikut :

2.2.1 Formasi Nanggulan

Formasi Nanggulan menempati daerah dengan morfologi perbukitan

bergelombang rendah hingga menengah dengan tersebar merata di daerah

Nanggulan (bagian timur Pengunungan Kulon Progo). Secara setempat formasi ini

juga dijumpai di daerah Sermo, Gandul, dan Kokap yang berupa lensa-lensa atau

blok xenolith dalam batuan beku andesit.

Formasi Nanggulan mempunyai tipe lokasi di daerah Kalisongo,

Nanggulan. Van Bemmelen menjelaskan bahwa formasi ini merupakan batuan

tertua di Pegunungan Kulon Progo dengan lingkungan pengendapannya adalah

litoral pada fase genang laut. Litologi penyusunnya terdiri dari batupasir dengan

sisipan lignit, napal pasiran, batulempung dengan konkresi limonit, sisipan napal

dan batugamping, batupasir, tuf kaya akan foraminifera dan moluska, diperkirakan

ketebalannya 350 m. wilayah tipe formasi ini tersusun oleh endapan laut dangkal,

batupasir, serpih, dan perselingan napal dan lignit. Berdasarkan atas studi

Foraminifera Planktonik, maka Formasi Nanggulan ini mempunyai kisaran umur

antara Eosen Tengah sampai Oligosen Akhir.

Formasi ini tersingkap dibagian timur Kulon Progo, di daerah Sungai Progo

dan Sungai Puru. Formasi ini terbagi menjadi 3, yaitu :

a. Axinea Beds

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 8


Axinea beds yaitu formasi yang terletak paling bawah dengan ketebalan 40

meter, merupakan tipe endapan laut dangkal dengan terdiri dari batupasir, serpih

dengan perseliingan napal dan lignit yang semuanya berfasies itoral. Axinea beds

ini banyak mengandung fosil Pelecypoda.

b. Yogyakarta Beds

Yogyakarta beds yaitu formasi yang terendapkan secara selaras di atas

Axinea beds dengan ketebalan 60 meter. Formasi ini terdiri dari napal pasiran

berselang-seling dengan batupasir dan batulempung yang mengandung Nummulites

djogjakartae.

c. Discocyclina beds

Discocyclina beds yaitu yang diendapkan secara selaras di atas Yogyakarta

beds dengan ketebalan 200 meter. Formasi ini terdiri dari napal dan batugamping

berselingan dengan batupasir dan serpih. Semakin ke atas bagian ini berkembang

kandungan Foraminifera planktonic yang melimpah (Suryanto dan Roskamil ,

1975).

2.2.2 Formasi Andesit Tua

Batuan penyusun dari foraminifera ini terdiri atas breksi andesit, tuf, tuf

lapilli, aglomerat dan sisipan aliran lava andesit. Lava terutama terdiri dari Andesit

augit hornblende (Wartono Raharjo dkk, 1977).

Formasi Andesit Tua ini dengan ketebalan mencapai 500 meter mempunyai

kedudukan yang tidak selaras di atas Formasi Nanggulan. Batuan Penyusun

Formasi ini berasal dari kegiatan vulkanisme di daerah tersebut, yaitu dari beberapa

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 9


gunung api yua di daerah Kulon Progo yang oleh van Bemmelen (1949) disebut

Gunung Api Andesit Tua. Gunung api ini dimaksud adalah Gunung Gajah, di

bagian tengah pegunungan, Gunung Ijo di bagian selatan, serta Gunung menorah di

bagian utara Pegunungan Kulon Progo.

Aktivitas dari Gunung Gajag di bagian tengah menghasilan aliran-aliran

lava dan breksi dari andesit piroksen basaltic. Aktivitas ini kemudian diikuti

Gunung Ijo di bagian selatan Pegunungan Kulon Progo, yang menghasilkan

Andesit piroksen basaltic, kemudian Andesit augit hornblende dan kegiatan paliing

akhir adalah intrusu Dasit. Setelah terdenudasi yang kuat, sedkit anggota dari

Gunung Gajah yang tersingkap di bagian utara, Gunung Menoreh ini menghasilkan

batuan breksi Andesit augit hornblende yang disusul oleh intrusi Dasit dan

Trakhiandesit.

Purnamaningsih (1974. Wartono Rahardjo, dkk. 1977) menyebutkan telah

menemukan kepingan Tuff napalan yang merupakan fragmen breksi. Kepingan

Tuff napalan ini merupakan hasil dari rombakan lapisan yang lebih tua, dijumpai di

kaki Gunung Mujil. Dari hasil penelitian, kepingan Tuff ini merupakan hasil

Foraminifera planktonic yang dikenal sebagai Globigerina ciperoensis bolli,

Globigerina geguaensis weinzrel, dan applim serta Globigerina praebulloiudes

blow.

Fosil-fosil ini menunjukan umur oligosen atas. Formasi Andesit Tua secara

stratigrafi berada di bawah formasi Sentolo. Harsono Pringgoprawiro (1968, hal.8)

dan Darwin Kadar (1975, hal.2) menyimpulkan bahwa umur Formasi Sentolo

berdasarkan penelitian terhadap foraminifera planktonic adalah berkisar antara

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 10


Awal miosen sampai Pliosen. Formasi Nanggulan , yang terletak di bawah Formasi

Andesit Tua mempunyai kisaran umur Eosen Tengah hingga Oligosen Atas

(Hartono, 1969, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977). Jika kisaran umur itu dipakai,

maka Formasi Andesit Tua diperkirakan berumur Oligosen Atas sampai Miosen

Bawah. Menurut Purbaningsih (1974, vide wartono Rahardjo, dkk, 1977) umur

Formasi Andesit Tu aini adalah Oligosen.

2.2.3 Formasi Jonggrangan

Di atas Formasi Andesit Tua diendapkan Formasi Jonggrangan secara tidak

selaras. Formasi ini secara umum, bagian bawah tersiri dari konglomerat, napal

tufan, dan batupasir gampingan dengan kandungan mouska serta batulempung

dengan sisipan lignit. Di bagian atas, komposissi formasi ini berupa batugamping

berlapis dan batugamping koral. Morfologi yang terbentuk dari batuan penyusun

formasi ini berupa pegunungan dan perbukitan kerucut dan tersebar di bagian utara

Pegunungan Kulon Progo. Ketebalan batuan penyusun formasi ini adalah 250 – 400

meter dan berumur Miosen Tengah – Pliosen Akhir. Formasi ini di bagian bawah

menjemari dengan bagian bawah Formasi Sentolo (Pringgo Prawiro, 1968)

2.2.4 Formasi Sentolo

Di atas Formasi Andesit Tua, selain Formasi Jonggrangan, diendapkan juga

secara tidak selaras Formasi Sentolo. Hubungan Formasi Sentolo dengan Formasi

Jonggrangan adalah menjemari. Formasi Sentolo terdiri dari batugamping dan

batuapasir napalan. Bagian bawah terdiri dari konglomerat yang ditumpuki oleh

napal tufan dengan sisipan tuf kaca. Batuan ini ke arah atas berangsur-angsur

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 11


berubah menjadi batugamping berlapis bagus yang kaya akn Foraminifera.

Ketebalan formasi ini sekitar 950 meter.

2.2.5 Endapan Vulkanik Kuarter, Aluvial, dan Gugus Pasir

Endapan ini tersusun dari bagian bawah berupa endapan vulkanik Kuarter

yang merupakan endapan yang dihasilkan oleh endapan vulkanik Merapi muda, dan

di bagian atasnya secara tidak selaras diendapkan endapan alluvial dan juga gugus

pasir. Endapan Aluvial ini terdiri dari kerakal, pasir, lanau, dan lempung sepanjang

sungai yang besar dan dataran pantai. Alluvial sungai berdampingan dengan

alluvial rombakan batuan vulkanik. Gugus Pasir sepanjang pantai telah diperlajari

sebagai sumber besi.

Sedangkan, menurut Budiadi (2008), kolom tatanan stratigrafi daerah Kulon

Progo berdasarkan gabungan penelitian terdahulu (Gambar 2.2) digambarkan

sebagai berikut :

Gambar 2.3 Peta Geologi Regional Yogyakarta (Wartono Rahardjo dkk, 1995)

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 12


Tabel 2.1 Kolom tatanan stratigrafi daerah Kulon Progo berdasarkan gabungan
penelitian terdahulu (Budiadi, 2008)

2.3 Tektonik dan Vulkanisme Regional

2.3.1 Tektonik Regional

Selama zaman Tersier daerah Kulon Progo diperkirakan telah mengalami

deformasi paling sedikit dua kali periode fase tektonik (Sopaheluwakan (1994) dan

Soeria Atmadja, dkk. (1991)) yaitu yang pertama terjadi pada Oligosen Akhir –

Miosen Awal dan yang kedua terjadi pada Miosen Tengah – Miosen Akhir yang

menghasilkan busur magmatik.

Adanya sesar-sesar yang berpola regangan, sesar – sesar naik dan

pergeseran busur magmatic dari utara ke selatan kemudian berubah dari selatan ke

utara menunjukan adanya perkembangan tatanan tektonik. Dalam hal ini gaya yang

bersifat regangan berubah menjadi gaya kompresi. Gejala ini berkaitan pula dengan

perubahan kecepatan lempeng samudera Hindia – Australia terhadap lempeng

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 13


Eurasia. Evolusi tektonik Jawa (Gambar 2.3) selama Tersier menunjukkan jalur

sunduksi yang menerus dari lempeng Hindia – Australia menyusup ke bawah Jawa

(Hamilton, 1979 dan Katili, 1971). Sedangkan busur magmatic Tersier sedikit

bergeser kea rah utara dan busur magmatic Kuarter berimpit dengan busur

magmatic Miosen Tengah (Soeria Atmadja dkk, 1991) dengan jalur subduksi

bergeser ke selatan.

Perkembangan tektonik yang lain adalah jalur subduksi Karangsambung –

Meratus menjadi tidak aktif karena tersumbat oleh hadirnya material kontinen.

Sribudiyani, dkk (2003) mengatakan bahwa berdasarkan data seismic dan

pemboran baru di Jawa Timur menafsirkan terdapatnya fragmen kontinen (yang

disebut lempeng Mikro Jawa Timur) sebagai penyebab berubahnya lajur subduksi

arah baratdaya – timurlaut (pola Meratus) menjadi arah barat – timur (pola Jawa).

Gambar 2.3 Tatanan tektonik di Indonesia. menunjukkan lempeng Hindia -


Australia yang menyusup ke bawah pulau Jawa yang merupakan bagian dari
lempeng Eurasia (Sribudyani, dkk 2003)

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 14


Sedangkan menurut pandangan peneliti lain, yaitu Wartono Rahardjo dkk

(1995), daerah Kulon Progo telah mengalami tiga fase tektonik. Fase tektonik

pertama terjadi pada Oligosen Awal dengan disertai aktifitas vulkanisme. Fase

kedua terjadi pada Miosen Awal terjadi penurunan daerah Kulon Progo. Kemudian

fase ketiga terjadi pada Pliosen sampai Pleistosen terjadi fase tektonik berupa

pengangkatan dan aktivitas vulkanisme.

1 Fase Tektonik Oligosen Awal – Oligosen Akhir

Fase tektonik Oligosen Awal terjadi proses pengangkatan daerah Kulon Progo

yang dicirikan oleh ketidakselarasan Formasi Nanggulan yang diendapkan di darat.

Fase tektonik ini juga mengaktifkan vulkanisme di daerah tersebut yang tersusun

oleh beberapa sumber erupsi. Perkembangan vulkanisme di Kulon Progo tidak

terjadi bersamaan, namun dimulai oleh Gunung Gajah (bagian tengah Pegunungan

Kulon Progo), kemudian berpindah ke selatan pada Gunung Idjo, dan terakhir

berpindah ke utara pada Gunung Menoreh.

2 Fase Tektonik Miosen Awal

Pada pertengahan Miosen Awal terjaddi fase tektonik kedua berupa penurunan

daerah Kulon Progo. Penurunan ini dicirikan oleh berubahnya lingkungan

pengendapan, yaitu dari Formasi Kebobutak yang diendapkan di darat menjadi

Formasi Jonggrangan yang diendapkan di laut dangkal. Pada fase ini hamper semua

batuan gunungapi Formasi Kebobutak tertutup oleh batugamping Formasi

Jonggrangan, menandakan adanya genangan laut regional.

3 Fase Tektonik Pliosen – Pleistosen

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 15


Pada akhir Pliosen terjadi fase tektonik ketiga di daerah Kulon Progo berupa

pengangkatan. Proses ditandai oleh berakhirnya pengendapan Formasi Sentolo di

laut dan diganti oleh sedimentasi darat berupa alluvial dan enddapan gunung api

kuarter. Fase tektonik inilah yang mengangkat daerah Kulon Progo menjadi

pegunungan kubah memanjang yang disertai dengan gaya regangan di utra yang

menyebabkan terpancungnya sebagian Gunung Menoreh. Bisa dikatakan bahwa

fase inilah yang membentuk morfologi Pegunungan Kulon Progo saat ini.

2.3.2 Volkanisme Regional

Posisi pulau Jawa dalam kerangka tektonik terletak pada batas aktif (zona

penunjaman) sementara berdasarkan konfigurasi penunjaman terletak pada jarak

kedalaman 100 km di selatan hingga 400 km di utara zona Benioff. Konfigurasi

memberikan empat pola busur atau jalur magmatisme yang terbentuk sebagai

formasi-formasi batuan beku dan volkanik. Empat jalur magmatisme tersebut

menurut Soeria Atmadja dkk., 1991 adalah :

a. Jalur volkanisme Eosen hingga Miosen Tengah, terwujud sebagai Zona

Pegunungan Selatan.

b. Jalur volkanisme Miosen Atas hingga Pliosen terletak di sebelah utara jalur

Pegunungan Selatan, berupa lava dan batuan beku.

c. Jalur volkanisme Kuarter busur samudera yang terdiri dari sederetan

pegunungan aktif.

d. Jalur volkanisme Kuarter busur belakang, jalur ini ditempati oleh sejumlah

gunungapi yang berumur Kuarter yang terletak dibelakang busur volkanik aktif

sekarang.

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 16


Magmatisme Pra-Tersier

Batuan Pra-Tersier di Pulau Jawa hanya tersingkap di Ciletuh, Karang

Sambung dan Bayat. Dari ketiga tempat tersebut , batuan yang dapat dijumpai

umumnya batuan beku dan batuan metamorf. Sementara itu, batuan yang

menunjukan aktifitas magmatisme terdiri atas batuan asal kerak samudera seperti

peridotite, gabbro, diabase, basalt toleit. Batuan-batuan ini sebagain telah menjadi

batuan metamorf.

Gambar 2.4. Busur Magmatik/ Volkanik Pulau Jawa (Soeria-Atmadja et al., 1994)

Data-data menunjukan adanya aktifitas magamtisme pada Eosen ialah

adanya Formasi Jatibarang di bagian utara Jawa Barat, dike basaltic yang

memotong Formasi Karang Sambung di daerah Kebumen Utara, batuan berumur

Eosen di Bayat dan lava bantal basaltik di sungai Grindulu Pacitan. Formasi

Jatibarang merupakan batuan volkanik yang dapat dijumpai di setiap sumur

pemboran. Ketebalan Formasi jatibarang kurang lebih 1200 meter. Sementara di

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 17


daerah Jawa Tengah dapat ditemui di Gunung Bujil yang berupa dike basaltic yang

memotong Formasi Karang Sambung, di Bayat dapat ditemukan kompleks

Perbukitan Jiwo berupa dike basaltic dan stok gabroik yang memotong sekis

kristalin dan Formasi Gamping-Wungkal.

Magmatisme OLigosen-Miosen Tengah

Pulau Jawa terbentuk oelh rangkaian gunung api yang berumur Oligosen-

Miosen Tengah dan Pliosen-Kuarter. Batuan penyusun terdiri atas batuan volkanik

berupabreksi piroklastik, breksi laharik, lava, batupsir volkanik, tuf yang

terendapkan dalam lingkungan darat dan laut. Pembentukan deretan gunungapi

berkaitan erat dengan penunjaman lempeng Samudera Hindia pada akhir Paleogen.

Menurut van Bemmelen (1979) salah satu produk aktifitas volkanik saat itu adalah

Formasi Andesit Tua.

Magamtisme Miosen Atas-Pliosen

Posisi jalur magmatisme pada periode ini berada disebelah utara jalur

magmatisme periode Oligosen-Miosen Tengah. Pada periode ini aktivitas

magmatisme tidak terekspresikan dalam bentuk munculnya gunungapi, tetapi

berupa intrusi-intrusi seperti dike, sill, dan volkanik erek. Batuannya berkomposisi

andeitik.

Magmatisme Kuarter

Pada periode aktifitas kuarter ini magmatisme muncul sebgai kerucut-

kerucutt gunungapi. Pada dua jalur rangkaian gunungapi yaitu : jalur utama terletak

di tengah pulau Jawa atau pada jalur utama dan jalur belakang busur. Gunungapi

pada jalur utama tersusun oleh batuan volkanik tipe toleitik, kalk alkali dan kalk

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 18


alkali kaya potassium. Sedangkan batuan volkanik yang terletak di belakang busur

utama berkomposisi shoshonitic dan ultrapotassic dengan kandungan leusit.

2.4 Struktur Geologi Regional

Karakteristik Kabupaten Kulon Progo secara umum berupa kubah atau

menyerupai kubah (dome), dengan struktur geologi daerah terdiri atas :

a. Struktur geologi berupa perlipatan batuan (fold), perlipatan di Formasi Sentolo.

Perlipatan ini terdapat di bagian perbukitan Formasi Sentolo di daerah

Pengasih, Sentolo, Panjatan, Lendah dan Galur.

b. Struktur geologi patahan/sesar (fault), merupakan bagian dari batuan yang

saling bergerak antara bagian blok batuan satu dengan batuan yang lain yang

dipisahkan oleh zona patahan atau dapat diistilahkan pecahan batuan yang

disertai gerakan massa batuan. Patahan di wilayah Kulon Progo dapat

dipisahkan menjadi 2 bagian yaitu :

1. Patahan Regional, merupakan satu kesatuan patahan Yogyakarta. Patahan

ini merupakan patahan Graben Yogyakarta. Patahan Graben Yogyakarta

adalah patahan Opak dan patahan Progo yang menyebabkan wilayah Kulon

Progo dan Wonosari menjadi daerah dataran tinggi dan di kota Yogyakarta

menjadi dataran rendah. Patahan Opak berarah baratdaya – timurlaut,

sedangkan patahan Progo berarah utara – selatan. Patahan ini terletak di

bagian timur Kulon Progo meliputi wilayah Kalibawang bagian timur,

Nanggulan bagian timur, Sentolo, Panjatan, Galur, dan Lendah.

2. Patahan Lokal, merupakan patahan yang hanya terjadi di Kulon Progo.

Patahan ini banyak terjadi di bagian pegunungan atau kubah di Kulon

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 19


Progo utara bagian barat, dimana patahan berbentuk relative radial yaitu

berarah baratlaut – tenggara, barat – timur dan baratdaya – timmurlaut.

Patahan ini terdapat di wilayah Kecamatan Kokap, Temon bagian utara,

Pengasih, Nanggulan Bagian barat.

c. Struktur Kekar (joint) yaitu pecahan batuan yang tidak mengalami pergerakan.

Struktur kekar ini sangan inntensif terdapat di formasi batuan andesit dan

formasi Andesit Tua.

Perkembangan struktur geologi daerah penelitian tidak terlepas dari proses

geologi yang membentuk kubah Kulon Progo (Gambar 2.5). Gaya yang membentuk

kubah Kulon Progo ada dua fase pengangkatan, fase pertama terjadi pada akhir

aktivitas Gunung Menoreh pada Kala Oligosen-Miosen yaitu pada waktu kubah

terbentuk. Fase kedua terjadi pada Kala Pleistosen atau fase yang menyebabkan

pegunungan ini terangkat kembali dan mengakibatkan terjadinya sesar-sesar yang

secara umum membentuk pola radier (Bemmelen, 1949).

Gambar 2.5. Skema Blok Kubah Kulon Progo ( Bemmelen, 1949)

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 20


2.5 Pengertian Batubara

Sukandarrumidi 1995 mengatakan bahwa batubara merupakan bahan bakar

hidrokarbon padat yang terbentuk dari proses penggambutan dan pembatubaraan di

dalam suatu cekungan (daerah rawa) dalam jangka waktu geologis yang meliputi

aktivitas bio-geokimia terhadap akumulasi flora di alam yang mengandung selulosa

dan lignin. Proses pembatubaraan juga dibantu oleh factor tekanan (berhubungan

dengan kedalaman), dan suhu (berhubungan dengan pengurangan kadar air dalam

batubara).

Batubara dapat didefinisikan sebagai batuan sedimen yang terbentuk dari

dekomposisi tumpukan tanaman selama kira-kira 300 juta tahun. Dekomposisi

tanaman ini terjadi karena proses biologi dengan mikroba dimana banyak oksigen

dalam selulosa diubah menjadi karbondioksida (CO2) dan air (H2O). Perubahan

yang terjadi dalam kandungan bahan tersebut disebabkan oleh adanya tekanan,

pemanasan yang kemudian membentuk lapisan tebal sebagai akibat pengaruh panas

bumi dalam jangka waktu berjuta-juta tahun, sehingga lapisan tersebut akhirnya

memadat dan mengeras (Mutasim, 2010). Berikut merupakan penampakan

batubara yang dapat dilihat dalam Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Kenampakan Batubara

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 21


Menurut Irwandy 2014, batubara dikenal juga sebagai “emas” hitam.

Masyarakat mengenalnya sebagai batu hitam yang bisa terbakar. Hal itu tidak salah

karena tampilan dilapangan menunjukkan perbedaan kontras antara batubara dan

batuan sekitarnya (Gambar 2.6). Elliot (1981) yang merupakan geokimia batubara,

berpendapat bahwa batubara merupakan batuan sedimen yang secara kimia dan

fisika adalah heterogen yang mengandung unsur-unsur karbon, hydrogen, serta

oksigen sebagai komponen unsur utama dan belerang serta nitrogen sebagai unsur

tambahan. Zat lain, yaitu senyawa anorganik pembentuk ash (debu),

tersebarsebagai partikel zat mineral yang terpisah di seluruh senyawa batubara.

Secara ringkas, batubara bisa didefinisikan sebagai batuan karbonat berbentuk

padat, rapuh, berwarna cokelat tua sampai hitam, dapat terbakar, yang terjadi akibat

perubahan tumbuhan secara kimia dan fisik.

Menurut Miller 2005, batubara ditemukan dalam endapan yang disebut

lapisan yang berasal dari akumulasi vegetasi yang telah mengalami perubahan fisik

dan kimia. Perubahan-perubahan ini termasuk pembusukan vegetasi, pengendapan

dan penguburan oleh sedimentasi, pemadatan, dan transformasi sisa-sisa tanaman

menjadi batuan organik yang ditemukan saat ini. Batubara memiliki karakteristik

yang berbeda-beda di seluruh dunia dalam jenis bahan tanaman yang disimpan

(jenis batubara), dalam tingkat metamorfisme atau batu bara (peringkat batu bara),

dan dalam kisaran kotoran yang termasuk (kadar batu bara).

2.5.1 Proses Pembentukan Batubara

Menurut Sukandarrumidi 2018, batubara terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan

yang sudah mati, dengan komposisi terdiri dari cellulose. Proses pembentukan

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 22


batubara, dikenal sebagai proses pembatubaraan atau coalification. Faktor fisika

dan kimia yang ada di alam akan mengubah cellulose menjadi lignit, subbitumina,

bitumina, atau antrasit. Reaksi pembentukan batubara dapat diperlihatkan sebagai

berikut:

Gambar 2.7. Rumus Bangun Batubara

Metan Cellulose lignit gas


5 (𝐶20 𝐻22 𝑂4 ) - 𝐶20 𝐻22 𝑂4 + 3𝐶𝐻4 + 8𝐻2 𝑂 + 6𝐶𝑂2 + 𝐶𝑂

Keterangan :

• Cellulose (senyawa organic), merupakan senyawa pembentuk batubara.

• Unsur C pada lignit jumlahnya relatif lebih sedikit dibandingkan jumlah unsur

C pada bitumina , semakin banyak unsur C pada lignit maka semakin baik

kualitas batubara.

• Unsur H pada lignit relatif banyak dibandingkan jumlah unsur H pada bitumina

semakin banyak unsur H pada lignit, maka semakin rendah kualitas batubara.

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 23


• Senyawa gas metan (𝐶𝐻4 ) pada lignit jumlahnya relatif lebih sedikit

dibandingkan dengan pada bitumina, semakin banyak (𝐶𝐻4 ) lignit semakin baik

kualitasnya.

Proses pembentukan batubara terdiri atas dua tahap, yaitu :

1) Tahap biokimia (penggambutan) adalah tahap ketika sisa-sisa tumbuhan yang

terakumulasi tersimpan dalam kondisi bebas oksigen (anaeorobik) didaerah

rawa dengan sistem penisiran (drainage system) yang buruk dan selalu

tergenang air beberapa inci dari permukaan air rawa. Material tumbuhan yang

busuk tersebut melepaskan unsur H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa 𝐶𝑂2,

𝐻2 𝑂 dan 𝑁𝐻3 untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobic dan

fungi, material tumbuhan itu diubah menjadi gambut. (Stach, 1982, opcit.

Susilawati 1992).

2) Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan proses diagenesis terhadap

komponen organik dari gambut yang menimbulkan peningkatan temperature

dan tekanan sebagai gabungan proses biokimia, kimia dan fisika yang terjadi

karena pengaruh pembebanan sedimen yang menutupinya dalam kurun waktu

geologi. Pada tahap tersebut, persentase karbon akan meningkat, sedangkan

persentase hidrogen dan oksigen akan berkurang sehingga menghasilkan

batubara dalam berbagai tingkat maturitas material organiknya. (Susilawati

1992). Teori yang menerangkan terjadinya batubara yaitu :

a. Teori In-situ

Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari hutan ditempat

dimana batubara tersebut. Batubara yang terbentuk biasanya terjadi dihutan basah

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 24


dan berawa, sehingga pohon-pohon di hutan tersebut pada saat mati dan roboh,

langsung tenggelam ke dalam rawa tersebut dan sisa tumbuhan tersebut tidak

mengalami pembusukan secara sempurna dan akhirnya menjadi fosil tumbuhan

yang membentuk sedimen organik.

b. Teori Drift

Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari hutan yang

bukan ditempat dimana batubara tersebut. Batubara yang terbentuk biasanya terjadi

di delta mempunyai ciri-ciri lapisannya yaitu tipis, tidak menerus (splitting), banyak

lapisannya (multipleseam), banyak pengotor (kandungan abu cenderung tinggi).

Proses pembentukan batubara dapat dilihat pada gambar 2.8.

Gambar 2.8. Proses Pembentukan Batubara


2.5.2 Jenis -jenis Batubara

Berdasarkan kualitasnya, batubara memiliki kelas (grade) yang secara umum

diklasifikasikan menjadi empat kelas utama menurut standar ASTM (Kirk-Othmer,

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 25


1979) atau lima kelas jika dimasukkan peat atau gambut sebagai jenis batubara

yang paling muda (Larsen, 1978). Dalam hal ini kelas batubara disertai dengan

kriteria berdasarkan analisis proximate dan nilai kalornya, juga kriteria berdasarkan

analisis ultimate dan kandungan sulfur total serta densitasnya. Masing- masing jenis

batubara tersebut secara berurutan memiliki perbandingan C : O dan C : H yang

lebih tinggi. Antrasit merupakan batubara yang paling bernilai tinggi, dan lignit,

yang paling bernilai rendah.

1) Gambut/Peat

Peat merupakan golongan batubara yang bisa dijadikan bahan bakar karena

masih merupakan fase awal dari proses pembentukan batubara. Endapan ini masih

memperlihatkan sifat awal dari bahan dasarnya (tumbuh-tumbuhan).

2) Lignit

Lignit disebut juga brown-coal, sudah memperlihatkan proses selanjutnya

berupa kekar dan gejala pelapisan. Panas yang dikeluarkan sangat rendah sehingga

digunakkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik.

3) Subbituminous/ Bitumen Menengah

Golongan ini memperlihatkan ciri-ciri tertentu yaitu warna yang kehitam-hitaman

dan sudah mengandung lilin. Endapan ini dapat digunakan untuk pemanfaatan

pembakaran yang cukup dengan temperatur yang tidak terlalu tinggi.

Subbituminous umum digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga uap.

Subbituminous juga merupakan sumber bahan baku yang penting dalam pembuatan

hidrokarbon aromatis dalam industri kimia sintetis.

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 26


4) Bituminous

Bituminous merupakan mineral padat, berwarna hitam dan kadang coklat tua,

rapuh (brittle) dengan membentuk bongkah-bongkah prismatik berlapis dan tidak

mengeluarkan gas dan air bila dikeringkan sering digunakan untuk kepentingan

transportasi dan industri serta untuk pembangkit listrik tenaga uap.

5) Antrasit

Golongan ini berwarna hitam, keras, kilap tinggi, dan pecahannya

memperlihatkan pecahan chocoidal. Pada proses pembakaran memperlihatkan

warna biru dengan derajat pemanasan yang tinggi. Digunakan untuk berbagai

macam industri besar yang memerlukan temperatur tinggi.

Gambar 2.9. Jenis-jenis Batubara (Peat, Lignit, Subbituminous, Bituminous,


Antrasit)

Semakin tinggi kualitas batubara, maka kadar karbon akan meningkat,

sedangkan hidrogen dan oksigen akan berkurang. Batubara bermutu rendah, seperti

lignite dan sub-bituminous, memiliki tingkat kelembaban (moisture) yang tinggi

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 27


dan kadar karbon yang rendah, sehingga energinya juga rendah. Semakin tinggi

mutu batubara, umumnya akan semakin keras dan kompak, serta warnanya akan

semakin hitam mengkilat. Selain itu, kelembabannya pun akan berkurang

sedangkan kadar karbonnya akan meningkat, sehingga kandungan energinya juga

semakin besar.

2.6 Karakteristik Batubara

Karakteristik batubara dapat dinyatakan berdasarkan sifat fisika dan sifat kimia

yang dimilikinya. Karakteristik batubara menunjukan sifat fisik diantaranya nilai

density, kekerasan, ketergerusan (grindability), warna, dan pecahan. Sedangkan

sifat kimia batubara merupakan kandungan senyawa yang terkandung dalam

batubara tersebut diantaranya kandungan Karbon, Hidrogen, Oksigen, Nitrogen,

dan Sulfur.

2.6.1 Sifat-sifat Fisik Batubara

Sifat fisik batubara tergantung kepada unsur kimia yang membentuk

batubara tersebut, semua fisik yang dikemukakan dibawah ini mempunyai

hubungan erat satu sama lain.

a. Berat Jenis (Spesific Gravity)

Specific gravity batubara berkisar dari 1.25 g/cm3 hingga 1.70 g/cm3,

pertambahannya sesuai dengan peningkatan derajat batubara. Specific gravity

batubara turun sedikit pada lignit yaitu 1.5 g/cm3 hingga bituminous yaitu 1.25

g/cm3. Kemudian akan naik lagi menjadi 1.5 g/cm3 untuk antrasit hingga 2.2 g/cm3

untuk grafit.

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 28


Berat jenis batubara sangat bergantung pada jumlah dan jenis mineral yang

dikandung abu dan juga kekompakan porositasnya. Kandungan karbon juga akan

mempengaruhi kualitas batubara dalam penggunaan. Batubara jenis yang rendah

menyebabkan sifat pembaka-ran yang tidak baik.

b. Kekerasan

Kekerasan batubara berkaitan dengan struktur batubara yang ada. Keras atau

lemahnya batubara juga terkandung pada komposisi dan jenis batubaranya. Uji

kekerasan batubara dapat dilakukan dengan mesin Hardgrove Grindibility Index

(HGI). Nilai HGI menunjukan nilai kekersan batubara. Nilai HGI berbanding

terbalik dengan kekerasan batubara. Semakin tinggi nilai HGI , maka batubara

tersebut semakin lunak. Sebaliknya, jika nilai HGI batubara tersebut semakin

rendah maka batubara tersebut semakin keras.

c. Warna

Warna batubara bervariasi mulai dari berwarna coklat pada lignit hingga warna

hitam legam pada antrasit. Warna variasi litotipe (batubara yang kaya akan vitrain)

umumnya berwarna cerah.

d. Goresan

Goresan batubara warnanya berkisar antara terang sampai coklat tua. Lignit

mempunyai goresan hitam keabu-abuan, batubara berbitumin mempunyai warna

goresan hitam, batubara cannel mempunyai warna goresan dari coklat hingga hitam

legam.

e. Pecahan

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 29


Pecahan dari batubara memperlihatkan bentuk dari potongan batubara dalam

sifat memecahnya. Ini dapat pula memeperlihatkan sifat dan mutu dari suatu

batubara. Antrasit dan batubara cannel mempunyai pecahan konkoidal. Batubara

dengan zat terbang tinggi, cenderung memecah dalam bentuk persegi, balok atau

kubus.

2.6.2 Sifat-sifat Kimia Batubara

Sifat kimia dari batubara sangat berhubungan langsung dengan senyawa

penyusun dari batubara tersebut. Baik senyawa organik ataupun senyawa

anorganik. Sifat kimia dari batubara dapat digambarkan dari unsur yang terkandung

di dalam batubara,antara lain sebagai berikut:

a. Karbon

Jumlah karbon yang terdapat dalam batubara bertambah sesuai dengan

peningkatan derajat batubaranya. Kenaikan derajatnya dari 60% hingga 100%.

Persentase akan lebih kecil daripada lignit dan menjadi besar pada antrasit dan

hamper 100% dalam grafit. Unsur karbon dalam batubara sangat penting

peranannya sebagai sumber panas. Karbon dalam batubara tidak berada dalam

unsurnya tetapi dalam bentuk senyawa. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah karbon

yang besar yang dipisahkan dalam bentuk zat terbang.

b. Hydrogen

Hidrogen yang terdapat dalam batubara berangsur-angsur habis akibat evolusi

metan. Kandungan hidrogen dalam liginit berkisar antara 5%, 6% dan 4.5% dalam

batubara berbitumin sekitar 3% hingga 3,5% dalam antrasit.

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 30


c. Oksigen

Oksigen yang terdapat dalam batubara merupakan oksigen yang tidak reaktif.

Sebagaimana dengan hidrogen kandungan oksigen akan berkurang selam evolusi

atau pembentukan air dan karbondioksida. Kandungan oksigen dalam lignit sekitar

20% atau lebih. Sedangkan dalam batubara berbitumin sekitar 4% hingga 10% dan

sekitar 1,5% hingga 2% dalam batubara antrasit.

d. Nitrogen

Nitrogen yang terdapat dalam batubara berupa senyawa organik yang terbentuk

sepenuhnya dari protein bahan tanaman asalnya dan jumlahnya sekitar 0,55%

hingga 3%. Batubara berbitumin biasanya mengandung lebih banyak nitrogen

daripada lignit dan antrasit.

e. Sulfur

Sulfur dalam batubara biasanya dalam jumlah yang sangat kecil dan

kemungkinan berasal dari pembentuk dan diperkaya oleh bakteri sulfur. Sulfur

dalam batubara biasanya kurang dari 4%, tetapi dalam beberapa hal sulfurnya bisa

mempunyai konsentrasi yang tinggi. Sulfur terdapat dalam tiga bentuk, yaitu :

• Sulfur Piritik (Piritic Sulfur),Sulfur Piritik biasanya berjumlah sekitar 20%

hingga 80% dari total sulfur yang terdapat dalam makrodeposit (lensa, urat,

kekar, dan bola) dan mikrodeposit (partikel halus yang menyebar).

• Sulfur Organik,Sulfur Organik biasanya berjumlah sekitar 20% hingga 80%

dari total sulfur, biasanya berasosiasi dengan konsentrasi sulfat selama

pertumbuhan endapan.

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 31


• Sulfat Sulfur, Sulfat terutama berupa kalsium dan besi, jumlahnya relatif

kecil dari seluruh jumlah sulfurnya.

FATIMAH SRI GUNARTI (410015039) | 32

Anda mungkin juga menyukai