Nurma Pedoman Ppra

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 24

Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo 736 Gresik Telp. (031) 3950552, 3958499 Fax.

(031)3958599

Lampiran
SK Dir No; SK-DEN / 01/105/VIII/
2018
Ttg Pedoman Program PPRA

PEDOMAN PROGRAM PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA


DI RUMAH SAKIT RSU DENISA GRESIK

I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Resistansi antibiotic telah menjadi masalah di Indonesia dengan merujuk pada
Pedoman Pengendalian Resistensi Antibiotika (PPRA) yang melibatkan 20 rumah sakit
pendidikan.Permenkes no. 2406/Menkes/PER.XII/2011 tentang Pedoman Umum
Penggunaan Antibiotik dan beberapa hasil penelitian telah dilakukan antara lain
Antimicrobial Resistance in: Indonesia Prevalence and Prevention (AMRIN )
menyatakan bahwa Indonesia memiliki resistensi terhadap mikroba. Akibat dari
resistensi antibiotika yaitu pengobatan pasien menjadi gagal atau tidak sembuh, biaya
jadi meningkat karena LOS (long of stay) lebih lama dan jenis antibiotika beragam serta
keberhasilan program kesehatan masyarakat dapat terganggu.
Resistensi antimikroba yang dimaksud adalah resistensi terhadap antimikroba yang
efektif untuk terapi infeksi yang disebabkan oleh bakteri, jamur, virus, dan parasit.
Bakteri adalah penyebab infeksi terbanyak maka penggunaan antibakteri yang dimaksud
adalah penggunaan antibiotik.
Badan Eksekutif WHO telah merekomendasikan untuk memasukkan resistensi
antibiotika keresolusi EB134.R13 pada World Health Assembly 2014 bulan Mei lalu,
dengan penyusunan Rencana Aksi Global untuk Resistensi Antibiotika.World Health
Day 2011 mengusung tema Antimicrobial Resistance (AMR).Hal ini kemudian
dilanjutkan oleh penandatanganan “Jaipur Declaration on Antimicrobial Resistance
2011” oleh Menteri-menteri Kesehatan dari negara-negara anggota WHO Regional Asia
Tenggara. Dimana pada Deklarasi Jaipur tersebut ditekankan pentingnya pemerintah
menempatkan prioritas utama untuk mempertahankan efikasi antibiotic dan menghindari
resistensi antimikroba.Mengatasinya dengan melakukan rencana aksi yang melibatkan
multisektor.
Untuk mendukung kegiatan PPRA di rumah sakit perlu kesiapan infrastruktur rumah
sakit melalui kebijakan pimpinan rumah sakit yang mendukung penggunaan antibiotic
secara bijak (prudent use of antibiotics), pelaksanaan pengendalian infeksi secara
optimal, pelayanan mikrobiologi klinik dari pelayanan farmasi klinik secara
professional.Hal ini sesuai dengan hasil rekomendasi Lokakarya Nasional Kedua
‘Staregy to Combat the Emergence and Spread of Antimikrobial Resistant Bacteria in
Indonesia’ di Jakarta tanggal 6-7 Desember 2006 bahwa setiap rumah sakit diharapkan
segera menerapkan PPRA.
Dalam rangka pelaksanaan PPRA di rumah sakit, maka perlu disusun pedoman
pelaksanaan agar pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit di seluruh Indonesia
berlangsung secara baku dan data yang diperoleh dapat mewakili data nasional di
Indonesia.
B. Tujuan
Pedoman ini dimaksudkan untuk menjadi acuan dalam pelaksanaan program
pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit, agar berlangsung secara baku,
terpadu, berkesinambungan, terukur, dan dapat dievaluasi.

II. STRATEGI PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA


Muncul dan berkembangnya mikroba resisten dapat dikendalikan melalui dua
kegiatan utama, yaitu penerapan penggunaan antibiotik secara bijak (prudent use of
antibiotics), dan penerapan prinsip pencegahan penyebaran mikroba resisten melalui
kewaspadaan standar. Penggunaan antibiotik secara bijak ialah penggunaan antibiotik
yang sesuai dengan penyebab infeksi dengan rejimen dosis optimal, lama pemberian
optimal, efek samping minimal, dan dampak minimal terhadap munculnya mikroba
resisten. Oleh sebab itu pemberian antibiotik harus disertai dengan upaya menemukan
penyebab infeksi dan pola kepekaannya.
Penggunaan antibiotik secara bijak memerlukan kebijakan pembatasan dalam
penerapannya. Antibiotik dibedakan dalam kelompok antibiotik yang bebas digunakan
oleh semua klinisi (non-restricted) dan antibiotik yang dihemat dan penggunaannya
memerlukan persetujuan tim ahli (restricted dan reserved).
Peresepan antibiotik bertujuan mengatasi penyakit infeksi (terapi) dan mencegah
infeksi pada pasien yang berisiko tinggi untuk mengalami infeksi bekteri pada tindakan
pembedahan (profilaksis bedah) dan beberapa kondisi medis tertentu (profilaksis medik).
Antibiotik tidak diberikan pada penyakit non-infeksi dan penyakit infeksi yang dapat
sembuh sendiri (self-limited) seperti infeksi virus.
Pemilihan jenis antibiotik harus berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi atau
berdasarkan pola mikroba dan pola kepekaan antibiotik, dan diarahkan pada antibiotik
berspektrum sempit untuk mengurangi tekanan seleksi (selection pressure). Penggunaan
antibiotik empiris berspektrum luas masih dibenarkan pada keadaan tertentu, selanjutnya
dilakukan penyesuaian dan evaluasi setelah ada hasil pemeriksaan mikrobiologi
(streamlining atau de-eskalasi).
Beberapa masalah dalam pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit perlu
diatasi. Misalnya, tersedianya laboratorium mikrobiologi yang memadai, komunikasi
antara berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan perlu ditingkatkan. Selain itu,
diperlukan -13- dukungan kebijakan pembiayaan dan pengadaan antibiotik yang
mendukung pelaksanaan penggunaan antibiotik secara bijak di rumah sakit. Untuk
menjamin berlangsungnya program ini perlu dibentuk Tim Pelaksana Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba (Tim PPRA) di rumah sakit.
III. PRINSIP PENGGUNAAN ANTIBIOTIK
A. Faktor-Faktor yang Harus Dipertimbangkan pada Penggunaan Antibiotik
1. Resistensi Mikroorganisme Terhadap Antibiotik
a. Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya
kerja antibiotik. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu (Drlica &
Perlin, 2011):
1) Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi.
2) Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik.
3) Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel bakteri.
4) Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan sifat dinding
sel bakteri.
5) Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan dari dalam
sel melalui mekanisme transport aktif ke luar sel.
b. Satuan resistensi dinyatakan dalam satuan KHM (Kadar Hambat Minimal) atau
Minimum Inhibitory Concentration (MIC) yaitu kadar terendah antibiotik
(µg/mL) yang mampu menghambat tumbuh dan berkembangnya bakteri.
Peningkatan nilai KHM menggambarkan tahap awal menuju resisten.
c. Enzim perusak antibiotik khusus terhadap golongan beta-laktam, pertama
dikenal pada Tahun 1945 dengan nama penisilinase yang ditemukan pada
Staphylococcus aureus dari pasien yang mendapat pengobatan penisilin.
Masalah serupa juga ditemukan pada pasien terinfeksi Escherichia coli yang
mendapat terapi ampisilin (Acar and Goldstein, 1998). Resistensi terhadap
golongan beta-laktam antara lain terjadi karena perubahan atau mutasi gen
penyandi protein (Penicillin Binding Protein, PBP). Ikatan obat golongan beta-
laktam pada PBP akan menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga sel
mengalami lisis.
d. Peningkatan kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik bisa terjadi dengan 2
cara, yaitu:
1) Mekanisme Selection Pressure. Jika bakteri resisten tersebut berbiak secara
duplikasi setiap 20-30 menit (untuk bakteri yang berbiak cepat), maka dalam 1-
2 hari, seseorang tersebut dipenuhi oleh bakteri resisten. Jika seseorang
terinfeksi oleh bakteri yang resisten maka upaya penanganan infeksi dengan
antibiotik semakin sulit.
2) Penyebaran resistensi ke bakteri yang non-resisten melalui plasmid. Hal ini
dapat disebarkan antar kuman sekelompok maupun dari satu orang ke orang
lain.
e. Ada dua strategi pencegahan peningkatan bakteri resisten:
1) Untuk selection pressure dapat diatasi melalui penggunaan antibiotik secara
bijak (prudent use of antibiotics).
2) Untuk penyebaran bakteri resisten melalui plasmid dapat diatasi dengan
meningkatkan ketaatan terhadap prinsipprinsip kewaspadaan standar
(universal precaution).
2. Faktor Farmakokinetik dan Farmakodinamik Pemahaman mengenai sifat
farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik sangat diperlukan untuk
menetapkan jenis dan dosis antibiotik secara tepat. Agar dapat menunjukkan
aktivitasnya sebagai bakterisida ataupun bakteriostatik, antibiotik harus memiliki
beberapa sifat berikut ini:
a. Aktivitas mikrobiologi. Antibiotik harus terikat pada tempat ikatan spesifiknya
(misalnya ribosom atau ikatan penisilin pada protein).
b. Kadar antibiotik pada tempat infeksi harus cukup tinggi. Semakin tinggi kadar
antibiotik semakin banyak tempat ikatannya pada sel bakteri.
c. Antibiotik harus tetap berada pada tempat ikatannya untuk waktu yang cukup
memadai agar diperoleh efek yang adekuat.
d. Kadar hambat minimal. Kadar ini menggambarkan jumlah minimal obat yang
diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri.

Secara umum terdapat dua kelompok antibiotik berdasarkan sifat


farmakokinetikanya, yaitu;
a. Time dependent killing. Lamanya antibiotik berada dalam darah dalam kadar di
atas KHM sangat penting untuk memperkirakan outcome klinik ataupun
kesembuhan. Pada kelompok ini kadar antibiotik dalam darah di atas KHM
paling tidak selama 50% interval dosis. Contoh antibiotik yang tergolong time
dependent killing antara lain penisilin, sefalosporin, dan makrolida).
b. Concentration dependent. Semakin tinggi kadar antibiotika dalam darah
melampaui KHM maka semakin tinggi pula daya bunuhnya terhadap bakteri.
Untuk kelompok ini diperlukan rasio kadar/KHM sekitar 10. Ini mengandung
arti bahwa rejimen dosis yang dipilih haruslah memiliki kadar dalam serum atau
jaringan 10 kali lebih tinggi dari KHM. Jika gagal mencapai kadar ini di tempat
infeksi atau jaringan akan mengakibatkan kegagalan terapi. Situasi inilah yang
selanjutnya menjadi salah satu penyebab timbulnya resistensi.
3. Faktor Interaksi dan Efek Samping Obat Pemberian antibiotik secara bersamaan
dengan antibiotik lain, obat lain atau makanan dapat menimbulkan efek yang tidak
diharapkan. Efek dari interaksi yang dapat terjadi cukup beragam mulai dari yang
ringan seperti penurunan absorpsi obat atau penundaan absorpsi hingga
meningkatkan efek toksik obat lainnya. Sebagai contoh pemberian siprofloksasin
bersama dengan teofilin dapat meningkatkan kadar teofilin dan dapat berisiko
terjadinya henti jantung atau kerusakan otak permanen. Demikian juga pemberian
doksisiklin bersama dengan digoksin akan meningkatkan efek toksik dari digoksin
yang bisa fatal bagi pasien.
4. Faktor Biaya Antibiotik yang tersedia di Indonesia bisa dalam bentuk obat generik,
obat merek dagang, obat originator atau obat yang masih dalam lindungan hak
paten (obat paten). Harga antibiotik pun sangat beragam. Harga antibiotik dengan
kandungan yang sama bisa berbeda hingga 100 kali lebih mahal dibanding
generiknya. Apalagi untuk sediaan parenteral yang bisa 1000 kali lebih mahal dari
sediaan oral dengan kandungan yang sama. Peresepan antibiotik yang mahal,
dengan harga di luar batas kemampuan keuangan pasien akan berdampak pada
tidak terbelinya antibiotik oleh pasien, sehingga mengakibatkan terjadinya
kegagalan terapi. Setepat apa pun antibiotik yang diresepkan apabila jauh dari
tingkat kemampuan keuangan pasien tentu tidak akan bermanfaat.

B. Prinsip Penggunaan Antibiotik Bijak (Prudent)


1. Penggunaan antibiotik bijak yaitu penggunaan antibiotik dengan spektrum sempit,
pada indikasi yang ketat dengan dosis yang adekuat, interval dan lama pemberian
yang tepat.
2. Kebijakan penggunaan antibiotik (antibiotic policy) ditandai dengan pembatasan
penggunaan antibiotik dan mengutamakan penggunaan antibiotik lini pertama.
3. Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan menerapkan pedoman
penggunaan antibiotik, penerapan penggunaan antibiotik secara terbatas
(restricted), dan penerapan kewenangan dalam penggunaan antibiotik tertentu
(reserved antibiotics).
4. Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan diagnosis
penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil pemeriksaan
laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya. Antibiotik
tidak diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus atau penyakit
yang dapat sembuh sendiri (self-limited).
5. Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada:
a. Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan kuman
terhadap antibiotik.
b. Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab infeksi.
c. Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.
d. Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologi dan
keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat.
e. Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan aman.
6. Penerapan penggunaan antibiotik secara bijak dilakukan dengan beberapa langkah
sebagai berikut:
a. Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap penggunaan antibiotik
secara bijak.
b. Meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang, dengan penguatan
pada laboratorium hematologi, imunologi, dan mikrobiologi atau laboratorium
lain yang berkaitan dengan penyakit infeksi.
c. Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di bidang infeksi.
d. Mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi secara tim (team work).
e. Membentuk tim pengendali dan pemantau penggunaan antibiotik secara bijak
yang bersifat multi disiplin.
f. Memantau penggunaan antibiotik secara intensif dan berkesinambungan.
g. Menetapkan kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik secara lebih rinci di
tingkat nasional, rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dan
masyarakat.

C. Prinsip Penggunaan Antibiotik untuk Terapi Empiris dan Definitif


1. Antibiotik Terapi Empiris
a. Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik pada
kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya.
b. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi atau
penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi,
sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi.
c. Indikasi: ditemukan sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri
tertentu yang paling sering menjadi penyebab infeksi.
1) Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik data epidemiologi dan pola
resistensi bakteri yang tersedia di komunitas atau di rumah sakit setempat.
2) Kondisi klinis pasien.
3) Ketersediaan antibiotik.
4) Kemampuan antibiotik untuk menembus ke dalam jaringan/organ yang
terinfeksi.
5) Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat
digunakan antibiotik kombinasi.
d. Rute pemberian: antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi
infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan
antibiotik parenteral (Cunha, BA., 2010).
e. Lama pemberian: antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48- 72 jam.
Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data - 17 - mikrobiologis dan
kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya (IFIC., 2010; Tim PPRA
Kemenkes RI., 2010).
f. Evaluasi penggunaan antibiotik empiris dapat dilakukan seperti pada tabel
berikut (Cunha, BA., 2010; IFIC., 2010):

Tabel 1. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Empiris


Hasil Klinis Sensitivitas Tindak Tanjut
Kultur
+ Membaik sesuai Lakukan sesuai prinsip “DeEskalasi’
+ Membaik tidak sesuai Evaluasi Diagnosis dan Terapi
+ Tetap Sesuai Evaluasi Diagnosis dan Terapi
memburuk
+ Tetap Tidak Sesuai Evaluasi Diagnosis dan Terapi
memburuk
- membaik 0 Evaluasi Diagnosis dan Terapi
- Tetap 0 Evaluasi Diagnosis dan Terapi
memburuk

2. Antibiotik untuk Terapi Definitif


a. Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik pada
kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola resistensinya
(Lloyd W., 2010).
b. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah eradikasi atau
penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi, berdasarkan
hasil pemeriksaan mikrobiologi.
c. Indikasi: sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi.
d. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik:
1) Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik.
2) Sensitivitas.
3) Biaya.
4) Kondisi klinis pasien.
5) Diutamakan antibiotik lini pertama/spektrum sempit.
6) Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah sakit).
7) Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat yang terkini.
8) Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.
e. Rute pemberian: antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi
infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan
antibiotik parenteral (Cunha, BA., - 18 - 2010). Jika kondisi pasien
memungkinkan, pemberian antibiotik parenteral harus segera diganti dengan
antibiotik per oral.
f. Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk eradikasi
bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya harus dilakukan
evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data
penunjang lainnya (IFIC., 2010; Tim PPRA Kemenkes RI., 2010).

C. Prinsip Penggunaan Antibiotik Profilaksis Bedah Pemberian antibiotik sebelum, saat


dan hingga 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan
tanda-tanda infeksi dengan tujuan untuk mencegah terjadi infeksi luka operasi.
Diharapkan pada saat operasi antibiotik di jaringan target operasi sudah mencapai
kadar optimal yang efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri (Avenia, 2009).
Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis selain tepat dalam pemilihan jenis juga
mempertimbangkan konsentrasi antibiotik dalam jaringan saat mulai dan selama
operasi berlangsung.
1. Tujuan pemberian antibiotik profilaksis pada kasus pembedahan:
a. Penurunan dan pencegahan kejadian Infeksi Luka Operasi (ILO).
b. Penurunan morbiditas dan mortalitas pasca operasi.
c. Penghambatan muncul flora normal resisten.
d. Meminimalkan biaya pelayanan kesehatan.
2. Indikasi penggunaan antibiotik profilaksis didasarkan kelas operasi, yaitu operasi
bersih dan bersih kontaminasi.
3. Dasar pemilihan jenis antibiotik untuk tujuan profilaksis:
a. Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus
bersangkutan.
b. Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri.
c. Toksisitas rendah.
d. Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi.
e. Bersifat bakterisidal.
f. Harga terjangkau.

Gunakan sefalosporin generasi I – II untuk profilaksis bedah. Pada kasus


tertentu yang dicurigai melibatkan bakteri anaerob dapat ditambahkan
metronidazol.

Tidak dianjurkan menggunakan sefalosporin generasi III dan IV, golongan


karbapenem, dan golongan kuinolon untuk profilaksis bedah.

4. Rute pemberian
a. Antibiotik profilaksis diberikan secara intravena.
b.Untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan dianjurkan pemberian antibiotik
intravena drip.
5. Waktu pemberian Antibiotik profilaksis diberikan ≤ 30 menit sebelum insisi kulit.
Idealnya diberikan pada saat induksi anestesi.
6. Dosis pemberian Untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi
dalam jaringan dengan baik, maka diperlukan antibiotik dengan dosis yang cukup
tinggi. Pada jaringan target operasi kadar antibiotik harus mencapai kadar hambat
minimal hingga 2 kali lipat kadar terapi.
7. Lama pemberian Durasi pemberian adalah dosis tunggal.
Dosis ulangan dapat diberikan atas indikasi perdarahan lebih
dari 1500 ml atau operasi berlangsung lebih dari 3 jam.

(SIGN, 2008).

8. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap risiko terjadinya ILO,


antara lain:
a. Kategori/kelas operasi (Mayhall Classification) (SIGN, 2008)
Tabel 2. Kelas Operasi dan Penggunaan Antibiotik
Kelas Operasi Definisi Penggunaan Antibiotik
Operasi Operasi yang dilakukan Kelas operasi bersih terencana
Bersih pada daerah dengan kondisi umumnya tidak memerlukan
pra bedah tanpa infeksi, antibiotik profilaksis kecuali
tanpa membuka traktus pada beberapa jenis operasi,
(respiratorius, gastro misalnya mata, jantung, dan
intestinal, urinarius, bilier), sendi.
operasi terencana, atau
penutupan kulit primer
dengan atau tanpa
digunakan drain tertutup.
Operasi Operasi yang dilakukan Pemberian antibiotika profilaksis
Bersih – pada traktus (digestivus, pada kelas operasi bersih
Kontaminasi bilier, urinarius, kontaminasi perlu dipertimbangkan
respiratorius, reproduksi manfaat dan risikonya karena bukti
kecuali ovarium) atau ilmiah mengenai efektivitas
operasi tanpa disertai antibiotik profilaksis belum
kontaminasi yang nyata. ditemukan
Operasi Operasi yang membuka Kelas operasi kontaminasi
Kontaminas saluran cerna, saluran memerlukan antibiotik terapi
empedu, saluran kemih, (bukan profilaksis).
saluran napas sampai
orofaring, saluran
reproduksi kecuali ovarium
atau operasi yang tanpa
pencemaran nyata (Gross
Spillage).
Operasi Adalah operasi pada Kelas operasi kotor memerlukan
Kotor perforasi saluran cerna, antibiotik terapi.
saluran urogenital atau
saluran napas yang
terinfeksi ataupun operasi
yang melibatkan daerah
yang purulen (inflamasi
bakterial). Dapat pula
operasi pada luka terbuka
lebih dari 4 jam setelah
kejadian atau terdapat
jaringan nonvital yang luas
atau nyata kotor

b. Lama rawat inap sebelum operasi Lama rawat inap 3 hari atau lebih sebelum
operasi akan meningkatkan kejadian ILO.
c. Ko-morbiditas (DM, hipertensi, hipertiroid, gagal ginjal, lupus, dll)
d. Indeks Risiko Dua ko-morbiditas (skor ASA>2) dan lama operasi dapat
diperhitungkan sebagai indeks risiko.

Tabel 5. Indeks Risiko


Indeks Resiko Definisi
0 Tidak ditemukan faktor risiko
1 Ditemukan 1 faktor risiko
2 Ditemukan 2 faktor risiko

e. Pemasangan implan Pemasangan implan pada setiap tindakan bedah dapat


meningkatkan kejadian ILO.

D. Penggunaan Antibiotik Kombinasi


1. Antibiotik kombinasi adalah pemberian antibiotik lebih dari satu jenis
untuk mengatasi infeksi.
2. Tujuan pemberian antibiotik kombinasi adalah:
a. Meningkatkan aktivitas antibiotik pada infeksi spesifik (efek sinergis).
b. Memperlambat dan mengurangi risiko timbulnya bakteri resisten.
3. Indikasi penggunaan antibotik kombinasi (Brunton et. Al, 2008; Archer,
GL., 2008):
a. Infeksi disebabkan oleh lebih dari satu bakteri (polibakteri).
b. Abses intraabdominal, hepatik, otak dan saluran genital (infeksi
campuran aerob dan anaerob).
c. Terapi empiris pada infeksi berat.
4. Hal-hal yang perlu perhatian (Brunton et. Al,; Cunha, BA., 2010):
a. Kombinasi antibiotik yang bekerja pada target yang berbeda dapat meningkatkan
atau mengganggu keseluruhan aktivitas antibiotik.
b. Suatu kombinasi antibiotik dapat memiliki toksisitas yang bersifat aditif atau
superaditif. Contoh: Vankomisin secara tunggal memiliki efek nefrotoksik
minimal, tetapi pemberian bersama aminoglikosida dapat meningkatkan
toksisitasnya.
c. Diperlukan pengetahuan jenis infeksi, data mikrobiologi dan antibiotik untuk
mendapatkan kombinasi rasional dengan hasil efektif.
d. Hindari penggunaan kombinasi antibiotik untuk terapi empiris jangka lama.
e. Pertimbangkan peningkatan biaya pengobatan pasien.

E. Pertimbangan Farmakokinetik Dan Farmakodinamik Antibiotik


Farmakokinetik (pharmacokinetic, PK) membahas tentang perjalanan kadar
antibiotik di dalam tubuh, sedangkan farmakodinamik (pharmacodynamic, PD)
membahas tentang hubungan antara kadar-kadar itu dan efek antibiotiknya. Dosis
antibiotik dulunya hanya ditentukan oleh parameter PK saja. Namun, ternyata PD juga
memainkan peran yang sama, atau bahkan lebih penting. Pada abad resistensi
antibiotika yang terus meningkat ini, PD bahkan menjadi lebih penting lagi, karena
parameter-parameter ini bisa digunakan untuk mendesain rejimen dosis yang melawan
atau mencegah resistensi. Jadi walaupun efikasi klinis dan keamanan masih menjadi
standar emas untuk membandingkan antibiotik, ukuran farmakokinetik dan
farmakodinamik telah semakin sering digunakan. Beberapa ukuran PK dan PD lebih
prediktif terhadap efikasi klinis.
Ukuran utama aktivitas antibiotik adalah Kadar Hambat Minimum (KHM).
KHM adalah kadar terendah antibiotik yang secara sempurna menghambat
pertumbuhan suatu mikroorganisme secara in vitro. Walaupun KHM adalah indikator
yang baik untuk potensi suatu antibiotik, KHM tidak menunjukkan apa-apa tentang
perjalanan waktu aktivitas antibiotik.
Parameter-parameter farmakokinetik menghitung perjalanan kadar serum
antibiotik. Terdapat 3 parameter farmakokinetik yang paling penting untuk
mengevaluasi efikasi antibiotik, yaitu kadar puncak serum (Cmax), kadar minimum
(Cmin), dan area under curve (AUC) pada kurva kadar serum vs waktu. Walaupun
parameter-parameter ini mengkuantifikasi perjalanan kadar serum, parameter-
parameter teresebut tidak mendeskripsikan aktivitas bakterisid suatu antibiotik.
Aktivitas antibiotik dapat dikuantifikasi dengan mengintegrasikan
parameterparameter PK/PD dengan KHM. Parameter tersebut yaitu: rasio kadar
puncak/KHM, waktu>KHM, dan rasio AUC-24 jam/KHM.

F. PENGGUNAAN ANTIBIOTIK
A. Hipersensitivitas Antibiotik Hipersensitivitas antibiotik merupakan suatu keadaan
yang mungkin dijumpai pada penggunaan antibiotik, antara lain berupa pruritus-
urtikaria hingga reaksi anafilaksis. Profesi medik wajib mewaspadai kemungkinan
terjadi kerentanan terhadap antibiotik yang digunakan pada penderita. Anafilaksis
jarang terjadi tetapi bila terjadi dapat berakibat fatal. Dua pertiga kematian akibat
anafilaksis umumnya terjadi karena obstruksi saluran napas.

Jenis hipersensitivitas akibat antibiotik:


a. Hipersensitivitas Tipe Cepat Keadaan ini juga dikenal sebagai immediate
hypersensitivity. Gambaran klinik ditandai oleh sesak napas karena kejang di
laring dan bronkus, urtikaria, angioedema, hipotensi dan kehilangan
kesadaran. Reaksi ini dapat terjadi beberapa menit setelah suntikan penisilin.
b. Hipersensitivitas Perantara Antibodi (Antibody Mediated Type II
Hypersensitivity) Manifestasi klinis pada umumnya berupa kelainan darah
seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, granulositopenia. Tipe
reaksi ini juga dikenal sebagai reaksi sitotoksik. Sebagai contoh,
kloramfenikol dapat menyebabkan granulositopeni, obat beta-laktam dapat
menyebabkan anemia hemolitik autoimun, sedangkan penisilin
antipseudomonas dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan pada agregasi
trombosit.
c. Immune Hypersensivity -complex Mediated (Tipe III) Manifestasi klinis dari
hipersensitivitas tipe III ini dapat berupa eritema, urtikaria dan angioedema.
Dapat disertai demam, artralgia dan adenopati. Gejala dapat timbul 1 - 3
minggu setelah pemberian obat pertama kali, bila sudah pernah reaksi dapat
timbul dalam 5 hari. Gangguan seperti SLE, neuritis optik, glomerulonefritis,
dan vaskulitis juga termasuk dalam kelompok ini.
d. Delayed Type Hypersensitivity Hipersensitivitas tipe ini terjadi pada pemakaian
obat topikal jangka lama seperti sulfa atau penisilin dan dikenal sebagai
kontak dermatitis. Reaksi paru seperti sesak, batuk dan efusi dapat
disebabkan nitrofurantoin. Hepatitis (karena isoniazid), nefritis interstisial
(karena antibiotik betalaktam) dan ensefalopati (karena klaritromisin) yang
reversibel pernah dilaporkan.
Pencegahan Anafilaksis
a. Selalu sediakan obat/alat untuk mengatasi keadaan darurat.
b. Diagnosa dapat diusahakan melalui wawancara untuk mengetahui riwayat
alergi obat sebelumnya dan uji kulit (khusus untuk penisilin). Uji kulit tempel
(patcht test) dapat menentukan reaksi tipe I dan obat yang diberi topikal (tipe
IV).
c. Radio Allergo Sorbent Test (RAST) adalah pemeriksaan yang dapat
menentukan adanya IgE spesifik terhadap berbagai antigen, juga tersedia
dalam bentuk panil. Disamping itu untuk reaksi tipe II dapat digunakan test
Coombs indirek dan untuk reaksi tipe III dapat diketahui dengan adanya IgG
atau IgM terhadap obat.
d. Penderita perlu menunggu 20 menit setelah mendapat terapi parenteral
antibiotik untuk mengantisipasi timbulnya reaksi hipersensitivitas tipe 1.

Tatalaksana Anafilaksis
a. Gejala prodromal meliputi rasa lesu, lemah, kurang nyaman di dada dan perut,
gatal di hidung dan palatum. Hidung kemudian mulai tersumbat, leher seperti
tercekik, suara serak, sesak, mulai batuk, disfagia, muntah, kolik, diare,
urtikaria, edema bibir, lakrimasi, palpitasi, hipotensi, aritmia dan renjatan.
b. Terapi untuk mengatasi anafilaksis adalah epinefrin, diberikan 0,01 ml/kgBB
subkutan sampai maksimal 0,3 ml dan diulang setiap 15 menit sampai 3-4 kali.
Pada keadaan berat dapat diberikan secara intramuskuler.
c. Di bekas suntikan penisilin dapat diberikan 0,1-0,3 ml epinefrin 1:1000 dan
dipasang turniket dengan yang dilonggarkan setiap 10 menit untuk
menghambat penyebaran obat.
d. Sistem pernapasan harus diusahakan untuk mendapatkan oksigen yang cukup.
Trakeostomi dilakukan bila terjadi edema laring atau obstruksi saluran napas
atas yang berat.
e. Pada kondisi obstruksi total dapat dilakukan punksi membran kortikotiroid
dengan jarum berukuran besar mengingat hanya tersedia 3 menit untuk
menyelamatkan penderita. Selanjutnya diberikan oksigen 4– 6 l/menit.
Selain itu perlu diberikan salbutamol dalam nebulizer dan aminofilin 5
mg/kgBB dalam 0,9% NaCl atau Dekstrosa 5% selama 15 menit.
f. Bila tekanan darah tidak kembali normal walaupun sudah diberikan koloid 0,5-1
L dapat diberikan vasopressor yang diencerkan secara i.v. dan segera
diamankan dengan central verous pressure (CVP). Kortikosteroid dan
antihistamin dapat diberikan untuk mempersingkat reaksi anafilaksis akut.
B. Antibiotik Profilaksis Untuk Berbagai Kondisi Medis
1. Pencegahan Demam Rematik Rekuren
a. Demam rematik adalah penyakit sistemik yang bisa terjadi sesudah faringitis
akibat Streptococcus beta-haemoliticus grup A.
b. Tujuan pemberian antibiotik profilaksis pada kondisi ini adalah untuk
mencegah terjadinya penyakit jantung rematik.
c. Panduan penggunaan antibiotik profilaksis untuk demam rematik rekuren:
1) Individu yang berisiko mengalami peningkatan paparan terhadap infeksi
streptokokus adalah anak-anak dan remaja, orang tua yang mempunyai
anak-anak balita, guru, dokter, perawat dan personil kesehatan yang
kontak dengan anak, militer, dan orang-orang yang hidup dalam situasi
berdesakan (misalnya asrama kampus).
2) Individu yang pernah menderita serangan demam rematik sangat berisiko
tinggi untuk mengalami rekurensi sesudah faringitis Streptococcus beta-
hemoliticus grup A, dan memerlukan antibiotik profilaksis kontinu untuk
mencegah rekurensi ini (pencegahan sekunder).
3) Profilaksis kontinu dianjurkan untuk pasien dengan riwayat pasti demam
rematik dan yang dengan bukti definitif penyakit jantung rematik.
4) Profilaksis harus dimulai sesegera mungkin begitu demam rematik akut
atau penyakit jantung rematik didiagnosis. Satu course lengkap penisilin
harus diberikan pada pasien dengan demam rematik akut untuk
mengeradikasi Streptococcus beta-haemoliticus grup A residual,
meskipun kultur usap tenggorok negatif.
5) Infeksi Streptococcus yang terjadi pada anggota keluarga pasien dengan
demam rematik saat ini atau mempunyai riwayat demam rematik harus
segera diterapi.

Pilihan rejimen untuk pencegahan demam rematik rekuren:


a. Injeksi benzatin penisilin G intramuskular 1,2 juta unit setiap 4 minggu.
Pada populasi dengan insiden demam rematik yang sangat tinggi atau bila
individu tetap mengalami demam rematik akut rekuren walau sudah patuh
pada rejimen 4 mingguan, bisa diberikan setiap 3 minggu.
b. Pada pasien dengan risiko rekurensi demam rematik lebih rendah, bisa
dipertimbangkan mengganti obat menjadi oral saat pasien mencapai remaja
akhir atau dewasa muda dan tetap bebas dari demam rematik minimal 5
tahun. Obat yang dianjurkan adalah penicillin V 2 x 250 mg/hari.
c. Untuk pasien yang alergi penisilin, dianjurkan pemberian sulfadiazin atau
sulfisoksazol 0,5 g/hari untuk pasien dengan BB ≤ 27 kg dan 1 g/hari untuk
pasien dengan BB > 27 kg. Profilaksis dengan sulfonamid
dikontraindikasikan pada kehamilan akhir karena adanya pasase
transplasenta dan kompetisi dengan bilirubin pada lokasi pengikatannya di
albumin.
d. Untuk pasien yang alergi penisilin dan sulfisoksazol, dianjurkan pemberian
antibiotik makrolida (eritromisin, atau klaritromisin, atau azitromisin).
Obat-obat ini tidak boleh diberikan bersama inhibitor sitokrom P450 3A
seperti antijamur azol, inhibitor HIV protease, dan beberapa antidepresi
SSRI.

2. Pencegahan Endokarditis
a. Endokarditis adalah infeksi permukaan endokardium jantung, yang bisa
mengenai satu katup jantung atau lebih, endokardium otot, atau defek
septum.
b. Panduan untuk terapi profilaksis terhadap endokarditis:
1) Kondisi penyakit jantung yang berisiko tinggi untuk terjadi endokarditis
infeksiosa, dianjurkan diberikan profilaksis:
a) Katup jantung prostetik
b) Riwayat menderita endokarditis infeksiosa sebelumnya
c) Penyakit jantung kongenital
d) Penerima transplantasi jantung yang mengalami valvulopati jantung
2) Untuk pasien dengan kondisi di depan, profilaksis dianjurkan untuk
semua prosedur gigi yang melibatkan manipulasi jaringan gingiva atau
daerah periapikal gigi atau perforasi mukosa mulut. Prosedur berikut ini
tidak memerlukan profilaksis:
injeksi anestetik rutin menembus jaringan yang tidak terinfeksi, foto
rontgen gigi, pemasangan piranti prostodontik atau ortodontik yang bisa
dilepas, penyesuaian piranti ortodontik, pemasangan bracket ortodontik,
pencabutan gigi primer, dan perdarahan karena trauma pada bibir atau
mukosa mulut.
3) Profilaksis antibiotik dianjurkan untuk prosedur pada saluran napas atau
kulit, struktur kulit, atau jaringan muskuloskeletal yang terinfeksi, hanya
bagi pasien dengan kondisi penyakit jantung yang berisiko tinggi terjadi
endokarditis infeksiosa
Rejimen yang dianjurkan:
1. Antibiotik untuk profilaksis harus diberikan dalam dosis tunggal sebelum
prosedur. Bila secara tidak sengaja dosis antibiotik tidak diberikan sebelum
prosedur, dosis bisa diberikan sampai 2 jam sesudah prosedur.
2. Rejimen untuk prosedur gigi:
a. Untuk pemberian oral: amoksisilin; apabila tidak bisa mengkonsumsi obat
per oral: ampisilin atau sefazolin atau seftriakson secara intramuskular
atau intravena
b. Kalau alergi terhadap golongan penisilin, secara oral bisa diberikan
sefaleksin (atau sefalosporin oral generasi pertama atau kedua lainnya),
atau klindamisin, atau azitromisin, atau klaritromisin. Bila tidak bisa
mengkonsumsi obat oral, diberikan sefazolin atau seftriakson atau
klindamisin secara intramuskular atau intravena. Sefalosporin tidak boleh
digunakan pada individu dengan riwayat anafilaksis, angioedema, atau
urtikaria pada pemberian golongan penicillin.
3. Profilaksis Pada Meningitis
a. Meningitis adalah sindrom yang ditandai oleh inflamasi meningen.
Tergantung pada durasinya, meningitis bisa terjadi secara akut dan kronis.
b. Mikroba penyebab: Streptococcus pneumoniae, N. meningitidis, H.
influenzae, L. monocytogenes, S. agalactiae, basil Gram negatif,
Staphylococcus sp, virus, parasit dan jamur.
c. Tujuan kemoprofilaksis: mencegah meningitis akibat kontak dengan pasein.
d. Profilaksis meningitis meningococcus dan H. influenzae harus disarankan
pada orang yang kontak erat dengan pasien, tanpa memperhatikan status
vaksinasi.
e. Profilaksis harus ditawarkan pada individu dengan kriteria berikut:
1) Kontak erat yang lama dengan individu meningitis (paling sedikit selama
7 hari).
2) Kontak pada tempat penitipan anak.
3) Kontak erat sementara dengan pasien, terpapar sekret pasien (misalnya
melalui kontak mulut, intubasi endotrakhea atau manajemen ETT) di
sekitar waktu masuk rumah sakit. Kontak erat dengan pasien infeksi
meningokokkus harus mendapat salah satu rejimen ini:
a. Rifampisin: dewasa 600 mg/12 jam selama 2 hari; anak 1-6 tahun: 10
mg/kgBB/12 jam selama 2 hari; anak 3-11 bulan 5 mg/kgBB/12 jam
selama 2 hari.
b. Siprofloksasin: dewasa 500 mg dosis tunggal.
c. Seftriakson: dewasa 250 mg intramuskuler dosis tunggal; anak < 15
tahun 125 mg intramuskuler dosis tunggal. Bila antibiotik lain telah
digunakan untuk terapi, pasien harus menerima antibiotik profilaksis
untuk eradikasi carrier nasofaring sebelum dipulangkan dari rumah
sakit.

IV. PENGENDALIAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI RUMAH SAKIT


Pengendalian penggunaan antibiotik dalam upaya mengatasi masalah resistensi
antimikroba dilakukan dengan menetapkan “Kebijakan Penggunaan Antibiotik di Rumah
Sakit”, serta menyusun dan menerapkan “Panduan Penggunaan Antibiotik Profilaksis
dan Terapi”. Dasar penyusunan kebijakan dan panduan penggunaan antibiotik di rumah
sakit mengacu pada:
a. Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik
b. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
c. Pola mikroba dan kepekaan antibiotik setempat

A. Kebijakan penggunaan antibiotik di rumah sakit, berisi hal berikut ini.


1. Kebijakan Umum
a. Kebijakan penanganan kasus infeksi secara multidisiplin.
b. Kebijakan pemberian antibiotik terapi meliputi antibiotik empirik dan definitif
Terapi antibiotik empiris adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi atau
diduga infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebab dan pola
kepekaannya. Terapi antibiotik definitif adalah penggunaan antibiotik pada
kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola
kepekaannya.
c. Kebijakan pemberian antibiotik profilaksis bedah meliputi antibiotik profilaksis
atas indikasi operasi bersih dan bersih terkontaminasi sebagaimana tercantum
dalam ketentuan yang berlaku. Antibiotik Profilaksis Bedah adalah penggunaan
antibiotik sebelum, selama, dan paling lama 24 jam pascaoperasi pada kasus
yang secara klinis tidak memperlihatkan tanda infeksi dengan tujuan mencegah
terjadinya infeksi luka daerah operasi. -14-
d. Pemberian antibiotik pada prosedur operasi terkontaminasi dan kotor tergolong
dalam pemberian antibiotik terapi sehingga tidak perlu ditambahkan antibiotik
profilaksis
2. Kebijakan Khusus
a. Pengobatan awal
1) Pasien yang secara klinis diduga atau diidentifikasi mengalami infeksi bakteri
diberi antibiotik empirik selama 48-72 jam.
2) Pemberian antibiotik lanjutan harus didukung data hasil pemeriksaan
laboratorium dan mikrobiologi.
3) Sebelum pemberian antibiotik dilakukan pengambilan spesimen untuk
pemeriksaan mikrobiologi.
b. Antibiotik empirik ditetapkan berdasarkan pola mikroba dan kepekaan antibiotik
setempat.
c. Prinsip pemilihan antibiotik. 1) Pilihan pertama (first choice). 2) Pembatasan
antibiotik (restricted/reserved). 3) Kelompok antibiotik profilaksis dan terapi.
d. Pengendalian lama pemberian antibiotik dilakukan dengan menerapkan
automatic stop order sesuai dengan indikasi pemberian antibiotik yaitu
profilaksis, terapi empirik, atau terapi definitif.
e. Pelayanan laboratorium mikrobiologi.
1) Pelaporan pola mikroba dan kepekaan antibiotik dikeluarkan secara berkala
setiap tahun.
2) Pelaporan hasil uji kultur dan sensitivitas harus cepat dan akurat.
3) Bila sarana pemeriksaan mikrobiologi belum lengkap, maka diupayakan
adanya pemeriksaan pulasan gram dan KOH.
B. Panduan penggunaan antibiotik profilaksis dan terapi di rumah sakit disusun dengan
format sebagai berikut.
1. Judul, logo rumah sakit, edisi tahun
2. Kata pengantar tim penyusun
3. Sambutan pimpinan rumah sakit
4. Keputusan pimpinan rumah sakit tentang tim penyusun
5. Daftar tim penyusun
6. Daftar istilah dan singkatan
7. Daftar isi
8. Pendahuluan
a. Latar belakang
b. Definisi
c. Tujuan
d. Masa berlaku
e. Kelebihan dan keterbatasan pedoman
9. Indikasi penggunaan antibiotik:
a. Profilaksis: tercantum pembagian kelas operasi berdasarkan kriteria Mayhall
b. Terapi e\mpirik: dasar dan cara pemilihan antibiotik empirik, tercantum diagram
alur indikasi penggunaan antibiotik.
10. Daftar kasus dan alur penanganan pasien
11. Klasifikasi dan cara penggunaan antibiotik, meliputi: jenis, dosis, interval, rute,
cara pemberian, saat dan lama pemberian, efek samping antibiotik
12. Catatan khusus (jika ada bagian/divisi yang belum menyetujui pedoman)
13. Penutup
14. Referensi
15. Lampiran

V. PRINSIP PENCEGAHAN PENYEBARAN MIKROBA RESISTEN


Pencegahan penyebaran mikroba resisten di rumah sakit dilakukan melalui upaya
Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI). Pasien yang terinfeksi atau membawa koloni
mikroba resisten dapat menyebarkan mikroba tersebut ke lingkungan, sehingga perlu
dilakukan upaya membatasi terjadinya transmisi mikroba tersebut, terdiri dari 4 (empat)
upaya berikut ini.
1. Meningkatkan kewaspadaan standar (standard precaution), meliputi:
a. kebersihan tangan
b. Alat Pelindung Diri (APD) : sarung tangan, masker, goggle (kaca mata pelindung),
face shield (pelindung wajah), dan gaun
c. Dekontaminasi peralatan perawatan pasien
d. Pengendalian lingkungan
e. Penatalaksanaan linen
f. Perlindungan petugas kesehatan
g. Penempatan pasien
h. Hygiene respirasi/etika batuk
i. Praktek menyuntik yang aman
j. Praktek yang aman untuk lumbal punksi
2. Melaksanakan kewaspadaan transmisi Jenis kewaspadaan transmisi meliputi:
a. Melalui kontak
b. Melalui droplet
c. Melalui udara (airborne)
d. Melalui common vehicle (makanan, air, obat, alat, peralatan)
e. Melalui vektor (lalat, nyamuk, tikus) Pada kewaspadaaan transmisi, pasien
ditempatkan di ruang terpisah. Bila tidak memungkinkan, maka dilakukan
cohorting yaitu merawat beberapa pasien dengan pola penyebab infeksi yang sama
dalam satu ruangan.
3. Dekolonisasi Dekolonisasi adalah tindakan menghilangkan koloni mikroba
multiresisten pada individu pengidap (carrier). Contoh: pemberian mupirosin topikal
pada carrier MRSA.
4. Tata laksana Kejadian Luar Biasa (KLB) mikroba multiresisten atau Multidrug-
Resistant Organisms (MDRO) seperti Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus
(MRSA), bakteri penghasil Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL), atau
mikroba multiresisten yang lain.
Apabila ditemukan mikroba multiresisten sebagai penyebab infeksi, maka
laboratorium mikrobiologi segera melaporkan kepada tim PPI dan dokter penanggung
jawab pasien, agar segera dilakukan tindakan untuk membatasi penyebaran strain
mikroba multiresisten tersebut.
VI. PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGI, PELAPORAN POLA MIKROBA DAN
KEPEKAANNYA.
Pemeriksaan mikrobiologi bertujuan memberikan informasi tentang ada atau
tidaknya mikroba di dalam bahan pemeriksaan atau spesimen yang mungkin menjadi
penyebab timbulnya proses infeksi. Selanjutnya, apabila terdapat pertumbuhan, dan
mikroba tersebut dipertimbangkan sebagai penyebab infeksi maka pemeriksaan
dilanjutkan dengan uji kepekaan mikroba terhadap antimikroba. Akurasi hasil
pemeriksaan mikrobiologi sangat ditentukan oleh penanganan spesimen pada fase pra-
analitik, pemeriksaan pada fase analitik, interpretasi, ekspertis, dan pelaporannya (fase
pascaanalitik). Kontaminasi merupakan masalah yang sangat mengganggu dalam
pemeriksaan mikrobiologi, sehingga harus dicegah di sepanjang proses pemeriksaan
tersebut.
A. PRINSIP PENGAMBILAN SPESIMEN MIKROBIOLOGI
a) Keamanan. Setiap tindakan yang berkaitan dengan pengelolaan spesimen harus
mengikuti pedoman kewaspadaan standar. Semua spesimen dianggap sebagai
bahan infeksius.
b) Pedoman umum dalam pengambilan spesimen yang tepat adalah sebagai berikut:
a. pengambilan spesimen dilakukan sebelum pemberian antibiotik dan mengacu
pada standar prosedur operasional yang berlaku.
b. pengambilan spesimen dilakukan secara aseptik dengan peralatan steril sehingga
mengurangi terjadinya kontaminasi flora normal tubuh atau bakteri lingkungan.
c. spesimen diambil pada saat yang tepat, dari tempat yang diduga sebagai sumber
infeksi, dengan volume yang cukup. d. wadah spesimen harus diberi label
identitas pasein (nama, nomer rekam medik, tempat rawat), jenis spesimen,
tanggal dan jam pengambilan spesimen.
e. Lembar permintaan pemeriksaan hendaknya diisi dengan lengkap dan jelas,
meliputi identitas pasien, ruang perawatan, jenis dan asal spesimen, tanggal dan
jam pengambilan spesimen, pemeriksaan yang diminta, diagnosis klinik, nama
antibiotik yang telah diberikan dan lama pemberian, identitas dokter yang
meminta pemeriksaan serta nomer kontak yang bisa dihubungi
B. TAHAPAN PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGI
Pemeriksaan mikrobiologi terdiri dari beberapa tahap yaitu pemeriksaan secara
makroskopik dan mikroskopik yang dilanjutkan dengan pembiakan, identifikasi
mikroba, dan uji kepekaan mikroba terhadap antimikroba. Apabila mikroba tidak
dapat dibiakkan secara in-vitro maka dipilih metode pemeriksaan lain yaitu uji
serologi (deteksi antigen atau antibodi) atau biologi molekular (deteksi DNA/RNA),
antara lain dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR).
1. Pemeriksaan mikroskopis Pemeriksaan mikroskopis paling sedikit mencakup
pengecatan Gram, Ziehl Neelsen, dan KOH. Hasil pemeriksaan ini berguna untuk
mengarahkan diagnosis awal dan pemilihan antimikroba.
2. Pemeriksaan kultur Pemeriksaan kultur menurut metode yang baku dilakukan untuk
identifikasi bakteri atau jamur penyebab infeksi dan kepekaannya terhadap
antibiotik atau antijamur. Laboratorium mikrobiologi hendaknya dapat melakukan
pemeriksaan untuk menumbuhkan mikroba yang sering ditemukan sebagai
penyebab infeksi (bakteri aerob nonfastidious dan jamur).
3. Uji Kepekaan Antibiotik atau Antijamur Hasil uji kepekaan antibiotik atau
antijamur digunakan sebagai dasar pemilihan terapi antimikroba definitif. Untuk
uji kepekaan ini digunakan metode difusi cakram menurut Kirby Bauer, sedangkan
untuk mengetahui KHM (konsentrasi hambat minimal atau Minimum Inhibitory
Concentration, MIC) dilakukan cara manual atau dengan mesin otomatik. Hasil
pemeriksaan dikategorikan dalam Sensitif (S), Intermediate (I), dan Resisten (R)
sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh Clinical Laboratory Standards Institute
(CLSI) revisi terkini. Masing-masing antibiotik memiliki rentang S,I,R yang
berbeda, sehingga antibiotik yang memiliki zona hambatan lebih luas belum tentu
memiliki kepekaan yang lebih baik. Laboratorium mikrobiologi hendaknya
melakukan kontrol kualitas berbagai tahap pemeriksaan di atas sesuai dengan
ketentuannya.

C. PELAPORAN POLA MIKROBA SECARA PERIODIK


Laboratorium mikrobiologi klinik juga bertugas menyusun pola mikroba (pola
bakteri, bila memungkinkan juga jamur) dan kepekaannya terhadap antibiotik (atau
disebut antibiogram) yang diperbarui setiap tahun. Pola bakteri dan kepekaannya
memuat data isolat menurut jenis spesimen dan lokasi atau asal ruangan. Antibiogram
ini digunakan sebagai dasar penyusunan dan pembaharuan pedoman penggunaan
antibiotik empirik di rumah sakit.

VII. EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI RUMAH SAKIT


Evaluasi penggunaan antibiotik merupakan salah satu indikator mutu program
pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit, bertujuan memberikan informasi
pola penggunaan antibiotik di rumah sakit baik kuantitas maupun kualitas. Pelaksanaan
evaluasi penggunaan antibiotik di rumah sakit menggunakan sumber data dan metode
secara standar.
A. Sumber Data Penggunaan Antibiotik di Rumah Sakit
1. Rekam Medik Pasien Penggunaan antibiotik selama dirawat di rumah sakit dapat
diukur secara retrospektif setelah pasien pulang dengan melihat kembali Rekam
Medik (RM) pasien, resep dokter, catatan perawat, catatan farmasi baik manual
atau melalui Sistem Informasi Managemen Rumah Sakit (SIM RS). Dari
penulisan resep antibiotik oleh dokter yang merawat dapat dicatat beberapa hal
berikut ini: jenis antibiotik, dosis harian, dan lama penggunaan antibiotik,
sedangkan dalam catatan perawat dapat diketahui jumlah antibiotik yang
diberikan kepada pasien selama pasien dirawat.
2. Pengelolaan antibiotik di Instalasi Farmasi Di rumah sakit yang sudah
melaksanakan kebijakan pelayanan farmasi satu pintu, kuantitas antibiotik dapat
diperoleh dari data penjualan antibiotik di instalasi farmasi. Data jumlah
penggunaan antibiotik dapat dipakai untuk mengukur besarnya belanja antibiotik
dari waktu ke waktu, khususnya untuk mengevaluasi biaya sebelum dan sesudah
dilaksanakannya program di rumah sakit.
VIII. Tahapan Pelaksanaan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba
Pelaksanaan PPRA di rumah sakit dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut.
1. Tahap Persiapan
a. Identifikasi kesiapan infrastruktur rumah sakit yang meliputi keberadaan dan
fungsi unsur infrastuktur rumah sakit serta kelengkapan fasilitas dan sarana
penunjang.
b. Identifikasi keberadaan dan/atau penyusunan kebijakan dan pedoman/panduan
yang berkaitan dengan pengendalian resistensi antimikroba, antara lain:
1) panduan praktek klinik penyakit infeksi
2) panduan penggunaan antibiotik profilaksis dan terapi
3) panduan pengelolaan spesimen mikrobiologi
4) panduan pemeriksaan dan pelaporan hasil mikrobiologi
5) panduan PPI
2. Tahap Pelaksanaan
a. Peningkatan pemahaman
1) Sosialisasi program pengendalian resistensi antimikroba
2) Sosialisasi dan pemberlakuan pedoman/panduan penggunaan antibiotik
b. Menetapkan pilot project pelaksanaan PPRA meliputi:
1) pemilihan SMF/bagian sebagai lokasi pilot project
2) penunjukan penanggung jawab dan tim pelaksana pilot project
3) pembuatan rencana kegiatan PPRA untuk 1 (satu) tahun
c. Pelaksanaan pilot project PPRA:
1) SMF yang ditunjuk untuk melaksanakan pilot project PPRA menetapkan
Panduan Penggunaan Antibiotik (PPAB) dan algoritme penanganan penyakit
infeksi yang akan digunakan dalam pilot project
2) melakukan sosialisasi dan pemberlakuan PPAB tersebut dalam bentuk
pelatihan
3) selama penerapan pilot project jika ditemukan kasus infeksi sulit/kompleks
maka dilaksanakan forum kajian kasus terintegrasi
4) melakukan pengumpulan data dasar kasus yang diikuti selama penerapan dan
dicatat dalam form lembar pengumpul data
5) melakukan pengolahan dan menganalisis data yang meliputi: data pola
penggunaan antibiotik, kuantitas dan kualitas penggunaan antibiotik, pola
mikroba dan pola resistensi (jika tersedia laboratorium mikrobilogi)
6) Menyajikan data hasil pilot project dan dipresentasikan di rapat jajaran direksi
rumah sakit
7) Melakukan pembaharuan panduan penggunaan antibiotik berdasarkan hasil
penerapan PPRA
d. Monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap:
1) laporan pola mikroba dan kepekaannya
2) pola penggunaan antibiotik secara kuantitas dan kualitas
e. Laporan kepada Kepala/Direktur rumah sakit untuk perbaikan
kebijakan/pedoman/panduan dan rekomendasi perluasan penerapan PPRA di
rumah sakit
f. Mengajukan rencana kegiatan dan anggaran tahunan PPRA kepada
Kepala/Direktur rumah sakit

IX. INDIKATOR MUTU PROGRAM PENGENDALIAN RESISTENSI


ANTIMIKROBA

Rumah sakit (Tim/Komite PPRA) menetapkan dan melaksanakan evaluasi dan


analisis indikator mutu PPRA sesuai peraturan perundang-undangan meliputi:
a) perbaikan kuantitas penggunaan antibiotik
b) perbaikan kualitas penggunaan antibiotik
c) peningkatan mutu penanganan kasus infeksi secara multidisiplin dan
terintegrasi
d) penurunan angka infeksi rumah sakit yang disebabkan oleh mikroba resisten
e) indikator mutu PPRA terintegrasi pada indikator mutu PMKP

Upaya untuk Meningkatkan Mutu Penggunaan Antibiotik


1. Prinsip Penetapan Dosis, Interval, Rute, Waktu dan Lama Pemberian (rejimen
dosis) (Depkes, 2004; Tim PPRA Kemenkes RI, 2010; Dipiro, 2006; Thomas,
2006; Trissel, 2009; Lacy, 2010):
a. Dokter menulis di rekam medik secara jelas, lengkap dan benar tentang regimen
dosis pemberian antibiotik, dan instruksi tersebut juga ditulis di rekam
pemberian antibiotik (RPA) (Formulir terlampir).
b. Dokter menulis resep antibiotik sesuai ketentuan yang berlaku, dan
farmasis/apoteker mengkaji kelengkapan resep serta dosis rejimennya.
c. Apoteker mengkaji ulang kesesuaian instruksi pengobatan di RPA dengan rekam
medik dan menulis informasi yang perlu disampaikan kepada
dokter/perawat/tenaga medis lain terkait penggunaan antibiotik tersebut dan
memberi paraf pada RPA.
d. Apoteker menyiapkan antibiotik yang dibutuhkan secara unit dose dispensing
(UDD) ataupun secara aseptic dispensing (pencampuran sediaan parenteral
secara aseptis) jika SDM dan sarana tersedia. Obat yang sudah disiapkan oleh
Instalasi Farmasi diserahkan kepada perawat ruangan.
e. Perawat yang memberikan antibiotik kepada pasien (sediaan
parenteral/nonparentral/oral) harus mencatat jam pemberian dan memberi paraf
pada RPA, sesuai jam pemberian antibiotik yang sudah ditentukan/disepakati.
f. Antibiotik parenteral dapat diganti per oral, apabila setelah 24-48 jam (NHS,
2009):
1) Kondisi klinis pasien membaik.
2) Tidak ada gangguan fungsi pencernaan (muntah, malabsorpsi, gangguan
menelan, diare berat).
3) Kesadaran baik.
4) Tidak demam (suhu > 36oC dan < 38oC), disertai tidak lebih dari satu
kriteria berikut:
a) Nadi > 90 kali/menit
b) Pernapasan > 20 kali/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
c) Tekanan darah tidak stabil

2. Monitoring Efektivitas, Efek Samping dan Kadar Antibiotik Dalam Darah


a. Monitoring (Depkes, 2004; Lacy, 2010)
1) Dokter, apoteker dan spesialis mikrobiologi klinik melakukan pemantauan
terapi antibiotik setiap 48-72 jam, dengan memperhatikan kondisi klinis
pasien dan data penunjang yang ada.
2) Apabila setelah pemberian antibiotik selama 72 jam tidak ada perbaikan
kondisi klinis pasien, maka perlu dilakukan evaluasi ulang tentang
diagnosis klinis pasien, dan dapat dilakukan diskusi dengan Tim PPRA
Rumah Sakit untuk mencarikan solusi masalah tersebut.
b. Monitoring efek samping/Adverse Drug Reactions (ESO/ADRs) (Aronson,
2005; Thomas, 2006; Lacy, 2010; Depkes, 2008)
1) Dokter, apoteker, perawat dan spesialis mikrobiologi klinik melakukan
pemantauan secara rutin kemungkinan terjadi ESO/ADRs terkait
antibiotik yang digunakan pasien.
2) Pemantauan ESO/ADRs dilakukan dengan mengkaji kondisi klinik pasien,
data laboratorium serta data penunjang lain.
3) Jika terjadi ESO/ADRs, sebaiknya segera dilaporkan ke Pusat MESO
Nasional, menggunakan form MESO.
4) Pelaporan ESO/ADRs dapat dilakukan oleh dokter, apoteker maupun
perawat, dan sebaiknya di bawah koordinasi Sub Komite Farmasi dan
Terapi yang ada di rumah sakitd) Leukosit < 4.000 sel/dl atau > 12.000
sel/dl (tidak ada neutropeni).
c. Monitoring kadar antibiotik dalam darah (TDM = Therapeutic drug
monitoring) (Depkes, 2004; Thomas, 2006; Lacy, 2010)
1) Pemantauan kadar antibiotik dalam darah perlu dilakukan untuk antibiotik
yang mempunyai rentang terapi sempit.
2) Tujuan pemantauan kadar antibiotik dalam darah adalah untuk mencegah
terjadinya toksisitas/ADRs yang tidak diinginkan dan untuk mengetahui
kecukupan kadar antibiotik untuk membunuh bakteri.
3) Antibiotik yang perlu dilakukan TDM adalah golongan aminoglikosida
seperti gentamisin dan amikasin, serta vankomisin.
4) Apabila hasil pemeriksaan kadar obat dalam darah sudah ada, maka
Apoteker dapat memberikan rekomendasi/saran kepada dokter apabila perlu
dilakukan penyesuaian dosis.

X. PENILAIAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI RUMAH SAKIT


A. Batasan Penilaian kuantitas dan kualitas penggunaan antibiotik di rumah sakit,
dapat diukur secara retrospektif dan prospektif melalui data rekam medik dan
rekam pemberian antibiotik (RPA).
B. Tujuan
1. Mengetahui jumlah atau konsumsi penggunaan antibiotik di rumah sakit.
2. Mengetahui dan mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotik di rumah
sakit
3. Sebagai dasar untuk melakukan surveilans penggunaan antibiotik di rumah
sakit secara sistematik dan terstandar.
C. Penilaian Kuantitas Penggunaan Antibiotik Di Rumah Sakit
1. Kuantitas penggunaan antibiotik adalah jumlah penggunaan antibiotik di
rumah sakit yang diukur secara retrospektif dan prospektif dan melalui studi
validasi.
2. Studi validasi adalah studi yang dilakukan secara prospektif untuk
mengetahui perbedaan antara jumlah antibiotik yang benar-benar digunakan
pasien dibandingkan dengan yang tertulis di rekam medik.
3. Parameter perhitungan konsumsi antibiotik:
a. Persentase pasien yang mendapat terapi antibiotik selama rawat inap di
rumah sakit.
b. Jumlah penggunaan antibiotik dinyatakan sebagai dosis harian ditetapkan
dengan Defined Daily Doses (DDD)/100 patient days.
4. DDD adalah asumsi dosis rata-rata per hari penggunaan antibiotik untuk
indikasi tertentu pada orang dewasa. Untuk memperoleh data baku dan
supaya dapat dibandingkan data di tempat lain maka WHO
merekomendasikan klasifikasi penggunaan antibiotik secara Anatomical
Therapeutic Chemical (ATC) Classification (Gould IM, 2005).
D. Penilaian Kualitas Penggunaan Antibiotik di Rumah Sakit
1. Kualitas penggunaan antibiotik dapat dinilai dengan melihat rekam
pemberian antibiotik dan rekam medik pasien.
2. Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan kesesuaian diagnosis
(gejala klinis dan hasil laboratorium), indikasi, regimen dosis, keamanan
dan harga.
3. Alur penilaian menggunakan kategori/klasifikasi Gyssens.
4. Kategori hasil penilaian kualitatif penggunaan antibiotik sebagai berikut
(Gyssens IC, 2005):
Kategori 0 = Penggunaan antibiotik tepat/bijak
Kategori I = Penggunaan antibiotik tidak tepat waktu
Kategori IIA = Penggunaan antibiotik tidak tepat dosis
Kategori IIB = Penggunaan antibiotik tidak tepat interval pemberian
Kategori IIC = Penggunaan antibiotik tidak tepat cara/rute pemberian
Kategori IIIA = Penggunaan antibiotik terlalu lama Kategori
IIIB = Penggunaan antibiotik terlalu singkat Kategori
IVA = Ada antibiotik lain yang lebih efektif Kategori
IVB = Ada antibiotik lain yang kurang toksik/lebih aman
Kategori IVC = Ada antibiotik lain yang lebih murah
Kategori IVD = Ada antibiotik lain yang spektrumnya lebih sempit
Kategori V = Tidak ada indikasi penggunaan antibiotik
Kategori VI = Data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat
dievaluasi

Anda mungkin juga menyukai