Universitas Sumatera Utara

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 140

PERUBAHAN AMBANG DENGAR PADA PENDERITA OTITIS MEDIA

SUPURATIF KRONIS SETELAH TIMPANOPLASTI

Tesis

Oleh
RINA HAYATI
NIM 117109012

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK, KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017

Universitas Sumatera Utara


PERUBAHAN AMBANG DENGAR PADA PENDERITA OTITIS MEDIA

SUPURATIF KRONIS SETELAH TIMPANOPLASTI

Tesis
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk
Mencapai Gelar Spesialis dalam Bidang Ilmu Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher

Oleh
RINA HAYATI
NIM 117109012

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK, KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017

Universitas Sumatera Utara


Medan, 15 Mei 2017
Tesis dengan judul
PERUBAHAN AMBANG DENGAR PADA PENDERITA OTITIS MEDIA SUPURATIF
KRONIS SETELAH TIMPANOPLASTI
Telah disetujui dan diterima baik oleh Komisi Pembimbing
Ketua

Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.T.H.T.K.L.


NIP: 197906202002122003

Anggota

Dr. dr. Devira Zahara, M.Ked (ORL-HNS), Sp.T.H.T.K.L. (K)


NIP: 197812072008012013

Diketahui oleh

Ketua Departemen T.H.T.K.L. Plt. Ketua Program Studi T.H.T.K.L.

Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.T.H.T.K.L. dr. Adlin Adnan, Sp.T.H.T.K.L. (K)
NIP: 197906202002122003 NIP: 196007171987101001

Dekan Program Magister Kedokteran Klinik


Ketua Program Studi

Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S. (K) Dr.dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked (Oph), Sp.M(K)
NIP: 196605241992031002 NIP: 197604172005012001

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, saya panjatkan puji dan syukur


kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala rahmat dan karuniaNya
sehingga saya dapat menyelesaikan tesis saya yang berjudul “Perubahan
Ambang Dengar Pada Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Setelah
Timpanoplasti” sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk
memperoleh gelar Dokter Spesialis, konsentrasi Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dengan telah selesainya tesis ini, maka dengan hati yang tulus dan penuh rasa
syukur, terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya
saya ucapkan kepada:
Yang terhormat Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.T.H.T.K.L., sebagai
Ketua Pembimbing saya yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran
untuk membimbing dengan penuh kesabaran dan perhatian, memperluas wawasan
dan pengetahuan, sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Beliau telah banyak
memberikan kesempatan, dukungan dan selalu memotivasi secara terus-menerus,
tidak hanya pada bidang keilmuan, tapi pada semua aspek kehidupan dan
bagaimana menjalani hidup serta berprilaku. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala
senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada beliau.
Yang terhormat Dr. dr. Devira Zahara, M.Ked (ORL-HNS), Sp.T.H.T.K.L.
(K), atas kesediaanya menjadi Anggota Pembimbing yang yang telah memberikan
waktu, tenaga, pikiran untuk memotivasi dan memberikan pengarahan,
memperluas keilmuan serta memberikan dukungan moril, sehingga tesis ini dapat
terselesaikan.
Yang terhormat Dr. dr. Taufik Ashar, M.K.M. sebagai Pembimbing Ahli yang
banyak memberikan bantuan, bimbingan dan masukan dalam bidang metodologi
penelitian dan statistik.
Yang terhormat para penguji saya, dr. Adlin Adnan, Sp.T.H.T.K.L. (K) dan dr.
Linda Irwani Adenin, Sp.T.H.T.K.L. yang telah bersedia memberikan penilaian
dan masukan demi sempurnanya tesis ini.

Universitas Sumatera Utara


Dengan telah berakhirnya masa pendidikan Dokter Spesialis saya, pada
kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan
penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan
Dokter Spesialis, konsentrasi Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher di
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utaraatas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Program
Pendidikan Dokter Spesialis, konsentrasi Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik
Medan, yang telah mengizinkan dan memberikan kesempatan kepada saya untuk
belajar dan bekerja di lingkungan Rumah Sakit ini.
Yang terhormat Ketua Depertemen Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Dr. dr. Tengku Siti Hajar
Haryuna, Sp.T.H.T.K.L. dan yang terhormat Pelaksana tugas Ketua Program
Studi Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara dr. Adlin Adnan, Sp.T.H.T.K.L. (K) yang telah
memberikan izin, kesempatan dan ilmu kepada saya dalam mengikuti Program
Pendidikan Dokter Spesialis, konsentrasi Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara sampai selesai.
Yang terhormat seluruh supervisor di jajaran Depertemen Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,
Prof. dr. Ramsi Lutan, Sp.T.H.T.K.L. (K), dr. Yuritna Haryono, Sp.T.H.T.K.L.
(K), Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.T.H.T.K.L. (K), Prof. Dr. dr. Abdul
Rachman Saragih, Sp.T.H.T.K.L. (K), dr. Mangain Hasibuan, Sp.T.H.T.K.L.,
Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.T.H.T.K.L. (K), dr. Linda Irwani Adenin,
Sp.T.H.T.K.L., dr. Ida Sjailandrawati Harahap, Sp.T.H.T.K.L., dr. Adlin Adnan,
Sp.T.H.T.K.L. (K), dr. Rizalina Arwinati Asnir, Sp.T.H.T.K.L. (K), FICS, dr. Siti
Nursiah, Sp.T.H.T.K.L. (K), dr. Andrina Yunita Murni Rambe, Sp.T.H.T.K.L.

Universitas Sumatera Utara


(K), dr. Harry Agustaf Asroel, M.Ked (ORL-HNS), Sp.T.H.T.K.L. (K), Dr. dr.
Farhat, M.Ked (ORL-HNS), Sp.T.H.T.K.L. (K), FICS, Dr. dr. Tengku Siti Hajar
Haryuna, Sp.T.H.T.K.L., dr. Aliandri, Sp.T.H.T.K.L., dr. Ashri Yudhistira,
M.Ked (ORL-HNS), Sp.T.H.T.K.L., FICS, Dr. dr. Devira Zahara, M.Ked (ORL-
HNS), Sp.T.H.T.K.L. (K), Dr. dr. H. Raden Yusa Herwanto, M.Ked (ORL-HNS),
Sp.T.H.T.K.L. (K), dr. M. Pahala Hanafi Harahap, Sp.T.H.T.K.L., dr. Ferryan
Sofyan, M.Kes, Sp.T.H.T.K.L., dr. Ramlan Sitompul, Sp.T.H.T.K.L., dr. Indri
Adriztina, M.Ked (ORL-HNS), Sp.T.H.T.K.L., dr. Yuliani Mardiati Lubis,
Sp.T.H.T.K.L. dan dr. Vive Kananda, Sp.T.H.T.K.L. beserta yang terhormat
seluruh supervisor rumah sakit jejaring yang telah banyak memberikan bimbingan
dalam ilmu dan pengetahuan, baik secara teori maupun keterampilan, yang
kiranya sangat bermanfaat bagi saya dikemudian hari kelak.
Sembah sujud, terima kasih dan hormat tidak terhingga serta cinta yang tak
terukur saya kepada kedua orang tua Ayahanda H. Basuki Waluyo dan Ibunda Hj.
Rahmawati yang dengan penuh kasih sayang membesarkan dan dengan penuh
perjuangan memberikan pendidikan serta senantiasa memanjatkan doa yang tulus
bagi keberhasilan saya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa
melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada mereka.
Yang terhormat kedua mertua saya H. Syafardi Ibrahim dan Hj. Hayatul
Nisbah yang telah memberikan dorongan semangat kepada saya sehingga
pendidikan ini dapat selesai.
Kepada suami tercinta dr. D. Irsat Syafardi serta kedua anak saya yang sangat
saya sayangi Alfarisi Attalah Irsyad, tiada kata yang lebih indah yang dapat
ayahanda ucapkan selain ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya atas
pengorbanan tiada tara, cinta dan kasih sayang, kesabaran, ketabahan, pengertian
dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya dan doa kepada ayahanda
sehingga dengan penyertaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala akhirnya kita sampai
pada saat yang berbahagia ini.
Kepada adinda Dian Fuady dan Enty Ulya, ipar saya Astri Ayeti Syafardi, Dian
Rahmat Syafardi, Bulan Septiana dan Sigit. Saya mengucapkan terima kasih atas

Universitas Sumatera Utara


limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan serta doa
kepada saya.
Terima kasih pada teman-teman terbaik, keluarga disaat senang dan susah,
serta berjuang bersama dalam mencapai cita-cita, dr. Richa Syafni PW, dr. Silvia,
dr. Erika Madonna Surbakti dan teman-teman sejawat Program Pendidikan Dokter
Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu, baik langsung
maupun tidak langsung, handai taulan dan para sejawat yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu, hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang mampu
memberikan balasan terbaik.
Semoga tesis ini dapat memberi sumbangan yang berharga bagi perkembangan
dunia ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi orang banyak. Semoga Allah
Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa memberi rahmat dan hidayahNya kepada kita
semua. Aamiin. Wabillahi taufiq walhidayah, wassalamualaikum warrahmatullahi
wabarakatuh.
Medan, Mei 2017
Penulis

Rina Hayati

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan ambang dengar pre dan pasca operasi
timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronis.

Metode: Pasien yang menjalani timpanoplasti (n=21) dilakukan observasi secara


prospektif. Dilakukan penilaian ambang dengar dengan menggunakan audiometri
nada murni pre dan 12 minggu pasca timpanoplasti (AC, BC dan perubahan
ambang dengar) pada frekuensi 500Hz, 1kHz, 2kHz, dan 4kHz.

Hasil: AC pre dan pasca timpanoplasti menunjukan perbedaan bermakna disemua


frekuensi sedangkan BC pre dan pasca timpanoplasti hanya menunjukkan
perbedaan bermakna difrekuensi 2kHz dan 4kHz. Selain itu dijumpai perbedaan
rerata ambang dengar pre dan pasca timpanoplasti pada pasien otitis media
supuratif kronis.

Kesimpulan: Setelah timpanoplasti dijumpai perbaikan AC disemua frekuensi


dengan rerata perbaikan ambang dengar 0-5 dB, meskipun demikian diperlukan
evaluasi lebih lanjut mengenai perbaikan ambang dengar pasca timpanoplasti pada
masing-masing tipe timpanoplasti.

Kata kunci: Ambang dengar, timpanoplasti, otitis media supuratif kronis

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Objective: The objective of the research was to find out the disparity in hearing
threshold in pre and post tympanoplasty surgery in patients with chronic
suppurative otitis media.

Material and Method: Prospective observation was performed for patients who
underwent tympanoplasty (n=21). Hearing threshold was evaluated by using pure
tone eudiometry in the pre and 12 weeks of post tympanoplasty surgery (AC, BC,
and the change in hearing threshold) in the frequency of 500Hz, IKHz, 2kHz, and
4kHz.

Results: AC in the pre and post tympanoplasty indicated significant disparity in


the frequency of 2kHz and 4kHz. Besides that, there was the disparity in the mean
value of hearing threshold in the pre and post tympanoplasty in patients with
CSOM.

Conclusion: In the post tympanoplasty surgery, it was found that there was the
improvement in AC in all frequencies with the mean value of improvement of
hearing threshold of 0-5 dB. Nevertheless, further evaluation on the improvement
of hearing threshold in the post tympanoplasty surgery in each type of
tympanoplasty would be needed.

Keywords: Hearing Threshold, Tympanoplasty, Chronic Suppurative Otitis Media

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Hal

DAFTAR ISI . ........................................................................................................ vii

DAFTAR SINGKATAN ....................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR . ........................................................................................... xi

DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii

DAFTAR LAMPIRAN .. ...................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN . ................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang . ................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah . .............................................................................. 7

1.3 Tujuan Penelitian . ............................................................................... 7

1.3.1 Tujuan umum . .......................................................................... 7

1.3.2 Tujuan khusus . ......................................................................... 7

1.4 Manfaat Penelitian …………………………………. ............................. 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 9

2.1 Otitis Media Supuratif Kronis. .............................................................. 9

2.1.1 Definisi . ................................................................................... 9

2.1.2 Klasifikasi . ............................................................................... 9

2.1.3 Kekerapan . .................................................................................. 10

2.1.4 Faktor risiko. ............................................................................... 12

2.1.5 Patogenesis. ................................................................................. 15

2.1.6 Diagnosis . ................................................................................ 16

2.1.7 Tatalaksana. ................................................................................. 18

Universitas Sumatera Utara


2.2 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran. ..................................................... 21

2.2.1. Anatomi telinga tengah…………………………………………. ... 21

2.2.2. Fisiologi pendengaran...................................................................... 27

2.3 Timpanoplasti. ......................................................................................... 29

2.4 Tes Garputala .......................................................................................... 33

2.5 Audiomerti Nada Murni ......................................................................... 34

2.5.1. Prosedur pelaksanaan audiometri nada murni ................................. 36

2.5.2. Cross hearing dan masking ............................................................. 38

2.6 Kerangka Teori. ....................................................................................... 41

2.7 Kerangka Konsep. ................................................................................... 41

2.8 Hipotesa Penelitian .................................................................................. 41

BAB III METODE PENELITIAN . ................................................................... 42

3.1 Jenis/ Desain Penelitian . ...................................................................... 42

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian . .......................................................... 42

3.3 Populasi, Subyek dan Besar Sampel . ................................................ 42

3.3.1 Populasi . .................................................................................... 42

3.3.2 Subyek. .......................................................................................... 42

3.3.3 Besar sampel . ............................................................................. 43

3.3.4 Teknik pengambilan sampel .......................................................... 44

3.4 Variabel Penelitian. ................................................................................. 44

3.5 Definisi Operasional. ............................................................................... 44

3.6 Alat Ukur. ................................................................................................. 51

Universitas Sumatera Utara


3.6.1. Bahan/ Alat ...................................................................................... 51

3.6.2. Cara kerja ......................................................................................... 52

3.7 Teknik Pengumpulan Data . ................................................................ 53

3.8 Analisa Data . ........................................................................................ 53

3.9 Kerangka Kerja . .................................................................................. 54

BAB IV HASIL......................................................................................................... 55

4.1 Karakteristik Penderita OMSK Berdasarkan Usia .................................... 55

4.2 Karakteristik Penderita OMSK Berdasarkan Jenis Kelamin ..................... 56

4.3 Karakteristik Penderita OMSK Berdasarkan Tipe OMSK ........................ 57

4.4 Karakteristik Penderita OMSK Berdasarkan Tipe Perforasi ..................... 58

4.5 Karakteristik Penderita OMSK Berdasarkan Tipe Timpanoplasti ............ 58

4.6 Karakteristik Penderita OMSK Berdasarkan Jenis Ketulian ..................... 59

4.7 Perbedaan Hantaran Udara (AC) Pre dan Pasca Timpanoplasti pada

pasien OMSK ............................................................................................ 60

4.8 Perbedaan Hantaran Tulang (BC) Pre dan Pasca Timpanoplasti pada

pasien OMSK ............................................................................................ 61

4.9 Perbedaan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti pada pasien

OMSK........................................................................................................ 62

4.10 Perubahan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti pada pasien

OMSK........................................................................................................ 63

BAB V PEMBAHASAN .......................................................................................... 66

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 79

Universitas Sumatera Utara


5.1 Simpulan .................................................................................................... 79

5.2 Saran .......................................................................................................... 80

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 81

LAMPIRAN .............................................................................................................. 93

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
DAFTAR SINGKATAN

AC : Air Conduction

AD : Ambang Dengar

BC : Bone Conduction

BERA : Brainstem Evoked Response Audiometry

dB : Desibel

Hz : Hertz

kHz : Kilo Hertz

Maks. : Maksimal

Min. : Minimal

MT : Membran Timpani

OMSK : Otitis Media Supuratif Kronis

SD : Standar Deviasi

SPSS : Statistical Packet for The Social and Science

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Hal

2.1 Membran Timpani. .................................................................................... 23

2.2 Kavum Timpani ......................................................................................... 24

2.3 Rangkaian Tulang Pendengaran ................................................................ 25

2.4 Scalp Regio Temporalis ............................................................................ 27

2.5 Permukaan Luar Tulang Temporal ............................................................ 27

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 2.1 Hasil Tes Penala .................................................................................... 34

Tabel 4.1 Karakteristik Penderita OMSK Berdasarkan Usia ................................ 56

Tabel 4.2 Karakteristik Penderita OMSK Berdasarkan Jenis Kelamin ................. 57

Tabel 4.3 Karakteristik Penderita OMSK Berdasarkan Tipe OMSK .................... 57

Tabel 4.4 Karakteristik Penderita OMSK Berdasarkan Tipe Perforasi ................. 58

Tabel 4.5 Karakteristik Penderita OMSK Berdasarkan Tipe Timpanoplasti ........ 59

Tabel 4.6 Karakteristik Penderita OMSK Berdasarkan Jenis Ketulian ................. 59

Tabel 4.7 Perbedaan Hantaran Udara (AC) Pre dan Pasca Timpanoplasti pada

pasien OMSK ............................................................................................ 60

Tabel 4.8 Perbedaan Hantaran Tulang (BC) Pre dan Pasca Timpanoplasti pada

pasien OMSK ............................................................................................ 61

Tabel 4.9 Perbedaan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti pada pasien

OMSK ........................................................................................................ 62

Tabel 4.9.1 Distribusi Subyek Berdasarkan Perubahan Derajat Ambang Dengar 62

Tabel 4.10Perubahan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti pada pasien

OMSK ........................................................................................................ 63

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

Hal

Lampiran 1 Ethical Clearence………………………………………… ... 93

Lampiran 2 Data Pasien. ............................................................................ 94

Lampiran 3 Status Penelitian ..................................................................... 98

Lampiran 4 Audiogram Pre dan Pasca Timpanoplasti .............................. 99

Lampiran 5 Uji Statistik ............................................................................ 101

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan ambang dengar pre dan pasca operasi
timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronis.

Metode: Pasien yang menjalani timpanoplasti (n=21) dilakukan observasi secara


prospektif. Dilakukan penilaian ambang dengar dengan menggunakan audiometri
nada murni pre dan 12 minggu pasca timpanoplasti (AC, BC dan perubahan
ambang dengar) pada frekuensi 500Hz, 1kHz, 2kHz, dan 4kHz.

Hasil: AC pre dan pasca timpanoplasti menunjukan perbedaan bermakna disemua


frekuensi sedangkan BC pre dan pasca timpanoplasti hanya menunjukkan
perbedaan bermakna difrekuensi 2kHz dan 4kHz. Selain itu dijumpai perbedaan
rerata ambang dengar pre dan pasca timpanoplasti pada pasien otitis media
supuratif kronis.

Kesimpulan: Setelah timpanoplasti dijumpai perbaikan AC disemua frekuensi


dengan rerata perbaikan ambang dengar 0-5 dB, meskipun demikian diperlukan
evaluasi lebih lanjut mengenai perbaikan ambang dengar pasca timpanoplasti pada
masing-masing tipe timpanoplasti.

Kata kunci: Ambang dengar, timpanoplasti, otitis media supuratif kronis

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Objective: The objective of the research was to find out the disparity in hearing
threshold in pre and post tympanoplasty surgery in patients with chronic
suppurative otitis media.

Material and Method: Prospective observation was performed for patients who
underwent tympanoplasty (n=21). Hearing threshold was evaluated by using pure
tone eudiometry in the pre and 12 weeks of post tympanoplasty surgery (AC, BC,
and the change in hearing threshold) in the frequency of 500Hz, IKHz, 2kHz, and
4kHz.

Results: AC in the pre and post tympanoplasty indicated significant disparity in


the frequency of 2kHz and 4kHz. Besides that, there was the disparity in the mean
value of hearing threshold in the pre and post tympanoplasty in patients with
CSOM.

Conclusion: In the post tympanoplasty surgery, it was found that there was the
improvement in AC in all frequencies with the mean value of improvement of
hearing threshold of 0-5 dB. Nevertheless, further evaluation on the improvement
of hearing threshold in the post tympanoplasty surgery in each type of
tympanoplasty would be needed.

Keywords: Hearing Threshold, Tympanoplasty, Chronic Suppurative Otitis Media

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Otitis media supuratif kronis atau yang biasa disebut ‘congek’ bervariasi

pada setiap negara. Angka kejadian otitis media supuratif kronis yang rendah, di

negara maju ditemukan pada pemeriksaan berkala, pada anak sekolah yang

dilakukan oleh School Health Service di Inggris Raya sebesar 0.9%, tetapi

prevalensi otitis media supuratif kronis yang tinggi juga masih ditemukan pada

ras tertentu di negara maju, seperti Native American Apache 8.2%, Indian 6%, dan

Aborigin 25% (Djaafar, 2008). Survei prevalensi diseluruh dunia, yang bervariasi

menunjukkan beban dunia akibat otitis media supuratif kronis melibatkan 65–330

juta orang dengan telinga berair, 60% di antaranya (39–200 juta) menderita

kurang pendengaran yang bermakna (Aboet, 2007). Prevalensi otitis media

supuratif kronis pada beberapa negara antara lain dipengaruhi oleh kondisi sosial

ekonomi, suku, tempat tinggal yang padat, hygienie dan nutrisi yang buruk

(WHO, 2004).

WHO mengemukakan bahwa otitis media supuratif kronis diderita oleh

65-330 juta orang diseluruh dunia, dimana 60% diantaranya mengalami gangguan

pendengaran. Lebih dari 90% kasus ditemukan diwilayah Asia Tenggara, Pasifik

Barat, Pinggiran Pasifik, dan Afrika. Penyakit ini jarang dijumpai di Amerika,

Eropa, Australia dan Timur Tengah (Monasta et al, 2012).

Universitas Sumatera Utara


Penyakit ini merupakan salah satu penyakit infeksi kronis bidang THT di

Indonesia yang masih sering menimbulkan ketulian dan kematian (Djaafar, 2008).

Sesuai kriteria WHO Indonesia termasuk negara dengan prevalensi tinggi untuk

penyakit otitis media supuratif kronis (WHO, 2004). Secara umum prevalensi

otitis media supuratif kronis di Indonesia adalah 3,8% dan pasien otitis media

supuratif kronis merupakan 25% pasien yang berobat di poliklinik THT rumah

sakit di Indonesia. Data poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006

menunjukkan pasien otitis media supuratif kronis merupakan 26% dari seluruh

kunjungan pasien, sedangkan pada tahun 2007 - 2008 diperkirakan sebesar 28 -

29% (Aboet, 2007). Dari penelitian yang dilakukan Santoso (2016) didapatkan

prevalensi otitis media supuratif kronis di provinsi Sumatera Utara tahun 2015

sebesar 3.5%, yang meliputi tipe aman sebesar 2.8% dan tipe bahaya sebesar

0.7%. Pada penelitian ini didapatkan kelompok usia terbanyak yang menderita

otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah kelompok usia 10 - <20 tahun

sebesar 26.23%. untuk jenis kelamin laki-laki didapati lebih banyak menderita

yaitu sebesar 54.1% dari pada perempuan sebesar 45.9%

Otitis media supuratif kronis yang merupakan radang kronis mukosa

telinga tengah dan mastoid ditandai dengan adanya defek pada membran timpani

(perforasi membran timpani) dan adanya otorea yang persisten lebih dari 3 bulan

(Kenna & Latz, 2006; Chole & Nason, 2009). Riwayat keluarnya cairan dari

telinga (otorea) lebih dari tiga bulan baik terus menerus ataupun hilang timbul

(Telian & Schmalbach, 2002). Cairan biasanya mukoid, encer, atau berupa nanah

(Helmi, 2005; Kenna & Latz, 2006; Dhingra, 2009).

Universitas Sumatera Utara


Terjadinya otitis media akut menjadi awal penyebab otitis media supuratif

kronis yang merupakan invasi mukoperiosteum organisme yang virulen, terutama

berasal dari nasofaring yang terdapat paling banyak pada masa anak-anak (Kenna

& Latz, 2006). Status sosio-ekonomi yang rendah disertai akses terbatas

pelayanan kesehatan mungkin sebagai faktor yang berhubungan dengan kejadian

otitis media supuratif kronis (Koch et al., 2009).

Salah satu sekuele otitis media supuratif kronis yang sering menimbulkan

masalah berupa perforasi membran timpani yang menetap. Dampak perforasi

tersebut menimbulkan turunnya ketajaman pendengaran yang mengganggu

komunikasi. Infeksi berulang juga sangat mengganggu kondisi psikososial

penderita, makin sering infeksi berulang makin bertambah luas kerusakan jaringan

telinga tengah dan makin bertambah berat kerusakan pendengaran yang terjadi

(Soewito, 1994).

Pasien otitis media supuratif kronis yang datang ke RSCM Jakarta pada

tahun 2001 kurang lebih 90% berasal dari masyarakat sosio-ekonomi lemah.

Namun demikian sebagian besar ( 80%) dari mereka secara tidak teratur sudah

pernah berobat ke dokter umum, dokter THT, atau diobati sendiri berulang-ulang

dengan obat tetes. Sebagian dari pasien ini datang karena ketulian yang sudah

mengganggu komunikasi atau sudah disertai tanda-tanda komplikasi (Djaafar,

2008).

Pada hakekatnya sumber daya manusia terdiri dari 3 unsur utama, yaitu

unsur informasi oleh panca indera, unsur pengambilan keputusan oleh sistem otak

dan unsur pelaksana oleh tubuh serta perangkatnya. Gangguan pendengaran

Universitas Sumatera Utara


merupakan salah satu hambatan yang sangat besar dalam kemampuan

berkomunikasi yang efektif. Kemampuan berbicara dan untuk memahami sesuatu,

sangat tergantung pada kemampuan memproses informasi suara yang didengar

(Ashley et al, 2009). Gangguan pendengaran yang terjadi dapat bervariasi. Pada

umumnya gangguan pendengaran yang terjadi berupa tuli konduktif, namun dapat

pula bersifat tuli saraf atau tuli campur apabila sudah terjadi gangguan pada

telinga dalam. Beratnya ketulian bergantung kepada besar dan letak perforasi

membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem penghantaran suara di

telinga tengah (Djaafar, 2008). Infeksi kronis telinga tengah menyebabkan edema,

perforasi membran timpani, dan defek rantai tulang pendengaran yang

menyebabkan tuli konduksi berkisar antara 20-60 db (Verhoeff et al., 2006).

Pada otitis media supuratif kronis tipe maligna biasanya didapat tuli

konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi seringkali

kolesteatoma bertindak sebagai penghantar suara ke foramen ovale sehingga

gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologis yang terjadi

sangat hebat (Djaafar, 2008). Penelitian pada hewan menunjukan bahwa mediator

inflamasi, penetrasi kedalam telinga dalam hingga round window membrane dan

menyebabkan kehilangan sel rambut koklea. Penelitian pada manusia menunjukan

bahwa sel rambut dalam dan luar pada basal koklea menurun pada pasien otitis

media supuratif kronis (Verhoeff et al., 2006).

Evaluasi audiometri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan

fungsi koklea. Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara

dan tulang, besarnya kerusakan tulang-tulang pendengaran dapat diperkirakan,

Universitas Sumatera Utara


dan manfaat dari operasi rekonstruksi telinga tengah terhadap perbaikan

pendengaran dapat ditentukan (Chole & Nason, 2009; Djaafar, 2008).

Salah satu cara untuk mengatasi ketulian yang timbul akibat otitis media

supuratif kronis adalah pembedahan rekonstruksi telinga tengah yang dikenal

dengan istilah timpanoplasti, suatu prosedur pembedahan untuk menghilangkan

proses patologik didalam kavum timpani yang diikuti oleh rekonstruksi konduksi

suara, disertai atau tanpa penanduran membran timpani. Prinsip utama

timpanoplasti menciptakan membran timpani yang intak, mencegah rekurensi

telinga berair dan mengembalikan fungsi pendengaran. Keberhasilan operasi

timpanomastoidektomi adalah ketika dapat dilakukan eradikasi penyakit secara

komplit sekaligus perbaikan pendengaran. Pendengaran dapat dikatakan

bertambah baik setelah dilakukan rekonstruksi pendengaran apabila dijumpai

kenaikan ambang dengar lebih dari 15 db yang dapat diukur dengan audioetri

nada murni (Soewito, 1994).

Perubahan histopatologik jaringan mukoperiosteum kavitas timpani

penderita otitis media supuratif kronis yang mendapatkan terapi akan kembali

normal setelah 12 minggu. Pada timpanoplasti tandur bertindak sebagai media

untuk migrasi epitel skuamosa permukaan luar dan mukosa membran timpani.

Dalam waktu 6-8 minggu, fasia telah dilapisi oleh epitel dari kedua permukaan,

sedangkan lapisan fibrosa dari jaringan ikat yang kaya fibroblast dibagian tengah

membran timpani baru terbentuk pada minggu ke2-5 setelah penempelan perforasi

oleh fasia. Penyembuhan dimulai 2-4 hari setelah operasi, epitel skuamosa pada

pinggiran luka akan mulai berproliferasi dan bermigrasi melintasi pinggiran luka.

Universitas Sumatera Utara


Melalui aktivitas fibroblast, limfosit dan kapiler terjadi regenerasi jaringan ikat

yang juga dimulai dari pinggir luka. Nutrisi yang diperlukan untuk regenerasi ini

didapat dari kapiler-kapiler disekeliling luka. Dalam waktu 2 minggu, tandur akan

sudah dilapisi epitel skuamosa (Fitri & Taufiq, 2004).

Penelitian yang dilakukan Fitri & Taufiq (2004) terhadap 52 pasien,

menunjukan angka keberhasilan miringoplasti dengan peningkatan pendengaran

sebesar 10-20 db sebanyak 33 kasus (63.3%), 17 kasus meningkat sebesar 21-

30db (32.7%), dan peningkatan sebesar 31-40db sebanyak 4 kasus (0.8%).

Sengupta et al. (2010) melakukan penelitian terhadap pasien otitis media supuratif

kronis, mendapati hasil audiometri preoperatif 30% kasus dengan gangguan

pendengaran ringan, 57.5% dengan gangguan pendengaran sedang dan 12.5%

dengan gangguan pendengaran berat. Setelah dilakukan audiometri ulang 6 bulan

pasca operasi, secara keseluruhan dijumpai peningkatan pendengaran sebanyak

35%.

Peningkatan ambang dengar tidak dipengaruhi oleh tipe mastoidektomi.

Seperti yang dilaporkan Min-Beom et al. (2010), dimana rerata ambang dengar

kurang dari 20 db dijumpai pada canal wall down type (58.6%) dan canal wall up

type (68.4%).

Penelitian Sheresta et al (2008), menunjukan peningkatan ambang dengar

yang ditandai dengan perbaikan nilai air bone gap pre dan pasca operasi

timpanomastoidektomi tipe III senilai 37.8 db menjadi 29.8 db. Hal ini

menunjukan bahwa dengan pendekatan operasi yang dilakukan, keparahan

Universitas Sumatera Utara


gangguan pendengaran setelah operasi diatasi selain dilakukan pencegahan

kekambuhan penyakit.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui perbedaan

ambang dengar pre dan pasca operasi timpanoplasti pada penderita otitis media

supuratif kronis.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas ingin dijawab beberapa masalah yang terkait

dengan penelitian yang dilakukan. Pertanyaan penelitian tersebut adalah apakah

terdapat perubahan ambang dengar pada penderita otitis media supuratif kronis

setelah timpanoplasti.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui apakah terdapat perubahan ambang dengar pada

penderita otitis media supuratif kronis setelah timpanoplasti.

1.3.2 Tujuan khusus

- Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita otitis media supuratif

kronis yang menjalani timpanoplasti berdasarkan usia.

- Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita otitis media supuratif

kronis yang menjalani timpanoplasti berdasarkan jenis kelamin.

- Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita otitis media supuratif

kronis yang menjalani timpanoplasti berdasarkan tipe otitis media

supuratif kronis.

Universitas Sumatera Utara


- Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita otitis media supuratif

kronis yang menjalani timpanoplasti berdasarkan tipe perforasi.

- Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita otitis media supuratif

kronis yang menjalani timpanoplasti berdasarkan jenis ketulian.

- Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita otitis media supuratif

kronis yang menjalani timpanoplasti berdasarkan tipe timpanoplasti.

- Untuk mengetahui perbedaan hantaran udara (air conduction) pre dan

pasca timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronis.

- Untuk mengetahui perbedaan hantaran tulang (bone conduction) pre

dan pasca timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronis.

- Untuk mengetahui rerata perbedaan ambang dengar pre dan pasca

timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronis.

- Untuk mengetahui besar peningkatan ambang dengar pasca

timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronis.

1.4 Manfaat Penelitian

Diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perubahan ambang

dengar setelah timpanoplasti disertai besar peningkatannya pada penderita otitis

media supuratif kronis. Secara klinis data tersebut diharapkan dapat digunakan

sebagai bahan acuan evaluasi keberhasilan operasi timpanoplasti pada penderita

otitis media supuratif kronis serta dapat memberikan gambaran prognosis

pendengaran penderita otitis media supuratif kronis.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Otitis Media Supuratif Kronis

2.1.1 Definisi

Otitis media supuratif kronis adalah peradangan kronis mukosa telinga

tengah disertai perforasi membran timpani yang telah berlangsung 2 bulan atau

lebih. Keluarnya cairan pada otitis media supuratif kronis dapat berlangsung terus

menerus atau hilang timbul, dapat berupa mukoid, encer, atau berupa nanah.

Penyakit ini umumnya dimulai pada masa kanak-kanak sebagai perforasi

membran timpani spontan akibat infeksi akut telinga tengah, yang dikenal sebagai

otitis media akut (WHO, 2004).

2.1.2 Klasifikasi

Otitis media supuratif kronis dibagi atas otitis media supuratif kronis tipe

bahaya atau otitis media supuratif kronis dengan kolesteatoma dan otitis media

supuratif kronis tipe aman atau otitis media supuratif kronis tanpa kolesteatoma.

Otitis media supuratif kronis dengan kolesteatoma disebut juga sebagai otitis

media supuratif kronis tipe tulang, sedangkan otitis media supuratif kronis tanpa

kolesteatoma disebut juga tipe mukosa. Di Indonesia otitis media supuratif kronis

dengan kolesteatoma dikenal juga sebagai tipe bahaya, sedangkan otitis media

supuratif kronis tanpa kolesteatoma disebut dengan tipe benigna (Djaafar, 2008).

Berdasarkan aktivitas cairan yang keluar juga dikenal istilah otitis media

supuratif kronis aktif dan otitis media supuratif kronis tenang. Otitis media

Universitas Sumatera Utara


supuratif kronis aktif adalah otitis media supuratif kronis dengan cairan telinga

yang keluar secara aktif, sedangkan otitis media supuratif kronis tenang adalah

otitis media supuratif kronis dengan kavum timpani kering ataupun basah tapi

cairan tidak keluar dengan aktif. Otitis media supuratif kronis aktif menandakan

bahwa adanya suatu proses yang aktif dan potensial untuk menjadi progresif.

Otitis media supuratif kronis tenang menandakan suatu keadaan yang stabil dan

non-progresif pada proses patologis yang terjadi di membran timpani maupun

kavum mastoid (Djaafar, 2008).

2.1.3 Kekerapan

Penelitian di India menunjukkan dari 55 anak dengan otitis media supuratif

kronis, 11 diantaranya adalah otitis media supuratif kronis dengan kolesteatoma.

Lima puluh persen dari orang tua anak-anak dengan kolesteatoma tidak pernah

membawa anaknya ke dokter (Rupa et al., 1999). Prevalensi pasti kolesteatoma

belum diketahui secara pasti. Insidensi tahunan dari kolesteatoma berkisar antara

3-12 kasus per 100.000 populasi (Chole & Nason, 2009).

Hasil survei Departemen Kesehatan RI, pada tahun 1993-1996 di 7

provinsi di Indonesia, menemukan prevalensi otitis media supuratif kronis

sebanyak 3.1% (Depkes, 1998). Angka prevalensi ini tergolong tinggi. Jumlah ini

tidak jauh berbeda dengan angka prevalensi dari Angola, Nigeria, Mozambique,

Korea, Thailand, Filipina, Malaysia, Vietnam, Micronesia, dan suku

Eskimo.WHO merekomendasikan untuk melakukan upaya mengatasi kecacatan

dan komplikasi (WHO, 2004).

Universitas Sumatera Utara


Otitis media supuratif kronis merupakan salah satu penyakit infeksi kronis

bidang THT di Indonesia yang masih sering menimbulkan ketulian dan kematian

(Djaafar, 2008). Sesuai kriteria WHO Indonesia termasuk negara dengan

prevalensi tinggi untuk penyakit otitis media supuratif kronis (WHO, 2004).

Secara umum prevalensi otitis media supuratif kronis di Indonesia adalah 3.8%

dan pasien otitis media supuratif kronis merupakan 25% pasien yang berobat di

poliklinik THT rumah sakit di Indonesia. Berdasarkan survei kesehatan indera

penglihatan dan pendengaran yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan

Republik Indonesia pada tahun 1993-1996, prevalensi otitis media supuratif

kronis sebesar 3.1%. Pada tahun 2002 prevalensi otitis media supuratif kronis di

Indonesia berkisar 2.1 – 5.2%. Edward & Mulyani (2011) menjumpai kejadian

otitis media supuratif kronis di RSUP M. Jamil Padang pada tahun 2009-2010

sejumlah 7.67%.

Data poliklinik THT RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2006

menunjukkan pasien otitis media supuratif kronis merupakan 26% dari seluruh

kunjungan pasien, sedangkan pada tahun 2007 dan 2008 diperkirakan sebesar 28

dan 29% (Aboet, 2007). Didapatkan 130 kasus otitis media supuratif kronis dan

65 diantaranya adalah kasus dengan kolesteatoma, dan 35 kasus dengan

komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2009 (Rambe, 2009).

Data serupa juga dijumpai Nungki & Zahara ditempat yang sama pada tahun

2011-2012 dengan otitis media supuratif kronis tipe aman sebanyak 16 subyek

(69.6%), sedangkan tipe bahaya sebanyak 7 subyek (30.4%).

Universitas Sumatera Utara


2.1.4 Faktor risiko

Beberapa faktor penyebab dan yang mempermudah terjadinya otitis media

supuratif kronis, antara lain:

a. Lingkungan

Sebagaimana telah disebutkan, prevalensi otitis media supuratif kronis

lebih tinggi pada kelompok sosial ekonomi rendah dimana penyebabnya

multifaktorial. Dalam sebuah studi kohort pada 12.000 anak-anak, dengan telinga

berair (meskipun tidak selalu otitis media supuratif kronis ) dipengaruhi oleh

kesehatan umum, ibu perokok dan pelayanan kesehatan. Penurunan prevalensi

otitis media kronis pada anak Maori di Selandia Baru sejak 1978-1987 disebabkan

karena perbaikan pada perawatan kesehatan dan kondisi perumahan (Kelly, 2008).

Kumar menyebutkan kejadian penyakit otitis media supuratif kronis lebih

tinggi pada negara berkembang, terutama masyarakat sosial ekonomi menengah

kebawah (dimana perbandingan angka kejadian antara perkotaan dan pedesaan

adalah 1:2) disebabkan gizi buruk, kurangnya kebersihan dan pengetahuan

kesehatan (Kumar & Seth, 2011).

b. Sosial ekonomi

Faktor sosial ekonomi mempengaruhi kejadian otitis media supuratif

kronis dimana kelompok sosial ekonomi rendah memiliki insiden yang lebih

tinggi. Beberapa faktor seperti kepadatan penduduk, rendahnya pengetahuan

mengenai kesehatan dan kesehatan perorangan, serta sulitnya akses untuk

memperoleh pelayanan kesehatan (Dhingra, 2009; Browning et al, 2008).

Akinpelu et al (2008) mendapatkan faktor malnutrisi, tempat tinggal kumuh dan

Universitas Sumatera Utara


imunisasi yang tidak lengkap sebanyak 41.3% yang mempengaruhi kejadian otitis

media supuratif kronis.

c. Gangguan fungsi tuba

Kelainan fungsi tuba Eustachius lebih banyak dijumpai pada penderita

otitis media supuratif kronis dibandingkan orang normal. Hal ini tidak diketahui

secara pasti apakah gangguan fungsi tuba Eustachius merupakan faktor terjadinya

otitis media supuratif kronis atau apakah merupakan hasil dari otitis media

supuratif kronis (Browning et al, 2008). Berkurangnya fungsi silia telinga tengah

dan mukosa tuba Eustachius menyebabkan terganggunya pembersihan sekresi

yang menyebabkan terjadinya otitis media supuratif kronis (Verhoeff et al. 2006).

d. Otitis media sebelumnya

Anak yang mengalami otitis media akut dan otitis media efusi dalam

waktu panjang dapat menyebabkan perubahan membran timpani berupa

berkurangnya elastisitas membran timpani menyebabkan perforasi yang menetap

atau retraksi (Browning et al, 2008).

e. Infeksi saluran pernafasan atas

Banyak pasien otitis media supuratif kronis dilaporkan bersamaan dengan

infeksi saluran nafas atas, walaupun hal ini belum terbukti secara ilmiah. Infeksi

saluran nafas atas menyebabkan terganggunya fungsi dan mukosa tuba Eustachius

dan dapat berlanjut kepada telinga tengah (Kelly, 2008).

f. Infeksi

Bakteri yang dominan dan sensitifitas antibiotika yang berubah dari waktu

ke waktu, sehingga diperlukan penelitian yang terus menerus agar diperoleh hasil

Universitas Sumatera Utara


pengobatan antibakteri yang sesuai. Pengetahuan tentang spesies dan tingkat

resistensi kuman saat ini adalah penting untuk menentukan antibiotika yang tepat

untuk pasien dengan otitis media supuratif kronis (Yeo et al. 2007).

g. Genetik

Insiden otitis media supuratif kronis bervariasi dalam populasi yang

berbeda, di negara maju, tertinggi di Eskimo, penduduk asli Amerika, Maori

Selandia Baru dan Aborigin Australia. Dalam salah satu penelitian terhadap anak-

anak di Selandia Baru, prevalensi otitis media supuratif kronis menurun secara

signifikan dari 9% pada tahun 1978 menjadi 3% pada tahun 1987 (p <0.02). Sulit

untuk menjawab pertanyaan mengenai faktor genetik yang mempengaruhi otitis

media supuratif kronis, karena adanya variabel pengganggu seperti kelompok

sosio-ekonomi rendah dari beberapa kelompok genetik yang insidennya tinggi

mengalami otitis media supuratif kronis. Pada suku asli Amerika didapati insiden

otitis media supuratif kronis yang tinggi dengan angka kejadian bervariasi di

antara suku-suku asli tersebut (Kelly, 2008).

Faktor genetik untuk otitis media supuratif kronis sampai saat ini masih

menjadi perdebatan. Penelitian terhadap kembar yang mengalami otitis media

menunjukkan peningkatan tingkat kecocokan pada kembar monozygotic daripada

kembar dizygotic (Verhoeff et al. 2006).

h. Alergi

Penderita alergi memiliki risiko tinggi gangguan pada tuba Eustachius dan

sumbatan hidung yang dapat menimbulkan terbentuknya cairan pada telinga

tengah (Chole & Nason, 2009). Susilo (2010) di Medan memeriksa 54 penderita

Universitas Sumatera Utara


dan mendapatkan reaksi alergi pada penderita otitis media supuratif kronis lebih

besar dibandingkan dengan reaksi alergi pada penderita tanpa otitis media

supuratif kronis, yaitu sebesar 74.1% pada kelompok penderita otitis media

supuratif kronis dan 40.7% pada kelompok tanpa otitis media supuratif kronis.

2.1.5 Patogenesis

Ada dua mekanisme perforasi kronis yang dapat menyebabkan infeksi

telinga tengah yang berlanjut atau berulang: (1) bakteri dapat mengkontaminasi

telinga tengah secara langsung dari telinga luar karena efek proteksi barier fisikal

membran timpani telah hilang. (2) membran timpani yang utuh secara normal

menghasilkan bantalan gas, yang menolong untuk mencegah refluks sekresi

nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius. Hilangnya

mekanisme protektif ini menyebabkan terpaparnya telinga tengah terhadap bakteri

patogen dari nasofaring (Yates & Anari, 2008).

Otitis media supuratif kronis ditandai dengan keadaan patologis yaitu

inflamasi yang ireversibel di telinga tengah dan mastoid. Disfungsi tuba

Eustachius memegang peranan penting pada otitis media akut dan otitis media

kronis. Kontraksi muskulus veli palatini menyebabkan tuba Eustachius membuka

selama proses menelan dan pada kondisi fisiologik tertentu, mengalirkan sekret

dari telinga tengah ke nasofaring, mencegah sekret dari nasofaring refluks ke

telinga tengah dan menyeimbangkan tekanan antara telinga tengah dengan

lingkungan luar (Chole & Nason, 2009).

Bila bakteri memasuki telinga tengah melalui nasofaring atau defek

membran timpani, terjadi replikasi bakteri di dalam efusi serosa. Hal ini diikuti

Universitas Sumatera Utara


oleh pelepasan mediator inflamasi dan imun ke dalam ruang telinga tengah.

Hiperemia dan leukosit polimorfonuklear yang mendominasi fase inflamasi akut

memberi jalan pada fase kronis, ditandai dengan mononuklear selular mediator

(makrofag, sel plasma, limfosit), edema persisten dan jaringan granulasi.

Selanjutnya dapat terjadi metaplasia epitel telinga tengah, dimana terjadi

perubahan epitel kuboidal menjadi epitel kolumnar pseudostratified yang mampu

meningkatkan sekret mukoid. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrotik, kadang-

kadang membentuk adhesi terhadap struktur penting di telinga tengah. Hal ini

akan mengganggu aerasi antrum dan mastoid dengan mengurangi ruang antara

osikel dan mukosa yang memisahkan telinga tengah dari antrum. Obstruksi kronis

menyebabkan perubahan ireversibel di dalam tulang dan mukosa (Chole & Nason,

2009).

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis yang tepat memerlukan beberapa alat pemeriksaan antara lain

lampu kepala yang baik, corong telinga, alat pembersih cairan telinga, alat

penghisap cairan, otoskopi atau mikroskop/endoskop. Cairan telinga dibersihkan

dengan alat pembersih cairan atau alat penghisap cairan, selanjutnya digunakan

otoskop, mikroskop atau endoskop untuk melihat lebih jelas lokasi perforasi,

kondisi sisa membran timpani dan kavum timpani (Djaafar, 2008).

a. Anamnesis

Terdapatnya riwayat otorea kronis lebih dari dua bulan. Harus

diperhatikan sifat cairan yang keluar mengenai kekentalan, warna cairan, dan

baunya. Cairan berwarna hijau kebiruan menandakan pseudomonas sebagai

Universitas Sumatera Utara


bakteri penyebab, cairan kuning pekat seringkali disebabkan oleh

Staphylococcus. Selain itu pasien juga biasanya mengeluh gangguan pendengaran

dan telinga berdengung (Djaafar, 2008). Pada otitis media supuratif kronis

tipe bahaya juga harus disingkirkan adanya kemungkinan komplikasi intrakranial.

Kecurigaan adanya komplikasi intrakranial harus dipikirkan apabila terdapat

riwayat sakit kepala hebat, demam tinggi, muntah, kejang, dan penurunan

kesadaran (Djaafar, 2008).

b. Pemeriksaan fisik

Diagnosis otitis media supuratif kronis ditegakkan bila ditemukan

perforasi membran timpani dengan riwayat otorea menetap atau berulang lebih

dari 2 bulan. Otitis media supuratif kronis tipe aman ditandai dengan perforasi

sentral, sedangkan otitis media supuratif kronis tipe bahaya biasanya disertai

dengan perforasi atik, marginal atau total. Mukosa disekitar perforasi diganti oleh

epitel gepeng berlapis. Debris kolesteatoma dapat ditemukan pada tepi perforasi,

terutama di daerah atik. Seperti halnya otitis media supuratif kronis tanpa

kolesteatoma, otitis media supuratif kronis dengan kolesteatoma dapat disertai

dan tanpa disertai infeksi aktif atau tenang. Gambaran patologis yang dapat

ditemukan adalah jaringan granulasi. Jaringan granulasi di liang telinga

merupakan petanda adanya kolesteatoma, walaupun diagnosis pasti adanya

kolesteatoma ditentukan saat dilakukan operasi (Djaafar, 2008).

c. Pemeriksaan penunjang

Untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan pendengaran dapat

dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni, audiometri tutur (speech

Universitas Sumatera Utara


audiometry) dan pemeriksaan BERA (brainstem evoked response audiometry)

bagi pasien/anak yang tidak kooperatif dengan pemeriksaan audiometri nada

murni. Pemeriksaan penunjang lain berupa foto polos mastoid, tomografi

komputer temporal (jika perlu dan memungkinkan), serta kultur dan uji resistensi

kuman dari cairan telinga (Dhingra, 2009).

Rontgen mastoid dapat menilai tingkat perkembangan pneumatisasi

mastoid dan perluasan penyakit. Posisi foto polos yang masih dipakai dewasa ini

untuk menilai keadaan tulang temporal adalah posisi Schuller dan Stenvers. Posisi

Schuller menggambarkan tingkat dan luasnya pneumatisasi mastoid, keadaan

lempeng tegmen dan lempeng sinus, daerah epitimpanum serta kaput mandibula

dan temporomandibuler. Posisi Stenvers digunakan untuk menilai penjalaran

peradangan ke pars piramid os petrosus (Dhingra, 2009).

Tomografi komputer baru dilakukan apabila dicurigai terdapat komplikasi

intrakranial. Tomografi komputer juga digunakan pada otitis media supuratif

kronis tipe bahaya untuk mendapatkan informasi tentang ada tidaknya erosi dan

destruksi dinding lateral atik (skutum), displasi dan erosi osikel, fistula labirin,

erosi kanalis fasialis, destruksi sel mastoid, erosi lempeng tegmen, sinus, dan

dinding posterior liang telinga (Dhingra, 2009).

2.1.5 Tatalaksana

Tujuan utama tatalaksana otitis media supuratif kronis adalah eradikasi

infeksi, menutup perforasi, dan mencegah komplikasi. Eradikasi bakteri patologis

di telinga tengah dan rongga mastoid akan mengurangi morbiditas dan mortalitas

akibat otitis media supuratif kronis, sedangkan menetapnya perforasi membran

Universitas Sumatera Utara


timpani menggambarkan menetapnya gangguan pendengaran dan ancaman

berulangnya infeksi (Djaafar, 2008).

Terapi otitis media supuratif kronis tidak jarang memerlukan waktu lama,

serta harus berulang-ulang. Cairan yang keluar tidak cepat kering atau selalu

kambuh lagi. Keadaan ini antara lain disebabkan oleh satu atau beberapa keadaan,

yaitu (1) adanya perforasi membran timpani yang permanen, sehingga telinga

tengah berhubungan dengan dunia luar, (2) terdapat sumber infeksi di faring,

nasofaring, hidung dan sinus paranasal, (3) sudah terbentuk jaringan patologik

yang irreversibel dalam rongga mastoid, dan (4) gizi dan higiene yang kurang

(Djaafar, 2008).

Prinsip terapi otitis media supuratif kronis tipe aman ialah konservatif

atau dengan medikamentosa. Bila cairan yang keluar terus menerus, maka

diberikan obat pencuci telinga berupa larutan H2O2 3%, dilanjutkan dengan

memberikan obat tetes telinga yang mengandung antibiotika dan kortikosteroid.

Obat tetes telinga tidak dianjurkan diberikan secara terus menerus lebih dari 1

atau 2 minggu pada otitis media supuratif kronis yang sudah tenang. Pemberian

antibiotika per oral dapat direncanakan (Merchant et al, 2008).

Bila cairan telah kering, tetapi perforasi masih ada setelah observasi

selama 2 bulan, maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti.

Operasi ini bertujuan untuk menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki

membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan

pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran (Merchant et al,

2008).

Universitas Sumatera Utara


Prinsip terapi otitis media supuratif kronis tipe bahaya adalah

pembedahan, yaitu mastoidektomi. Jika dijumpai otitis media supuratif kronis

tipe bahaya, maka terapi yang tepat adalah melakukan mastoidektomi dengan atau

tanpa timpanoplasti (Dhingra, 2009).

Algoritma penatalaksanaan OMSK Benigna (Helmi, 2005)

Algoritma penatalaksanaan OMSK dengan komplikasi (Helmi, 2005)

Universitas Sumatera Utara


2.2 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran

2.2.1 Anatomi telinga tengah

Kavum timpani merupakan rongga di sebelah lateral dibatasi oleh

membran timpani, di sebelah medial oleh promontorium, di sebelah superior

dengan tegmen timpani, di sebelah inferior oleh bulbus vena jugularis dan saraf

fasialis. Pada bagian antero-inferior terdapat saluran yang menghubungkan kavum

timpani dengan nasofaring, yaitu tuba Eustachius (Dhingra, 2009).

Berdasarkan ketinggian batas superior dan inferior membran timpani,

kavum timpani dibagi atas epitimpanum merupakan bagian kavum timpani yang

lebih tinggi dari membran timpani, mesotimpanum, dan hipotimpanum yaitu

kavum timpani yang terletak lebih rendah dari batas bawah membran timpani. Di

dalam kavum timpani terdapat tiga buah tulang pendengaran (osikel), dari luar ke

dalam maleus, inkus, dan stapes. Selain itu juga terdapat korda timpani, muskulus

tensor timpani dan ligamentum muskulus stapedius (Moller, 2006).

Telinga tengah berfungsi mengkopling (menghantarkan sambil

menguatkan atau melemahkan) energi suara dari media udara di liang telinga luar

ke medium cairan di koklea. Merchant et al (2008) mengemukakan bahwa

transmisi suara di telinga tengah terjadi melalui kopling osikular dan akustik,

serta input impedansi stapes koklea. Selain itu aerasi telinga tengah juga

diperlukan untuk berlangsungnya konduksi oleh telinga tengah (Merchant et al,

2008).

Telinga tengah terdiri dari : membran timpani, kavum timpani, prosesus

mastoideus & selula mastoideus dan tuba Eustachius.

Universitas Sumatera Utara


d. Membran timpani

Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani yang

memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Tinggi 9-10 mm, lebar 8-9

mm dan ketebalannya rata-rata 0,1 mm. Letak membran timpani tidak tegak lurus

terhadap liang telinga akan tetapi miring yang arahnya dari belakang luar kemuka

dalam dan membuat sudut 45o dari dataran sagital dan horizontal. Dari umbo

kemuka bawah tampak refleks cahaya/ cone of light (Dhingra, 2009).

Membran timpani mempunyai tiga lapisan yaitu :

1). Stratum kutaneum (lapisan epitel) berasal dari liang telinga.

2). Stratum mukosum (lapisan mukosa) berasal dari kavum timpani.

3). Stratum fibrosum (lamina propria) yang letaknya antara stratum kutaneum dan

mukosum pada pars tensa (Dhingra, 2009).

Sebagaimana dijelaskan pada gambar 2.1, secara anatomis membran

timpani dibagi dalam 2 bagian, yaitu pars tensa dan pars flaksida atau membran

Shrapnell yang letaknya dibagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa. Antara

pars tensa dan pars flaksida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu : plika maleolaris

anterior/ lipatan muka) dan plika maleolaris posterior/ lipatan belakang (Dhingra,

2009).

Membran timpani mendapat aliran darah dari cabang arteri yang

menyuplai liang telinga dan telinga tengah. Dua sumber ini beranastomosis di

lamina propria. Aliran darah ke lapisan epidermal berasal dari cabang aurikula a.

maksilaris yang berasal dari liang telinga sedang lapisan mukosal mendapat aliran

darah dari cabang timpanik anterior a. maksilaris, cabang stilomastoid arteri

Universitas Sumatera Utara


aurikula posterior. Persarafan membran timpani berasal dari cabang

n.aurikulotemporal, cabang aurikula n.vagus dan cabang timpanik

n.glossopharingeus (Clark, 2003).

Gambar 2.1. Membran timpani (Dhingra, 2009).


Bagian dari membran timpani secara anatomi yang meliputi cone of light, pars tensa dan
pars flaksida atau membran shrapnell (atas muka, tipis), plika maleolaris anterior
(lipatan muka) dan plika maleolaris posterior (lipatan belakang) sebagai pembatas pars
tensa dan flaksida.

e. Kavum timpani

Kavum timpani terletak didalam pars petrosa dari tulang temporal. Kavum

timpani diumpamakan sebuah kotak dengan 6 sisi yaitu : bagian atap, lantai,

dinding lateral, dinding medial, dinding anterior, dinding posterior.

Gambar 2.2 Kavum timpani (Dhingra, 2009)


(1) kanalis tensor tympani;(2) muara tuba eustachius; (3) foramen ovale;(4)
foramen rotundum;(5) processus cochleariformis; (6) kanalis horizontal; (7)
nervus fasialis; (8) pyramid; (9) aditus; (10) chorda tympani; (11) carotid artery;
(12) bulbus jugularis.

Universitas Sumatera Utara


Atap kavum timpani, dibentuk oleh lempeng tulang tipis yang disebut

tegmen timpani. Daerah ini memanjang ke belakang membentuk atap aditus dan

antrum. Bagian atap ini memisahkan kavum timpani dari fossa kranii media.

Lantai kavum timpani, juga merupakan lempeng tulang tipis yang memisahkan

kavum timpani dari bulbus jugularis. Kadang-kadang secara kongenital tidak

sempurna dan bulbus jugularis bisa menonjol ke telinga tengah dan hanya

dipisahkan oleh mukosa. Dinding anterior merupakan lempeng tulang yang tipis

yang memisahkan kavum timpani dengan arteri karotis. Juga terdapat tuba

eustachius dibagian bawah dan kanalis muskulus tensor timpani dibaguan atas.

Dinding posterior berbatasan dengan sel-sel mastoid, muncul sebagai penonjolan

tulang yang disebut pyramid. Dinding posterior dekat keatap, mempunyai satu

saluran disebut aditus, yang menghubungkan kavum timpani dengan antrum

mastoid melalui epitimpanum. Dibelakang dinding posterior kavum timpani

adalah fosa kranii posterior dan sinus sigmoid. Dinding medial, berbatasan

dengan labirin. Tampak tonjolan promontorium yang merupakan dasar koklea.

Foramen ovale terfiksasi pada kaki stapes. Diatas foramen ovale terdapat kanalis

saraf fasialis. Tulang penutupnya kadang secara kongenital mengalami dehisensi

dan saraf fasialis lebih terekspos yang membuat lebih mudah terserang infeksi.

Dinding lateral, berbatasan dengan membran timpani dan liang telinga luar

seperti dijelaskan pada gambar 2.2 diatas (Dhingra, 2009).

Kavum timpani terdiri dari : tulang-tulang pendengaran ( maleus, inkus,

stapes), dua otot yaitu muskulus tensor timpani dan muskulus stapedius juga saraf

korda timpani, saraf pleksus timpanikus (gambar 2.3). Saraf korda timpani

Universitas Sumatera Utara


merupakan cabang dari nervus fasialis masuk ke kavum timpani dari kanalikulus

posterior. Korda timpani juga mengandung jaringan sekresi parasimpatetik yang

berhubungan dengan kelenjar ludah sublingual dan submandibula melalui

ganglion submandibular. Korda timpani memberikan serabut perasa pada 2/3

depan lidah bagian anterior (Dhingra, 2009).

Gambar 2.3 Rangkaian tulang pendengaran (Dhingra, 2009)


Terdiri dari maleus, inkus dan stapes yang secara normal bekerja
menghantarkan bunyi melalui sistem pengungkit.

f. Prosessus mastoideus dan selula mastoideus

Antrum mastoid merupakan rongga berisi udara di bagian atas mastoid dan

memiliki hubungan dengan attik melalui aditus ad antrum. Dasar dari antrum

dibentuk oleh tegmen antrum yang merupakan kelanjutan dari tegmen timpani.

Dinding lateral antrum dibentuk oleh lempengan tulang yang pada orang dewasa

memiliki ketebalan 1,5 cm. Kearah superfisial, antrum ini ditandai oleh segitiga

macewen. Mastoid terdiri dari korteks tulang yang memiliki sel-sel udara seperti

sarang tawon (selula mastoideus). Prosessus mastoid merupakan penonjolan dari

tulang mastoid. Berdasarkan perkembangan pneumatisasi sel-sel mastoid ini

dibagi menjadi 3 tipe, yaitu :

Universitas Sumatera Utara


1) Pneumatisasi baik/ sellular (sel-sel mastoid berkembang baik dan

seaudiometri nada murni pembatas tipis)

2) Diploetik (mastoid terdiri dari rongga-rongga sumsum dan sedikit

sel-sel udara)

3) Sklerotik/ asellular/ tidak memiliki sel-sel (Dhingra, 2009).

g. Tuba Eustachius

Tuba Eustachius merupakan saluran antara telinga tengah dan

nasofaring. Tuba ini bertanggung jawab untuk memberi aliran udara ke

telinga tengah dan mastoid dan untuk mempertahankan tekanan yang

normal antara telinga tengah dengan atmosfir. Tuba Eustachius disebut

juga tuba auditori atau tuba faringotimpani. Bentuknya seperti huruf S.

Ashley et al (2009) membagi tuba menjadi 2 bagian yaitu :

1) Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3

bagian)

2) Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3

bagian).

h. Tulang temporal

Tulang temporal terdiri dari tulang timpani, processus mastoid, tulang

squamous dan tulang petrosa. Lapisan jaringan lunak di daerah temporo parietal

meliputi : kutis, subkutis, fasia temporo parietal, jaringan areolar longgar, fasia

muskulo temporal, muskulus temporalis, periosteum dan tulang (Helmi, 2009).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.4 Scalp regio temporalis (Helmi, 2009)

Gambar 2.5 Permukaan luar tulang temporal (Helmi, 2009)

2.2.2 Fisiologi pendengaran

Untuk memahami fisiologi pendengaran perlu diketahui tentang bunyi.

Bunyi terjadi disebabkan oleh adanya sumber bunyi, media penghantar

gelombang suara serta adanya reseptor penerima informasi tersebut. Sumber

bunyi akan menghasilkan tekanan gelombang suara (Soetirto et al, 2006).

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun

telinga, dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke

koklea. Daun telinga berfungsi untuk menangkap serta menghimpun gelombang

bunyi yang datang dari luar untuk kemudian diarahkan ke liang telinga dan

selanjutnya bersama liang telinga tersebut menyebabkan naiknya tekanan akustik

Universitas Sumatera Utara


sebesar 10 – 15 dB pada membran timpani. Setelah sampai di membran timpani,

getaran diteruskan ke telinga tengah (Dhingra, 2009).

Fungsi organ dalam telinga tengah selain untuk meneruskan gelombang

bunyi, juga memproses energi bunyi tersebut sebelum memasuki koklea. Dalam

telinga tengah, energi bunyi mengalami amplifikasi melalui sistem rangkaian

tulang pendengaran. Setelah diamplifikasi, energi tersebut akan diteruskan ke

stapes, yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfe pada skala

vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membran reissner, yang

mendorong endolimfe, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran

basilaris dan membran tektoria (Liston & Duvel, 1997). Proses ini merupakan

rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel – sel

rambut, sehingga terjadi pelepasan ion – ion bermuatan listrik. Keadaan ini

menimbulkan proses depolarisasi sel rambut sehingga melepaskan

neurotransmiter ke dalam sinaps dan menghasilkan potensial aksi yang kemudian

diteruskan ke serabut – serabut n.viii menuju nukleus koklearis sampai ke korteks

pendengaran (Soetirto et al, 2006). Cabang koklearis dari n.viii (n. koklearis)

dibentuk oleh neuron bipolar dari ganglion spiral koklea. Kemudian saraf ini

berjalan melalui liang telinga dalam, bergabung dengan cabang vestibularis,

kemudian menyeberangi sudut cerebellopontin, dan masuk ke batang otak pada

bagian terbawah dari pons, pada titik inilah sistem pendengaran sentral dimulai.

Kemudian n. koklearis menuju ke kompleks nukleus koklearis, yang terdiri atas

nukleus koklearis ventral dan dorsal. Serabut yang berasal dari nukleus koklearis

ventral dan dorsal mengirimkan impuls ke kompleks olivarius superior dan

Universitas Sumatera Utara


kemudian ke lemniskus lateral. Impuls kemudian berlanjut ke kolikulus inferior,

yang terletak pada otak bagian tengah. Kemudian serabut saraf bersinaps ke

korpus genikulatum medial yang terletak di thalamus dan akhirnya mencapai

korteks pendengaran. Pada manusia, letak korteks pendengaran primer terdapat

pada area 41 brodmann, yang terletak pada girus temporalis superior (Liston &

Duval,1997).

2.3 Timpanoplasti

Istilah timpanoplasti pertama kali digunakan pada tahun 1953 oleh

Wullstein untuk menjelaskan teknik pembedahan rekonstruksi mekanisme

pendengaran pada telinga tengah yang telah mengalami kerusakan akibat penyakit

telinga kronis. Timpanoplasti merupakan langkah akhir dalam penatalaksanaan

terhadap penyakit tuli konduktif dan merupakan kulminasi lebih dari 100 tahun

perkembangan prosedur pembedahan telinga tengah dalam upaya meningkatkan

pendengaran (Sismanis, 2010).

The American Academy of Ophthalmology and Otolaryngology

Subcomittee on Conversation of Hearing menetapkan definisi timpanoplasti

sebagai sebuah prosedur yang dilakukan untuk eradikasi penyakit pada telinga

tengah dan rekonstruksi mekanisme pendengaran dengan atau tanpa graft pada

membran timpani (Sismanis, 2010).

Tindakan timpanoplasti ini dapat terdiri dari beberapa tindakan seperti:

a. Kanaloplasti

Tindakan ini merupakan usaha untuk melebarkan sebagian atau seluruh

bagian tulang dari liang telinga dengan tujuan agar anulus timpani

Universitas Sumatera Utara


tervisualisasi dengan baik terutama pada membran timpani dengan perforasi

anterior dan subtotal (Harris & Linder, 2012).

b. Meatoplasti

Merupakan usaha untuk melebarkan dinding lateral bagian kartilago

dariliang telinga (Harris & Linder, 2012).

c. Miringoplasti

Miringoplasti merupakan suatu prosedur rekonstruksi yang terbatas hanya

pada usaha untuk memperbaiki perforasi yang terjadi pada membran timpani

(Chole & Nason, 2009).

d. Osikulopasti

Merupakan tindakan rekonstruksi dari tulang-tulang pendengaran baik

menggunakan graft autolog atau prostesa (Harris & Linder, 2012).

Timpanoplasti yang ideal adalah untuk mengembalikan fungsi proteksi

suara bagi round window dengan cara mengkonstruksi telinga tengah sehingga

tertutup dan tetap mengandung udara dan mencari kembali mekanisme

transformasi tekanan suara bagi oval window yaitu dengan menghubungkan

membran timpani dengan footplate stapes baik melalui tulang-tulang pendengaran

yang intak maupun hasil rekonstruksi (Sismanis, 2010).

Prinsip utama timpanoplasti adalah untuk menjadikan membran timpani

yang intak, mencegah rekurensi telinga berair dan mengembalikan fungsi

pendengaran (Albirmawy, 2010; Kakigi et al., 2009). Wullstein

mengklasifikasikan operasi timpanoplasti menjadi 5 tipe, yaitu berdasarkan

Universitas Sumatera Utara


konsep transformasi suara pada oval window dan proteksi suara pada round

window (Merchant et al, 2005; Chole & Nason, 2009):

a) Tipe I

Tipe I bertujuan untuk memperbaiki membran timpani baik sebagian atau

seluruhnya dengan jaringan graft menggunakan fasia temporalis, perikondrium

ataupun dengan jaringan adiposa lobulus telinga tanpa merubah sistem tulang-

tulang pendengaran. Indikasi timpanoplasti tipe i adalah apabila dijumpai

perforasi membran timpani dengan tulang-tulang pendengaran yang masih intak

dan mobile.

b) Tipe II

Tipe II bertujuan untuk memperbaiki membran timpani dan tulang-tulang

pendengaran disertai dengan restorasi mekanisme ungkit yang merupakan fungsi

normal dari maleus dan inkus. Kondisi yang paling sering dijumpai dimana tipe II

perlu dilakukan yaitu pada resorpsi osteitik prosesus lentikuler inkus atau kepala

stapes yang diatasi dengan pemasangan graft tulang, protesa sintetik atau semen

otologik.

c) Tipe III

Tipe III bertujuan untuk mengembalikan konduksi suara ke oval window

dengan 3 cara rekonstruksi kolumela, yaitu: (1) kolumela minor sesuai untuk

merekonstruksi telinga dengan dinding posterior liang telinga yang intak dan

struktur stapes yang masih mobile, (2) kolumela mayor diletakkan diantara

footplate stapes dan membran timpani atau manubrium dimana dilakukan apabila

krura dari stapes sudah tidak dijumpai lagi dan footplate masih intak dan mobile,

Universitas Sumatera Utara


(3) kolumela stapes yaitu terdiri dari tindakan meletakkan membran timpani atau

tandur pada kepala stapes yang intak.

d) Tipe IV

Prosedur timpanoplasti tipe IV sesuai untuk canal wall-down

mastoidectomy dimana membran timpani, inkus, dan struktur stapes tidak

dijumpai lagi. Prinsip tipe IV ini adalah agar footplate dari stapes terpapar

langsung dengan suara yang datang dari luar dan memisahkan oval window

dengan round window, dimana tandur diletakkan untuk melindungi membran

round window dari suara akustik.

e) Tipe V

Tipe V digunakan untuk bypass footplate stapes yang mengalami ankilosa

dan dilakukan sebagai prosedur tahap kedua setelah eradikasi penyakit telinga

kronis. Terdapat dua subtipe yaitu:

a) Timpanoplasti Va merupakan prosedur Wullstein tipe V yang asli dimana

tindakan ini terdiri dari fenestrasi kanalis semisirkularis lateral untuk

bypass footplate stapes yang mengalami ankilosa.

b) Timpanoplasti Vb menyerupai tipe IV, tetapi footplate stapes dibuang dan

oval window ditutup dengan tandur jaringan adiposa. Kavum mastoid dan

epitimpani biasanya diobliterasi dengan tandur pedikel atau fasia-bebas

otot dan disokong dengan tempelan tulang. Tipe Vb ini dapat dilakukan

sebagai langkah kedua setelah canal wall-down timpanomastoidektomi

tipe III atau IV.

Universitas Sumatera Utara


2.4 Tes Garputala

Tes pendengaran bermacam-macam, mulai dari yang paling sederhana

seperti tes bisik dan tes garpu tala yang tergolong non elektronik sampai yang

elektronik seperti audiometri dan timpanometri (Soetirto et al., 2010). Garpu tala

yang diapakai berfrekuensi 128 Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, 2048 Hz dan 4096

Hz (Soetirto et al., 2010).

a. Tes weber

Menggunakan garpu tala 256 atau 512. Ditekankan pada dahi atau gigi

insisivus (di garis median). Prinsipnya adalah membandingkan hantaran tulang

telinga kiri dan kanan. Bila sama kuat, tergolong pendengaran normal. Bila

terdengar hanya pada 1 telinga maka disebut lateralisasi. Dikatakan tuli konduktif

jika lateralisasi kearah telinga yang sakit. Dikatakan tuli sensorineural jika

lateralisasi ke arah yang sehat (John & Turner, 1990; Soetirto et al., 2010;

Davidson, 2012).

b. Tes rinne

Prinsipnya adalah membandingkan durasi terdengarnya garpu tala antara

hantaran tulang dan hantaran udara. Rinne positif berarti hantaran udara lebih

panjang dari hantaran tulang, terjadi pada telinga normal atau tuli sensorineural.

Rinne negatif berarti hantaran tulang lebih panjang dari hantaran udara, terdapat

pada tuli konduktif (John & Turner, 1990; Davidson, 2012).

c. Tes schwabach

Membandingkan durasi pendengaran hantaran tulang antara pasien dan

dokter. Scwabach memendek berarti hantaran tulang pasien lebih pendek dari

Universitas Sumatera Utara


hantaran tulang dokter (sensorineural hearing loss). Scwabach memanjang berarti

hantaran tulang pasien lebih panjang daripada hantaran tulang dokter (conductive

hearing loss). Normalnya hantaran tulang pasien sama panjang dengan hantaran

tulang dokter, dengan catatan pendengaran dokternya normal (Soetirto et al.,

2010; Hain, 2012).

Tabel 2.1 Hasil tes penala (Soetirto et al., 2010)

Diagnosis Tes Tes weber Tes schwabach


rinne
Normal Positif Tidak ada lateralisasi Sama dengan
pemeriksa
Tuli konduktif Negatif Lateralisasi ke telinga Memanjang
yang sakit
Tuli Positif Lateralisasi ke telinga Memendek
sensorineural yang sehat
Catatan: pada tuli konduktif < 30 dB, rinne bisa masih positif

2.5 Audiometri Nada Murni

Audiometri nada murni adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengukur

sensitivitas pendengaran dengan alat audiometer yang mengunakan nada muni

(pure tone) yaitu bunyi yang hanya mampunyai satu frekuensi, dinyatakan dalam

jumlah getaran per detik (Feldman & Grimes, 1997).

Walaupun pemeriksaan audiometri nada murni tidak sepenuhnya

objektif, tetapi sampai sekarang masih merupakan yang paling banyak dipakai

untuk keperluan klinis oleh karena prosedurnya yang sederhana namun dapat

banyak memberi informasi tentang keadaan sistem pendengaran (Feldman &

Grimes, 1997). Audiometer yang tersedia di pasaran umumnya terdiri dari enam

komponen utama, yaitu:

Universitas Sumatera Utara


a. Oskilator, yang menghasilkan berbagai nada murni

b. Amplifier, untuk menaikkan intensitas nada murni sampai dapat

terdengar

c. Pemutus (interrupter), yang memungkinkan pemeriksa menekan dan

mematikan tombol nada murni secara halus tanpa terdengar bunyi lain

(klik)

d. Attenuator, agar pemeriksa dapat menaikkan atau menurunkan intensitas

ke tingkat yang dikehendaki

e. Earphone, yang mengubah gelombang listrik yang dihasilkan oleh

audiometer menjadi bunyi yang dapat didengar

f. Sumber suara penganggu (masking), yang sering diperlukan untuk

meniadakan bunyi ke telinga yang tidak diperiksa (Feldman & Grimes,

1997).

Pada pemeriksaan audiometri nada murni perlu dipahami hal-hal berikut

ini :

Nada murni (pure tone) : merupakan bunyi yang hanya mempunyai satu

frekuensi, dinyatakan dalam jumlah getaran per detik.

Bising : merupakan bunyi yang mempunyai banyak frekuensi, terdiri dari narrow

band (spektrum terbatas) dan white noise (spektrum luas).

Frekuensi : nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu benda yang sifatnya

harmonis sederhana (simple harmonic motion). Jumlah getaran per detik

dinyatakan dalam hertz.

Universitas Sumatera Utara


Intensitas bunyi : dinyatakan dalam dB (decibel), dikenal dB hearing level, dB

sensation level dan dB spl (sound pressure level).

Ambang dengar : bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi tertentu yang

masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat ambang dengar menurut

konduksi udara (ac) dan menurut konduksi tulang (bc). Bila ambang dengar ini

dihubung-hubungkan dengan garis, baik ac maupun bc, maka akan didapatkan

audiogram. Dari audiogram dapat diketahui jenis dan derajat ketulian.

Nilai nol audiometrik: dalam dB hearing less dan dB sensation level, yaitu

intensitas nada murni yang terkecil pada suatu frekuensi tertentu yang masih dapat

didengar oleh telinga rata-rata orang dewasa muda yang normal (18-30 tahun).

Notasi pada audiogram : untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik ac, yaitu

dibuat dengan garis lurus penuh (intensitas yang diperiksa antara 125-8000 hz)

dan grafik bc yaitu dibuat dengan garis terputus-putus (intensitas yang diperiksa

antara 250-4000 hz). Untuk telinga kiri dipakai warna biru sedangkan untuk

telinga kanan dipakai warna merah (Soetirto et al., 2004).

2.5.1. Prosedur pelaksanaan audiometri nada murni:

Untuk pemeriksaan audiometri nada murni, perlu diperhatikan beberapa

syarat antara lain: alat audiometer yang telah distandardisasi oleh American

National Standards Institute, suasana yang tenang bila perlu ruangan kedap suara,

pemeriksa yang sabar dan teliti. Pada pengukuran audiologi, fungsi pendengaran

diukur terpisah untuk masing-masing telinga dengan menggunakan earphone

(hantaran udara). Saat ini yang sering digunakan adalah insert-earphone yang

langsung dimasukkan dalam meatus akustikus eksternus karena memiliki

Universitas Sumatera Utara


beberapa kelebihan dibanding earphone supraaural antara lain kontak dengan

tulang temporal yang minimal sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya

cross hearing. Audiometri nada murni juga dapat dilakukan dengan menggunakan

osilator atau vibrator yang diletakkan pada tulang mastoid untuk mengukur

hantaran tulang, yaitu antara 250-4000 Hz (Kolegium Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L.,

2008).

Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang baik maka prosedur yang

perlu diperhatikan antara lain (American Speech-Language-Hearing Association,

2005; Kolegium Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L., 2015):

a. Tanyakan kepada pasien keadaan berat ringannya keluhan diantara

kedua telinga, yang lebih ringan lebih dulu diperiksa.

b. Atur posisi duduk pasien kearah sudut 300 membelakangi pemeriksa.

c. Putar switch power untuk menghidupkan audiometer. Atur tombol

pengoperasian alat. Pasang headphone tepat didepan liang telinga.

d. Berikan perintah sederhana, jelas pada pasien untuk memencet tombol

respon bila mendengar nada/bunyi sekecil apapun. Lakukan pada

telinga yang keluhannya ringan dahulu.

e. Dilakukan pemeriksaan hantaran udara (AC) dimulai dari frekuensi

1000 Hz dengan memberi sinyal diintensitas 40 dB, kemudian

dinaikantiap 5 dB atau diturunkan tiap 10 dB sampai memperoleh

ambang dengar. Berikan secara ireguler pada setiap pemberian nada

Universitas Sumatera Utara


sebanyak 2-3 kali rangsangan. Selanjutnya lakukan di frekuensi 2kHz,

4 kHz, 8kHz kemudian kembali ke 1kHz lalu 500 Hz dan 250 Hz.

f. Bila ada perbedaan 20 dB atau lebih antara 2 frekuensi, cek frekuensi

½ oktaf untuk menghindari standing wave.

g. Lakukan hal yang sama pada telinga yang lain. Catat hasil pada kertas

audiogram menggunakan spidol merah dengan simbol (O) untuk

telinga kanan dan simbol (X) menggunakan warna biru untuk telinga

kiri. Hubungkan dengan garis tegas hingga membentuk grafik.

h. Lakukan pemeriksaan hantaran tulang (BC) bila ambang dengar

hantaran udara meningkat dengan cara, ganti headphone dengan

bonefibrator. Kemudian pasang pada os mastoid dengan sedikit

penekanan. Kemudian lakukan pemeriksaan yang sama seperti pada

hantaran udara akan tetapi hanya dilakukan pada frekuensi dan

intensitas terbatas yaitu 500 Hz, 1 kHz, 2 kHz dan 4 kHz dan

intensitasnya hanya sampai 60-85 dB.

i. Catat hasil pada kertas audiogram menggunakan simbol (<) untuk

telinga kiri dan simbol (>) untuk telinga kiri. Hubungkan dengan garis

putus –putus hingga membentuk grafik.

2.5.2. Cross hearing dan masking

Bila suatu nada disajikan pada telinga yang mengalami gangguan, kadang-

kadang dapat pula didengar oleh telinga yang tidak sedang diperiksa (Keith &

Pensak, 2003; Kolegium Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L., 2008). Jika stimulus nada

Universitas Sumatera Utara


yang diberikan lebih besar dari 40 dB dan menggunakan earphone supraaural

dimana bantalannya berada di luar telinga, maka energi akustik dapat menjalar ke

telinga pada sisi yang berlawanan yang disebut sebagai fenomena cross hearing.

Jumlah intensitas suara yang dibutuhkan untuk terjadinya cross hearing disebut

atenuasi interaural. Atuenasi interaural untuk frekuensi yang rendah biasanya 50

dB dan 60 dB untuk frekuensi tinggi, sedangkan untuk insert-earphone memiliki

atenuasi yang lebih tinggi. Sementara atenuasi interaural untuk tes hantaran tulang

berkisar antara 10 sampai 0 dB (Kolegium Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L., 2008).

Oleh karena itu, salah satu unsur penting pada audiometri nada murni

adalah masking. Sebagai salah satu syarat utama, masking harus dilakukan apabila

terjadi kemungkinan untuk terjadinya penjalaran stimulus dari telinga yang sedang

diperiksa melalui tulang kepala ke tulang telinga yang berlawanan (stimulasi

hantaran udara maupun tulang melewati batas atenuasi interaural). Masking harus

dilakukan dengan memberikan suara tambahan pada telinga yang diperiksa

bersamaan dengan diberikannya stimulus pada telinga yang sedang diperiksa. Jika

suara tambahan yang diberikan adekuat, maka suara stimulus yang menjalar ke

sisi yang berlawanan dapat tertutupi (masked) oleh suara tersebut. Yang sering

digunakan untuk masking adalah suara dengan gelombang sempit yang terdengar

seperti suara gemuruh (Kolegium Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L., 2008).

Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal (n) atau tuli.

Jenis ketulian yaitu tuli konduktif, sensorineural atau tuli campur juga dapat

ditentukan (Soetirto et al., 2004).

Universitas Sumatera Utara


Menurut kepustakaan frekuensi 4kHz berperan penting untuk

pendengaran, sehingga perlu turut diperhitungkan, sehingga derajat ketulian

dihitung dengan menambahkan ambang dengar 4 kHz dengan ketiga ambang

dengar di atas, kemudian dibagi 4 (Soetirto et al., 2004).

Ambang Dengar (AD) = Ad 500 Hz + Ad 1000 Hz + Ad 2000 Hz + Ad 4000 Hz

4
Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar

hantaran udara (AC) saja (Soetirto et al., 2004).

Derajat ketulian ISO (International Standard Organization) :

0 – 25 dB : normal

26 – 40 dB : tuli ringan

41 – 60 dB : tuli sedang

61 – 90 dB : tuli berat

>90 dB : sangat berat (Soetirto et al., 2004).

Manfaat audiometri nada murni :

a. Keadaan fungsi pendengaran masing-masing telinga secara kualitatif

(pendengaran normal, tuli konduktif, tuli sensorineural dan tuli campur)

b. Derajat gangguan pendengaran (kuantitatif) yaitu normal, tuli ringan, tuli

sedang dan tuli berat (Feldman & Grimes, 1997).

Universitas Sumatera Utara


2.6 Kerangka Teori

FAKTOR RISIKO

- Infeksi saluran nafas atas - Alergi


- Gangguan fungsi tuba - Barotrauma
- Trauma membran timpani - Tumor hidung
- Sosio-ekonomi rendah

GANGGUAN
- Usia OMSK
PENDENGARAN
- Jenis kelamin

Audiometri nada murni


Ganas Jinak

operasi Medikamentosa + operasi

2.7 Kerangka Konsep

OMSK

Pre op Pasca op
Ambang Timpanoplasti Ambang
dengar dengar

2.8 Hipotesa Penelitian

(H1) adalah terdapat perubahan ambang dengar pada penderita otitis media

supuratif kronis setelah timpanoplasti.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis/ Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan desain kohort.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen THT-KL FK USU, sampel penelitian

diambil di RSU H. Mina Medan. Waktu penelitian dilakukan periode 1 Maret –

31 Agustus 2016.

3.3 Populasi, Subyek dan Besar Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penderita otitis media supuratif

kronis yang menjalani operasi timpanoplasti.

3.3.2. Subyek penelitian

Subyek penelitian adalah seluruh penderita otitis media supuratif kronis

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan THT yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi sebagai berikut:

Kriteria inklusi:

a. Penderita otitis media supuratif kronis jinak maupun ganas baik laki-

laki maupun perempuan yang menjalani timpanoplasti di RSUP H.

Mina Medan.

b. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian.

42

Universitas Sumatera Utara


Kriteria eksklusi:

a. Tuli sejak lahir (kongenital).

b. Menderita penyakit yang dapat menyebabkan tuli sensorineural,

seperti: Diabetes Melitus, Dislipidemia, Hipertensi.

c. Riwayat/ sedang menggunakan obat-obatan yang bersifat ototoksik.

d. Riwayat terpapar bising/ trauma akustik.

e. Tidak dapat menjalani follow up post operasi selama 3 bulan kedepan.

3.3.3 Besar sampel

Jumlah sampel pada penelitian ini dihitung menggunakan rumus:


2
n = (zα+zβ)s
x1-x2

S = s12(x1-1) + s22(x2-1)
x1+x2-2

= 12,962(38-1)+10,72 2(30-1)
38+30-2

n = (1,96+0,842) 11,59 2
= 16,48  17
8
Keterangan:
X1 : Ambang dengar pre timpanoplasti (37,8)
X2 : Ambang dengar pasca timpanoplasti (29,8)
Zα : Kesalahan tipe i (α=5%  1,96)
Zβ : Kesalahan tipe ii (β=20%  0,842)
S1 : Simpang baku ambang dengar pre timpanoplasti (12,96)
S2 : Simpang baku ambang dengar pasca timpanoplasti (10,72=11,59)
(Sheresta et al, 2008)
S : Simpang baku ambang dengar gabungan s1 dan s2

Universitas Sumatera Utara


3.3.4 Teknik pengambilan sampel

Pengambilan sampel penelitian adalah secara non probability consecutive

sampling yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan

kedalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah pasien yang

diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 1995).

3.4 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, tipe otitis media

supuratif kronis, tipe perforasi, jenis ketulian, tipe timpanoplasti, ambang dengar

pre operasi timpanoplasti, ambang dengar pasca operasi timpanoplasti, hantaran

udara (air conduction) dan hantaran tulang (bone conduction) pre operasi

timpanoplasti, hantaran udara (air conduction) dan hantaran tulang (bone

conduction) pasca operasi timpanoplasti.

3.5 Definisi Operasional

3.5.1 Otitis media supuratif kronis

Definisi : adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi

membran timpani, dan dijumpai adanya sekret yang keluar dari telinga

secara terus menerus atau hilang timbul yang berlangsung lebih dari 12

minggu. Terbagi menjadi dua yaitu:

a. Otitis media supuratif kronis tipe jinak adalah jika proses peradangan

pada telinga tengah hanya terbatas pada mukosa saja tanpa disertai

komplikasi berbahaya yang ditimbulkan.

Alat ukur: anamnesis/kuisioner, pemeriksaan otoskopi.

Hasil ukur: tanpa disertai kolesteatoma.

Universitas Sumatera Utara


Skala ukur: kategorik (nominal).

b. Otitis media supuratif kronis tipe bahaya adalah jika proses peradangan

pada telinga tengah tidak hanya terbatas pada mukosa saja tetapi

melibatkan kerusakan sekitarnya disertai adanya komplikasi intratemporal

ataupun ekstratemporal yang berbahaya dan dapat berakibat fatal (WHO,

2004).

Alat ukur: anamnesis/kuisioner, pemeriksaan otoskopi.

Hasil ukur: disertai kolesteatoma.

Skala ukur: kategorik (nominal).

3.5.2. Timpanoplasti

Definisi : adalah sebuah prosedur yang dilakukan untuk eradikasi penyakit

pada telinga tengah dan rekonstruksi mekanisme pendengaran dengan atau

tanpa graft pada membran timpani. Menurut Wulstein terbagi atas:

a. Tipe I

Bertujuan untuk memperbaiki membran timpani baik sebagian atau

seluruhnya dengan jaringan graft menggunakan fasia temporalis,

perikondrium ataupun dengan jaringan adiposa lobulus telinga tanpa

merubah sistem tulang-tulang pendengaran.

Alat ukur: operasi rekonstruksi pendengaran.

Hasil ukur: tandur hanya menutupi membran timpani, tulang

pendengaran masih utuh.

Skala ukur: kategorik (nominal).

Universitas Sumatera Utara


b. Tipe II

Bertujuan untuk memperbaiki membran timpani dan tulang-tulang

pendengaran disertai dengan restorasi mekanisme ungkit yang merupakan

fungsi normal dari maleus dan inkus.

Alat ukur: operasi rekonstruksi pendengaran.

Hasil ukur: tandur menutupi membran timpani, dijumpai defek pada

maleus.

Skala ukur: kategorik (nominal).

c. Tipe III

Bertujuan untuk mengembalikan konduksi suara ke oval window dengan

melakukan rekonstruksi kolumela.

Alat ukur: operasi rekonstruksi pendengaran.

Hasil ukur: maleus inkus tidak dijumpai tetapi stapes masih sedikit

tersisa dan footplate stapes dijumpai, canalis semisirkular lateral dan

nervus fasialis terpapar. Tandur menutupi bagian yang terpapar.

Skala ukur: kategorik (nominal).

d. Tipe IV

Sesuai untuk canal wall-down mastoidektomi dimana membran timpani,

inkus, dan struktur stapes tidak dijumpai lagi.

Alat ukur: operasi rekonstruksi pendengaran.

Hasil ukur: maleus inkus tidak dijumpai tetapi sebagian footplate stapes

masih dijumpai, canalis semisirkular lateral dan nervus fasialis terpapar.

Universitas Sumatera Utara


Tandur menutupi bagian yang terpapar dan dilakukan obliterasi tuba

Eustachius.

Skala ukur: kategorik (nominal).

e. Tipe V

Digunakan untuk bypass footplate stapes yang mengalami ankilosa dan

dilakukan sebagai prosedur tahap kedua setelah eradikasi penyakit telinga

kronis (Merchant et al, 2005; Chole & Nason, 2009).

Alat ukur: operasi rekonstruksi pendengaran.

Hasil ukur: tulang pendengaran tidak dijumpai tetapi footplate stapes

masih terfiksir, canalis semisirkular lateral dan nervus fasialis terpapar.

Tandur menutupi bagian yang terpapar.

Skala ukur: kategorik (nominal).

3.5.3. Ambang dengar

Definisi :

adalah bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi tertentu yang

masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat ambang dengar

menurut konduksi udara (ac) dan menurut konduksi tulang (bc). Bila

ambang dengar ini dihubung-hubungkan dengan garis, baik ac maupun bc,

maka akan didapatkan audiogram (catatan grafik yang diambil dari hasil

tes pendengaran dengan audiometer yang berisi grafik ambang

pendengaran pada berbagai frekuensi terhadap intensitas suara dalam

decibel). Dari audiogram dapat diketahui jenis dan derajat ketulian.

Disebut air bone gap apabila antara ac dan bc terdapat perbedaan lebih

Universitas Sumatera Utara


atau sama dengan 10 dB, minimal pada 2 frekuensi berdekatan (Feldman

& Grimes, 1997).

Alat ukur: audiometri merk triveni tipe t25.

Hasil ukur: desibel (dB).

Skala ukur: numerik (interval).

3.5.4. Jenis kelamin

Definisi :

adalah ciri biologis yang membedakan orang yang satu dengan lainnya,

dikelompokan atas laki-laki dan perempuan.

Alat ukur: anamnesis/ kuisioner.

Hasil ukur: laki-laki atau perempuan.

Skala ukur: kategorik (nominal).

3.5.5. Usia

Definisi :

adalah usia yang dihitung dalam tahun dan perhitungan berdasarkan

kalender masehi, dihitung sejak penderita dilahirkan sampai ulang tahun

terahir pada saat pertama penderita berobat.

Alat ukur : kalender dalam hitungan tahun.

Hasil ukur: dikelompokan atas usia 11-23 tahun, 24-36 tahun, 37-49

tahun, dan 50-64 tahun.

Skala ukur: numerik (ordinal).

Universitas Sumatera Utara


3.5.6. Perforasi membran timpani

Definisi :

adalah hilangnya sebagian jaringan dari membran timpani yang

menyebabkan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi dari membran

timpani. Dibedakan menjadi;

a. Perforasi sentral adalah bilamana masih dijumpai annulus fibrosus

yang masih intak disekeliling membran timpani walaupun ukuran

perforasinya sangat besar (perforasi ≤50% dari lebar membran

timpani).

Alat ukur: pemeriksaan otoskopi.

Hasil ukur: perforasi ≤50% dari lebar membran timpani, annulus

timpani masih dijumpai.

Skala ukur: kategorik (nominal).

b. Perforasi subtotal adalah jika dijumpai defek pada pars tensa yang

berukuran sangat besar (perforasi 50-75% dari lebar membran timpani)

Alat ukur: pemeriksaan otoskopi.

Hasil ukur: perforasi 50-75% dari lebar membran timpani, annulus

timpani masih dijumpai.

Skala ukur: kategorik (nominal).

c. Perforasi total adalah jika sudah tidak dijumpai annulus fibrosus dan

pars flaksida pada membran timpani, perforasi >75% (Zainul, 1997).

Alat ukur: pemeriksaan otoskopi.

Universitas Sumatera Utara


Hasil ukur: perforasi >75% dari lebar membran timpani, annulus

timpani tidak dijumpai.

Skala ukur: kategorik (nominal).

3.5.7. Gangguan pendengaran

Definisi :

adalah gangguan proses mendengar dimana setiap derajat penurunan nilai

kemampuan untuk menangkap suara yang dilakukan penilaian

menggunakan audiometri nada murni, yang berdasarkan letak lokasi

kelainannya terbagi atas tiga jenis :

a. Tuli konduktif dimana kelainannya terletak mulai dari telinga luar sampai

telinga tengah, pada audiogram ditandai dengan bc normal dan ac lebih

dari 25dB dan dijumpai adanya gap antara ac dan bc.

Alat ukur: audiometri/ garputala.

Hasil ukur: bc normal, ac lebih dari 25 dB, dijumpai gap minimal 10 dB.

Skala ukur: kategorik (nominal)

b. Tuli sensorineural dimana kelainannya terletak pada telinga dalam dan

saraf pendengaran, pada audiogram ditandai dengan bc dan ac lebih dari

25dB tanpa disertai adanya gap (ac dan bc berimpit).

Alat ukur: audiometri/ garputala.

Hasil ukur: ac dan bc lebih dari 25 dB, tidak dijumpai gap.

Skala ukur: kategorik (nominal)

Universitas Sumatera Utara


c. Tuli campur disebabkan kombinasi tuli konduktif dan sensorineural, pada

audiogram ditandai dengan bc lebih dari 25dB sedangkan ac lebih besar

dari bc dan dijumpai adanya gap (Soetirto et al., 2004).

Alat ukur: audiometri/ garputala.

Hasil ukur: ac dan bc lebih dari 25 dB, dijumpai gap minimal 10 dB.

Skala ukur: kategorik (nominal).

3.5.8. Peningkatan ambang dengar pasca timpanoplasti

Definisi :

Adalah besarnya peningkatan ambang dengar minimal 5 desibel

dibandingkan sebelum operasi.

Alat ukur: audiogram.

Hasil ukur: dijumpai peningkatan menjadi lebih baik minimal 5 dB.

Skala ukur: Numerik.

3.6 Alat Ukur

3.6.1 Bahan / alat

 Lampu kepala merk Ryne & alat THT rutin merk Renz

 Otoskop merk Riester & spekulum telinga merk Hartmann

 Kapas lidi (cotton applicator)

 Alat penghisap sekret (suction) merk Thomas medipump tipe

1132gl

 Pengait serumen & Crocodile merk renz

 Garputala

 Audiometer nada murni merk Triveni tipe t25 dan telah dikalibrasi

Universitas Sumatera Utara


 Formulir persetujuan ikut penelitian
 Catatan medis penderita dan status penelitian penderita
3.6.2 Cara kerja

Semua subyek penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi

terlebih dahulu telinganya dibersihkan menggunakan kapas lidi/ suction.

Selanjutnya sebelum dilakukan operasi timpanoplasti, pendengaran dinilai

menggunakan audiometri nada murni dengan frekuensi 250-8000 Hz

untuk hantaran udara (ac) dan frekuensi 500-4000hz untuk hantaran tulang

(bc). Derajat ketulian ditentukan dengan mengukur nilai rerata ambang

dengar pada frekuensi percakapan (500, 1000, 2000 dan 4000hz) terhadap

skala ISO 1964. Kemudian 12 minggu pasca operasi pasien kembali

diperiksa audiometrinya dan dihitung derajat ketuliannya.

Derajat ketulian dan nilai ambang dengar menurut ISO 1964

(International Standard Organization) :

0 – 25 dB : normal

26 – 40 dB : tuli ringan

41 – 60 dB : tuli sedang

61 – 90 dB : tuli berat

>90 dB : sangat berat (Soetirto et al, 2004).

Hasil yang diperoleh dibandingkan sebelum dan setelah operasi

untuk kemudian diolah, disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.

Universitas Sumatera Utara


3.7 Teknik Pengumpulan Data

Data primer diambil dari hasil pemeriksaan dan audiometri terhadap

subyek penelitian di Departemen T.H.T.K.L. Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara/ RSU H. Mina Medan.

3.8 Analisa Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan program statistical packet

for the social and science (spss) kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan

diagram. Analisis univariat untuk data deskriptif. Analisis bivariat adalah analisis

variabel-variabel penelitian dengan menggunakan uji wilcoxon (nilai p<0,05

dianggap secara statistik bermakna) untuk membandingkan perubahan ambang

dengar pre dan pasca timpanoplasti.

Universitas Sumatera Utara


3.9 Kerangka Kerja

OTITIS MEDIA
OTITIS MEDIA SUPURATIF
SUPURATIF KRONIS benigna
OTITIS MEDIA
KRONIS SUPURATIF
KRONIS maligna
- Anamnesis pre op post op
Timpanoplasti
- Pemeriksaan THT rutin

Audiometri 12 minggu Audiometri


Memenuhi kriteria inklusi
Nada Murni I Nada Murni II

Pengolahan dan analisa data

Dilakukan pencatatan data mengenai:


- Profil pasien (inisial, usia, jenis kelamin, pekerjaan, alamat, HP, kebiasaan
merokok/tidak)
- Tipe otitis media supuratif kronis (benigna/maligna)
- Jenis tindakan yang dilakukan
- Klinis pasien (ada/tidak otorea, jenis perforasi MT, ada/tidak kolesteatoma,
ada/tidak granulasi/efusi, status rantai tulang pendengaran, riwayat operasi
telinga sebelumnya ada/tidak)

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

HASIL

Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan desain kohort yang

dilakukan di Departemen T.H.T.K.L FK USU/ RSU Haji Mina Medan periode 1

Maret sampai 31 Agustus 2016. Pada penelitian yang kami lakukan pada 21

subyek penelitian yang menjalani timpanoplasti kami lakukan pengukuran

ambang dengar menggunakan audiometri pre dan 12 minggu pasca operasi.

Keseluruhan subyek menjalani operasi timpanoplasti menggunakan tandur yang

berasal dari fasia muskularis temporalis, yang dilakukan hanya oleh satu orang

ahli THT.

Pengujian terhadap hipotesis untuk menyatakan ada tidaknya perubahan

ambang dengar pada pasien otitis media supuratif kronis setelah timpanoplasti

dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS 17, data yang telah

dikumpulkan dianalisis menggunakan uji Wilcoxon (nilai p<0.05; dianggap secara

statistik bermakna) untuk membandingkan perubahan ambang dengar pada pasien

otitis media supuratif kronis setelah timpanoplasti. Hasil- hasil penelitian dapat

dilihat pada tabel-tabel dibawah ini.

4.1 Karakteristik Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Berdasarkan Usia

Karakteristik berdasarkan kelompok usia penderita otitis media supuratif

kronis yang menjalani operasi timpanoplasti terlihat pada tabel 4.1 berikut ini.

55

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Penderita Otitis Media Supuratif Kronis
Berdasarkan Usia
Frekuensi
n %
Usia
11-23 tahun 10 47.6
24-36 tahun 6 28.6
37-49 tahun 2 9.5
50-64 tahun 3 14.3
Total 21 100.0

Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat bahwa sebagian besar pasien otitis

media supuratif kronis berada pada usia produktif. Pada penelitian ini terlihat

bahwa kejadian otitis media supuratif kronis lebih banyak muncul pada dekade

pertama hingga kedua, namun pada dekade ketiga hingga keenam kehidupan

jumlahnya menurun. Didapatkan subyek penelitian yang menjalani timpanoplasti

dengan usia termuda adalah 11 tahun, sedangkan usia tertua adalah 64 tahun,

dengan rerata usia 27.14 ± 14.43 tahun (mean ± SD).

4.2 Karakteristik Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Berdasarkan

Jenis Kelamin

Karakteristik penderita otitis media supuratif kronis yang menjalani

operasi timpanoplasti berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.2

berikut ini.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Penderita Otitis Media Supuratif Kronis
Berdasarkan Jenis Kelamin
Frekuensi
n %
Jenis kelamin
Laki-laki 9 42.9
Perempuan 12 57.1
Total 21 100.0

Pada penelitian ini didapatkan subyek penelitian dengan jenis kelamin

perempuan sebanyak 57.1%, sementara laki-laki sebanyak 42.9%. Dengan begitu

disimpulkan bahwa kejadian otitis media supuratif kronis tidak jauh berbeda

antara laki-laki dan perempuan.

4.3 Karakteristik Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Berdasarkan Tipe

Otitis Media Supuratif Kronis

Karakteristik berdasarkan jenis otitis media supuratif kronis pada

penelitian ini terlihat pada tabel 4.3 berikut.

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Penderita Otitis Media Supuratif Kronis


Berdasarkan Tipe Otitis Media Supuratif Kronis
Frekuensi
n %
Tipe Otitis Media Supuratif
Kronis 15 71.4
Jinak (Benigna) 6 28.6
Bahaya (Maligna) 21 100.0
Total

Universitas Sumatera Utara


Dari tabel 4.3 diatas terlihat bahwa otitis media supuratif kronis tipe jinak

(benigna) lebih banyak dijumpai dibandingkan dengan tipe bahaya (maligna).

4.4 Karakteristik Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Berdasarkan Tipe

Perforasi

Karakteristik berdasarkan tipe perforasi membran timpani pada penelitian

ini dapat dilihat pada tabel 4.4 dibawah ini.

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Penderita Otitis Media Supuratif Kronis


Berdasarkan Jenis Perforasi
Frekuensi
n %
Perforasi Membran Timpani
Tipe Sentral 6 28.6
Tipe Subtotal 8 38.1
Tipe Total 7 33.3
Total 21 100.0

Berdasarkan data tipe perforasi yang didapat seperti yang terlihat pada

tabel diatas, dapat menunjang kesimpulan bahwa subyek yang menjalani operasi

timpanoplasti terbanyak adalah penderita otitis media supuratif kronis dengan tipe

jinak (benigna).

4.5 Karakteristik Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Berdasarkan Tipe

Timpanoplasti

Pada penelitian ini karakteristik berdasarkan jenis timpanoplasti dapat

dilihat pada tabel 4.5 dibawah.

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Penderita Otitis Media Supuratif Kronis


Berdasarkan Tipe Timpanoplasti

Universitas Sumatera Utara


Frekuensi
n %
Tipe Timpanoplasti
Tipe I 14 66.7
Tipe III 3 14.3
Tipe IV 2 9.5
Tipe V 2 9.5
Total 21 100.0

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa tipe timpanoplasti yang dilakukan

pada penelitian ini terbanyak adalah tipe I, dimana terbatas dengan hanya

menutup membran timpani. Hal ini sesuai dengan jenis perforasi yang paling

banyak dijumpai pada penelitian ini yaitu tipe sentral dan subtotal.

4.6 Karakteristik Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Berdasarkan

Jenis Ketulian

Pada penelitian ini karakteristik berdasarkan jenis ketulian yang dialami

seperti terlihat pada tabel 4.6 berikut.

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Penderita Otitis Media Supuratif Kronis


Berdasarkan Jenis Ketulian
Frekuensi
n %
Jenis Ketulian
Tuli Konduktif 15 71.4
Tuli Campur 6 28.6
Total 21 100.0

Universitas Sumatera Utara


Dari tabel tersebut nampak jenis ketulian terbanyak pada subyek penelitian

ini adalah tipe konduktif berjumlah 15 orang (71.4%), tipe campur 6 orang

(28.6%).

4.7 Perbedaan Hantaran Udara (Air Conduction) Pre dan Pasca

Timpanoplasti pada Pasien Otitis Media Supuratif Kronis

Perbedaan hantaran udara (air conduction) pre dan pasca timpanoplasti

pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.7 berikut.

Tabel 4.7 Perbedaan Hantaran Udara (Air Conduction) Pre dan Pasca
Timpanoplasti pada Penderita Otitis Media Supuratif Kronis
Mean ± SD (dB) Intensitas
Parameter n (dB) p-
Min. Maks. value

AC Pre operasi 500Hz 48.33 ± 19.386 20 100 .002


AC Pasca operasi 500Hz 42.14 ± 18.746 20 100

AC Pre operasi 1000Hz 46.19 ± 19.615 15 90 .001


AC Pasca operasi 1000Hz 39.05 ± 18.750 15 85
21

AC Pre operasi 2000Hz 46.43 ± 21.222 20 95 .001


AC Pasca operasi 2000Hz 39.05 ± 20.894 20 95

AC Pre operasi 4000Hz 53.57 ± 22.811 25 105 .001


AC Pasca operasi 4000Hz 46.67 ± 23.840 15 105

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada penelitian ini terdapat

perbedaan hantaran udara (air conduction) pre dan pasca timpanoplasti pada

semua frekuensi. Meskipun secara statistik dijumpai perbedaan bermakna

terhadap ambang dengar pre dan pasca operasi, tetapi hasil tersebut tidak dapat

Universitas Sumatera Utara


menggambarkan secara pasti mengenai perbedaan ambang dengar pre dan pasca

timpanoplasti.

4.8 Perbedaan Hantaran Tulang (Bone Conduction) Pre dan Pasca

Timpanoplasti pada Pasien Otitis Media Supuratif Kronis

Perbedaan hantaran tulang (bone conduction) pre dan pasca timpanoplasti

pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.8 sebagai berikut.

Tabel 4.8 Perbedaan Hantaran Tulang (Bone Conduction) Pre dan Pasca
Timpanoplasti pada Pasien Otitis Media Supuratif Kronis
Mean ± SD Intensitas (dB)
Parameter n (dB) Min. Maks. p value

BC Pre operasi 500Hz 11.90 ± 16.161 -10 60 .317


BC Pasca operasi 500Hz 11.43 ± 15.584 -10 60

BC Pre operasi 1000Hz 13.10 ± 17.064 -10 60 .102


BC Pasca operasi 1000Hz 11.67 ± 15.838 -10 60
21

BC Pre operasi 2000Hz 22.86 ± 16.850 -5 65 .003


BC Pasca operasi 2000Hz 19.76 ± 17.283 -5 65

BC Pre operasi 4000Hz 23.33 ± 20.207 0 70 .041


BC Pasca operasi 4000Hz 20.24 ± 20.885 -5 70

Tabel diatas menjelaskan bahwa pada penilitian ini terdapat perbedaan

yang bermakna hantaran tulang (bone conduction) pre dan pasca operasi

timpanoplasti hanya pada frekuensi 2000Hz dan 4000Hz.

Universitas Sumatera Utara


4.9 Perbedaan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti pada Pasien

Otitis Media Supuratif Kronis

Perbedaan ambang dengar pre dan pasca operasi timpanoplasti pada

penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut.

Tabel 4.9 Perbedaan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti pada
Pasien Otitis Media Supuratif Kronis
Mean ± SD (dB)

n Pre operasi Pasca operasi p-value

Ambang Dengar (dB) 21 48.63 ± 18.828 41.72 ± 18.880 p=0.001

Dari tabel tersebut dapat terjawab hipotesa pada penelitian ini bahwa

terdapat perubahan ambang dengar pre dan pasca timpanoplasti pada penderita

otitis media supuratif kronis. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa rerata

perubahan ambang dengar lebih besar dari 5 dB. Perubahan nilai ambang dengar

sangat berarti meskipun hanya beberapa desibel saja. Distribusi subyek

berdasarkan perubahan derajat ambang dengar terlihat pada tabel 4.9.1 berikut.

Tabel 4.9.1. Distribusi subyek berdasarkan perubahan derajat ambang

dengar

n (%)
Pre operasi Pasca operasi
Ambang Dengar (dB)
Tuli Ringan (26-40) 11 (52.4) 14 (66.7)
Tuli Sedang (41-60) 5 (23.8) 4 (19.0)
Tuli Berat (61-90) 4 (19.0) 2 (9.5)
Tuli Sangat Berat (>90) 1 (4.8) 1 (4.8)

Universitas Sumatera Utara


4.10. Perubahan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti pada

Pasien Otitis Media Supuratif Kronis

Rincian nilai peningkatan ambang dengar pasca timpanoplasti pada subyek

penelitian dapat dilihat pada tabel 4.10 dibawah.

Tabel 4.10. Perubahan Ambang Dengar Pasca Timpanoplasti pada Pasien


Otitis Media Supuratif Kronis
n %

Perubahan Ambang Dengar


0-5 dB 12 57.1
>5-10 dB 4 19.0
>10-15 dB 3 14.3
>15dB 2 9.5
Total 21 100.0

Sebagian besar ambang dengar pasca timpanoplasti pada penelitian ini

mengalami penurunan berkisar 1-15 dB, yang artinya pendengaran menjadi lebih

baik pasca timpanoplasti. Dari data yang diperoleh subyek penelitian dengan

ambang dengar pasca timpanoplasti yang lebih rendah dibandingkan pre operasi

sebanyak 16 orang. Sedangkan subyek penelitian dengan ambang dengar pasca

timpanoplasti lebih besar dibandingkan pre operasi dijumpai sebanyak 1 orang

(5dB). Empat orang subyek memiliki ambang dengar yang sama pre dan pasca

timpanoplasti, seperti yang terlihat pada grafik 4.1 berikut.

Universitas Sumatera Utara


Grafik 4.1 Perbedaan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti

Rincian nilai peningkatan ambang dengar untuk masing-masing subyek

penelitian berdasarkan tipe timpanoplasti dapat dilihat pada grafik 4.2 berikut.

Grafik 4.2 Peningkatan Ambang Dengar – Tipe Timpanoplasti

Universitas Sumatera Utara


Dari grafik tersebut nampak jelas bahwa dari 21 subyek dijumpai 4 orang

yang tidak mengalami peningkatan ambang dengar (0 dB). Sedangkan

peningkatan >15dB dijumpai pada 3 subyek penelitian yang salah satunya

menjalani timpanoplasti tipe IV.

Universitas Sumatera Utara


81

BAB V

PEMBAHASAN

Otitis media supuratif kronis merupakan penyakit infeksi pada telinga

yang masih sering dijumpai. Prevalensi otitis media supuratif kronis di Indonesia

secara umum adalah 3.9% dan Indonesia masuk dalam daftar negara dengan

prevalensi otitis media supuratif kronis tinggi (Helmi, 2005). Tujuan dari

penelitian yang kami lakukan ini adalah untuk melihat perubahan ambang dengar

pada pasien yang menjalani operasi timpanoplasti di RSU H. Mina Medan. Pada

penelitian yang kami lakukan pada 21 subyek penelitian yang menjalani

timpanoplasti kami lakukan pengukuran ambang dengar menggunakan audiometri

pre dan 12 minggu pasca operasi. Keseluruhan subyek menjalani operasi

timpanoplasti menggunakan graft yang berasal dari fasia muskularis temporalis,

yang dilakukan hanya oleh satu orang ahli THT.

Pada penelitian ini kami mendapatkan kejadian otitis media supuratif

kronis lebih banyak muncul pada usia produktif. Dimana banyak dijumpai pada

dekade pertama hingga kedua, namun pada dekade ketiga hingga keenam

kehidupan jumlahnya mulai menurun. Hal ini mungkin terjadi karena, pada

penelitian ini pasien yang datang untuk berobat dan memeriksakan penyakitnya

lebih banyak adalah pelajar dan mahasiswa. Mereka lebih peduli terhadap

kesehatan telinga dan lebih banyak memiliki waktu luang untuk memeriksakan

kesehatannya. Akibat kondisi penyakitnya, dapat mengganggu aktifitas belajar

66

Universitas Sumatera Utara


82

dan seringkali menimbulkan rasa malu sehingga membawa penderita

memeriksakan kesehatannya.

Otitis media supuratif kronis dapat menyerang siapa saja. Prevalensinya

didunia masih sangat bervariasi. Terjadinya otitis media supuratif kronis biasanya

diawali dengan otitis media berulang pada anak, dan jarang dimulai setelah

dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring mencapai telinga tengah

melalui tuba Eustachius (Djaafar, 2008).

Tuba Eustachius disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani,

merupakan saluran antara telinga tengah dan nasofaring. Tuba ini bertanggung

jawab untuk memberi aliran udara ke telinga tengah dan mastoid, sehingga dapat

mempertahankan tekanan yang normal antara telinga tengah dengan atmosfir

(Ashley et al., 2009). Kontraksi muskulus veli palatini menyebabkan tuba

Eustachius membuka selama proses menelan dan pada kondisi fisiologik tertentu,

mengalirkan sekret dari telinga tengah ke nasofaring, mencegah sekret dari

nasofaring refluks ke telinga tengah dan menyeimbangkan tekanan antara telinga

tengah dengan lingkungan luar. Pada otitis media kronis aktif, fenomena primer

atau sekunder dari tuba Eustachius yang sering tersumbat masih belum diketahui

secara pasti (Chole & Nason. 2009). Namun pada penelitian ini kami tidak

melakukan pemeriksaan fungsi tuba Eustachius pada seluruh subyek penelitian.

Hal ini juga menjadi salah satu kelemahan dalam penelitian kami.

Adoga et al (2010), juga menyebutkan bahwa penyakit ini umumnya mulai

menyerang anak-anak pada awal kehidupan, akan tetapi kejadiannya lebih sering

kita jumpai pada orang dewasa. Oleh karena penderita biasanya cenderung

Universitas Sumatera Utara


83

menyesuaikan diri dengan penyakitnya dan mentoleransi keluhan yang dialami

hingga menyebabkan penyakitnya bertambah jelek. Kurangnya fasilitas pelayanan

kesehatan dan tingkat perekonomian yang rendah membuat penderita kesulitan

menerima pelayanan kesehatan.

Namita (2013), dalam penelitiannya di India mendapati rentang usia

pasien otitis media supuratif kronis yang menjalani operasi timpanoplasti adalah

14-74 tahun, dengan rerata usia 32,2 tahun. Nora (2011) dalam penelitiannya, dari

208 penderita otitis media supuratif kronis yang berobat ke RSUP Haji Adam

Malik Medan dari Januari - Desember 2008 menjumpai dua kelompok usia

dengan jumlah yang sama yaitu kelompok usia 11-20 tahun dan 21-30 tahun

sebanyak 20.68%. Santoso (2016), dalam penelitianya di terhadap 1726 penduduk

yang tersebar di Sumatera Utara menjumpai kejadian otitis media supuratif pada

rentang usia 10-20 tahun sebesar 26.23%%, diikuti usia <10 tahun sebesar 22.95%

dan usia 50-55 tahun sebesar 8.19%.

Pada penelitian ini kejadian otitis media supuratif kronis tidak jauh

berbeda antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian Memon

et al (2008) yang mengemukakan rasio penderita otitis media supuratif kronis

wanita dan pria adalah 1.2:1. Sheresta (2011), juga mendapatkan rasio penderita

otitis media supuratif kronis antara wanita dan pria adalah 1.23: 1. Santoso

(2016), dalam penelitianya di terhadap 1726 penduduk yang tersebar di Sumatera

Utara menjumpai kejadian otitis media supuratif pada laki-laki sebanyak 54.1%

sedangkan perempuan sebanyak 45.9%.

Universitas Sumatera Utara


84

Berbeda dengan penelitian Namita (2013) di India, yang mendapati

kejadian otitis media supuratif kronis pada wanita sebanyak 60% sedangkan pria

sebanyak 40%. Sebaliknya, Nungki & Zahara (2013) mendapatkan kejadian otitis

media supuratif kronis pada pria sebanyak 73.9% sedangkan wanita sebanyak

26.1%.

Pada penelitian ini meskipun tidak jauh berbeda, akan tetapi kejadian otitis

media supuratif kronis pada wanita sedikit lebih banyak dijumpai dibandingkan

laki-laki. Hal ini dikarenakan wanita cenderung lebih mementingkan kebersihan

dan penampilan dibandingkan pria. Kesadaran untuk berobat wanita lebih kuat

dibandingkan pria, itulah menyebabkan wanita lebih banyak datang berobat

dibandingkan pria.

Kejadian otitis media supuratif kronis tipe jinak (benigna) pada penelitian

ini lebih banyak dijumpai dibandingkan dengan tipe bahaya (maligna). Serupa

dengan penelitian Santoso (2016), yang mendapatkan kejadian otitis media

supuratif kronis tipe jinak (benigna) sebesar 80.4% sedangkan tipe bahaya

(maligna) sebesar 19.6%. Nungki & Zahara (2013) juga menyebutkan bahwa tipe

aman (benigna) lebih banyak dijumpai (69.6%) dibandingkan tipe bahaya

(30.4%).

Apabila sudah terjadi perforasi membran timpani maka infeksi ke telinga

tengah bisa masuk dari luar telinga melalui perforasi membran timpani atau

melalui nasofaring. Bila bakteri memasuki telinga tengah melalui nasofaring atau

defek membran timpani, terjadi replikasi bakteri di dalam efusi serosa. Hal ini

diikuti oleh pelepasan mediator inflamasi dan imun ke dalam ruang telinga

Universitas Sumatera Utara


85

tengah. Hiperemia dan leukosit polimorfonuklear yang mendominasi fase

inflamasi akut memberi jalan pada fase kronis, ditandai dengan mononuklear

selular mediator (makrofag, sel plasma, limfosit), edema persisten dan jaringan

granulasi. Selanjutnya dapat terjadi metaplasia epitel telinga tengah, dimana

terjadi perubahan epitel kuboidal menjadi epitel kolumnar pseudostratified yang

mampu meningkatkan sekret mukoid. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrotik,

kadang-kadang membentuk adhesi terhadap struktur penting di telinga tengah. Hal

ini akan mengganggu aerasi antrum dan mastoid dengan mengurangi ruang antara

osikel dan mukosa yang memisahkan telinga tengah dari antrum. Obstruksi kronis

menyebabkan perubahan ireversibel di dalam tulang dan mukosa (Chole & Nason.

2009).

Yang membedakan otitis media supuratif kronis tipe aman dan bahaya

adalah ada atau tidaknya kolesteatoma dan komplikasi yang dijumpai. Terjadinya

otitis media supuratif kronis hampir selalu diawali dengan otitis media berulang

pada anak dan jarang dimulai setelah dewasa. Dengan pengobatan yang cepat dan

adekuat serta dengan perbaikan fungsi ventilasi telinga tengah, biasanya proses

patologis akan berhenti dan kelainan mukosa akan kembali normal. Perubahan

menetap pada mukosa telinga tengah yang berlangsung progresif dapat

menimbulkan komplikasi seperti yang terjadi pada otitis media supuratif kronis

tipe bahaya (Helmi, 2005). Progresifitas penyakit berlangsung lama, adanya

pengobatan yang diperoleh penderita membuat kecendrungan otitis media

supuratif kronis tipe jinak menjadi tipe ganas lebih sedikit dijumpai.

Universitas Sumatera Utara


86

Subyek penelitian yang menjalani operasi timpanoplasti terbanyak adalah

penderita otitis media supuratif kronis dengan tipe jinak (benigna). Tipe ini

biasanya ditandai oleh adanya perforasi sentral (pars tensa) maupun perforasi

subtotal. Hasil yang kami jumpai sesuai dengan penelitian yang dilakukan Nungki

& Zahara (2013), dimana jenis perforasi terbanyak dijumpai subtotal (26.1%),

total (17.4%) dan sentral (13%). Berbeda dengan penelitian Santoso (2016),

bahwa perforasi tipe sentral sebanyak 65.3% lebih banyak dijumpai dibandingkan

tipe subtotal dan tipe total masing-masing sebanyak 20% dan 8%.

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun

telinga, dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke

koklea. Daun telinga berfungsi untuk menangkap serta menghimpun gelombang

bunyi yang datang dari luar untuk kemudian diarahkan ke liang telinga dan

selanjutnya bersama liang telinga tersebut menyebabkan naiknya tekanan akustik

sebesar 10 – 15 dB pada membran timpani. Setelah sampai di membran timpani,

getaran diteruskan ke telinga tengah (Dhingra, 2009).

Pada otitis media supuratif kronis dimana terjadi perforasi membran

timpani, hilangnya fungsi konduksi suara yang terjadi sebanding dengan besar

perforasi. Hal ini menyebabkan tuli konduksi (Matsuda et al, 2009). Akibat

perforasi membran timpani dapat menyebabkan penurunan pendengaran sebesar

16-46 dB (Nishant, 2012).

Tipe timpanoplasti yang dilakukan pada penelitian ini terbanyak adalah

tipe I, dimana terbatas dengan hanya menutup membran timpani. Prosedur

timpanoplasti menurut Zollner dan Wullstein (1952) terdiri atas 5. Tipe I

Universitas Sumatera Utara


87

(miringoplasti) bila hanya merekonstruksi membran timpani yang perforasi. Tipe

II merupakan prosedur yang digunakan untuk perforasi membran timpani dengan

erosi maleus, melibatkan pencangkokan pada inkus atau sisa-sisa maleus yang

tersisa. Tipe III diindikasikan untuk dua osikel yang telah hancur, dengan stapes

yang masih utuh dan mobile. Prosedur ini melibatkan penempatan cangkok ke

stapes. Sedangkan tipe IV digunakan untuk tulang pendengaran yang hancur

(mencakup semua atau sebagian dari lengkung stapes), prosedur ini melibatkan

penempatan cangkok pada atau sekitar kaki stapes yang masih mobile. Untuk tipe

V dapat digunakan ketika kaki stapes terfiksir (Dhingra, 2009).

Timpanoplasti merupakan langkah akhir dalam penatalaksanaan terhadap

penyakit tuli konduktif dan merupakan kulminasi lebih dari 100 tahun

perkembangan prosedur pembedahan telinga tengah dalam upaya meningkatkan

pendengaran (Sismanis, 2010). Prinsip utama timpanoplasti adalah untuk

menjadikan membran timpani yang intak, mencegah rekurensi telinga berair dan

mengembalikan fungsi pendengaran (Albirmawy, 2010; Kakigi et al., 2009).

Namita (2013), mengevaluasi ambang dengar pre dan 12 minggu post

operasi pasien otitis media supuratif kronis didapat hasil rerata peningkatan

ambang dengar sebanyak 11.76 dB disertai rerata penurunan ambang dengar

sebesar 6.94 dB. Pada penelitiannya dijumpai rerata ambang dengar pre operasi

pasien yang menjalani hanya timpanoplasti adalah 31.98, sedangkan rerata post

operasi dan perubahan ambang dengar adalah 24.18 dB dan 7.8dB. Kemudian

setelah 6 bulan post operasi kembali dilakukan pengukuran ambang dengar dan

didapat hasil perubahan rerata ambang dengar sebesar 10.27dB.

Universitas Sumatera Utara


88

Penelitian Sheresta et al (2008), menunjukan peningkatan ambang dengar

yang ditandai dengan perbaikan nilai air bone gap pre dan pasca operasi

timpanomastoidektomi tipe III senilai 37.8 db menjadi 29.8 db. Hal ini

menunjukan bahwa dengan pendekatan operasi yang dilakukan, keparahan

gangguan pendengaran setelah operasi diatasi selain dilakukan pencegahan

kekambuhan penyakit.

Pada penelitian ini didapatkan subyek dengan gangguan pendengaran tipe

konduktif sebanyak 15 orang (71.4%) sedangkan tipe campur sebanyak 6 orang

(28.6%). Hal ini sesuai dengan penelitian Rumondang (2013) yang dilakukan di

RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006-2010 dimana jenis gangguan

pendengaran yang dijumpai pada pasien otitis media supuratif kronis adalah tuli

konduktif (70; 58.82%) dan tuli campuran (29; 24.37%).

Otitis media supuratif kronis secara umum berkaitan dengan penurunan

pendengaran yang merupakan keluhan utama dari penderita. Gangguan

pendengaran yang terjadi akibat otitis media supuratif kronis dapat bervariasi.

Pada umumnya gangguan pendengaran yang terjadi berupa tuli konduktif namun

dapat pula bersifat tuli saraf atau tuli campuran. Tuli saraf atau tuli campuran

dapat dijumpai apabila sudah terjadi gangguan pada telinga dalam akibat proses

infeksi yang hebat. Beratnya ketulian bergantung kepada besar dan letak perforasi

membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem penghantaran suara di

telinga tengah. Pada otitis media supuratif kronis tipe maligna biasanya didapat

tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali

juga kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara (Kumar & Seth, 2011).

Universitas Sumatera Utara


89

Pada penilitian ini terdapat perbedaan bermakna hantaran udara (air

conduction) pre dan pasca timpanoplasti pada semua frekuensi. Sedangkan

perbedaan bermakna hantaran tulang (bone conduction) pre dan pasca operasi

timpanoplasti hanya didapatkan pada frekuensi 2000Hz dan 4000Hz. Khaddakar

(2012) dalam penelitiannya mendapatkan status pendengaran pasien otitis media

supuratif kronis yang telah dilakukan mastoidektomi dengan perbedaan rerata

hantaran udara pre adalah 51.79dB, sedangkan rerata hantaran udara post operasi

adalah 41.25dB. Nilai hantaran udara biasanya menunjukan hasil yang lebih

rendah di frekuensi 2000 Hz, hal ini mungkin disebabkan oleh resonansi

menyeluruh dari kavum mastoid dan liang telinga (Sheresta et al, 2008). Sadegh et

al (2013) dalam penelitiannya mendapatkan perbedaan rerata hantaran tulang

pre/post operasi pada frekuensi 250Hz, 500Hz, 1kHz, 2kHz dan 4kHz masing-

masing adalah 6.91dB/6.61dB (0.2dB), 8.85dB/7.41dB (1.44dB), 9.58dB/5.62dB

(3.96dB), 16.14dB/6.44dB (9.6dB), dan 18.79dB/16.94dB (1.85dB). Khaddakar

(2012) dalam penelitiannya juga menyatakan adanya perbedaan rerata hantaran

tulang pre dan post operasi pada 28 subyek penelitian sebesar 10.89dB menjadi

11.60dB. Ambang dengar pada hantaran tulang bukan merupakan perhitungan

pasti fungsi koklea karena dapat dipengaruhi oleh kondisi patologi pada telinga

tengah (Sheresta et al, 2008).

Perubahan ambang dengar dipengaruhi oleh berbagai faktor yang cukup

banyak terutama pada kemampuan teknik operasi, kriteria yang digunakan untuk

mengevaluasi perubahan pendengaran yang dikatakan ada perbaikan dan kondisi

Universitas Sumatera Utara


90

patologi pasca operasi yang dapat terjadi pada telinga tengah (Sheresta et al,

2008).

Perforasi membran timpani memiliki dua mekanisme yang berbeda dalam

menyebabkan gangguan pendengaran. Pertama, berkurangnya sebagian membran

timpani menyebabkan berkurangnya tekanan suara yang diberikan sehingga

terjadi penyimpangan rantai tulang pendengaran. Bekesy seperti yang dikutip oleh

Manolidis berpendapat untuk perforasi yang kecil (1mm), baru akan berefek pada

suara di bawah frekuensi 400 Hz yaitu 12 dB pada 100 Hz, 29 dB pada 50 Hz dan

48 dB pada 10 Hz. Semakin besar perforasi, berarti semakin banyak permukaan

membran timpani yang hilang sehingga menyebabkan berkurangnya tekanan

suara. Tekanan suara yang masuk melalui perforasi membran timpani dapat

melawan tekanan suara luar. Mekanisme kedua yaitu suara langsung mencapai

tingkap bundar tanpa mengalami peredaman dan pengurangan efek seperti halnya

yang terjadi pada membran timpani yang utuh. Selain itu, membran timpani yang

tersisa akan menyebabkan suara yang mencapai ke tingkap bundar dan tingkap

lonjong mendapat kekuatan yang sama dan dalam waktu yang bersamaan, hal ini

dikarenakan hilangnya tekanan hidrolik yang biasa ada pada membran timpani

yang lebar. Penutupan perforasi membran timpani tidak menjamin berkurangnya

gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran yang menetap mungkin

disebabkan oleh disfungsi dari koklea dan gangguan tulang-tulang pendengaran.

Perforasi yang kecil dengan gambaran air-bone gap yang besar menggambarkan

adanya masalah pada rantai tulang pendengaran yang nantinya harus diperbaiki

dengan timpanoplasti. Secara umum semakin besar perforasi maka semakin besar

Universitas Sumatera Utara


91

gangguan pendengaran yang akan terjadi, akan tetapi hubungan ini secara klinis

tidak konsisten (Manolidis, 2003).

Pada penelitian ini dijumpai 4 orang subyek tanpa perubahan ambang

dengar. Dari 4 orang tersebut, 3 orang menjalani timpanoplasti tipe I sedangkan 1

orang menjalani tipe III. Keempat orang tersebut memiliki jenis perforasi sentral,

dan subtotal dengan derajat tuli ringan dan sedang. Hal tersebut yang kami duga

membuat ambang dengar pasca timpanoplasti pada subyek tersebut tidak

mengalami perubahan. Selain itu pada penelitian ini kami jumpai 1 orang dengan

peningkatan ambang dengar pasca timpanoplasti sebesar 5 dB, artinya

pendengaran pasca timpanoplasti menjadi lebih buruk pada pasien tersebut.

Subyek tersebut menjalani timpanoplasti tipe V dengan jenis perforasi total dan

gangguan pendengaran tipe campur disertai adanya kolesteatoma.

Pemeriksaan audiometri nada murni pada penelitian ini dilakukan pada

frekuensi 500 Hz, 1 kHz, 2kHz, 4kHz. Besar dugaan bahwa pada subyek dalam

penelitian ini yang tidak dijumpai perbaikan ambang dengar bermakna pasca

timpanoplasti, bukan berarti tidak dijumpai perbaikan ambang dengar pada

subyek tersebut. Hal tersebut dikarenakan pada subyek tersebut mungkin saja

dijumpai perbaikan ambang dengar pasca timpanoplasti terutama pada frekuensi

rendah yang pada penelitian ini tidak terekam pada frekuensi tersebut.

Penyembuhan luka pada perforasi membran timpani sama seperti

penyembuhan luka pada umumnya. Penyembuhan luka dimulai dengan

hemostasis dan agregasi trombosit, diikuti oleh respon inflamasi. Fase proliferasi

dimulai dengan peningkatan permeabilitas vaskuler, pelepasan sitokin dan migrasi

Universitas Sumatera Utara


92

netrofil. Kebanyakan proses penyembuhan luka, fibroblas akan menghasilkan

jaringan ikat yang terdiri dari kolagen. Lapisan membran timpani menutup secara

sempurna antara hari ke-9 dan hari ke-14 setelah prosedur miringotomi. Lamina

propria membran timpani akan menyatu setelah empat minggu yang nantinya

akan berpengaruh pada mobilitas atau kelenturan dari membran timpani (Harim et

al, 2012).

Tujuan utama miringoplasti adalah mengembalikan integritas membran

timpani, yang rata-rata dapat dicapai dengan tehnik pembedahan

berdasarkan posisi jaringan ikat pada sisi membrana timpani yang perforasi,

dengan tujuan merangsang regenerasi kulit dan mukosa sehingga terjadi

penutupan perforasi yang permanen (Harim et al, 2012).

Penelitian oleh Deong et al (2006) menilai penyembuhan membran

timpani yaitu: 1) setelah 3 bulan didapatkan penyembuhan yang sempurna pada

membran timpani. 2) tidak adanya keluhan pada telinga, 3) tidak adanya gejala

patologik seperti timpanosklerosis, 4) audiometri dan timpanometri dalam batas

normal, 5) pemeriksaan otomikroskopi didapatkan membran timpani dalam batas

normal.

Sampai saat ini belum ada ketetapan pasti dikatakan adanya perbaikan

ambang dengar pasca timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronis.

Evaluasi dapat dilakukan setelah 3 bulan , 6 bulan pasca operasi atau lebih,

tentunya dengan keragaman hasil perbaikan yang diperoleh. Pendengaran

bertambah baik setelah dilakukan rekonstruksi pendengaran setelah 6 bulan

apabila dijumpai penurunan ambang dengar lebih dari 15 dB yang dapat diukur

Universitas Sumatera Utara


93

dengan audiometri nada murni (Soewito, 1994). Pemulihan pendengaran pada

timpanoplasti dianggap berhasil bila nilai rerata hantaran udara pasca bedah pada

frekuensi 500 Hz, 1 kHz dan 2 kHz naik sebesar 15 dB atau lebih dibanding nilai

rerata hantaran udara pra bedah pada frekuensi yang sama (Puspitowati, 2000).

Dari penelitian yang kami lakukan dijumpai perubahan bermakna ambang dengar

pre dan pasca timpanoplasti lebih dari 5 dB. Tidak menutup kemungkinan rerata

perbaikan ambang dengar yang berkisar 5 dB pada penelitian ini dikarenakan

evaluasi pendengaran hanya dilakukan setelah 12 minggu pasca operasi. Salah

satu kelemahan pada penelitian ini adalah menggambarkan ambang dengar pasca

timpanoplasti pada semua tipe timpanoplasti hanya dalam 12 minggu pasca

operasi. Dari penelitan ini diperoleh data yang dapat digunakan sebagai penelitian

pendahuluan untuk penelitian selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara


94

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

5.1.1. Penderita otitis media supuratif kronis terbanyak pada kelompok usia

11-23 tahun (47.6%), disusul dengan kelompok umur 24-36 tahun

(28.6%), kelompok usia 50-64 tahun (14.3%), dan kelompok usia 37-

49 tahun (9.5%), sedangkan penderita otitis media supuratif kronis

yang menjalani timpanoplasti dengan usia termuda yaitu 11 tahun dan

usia tertua adalah 64 tahun, dengan rerata usia penderita adalah 27.14

± 14.43 tahun (mean ± SD).

5.1.2. Untuk jenis kelamin, dijumpai perempuan sebanyak 57.1% diikuti

laki-laki 42.9%.

5.1.3. Dijumpai otitis media supuratif kronis tipe jinak (benigna) sebanyak

71.4%, sedangkan tipe bahaya (maligna) sebanyak 28.6%.

5.1.4. Dijumpai perforasi membran timpani tipe subtotal sebanyak 38.1%,

tipe total sebanyak 33.3% dan tipe sentral sebanyak 28.6%.

5.1.5. Pada penelitian ini tipe timpanoplasti yang dilakukan terbanyak adalah

tipe I sebanyak 66.7%, untuk tipe III sebanyak 14.3%, sedangkan tipe

IV dan V masing-masing sebanyak 9.5%.

5.1.6. Gangguan pendengaran tipe konduktif didapatkan sebanyak 71.4%,

tipe campur 28.6%, sedangkan tipe sensorineural pada penelitian ini

tidak dijumpai.

79

Universitas Sumatera Utara


95

5.1.7. Pada penilitian ini terdapat perbedaan hantaran udara (air conduction)

pre dan pasca operasi pada semua frekuensi.

5.1.8. Sedangkan perbedaan hantaran tulang (bone conduction) pre dan

pasca operasi hanya dijumpai pada frekuensi 2000 Hz dan 4000 Hz.

5.1.9. Dijumpai perbedaan bermakna ambang dengar pre dan pasca operasi

timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronik pada penelitian

ini dengan nilai p=0.001 (p<0005).

5.1.10. Dijumpai perubahan ambang dengar sebesar 0-5 db sebanyak 57%,

diikuti perubahan sebesar >5-10 db sebanyak 19%, perubahan sebesar

>10-15db sebanyak 14.3% dan perubahan sebesar >15dB sebanyak

9.5%.

5.2. Saran

- Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap prognosis pendengaran pasca timpanoplasti.

- Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan periode evaluasi yang lebih

lama sesuai dengan salah satu tipe timpanoplasti yang spesifik.

Universitas Sumatera Utara


96

DAFTAR PUSTAKA

Aboet, A. (2007). “Radang Telinga Tengah Menahun: Pidato Pengukuhan Jabatan

Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Bedah Kepala Leher”. Medan: FK USU.

Adoga A, Nimkur T, Silas O.(2010). Chronic suppurative otitis media: Socio-

economic implications in a tertiary hospital in Northern Nigeria.

PanAfrican Medical Journal. Nigeria. 4:3. hal 1-8.

Akinpelu, A.V., Amusa, H.B., Komolafe, E.O.(2007). “Challenges management

of chronic suppurative otitis media in a developing country”. The Journal

of Laryngology and Otology. Nigeria (122). pp.16-20.

Albirmawy, O. (2010). “Comparison between cartilage–perichondrium composite

‘ring’ graft and temporalis fascia in type one tympanoplasty in children”.

The Journal of Laryngology & Otology , 967–974.

American Speech-Language-Hearing Association. (2005) ‘Guidelines for Manual

Pure-Tone Threshold Audiometry [Guidelines]’. www.asha.org/policy .

Ashley, P.W., Christina, Laura, .R. (2009). “Cochlear and Auditory Brainstem

Implantation”. In: Snow, J.B. & Ballenger, J.J. (Eds.) Ballenger’s Manual

of Otorhinology Head and Neck Surgery. Connecticut: BC Decker Inc. pp

363-82.

Browning, G.G., Merchant, N.S., Kelly, G., Swan, R.,C.,I (2008). “Chronic Otitis

Media”. In: Gleeson M, ed. Scott-Brown’s Otolaryngology. Vol. 3. 7th.

London: Butterworth-Heinemann. pp. 3396-439.

81

Universitas Sumatera Utara


97

Chole, R.A. & Nason, R. (2009). “Chronic Otitis Media and Cholesteatoma” In:

Snow, J.B. & Ballenger, J.J. (Eds.) Ballenger’s Manual of Otorhinology

Head and Neck Surgery. Connecticut: BC Decker Inc. pp. 217-27.

Clark, G. (2003). “Cochlear Implants, Fundamentals and Applications”. Springer-

Verlac NY Inc. New York . pp 595-621.

Davidson, T. M. (2012) ‘Clinical Manual of Otolaryngology-Head and Neck

History and Physical Examination’ the University of California, San

Diego, School of Medicine. from http://drdavidson.ucsd.edu/default.aspx

Depkes RI (1998). “Pedoman Upaya Kesehatan Telinga dan Pencegahan

Gangguan Pendengaran untuk Puskesmas”. Jakarta: Depkes RI.

Deong KK, Prepageran N, Raman R. (2006). “Epithelial Migration of The

Postmyringoplasty Tympanic Membrane”. Otology & Neurotology

27(6):855-8.

Dhingra, P.L. (2009). “Disease of Ear, Nose, and Throat”. 3rd Ed. New Delhi:

Elsevier. pp.5-9.

Djaafar, Z.A. (2008). “Kelainan Telinga Tengah”. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung, Tenggorok Kepala Leher. Jakarta: Balai penerbit FK UI.

pp.49-62.

Edward, Y. & Mulyani, S.(2009). “Penatalaksanaan otitis media supuratif kronis

tipe bahaya”. Padang: FK UNAND.

Universitas Sumatera Utara


98

Feldman, A. & Grimes, C. (1997). “Audiologi”. In: Ballenger, J.(ed.) Penyakit

Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. 13th ed. Vol.2, Jakarta:

Binarupa aksara. pp.273-80.

Fitri, S.B. & Taufiq, B. (2004). Tesis: “Angka Keberhasilan Miringoplasti pada

Perforasi Membran Timpani Kecil, Besar dan Subtotal pada Bulan Juni

2003 Sampai Juni 2004”. Bandung: FK UNPAD.

Hain, T.C. (2012). “American Hearing Research Foundation Hearing Teasting”.

http://american-hearing.org/disorders/hearing-testing

Harim, P., Dini, W., Afrina, Y. (2012). ”Miringoplasti tandur lemak autologus:

alternatif pilihan miringoplasti di poliklinik”. Dep. THT-KL FK UI.

Harris, T., & Linder, T. (2012). “The Open Access Atlas Of Otolaryngology,

Head & Neck Operative Surgery”. Essential Otolaryngology Head & Neck

Surgery. New York: McGraw Hill. pp. 40-52.

Helmi. (2005). “Otitis Media Suppurative Kronis” In: Otitis Media Supuratif

Kronis Pengetahuan Dasar Terapi Medik Mastoidektomi, Jakarta: Balai

penerbit FK UI. pp.55- 72.

John S. & Turner, J. (1990). “The Ear and Auditory System”. In: Walker, H. W.

(Ed.) Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory

Examinations. 3rd ed. Boston: Butterworths.

Kakigi, A., Takeda, T., Nakatani, H., Kozakura, K. (2009). “Modification of

Surgical Procedures of Type 1 Tympanoplasty for Non-Cholesteatomatous

Chronic Otitis Media”. JORL , 71-73.

Universitas Sumatera Utara


99

Kelly, G (2008). “Aetiology and Epidemiology of Chronic Otitis Media”. In:

Gleeson M, ed. Scott-Brown’s Otolaryngology. Vol. 3. 7th. London:

Butterworth-Heinemann. pp. 3408-411.

Kenna, M.A. & Latz, A.D. (2006). “ Otitis Media with Effusion”. In: Bailey, B.J.;

Johnson, J.T.; and Newlands, S.D. (Eds.) Head & Neck Surgery –

Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins. pp.1263-75.

Khaddakar . (2012).”Assessment of hearing status after mastoidectomy”. PJMS

2(2).

Koch, A., Homoe, P., Pipper, C., Hjuler, T., Melbye, M. (2009). “Chronic

Suppurative Otitis Media in a Birth Cohort of Children in Greenland,

Population-Based Study of Incidence and Risk Factors”. The Pediatric

Infectious Disease Journal. 30(1).pp.25-29.

Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL (2008) Modul Utama: Modul Telinga

Gangguan Pendengaran. Medan: Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL

FK USU.

Kumar, H. & Seth, S. (2011). “Bacterial and Fungal Study of 100 Cases of

Chronic Suppurative Otitis Media”. Journal of Clinical and Diagnostic

Research. Vol. 5(6). pp. 1224-7.

Liston, S.,L. & Duvall, A.,J. (1997). “Embriologi, Anatomi dan Fisiologo

Telinga”. Dalam: Higler AB, Boies, Buku Ajar Penyakit THT. Edisi enam.

Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran. pp.27-38.

Universitas Sumatera Utara


100

Manolodis S. (2003). “Closure of tympanic membrane perforations”. In:

Glasscock-Shambaugh Surgery of the Ear. 5th ed. Ontario: BC Decker Inc.

p.400-19.

Matsuda Y, Kurita T, Ueda Y, Ito S, Nakashima T.(2009).”Effect of tympanic

membrane perforation on middle-ear sound transmission”. J Laryngol Otol

Suppl (31): 81–89.

Memon MA, Matiullah S, Ahmed Z, Marfani MS. (2008). “Frequency of un-safe

Chronic Suppurative Otitis Media in patients with discharging ear”. J

Lumhs. Pakistan. p 102-5.

Merchant, Rosowski, Shelton. (2008). “Reconstruction of the middle ear”, In:

Snow, J.B. & Ballenger, J.J. (Eds.) Ballenger’s Manual of Otorhinology

Head and Neck Surgery. Connecticut: BC Decker Inc.. Pp 239-44.

Min-Beom, Jeesun, Choi, Jae, Kwon, Ju-Yeon, Park, Hosun, Yang, Hong, S.Y,

Chung, Won. (2010). “Hearing outcomes according to the type of

mastoidectomy: a comparison between canal wall up and canal wall down

mastoidectomy”. Clinical and Experimental Otorhinolaryngology

Vol.3(4). pp203-206.

Moller, A. (2006). “Hearing: anatomy, physiology and disorders of the auditory

system, 2nd ed”. Burlington MA: Academis press. pp.296-97.

Monasta, L., Ronfani, L., Marchetti, F., Montico, M., Brumatti, L.V., Bavcar, A.,

Grasso, D. Barbiero, C. & Tamburlini, G. (2012). “Burden of Disease

Caused Otitis Media: Sistematic Review and Global Estimates”. PLos

One.7(4).

Universitas Sumatera Utara


101

Namita. (2013). “ Pre and post operative evaluation of hearing in CSOM”. Indian

Journal of Otology Vol 19/4.

Nishant K.(2012).”Using MERI and ET function as parameters for predicting the

outcome of tympanoplasty”. Indian Journal Otol 64(1):13-16.

Nora, B. (2011). Tesis : “Gambaran Otitis Media Supurati Kronis di RSUP H.

Adam Malik Medan Tahun 2008”. Medan: FK USU.

Nungki & Zahara, D. (2013) “Gambaran Pasien Otitis Media Supuratif Kronik

(OMSK) di RSUP H. Adam Malik Medan”. E-Journal FK USU Vol 1(1).

Puspitowati E. (2000). Tesis:” Evaluasi hasil timpanoplasti dengan mastoidektomi

teknik rongga terbuka dan tertutup di RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun

1997-1998”. Surabaya:FK UNAIR.

Rambe, Andrina (2009). Tesis: “Gangguan Pendengaran pada Penderita Otitis

Media Supuratif Kronis yang Diukur dengan Audiometer Nada Murni di

RSUP H. Adam Malik Medan”. Medan: FK USU.

Rupa, Jacob, A., Joseph, A. (1999). “Chronic suppurative otitis media: prevalence

and practices among rural south Indian children”. Int. J. Pediatr otorhinol

(48):217-21.

Rumondang, Debi. (2013). Tesis: ”Profil penderita otitis media supuratif kronis di

RSUP H. Adam Malik Medan”. Medan: FK USU.

Sadegh, Kalantari & Hosseini. (2013).”Bone conduction improvement after

middle ear ossicular chain reconstruction”. Annual journal of

otolaryngology and head & neck (1): 21.

Universitas Sumatera Utara


102

Sengupta, Arunaba, Anwar, T., Ghosh, D., Basak, Bijan. (2010). “A study of

surgical management of chronic suppurative otitis media with

cholesteatoma and outcome”. Indian Journal Otolaryngol Head Neck

Surgery 62 (2): 171-176.

Santoso, Budi.(2016). Tesis : ”Prevalensi otitis media supuratif kronik diprovinsi

sumatera utara”. Medan:FK USU.

Sheresta, Bhusal, Battharaii. (2008). “Comparison of pre and post operative

hearing results in canal wall down mastoidectomy with type III

tympanoplasty”. JNMA 47(172):224-7.

Sheresta, KP.(2011).”Intra operative findings during canal wall down

mastoidectomy in children”. JNepal Paediatr Soc (31).

Sismanis, A. (2010). “Tympanoplasty”. In: M. E. III, & M. Aina Julianna Gulya,

Glasscock-Shambaugh Surgery of The Ear 6th edition. Hamilton: BC

Decker Inc. pp. 465-486.

Soetirto, I., Hendarmin, H., Bashiruddin, J. (2010). “ Gangguan Pendengaran dan

Kelainan Telinga”. In: Soepardi, E. A. Buku ajar ilmu kesehatan telinga,

hidung, tenggorok, bedah kepala leher.5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FK

UI. Pp.10-22.

Soetirto, I., Hendarmin, H., Bashiruddun, J. (2004). Gangguan Pendengaran dan

Kelainan Telinga. In: Soepardi, E. A. Buku ajar ilmu kesehatan telinga,

hidung, tenggorok, bedah kepala leher.4th ed. Jakarta: Balai Penerbit FK

UI.

Universitas Sumatera Utara


103

Soetirto, I., Hendarmin, H., Bashiruddun, J. (2006). Gangguan Pendengaran dan

Kelainan Telinga. In: Soepardi, E. A. Buku ajar ilmu kesehatan telinga,

hidung, tenggorok, bedah kepala leher.4th ed. Jakarta: Balai Penerbit FK

UI. pp. 9-21.

Soewito (1994). “Miringoplasti dan Timpanoplasti-I Teknik Klasik vs Teknik

Dini”. Berkala Ilmu Kedokteran XXVI (1): pp 29-36.

Susilo, D.E. (2010). Tesis: “Alergi sebagai faktor risiko terhadap kejadian otitis

media supuratif kronis (OMSK) tipe benigna di RSUP H. Adam Malik

Medan, tesis”. Medan: FK USU.

Telian, S.A. & Schmalbach, C.E. (2002). “Chronic Otitis Media” In: Snow, J.B. &

Ballenger, J.J. (Eds.) Ballenger’s Manual of Otorhinology Head and Neck

Surgery. Connecticut: BC Decker Inc. pp. 263-4.

Verhoeff, M., Vander, Veen, Rovers, M., Saders, E., Schilder, A. (2006).

“Chronic suppurative otitis media: a review”. International Journal of

Pediatric Otorhinolaryology 70:1-12.

WHO. (2004). “Chronic Suppurative Otitis Media; Burden of Illness and

Management Options. Child and Adolescent Health and Development

Prevention of Blindness and Deafness”. Switzerland, Geneva: WHO.pp 7-

8.

Yates, P.D. & Anari, S. (2008). “Otitis media”. In: AK Lalwani (ed), Current

Otolaryngology, The McGraw-Hill Companies, New York.

Universitas Sumatera Utara


104

Yeo, G.S., Park, C.D., Hong, M.S., Cha, I.C., Kim, G.M. (2007). “Bacterioloy of

chronic suppurative otitis media- a multicenter study”. Acta Oto-

Laryngologica, Korea. pp. 1062-67.

Zainul, A.D. (1997). “Kelainan telinga tengah”. In: Efiaty, A.S., Nurbaiti, Buku

Ajar Ilmu Penyakit THT Edisi 3. Jakarta : Balai penerbit FK UI. pp. 54-7.

Universitas Sumatera Utara


105

Personalia Penelitian

I. Peneliti Utama
Nama : dr. Rina Hayati
Jabatan : PPDS T.H.T.K.L.
Fakultas : Kedokteran
Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara
Bidang Keahlian : T.H.T.K.L.
Waktu Disediakan : 12 Jam/Minggu

II. Komisi Pembimbing

A. Nama : Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.T.H.T.K.L.


NIP : 197906202002122003
Pangkat/Golongan : Pembina (IV/a)
Jabatan : Lektor Kepala (Ketua Departemen T.H.T.K.L. FK USU)
Fakultas : Kedokteran
Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara
Bidang Keahlian : T.H.T.K.L.
Waktu Disediakan : 6 Jam/Minggu

B. Nama : Dr.dr. Devira Zahara,M.Ked (ORL-HNS),Sp.T.H.T.K.L.(K)


NIP : 197812072008012013
Pangkat/Golongan : Pembina (IV/a)
Jabatan : Lektor
Fakultas : Kedokteran
Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara
Bidang Keahlian : T.H.T.K.L.
Waktu Disediakan : 6 Jam/Minggu

90

Universitas Sumatera Utara


106

Daftar Riwayat Hidup

Data Pribadi
Nama : dr. Rina Hayati
Tempat/Tanggal lahir : Medan/21 Agustus 1985
Jabatan : PPDS T.H.T.K.L.
Agama : Islam
AlamatRumah : Jl. Kamboja, Perumahan Permata Setia Budi 2
Blok B4, Medan
No.HP : 081328354937
Alamat e-mail : [email protected]
Instansi : Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara
Nama Orang Tua : 1. Ayah : H. Basuki Waluyo
2. Ibu : Hj. Rahmawati

Pendidikan Formal
1995 - 2000 SDN Lebuh Dalam Menggala Tulang Bawang
2000 - 2002 SLTPN 2 Bandar Lampung
2002 - 2004 SMU Negeri 2 Bandar Lampung
2004 - 2010 S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia
2012 - sekarang 1. Peserta S-2 Magister Kedokteran Klinik
2. Peserta PPDS T.H.T.K.L. FK USU

Universitas Sumatera Utara


107

Riwayat Pekerjaan
Dokter Umum RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda Kalimantan Timur
(2010 s/d sekarang)
Keanggotaan Organisasi Profesi Nasional/Internasional
1. Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) (2010 s/d sekarang)
2. Anggota Muda Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher Indonesia (PERHATI-KL) (2012 s/d
sekarang)

Medan, Mei 2017

dr. Rina Hayati

Universitas Sumatera Utara


108

LAMPIRAN 1

ETHICAL CLEARENCE

93

Universitas Sumatera Utara


95

LAMPIRAN 2
DATA PASIEN

TIPE OMSK/ KOLES-


NO USIA JK JENIS TULI TIPE PERFORASI OTOREA GRANULASI RANTAI PENDENGARAN RIW OP PEROKOK
TELINGA OP TEATOMA

1 12 P Benigna AD/ AD CHL Sentral 1 0 2 0 0 0


2 22 P Benigna ADS/ AD CHL Sentral 0 0 2 0 0 0
3 21 L Benigna ADS/ AS CHL Sentral 1 0 0 0 0 0
4 15 P Maligna AS/ AS MHL Total 2 1 2 2 0 0
5 64 P Benigna ADS/ AD MHL Sentral 1 0 2 0 0 0
6 27 L Benigna AD/ AD MHL Subtotal 1 1 0 1 0 2
7 15 P Benigna ADS/ AS CHL Total 2 0 0 0 0 0
8 33 P Benigna ADS/ AS CHL Total 2 0 0 0 0 0
9 36 P Benigna AD/ AD CHL Subtotal 2 0 2 0 0 0
10 16 L Maligna ADS/ AS CHL Subtotal 0 1 2 2 0 0
11 38 L Benigna AS/ AS CHL Sentral 0 0 0 0 0 2
12 11 P Benigna AS/ AS CHL Subtotal 0 0 0 1 0 0
13 21 L Maligna ADS/ AS MHL Total 2 1 2 0 1 2
14 14 P Maligna ADS/ AD CHL Subtotal 2 1 2 3 0 0
15 25 P Benigna AD/ AD CHL Total 2 1 2 4 0 0
16 51 L Benigna AS/ AS CHL Sentral 1 0 2 0 0 0
17 24 L Benigna ADS/ AD CHL Ssubtotal 1 0 0 0 0 0
18 40 L Maligna AS/ AS MHL Total 2 1 2 3 0 2
19 24 L Maligna AS/ AS MHL Total 2 1 2 3 0 2

94

Universitas Sumatera Utara


96

20 48 P Benigna AD/ AD CHL Subtotal 1 0 2 0 0 2


21 13 P Benigna AS/ AS CHL Subtotal 1 0 2 0 0 0

AC BC AD
PENING.
TIMPANO MERI 500 1K 2K 4K 500 1K 2K 4K
PRE POST AD
PRE POST PRE POST PRE POST PRE POST PRE POST PRE POST PRE POST PRE POST
I 4 35 35 40 40 25 25 35 35 5 5 0 0 15 15 15 15 33.75 33.75 0
I 3 40 35 40 35 35 35 30 30 15 15 15 15 25 25 25 25 36.25 33.75 -2.5
I 2 20 20 35 20 40 25 25 15 5 5 10 10 10 10 5 5 30 20 -10
I 8 35 30 55 50 75 70 95 90 15 10 30 25 55 50 70 70 65 60 -5
I 4 70 55 70 55 75 55 100 85 20 20 35 35 50 50 50 50 78.75 62.5 -16.25
I 6 75 55 90 70 70 50 65 50 5 5 35 15 35 20 45 20 75 56.25 -18.75
IV 3 55 35 50 30 55 35 45 25 0 0 -5 -5 5 5 15 0 51.25 31.25 -20
I 3 35 20 40 25 40 25 45 30 0 0 0 0 15 5 20 5 40 25 -15
I 5 65 60 15 15 20 20 45 40 15 20 15 15 20 15 20 20 36.25 33.75 -2.5
IV 6 40 30 35 25 35 25 40 30 0 0 5 5 10 5 10 5 37.5 27.5 -10
I 3 50 50 40 40 45 45 45 45 10 10 5 5 35 35 25 25 45 45 0
I 2 35 25 40 30 30 20 40 30 -10 -10 -10 -10 -5 -5 0 -5 36.25 26.25 -10
I 9 100 100 85 85 95 95 105 105 60 60 60 60 65 65 70 70 96.25 96.25 0
III 9 45 45 35 25 30 20 45 35 10 10 10 10 20 15 5 5 38.75 31.25 -7.5
I 10 45 40 45 40 35 30 40 35 10 10 0 0 15 10 15 15 41.25 36.25 -5
I 4 20 20 25 25 35 30 40 35 5 5 10 10 15 10 10 10 30 27.5 -2.5
I 2 55 40 45 30 45 30 50 35 0 0 0 0 15 10 5 5 48.75 33.75 -15

Universitas Sumatera Utara


97

V 11 65 60 75 70 75 70 80 75 50 45 25 25 20 20 25 25 73.75 68.75 -5
I 11 30 35 30 35 25 30 55 60 10 10 30 25 25 25 35 35 35 40 5
III 6 40 35 25 20 25 20 40 35 20 15 5 5 15 10 20 20 32.5 27.5 -5
III 4 60 60 55 55 65 65 60 60 5 5 0 0 20 20 5 5 60 60 0

Universitas Sumatera Utara


95

Universitas Sumatera Utara


98
99
98
118
96

LAMPIRAN 3

STATUS PENELITIAN

98

Universitas Sumatera Utara


98
99
98
118
97

LAMPIRAN 4

Pre timpanoplasti

Pasca timpanoplasti

99

Universitas Sumatera Utara


98
99
98
118
98

Pacsa Timpanoplasti

Universitas Sumatera Utara


98
99
98
118
99

LAMPIRAN 5
Descriptives

Statistic Std. Error

Usia Mean 27.1429 3.14967

95% Confidence Interval for Lower Bound 20.5728


Mean Upper Bound 33.7129

5% Trimmed Mean 26.0238

Median 24.0000

Variance 208.329

Std. Deviation 14.43359

Minimum 11.00

Maximum 64.00

Range 53.00

Interquartile Range 22.00

Skewness 1.077 .501

Kurtosis .631 .972

Usia Mean 1.90 .238

95% Confidence Interval for Lower Bound 1.41


Mean Upper Bound 2.40

5% Trimmed Mean 1.84

Median 2.00

Variance 1.190

Std. Deviation 1.091

Minimum 1
Maximum 4

Range 3

Interquartile Range 2
Skewness .971 .501

101

Universitas Sumatera Utara


102
99
98
98
118
100

Kurtosis -.297 .972

Jenis kelamin Mean 1.57 .111

95% Confidence Interval for Lower Bound 1.34


Mean Upper Bound 1.80

5% Trimmed Mean 1.58

Median 2.00

Variance .257
Std. Deviation .507

Minimum 1

Maximum 2

Range 1

Interquartile Range 1

Skewness -.311 .501

Kurtosis -2.115 .972

Tipe OMSK Mean 1.29 .101

95% Confidence Interval for Lower Bound 1.08


Mean Upper Bound 1.50

5% Trimmed Mean 1.26

Median 1.00

Variance .214

Std. Deviation .463

Minimum 1
Maximum 2

Range 1

Interquartile Range 1
Skewness 1.023 .501

Universitas Sumatera Utara


99
98
98103
118
101

Kurtosis -1.064 .972

Perforasi membran timpani Mean 2.05 .176

95% Confidence Interval for Lower Bound 1.68


Mean Upper Bound 2.41

5% Trimmed Mean 2.05

Median 2.00

Variance .648

Std. Deviation .805

Minimum 1

Maximum 3

Range 2

Interquartile Range 2

Skewness -.090 .501

Kurtosis -1.417 .972

Tipe timpanoplasti Mean 1.95 .320

95% Confidence Interval for Lower Bound 1.29


Mean Upper Bound 2.62

5% Trimmed Mean 1.84


Median 1.00

Variance 2.148

Std. Deviation 1.465


Minimum 1

Maximum 5

Range 4
Interquartile Range 2

Universitas Sumatera Utara


99
9898
118
104
102

Skewness 1.144 .501

Kurtosis -.246 .972

Jenis tuli Mean 1.57 .202


95% Confidence Interval for Lower Bound 1.15
Mean Upper Bound 1.99

5% Trimmed Mean 1.52

Median 1.00

Variance .857

Std. Deviation .926

Minimum 1

Maximum 3

Range 2

Interquartile Range 2

Skewness 1.023 .501

Kurtosis -1.064 .972

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Usia .178 21 .081 .895 21 .028


Usia .273 21 .000 .776 21 .000
Jenis kelamin .372 21 .000 .633 21 .000
Tipe OMSK .446 21 .000 .570 21 .000
Perforasi membran timpani .215 21 .012 .808 21 .001

Universitas Sumatera Utara


99
98
98
118
103105

Tipe timpanoplasti .409 21 .000 .674 21 .000


Jenis tuli .446 21 .000 .570 21 .000
a. Lilliefors Significance Correction

Usia

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 11-23 tahun 10 47.6 47.6 47.6

24-36 tahun 6 28.6 28.6 76.2

37-49 tahun 2 9.5 9.5 85.7

50-64 tahun 3 14.3 14.3 100.0

Total 21 100.0 100.0


Jenis kelamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Pria 9 42.9 42.9 42.9

Wanita 12 57.1 57.1 100.0

Total 21 100.0 100.0

Tipe OMSK

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tipe Jinak 15 71.4 71.4 71.4

Tipe Ganas 6 28.6 28.6 100.0

Total 21 100.0 100.0

Jenis tuli

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tuli konduktif 15 71.4 71.4 71.4

Tuli Campur 6 28.6 28.6 100.0

Total 21 100.0 100.0

Universitas Sumatera Utara


99
98
98
118
104
106

Perforasi membran timpani

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Sentral 6 28.6 28.6 28.6

Subtotal 8 38.1 38.1 66.7

Total 7 33.3 33.3 100.0

Total 21 100.0 100.0

Tipe timpanoplasti

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tipe I 14 66.7 66.7 66.7

Tipe III 3 14.3 14.3 81.0

Tipe IV 2 9.5 9.5 90.5

Tipe V 2 9.5 9.5 100.0

Total 21 100.0 100.0

Peningkatan ambang dengar

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 0-5 dB 12 57.1 57.1 57.1

>5-10 dB 4 19.0 19.0 76.2

>10-15 dB 3 14.3 14.3 90.5

>15dB 2 9.5 9.5 100.0

Total 21 100.0 100.0

Descriptives

Statistic Std. Error

AC pre op frekuensi 500Hz Mean 48.33 4.230

95% Confidence Interval Lower Bound 39.51


for Mean
Upper Bound 57.16

Universitas Sumatera Utara


99
98
98
118
105 107

5% Trimmed Mean 47.10

Median 45.00

Variance 375.833

Std. Deviation 19.386

Minimum 20

Maximum 100

Range 80

Interquartile Range 28

Skewness .876 .501

Kurtosis 1.068 .972

AC post op frekuensi 500Hz Mean 42.14 4.091

95% Confidence Interval Lower Bound 33.61


for Mean Upper Bound 50.68

5% Trimmed Mean 40.26

Median 35.00

Variance 351.429

Std. Deviation 18.746

Minimum 20

Maximum 100

Range 80

Interquartile Range 25

Skewness 1.447 .501

Kurtosis 3.291 .972

AC pre op frekuensi 1kHz Mean 46.19 4.280


95% Confidence Interval Lower Bound 37.26
for Mean Upper Bound 55.12

5% Trimmed Mean 45.48


Median 40.00

Universitas Sumatera Utara


99
98
98
118
106 108

Variance 384.762

Std. Deviation 19.615

Minimum 15

Maximum 90

Range 75

Interquartile Range 20

Skewness .896 .501

Kurtosis .345 .972

AC post op frekuensi 1kHz Mean 39.05 4.091

95% Confidence Interval Lower Bound 30.51


for Mean Upper Bound 47.58

5% Trimmed Mean 37.86

Median 35.00

Variance 351.548

Std. Deviation 18.750

Minimum 15

Maximum 85

Range 70

Interquartile Range 28

Skewness 1.045 .501

Kurtosis .433 .972

AC pre op frekuensi 2kHz Mean 46.43 4.631

95% Confidence Interval Lower Bound 36.77


for Mean Upper Bound 56.09

5% Trimmed Mean 45.24


Median 40.00

Variance 450.357

Std. Deviation 21.222


Minimum 20

Maximum 95

Universitas Sumatera Utara


99
98
98
118
107 109

Range 75

Interquartile Range 38

Skewness .817 .501

Kurtosis -.400 .972

AC post op frekuensi 2kHz Mean 39.05 4.559

95% Confidence Interval Lower Bound 29.54


for Mean Upper Bound 48.56

5% Trimmed Mean 37.06

Median 30.00

Variance 436.548

Std. Deviation 20.894

Minimum 20

Maximum 95

Range 75

Interquartile Range 28

Skewness 1.307 .501

Kurtosis 1.056 .972

AC pre op frekuensi 4kHz Mean 53.57 4.978

95% Confidence Interval Lower Bound 43.19


for Mean Upper Bound 63.96

5% Trimmed Mean 52.30

Median 45.00

Variance 520.357
Std. Deviation 22.811

Minimum 25

Maximum 105
Range 80

Interquartile Range 23

Skewness 1.252 .501


Kurtosis .579 .972

Universitas Sumatera Utara


99
98
98
118
108
110

AC post op frekuensi 4kHz Mean 46.67 5.202

95% Confidence Interval Lower Bound 35.81


for Mean Upper Bound 57.52

5% Trimmed Mean 45.20

Median 35.00

Variance 568.333

Std. Deviation 23.840

Minimum 15

Maximum 105

Range 90

Interquartile Range 30

Skewness 1.197 .501

Kurtosis .594 .972

BC pre op frekuensi 500Hz Mean 11.90 3.527

95% Confidence Interval Lower Bound 4.55


for Mean Upper Bound 19.26

5% Trimmed Mean 10.45

Median 10.00

Variance 261.190

Std. Deviation 16.161

Minimum -10

Maximum 60

Range 70
Interquartile Range 13

Skewness 1.947 .501

Kurtosis 4.202 .972


BC post op frekuensi 500Hz Mean 11.43 3.401

95% Confidence Interval Lower Bound 4.33


for Mean Upper Bound 18.52
5% Trimmed Mean 9.93

Universitas Sumatera Utara


99
98
98
118
109 111

Median 10.00

Variance 242.857

Std. Deviation 15.584

Minimum -10

Maximum 60

Range 70

Interquartile Range 13

Skewness 1.995 .501

Kurtosis 4.662 .972

BC pre op frekuensi 1kHz Mean 13.10 3.724

95% Confidence Interval Lower Bound 5.33


for Mean Upper Bound 20.86

5% Trimmed Mean 11.83

Median 10.00

Variance 291.190

Std. Deviation 17.064

Minimum -10

Maximum 60

Range 70

Interquartile Range 28

Skewness 1.161 .501

Kurtosis 1.299 .972

BC post op frekuensi 1kHz Mean 11.67 3.456


95% Confidence Interval Lower Bound 4.46
for Mean Upper Bound 18.88

5% Trimmed Mean 10.24


Median 10.00

Variance 250.833

Std. Deviation 15.838


Minimum -10

Universitas Sumatera Utara


99
98
98
118
110 112

Maximum 60

Range 70

Interquartile Range 20

Skewness 1.519 .501

Kurtosis 3.196 .972

BC pre op frekuensi 2kHz Mean 22.86 3.677

95% Confidence Interval Lower Bound 15.19


for Mean Upper Bound 30.53

5% Trimmed Mean 22.06

Median 20.00

Variance 283.929

Std. Deviation 16.850

Minimum -5

Maximum 65

Range 70

Interquartile Range 15

Skewness 1.121 .501

Kurtosis 1.175 .972

BC post op frekuensi 2kHz Mean 19.76 3.771

95% Confidence Interval Lower Bound 11.89


for Mean Upper Bound 27.63

5% Trimmed Mean 18.64

Median 15.00

Variance 298.690

Std. Deviation 17.283

Minimum -5

Maximum 65
Range 70

Interquartile Range 15

Skewness 1.305 .501

Universitas Sumatera Utara


99
98
98
118
111113

Kurtosis 1.398 .972

BC pre op frekuensi 4kHz Mean 23.33 4.410

95% Confidence Interval Lower Bound 14.14


for Mean Upper Bound 32.53

5% Trimmed Mean 22.02

Median 20.00

Variance 408.333

Std. Deviation 20.207

Minimum 0

Maximum 70

Range 70

Interquartile Range 23

Skewness 1.273 .501

Kurtosis .970 .972

BC post op frekuensi 4kHz Mean 20.24 4.558

95% Confidence Interval Lower Bound 10.73


for Mean Upper Bound 29.74

5% Trimmed Mean 18.86

Median 15.00

Variance 436.190

Std. Deviation 20.885

Minimum -5

Maximum 70
Range 75

Interquartile Range 20

Skewness 1.392 .501


Kurtosis 1.464 .972

Universitas Sumatera Utara


99
98114
98
118
112

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic Df Sig.

AC pre op frekuensi 500Hz .143 21 .200* .941 21 .229


AC post op frekuensi 500Hz .172 21 .105 .872 21 .010
AC pre op frekuensi 1kHz .195 21 .036 .914 21 .067
AC post op frekuensi 1kHz .194 21 .038 .898 21 .032
AC pre op frekuensi 2kHz .194 21 .039 .892 21 .025
AC post op frekuensi 2kHz .243 21 .002 .829 21 .002
AC pre op frekuensi 4kHz .265 21 .000 .830 21 .002
AC post op frekuensi 4kHz .259 21 .001 .850 21 .004
BC pre op frekuensi 500Hz .234 21 .004 .779 21 .000
BC post op frekuensi 500Hz .251 21 .001 .783 21 .000
BC pre op frekuensi 1kHz .191 21 .044 .894 21 .027
BC post op frekuensi 1kHz .179 21 .079 .876 21 .012
BC pre op frekuensi 2kHz .234 21 .004 .884 21 .017
BC post op frekuensi 2kHz .209 21 .017 .866 21 .008
BC pre op frekuensi 4kHz .229 21 .005 .852 21 .005
BC post op frekuensi 4kHz .219 21 .010 .837 21 .003
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks

AC post op frekuensi 500Hz - Negative Ranks 13a 7.77 101.00


AC pre op frekuensi 500Hz
Positive Ranks 1b 4.00 4.00

Ties 7c

Total 21

AC post op frekuensi 1kHz - AC Negative Ranks 14d 8.32 116.50


pre op frekuensi 1kHz Positive Ranks 1e 3.50 3.50

Universitas Sumatera Utara


99
98
115
98
118
113

Ties 6f

Total 21

AC post op frekuensi 2kHz - AC Negative Ranks 14g 8.32 116.50


pre op frekuensi 2kHz Positive Ranks 1h 3.50 3.50

Ties 6i

Total 21

AC post op frekuensi 4kHz - AC Negative Ranks 15j 8.80 132.00


pre op frekuensi 4kHz Positive Ranks 1k 4.00 4.00

Ties 5l

Total 21
a. AC post op frekuensi 500Hz < AC pre op frekuensi 500Hz
b. AC post op frekuensi 500Hz > AC pre op frekuensi 500Hz
c. AC post op frekuensi 500Hz = AC pre op frekuensi 500Hz
d. AC post op frekuensi 1kHz < AC pre op frekuensi 1kHz
e. AC post op frekuensi 1kHz > AC pre op frekuensi 1kHz
f. AC post op frekuensi 1kHz = AC pre op frekuensi 1kHz
g. AC post op frekuensi 2kHz < AC pre op frekuensi 2kHz
h. AC post op frekuensi 2kHz > AC pre op frekuensi 2kHz
i. AC post op frekuensi 2kHz = AC pre op frekuensi 2kHz
j. AC post op frekuensi 4kHz < AC pre op frekuensi 4kHz
k. AC post op frekuensi 4kHz > AC pre op frekuensi 4kHz
l. AC post op frekuensi 4kHz = AC pre op frekuensi 4kHz

Test Statisticsb

AC post op AC post op AC post op AC post op


frekuensi 500Hz - frekuensi 1kHz - frekuensi 2kHz - frekuensi 4kHz -
AC pre op AC pre op AC pre op AC pre op
frekuensi 500Hz frekuensi 1kHz frekuensi 2kHz frekuensi 4kHz

Z -3.092a -3.242a -3.240a -3.352a


Asymp. Sig. (2-tailed) .002 .001 .001 .001
a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Universitas Sumatera Utara


99
98
98
118
114
116

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

BC pre op frekuensi 500Hz 21 11.90 16.161 -10 60


BC pre op frekuensi 1kHz 21 13.10 17.064 -10 60
BC pre op frekuensi 2kHz 21 22.86 16.850 -5 65
BC pre op frekuensi 4kHz 21 23.33 20.207 0 70
BC post op frekuensi 500Hz 21 11.43 15.584 -10 60
BC post op frekuensi 1kHz 21 11.67 15.838 -10 60
BC post op frekuensi 2kHz 21 19.76 17.283 -5 65
BC post op frekuensi 4kHz 21 20.24 20.885 -5 70

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks

BC post op frekuensi 500Hz - Negative Ranks 3a 2.50 7.50


BC pre op frekuensi 500Hz
Positive Ranks 1b 2.50 2.50

Ties 17c

Total 21

BC post op frekuensi 1kHz - BC Negative Ranks 3d 2.00 6.00


pre op frekuensi 1kHz Positive Ranks 0e .00 .00

Ties 18f

Total 21

BC post op frekuensi 2kHz - BC Negative Ranks 10g 5.50 55.00


pre op frekuensi 2kHz Positive Ranks 0h .00 .00
Ties 11i

Total 21

BC post op frekuensi 4kHz - BC Negative Ranks 5j 3.00 15.00


pre op frekuensi 4kHz Positive Ranks 0k .00 .00

Ties 16l

Total 21

Universitas Sumatera Utara


99
98
98112
118
115

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks

BC post op frekuensi 500Hz - Negative Ranks 3a 2.50 7.50


BC pre op frekuensi 500Hz
Positive Ranks 1b 2.50 2.50

Ties 17c

Total 21

BC post op frekuensi 1kHz - BC Negative Ranks 3d 2.00 6.00


pre op frekuensi 1kHz Positive Ranks 0e .00 .00

Ties 18f

Total 21

BC post op frekuensi 2kHz - BC Negative Ranks 10g 5.50 55.00


pre op frekuensi 2kHz Positive Ranks 0h .00 .00

Ties 11i

Total 21

BC post op frekuensi 4kHz - BC Negative Ranks 5j 3.00 15.00


pre op frekuensi 4kHz Positive Ranks 0k .00 .00

Ties 16l

Total 21
a. BC post op frekuensi 500Hz < BC pre op frekuensi 500Hz
b. BC post op frekuensi 500Hz > BC pre op frekuensi 500Hz
c. BC post op frekuensi 500Hz = BC pre op frekuensi 500Hz
d. BC post op frekuensi 1kHz < BC pre op frekuensi 1kHz
e. BC post op frekuensi 1kHz > BC pre op frekuensi 1kHz
f. BC post op frekuensi 1kHz = BC pre op frekuensi 1kHz
g. BC post op frekuensi 2kHz < BC pre op frekuensi 2kHz
h. BC post op frekuensi 2kHz > BC pre op frekuensi 2kHz
i. BC post op frekuensi 2kHz = BC pre op frekuensi 2kHz
j. BC post op frekuensi 4kHz < BC pre op frekuensi 4kHz
k. BC post op frekuensi 4kHz > BC pre op frekuensi 4kHz
l. BC post op frekuensi 4kHz = BC pre op frekuensi 4kHz

Universitas Sumatera Utara


99
98
98 117
118
116

Test Statisticsb

BC post op BC post op BC post op BC post op


frekuensi 500Hz - frekuensi 1kHz - frekuensi 2kHz - frekuensi 4kHz -
BC pre op BC pre op BC pre op BC pre op
frekuensi 500Hz frekuensi 1kHz frekuensi 2kHz frekuensi 4kHz

Z -1.000a -1.633a -2.970a -2.041a


Asymp. Sig. (2-tailed) .317 .102 .003 .041
a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Descriptives

Statistic Std. Error

Ambang dengar pre Mean 48.6310 4.10874


timpanoplasti 95% Confidence Interval Lower Bound 40.0603
for Mean Upper Bound 57.2016

5% Trimmed Mean 47.0668

Median 40.0000

Variance 354.516

Std. Deviation 18.82861

Minimum 30.00

Maximum 96.25

Range 66.25

Interquartile Range 26.88

Skewness 1.186 .501

Kurtosis .485 .972

Ambang dengar pasca Mean 41.7262 4.12011


timpanoplasti 95% Confidence Interval Lower Bound 33.1318
for Mean Upper Bound 50.3206

5% Trimmed Mean 39.9636

Median 33.7500

Universitas Sumatera Utara


118
99
98
98
118
117

Variance 356.481

Std. Deviation 18.88070

Minimum 20.00

Maximum 96.25

Range 76.25

Interquartile Range 30.63

Skewness 1.431 .501

Kurtosis 1.991 .972

Peningkatan ambang Mean -6.9048 1.51535


dengar setelah 95% Confidence Interval Lower Bound -10.0657
timpanoplasti for Mean Upper Bound -3.7438

5% Trimmed Mean -6.8287

Median -5.0000

Variance 48.222

Std. Deviation 6.94419

Minimum -20.00

Maximum 5.00

Range 25.00

Interquartile Range 11.25

Skewness -.427 .501

Kurtosis -.722 .972

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic Df Sig.

Ambang dengar pre .224 21 .007 .843 21 .003


timpanoplasti

Universitas Sumatera Utara


119
99
98
98
118
118

Ambang dengar pasca .235 21 .004 .844 21 .003


timpanoplasti
Peningkatan ambang dengar .179 21 .076 .942 21 .236
setelah timpanoplasti
a. Lilliefors Significance Correction

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

Ambang dengar pre 21 48.6310 18.82861 30.00 96.25


timpanoplasti
Ambang dengar pasca 21 41.7262 18.88070 20.00 96.25
timpanoplasti

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks

Ambang dengar pasca Negative Ranks 16a 9.19 147.00


timpanoplasti - Ambang
Positive Ranks 1b 6.00 6.00
dengar pre timpanoplasti
Ties 4c

Total 21
a. Ambang dengar pasca timpanoplasti < Ambang dengar pre timpanoplasti
b. Ambang dengar pasca timpanoplasti > Ambang dengar pre timpanoplasti
c. Ambang dengar pasca timpanoplasti = Ambang dengar pre timpanoplasti

Test Statisticsb

Ambang dengar pasca timpanoplasti -


Ambang dengar pre timpanoplasti

Z -3.351a
Asymp. Sig. (2-tailed) .001
a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai