Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Tesis
Oleh
RINA HAYATI
NIM 117109012
Tesis
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk
Mencapai Gelar Spesialis dalam Bidang Ilmu Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher
Oleh
RINA HAYATI
NIM 117109012
Anggota
Diketahui oleh
Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.T.H.T.K.L. dr. Adlin Adnan, Sp.T.H.T.K.L. (K)
NIP: 197906202002122003 NIP: 196007171987101001
Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S. (K) Dr.dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked (Oph), Sp.M(K)
NIP: 196605241992031002 NIP: 197604172005012001
Rina Hayati
Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan ambang dengar pre dan pasca operasi
timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronis.
Objective: The objective of the research was to find out the disparity in hearing
threshold in pre and post tympanoplasty surgery in patients with chronic
suppurative otitis media.
Material and Method: Prospective observation was performed for patients who
underwent tympanoplasty (n=21). Hearing threshold was evaluated by using pure
tone eudiometry in the pre and 12 weeks of post tympanoplasty surgery (AC, BC,
and the change in hearing threshold) in the frequency of 500Hz, IKHz, 2kHz, and
4kHz.
Conclusion: In the post tympanoplasty surgery, it was found that there was the
improvement in AC in all frequencies with the mean value of improvement of
hearing threshold of 0-5 dB. Nevertheless, further evaluation on the improvement
of hearing threshold in the post tympanoplasty surgery in each type of
tympanoplasty would be needed.
Hal
BAB IV HASIL......................................................................................................... 55
4.7 Perbedaan Hantaran Udara (AC) Pre dan Pasca Timpanoplasti pada
4.8 Perbedaan Hantaran Tulang (BC) Pre dan Pasca Timpanoplasti pada
4.9 Perbedaan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti pada pasien
OMSK........................................................................................................ 62
4.10 Perubahan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti pada pasien
OMSK........................................................................................................ 63
LAMPIRAN .............................................................................................................. 93
AC : Air Conduction
AD : Ambang Dengar
BC : Bone Conduction
dB : Desibel
Hz : Hertz
Maks. : Maksimal
Min. : Minimal
MT : Membran Timpani
SD : Standar Deviasi
Hal
Hal
Tabel 4.7 Perbedaan Hantaran Udara (AC) Pre dan Pasca Timpanoplasti pada
Tabel 4.8 Perbedaan Hantaran Tulang (BC) Pre dan Pasca Timpanoplasti pada
Tabel 4.9 Perbedaan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti pada pasien
OMSK ........................................................................................................ 62
Tabel 4.10Perubahan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti pada pasien
OMSK ........................................................................................................ 63
Hal
Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan ambang dengar pre dan pasca operasi
timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronis.
Objective: The objective of the research was to find out the disparity in hearing
threshold in pre and post tympanoplasty surgery in patients with chronic
suppurative otitis media.
Material and Method: Prospective observation was performed for patients who
underwent tympanoplasty (n=21). Hearing threshold was evaluated by using pure
tone eudiometry in the pre and 12 weeks of post tympanoplasty surgery (AC, BC,
and the change in hearing threshold) in the frequency of 500Hz, IKHz, 2kHz, and
4kHz.
Conclusion: In the post tympanoplasty surgery, it was found that there was the
improvement in AC in all frequencies with the mean value of improvement of
hearing threshold of 0-5 dB. Nevertheless, further evaluation on the improvement
of hearing threshold in the post tympanoplasty surgery in each type of
tympanoplasty would be needed.
PENDAHULUAN
Otitis media supuratif kronis atau yang biasa disebut ‘congek’ bervariasi
pada setiap negara. Angka kejadian otitis media supuratif kronis yang rendah, di
negara maju ditemukan pada pemeriksaan berkala, pada anak sekolah yang
dilakukan oleh School Health Service di Inggris Raya sebesar 0.9%, tetapi
prevalensi otitis media supuratif kronis yang tinggi juga masih ditemukan pada
ras tertentu di negara maju, seperti Native American Apache 8.2%, Indian 6%, dan
Aborigin 25% (Djaafar, 2008). Survei prevalensi diseluruh dunia, yang bervariasi
menunjukkan beban dunia akibat otitis media supuratif kronis melibatkan 65–330
juta orang dengan telinga berair, 60% di antaranya (39–200 juta) menderita
supuratif kronis pada beberapa negara antara lain dipengaruhi oleh kondisi sosial
ekonomi, suku, tempat tinggal yang padat, hygienie dan nutrisi yang buruk
(WHO, 2004).
65-330 juta orang diseluruh dunia, dimana 60% diantaranya mengalami gangguan
pendengaran. Lebih dari 90% kasus ditemukan diwilayah Asia Tenggara, Pasifik
Barat, Pinggiran Pasifik, dan Afrika. Penyakit ini jarang dijumpai di Amerika,
Indonesia yang masih sering menimbulkan ketulian dan kematian (Djaafar, 2008).
Sesuai kriteria WHO Indonesia termasuk negara dengan prevalensi tinggi untuk
penyakit otitis media supuratif kronis (WHO, 2004). Secara umum prevalensi
otitis media supuratif kronis di Indonesia adalah 3,8% dan pasien otitis media
supuratif kronis merupakan 25% pasien yang berobat di poliklinik THT rumah
sakit di Indonesia. Data poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006
menunjukkan pasien otitis media supuratif kronis merupakan 26% dari seluruh
29% (Aboet, 2007). Dari penelitian yang dilakukan Santoso (2016) didapatkan
prevalensi otitis media supuratif kronis di provinsi Sumatera Utara tahun 2015
sebesar 3.5%, yang meliputi tipe aman sebesar 2.8% dan tipe bahaya sebesar
0.7%. Pada penelitian ini didapatkan kelompok usia terbanyak yang menderita
otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah kelompok usia 10 - <20 tahun
sebesar 26.23%. untuk jenis kelamin laki-laki didapati lebih banyak menderita
telinga tengah dan mastoid ditandai dengan adanya defek pada membran timpani
(perforasi membran timpani) dan adanya otorea yang persisten lebih dari 3 bulan
(Kenna & Latz, 2006; Chole & Nason, 2009). Riwayat keluarnya cairan dari
telinga (otorea) lebih dari tiga bulan baik terus menerus ataupun hilang timbul
(Telian & Schmalbach, 2002). Cairan biasanya mukoid, encer, atau berupa nanah
berasal dari nasofaring yang terdapat paling banyak pada masa anak-anak (Kenna
& Latz, 2006). Status sosio-ekonomi yang rendah disertai akses terbatas
Salah satu sekuele otitis media supuratif kronis yang sering menimbulkan
penderita, makin sering infeksi berulang makin bertambah luas kerusakan jaringan
telinga tengah dan makin bertambah berat kerusakan pendengaran yang terjadi
(Soewito, 1994).
Pasien otitis media supuratif kronis yang datang ke RSCM Jakarta pada
tahun 2001 kurang lebih 90% berasal dari masyarakat sosio-ekonomi lemah.
Namun demikian sebagian besar ( 80%) dari mereka secara tidak teratur sudah
pernah berobat ke dokter umum, dokter THT, atau diobati sendiri berulang-ulang
dengan obat tetes. Sebagian dari pasien ini datang karena ketulian yang sudah
2008).
Pada hakekatnya sumber daya manusia terdiri dari 3 unsur utama, yaitu
unsur informasi oleh panca indera, unsur pengambilan keputusan oleh sistem otak
(Ashley et al, 2009). Gangguan pendengaran yang terjadi dapat bervariasi. Pada
umumnya gangguan pendengaran yang terjadi berupa tuli konduktif, namun dapat
pula bersifat tuli saraf atau tuli campur apabila sudah terjadi gangguan pada
telinga dalam. Beratnya ketulian bergantung kepada besar dan letak perforasi
telinga tengah (Djaafar, 2008). Infeksi kronis telinga tengah menyebabkan edema,
Pada otitis media supuratif kronis tipe maligna biasanya didapat tuli
sangat hebat (Djaafar, 2008). Penelitian pada hewan menunjukan bahwa mediator
inflamasi, penetrasi kedalam telinga dalam hingga round window membrane dan
bahwa sel rambut dalam dan luar pada basal koklea menurun pada pasien otitis
fungsi koklea. Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara
Salah satu cara untuk mengatasi ketulian yang timbul akibat otitis media
proses patologik didalam kavum timpani yang diikuti oleh rekonstruksi konduksi
kenaikan ambang dengar lebih dari 15 db yang dapat diukur dengan audioetri
penderita otitis media supuratif kronis yang mendapatkan terapi akan kembali
untuk migrasi epitel skuamosa permukaan luar dan mukosa membran timpani.
Dalam waktu 6-8 minggu, fasia telah dilapisi oleh epitel dari kedua permukaan,
sedangkan lapisan fibrosa dari jaringan ikat yang kaya fibroblast dibagian tengah
membran timpani baru terbentuk pada minggu ke2-5 setelah penempelan perforasi
oleh fasia. Penyembuhan dimulai 2-4 hari setelah operasi, epitel skuamosa pada
pinggiran luka akan mulai berproliferasi dan bermigrasi melintasi pinggiran luka.
yang juga dimulai dari pinggir luka. Nutrisi yang diperlukan untuk regenerasi ini
didapat dari kapiler-kapiler disekeliling luka. Dalam waktu 2 minggu, tandur akan
Sengupta et al. (2010) melakukan penelitian terhadap pasien otitis media supuratif
35%.
Seperti yang dilaporkan Min-Beom et al. (2010), dimana rerata ambang dengar
kurang dari 20 db dijumpai pada canal wall down type (58.6%) dan canal wall up
type (68.4%).
yang ditandai dengan perbaikan nilai air bone gap pre dan pasca operasi
timpanomastoidektomi tipe III senilai 37.8 db menjadi 29.8 db. Hal ini
kekambuhan penyakit.
ambang dengar pre dan pasca operasi timpanoplasti pada penderita otitis media
supuratif kronis.
terdapat perubahan ambang dengar pada penderita otitis media supuratif kronis
setelah timpanoplasti.
supuratif kronis.
media supuratif kronis. Secara klinis data tersebut diharapkan dapat digunakan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
tengah disertai perforasi membran timpani yang telah berlangsung 2 bulan atau
lebih. Keluarnya cairan pada otitis media supuratif kronis dapat berlangsung terus
menerus atau hilang timbul, dapat berupa mukoid, encer, atau berupa nanah.
membran timpani spontan akibat infeksi akut telinga tengah, yang dikenal sebagai
2.1.2 Klasifikasi
Otitis media supuratif kronis dibagi atas otitis media supuratif kronis tipe
bahaya atau otitis media supuratif kronis dengan kolesteatoma dan otitis media
supuratif kronis tipe aman atau otitis media supuratif kronis tanpa kolesteatoma.
Otitis media supuratif kronis dengan kolesteatoma disebut juga sebagai otitis
media supuratif kronis tipe tulang, sedangkan otitis media supuratif kronis tanpa
kolesteatoma disebut juga tipe mukosa. Di Indonesia otitis media supuratif kronis
dengan kolesteatoma dikenal juga sebagai tipe bahaya, sedangkan otitis media
supuratif kronis tanpa kolesteatoma disebut dengan tipe benigna (Djaafar, 2008).
Berdasarkan aktivitas cairan yang keluar juga dikenal istilah otitis media
supuratif kronis aktif dan otitis media supuratif kronis tenang. Otitis media
yang keluar secara aktif, sedangkan otitis media supuratif kronis tenang adalah
otitis media supuratif kronis dengan kavum timpani kering ataupun basah tapi
cairan tidak keluar dengan aktif. Otitis media supuratif kronis aktif menandakan
bahwa adanya suatu proses yang aktif dan potensial untuk menjadi progresif.
Otitis media supuratif kronis tenang menandakan suatu keadaan yang stabil dan
2.1.3 Kekerapan
Lima puluh persen dari orang tua anak-anak dengan kolesteatoma tidak pernah
belum diketahui secara pasti. Insidensi tahunan dari kolesteatoma berkisar antara
sebanyak 3.1% (Depkes, 1998). Angka prevalensi ini tergolong tinggi. Jumlah ini
tidak jauh berbeda dengan angka prevalensi dari Angola, Nigeria, Mozambique,
bidang THT di Indonesia yang masih sering menimbulkan ketulian dan kematian
prevalensi tinggi untuk penyakit otitis media supuratif kronis (WHO, 2004).
Secara umum prevalensi otitis media supuratif kronis di Indonesia adalah 3.8%
dan pasien otitis media supuratif kronis merupakan 25% pasien yang berobat di
kronis sebesar 3.1%. Pada tahun 2002 prevalensi otitis media supuratif kronis di
Indonesia berkisar 2.1 – 5.2%. Edward & Mulyani (2011) menjumpai kejadian
otitis media supuratif kronis di RSUP M. Jamil Padang pada tahun 2009-2010
sejumlah 7.67%.
menunjukkan pasien otitis media supuratif kronis merupakan 26% dari seluruh
kunjungan pasien, sedangkan pada tahun 2007 dan 2008 diperkirakan sebesar 28
dan 29% (Aboet, 2007). Didapatkan 130 kasus otitis media supuratif kronis dan
komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2009 (Rambe, 2009).
Data serupa juga dijumpai Nungki & Zahara ditempat yang sama pada tahun
2011-2012 dengan otitis media supuratif kronis tipe aman sebanyak 16 subyek
a. Lingkungan
multifaktorial. Dalam sebuah studi kohort pada 12.000 anak-anak, dengan telinga
berair (meskipun tidak selalu otitis media supuratif kronis ) dipengaruhi oleh
otitis media kronis pada anak Maori di Selandia Baru sejak 1978-1987 disebabkan
karena perbaikan pada perawatan kesehatan dan kondisi perumahan (Kelly, 2008).
b. Sosial ekonomi
kronis dimana kelompok sosial ekonomi rendah memiliki insiden yang lebih
otitis media supuratif kronis dibandingkan orang normal. Hal ini tidak diketahui
secara pasti apakah gangguan fungsi tuba Eustachius merupakan faktor terjadinya
otitis media supuratif kronis atau apakah merupakan hasil dari otitis media
supuratif kronis (Browning et al, 2008). Berkurangnya fungsi silia telinga tengah
yang menyebabkan terjadinya otitis media supuratif kronis (Verhoeff et al. 2006).
Anak yang mengalami otitis media akut dan otitis media efusi dalam
infeksi saluran nafas atas, walaupun hal ini belum terbukti secara ilmiah. Infeksi
saluran nafas atas menyebabkan terganggunya fungsi dan mukosa tuba Eustachius
f. Infeksi
Bakteri yang dominan dan sensitifitas antibiotika yang berubah dari waktu
ke waktu, sehingga diperlukan penelitian yang terus menerus agar diperoleh hasil
resistensi kuman saat ini adalah penting untuk menentukan antibiotika yang tepat
untuk pasien dengan otitis media supuratif kronis (Yeo et al. 2007).
g. Genetik
Selandia Baru dan Aborigin Australia. Dalam salah satu penelitian terhadap anak-
anak di Selandia Baru, prevalensi otitis media supuratif kronis menurun secara
signifikan dari 9% pada tahun 1978 menjadi 3% pada tahun 1987 (p <0.02). Sulit
mengalami otitis media supuratif kronis. Pada suku asli Amerika didapati insiden
otitis media supuratif kronis yang tinggi dengan angka kejadian bervariasi di
Faktor genetik untuk otitis media supuratif kronis sampai saat ini masih
h. Alergi
Penderita alergi memiliki risiko tinggi gangguan pada tuba Eustachius dan
tengah (Chole & Nason, 2009). Susilo (2010) di Medan memeriksa 54 penderita
besar dibandingkan dengan reaksi alergi pada penderita tanpa otitis media
supuratif kronis, yaitu sebesar 74.1% pada kelompok penderita otitis media
supuratif kronis dan 40.7% pada kelompok tanpa otitis media supuratif kronis.
2.1.5 Patogenesis
telinga tengah yang berlanjut atau berulang: (1) bakteri dapat mengkontaminasi
telinga tengah secara langsung dari telinga luar karena efek proteksi barier fisikal
membran timpani telah hilang. (2) membran timpani yang utuh secara normal
Eustachius memegang peranan penting pada otitis media akut dan otitis media
selama proses menelan dan pada kondisi fisiologik tertentu, mengalirkan sekret
membran timpani, terjadi replikasi bakteri di dalam efusi serosa. Hal ini diikuti
memberi jalan pada fase kronis, ditandai dengan mononuklear selular mediator
kadang membentuk adhesi terhadap struktur penting di telinga tengah. Hal ini
akan mengganggu aerasi antrum dan mastoid dengan mengurangi ruang antara
osikel dan mukosa yang memisahkan telinga tengah dari antrum. Obstruksi kronis
menyebabkan perubahan ireversibel di dalam tulang dan mukosa (Chole & Nason,
2009).
2.1.6 Diagnosis
lampu kepala yang baik, corong telinga, alat pembersih cairan telinga, alat
dengan alat pembersih cairan atau alat penghisap cairan, selanjutnya digunakan
otoskop, mikroskop atau endoskop untuk melihat lebih jelas lokasi perforasi,
a. Anamnesis
diperhatikan sifat cairan yang keluar mengenai kekentalan, warna cairan, dan
dan telinga berdengung (Djaafar, 2008). Pada otitis media supuratif kronis
riwayat sakit kepala hebat, demam tinggi, muntah, kejang, dan penurunan
b. Pemeriksaan fisik
perforasi membran timpani dengan riwayat otorea menetap atau berulang lebih
dari 2 bulan. Otitis media supuratif kronis tipe aman ditandai dengan perforasi
sentral, sedangkan otitis media supuratif kronis tipe bahaya biasanya disertai
dengan perforasi atik, marginal atau total. Mukosa disekitar perforasi diganti oleh
epitel gepeng berlapis. Debris kolesteatoma dapat ditemukan pada tepi perforasi,
terutama di daerah atik. Seperti halnya otitis media supuratif kronis tanpa
dan tanpa disertai infeksi aktif atau tenang. Gambaran patologis yang dapat
c. Pemeriksaan penunjang
komputer temporal (jika perlu dan memungkinkan), serta kultur dan uji resistensi
mastoid dan perluasan penyakit. Posisi foto polos yang masih dipakai dewasa ini
untuk menilai keadaan tulang temporal adalah posisi Schuller dan Stenvers. Posisi
lempeng tegmen dan lempeng sinus, daerah epitimpanum serta kaput mandibula
kronis tipe bahaya untuk mendapatkan informasi tentang ada tidaknya erosi dan
destruksi dinding lateral atik (skutum), displasi dan erosi osikel, fistula labirin,
erosi kanalis fasialis, destruksi sel mastoid, erosi lempeng tegmen, sinus, dan
2.1.5 Tatalaksana
di telinga tengah dan rongga mastoid akan mengurangi morbiditas dan mortalitas
Terapi otitis media supuratif kronis tidak jarang memerlukan waktu lama,
serta harus berulang-ulang. Cairan yang keluar tidak cepat kering atau selalu
kambuh lagi. Keadaan ini antara lain disebabkan oleh satu atau beberapa keadaan,
yaitu (1) adanya perforasi membran timpani yang permanen, sehingga telinga
tengah berhubungan dengan dunia luar, (2) terdapat sumber infeksi di faring,
nasofaring, hidung dan sinus paranasal, (3) sudah terbentuk jaringan patologik
yang irreversibel dalam rongga mastoid, dan (4) gizi dan higiene yang kurang
(Djaafar, 2008).
Prinsip terapi otitis media supuratif kronis tipe aman ialah konservatif
atau dengan medikamentosa. Bila cairan yang keluar terus menerus, maka
diberikan obat pencuci telinga berupa larutan H2O2 3%, dilanjutkan dengan
Obat tetes telinga tidak dianjurkan diberikan secara terus menerus lebih dari 1
atau 2 minggu pada otitis media supuratif kronis yang sudah tenang. Pemberian
Bila cairan telah kering, tetapi perforasi masih ada setelah observasi
2008).
tipe bahaya, maka terapi yang tepat adalah melakukan mastoidektomi dengan atau
dengan tegmen timpani, di sebelah inferior oleh bulbus vena jugularis dan saraf
kavum timpani dibagi atas epitimpanum merupakan bagian kavum timpani yang
kavum timpani yang terletak lebih rendah dari batas bawah membran timpani. Di
dalam kavum timpani terdapat tiga buah tulang pendengaran (osikel), dari luar ke
dalam maleus, inkus, dan stapes. Selain itu juga terdapat korda timpani, muskulus
menguatkan atau melemahkan) energi suara dari media udara di liang telinga luar
transmisi suara di telinga tengah terjadi melalui kopling osikular dan akustik,
serta input impedansi stapes koklea. Selain itu aerasi telinga tengah juga
2008).
memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Tinggi 9-10 mm, lebar 8-9
mm dan ketebalannya rata-rata 0,1 mm. Letak membran timpani tidak tegak lurus
terhadap liang telinga akan tetapi miring yang arahnya dari belakang luar kemuka
dalam dan membuat sudut 45o dari dataran sagital dan horizontal. Dari umbo
3). Stratum fibrosum (lamina propria) yang letaknya antara stratum kutaneum dan
timpani dibagi dalam 2 bagian, yaitu pars tensa dan pars flaksida atau membran
Shrapnell yang letaknya dibagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa. Antara
pars tensa dan pars flaksida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu : plika maleolaris
anterior/ lipatan muka) dan plika maleolaris posterior/ lipatan belakang (Dhingra,
2009).
menyuplai liang telinga dan telinga tengah. Dua sumber ini beranastomosis di
lamina propria. Aliran darah ke lapisan epidermal berasal dari cabang aurikula a.
maksilaris yang berasal dari liang telinga sedang lapisan mukosal mendapat aliran
e. Kavum timpani
Kavum timpani terletak didalam pars petrosa dari tulang temporal. Kavum
timpani diumpamakan sebuah kotak dengan 6 sisi yaitu : bagian atap, lantai,
tegmen timpani. Daerah ini memanjang ke belakang membentuk atap aditus dan
antrum. Bagian atap ini memisahkan kavum timpani dari fossa kranii media.
Lantai kavum timpani, juga merupakan lempeng tulang tipis yang memisahkan
sempurna dan bulbus jugularis bisa menonjol ke telinga tengah dan hanya
dipisahkan oleh mukosa. Dinding anterior merupakan lempeng tulang yang tipis
yang memisahkan kavum timpani dengan arteri karotis. Juga terdapat tuba
eustachius dibagian bawah dan kanalis muskulus tensor timpani dibaguan atas.
tulang yang disebut pyramid. Dinding posterior dekat keatap, mempunyai satu
adalah fosa kranii posterior dan sinus sigmoid. Dinding medial, berbatasan
Foramen ovale terfiksasi pada kaki stapes. Diatas foramen ovale terdapat kanalis
dan saraf fasialis lebih terekspos yang membuat lebih mudah terserang infeksi.
Dinding lateral, berbatasan dengan membran timpani dan liang telinga luar
stapes), dua otot yaitu muskulus tensor timpani dan muskulus stapedius juga saraf
korda timpani, saraf pleksus timpanikus (gambar 2.3). Saraf korda timpani
Antrum mastoid merupakan rongga berisi udara di bagian atas mastoid dan
memiliki hubungan dengan attik melalui aditus ad antrum. Dasar dari antrum
dibentuk oleh tegmen antrum yang merupakan kelanjutan dari tegmen timpani.
Dinding lateral antrum dibentuk oleh lempengan tulang yang pada orang dewasa
memiliki ketebalan 1,5 cm. Kearah superfisial, antrum ini ditandai oleh segitiga
macewen. Mastoid terdiri dari korteks tulang yang memiliki sel-sel udara seperti
sel-sel udara)
g. Tuba Eustachius
bagian)
2) Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3
bagian).
h. Tulang temporal
squamous dan tulang petrosa. Lapisan jaringan lunak di daerah temporo parietal
meliputi : kutis, subkutis, fasia temporo parietal, jaringan areolar longgar, fasia
telinga, dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
bunyi yang datang dari luar untuk kemudian diarahkan ke liang telinga dan
bunyi, juga memproses energi bunyi tersebut sebelum memasuki koklea. Dalam
basilaris dan membran tektoria (Liston & Duvel, 1997). Proses ini merupakan
rambut, sehingga terjadi pelepasan ion – ion bermuatan listrik. Keadaan ini
pendengaran (Soetirto et al, 2006). Cabang koklearis dari n.viii (n. koklearis)
dibentuk oleh neuron bipolar dari ganglion spiral koklea. Kemudian saraf ini
bagian terbawah dari pons, pada titik inilah sistem pendengaran sentral dimulai.
nukleus koklearis ventral dan dorsal. Serabut yang berasal dari nukleus koklearis
yang terletak pada otak bagian tengah. Kemudian serabut saraf bersinaps ke
pada area 41 brodmann, yang terletak pada girus temporalis superior (Liston &
Duval,1997).
2.3 Timpanoplasti
pendengaran pada telinga tengah yang telah mengalami kerusakan akibat penyakit
terhadap penyakit tuli konduktif dan merupakan kulminasi lebih dari 100 tahun
sebagai sebuah prosedur yang dilakukan untuk eradikasi penyakit pada telinga
tengah dan rekonstruksi mekanisme pendengaran dengan atau tanpa graft pada
a. Kanaloplasti
bagian tulang dari liang telinga dengan tujuan agar anulus timpani
b. Meatoplasti
c. Miringoplasti
pada usaha untuk memperbaiki perforasi yang terjadi pada membran timpani
d. Osikulopasti
suara bagi round window dengan cara mengkonstruksi telinga tengah sehingga
a) Tipe I
ataupun dengan jaringan adiposa lobulus telinga tanpa merubah sistem tulang-
dan mobile.
b) Tipe II
normal dari maleus dan inkus. Kondisi yang paling sering dijumpai dimana tipe II
perlu dilakukan yaitu pada resorpsi osteitik prosesus lentikuler inkus atau kepala
stapes yang diatasi dengan pemasangan graft tulang, protesa sintetik atau semen
otologik.
c) Tipe III
dengan 3 cara rekonstruksi kolumela, yaitu: (1) kolumela minor sesuai untuk
merekonstruksi telinga dengan dinding posterior liang telinga yang intak dan
struktur stapes yang masih mobile, (2) kolumela mayor diletakkan diantara
footplate stapes dan membran timpani atau manubrium dimana dilakukan apabila
krura dari stapes sudah tidak dijumpai lagi dan footplate masih intak dan mobile,
d) Tipe IV
dijumpai lagi. Prinsip tipe IV ini adalah agar footplate dari stapes terpapar
langsung dengan suara yang datang dari luar dan memisahkan oval window
e) Tipe V
dan dilakukan sebagai prosedur tahap kedua setelah eradikasi penyakit telinga
oval window ditutup dengan tandur jaringan adiposa. Kavum mastoid dan
otot dan disokong dengan tempelan tulang. Tipe Vb ini dapat dilakukan
seperti tes bisik dan tes garpu tala yang tergolong non elektronik sampai yang
elektronik seperti audiometri dan timpanometri (Soetirto et al., 2010). Garpu tala
yang diapakai berfrekuensi 128 Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, 2048 Hz dan 4096
a. Tes weber
Menggunakan garpu tala 256 atau 512. Ditekankan pada dahi atau gigi
telinga kiri dan kanan. Bila sama kuat, tergolong pendengaran normal. Bila
terdengar hanya pada 1 telinga maka disebut lateralisasi. Dikatakan tuli konduktif
jika lateralisasi kearah telinga yang sakit. Dikatakan tuli sensorineural jika
lateralisasi ke arah yang sehat (John & Turner, 1990; Soetirto et al., 2010;
Davidson, 2012).
b. Tes rinne
hantaran tulang dan hantaran udara. Rinne positif berarti hantaran udara lebih
panjang dari hantaran tulang, terjadi pada telinga normal atau tuli sensorineural.
Rinne negatif berarti hantaran tulang lebih panjang dari hantaran udara, terdapat
c. Tes schwabach
dokter. Scwabach memendek berarti hantaran tulang pasien lebih pendek dari
hantaran tulang pasien lebih panjang daripada hantaran tulang dokter (conductive
hearing loss). Normalnya hantaran tulang pasien sama panjang dengan hantaran
(pure tone) yaitu bunyi yang hanya mampunyai satu frekuensi, dinyatakan dalam
objektif, tetapi sampai sekarang masih merupakan yang paling banyak dipakai
untuk keperluan klinis oleh karena prosedurnya yang sederhana namun dapat
Grimes, 1997). Audiometer yang tersedia di pasaran umumnya terdiri dari enam
terdengar
mematikan tombol nada murni secara halus tanpa terdengar bunyi lain
(klik)
1997).
ini :
Nada murni (pure tone) : merupakan bunyi yang hanya mempunyai satu
Bising : merupakan bunyi yang mempunyai banyak frekuensi, terdiri dari narrow
Frekuensi : nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu benda yang sifatnya
Ambang dengar : bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi tertentu yang
masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat ambang dengar menurut
konduksi udara (ac) dan menurut konduksi tulang (bc). Bila ambang dengar ini
Nilai nol audiometrik: dalam dB hearing less dan dB sensation level, yaitu
intensitas nada murni yang terkecil pada suatu frekuensi tertentu yang masih dapat
didengar oleh telinga rata-rata orang dewasa muda yang normal (18-30 tahun).
Notasi pada audiogram : untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik ac, yaitu
dibuat dengan garis lurus penuh (intensitas yang diperiksa antara 125-8000 hz)
dan grafik bc yaitu dibuat dengan garis terputus-putus (intensitas yang diperiksa
antara 250-4000 hz). Untuk telinga kiri dipakai warna biru sedangkan untuk
syarat antara lain: alat audiometer yang telah distandardisasi oleh American
National Standards Institute, suasana yang tenang bila perlu ruangan kedap suara,
pemeriksa yang sabar dan teliti. Pada pengukuran audiologi, fungsi pendengaran
(hantaran udara). Saat ini yang sering digunakan adalah insert-earphone yang
cross hearing. Audiometri nada murni juga dapat dilakukan dengan menggunakan
osilator atau vibrator yang diletakkan pada tulang mastoid untuk mengukur
2008).
4 kHz, 8kHz kemudian kembali ke 1kHz lalu 500 Hz dan 250 Hz.
g. Lakukan hal yang sama pada telinga yang lain. Catat hasil pada kertas
telinga kanan dan simbol (X) menggunakan warna biru untuk telinga
intensitas terbatas yaitu 500 Hz, 1 kHz, 2 kHz dan 4 kHz dan
telinga kiri dan simbol (>) untuk telinga kiri. Hubungkan dengan garis
Bila suatu nada disajikan pada telinga yang mengalami gangguan, kadang-
kadang dapat pula didengar oleh telinga yang tidak sedang diperiksa (Keith &
Pensak, 2003; Kolegium Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L., 2008). Jika stimulus nada
dimana bantalannya berada di luar telinga, maka energi akustik dapat menjalar ke
telinga pada sisi yang berlawanan yang disebut sebagai fenomena cross hearing.
Jumlah intensitas suara yang dibutuhkan untuk terjadinya cross hearing disebut
atenuasi yang lebih tinggi. Sementara atenuasi interaural untuk tes hantaran tulang
Oleh karena itu, salah satu unsur penting pada audiometri nada murni
adalah masking. Sebagai salah satu syarat utama, masking harus dilakukan apabila
terjadi kemungkinan untuk terjadinya penjalaran stimulus dari telinga yang sedang
hantaran udara maupun tulang melewati batas atenuasi interaural). Masking harus
bersamaan dengan diberikannya stimulus pada telinga yang sedang diperiksa. Jika
suara tambahan yang diberikan adekuat, maka suara stimulus yang menjalar ke
sisi yang berlawanan dapat tertutupi (masked) oleh suara tersebut. Yang sering
digunakan untuk masking adalah suara dengan gelombang sempit yang terdengar
Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal (n) atau tuli.
Jenis ketulian yaitu tuli konduktif, sensorineural atau tuli campur juga dapat
4
Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar
0 – 25 dB : normal
26 – 40 dB : tuli ringan
41 – 60 dB : tuli sedang
61 – 90 dB : tuli berat
FAKTOR RISIKO
GANGGUAN
- Usia OMSK
PENDENGARAN
- Jenis kelamin
OMSK
Pre op Pasca op
Ambang Timpanoplasti Ambang
dengar dengar
(H1) adalah terdapat perubahan ambang dengar pada penderita otitis media
METODE PENELITIAN
31 Agustus 2016.
3.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penderita otitis media supuratif
Kriteria inklusi:
a. Penderita otitis media supuratif kronis jinak maupun ganas baik laki-
Mina Medan.
42
S = s12(x1-1) + s22(x2-1)
x1+x2-2
= 12,962(38-1)+10,72 2(30-1)
38+30-2
n = (1,96+0,842) 11,59 2
= 16,48 17
8
Keterangan:
X1 : Ambang dengar pre timpanoplasti (37,8)
X2 : Ambang dengar pasca timpanoplasti (29,8)
Zα : Kesalahan tipe i (α=5% 1,96)
Zβ : Kesalahan tipe ii (β=20% 0,842)
S1 : Simpang baku ambang dengar pre timpanoplasti (12,96)
S2 : Simpang baku ambang dengar pasca timpanoplasti (10,72=11,59)
(Sheresta et al, 2008)
S : Simpang baku ambang dengar gabungan s1 dan s2
kedalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah pasien yang
Variabel dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, tipe otitis media
supuratif kronis, tipe perforasi, jenis ketulian, tipe timpanoplasti, ambang dengar
udara (air conduction) dan hantaran tulang (bone conduction) pre operasi
membran timpani, dan dijumpai adanya sekret yang keluar dari telinga
secara terus menerus atau hilang timbul yang berlangsung lebih dari 12
a. Otitis media supuratif kronis tipe jinak adalah jika proses peradangan
pada telinga tengah hanya terbatas pada mukosa saja tanpa disertai
b. Otitis media supuratif kronis tipe bahaya adalah jika proses peradangan
pada telinga tengah tidak hanya terbatas pada mukosa saja tetapi
2004).
3.5.2. Timpanoplasti
a. Tipe I
maleus.
c. Tipe III
Hasil ukur: maleus inkus tidak dijumpai tetapi stapes masih sedikit
d. Tipe IV
Hasil ukur: maleus inkus tidak dijumpai tetapi sebagian footplate stapes
Eustachius.
e. Tipe V
Definisi :
adalah bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi tertentu yang
menurut konduksi udara (ac) dan menurut konduksi tulang (bc). Bila
maka akan didapatkan audiogram (catatan grafik yang diambil dari hasil
Disebut air bone gap apabila antara ac dan bc terdapat perbedaan lebih
Definisi :
adalah ciri biologis yang membedakan orang yang satu dengan lainnya,
3.5.5. Usia
Definisi :
Hasil ukur: dikelompokan atas usia 11-23 tahun, 24-36 tahun, 37-49
Definisi :
timpani).
b. Perforasi subtotal adalah jika dijumpai defek pada pars tensa yang
c. Perforasi total adalah jika sudah tidak dijumpai annulus fibrosus dan
Definisi :
a. Tuli konduktif dimana kelainannya terletak mulai dari telinga luar sampai
Hasil ukur: bc normal, ac lebih dari 25 dB, dijumpai gap minimal 10 dB.
Hasil ukur: ac dan bc lebih dari 25 dB, dijumpai gap minimal 10 dB.
Definisi :
Lampu kepala merk Ryne & alat THT rutin merk Renz
1132gl
Garputala
Audiometer nada murni merk Triveni tipe t25 dan telah dikalibrasi
untuk hantaran udara (ac) dan frekuensi 500-4000hz untuk hantaran tulang
dengar pada frekuensi percakapan (500, 1000, 2000 dan 4000hz) terhadap
0 – 25 dB : normal
26 – 40 dB : tuli ringan
41 – 60 dB : tuli sedang
61 – 90 dB : tuli berat
for the social and science (spss) kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan
diagram. Analisis univariat untuk data deskriptif. Analisis bivariat adalah analisis
OTITIS MEDIA
OTITIS MEDIA SUPURATIF
SUPURATIF KRONIS benigna
OTITIS MEDIA
KRONIS SUPURATIF
KRONIS maligna
- Anamnesis pre op post op
Timpanoplasti
- Pemeriksaan THT rutin
HASIL
Maret sampai 31 Agustus 2016. Pada penelitian yang kami lakukan pada 21
berasal dari fasia muskularis temporalis, yang dilakukan hanya oleh satu orang
ahli THT.
ambang dengar pada pasien otitis media supuratif kronis setelah timpanoplasti
dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS 17, data yang telah
otitis media supuratif kronis setelah timpanoplasti. Hasil- hasil penelitian dapat
kronis yang menjalani operasi timpanoplasti terlihat pada tabel 4.1 berikut ini.
55
Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat bahwa sebagian besar pasien otitis
media supuratif kronis berada pada usia produktif. Pada penelitian ini terlihat
bahwa kejadian otitis media supuratif kronis lebih banyak muncul pada dekade
pertama hingga kedua, namun pada dekade ketiga hingga keenam kehidupan
dengan usia termuda adalah 11 tahun, sedangkan usia tertua adalah 64 tahun,
Jenis Kelamin
operasi timpanoplasti berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.2
berikut ini.
disimpulkan bahwa kejadian otitis media supuratif kronis tidak jauh berbeda
Perforasi
Berdasarkan data tipe perforasi yang didapat seperti yang terlihat pada
tabel diatas, dapat menunjang kesimpulan bahwa subyek yang menjalani operasi
timpanoplasti terbanyak adalah penderita otitis media supuratif kronis dengan tipe
jinak (benigna).
Timpanoplasti
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa tipe timpanoplasti yang dilakukan
pada penelitian ini terbanyak adalah tipe I, dimana terbatas dengan hanya
menutup membran timpani. Hal ini sesuai dengan jenis perforasi yang paling
banyak dijumpai pada penelitian ini yaitu tipe sentral dan subtotal.
Jenis Ketulian
ini adalah tipe konduktif berjumlah 15 orang (71.4%), tipe campur 6 orang
(28.6%).
Tabel 4.7 Perbedaan Hantaran Udara (Air Conduction) Pre dan Pasca
Timpanoplasti pada Penderita Otitis Media Supuratif Kronis
Mean ± SD (dB) Intensitas
Parameter n (dB) p-
Min. Maks. value
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada penelitian ini terdapat
perbedaan hantaran udara (air conduction) pre dan pasca timpanoplasti pada
terhadap ambang dengar pre dan pasca operasi, tetapi hasil tersebut tidak dapat
timpanoplasti.
pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.8 sebagai berikut.
Tabel 4.8 Perbedaan Hantaran Tulang (Bone Conduction) Pre dan Pasca
Timpanoplasti pada Pasien Otitis Media Supuratif Kronis
Mean ± SD Intensitas (dB)
Parameter n (dB) Min. Maks. p value
yang bermakna hantaran tulang (bone conduction) pre dan pasca operasi
Tabel 4.9 Perbedaan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti pada
Pasien Otitis Media Supuratif Kronis
Mean ± SD (dB)
Dari tabel tersebut dapat terjawab hipotesa pada penelitian ini bahwa
terdapat perubahan ambang dengar pre dan pasca timpanoplasti pada penderita
otitis media supuratif kronis. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa rerata
perubahan ambang dengar lebih besar dari 5 dB. Perubahan nilai ambang dengar
berdasarkan perubahan derajat ambang dengar terlihat pada tabel 4.9.1 berikut.
dengar
n (%)
Pre operasi Pasca operasi
Ambang Dengar (dB)
Tuli Ringan (26-40) 11 (52.4) 14 (66.7)
Tuli Sedang (41-60) 5 (23.8) 4 (19.0)
Tuli Berat (61-90) 4 (19.0) 2 (9.5)
Tuli Sangat Berat (>90) 1 (4.8) 1 (4.8)
mengalami penurunan berkisar 1-15 dB, yang artinya pendengaran menjadi lebih
baik pasca timpanoplasti. Dari data yang diperoleh subyek penelitian dengan
ambang dengar pasca timpanoplasti yang lebih rendah dibandingkan pre operasi
(5dB). Empat orang subyek memiliki ambang dengar yang sama pre dan pasca
penelitian berdasarkan tipe timpanoplasti dapat dilihat pada grafik 4.2 berikut.
BAB V
PEMBAHASAN
yang masih sering dijumpai. Prevalensi otitis media supuratif kronis di Indonesia
secara umum adalah 3.9% dan Indonesia masuk dalam daftar negara dengan
prevalensi otitis media supuratif kronis tinggi (Helmi, 2005). Tujuan dari
penelitian yang kami lakukan ini adalah untuk melihat perubahan ambang dengar
pada pasien yang menjalani operasi timpanoplasti di RSU H. Mina Medan. Pada
kronis lebih banyak muncul pada usia produktif. Dimana banyak dijumpai pada
dekade pertama hingga kedua, namun pada dekade ketiga hingga keenam
kehidupan jumlahnya mulai menurun. Hal ini mungkin terjadi karena, pada
penelitian ini pasien yang datang untuk berobat dan memeriksakan penyakitnya
lebih banyak adalah pelajar dan mahasiswa. Mereka lebih peduli terhadap
kesehatan telinga dan lebih banyak memiliki waktu luang untuk memeriksakan
66
memeriksakan kesehatannya.
didunia masih sangat bervariasi. Terjadinya otitis media supuratif kronis biasanya
diawali dengan otitis media berulang pada anak, dan jarang dimulai setelah
dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring mencapai telinga tengah
merupakan saluran antara telinga tengah dan nasofaring. Tuba ini bertanggung
jawab untuk memberi aliran udara ke telinga tengah dan mastoid, sehingga dapat
Eustachius membuka selama proses menelan dan pada kondisi fisiologik tertentu,
tengah dengan lingkungan luar. Pada otitis media kronis aktif, fenomena primer
atau sekunder dari tuba Eustachius yang sering tersumbat masih belum diketahui
secara pasti (Chole & Nason. 2009). Namun pada penelitian ini kami tidak
Hal ini juga menjadi salah satu kelemahan dalam penelitian kami.
menyerang anak-anak pada awal kehidupan, akan tetapi kejadiannya lebih sering
kita jumpai pada orang dewasa. Oleh karena penderita biasanya cenderung
pasien otitis media supuratif kronis yang menjalani operasi timpanoplasti adalah
14-74 tahun, dengan rerata usia 32,2 tahun. Nora (2011) dalam penelitiannya, dari
208 penderita otitis media supuratif kronis yang berobat ke RSUP Haji Adam
Malik Medan dari Januari - Desember 2008 menjumpai dua kelompok usia
dengan jumlah yang sama yaitu kelompok usia 11-20 tahun dan 21-30 tahun
yang tersebar di Sumatera Utara menjumpai kejadian otitis media supuratif pada
rentang usia 10-20 tahun sebesar 26.23%%, diikuti usia <10 tahun sebesar 22.95%
Pada penelitian ini kejadian otitis media supuratif kronis tidak jauh
berbeda antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian Memon
wanita dan pria adalah 1.2:1. Sheresta (2011), juga mendapatkan rasio penderita
otitis media supuratif kronis antara wanita dan pria adalah 1.23: 1. Santoso
Utara menjumpai kejadian otitis media supuratif pada laki-laki sebanyak 54.1%
kejadian otitis media supuratif kronis pada wanita sebanyak 60% sedangkan pria
sebanyak 40%. Sebaliknya, Nungki & Zahara (2013) mendapatkan kejadian otitis
media supuratif kronis pada pria sebanyak 73.9% sedangkan wanita sebanyak
26.1%.
Pada penelitian ini meskipun tidak jauh berbeda, akan tetapi kejadian otitis
media supuratif kronis pada wanita sedikit lebih banyak dijumpai dibandingkan
dan penampilan dibandingkan pria. Kesadaran untuk berobat wanita lebih kuat
dibandingkan pria.
Kejadian otitis media supuratif kronis tipe jinak (benigna) pada penelitian
ini lebih banyak dijumpai dibandingkan dengan tipe bahaya (maligna). Serupa
supuratif kronis tipe jinak (benigna) sebesar 80.4% sedangkan tipe bahaya
(maligna) sebesar 19.6%. Nungki & Zahara (2013) juga menyebutkan bahwa tipe
(30.4%).
tengah bisa masuk dari luar telinga melalui perforasi membran timpani atau
melalui nasofaring. Bila bakteri memasuki telinga tengah melalui nasofaring atau
defek membran timpani, terjadi replikasi bakteri di dalam efusi serosa. Hal ini
diikuti oleh pelepasan mediator inflamasi dan imun ke dalam ruang telinga
inflamasi akut memberi jalan pada fase kronis, ditandai dengan mononuklear
selular mediator (makrofag, sel plasma, limfosit), edema persisten dan jaringan
ini akan mengganggu aerasi antrum dan mastoid dengan mengurangi ruang antara
osikel dan mukosa yang memisahkan telinga tengah dari antrum. Obstruksi kronis
menyebabkan perubahan ireversibel di dalam tulang dan mukosa (Chole & Nason.
2009).
Yang membedakan otitis media supuratif kronis tipe aman dan bahaya
adalah ada atau tidaknya kolesteatoma dan komplikasi yang dijumpai. Terjadinya
otitis media supuratif kronis hampir selalu diawali dengan otitis media berulang
pada anak dan jarang dimulai setelah dewasa. Dengan pengobatan yang cepat dan
adekuat serta dengan perbaikan fungsi ventilasi telinga tengah, biasanya proses
patologis akan berhenti dan kelainan mukosa akan kembali normal. Perubahan
menimbulkan komplikasi seperti yang terjadi pada otitis media supuratif kronis
supuratif kronis tipe jinak menjadi tipe ganas lebih sedikit dijumpai.
penderita otitis media supuratif kronis dengan tipe jinak (benigna). Tipe ini
biasanya ditandai oleh adanya perforasi sentral (pars tensa) maupun perforasi
subtotal. Hasil yang kami jumpai sesuai dengan penelitian yang dilakukan Nungki
& Zahara (2013), dimana jenis perforasi terbanyak dijumpai subtotal (26.1%),
total (17.4%) dan sentral (13%). Berbeda dengan penelitian Santoso (2016),
bahwa perforasi tipe sentral sebanyak 65.3% lebih banyak dijumpai dibandingkan
tipe subtotal dan tipe total masing-masing sebanyak 20% dan 8%.
telinga, dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
bunyi yang datang dari luar untuk kemudian diarahkan ke liang telinga dan
timpani, hilangnya fungsi konduksi suara yang terjadi sebanding dengan besar
perforasi. Hal ini menyebabkan tuli konduksi (Matsuda et al, 2009). Akibat
erosi maleus, melibatkan pencangkokan pada inkus atau sisa-sisa maleus yang
tersisa. Tipe III diindikasikan untuk dua osikel yang telah hancur, dengan stapes
yang masih utuh dan mobile. Prosedur ini melibatkan penempatan cangkok ke
(mencakup semua atau sebagian dari lengkung stapes), prosedur ini melibatkan
penempatan cangkok pada atau sekitar kaki stapes yang masih mobile. Untuk tipe
penyakit tuli konduktif dan merupakan kulminasi lebih dari 100 tahun
menjadikan membran timpani yang intak, mencegah rekurensi telinga berair dan
operasi pasien otitis media supuratif kronis didapat hasil rerata peningkatan
sebesar 6.94 dB. Pada penelitiannya dijumpai rerata ambang dengar pre operasi
pasien yang menjalani hanya timpanoplasti adalah 31.98, sedangkan rerata post
operasi dan perubahan ambang dengar adalah 24.18 dB dan 7.8dB. Kemudian
setelah 6 bulan post operasi kembali dilakukan pengukuran ambang dengar dan
yang ditandai dengan perbaikan nilai air bone gap pre dan pasca operasi
timpanomastoidektomi tipe III senilai 37.8 db menjadi 29.8 db. Hal ini
kekambuhan penyakit.
(28.6%). Hal ini sesuai dengan penelitian Rumondang (2013) yang dilakukan di
pendengaran yang dijumpai pada pasien otitis media supuratif kronis adalah tuli
pendengaran yang terjadi akibat otitis media supuratif kronis dapat bervariasi.
Pada umumnya gangguan pendengaran yang terjadi berupa tuli konduktif namun
dapat pula bersifat tuli saraf atau tuli campuran. Tuli saraf atau tuli campuran
dapat dijumpai apabila sudah terjadi gangguan pada telinga dalam akibat proses
infeksi yang hebat. Beratnya ketulian bergantung kepada besar dan letak perforasi
telinga tengah. Pada otitis media supuratif kronis tipe maligna biasanya didapat
tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali
juga kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara (Kumar & Seth, 2011).
perbedaan bermakna hantaran tulang (bone conduction) pre dan pasca operasi
hantaran udara pre adalah 51.79dB, sedangkan rerata hantaran udara post operasi
adalah 41.25dB. Nilai hantaran udara biasanya menunjukan hasil yang lebih
rendah di frekuensi 2000 Hz, hal ini mungkin disebabkan oleh resonansi
menyeluruh dari kavum mastoid dan liang telinga (Sheresta et al, 2008). Sadegh et
pre/post operasi pada frekuensi 250Hz, 500Hz, 1kHz, 2kHz dan 4kHz masing-
tulang pre dan post operasi pada 28 subyek penelitian sebesar 10.89dB menjadi
pasti fungsi koklea karena dapat dipengaruhi oleh kondisi patologi pada telinga
banyak terutama pada kemampuan teknik operasi, kriteria yang digunakan untuk
patologi pasca operasi yang dapat terjadi pada telinga tengah (Sheresta et al,
2008).
terjadi penyimpangan rantai tulang pendengaran. Bekesy seperti yang dikutip oleh
Manolidis berpendapat untuk perforasi yang kecil (1mm), baru akan berefek pada
suara di bawah frekuensi 400 Hz yaitu 12 dB pada 100 Hz, 29 dB pada 50 Hz dan
suara. Tekanan suara yang masuk melalui perforasi membran timpani dapat
melawan tekanan suara luar. Mekanisme kedua yaitu suara langsung mencapai
tingkap bundar tanpa mengalami peredaman dan pengurangan efek seperti halnya
yang terjadi pada membran timpani yang utuh. Selain itu, membran timpani yang
tersisa akan menyebabkan suara yang mencapai ke tingkap bundar dan tingkap
lonjong mendapat kekuatan yang sama dan dalam waktu yang bersamaan, hal ini
dikarenakan hilangnya tekanan hidrolik yang biasa ada pada membran timpani
Perforasi yang kecil dengan gambaran air-bone gap yang besar menggambarkan
adanya masalah pada rantai tulang pendengaran yang nantinya harus diperbaiki
dengan timpanoplasti. Secara umum semakin besar perforasi maka semakin besar
gangguan pendengaran yang akan terjadi, akan tetapi hubungan ini secara klinis
orang menjalani tipe III. Keempat orang tersebut memiliki jenis perforasi sentral,
dan subtotal dengan derajat tuli ringan dan sedang. Hal tersebut yang kami duga
mengalami perubahan. Selain itu pada penelitian ini kami jumpai 1 orang dengan
Subyek tersebut menjalani timpanoplasti tipe V dengan jenis perforasi total dan
frekuensi 500 Hz, 1 kHz, 2kHz, 4kHz. Besar dugaan bahwa pada subyek dalam
penelitian ini yang tidak dijumpai perbaikan ambang dengar bermakna pasca
subyek tersebut. Hal tersebut dikarenakan pada subyek tersebut mungkin saja
rendah yang pada penelitian ini tidak terekam pada frekuensi tersebut.
hemostasis dan agregasi trombosit, diikuti oleh respon inflamasi. Fase proliferasi
jaringan ikat yang terdiri dari kolagen. Lapisan membran timpani menutup secara
sempurna antara hari ke-9 dan hari ke-14 setelah prosedur miringotomi. Lamina
propria membran timpani akan menyatu setelah empat minggu yang nantinya
akan berpengaruh pada mobilitas atau kelenturan dari membran timpani (Harim et
al, 2012).
berdasarkan posisi jaringan ikat pada sisi membrana timpani yang perforasi,
membran timpani. 2) tidak adanya keluhan pada telinga, 3) tidak adanya gejala
normal.
Sampai saat ini belum ada ketetapan pasti dikatakan adanya perbaikan
ambang dengar pasca timpanoplasti pada pasien otitis media supuratif kronis.
Evaluasi dapat dilakukan setelah 3 bulan , 6 bulan pasca operasi atau lebih,
apabila dijumpai penurunan ambang dengar lebih dari 15 dB yang dapat diukur
timpanoplasti dianggap berhasil bila nilai rerata hantaran udara pasca bedah pada
frekuensi 500 Hz, 1 kHz dan 2 kHz naik sebesar 15 dB atau lebih dibanding nilai
rerata hantaran udara pra bedah pada frekuensi yang sama (Puspitowati, 2000).
Dari penelitian yang kami lakukan dijumpai perubahan bermakna ambang dengar
pre dan pasca timpanoplasti lebih dari 5 dB. Tidak menutup kemungkinan rerata
satu kelemahan pada penelitian ini adalah menggambarkan ambang dengar pasca
operasi. Dari penelitan ini diperoleh data yang dapat digunakan sebagai penelitian
BAB VI
5.1. Simpulan
5.1.1. Penderita otitis media supuratif kronis terbanyak pada kelompok usia
(28.6%), kelompok usia 50-64 tahun (14.3%), dan kelompok usia 37-
usia tertua adalah 64 tahun, dengan rerata usia penderita adalah 27.14
laki-laki 42.9%.
5.1.3. Dijumpai otitis media supuratif kronis tipe jinak (benigna) sebanyak
5.1.5. Pada penelitian ini tipe timpanoplasti yang dilakukan terbanyak adalah
tipe I sebanyak 66.7%, untuk tipe III sebanyak 14.3%, sedangkan tipe
tidak dijumpai.
79
5.1.7. Pada penilitian ini terdapat perbedaan hantaran udara (air conduction)
pasca operasi hanya dijumpai pada frekuensi 2000 Hz dan 4000 Hz.
5.1.9. Dijumpai perbedaan bermakna ambang dengar pre dan pasca operasi
9.5%.
5.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Ashley, P.W., Christina, Laura, .R. (2009). “Cochlear and Auditory Brainstem
Implantation”. In: Snow, J.B. & Ballenger, J.J. (Eds.) Ballenger’s Manual
363-82.
Browning, G.G., Merchant, N.S., Kelly, G., Swan, R.,C.,I (2008). “Chronic Otitis
81
Chole, R.A. & Nason, R. (2009). “Chronic Otitis Media and Cholesteatoma” In:
27(6):855-8.
Dhingra, P.L. (2009). “Disease of Ear, Nose, and Throat”. 3rd Ed. New Delhi:
Elsevier. pp.5-9.
Djaafar, Z.A. (2008). “Kelainan Telinga Tengah”. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
pp.49-62.
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. 13th ed. Vol.2, Jakarta:
Fitri, S.B. & Taufiq, B. (2004). Tesis: “Angka Keberhasilan Miringoplasti pada
Perforasi Membran Timpani Kecil, Besar dan Subtotal pada Bulan Juni
http://american-hearing.org/disorders/hearing-testing
Harim, P., Dini, W., Afrina, Y. (2012). ”Miringoplasti tandur lemak autologus:
Harris, T., & Linder, T. (2012). “The Open Access Atlas Of Otolaryngology,
Head & Neck Operative Surgery”. Essential Otolaryngology Head & Neck
Helmi. (2005). “Otitis Media Suppurative Kronis” In: Otitis Media Supuratif
John S. & Turner, J. (1990). “The Ear and Auditory System”. In: Walker, H. W.
Kenna, M.A. & Latz, A.D. (2006). “ Otitis Media with Effusion”. In: Bailey, B.J.;
Johnson, J.T.; and Newlands, S.D. (Eds.) Head & Neck Surgery –
Wilkins. pp.1263-75.
2(2).
Koch, A., Homoe, P., Pipper, C., Hjuler, T., Melbye, M. (2009). “Chronic
FK USU.
Kumar, H. & Seth, S. (2011). “Bacterial and Fungal Study of 100 Cases of
Liston, S.,L. & Duvall, A.,J. (1997). “Embriologi, Anatomi dan Fisiologo
Telinga”. Dalam: Higler AB, Boies, Buku Ajar Penyakit THT. Edisi enam.
p.400-19.
Min-Beom, Jeesun, Choi, Jae, Kwon, Ju-Yeon, Park, Hosun, Yang, Hong, S.Y,
Vol.3(4). pp203-206.
Monasta, L., Ronfani, L., Marchetti, F., Montico, M., Brumatti, L.V., Bavcar, A.,
One.7(4).
Namita. (2013). “ Pre and post operative evaluation of hearing in CSOM”. Indian
Nungki & Zahara, D. (2013) “Gambaran Pasien Otitis Media Supuratif Kronik
teknik rongga terbuka dan tertutup di RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun
Rupa, Jacob, A., Joseph, A. (1999). “Chronic suppurative otitis media: prevalence
and practices among rural south Indian children”. Int. J. Pediatr otorhinol
(48):217-21.
Rumondang, Debi. (2013). Tesis: ”Profil penderita otitis media supuratif kronis di
Sengupta, Arunaba, Anwar, T., Ghosh, D., Basak, Bijan. (2010). “A study of
UI. Pp.10-22.
UI.
Susilo, D.E. (2010). Tesis: “Alergi sebagai faktor risiko terhadap kejadian otitis
Telian, S.A. & Schmalbach, C.E. (2002). “Chronic Otitis Media” In: Snow, J.B. &
Verhoeff, M., Vander, Veen, Rovers, M., Saders, E., Schilder, A. (2006).
8.
Yates, P.D. & Anari, S. (2008). “Otitis media”. In: AK Lalwani (ed), Current
Yeo, G.S., Park, C.D., Hong, M.S., Cha, I.C., Kim, G.M. (2007). “Bacterioloy of
Zainul, A.D. (1997). “Kelainan telinga tengah”. In: Efiaty, A.S., Nurbaiti, Buku
Ajar Ilmu Penyakit THT Edisi 3. Jakarta : Balai penerbit FK UI. pp. 54-7.
Personalia Penelitian
I. Peneliti Utama
Nama : dr. Rina Hayati
Jabatan : PPDS T.H.T.K.L.
Fakultas : Kedokteran
Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara
Bidang Keahlian : T.H.T.K.L.
Waktu Disediakan : 12 Jam/Minggu
90
Data Pribadi
Nama : dr. Rina Hayati
Tempat/Tanggal lahir : Medan/21 Agustus 1985
Jabatan : PPDS T.H.T.K.L.
Agama : Islam
AlamatRumah : Jl. Kamboja, Perumahan Permata Setia Budi 2
Blok B4, Medan
No.HP : 081328354937
Alamat e-mail : [email protected]
Instansi : Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara
Nama Orang Tua : 1. Ayah : H. Basuki Waluyo
2. Ibu : Hj. Rahmawati
Pendidikan Formal
1995 - 2000 SDN Lebuh Dalam Menggala Tulang Bawang
2000 - 2002 SLTPN 2 Bandar Lampung
2002 - 2004 SMU Negeri 2 Bandar Lampung
2004 - 2010 S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia
2012 - sekarang 1. Peserta S-2 Magister Kedokteran Klinik
2. Peserta PPDS T.H.T.K.L. FK USU
Riwayat Pekerjaan
Dokter Umum RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda Kalimantan Timur
(2010 s/d sekarang)
Keanggotaan Organisasi Profesi Nasional/Internasional
1. Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) (2010 s/d sekarang)
2. Anggota Muda Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher Indonesia (PERHATI-KL) (2012 s/d
sekarang)
LAMPIRAN 1
ETHICAL CLEARENCE
93
LAMPIRAN 2
DATA PASIEN
94
AC BC AD
PENING.
TIMPANO MERI 500 1K 2K 4K 500 1K 2K 4K
PRE POST AD
PRE POST PRE POST PRE POST PRE POST PRE POST PRE POST PRE POST PRE POST
I 4 35 35 40 40 25 25 35 35 5 5 0 0 15 15 15 15 33.75 33.75 0
I 3 40 35 40 35 35 35 30 30 15 15 15 15 25 25 25 25 36.25 33.75 -2.5
I 2 20 20 35 20 40 25 25 15 5 5 10 10 10 10 5 5 30 20 -10
I 8 35 30 55 50 75 70 95 90 15 10 30 25 55 50 70 70 65 60 -5
I 4 70 55 70 55 75 55 100 85 20 20 35 35 50 50 50 50 78.75 62.5 -16.25
I 6 75 55 90 70 70 50 65 50 5 5 35 15 35 20 45 20 75 56.25 -18.75
IV 3 55 35 50 30 55 35 45 25 0 0 -5 -5 5 5 15 0 51.25 31.25 -20
I 3 35 20 40 25 40 25 45 30 0 0 0 0 15 5 20 5 40 25 -15
I 5 65 60 15 15 20 20 45 40 15 20 15 15 20 15 20 20 36.25 33.75 -2.5
IV 6 40 30 35 25 35 25 40 30 0 0 5 5 10 5 10 5 37.5 27.5 -10
I 3 50 50 40 40 45 45 45 45 10 10 5 5 35 35 25 25 45 45 0
I 2 35 25 40 30 30 20 40 30 -10 -10 -10 -10 -5 -5 0 -5 36.25 26.25 -10
I 9 100 100 85 85 95 95 105 105 60 60 60 60 65 65 70 70 96.25 96.25 0
III 9 45 45 35 25 30 20 45 35 10 10 10 10 20 15 5 5 38.75 31.25 -7.5
I 10 45 40 45 40 35 30 40 35 10 10 0 0 15 10 15 15 41.25 36.25 -5
I 4 20 20 25 25 35 30 40 35 5 5 10 10 15 10 10 10 30 27.5 -2.5
I 2 55 40 45 30 45 30 50 35 0 0 0 0 15 10 5 5 48.75 33.75 -15
V 11 65 60 75 70 75 70 80 75 50 45 25 25 20 20 25 25 73.75 68.75 -5
I 11 30 35 30 35 25 30 55 60 10 10 30 25 25 25 35 35 35 40 5
III 6 40 35 25 20 25 20 40 35 20 15 5 5 15 10 20 20 32.5 27.5 -5
III 4 60 60 55 55 65 65 60 60 5 5 0 0 20 20 5 5 60 60 0
LAMPIRAN 3
STATUS PENELITIAN
98
LAMPIRAN 4
Pre timpanoplasti
Pasca timpanoplasti
99
Pacsa Timpanoplasti
LAMPIRAN 5
Descriptives
Median 24.0000
Variance 208.329
Minimum 11.00
Maximum 64.00
Range 53.00
Median 2.00
Variance 1.190
Minimum 1
Maximum 4
Range 3
Interquartile Range 2
Skewness .971 .501
101
Median 2.00
Variance .257
Std. Deviation .507
Minimum 1
Maximum 2
Range 1
Interquartile Range 1
Median 1.00
Variance .214
Minimum 1
Maximum 2
Range 1
Interquartile Range 1
Skewness 1.023 .501
Median 2.00
Variance .648
Minimum 1
Maximum 3
Range 2
Interquartile Range 2
Variance 2.148
Maximum 5
Range 4
Interquartile Range 2
Median 1.00
Variance .857
Minimum 1
Maximum 3
Range 2
Interquartile Range 2
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Usia
Tipe OMSK
Jenis tuli
Tipe timpanoplasti
Descriptives
Median 45.00
Variance 375.833
Minimum 20
Maximum 100
Range 80
Interquartile Range 28
Median 35.00
Variance 351.429
Minimum 20
Maximum 100
Range 80
Interquartile Range 25
Variance 384.762
Minimum 15
Maximum 90
Range 75
Interquartile Range 20
Median 35.00
Variance 351.548
Minimum 15
Maximum 85
Range 70
Interquartile Range 28
Variance 450.357
Maximum 95
Range 75
Interquartile Range 38
Median 30.00
Variance 436.548
Minimum 20
Maximum 95
Range 75
Interquartile Range 28
Median 45.00
Variance 520.357
Std. Deviation 22.811
Minimum 25
Maximum 105
Range 80
Interquartile Range 23
Median 35.00
Variance 568.333
Minimum 15
Maximum 105
Range 90
Interquartile Range 30
Median 10.00
Variance 261.190
Minimum -10
Maximum 60
Range 70
Interquartile Range 13
Median 10.00
Variance 242.857
Minimum -10
Maximum 60
Range 70
Interquartile Range 13
Median 10.00
Variance 291.190
Minimum -10
Maximum 60
Range 70
Interquartile Range 28
Variance 250.833
Maximum 60
Range 70
Interquartile Range 20
Median 20.00
Variance 283.929
Minimum -5
Maximum 65
Range 70
Interquartile Range 15
Median 15.00
Variance 298.690
Minimum -5
Maximum 65
Range 70
Interquartile Range 15
Median 20.00
Variance 408.333
Minimum 0
Maximum 70
Range 70
Interquartile Range 23
Median 15.00
Variance 436.190
Minimum -5
Maximum 70
Range 75
Interquartile Range 20
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Ranks
Ties 7c
Total 21
Ties 6f
Total 21
Ties 6i
Total 21
Ties 5l
Total 21
a. AC post op frekuensi 500Hz < AC pre op frekuensi 500Hz
b. AC post op frekuensi 500Hz > AC pre op frekuensi 500Hz
c. AC post op frekuensi 500Hz = AC pre op frekuensi 500Hz
d. AC post op frekuensi 1kHz < AC pre op frekuensi 1kHz
e. AC post op frekuensi 1kHz > AC pre op frekuensi 1kHz
f. AC post op frekuensi 1kHz = AC pre op frekuensi 1kHz
g. AC post op frekuensi 2kHz < AC pre op frekuensi 2kHz
h. AC post op frekuensi 2kHz > AC pre op frekuensi 2kHz
i. AC post op frekuensi 2kHz = AC pre op frekuensi 2kHz
j. AC post op frekuensi 4kHz < AC pre op frekuensi 4kHz
k. AC post op frekuensi 4kHz > AC pre op frekuensi 4kHz
l. AC post op frekuensi 4kHz = AC pre op frekuensi 4kHz
Test Statisticsb
Descriptive Statistics
Ranks
Ties 17c
Total 21
Ties 18f
Total 21
Total 21
Ties 16l
Total 21
Ranks
Ties 17c
Total 21
Ties 18f
Total 21
Ties 11i
Total 21
Ties 16l
Total 21
a. BC post op frekuensi 500Hz < BC pre op frekuensi 500Hz
b. BC post op frekuensi 500Hz > BC pre op frekuensi 500Hz
c. BC post op frekuensi 500Hz = BC pre op frekuensi 500Hz
d. BC post op frekuensi 1kHz < BC pre op frekuensi 1kHz
e. BC post op frekuensi 1kHz > BC pre op frekuensi 1kHz
f. BC post op frekuensi 1kHz = BC pre op frekuensi 1kHz
g. BC post op frekuensi 2kHz < BC pre op frekuensi 2kHz
h. BC post op frekuensi 2kHz > BC pre op frekuensi 2kHz
i. BC post op frekuensi 2kHz = BC pre op frekuensi 2kHz
j. BC post op frekuensi 4kHz < BC pre op frekuensi 4kHz
k. BC post op frekuensi 4kHz > BC pre op frekuensi 4kHz
l. BC post op frekuensi 4kHz = BC pre op frekuensi 4kHz
Test Statisticsb
Descriptives
Median 40.0000
Variance 354.516
Minimum 30.00
Maximum 96.25
Range 66.25
Median 33.7500
Variance 356.481
Minimum 20.00
Maximum 96.25
Range 76.25
Median -5.0000
Variance 48.222
Minimum -20.00
Maximum 5.00
Range 25.00
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic Df Sig.
Descriptive Statistics
Ranks
Total 21
a. Ambang dengar pasca timpanoplasti < Ambang dengar pre timpanoplasti
b. Ambang dengar pasca timpanoplasti > Ambang dengar pre timpanoplasti
c. Ambang dengar pasca timpanoplasti = Ambang dengar pre timpanoplasti
Test Statisticsb
Z -3.351a
Asymp. Sig. (2-tailed) .001
a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test