Makalah Pengelolaan Perikanan Tangkap
Makalah Pengelolaan Perikanan Tangkap
Makalah Pengelolaan Perikanan Tangkap
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1
semakin berkembangnya berbagai bentuk alat tangkap yang kurang selektif
sejak tahun 1990. Terjadi penambahan jumlah (unit) alat tangkap ikan
demersal dan udang dengan alat tangkap trammel net, dogol, cantrang dan
jaring arad pada tahun (Sumiono et al., 2002). Hal ini terlihat didaerah
penelitian yang dari tahun ke tahun penangkapan dengan alat tangkap
tradisional. Arad, cantrang dan sebagainya. semakin meningkat penangkapan
ikan dengan alat tradisional telah lama dilakukan oleh nelayan, dengan Daerah
penangkapan yang tidak jauh dari pantai hingga kedalaman 20 m (Badrudin et
al., 1992). Sebagai sumber mata pencaharian yang menguntungkan, maka
pemanfaatan sumberdaya ikan demersal secara berkelanjutan perlu
dipertahankan.
1.2. Tujuan
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
pengelolaan demersal di Indonesia dengan melihat peluang dan tantangannya.
1.3. Manfaat
2
2. METODE PENELITIAN
Penelitian telah dilaksanakan di Kota Ternate, selama 1 (satu) bulan, yaitu dari
tanggal 25 april sampai dengan 25 Mei 2022.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder
ini diperoleh dengan cara merujuk pada berbagai jurnal terbaru yang merupakan
hasil penelitian sebelumnya, dan memiliki keterkaitan dengan judul ini. Data yang
kumpulkan meliputi; pengelolaan sumberdaya perikanan, pengelolaan ikan
demersal di indonesia, alat tangkap ikan demersal, dan sumberdaya ikan demersal.
Dalam penelian ini, data dianalisis secara deskriptif berkaitan dengan parameter-
parameter yang diamati berdasarkan analisis isi (content analysis) jurnal hasil
3
penelitian yang sebelumnya dan selanjutnya dikompilasi serta ditampilkan dalam
bentuk tabel (Sudarmo et. al., 2013). Pengelolaan perikanan demersal dianalisis
berdasarkan pengelolaan perikanan demersal yang dilakukan di beberapa wilayah
Indonesia kemudian dikompilasi kedalam hasil. Hasil kompilasi menjadi rekomendasi
pengelolaan perikanan demersal dengan melihat peluang dan tantangannya.
4
1. Pemeliharaan proses sumberdaya perikanan, dengan memelihara ekosistem
penunjang bagi kehidupan sumberdaya ikan.
2. Menjamin pemanfaatan berbagai jenis ekosistem secara berlanjut.
3. Menjaga keanekaragaman hayati (plasma nuftah) yang mempengaruhi ciri–ciri,
sifat dan bentuk kehidupan.
4. Mengembangkan perikanan dan teknologi yang mampu menumbuhkan industri
yang mengamankan sumberdaya secara bertanggung jawab.
5
kepunahan sumberdaya ikan tersebut. Oleh karena itu diperlukan suatu
pengaturan musim penangkapan ikan.
Pengaturan musim penangkapan ikan dapat efektif pada negara –
negara yang sistem hukumnya dilaksanakan dengan ketat. Bila penegakan
hukum tidak dapat dilaksanakan, maka pengaturan musim penangkapan
ikan tidak dapat efektif, karena tentu terjadi banyak pelanggaran.
Dalam pengaturan musim penangkapan ikan juga perlu diketahui
terlebih dahulu sifat biologi dari sumberdaya ikan tersebut. Sifat biologi
dimaksud meliputi siklus hidup, lokasi dan waktu terdapatnya, serta
bagaimana reproduksinya. Pengaturan musim penangkapan dapat
dilaksanakan secara efektif bila telah diketahui antara musim ikan dan
bukan musim ikan dari jenis sumberdaya ikan tersebut. Selain itu juga
perlu diketahui musim ikan dari jenis ikan yang lain, sehingga dapat
menjadi alternatif bagi nelayan dalam menangkap ikan. Misalnya, bila
terhadap suatu jenis ikan dilarang untuk ditangkap pada waktu tertentu,
maka nelayan dapat menangkap jenis lain pada waktu yang sama.
Kendala yang mungkin timbul pada pelaksanaan kebijakan pengaturan
musim penangkapan ikan adalah (1) belum adanya kesadaran nelayan
tentang pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya ikan yang ada, (2)
lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh aparat, (3) terbatasnya sarana
pengawasan.
2. Penutupan daerah penangkapan
Kebijakan penutupan daerah penangkapan dilakukan bila sumberdaya
ikan yang ada telah mendekati kepunahan. Penutupan daerah penangkapan
dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada sumberdaya ikan yang
mendekati kepunahan untuk berkembang kembali sehingga stoknya dapat
bertambah.
Guna menentukan suatu daerah penangkapan ditetapkan untuk ditutup,
maka perlu dilakukan penelitian tentang stok sumberdaya ikan yang ada
pada daerah tersebut, dimana dan kapan terdapatnya, serta karakteristik
lokasi yang akan dilakukan penutupan daerah penangkapan. Penutupan
daerah penangkapan juga dapat dilakukan terhadap daerah–daerah yang
merupakan habitat vital, seperti daerah hutan bakau dan daerah terumbu
karang. Seperti diketahui bahwa daerah vital tersebut merupakan daerah
berpijah (spawning ground) dan daerah asuhan (nursery ground).
Penutupan daerah penangkapan untuk daerah vital dimaksudkan agar
telur–telur ikan, larva dan ikan yang masih kecil dapat tumbuh menjadi
ikan dewasa.
Untuk mendukung kebijakan penutupan daerah penangkapan,
diperlukan pengawasan yang ketat oleh pihak aparat. Demikian pula
halnya dengan peraturan yang ada, perlu ditetapkan peraturan yang xxi
6
bersifat represif. Upaya ini dilakukan demi menjaga kelestarian
sumberdaya ikan jenis tertentu yang mengalami ancaman kepunahan.
3. Selektifitas alat tangkap
Kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan
selektifitas alat tangkap bertujuan untuk mencapai atau mempertahankan
struktur umur atau struktur ukuran ikan dalam suatu stock pada suatu
daerah. Selektifitas alat tangkap dilakukan untuk menyeleksi ikan yang
akan ditangkap. Dengan demikian hanya ikan– ikan yang telah mencapai
ukuran tertentu saja yang ditangkap. Sementara ikan–ikan yang lebih kecil
tidak tertangkap, sehingga dapat memberi kesempatan bagi ikan–ikan
kecil untuk tumbuh menjadi besar.
Contoh penerapan pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan
selektifitas alat tangkap, ialah : (1) Penentuan ukuran minimum mata
jaring (mesh size) pada alat tangkap gill net, purse seine dan alat tangkap
tarik, misalnya payang, pukat dan sebagainya. (2) Penentuan ukuran mata
pancing pada longline. (3) Penentuan lebar bukaan pada alat tangkap
perangkap
Dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan
selektifitas alat tangkap ini, peran nelayan sangat penting. Pengetahuan
dan kesadaran nelayan akan pentingnya pelestarian sumberdaya ikan
merupakan faktor utama keberhasilan kebijakan pengelolaan ini. Hal ini
disebabkan aparat sulit untuk melakukan pengendalian dan pengawasan
karena banyaknya jenis alat tangkap (multi gears) yang beroperasi di
Indonesia. Kendala pelaksanaan kebijakan dengan selektifitas alat tangkap
yaitu diperlukan biaya yang tinggi untuk memodifikasi alat tangkap yang
sudah ada. Sehingga peran nelayan untuk memodifikasi alat tangkapnya
sangat diharapkan sesuai dengan keadaan lokasi penangkapannya.
4. Pelarangan alat tangkap
Pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan pelarangan alat
tangkap didasarkan pada adanya penggunaan bahan atau alat berbahaya
dalam menangkap ikan baik bagi ekosistem perairan maupun berbahaya
bagi yang menggunakan, misalnya penggunaan racun ikan dan bahan
peledak (bom ikan). Tujuan dari pelarangan penggunaan alat atau bahan
berbahaya ini adalah melindungi sumberdaya ikan dan ekosistem yang ada
yang bermanfaat bagi kehidupan biota air. Sebagai contoh penggunaan
racun ikan, selain menyebabkan kematian ikan sasaran, juga menyebabkan
kematian pada ikan–ikan yang masih kecil dan telur ikan. Penggunaan
bahan peledak dapat menyebabkan kerusakan habitat ikan dan kematian
biota air lainnya yang bukan merupakan sasaran penangkapan.
Seringkali pelanggaran terhadap peraturan pelarangan penggunaan alat
atau bahan berbahaya ini tidak ditindak sesuai dengan hukum yang
7
berlaku. Hal ini menyebabkan pelaksanaan peraturan pelanggaran
penggunaan alat atau bahan berbahaya ini tidak efektif. Oleh karena itu
efektifitas pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan
pelarangan alat tangkap ini sangat tergantung pada penegakan hukum
yang dilakukan oleh aparat.
Dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan dengan pendekatan
pelarangan alat tangkap ini, kepedulian nelayan dan masyarakat pesisir
menjadi faktor yang sangat penting. Pengawasan yang dilakukan oleh
masyarakat dalam pelaksanaannya sangat membantu aparat untuk
menindak secara tegas pelanggaran yang terjadi.
5. Kuota penangkapan
Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan kuota
penangkapan adalah upaya pembatasan jumlah ikan yang boleh ditangkap
(Total Allowable Catch = TAC). Kuota penangkapan diberikan oleh
Pemerintah kepada industri atau perusahaan penangkapan ikan yang
melakukan penangkapan pada suatu perairan di wilayah negara Indonesia.
Untuk menjaga kelestarian sumberdaya suatu jenis ikan, maka nilai TAC
harus di bawah Maximum Sustainable Yield (MSY)–nya. Sehingga
sebelum nilai TAC ditentukan, perlu diketahui terlebih dahulu nilai MSY
– nya.
Implementasi dari kuota penangkapan dengan TAC ialah, (1)
penentuan TAC secara keseluruhan pada skala nasional atas suatu jenis
ikan di perairan tertentu, kemudian diumumkan kepada semua nelayan
sampai secara total mencapai TAC yang ditentukan, bila telah tercapai
TAC, maka aktifitas penangkapan terhadap jenis ikan tersebut dihentikan
dengan kesepakatan bersama; (2) membagi TAC kepada semua nelayan
dengan keberpihakan kepada nelayan atas dasar keadilan, sehingga tidak
menimbulkan kecemburuan sosial akibat perbedaan pendapatan nelayan;
(3) dengan membatasi atau mengurangi efisiensi penangkapan ikan
sehingga TAC tidak terlampaui.
6. Pengendalian upaya penangkapan
Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan pengendalian
upaya penangkapan didasarkan pada hasil tangkapan maksimum agar
dapat menjamin kelestarian sumberdaya ikan tersebut.
Pengendalian upaya penangkapan dapat dilakukan dengan membatasi
jumlah alat tangkap, jumlah armada, maupun jumlah trip penangkapan.
Untuk menentukan batas upaya penangkapan diperlukan data time series
yang akurat tentang jumlah hasil tangkapan suatu jenis ikan dan jumlah
upaya penangkapannya di suatu daerah penangkapan. Mekanisme
pengendalian upaya penangkapan yang paling efektif adalah dengan
membatasi izin usaha penangkapan ikan pada suatu daerah penangkapan.
8
3.2. Pengelolaan Ikan Demersal di Indonesia
Sumber daya ikan demersal adalah jenis-jenis ikan yang sebagian besar
dari siklus hidupnya berada di dasar atau sekitar dasar perairan. Sepuluh
kelompok ikan demersal yang cukup dominan di Laut Jawa adalah ikan
peperek (Leiognathidae), kapas-kapas (Gerreidae), kuniran (Mullidae),
manyung (Ariidae), beloso (Synodontidae), gulamah (Sciaenidae), bawal
putih (Stromateidae), kurisi (Nemipteridae), kakap merah (Lutjanidae), dan
gerot-gerot (Pomadasyidae). Selain kesepuluh kelompok ikan tersebut
beberapa jenis ikan lainnya yang kadang-kadang tertangkap dalam jumlah
yang cukup banyak v adalah ikan layur (Trichiuridae), kerong-kerong
(Theraponidae), kerapu (Serranidae), kurau (Polynemidae), kelompok ikan
sebelah seperti Bothidae, Soleidae, Cynoglosidae, dan Psettodidae (terutama
Psettodes erumei). Dalam perkembangan alat tangkap, dogol atau cantrang
pada dasarnya merupakan alat tangkap yang dapat dikatakan early form
(bentuk awal) dari trawl, yang sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1960-an
(Unar, 1972). Cantrang tersebut berbentuk jaring berkantong yang disusun
demikian rupa sehingga membentuk krucut dengan kantong pada bagian
ujungnya (cod end). Jaring yang disusun terdiri atas berbagai ukuran mata
jaring (mesh size) mulai dari ukuran besar pada bagian sayap, terus ke
belakang semakin mengecil dan bagian kantong merupakan bagian jaring
dengan mata jaring yang terkecil.
3.3. Alat Tangkap Ikan Demersal
Perairan Indonesia merupakan basis penangkapan Ikan Demersal yang
telah berlangsung lama. Dari cara pengoperasiannya, alat yang digunakan
cukup variatip yang terdiri dari alat tangkap aktif maupun pasif. Alat tangkap
Ikan Demersal yang cukup efektif antara lain cantrang dan arad. Alat ini
dioperasikan pada perairan dangkal dengan dasar pasir, lumpur maupun pasir
berlumpur. Alat tersebut terdiri dari tali slambar, sayap dan kantong, dengan
bentuk kantong kerucut.
Alat tangkap pasif adalah trammel net, mempunyai tiga lapis jaring yang
berbeda ukurannya, ukuran mata jaring bagian dalam lebih kecil dari pada
lapis bagian luar. Sasaran utama dari alat tangkap tersebut adalah udang dan
ikan dasar.
a. Jaring Arad
Jaring arad adalah jenis alat tangkap dasar yang merupakan
modifikasi dari trawl. Alat tangkap ini termasuk pukat pantai.
Konstruksi jaring arad terdiri dari bagian kantong, badan dan sayap.
Ukuran mata jaring bagian kantong lebih kecil dibandingkan dengan
9
ukuran mata jaring bagian badan dan sayap. Pada bagian ujung kedua
sayap dilengkapi papan pembuka (otter board) dan tali penarik.
Pengoperasiannya dilakukan dengan ditarik oleh perahu motor
membentuk luasan sapuan tertentu. Ikan sasaran penangkapan jaring
arad adalah ikan – ikan dasar (demersal) termasuk udang.
Syarat daerah penangkapan dengan jaring arad yaitu perairan yang
mempunyai dasar lumpur atau lumpur berpasir, tidak terdapat karang,
angin dan arus serta gelombang tidak terlalu besar.
Keuntungan menggunakan jaring arad antara lain (1)
pengoperasiannya lebih mudah, (2) penanganan dan perawatan jaring
relatif mudah. Sedangkan kelemahannya antara lain (1) ikan yang
tertangkap dalam keadaan mati, sehingga tidak dapat digunakan untuk
menangkap biota yang diharapkan dalam keadaan hidup, seperti induk
udang, (2) merupakan alat tangkap yang tidak selektif, artinya
berbagai jenis biota dapat tertangkap, demikian juga kotoran dan
sampah yang terdapat di dasar perairan terkadang ikut terangkat.
Jaring arad merupakan jaring yang ditarik sepanjang dasar perairan
sehingga sangat efektif untuk menangkap udang serta Ikan Demersal
(BPPI, 1996).
Disebutkan dalam penelitian BPPI, (1996), berdasarkan
pengamatan yang dilakukan oleh Lembaga Pengkajian dan
Pemberdayaan Lingkungan dan Konservasi Alam Tahun 2000, bahwa
jaring arad merupakan jaring yang sangat produktif untuk menangkap
Ikan Demersal dan udang. Dibandingkan dengan alat tangkap gill net
dasar dan trammel net, maka jaring arad menunjukkan produktifitas
yang lebih tinggi.
b. Cantrang
Cantrang dapat diklasifikasikan menurut cara pengoperasiannya,
bentuk konstruksi serta fungsinya, mempunyai banyak kemiripan
dengan pukat harimau.
Menurut Subani dan Barus (1989): Cantrang, Dogol, Payang dan
Bundes diklasifikasikan ke dalam alat tangkap “Danish Seine”
berbentuk panjang tetapi penggunaannya untuk menangkap Ikan
Demersal terutama udang.
Pengoperasiannya dilakukan dengan melingkarkan tali slambar
dan jaring pada dasaran yang dituju. Cantrang terdiri dari (1) kantong
(codend); bagian tempat berkumpulnya hasil tangkapan yang pada
10
ujungnya diikat dengan tali hasil tangkapan yang pada ujungnya diikat
dengan tali hasil tangkapan tidak lolos. (2) Badan; bagian terbesar dari
jaring yang terletak diantara kantong dan kaki jaring, terdiri dari
bagian kecil–kecil dengan ukuran mata jaring yang berbeda–beda. (3)
Kaki (sayap); terbentang dari badan hingga
slambar yang berguna sebagai penghalang ikan masuk ke dalam
kantong. (4) Mulut; pada bagian atas jaring relatif sama panjang
dengan bagian bawah.
Alat tangkap cantrang dioperasikan dengan kapal berukuran 8,5 –
11 m x 1,5 – 2,5 m x 1 – 1,5 m dengan kekuatan mesin 18 – 27 PK.
Hasil tangkapan cantrang terdiri dari : petek (Lucguathidae), tiga waja
(Sciaenidae), kuniran (Mullidae), pari (Trigonidae).
Menurut Subani dan Barus (1989); Daerah penangkapan (fishing
ground) cantrang tidak jauh dari pantai, pada bentuk dasar perairan
berlumpur atau lumpur berpasir dengan permukaan dasar rata. Daerah
tangkapan yang baik kelompok alat tangkap “Danish Seine” harus
memenuhi syarat sebagai berikut : a) Dasar perairan rata dengan
substrat pasir, lumpur atau tanah liat berpasir. b) Arus laut cukup kecil
(< 3 knot). c) Cuaca terang tidak ada angin kencang.
c. Bundes
Bundes termasuk payang yang berukuran besar, seluruh bagian
jaring bundes terbuat dari lawe. Pada tali ris diberi pelampung, tetapi
pada ris bawah tanpa pemberat sebagai gantinya tali ris bawah terbuat
dari ijuk. Pada kedua ujung kaki diberi kayu perentang yang fungsinya
untuk memudahkan terbukanya jaring pada waktu operasi.
Bagian kantong terdiri dari enam bagian yang mempunyai ukuran
mata sama. Demikian juga pada bagian kaki yang hanya terdapat satu
ukuran mata, hanya pada ris atas dan bawah ukuran mata berbeda.
Dilihat dari bentuknya yang berkantong maka jaring bundes termasuk
Danish Seine. Tetapi bila dilihat dari cara operasinya di pantai maka
bundes disebut juga “Beach Seine”.
Menurut Subani dan Barus, (1989) menjelaskan bahwa
Pengoperasian bundes dilakukan relatip dekat dengan pantai pada
kedalaman antara 4 – 15 m, kadang pada perairan yang lebih dangkal,
bundes dioperasikan sepanjang tahun. Dominasi ikan yang tertangkap
sangat bervariasi sesuai dengan musim ikan yang sedang berjalan.
Cara penangkapannya dilakukan dengan menduga – duga pada tempat
yang diperkirakan banyak ikan maupun udang.
11
Hasil tangkapannya berupa ikan dasar atau udang yang hidup
relatip dekat dengan pantai. Jenisnya antara lain : tiga waja
(Sciaenidae), petek (Leiognathidae), rebon (Mycidae), teri
(Engrauiidae) dan lain – lain.
d. Trammel Net
Trammel net adalah jaring insang yang mempunyai tiga lapis
jaring yang berbeda ukuran mata jaringnya. Ukuran mata jaring pada
lapisan dalam lebih kecil dari pada ukuran mata pada lapisan luar,
sehingga sangat efektif untuk menangkap udang Penaeid yang
berukuran besar. Udang dan Ikan Demersal tertangkap dengan cara
terpuntal.
Alat tangkap ini merupakan alat tangkap dasar (bottom). Selain
udang Penaeid berukuran besar, trammel net juga digunakan untuk
menangkap ikan-ikan demersal lainnya sebagai hasil tangkap
sampingan, seperti ikan tigawaja (Johnius sp.), gulamah (Pseudosciena
sp.), layur (Trichiurus sp.) kerong-kerong (Therapan sp.), kerot - kerot
(Pomadasys sp.), petek (Leiognathus sp.) dan ikan lidah (Cynoglossus
sp.). Pengoperasian trammel net dapat dilakukan secara pasif, semi
aktif dan aktif.
1. Operasi secara aktif yaitu dengan membiarkan jaring
menghanyut mengikuti arus air pada dasar perairan.
2. Operasi semi aktif yaitu dengan menarik jaring secara
melingkar di sepanjang dasar perairan sehingga seluruh
jaring melingkar mengikuti arah gerak kapal.
3. Operasi secara aktif yaitu dengan menarik jaring secara
melingkar menyapu dasar perairan dimana ujung
tinting pertama diturunkan tidak bergerak dan
berfungsi sebagai pusat lingkaran gerak kapal yang
bergerak mengelilingi ujung tinting pertama.
Daerah penangkapan (fishing ground) dari alat tangkap trammel
net adalah perairan pantai yang mempunyai dasar perairan lumpur,
pasir atau campuran lumpur dan pasir, topografi dasar perairan
relatif datar. Dasar perairan tidak terdapat penghalang seperti
karang, tonggak bekas bagan, rongsokan kapal dan lain-lain.
Kedalaman perairan berkisar antara 3 sampai 21 meter. Perairan
mempunyai arus dan gelombang yang tidak terlalu besar, sehingga
pembukaan mulut jaring dapat sempurna.
3.4. Sumberdaya Ikan Demersal
12
Sumberdaya Ikan Demersal adalah jenis - jenis ikan yang hidup di dasar
atau dekat dasar perairan. Ciri utama sumberdaya Ikan Demersal antara lain
memiliki aktifitas rendah, gerak ruaya yang tidak terlalu jauh dan membentuk
gerombolan tidak terlalu besar, sehingga penyebarannya relatif merata
dibandingkan dengan Ikan Pelagis (Aoyama 1973 dalam Badruddin et.al.
1992). Jenis ini banyak dijumpai di dekat perairan muara sungai yang
merupakan daerah yang sangat subur secara ekologis, karena terjadi
penumpukan zat hara dari daratan (Jasman, 2001).
Ruaya Ikan Demersal tidak didasarkan pada pengaruh suhu, salinitas atau
makanan, tetapi untuk berpijah (Efendi, 2002). Disamping itu distribusi atau
sebaran Ikan Demersal sangat dibatasi oleh kedalaman perairan, karena tiap
jenis ikan hanya mampu bertoleransi terhadap kedalaman tertentu sebagai
akibat perbedaan tekanan air, karena semakin dalam suatu perairan akan
semakin besar tekanan yang diterima.
Oleh karena itu pola penyebarannya juga dipengaruhi oleh dasar perairan
yang berfungsi menentukan densitas organisme lain yang merupakan
makanan ikan dan menentukan tingkat kesuburan perairan karena alga dan
bentos mampu mendukung tingkat produktifitas primer tertentu terhadap
perairan tersebut (Hutabarat, 2000). Sifat beberapa jenis Ikan Demersal
terlihat pada Tabel 1.
13
berlindung dan daerah asuhan (nursery ground). Dari aspek biologi perikanan,
kawasan-kawasan tersebut sangat penting dalam menunjang keberanjutan
kehidupan organisme laut. Dengan demikian, explorasi dan eksploitasi
kawasan perairan tersebut harus benarbenar memperhitungkan aspek daya
dukung dari kawasan tersebut.
Rata- Maximum
Rata
14
(Priacanrhidae) hingga
kedalaman
200 m
15
4. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan di Indonesia perlu dilakukan
eksploitasi dengan cara penangkapan. penglelolaan eksploitasi terhadap sumberdaya
perlu dilakukan karena daerah-daerah tertentu di Indonesia tingkat eksploitasi
sumberdaya ikan telah mengalami kelebihan penangkapan (over fishing).
4.2. Saran
Adapun saran dari penilitian ini yaitu perlu adanya kegiatan sosialisasi secara
langsung yang terkait dengan pengelolaan perikanan terhadap masyarakat sehingga
tidak terjadi pelanggaran yang di atur dalam aturan pengelolaan perikanan di
indonesia
16
DAFTAR PUSTAKA
17
18