Panduan Pelatihan Sem Dan Path Sem Pls Bahan 1
Panduan Pelatihan Sem Dan Path Sem Pls Bahan 1
Panduan Pelatihan Sem Dan Path Sem Pls Bahan 1
Workshop Sehari
Pengembangan Hierarchies Latent Model
SmartPls versi 3
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
disusun oleh :
Dr. Sudjana Budhi, SE, MSi
website : www.dukutsbudhi.com
email : [email protected]
1
BAB I
PENDAHULUAN
prediction orientation, dengan small sample, hal mana akan banyak memberikan
perkembangan pengguna SEM PLS yang semakin meningkat secara signifikan pada 5
ilmiiah. Hal lain yang patut diperhatikan adalah penyusunan daftar pertanyaan yang
mewakili dengan baik basis teori yang dipergunakan, serta telah teruji dengan baik
bahwa syarat random dimana semua peluang jawaban mewakili skala Likert 1,2,3,4,5
terjawab pada peluang yang sama besar. Jika pertanyaan disusun sangat normative,
maka hasil analisis akan menjadi bias. Pertanyaan seperti : karyawan sebuah
perusahaan ada yang sangat rajin, sehingga perlu dinaikkan gajinya. Pertanyaan
tersebut adalah statemen yang normative, sehingga setipa responden akan cenderung
Fokus studi SEM PLS berbeda dengan covarianced-based study yang saat ini
di develop dengan merk dagang AMOS atau Lisrel, keduanya lebih memfokuskan
kepada pendekatan uni-dimensional. SEM PLS lebih memperhatikan secara detail dan
melalui aplikasi analisis factor, yang pengujiannya dilakukan pada dua tahap. Tehap
2
pertama adalah kelayakan reliability dengan penggunaan analisis cronbach, composity
instrumen penelitian.
jumlah sample sebanyak 20 responden sebagai uji coba untuk mendapatkan kelayakan
tidak dimengerti oleh responden, adanya kendala penyusunan daftar pertanyaan dengan
kalimat yang berlebihan, pengukuran instrument yang tidak tepat, yang menyebabkan
data menjadi tidak reliable dan valid. Tenenhouse at al (2004) dan juga Henseler et al
dianggap cukup untuk untuk menetapkan kualitas daftar pertanyaan melaui uji
Penelit dapat mempergunakan software SPSS 17 atau versi yamg l;ebih baru
untuk melakukan uji reabilitas cronbach Alpha yaitu dengan melakukan pengujian
dari indikator yang merefleksikan bahwa konstruk telah memiliki sebaran nilai yang
peneliti dapat memnperolah dua hal sekaligus, pertama kelayakan validitas, kedua
3
dimanfaatkan untuk mengkonstruksi data skala menjadi laten variabel score. ( Field,
2005). Jika hasil analisis mendapatkan nilai KMO paling sedikit atau lebih dari 0.70,
dinyatakan reliable apabila didapatkan paling rendah cronbach Alpha memiliki nilai
sebesar 0.60 dapat dinyatakan bahwa data categorical memiliki sebaran data yang
hubungan kausal antara variabel laten independen dengan variabel laten dependen
reliabilitas dan validitas menjadi penting disebabkan atas posisi data jika tidak valid
akan menyebabkan tercapainya hasil estimasi yang bias (Singleton dan Straits, 2010).
Peneliti juga dapat memanfaatkan metode analisis yang lebih lengkap dari software
tulisan ini.
indicator (Wong, 2013), yang menyatakan bahwa reliability cronbach Alpha sebesar
0.70, atau dapat lebih rendah setingkat dengan 0.60 untuk kegiatan penelitian bersifat
ekploratif. Pengukuran reabilitas juga dapat diukur dengan metode composit reability,
dimana dinyatakan reliable apabila didapatkan composit reability sebesar 0.70 atau
lebih tinggi. Pendekatan metode compoite reability untuk kegiatan penelitian ekploratif
dapat mempergunakan kisaran nilai antara 0.60 sampai dengan 0.70 ( Hair et al, 2011).
4
Pengukuran berikutnya adalah melakukan pengujian terhadap validitas
instrument sebagai alat ukur untuk terpenuhinya syarat berikutnya untuk dapat
atas proses pengukuran daftar pertanyaan dan kualitas informasi yang dapat dihasilkan
atas sejumlah item pertanyaan tersebut. Konsep validity adalah merupakan perluasan
dinyatakan valid adalah bilamana alat pengukuran instrument yang bersangkutan dapat
berfungsi untuk mengukur apa seharusnya yang perlu diukur (MacKenzie, Podsakoff,
& Podsakoff, 2011; Singleton dan Straits, 2010; Trochim dan Donnelly, 2007).
tentang kualitas indikator sebagai instrumen alat pengukuran, yang apabila dilakukan
secara berulang dengan obyek yang sama, maka akan didapatkan konstruk yang sama.
Keterkaitan antara reability dan validity adalah bahwa sebuah instrumen dinyatakan
valid, maka lebih dapat dipastikan bahwa instrument adalah reliable, sedangkan
sebuah instrumen dinyatakan reliable belum dapat dinyatakan valid. Meskipun sebuah
instrumen dinyatakan reliable yang terbebas dari random errors, tetapi masih mungkin
terdapat systematic error, akan tetapi sebuah instrumen dinyatakan valid adalah
bahwa instrument tersebut telah terbebas dari persoalan random error dan systematic
mengelola instrumen untuk mendapatkan pola pengukuran yang terbebas dari random
error dan systematic error adalah untuk mendapatkan informasi data yang berkualitas
reliable dan valid akan membantu peneliti mendapatkan informasi data ditingkat
5
outer-model untuk dapat diteruskan ke tingkat pengembangan metode statistic
regressi pada inner model, sehingga akan didapatkan inferensi, interpretasi data dan
penarikan kesimpulan yang semakin akurat dan berdaya guna maksimal ( Abugabah
al. (2009).
perlu ditindak-lanjuti dengan pengukuran validitas data (Singleton & Straits, 2010).
maka nilai AVE adalah minimal atau lebih besar dari 0.50 ( Hair, et al 2011, Wong,
2013). Metode lain yang dapat dipergunakan untuk mendapatkan informasi bahwa
loadings harus lebih besar dari cross- loading seluruh konstruk (Hair et al, 2011).
Metode lain yang tersedia untk mengukur validitas adalah pengembangan metode
average variance extracted (AVE) dari Fornerll dan Larcker (1981). Berdasarkan
terpenuhi jika akar dari AVE untuk setiap variabel laten adalah lebih besar dari
korelasi dari relasi antar variabel laten ( Fornell dan Larcker, 1981). Cara lain yang
dapat dilakukan untuk untuk mendapatkan convergent validity adalah berdasarkan the
Henseler, Ringle, dan Sarstedt (2015), yang menyatakan bahwa nilai HTMT
sebarannya adalah lebih kecil dari 0.85 dan nilai confidence interval adalah lebih kecil
6
(Abugabah and Sanzogni (2010), Chou and Chang (2008). Tabel 5.7 menyajikan hasil
kemudian disusun untuk menadi guide-line materi yang searah dengan panduan
pustaka yang tersajikan diatas, sehingga dapat dihindari adanya kekeliruan atau multi-
tafsir atas hasil analisis yang dapat membingungkan pembaca. Sejauh yang dapat
dihidari, adalah bahwa menulis akan selalu berusaha merujuk kepada jurnal terkini
atas pekembangan penggunaan metode SEM PLS pada sejumlah jurnal internasional,
sebagai panduan untuk mendapatkan pandangan yang sama atas persoalan praketk
penggunaan SEM PLS berikut interpretasi atas hasil analisis SEM PLS tersebut.
Software SmartPls Versi 3 student, jurnal SEM PLS internatonal, serta data
pimer dari sejumlah mahasiswa S3 ( Indro Kirono, FEB UB 2016 berikut model
disertasi atas ijin yang bersangkutan), Candra Dewi MHS S3 FEB UNUD 2016, atas
ijin yang bersangkutanb), serta Putu Kawiana MHS S3 FEB UNUD atas ijin yang
bersangkutan, telah disertakan pada CDROM sebagai bahan pelatihan di FEB Univ.
7
SEM PLS BERBASIS VARIANCE
KASUS 1 :
Studi Tentang Pengaruh Kapabilitas Sumber Daya Managerial Dalam
Membangun Kinerja UsahaPada Perusahaan Logistik
Gambar 1.1
Definisi:
Variabel : adalah satuan unit analisis yang dapat diukur seara langsung ( harga,
produksi,dst)
Konstruk: adalah satuan unit analisis yang tidak dapat diuur secara langsung
(Kepuasan, kapabilitas, kinerja pelangan, kualitas informasi dst)
Dimensi : adalah konsep yang bersumber dari teori untuk membangun konstruk
tertentu. Dimensi dapat berjumlah sekurang-kurangnya dua buah dan
paling banyak 6 buah ( Hair, 2010) yang jumlahnya sangat terikat
kepada konsep teori yang dibangun untuk mengkonstruksikan dimensi
tersebut.
Tabel 1.1
Konstruk dan Dimensi Capabilitas
8
Tabel 1.2
Konstruk dan Dimensi Logistic Performance
Skala Pengukuran :
1 : Sangat tidak setuju
2 : Tidak Setuju
3 : Neutral
4 : Cukup Setuju
5 : Sangat setuju
Tabel 1.3
Dimensi dan Pengukuran skala Likert
Tabel 1.4
Dimensi dan Pengukuran skala Likert
9
Tabel 1.1
Data survey Lapangan ( Indro Kirono, Surabaya, 2015)
Hasil Awawncara Collobaration (Y2) dan Logistic Performance (Y1)
Y1 1
1Y2 ……………. (1.1)
1
Persamaan (1.1) adalah dikenal dengan model regressi, yang terdri dari
persamaan dependent Y1, serta persamaan independent Y2. Sehubungan dengan kedua
anggota persamaan (1.1) adalah bukan variabel, tetapi adalah konstruk, yaitu satuan unit
analisis yang tidak dapat diukur secara langsung, tetapi mempergunakan skala
pengukuran Likert (1,2,3,4,5), sehingga diperlukan dua prosedur penyelesaian analisis
yaitu (a) Outer-model dann (b) Inner-model.
Prosedur pengukura tingkat pertama, disebut outer-model, yaitu penggunaan
analisis factor untuk mendapatkan regression score. Penggunaan secara langsung
metode regressi tidak dapat dilakukan pada data nominal (categorical data), sehingga
perlu dicari skala pengukuran mempergunakan analisis factor. Berbeda dengan metode
10
regressi yang telah kita kenal, pada teknik analisis factor, data latent didapatkan dengan
cara mereduksi yang berbeda dengan metode kuadrat sebagaimana dilakukan pada
metode regressi.
Gambar 1.4
Konstruk Logistic Perpformance (Y1)
11
Tabel 1.2
Hasil Olah Data Excel dan SPSS
12
Pengembangan model SEM PLS yang dikembangkan oleh Herman Wold
(1981), Joreskoug (1988), kemudian menjadi lebih dikembangkan ke tingkat
prediction oriented dengan small sample, serta melalui penggunaan regressi yang
tidak full regresseion atau dikenal sebagai partial regression, yang tidak memerlukan
asumsi normalitas. Bahwa focus studi SEM PLS bukan ditargetkan berorientasi
kepada final statistical report seperti pada pendekatan covariance-based model (
AMOS, Lisrel, EQS dan seterusnya), melainkan lebih terfokus kepada upaya untuk
mendapatkan kualitas informasi model ditingkat modeling dengan
mempertimbangkan tidak hanya model konstruk yang reflective, tetapi juga
fenomena adanya variabel laten yang berkarakter formative, yang tidak mungkin
dapat diselesaikan dengan pendekatan covariance-based. Kita akan bahas secara
khusus model formative pada uraian tersendiri, sementara pokok bahasan kita adalah
untuk memahami pola kerja analisis factor dalam mengkonstruksikan variabel latent
kemudian menjadi regression score.
Penelitian mahasiswa yag mempergunakan data categorical dimulai dari
1,2,3,4,5 adalah data skala yang tidak dapat diperlakukan secara utuh melalui
penggunaan analisis regressi, karena data categorical bukan data numeric, tetapi
adalah data laten yaitu data yang diperoleh melalui cara pengukuran tidak secara
langsung. Dengan demikian, tahap penyelesaian data categorical secara umum
sampai saat ini diselesaikan dengan memanfaatkan analisis factor yang berbasis
kepada upaya mendapatan pengelompokkan data berdasarkan dimensi, terposisikan
lebih tinggi, sedang atau rendah, meskipun ditingkat akhir bisa diselesaikan dengan
metode regressi, bahwa statistical result tetap memiliki karakter dimensi, bukan
kuantitatif yang berbasis variabel. (lihat Gambar 1.5).
Gambar 1.5 disebut sebagai proses outer-model, yaitu proses pembentukan
latent variable menjadi regression score dengan bantuan analisis factor. Proses
pembentukan konstruk bersumber dari indikator yang merefleksikan konstruk
bersangkutan. Banyak metode yang dapat dipergunakan, antara lain yaitu prosedur
Anderson Garbing, sebagaimana dapat ditemukan pada prosedur dimension reduction
factor analysis pada SPSS untuk mendapatkan regression score. (lihat Tabel 1.2
untuk konstruk Y1 SPSS dan Y2 SPSS. Ketika regression score sudah didapatkan,
maka proses berikutnya adalah menghubungkan konstruk satu dengan kontruk
lainnya melalui tanda panah. Pada proses menghubungkan satu konstruk dengan
kontruk lainnya memerlukan metode regressi untuk menyelesaikannya.
13
Gambar 1.5
Tahap Analisis Factor
Gambar 1.5 adalah focus dari studi SEM PLS dalam rangka mendapatkan
kualitas informasi yang konsisten dan tidak bias. SEM PLS memperkenalkan
pendekatan model formative ( lihat Lennox dan Bollen, (1991), Diamantopoluos dan
Winkhover, (2001), Jarvis et al (2003), Petter (2007), Henseler et al (2009), Hair et al
(2010), serta Ringer et al (2014).
Sebuah konstruk dinyatakan reliable apabila terpenuhi nilai cronbach Alpha
paling minimal 0.60 ( Nunally dan Bersttein, 1988), cara lain dengan
mempergunakan pendekatan composite reability ( Chin et al (1988), juga dengan nilai
minimal dengan keragaman paling kecil 0.60. Ketika kualitas data yang dianalisis
ternyata tidak reliable, maka peneliti bisa kembali melihat instrumen penelitian, yang
memiliki kemungkinan pertanyaan dengan jawaban ganda, atau sejumlah pertanyaan
yang memiliki tendensi mengarah kepada jawaban tertentu, sehingga meniadakan
peluang random yang seharusnya menjadi acuan responden dalam menjawab secara
bebas, memahami dengan benar dan mengerti atas jawaban mengapa mereka memilih
skala 1,2 atau skala lainnya. Sebagiamana telah dinyatajan sebelumnya, bahwa model
regressi dapat dilakukan apabila proses outer-model telah menunjukkan data
instrument adalah reliabel dan valid. Gambar 1.6 menyajikan proses ke tingkat inner-
model .
14
Gambar 1.6
Tahap Analisis Regressi
15
mendeteksi kelayakan model formative adalah melalui penggunaan analisis VIF untuk
mendapatkan uji collinearity (Tenenhouse et al (2004). Basis pendekatan konsep
formative adalah bersifat multi-dimensional, sehingga dinyatakan model formative
layak untuk dipertimbangkan ke analis berikutnya apabila nilai VIF lebih kecil dari 3
untuk inner model, serta VIF lebih kecil dari 10 untuk outer model untuk sebuah
model statistik yang terbebas dari gejala multi-collinearity.
Bahan workshop ini diharapkan dapat menjadi bahan review tentang SEM
PLS yang disederhanakan, pada proses dimana pemahaman pola yang sederhana
dapat menggugah dipergunakan alat analisis SEM PLS khususnya SmartPls pada
kebutuhan penulisan skripsi pada jenjang pendidikan Strata 1, yang diyakini bisa
dilakukan pada model hubungan tiga variabel laten dangan pengembangan model
mediasi segitiga, serta dukugan software Excel dan SPSS dapat dimanfaatkan sebagai
pengantar, untuk nantinya bisa masuk ke SmartPLS 3 jika pemahanan mahasiswa
sudah menjadi lebih baik dan memadai.
Bahasan berikut akan lebih banyak menguraikan pemahaman data yang tidak
dapat diukur secara langsung dikenal sebagai construck yang tidak sama dengan
variable. Kemudian terpenting bagi kita adalah menyadari bahwa pengukuran skala
adalah pengukuran dimensional, yang memiliki keterbatasan ruang gerak dalam
meng-interpretasikan hasil, yang tidak dapat diselaraskan dengan pengembangan
model regressi dengan data kuantitatif dan dinyatakan sebagai variable.
16
KASUS 2 : SIMULASI EXCEL OUTER-MODEL
Data yang dipergunakan sebagai sumber untuk memahami pola kerja analisis
factor dan regressi, telah disertakan pada CDROM dan ditampikan sebagian pada
Tabel 1.1 . Hasil perhitungan Excel dan SPSS untuk mendapatkan regression score
ternyata dapat dibuktikan sama, terdapat sedikit perbedaan karena adanya decimal
yang menyebabkan perbedaan yang tidak signifikan. Jika latent variable cara excel
dan cara SPSS dibandingkan, maka seperti tampak pada Gambar 1.7 yang dikelola
dengan teknik reduksi mempergunakan excel, serta Gambar 1.8 sepenuhnya
mempergunakan fasilitas dimension reduction analisis factor versi Anderson Garbing
(1988), sebagaimana disertakan pada pengembangan SPSS.
Gambar 1.7
Latent Variable Regression Score
Hasil Olah Data Excel
Cara berhitung melalui cara reduksi dan dibagi dengan standar deviasi,
didapatkan std. Y1 dan std. Y2 yang sepenuhnya dilakukan dengan cara manual,
sehingga dinyatakan sebagai data latent, yang menjadi basis perhitungan data skala
pada Smartpls, dan sejumlah software SEM dan PATH lainnya. Membandingan cara
excel dan SPSS membuktikan bahwa pola sebaran grafik pada Gambar 1.7 dan
Gambar 1.8 adalah sama dan tidak berbeda. Dengan demikian paling sedikit dapat
difahami, bahwa alur pembentukan data latent berbasis analisis factor yang
mempergunakan prosedur teknik reduksi.
Gambar 1.8
17
Latent Variable Regression Score
Hasil Olah Analisis Factor Data SPSS
Gambar 1.9
REGRESSION SCORE VERSI PERHITUNGAN EXCEL
Regression
Variables Entered/Removedb
Variables Variables
Model Entered Remove Method
d
1 y2a . Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: y1
Model Summary
Adjusted Std. Error of the
Model R R Square R Estimate
Square
1 .594a .352 .338 .81378
a. Predictors: (Constant), y2
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 15.850 1 15.850 23.93 .000a
4
Residual 29.138 44 .662
18
Total 44.988 45
19
a. Predictors: (Constant), y2
b. Dependent Variable: y1
Coefficientsa
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) -7.331E-17 .120 .000 1.000
y2 .594 .121 .594 4.892 .000
a. Dependent Variable: y1
Bardasarkan Ganbar 1.9 didapatkan nilai F yang hanya berbeda pada satu
digit, serta nilai R yang hanya berbeda 0.02. Hal yang juga didaptkan pada parameter
pada standar beta 0.594 pada model excel yang didapatan sebesar 0.597 pada model
SPSS. Dengan demikian, model perhitungan excel adalah valid dan dapat dijadikan
rujukan untuk mendapatkan prosedur Anderson Garbing yang juga diterapkan pada
SmartPls. Pembaca dapat membuktikan bahwa model dua variabel yang dipolakan
melalui penggunaan SmartPls akan menghasilkan model regressi yang sama.
Gambar 1.10
REGRESSION SCORE VERSI ANALISIS FACTOR SPSS
Regression
Model Summary
Adjusted R Std. Error of the
Model R R Square Square Estimate
1 .597a .357 .342 .81100230
a. Predictors: (Constant),
zb ANOVAb
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1 Regression 16.060 1 16.060 24.41 .000a
8
Residual 28.940 44 .658
Total 45.000 45
a. Predictors: (Constant), zb
b. Dependent Variable: za
Coefficientsa
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 1.849E-17 .120 .00 1.000
0
Zb .597 .121 .597 .000
4.941
a. Dependent Variable: za
20
Gambar 1.11 menyajikan informasi grafik dari data latent yang bersumber
pada perhitungan Smartpls, yang ternyata tidak berbeda banyak dengan Gambar 1.8
maupun Gambar 1.9, sehingga dapat disimpulkan bahwa model pengembangan
metode Anderson Garbing yang terdapat pada SPSS juga didapatkan pada SmartPls.
Meskipun dengan SPSS bisa didapatkan nilai indikator loading factors, namun SPSS
tidak memiliki orientasi kebutuhan praktis seperti yang dapat ditampilkan pada
SmartPls, sehingga relatif banyak waktu yang dihabiskan dalam pengolahan data
untuk mendapatkan model penyelesaian praktis, seperti disajikan pada SmartPls.
Gambar 1.11
Latent Variable Regression Score
Hasil Olah Analisis Factor SmartPls versi 3
21
Gambar 1.12 merupakan pengembangan dari Gambar 1.1, Gambar 1.5 dan
Gambar 1.6 dengan menyertakan konstruk information sharing, sehingga terdapat tiga
variabel laten yang saling berhubungan satu sama lainnya. Kita pada saatnya juga
akan mendapatkan model mediasi yang terbentuk dari pola hubungan antar variabel
laten yang berbentuk segitiga.
Gambar 1.12
Model Kinerja Perusahaan Logistik
22
Pengujian atas hipotesis berkaitan dengan peran mediation, dapat kita lakukan
dengan dua cara yang berbeda. (a) mempergunakan metode yang tersedia pada
SmartPls, serta (b) mempergunakan prosedur pengujian Sobel yang berada diluar
model SmartPls. Prinsip pengembangan uji statistik mediasi pada SEM PLS secara
garis besar masih berpedoman kepada Baron dan Kenny (1999), yang kemudian
diterjemahkan menjadi kalkulasi Sobel.
Kita akan menempatkan model segitiga dimaksud dilengkapi dengan sumber
data pada SmartPls versi 3. Model yang dimaksud dapat dilihat pada Gambar 1.13.
SmartPls versi 3 masih tetap mempertahankan dua tahap penyelesaian model
penelitian, pertama adalah tahap estimasi untuk mendapatkan prosedur pengujian
outer-model berbasis analisis factor, langkah kedua adalah prosedur bootstrapping
untuk mendapatkan uji statistik berbasis metode regressi. Langkah kedua disebut
penyelesaian inner-model, yaitu menghubungkan konstruk penelitian sesuai dengan
model yang dirumuskan peneliti.
Langkah pertama, adalah focus studi SEM PLS yang sangat mencermati
pengembangan verifikasi model, apakah seluruh konstruk yang dipergunakan
berdimensi reflective, atau reflective – formative, atau seluruhnya formative. Dalam
hal menetapkan apakah formative atau reflective, diperlukan rujukan yang memadai.
Lennox dan Bollen (1991), Diamantopolous dan Winkhover (2001), Jarvis et al
(2003) serta Petter (2007), Hair et al (2010) adalah sumber rujukan yang sangat
memadai untuk menetapkan sebuah konstruk dinyatakan refective atau formative.
Diamantopolous dan Winkhover (2001) adalah penggagas terkemuka yang
merumuskan model formative berbasis konstruk.
Dengan demikian, untuk menentukan sebuah variabel laten memiliki karakter
formative tidak ditentukan berdasarkan penilaian atas indikator yang dipergunakan
peneliti, tetapi berdasarkan konstruk yang dipergunakan, antara lain adalah dari
sumber data yang terindek (Diamantopolous dan Winkhover, 2001), konstruk
menggambarkan nuansa bilangan seperti marketing expences, government budget
( Hair et al, 2010).
Berdasarkan rujukan diatas, model formative dapat dinyatakan mewakili
sumber data bersifat non persepsi, serta data bilangan yang berpotensi merubah
konstruk. Hair et al (2012) memberikan ilustrasi tentang ciri-ciri orang mabuk, yang
jalannya tidak stabil, bicara tidak normal dan sulit difahami dan seterusnya, dapat
dinyatakan sebagai peristiwa reflective. Tetapi ketika sejumalah orang bertindak
23
melakukan pesta minuman keras, maka minuman keras merupakan causal effect yang
menyebabkan orang menjadi mabuk. Ilutrasi lainnya, seperti anggaran pemerintah
untuk memberdayakan orang miskin melalui bantuan modal dan pelatihan.
Tentu model bantuan pemerintah tersebut akan menjadi pertimbangan untuk
dipolakan menjadi model formative, karena nuansa bilangan dalam bentuk dana
pemerintah akan mengubah banyak orang miskin keluar dari kemiskinan, hal yang
sangat berbeda, jika peneliti hanya ingin mengetahui sejumlah indikator yang ada
pada rumah tangga miskin, seperti kurang gizi, pendidikan rendah dan seterusnya,
sehingga model refective dapat dipergunakan.
Kita akan membahas model formative pada bagian akhir dari pembahasan,
dengan harapan bahwa pemahaman terhadap reflective dengan prosedur pengujiannya
dapat difahami terlebih dahulu. Gambar 1.13 akan kita teruskan dengan pengolahan
data untuk mendapatkan sejumlah hasil analisis berkaitan dengan pengukuran
reabilitas dan validitas.
Gambar 1.13
Model SmartPls Kinerja Logistik
24
dimensional. Karena memiliki dimensi yang uni-dimensional, maka menghilangkan
satu indikator tidak akan mempengaruhi makna atas konstruk yang bersangkutan, hal
yang sangat berbeda dengan model formative yang memiliki karakter multi-
dimensional.
Berdasarkan data med.csv yang disediakan pada CDROM, didapatkan hasil
pengolahan data sebagaimana disajikan pada Gambar 1.14. Kita masih melihat perlu
melakukan reduksi atas sejumlah indikator yang belum menunjukkan pola covary,
sehingga tidak memberikan jaminan penuh bahwa model reflective yang kita dapatkan
adalah memiliki karakter uni-dimensional. Pada konstruk Y1 terdapat loading factor
Y1.3 sebesar 0.707 yang masih belum memiliki kesetaraan dengan indikator Y1.1 dan
Y1.2. Meskipun demikian, apabila konstruk hanya direfleksikan hanya oleh dua
indikator, teknik reduksi indikator mungkin sebaiknya tidak perlu dilakukan.
Gambar 1.14
Hasil Analisis Estinasi SmartPls
(tahapan outer-model)
25
atas konstruk Y1 tidak membawa dampak yang diharapkan, sehingga membiarkan
tanpa reduksi menjadi lebih baik, sangat berbeda dengan konstruk Y2 dan
konstruk X1, yang berhasil menempatkan loading factor menjadi covary. Reduksi
atas sejumlah indikator telah membuat koreksi atas nilai estimasi H1 yaitu pola
hubungan X1 dengan Y2, serta pola hubungan X1 dengan Y1, demikian juga Y2
dengan Y1. Perubahan estimasi terjadi sekaligus membuktikan bahwa estimasi
akan berubah apabila dimensi reflective belum memiliki sebaran covary secara
memadai. Ketika kesetaraan loading factor sangat setara, maka perubahan
estimasi tidak akan terjadi disebabkan telah berfungsinya dimensi yang uni-
diomensional.
Gambar 1.15 membuktikan bahwa reduksi indikator dengan tidak
menyertakan Y2.1 pada konstruk Y2 telah membuktikan konstruk memiliki
sebaran loading factor yang covary, perbaikan sebaran loading factor yang
semakin uni-dimensional juga dilakukan dengan tidak menyertakan indikator
X1.4 pada konstruk X. (lihat Gambar 1.15).
Gambar 1.15
Hasil Analisis Estimasi SmartPls
(tahapan outer-model)
26
salah satu dari indikator tidak membawa perubahan makna atas relasi yang sedang
berjalan.
Ketika tahapan konsep uni-dimensional telah dapat menetapkan model
reflective secara tuntas pada kondisi yang sehat, maka tahap berikutnya adalah
melakukan penilaian apakah instrumen kuestioner yang kita gunakan adalah
reliable sebagai penyedia informasi yang memiliki konsistensi internal atau tidak.
Banyak peneliti seringkali mengabaikan pentingnya menetapkan instrumen
pertanyaan yang dapat mewakili random probability dimana skala Likert memiliki
peluang yang sama untuk terpilih berdasarkan persepsi responden. Pertanyaan
yang bersifat normative, misalnya dapat menciptakan kondisi dimana responden
akan memilih skala 4 dan 5, hal yang dapat menimbulkan bias dengan kualitas
informasi yang bernilai rendah. Pertanyaan yang dimulai dengan hal-hal yang
umum dan normative seperti bahwa karyawan yang rajin bekerja sebaiknya
ditingkatkan gajinya, akan di respon oleh semua responden terpilih untuk
menjawab 4 atau 5. Itulah sebabnya, bahwa instrument penelitian sepatutnya diuji
terlebih dahulu sebelum diputuskan untuk ditingkatkan ke analisis inner-model
( regression methods).
Tabel 1.3 menyajikan uji reabilitas mempergunakan cronbach Alpha yang
mensyaratkan bahwa sebuah konstruk reliable apabila nilai konstruk berada diatas
0.60 ( Nunally dan Berstein, 1988), sebaran nilai composite reability diatas 0.60
( Henseler et al, 2009). Sedangkan AVE memiliki sebaran minimal 0.50 untuk
nantinya dapat dipergunakan untuk mengukur validitas konstruk.
Tabel 1.3
Hasil Analisis Estimasi SmartPls
27
AVE dan cross-correlation adalah dengan membandingkan AVR minimum ( akar
AVE) dengan korelasi yang dapat dibangun oleh konstruk yang bersangkutan
terhadap variabel laten lainnya. Apabila kondisi konstruk yang bersangkutan
dicerminkan oleh nilai AVE minimum, memiliki cross-correlation dengan konstruk
lain ternyata lebih besar, maka dinyatakan tidak valid discriminant, karena upaya
membangun korelasi dengan pihak lain tampak lebih kuat dibandingkan dengan
kapasitas konstruk yang bersangkutan. Tabel 1.4 menyajikan hasil analisis dari
metode Fornell-Larscher AVE – cross-correlation.
Tabel 1.4
Uji Validitas Fornall-Larscher
Tabel 1.4 menyajikan hasil uji akar AVE ( 0.869) untuk X1, dan 0.810 untuk
X2, serta 0.840 untuk nilai AVE minimum Y2. Berdasaran nilai akar AVE sebesar
0.869 ternyata masih lebih besar dibandingkan dengan korelasi X1 – Y1 sebesar
0.516, serta korelasi X1 – Y2 sebesar 0.441 yang lebih rendah dari AVE minimum
0.869. Berdasarkan perbandingan tersebut, maka konstruk X1 adalah valid
discriminant. Konstruk Y1 memiliki nilai akar AVE sebesar 0.810 yang masih lebih
besar dibandingkan dengan korelasi X1 – Y1 (0.516), serta lebih besar dari korelasi
Y2 – Y1 ( 0.662), dengan demikian maka konstruk Y1 adalah valid discriminant.
Konstruk terakhir yang perlu di evaluasi adalah Y2 dengan akar AVE sebesar 0.842
yang ternyata masih lebih besar dibandingkan dengan cross-correlation dari konstruk
yang bersangkutan terhadap X1 dan Y1, yaitu masing-masing dengan nilai korelasi
0.441 dan 0.662. Dengan demikian, semua konstruk yang disertakan yaitu X1, Y1 dan
Y2 adalah valid discriminant (lihat Fornell-Larscher, 1998).
Prosedur kedua yang dapat dilakukan untuk menguji validitas adalah dengan
mempergunakan cross-loading ( Chin, 2010), yang mempolakan bahwa loading
factor utama yang bersumber dari konstruk yang bersangkutan lebih besar
dibandingkan dengan nilai korelasi yang dibangun dari variabel tersebut terhadap
konstruk lainnya.
28
Tabel 1.5
Uji Cross-loading Factor utama
Tabel 1.5 menyajikan evaluasi validitas berdasarkan nilai loading factor utama
terhadap nilai cross-loading factor dengan konstruk lainnya. X1 memiliki loading
factor utama dengan X1.1, X1.2 dan X1.3 yang ternyata masih lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai loading factor diluar loading factor utama, yaitu loading
factor X1.1 dengan Y1 (0.400), X1.1 dengan Y2 (0.465), X1.2 dengan Y1 (0.504),
X1.2 dengan Y2 (0.465), sehingga dapat dinyatakan bahwa validitas konstruk Y1
memiliki loading factor utama (Y1.1 = 0.844), (Y1.2= 0.870), (Y1.3 = 0.720) yang
ternyata masih lebih besar dibandingkan dengan cross-loading factor yaitu diluar
loading factor utama yaitu Y1.1, Y1.2 dan Y1.3 masing-masing dengan X1 dan Y2,
maka dengan demikian konstruk Y1 dinyataan valid discriminant.
Konstruk terakhir yang perlu ditelusuri validitasnya adalah Y2 dengan sebaran
loading factor utama adalah ( Y2.2 = 0.840), (Y2.3 = 0.872) dan (Y2.4= 0.813) yang
ternyata masih lebih besar dibandingkan dengan cross-loading factor yaitu diluar
loading factor utama yaitu Y2.2, Y2.3 dan Y2.4 masing-masing dengan X1 dan Y1,
maka dengan demikian konstruk Y2 dinyatkan valid discriminant.
Prosedur ketiga yang dapat dilakukan untuk menguji validitas adalah
berdasarkan metode heterotrait-monotrait ratio sebagaimana dibahas oleh Henseler et
al (2015) yang mempergunakan standar pengukuran nilai 0.85 sebagai batas atas ratio,
dan menyatakan bahwa sebaran nilai ratio dibawah 0.85 dinyatakan valid
discriminant.
29
Tabel 1.6
Uji Validitas Heterotrait-monotrait Ratio
Seluruh sebaran nilai menunjukkan masih dibawah 0.85, sehingga dinyatakan ketiga
konstruk adalah valid discriminant ( Henseler et al (2015).
Prosedur berikut untuk lebih memastikan bahwa model reflective adalah valid
dan layak dipercaya sebagai konstruk yang mampu memberikan informasi yang
berkualitas, dapat ditelusuri dengan meanfaatkan uji signifikansi pada konstruk outer-
loading, disajikan pada Tabel 1.7. Berdasarkan sajian Tabel 1.7 dapat disimpulkan
bahwa seluruh konstruk memiliki P-values lebih kecil dari 5%, sehingga dapat
dinyatakan bahwa seluruh konstruk adalah valid dan meyakinkan peneliti untuk dapat
diteruskan ke proses analisis inner-model.
Tahap terakhir adalah melakukan pengujian model hipotesis yaitu memproses
tingkat hubungan kausal antar konstruk dan menetapkan taraf signifikansinya.
Ternyata hasil analisis menunjukkan bahwa seluruh konstruk memiliki peluang P-
values lebih kecil dari 5% (lihat Tabel 1.8).
Tabel 1.7
Uji Konstruk Signifikansi outer-loading (dimensi reflective)
30
hubungan kausal yang dibangun penelitian ini dapat diyakini sebagai proses hubungan
signifikan, dengan dimensi capabilities (Y1) memberikan dampak paling dominan
disusul oleh oleh information sharing (X1) berdampak secara langsung kepada
kinerja logistik.
Tabel 1.8
Uji Hipotesis Penelitian (dimensi reflective)
Gambar 1.16
Hasil Analisis Bootstrapping SmartPls
Model SEM PLS yang telah dibahas telah menguraikan model parsial yang
menyajikan prosedur uji outer-model dan inner-model. Outer-model adalah metode
analisis yang memanfaatkan analisis factor, sedangkan pada inner-model
31
mengembangkan model relasi antar konstruk dengan metode regressi. Tulisan ini
memperluas model yang telah dibahas dengan mengembangkan teknik mediasi. Kita
memberikan dua cara penyelesaian model mediasi. Pertama, adalah dengan cara
manual yang dapat dilakukan melalui teknik Sobel, sehingga berada diluar proses
Smartpls. Cara kedua, adalah dengan menyelesaikan mediasi melalui Smartpls versi
3, yang mengembangkan tiga metode penyelesaian yaitu mediasi berdasarkan
prosedur product, two stages dan orthogonalized. Kita akan membahas default yang
dipergunakan smartpls yaitu metode two stages. Peneliti dapat memanfaatkan ketiga
model pendekatan sebagai pilihan, untuk mendapatkan model estimasi yang paling
masuk akal, paling tidak lebih banyak didapatkan target signifikansi sacara statistik.
Gambar 1.17 menyajikan prosedur penyelesaian interaction effect yang
menggambarkan peran X1 yang mempengaruhi Y2 melalui mediasi Y2.
Gambar 1.17
Hasil Analisis Bootstrapping SmartPls
32
Tabel 1.9
Uji Mediasi Berbasis Two Stages
( default analysis )
Tabel 1.10
Uji Mediasi Berbasis Product Indcator
( option peneliti )
33
Gambar 1.18
Hasil Analisis Bootstrapping SmartPls
Tabel 1.10
Uji Mediasi Berbasis Orthogonalized
( option peneliti )
34
Gambar 1.19
Hasil Analisis Bootstrapping SmartPls
Metode Orthogonalized
Peneliti masih memiliki peluang yang lain, yaitu penggunaan prosedur uji
mediasi Sobel ( Baron dan Kinney, 1984) untuk dipergunakan yang terlepas dari
metode SMartpls, serta berada diluar model perhitungan yang dapat mempengaruhi
model estimasi secara keseluruhan. Apabila penggunaan proses perhitungan mediasi
mempergunakan smartPls tidak memuaskan, maka peneliti masih punya piliha ke
empat yaitu prosedur perhitungan Sobel, sebagaimana disajikan pada Gambar 1.20.
********************
35