RTM 05
RTM 05
RTM 05
1. Identitas
1. Mata Kuliah : Manajemen Keuangan Daerah
2. Kode Mata Kuliah : SMB67063
3. SKS : 3
4. Semester : VII
5. Waktu Pertemuan : 07:30-10:00
6. Pertemuan ke : 3
7. Pokok Bahasan : Manajemen Pendapatan Daerah
2 Deskripsi Tugas
1. Tujuan
1. Meningkatkan pemahaman tentang Manajemen Pendapatan Daerah
2. Meningkatkan Keterampilan dalam menyelesaikan masalah
2. Obyek Garapan (Pokok Bahasan) :
2.1 Siklus Manajemen Pendapatan Daerah
2.2 Sumber-sumber Pendapatan Daerah
2.3 Prinsip Dasar Man.Penerimaan Daerah
2.4 Man.Pendapatan Asli Daerah (PAD)
2.5 Manajemen Dana Perimbangan
3. Tindakan yang harus dilakukan :
1. Review Obyek Garapan berdasarkan RPS
2. Jawab Pertanyaan dalam reference
3. Cari UU tentang Pajak: UU No.11 Drt Th 1957; UU No.18/1997; UU No.
34/2000; UU No. 28/2009
4. Lakukan analisis dan evaluasi Tentang Pajak Dan Retribusi Daerah
analisis dan evaluasi dibuat dalam bentuk makalah dengan susunan bab
sbb:
BAB I PENDAHULUAN:
BAB II PENGAWASAN PERDA
BAB III EFEKTIVITAS PENGAWASAN
BAB IV INSTITUSI PENGAWASAN
BAB V HASIL EVALUASI
BAB VI KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
i
ii
4. Metode pengerjaan :
1. Berdasarkan sifat tugas, tugas ini bersifat mandiri
2. Problem solving
5. Acuan yang digunakan :
A. Buku reference
B. Publikasi Ilmiah
6. Bentuk Luaran : Dokumen
3. Waktu : 7 hari sejak di tugaskan
Ditugaskan tgl. : 17 Nomber 2020
Di kumpul tgl : 23 November 2020
4. Kriteria Penilaian:
1 Kelengkapan
2 Kejelasan
3 Ketepatan
4 Kebahasaan
5 Kedalaman
1. Kelengkapan: Lengkap artinya semua tujuan pembelajaran yang dirumuskan
dalam RPS tercantum dalam ringkasan
2. Kejelasan: Uraian yang diungkapkan tidak memiliki makna ganda
3. Ketepatan: Uraian sesuai dengan reference yang di gunakan
4. Kebahasaan: Tata bahasa sesuai kaidah
5. Kedalaman : Uraian mencakup aspek substansi
iii
OLEH
MIFTAHUL HIKMA KUNSING
B1B117077
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
iv
DAFTAR ISI
SAMPUL.................................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................ii
I. Tujuan Pembelajaran.............................................................5
II. Penyajian...............................................................................5
III. Makalah ................................................................................24
BAGIAN I
v
Tujuan Pembelajaran :
1. Meningkatkan pemahaman tentang Manajemen Pendapatan Daerah
2. Meningkatkan Keterampilan dalam menyelesaikan masalah
BAGIAN II
Penyajian
Administrasi Pendapatan
Administrasi pendapatan sangat penting dalam siklus manajemen pendapatan sebab
tahap ini akan menjadi dasar untuk melakukan koleksi pendapatan. Pada tahap
administrasi pendapatan, kegiatan yang dilakukan meliputi :
penetapan wajib pajak dan retribusi;
penentuan jumlah pajak dan retribusi;
penetapan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah dan Nomor pokok wajib retribusi
penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah dan Surat Ketelapan Retribusi.
Koleksi Pendapatan
Tahap koieksi pendapatan meliputi penarikan, pemungutan, penagihan dan
pengumpulan pendapatan baik yang berasal dari wajib pajak daerah dan retribusi
daerah, dana perimbangan dari pemerintah pusat, maupun sumber lainnya. Khusus
untuk pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dapat digunakan beberapa sistem,
antara lain:
1. self assessment system,
2. Official assessment system, dan
3. joint rollection.
Self assessment system adalah sistem pemungutan pajak daerah yang dihitung,
dilaporkan, dan dibayarkan sendiri oleh wajib pajak daerah. Dengan sistem ini wajib
vii
pajak mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) dan membayarkan pajak
terutangnya ke Kantor Pelayanan Pajak Daerah (KPPD) atau unit kerja yang ditetapkan
pemerintah daerah- Official assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang
nilai pajaknya ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini ditetapkan oleh
gubernur/bupati/walikota melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah dan Surat
Ketetapan Retribusi yang menunjukkan jumlah pajak atau retribusi daerah terutang.
Wajib Pajak atau Retribusi Daerah selanjutnya berdasarkan SKP-Daerah dan SKR
tersebut membayarkan pajak/retribusi terutangnya melalui bendahara penerimaaan
atau bendahara penerimaan pembantu pada masing-masing iustansi pemungut, atau
bisa juga pembayaran dilakukan melalui bank, kantor pos atau lembaga lain yang
ditunjuk pemerintah daerah. Sementara itu, joint colLection sistem adalah sistem
pemungutan pajak daerah yang dipungut oleh pemungut pajak yang ditunjuk
pemerintah daerah. Contoh joint collection sr-stem adalah pemungutan pajak
penerangan jalan oleh PLN, pajak bahan bakar kendaraan bermotor oleh Pertamina. dan
sebagainya.
Pencatatan (Akuntansi) Pendapatan
Setelah dilakukan pengumpulan pendapatan, tahap berikutnya adalah
pencatatan pendapatan ke dalam sistem akuntansi. Pada prinsipnya setiap penerimaan
pendapatan harus segera disetor ke rekening kas umum daerah pada hari itu juga atau
paling lambat sehari setelah diterimanya pendapatan tersebut. Untuk menampung
seluruh sumber pendapatan perlu dibuat satu rekening tunggal (treasury single
account), dalam hal ini rekening kas umum daerah. Tujuan pembuatan satu pintu untuk
pemasukan pendapatan adalah untuk memudahkan pengendalian dan pengawasan
pendapatan. Selanjutnya penerimaan pendapatan tersebut dibukukan dalam buku
akuntansi, berupa jurnal penerimaan kas. buku pembantu, buku besar kas, dan buku
besar penerimaan per rincian objek pendapatan.
Kemudian buku catatan akuntansi tersebut akan diringkas dan dilaporkan dalam laporan
keuangan pemerintah daerah, yaitu Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Laporan
Arus Kas. Pemerintah daerah harus memastikan bahwa pemda telah membangun sistem
akuntansi pendapatan yang baik, sehingga Tidak ada pendapatan daerah yang tidak
dicatat dalam sistem akuntansi pemda. Untuk itu, dengan sistem akuntansi pendapatan
yang baik maka tidak perlu lagi terdapat dana nonbudgeter yang dipermasalahkan
transparansi dan akuntabilitasnya.
Alokasi Pendapatan
viii
Meskipun pemerintah daerah telah diberi otonomi secara luas dan desentralisasi fiskal,
namun pelaksanaan otonomi tersebut harus tetap berada dalam koridor hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal sumber penerimaan yang menjadi hak
pemerintah daerah, Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah telah menetapkan sumber-sumber penerimaan daerah,
sebagai berikut:
I. PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
a. Pajak Daerah
b. Retribusi Daerah
c. Bagian Laba Pengelolaan Aset Daerah yang Dipisahkan
d. Lain-Lain PAD yang Sah
II. TRANSFER PEMERINTAH PUSAI
a. Bagi Hasil Pajak
b. Bagi Hasil Sumber Daya Alam
c. Dana Alokasi Umum
d. Dana Alokasi Khusus
e. Dana Otonomi Khusus
f. Dana Penvesuaian
III. TRANSFER PEMERINTAH PROVINSI
a. Bagi Hasil Pajak
b. Bagi Hasil Sumber Daya Alam
c. Bagi Hasil Lainnya
IV. LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH
3. Menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, seperti bank, kantor pos, koperasi,
dan pihak ketiga lainnya untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam
membayar pajak.
Transparansi dan Akuntabilitas
Aspek penting lainnya dalam sistem manajemen penerimaan daerah adalah transparansi
dan akuntabilitas. Dengan adanya transparansi dan akuntabilitas maka pengawasan dan
pengendalian manajemen pendapatan daerah akan semakin baik. Selain itu, kebocoran
pendapatan juga dapat lebih ditekan. Untuk melaksanakan prinsip transparansi dan
akuntabilitas ini memang membutuhkan beberapa persyaratan.
1. Adanya dukungan Teknologi Informasi (TI) untuk membangun Sistem Informasi
Manajemen Pendapatan Daerah.
2. Adanya staf yang memiliki kompetensi dan keahlian yang memadai
3. Tidak adanya korupsi sistemik di lingkungan entitas pengelola pendapatan
daerah
pajak tersebut. Fluktuasi penerimaan pajak hendaknya dijaga tidak terlalu besar sebab
jika sangat fluktuatif ju-ea kurang baik untuk perencanaan keuangan daerah.
Manajemen Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
(BBNKB) pada umumnya merupakan penyumbang PAD terbesar bagi pemerintah
provinsi, terutama yang memiliki kota besar dan padat penduduk seperti Jakarta,
Surabaya, Medan. Semarang, Makassar, Yogyakarta, Bogor, Bekasi, Bandung, dan
sebagainya. PKB dan BBNKB ini memang memiliki beberapa keunggulan di antaranya
adalah bersifat elastis. biaya pengumpulan relatif rendah, mudah administrasinya
terutama melalui sistem komputerisasi, tingkat kebocoran rendah, cukup adil, tidak
menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian daerah. dan dapat diterima secara
politis.
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
(BBNKB) merupakan pajak provinsi yang hasilnya akan dibagihasilkan ke daerah yang
besarannya bervariasi untuk masing-masing daerah tergantung pada besarnya objek
pajak di daerah bersangkutan dengan proporsi pembagian berdasarkan peraturan
perundangan. Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (DPP) ditentukan
berdasarkan nilai jual kendaraan bermotor (NJKB) dan juga bobot kadar kerusakan jalan
dan pencemaran lingkungan. NJKB didasarkan atas harga pasaran umum (HPU).
Manajemen Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) adalah pajak yang dikenakan atas
konsumsi bahan bakar kendaraan bermotor berupa premium, pertamax, solar, dan
bahan bakar gas. Jumlah PBBKB didasarkan pada transaksi BBM di wilayah provinsi
bersangkutan dikalikan dengan tarif pajaknya. Pajak ini juga memberikan keuntungan
yang signifikan bagi daerah karena biaya pengumpulannya kecil sedangkan pendapatan
yang diperoleh cukup besar. Manajemen pajak yang perlu dilakukan pemerintah daerah
terhadap PBBKB adalah mengoptimalkan kerjasama dengan pihak Pertamina. sebab
pajak ini dikumpulkan melalui Pertamina. Selain itu tentunya pemerintah daerah juga
meningkatkan pelayanan transportasinya, misalnya dengan pemeliharaan jalan secara
rutin.
Manajemen Pajak Hotel dan Restoran
Pajak hotel dan pajak restoran mempunyai karakteristik yang hampir sama. Sebelumnya
kedua.jenis pajak ini merupakan satu kesatuan, tetapi berdasarkan UU 3412000
kemudian dipisah. Keuntungal dari pajak hotel dan restoran adalah keduanya bersifat
mengambang (buoyant) dan punya cukup kemampuan menghasilkan (tield) secara
substansial. Pajak ini juga dinilai cukup adil dan relatif mudah untuk dihitung dan
xv
dikumpulkan. Manajemen pajak hotel dan restoran yang perlu dilakukan pemerintah
daerah antara lain dengan memperbaiki"dctttt bose wajib pajak, komputerisasi
administrasi pajak yang terkoneksi dengan sistem infbrmasi pihak hotel, melakukan
sosialisasi pajak secara memadai, pemberian penghargaan kepada wajib pajak yang taat
pajak, dan kemungkinan otrtsoLtrcing dalam pemungutan pajak.
Manajemen Pajak Hiburan
Pajak hiburan merupakan pajak yang dikenakan terhadap orang atau badan
penyelenggara suatu hiburan yang dipungut bayaran. Berbagai jenis hibulan yan-e dapat
dikenai pajak misalnya : .
pertunjukan atau keramaian. seperti diskotek. live music', karaoke, balai gita
(singing hall),pub, klub eksekutif dan sejenisnya
pagelaran musik dan tari
bioskop film
pertunjukan kesenian
permainan ketangkasan
mandi uap, spa, streambath. dan sejenisnya
billiar. bowling. dan sejenisnya
pertunjukan/pertandingan olah raga
hiburan incidental
pertunjukan permainan di tempat wisata, taman rekreasi, taman hiburan
keluarga, pasar malam. pemancingan, ice skating, sirkus, kereta pesiar. dan
sejenisnya
Pajak hiburan ini dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan
pajak (DPP), yang dalam hal ini adalah jumlah omzet penjualan karcis.
Manajemen Pajak Reklame
Bagi pemerintah daerah, terutama pemerintah kota. pajak reklame merupakan pajak
yang cukup potensial. Pajak reklame sebagai pajak daerah juga memiliki beberapa
keunggulan, antara lain lokasi objek pajak jelas dan mudah diidentifikasi, cukup
mengambang (bouuurt), relatif mudah untuk diimplementasikan, dan pertumbuhannya
relatif stabil. Namun di samping memiliki keunggulan, pajak reklame juga mengandung
beberapa kelemahan, misalnya tarif pajak dan dasar pengenaan pajaknya cukup
kompleks yaitu dihitung berdasarkan jenis, ukuran. lokasi, dan lama tampilnya.
Manajemen pajak reklame yang perlu dilakukan pemerintah daerah untuk
mengoptimalkan penerimaan pajak ini antara lain melakukan sinkronisasi antara
Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) dengan Tata Ruang Reklame (TRR). Hal ini
supaya keberadaan papan reklame tidak mengganggu pemandangan dan keindahan
xvi
kota. Selain itu, upaya yang bisa dilakukan adalah optimalisasi penerimaan pajak
reklame melalui intensifikasi dan ekstensifikasi.
Manajemen Pajak Penerangan Jalan (Pajak Listrik)
Untuk beberapa pemerintah daerah, pajak penerangan jalan masih menjadi primadona
penyumbang PAD. Secara umum, pajak ini bersifat mengambang. relatif adil karena
basis pajaknya dihitun-e berdasarkan kapasitas listrik terpasang dan jumlah KWH
dikonsumsi. Pengumpulan pajaknya juga relatif mudah karena ditarik melalui
Perusahaan Listrik Negara (PLN) bersamaan dengan tagihan listrik. Dalam rangka
optimalisasi penerimaan pajak listrik, yang palin-e penting dilakukan pemerintah daerah
adalah meningkatkan kerjasama antara pemerintah daerah dengan pihak PLN dan pihak
lain seperli bank dan KUD sebagai tempat pembayaran listrik.
Manajemen Pajak Parkir
Pajak parkir meskipun bagi kebanyakan daerah belum begitu signifikan, tetapi untuk
pemerintah daerah yang memiliki banyak pusat perbelanjaan dan pusat-pusat
keramaian yang menyelenggarakan jasa perparkiran mampu memberikan tambahan
PAD yang cukup berarti. Pajak parkir berbeda clengan retribusi parkir. Pajak parkir
merupakan pajak yang dikenakan atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan
jalan yang dilakukan oleh Orang Pribadi atau Badan baik yang berkaitan dengan pokok
usaha maupun usaha sampingan, seperti supermarket atau mall yang
menyelenggarakan parkir sendiri, usaha penitipan kendaraan, dan sebagainya.
Sementara itu, retribusi parkir adalah punguran yang dikenakan atas penggunaan
tempat-tempat parkir di tepi jalan umum yang masih merupakan fasilitas milik
pemerintah.
Terdapat tiga jenis retribusi daerah yaitu, retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan
retribusi perizinan tertentu. Berbeda dengan pajak daerah yang bersifat tertutup, untuk
retribusi ini pemerintah daerah masih diberi peluang untuk menambah jenisnya namun
harus pula memenuhi persvaratan tertentu sebagaimana diatur undang-undang.
Manajemen Perusahaan Daerah
Dalam kebanyakan kasus, kontribusj bagian laba perusahaan daerah belum memberikan
andil yang cukup signifikan bagi peningkatan PAD. Bahkan beberapa perusahaan daerah
justru membebani APBD karena harus terus disubsidi sementara laba yang dihasilkan
relatif masih kecil sehingga belum bisa memberikan dividen yang berarti bagi daerah.
Memang tidak semua perusahaan daerah seperti itu, ada beberapa perusahaan daerah
yang maju terutama yang bergerak di sektor perbankan sepeti Bank DKl, Bank'Jabar,
Bank Jateng dan Bank Pembangunan Daerah pada umumnya. Jika di sektor perbankan
cukup maju, tidak demikian halnya dengan perusahaan daerah yang bergerak di sektor
riil. Masih cukup banyak perusahaan daerah yang bergerak di sektor riil, seperti propefii,
industri olahan, jasa, dan sebagainya yang kondisinya memprihatinkan.
Terdapat beberapa masalah terkait dengan kinerja perusahaan daerah, antara lain:
Lemahnya profesionalisme
Permasalahan kultur pemerintahan (birokrasi) dan kultur organisasi (bisnis) yang
tidak mendukung
Ketidakharmonisan hubungan pemerintah sebagai principal dengan manajemen
perusahaan sebagai agen
Kedudukan hukum perusahaan daerah yang kurang jelas . Intervensi politik yang
terlalu besar
Sistem rekrutmen pegawai yang kurang transparan, kompetitif, dan fair
Kurangnya transparansi dan akuntabilitas
Pemilihan direksi yang tidak melalui prosedur uji kepatutan dan kelayakan (fit &
proper test) tetapi berdasarkan kedekatan dengan kepala daerah
Kurang jelasnya kompetensi inti (core competence) bisnis perusahaan sehingga
tidak fokus pada pasar
Inefisiensi dalam pengeluaran terutama pada pengeluaran biaya kebijakan
(discreationary expenses).
Manajemen Lain-lain PAD yang Sah
Pendapatan daerah yang berasal dari Lain-Lain PAD yang Sah antara lain:
Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan
Jasa giro
Pendapatan bunga
xviii
Untuk SDA tambang. pemerintah daerah perlu memiliki konsep dan program
konservasi alam untuk mengembalikan fungsi lahan. Hal ini bisa dilakukan dengan
mengembalikan bekas lahan tambang tersebut menjadi lahan pertanian, perkebunan
atau hutan. Tetapi untuk mengembalikan fungsi lahan sehingga mampu memberikan
hasil yang optimal membutuhkan biaya dan waktu, sementara pendapatan dari SDA
yang biasanya diperoleh sudah tidak ada lagi. Akibatnya keuangan daerah terancam
mengalami defisit (finant-ial distress). Oleh karena itu. perencanaan keuangan jangka
panjang harus disiapkan sebab jika tidak maka daerah yang tadinya kaya dapat berubah
menjadi miskin. Selain kembali ke sektor pertanian, pemerintah daerah juga perlu mulai
memperkuat sektor jasa dan perdagangan. Kita bisa melihat bahwa Singapura miskin
dalam hal SDA tetapi unggul dalam sektor jasa dan perdagangan sehingga mampu
menjadikan negera tersebut dalam jajaran negara maju.
PERTANYAAN :
xxi
2. Beberapa pajak pusat seperti PPh Wajib Pribadi, PBB, dan BPHTB dibagihasilkan
dengan daerah. Tetapi untuk PPh Badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
tidak dibagihasilkan dengan daerah. Mengapa demikian? Bisakah PPN
dibagihasilkan dengan daerah?
Jawaban :
PPh Badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak dibagihasilkan dengan
daerah karena berpotensi menimbulkan ketimpangan pendapatan
horizontal (antar daerah) dan pendapatan vertikal (pusat dan daerah). Ada
daerah yang punya penghasilan besar, dan ada daerah lain yang sebaliknya.
Kondisi ini bisa menimbulkan kecemburuan horizontal, ketidakadilan dan
kekurangserasian dalam konteks negara kesatuan. Namun Mahkamah
xxii
mengakui PPh badan pun akhirnya dibagikan ke daerah melalui Dana Alokasi
Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Menurut saya, mekanisme piggyback system ini baik karena akan menjadi bagian
pendapatan daerah yang akan membantu perekonomian daerah. kemungkinan
aplikasinya di Indonesia harus seuai dengan peratuarn perundang-undangan.
BAGIAN III
xxiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Pembagian kewenangan dalam pemerintahan yang bersifat
desentrealistis1 disadari sangat diperlukan dan tepat untuk diterapkan di
negara yang memiliki sebaran wilayah kepulauan yang luas dengan
keanekaragaman budaya majemuk seperti Indonesia ini. Di samping
memudahkan koordinasi dalam pemerintahan, sistem desentralisasi lebih
demokratis karena implementasi kekuasaan diselaraskan dengan karakter
budaya dan kebiasaan daerah masing-masing.
Sering terdapat Kecenderungnan untuk mempertentangkan antara
negara federal dengan otonomi daerah dalam negara kesatuan. Federalisme
adalah suatu wahana untuk memperhatikan perbedaan daerah (budaya,
bahasa dan sebagainya) dengan memberikan suatu otonomi politik yang
luas. Pada kenyataannya federalisme dan regionalisme merupakan dua
realitas politik yang berbeda. Negara federal adalah hasil dari penggabungan
sejumlah negara bagian yang masing- masing merupakan suatu perwujudan
politik yang tidak harus homogen, contohnya negara-negara bagian Amerika
serikat.3 Sedangkan otonomi daerah dalam negara kesatuan sebagaimana
yang dimaksudkan di Indonesia adalah kewenangan daerah untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya sebagaimana ditentukan oleh
UU.4 Salah satu wujud pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah penentuan
sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan
sendiri dengan potensinya masing-masing.5 Kewenangan daerah tersebut
diwujudkan dengan memungut pajak daerah dan retribusi daerah yang diatur
dengan UU No. 28 Tahun 2009 yang merupakan penyempurnaan dari UU No.
34 Tahun 2000 dan peraturan pelaksanaannya yaitu PP No.65 Tahun 2001
tentang Pajak Daerah dan PP 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
Wewenang mengenakan pungutan pajak atas penduduk setempat untuk
membiayai layanan masyarakat merupakan unsur yang penting dalam sistem
pemerintahan daerah. Di Indonesia, hingga sekarang, pemerintahan daerah
baik provinsi maupun kabupaten/kota memiliki kewenangan mengenakan
pajak, mesikpun jumah penerimaan pajak daerah relatif kecil dibandingkan
dengan penerimaan pajak nasional. Sistem pajak daerah yang digunakan
selama ini mengandung banyak kelemahan sehingga manfaat yang diperloleh
lebih kecil dari pada besarnya beban pajak yang diemban oleh masyarakat.
xxv
denda dan sanksi itu sendiri harus dilakukan dengan hati-hati, jangan hanya
dengan kesewenangan tanpa memperhatikan ketentuan undang-undang yang
mengaturnya. Khususnya terhadap sanksi pidana yang diterapkan kepada Wajib
Pajak baik yang karena kelalaiannya (culpa) maupun karena kesengajaan
(dolus), tetap berpegang pada azas hukum pidana dan prinsip hukum pajak
sebagai bagian dari hukum administrasi negara (Tata Usaha Negara).
Adapun peranan penerimaan pajak terhadap Penerimaan Dalam
Negeri APBN selam lima tahun terakhir dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:
Tabel I
PERAN PENERIMAAN PAJAK
NEGARA
B. Rumusan Masalah
Terkait permasalahan adanya pungutan daerah yang didasarkan pada
keputusan/peraturan kepala daerah, dan muatan/materi yang diatur dalam
peraturan daerah tidak memenuhi ketentuan minimal serta muatan materi
yang diatur dalam perda PDRD tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 28 Tahun
2009, disarankan agar melakukan pembinaan dan pengarahan secara langsung
baik melalui sosialisasi, bimbingan teknis atau konsultasi regional terkait
pemahaman UU No. 28 tahun 2009
Oleh karena itu pembahasan permasalahan menarik untuk dilakukan
identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dengan pungutan daerah yang tumpang tindih dengan pungutan
pusat, karena kewenangan pemerintah pusat yang sudah diberikan ke daerah
berdasarkan PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota, tetapi pungutannya masih dilakukan oleh pusat?
2. Apakah pungutan daerah yang didasarkan pada keputusan/peraturan
kepala daerah yang bertentangan dengan Pasal 95 ayat (2) dan 156 ayat (2) UU
No.28 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa pungutan PDRD harus
ditetapkan dengan Perda?
C. Metode
Metodologi yang dilakukan dalam penulisan analisa dan evaluasi hukum
ini adalah yuridis normatif dengan melakukan studi kepustakaan yaitu dengan
mengumpulkan data primer berupa peraturan perundang-undangan terkait
maupun data sekunder berupa literatur dari buku-buku hasil penelitian dan
pengkajian.
xxxii
BAB II
PENGAWASAN PERDA PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH SEBELUM
UNDANG-UNDANG NO. 28 TAHUN 2009
Sebagai contoh, dalam rangka pengawasan, Perda tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lambat 15 (lima belas)
hari setelah Perda tersebut ditetapkan. Jika bertentangan dengan kepentingan
umum dan /atau peraturan perundangan yang lebih tinggi, Pemerintah
dapat membatalkan Perda tersebut, paling lambat sebulan setelah Perda
tersebut diterima.Dengan demikian, pengawasan atas penyelenggaraan
pemerintahan daerah oleh pemerintah antara lain dilakukan secara represif
terhadap kebijakan pemerintah daerah yang berupa peraturan daerah
dan/atau keputusan kepala daerah serta keputusan DPRD dan keputusan
pimpinan DPRD dan secara fungsional terhadap pelaksanaan kebijakan
pemerintahan Daerah.
Sementara itu, dalam rangka melakukan pengawasan fungsional atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah, Menteri dan pimpinan lembaga
pemerintah non kementerian berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri.
Koordinasi pengawasan tersebut meliputi perencanaan, pelaksanaan,
pelaporan dan tindak lanjut hasil pengawasan. Pengawasan secara fungsional
terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan oleh
xxxvi
Contoh :
a. Pengenaan retribusi atas pelabuhan baik pelabuhan laut maupun
pelabuhan udara merupakan retribusi yang bersifat pajak
karena pelayanan tersebut merupakan pelayanan yang
disediakan oleh BUMN.
b. Pengenaan pungutan terhadap lalu lintas barang masuk dan
keluar daerah pada dasarnya merupakan pungutan yang bersifat
pajak yang dapat merintangi arus barang antar daerah dan
menimbulkan ekonomi biaya tinggi..
G. Masa retribusi tidak sesuai dengan masa berlakunya izin. Retribusi yang
bersifat penggantian biaya administrasi perizinan, seperti izin gangguan
atau izin usaha perikanan, kerapkali dikenakan setiap tahun oleh daerah
dengan berbagai istilah seperti daftar ulang atau perpanjangan, walaupun
izin usaha tersebut berlaku untuk selamanya.
H. Pengenaan retribusi atas fungsi pelayanan dan perizinan yang bukan
merupakan kewenangan daerah bersangkutan. Beberapa daerah
kabupaten/kota melaksanakan berbagai fungsi pelayanan dan perizinan
yang pada dasarnya masih merupakan kewenangan pusat, atau fungsi
pelayanan tersebut telah dilaksanakan oleh BUMN atau fungsi pelayanan
tersebut pada dasarnya merupakan kewenangan provinsi.
I. Pelayanan yang merupakan urusan umum pemerintahan yang
seharusnya dibiayai dari pajak. Pelayanan-pelayanan yang bersifat
pembinaan dan pengawasan yang tidak memerlukan biaya besar dan
yang berkaitan dengan administrasi umum pemerintahan seperti
pendaftaran usaha dan pemberian izin tertentu tidak selayaknya
dikenakan retribusi karena kegiatan tersebut bersifat layanan publik yang
harus diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
j. Kurang memperhatikan aspek ekonomi dan kepentingan umum. Beberapa
fungsi pelayanan dan perizinan yang diselenggarakan oleh daerah tidak
memiliki dasar pertimbangan yang kuat, baik dilihat dari aspek ekonomi
maupun dari kepentingan umum.
dan retribusi daerah yang semula bersifat represif menjadi preventif dan
korektif.
B.1. Konsep Efektivitas Dalam Pengawasan PDRD
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa pola pengawasan
bersifat preventif dan korektif menurut ketentuan UU No.28 tahun 2009 antara
lain dilakukan melalui evaluasi suatu rancangan Perda PDRD (Ranperda)
kabupaten/kota oleh Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Ditjen
Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan. Hasil evaluasi dimaksud
nantinya akan disampaikan kepada bupati/walikota melalui Gubernur untuk
dijadikan dasar penetapan Perda PDRD oleh kabupaten/kota yang
bersangkutan. Melalui mekanisme evaluasi tersebut diharapkan agar semua
Perda-Perda pungutan PDRD dapat berjalan kondusif di tataran
implementasinya. Selain itu, segala permasalahan yang akan timbul dalam
proses pemungutan PDRD paling tidak sudah dapat diantisipasi dan dicegah
sebelumnya, baik permasalahan yang bersifat administratif maupun substantif.
Demikian pula terkait dengan sanksi atau law enforcement, juga diatur secara
lengkap yang tujuan utamanya ialah untuk memberikan efek jera kepada
Pemda yang secara disengaja maupun tidak disengaja melanggar ketentuan-
ketentuan yang telah ditetapkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009.
Pola pengawasan Perda PDRD yang bersifat preventif dan korektif ini
berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 ini pada tataran kontekstual diharapkan
dapat berjalan lebih efektif dan optimal walaupun tingkat efektivitasnya masih
perlu dibahas terutama bila dikaitkan dengan aspek pembagian kewenangan
yang lebih menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah di daerah K/K. Untuk
lebih memahami konsep efektivitas pengawasan perda-perda PDRD, baik yang
bersifat preventif maupun represif, terlebih dahulu perlu menyajikan beberapa
pendapat para ahli berikiut ini. Menurut Hessel Nogi S.Tangkilisian dalam
bukunya yang berjudul Manajemen Public antara lain dikemukakan bahwa
secara umum kosep efektivitas selalu dihubungkan dengan aspek organisasi
sebagai alat untuk mencapai tujuan maupun sebagai suatu proses pembagian
kerja. Konsep efektivitas yang dikemukakan oleh para ahli organisasi dan
manajemen memiliki makna yang berbeda, tergantung pada kerangka acuan
yang dipergunakan. Miller (1977:292) mengemukakan bahwa:
“Effectiveness is define as the degree to which a social system achieve its
goals. Effectiveness must be distinguished from efficiency. Efficiency is
mailnly concerned with goal attainment.” 11
(Efektivitas dimaksudkan sebagai tingkat seberapa jauh suatu sistem sosial
mencapai tujuannya. Efektivitas ini harus dibedakan dengan efisiensi. Efisiensi
xliv
BAB III
EFEKTIFITAS PENGAWASAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
A. UMUM
Kebijakan pungutan pajak daerah yang dituangkan dalam Peraturan
Daerah, diupayakan tidak berbenturan dengan pungutan pusat (pajak
maupun bea dan cukai), karena hal tersebut akan menimbulkan duplikasi
pungutan yang pada akhirnya akan mendistorsi kegiatan perekonomian.
Ketentuan tersebut sudah menjadi “roh” dalam kebijakan pungutan daerah
dibidang pajak dan retribusi daerah, yang diatur dalam perundang-undangan
pajak dan retribusi daerah,bahwa salah satu kriteria objek pajak daerah
adalah bukan merupakan objek pajak pusat. Ataupun juga pengaturan
bahwa jenis pajak atau jenis retribusi yang dapat dipungut oleh Pemerintah
Daerah adalah yang terdapat dalam perundang-undangan dimaksud, atau
dengan pengertian lain pemerintah daerah tidak boleh mengungut jenis pajak
maupun jenis retribusi selain yang sudah ditetapkan dalam undang-
undang(close-list system).
Paradigma baru dalam pemungutan pajak dan retribusi dimulai dengan
sejak diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Dianggap sebagai paradigma baru mengingat dalam UU
tersebut telah terjadi beberapa perubahan yang signifikan dibandingkan
dengan perundangan- undangan sebelumnya. Demikian juga yang terjadi
dibidang pengawasan pun mengalami perubahan yang signifikan, dimana
sistem pengawasan pungutan daerah yang bersifat represif berdasarkan UU
No. 34 Tahun 2000 dirubah menjadi sistem preventif dan korektif yang diatur
dalam UU No. 28 Tahun 2009. Pengawasan represif telah berpindah menjadi
sistem preventif dan korektif yang dilakukan terhadap produk hukum daerah
bidang pungutan daerah, yaitu peraturan daerah (Perda) tentang pajak dan
retribusi daerah yang terbagi dalam tahapan perumusannya.
Berpijak pada sistem pengawasanterhadap produk hukum daerah yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat dengan pendekatan preventif maupun
represif, dapat dijelaskan bahwa pengawasan preventif dilakukan terhadap
suatu rancangan perda atau sebelum suatu perda disahkan dan berlaku.
Dengan pengawasan preventif ini, pemerintah pusat dapat memahami sejauh
mana kebutuhan hukum masyarakat didaerah apakah dipaksakan ataupun
tidak. Dengan pengertian lain bahwa pengawasan preventif diartikan sebagai
pencegahan sementaraagar tidak terjadi sesuatu yang pelaksanaannya
diserahkan kepada pejabat yang berwenang. Walaupun secara ekspilisit
xlviii
pengawasan secara preventif tidak secara tegas disebutkan, akan tetapi secara
normative dalam UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa Perda harus
memenuhi kriteria : a)tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum; b)
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; serta c) peraturan daerah
lainnya.
Sementara itu, pengawasan represif merupakan suatu paksaan
pemerintah terhadap pemerintah daerah dalam rangka menjaga keselarasan
antara otonomi daerah dengan sistem Negara kesatuan yang dianut Indonesia
serta menjaga rasa keadilan masyarakat. Dengan bentuk pengawasan yang
seperti ini maka sebenarnya pemerintah pusat secara tidak langsung telah
terhindar dari complain atau kritikan dari masyarakat terhadap lahirnya
suatu peraturan daerah yang ternyata merugikan masyarakat lokal. Selain
itu, pengawasan represif dapat diartikan juga sebagai pengawasan terhadap
Perda yang telah ditetapkan (sebelumnya Raperda). Pengawasan represif ini
berkenaan dengan pembentukan suatu Perda yang didasarkan pada syarat
formal pembentukan dan pengesahan, serta pemberlakuan suatu Perda sesuai
secara legal formal. Pengujian terhadap Perda dapat dilakukan, sebagaimana
diberlakukan terhadap peraturan perundang- undangan pada umumnya, baik
secara formal maupun secara materil.
Selain itu, dalam rangka mengoptimalkan fungsi pembinaan dan
pengawasan, pemerintah dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara
pemerintahan daerah apabila ditemukan adanya penyimpangan dan
pelanggaran oleh penyelenggara pemerintahan daerah tersebut. Sanksi
dimaksud antara lain dapat berupa penataan kembali suatu daerah otonom,
pembatalan pengangkatan pejabat, penangguhan dan pembatalan berlakunya
suatu kebijakan daerah baik peraturan daerah, keputusan kepala daerah, dan
ketentuan lain yang ditetapkan
daerah serta dapat memberikan sanksi pidana yang diproses sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam konteks UU No. 28 Tahun 2009, bahwa perwujudan
pengawasan preventif dan korektif adalah dalam setiap raperda tentang
pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) sebelum ditetapkan menjadi Perda
harus dievaluasi terlebih dahulu oleh Pemerintah. Dalam hal ini, apabila
Raperda PDRD Provinsi dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri, sementara
Raperda PDRD kabupaten/kota dievaluasi oleh Gubernur di wilayah
kabupaten/kota yang bersangkutan. Terhadap proses evaluasi yang sedang
dilakukan baik oleh Gubernur maupun Menteri Dalam Negeri berkoordinasi
dengan Menteri Keuangan. Selanjutnya, Perda yang sudah ditetapkan dapat
dibatalkan oleh Pemerintah Pusat apabila bertentangan dengan peraturan
xlix
2. Jasa Usaha14
a. Retribusi jasa usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi jasa
umum atau retribusi perizinan tertentu, Sama halnya dengan
penjelasan kriteria 1 dari retribusi jasa umum di atas.
b.Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang
seyogyanya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau
terdapatnya harta yang dimiliki dikuasai daerah yang belum
dimanfaatkan secara penuh oleh pemerintah daerah.
1) Pada dasarnya pelayanan tersebut dapat disediakan oleh swasta;
2) Dalam hal penyewaan aset terdapat kontrak penggunaan/
penguasaan aset dalam jangka waktu tertentu.
3. Perizinan Tertentu
a. Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah dalam rangka asas desentralisasi Jasa yang
bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi, sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor
38 Tahun 2007.
b.Perizinan yang bersangkutan benar-benar diperlukan guna
melindungi kepentingan umum
1) Kegiatan yang memerlukan izin tersebut menimbulkan dampak
negatif bagi masyarakat setempat;
2) Dengan penyelenggaraan izin tersebut kepentingan
masyarakat terlindungi.
c. Biaya yang menjadi beban daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut
dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin
tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan.
1) Biaya yang dikeluarkan oleh Pemda dalam melakukan
pengendalian dan pengawasan kegiatan cukup besar;
liv
Macam
Pelaksana Pengawasan Bentuk yang diawasi
hukum daerah dimaksud. Hasil dari evaluasi tersebut bersifat korektif, dimana
hasil evaluasi digunakan untuk menyempurnakan rancangan produk hukum
yang bersangkutan sampai dengan ditetapkan rancangan tersebut untuk dapat
diberlakukan.
Terkait dengan pelaksanaan pengawasan Perda dibidang pajak dan
retribusi daerah,ketentuan tersebut secara lex specialisttelah diatur dalam UU
No. 28 Tahun 2009 khususnya Pasal 157 dan 158
Memasuki era desentralisasi, kerangka legal yang mendasari pengaturan
pemungutan pajak dan retribusi daerah adalah UU No. 34 Tahun 2000, dimana
jika dibandingkan dengan ketentuan perundangan sebelumnya yaitu UU No. 18
Tahun 199717, terjadi perubahan yang signifkan. Semangat perubahan dalam
UU dimaksud penuh nuansa bahwa UU ini merupakan produk awal reformasi,
dan telah memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk mengatur,
mengelola, serta mengadministrasikan hasil pemungutan pajak dan retribusi
lebih leluasa sesuai dengan diskresi yang dimiliki, seperti terlihat pada : (1)
Perda tentang pajak dan retribusi daerah yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah tidak perlu lagi mendapat pengesahan dari pemerintah pusat; dan (2)
pemerintah daerah diperbolehkan memungutjenis pajak dan retribusi daerah
selain yang ditetapkan dalam UU No. 34 Tahun 2000, sepanjang telah
mempunyai dasar hukum yaitu Perda.
Dalam hal pengawasan Perda pajak dan retribusi daerah, perubahan
signifikan juga terkandung dalam UU No. 28 Tahun 2009 ini, dimana
dibandingkan dengan UU yang digantikannya bahwa pengawasan perda
dilakukan sekaligus dalam 2 (dua)bentuk pengawasan, yaitu pengawasan
preventif pada tahap rancangan Perda dan pengawasan represif ketika suatu
Rancangan perda sudah ditetapkan menjadi Perda. Sementara dalam UU No.
34 Tahun 2000 pengawasan perda hanya dilakukan dalam 1 (satu) bentuk yaitu
pengawasan represif yang dilakukan setelah Perda dimaksud ditetapkan.
lvii
BAB IV
INSTITUSI PENGAWASAN REGULASI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
cq. Kepala Biro Hukum Pemda Provinsi. Pengawasan yang dilakukan oleh
Institusi Pemerintah terhadap regulasi PDRD adalah mekanisme pengawasan
terkait evaluasi raperda PDRD Provinsi/Kab/Kota.
Mekanisme pengawasan terhadap raperda PDRD berdasarkan UU No.28
Tahun 2009 dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu :
1. mekanisme pengawasan terhadap Raperda PDRD Provinsi
2. mekanisme pengawasan terhadap Raperda PDRD Kabupaten/Kota
3. mekanisme pengawasan terhadap Perda PDRD yang sudah
ditetapkan
Tabel VII
lx
terkadang mengalami kendala, yaitu waktu yang dibutuhkan terlalu lama. Hal
ini dikarenakan jadwal pembahasan di DPRD yang padat, sehingga harus
menunggu giliran jadwal pembahasan berikutnya, atau diperlukan pengkajian
terlebih dahulu melalui studi banding ke daerah lain atau konsultasi ke
Kementerian Keuangan sebelum dilakukan pembahasan terhadap raperda
PDRD dimaksud.
Dalam UU No.28 tahun 2009 tidak diatur mengenai batas waktu
pembahasan raperda PDRD di DPRD, sehingga ada kemungkinan proses
pembahasan raperda PDRD memakan waktu cukup lama, karena tidak adanya
batas waktu pembahasan raperda PDRD di DPRD.
UU No.28 tahun 2009 seharusnya mengatur batas waktu pembahasan raperda
PDRD yang dilakukan oleh Pemda dan DPRD bersangkutan, sehingga ada
kepastian waktu penyelesaian pembahasan raperda PDRD yang berimplikasi
pada waktu penyelesaian Perda PDRD.
Dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal persetujuan bersama
tersebut, Pemda Kab/Kota.menyampaikan raperda PDRD Kab/Kota.disertai
dengan Berita Acara Persetujuan Bersama raperda PDRD Kab/Kota. ke
Gubernur cq. Kepala Biro Hukum untuk dievaluasi berkoordinasi dengan
Menteri Keuangan dalam hal ini Ditjen Perimbangan Keuangan cq. Direktur
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Evaluasi terhadap raperda PDRD Kab/Kota. yang dilakukan oleh Gubernur
cq.Kepala Biro Hukum berkoordinasi dengan Menteri Keuangan cq.Dirjen
Perimbangan Keuangan, dan dalam waktu paling lama 15 (lima belas) hari
kerja harus sudah disampaikan hasil evaluasinya ke Bupati/Walikota dalam
bentuk Keputusan Gubernur.
Dalam UU No.28 Tahun 2009, penyelesaian evaluasi raperda PDRD
Kab/Kota ditetapkan batas waktunya selama 15 hari kerja, tanpa
ditetapkan berapa jumlah raperda yang harus dievaluasi. Hal ini dapat
menimbulkan kendala jika pada hari yang bersamaan terdapat pengajuan
evaluasi raperda PDRD dari beberapa Daerah dengan jumlah raperda yang
cukup banyak, sehingga ada kemungkinan evaluasi yang dilakukan dapat
melebihi batas waktu yang ditetapkan atau evaluasi yang dilakukan kurang
optimal karena mengejar batas waktu evaluasi yang sudah ditetapkan dalam Uu
No.28 Tahun 2009.
Seharusnya dalam UU No.28 tahun 2009, selain ditetapkan batas
waktu evaluasi raperda PDRD Kab/Kota juga ditetapkan berapa jumlah
maksimal raperda PDRD Kab/Kota yang dievaluasi dalam batas waktu tersebut,
lxii
1. Nama pajak
Nama pajak adalah nama jenis pajak yang diatur dalam Raperda Pajak
sebagai dasar untuk melakukan pemungutan pajak. Nomenklatur nama
pajak provinsi dalam Raperda harus sesuai dengan Nomenklatur
nama pajak provinsi yang ditetapkan dalam UU No.28 Tahun 2009, yaitu
ada 5 jenis pajak provinsi : Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor,
Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok. Khusus untuk Pajak Rokok
mulai diberlakukan 1 Januari 2014. Demikian pula untuk nomenklatur
nama pajak kab/kota dalam Raperda harus sesuai dengan Nomenklatur
nama pajak kab/kota yang ditetapkan dalam UU No.28 Tahun 2009, yaitu
ada 11 jenis pajak kab/kota : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan,
Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dan Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan. Yang dievaluasi terhadap nama pajak adalah
nomenklatur nama pajak kab/kota dalam Raperda harus sesuai dengan
nomenklatur nama pajak Provinsi/Kab/Kota yang ditetapkan dalam UU
No.28 Tahun 2009..
2. Objek pajak
Objek pajak harus sesuai dengan objek pajak untuk jenis pajak yang diatur
dalam UU No.28 Tahun 2009, termasuk pengecualiannya. misalnya objek
Pajak Rokok adalah konsumsi rokok. Pengecualian objek Pajak Rokok
adalah rokok yang tidak dikenai cukai berdasarkan peraturan perundang
undangan dibidang cukai.
Objek pajak tidak boleh ditambah, tetapi dapat dikurangi dari yang
ditetapkan dalam UU No.28 Tahun 2009. Sebaliknya pengecualian objek
pajak tidak boleh dikurangi tetapi boleh ditambah dari yang
ditetapkan dalam UU No.28 Tahun 2009.
Yang dievaluasi terhadap objek pajak adalah objek pajak termasuk
pengecualiannya yang diatur dalam Raperda Pajak, harus sesuai dengan
objek pajak termasuk pengecualiannya yang diatur dalam UU No.28
Tahun 2009.
3. Subjek pajak
Subjek pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan
pajak. Orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan pajak harus sesuai
dengan orang pribadi atau Badan sebagai subjek pajak yang diatur dalam
lxvii
8. Masa pajak
Masa pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka
waktu lain yang diatur dengan Peraturan Kepala Daerah paling lama 3
(tiga) bulan kalender yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk
menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
Yang dievaluasi terhadap masa pajak adalah masa pajak yang diatur
dalam raperda, melebihi 1 (satu) bulan kalender atau tidak. Kalau
melebihi satu bulan kalender harus diatur dengan Peraturan Kepala
daerah paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
9. Penetapan pajak
Penetapan pajak adalah penetapan yang diatur dalam raperda terkait
pemungutan pajak, misalnya ketentuan pajak tidak boleh
diborongkan, sistim pemungutan pajak, atau dokumen yang digunakan
untuk pembayaran pajak.
Yang dievaluasi terhadap penetapan pajak adalah mengenai
ketentuan pajak diborongkan atau tidak, sistim pemungutan pajak
bersifat Self Assesment atau Official Assesment dan dokumen yang
digunakan terkait sistim pemungutan pajak yang diatur dalam raperda.
10. Tata cara pembayaran dan penagihan
Yang dievaluasi terhadap tata cara pembayaran dan penagihan adalah
mengenai jatuh tempo pembayaran pajak terutang, angsuran atau
penundaan pembayaran pajak dengan dikenakan bunga, tata cara
membayar pajak, dokumen yang digunakan untuk membayar pajak,
tempat pembayaran pajak, serta penagihan pajak dengan surat paksa
yang diatur dalam raperda..
11. Kedaluwarsa penagihan pajak
Kedaluwarsa penagihan pajak adalah jangka waktu kedaluwarsa
penagihan pajak, yaitu setelah melampaui waktu 5 tahun terhitung sejak
saat terutangnya pajak, kecuali apabila wajib pajak melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan daerah.
Yang dievaluasi terhadap kedaluwarsa penagihan pajak adalah kapan
penagihan pajak menjadi kedaluwarsa, atau bagaimana kedaluwarsa
penagihan pajak menjadi tertangguh, atau kapan kedaluwarsa penagihan
pajak setelah diterbitkannya surat paksa, serta bagaimana cara
penghapusan piutang pajak yang sudah kedaluwarsa.
lxix
Adapun muatan muatan wajib yang dievaluasi dalam Raperda Retribusi adalah
sebagai berikut :
1 Nama retribusi
Nama retribusi adalah nama jenis retribusi yang diatur dalam
raperda sebagai dasar untuk melakukan pemungutan retribusi. Dalam UU
No.28 Tahun 2009 ditetapkan 30 nama retribusi yang dikelompokkan
dalam 3 golongan retribusi, yaitu Retribusi Jasa Umum ada 14 jenis
retribusi, Retribusi jasa Usaha ada 11 jenis retribusi dan Retribusi
Perizinan Tertentu ada 5 jenis retribusi.
Yang dievaluasi terhadap nama retribusi adalah nomenklatur nama
retribusi dalam raperda, harus sesuai dengan nomenklatur nama retribusi
yang ditetapkan dalam UU No.28 Tahun 2009
2 Objek retribusi
Objek retribusi harus sesuai dengan objek retribusi yang diatur dalam UU
No.28 Tahun 2009, termasuk pengecualiannya. Objek retribusi tidak
boleh ditambah, tetapi dapat dikurangi dari yang ditetapkan dalam
UU No.28 Tahun 2009. Sebaliknya pengecualian objek retribusi tidak
boleh dikurangi tetapi boleh ditambah dari yang ditetapkan dalam UU
No.28 Tahun 2009.. Yang dievaluasi terhadap objek retribusi adalah objek
retribusi yang diatur dalam raperda, harus sesuai dengan objek retribusi
lxx
BAB V
HASIL EVALUASI
A. Hasil Evaluasi Perda Provinsi
Pada dasarnya hasil evaluasi reperda PDRD dituangkan dalam format
yang baku yang ditetapkan berdasarkan SOP pada Direktorat PDRD, Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan.
Namun dalam penyusunan laporan ini, penulis hanya mengambil contoh hasil
evaluasi raperda PDRD Propinsi untuk daerah tertentu. Hasil evaluasi
raperda PDRD Propinsi berdasarkan UU No.28 tahun 2009 yang dijadikan
sample adalah hasil evaluasi raperda PDRD Propinsi wilayah Sulawesi, Maluku
dan Maluku Utara, sebagaimana dalam tabel berikut :
Tabel X
Tabel Evaluasi Raperda PDRD Provinsi Wilayah Sulawesi, Maluku dan Maluku
Utara
No. Wilayah Jumlah Jumlah Direvisi Ditolak
Keputusan
Mendagri Raperda
1 Sulawesi 5 5 5 -
2 Maluku dan 2 2 2 -
Malut
Negeri terkait evaluasi raperda PDRD Provinsi, hasilnya semua raperda tersebut
direvisi, artinya sebelum ditetapkan menjadi Perda PDRD, raperda tersebut
harus diperbaiki terlebih dahulu oleh DPRD Provinsi bersama dengan Gubernur
sesuai dengan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri
berkoordinasi dengan Menteri Keuangan, baru ditetapkan menjadi Perda PDRD.
Dengan berlakunya UU No.28 Tahun 2009, belum ada Perda PDRD
Provinsi yang sudah ditetapkan dibatalkan. Hal ini karena mekanisme
pengawasan terkait regulasi PDRD berdasarkan UU No.28 Tahun 2009 bersifat
preventif dan korektif artinya muatan muatan yang diatur dalam raperda PDRD
dievaluasi terlebih dahulu sebelum ditetapkan menjadi Perda, sehingga begitu
ditetapkan menjadi Perda, muatan muatan yang diatur dalam Perda PDRD
sudah sesuai dengan ketentuan UU No.28 Tahun 2009, kepentingan umum dan
peraturan perundang undangan yang lebih tinggi.
Berbeda dengan mekanisme pengawasan regulasi PDRD berdasarkan
Undang Undang PDRD sebelumnya yang bersifat represif, artinya muatan
muatan yang diatur dalam perda dievaluasi setelah ditetapkan, sehingga
banyak Perda PDRD yang sudah ditetapkan dibatalkan, karena tidak sesuai
dengan ketentuan UU No.34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No.18
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, bertentangan dengan
peraturan pelaksanaan UU No.34 tahun 2000, tidak sesuai dengan
kepentingan umum dan bertentangan dengan peraturan perundang
undangan yang lebih tinggi..
banyak Perda PDRD yang sudah ditetapkan dibatalkan, karena tidak sesuai
dengan ketentuan UU No.34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No.18
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, bertentangan dengan
peraturan pelaksanaan UU No.34 tahun 2000, tidak sesuai dengan kepentingan
umum dan bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang lebih
tinggi..
ketentuan UU PDRD yang lama yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku lagi.
2. Perda Kab Sleman No.8 1. Besaran tariff yang ditetapkan tidak mengacu
Tahun 2012 tentang Izin pada prinsip yang dianut dalam penetapan
struktur dan besarnya tariff retribusi perizinan
Gangguan
tertentu, sehingga besarnya tariff yang
ditetapkan dinilai tidak wajar dan memberatkan
pelaku usaha
3. Perda Kota Cirebon No.5 Hasil evaluasi Perda Kota Cirebon, Kabupaten
Berau, Kota Makassar dan Kabupaten Bengkulu
Tahun 2011 tentang
Selatan adalah penetapan tariff yang tidak
Penyelenggaraan dan
Retribusi Tempat Pelelangan mencerminkan keadilan bagi pelaku usaha dan
Ikan perlunya penambahan aturan sektoralterkait di
4. Perda Kabupaten Berau dalam Perda Perda tersebut.
No.1 Tahun 2012 tentang
3 KEMENTERIAN Perda Kabupaten Mamuju Utara Belum mengatur mengenai pengecualian objek Pajak
KUKM No.14 Tahun 2005 tentang Pajak Reklame sesuai dengan UU No.28 Tahun 2009
Reklame
D. Permasalahan
Berdasarkan pembahasan yang dilakukan dalam bab sebelumnya, maka
permasalahan yang terjadi terkait hasil evaluasi Raperda/Perda umumnya
meliputi berbagai aspek, antara lain:
1)Adanya pungutan daerah yang didasarkan pada keputusan/peraturan
kepala daerah yang bertentangan dengan Pasal 95 ayat (2) dan 156 ayat
(2) UU No.28 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa pungutan PDRD
harus ditetapkan dengan Perda.
2)Muatan/materi minimal yang diatur dalam peraturan daerah tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat (3) untuk
muatan materi yang diatur dalam perda pajak daerah dan Pasal 156
ayat (3) untuk muatan materi yang diatur dalam perda retribusi
daerah berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009.
3)Muatan/materi yang diatur dalam peraturan daerah tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009, misalnya :
a.Objek pajak dan retribusi daerah diperluas melebihi yang
ditentukan dalam UU No.28 tahun 2009 dan pengecualian objek
pajak dan retribusi daerah dikurangi dari yang ditentukan dalam
UU No.28 tahun 2009.
b.............................................................................................Tarif
pajak dan retribusi daerah ditetapkan dengan keputusan
kepala daerah yang bertentangan dengan Pasal 95 ayat (3) dan
Pasal 156 ayat (3) UU No.28 tahun 2009, yang menyatakan bahwa
tarif PDRD harus diatur dalam Perda
4)Pungutan daerah yang tumpang tindih dengan pungutan pusat, karena
kewenangan pemerintah pusat yang sudah diberikan ke daerah
berdasarkan PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, tetapi pungutannya masih
dilakukan oleh pusat
5)Adanya pungutan daerah yang menghambat arus lalu lintas barang, yang
bertentangan dengan UU No.33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah yang menyatakan bahwa dalam rangka peningkatan Pendapatan
Asli Daerah (PAD), Daerah dilarang menetapkan perda yang
menyebabkan ekonomi biaya tinggi, menghambat mobilitas penduduk,
lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan ekspor/impor.
6)Pengenaan retribusi atas fungsi pelayanan dan perizinan yang bukan
merupakan kewenangan daerah bersangkutan, yang bertentangan
dengan Pasal 149 UU No. 28 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa
lxxxiii
E. Rekomendasi
1. Terkait permasalahan adanya pungutan daerah yang didasarkan pada
keputusan/peraturan kepala daerah, dan muatan/materi yang diatur
dalam peraturan daerah tidak memenuhi ketentuan minimal serta
muatan materi yang diatur dalam perda PDRD tidak sesuai dengan
ketentuan UU No. 28 Tahun 2009, disarankan agar melakukan
pembinaan dan pengarahan secara langsung baik melalui sosialisasi,
bimbingan teknis atau konsultasi regional terkait pemahaman UU No.
28 tahun 2009
2. Terkait permasalahan adanya pungutan daerah yang tumpang tindih
dengan pungutan pusat dan pengenaan retribusi atas fungsi pelayanan
dan perizinan yang bukan merupakan kewenangan daerah
bersangkutan, disarankan kepada Daerah, baik Provinsi,
Kabupaten/Kota maupun Pemerintah Pusat, agar sebelum menetapkan
Perda pungutan terutama retribusi, dilihat terlebih dahulu berada
dimana kewenangan pelayanan tersebut berdasarkan PP No.38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota.
3. Terkait permasalahan adanya pungutan daerah yang menghambat arus
lalu lintas barang, disarankan kepada Daerah agar dalam menyusun
muatan/materi yang diatur dalam Perda terutama tarif,
mempertimbangkan aspek aspek lainnya, seperti : berakibat ekonomi
biaya tinggi, menghambat mobilitas penduduk, manghambat arus lalu
lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor/impor.
4. Terkait permasalahan adanya pelayanan yang merupakan urusan umum
pemerintahan yang bersifat pembinaan dan pengawasan yang tidak
memerlukan biaya besar dan yang berkaitan dengan administrasi
umum pemerintahan, seharusnya dibiayai dari pajak bukan retribusi,
disarankan kepada Daerah agar pemungutan retribusi dilakukan apabila
ada pelayanan. Kalau urusan umum pemerintahan tersebut tidak
termasuk dalam jenis pungutan yang diatur dalam UU No. 28 tahun
2009, maka pembiayaannya disarankan dari pajak.
5. Terkait permasalahan terlalu tingginya institusi dan birokrasi yang
panjang terhadap pembatalan perda PDRD yang dilakukan oleh
Presiden dalam bentuk Peraturan Presiden, disarankan mengajukan
usulan yang membatalkan perda PDRD tidak perlu Presiden, tetapi
cukup pembantu presiden, yaitu Menteri Dalam Negeri dengan
rekomendasi dari Menteri Keuangan seperti pelaksanaan undang
lxxxv
BAB VI
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pokok pokok bahasan dalam bab bab sebelumnya,
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Perubahan regulasi dan kebijakan dibidang PDRD dari Undang
Undang sebelumnya (UU No.34 Tahun 2000) ke Undang Undang yang
baru (UU No.28 Tahun 2009), berimplikasi :
a. Jenis pungutan PDRD yang semula berdasarkan Undang Undang
No.34 Tahun 2000 yang bersifat open list, artinya daerah masih dapat
menetapkan jenis pungutan selain yang ditetapkan dalam
Undang Undang sepanjang sesuai kriteria yang ditetapkan dalam
Undang Undang tersebut,dengan berlakunya UU No.28 Tahun 2009
diubah menjadi close list, artinya Daerah hanya dapat melakukan
pungutan terhadap jenis pungutan yang diatur dalam UU No. 28
Tahun 2009, atau yang diatur dalam Peraturan Pemerintah terkait
retribusi tambahan.
b. Mekanisme pengawasan terhadap raperda yang semula berdasarkan
UU No.34 Tahun 2000 bersifat represif, artinya pengawasan
terhadap raperda PDRD dilakukan setelah Perda tersebut ditetapkan,
dengan berlakunya UU No.28 Tahun 2009 pengawasan tersebut
diubah menjadi preventiv dan korektif, artinya pengawasan dilakukan
sebelum raperda PDRD ditetapkan menjadi Perda, dan pengawasan
dilakukan dengan melakukan evaluasi terhadap muatan materi yang
diatur dalam raperda PDRD.
2. Pengawasan yang dilakukan berdasarkan UU No.28 Tahun 2009terkait
Perda PDRD dirasakan belum efektif, karena dapat menimbulkan
pengawasan ganda, yaitu jenis pungutannya sudah diawasi sesuai yang
ditetapkan dalam UU No.28 Tahun 2009, mekanisme pengawannya
dilakukan sebelum raperda ditetapkan menjadi Perda, dan setelah
ditetapkan menjadi Perda.
3. Institusi yang melakukan pengawasan terhadap perda PDRD, dilakukan
secara formal oleh Pemerintah Daerah, yaitu Gubernur dan Pemerintah
Pusat, yaitu Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan terkait
evaluasi raperda/Perda PDRD. Sedangkan institusi lain, seperti : KPPOD,
APINDO, KADIN, KUKM atau masyarakat secara personal dapat
melakukan pengawasan secara non formal terkait implementasi
lxxxviii