RTM 05

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 88

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS HALU OLEO


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
Kampus Bumi Tridharma Anduonohu, Kendari, 9322
Telp. (0401)3193383, email: [email protected] atau [email protected]

RANCANGAN TUGAS MAHASISWA 05

1. Identitas
1. Mata Kuliah : Manajemen Keuangan Daerah
2. Kode Mata Kuliah : SMB67063
3. SKS : 3
4. Semester : VII
5. Waktu Pertemuan : 07:30-10:00
6. Pertemuan ke : 3
7. Pokok Bahasan : Manajemen Pendapatan Daerah
2 Deskripsi Tugas
1. Tujuan
1. Meningkatkan pemahaman tentang Manajemen Pendapatan Daerah
2. Meningkatkan Keterampilan dalam menyelesaikan masalah
2. Obyek Garapan (Pokok Bahasan) :
2.1 Siklus Manajemen Pendapatan Daerah
2.2 Sumber-sumber Pendapatan Daerah
2.3 Prinsip Dasar Man.Penerimaan Daerah
2.4 Man.Pendapatan Asli Daerah (PAD)
2.5 Manajemen Dana Perimbangan
3. Tindakan yang harus dilakukan :
1. Review Obyek Garapan berdasarkan RPS
2. Jawab Pertanyaan dalam reference
3. Cari UU tentang Pajak: UU No.11 Drt Th 1957; UU No.18/1997; UU No.
34/2000; UU No. 28/2009
4. Lakukan analisis dan evaluasi Tentang Pajak Dan Retribusi Daerah
analisis dan evaluasi dibuat dalam bentuk makalah dengan susunan bab
sbb:
BAB I PENDAHULUAN:
BAB II PENGAWASAN PERDA
BAB III EFEKTIVITAS PENGAWASAN
BAB IV INSTITUSI PENGAWASAN
BAB V HASIL EVALUASI
BAB VI KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
i
ii

4. Metode pengerjaan :
1. Berdasarkan sifat tugas, tugas ini bersifat mandiri
2. Problem solving
5. Acuan yang digunakan :
A. Buku reference
B. Publikasi Ilmiah
6. Bentuk Luaran : Dokumen
3. Waktu : 7 hari sejak di tugaskan
Ditugaskan tgl. : 17 Nomber 2020
Di kumpul tgl : 23 November 2020
4. Kriteria Penilaian:
1 Kelengkapan
2 Kejelasan
3 Ketepatan
4 Kebahasaan
5 Kedalaman
1. Kelengkapan: Lengkap artinya semua tujuan pembelajaran yang dirumuskan
dalam RPS tercantum dalam ringkasan
2. Kejelasan: Uraian yang diungkapkan tidak memiliki makna ganda
3. Ketepatan: Uraian sesuai dengan reference yang di gunakan
4. Kebahasaan: Tata bahasa sesuai kaidah
5. Kedalaman : Uraian mencakup aspek substansi
iii

RANCANGAN TUGAS MAHASISWA


Pertemuan 3
Ringkasan Pokok Bahasan
Jawaban Pertanyaan

OLEH
MIFTAHUL HIKMA KUNSING
B1B117077

JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
iv

DAFTAR ISI

SAMPUL.................................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................ii
I. Tujuan Pembelajaran.............................................................5
II. Penyajian...............................................................................5
III. Makalah ................................................................................24

BAGIAN I
v

Tujuan Pembelajaran :
1. Meningkatkan pemahaman tentang Manajemen Pendapatan Daerah
2. Meningkatkan Keterampilan dalam menyelesaikan masalah

BAGIAN II
Penyajian

MANAJEMEN PENDAPATAN DAERAH


Terdapat tiga pilar urama yang menopang keberhasilan manajemen keuangan
publik, yaitu: manajemen pendapatan, manajemen belanja, dan manajemen
pembiayaan. Bab ini secara khusus membahas tentang manajemen pendapatan pada
organisasi sektor publik. Pengetahuan dan keahlian tentang manajemen pendapatan
bagi para manajer publik sangat penting karena besar kecilnya pendapatan akan
menentukan tingkat kualitas pelaksanaan pemerintahan. tingkat kemampuan
pemerintah dalam penyediaan pelayanan publik serta keberhasilan pelaksanaan
program dan kegiatan pembangunan. Pemerintah dituntut untuk cerdas dalam
menghasilkan dan mengelola sumber-sumber pendapatan tidak sekadar pandai
membelanjakan dan menghabiskan an.qgaran. Hal inilah yang oleh Osborne dan Gaebler
(1992) dikatakan sebagai pemerintahan yang berrvirausaha (.entrepreneurial
government). Pemerintahan, wirausaha adalah pemerintahan yang mampu
menciptakan sumber-sumber pendapatan secara kreatif dan inovatif, mampu men.eolah
potensi ekonomi yang ada secara efisien dan efektif.

2.1 Siklus Manajemen Pendapatan Daerah


Tahapan siklus manajemen pendapatan daerah adalah identifikasi sumber, administrasi,
koleksi, pencatatan atau akuntansi. dan alokasi pendapatan.
ldentifikasi Sumber Pendapatan
Pada tahap identifikasi, kegiatan yang dilakukan berupa pendataan sumber-sumber
pendapatan termasuk menghitung potensi pendapatan. Identifikasi pendapatan
pemerintah meliputi:
 pendataan objek pajak, subjek pajak, dan wajib pajak;
 pendataan objek retribusi, subjek retribusi, dan wajib retribusi;
 pendataan sumber penerimaan bukan pajak;
vi

 pendataan lain-lain pendapatan yang sah;


 pendataan potensi pendapatan untuk masing-masing jenis pendapatan
TABEL. Siklus Manajemen Pendapatan Daerah

Administrasi Pendapatan
Administrasi pendapatan sangat penting dalam siklus manajemen pendapatan sebab
tahap ini akan menjadi dasar untuk melakukan koleksi pendapatan. Pada tahap
administrasi pendapatan, kegiatan yang dilakukan meliputi :
 penetapan wajib pajak dan retribusi;
 penentuan jumlah pajak dan retribusi;
 penetapan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah dan Nomor pokok wajib retribusi
 penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah dan Surat Ketelapan Retribusi.
Koleksi Pendapatan
Tahap koieksi pendapatan meliputi penarikan, pemungutan, penagihan dan
pengumpulan pendapatan baik yang berasal dari wajib pajak daerah dan retribusi
daerah, dana perimbangan dari pemerintah pusat, maupun sumber lainnya. Khusus
untuk pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dapat digunakan beberapa sistem,
antara lain:
1. self assessment system,
2. Official assessment system, dan
3. joint rollection.
Self assessment system adalah sistem pemungutan pajak daerah yang dihitung,
dilaporkan, dan dibayarkan sendiri oleh wajib pajak daerah. Dengan sistem ini wajib
vii

pajak mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) dan membayarkan pajak
terutangnya ke Kantor Pelayanan Pajak Daerah (KPPD) atau unit kerja yang ditetapkan
pemerintah daerah- Official assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang
nilai pajaknya ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini ditetapkan oleh
gubernur/bupati/walikota melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah dan Surat
Ketetapan Retribusi yang menunjukkan jumlah pajak atau retribusi daerah terutang.
Wajib Pajak atau Retribusi Daerah selanjutnya berdasarkan SKP-Daerah dan SKR
tersebut membayarkan pajak/retribusi terutangnya melalui bendahara penerimaaan
atau bendahara penerimaan pembantu pada masing-masing iustansi pemungut, atau
bisa juga pembayaran dilakukan melalui bank, kantor pos atau lembaga lain yang
ditunjuk pemerintah daerah. Sementara itu, joint colLection sistem adalah sistem
pemungutan pajak daerah yang dipungut oleh pemungut pajak yang ditunjuk
pemerintah daerah. Contoh joint collection sr-stem adalah pemungutan pajak
penerangan jalan oleh PLN, pajak bahan bakar kendaraan bermotor oleh Pertamina. dan
sebagainya.
Pencatatan (Akuntansi) Pendapatan
Setelah dilakukan pengumpulan pendapatan, tahap berikutnya adalah
pencatatan pendapatan ke dalam sistem akuntansi. Pada prinsipnya setiap penerimaan
pendapatan harus segera disetor ke rekening kas umum daerah pada hari itu juga atau
paling lambat sehari setelah diterimanya pendapatan tersebut. Untuk menampung
seluruh sumber pendapatan perlu dibuat satu rekening tunggal (treasury single
account), dalam hal ini rekening kas umum daerah. Tujuan pembuatan satu pintu untuk
pemasukan pendapatan adalah untuk memudahkan pengendalian dan pengawasan
pendapatan. Selanjutnya penerimaan pendapatan tersebut dibukukan dalam buku
akuntansi, berupa jurnal penerimaan kas. buku pembantu, buku besar kas, dan buku
besar penerimaan per rincian objek pendapatan.
Kemudian buku catatan akuntansi tersebut akan diringkas dan dilaporkan dalam laporan
keuangan pemerintah daerah, yaitu Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Laporan
Arus Kas. Pemerintah daerah harus memastikan bahwa pemda telah membangun sistem
akuntansi pendapatan yang baik, sehingga Tidak ada pendapatan daerah yang tidak
dicatat dalam sistem akuntansi pemda. Untuk itu, dengan sistem akuntansi pendapatan
yang baik maka tidak perlu lagi terdapat dana nonbudgeter yang dipermasalahkan
transparansi dan akuntabilitasnya.

Alokasi Pendapatan
viii

Tahap terakhir siklus manajemen pendapatan adalah alokasi pendapatan, yaitu


pengambilan keputusan untuk menggunakan dana yang ada untuk membiayai
pengeluaran daerah yang dilakukan. Pengeluaran daerah meliputi pengeluaran belanja,
yaitu belanja operasi dan belanja modal, maupun untuk pembiayaan pengeluaran yang
meliputi pembentukan dana cadangan, penyertaan modal daerah, pembayaran utang,
dan pemberian pinjaman daerah.

2.2 Sumber-sumber pendapatan Daerah


Jika dibandingkan dengan sektor bisnis, sumber pendapatan pemerintah daerah
relatif tetprediksi dan Iebih stabil sebab pendapat tersebut diatur oleh undang-undang
dan peraturan daerah yang bersifat mengikat dan dapat dipaksakan. Lain halnya dengan
sektor bisnis yang sangat dipengaruhi oleh pasar yang penuh ketidakpastian dan
turbulensi, sehingga pendapatan bersifat fluktuatif. Dalam sistem pasar sempurna-
dalam arti tidak terjadi monopoli. monopsoni. ataupun oligopoli-perusahaan tidak dapat
memaksa pelanggan untuk membeli produk barang atau jasa yang merupakan sumber
pendapatan utama perusahaan.
Sementara itu, pemerintah daerah dengan payung hukum peraturan perundangan
berhak memungut pajak daerah dan retribusi daerah. Bahkan pemerintah dapat
memaksa wajib pajak untuk membayar pajak dan memberikan sanksi apabila tidak
patuh pajak. Oleh karenanya pendapatan di pemerintah daerah relatif stabil. Meskipun
demikian, pernerintah daerah perlu melakukan manajemen pendapatan secara baik
agar diperoleh pendapatan secara optimal.
Agar pemerintah daerah dapat melakukan manajemen pendapatan secara
optimal, hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengenali sumber-sumber
pendapatan daerah. Sumber pendapatan daerah pada dasarnya dapat dibedakan
menjadi dua'. pertama, sumber pendapatan yang saat ini ada dan sudah ditetapkan
dengan peraturan perundangan, kedua, sumber pendapatan di masa datang yang masih
potensial atau tersembunyi dan baru akan diperoleh apabila sudah dilakukan upaya-
upaya tertentu. Selain mengenali sumber pendapatan, hal penting lainnya yang perlu
dilakukan oleh pemerintah daerah adalah menciptakan sumber-sumber pendapatan
baru. Sumber pendapatan baru ini bisa diperoleh misalnya melalui inovasi program
ekonomi daerah, program kemitraan pemerintah daerah dengan pihak swasta, dan
sebagainya.

Sumber Pendapatan Daerah menurut Ketentuan Perundangan


ix

Meskipun pemerintah daerah telah diberi otonomi secara luas dan desentralisasi fiskal,
namun pelaksanaan otonomi tersebut harus tetap berada dalam koridor hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal sumber penerimaan yang menjadi hak
pemerintah daerah, Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah telah menetapkan sumber-sumber penerimaan daerah,
sebagai berikut:
I. PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
a. Pajak Daerah
b. Retribusi Daerah
c. Bagian Laba Pengelolaan Aset Daerah yang Dipisahkan
d. Lain-Lain PAD yang Sah
II. TRANSFER PEMERINTAH PUSAI
a. Bagi Hasil Pajak
b. Bagi Hasil Sumber Daya Alam
c. Dana Alokasi Umum
d. Dana Alokasi Khusus
e. Dana Otonomi Khusus
f. Dana Penvesuaian
III. TRANSFER PEMERINTAH PROVINSI
a. Bagi Hasil Pajak
b. Bagi Hasil Sumber Daya Alam
c. Bagi Hasil Lainnya
IV. LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH

2.3 Prinsip dasar Manajemen Penerimaan Daerah


Manajemen penerimaan daerah sangat erat kaitannya dengan kemampuan pemerintah
daerah dalam mengelola potensi fiskal daerah. Potensi fiskal daerah adalah kemampuan
daerah dalam menghimpun sumber-sumber pendapatan yang sah. Berhasil tidaknya
pemerintah daerah dalam memperoieh pendapatan daerah sangat dipengaruhi oleh
sistem manajemen pendapatan yang digunakan. Pada dasamya terdapat beberapa
prinsip dasar yang perlu diperhatikan pemerintah daerah dalam membangun sistem
manajemen penerimaan daerah, yaitu:
1. Perluasan basis penerimaan:
2. Pengendalian atas kebocoran pendapatan;
x

3. Peningkatan efisiensi administrasi pendapatan;


4. Transparansi dan akuntabilitas.
Perluasan Basis Penerimaan
Peningkatan pendapatan dapat dilakukan pada tataran kebijakan maupun perbaikan
administrasinya. Upaya melakukan perluasan basis penerimaan merupakan salah satu
bentuk peningkatan pendapatan melalui kebijakan. Yang dimaksud perluasan basis
penerimaan adalah memperluas sumber penerirnaan. Untuk memperluas basis
penerimaan. pemerintah daerah dapat melakukannya dengan cara berikut:
1. Mengidentifikasi pembayar pajak/retribusi dan menjaring wajib pajak/retribusi
baru;
2. Mengevaluasi tarif pajak/retribusi;
3. Meningkatkan basis data objek pajak/retribusi;
4. Melakukan penilaian kembali (appraisal) atas objek pajak/retribusi.
Pengendalian atas Kebocoran Pendapatan
Untuk mengoptimalkan perolehan pendapatan, pemerintah daerah harus melakukan
pengarvasan dan pengendalian yang memadai. Sumber-sumber kebocoran harus
diidentifikasi dan segera diatasi. Kebocoran pendapatan bisa disebabkan karena
penghindaraan pajak (tax avoidance), penggelapan pajak (tax evasion), pungutan liar,
atau korupsi petugas. Untuk mengurangi kebocoran pendapatan beberapa langkah yang
dapat dilakukan antara lain:
1. melakukan audit, baik rutin maupun insidental;
2. memperbaiki sistem akuntansi penerimaan daerah;
3. memberikan penghargaan yang memadai bagi masyarakat yang taat pajak dan
hukuman (sanksi) yang berat bagi yang tidak mematuhinya;
4. meningkatkan disiplin dan moralitas pegawai yang terlibat dalam pemungutan
pendapatan.
Peningkatan Efisiensi Administrasi Pajak
Efisiensi administrasi pajak sangat berpengaruh terhadap peningkatan kinerja
penerimaan daerah. Masyarakat yang sebenarnya sudah memiliki kesgdaran membayar
pajak bisa jadi enggan membayar pajak karena alasan rumitnya mengurus pajak.
Demikian pula investor yang ingin berinvestasi didaerah seringkali enggan masuk ke
daerah karena hambatan birokrasi termasuk administrasi pajak yang berbelit-belit dan
berbagai pungutan di daerah. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan pemerintah
daerah untuk meningkatkan efisiensi administrasi pajak, yaitu sebagai berikut:
1. Memperbaiki prosedur administrasi pajak sehingga lebih mudah dan sederhana.
2. Mengurangi biaya pemungutan pendapatan.
xi

3. Menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, seperti bank, kantor pos, koperasi,
dan pihak ketiga lainnya untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam
membayar pajak.
Transparansi dan Akuntabilitas
Aspek penting lainnya dalam sistem manajemen penerimaan daerah adalah transparansi
dan akuntabilitas. Dengan adanya transparansi dan akuntabilitas maka pengawasan dan
pengendalian manajemen pendapatan daerah akan semakin baik. Selain itu, kebocoran
pendapatan juga dapat lebih ditekan. Untuk melaksanakan prinsip transparansi dan
akuntabilitas ini memang membutuhkan beberapa persyaratan.
1. Adanya dukungan Teknologi Informasi (TI) untuk membangun Sistem Informasi
Manajemen Pendapatan Daerah.
2. Adanya staf yang memiliki kompetensi dan keahlian yang memadai
3. Tidak adanya korupsi sistemik di lingkungan entitas pengelola pendapatan
daerah

2.4 Manajemen Pendapatan asli Daerah (MPAD)


Salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah
untuk meningkatkan kemandirian daerah dan mengurangi ketergantungan fiskal
terhadap pemerintah pusat. Peningkatan kemandirian daerah sangat erat kaitannya
dengan kemampuan daerah dalam mengelola Pendapatan Asli Daerah (PAD). Semakin
tinggi kemampuan daerah dalam menghasilkan PAD, maka semakin besar pula diskresi
daerah untuk menggunakan PAD tersebut sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan
prioritas pembangunag daerah. Peningkatan PAD tidak hanya menjadi perhatian pihak
eksekutif, namun legislatif pun berkepentingan sebab besar kecilnya PAD akan
mempengaruhi struktur gaji anggota dewan.
Meskipun pelaksanaan otonomi daerah sudah dilaksanakan sejak l Januari 2001,
namun hingga tahun 2009 baru sedikit pemerintah daerah yang mengalami peningkatan
kemandirian keuangan daerah secara signifikan. Memang berdasarkan data yang
dikeluarkan Departemen Keuangan, secara umum penerimaan PAD pada era otonomi
daerah mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan era
sebelumnya.
Total PAD Provinsi pada tahun 1999 tercatat sebesar Rp3.100,93 miliar dan pada
tahun 2002 naik menjadi Rp14.231,51 miliar. Pada tahun 2004 penerimaan PAD Provinsi
mengalami penurunan menjadi Prp12.279,79 miliar. Sementara itu untuk tingkat
kabupaten dan kota penerimaan PAD pada tahun 1999 tercatat sebesar Rp2.245,77
miliar, tahun 2000 sebesar Rp2.491,94 miliar, tahun 2001 sebesar Rp3.844,88 miliar,
xii

tahun 2002 naik menjadiPrp7.228,73 miliar, tahun 2003 sebesar Rp8.602.621.392,tahun


2004 menjadi Rp9.463.688.507 miliar (Sumber: Departemen Keuangan dan BPS).
Total Dana Perimbangan untuk kabupaten dan kota seluruh Indonesia pada
tahun 2003 sebesar Rp93.754.63 1.813,- yang merupakanl5,597o dari total penerimaan
daerah. Sementara itu, pada tahun 2O04 dana perimbangan untuk kabupaten dan kota
naik menjadi Rp104.580.758.157 dan proporsinya juga naik menjadi 79,907o dari total
penerimaan daerah (BPS, 2005 & 2006).
Dilihat dari kontribusi PAD terhadap total penerimaan, untuk pemerintah
provinsi sebelum otonomi daerah, PAD memiliki kontribusi sebesar 7,89 persen. Pada
tahun 2002 kontribusi ini naik menjadi 36,21 persen dan pada tahun 2004 kembali turun
menjadi 31,24Vo. Sementara itu untuk kabupaten dan kota pada tahun 1999, PAD
memiliki kontribusi terhadap total penerimaan sebesar 2,32 persen dan pada
tahun20O2-2004 secara berturut-turut meningkat menjadi 7,46 persen dan 8,10 persen.
Berdasarkan data dari Departemen Keuangan dan BPS diperoleh fakta bahwa bagian
terbesar.
Manajemen Pajak Daerah
Secara umum, pajak daerah memberikan kontribusi terbesar terhadap
penerimaan pendapatan Asli Daerah. Kontribusi pajak daerah terhadap totai
penerimaan daerah juga terus mengalami peninekatan. Sebagai contoh, berdasarkan
data yang dikeluarkan BPS, proporsi pajak daerah seluruh kabupaten/kota dibandingkan
total peneritnaan daerah pacia tahun 2003 adalah sebesar 2,52%tahun 2004 meningkat
menjadi 2,85%Namun dernikian. jika dibandingkan dengan total penerimaan pajak
negara baik pajak pusat maupun pajak daerah. proporsi penerimaan pajak daerah
kabupaten dan kota seluruh Indonesia hanyalah berkisar antara 3-7%dari total
penerimaan pajak nasional. Dengan kata lain porsi pajak daerah dibandingkan pajak
pusat meman,s relatif masih kecil. Namun demikian, pemerintah daerah juga masih akan
menerima bagi hasil PPh Wajib Pribadi. PBB. dan BPHTB yang jumlahnya cukup besar
bagi daerah.
Peraturan perundangan mengenai pajak daerah mengalami beberapa kali
perubahan. peraturan perundangan di bidang pajak daerah antara lain UU No. I I Drt
Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, UU No. 18 Tahun 1997 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UU No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU
No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kemudian pada tahun
2009 pemerintah pusat mengeluarkan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah menggantikan UU No. 34 Tahun 2000.
xiii

Prinsip Pajak Daerah Manajemen


Pajak daerah .iuga terkait dengan pemenuhan prinsip-prinsip umum perpajakan
Daerah yang baik. Prinsip pajak daerah tersebut adalah (Devas. 1989):
1. Prinsip Elastisitas. Pajak daerah harus memberikan pendapatan yang cukup dan
elastis, artinya mudah naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan
masyarakat. Implikasi prinsip elastisitas pajak ini terhadap manajemen pajak
daerah adalah perlunya pemerintah daerah meningkatkan pendapatan
masyarakat terlebih dahulu sebelum menaikkan pajak agar nantinya masyarakat
tidak keberatan membayar pajak.
2. Prinsip Keadilan. Pajak daerah harus memberikan keadilan, baik adil secara
vertikal dalam arti sesuai dengan tingkatan sosial kelompok masyarakat maupun
adil secara horizontal dalam arti berlaku sama bagi setiap anggota kelompok
masyarakat. Implikasi prinsip keadilan terhadap manajemen pajak daerah
adalah perlunya pemerintah daerah menerapkan tarif pajak yang progresif
untuk jenis pajak tertentu dan menerapkan perlakuan hukum yang sama bagi
seluruh wajib pajak sehingga tidak ada yang kebal pajak.
3. Prinsip Kemudahan Administrasi. Administrasi pajak daerah harus fleksibel,
sederhana, mudah dihitung, dan memberikan pelayanan yang memuaskan bagi
wajib pajak. Implikasi prinsip ini terhadap manajemen pajak daerah adalah
perlunya pemerintah daerah melakukan perbaikan dalam sistem administrasi
pajak daerah sehingga menjamin adanya kesederhanaan. kemudahan, dan
fleksibilitas bagi masyarakat dalam membayar pajak.
4. Prinsip Keberterimaan Politis. Pajak daerah harus dapat diterima secara politis
oleh masyarakat, sehingga masyarakat sadar untuk membayar pajak. Implikasi
prinsip ini terhadap manajemen pajak daerah adalah perlunya pemerintah
bekerjasama dengan DPRD dan melibatkan kelompok-kelompok masyarakat
dalam menetapkan kebijakan pajak daerah dan sosialisasi pajak daerah. Bahkan,
jika dimungkinkan. melibatkan masyarakat dalam pemungutan pajak tertentu.
5. Prinsip Nondistorsi Terhadap Perekonomian. Pajak daerah tidak boleh
menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian. Pada dasarnya setiap
pajak atau pungutan akan menimbulkan suatu beban baik bagi konsumen
maupun produsen. Namun diusahakan jangan sampai suatu pajak atau
pungutan menimbulkan beban tambahan yang berlebihan sehingga merugikan
masyarakat dan perekonomian daerah.
Terkait dengan prinsip-prinsip pajak tersebut, maka manajemen perpajakan daerah
harus mampu menciptakan sistem pemungutan yang ekonomis, efisien, dan efektif'.
Pemerintah daerah harus memastikan bahwa penerimaan pajak lebih besar dari biaya
pemungutannya. Selain itu, pemerintah daerah perlu menjaga stabilitas penerimaan
xiv

pajak tersebut. Fluktuasi penerimaan pajak hendaknya dijaga tidak terlalu besar sebab
jika sangat fluktuatif ju-ea kurang baik untuk perencanaan keuangan daerah.
Manajemen Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
(BBNKB) pada umumnya merupakan penyumbang PAD terbesar bagi pemerintah
provinsi, terutama yang memiliki kota besar dan padat penduduk seperti Jakarta,
Surabaya, Medan. Semarang, Makassar, Yogyakarta, Bogor, Bekasi, Bandung, dan
sebagainya. PKB dan BBNKB ini memang memiliki beberapa keunggulan di antaranya
adalah bersifat elastis. biaya pengumpulan relatif rendah, mudah administrasinya
terutama melalui sistem komputerisasi, tingkat kebocoran rendah, cukup adil, tidak
menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian daerah. dan dapat diterima secara
politis.
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
(BBNKB) merupakan pajak provinsi yang hasilnya akan dibagihasilkan ke daerah yang
besarannya bervariasi untuk masing-masing daerah tergantung pada besarnya objek
pajak di daerah bersangkutan dengan proporsi pembagian berdasarkan peraturan
perundangan. Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (DPP) ditentukan
berdasarkan nilai jual kendaraan bermotor (NJKB) dan juga bobot kadar kerusakan jalan
dan pencemaran lingkungan. NJKB didasarkan atas harga pasaran umum (HPU).
Manajemen Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) adalah pajak yang dikenakan atas
konsumsi bahan bakar kendaraan bermotor berupa premium, pertamax, solar, dan
bahan bakar gas. Jumlah PBBKB didasarkan pada transaksi BBM di wilayah provinsi
bersangkutan dikalikan dengan tarif pajaknya. Pajak ini juga memberikan keuntungan
yang signifikan bagi daerah karena biaya pengumpulannya kecil sedangkan pendapatan
yang diperoleh cukup besar. Manajemen pajak yang perlu dilakukan pemerintah daerah
terhadap PBBKB adalah mengoptimalkan kerjasama dengan pihak Pertamina. sebab
pajak ini dikumpulkan melalui Pertamina. Selain itu tentunya pemerintah daerah juga
meningkatkan pelayanan transportasinya, misalnya dengan pemeliharaan jalan secara
rutin.
Manajemen Pajak Hotel dan Restoran
Pajak hotel dan pajak restoran mempunyai karakteristik yang hampir sama. Sebelumnya
kedua.jenis pajak ini merupakan satu kesatuan, tetapi berdasarkan UU 3412000
kemudian dipisah. Keuntungal dari pajak hotel dan restoran adalah keduanya bersifat
mengambang (buoyant) dan punya cukup kemampuan menghasilkan (tield) secara
substansial. Pajak ini juga dinilai cukup adil dan relatif mudah untuk dihitung dan
xv

dikumpulkan. Manajemen pajak hotel dan restoran yang perlu dilakukan pemerintah
daerah antara lain dengan memperbaiki"dctttt bose wajib pajak, komputerisasi
administrasi pajak yang terkoneksi dengan sistem infbrmasi pihak hotel, melakukan
sosialisasi pajak secara memadai, pemberian penghargaan kepada wajib pajak yang taat
pajak, dan kemungkinan otrtsoLtrcing dalam pemungutan pajak.
Manajemen Pajak Hiburan
Pajak hiburan merupakan pajak yang dikenakan terhadap orang atau badan
penyelenggara suatu hiburan yang dipungut bayaran. Berbagai jenis hibulan yan-e dapat
dikenai pajak misalnya : .
 pertunjukan atau keramaian. seperti diskotek. live music', karaoke, balai gita
(singing hall),pub, klub eksekutif dan sejenisnya
 pagelaran musik dan tari
 bioskop film
 pertunjukan kesenian
 permainan ketangkasan
 mandi uap, spa, streambath. dan sejenisnya
 billiar. bowling. dan sejenisnya
 pertunjukan/pertandingan olah raga
 hiburan incidental
 pertunjukan permainan di tempat wisata, taman rekreasi, taman hiburan
keluarga, pasar malam. pemancingan, ice skating, sirkus, kereta pesiar. dan
sejenisnya
Pajak hiburan ini dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan
pajak (DPP), yang dalam hal ini adalah jumlah omzet penjualan karcis.
Manajemen Pajak Reklame
Bagi pemerintah daerah, terutama pemerintah kota. pajak reklame merupakan pajak
yang cukup potensial. Pajak reklame sebagai pajak daerah juga memiliki beberapa
keunggulan, antara lain lokasi objek pajak jelas dan mudah diidentifikasi, cukup
mengambang (bouuurt), relatif mudah untuk diimplementasikan, dan pertumbuhannya
relatif stabil. Namun di samping memiliki keunggulan, pajak reklame juga mengandung
beberapa kelemahan, misalnya tarif pajak dan dasar pengenaan pajaknya cukup
kompleks yaitu dihitung berdasarkan jenis, ukuran. lokasi, dan lama tampilnya.
Manajemen pajak reklame yang perlu dilakukan pemerintah daerah untuk
mengoptimalkan penerimaan pajak ini antara lain melakukan sinkronisasi antara
Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) dengan Tata Ruang Reklame (TRR). Hal ini
supaya keberadaan papan reklame tidak mengganggu pemandangan dan keindahan
xvi

kota. Selain itu, upaya yang bisa dilakukan adalah optimalisasi penerimaan pajak
reklame melalui intensifikasi dan ekstensifikasi.
Manajemen Pajak Penerangan Jalan (Pajak Listrik)
Untuk beberapa pemerintah daerah, pajak penerangan jalan masih menjadi primadona
penyumbang PAD. Secara umum, pajak ini bersifat mengambang. relatif adil karena
basis pajaknya dihitun-e berdasarkan kapasitas listrik terpasang dan jumlah KWH
dikonsumsi. Pengumpulan pajaknya juga relatif mudah karena ditarik melalui
Perusahaan Listrik Negara (PLN) bersamaan dengan tagihan listrik. Dalam rangka
optimalisasi penerimaan pajak listrik, yang palin-e penting dilakukan pemerintah daerah
adalah meningkatkan kerjasama antara pemerintah daerah dengan pihak PLN dan pihak
lain seperli bank dan KUD sebagai tempat pembayaran listrik.
Manajemen Pajak Parkir
Pajak parkir meskipun bagi kebanyakan daerah belum begitu signifikan, tetapi untuk
pemerintah daerah yang memiliki banyak pusat perbelanjaan dan pusat-pusat
keramaian yang menyelenggarakan jasa perparkiran mampu memberikan tambahan
PAD yang cukup berarti. Pajak parkir berbeda clengan retribusi parkir. Pajak parkir
merupakan pajak yang dikenakan atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan
jalan yang dilakukan oleh Orang Pribadi atau Badan baik yang berkaitan dengan pokok
usaha maupun usaha sampingan, seperti supermarket atau mall yang
menyelenggarakan parkir sendiri, usaha penitipan kendaraan, dan sebagainya.
Sementara itu, retribusi parkir adalah punguran yang dikenakan atas penggunaan
tempat-tempat parkir di tepi jalan umum yang masih merupakan fasilitas milik
pemerintah.

Manajemen Retribusi Daerah


Retribusi daerah pada umumnya merupakan sumber pendapatan penyumbang PAD
kedua setelah pajak daerah. Bahkan untuk beberapa daerah penerimaan retribusi
daerah ini lebih tinggi daripacla pajak daerah. Dalam istilah asing retribusi ini disebut
sebagai user charge, user Jbes, atat c'ltttrging .for service. Retribusi daerah memiliki
karakteristik yang berbeda dengan pajak daerah. Pajak ciaerah merupakan pungutan
yang dilakukan pemerintah daerah kepada wajib pajak daerah tanpa ada kontraprestasi
langsung yang bisa diterima wajib pajak atas pembayaran pajak tersebut. Semcntara itu,
retribusi daerah merupakan pungutan yang dilakukan pemerintah daerah kepada wajib
retribusi atas pemanfaatan suatu jasa tertentu yang disediakan pemerintah. Jadi dalam
hal ini terdapat imbalan (kontraprestasi) langsung yang dapat dinikmati pembayar
retribusi.
xvii

Terdapat tiga jenis retribusi daerah yaitu, retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan
retribusi perizinan tertentu. Berbeda dengan pajak daerah yang bersifat tertutup, untuk
retribusi ini pemerintah daerah masih diberi peluang untuk menambah jenisnya namun
harus pula memenuhi persvaratan tertentu sebagaimana diatur undang-undang.
Manajemen Perusahaan Daerah
Dalam kebanyakan kasus, kontribusj bagian laba perusahaan daerah belum memberikan
andil yang cukup signifikan bagi peningkatan PAD. Bahkan beberapa perusahaan daerah
justru membebani APBD karena harus terus disubsidi sementara laba yang dihasilkan
relatif masih kecil sehingga belum bisa memberikan dividen yang berarti bagi daerah.
Memang tidak semua perusahaan daerah seperti itu, ada beberapa perusahaan daerah
yang maju terutama yang bergerak di sektor perbankan sepeti Bank DKl, Bank'Jabar,
Bank Jateng dan Bank Pembangunan Daerah pada umumnya. Jika di sektor perbankan
cukup maju, tidak demikian halnya dengan perusahaan daerah yang bergerak di sektor
riil. Masih cukup banyak perusahaan daerah yang bergerak di sektor riil, seperti propefii,
industri olahan, jasa, dan sebagainya yang kondisinya memprihatinkan.
Terdapat beberapa masalah terkait dengan kinerja perusahaan daerah, antara lain:
 Lemahnya profesionalisme
 Permasalahan kultur pemerintahan (birokrasi) dan kultur organisasi (bisnis) yang
tidak mendukung
 Ketidakharmonisan hubungan pemerintah sebagai principal dengan manajemen
perusahaan sebagai agen
 Kedudukan hukum perusahaan daerah yang kurang jelas . Intervensi politik yang
terlalu besar
 Sistem rekrutmen pegawai yang kurang transparan, kompetitif, dan fair
 Kurangnya transparansi dan akuntabilitas
 Pemilihan direksi yang tidak melalui prosedur uji kepatutan dan kelayakan (fit &
proper test) tetapi berdasarkan kedekatan dengan kepala daerah
 Kurang jelasnya kompetensi inti (core competence) bisnis perusahaan sehingga
tidak fokus pada pasar
 Inefisiensi dalam pengeluaran terutama pada pengeluaran biaya kebijakan
(discreationary expenses).
Manajemen Lain-lain PAD yang Sah
Pendapatan daerah yang berasal dari Lain-Lain PAD yang Sah antara lain:
 Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan
 Jasa giro
 Pendapatan bunga
xviii

 Tuntutan Ganti Rugi


 Komisi
 Potongan
 Keuntungan selisih kurs
 Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan
 Pendapatan denda pajak dan retribusi
 Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan
 Pendapatan atas fasilitas sosial dan Fasilitas umum
 Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan

2.5 Manajemen Dana Perimbangan


Dana perimbangan ini diklasiflkasikan menjadi tiga bagian utama, yaitu: 1) Dana
Bagi Hasil, 2) Dana Alokasi Umum. dan 3) Dana Alokasi Khusus. Untuk beberapa
pemerintah daerah masih akan mendapatkan Dana Penyesuaian dan Dana Otonomi
Khusus. Dari beberapa jenis dana perimbangan tersebut sebenarnya dapat dipilah
antara jenis dana perimbangan yang bisa dikendalikan daerah dengan yang tidak dapat
dikendalikan. Dana Bagi Hasil merupakan jenis dana perimbangan yang dapat
dikendalikan oleh pemerintah daerah dalam arli dapat mempengaruhi jumlah
penerimaannya, sedangkan untuk Dana Alokasi Umum dihitung dengan formula
tertentu yang relatif kecil dapat dipengaruhi besarannya oleh pemerintah daerah.
Sementara itu, untuk Dana Alokasi Khusus pemerintah daerah hingga tingkat tertentu
masih mungkin dapat mempengaruhi jumlah penerimaannya meskipun kebijakan
sepenuhnya tergantung pusat.
Dana Bagi Hasil
Pemerintah daerah masih dapat mengoptimalkan penerimaan dana perimbangan
melalui dana bagi hasil. Dana bagi hasil pada dasarnya terdiri atas dua jenis, yaitu bagi
hasil pajak (tax sharing) dan bagi hasil sumber daya alam (natural resources sharing).
Dana bagi hasil pajak meliputi:
 Bagi hasil dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
 Bagi hasil dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan
 Bagi hasil dari Pajak Penghasilan pasal 25 dan 29 sefia PPh wajib pajak orang
pribadi pasal 21
Dana bagi hasil sumber daya alam meliputi :
 Bagi hasil dari Iuran Hak Pengusahaan Hutan
 Bagi hasil dari Provisi Sumber Daya Hutan
 Bagi hasil dari Dana Reboisasi
xix

 Bagi hasil dari Iuran Tetap (Land-Rent)


 Bagi hasil dari Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalti)
 Bagi hasil dari Pungutan Pengusahaan Perikanan
 Bagi hasil dari Pungutan Hasil Perikanan
 Bagi hasil dari Pertambangan Minyak Bumi
 Bagi hasil dari Pertambangan Gas Bumi
 Bagi hasil dari Pertambangan Panas Bumi
 Bagi hasil dari Pertambangan Umum
Bagi Hasil PBB dan BPHTB
Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PBB dan
BPHTB merupakan pajak daerah. Namun untuk PBB yang menjadi pajak daerah hanya
PBB perdesaan dan perkotaan, sedangkan PBB perkebunan, kehutanan, dan
pertambangan masih sebagai pajak pusat yang mengutamakannya bisa melibatkan
pemerintah daerah. Karena PBB dan BPHTB berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 telah
ditetapkan sebagai pajak daerah, maka pernerintah daerah perlu mengoptimalkan
penerimaan PBB BPHTB.
Beberapa hal yang dapat dilakukan daerah untuk meningkatkan penerimaan PBB
dan BPHTB antara lain :
 Melakukan penilaian kembali (appraisal) terhadap objek pajak PBB untuk
menentukan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang mendekati harga pasar
 Melibatkan pihak kelurahan, Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT) dalam
pendataan dan pendistribusian surat ketetapan pajak PBB
 Memperbaiki administrasi pajak dan menciptakan kemudahan bagi wajib pajak
dalam membayar pajak
 Memperbaiki sistem basis data PBB
Bagi Hasil Sumber Daya Alam
Bagi hasil SDA pada umumnya lebih bersifat fluktuatif dan berbeda-beda untuk
masing-masing daerah. Untuk daerah yang memilili kekayaan sumber daya alam tentu
akan memperoleh bagi hasil SDA yang besar, seperti Kalimantan Timur. Bontang, Riau,
Bengkalis, dan sebagainya. Terkait dengan eksploitasi SDA ini pemerintah daerah perlu
memanfaatkan penerimaan dari bagi hasil SDA tersebut dengan sebaik-baiknya
terutama untuk SDA yang bersifat tidak terbarui. Ketika saat ini memanen hasil SDA,
pemerintah daerah harus sudah memikirkan antisipasi dampak jangka panjangnya, yakni
setelah SDA tersebut habis sehingga tidak menghasilkan pendapatan lagi dan bahkan
meninggalkan dampak negatif seperti kerusakan lingkungan dan permasalahan sosial.
xx

Untuk SDA tambang. pemerintah daerah perlu memiliki konsep dan program
konservasi alam untuk mengembalikan fungsi lahan. Hal ini bisa dilakukan dengan
mengembalikan bekas lahan tambang tersebut menjadi lahan pertanian, perkebunan
atau hutan. Tetapi untuk mengembalikan fungsi lahan sehingga mampu memberikan
hasil yang optimal membutuhkan biaya dan waktu, sementara pendapatan dari SDA
yang biasanya diperoleh sudah tidak ada lagi. Akibatnya keuangan daerah terancam
mengalami defisit (finant-ial distress). Oleh karena itu. perencanaan keuangan jangka
panjang harus disiapkan sebab jika tidak maka daerah yang tadinya kaya dapat berubah
menjadi miskin. Selain kembali ke sektor pertanian, pemerintah daerah juga perlu mulai
memperkuat sektor jasa dan perdagangan. Kita bisa melihat bahwa Singapura miskin
dalam hal SDA tetapi unggul dalam sektor jasa dan perdagangan sehingga mampu
menjadikan negera tersebut dalam jajaran negara maju.

PERTANYAAN :
xxi

1. Berikan evaluasi Anda tentang efisiensi dan efektivitas mekanisme pemungutan


PAD yang dilakukan pemerintah daerah di tempat Anda. Berikan pula saran
perbaikan jika memang masih terdapat kelemahan
Jawaban :

Pemerintah Kota Kendari yang telah berupaya terus menerus meningkatkan


PAD dengan berbagai cara seperti memperluas cakupan pungutan. pajak
dan retribusi daerah, efisiensi biaya pemungutan dan penyempurnaan
mekanisme pengelolaan keuangan daerah. Perkembangan realisasi PAD
sebesar Rp. 28.159.235.500. Kemudian tahun 2008 mengalami kenaikan
menjadi Rp. 32.581.583.141 atau naik Rp. 4.422.329.641 atau 15,7% dari
tahun sebelumnya. Selanjutnya, tahun 2009 PAD yang masuk sebanyak Rp.
238.130.253.882 naik Rp. 5.548.670.741 atau 17,03 % . Tahun 2010 PAD
yang masuk sebesar Rp. 49.469.468.367 atau mengalami kenaikan Rp.
11.339.214.485 atau 29,7% dan tahun 2011 juga mengalami kenaikan
menjadi Rp. 66.518.757.063 atau mengalami kenaikanRp. 17.049.228.696
atau 34,46% dari tahun sebelumnya.

Selama beberapa tahun realisasi penerimaan PAD cenderung meningkat.


Peningkatan PAD Kota Kendari ini merupakan akibat perkembangan pajak
daerah dan retribusi daerah serta lain-lain pendapatan asli daerah yang sah
di Kota Kendari secara pesat. Namun untuk mengetahui sejauh mana
peningkatan itu terjadi perlu dibuat pengkajian mengenai penerimaan PAD
dari jenis ±jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang ada di Kota Kendari.
PAD dari jenis pajak daerah dan retribusi daerah perlu diukur dengan baik
dan akurat agar potensi yang sebenarnya dapat dikelola dan dikumpulkan
dengan secara maksimal. Penentuan potensi selama ini di Kota Kendari
menurut informasi dari Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset
Daerah Kota Kendari dengan perkiraan yang berpedoman terhadap target
pencapaian tahun anggaran sebelummnya.

2. Beberapa pajak pusat seperti PPh Wajib Pribadi, PBB, dan BPHTB dibagihasilkan
dengan daerah. Tetapi untuk PPh Badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
tidak dibagihasilkan dengan daerah. Mengapa demikian? Bisakah PPN
dibagihasilkan dengan daerah?
Jawaban :

PPh Badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak dibagihasilkan dengan
daerah karena berpotensi menimbulkan ketimpangan pendapatan
horizontal (antar daerah) dan pendapatan vertikal (pusat dan daerah). Ada
daerah yang punya penghasilan besar, dan ada daerah lain yang sebaliknya.
Kondisi ini bisa menimbulkan kecemburuan horizontal, ketidakadilan dan
kekurangserasian dalam konteks negara kesatuan. Namun Mahkamah
xxii

mengakui PPh badan pun akhirnya dibagikan ke daerah melalui Dana Alokasi
Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

3. Untuk meningkatkan penerimaan daerah, khususnya pendapatan pajak,


beberapa pemerintah daerah di luar negeri, seperli di Amerika Serikat
menerapkan sistem plggyback, yaitu menetapkan tambahan tarif terhadap tarif
pajak pusat yang nantinya akan menjadi bagian pendapatan daerah. Berikan
analisis Anda tentang mekanisme piggyback sNstem dan kemungkinan
aplikasinya di Indonesia.
Jawaban :

Menurut saya, mekanisme piggyback system ini baik karena akan menjadi bagian
pendapatan daerah yang akan membantu perekonomian daerah. kemungkinan
aplikasinya di Indonesia harus seuai dengan peratuarn perundang-undangan.

4. Bagaimanakah cara yang perlu ditempuh pemerintah daerah untuk menciptakan


kemudahan administrasi pembayaran pajak bagi masyarakat? Berikan pendapat
Anda.
Jawaban :
a) Bekerjasama dengan Pemerintah
b) Mengoptimalkan Seluruh Perangkat Desa
c) Menggerakan Tim PKK Dan Dasa Wisma
d) Melaksanakan Sosialisasi
e) Mendatangi Langsung Wajib Pajak
Salah satu upaya dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak adalah
memberikan pelayanan yang baik kepada wajib pajak. Peningkatan kualitas dan
kuantitas pelayanan diharapkan dapat meningkatkan kepuasan kepada wajib
pajak sebagai pelanggan sehingga meningkatkan kepatuhan dalam bidang
perpajakan.

5. Jelaskan perbedaan karakteristik antara pungutan pajak dengan retribusi daerah


Jawaban :
Pungutan pajak berlaku untuk umum seperti penghasilan, kekayaan, laba
perusahaan dan kendaraan, sedangkan pungutan retribusi hanya ditujukan
untuk orang-orang tertentu yang menggunakan jasa pemerintah.
Perbedaan karakteristik :
1) Pajak berasal dari dasar hukum undang-undang sedangkan retribusi
berasal dari peraturan pengertian, persamaan, dan perbedaan pajak dan
xxiii

retribusi pemerintah, peraturan menteri, atau pejabat negara yang lebih


rendah.
2) Balas jasa pada pajak bersifat tidak langsung sedangkan pada retribusi
bersifat langsung dan nyata kepada individu tersebut.
3) Pungutan pajak berlaku untuk umum seperti penghasilan, kekayaan, laba
perusahaan dan kendaraan, sedangkan pungutan retribusi hanya
ditujukan untuk orang-orang tertentu yang menggunakan jasa
pemerintah.
4) Pajak bersifat dapat dipaksakan (menurut UU). Jadi, wajib dibayar. Jika
tidak, maka akan mendapatkan sanksi, sedangkan retribusi dapat
dipaksakan juga, akan tetapi paksaannya bersifat ekonomis yang hanya
berlaku kepada orang-orang yang menggunakan jasa pemerintah.
5) Lembaga pemungut pajak adalah pemerintah pusat maupun daerah
(negara), sedangkan lembaga pemungut retribusi hanya pemerintah
daerah.
6) Pajak bertujuan untuk kesejahteraan umum, sedangkan retribusi
bertujuan untuk kesejahteraan individu tersebut yang menggunakan jasa
pemerintah.

BAGIAN III
xxiv

ANALISIS DAN EVALUASI TENTANG PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Pembagian kewenangan dalam pemerintahan yang bersifat
desentrealistis1 disadari sangat diperlukan dan tepat untuk diterapkan di
negara yang memiliki sebaran wilayah kepulauan yang luas dengan
keanekaragaman budaya majemuk seperti Indonesia ini. Di samping
memudahkan koordinasi dalam pemerintahan, sistem desentralisasi lebih
demokratis karena implementasi kekuasaan diselaraskan dengan karakter
budaya dan kebiasaan daerah masing-masing.
Sering terdapat Kecenderungnan untuk mempertentangkan antara
negara federal dengan otonomi daerah dalam negara kesatuan. Federalisme
adalah suatu wahana untuk memperhatikan perbedaan daerah (budaya,
bahasa dan sebagainya) dengan memberikan suatu otonomi politik yang
luas. Pada kenyataannya federalisme dan regionalisme merupakan dua
realitas politik yang berbeda. Negara federal adalah hasil dari penggabungan
sejumlah negara bagian yang masing- masing merupakan suatu perwujudan
politik yang tidak harus homogen, contohnya negara-negara bagian Amerika
serikat.3 Sedangkan otonomi daerah dalam negara kesatuan sebagaimana
yang dimaksudkan di Indonesia adalah kewenangan daerah untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya sebagaimana ditentukan oleh
UU.4 Salah satu wujud pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah penentuan
sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan
sendiri dengan potensinya masing-masing.5 Kewenangan daerah tersebut
diwujudkan dengan memungut pajak daerah dan retribusi daerah yang diatur
dengan UU No. 28 Tahun 2009 yang merupakan penyempurnaan dari UU No.
34 Tahun 2000 dan peraturan pelaksanaannya yaitu PP No.65 Tahun 2001
tentang Pajak Daerah dan PP 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
Wewenang mengenakan pungutan pajak atas penduduk setempat untuk
membiayai layanan masyarakat merupakan unsur yang penting dalam sistem
pemerintahan daerah. Di Indonesia, hingga sekarang, pemerintahan daerah
baik provinsi maupun kabupaten/kota memiliki kewenangan mengenakan
pajak, mesikpun jumah penerimaan pajak daerah relatif kecil dibandingkan
dengan penerimaan pajak nasional. Sistem pajak daerah yang digunakan
selama ini mengandung banyak kelemahan sehingga manfaat yang diperloleh
lebih kecil dari pada besarnya beban pajak yang diemban oleh masyarakat.
xxv

Oleh karena itu, dalam tahun-tahun terakhir, pemerinah tengah melakukan


perubahan besar dalam sistem pajak nasional dan sistem pajak daerah.
Idealnya dalam melaksanakan otonomi daerah harus bertumpu pada
sumber- sumber dari daerah itu sendiri, dalam regulasi keuangan daerah
lazim disebut dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sumber PAD
berdasarkan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah terdiri dari a. Pajak Daerah, b.
Retribusi Daerah, c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan (Laba
Badan Usaha Milik Daerah) dan d. Lain-lain PAD yang sah.7 Diantara sumber
PAD tersebut yang paling dominan yang memberikan kontribusi bagi daerah
adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

A.1. Perkembangan Dasar Pengaturan Pajak


Pembangunan hukum merupakan suatu kebutuhan mutlak dalam
rangka membangun suatu negara. Untuk berhasilnya suatu pembangunan
dipengaruhi produk peraturan yang mengaturnya. Hukum berfungsi memberi
kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigheit) dan
keadiolan (gerchtigheit)8. Disamping itu juga hukum sebagai alat untuk
mengatur tata tertib masyarakat. Peraturan yang tumpang tindih atau
bertentangan antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang
lain sangat merugikan masyarakat dan negara, karena akan menimbulkan
“ambiguitas” dan ketidakpastian hukum. Untuk itu hukum sebagai saran
kontrol sosial dapat memberikan solusi dalam rangka memenuhi tuntutan
tersebut. Dalam suatu masyarakat yang sedang membangun peranan hukum
memegang arti penting, fungsi peranan itu dilakukan dengan memanfaatkan
hukum yang dipercaya untuk mengembangkan misinya yang paling baru, yaitu
sebagai sarana perubahan sosial (social engineering) dan sarana pembinaan
hukum di masyarakat (social control and dispute settlement). Kepercayaan ini
didasarkan pada hakikat dan potensi hukum sebagai inti kehidupan masyarakat.
Negara kita berdasarkan hukum (rechstaat) dan tidak berdasarkan
atas kekuasaan belaka (maachsstaat), hal ini ditemukan pada beberapa
ketentuan yakni: (a) Penjelasan UUD-1945 mengenai sistem pemerintahan, (b)
penegasan penolakan terhadap kekuasaan yang bersifat absolutisme, (c)
negara hukum di Indonesia, (d) sejalan dengan negara demokrasi, (e)
kekuasaan kepala negara terbatas bukan tak terbatas, (f) dan dalam batang
tubuh mengatur rumusan tentang hak-hak kemanusiaan. Dalam neegara
hukum yang bertujuan mensejahterakan seluruh warga negaranya (welfare
state), pemungutan pajak negara harus didasarkan pada undang-undang.
xxvi

Politik hukum nasional di bidang perpajakan dalam Undang- Undang Dasar


1945 Amandemen ke-tiga Bab VII B Pasal 23A, yang menyatakan bahwa “pajak
dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan undang-undang”. Sebelumnya dasar pemungutan pajak di Indonesia
berdasarkan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “segala
pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”.
Perubahan dasar pengaturan pajak tersebut, terjadi pada amandemen ke-
tiga pada 9 November 2001 yang sebelumnya pungutan pajak berdasarkan
undang- undang, kemudian diubah menjadi diatur dengan undang-undang,
dimana mengandung perubahan makna yang mendasar. Bagi penganut aliran
hukum Positivisme, berpendapat segala pungutan pajak apabila diatur
selain dengan undang-undang menjadi tidak sah/ inkonstitusionil. Tetapi bagi
aliran moderat yang dianut oleh pembuat UU kita, walaupun sahnay pungutan
pajak harus ditetapkan dengan undang-undang tetapi dapat didelegasikan
kepada peraturan perundang- undangan dibawahnya sepanjang masih
dikehendaki hierarki perundang-undangan. Akan tetapi peraturan perundang-
undangan yang dibawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi.
Berbeda dengan pengaturan dasar dalam UUD-1945 sebelum
Amandemen: pungutan pajak berdasarkan undang-undang mengandung
makna bahwa jenis peraturan-peraturan perundang-undangan selain terdapat
dalam hierarki perundang- unangan diakui keberadaanya dan membpunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Berbeda halnya dengan peraturan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
yang diatur dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, pengaturan disini bersifat umum dan mengatur
batasan mana pemerintah daerah boleh dan dilarang memungut Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah. Untuk pemberlakuan bagi masing-masing daerah,
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 mengamanatkan harus ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.
Hal tersebut dapat dimaklumi, karena pajak daerah dan retribusi
daerah adalah sekedar sarana untuk penerimaan daerah. Adalah merupakan
kewenangan daerah, jenis pajak dan retribusi daerah mana serta besaran
taripnya yang akan ditetapkan sebagai pemasok penerimaan APBD atas
dasar potensi dan dalam rangka pemikiran hendakya pungutan pajak dan
retribusi daerah tidak menjadi kontra produktif karena faktor persaingan
daerah dalam menarik investor bagi daerahnya. Disisi lain, penetapan
pungutan pajak daerah dan retribusi daerah dengan Peraturan Daerah, tidak
xxvii

menyalahi hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam


Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Pasal 7 ayat (1).
Tegasnya, setelah Amandemen Ke-tiga UUD-1945, Peraturan Menteri
Dalam Negeri, Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Kepala Daerah tidak
boleh lagi mengatur pungutan pajak yang bersifat publik, karena kebijakan
tersebut bukan merupakan bagian dari perundang-undangan sebagaimana
diatur dalam UU 12 Tahun 2011.
Di negara-negara maju berlaku slogan pemungutan pajak: “no
taxation without representation” bahwa tidak ada pajak tanpa persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat atau “taxation without representation is robbery”
bahwa pemungutan pajak tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat berarti
perampokan. Untuk itu fungsi pajak sangat vital dan strategis dalam
penyelenggaraan pemerintah umum, pengaturan ekonomi, pemerataan
pendapat dan peningkatkan pembagunan memnyebabkan setiap negara
menghendaki agar pemungutan pajak dapat terlaksana dengan baik. Apalagi
penerimaan negara dari sektor pajak menjadi salah satu indikator kunci
keberhasilan Pemerintah. Jika ditarik lebih lanjut, apapun sistem pajak yang
dilaksanakan maka ukuran keberhasilan akan berpulang pada jumlah setoran
pajak pada kas negara. Hal tersebut bukan pekerjaan mudah bagi Kementerian
Keuangan khususnya aparatur Dirtjen Pajak, mengingat tingkat kepatuhan
wajib pajak (tax payer) masih rendah, sementara tugas penerimaan negara
melalui sektor pajak cederung naik setiap tahun.
Keberhasilan dalam pemungutan pajak dipengaruhi oleh sistem
perpajakan, dalam Undang-Undang Perpajakan Indonesia dikenal dengan
ajaran The Four Maxims.Adam Smith (1723-1970) dalam bukunya berjudul An
Inquryinto the Nature and the Cause of the Wealth of Nations yang diterbitkan
1776 menyatakan atas The Four Maxims itu terdiri dari: equity (keadilan),
certainty (kepastian), ekonomis dan efisien (convenience of payment). Akan
tetapi dalam prakteknya sukar dipahami dan tidak sederhana dalam
implementasinya yang pada akhirnya berujung pada terusiknya rasa keadilan
masyarakat pada umumnya dan Wajib Pajak pada Khususnya. Pada
pemungutan pajak hendaknya diperhatikan mengenai ketelitian dan kebenaran
administrasi dan fiskus. Hal ini berkaitan dengan munculnya ketidakpuasan dari
wajib pajak yang tidak mau menerima tidakan fiskus sehingga menimbulkan
adanya sengketa antara wajib pajak dan fiskus. Sengketa pajak sangat
terbuka mengingat wajib pajak sering berpendapat untuk membayar pajak itu
harus sekecil mungkin bahkan kalau perlu menghindarkan diri dari kewajiban
membayar pajak, sedangkan fiskus sebagai pemungut dibebani pemasukan
negara dari pajak yang sangat besar.
xxviii

A.2. Peranan Pajak di Indonesia


Kriteria utama yang paling endasar agar pajak daerah dan retribusi
daerah sejalan dengan arti/hakekat sebenarnya dari pungutan tersebut adalah
diupayakan kesejahteraan dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
seluruh rakyat. Terdapat perdebatan yang cukup serius mengenai tujuan
bangsa ini , apakah kemandirian ataukah kesejahteraan rakyat yang lebih
didahukukan, walaupun dengan jelas dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945
bahwa tujuan negara adalah untuk kesejahteraan rakyat. Kemandirian
dimaksud disini adalah sebuah bangsa mandiri yang tidak tergantung pada
bangsa-bangsa lain. Terkait dengan dialektika antara kemandirian dan
kesejahteraan di era global ini, seharusnya diartikan bahwa kemandirian bangsa
lebih diutamakan untuk mendukung dan membangun kesejahteraan rakyat.
Kemandirian bangsa bertujuan mensejahterakan rakyat adalah
merupakan suatu keharusan untuk menyelenggarakan pemerintahan dalam
suatu negara. Tanpa ada kemandirian posisi pemerintah dari sisi finansial
memjadi lemah dan akan terus bergantung pada bantuan luar negeri yaitu
berupa pinjaman yang pada akhirnya selain membebani rakyat secara politis
kebijakan pemerintah menjadi gamang karena selalu dipengaruhi ooleh
negara-negara donor dengan berbagai kepentingannya.
Dalam rangka kemandirian itulah peraan pajak dan retribusi daerah untuk
membiayai pembangunan di Indonesia ini menjadi teramat penting. Disadari
bahwa implikasi pungutan pajak dan retribusi daerah akan membawa dampak
yang contraproductive dilakukan dengan semena-mena tidak sesuai
dengan rasa keadilan, dan justru bertentangan dengan tujuan negara yang
telah diikrarkan dalam pembukaan UUD-1945, yaitu mensejahterakan rakyat.
Oleh karena itu pungutan pajak secara implisit diatur dalam UUD 1945 dasar
konstitusi RI yaitu bahwa pajak “memiliki sifat memaksa untuk keperluan
negara”, menjadi penting, hingga makna pajak tidak saja sebagai kewajiban
tetapi lebih dari itu merupakan hak warga negara untuk ikut berpartisipasi
dalam membiayai pembangunan negara.
Seperti kita ketahuii bersama, bahwa peranan pajak dalam pembangunan
di Indonesia menjadi primadona. Dari tahun ke tahun Pajak menunjukkan
penerimaan yang menaruk secara signifikan, bakhan di tahun 2010 memasok
hingga 78,2% terhadap penerimaan negara. Begitu pentingnya peranan
penerimaan pajak guna kelangsungan pembangunan negara, hingga
kewenangan diberikan pemerintah untuk memberikan sanksi kepada Wajib
Pajak yang lalai melaksanakan kewajibannya baik sanksi berupa bunga,
xxix

denda dan sanksi itu sendiri harus dilakukan dengan hati-hati, jangan hanya
dengan kesewenangan tanpa memperhatikan ketentuan undang-undang yang
mengaturnya. Khususnya terhadap sanksi pidana yang diterapkan kepada Wajib
Pajak baik yang karena kelalaiannya (culpa) maupun karena kesengajaan
(dolus), tetap berpegang pada azas hukum pidana dan prinsip hukum pajak
sebagai bagian dari hukum administrasi negara (Tata Usaha Negara).
Adapun peranan penerimaan pajak terhadap Penerimaan Dalam
Negeri APBN selam lima tahun terakhir dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:

Tabel I
PERAN PENERIMAAN PAJAK
NEGARA

Tahun Penerimaan DN Penerimaan Pajak %


2005 493.919 347.031 70,3
2006 636.153 409.203 64,3
2007 681.760 489.892 71,9
2008 779.215 569.972 73,1
2009 871.000 652.000 74,9
2010 949.700 742.700 78,2
2011 1.101.172 850.255 77,2
2012 1.310.561 1.032.570 78.7
Sumber: UU APBN

A.3. Sistem Perpajakan di Indonesia


Pada awalnya sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem
Government/Official assesment, yaitu setiap tahun pemerintah (dalam hal ini
Ditjen Pajak) akan menerbitkan ketetapan pajak terhadap Wajib Pajak. Dengan
Demikian Wajib Pajak baru terutang pajak setelah ditetapkan pajaknya.
Keadaan tersebut menjadi sangat tidak efektif mengingat jumlah Wajib Pajak
yang semakin bertambah sementara aparat pajak jumlahnya terbatas. Hal
tersebut mengakibatkan banyak keluhan Wajib Pajak yang menunggu besarnya
ketetapan pajak terutang pada tahun pajak terdahulu karena belum ditetapkan.
xxx

Setelah awal 1984 berdasarkan UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan


Umum dan Tata Cara Perpajakan sistem perpajakan di Indonesia berganti
menjadi self asessment, yaitu wajib pajak diberikan kepercayaan penuh untuk
menghitung, memperhitungkan, dan membayar pajak terutang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pepajakan. Sistem dan
mekanisme tersebut pada gilirannya akan menjadi ciri dan corak tersendiri
dalam sistem perpajakan Indonesia yaitu sebagai berikut:
a. Bahwa pungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian
kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung
dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang
diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan
nasional;
b. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai
pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada
anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah dalam hal
ini aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban
melakukan pembinaan, penelitian dan pengawasan terhadap
pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan
ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan;
c. Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan dapat
melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem
menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendir pajak
yang terutang (self asessment), sehingga melalui sistem ini
pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat
dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan
mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.

Berdasarkan ketiga prinsip pemungutan pajak tersebut, Wajib Pajak diwajibkan


menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak
yang seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan peraturan peraturan
perundang- undangan perpajakan, sehingga penentuan penetapan besarnya
pajak yang terutang berada pada Wajib Pajak sendiri. Selain itu, Wajib Pajak
diwajibkan pula melaporkan secara teratur jumlah pajak terutang dan telah
dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan. Dengan sistem ini diharapkan pelaksanaan administrasi
perpajakan yang berbelit-belit dan birokratis dihilangkan.
Tidak hanya dengan Pajak Daerah, pemberlakuan sistem self
asessment tidak serta merta dapat diperlakukan, karena pungutan daerah ini
xxxi

mempunyai kekhususan dan merupakan pajak tidak langsung dimana


kedudukan Wajib Pajak adalah semata sebagai wajib pungut. Demikian pula
dengan pungutan retribusi daerah adalah merupakan legitimasi besaran biaya
jasa, pelayanan atau pengaturan izin yang diberikan oleh Pemerintah Daerah.
Berkaitan dengan sistem perpajakan self-asessment ini tidak dibahas, peneliti
hanya melakukan penelitian tentang potensi pajak daerah dan retribusi
daerah yang seharusnya dikembangkan guna penerimaan daerah yang
berkeadilan. Berdasarkan uraian teresebut pemerintah daerah harus
memperoleh persetujuan dari pemerintah pusat sebelum diberlakukanya
sisitim pengawasan tersebut.

B. Rumusan Masalah
Terkait permasalahan adanya pungutan daerah yang didasarkan pada
keputusan/peraturan kepala daerah, dan muatan/materi yang diatur dalam
peraturan daerah tidak memenuhi ketentuan minimal serta muatan materi
yang diatur dalam perda PDRD tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 28 Tahun
2009, disarankan agar melakukan pembinaan dan pengarahan secara langsung
baik melalui sosialisasi, bimbingan teknis atau konsultasi regional terkait
pemahaman UU No. 28 tahun 2009
Oleh karena itu pembahasan permasalahan menarik untuk dilakukan
identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dengan pungutan daerah yang tumpang tindih dengan pungutan
pusat, karena kewenangan pemerintah pusat yang sudah diberikan ke daerah
berdasarkan PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota, tetapi pungutannya masih dilakukan oleh pusat?
2. Apakah pungutan daerah yang didasarkan pada keputusan/peraturan
kepala daerah yang bertentangan dengan Pasal 95 ayat (2) dan 156 ayat (2) UU
No.28 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa pungutan PDRD harus
ditetapkan dengan Perda?

C. Metode
Metodologi yang dilakukan dalam penulisan analisa dan evaluasi hukum
ini adalah yuridis normatif dengan melakukan studi kepustakaan yaitu dengan
mengumpulkan data primer berupa peraturan perundang-undangan terkait
maupun data sekunder berupa literatur dari buku-buku hasil penelitian dan
pengkajian.
xxxii

BAB II
PENGAWASAN PERDA PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH SEBELUM
UNDANG-UNDANG NO. 28 TAHUN 2009

Perkembangan regulasi dan kebijakan dibidang perpajakan daerah dan


retribusi daerah yang dilandasi oleh Undang-Undang Dasar 1945 menunjukkan
adanya kewajiban setiap warga negara untuk memberikan kontribusinya
berupa pajak atau pungutan daerah sejenis lainnya yang ditetapkan dalam
undang-undang. Sebagai salah satu sumber pendapatan daerah, maka
pengenaan pungutan daerah berupa pajak daerah dan/atau retribusi daerah
yang ditetapkan dengan undang- undang kemudian diformulasikan sebagai
komponen pendapatan asli daerah (PAD). Melalui PAD ini pemerintah daerah
diharapkan mampu mendanai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
pembangunan daerah, yang pada akhirnya dapat mewujudkan pemerataan
kesejahteraan masyarakat lokal. Dengan demikian berarti bahwa, daerah
senantiasa dituntut untuk lebih mampu meningkatkan PAD-nya dalam rangka
melaksanakan otonominya, serta mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri demi tercapinya tujuan pemerataan kesejahteraan masyarakat
sebagaimana yang diharapkan.
Kemampuan daerah dalam mendanai penyelenggaraan pemerintahan,
pelayanan dan pembangunan daerah secara umum relatif terbatas,
sehingga diperlukan optimalisasi potensi sumber daya (resources) yang ada.
Dalam rangka mendukung tujuan optimalisasi tersebut diatas, pemerintah
telah mengeluarkan serangkaian regulasi dan kebijakan dibidang perpajakan
daerah dan retribusi daerah, berikut peraturan pelaksanaannya. Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah menetapkan ketentuan-ketentuan pokok yang memberikan
pedoman dan arahan kebijakan bagi pemerintah daerah dalam melakukan
pemungutan pajak dan retribusi daerah, sekaligus menetapkan pengaturan
untuk menjamin penerapan prosedur umum perpajakan daerah dan retribusi
daerah.
Sejalan dengan sistem perpajakan nasional, maka upaya-upaya
pembinaan pajak daerah dilakukan secara terpadu dengan pajak nasional.
Pembinaan ini dilakukan secara terus-menerus, terutama mengenai objek pajak
dan tarif pajak sehingga antara pajak pusat dan pajak daerah dapat saling
melengkapi. Selain pembinaan, penetapan atas peraturan daerah (Perda)
xxxiii

yang mengatur prosedur pelaksanaan pemungutan pajak daerah dan retribusi


daerah (PDRD) juga diperlukan pengawasan. Pengawasan dalam konteks PDRD
disini pada hakekatnya dilakukan dengan mengedepankan aspek evaluasi perda
dan raperda pungutan, baik terhadap perda-perda dan raperda yang belum
maupun yang telah ditetapkan, sesuai dengan standard operating proceures
(SOP) yang berlaku. Hal ini berarti bahwa hasil evaluasi terhadap suatu
dokumen legal PDRD menjadi dasar bagi daerah untuk menetapkan raperda
menjadi perda PDRD, sebagai dasar untuk melakukan pemungutan..
Pertimbangan ini dilakukan mengingat pembinaan dan pengawasan
(Binwas) merupakan suatu rangkaian kegiatan yang tidak dapat dipisahkan,
karena kedua aspek ini pada dasarnya mempunyai maksud dan tujuan yang
sama dalam rangka: (I) mencegah, menghindari, dan meminimalisir kesalahan
materi muatan yang diatur dalam Perda, baik yang bersifat administratif
maupun bersifat substantif, dan (ii) menguji kesesuaian materi muatan yang
diatur dalam raperda/perda PDRD, terutama terkait dengan kriteria objek
pungutan (apakah bersifat pajak atau retribusi, dan peraturan perundang-
undangan (apakah suatu raperda/perda bertentangan dengan kepentingan
umum, peraturan yang lebih tinggi, dan/atau kebijakan nasional.

A. PENGAWASAN PERDA PDRD SEBELUM UU NOMOR 28 TAHUN 2009


Kewenangan Daerah dalam menetapkan Perda PDRD seharusnya
memperhatikan kriteria pungutan Daerah yang telah ditetapkan dalam undang-
undang, satu dan lain hal agar perda-perda pungutan nantinya diharapkan tidak
menimbulkan permasalahan dan pembatalan dikemudian hari. Pada
kenyataannya, hampir semua pungutan Daerah yang ditetapkan oleh
pemerintah daerah memberikan dampak yg kurang kondusif terhadap iklim
investasi, menyebabkan ekonomi biaya tinggi, dan tumpang tindih dengan
pungutan Pusat. Akibatnya, pemberian peluang bagi daerah untuk
mengenakan pungutan baru yang semula ditujukan akan dapat meningkatkan
PAD ternyata belum terlalu banyak diharapkan untuk dapat menutupi
kekurangan kebutuhan pengeluaran daerah.
Kecenderungan daerah untuk menciptakan pungutan yang belum sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ternyata dapat diatasi oleh
pemerintah dengan cara melakukan pengawasan terhadap setiap Perda yang
mengatur PDRD dan produk hukum lainnya yang digunakan sebagai dasar
pemungutannya. Secara umum mekanisme pengawasan PDRD sampai saat ini
mengalami perubahan dari waktu ke waktu sesuai arah dan dinamika
perkembangan kebijakan pemerintah. Sejak dilaksanakannya otonomi daerah,
xxxiv

terdapat 2 (dua) bentuk mekanisme pengawasan PDRD yang dilakukan secara


bersamaan, yaitu:

A.1. Pengawasan PDRD Menurut UU Nomor 34 Tahun 2000


Kewenangan daerah dalam memungut jenis objek PDRD yang ditetapkan
dalam Undang- Undang Nomor 34 Tahun 2000 bersifat open list. Kondisi ini
memberi peluang bagi Pemda untuk menciptakan pungutan baru diluar jenis
pajak/retribusi yang telah ditetapkan dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 juncto
PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001
tentang Retribusi Daerah. Adapun mekanisme pengawasan PDRD yang
dilakukan menurut ketentuan tersebut secara garis besar dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Kepala Daerah menetapkan Perda tentang PDRD setelah mendapat
persetujuan dari DPRD;
b. Perda tentang PDRD disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Keuangan paling lama 15 hari (lima belas) hari setelah
ditetapkan;
c. Apabila Perda tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang- undangan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum,
Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan
membatalkan Perda dimaksud.
Dalam memberikan pertimbangan pembatalan dimaksud, Kementerian
Keuangan melakukan evaluasi dengan menitikberatkan pada aspek substansi
atau materi pokok yang diatur dalam Perda, serta melakukan penelitian, kajian,
dan atau/penilaian atas perda-perda tersebut, utamanya terkait dengan aspek:
a. pemenuhan kriteria objek pungutan sebagai pajak daerah atau retribusi
daerah bagi objek pungutan baru yang tidak tercantum dalam UU
Nomor 34 Tahun 2000;
b. pemenuhan persyaratan muatan perda tentang PDRD; dan
c. substansi pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah seperti objek,
subjek, tarif, dan dasar pengenaan.

A.2. Pengawasan PDRD Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004


xxxv

Pada dasarnya pengawasan PDRD yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun


2004 cenderung lebih bersifat umum, yang kemudian dijabarkan lebih
lanjut dalam Pasal 40 dan Pasal 41 PP Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pedoman Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah . Secara garis besar, mekanisme pengawasan tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:
a) Rancangan peraturan daerah (Ranperda) yang telah disetujui oleh
DPRD sebelum ditetapkan oleh kepala daerah, dalam waktu 3 (tiga) hari
disampaikan kepada pemerintah untuk dievaluasi.
b) Pemerintah melakukan evaluasi atas Ranperda dimaksud dan hasilnya
dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan.
c) Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan
disampaikan kepada daerah dalam waktu 15 (lima belas) hari.
d) Apabila hasil evaluasi tersebut menyatakan “telah sesuai” dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan
umum, Ranperda ditetapkan oleh kepala daerah menjadi Perda.
e) Apabila hasil evaluasi tersebut menyatakan “tidak sesuai” dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan
umum, kepala daerah dan DPRD terlebih dahulu menyempurnakan
Ranperda dimaksud sebelum ditetapkan oleh kepala daerah menjadi
Perda sesuai mekanisme yang berlaku.

Sebagai contoh, dalam rangka pengawasan, Perda tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lambat 15 (lima belas)
hari setelah Perda tersebut ditetapkan. Jika bertentangan dengan kepentingan
umum dan /atau peraturan perundangan yang lebih tinggi, Pemerintah
dapat membatalkan Perda tersebut, paling lambat sebulan setelah Perda
tersebut diterima.Dengan demikian, pengawasan atas penyelenggaraan
pemerintahan daerah oleh pemerintah antara lain dilakukan secara represif
terhadap kebijakan pemerintah daerah yang berupa peraturan daerah
dan/atau keputusan kepala daerah serta keputusan DPRD dan keputusan
pimpinan DPRD dan secara fungsional terhadap pelaksanaan kebijakan
pemerintahan Daerah.
Sementara itu, dalam rangka melakukan pengawasan fungsional atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah, Menteri dan pimpinan lembaga
pemerintah non kementerian berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri.
Koordinasi pengawasan tersebut meliputi perencanaan, pelaksanaan,
pelaporan dan tindak lanjut hasil pengawasan. Pengawasan secara fungsional
terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan oleh
xxxvi

lembaga/badan/unit seperti inspektorat jenderal kementerian, unit


pengawasan pada lembaga pemerintah non kementerian dan badan
pengawas daerah.Pengawasan fungsional yang dilakukan oleh kementerian
dan lembaga pemerintah non kementerian dilaporkan kepada presiden.
Berkaitan dengan pengawasan, maka pemerintah daerah dan DPRD harus
menindaklanjuti hasil pengawasan. Tindak lanjut hasil pengawasan pemerintah
sdilaporkan oleh Gubernur, Bupati/Walikota kepada presiden melalui Menteri
Dalam Negeri. Tindak lanjut hasil pengawasan Gubernur selaku wakil
pemerintah di daerah dilaporkan oleh Bupati/Walikota kepada Presiden melalui
Gubernur. Pemerintah dapat memberikan sanksi terhadap pemerintah daerah
provinsi,kabupaten/kota dan/atau aparatnya yang menolak melaksanakan
tindak lanjut hasil pengawasan.
Dalam rangka mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan, pemerintah
dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara pemerintahan daerah apabila
ditemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara
pemerintah daerah tersebut. Sanksi dimaksud antara lain dapat berupa
penataan kembali suatu daerah otonom, pembatalan pengangkatan pejabat,
penangguhan dan pembatalan berlakunya suatu kebijakan daerah baik
peraturan daerah, keputusan kepala daerah, dan ketentuan lain yang
ditetapkan daerah serta dapat memberikan sanksi pidana yang diproses
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengawasan perda oleh pemerintah dilakukan dengan pendekatan
preventif maupun represif. Pengawasan preventif dilakukan terhadap suatu
rancangan peraturan daerah atau sebelum suatu peraturan daerah
disahkan dan berlaku. Dengan pengawasan preventif ini, pemerintah pusat
dapat memahami sejauh mana kebutuhan hukum masyarakat didaerah apakah
dipaksakan ataupun tidak. Sementa, pengawasan represif merupakan suatu
upaya pemerintah terhadap daerah dalam rangka menjaga keselarasan antara
otonomi daerah dengan sistem Negara kesatuan yang dianut Indonesia serta
menjaga rasa keadilan masyarakat. Dengan bentuk pengawasan yang seperti ini
sebenarnya pemerintah pusat telah dapat menghindari lahirnya suatu
peraturan daerah yang akhirnya akan merugikan masyarakat itu sendiri. Selain
itu, pengawasan represif dapat diartikan juga sebagai pengawasan terhadap
Perda yang telah ditetapkan (sebelumnya Raperda). Pengawasan represif ini
berkenaan dengan pembentukan suatu Perda yang didasarkan pada
persyaratan formil pembentukan dan pengesahan, serta pemberlakuan suatu
Perda secara legal formal. Pengujian terhadap PERDA dapat dilakukan,
sebagaimana berlakukan terhadap peraturan perundang-undangan pada
umumnya karena pengujian dimaksud dilakukan baik secara formal maupun
secara materil.
xxxvii

Terhadap kebijakan daerah, pengawasan represif dilakukan oleh Menteri Dalam


Negeri setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga pemerintah non
kementerian terkait. Dalam melaksanakan pengawasan represif ini, Menteri
Dalam Negeri dibantu oleh tim yang anggotanya terdiri dari unsur
kementerian/lembaga pemerintah non kementerian dan unsur lain sesuai
dengan kebutuhan. Menteri Dalam Negeri dapat mengambil langkah-langkah
berupa saran, pertimbangan, koreksi serta penyempurnaan dan pada tingkat
terakhir dapat membatalkan berlakunya kebijakan daerah. Dalam
pelaksanaannya, pemerintah dapat melimpahkan pengawasan kepada
Gubernur selaku wakil pemerintah terhadap peraturan daerah dan/atau
keputusan kepala daerah serta keputusan DPRD dan keputusan pimpinan DPRD
kabupaten/kota setelah berkoordinasi dengan instansi terkait. Dalam
melaksanakan pengawasan represif, gubernur dibantu oleh tim yang
anggotanya terdiri dari unsur pemerintah daerah provinsi dan unsur lain sesuai
dengan kebutuhan. Dalam rangka pengawasan represif, gubernur selaku wakil
pemerintah dapat mengambil langkah-langkah berupa saran, pertimbangan,
koreksi serta penyempurnaan dan pada tingkat terakhir dapat membatalkan
berlakunya kebijakan daerah kabupaten/kota. Pengawasan yang dilimpahkan
kepada gubernur dilaporkan kepada presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 218 UU No. 32 Tahun 2004 antara
lain disebutkan bahwa Pemerintah melaksanakan pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pengawasan atas penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah merupakan proses kegiatan yang ditujukan untuk
menjamin agar Pemerintahan Daerah berjalan secara efisien dan efektif sesuai
dengan rencana dan ketentuan peraturan perundangundangan10.
Pengawasan yang dilaksanakan oleh pemerintah terkait dengan
penyelenggaraan urusan pemerintahan terutama terhadap peraturan daerah
dan peraturan kepala daerah yang meliputi :
a. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di
daerah. Pengawasan ini dilaksanakan oleh aparat pengawas intern
pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.

Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan


daerah, pemerintah melakukan dengan 2 (dua) cara sebagai berikut:
(1) Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah, yaitu terhadap
rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah,
APBD,dan rencana umum tata ruang sebelum disahkan oleh Kepala Daerah
xxxviii

terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk rancangan


peraturan daerah provinsi dan oleh Gubernur terhadap rancangan peraturan
daerah kabupaten/kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-
hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.
(2) Setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri
untuk provinsi dan Gubernur untuk kabupaten/kota untuk memperoleh
klarifikasi. Peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum
dan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai dengan mekanisme
yang berlaku.

A.3. Permasalahan Dalam Konteks Pengawasan/Evaluasi Perda PDRD


Permasalahan yang terjadi berasarkan hasil evaluasi Perda/Ranperda umumnya
meliputi berbagai aspek, antara lain:
A. Pungutan daerah didasarkan pada keputusan/peraturan kepala daerah.
Sebagian daerah melakukan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah
berdasarkan keputusan/peraturan kepala daerah. Terdapat daerah yang
menyadari kesalahan tersebut namun tetap melakukannya. Secara yuridis,
pungutan tersebut batal demi hukum karena tidak didasarkan atas
peraturan daerah sebagaimana diamanatkan UU.
B. Muatan/materi yang diatur dalam peraturan daerah tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam UU. Beberapa
peraturan daerah hanya memuat nama dan tarif pungutan. Berdasarkan
ketentuan, peraturan daerah tentang pajak daerah sekurang- kurangnya
harus mengatur ketentuan mengenai : nama, objek, subjek, dasar
pengenaan tarif, cara penghitungan pajak, wilayah pemungutan, masa
pajak, penetapan, tata cara pembayaran dan penagihan,
kedaluwarsa, sanksi administratif dan tanggal mulai berlakunya Perda.
Sementara peraturan daerah tentang retribusi daerah sekurang-
kurangnya harus mengatur ketentuan mengenai : nama, objek, subjek,
golongan retribusi, cara mengukur tingkat penggunaan jasa, prinsip
yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tariff retribusi,
wilayah pemungutan, penentuan pembayaran, tempat pembayaran,
angsuran dan penundaan pembayaran, sanksi administratif, penagihan,
penghapusan piutang retribusi yang kedaluwarsa dan tanggal mulai
berlakunya Perda
C.Objek pajak untuk jenis pajak daerah dan retribusi daerah tertentu
ditetapkan lebih luas dari yang ditetapkan dalam UU. Hal ini
xxxix

menyebabkan objek yang seharusnya bukan merupakan objek pajak


daerah harus membayar pajak daerah.
Contoh :
1. Objek pajak reklame diperluas hingga mencakup label, nama
pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada
bagunan tempat usaha atau profesi diselenggarakan. Padahal
label, nama pengenal usaha atau profesi tersebut tidak
dimaksudkan untuk memperkenalkan barang atau usaha atau
bukan untuk reklame.
2. Beberapa objek pajak dan retribusi daerah yang telah
dikecualikan dalam UU atau peraturan pemerintah, ditetapkan
oleh daerah sebagai objek pajak dan retribusi daerah dalam
peraturan daerah.
D. Tarif ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Khusus untuk retribusi
daerah, banyak daerah yang mengatur tarif retribusi dengan
keputusan kepala daerah. Hal ini bertentangan dengan ketentuan UU
Nomor 34 Tahun 2000 yang mengamanatkan tarif retribusi diatur
dalam peraturan daerah.
E. Pungutan daerah yang tumpang tindih. Sebagian jenis pajak yang diciptakan
oleh daerah cenderung tumpang tindih dengan pajak pusat atau pajak
provinsi.
Contoh :
1)Pengenaan retribusi atas izin di sektor pertambangan dan kehutanan
tumpang tindih dengan pungutan pusat (PNBP). Pemberian izin di
bidang pertambangan dan kehutanan dalam skala tertentu telah
diserahkan kepada daerah. Namun pemerintah pusat masih
mengenakan pungutan terhadap pemegang izin tersebut, sehingga
daerah tidak diperkenankan memungut retribusi atas pelayanan yang
diberikan. Untuk membiayai pelaksanaan fungsi pelayanan tersebut,
penerimaan di sektor pertambangan dan kehutanan dibagihasilkan
kepada daerah melalui mekanisme bagi hasil sumber daya alam.
2)Pengenaan retribusi terhadap penggunaan jalan pada dasarnya tumpang
tindih dengan pungutan daerah provinsi, karena pengguna jalan telah
dikenakan berbagai pungutan seperti pajak kendaraan bermotor dan
pajak bahan bakar kendaraan bermotor.
F. Pungutan retribusi bersifat pajak dan merintangi arus barang. Beberapa
pungutan retribusi cenderung bersifat pajak karena tidak terlihat adanya
pelayanan nyata yang diberikan oleh daerah.
xl

Contoh :
a. Pengenaan retribusi atas pelabuhan baik pelabuhan laut maupun
pelabuhan udara merupakan retribusi yang bersifat pajak
karena pelayanan tersebut merupakan pelayanan yang
disediakan oleh BUMN.
b. Pengenaan pungutan terhadap lalu lintas barang masuk dan
keluar daerah pada dasarnya merupakan pungutan yang bersifat
pajak yang dapat merintangi arus barang antar daerah dan
menimbulkan ekonomi biaya tinggi..
G. Masa retribusi tidak sesuai dengan masa berlakunya izin. Retribusi yang
bersifat penggantian biaya administrasi perizinan, seperti izin gangguan
atau izin usaha perikanan, kerapkali dikenakan setiap tahun oleh daerah
dengan berbagai istilah seperti daftar ulang atau perpanjangan, walaupun
izin usaha tersebut berlaku untuk selamanya.
H. Pengenaan retribusi atas fungsi pelayanan dan perizinan yang bukan
merupakan kewenangan daerah bersangkutan. Beberapa daerah
kabupaten/kota melaksanakan berbagai fungsi pelayanan dan perizinan
yang pada dasarnya masih merupakan kewenangan pusat, atau fungsi
pelayanan tersebut telah dilaksanakan oleh BUMN atau fungsi pelayanan
tersebut pada dasarnya merupakan kewenangan provinsi.
I. Pelayanan yang merupakan urusan umum pemerintahan yang
seharusnya dibiayai dari pajak. Pelayanan-pelayanan yang bersifat
pembinaan dan pengawasan yang tidak memerlukan biaya besar dan
yang berkaitan dengan administrasi umum pemerintahan seperti
pendaftaran usaha dan pemberian izin tertentu tidak selayaknya
dikenakan retribusi karena kegiatan tersebut bersifat layanan publik yang
harus diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
j. Kurang memperhatikan aspek ekonomi dan kepentingan umum. Beberapa
fungsi pelayanan dan perizinan yang diselenggarakan oleh daerah tidak
memiliki dasar pertimbangan yang kuat, baik dilihat dari aspek ekonomi
maupun dari kepentingan umum.

A.4. Pembinaan Dan Pengawasan PDRD


xli

Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa UU Nomor 34 Tahun 2000


merupakan perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 1997 UU yang mengatur
pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah, sehingga segala ketentuan yang
tercantum dalam peraturan pelaksanaannya harus menjadi acuan pokok dan
dijalankan secara utuh dan konsisten. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan
dalam implementasi UU tersebut terdapat pemahaman mengenai pajak
daerah dan retribusi daerah yang masih sangat beragam, baik menyangkut
substansi pengaturan maupun prosedur penetapannya. Hal ini menjadi salah
satu faktor yang menyebabkan timbulnya berbagai pungutan bermasalah
dan/atau perda bermasalah Salah satu upaya yang perlu dilakukan oleh
Kementerian Keuangan cq. Ditjen Perimbangan Keuangan untuk mengurangi
munculnya pungutan daerah dan/atau perda bermasalah adalah meningkatkan
pembinaan kepada semua pihak terkait (stakeholders), utamanya Pemda selaku
regulator perpajakan di tingkat daerah.
Beberapa kegiatan pembinaan yang telah dilakukan oleh Direktorat Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, Ditjen Perimbangan Keuangan antara lain:
1)Menyelenggarakan sosialisasi, seminar, workshop, lokakarya, semiloka
mengenai pajak daerah dan retribusi daerah. Kegiatan ini, antara lain,
dimaksudkan untuk mensosialisasikan ketentuan peraturan perUUan
pajak daerah dan retribusi daerah dan untuk meningkatkan kemampuan
dan pemahaman daerah dalam pelaksanaan pemungutan pajak daerah
dan retribusi daerah.
2)Melakukan kunjungan (Monev) ke daerah dalam rangka penyamaan
persepsi dan pemberian pengarahan kepada pejabat daerah untuk
meningkatkan kepatuhan dalam memenuhi ketentuan yang berkaitan
dengan pajak daerah dan retribusi daerah.
3)Menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam implementasi
pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah di berbagai daerah.
4)Pemberian penjelasan dalam rangka konsultasi kepada pihak-pihak
tertentu (eksekutif, legislatif, dunia usaha, masyarakat) atas berbagai
hal yang berkaitan dengan pajak daerah dan retribusi daerah.

Melalui kegiatan pembinaan tersebut diatas, diharapkan pemahaman


semua pihak mengenai ketentuan pajak daerah dan retribusi daerah
semakin meningkat, yang pada gilirannya peraturan daerah tentang pajak
daerah dan retribusi daerah bermasalah yang bertentangan dengan
peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan
umum dapat berkurang atau dihilangkan.
xlii

Berdasarkan pokok-pokok uraian diatas secara umum dapat disimpulkan


bahwa sistem dan mekanisme pengawasan PDRD yang telah belangsung sejak
awal pelaksanaan otonomi daerah hingga kini tampaknya masih belum
berjalan secara efektif sebagaimana yang diharapkan, terlepas apakah sudah
atau belum dilakukan pembinaan. . Permasalahan mendasar atas lemahnya
pembinaan dan pengawasan yang terjadi sebelum lahirnya UU No. 28 Tahun
2009 ialah tidak adanya pengaturan dan penegasan mengenai sanksi (law
enforcement) bagi Pemda yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana
diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2000. Dengan tidak adanya ketentuan sanksi
dimaksud menyebabkan Pemda dalam menciptakan perda PDRD kurang
memperhatikan kriteria-kriteria pungutan yang berlaku, tidak sepenuhnya
memenuhi kewajibannya dalam menyampaikan Perda PDRD secara tepat
waktu, dan bahkan tetap memberlakukan perda-perda yang semestinya telah
direkomendasikan untuk dibatalkan atau telah dibatalkan.
Pemberian kewenangan membuat perda menunjukkan adanya peluang
bagi daerah untuk mengatur wilayahnya sendiri demi memajukan dan
memberdayakan daerahnya. Namun hingga kini, masih muncul masalah akibat
perda. Berbagai pemberitaan dan laporan menyebutkan adanya perda-perda
yang bertentangan dengan hak asasi manusia. Selain itu, banyak juga
ditemukan perda bidang retribusi dan pajak daerah yang dinilai bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun, begitu perda
menjadi salah satu elemen dasar bagi pelaksanaan desentralisasi. Kewenangan
membentuk perda merupakan implementasi dari kemandirian daerah. Oleh
karena itu, diperlukan mekanisme untuk mengawasi pelaksanaan
kewenangan daerah dalam membentuk perda.

B. PENGAWASAN PERDA PDRD BERDASARKAN UU NOMOR 28 TAHUN 2009


Bertitik tolak dari pengalaman dan praktek UU PDRD sebelumnya, maka
pada tanggal 15 September 2009 Pemerintah melakukan penyempurnaan
regulasi dan kebijakan pungutan daerah dengan cara menetapkan UU No. 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-undang ini
menggantikan UU PDRD yang lama, yaitu UU Nomor 18 Tahun 1997 yang telah
diubah dan ditambah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000. Terdapat
perbedaan yang cukup signifikan antara UU PDRD yang lama dengan UU
PDRD yang baru. Perbedaan tersebut antara lain terlihat dari adanya
pembatasan jenis pajak daerah dan/atau retribusi daerah yang dapat dipungut
oleh daerah (bersifat close list), adanya pemberian kewenangan yang lebih
besar kepada daerah dibidang perpajakan dalam bentuk kenaikan tarif
maximum, serta adanya sistem pengawasan atas pemungutan pajak daerah
xliii

dan retribusi daerah yang semula bersifat represif menjadi preventif dan
korektif.
B.1. Konsep Efektivitas Dalam Pengawasan PDRD
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa pola pengawasan
bersifat preventif dan korektif menurut ketentuan UU No.28 tahun 2009 antara
lain dilakukan melalui evaluasi suatu rancangan Perda PDRD (Ranperda)
kabupaten/kota oleh Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Ditjen
Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan. Hasil evaluasi dimaksud
nantinya akan disampaikan kepada bupati/walikota melalui Gubernur untuk
dijadikan dasar penetapan Perda PDRD oleh kabupaten/kota yang
bersangkutan. Melalui mekanisme evaluasi tersebut diharapkan agar semua
Perda-Perda pungutan PDRD dapat berjalan kondusif di tataran
implementasinya. Selain itu, segala permasalahan yang akan timbul dalam
proses pemungutan PDRD paling tidak sudah dapat diantisipasi dan dicegah
sebelumnya, baik permasalahan yang bersifat administratif maupun substantif.
Demikian pula terkait dengan sanksi atau law enforcement, juga diatur secara
lengkap yang tujuan utamanya ialah untuk memberikan efek jera kepada
Pemda yang secara disengaja maupun tidak disengaja melanggar ketentuan-
ketentuan yang telah ditetapkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009.
Pola pengawasan Perda PDRD yang bersifat preventif dan korektif ini
berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 ini pada tataran kontekstual diharapkan
dapat berjalan lebih efektif dan optimal walaupun tingkat efektivitasnya masih
perlu dibahas terutama bila dikaitkan dengan aspek pembagian kewenangan
yang lebih menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah di daerah K/K. Untuk
lebih memahami konsep efektivitas pengawasan perda-perda PDRD, baik yang
bersifat preventif maupun represif, terlebih dahulu perlu menyajikan beberapa
pendapat para ahli berikiut ini. Menurut Hessel Nogi S.Tangkilisian dalam
bukunya yang berjudul Manajemen Public antara lain dikemukakan bahwa
secara umum kosep efektivitas selalu dihubungkan dengan aspek organisasi
sebagai alat untuk mencapai tujuan maupun sebagai suatu proses pembagian
kerja. Konsep efektivitas yang dikemukakan oleh para ahli organisasi dan
manajemen memiliki makna yang berbeda, tergantung pada kerangka acuan
yang dipergunakan. Miller (1977:292) mengemukakan bahwa:
“Effectiveness is define as the degree to which a social system achieve its
goals. Effectiveness must be distinguished from efficiency. Efficiency is
mailnly concerned with goal attainment.” 11
(Efektivitas dimaksudkan sebagai tingkat seberapa jauh suatu sistem sosial
mencapai tujuannya. Efektivitas ini harus dibedakan dengan efisiensi. Efisiensi
xliv

terutama mengandung penelitian perbandingan antara biaya dan hasil,


sedangkan efektivitas secara langsung dihubungkan dengan pencapaian suatu
tujuan).
Selanjutnya Argris dalam Siliss (1968:312) menyatakan bahwa:
“Organizational effectiveness then is balanced organization optimal
emphasis upon achieving object solving competence and human energy
utilization”
(efektivitas organisasi adalah keseimbangan atau pendekatan secara optimal
pada pencapaian tujuan, kemampuan, dan pemanfaatan tenaga
manusia).
Untuk melengkapi pendapat Miller dan Argris dalam sillis diatas, kemudian
Steers (1985:206) mengemukakan Lima Kriteria pengukuran efektivitas dalam
pengukuran efektivitas organisasi, yaitu:
1. Produktivitas;
2. Kemampuan adaptasi atau fleksibilitas
3. Kepuasan Kerja;
4. Kemam puan berlaba;
5. Pencarian sumber daya.
Sementara Gibson et al dalam Siagian (1986:33) mengatakan bahwa efektivitas
organisasi dapat pula diukur sebagai berikut:
1. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai
2. Kejelasan strategi pencapaian tujuan;
3. Proses analisis dan perumusan kebijaksanaan yang mantap;
4. Perencanaan yang matang;
5. Penyusunan Program yang tepat
6. Tersedianya sarana dan prasarana;
7. Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik.
Definisi-definisi tersebut melihat efektivitas organisasi dengan
menggunakan tujuan akhir atau tujuan yang diinginkan. Namun pada
kenyataannya, dalam upaya mencapai tujuan akhir, organisasi harus mengenali
kondisi-kondisi yang dapat menghalangi tercapainya tujuan. Yang penting
ialah setiap usaha untuk menilai tingkat efektivitas organisasi yang berlaku saat
ini harus didahului dengan analisis yang teliti mengenai kemungkinan
pembatasan atau bidang kesalahan yang tidak dapat dipisahkan dari setiap
usaha evaluasi itu sendiri. Jika dalam penilaian diperoleh kriteria evaluasi
yang tidak tepat, maka penilaian dan evaluasi yang dihasilkan mungkin tidak
ada gunanya. Demikian pula terhadap pengawasan dalam konteks PDRD,
xlv

maka pola pengawasan yang bersifat preventip dan korektip maupun


bersifat represip yang selama ini dilakukan melalui kegiatan evaluasi
raperda/perda-perda PDRD tentunya juga mempunyai tujuan akhir yang
diinginkan, sepanjang dalam proses dan mekanismenya didukung dengan
perencanaan yang baik, prasarana dan sarana yang tersedia, serta kebutuhan
SDM yang memadai, agar sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat
mendidik tersebut diatas benar-benar dapat terwujud sebagaimana yang
diinginkan, sekaligus dapat dipahami oleh pemerintah daerah, baik dalam
menyusun maupun menetapkan raperda menjadi perda PDRD.

B.2. Penerimaan PDRD


Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa tingkat produktivitas
merupakan salah satu indikator pengukuran efektivitas organisasi, baik
organisasi itu dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan maupun sebagai
suatu proses pembagian kerja. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan cara
menggunakan dan mengerahkan segala sumber daya (resources) yang ada
dalam organisasi. Dengan demikian berarti bahwa produktivitas dapat diartikan
sebagai ukuran untuk mengetahui seberapa jauh sumber daya yang ada
dipadukan dalam mencapai suatu target dan hasil tertentu, dalam hal ini
berupa hasil pemungutan pajak dan retribusi daerah yang dilakukan dalam
periode tertentu. Terkait dengan hasil pemungutan daerah dimaksud, tabel
berikut ini menyajikan profil penerimaan PDRD daerah provinsi selama
periode tahun 2010 sampai dengan 2012, termasuk proporsinya terhadap
total PAD.
xlvi
xlvii

BAB III
EFEKTIFITAS PENGAWASAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

A. UMUM
Kebijakan pungutan pajak daerah yang dituangkan dalam Peraturan
Daerah, diupayakan tidak berbenturan dengan pungutan pusat (pajak
maupun bea dan cukai), karena hal tersebut akan menimbulkan duplikasi
pungutan yang pada akhirnya akan mendistorsi kegiatan perekonomian.
Ketentuan tersebut sudah menjadi “roh” dalam kebijakan pungutan daerah
dibidang pajak dan retribusi daerah, yang diatur dalam perundang-undangan
pajak dan retribusi daerah,bahwa salah satu kriteria objek pajak daerah
adalah bukan merupakan objek pajak pusat. Ataupun juga pengaturan
bahwa jenis pajak atau jenis retribusi yang dapat dipungut oleh Pemerintah
Daerah adalah yang terdapat dalam perundang-undangan dimaksud, atau
dengan pengertian lain pemerintah daerah tidak boleh mengungut jenis pajak
maupun jenis retribusi selain yang sudah ditetapkan dalam undang-
undang(close-list system).
Paradigma baru dalam pemungutan pajak dan retribusi dimulai dengan
sejak diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Dianggap sebagai paradigma baru mengingat dalam UU
tersebut telah terjadi beberapa perubahan yang signifikan dibandingkan
dengan perundangan- undangan sebelumnya. Demikian juga yang terjadi
dibidang pengawasan pun mengalami perubahan yang signifikan, dimana
sistem pengawasan pungutan daerah yang bersifat represif berdasarkan UU
No. 34 Tahun 2000 dirubah menjadi sistem preventif dan korektif yang diatur
dalam UU No. 28 Tahun 2009. Pengawasan represif telah berpindah menjadi
sistem preventif dan korektif yang dilakukan terhadap produk hukum daerah
bidang pungutan daerah, yaitu peraturan daerah (Perda) tentang pajak dan
retribusi daerah yang terbagi dalam tahapan perumusannya.
Berpijak pada sistem pengawasanterhadap produk hukum daerah yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat dengan pendekatan preventif maupun
represif, dapat dijelaskan bahwa pengawasan preventif dilakukan terhadap
suatu rancangan perda atau sebelum suatu perda disahkan dan berlaku.
Dengan pengawasan preventif ini, pemerintah pusat dapat memahami sejauh
mana kebutuhan hukum masyarakat didaerah apakah dipaksakan ataupun
tidak. Dengan pengertian lain bahwa pengawasan preventif diartikan sebagai
pencegahan sementaraagar tidak terjadi sesuatu yang pelaksanaannya
diserahkan kepada pejabat yang berwenang. Walaupun secara ekspilisit
xlviii

pengawasan secara preventif tidak secara tegas disebutkan, akan tetapi secara
normative dalam UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa Perda harus
memenuhi kriteria : a)tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum; b)
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; serta c) peraturan daerah
lainnya.
Sementara itu, pengawasan represif merupakan suatu paksaan
pemerintah terhadap pemerintah daerah dalam rangka menjaga keselarasan
antara otonomi daerah dengan sistem Negara kesatuan yang dianut Indonesia
serta menjaga rasa keadilan masyarakat. Dengan bentuk pengawasan yang
seperti ini maka sebenarnya pemerintah pusat secara tidak langsung telah
terhindar dari complain atau kritikan dari masyarakat terhadap lahirnya
suatu peraturan daerah yang ternyata merugikan masyarakat lokal. Selain
itu, pengawasan represif dapat diartikan juga sebagai pengawasan terhadap
Perda yang telah ditetapkan (sebelumnya Raperda). Pengawasan represif ini
berkenaan dengan pembentukan suatu Perda yang didasarkan pada syarat
formal pembentukan dan pengesahan, serta pemberlakuan suatu Perda sesuai
secara legal formal. Pengujian terhadap Perda dapat dilakukan, sebagaimana
diberlakukan terhadap peraturan perundang- undangan pada umumnya, baik
secara formal maupun secara materil.
Selain itu, dalam rangka mengoptimalkan fungsi pembinaan dan
pengawasan, pemerintah dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara
pemerintahan daerah apabila ditemukan adanya penyimpangan dan
pelanggaran oleh penyelenggara pemerintahan daerah tersebut. Sanksi
dimaksud antara lain dapat berupa penataan kembali suatu daerah otonom,
pembatalan pengangkatan pejabat, penangguhan dan pembatalan berlakunya
suatu kebijakan daerah baik peraturan daerah, keputusan kepala daerah, dan
ketentuan lain yang ditetapkan
daerah serta dapat memberikan sanksi pidana yang diproses sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam konteks UU No. 28 Tahun 2009, bahwa perwujudan
pengawasan preventif dan korektif adalah dalam setiap raperda tentang
pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) sebelum ditetapkan menjadi Perda
harus dievaluasi terlebih dahulu oleh Pemerintah. Dalam hal ini, apabila
Raperda PDRD Provinsi dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri, sementara
Raperda PDRD kabupaten/kota dievaluasi oleh Gubernur di wilayah
kabupaten/kota yang bersangkutan. Terhadap proses evaluasi yang sedang
dilakukan baik oleh Gubernur maupun Menteri Dalam Negeri berkoordinasi
dengan Menteri Keuangan. Selanjutnya, Perda yang sudah ditetapkan dapat
dibatalkan oleh Pemerintah Pusat apabila bertentangan dengan peraturan
xlix

perundang-undangan dan/atau kepentingan umum. Selain itu, terhadap daerah


yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan
dibidang pajak daerah dan retribusi daerah dapat dikenakan sanksi berupa
penundaan dan/atau pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil
atau restitusi.

Sejalan dengan adanya pengawasan terhadap eksistensi PDRD termasuk


produk hukum daerah bidang PDRD sebagai landasan operasionalnya, baik dari
sisi perancangan, penetapan, maupun pelaksanaannya, kiranya perlu dilakukan
secara efektif agar terpenuhi tujuan, hasil, dan dampak yang diharapkan oleh
pembuat kebijakan. Efektifitas dalam pengawasan dapat dikatakan sebagai
salah satu tolok ukur keberhasilan pelaksanaan PDRD sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.

B. Close-List System Sebagai Bentuk Pengawasan Terhadap PDRD


Close-list system dalam pengertiannya dapat diartikan sebagai cara
pembatasan daftar / jumlah terhadap suatu objek yang dipilih. Dalam konteks
pemungutan pajak dan retribusi daerah, dapat diartikan sebagai pembatasan
jumlah jenis pajak atau retribusi daerah yang dapat diberlakukan sebagai
pungutan dan dapat dipungut oleh daerah. Pembatasan jenis pajak maupun
jenis retribusi ini adalah representasi dari bentuk pengawasan pemerintah
terhadap beredarnya jenis pajak maupun retribusi yang lahir semata-mata
sebagai wujud kreatifitas pemerintah daerah dalam menjalankan otonomi
nya(diskresi), yang ada kecenderungan salah arah dan menjauh dari konsep
perpajakan dan retribusi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan lebih
menonjolkan kepentingan lokal dan kedaerahan.
Berangkat dari pengalaman buruk penerapan diskresi daerah dalam
pemungutan pajak dan retribusi daerah, adalah hal sangat tepat dilakukan
pembatasan terhadap jumlah jenis pajak atau retribusi daerah yang dapat
dipungut oleh daerah. Adapun kebijakannya diarahkan pada penggunaan
potensi perpajakan dan retribusi yang lebih baik (berdasarkan kajian akademis),
sederhana dalam pemungutannya, serta dapat diberlakukan di hampir seluruh
daerah atau berlaku secara nasional. Selain itu, pembatasan jenis pajak
maupun retribusi ini mengandung maksud untuk memberikan kepastian
hukum kepada masyarakat dan dunia usaha tentang jenis pungutan pajak
maupun retribusi yang harus mereka bayar, serta adanya jaminan bahwa tidak
akan ada lagi jenis pajak atau retribusi baru yang akan dipungut selain yang
sudah ada.
l

Dalam perumusan ketentuan perpajakan dan retribusi khususnya


terhadap seleksi jenis pajak atau retribusi yang akan diterapkan dalam
perundang-undangan, sudah barang tentu dengan menggunakan beberapa
pertimbangan dan kajian akademis. Salah satu konsep perpajakan dan retribusi
yang digunakan adalah dengan pendekatan kriteria pajak atau retribusi yang
benar. Secara histori, dalam paradigma UU No. 34 Tahun 2000 bahwa evaluasi
represif terhadap suatu Perda tentang pajak atau retribusi salah satunya juga
menggunakan pendekatan kriteria jenis pajak maupun retribusi, sehingga dapat
diidentifikasi yang mana Perda yang bermasalah atau yang bukan. Namun pada
kenyataannya banyak Perda pajak maupun retribusi daerah yang bermasalah
dan dibatalkan oleh Pemerintah Pusat dikarenakan objek pajak atau retribusi
dimaksud bertentangan dengan kriteria pajak atau retribusi daerah yang benar.

C. Pembatasan jenis pungutan berdasarkan kriteria pajak daerah


Close-list systemdalam pembatasan jenis pajak daerah dapat dilakukan
melalui pendekatan kriteria pajak Daerah, dimana jenis pajak berdasarkan
objeknya yang tidak sejalan dengan kriteria pajak yang benar tidak akan
dipungut pajaknya, atau tidak akan diberlakukan sebagai pajak. Adapun kriteria
pajak daerahdimaksud meliputi:
1. Bersifat pajak, dan bukan retribusi
2. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota
yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah
serta hanya melayani masyarakat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota
yang bersangkutan Yang dimaksud dengan mobilitas rendah adalah
objek pajak sulit untuk dipindahkan.
3. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan
kepentingan umum Yang dimaksud dengan kriteria ini adalah bahwa
pajak tersebut dimaksudkan untuk kepentingan bersama yang lebih
luas antar pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan
aspek ketentraman dan kestabilan politik, ekonomi, sosial, budaya,
serta pertahanan dan keamanan.
4. Objek pajak bukan merupakan objek pajak propinsi dan/atau objek
pajak Pusat Jenis pajak yang bertentangan dengan kriteria ini, antara
lain, adalah pajak ganda (double tax). Pajak ganda yang dimaksud
adalah pajak dengan objek dan/atau dasar pengenaan yang tumpang
tindih dengan objek dan/atau dasar pengenaan pajak lain yang
sebagian atau seluruh hasilnya diterima oleh Daerah..
5. Potensi pajak memadai Hasil penerimaan pajak harus lebih besar dari
biaya pemungutan.
li

6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negative Pajak tidak


menggangu alokasi sumber-sumber ekonomi dan tidak merintangi
arus sumber daya ekonomi antar daerah maupun kegiatan ekspor-
impor.
7. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat
a. Aspek keadilan, antara lain, objek dan subjek pajak harus jelas
sehingga dapat diawasi pemungutannya, jumlah pembayaran
pajak dapat diperkirakan oleh wajib pajak, dan tarif pajak
ditetapkan dengan memperhatikan keadaan wajib pajak. Hal lain
mengenai aspek keadilan adalah objek atau subjek atau dasar
pengenaan pajak tidak membedakan (klasifikasi) orang pribadi
atau badan tanpa alasan yang kuat; contoh: pajak bangsa asing,
pengecualian anggota DPRD sebagai subjek atau wajib pajak.
b. Aspek kemampuan masyarakat: pajak memperhatikan
kemampuan subjek pajak untuk memikul tambahan beban pajak.
Selanjutnya, sebagian besar dari beban pajak tersebut tidak dipikul
oleh masyarakat yang relatif kurang mampu; contoh: pajak atas
kendaraan tidak bermotor, seperti sepeda.
8. Menjaga kelestarian lingkungan
Pajak harus bersifat netral terhadap lingkungan, yang berarti bahwa
pengenaan pajak tidak memberikan peluang kepada Daerah atau
Pusat atau masyarakat luas untuk merusak lingkungan. Contoh jenis
pajak ini salah satunya adalah Pajak atas Pengambilan Hasil Hutan
Lindung.

D. Pembatasan jenis pungutan berdasarkan kriteria retribusi daerah


Close-list system dalam rangka pembatasan jenis retribusi daerah dapat
dilakukan melalui pendekatan kriteria retribusi daerah, dimana jenis retribusi
yang tidak sejalan dengan kriteria retribusi sesuai konsep retribusi yang ada,
tidak akan dipungut dan diberlakukan sebagai retribusi daerah. Adapun kriteria
retribusi daerah meliputi :
1. Jasa Umum13
a. retribusi bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Usaha atau
Retribuai Perizinan Tertentu.
1) bersifat bukan pajak maksudnya ada pelayanan/jasa dari Pemda
yang langsung diterima oleh pengguna pelayanan/jasa.
2) bersifat bukan Retribusi Jasa Usaha maksudnya adalah bahwa
dalam pengenaan tarif untuk jenis layanan ini tidak boleh
lii

melebihi biaya yang digunakan untuk penyediaan/


penyelenggaraan layanan tersebut.
3) bersifat bukan Retribusi Perizinan Tertentu maksudnya adalah
bahwa layanan yang disediakan tersebut bukan dalam rangka
pembinaan, pengaturan, pengendalian, atau pengawasan suatu
kegiatan.
b. jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sebagaimana dimaksud
dalam PP No. 38 Tahun 2007.
c. Jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau badan yang
diharuskan membayar retribusi, di samping untuk melayani kepentingan dan
kemanfaatan umum.
d. Jasa tersebut layak untuk dikenakan retribusi
Yang dimaksud dengan kriteria ini adalah bahwa:
1) pengenaan retribusi atas jasa tersebut dapat diterima oleh
masyarakat secara keseluruhan;
2) pengenaan retribusi tidak mengakibatkan orang tidak dapat
mengkonsumsi jasa tersebut;
3) Namun demikian, apabila suatu jenis layanan sudah
ditetapkan sebagai objek retribusi maka orang pribadi atau
badan yang tidak mampu atau tidak ingin membayar retribusi
tidak diberikan jasa yang bersangkutan.
e. Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai
penyelenggaraannya Sarana publik yang berdasarkan kebijakan nasional wajib
disediakan oleh Pemerintah dan pelayanannya harus diberikan secara gratis
kepada masyarakat umum tidak dapat dikenakan retribusi. Retribusi atas
penggunaan jalan lokal daerah ataupenggunaan jalan raya selain jalan-jalan tol
tertentu dan Retribusi atas pelayanan pendidikan dasar tidak sesuai dengan
kriteria ini.
f. Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah
satu sumber pendapatan daerah yang potensial
1. Dapat dipungut secara efektif: berarti pungutan tersebut dapat dihitung
dan dipungut dengan mudah;
2. Dapat dipungut secara efisien: berarti biaya pemungutan retribusi (biaya
gaji/upah/tunjangan pegawai pemungut, ongkos kantor yang
liii

bersangkutan, biaya perjalanan dinas, dan sebagainya) tidak melebihi


hasil penerimaan retribusi.
3. Merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang potensial: berarti
potensi penerimaan sebanding dengan biaya penyediaan pelayanan.
g. Pemungutan retribusi memungkinkan penyediaan jasa dengan tingkat
dan/atau kualitas pelayanan yang lebih baik Alokasi penerimaan retribusi
diutamakan untuk peningkatan kualitas pelayanan.

2. Jasa Usaha14
a. Retribusi jasa usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi jasa
umum atau retribusi perizinan tertentu, Sama halnya dengan
penjelasan kriteria 1 dari retribusi jasa umum di atas.
b.Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang
seyogyanya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau
terdapatnya harta yang dimiliki dikuasai daerah yang belum
dimanfaatkan secara penuh oleh pemerintah daerah.
1) Pada dasarnya pelayanan tersebut dapat disediakan oleh swasta;
2) Dalam hal penyewaan aset terdapat kontrak penggunaan/
penguasaan aset dalam jangka waktu tertentu.

3. Perizinan Tertentu
a. Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah dalam rangka asas desentralisasi Jasa yang
bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi, sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor
38 Tahun 2007.
b.Perizinan yang bersangkutan benar-benar diperlukan guna
melindungi kepentingan umum
1) Kegiatan yang memerlukan izin tersebut menimbulkan dampak
negatif bagi masyarakat setempat;
2) Dengan penyelenggaraan izin tersebut kepentingan
masyarakat terlindungi.
c. Biaya yang menjadi beban daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut
dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin
tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan.
1) Biaya yang dikeluarkan oleh Pemda dalam melakukan
pengendalian dan pengawasan kegiatan cukup besar;
liv

2) Biaya untuk menanggulangi dampak negatif atas izin tersebut


cukup besar, seperti biaya penanggulangan polusi yang
diakibatkan dari pemberian izin terhadap suatu kegiatan industri.

E. Pengawasan Terhadap Perda PDRD


Berdasar ketentuan dalam Pasal 218 UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah disebutkan bahwa Pemerintah melaksanakan pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pengawasan atas penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin
agar Pemerintahan Daerah berjalan secara efisien dan efektif sesuai dengan
rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengawasan ini
dilakukan agar pelaksanaan otonomi daerah dalam menyelenggarakan
desentralisasi tidak mengarah kepada kedaulatan.
Pelaksanaan pengawasan menurut Pasal 218 dimaksud dilakukan
terhadap a) pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dan b) terhadap
peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Terhadap pengawasan
peraturan daerah, Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa
dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan
daerah, dilakukan dengan 2 (dua) cara sebagai berikut :
1. Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (Raperda), yaitu
terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah,
retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum disahkan oleh Kepala Daerah
terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Raperda
provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota.
Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut
dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.
2. Pengawasan terhadap semua peraturan daerah diluar yang termasuk
dalam angka 1, yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada
Menteri Dalam Negeri untuk provinsi dan Gubernur untuk
kabupaten/kota untuk memperoleh klarifikasi.Terhadap peraturan
daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan
yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.
lv

Macam
Pelaksana Pengawasan Bentuk yang diawasi

Evaluasi  Pemerintah Pusat  rancangan peraturan daerah


provinsi tentang APBD/
(Menteri Dalam Negeri berkoordinasi
perubahan APBD,pajak daerah,
dengan Menteri Keuangan dan tata
retribusi daerah dan rencana tata
ruang daerah berkoordinasi dengan
ruang dan rancangan peraturan
Menteri yang membidangi urusan
gubernur tentang penjabaran
tata ruang).
APBD/ penjabaran perubahan
APBD
 Gubernur

(Gubernur berkoordinasidengan  rancangan peraturan daerah


Menteri Keuangan dan tata ruang kabupaten/kota tentang
daerah dengan menteri yang APBD/perubahan APBD, pajak
membidangi urusan tata ruang) daerah, retribusi daerah dan
rencana tata ruang dan
rancangan peraturan
bupati/walikota tentang
penjabaran APBD/ penjabaran
Macam
Pelaksana Pengawasan Bentuk yang diawasi
perubahan APBD

Klarifikasi  Menteri Dalam Negeri semua peraturan daerah di luar


pajak daerah, retribusi daerah,
APBD, perubahan APBD, dan tata
 Gubernur
ruang
Mekanisme pengawasan didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 185,
Pasal 186 dan Pasal 189 UU No. 32 Tahun 2004 jo. Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 53 Tahun 2007 tentang Pengawasan Peraturan Daerah dan
Peraturan Kepala Daerah, dimana pengawasan dilakukan sebagai bentuk
pengawasan preventif melalui evaluasi raperda sebelum peraturan daerah atau
keputusan berlaku efektif. Objek pengawasan preventif ini hanyalah untuk
raperda/rancangan keputusan kepala daerah yang terkait dengan APBD, pajak
dan retribusi daerah, serta tata ruang16. Teknis pelaksanaan pengawasan
preventif ini adalah dengan melakukan “evaluasi” terhadap rancangan produk
lvi

hukum daerah dimaksud. Hasil dari evaluasi tersebut bersifat korektif, dimana
hasil evaluasi digunakan untuk menyempurnakan rancangan produk hukum
yang bersangkutan sampai dengan ditetapkan rancangan tersebut untuk dapat
diberlakukan.
Terkait dengan pelaksanaan pengawasan Perda dibidang pajak dan
retribusi daerah,ketentuan tersebut secara lex specialisttelah diatur dalam UU
No. 28 Tahun 2009 khususnya Pasal 157 dan 158
Memasuki era desentralisasi, kerangka legal yang mendasari pengaturan
pemungutan pajak dan retribusi daerah adalah UU No. 34 Tahun 2000, dimana
jika dibandingkan dengan ketentuan perundangan sebelumnya yaitu UU No. 18
Tahun 199717, terjadi perubahan yang signifkan. Semangat perubahan dalam
UU dimaksud penuh nuansa bahwa UU ini merupakan produk awal reformasi,
dan telah memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk mengatur,
mengelola, serta mengadministrasikan hasil pemungutan pajak dan retribusi
lebih leluasa sesuai dengan diskresi yang dimiliki, seperti terlihat pada : (1)
Perda tentang pajak dan retribusi daerah yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah tidak perlu lagi mendapat pengesahan dari pemerintah pusat; dan (2)
pemerintah daerah diperbolehkan memungutjenis pajak dan retribusi daerah
selain yang ditetapkan dalam UU No. 34 Tahun 2000, sepanjang telah
mempunyai dasar hukum yaitu Perda.
Dalam hal pengawasan Perda pajak dan retribusi daerah, perubahan
signifikan juga terkandung dalam UU No. 28 Tahun 2009 ini, dimana
dibandingkan dengan UU yang digantikannya bahwa pengawasan perda
dilakukan sekaligus dalam 2 (dua)bentuk pengawasan, yaitu pengawasan
preventif pada tahap rancangan Perda dan pengawasan represif ketika suatu
Rancangan perda sudah ditetapkan menjadi Perda. Sementara dalam UU No.
34 Tahun 2000 pengawasan perda hanya dilakukan dalam 1 (satu) bentuk yaitu
pengawasan represif yang dilakukan setelah Perda dimaksud ditetapkan.
lvii

BAB IV
INSTITUSI PENGAWASAN REGULASI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

Dengan berlakunya Undang Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak


Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), maka pengawasan terhadap Peraturan
Daerah (Perda) PDRD yang berdasarkan Undang Undang PDRD sebelumnya
bersifat represif diubah menjadi preventif dan korektif. Pengawasan bersifat
represif artinya pengawasan dilakukan setelah Perda PDRD tersebut
ditetapkan. Sementara pengawasan bersifat preventif dan korektif artinya
pengawasan dilakukan sebelum ditetapkannya rancangan peraturan daerah
(raperda) PDRD menjadi Perda dengan cara melakukan koreksi terhadap
muatan muatan yang diatur dalam raperda PDRD, agar tidak bertentangan
dengan ketentuan UU No.28 Tahun 2009, kepentingan umum atau peraturan
perundang undangan yang lebih tinggi. Institusi pengawasan terhadap regulasi
PDRD sesuai dengan Pasal 157 dan Pasal 158 UU No.28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, secara formal dilakukan oleh Pemerintah
Daerah (Pemda) dan Pemerintah Pusat. Institusi pengawasan Pemda dilakukan
oleh Gubernur cq. Kepala Biro Hukum untuk pengawasan regulasi PDRD terkait
evaluasi raperda Kab/Kota. Sedangkan institusi pengawasan Pemerintah Pusat
dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri cq. Kepala Biro Hukum untuk
pengawasan regulasi PDRD terkait evaluasi raperda Provinsi, dan Kementerian
Keuangan terkait koordinasi evaluasi raperda PDRD yang disampaikan oleh
Menteri Dalam Negeri danGubernur,
Institusi pengawasan terkait regulasi PDRD, disamping secara formal dilakukan
oleh Pemerintah Pusat dan Daerah, secara non formal dalam rangka check and
balance antara regulasi PDRD dengan implementasi dilapangan, juga dilakukan
oleh masyarakat atau institusi diluar Pemerintah, misalnya : Kadin, Apindo atau
KPPOD. Institusi institusi diluar Pemerintah atau masyarakat dalam rangka
melakukan pengawasan terhadap Perda PDRD, dapat melaporkan atau
memberi masukan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, jika
ditemukan pemungutan PDRD yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undang undang atau peraturan lainnya.

A. Institusi Pengawasan Regulasi PDRD oleh Pemerintah


Sesuai dengan Pasal 157 dan, 158 UU No. 28 Tahun 2009, pengawasan
regulasi PDRD secara formal dilakukan oleh institusi Pemerintah, baik
Pemerintah Pusat, yaitu Menteri Dalam Negeri cq. Kepala Biro Hukum
Kementerian Dalam Negeri, maupun oleh Pemerintah Daerah, yaitu Gubernur
lviii

cq. Kepala Biro Hukum Pemda Provinsi. Pengawasan yang dilakukan oleh
Institusi Pemerintah terhadap regulasi PDRD adalah mekanisme pengawasan
terkait evaluasi raperda PDRD Provinsi/Kab/Kota.
Mekanisme pengawasan terhadap raperda PDRD berdasarkan UU No.28
Tahun 2009 dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu :
1. mekanisme pengawasan terhadap Raperda PDRD Provinsi
2. mekanisme pengawasan terhadap Raperda PDRD Kabupaten/Kota
3. mekanisme pengawasan terhadap Perda PDRD yang sudah
ditetapkan

A. 1. Mekanisme Pengawasan terhadap Raperda PDRD Provinsi


Mekanisme pengawasan terhadap raperda PDRD Provinsi dilakukan oleh
Menteri Dalam Negeri dalam hal ini Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam
Negeri. Mekanisme pengawasan raperda PDRD Provinsi dimulai sejak adanya
persetujuan bersama antara Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Provinsi yang bersangkutan terhadap Rancangan Peraturan
Daerah (Raperda) PDRD Provinsi.
Proses untuk memperoleh tujuan bersama terkait pembahasan
raperda PDRD Provinsi antara Eksekutif (Pemda) dengan legislatif (DPRD),
terkadangmengalami kendala, yaitu waktu yang dibutuhkan terlalu lama. Hal
ini bisa dikarenakan jadwal pembahasan di DPRD yang padat, sehingga harus
menunggu giliran jadwal pembahasan berikutnya, atau diperlukan pengkajian
terlebih dahulu melalui studi banding atau konsultasi sebelum dilakukan
pembahasan terhadap raperda PDRD dimaksud.
Dalam UU No.28 tahun 2009 tidak diatur mengenai batas waktu
pembahasan raperda PDRD di DPRD, sehingga ada kemungkinan proses
pembahasan raperda PDRD memakan waktu cukup lama, karena tidak adanya
batas waktu pembahasan raperda PDRD di DPRD.
UU No.28 tahun 2009 seharusnya mengatur batas waktu pembahasan
raperda PDRD yang dilakukan oleh Pemda dan DPRD bersangkutan, sehingga
ada kepastian waktu penyelesaian pembahasan raperda PDRD yang
berimplikasi pada waktu penyelesaian Perda PDRD.
Dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal persetujuan bersama
terhadap raperda PDRD, Pemda Provinsi menyampaikan raperda PDRD Provinsi
disertai dengan Berita Acara Persetujuan Bersama Raperda PDRD Provinsi ke
Menteri Dalam Negeri cq. Kepala Biro Hukum untuk dievaluasi lebih lanjut
lix

berkoordinasi dengan Menteri Keuangan dalam hal ini Dirjen Perimbangan


Keuangan cq. Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Evaluasi terhadap raperda PDRD Provinsi yang dilakukan oleh Menteri
Dalam Negeri cq. Kepala Biro Hukum, berkoordinasi dengan Menteri Keuangan
cq. Dirjen Perimbangan Keuangan, dan dalam waktu paling lama 15 (lima
belas) hari kerja, evaluasi tersebut harus sudah disampaikan ke Gubernur
dalam bentuk Keputusan Menteri Dalam Negeri. Evaluasi tersebut dilakukan
terhadap muatan muatan wajib maupun muatan muatan lainnya yang diatur
dalam raperda PDRD untuk mengetahui kesesuaian dengan UU No.28 Tahun
2009, tidak melanggar kepentingan umum dan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang undangan yang lebih tinggi.
Dalam UU No.28 Tahun 2009, penyelesaian evaluasi raperda PDRD
Provinsi ditetapkan batas waktunya selama 15 hari kerja, tanpa ditetapkan
berapa jumlah raperda yang harus dievaluasi. Hal ini dapat menimbulkan
kendala jika pada hari yang bersamaan terdapat pengajuan evaluasi raperda
PDRD Provinsi dari beberapa Daerah dengan jumlah raperda yang sangat
banyak, sehingga ada kemungkinan evaluasi yang dilakukan dapat melebihi
batas waktu yang ditetapkan atau evaluasi yang dilakukan kurang optimal
karena mengejar batas waktu evaluasi yang sudah ditetapkan dalam Uu No.28
Tahun 2009, yaitu 15 hari kerja. Seharusnya dalam UU No.28 tahun 2009,
selain ditetapkan batas waktu penyelesaian evaluasi raperda PDRD Provinsi,
juga ditetapkan berapa jumlah maksimal raperda PDRD Provinsi yang dievaluasi
dalam batas waktu tersebut, sehingga kemungkinan evaluasi yang melebihi
batas waktu yang ditetapkan atau evaluasi yang kurang optimal dapat dihindari
Hasil evaluasi raperda PDRD dapat berupa disetujui, direvisi atau ditolak.
Apabila hasil evaluasi disetujui, maka Gubernur dapat langsung menetapkan
raperda PDRD dimaksud menjadi Perda PDRD. Apabila hasil evaluasi direvisi,
maka Raperda PDRD dimaksud harus direvisi terlebih dahulu sesuai dengan
hasil evaluasi dan koordinasi yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri
Dalam Negeri, dan setelah raperda tersebut diperbaiki sesuai dengan hasil
evaluasi, maka Gubernur langsung dapat menetapkan Raperda PDRD Provinsi
dimaksud menjadi Perda PDRD. Sedangkan apabila hasil evaluasi ditolak, maka
Raperda tersebut tidak boleh ditetapkan menjadi Perda..
Adapun mekanisme pengawasan terhadap evaluasi raperda PDRD
Provinsi tergambar dalam bagan sebagai berikut :

Tabel VII
lx

Mekanisme Pengawasan Raperda PDRD Provinsi Menurut UU No.28/2009

Dalam beberapa hal terkadang dijumpai hasil koordinasi yang dilakukan


oleh Menteri Keuangan tidak diikuti oleh Gubernur dalam penetapan Perda
PDRD Provinsi. Hal ini dimungkinkan terjadi, karena
Keputusan Kementerian Dalam Negeri tentang hasil evaluasi raperda PDRD
yang dikirimkan ke Provinsi tidak ditembuskan kepada Menteri Keuangan,
sehingga Menteri Keuangan tidak mengetahui dengan pasti apakah tidak
diikutinya hasil koordinasi tersebut, memang Provinsi tidak mau mengikutinya
atau memang hasil evaluasi yang dikirim ke Provinsi oleh Menteri Dalam Negeri
memang beda dengan hasil koordinasi yang dilakukan dengan Menteri
keuangan.

A.2. Mekanisme Pengawasan Raperda PDRD Kabupaten/Kota


Mekanisme pengawasan terhadap raperda PDRD Kab/Kota dilakukan oleh
Gubernur dalam hal ini Kepala Biro Hukum Pemda Provinsi. Mekanisme
pengawasan raperda PDRD Kab/Kota dimulai sejak adanya persetujuan
bersama antara Pemda dan DPRD Kab/Kota yang bersangkutan terhadap
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) PDRD.Kab/Kota.
Proses untuk memperoleh persetujuan bersama terkait pembahasan
raperda PDRD Kab/Kota antara Eksekutif (Pemda) dengan legislatif (DPRD),
lxi

terkadang mengalami kendala, yaitu waktu yang dibutuhkan terlalu lama. Hal
ini dikarenakan jadwal pembahasan di DPRD yang padat, sehingga harus
menunggu giliran jadwal pembahasan berikutnya, atau diperlukan pengkajian
terlebih dahulu melalui studi banding ke daerah lain atau konsultasi ke
Kementerian Keuangan sebelum dilakukan pembahasan terhadap raperda
PDRD dimaksud.
Dalam UU No.28 tahun 2009 tidak diatur mengenai batas waktu
pembahasan raperda PDRD di DPRD, sehingga ada kemungkinan proses
pembahasan raperda PDRD memakan waktu cukup lama, karena tidak adanya
batas waktu pembahasan raperda PDRD di DPRD.
UU No.28 tahun 2009 seharusnya mengatur batas waktu pembahasan raperda
PDRD yang dilakukan oleh Pemda dan DPRD bersangkutan, sehingga ada
kepastian waktu penyelesaian pembahasan raperda PDRD yang berimplikasi
pada waktu penyelesaian Perda PDRD.
Dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal persetujuan bersama
tersebut, Pemda Kab/Kota.menyampaikan raperda PDRD Kab/Kota.disertai
dengan Berita Acara Persetujuan Bersama raperda PDRD Kab/Kota. ke
Gubernur cq. Kepala Biro Hukum untuk dievaluasi berkoordinasi dengan
Menteri Keuangan dalam hal ini Ditjen Perimbangan Keuangan cq. Direktur
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Evaluasi terhadap raperda PDRD Kab/Kota. yang dilakukan oleh Gubernur
cq.Kepala Biro Hukum berkoordinasi dengan Menteri Keuangan cq.Dirjen
Perimbangan Keuangan, dan dalam waktu paling lama 15 (lima belas) hari
kerja harus sudah disampaikan hasil evaluasinya ke Bupati/Walikota dalam
bentuk Keputusan Gubernur.
Dalam UU No.28 Tahun 2009, penyelesaian evaluasi raperda PDRD
Kab/Kota ditetapkan batas waktunya selama 15 hari kerja, tanpa
ditetapkan berapa jumlah raperda yang harus dievaluasi. Hal ini dapat
menimbulkan kendala jika pada hari yang bersamaan terdapat pengajuan
evaluasi raperda PDRD dari beberapa Daerah dengan jumlah raperda yang
cukup banyak, sehingga ada kemungkinan evaluasi yang dilakukan dapat
melebihi batas waktu yang ditetapkan atau evaluasi yang dilakukan kurang
optimal karena mengejar batas waktu evaluasi yang sudah ditetapkan dalam Uu
No.28 Tahun 2009.
Seharusnya dalam UU No.28 tahun 2009, selain ditetapkan batas
waktu evaluasi raperda PDRD Kab/Kota juga ditetapkan berapa jumlah
maksimal raperda PDRD Kab/Kota yang dievaluasi dalam batas waktu tersebut,
lxii

sehingga kemungkinan evaluasi yang melebihi batas waktu yang ditetapkan


atau evaluasi yang kurang optimal dapat dihindari
Evaluasi terhadap Raperda PDRD Kab/Kota dilakukan terhadap
muatan muatan wajib maupun muatan muatan lainnya yang diatur dalam
raperda PDRD untuk mengetahui kesesuaian dengan UU No.28 Tahun 2009,
tidak melanggar kepentingan umum dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang undangan yang lebih tinggi. Muatan muatan wajib yang diatur
dalam Raperda Pajak Daerah berbeda dengan muatan muatan wajib yang
diatur dalam Raperda Retribusi Daerah, sehingga evaluasinya pun berbeda.
Hasil evaluasi Raperda PDRD Kab/Kota dapat berupa persetujuan,
direvisi, atau penolakan. Apabila hasil evaluasi menunjukkan disetujui, maka
Bupati/Walikota dapat langsung menetapkan Raperda PDRD dimaksud menjadi
Perda PDRD. Apabila hasil evaluasi menunjukkan direvisi,maka Raperda
PDRD tersebut harus direvisi terlebih dahulu sesuai dengan hasil evaluasi
Gubernur berkoordinasi dengan Menteri Keuangan yang ditetapkan dalam
Keputusan Gubernur.
Setelah raperda tersebut diperbaiki sesuai dengan hasil evaluasi,
maka Bupati/Walikota langsung dapat menetapkan Raperda PDRD Kab/Kota
dimaksud menjadi Perda PDRD. Sedangkan apabila hasil evaluasi menunjukkan
ditolak, maka raperda tersebut tidak boleh ditetapkan menjadi Perda. Adapun
mekanisme pengawasan terhadap evaluasi Raperda PDRD Kab/Kota tergambar
dalam Tabel sebagai berikut :
Tabel VIII
Mekanisme Pengawasan terhadap Raperda PDRD Kab/Kota Menurut UU
No.28/2009
lxiii

Dalam beberapa hal terkadang terdapat hasil koordinasi yang dilakukan


oleh Menteri Keuangan tidak diikuti oleh Bupati/Walikota dalam hal penetapan
Perda PDRD Kab/Kota. Hal ini dimungkinkan terjadi, karena Keputusan
Gubernur tentang hasil evaluasi raperda PDRD Kab/Kota yang dikirimkan ke
Kab/Kota tidak ditembuskan kepada Menteri Keuangan, sehingga Menteri
Keuangan tidak mengetahui dengan pasti apakah tidak diikutinya hasil
koordinasi tersebut, memang Kab/Kota tidak mau mengikutinya atau memang
hasil evaluasi yang dikirim ke Kab/Kota
oleh Gubernur memang beda dengan hasil koordinasi yang dilakukan dengan
Menteri keuangan

A. 3. Mekanisme Pengawasan Perda PDRD yang sudah ditetapkan


Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah Perda PDRD ditetapkan,
maka Gubernur/Bupati/Walikota mengirimkan Perda tersebut ke Menteri
Keuangan dan Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi kembali atau untuk
diklarifikasi.
Apabila Perda tersebut setelah dievaluasi kembali ternyata tidak
mengikuti evaluasi dan melanggar ketentuan UU No.28 Tahun 2009,
kepentingan umum dan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi, maka
Menteri keuangan dapat mengajukan rekomendasi pembatalan terhadap Perda
PDRD dimaksud dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja
sejak diterimanya Perda dimaksud, kepada Presiden melalui Menteri Dalam
Negeri.
Berdasarkan rekomendasi pembatalan Perda PDRD yang diajukan oleh
Menteri Keuangan, maka Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan
pembatalan Perda PDRD kepada Presiden. Keputusan pembatalan Perda PDRD
tersebut ditetapkan dengan Peraturan Presiden yang dikeluarkan dalam jangka
waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya Perda PDRD
tersebut.
Peraturan Presiden tersebut disampaikan ke Gubernur untuk Perda PDRD
Provinsi atau ke Bupati/Walikota untuk Perda PDRD Kab/Kota dan dalam jangka
waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah Peraturan Presiden tentang
pembatalan Perda PDRD tersebut dikeluarkan, Kepala Daerah harus
memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya bersama
DPRD Provinsi/Kab/Kota yang bersangkutan mencabut Perda dimaksud.
Apabila Provinsi/Kab/Kota tidak dapat menerima keputusan
pembatalan Perda PDRD dengan alasan alasan yang dapat dibenarkan oleh
lxiv

peraturan perundang undangan, maka Kepala Daerah dapat mengajukan


keberatan atas pembatalan Perda tersebut ke Mahkamah Agung,.dan jika
keberatan tersebut dikabulkan sebagian atau seluruhnya, maka putusan
Mahkamah Agung tersebut menyatakan Putusan Presiden menjadi batal dan
tidak mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu Perda yang sudah
dibatalkan dengan Peraturan Presiden tetap berjalan. Sebaliknya apabila
keberatan tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung, maka Perda tersebut harus
dicabut.
Adapun mekanisme pengawasan terhadap evaluasi Perda PDRD
Provinsi/Kab/Kota tergambar dalam Tabel sebagai berikut :
Tabel IX
Mekanisme Pengawasan Perda PDRD Provinsi/Kab/Kota Menurut UU
No.28/2009

Dalam melakukan evaluasi atau klarifikasi terhadap Perda PDRD yang


disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri, tidak
disebutkan secara eksplisit dalam UU No.28 Tahun 2009 siapa yang
mengevaluasi Perda tersebut. Namun mengingat yang mengajukan
rekomendasi pembatalan perda PDRD adalah Menteri Keuangan, maka
seyogyanya yang mengevaluasi Perda tersebut adalah Menteri Keuangan.
lxv

Pada kenyataannya, Menteri Dalam Negeri juga melakukan evaluasi


terhadap perda tersebut dalam bentuk klarifikasi, sehingga hasil klarifikasi yang
disampaikan Menteri Dalam Negeri ke Daerah kadang tidak sinkron atau
berbeda dengan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Menteri Keuangan.
Bisa saja menurut hasil klarifikasi Menteri Dalam Negeri, perda tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang undangan, sementara menurut
hasil evaluasi yang dilakukan oleh Menteri Keuangan sudah sejalan dengan
peraturan perundang undangan.
Perbedaan ini pada umumnya terjadi pada Perda retribusi Kab/Kota,
karena evaluasi Perda tersebut juga didasarkan pada peraturan sektoralnya
yang dapat menimbulkan beda persepsi antara Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Keuangan dalam memahaminya. Selain itu, perbedaan ini juga
dikarenakan Perda Kab/Kota tersebut tidak dievaluasi oleh Menteri Dalam
Negeri, tetapi oleh Gubernur berkoordinasi dengan Menteri Keuangan,
sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan persepsi antara Menteri
Keuangan dan Menteri Dalam Negeri terkait hasil evaluasi Perda dimaksud.
Perbedaan ini juga terkadang menimbulkan kebingungan bagi Daerah
dalam menyikapinya. Apakah mengikuti evaluasi yang dilakukan oleh Menteri
Keuangan atau mengikuti klarifikasi yang disampaikan oleh Menteri Dalam
Negeri, sehinnga Daerah ragu akan menerapkan Perda tersebut karena takut
melanggar peraturan perundang undangan.
Oleh karena itu, perlu adanya bentuk kerja sama atau koordinasi
antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan terkait klarifikasi yang
disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri ke Daerah dan hasil evaluasi yang
dilakukan oleh Menteri Keuangan, agar terjadi penyamaan persepsi dalam
menyikapi perbedaan penafsiran atas hasil evaluasi Perda tersebut

A. 4. Muatan Muatan yang di Evaluasi dalam Raperda PDRD


Berdasarkan Pasal 95 dan Pasal 156 UU No.28 tahun 2009, muatan
muatan wajib yang diatur dalam Raperda Pajak Daerah berbeda dengan
muatan muatan wajib yang diatur dalam Raperda Retribusi Daerah, sehingga
evaluasinya juga berbeda.
Adapun muatan muatan wajib yang dievaluasi dalam Raperda Pajak
Daerah, sebagai berikut :
lxvi

1. Nama pajak
Nama pajak adalah nama jenis pajak yang diatur dalam Raperda Pajak
sebagai dasar untuk melakukan pemungutan pajak. Nomenklatur nama
pajak provinsi dalam Raperda harus sesuai dengan Nomenklatur
nama pajak provinsi yang ditetapkan dalam UU No.28 Tahun 2009, yaitu
ada 5 jenis pajak provinsi : Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor,
Pajak Air Permukaan dan Pajak Rokok. Khusus untuk Pajak Rokok
mulai diberlakukan 1 Januari 2014. Demikian pula untuk nomenklatur
nama pajak kab/kota dalam Raperda harus sesuai dengan Nomenklatur
nama pajak kab/kota yang ditetapkan dalam UU No.28 Tahun 2009, yaitu
ada 11 jenis pajak kab/kota : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan,
Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dan Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan. Yang dievaluasi terhadap nama pajak adalah
nomenklatur nama pajak kab/kota dalam Raperda harus sesuai dengan
nomenklatur nama pajak Provinsi/Kab/Kota yang ditetapkan dalam UU
No.28 Tahun 2009..
2. Objek pajak
Objek pajak harus sesuai dengan objek pajak untuk jenis pajak yang diatur
dalam UU No.28 Tahun 2009, termasuk pengecualiannya. misalnya objek
Pajak Rokok adalah konsumsi rokok. Pengecualian objek Pajak Rokok
adalah rokok yang tidak dikenai cukai berdasarkan peraturan perundang
undangan dibidang cukai.
Objek pajak tidak boleh ditambah, tetapi dapat dikurangi dari yang
ditetapkan dalam UU No.28 Tahun 2009. Sebaliknya pengecualian objek
pajak tidak boleh dikurangi tetapi boleh ditambah dari yang
ditetapkan dalam UU No.28 Tahun 2009.
Yang dievaluasi terhadap objek pajak adalah objek pajak termasuk
pengecualiannya yang diatur dalam Raperda Pajak, harus sesuai dengan
objek pajak termasuk pengecualiannya yang diatur dalam UU No.28
Tahun 2009.
3. Subjek pajak
Subjek pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan
pajak. Orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan pajak harus sesuai
dengan orang pribadi atau Badan sebagai subjek pajak yang diatur dalam
lxvii

UU No.28 Tahun 2009. Misalnya subjek Pajak Rokok adalah konsumen


rokok.
Yang dievaluasi terhadap subjek pajak adalah orang pribadi atau Badan
sebagai subjek pajak yang diatur dalam raperda, harus sesuai dengan
orang pribadi atau Badan sebagai subjek pajak yang diatur dalam UU
No.28 Tahun 2009.
4. Dasar pengenaan pajak
Dasar pengenaan pajak adalah dasar yang digunakan untuk menghitung
besarnya pajak terutang. Dasar pengenaan pajak harus disesuaikan
dengan dasar pengenaan pajak yang diatur dalam UU No.28 tahun 2009.
Misalnya dasar pengenaan Pajak Air Permukaan adalah Nilai Perolehan
Air Permukaan yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
Yang dievaluasi terhadap dasar pengenaan pajak adalah dasar pengenaan
pajak yang diatur dalam Raperda, harus sesuai dengan dasar pengenaan
pajak yang ditetapkan dalam UU No.28 tahun 2009.
5. Tarif pajak
Tarif pajak adalah persentase tertentu yang dikenakan terhadap wajib
pajak dari yang ditetapkan dalam UU No.28 Tahun 2009.
Yang dievaluasi terhadap tariff pajak adalah tarif pajak yang diatur dalam
raperda pajak, tidak boleh melebihi atau lebih kecil dari tarif pajak yang
ditetapkan dalam UU No.28 tahun 2009,
6. cara penghitungan pajak
Cara penghitungan pajak adalah besaran pokok pajak yang terutang yang
dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.
Yang dievaluasi terhadap cara perhitungan pajak adalah bagaimana cara
menghitung pajak yang diatur dalam raperda, disesuaikan dengan
cara penghitungan pajak yang diatur dalam UU No.28 Tahun 2009.
7. Wilayah pemungutan
Wilayah pemungutan adalah batas wilayah daerah dimana pajak
dapat dipungut. Wilayah pemungutan pajak terbatas hanya pada wilayah
daerah. Yang dievaluasi terhadap wilayah pemungutan adalah wilayah
pemungutan pajak yang diatur dalam raperda, tidak boleh melampaui
batas wilayah daerah.
lxviii

8. Masa pajak
Masa pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka
waktu lain yang diatur dengan Peraturan Kepala Daerah paling lama 3
(tiga) bulan kalender yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk
menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
Yang dievaluasi terhadap masa pajak adalah masa pajak yang diatur
dalam raperda, melebihi 1 (satu) bulan kalender atau tidak. Kalau
melebihi satu bulan kalender harus diatur dengan Peraturan Kepala
daerah paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
9. Penetapan pajak
Penetapan pajak adalah penetapan yang diatur dalam raperda terkait
pemungutan pajak, misalnya ketentuan pajak tidak boleh
diborongkan, sistim pemungutan pajak, atau dokumen yang digunakan
untuk pembayaran pajak.
Yang dievaluasi terhadap penetapan pajak adalah mengenai
ketentuan pajak diborongkan atau tidak, sistim pemungutan pajak
bersifat Self Assesment atau Official Assesment dan dokumen yang
digunakan terkait sistim pemungutan pajak yang diatur dalam raperda.
10. Tata cara pembayaran dan penagihan
Yang dievaluasi terhadap tata cara pembayaran dan penagihan adalah
mengenai jatuh tempo pembayaran pajak terutang, angsuran atau
penundaan pembayaran pajak dengan dikenakan bunga, tata cara
membayar pajak, dokumen yang digunakan untuk membayar pajak,
tempat pembayaran pajak, serta penagihan pajak dengan surat paksa
yang diatur dalam raperda..
11. Kedaluwarsa penagihan pajak
Kedaluwarsa penagihan pajak adalah jangka waktu kedaluwarsa
penagihan pajak, yaitu setelah melampaui waktu 5 tahun terhitung sejak
saat terutangnya pajak, kecuali apabila wajib pajak melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan daerah.
Yang dievaluasi terhadap kedaluwarsa penagihan pajak adalah kapan
penagihan pajak menjadi kedaluwarsa, atau bagaimana kedaluwarsa
penagihan pajak menjadi tertangguh, atau kapan kedaluwarsa penagihan
pajak setelah diterbitkannya surat paksa, serta bagaimana cara
penghapusan piutang pajak yang sudah kedaluwarsa.
lxix

12. Sanksi Administratif


Sanksi Administratif adalah sanksi yang diberikan kepada wajib pajak baik
berkaitan dengan pungutan maupun pengaturan, misalnya
berbentuk bunga atau denda terkait dengan pungutan pajak atau
pencabutan izin usaha terkait dengan pengaturan.
Yang dievaluasi terhadap sanksi administratif adalah pengenaan dan
besarnya sanksi administratif terkait dengan pungutan yang diatur dalam
raperda, disesuaikan dengan sanksi administratif yang diatur dalam
UU No.28 Tahun 2009.
13. Tanggal mulai berlakunya
Yang dievaluasi terhadap tanggal mulai berlakunya adalah kapan
diberlakukannya Perda tersebut setelah ditetapkan, apakah diberlakukan
setelah diundangkan atau diberlakukan untuk jangka waktu kedepan.
Tanggal berlakunya Perda tidak boleh berlaku surut, karena bertentangan
dengan UU No.28 Tahun 2009.

Adapun muatan muatan wajib yang dievaluasi dalam Raperda Retribusi adalah
sebagai berikut :
1 Nama retribusi
Nama retribusi adalah nama jenis retribusi yang diatur dalam
raperda sebagai dasar untuk melakukan pemungutan retribusi. Dalam UU
No.28 Tahun 2009 ditetapkan 30 nama retribusi yang dikelompokkan
dalam 3 golongan retribusi, yaitu Retribusi Jasa Umum ada 14 jenis
retribusi, Retribusi jasa Usaha ada 11 jenis retribusi dan Retribusi
Perizinan Tertentu ada 5 jenis retribusi.
Yang dievaluasi terhadap nama retribusi adalah nomenklatur nama
retribusi dalam raperda, harus sesuai dengan nomenklatur nama retribusi
yang ditetapkan dalam UU No.28 Tahun 2009
2 Objek retribusi
Objek retribusi harus sesuai dengan objek retribusi yang diatur dalam UU
No.28 Tahun 2009, termasuk pengecualiannya. Objek retribusi tidak
boleh ditambah, tetapi dapat dikurangi dari yang ditetapkan dalam
UU No.28 Tahun 2009. Sebaliknya pengecualian objek retribusi tidak
boleh dikurangi tetapi boleh ditambah dari yang ditetapkan dalam UU
No.28 Tahun 2009.. Yang dievaluasi terhadap objek retribusi adalah objek
retribusi yang diatur dalam raperda, harus sesuai dengan objek retribusi
lxx

yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009, termasuk pengecualian objek


retribusinya.
3 Subjek retribusi
Subjek retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang
menggunakan/menikmati pelayanan jasa yang diberikan oleh Pemda.
Yang dievaluasi terhadap subjek retribusi adalah subjek retribusi yang
menggunakan/menikmati jasa pelayanan yang diberikan oleh Pemda yang
diatur dalam raperda, sesuai dengan jenis retribusinya.
4 Golongan retribusi
Dalam UU No.28 Tahun 2009 ditetapkan ada 3 golongan retribusi, yaitu
Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan
Tertentu.
Yang dievaluasi terhadap golongan retribusi adalah jenis pungutan
retribusi yang diatur dalam raperda, termasuk golongan retribusi sesuai
yang diatur dalam UU No.28 Tahun 2009.
5 Cara mengukur tingkat penggunaan jasa yang bersangkutan
Tingkat penggunaan jasa adalah jumlah penggunaan jasa yang dijadikan
dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemda untuk penyelenggaraan
jasa yang bersangkutan. Apabila tingkat penggunaan jasa sulit diukur,
maka tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir berdasarkan rumus yang
dibuat oleh Pemda yang mencerminkan beban yang dipikul Pemda dalam
menyelenggarakan jasa tersebut.
Yang dievaluasi terhadap cara mengukur tingkat penggunaan jasa adalah
bagaimana cara mengukur tingkat penggunaan jasa yang dilakukan oleh
Pemda, sesuai dengan jenis pungutan retribusinya..
6 Prinsip yang dianut dalam menetapkan besarnya struktur dan tariff retribusi
7 Struktur dan besarnya tariff retribusi
Tarif retribusi dapat ditetapkan dengan nilai rupiah atau persentase
tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi yang
terutang. Tarif retribusi dapat ditentukan seragam atau bervariasi
menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif
tersebut.
Yang dievaluasi terhadap struktur dan besarnya tarif retribusi adalah
struktur dan besarnya tarif retribusi yang diatur dalam raperda,
apakah sudah sesuai dengan prinsip yang dianut dalam menetapkan
lxxi

besarnya struktur dan tarif retribusi, sesuai dengan golongan retribusi,


dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum, serta tidak
bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi,
termasuk peraturan sektoralnya.
8 Wilayah pemungutan
Wilayah pemungutan retribusi dapat melampaui wilayah daerah
bersangkutan, tergantung lokasi pelayanan yang diberikan oleh
Pemda, misalnya mess Pemda Kota Makassar di Jakarta dapat
dimasukkan dalam wilayah pemungutan retribusi Kota Makassar.
Perbedaan wilayah pemungutan antara pajak dan retribusi adalah
wilayah pemungutan pajak hanya ada dalam wilayah daerah yang
bersangkutan, sedangkan wilayah pemungutan retribusi dapat
melampaui wilayah daerah bersangkutan, tergantung pelayanan yang
diberikan oleh Pemerintah Daerah.
Yang dievaluasi terhadap wilayah pemungutan adalah apakah wilayah
pemungutan retribusi tersebut sesuai dengan pelayanan yang
diberikan oleh Pemda.
9. Penentuan pembayaran, tempat pembayaran, angsuran dan penundaan
pembayaran
Yang dievaluasi terhadap penentuan pembayaran, tempat pembayaran,
angsuran, dan penundaan pembayaran adalah bagaimana tata cara
melakukan pemungutan dan pembayaran retribusi, dokumen apa saja yang
digunakan untuk melakukan pemungutan, maupun pembayaran retribusi,
dimana tempat pembayaran retribusi yang ditentukan oleh Pemda,
bagaimana ketentuan dan cara melakukan angsuran dan penundaan
pembayaran yang dilakukan oleh wajib retribusi.
10 Sanksi administratif
Sanksi administratif pemungutan retribusi sesuai dengan Pasal 160 ayat
(3) UU No.28 Tahun 2009 adalah sanksi administratif terkait wajib
retribusi tertentu yang tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang
membayar dan dikenakan bunga sebesar 2% sebulan dari retribusi yang
terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Yang dievaluasi terhadap sanksi administratif adalah bentuk sanksi
administratif yang ditetapkan dan berapa besarnya sanksi administratif
yang diatur dalam raperda, apakah mengenakan bentuk sanksi
administratif berupa bunga, denda atau pengaturan dan apakah besaran
lxxii

sanksi administratif berupa bunga melebihi dari yang ditetapkan dalam


UU No.28 Tahun 2009.
11 Penagihan
Penagihan retribusi adalah penagihan terhadap retribusi terutang yang
tidak atau kurang dibayar setelah didahului dengan surat teguran.
Yang dievaluasi terhadap penagihan adalah bagaimana prosedur tata cara
penagihan yang diatur dalam raperda.
12 Penghapusan piutang retribusi yang kedaluwarsa
Kedaluwarsa penagihan retribusi adalah jangka waktu kedaluwarsa
penagihan retribusi. Kedaluwarsa penagihan retribusi sesuai dengan UU
No.28 Tahun 2009 adalah dalam jangka waktu 3 tahun terhitung sejak
saat terutangnya retribusi.
Yang dievaluasi terhadap penghapusan piutang retribusi yang
kedaluwarsa adalah jangka waktu penagihan retribusi menjadi
kedaluwarsa, kedaluwarsa penagihan retribusi tertangguh, serta
bagaimana cara penghapusan piutang retribusi yang sudah kedaluwarsa.
13 Tanggal mulai berlakunya
Yang dievaluasi terhadap tanggal mulai berlakunya adalah kapan
diberlakukannya raperda tersebut setelah ditetapkan, apakah
diberlakukan setelah diundangkan atau diberlakukan untuk jangka waktu
kedepan. Tanggal berlakunya Perda retribusi tidak boleh berlaku surut,
karena bertentangan dengan UU No.28 Tahun 2009.

B. Institusi Pengawasan Regulasi PDRD oleh Masyarakat


Institusi pengawasan regulasi PDRD, selain dilakukan oleh Pemerintah juga
dapat dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk non formal, seperti oleh KADIN,
KPPOD atau institusi lainnya selain Pemerintah. Pengawasan disini dilakukan
dalam rangka check and balance terkait :
a. Perda PDRD yang sudah ditetapkan dengan implementasinya dilapangan.
Terhadap Perda PDRD yang sudah ditetapkan, terkadang
implementasinya dilapangan terdapat ketidaksesuaian, misalnya tarif
yang dikenakan kepada orang pribadi atau Badan lebih besar dari yang
ditetapkan dalam Perda, ada pungutan retribusi yang struktur tarifnya
tidak diatur dalam Perda, atau penerimaan PDRD yang tidak disetor ke
Kas Daerah.
lxxiii

b.Muatan muatan yang diatur dalam Perda PDRD disesuaikan dengan


ketentuan yang diatur dalam UU No.28 Tahun 2009, kepentingan umum
dan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi. Masyarakat atau
institusi pengawasan lainnya diluar pemerintah juga dapat melakukan
pengawasan terkait Perda PDRD yang sudah ditetapkan, Pengawasan ini
dilakukan terkait kesesuain muatan atau materi yang diatur dalam
Perda dengan yang ditetapkan dalam UU No.28 Tahun 2009, tidak
bertentangan dengan kepentingan umum atau tidak bertentangan
dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi, misalnya
peraturan sektoralnya untuk pemungutan retribusi.
c. Pemungutan PDRD terhadap Perda PDRD yang sudah dibatalkan Dengan
berlakunya UU No.28 Tahun 2009, maka Perda PDRD yang
nomenklaturnya tidak sesuai dengan nomenklatur yang ditetapkan
dalam UU No.28 Tahun 2009, masih tetap berlaku selama 1 (satu) tahun
sejak UU No.28 Tahun 2009 diberlakukan 1 Januari 2010, artinya Perda
PDRD tersebut berlaku sampai dengan 31 Desember 2010.
Sedangkan Perda PDRD yang nomenklaturnya sesuai dengan yang
ditetapkan dalam UU No.28 Tahun 2009, masih berlaku selama 2 (dua)
tahun sejak UU No.28 Tahun 2009 diberlakukan, artinya Perda PDRD
tersebut berlaku sampai dengan 31 Desember 2011. Setelah jangka
waktu tersebut, maka Perda PDRD tersebut batal dengan sendirinya.
Namun demikian masih ada juga Daerah yang melakukan pemungutan
berdasarkan Perda PDRD yang sudah dibatalkan, terutama untuk Perda
retribusi walaupun Perda tersebut masa transisinya sudah habis.
d.Pungutan yang tidak ada dasar hukumnya (Perda)
Dalam Pasal 95 dan Pasal 156 UU No.28 Tahun 2009 disebutkan bahwa
pajak atau retribusi ditetapkan dengan Perda, artinya pemungutan
pajak atau retribusi harus ada dasar hukumnya, yaitu Perda PDRD.
Namun demikian ada beberapa Daerah yang melakukan pemungutan
yang tidak ada dasar hukumnya, misalnya pemungutan check point
untuk mobil yang akan masuk atau keluar Daerah atau pungutan
sumbangan pihak ketiga.

C. Sanksi Terhadap Pelanggaran Ketentuan di Bidang Pajak Daerah dan


Retribusi Daerah
Dalam UU No. 28 tahun 2009 diatur mengenai pengenaan sanksi terkait
pengawasan ketentuan di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.07/2010
tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Terhadap Pelanggaran Ketentuan di
Bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
lxxiv

1. Bentuk Pelanggaran dan Sanksi Ketentuan di Bidang Pajak Daerah dan


Retribusi Daerah, Bentuk pelanggaran ketentuan di bidang Pajak
Daerah Dan Retribusi Daerah terbagi dalam dua kelompok, yaitu:
a. Pelanggaran terhadap prosedur penetapan Raperda menjadi
Perda;dan
b. Pelanggaran terhadap larangan pemungutan Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah berdasarkan Perda yang telah dibatalkan.
Bentuk Pelanggaran terhadap prosedur penetapan Raperda menjadi Perda
adalah sebagai berikut:
a. Daerah menetapkan Raperda dengan tidak melalui proses
evaluasi;
b. Daerah menetapkan Raperda tetapi tidak mengikuti hasil evaluasi
dan koordinasi;
c. Daerah tidak menyampaikan Perda paling lambat 7 hari kerja
sejak tanggal penetapan.
Pelanggaran terhadap larangan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah berdasarkan Perda yang telah dibatalkan adalah Daerah tetap
melakukan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berdasarkan Perda
yang telah dibatalkan oleh Peraturan Presiden mengenai pembatalan Perda.
Bentuk sanksi terhadap pelanggaran ketentuan di bidang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, adalah :
a. Sanksi terhadap pelanggaran prosedur penetapan Raperda
menjadi Perda adalah berupa penundaan DAU atau DBH Pajak
Penghasilan bagi Daerah yang tidak memperoleh DAU.
b. Sanksi terhadap pelanggaran larangan pemungutan Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah berdasarkan Perda yang telah dibatalkan
adalah berupa pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak
Penghasilan.
Besaran Penundaan atau Pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi
Hasil Pajak Penghasilan, sebagai berikut :
1)Besaran sanksi penundaan DAU atau DBH Pajak Penghasilan
ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) untuk setiap periode
penyaluran.
2)Besaran sanksi pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan
ditetapkan sebesar perkiraan penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah yang telah dipungut berdasarkan Perda yang telah dibatalkan
untuk setiap periode penyaluran DAU dan/atau DBH Pajak
Penghasilan.
lxxv

3)Perkiraan penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah


dipungut dapat dihitung berdasarkan pendekatan rencana penerimaan
yang tercantum dalam APBD Daerah yang bersangkutan.
4)Dalam hal rencana penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang
telah dibatalkan tidak atau belum tercantum dalam APBD, maka sanksi
pemotongan ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari jumlah DAU
dan/atau DBH Pajak Penghasilan yang disalurkan setiap periode
penyaluran.
Pengenaan sanksi pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
ditetapkan yang terbesar setelah membandingkan hasil penghitungan 5% (lima
persen) dari jumlah DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan yang disalurkan
setiap periode penyaluran.

2. Tata Cara Pengenaan dan Pencabutan Sanksi


Tata cara pengenaan Sanksi terkait pelanggaran ketentuan di bidang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, sebagai berikut :

a. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menetapkan keputusan


mengenai pengenaan sanksi sebagai dasar penundaan atau
pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan bagi Daerah yang
melakukan pelanggaran.
b.Khusus untuk pengenaan sanksi berupa pemotongan DAU dan/atau DBH
Pajak Penghasilan, keputusan pengenaan sanksi ditetapkan setelah
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan surat
teguran dengan melampirkan copy salinan Peraturan Presiden
mengenai pembatalan Perda kepada Daerah yang bersangkutan.
c. Surat teguran berisi pemberitahuan bahwa Daerah yang bersangkutan
akan dikenakan Sanksi berupa pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak
Penghasilan jika Daerah tidak menghentikan pelaksanaan Perda yang
telah dibatalkan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkannya
Rancangan Peraturan Presiden mengenai pembatalan Perda.
d.Keputusan pengenaan Sanksi tidak diterbitkan dalam hal Kepala
Daerah menyampaikan surat atau keputusan penghentian pelaksanaan
Perda yang dibatalkan kepada Direktur Jenderal Perimbangan
Keuangan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak
diterimanya surat teguran dimaksud.
e. Pengenaan Sanksi berupa penundaan atau pemotongan DAU
dilakukan mulai pada penyaluran bulan berikutnya setelah tanggal
lxxvi

penetapan sanksi, sedangkan pengenaan sanksi berupa penundaan atau


pemotongan DBH Pajak Penghasilan dilakukan mulai pada penyaluran
triwulan berikutnya setelah tanggal penetapan sanksi.
f. Pelaksanaan penundaan DAU atau DBH Pajak Penghasilan tidak dapat
melampaui tahun anggaran yang bersangkutan, dan DAU atau DBH
Pajak Penghasilan yang ditunda disalurkan pada akhir tahun anggaran
yang bersangkutan, serta apabila sanksi belum dicabut, penundaan
dilanjutkan pada tahun anggaran berikutnya.

Pencabutan sanksi terkait pelanggaran ketentuan di bidang Pajak Daerah dan


Retribusi Daerah dilakukan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan,
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. terhadap penundaan DAU atau DBH Pajak Penghasilan karena Daerah
melakukan pelanggaran prosedur penetapan Raperda menjadi Perda,
pencabutan sanksi dilakukan apabila Perda telah diterima dan selesai
dievaluasi; dan
b.terhadap pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan karena
Daerah melakukan pelanggaran larangan pemungutan Pajak Daerah
Dan Retribusi Daerah berdasarkan Perda yang telah dibatalkan,
pencabutan sanksi dilakukan apabila Direktur Jenderal Perimbangan
Keuangan telah menerima surat atau keputusan Kepala Daerah
mengenai penghentian pelaksanaan pemungutan pajak dan/atau
retribusi dari Perda yang telah dibatalkan.
c. Keputusan pencabutan sanksi ditetapkan paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja sejak dipenuhinya persyaratan pencabutan sanksi
d.DAU atau DBH Pajak Penghasilan yang ditunda penyalurannya sebagai
akibat dari pengenaan sanksi disalurkan pada penyaluran berikutnya
setelah tanggal pencabutan sanksi.
Pengenaan sanksi terhadap pelanggaran ketentuan di bidang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah dikenakan terhadap Perda yang disusun berdasarkan UU
No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sehingga
pengawasan terkait pengenaan sanksi terhadap pelanggaran ketentuan
dibidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang disusun berdasarkan UU
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebelumnya yang seandainya masih tetap
dijadikan dasar pemungutan Pajak daerah dan Retribusi Daerah, maka tidak
dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Nomor 11/PMK.07/2010 tentang Tata
Cara Pengenaan Sanksi Terhadap Pelanggaran Ketentuan di Bidang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
lxxvii

Seharusnya UU No. 28 Tahun 2009 juga mengatur pengenan sanksi


terhadap pelanggaran ketentuan di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
berdasarkan UU No.28 Tahun 2009 maupun undang undang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah sebelumnya, sehingga pengawasan yang dilakukan terkait
dengan ketentuan di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dapat dilakukan
secara menyeluruhterhadap semua Perda, tidak hanya terhadap Perda yang
disusun berdasarkan UU No.28 Tahun 2009.

BAB V
HASIL EVALUASI
A. Hasil Evaluasi Perda Provinsi
Pada dasarnya hasil evaluasi reperda PDRD dituangkan dalam format
yang baku yang ditetapkan berdasarkan SOP pada Direktorat PDRD, Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan.
Namun dalam penyusunan laporan ini, penulis hanya mengambil contoh hasil
evaluasi raperda PDRD Propinsi untuk daerah tertentu. Hasil evaluasi
raperda PDRD Propinsi berdasarkan UU No.28 tahun 2009 yang dijadikan
sample adalah hasil evaluasi raperda PDRD Propinsi wilayah Sulawesi, Maluku
dan Maluku Utara, sebagaimana dalam tabel berikut :
Tabel X
Tabel Evaluasi Raperda PDRD Provinsi Wilayah Sulawesi, Maluku dan Maluku
Utara
No. Wilayah Jumlah Jumlah Direvisi Ditolak
Keputusan
Mendagri Raperda
1 Sulawesi 5 5 5 -

2 Maluku dan 2 2 2 -

Malut

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa 1 (satu) Surat Keputusan


Menteri Dalam Negeri dibuat untuk 1 (satu) raperda PDRD Provinsi. Dari
tabel tersebut juga dapat diketahui bahwa dari 7 Keputusan Menteri Dalam
lxxviii

Negeri terkait evaluasi raperda PDRD Provinsi, hasilnya semua raperda tersebut
direvisi, artinya sebelum ditetapkan menjadi Perda PDRD, raperda tersebut
harus diperbaiki terlebih dahulu oleh DPRD Provinsi bersama dengan Gubernur
sesuai dengan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri
berkoordinasi dengan Menteri Keuangan, baru ditetapkan menjadi Perda PDRD.
Dengan berlakunya UU No.28 Tahun 2009, belum ada Perda PDRD
Provinsi yang sudah ditetapkan dibatalkan. Hal ini karena mekanisme
pengawasan terkait regulasi PDRD berdasarkan UU No.28 Tahun 2009 bersifat
preventif dan korektif artinya muatan muatan yang diatur dalam raperda PDRD
dievaluasi terlebih dahulu sebelum ditetapkan menjadi Perda, sehingga begitu
ditetapkan menjadi Perda, muatan muatan yang diatur dalam Perda PDRD
sudah sesuai dengan ketentuan UU No.28 Tahun 2009, kepentingan umum dan
peraturan perundang undangan yang lebih tinggi.
Berbeda dengan mekanisme pengawasan regulasi PDRD berdasarkan
Undang Undang PDRD sebelumnya yang bersifat represif, artinya muatan
muatan yang diatur dalam perda dievaluasi setelah ditetapkan, sehingga
banyak Perda PDRD yang sudah ditetapkan dibatalkan, karena tidak sesuai
dengan ketentuan UU No.34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No.18
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, bertentangan dengan
peraturan pelaksanaan UU No.34 tahun 2000, tidak sesuai dengan
kepentingan umum dan bertentangan dengan peraturan perundang
undangan yang lebih tinggi..

B. Hasil Evaluasi Perda Kab/Kota


Hasil evaluasi raperda PDRD Kab/Kota yang dijadikan sample disini adalah hasil
evaluasi raperda PDRD Kab/Kota Tahun 2012 untuk wilayah Provinsi Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Tengah,
Dengan berlakunya UU No.28 Tahun 2009, belum ada Perda PDRD
Kab/Kota yang sudah ditetapkan dibatalkan. Hal ini karena mekanisme
pengawasan terkait regulasi PDRD berdasarkan UU No.28 Tahun 2009 bersifat
preventif dan korektif artinya muatan muatan yang diatur dalam raperda
dievaluasi terlebih dahulu sebelum ditetapkan menjadi Perda, sehingga
begitu ditetapkan menjadi Perda, muatan muatan yang diatur dalam Perda
PDRD sudah sesuai dengan ketentuan UU No.28 Tahun 2009, kepentingan
umum dan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi.
Berbeda dengan mekanisme pengawasan regulasi PDRD berdasarkan
Undang Undang PDRD sebelumnya yang bersifat represif, artinya muatan
muatan yang diatur dalam perda dievaluasi setelah ditetapkan, sehingga
lxxix

banyak Perda PDRD yang sudah ditetapkan dibatalkan, karena tidak sesuai
dengan ketentuan UU No.34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No.18
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, bertentangan dengan
peraturan pelaksanaan UU No.34 tahun 2000, tidak sesuai dengan kepentingan
umum dan bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang lebih
tinggi..

C. Hasil Evaluasi Perda PDRD oleh Institusi Lain


Hasil evaluasi Perda PDRD juga dapat dilakukan oleh masyarakat atau
institusi lain diluar Pemerintah, tetapi sifatnya informal dalam rangka check and
balance antara Perda yang sudah ditetapkan dengan implementasi
pemungutaanya di lapangan, atau antara Perda yang sudah ditepakan dengan
muatan yang diatur didalamnya disesuaikan dengan ketentuan UU No.28 Tahun
2009 dan peraturan perundang undangan lainnya, atau antara pungutan yang
dikenakan dengan dasar hukum yang dipakai untuk pungutan tersebut.
Pengawasan Perda PDRD yang dilakukan oleh institusi lain diluar institusi
Pemerintah, misalnya pengawasan yang dilakukan oleh Kadin/Kadinda, Apindo
dan KPPOD.baik terkait kebijakan atau pungutan daerah yang menyebabkan
ekonomi biaya tinggi atau dianggap menghambat iklim investasi,
Dalam UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa Daerah dalam
rangka meningkatkan Penerimaan Asli Daerah (PAD), daerah dilarang
menetapkan Perda yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, menghambat
mobilitas penduduk, lalu lintas barang, dan jasa antar daerah, dan kegiatan
ekspor impor.
Pengawasan yang dilakukan oleh institusi lain di luar Pemerintah terkait
Perda yang sudah ditetapkan dengan implementasinya di lapangan, misalnya
mengenai besaran tarif yang ditetapkan dalam Perda Tersebut apakah
menyebabkan ekonomi biaya tinggi, menghambat mobilitas penduduk, lalu
lintas barang, dan jasa antar daerah, dan kegiatan ekspor impor atau apakah
pungutan yang dilakukan oleh daerah khususnya retribusi, struktur tarifnya
sudah diatur dalam Perdanya.
Pengawasan yang dilakukan institusi lain selain Pemerintah terkait
muatan Perda yang sudah ditetapkan dengan kesesuaian UU No.28 tahun 2009
dan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi, misalnya mengenai
muatan muatan yang diatur dalam Perda tersebut apakah sudah berdasarkan
UU No.28 tahun 2009 dan peraturan sektoralnya, atau masih berdasarkan
lxxx

ketentuan UU PDRD yang lama yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku lagi.

Pengawasan yang dilakukan terkait pungutan yang dikenakan dengan


dasar hukum yang dipakai untuk pungutan tersebut, misalnya apakah pungutan
yang dikenakan tersebut ada Perdanya, atau apakah pungutan tersebut
berdasarkan Peraturan Kepala Daerah saja, atau apakah pungutan tersebut
dilakukan terhadap Perda yang sudah dibatalkan..
Masukan dari masyarakat atau institusi lain diluar Pemerintah terkait
pengawasan PDRD akan dijadikan pertimbangan Pemerintah sebagai dasar
untuk melakukan klarifikasi terhadap Perda yang sudah ditetapkan, sepanjang
Perda tersebut bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU No.28
Tahun 2009, bertentangan dengan kepentingan umum, menyebabkan ekonomi
biaya tinggi, menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar
daerah, kegiatan ekspor/impor dan bertentangan dengan peraturan perundang
undangan yang lebih tinggi..
Sebagai contoh, hasil evaluasi terhadap Perda PDRD yang dilakukan oleh
institusi lain, seperti KUMKM, KPPOD, APINDO, dituangkan dalam tabel berikut
:
Tabel XII.
Hasil Evaluasi Perda oleh Institusi Lain
NO. INSTITUSI PERDA HASIL EVALUASI
1 KPPOD/APINDO 1. Perda Kab Bantul No.6 Perubahan Izin Gangguan karena perubahan
kepemilikan/tanggungjawab, perubahan alamat
Tahun 2011 tentang Izin
tempat usaha/kegiatan, penambahan modal
Gangguan
usaha/kegiatan dan penambahan jumlah tenaga
kerja seharusnya tidak diperlukan perubahan izin
gangguan, karena perubahan tersebut tidak
berdampak pada peningkatan gangguan dari
lxxxi

2. Perda Kab Sleman No.8 1. Besaran tariff yang ditetapkan tidak mengacu
Tahun 2012 tentang Izin pada prinsip yang dianut dalam penetapan
struktur dan besarnya tariff retribusi perizinan
Gangguan
tertentu, sehingga besarnya tariff yang
ditetapkan dinilai tidak wajar dan memberatkan
pelaku usaha

2. Ketentuan masa retribusi Izin Gangguan


ditetapkan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun
bertentangan dengan Permendagri No. 27
Tahun 2009

3. Perda Kota Cirebon No.5 Hasil evaluasi Perda Kota Cirebon, Kabupaten
Berau, Kota Makassar dan Kabupaten Bengkulu
Tahun 2011 tentang
Selatan adalah penetapan tariff yang tidak
Penyelenggaraan dan
Retribusi Tempat Pelelangan mencerminkan keadilan bagi pelaku usaha dan
Ikan perlunya penambahan aturan sektoralterkait di
4. Perda Kabupaten Berau dalam Perda Perda tersebut.
No.1 Tahun 2012 tentang
3 KEMENTERIAN Perda Kabupaten Mamuju Utara Belum mengatur mengenai pengecualian objek Pajak
KUKM No.14 Tahun 2005 tentang Pajak Reklame sesuai dengan UU No.28 Tahun 2009
Reklame

Belum mengatur mengenai pengecualian objek


retribusi, sesuai dengan UU No.28 Tahun 2009
Perda Kabupaten Majene No.3

Tahun 2005 tentang Retribusi


Terminal Angkutan Bertentangan dengan Peraturan Menteri
Perdagangan No.46/M-DAG/Per/9/2009 yang
menyatakan tidak semua pelaku kegiatan usaha

Perda Kabupaten Bantaeng No.25 perdagangan harus memiliki SIUP. Perusahaan


perdagangan mikro tidak diwajibkan memiliki SIUP,
Tahun 2003 tentang Retribusi Izin
kecuali yang bersangkutan menghendaki dan terhadap
Usaha Industri, Izin Usaha
SIUP baru tidak dikenakan retribusi.
Perdagangan, dan Tanda Daftar
Gudang/Ruangan

1. Daerah dilarang memungut pajak selain pajak


yang ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat
lxxxii

D. Permasalahan
Berdasarkan pembahasan yang dilakukan dalam bab sebelumnya, maka
permasalahan yang terjadi terkait hasil evaluasi Raperda/Perda umumnya
meliputi berbagai aspek, antara lain:
1)Adanya pungutan daerah yang didasarkan pada keputusan/peraturan
kepala daerah yang bertentangan dengan Pasal 95 ayat (2) dan 156 ayat
(2) UU No.28 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa pungutan PDRD
harus ditetapkan dengan Perda.
2)Muatan/materi minimal yang diatur dalam peraturan daerah tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat (3) untuk
muatan materi yang diatur dalam perda pajak daerah dan Pasal 156
ayat (3) untuk muatan materi yang diatur dalam perda retribusi
daerah berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009.
3)Muatan/materi yang diatur dalam peraturan daerah tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009, misalnya :
a.Objek pajak dan retribusi daerah diperluas melebihi yang
ditentukan dalam UU No.28 tahun 2009 dan pengecualian objek
pajak dan retribusi daerah dikurangi dari yang ditentukan dalam
UU No.28 tahun 2009.
b.............................................................................................Tarif
pajak dan retribusi daerah ditetapkan dengan keputusan
kepala daerah yang bertentangan dengan Pasal 95 ayat (3) dan
Pasal 156 ayat (3) UU No.28 tahun 2009, yang menyatakan bahwa
tarif PDRD harus diatur dalam Perda
4)Pungutan daerah yang tumpang tindih dengan pungutan pusat, karena
kewenangan pemerintah pusat yang sudah diberikan ke daerah
berdasarkan PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, tetapi pungutannya masih
dilakukan oleh pusat
5)Adanya pungutan daerah yang menghambat arus lalu lintas barang, yang
bertentangan dengan UU No.33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah yang menyatakan bahwa dalam rangka peningkatan Pendapatan
Asli Daerah (PAD), Daerah dilarang menetapkan perda yang
menyebabkan ekonomi biaya tinggi, menghambat mobilitas penduduk,
lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan ekspor/impor.
6)Pengenaan retribusi atas fungsi pelayanan dan perizinan yang bukan
merupakan kewenangan daerah bersangkutan, yang bertentangan
dengan Pasal 149 UU No. 28 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa
lxxxiii

kewengan Retribusi Jasa Umum dan Perizinan Tertentu disesuaikan


dengan kewenangan daerah masing masing yang diatur dalam
peraturan perundang undangan.
7)Pelayanan yang merupakan urusan umum pemerintahan yang bersifat
pembinaan dan pengawasan yang tidak memerlukan biaya besar dan
yang berkaitan dengan administrasi umum pemerintahan, seharusnya
dibiayai dari pajak bukan retribusi.
8)Beberapa fungsi pelayanan dan perizinan yang diselenggarakan oleh
daerah tidak memiliki dasar pertimbangan yang kuat, baik dilihat dari
aspek ekonomi maupun dari kepentingan umum.
9)Terlalu tinggi dan memerlukan birokrasi yang panjang terkait
pembatalan perda PDRD yang dilakukan oleh Presiden dalam bentuk
Peraturan Presiden.
10) Pemberlakukan masing-masing bentuk pengawasan tidak tegas,
karena raperda yang sudah melewati tahap evaluasi oleh Pejabat
berwenang (pengawasan preventif) dan dinyatakan lolos, maka tidak
semestinya ketika telah ditetapkan menjadi Perda secara definitif akan
dilakukan pengawasan lagi dalam bentuk pengawasan represif.
11) Pengawasan yang bersifat preventif akan mempengaruhi kemandirian
daerah (Pemda/DPRD) dalam mempertahankan pendapat dan tindakan
yang dibenarkan sesuai dengan diskresi/kewenangan yang dimilikinya
sejalan dengan jiwa dan semangat otonomi daerah.
12) Terbatasnya peran Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di Daerah
yang telah mengalami reposisi dan penguatan kewenangan
berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2010 dengan berlakunya UU No. 28
Tahun 2009.
13) Tidak diaturnya batas waktu pembahasan raperda PDRD antara
eksekutif (Pemda) dan legislatif (DPRD), sehingga ada kemungkinan
proses pembahasan raperda PDRD memakan waktu lama.
14) Tidak adanya mekanisme kontrol terhadap hasil koordinasi antara
Menteri Dalam Negeri atau Gubernur dengan Menteri Keuangan ketika
melakukan evaluasi Raperda PDRD, sehingga tidak ada jaminan hasil
koordinasi dengan Menteri Keuangan benar-benar disampaikan dan
menjadi bahan penyempurnaan raperda PDRD bagi Daerah.
15) Belum adanya kerja sama atau koordinasi antara Menteri Dalam Negeri
dan Menteri Keuangan terkait klarifikasi yang disampaikan oleh Menteri
Dalam Negeri ke Daerah dan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Menteri
Keuangan, sehingga terjadi perbedaan persepsi terkait evaluasi Perda
PDRD Kab/Kota.
lxxxiv

E. Rekomendasi
1. Terkait permasalahan adanya pungutan daerah yang didasarkan pada
keputusan/peraturan kepala daerah, dan muatan/materi yang diatur
dalam peraturan daerah tidak memenuhi ketentuan minimal serta
muatan materi yang diatur dalam perda PDRD tidak sesuai dengan
ketentuan UU No. 28 Tahun 2009, disarankan agar melakukan
pembinaan dan pengarahan secara langsung baik melalui sosialisasi,
bimbingan teknis atau konsultasi regional terkait pemahaman UU No.
28 tahun 2009
2. Terkait permasalahan adanya pungutan daerah yang tumpang tindih
dengan pungutan pusat dan pengenaan retribusi atas fungsi pelayanan
dan perizinan yang bukan merupakan kewenangan daerah
bersangkutan, disarankan kepada Daerah, baik Provinsi,
Kabupaten/Kota maupun Pemerintah Pusat, agar sebelum menetapkan
Perda pungutan terutama retribusi, dilihat terlebih dahulu berada
dimana kewenangan pelayanan tersebut berdasarkan PP No.38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota.
3. Terkait permasalahan adanya pungutan daerah yang menghambat arus
lalu lintas barang, disarankan kepada Daerah agar dalam menyusun
muatan/materi yang diatur dalam Perda terutama tarif,
mempertimbangkan aspek aspek lainnya, seperti : berakibat ekonomi
biaya tinggi, menghambat mobilitas penduduk, manghambat arus lalu
lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor/impor.
4. Terkait permasalahan adanya pelayanan yang merupakan urusan umum
pemerintahan yang bersifat pembinaan dan pengawasan yang tidak
memerlukan biaya besar dan yang berkaitan dengan administrasi
umum pemerintahan, seharusnya dibiayai dari pajak bukan retribusi,
disarankan kepada Daerah agar pemungutan retribusi dilakukan apabila
ada pelayanan. Kalau urusan umum pemerintahan tersebut tidak
termasuk dalam jenis pungutan yang diatur dalam UU No. 28 tahun
2009, maka pembiayaannya disarankan dari pajak.
5. Terkait permasalahan terlalu tingginya institusi dan birokrasi yang
panjang terhadap pembatalan perda PDRD yang dilakukan oleh
Presiden dalam bentuk Peraturan Presiden, disarankan mengajukan
usulan yang membatalkan perda PDRD tidak perlu Presiden, tetapi
cukup pembantu presiden, yaitu Menteri Dalam Negeri dengan
rekomendasi dari Menteri Keuangan seperti pelaksanaan undang
lxxxv

undang PDRD sebelumnya, sehingga tidak membebani Presiden yang


beban tugasnya sudah berat dan memperkecil birokrasi.
6. Terkait permasalahan pemberlakukan masing-masing bentuk pengawasan
tidak tegas, karena raperda yang sudah melewati tahap evaluasi oleh
Pejabat berwenang (pengawasan preventif) dan dinyatakan lolos, masih
dilakukan pengawasan lagi dalam bentuk pengawasan represif,
disarankan agar Daerah mengikuti hasil evaluasi yang dilakukan oleh
Menteri Dalam Negeri atau Gubernur berkoordinasi dengan Menteri
Keuangan, agar pada saat nanti dilakukan evaluasi kembali terhadap
perda dimaksud, tidak akan memerlukan waktu yang lama dalam
mengevaluasinya dan ada kepastian Daerah dalam melakukan
pemungutan, karena perdanya tidak bermasalah.
7. Terkait permasalahan pengawasan yang bersifat preventif akan
mempengaruhi kemandirian daerah (Pemda/DPRD) dalam
mempertahankan pendapat dan tindakan yang dibenarkan sesuai
dengan diskresi/kewenangan yang dimilikinya, disarankan kepada
Daerah agar dalam melakukan penyusunan raperda PDRD antara Pemda
dan DPRD bersangkutan, memperhatikan ketentuan yang diatur dalam
UU No.28 Tahun 2008, kepentingan umum dan peraturan perundang
undangan yang lebih tinggi, sehingga pada saat nanti dilakukan evaluasi
terhadap raperda dimaksud, sudah sejalan antara Pemerintah Daerah,
DPRD bersangkutan, Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Keuangan.
8. Terkait permasalahan terbatasnya peran Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat di Daerah yang telah mengalami reposisi dan
penguatan kewenangan berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2010 dengan
berlakunya UU No. 28 Tahun 2009, disarankan agar diusulkan Gubernur
juga melakukan evaluasi terhadap Perda PDRD Kab/Kota yang sudah
ditetapkan mengingat yang mengevaluasi raperda tersebut adalah
Gubernur, dan juga diusulkan agar Gubernur juga dapat mengusulkan
pembatalan perda PDRD Kab/Kota berdasarkan rekomendasi
pembatalan Perda PDRD yang disampaikan oleh Menteri Keuangan..
9. Terkait permasalahan tidak diaturnya batas waktu pembahasan
raperda PDRD antara eksekutif (Pemda) dan legislatif (DPRD), sehingga
ada kemungkinan proses pembahasan raperda PDRD memakan waktu
lama, disarankan agar mengusulkan pembatasan waktu pembahasan
raperda PDRD yang dilakukan antara Pemda dan DPRD bersangkutan
dalam UU No.28 tahun 2009, sehingga ada kepastian dalam
penetapan perdanya. Kalau hal tersebut tidak memungkinkan, maka
disarankan agar Gubernur membuat peraturan yang ditujukan kepada
lxxxvi

Kab/Kota dalam wilayah provinsi bersangkutan tentang pembatasan


waktu pembahasan raperda PDRD Kab/Kota yang dilakukan antara
Pemda dan DPRD bersangkutan. Demikian pula untuk raperda PDRD
Provinsi, disarankan agar menteri Dalam Negeri membuat peraturan
yang ditujukan kepada Gubernur tentang pembatasan waktu
pembahasan raperda PDRD Provinsi yang dilakukan antara Pemda dan
DPRD.
10. Terkait permasalahan tidak adanya mekanisme kontrol terhadap
hasil koordinasi antara Menteri Dalam Negeri atau Gubernur dengan
Menteri Keuangan ketika melakukan evaluasi Raperda PDRD, sehingga
tidak ada jaminan hasil koordinasi dengan Menteri Keuangan benar-
benar disampaikan dan menjadi bahan penyempurnaan raperda PDRD
bagi Daerah, disarankan agar melakukan kerja sama atau koordinasi
antara Gubernur dan Menteri Keuangan terkait evaluasi raperda
PDRD Kab/Kota atau antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Keuangan terkait evaluasi raperda PDRD Provinsi, misalnya dengan
menyampaikan tembusan Surat Keputusan Gubernur atau Surat
Keputusan Menteri Dalam Negeri ke Menteri Keuangan, atau
bagaimana menyikapinya seandainya ada hasil evaluasi yang dilakukan
oleh Menteri Dalam Negeri atau Gubernur berbeda dengan hasil
koordinasi yang dilakukan Menteri Keuangan.
11. Terkait permasalahan belum adanya kerja sama atau koordinasi
antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan terkait klarifikasi
yang disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri ke Daerah dan hasil
evaluasi yang dilakukan oleh Menteri Keuangan, sehingga terjadi
perbedaan persepsi terkait evaluasi Perda PDRD Kab/Kota, disarankan
agar dilakukan koordinasi terlebih dahulu antara Menteri Dalam Negeri
dengan Menteri Keuangan terutama terkait evaluasi perda PDRD
Kab/Kota, sebelum hasil klarifikasi tersebut disampaikan Menteri
Dalam Negeri ke Daerah, sehingga ada persepsi yang sama antara
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan dan daerah juga tidak
merasa bingung mana yang harus diikuti.
lxxxvii

BAB VI
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan pokok pokok bahasan dalam bab bab sebelumnya,
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Perubahan regulasi dan kebijakan dibidang PDRD dari Undang
Undang sebelumnya (UU No.34 Tahun 2000) ke Undang Undang yang
baru (UU No.28 Tahun 2009), berimplikasi :
a. Jenis pungutan PDRD yang semula berdasarkan Undang Undang
No.34 Tahun 2000 yang bersifat open list, artinya daerah masih dapat
menetapkan jenis pungutan selain yang ditetapkan dalam
Undang Undang sepanjang sesuai kriteria yang ditetapkan dalam
Undang Undang tersebut,dengan berlakunya UU No.28 Tahun 2009
diubah menjadi close list, artinya Daerah hanya dapat melakukan
pungutan terhadap jenis pungutan yang diatur dalam UU No. 28
Tahun 2009, atau yang diatur dalam Peraturan Pemerintah terkait
retribusi tambahan.
b. Mekanisme pengawasan terhadap raperda yang semula berdasarkan
UU No.34 Tahun 2000 bersifat represif, artinya pengawasan
terhadap raperda PDRD dilakukan setelah Perda tersebut ditetapkan,
dengan berlakunya UU No.28 Tahun 2009 pengawasan tersebut
diubah menjadi preventiv dan korektif, artinya pengawasan dilakukan
sebelum raperda PDRD ditetapkan menjadi Perda, dan pengawasan
dilakukan dengan melakukan evaluasi terhadap muatan materi yang
diatur dalam raperda PDRD.
2. Pengawasan yang dilakukan berdasarkan UU No.28 Tahun 2009terkait
Perda PDRD dirasakan belum efektif, karena dapat menimbulkan
pengawasan ganda, yaitu jenis pungutannya sudah diawasi sesuai yang
ditetapkan dalam UU No.28 Tahun 2009, mekanisme pengawannya
dilakukan sebelum raperda ditetapkan menjadi Perda, dan setelah
ditetapkan menjadi Perda.
3. Institusi yang melakukan pengawasan terhadap perda PDRD, dilakukan
secara formal oleh Pemerintah Daerah, yaitu Gubernur dan Pemerintah
Pusat, yaitu Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan terkait
evaluasi raperda/Perda PDRD. Sedangkan institusi lain, seperti : KPPOD,
APINDO, KADIN, KUKM atau masyarakat secara personal dapat
melakukan pengawasan secara non formal terkait implementasi
lxxxviii

pemungutannya dilapangan atau muatan yang diatur dalam Perda


PDRD.
4. Berdasarkan hasil evaluasi Perda PDRD yang dilakukan oleh Menteri
Dalam Negeri maupun oleh Menteri Keuangan, belum ada Perda
PDRD yang dibatalkan berdasarkan UU No.28 tahun 2009.
5. Berdasarkan hasil evaluasi Perda PDRD yang dilakukan oleh institusi lain
diluar Menteri dalam Negeri dan Menteri Keuangan seperti : KPPOD,
APINDO dan Kementerian KUKM, ditemukan Perda PDRD yang tidak
sesuai dengan peraturan perundang undangan.

Anda mungkin juga menyukai