Skripsi Agus Aprianto (D1a013014)

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 91

i

SKRIPSI

IMPLEMENTASI HUKUMAN DISIPLIN BAGI WARGA BINAAN


PEMASYARAKATAN YANG MELANGGAR TATA TERTIB
(Studi di LAPAS kelas II A Mataram)

Oleh :

AGUS APRIYANTO
D1A 013 014

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM

2017
ii
iii
iv
v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran ALLAH SWT karena atas berkat dan rahmat-

Nyalah, akhirnya penyusun dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul

“IMPLEMENTASI HUKUMAN DISIPLIN BAGI WARGA BINAAN

YANG MELANGGAR TATA TERTIB (Studi Kasus di Lembaga

Pemasyarakatan Kelas IIA Mataram”. Penulisan skripsi ini dimaksudkan

untuk memenuhi persyaratan akademik mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

Mataram guna memperoleh gelar Sarjana Hukum. Skripsi ini dapat diselesaikan

atas bantuan, dukungan, bimbingan dan arahan dari berbagi pihak dan oleh karena

itu penyusun mengucapkan terimah kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Lalu Husni, SH., M.Hum. Selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Mataram.

2. Bapak Lubis, SH., M.Hum. Selaku Ketua Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Mataram.

3. Bapak Abdul Hamdi, SH., MH. Selaku Dosen Pembimbing Pertama yang

dengan penuh kesabaran mengarahkan penyusun menyelesaikan skripsi

ini dan sekaligus sebagi ketua tim dewan penguji.

4. Bapak Nanda Ivan Natsir, SH., MH. Selaku Dosen Pembimbing Kedua

yang dengan penuh ketelitian mengarahkan penyusun menyelesaikan

skripsi ini dan sekaligus sebagi anggota satu dalam tim dewan penguji

yang menguji skripsi ini.

5. Bapak Lalu Parman, SH., M.Hum, Dosen Penguji Netral yang telah

memberikan kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.


vi

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram beserta

segenap karyawan/karyawati Fakultas Hukum.

7. Bapak dan Ibu Pembinaan Pemasyarakatan beserta seluruh staf petugas

di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Mataram yang telah memberikan

banyak informasi terkait dengan data yang dibutuhkan dalam penyusunan

skripsi ini dan terimah kasih juga atas pengalaman sidang yang luar

biasa.

8. Kedua Orang tua saya yaitu Bapak Hadi Mulyono dan Ibu Nurul

Hidayati, serta keluarga besar saya yang telah memberikan dukungan

baik materil maupun imateril hingga selesainya penyusunan skripsi ini.

Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu

hukum pada khusunya dan perkembangan Bangsa Indonesia pada umumnnya.

Mataram, 21 Juni 2017

Penyusun

Agus Apriyanto
ii
vii

RINGKASAN

“IMPLEMENTASI HUKUMAN DISIPLIN BAGI WARGA BINAAN


PEMASYARAKATAN YANG MELANGGAR TATA TERTIB (Studi LAPAS Kelas
IIA Mataram)”.

Oleh: Agus Apriyanto


Dosen Pembimbing 1 : Abdul Hamid, SH., MH.
Dosen Pembimbing 2 : Nanda Ivan Natsir, SH., MH.

Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat narapidana untuk menjalani hukumannya dan


tempat untuk melakukan pembinaan bagi warga binaan agar menjadi manusia yang lebih baik
dan tidak lagi mengulangi kesalahannya. Namun pada kenyataanya dalam lembaga ini
banyak terjadi kendala, seperti kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang memperihatinkan, dan
juga kendala dari warga binaan pemasyarakatan sendiri yang kurang taat pada aturan yang
berlaku padahal pembinaan yang dilakukan untuk kepentingan warga binaan sendiri. Dalam
penyusunan skripsi ini, ada 2 pokok permasalahan yang penyusun teliti yaitu : 1. Kendala-
kendala yang dihadapi LAPAS Kelas IIA Mataram dalam melakukan pembinaan bagi warga
binaan pemasyarakatan ,dan 2. Implementasi hukuman disiplin bagi warga binaan
pemasyarakatan yang melanggar tata tertib di LAPAS Kelas IIA Mataram. Tujuan dilakukan
penelitian ini yakni : Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi LAPAS Kelas IIA
Mataram dalam melakukan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan yang berimplikasi
pada pelanggaran disiplin, dan Untuk mengetahui Implementasi hukuman disiplin bagi warga
binaan pemasyarakatan yang melanggar tata tertib di LAPAS Kelas IIA Mataram. Adapun
manfaat penelitian ini adalah secara akademik, secara teoritis, dan secara praktis.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
empiris. Metode pendekatan yang digunakan yakni Pendekatan perundang-undangan,
Pendekatan Konsepsual, Pendekatan Sosiologis. Sumber penelitiannya melalui data lapangan
dan data kepustakaan. Jenis datanya yakni data primer dan data sekunder. Untuk teknik
pengumpulan data melalui wawancara, studi dokumen atau kepustakaan. Analisis data yang
digunakan adalah metode analisis komparatif konstan.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kendala-kendala yang dihadapi LAPAS Kelas
IIA Mataram dalam melakukan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan antara lain :
jumlah personil petugas yang masih kurang, anggaran dana yang belum mencukupi, dan dari
segi warga binaan pemasyarakatan, serta sarana dan prasarana pembinaan. Dan implementasi
hukuman disiplin bagi warga binaan pemasyarakatan yang melanggar tata tertib yaitu untuk
pelanggaran disiplin tingkat ringan pemberian hukuman disiplin berupa peringatan teguran
secara lisan, untuk pelanggaran disiplin tingkat sedang hukuman disiplin yang diberikan
adalah penundaan waktu pelaksanaan kunjungan, dan untuk pelanggaran disiplin tingkat
berat bagi narapidana yang melakukan akan dilaksanakan pemerikasaan oleh petugas, yang
kemudian hasil pemeriksaan akan dijadikan bahan rekomendasi untuk dilaksanakan sidang
TPP, dan kemudian dari hasil sidang TPP tersebut akan diberikan kepada Kepala LAPAS
Mataram sebagai pertimbangan untuk menjatuhkan hukuman disiplin. Untuk hukuman
disiplin yang diberikan dalam pelanggaran tingkat berat ini yaitu penempatan dalam sel
pengasingan selama 6(enam) hari dan bisa diperpanjang selama 2(dua) kali 6(enam) hari dan
untuk kepentingan keamanan bisa dipindahkan ke LAPAS lain.
iii
viii

“IMPLEMENTASI HUKUMAN DISIPLIN BAGI WARGA BINAAN


PEMASYARAKATAN YANG MELANGGAR TATA TERTIB (Studi LAPAS Kelas
IIA Mataram )”

AGUS APRIYANTO
NIM: D1A013014

ABSTRAK

Tujuan penyusun melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui kendala-kendala


yang dihadapi dalam melakukan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan yang
berimplikasi pada pemberian hukuman disiplin dan untuk mengetahui implementasi hukuman
disiplin bagi warga binaan yang melanggar tata tertib di LAPAS Kelas IIA Mataram. Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum empiris.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan
pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan antara lain : jumlah personil petugas, anggaran
dana, dan dari segi warga binaan pemasyarakatan, sarana dan prasarana pembinaan. Serta
implementasi hukuman disiplin bagi warga binaan pemasyarakatan yang melanggar tata tertib
yaitu untuk pelanggaran disiplin tingkat ringan pemberian hukuman disiplin dengan
melakukan peringatan teguran secara lisan, untuk pelanggaran disiplin tingkat sedang
hukuman disiplin yang diberikan adalah penundaan waktu pelaksanaan kunjungan, dan untuk
pelanggaran disiplin tingkat berat pemberian hukuman disiplinnya dimasukan dalam sel
pengasingan.

Kata Kunci : Hukuman Disiplin, Warga Binaan Pemasyarakatan.


"IMPLEMENTATION OF DISCIPLINE PUNISHMENT FOR REPRESENTATIVES
OF SCHOLARSHIP PRINCIPLES OF INTERESTED PEOPLE (Study of Class IIA
Mataram Class)"

ABSTRACT
The purpose compiler doing this study is to determine the constraints faced in conducting
training for prisoners that have implications for the administration of disciplinary
punishment and to know the implementation of disciplinary punishment for inmates who
violate the rules in prisons Class IIA Mataram. Method used in this research is empirical law
research method. The results of this study explained that the constraints faced in conducting
training for prisoners, among others: the number of officer personnel, budget, and in terms of
prisoners, facilities and infrastructure development. And the implementation of disciplinary
sanctions for prisoners who violate rules that for disciplinary offenses mild level of
punishment disciplined by warning strikes orally, for breach of discipline moderate levels of
disciplinary punishment given is the delay time of the visit, and for disciplinary offenses
weight level administration Disciplinary punishment is included in the cell of exile.

Keywords: Disciplinary Punishment, Citizen Correctional Residents.


ix

DAFTAR ISI

JUDUL ........................................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ........................... ii

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PENGUJI ..................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN DEKAN ...................................................... iv

KATA PENGANTAR ................................................................................. v

RINGKASAN ............................................................................................. vii

ABSTRAK .................................................................................................. viii

DAFTAR ISI ............................................................................................... ix

BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................... 5

C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 5

D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 5

E. Ruang Lingkup Penelitian .......................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 7

1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana ................................ 7

a) Pengertian Hukum Pidana ............................................ 7

b) Kedudukan Hukum Pidana .......................................... 8

c) Fungsi Hukum Pidana .................................................. 9

d) Tujuan Hukum Pidana.................................................. 9

e) Sumber Hukum Pidana ................................................ 11

2. Tinjauan Umum Tentang Pelanggaran Hukum........................ 11


x

3. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum .......................... 15

4. Tinjauan Umum Tentang Lembaga Pemasyarakatan .............. 17

a) Pengertian Lembaga Pemasyarakatan .......................... 17

b) Pola Pembinaan Pemasyarakatan ................................. 18

c) Sarana dan Prasarana Pendukung Pembinaan .............. 26

d) Tujuan Pembinaan ........................................................ 28

5. Tinjauan Umum Tentang Warga Binaan Pemasyarakatan ...... 30

6. Tinjauan Umum Tentang Hukuman Disiplin........................... 31

a) Penjatuhan Hukuman Disiplin ..................................... 32

b) Jenis-Jenis Hukuman Disiplin ...................................... 33

BAB III METODE PENELITIAN .............................................................. 35

1. Jenis Penelitian ......................................................................... 35

2. Metode Pendekatan .................................................................. 35

3. Sumber dan Jenis Data ............................................................. 36

4. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 37

5. Analisis Data ............................................................................ 37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................ 38

A. Kendala-Kendala yang Dihadapi Dalam Melakukan Pembinaan

Bagi Warga Binaan Pemasyarakatan di Lapas Kelas IIA

Mataram ........................................................................................ 38

1. Profil Lapas Kelas IIA Mataram ............................................. 38

2. Pentingnya Pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan . 41

3. Kendala yang Dihadapi LAPAS Kelas IIA Mataram Dalam


xi

Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan ............................ 45

B. Implementasi Hukuman Disiplin Bagi Warga Binaan

Pemasyarakatan yang Melanggar Tata Tertib di LAPAS Kelas

IIA Mataram .................................................................................. 55

1. Peranan Hukuman Disiplin Dalam Upaya Untuk

Menciptakan Rasa Aman dan Tertib di LAPAS

Kelas II A Mataram ................................................................. 55

2. Implementasi Hukuman Disiplin Bagi Warga

Binaan Pemasyarakatan yang Melanggar Tata Tertib di

LAPAS Kelas IIA Mataram .................................................... 60

BAB V PENUTUP ...................................................................................... 76

A. Kesimpulan.................................................................................... 76

B. Saran .............................................................................................. 78

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 79
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang luas dan merupakan negara hukum

Pembangunan nasional yang mencakup semua aspek kehidupan masyarakat,

berbangsa dan bernegara dengan tujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat

yang berkeadilan. Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan apa saja

yang tidak boleh dilakukan. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja

orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum, melainkan perbuatan yang

mungkin akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak

menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian ini merupakan

salah satu bentuk penegakan hukum.1

Hukum yang diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk

menciptakan keadaan yang teratur, aman dan tertib. Demikian juga hukum

pidana yang merupakan salah satu hukum yang dibuat oleh manusia. Hukum

ada karena keadaan dimana seseorang ingin merasakan perlindungan hukum

dan berhak atas lingkungan hidup yang nyaman dan damai,karena itu

merupakan salah satu bentuk hak asasi manusia yang ada di Negara ini yang

dijamin langsung oleh Negara karena Indonesia adalah Negara hukum sesuai

dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

1
Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 1.
2

Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan “Negara Indonesia adalah Negara

Hukum”2 dan ciri dari Negara hukum adalah adanya perlindungan terhadap

HAM, adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan Negara untuk menjamin

perlindungan terhadap hak asasi manusia dan adanya peradilan yang terbuka.

Hukum Pidana dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan

pelanggaran terhadap norma-norma yang hidup dalam masyarakat yang diatur

dalam hukum pidana positif Indonesia, karena pidana juga berfungsi sebagai

pranata sosial yang di mana dalam hal ini pidana adalah bagian dari reaksi

sosial dalam masyarakat, dan proses penjatuhan pidana ini dilakukan sesuai

dengan sistem peradilan pidana yang sah dan berlaku di Indonesia.

Ketika pidana telah dijatuhkan sesuai dengan sistem peradilan pidana

yang ada di Indonesia maka seseorang yang telah dianggap bersalah melalui

proses peradilan pidana dan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan

tindak pidana harus menjalankan pidana atau hukumannya di Lembaga

Pemasyarakatan atau sering disebut dengan Lapas, dimana dalam hal ini

Lembaga Pemasyarakatan berfungsi sebagai tempat bagi seseorang yang telah

dikatakan bersalah dalam hukum pidana yang biasa disebut narapidana untuk

menjalani hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan atau sering disebut

Lapas, selain tempat untuk menjalani hukuman fungsi dari lembaga

pemasyarakatan adalah tempat untuk melakukan pembinaan bagi warga

binaan agar menjadi manusia yang lebih baik dan tidak lagi mengulangi

kesalahannya karena bagaimanapun juga warga binaan adalah insan yang

2
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 1 ayat (3)
3

patut dihormati dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabat manusia

walaupun mereka pernah melakukan kesalahan justru di tempat inilah mereka

dibina agar menjadi insan yang lebih baik demi kemajuan bangsa ini. Dalam

hal ini yang memiliki peran yang sangat penting adalah Lapas dimana Lapas

memiliki peran untuk melakukan pembinaan bagi warga binaannya.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan disebutkan, bahwa pada hakekatnya warga binaan

pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan

dengan baik dan manusiawi dalam sistem pembinaan yang terpadu.

Perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem

kepenjaraan tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

Bicara mengenai pembangunan hukum yang kuat dan merata

diseluruh kalangan masyarakat sangat mudah diucapkan, namun tidak bisa

dipungkiri bahwa di dalam proses pembangunan hukum yang kuat tersebut

masih banyak terjadi kendala. Masyarakat di buat frustasi dengan keadaan

seperti ini, Hak Asasi Manusia (HAM) yang ada seakan tidak dapat

menolongnya. Keadaan seperti ini membuat masyarakat tidak memiliki jalan

keluar lain, sehingga mereka melakukan tindak kejahatan yang berdampak

pada di masukannya orang tersebut ke dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Pada prinsipnya, semua terpidana yang menjalani pidana, hilang

kemerdekaannya setelah diputuskan melalui putusan pengadilan, yang


4

berkekuatan hukum tetap dan selanjutnya terpidana ditempatkan di Lembaga

Pemasyarakatan sebagai narapidana dan disana kembali diproses sesuai

dengan hukum yang berlaku agar nantinya dapat kembali hidup

bermasyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan dari hukum pidana itu sendiri,

yaitu untuk memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat dengan cara

melaksanakan dan menegakan aturan hukum pidana demi terciptanya

keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.3

Penjatuhan pidana kepada seseorang dengan menempatkannya

kedalam Lembaga Pemasyarakatan pada dasarnya melihat bahwa pidana

adalah alat untuk menegakan tata tertib dalam masyarakat. Pidana adalah alat

untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan agar tata tertib

masyarakat tetap terpelihara, sehingga dengan dimasukannya ke dalam

Lembaga Pemasyarakatan.

Pada kenyataanya dalam lembaga ini banyak terjadi kendala, seperti

kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang memperihatinkan, dan juga kendala

dari warga binaan pemasyarakatan sendiri yang kurang taat pada aturan yang

berlaku padahal pembinaan yang dilakukan untuk kepentingan warga binaan

sendiri sehingga amanat dari Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan dapat terlaksana, yaitu4

„membentuk warga binaan permasyarakatan agar menjadi manusia


seutuhnya yang menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat serta menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab‟.

3
Muhammad Zainal Abidin & I Wayan Edy Kurniawan, 2013, Catatan Mahasiswa
Pidana, Indie Publishing, Depok, hlm. 6.
4
Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, LN
Nomor 77, TLN Nomor 3614, Pasal 2.
5

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penyusun mengangkat isu

hukum tersebut ke dalam skripsi yang berjudul “Implementasi Hukuman

Disiplin Bagi Warga Binaan Pemasyarakatan yang Melanggar Tata

Tertib.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penyusun mengkaji

dengan rumusan masalah yaitu :

1. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi LAPAS Kelas IIA Mataram

dalam melakukan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan yang

berimplikasi pada pelanggaran disiplin ?

2. Bagaimana implementasi hukuman disiplin bagi warga binaan

pemasyarakatan yang melanggar tata tertib di LAPAS Kelas IIA

Mataram?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi LAPAS Kelas IIA

Mataram dalam melakukan pembinaan bagi warga binaan

pemasyarakatan yang berimplikasi pada pelanggaran disiplin.

2. Untuk mengetahui implementasi hukuman disiplin bagi warga binaan

pemasyarakatan yang melanggar tata tertib di Lapas Kelas IIA Mataram.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Akademik merupakan salah satu syarat untuk mencapai Program

Srata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Mataram.


6

2. Secara Teoritis, dimana dengan penelitian ini diharapkan akan

memberikan kontribusi di dalam pengembangan Ilmu Hukum mengenai

implementasi hukuman disiplin bagi warga binaan lembaga

pemasyarakatan yang melanggar tata tertib.

3. Secara Praktis memberikan kontribusi pemikiran bagi Para Pihak untuk

mengetahui implementasi hukuman disiplin bagi warga binaan lembaga

pemasyarakatan yang melanggar tata tertib.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Agar penelitian dapat berjalan sesuai dengan tujuan dan dapat

mengkaji secara mendalam tentang subtansi keilmuan dari suatu penelitian

maka diperlukan pembatasan terhadap ruang lingkup penelitian, yaitu

implementasi hukuman disiplin bagi warga binaan lembaga pemasyarakatan

yang melanggar tata tertib beserta kendala-kendala yang dihadapi.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Tinjauan Umum Hukum Pidana

a) Pengertian Hukum Pidana

Menurut W.L.G. Lemaire, hukum pidana terdiri dari norma-norma

yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh

pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi pidana

berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus.5

Sedangkan hukum pidana menurut Mr.W.F.C. van Hattum telah

merumuskan:6

“Hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan


peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu
masyarakat hukum umum lainya,di mana mereka itu sebagai
pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang
dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar
hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-
peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus
yang berupa hukumanya”.

Menurut Moeljatno, hukum pidana adalah:7

bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara


yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:
1) Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan
yang disertai dengan ancaman atau sanksi yang berupa
pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada meraka
yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat
dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah
diancamkan.

5
PP.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana yang Berlaku di
Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997, Cet. III, hlm. 1
6
Ibid
7
Moeljatno Dalam TeguhPrasetyo, HukumPidana, (Jakarta: Rajawali Pers 2011), hlm. 6-
7
8

3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu


dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut.

Dalam hukum pidana, dikenal 2 (dua) istilah, yaitu:8

1) Hukum pidana materil itu menunjukan asas-asas dan


peraturan-peraturan yang mengkaitkan pelanggaran hukum
itu dengan hukuman.
2) Hukum pidana formil menunjukan bentuk-bentuk dan
jangka-jangka waktu yang mengikat pemberlakuan hukum
pidana materil.

b) Kedudukan Hukum Pidana

Secara keilmuan, hukum pidana merupakan bidang hukum

seperti halnya hukum perdata, hukum administrasi negara, hukum tata

negara, hukum dagang, hukum lingkungan, hukum acara pidana, dan

hukum acara perdata.

Hukum pidana merupakan hukum publik. Sehingga dapat

ditempatkan di beberapa perbedaan sebagai berikut:9

1. Hukum Pidana (wilayah publik) meliputi:


a) Tuntutan
b) Benar dan Salah
c) Melalui Pengadilan Negeri
d) Negara Mewakili Hak Korban yang Dirugikan
2. Hukum Perdata (wilayah prifat) meliputi:
a) Gugatan
b) Menang dan Kalah
c) Melalui Pengadilan Negeri dan Agama
d) Pihak yang dirugikan menggunakan dirinya sendiri untuk
meminta keadilan.

8
Ibid
9
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta Timur: Sinar Grafika,2012, Cet. II,
hlm. 11-13
9

c) Fungsi Hukum Pidana

Fungsi hukum pidana dapat dibagi menjadi dua bagian,

sebagai berikut:

1) Fungsi umum yaitu untuk mengatur tingkah lakumanusia dalam

kehidupan masyarakat sehingga tercipta ketertiban bersama.

2) Fungsi khusus yaitu: (1) Melindungi kepentingan hukum

(individu, masyarakat dan negara) (2) Dasar bagi negara dalam

menjalankan fungsinya, (3) Pembatasan kekuasaan negara dalam

menjalankan fungsinya.

d) Tujuan Hukum Pidana

Berbicara masalah tujuan dari hukum pidana banyak ahli yang

selalu mengkaitkan tujuan hukum pidana sama dengan tujuan dari

pemidanaan karena pada dasarnya tidak ada perbedaan secara

prinsipil terkait dua hal tersebut, dalam teori hukum pidana dikenal

tiga aliran tujuan dari hukum pidana yakni:10

1. Aliran Klasik, aliran ini menitik beratkan pada perbuatan


pelaku kejahatan dimana orang yang melakukan tindak
pidana maka orang tersebut harus dijatuhi sanksi pidana
tampa melihat latar belakanng dan motivasi yang
menndorong melakukan tindak pidana. Singkatnya, yang
diperhatikan bukan orang yang melakukan tindak pidana,
tetapi pada perbuatannya. Konsepsi aliran kelasik yang
demikian dipengaruhi oleh paham indeterminisme
mengenai kebebasan kehendak manusia yang menekankan
pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah
hukum pidana perbuatan (daadstrafrecht) perumusan
Udang-Undang dan perbuatan yang melawan hukum
merupakan titik sentral yang menjadi perhatian hukum
pidana. Jika dihubungkan dengan tujuan pemidanaan maka

10
Ibid, hlm 9
10

aliran klasik ini merupakan cerminan dari konsep mengenai


tujuan diadakan hukum pidana yaitu untuk melindungi
kepentingan masyarakat.
2. Aliran Modern, Aliran ini sering disebut aliran positif
karena dalam mencari sebab kejahatan menggunakan
metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung
mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif
sejauh dia masih bisa diperbaiki perbuatan seseorang
dilihar secara konkret bahwa dalam kenyataannya
perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya,
faktor biologis, maupun faktor lingkungan kemasyarakatan.
Aliran ini bertitik tolak pada paham determinisme, karena
manusia dipandang tidak memiliki kebebasan kehendak
tetapi dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya maka ia
tidak dapat dipersalahkan dan dipertanggungjawabkan dan
di pidana. Dengan demikian sentral aliran ini dilihat pada
diri pelaku kejahatan, ketika terjadi tindak pidana maka
pelakunya tidak otomatis dijatuhi sanksi pidana, yang
pertamakali dilakukan adalah melakuan pembuktian apa
yang menjadi motivasi pelaku saat melakukan tindak
pidana apabila pembutian ini menyatakan pelaku patut
dihukum maka barulah dijatuhi hukuman pidana sesuai
dengan keadaan pelaku dan tindak pidana yang
dilakukannya. Adanya keharusan memperhatikan dan
membuktikan kesalahan pada diri pelaku mencerminkan
bahwa aliran modern sudah menerapkan ide individualisasi
pidana yang bertujuan mengadakan resolusi pelaku
kejahatan, dimana dalam hal ini memiliki tiga karekter
yakni pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi, pidana
hanya dapat dijatuhkan pada orang yang bersalah dan
pidana harus disesuaikan dengan karekteristik dan kondisi
si pelaku, apabila aliaran ini dikaitkan dengan tujuan
hukum pidana maka bisa dikatakan bahwa aliran tersebut
merupaka penjabaran dari tujuan hukum pidana yakni
melindungi kepentingan individu perseorangan. Karena
aliran ini menghendaki agar pemidaan terhadap pelaku
kejahatan harus tetap mendapatkan perlindungan dengan
cara terjamin haknya dari kemungkinan kesewenangan
penguasa.
3. Aliran Non-Klasik, aliran ini merupan perkembangan dari
aliran klasik yang di pengaruhi oleh aliran modern, ciri dari
aliran ini yang relevan dengan prinsip individualisasi
pidana adalah modifikasi dari doktrin kebebasan
berkehendak dan doktrin pertanggungjawaban pidana,
maka sentral pemikiran aliran ini adalah pada aspek
perbuatan pidana dan pelaku dari perbuatan pidana adalah
11

seimbang, suatu pidana didasarkan atas pertimbangan


secara matang dan seimbang antara fakta berupa telah
terjadinya tindak pidana yang telah dilakukan seseorang
maupun kondisi subjektif dari pelaku tindak pidana
khususnya saat ia berbuat, gabungan antara keduanya harus
bisa melahirkan kenyakinkan bahwa orang tersebut
memang pelaku sebenarnya dari tindak pidana yang terjadi
dan untuk itu ia memang patut di hukum sesuai dengan
kesalahanya. Jika dilihat maka aliran ini sesua dengan
tujuan hukum pidana yakni melindungi kepentingan
masyarakat dan individu.

4. Sumber Hukum Pidana

Sumber hukum pidana disklafikasikan menjadi 3 (tiga) macam,

sebagai berikut:

1) Sumber hukum tertulis dan terkodifikasi, misalnya Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana.

2) Sumber hukum tertulis tetapi tidak terkodifikasi (tersebar ke dalam

peraturan perundang-undangan), misalnya Undang-Undang

Korupsi, Undang-Undang Pencucian Uang.

3) Sumber hukum tidak tertulis dan tidak terkodifikasi (hukum adat).

2. Tinjauan Umum Tentang Pelanggaran Hukum

Kamus Bahasa Indonesia mengartikan pelanggaran ialah suatu


11
perbuatan melanggar. Pengertian melanggar ialah menyalahi atau

melawan suatu aturan. 12Pelanggaran adalah perilaku yang menyimpang

untuk melakukan tindakan menurut kehendak sendiri tanpa

11
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, hlm.1588.
12
Ibid
12

memperhatikan peraturan yang telah dibuat. Pelanggaran adalah

wetsdelicten, artinya perbuatan yang disadari oleh masyarakat sebagai

suatu tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik.

Delik semacam ini disebut pelanggaran (mala quia prohibita).

Pelanggaran dibedakan dengan kejahatan, karena secara kuantitatif

pelanggaran lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan.13

Pelanggaran hukum adalah pelanggaran terhadap peraturan

perundang-undangan negara, karena hukum oleh negara dimuatkan dalam

peraturan perundang-undangan. Jika dikaitkan dengan tahanan atau

narapidana disuatu lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan negara,

maka yang dimaksud dengan pelanggaran hukum ialah suatu tindakan

yang dilakukan dengan menyalahi aturan atau melawan aturan yang

diberlakukan di suatu lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan

negara.

Hukum yang dimaksud ialah peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang keamanan dan ketertiban Lapas atau rutan yang di

dalamnya memuat tentang hak dan kewajiban serta larangan bagi para

tahanan dan narapidana.

Jenis pelanggaran yang dilakukan oleh tahanan dapat berupa

pelanggaran ringan, sedang dan berat. Jenis-jenis pelanggaran yang

13
Tri Andrisman, Hukum Pidana, Bandar Lampung, Universitas Lampung, 2011. hlm
78
13

dilakukan oleh napi/tahanan yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1), ayat (2),

ayat (3) Permenkumham Nomor 6 Tahun 2013 ialah sebagai berikut:14

1) Pelanggaran Tingkat Ringan, mencakup:


a) tidak menjaga kebersihan diri dan lingkungan;
b) meninggalkan blok hunian tanpa izin kepada petugas blok;
c) tidak mengenakan pakaian seragam yang telah ditentukan;
d) tidak mengikuti apel pada waktu yang telah ditentukan;
e) mengenakan anting, kalung, cincin, dan ikat pinggang;
f) melakukan perbuatan atau mengeluarkan perkataan yang tidak
pantas dan melanggar norma kesopanan atau kesusilaan; dan
g) melakukan tindakan yang berdasarkan pertimbangan sidang
tim pengamat pemasyarakatan termasuk dalam perbuatan yang
dapat dikenakan Hukuman Disiplin tingkat ringan.
2) Pelanggaran Tingkat Sedang, mencakup:
a) memasuki Steril Area tanpa ijin petugas;
b) membuat tato dan/atau peralatannya, tindik, atau sejenisnya;
c) melakukan aktifitas yang dapat membahayakan keselamatan
diri sendiri atau orang lain;
d) melakukan perbuatan atau mengeluarkan perkataan yang tidak
pantas yang melanggar norma keagamaan;
e) melakukan aktifitas jual beli atau utang piutang;
f) melakukan perbuatan yang termasuk dalam kategori yang
mendapatkan Hukuman Disiplin tingkat ringan secara
berulang lebih dari 1 (satu) kali; dan
g) melakukan tindakan yang berdasarkan pertimbangan sidang
tim pengamat pemasyarakatan termasuk dalam perbuatan yang
dapat dikenakan Hukuman Disiplin tingkat sedang.
3) Pelanggaran Tingkat Berat, mencakup:
a) tidak mengikuti program pembinaan yang telah ditetapkan;
b) mengancam, melawan, atau melakukan penyerangan terhadap
Petugas;
c) membuat atau menyimpan senjata api, senjata tajam, atau
sejenisnya;
d) merusak fasilitas Lapas atau Rutan;
e) mengancam, memprovokasi, atau perbuatan lain yang
menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban;
f) memiliki, membawa, atau menggunakan alat komunikasi atau
alat elektronik;
g) membuat, membawa, menyimpan, mengedarkan atau
mengkonsumsi minuman yang mengandung alkohol;

14
Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013,
Berita Negara Republik Indonesia Nomor 356, Pasal 10.
14

h) membuat, membawa, menyimpan, mengedarkan, atau


mengkonsumsi narkotika dan obat terlarang serta zat adiktif
lainnya;
i) melakukan upaya melarikan diri atau membantu Narapidana
atau Tahanan lain untuk melarikan diri;
j) melakukan tindakan kekerasan terhadap sesama penghuni
maupun petugas;
k) melakukan pemasangan atau menyuruh orang lain melakukan
pemasangan instalasi listrik di dalam kamar hunian;
l) melengkapi untuk kepentingan pribadi di luar ketentuan yang
berlaku dengan alat pendingin, kipas angin, kompor, televisi,
slot pintu, dan/atau alat elektronik lainnya di kamar hunian;
m) melakukan perbuatan asusila atau penyimpangan seksual;
n) melakukan pencurian, pemerasan, perjudian, atau penipuan;
o) menyebarkan ajaran sesat;
p) melakukan perbuatan yang termasuk dalam kategori yang
mendapatkan hukuman disiplin tingkat sedang secara berulang
lebih dari 1 (satu) kali atau perbuatan yang dapat
menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban berdasarkan
penilaian sidang TPP; dan
q) melakukan tindakan yang berdasarkan pertimbangan sidang
TPP termasuk dalam perbuatan yang dapat dikenakan
Hukuman Disiplin tingkat berat.

Melalui informasi media massa, sering terjadi pelarian

tahanan/narapidana di lembaga pemasyarakatan. Banyak ahli yang

mengemukakan sebab-sebabnya, meskipun dapat ditekankan bahwa

faktor situasi (extern) serta faktor dalam diri terpidana itu sendiri.

Tentang adanya kelengahan petugas agaknya tidak perlu diketengahkan

dalam masalah ini karena bagaimanapun juga niat atau itikad yang murni

untuk melarikan diri bukan hanya karena kelengahan petugas. Sebab-

sebab pelarian antara lain:15

a) Adanya situasi kehidupan yang mencekam, karena adanya


tekanan-tekanan, pemerasan, perawatan makanan, kesehatan yang
kurang (kesakitan-kesakitan).

15
Tina Asmarawati, Pidana dan Pemidanaan Dalam Sistem Hukum di Indonesia,
Yogyakarta, Deepublish, 2015. hlm 30.
15

b) Tindakan yang tidak adil, seperti penahanan yang berlarut-larut,


lamanya hukuman yang dirasakan terlalu berat tidak setimpal.
c) Menurut seorang terpidanan di Amerika, hukuman yang paling
berat dirasakan ialah keinginan untuk memenuhi kebutuhan
biologis yang tidak tersalurkan. Kecanduan atau terlalu terikat
dengan kebiasaan merokok dan obat-obat atau ramuan-ramuan
(ganja) (tidak dapat menahan diri), karena lingkungan yang serba
terbatas terutama dalam bidang materi.
d) Kerinduan kepada keluarga dan anak-anak.
e) Keinginan membalas dendam terhadap petugas yang pernah
“menyakitinya” agar petugas tersebut lalu ditindak oleh yang
berwenang karena peristiwa pelarian tersebut, dan lain-lain
sebagainya.

Peran petugas sangatlah penting untuk menjaga keamanan dan

ketertiban Lapas dari gangguan-gangguan yang disebabkan oleh

narapidana serta menegakkan hukum secara tegas dan adil terhadap

tahanan atau narapidana yang melakukan pelanggaran demi terwujudnya

tujuan dari pemasyarakatan itu sendiri.

3. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum

Pada hakikatnya, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk

mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial

menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya

tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai

pedoman pelaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan

konsep konsep hukum yang diharapkan rakyat menjadi kenyataan.

Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.16

16
Dellyana, Shant, 1988, Konsep Penegakan Hukum. Yogyakarta: Liberty, hlm. 32.
16

Salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) pada jajaran

pemasyarakatan yang berfungsi sebagai tempat penahanan adalah Rumah

Tahanan Negara (Rutan) adalah tempat orang yang ditahan secara sah

oleh pihak yang berwenang dan tempat terpidana penjara (dengan masa

pidana tertentu).17

Penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rutan merupakan

proses awal hilangnya kemerdekaan bergerak seperti dikemukakan

Baharuddin Suryobroto:18

“Warga binaan pemasyarakatan yang ditempatkan di rutan


merupakan proses penderitaan permulaan selama belum ada
putusan dari Pengadilan Pidana yang memutuskan apakah
perampasan kemerdekaan permulaan itu harus diakhiri atau harus
dilanjutkan untuk kemudian diputuskan secara definitif apakah
yang bersangkutan selanjutnya harus dikenakan perampasan
kemerdekaan sebagai sanksi pidana, yang pelaksanaannya
dilakukan oleh instansi pelaksana pidana yang hilang kemerdekaan
atau instansi pemasyarakatan.”

LAPAS dan RUTAN merupakan suatu lembaga yang berbeda,

karena pada dasarnya Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) adalah suatu

organisasi formal (instansi pemerintah) atau lembaga yang ditugaskan

untuk menampung narapidana/anak didik yang dinyatakan bersalah oleh

hakim melalui putusan dan menjadi tempat untuk melaksanakan

pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan, Sedangkan Rutan

atau Rumah Tahanan Negara adalah tempat tersangka atau terdakwa

17
Dirjen Pemasyarakatan Departemen Kehakiman RI, Petunjuk Pelaksanaan dan Teknis
Perawatan Rumah Tahanan Negara, Jakarta, 1986. hlm. 3.
18
Baharuddin Suryobroto, Bunga Rampai Pemasyarakatan, Jakarta, Dirjen
Pemasyarakatan, 2002. hlm. 10.
17

ditahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang

pengadilan.

Karena keterbatasan sarana untuk tempat penahanan maka dapat

kita jumpai bahwa Lembaga Pemasyarakatan yang fungsinya sebagai

tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik

pemasyarakatan, kadang kala dipakai juga untuk tempat penahanan yang

dilakukan baik oleh polisi, jaksa maupun hakim dalam rangka pendekatan

hukum.19

4. Tinjauan Umum Tentang Lembaga Permasyarakatan

a) Pengertian Lembaga Permasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan disebut LAPAS adalah tempat

untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik

Pemasyarakatan. (Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 12 Tahun 1995

Tentang Pemasyarakatan).Sebelum dikenal istilah Lapas di Indonesia,

tempat tersebut disebut dengan istilah penjara. Lembaga

Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak

Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman).20

Istilah pemasyarakatan untuk pertama kali disampaikan oleh

Sahardjo (Menteri Kehakiman pada saat itu) pada tanggal 5 Juli 1963

dalam pidato penganugerahan gelat Doctor Honoris Causa oleh

19
Erna Dewi, Hukum Penitensier Dalam Perspektif, Bandar Lampung, Penerbit
Lembaga Penelitian Universitas Lampung, 2013. hlm.90.
20
http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemasyarakatan, diakses pada hari Selasa 01
Februari 2017, Pukul 09:00 WITA
18

Universitas Indonesia. Pemasyarakatan oleh beliau dinyatakan

sebagai tujuan dari pidana penjara. Satu tahun kemudian, pada tanggal

27 April 1964 dalam konfrensi Jawatan Kepenjaraan yang

dilaksanakan di Lembang Bandung, istilah Pemasyarakatan

dibakukan sebagai pengganti Kepenjaraan.

Pemasyarakatan dalam konfrensi ini dinyatakan sebagai suatu

sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu

pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk reintegrasi social

atau pulihnya kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan

Warga Binaan Pemasyarakatan di dalam masyarakat. Pemasyarakatan

yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata

peradilan pidana adalah bagian integral dari tata peradilan terpadu

(integratedcriminal justice sistem). Dengan demikian,

pemasyarakatan baik ditinjau dari sistem, kelembagaan, cara

pembinaan, dan petugas pemasyarakatan, merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari suatu rangkaian proses penegakan hukum.

b) Pola Pembinaan Pemasyarakatan.

Pola pembinaan narapidana merupakan suatu cara perlakuan

terhadap narapidana yang dikehendaki oleh sistem pemasyarakatan

dalam usaha mencapai tujuan, yaitu agar sekembalinya narapidana

dapat berperilaku sebagai anggota masyarakat yang baik dan berguna

bagi dirinya, masyarakat serta negara.


19

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembinaan

narapidana juga mempunyai arti memperlakukan seseorang yang

berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang

yang baik. Maka yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti

narapidana agar membangkitkan kembali rasa percaya dirinya dan

dapat mengembangkan fungsi sosialnya dengan rasa tanggung jawab

untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat. Jadi pembinaan sangat

memerlukan dukungan dan keikutsertaan dari masyarakat. Bantuan

tersebut dapat dilihat dari sikap positif masyarakat untuk menerima

mereka kembali di masyarakat.

Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995

sistem pembinaan narapidana dilaksanakan berdasarkan Asas-Asas:21

a. Pengayoman, yaitu perilaku terhadap warga binaan


pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari
kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan
pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidupnya kepada
warga binaan pemasyarakatan, agar menjadi warga yang
berguna di masyarakat.
b. Persamaan Perlakuan dan Pelayanan, yaitu pemberian
perlakuan dan pelayanan yang sama kepada warga binaan
pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan orang.
c. Pendidikan dan Pembimbingan yaitu bahwa penyelenggara
pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan
Pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaan,
keterampilan, pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk
menunaikan ibadah.
d. Penghormatan Harkat dan Martabat Manusia, yaitu bahwa
sebagai orang yang tersesat warga binaan pemasyarakatan
harus tetap diperlukan sebagai manusia.
e. Kehilangan Kemerdekaan merupakan satu-satunya
penderitaan adalah warga binaan pemasyarakatan harus

21
Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, LN Nomor 77,
TLN Nomor 3614, Pasal 5.
20

berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan untuk jangka


waktu tertentu, sehingga mempunyai kesempatan penuh
untuk memperbaikinya. Selama di Lembaga Pemasyarakatan
(warga binaan tetap memperoleh hak-haknya yang lain
seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya
tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan,
kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan,
olah raga, atau rekreasi).
f. Terjaminnya Hak Untuk Tetap Berhubungan Dengan
Keluarga atau Orang tertentu, yaitu bahwa warga binaan
pemasyarakatan berada di Lembaga Pemasyarakatan, tetapi
harus tetap didekatkan dan dikenalkan kepada masyarakat
dan tidak boleh diasingkan oleh masyarakat, antara lain
berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan,
hiburan ke dalam Lembaga Pemasyarakatn dari anggota
masyarakat yang bebas, dalam kesempatan berkumpul
bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti
mengunjungi keluarga.

Berbicara mengenai asas-asas dalam pelaksanaan pembinaan

narapidana, adapun juga 10 (sepuluh) prinsip-prinsip pemasyarakatan yang

dijadikan sebagai pedoman, pembinaan terhadap narapidana di Indonesia

sebagai berikut:22

1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat


menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang
baik dan berguna.
Bekal hidup tidak hanya berupa financial dan material, tetapi
yang lebih penting adalah mental, fisik (kesehatan), keahlian,
keterampilan, hingga orang yang mempunyai kemauan dan
kemampuan yang potensial dan efektif untuk menjadi warga
Negara yang baik, tidak melanggar hokum lagi dan berguna
bagi pembangunan Negara.23
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam Negara.
Tidak boleh ada penyiksaan bagi narapidana baik yang
merupakan tindakan, ucapan, cara perawatan, ataupun
penempatan. Satu-satunya derita yang dialami narapidana
hendaknya hanya dihilangkan kemerdekaannya.24

22
Adi Sujatno, Loc Cit, hlm.13
23
Adi Sujatno dan Didin Sudirman, Pemasyarakatan Mejawab Tantangan Jaman,
(Jakarta: Vetlas Production, 2008), hlm. 15
24
Ibid, hlm. 17
21

3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka


bertobat. Narapidana dapat diikutsertakan dalam kegiatan
social untuk merasa hidup kemasyarakatan.
4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk
atau jahat daripada sebelum dijatuhi pidana.
Untuk itu perlu dilakukan pemisahan antara lain:
a. Yang residivis dan yang bukan
b. Yang tindak pidana berat dan yang ringan
c. Macam tindak pidana yang dilakukan
d. Dewasa, dewasa muda, pemuda, dan anak-anak
e. Orang terpidana dan orang tahanan/titipan.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana
dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh
diasingkan dari masyarakat.
Secara bertahap akan dibimbing di luar lembaga, yang
merupakan kebutuhan dalam proses pemasyarakatan.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik
pemasyarakatan tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu,
juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi
kebutuhan dinas atau kepentingan Negara sewaktu-waktu
saja.
Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan di
masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan produksi.
7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana
dan anak didik pemasyarakatan harus berdasarkan Pancasila.
Narapidana ditanamkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia.
8. Narapidana dan anak didik pemasyarakatan sebagai orang-
orang yang tersesat adalah manusia, dan mereka harus
diperlakukan sebagai manusia.
Segala bentuk label negatif (cap sebagai orang terpidana)
hendaknya sedapat mungkin dihapuskan, antara lain:
a. Bentuk dan warna pakaian;
b. Bentuk dan warna gedung;
c. Cara pemberian perawatan, makan, tempat tidur;
d. Cara pengantaran/pemindahan narapidana
9. Narapidana dan anak didik pemasyarakatan hanya dijatuhi
pidana hilang kemerdekaannya sebagai salah satu derita yang
dialaminya.
Perlu diusahakan supaya narapidana mendapat mata
pencaharian untuk kelangsungan hidup keluarga yang
menjadi tanggapan dengan disediakan pekerjaan ataupun
diberi upah pekerjaan.
10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat
mendukung fungsi rehabilitatif, korektif, dan edukatif dalam
sistem pemasyarakatan.
22

Diperlukan gedung atau bangunan khusus menurut fase


pembinaannya, antara lain, misalnya:
a. Gedung sentral untuk menampung narapidana yang
baru masuk, sebelum dipindahkan ke Lapas.
b. Gedung bangunan sentral untuk mereka yang
menjelang lepas, hingga dapat dilaksanakan program
khusus sebagai pembinaan menjelang lepas.
c. Gedung/bangunan bagi mereka yang sudah lepas,
tetapi belum dapat pulang sehingga sementara masih
membutuhkan bantuan.
d. Gedung/bangunan sebagai lembaga terbuka.

Sepuluh prinsip pemasyarakatan tersebut pada intinya

mengharuskan perlakuan yang lebih manusiawi bagi narapidana. Bahwa

satu-satunya hak yang dicabut bagi narapidana adalah hilang kemerdekaan

bergerak. Oleh karenanya Negara melalui pemidanaan, tidak berhak

membuat kondisi narapidana lebih buruk dari sebelumnya. Hal ini

diwujudkan dalam bentuk perawatan kesehatan terhadap narapidana.

Berdasarkan kepada Surat Edaran No.KP.10.13/3/1 tertanggal 8

Februari 1965 tentang Pemasyarakatan Sebagai Proses, maka dapat

dikemukakan bahwa pembinaan Narapidana dewasa dilaksanakan melalui

4 (empat) tahap yang merupakan suatu kesatuan proses yang bersifat

terpadu, antara lain:25

1. Tahap Pertama (Tahap Pengenalan/Oreientasi)


Terhadap setiap Narapidana yang masuk di Lembaga
Pemasyarakatan dilakukan penelitian untuk mengetahui segala hal
ikhwal perihal dirinya, termasuk sebab-sebab Narapidana melakukan
pelanggaran dan segala keterangan mengenai dirinya yang dapat
diperoleh dari keluarga, bekas majikan atau atasannya, teman sekerja,
si korban dari perbuatannya, serta dari petugas instansi lain yang telah
menangani perkaranya. Pembinaan pada tahap ini disebut pembinaan
tahap awal, di mana kegiatan masa pengamatan, penelitian dan

25
Dwija Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung: Refika
Aditama, 2006), hlm. 99
23

pengenalan lingkungan untuk menentukan perencanaan pelaksanaan


program pembinaan kepribadian dan kemandirian yang waktunya
dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai Narapidana
sampai dengan 1/3 (sepertiga) dari masa pidananya. Pembinaan pada
tahap ini masih dilakukan dalam Lembaga Pemasyarakatan dan
pengawasannya maksimun (maksimum security).
2. Tahap Kedua (Tahap Asimilasi dalam Arti Sempit)
Jika proses pembinaan terhadap Narapidana yang bersangkutan
telah berlangsung selama 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya dan
menurut Tim Pengamat Pemasyarakatan (selanjutnya disebut TPP)
sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain menunjukkan keinsyafan,
perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib yang berlaku di
Lembaga Pemasyarakatan, maka kepada Narapidana yang
bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan ditempatkan pada
Lembaga Pemasyarakatan dengan melalui pengawasan medium-
security. Ditempat baru ini narapidana diberikan tanggung jawab
terhadap masyarakat. Pada saat ini dilakukan kegiatan bersama-sama
dengan unsur masyarakat. Masa tahanan yang harus dijalani pada
tahap ini adalah adalah sampai berkisar ½ dari masa pidana yang
sebenarnya.
3. Tahap Ketiga (Tahap Asimilasi dalam Arti Luas)
Jika proses pembinaan terhadap Narapidana telah dijalani ½
(setengah) dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut TPP telah
dicapai cukup kemajuan-kemajuan, baik secara fisik maupun mental
dan juga dari segi ketrampilannya, maka wadah proses pembinaannya
diperluas dengan program Asimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari 2
(dua) bagian, antara lain:
a) Waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan ½
(setengah) dari masa pidananya. Pada tahap ini pembinaan masih
dilaksanakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan
pengawasannya sudah memasuki tahap medium-security.
b) Pada tahapan ini waktunya dimulai sejak berakhirnya masa
lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua pertiga) masa pidananya.
Dalam tahap lanjutan ini Narapidana sudah memasuki tahap
Asimilasi dan selanjutnya dapat diberikan pembebasan bersyarat
atau cuti menjelang bebas dengan pengawasan minimum security.
4. Tahap Keempat
Jika proses pembinaan telah menjalani 2/3 (duapertiga) dari
masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 (sembilan)
bulan. Pembinaan ini disebut pembinaan tahap akhir yaitu kegiatan
berupa perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai
sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa
pidana dari Narapidana yang bersangkutan.Pembinaan pada tahap ini
terhadap Narapidana yang telah memenuhi syarat untuk diberikan cuti
Menjelang Bebas atau Pembebasan Bersyarat dan pembinaannya
dilakukan di luar Lembaga Pemasyarakatan oleh Balai Pemasyarakatan
24

yang kemudian disebut Pembimbing Klien Pemasyarakatan.


Pembimbingan adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan
kualitas ketaqwaan terhadapa Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap
dan perilaku profesional, kesehatan jasmani dan rohani Klien
Pemasyarakatan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12

Tahun 1995, dinyatakan bahwa:26

Pembinaan warga binaan pemasyarakatan dilakukan di


Lembaga Pemasyarakatan dan pembimbingan warga binaan
pemasyarakatan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan sedangkan
pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan terhadap
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Pembinaan warga binaan
pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan dilaksanakan:
a) Secara Intramural (di dalam Lembaga Pemasyarakatan)
b) Secara Ekstremural (diluar Lembaga Pemasyarakatan)

Pembinaan secara ekstremural yang dilakukan di Lembaga

Pemasyarakatan disebut asimilasi, yaitu proses pembinaan warga

binaan pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu

dengan membaurkan mereka ke dalam kehidupan masyarakat.

Pembinaan secara ekstremural juga dilakukan oleh Balai

Pemasyarakatan yang disebut integrasi, yaitu proses pembimbingan

warga binaan pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan

tertentu untuk hidup dan berada kembali di tengah-tengah masyarakat

dengan bimbingan dan pengawasan Balai Pemasyarakatan. Pembinaan

dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan dilaksanakan oleh

petugas pemasyarakatan adalah pegawai pemasyarakatan yang

melaksanakan tugas pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan

26
Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013,
Berita Negara Republik Indonesia Nomor 356, Pasal 6.
25

warga binaan pemasyarakatan). Petugas pemasyarakatan merupakan

pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas di

bidang pembinaan, pengaman, dan pembimbingan warga binaan

pemasyarakatan. Pejabat fungsional diangkat dan diberhentikan oleh

menteri (sekarang menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dahulu

Menteri Kehakiman) sesuai dengan peraturan undang-undang yang

berlaku.27

Sosiologi hukum menaruh perhatian besar terhadap hukum

yang dihubungkannya dengan jenis-jenis solidariras yang terdapat di

dalam masyarakat. Hukum menurut Durkheim adalah kaidah-kaidah

yang bersanksi berat-ringannya tergantung pada sifat pelanggaran,

anggapan-anggapan serta keyakinan masyarakat tentang baik

buruknya suatu tindakan. Di dalam masyarakat banyak ditemukan dua

macam sanksi kaidahkaidah hukum yaitu sanksi represif dan sanksi

restitutif.28

a) Kaidah hukum dengan sanksi represif.


Kaidah hukum dengan sanksi represif biasanya
mendatangkan penderitaan bagi pelanggar-pelanggarnya,
sanksi tersebut menyangkut hari depan dan kehormatan
seorang warga masyarakat, atau bahkan merampas
kemerdekaan dan kenikmatan hidupnya. Kaidah-kaidah hukum
dengan sanksi demikian adalah hukum pidana.

b) Kaidah hukum dengan sanksi restitutif .


Tujuan utama dari sanksi tersebut tidaklah perlu
semata-mata untuk mendatangkan penderitaan. Tujuan utama
kaidah-kaidah hukum ini adalah untuk mengembalikan keadaan

27
RitaPristiwati, 2009, “Peranan Pendidikan Agama Islam Bagi Pembinaan Narapidana
(Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Kota Pekalongan)”, Medan : USU. hlm. 79
28
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: CV. Rajawali, 1982, Cet. Ke-
4. hlm. 15
26

pada situasi semula, sebelum terjadi kegoncangan sebagai


akibat dilanggarnya suatu kaidah hukum. Kaidah-kaidah
tersebut antara lain mencakup hukum perdata, hukum dagang,
hukum acara, hukum administrasi dan hukum tata Negara
setelah dikurangi dengan unsure-unsur pidananya.

c) Sarana dan Prasarana Pendukung Pembinaan.

Dalam proses pembinaan narapidana oleh Lembaga

Pemasyarakatan dibutuhkan sarana dan prasarana pedukung guna

mencapai keberhasilan yang ingin dicapai. Sarana dan prasarana

tersebut meliputi :

1. Sarana Gedung Pemasyarakatan

Gedung Pemasyarakatan merupakan representasi keadaan

penghuni di dalamnya. Keadaan gedung yang layak dapat mendukung

proses pembinaan yang sesuai harapan. Di Indonesia sendiri, sebagian

besar bangunan Lembaga Pemasyarakatan merupakan warisan

kolonial, dengan kondisi infrastruktur yang terkesan ”angker” dan

keras. Tembok tinggi yang mengelilingi dengan teralis besi

menambah kesan seram penghuninya.

2. Pembinaan Narapidana

Bahwa sarana untuk pendidikan keterampilan di Lembaga

Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam jumlahnya maupun dalam

jenisnya, dan bahkan ada sarana yang sudah demikian lama sehingga

tidak berfungsi lagi, atau meskipun berfungsi, hasilnya tidak memadai

dengan barang barang yang diproduksikan di luar (hasil produksi

perusahan).
27

3. Petugas Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan

Berkenaan dengan masalah petugas pembinaan di Lembaga

Pemasyarakatan, ternyata dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat

menunjang tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri, mengingat

sebagian besar dari mereka relatif belum ditunjang oleh bekal

kecakapan melakukan pembinaan dengan pendekatan humanis yang

dapat menyentuh perasaan para narapidana, dan mampu berdaya cipta

dalam melakukan pembinaan. Kewajiban untuk mengeluarkan

narapidana dari lembaga pemasyarakatan ataupun rumah tahanan

negara untuk kembali kemasyarakat sangatlah penting. Berhasil

tidaknya tugas untuk mengeluarkan dan mengembalikan narapidana

menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat terhadap hukum

tergantung pada petugas-petugas negara yang diserahi tugas untuk

menjalankan sistem pemasyarakatan.

Adapun petugas pemasyarakatan yang memiliki mental

yang baik dan sehat harus memiliki 5 aspek yaitu:

1) Berpikir realitas

2) Mempunyai kesadaran diri

3) Mampu membina hubungan sosial dengan orang lain

4) Mempunyai visi dan misi yang jelas

5) Mampu mengendalikan emosi

Petugas Lembaga Pemasyarakatan harus memiliki

pengetahuan yang mendalam tentang seluk-beluk sistem


28

pemasyarakatan dan terus menerus meningkatkan kemampuan, dalam

menghadapi perangai narapidana. Petugas-petugas yang dimaksud

dalam uraian tersebut melakukan peranan sesuai dengan

kewenangannya yang ditunjuk oleh peraturan dan berusaha

menciptakan bentuk kerjasama yang baik untuk membantu

menyelenggarakan “proses pemasyarakatan” sedemikian rupa dalam

pelaksanaan sistem pemasyarakatan.

d) Tujuan Pembinaan

Perkembangan pembinaan bagi narapidana berkaitan erat

dengan tujuan pemidanaan. Pembinaan narapidana yang sekarang

dilakukan pada awalnya berangkat dari kentaan bahwa tujuan

pemidanaan tidak sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan hakekat

hidup yang tumbuh di masyarakat. Bagaimanapun narapidana juga

manusia yang masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan ke

arah perkembangan yang positif, yang mampu merubah sekarang

untuk menjadi lebih produktif, untuk menjadi lebih baik dari sebelum

menjalani pidana.

Tujuan perlakuan terhadap narapidana di Indonesia mulai

tampak sejak tahun 1964 setelah Sahardjo mengemukakan dalam

konfrensi kepenjaraan di Lembang, bahwa tujuan pemidanaan adalah

pemasyarakatan, jadi mereka yang jadi narapidana bukan lagi dibuat

jera tetapi dibina untuk kemudian dimasyarakatkan kembali. Tujuan

pembinaan dapat dibagi dalam 3 (tiga) hal, yaitu:


29

1) Setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan tidak lagi

melakukan tindak pidana.

2) Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dalam

membangun bangsa dan negaranya.

3) Mampu mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa dan

mendapatkankebahagian didunia maupun akhirat.

Berdasarkan Konperensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan

yang pertama di Lembang (Bandung) pada tanggal 27 April 1964,

dirumuskan lebih lanjut tentang maksud dan tujuan pidana penjara

sebagai berikut ini :29

1) Orang yang tersesat diayomi juga, dengan memberikan


kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna
dalam masyarakat. Yakni masyarakat Indonesia yang menuju
tata masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila.
Bekal hidup tidak hanya berupa finansial dan materiil, tetapi
yang lebih penting adalah mental, fisik, keahlian, ketrampilan
hingga orang mempunyai kemauan dan kemampuan yang
potensial dan efektif untuk menjadi warga Negara yang baik,
tidak melanggar hukum lagi dan berguna dalam pembangunan
negara.
2) Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara.
Terhadap warga binaan permasyarakatan tidak boleh ada
penyiksaan baik berupa tindakan, ucapan, cara perawatan
ataupun penempatan. Satu-satunya derita hanya
dihilangkannya kemerdekaan.
3) Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan
dengan bimbingan. Kepada warga binaan permasyarakatan
harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma hidup
dan kehidupan, serta diberi kesempatan untuk merenungkan
perbuatannya yang lampau. Warga binaan permasyarakatan
dapat diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk
menumbuhkan rasa social dalam kehidupan bermasyarakat.

29
Priyanto, 2009, Farmakoterapi dan Terminologi Medis, hal 143-155 Leskonfi,
Depok.hlm. 20-22
30

5. Tinjauan Umum Tentang Warga Binaan Pemasyarakatan

Warga Binaan Pemasyarakatan adalah sebutan bagi narapidana

yang mendapatkan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)

dalam rangka memperbaiki diri, menyadari kesalahan, dan tidak

mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali ke dalam

tatanan sosial masyarakat, yang termasuk ke dalam Warga Binaan

Pemasyarakatan menurut Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12

Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan adalah Narapidana dan Anak

Didik Pemasyarakatan sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Bab III

yang tertuang dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995

1. Terpidana yang diterima di LAPAS wajib didaftar,

2. Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengubah

status Terpidana menjadi Narapidana,

3. Kepala LAPAS bertanggung jawab atas penerimaan Terpidana dan

pembebasan Narapidana di LAPAS”.

Dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor

12 Tahun 1995 artinya Penempatan Terpidana di LAPAS dilakukan

sesuai dengan Pasal 270 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

dan Pendaftarannya dilaksanakan pada saat Terpidana diterima di

LAPAS.

1) Terpidana
Yang di maksud dengan Terpidana berdasarkan ketentuan umum
pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan “Terpidana adalah seseorang yang dipidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap”.
31

2) Narapidana
Pengertian dari Narapidana menurut Undang-Undang Nomor 12
tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan berdasarkan ketentuan umum
pasal 1 ayat (7) “Narapidana adalah terpidana yang menjalani
pidana hilang kemerdekaan di LAPAS.”

3) Anak Didik Pemasyarakatan


Yang dimaksud dengan Anak Didik Pemasyarakatan berdasarkan
ketentuan umum pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 12 tahun
1995 Tentang Pemasyarakatan adalah
a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan
pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling lama
sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan
pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan
ditempat di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18
(delapan belas) tahun;
c. Anak Sipil yaitu yang atas permintaan orang tua atau
walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di
LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan
belas) tahun.

6. Tinjauan Umum Tentang Hukuman Disiplin

Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat untuk melaksanakan

pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Keamanan dan tata

tertib merupakan bagian dari pelaksanaan program-program pembinaan.

OIeh karena itu suasana aman dan tertib di Lembaga Pemasyarakatan perlu

diciptakan. Namun untuk menjamin terselenggaranya tertib kehidupan di

Lembaga Pemasyarakatan perlu adanya tata tertib yang wajib dipatuhi oleh

setiap Warga Binaan Pemasyarakatan.

Menurut Pasal 1 ayat (7) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga

Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, yang dimaksud dengan

Hukuman Disiplin adalah:


32

“Hukuman yang dijatuhkan kepada narapidana atau tahanan


sebagai akibat melakukan perbuatan yang melanggar tata
tertib Lapas atau rutan”. 30

a) Penjatuhan Hukuman Disiplin

Penjatuhan hukuman disiplin diberikan terhadap Warga

Binaan Pemasyarakatan yang ketika terbukti melanggar aturan tata

tertib LAPAS, dalam hal ini wargabinaan yang diduga melakukan

pelanggaran tata tertib wajib dilakukan pemeriksaan awal oleh Kepala

Pengamanan sebelum dijatuhi hukuman disiplin.

Namun sebelum dijatuhi hukuman disiplin, warga binaan dapat

dikenakan tindakan disiplin,tindakan disiplin itu sendiri berupa

penempatan sementara dalam sel pengasingan untuk jangka waktu

paling lama 6 (enam) hari sesuai dengan ketentuan Pasal 15 Peraturan

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013.

Menurut Pasal 1 ayat (6) Peraturan Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga

Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, yang dimaksud dengan

Tindakan Disiplin adalah:

“Tindakan pengamanan terhadap narapidana atau tahanan


sebagai akibat melakukan perbuatan yang melanggar tata
tertib LAPAS atau RUTAN”.31

30
Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013
tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, BN Nomor 356, Pasal
1.
31
Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013
tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, BN Nomor 356, Pasal
1.
33

Penjatuhan hukuman disiplin kepada Warga Binaan

Pemasyarakatan wajib dicatat di dalam kartu pembinaan.

b) Jenis Hukuman Disiplin

Ketika Warga Binaan Pemasyarakatan yang dalam

pembinaannya melanggar tata tertib LAPAS, yang sudah dalam proses

pemeriksaan yang dilakukan oleh kepala pengamanan telah terbukti

bahwa warga binaan tersebut benar melakukan pelanggaran aturan

maka Kepala LAPAS berwenang menjatuhkan hukuman disiplin

terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang melanggar peraturan

keamanan dan ketertiban LAPAS yang dipimpinya.

Adapun jenis-jenis hukuman disiplin yang dapat dijatuhkan

terhadap warga binaan yang melanggar tata tertib menurut ketentuan

Pasal 9 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Peraturan Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga

Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara yakni:32

1) hukuman disiplin tingkat ringan, meliputi :


a. Memberikan peringatan secara lisan;
b. Memberikan peringatan secara tertulis.
2) hukuman disiplin tingkat sedang, meliputi :
a. Memasukkan dalam sel pengasingan paling lama 6 (enam)
hari;
b. Menunda atau meniadakan hak tertentu dalam kurun
waktu tertentu berdasarkan hasil siding TPP;
c. Menunda atau meniadakan hak tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat berupa penundaan
waktu pelaksanaan kunjungan.
3) hukuman disiplin tingkat berat,meliputi :

32
Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013
tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, BN Nomor 356, Pasal
9.
34

a. Memasukkan dalam sel pengasingan selama 6 (enam) hari


dan dapat diperpanjang selama 2 (dua) kali 6 (enam) hari;
b. Tidak mendapatkan hak remisi, cuti mengunjungi
keluarga, cuti bersyarat, asimilasi, cuti menjelang bebas,
dan pembebasan bersyarat dalam tahun berjalan dan
dicatat dalam register F.

Dalam hal penjatuhan jenis hukuman disiplin baik tingkat

ringan, hukuman disiplin tingkat sedang, maupun hukuman disiplin

tingkat berat itu sendiri dilihat dari berat kecilnya pelanggaran yang

dilakukan olah Warga Binaan Pemasyarakatan tersebut.


35

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah

penelitian hukum Empiris. Metode penelitian hukum empiris adalah suatu

metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian

nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat.

Dikarenakan dalam penelitian ini meneliti orang dalam hubungan hidup di

masyarakat maka metode penelitian hukum empiris dapat dikatakan sebagai

penelitian hukum sosiologis. Dapat dikatakan bahwa penelitian hukum yang

diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum

atau badan pemerintah.

B. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan untuk mengkaji

permasalahan yang terjadi adalah:

1) Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Aprroach)

Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan

perundang-undangan dan regulasi yang terkait dengan isu sentral yang

diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

2) Pendekatan Konseptual (Conceptual Aprroach)

Pendekatan konseptual yaitu pendekatan yang dilakukan dengan

mengkaji literatur-literatur dan doktrin-doktrin yang ada kaitannya

dengan permasalahan yang akan dikaji.


36

3) Pendekatan Sosiologis

Selain pendekatan perundang-undangan, penyusun juga menggunakan

pendekatan sosiologis yaitu untuk mengkaji penerapan peraturan-

peraturan yang telah ditetapkan dilapangan.

C. Sumber dan Jenis Data

1) Sumber Data

Untuk memperoleh data-data yang terkait dengan obyek penelitian.

Agar penelitian ini juga dapat memberikan penjelasan-penjelasan dan

penafsiran terhadap data yang ada sehingga dapat dipahami untuk dijadikan

sebagai jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini. Maka

penyusun menggunakan sumber data melalui:

a. Penelitian lapangan untuk memperoleh atau sebagai sumber data

primer.

b. Kepustakaan yang menjadi sumber dari data sekunder.

2) Jenis Data

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dilokasi

penelitian melalui wawancara langsung kepada narasumber dari

pihak Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Mataram dan

lembaga-lembaga terkait.

b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung

melalui penelitian kepustakaan (library research) baik dengan

teknik pengumpulan dari dokumentasi buku-buku, karya-karya

ilmiah, dan artikel dari internet serta dokumen-dokumen yang ada


37

hubungannya dengan masalah yang akan dibahas dalam tulisan

ini.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara

lain:

1. Wawancara dilakukan terhadap responden dan informan untuk

memperoleh data primer.

2. Studi dokumen atau kepustakaan digunakan untukmemperoleh data

sekunder yang dilakukan dengan cara mengumpulkan dan membaca

buku-buku literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam

penelitian ini, guna dijadikan landasan di dalam membahas

permasalahan dalam penelitian.

3. Teknik pengambilan data menggunakan accidental sampling, yang

dimana peneliti akan mewawancarai siapa saja yang dapat ditemui

atau yang kebetulan ditemui.33

E. Analisis Data

Data yang diperoleh oleh penyusun merupakan data kualitatif yang

akan diteliti menggunakan metode analisis komparatif konstan, yaitu dengan

membandingkan dan mengembangkan penelitian empiris dengan perundang-

undangan yang terkait dan memilah yang diteliti.

33
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. 8, Rajawali
Pers, Jakarta, hlm. 107.
38

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kendala-Kendala Yang Dihadapi LAPAS Kelas IIA Mataram Dalam

Melakukan Pembinaan Bagi Warga Binaan Pemasyarakatan.

1. Profil LAPAS Kelas IIA Mataram

Sebelum dikenal istilah Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) di Indonesia,

tempat tersebut disebut dengan istilah penjara. Kedudukan dari Lembaga

Pemasyarakatan itu sendiri merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat

Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dan juga

merupakan himpunan dari norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada

suatu kebutuhan pokok di kehidupan masyarakat. Lembaga Pemasyarakatan

merupakan tahap akhir dari sistem peradilan pidana.

Sistem peradilan pidana itu sendiri terdiri dari 4 (empat) sub-sistem yaitu

Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Sub-sistem

Lembaga Pemasyarakatan sebagai sub-sistem terakhir dari sistem peradilan

pidana yang mempunyai tugas untuk melaksanakan pembinaan terhadap terpidana

khususnya pidana pencabutan kemerdekaan. Lembaga Pemasyarakatan Kelas

IIA Mataram yang selanjutnya disebut LAPAS Kelas IIA Mataram merupakan

bangunan penjara peninggalan Belanda yang dibangun pada tahun 1936 dengan

luas bangunan kurang lebih 5.706 M2 dan telah beberapa kali mengalami

perubahan. Lokasi LAPAS Kelas IIA Mataram terletak di tengah-tengah kota

yang berlokasi di Jalan HOS Cokroaminoto No. 5 Mataram, berdekatan dengan


39

Kantor Gubernur NTB yang berjarak sekitar ± 10 M, kemudian dengan Kantor

Walikota Mataram sekitar ± 20 M, dengan kantor Kejaksaan Negeri Mataram dan

Kejaksaan Tinggi Mataram sekitar ± 5 KM, kemudian dengan kantor Pengadilan

Negeri Mataram, Kantor Kepolisian Daerah NTB, Kantor Kepolisian Resort

(Polrest) Mataram sekitar ± 6 KM dan dengan Rumah Sakit Provinsi NTB sekitar

± 7 KM.

Denah Lapas Mataram terdiri dari Bangunan Kantor, Bangunan Blok

Narapidana dan Tahanan Pria, Bangunan Blok Narapidana dan Tahanan Wanita,

Masjid, Pura, Ruang Besukan, Ruang Pendidikan, Bangunan Poliklinik Tower Air

dan Bangunan Gudang, Bangunan Blok Narapidana dan Tahanan Pria berbentuk

huruf liter “U”.

STRUKTUR ORGANISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA MATARAM

KALAPAS

KA. SUBBAG TATA USAHA

KA. KPLP
KA.URUSAN KA. URUSAN
KEP/KEU UMUM

REGU JAGA,
I,II,III,IV
KA. SEKSI KA. SEKSI KA. SEKSI
ADM.KAMTIB BIMKER BINAPI/BINADIK

KA. SUB SEKSI KA. SUBSEKSI


KEAMANAN BIMKER/PENG- KA. SUB SEKSI
EOLAAN REGISTRASI
HASIL KERJA
KA. SUB SEKSI KA. SUB SEKSI
PELAPORAN & KA. SUB SEKSI BIMPAS
TATIB SARANA KERJA PERAWATAN

DOKTER &
JFT
PERAWAT
40

Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Mataram mempunyai fungsi dan

tujuan yakni :

Fungsi :

Menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara

sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota

masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab (Pasal 3 UU No 12 th 1995

tentang Pemasyarakatan).

Tujuan :

1. Membentuk warga binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya,

menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindakan pidana

sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif

berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga

Negara yang baik dan bertanggung jawab.

2. Memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan Negara dalam rangka

memperlancar proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang

pengadilan.

3. Memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan/para pihak perkara serta

keselamatan dan keamanan benda-benda yang disita untuk keperluan barang

bukti pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang

pengadilan serta benda-benda yang dinyatakan dirampas untuk Negara

berdasarkan putusan pengadilan.


41

Tentang lahirnya istilah Lembaga Pemasyarakatan dipilih sesuai dengan visi

dan misi lembaga itu untuk menyiapkan para narapidana kembali ke masyarakat .

Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Mataram mempunyai visi dan misi yakni :

Visi : Pulihnya kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan warga

binaan pemasyarakatan sebagai individu, anggota masyarakatan dan

mahluk Tuhan YME.

Misi : Melaksanakan perawatan tahanan, pembinaan dan pembimbingan warga

binaan pemasyarakatan serta pengelolaan benda sitaan Negara dalam

kerangka penegakkan hukum, pencegahan dan penaggulangan kejahatan

serta pengajuan dan perlindungan hak asasi manusia.

2. Pentingnya Pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Mataram atau yang sering disebut

LAPAS Kelas IIA Mataram adalah Tempat untuk melaksanakan pembinaan

narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Dalam ketentuan Pasal 1 Ayat 1

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan

Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan yakni :

“Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan


kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional,
kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan”. 34

Pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan di dalam LAPAS Kelas

IIA Mataram tidak terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih

34
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999, LN Nomor 68, TLN Nomor
3842 , Pasal 1 Ayat 1.
42

banyak memberikan bekal bagi Narapidana dalam menyongsong kehidupan

setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas). Seperti halnya yang terjadi jauh

sebelumnya, peristilahan Penjara pun telah mengalami perubahan menjadi

pemasyarakatan. Tentang lahirnya istilah Lembaga Pemasyarakatan dipilih sesuai

dengan visi dan misi lembaga itu untuk menyiapkan para narapidana kembali ke

masyarakat. Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu memperbaiki

diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya.

Kegiatan di dalam LAPAS bukan sekedar untuk menghukum atau

menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan

menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana

yang pernah dilakukan.

Dari hasil wawancara peyusun dengan bapak I Gede Ardita Anggota

Petugas KASI BINAPI (Binaan Narapidana) adapun program pembinaan yang

dapat diberikan bagi warga binaan pemasyarakatan yakni : 35

a) Pembinaan Kerohanian
Pembinaan kerohanian bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan
narapidana terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Melalui pembinaan
kerohanian dengan penerapan nilai-nilai agama dan nilai-nilai moral
diharapkan narapidana lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dan dapat
menyadari kesalahan yang telah dilakukannya. Berdasarkan pada tujuan
pemasyarakatan bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam
rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan menjadi manusia
seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi
tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup
secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Sehingga
melalui pembinaan kerohanian diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran
dalam diri narapidana. Narapidana dapat menyadari kesalahannya dan

35
I Gede Ardita, Petugas KASI BINAPI diLAPAS Kelas IIA Mataram, Wawancara,
Selasa, Tanggal 23 Mei 2017
43

kembali ke Fitrahnya menjadi manusia yang lebih baik dan bertakwa


kepada Tuhan. Hal tersebut menjadi salah satu tujuan dari pembinaan
Kerohanian di LAPAS Kelas IIA Mataram seperti yang diungkapkan oleh
bapak I Gede Ardita Anggota Petugas KASI BINAPI, bahwa :
Tujuan dari pembinaan yang dilakukan yaitu menuntun kembali
narapidana agar narapidana dapat menyadari kesalahannya, memperbaiki
dirinya, dan setelah keluar nantinya tidak mengulangi lagi perbuatannya .
Adapun bentuk program pembinaan kerohanian berdasarkan agama yang
dianut yakni diantaranya :

Tabel. I
Agama Kegiatan

Islam  Melaksanakan ibadah sholat lima waktu.


 Sholat Jumat.
 Melaksanakan Puasa Ramadhan
 Melaksanakan Sholat Tarawih
 Tadarausan Al-Quran
 Baca tulis Al-Quran
 Sholat Idul Fitri dan Idul Adha
 Ceramah Islam Mingguan
Kristen  Kegiatan kebaktian
 Natal
 Renungan malam
 Pemahaman Alkitab

Hindu  Karma Yoga


 Puja Tri Sandhya
 Nyepi

b) Pembinaan Kemandirian
Program pembinaan kemandirian yang diberikan pihak LAPAS Kelas IIA
Mataram adalah untuk meningkatkan kepercayaan diri warga binaan agar
dapat berdiri sendiri, tanpa bergantung pada orang lain, siap bersaing
untuk maju, ditandai dengan adanya sikap inisiatif, mampu memecahkan
masalahnya sendiri, dan dapat bertanggung jawab dengan apa yang
dilakukannya. Program pembinaan ini juga bertujuan untuk melatih bakat
dan kemampuan yang dimiliki oleh warga binaan, yang nantinya
diharapkan setelah mendapatkan pelatihan ini warga binaan bisa
menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pembinaan kemandirian diberikan melalui program-program:
1) Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri, misalnya
kerajinan tangan, reparasi mesin dan alat-alat elektronika dan
sebagainya.
44

2) Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil, misalnya


pengelolaan bahan mentah dari sektor pertanian dan bahan alam
menjadi bahan setengah jadi dan jadi (contoh mengelolah rotan
menjadi perabot rumah tangga, pengolahan makanan ringan berikut
pengawetannya.
3) Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masing-
masing. Dalam hal ini bagi mereka yang memiliki bakat tertentu
diusahakan pengembangan bakatnya itu. Misalnya memiliki
kemampuan di bidang seni, maka diusahakan untuk disalurkan ke
perkumpulan-perkumpulan seniman untuk dapat mengembangkan
bakatnya sekaligus mendapatkan nafkah
c) Pembinaan Kesadaran Hukum
Pembinaan kesadaran hukum warga binaan pemasyarakatan dilaksanakan
dengan memberikan penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencapai
kadar kesadaran hukum yang tinggi sehingga sebagai anggota masyarakat,
mereka menyadari hak dan kewajibannya dalam rangka turut menegakkan
hukum dan keadilan, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia,
ketertiban, ketentraman, kepastian hukum dan terbentuknya perilaku setiap
warga negara Indonesia yang taat kepada hukum. Penyuluhan hukum
bertujuan lebih lanjut untuk membentuk keluarga sadar hukum
(KADARKUM) yang dibina selama berada dalam lingkungan pembinaan
maupun setelah berada kembali di tengah-tengah masyarakat. Penyuluhan
hukum diselenggarakan secara langsung yakni penyuluh berhadapan
langsung dengan sasaran yang disuluh dalam Temu Sadar Hukum dan
Sambung Rasa, sehingga dapat bertatap muka langsung, misalnya melalui
ceramah, diskusi, sarasehan, temuwicara, peragaan, dan simulasi hukum.
Metode pendekatan yang diutamakan ialah metode persuasif, edukatif,
komunikatif, dan akomodatif (PEKA).

Dengan demikian jika warga binaan di LAPAS kelak bebas dari

hukuman, mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat dan lingkungannya

dan dapat hidup secara wajar seperti sediakala. Fungsi Pemidanaan tidak lagi

sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu proses rehabilitasi dan

reintegrasi sosial Warga Binaan yang ada di dalam LAPAS Kelas IIA

Mataram.
45

3. Kendala-Kendala yang Dihadapi LAPAS Kelas IIA Mataram Dalam

Melakukan Pembinaan Bagi Warga Binaan Pemasyarakatan.

Lembaga pemasyarakatan merupakan tempat untuk melaksanakan

pengayoman serta pemasyarakatan narapidana, akan tetapi disisi lain Lembaga

Pemasyarakatan memang tidak bisa memberikan suatu jaminan, bahwa warga

binaan yang sudah dibina itu pasti mau mentaati peraturan dan tidak melakukan

kejahatan lagi, serta juga tidak ada jaminan bahwa program yang dilaksanakan

dalam rangka pengayoman serta pemasyarakatan warga binaan pasti membawa

hasil yang memuaskan. Karena pada kenyataannya dalam melaksanakan

pembinaan di LAPAS terdapat faktor-faktor yang mendapat perhatian karena

dapat berfungsi sebagai faktor pendukung dan lebih lagi yang perlu diperhatikan

yakni apabila terdapat sebagai faktor yang menjadi kendala. Munculnya kendala-

kendala tersebut tentunya perlu untuk segera dicari pemecahannya agar dalam

proses pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan dapat dilaksanakan

dengan baik dan lancar.

Dari hasil wawancara peyusun dengan bapak I Gede Ardita Anggota Petugas

KASI BINAPI (Binaan Narapidana), kendala yang dihadapi LAPAS Kelas IIA

Mataram dalam melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan yakni:36

1. Jumlah Personil Petugas

Dari penelitian yang didapatkan penyusun, kurangnya jumlah personil

tenaga petugas juga menjadi salah satu kendala yang dihadapi LAPAS Kelas

36
I Gede Ardita, Petugas KASI BINAPI diLAPAS Kelas IIA Mataram, Wawancara,
Selasa, Tanggal 23 Mei 2017
46

IIA Mataram pada saat ini, karena jumlah petugas LAPAS Kelas IIA Mataram

hanya berjumlah 104 orang, yang terdiri dari :

Tabel. II
Jumlah Pejabat di LAPAS Mataram
No Pejabat Total
1. Pejabat Struktural 14
2. Pejabat Fungsional Tertentu 6
3. Petugas Staf 56
4. Petugas Pengamanan 28
5. Jumlah 104
Sumber : Profil LAPAS

Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa jumlah petugas LAPAS Kelas

IIA Mataram adalah 104 orang, sedangkan jumlah warga binaan

pemasyarakatan mencapai 881 orang, terutama dalam pelaksanaan program

pembinaannya dalam hal ini petugas yang membina warga binaan

pemasyarakatan secara idealnya yaitu 1 (satu) petugas membina 20 (dua puluh)

warga binaan pemasyarakatan, namun pada kenyataannya di lapangan justru 5

(lima) petugas membina 300 (tiga ratus) warga binaan. Jadi sudah jelas

perbandingan yang sangat tidak seimbang antara petugas dan jumlah warga

binaan pemasyarakatan yang harus diawasi.

Untuk sistem keamanannya petugas yang bertugas untuk menjaga

keamanan dan ketertiban LAPAS Kelas IIA Mataram adalah 28 (dua puluh

delapan) petugas yang dibagi menjadi 2 (dua) kelompok setiap waktu

penjagaan yakni 14 (empat belas) petugas di waktu pagi dan 14 (empat belas)

petugas diwaktu malam, sedangkan jadwal pengawasan yaitu untuk waktu pagi

pukul 07:00 sampai 18:00 dan untuk pengawasan malam yaitu pukul 18:00

sampai 07:00 pagi, sehingga perhatian lebih ditumpuhkan pada bidang


47

keamanan dan ketertiban. Keadaan seperti ini sudah tentu merupakan kendala

terbesar bagi LAPAS Kelas IIA Mataram untuk mencegah warga binaan

pemasyarakatan agar tidak melakukan pelanggaran. Kurang atau minimnya

petugas keamanan yakni yang hanya berjumlah 28 orang yang mengakibatkan

petugas perkantoran atau staf yang dalam hal ini yang bekerja dibagian

diperkantoran atau staf bagian tata usaha, staf kepegawaian dan keuangan

diperbantukan dibidang keamanan. Dari kurangnya jumlah personil petugas

perlu sekiranya dilakukan upaya yang tepat yakni misalnya untuk memberikan

penambahan kouta yang lebih banyak lagi untuk mengretkutmen calon

pegawai negeri sipil terutama diwilayah Nusa Tenggara Barat ini apalagi

dikhususkan dibidang pemasyarakatan yakni di LAPAS Kelas IIA Mataram.

2. Anggaran Dana

Anggaran dana merupakan faktor yang menunjang untuk pelaksanaan

pembinaan warga binaan pemasyarakatan, dalam pelaksanaannya maka

dibutuhkan peralatan dan bahan-bahan. Sebab program pembinaan tidak hanya

1(satu) macam saja melainkan banyak macamnya sesuai dengan bidang minat

maupun pekerjaan atau keterampilan yang mungkin diperlukan untuk

kebutuhan dan kepentingan bagi narapidana setelah mereka keluar dari

LAPAS. Anggaran tersebut yang kemudian menjadi pembiayaan untuk

kegiatan pembinaan, dan kehidupan keseharian warga binaan selama berada di

LAPAS. adapun kegiatan pembinaan yang membutuhkan anggaran yakni :

a) Pembinaan Kemandirian, yakni dikhususkan anggarannya untuk biaya

keterampilan, misalnya : kerajinan tangan (cukli, ukiran, dan meubleir)


48

yang dalam hal ini biaya untuk membeli bahan dan alat yang

dibutuhkan untuk kegiatan ini masih belum mencukupi.

b) Kegiatan Kerohanian, misalnya untuk kitab-kitab suci setiap agama,

perlengkapan beribadah, dan buku bacaan lainnya. Yang dalam hal ini

dana untuk mempermudah program kegiatan kerohanian sangatlah

sedikit karena sisanya hanya diperbantukan oleh sanak keluarga yang

datang hanya untuk membawakan perlengkapan ibadah saja.

Dari hasil penelitian yang dilakukan penyusun di LAPAS Kelas IIA

Mataram, penyusun mendapatkan data mengenai jumlah anggaran biaya yang

didapatkan LAPAS Mataram untuk program pembinaan warga binaan

pemasyarakatan yakni secara idealnya dana untuk kebutuhan program

pembinaan bagi setiap warga binaan pemasyarakatan dianggarkan

Rp.10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dengan kebutuhan untuk 1 (satu)

pembinaan Rp.15.000 (limabelas ribu rupiah)/hari untuk 1 ( satu) narapidana,

maka untuk 360 (tiga ratus enampuluh) hari saja setiap narapidana

menghabiskan anggaran negara sebesar Rp.5.400.000,- (Lima juta empat ratus

rupiah), dan jika dikalikan dengan jumlah narapidana di LAPAS Kelas IIA

Mataram yakni sebanyak 881 (delapan ratus delapan puluh satu) narapidana,

maka anggaran yang dihabiskan untuk kebutuhan pembinaan bagi seluruh

narapidana mencapai angka Rp.4.757.400.000 (empat miliar tujuh ratus

limapuluh tujuh juta empat ratus ribu rupiah) ini untuk 1(satu) program

pembinaan saja. Namun justru kenyataan dilapangan anggaran yang diperlukan

untuk semua program pembinaan di LAPAS Kelas IIA Mataram adalah


49

Rp.14.272.200.000 (empatbelas miliar dua ratus tujuhpuluh dua juta dua ratus

ribu rupiah), anggaran tersebut sangat kurang dari anggaran dana yang

diberikan oleh pemerintah ke LAPAS Mataram yakni dengan jumlah

kekurangan dana sebesar Rp.4.272.200.000 (empat miliar dua ratus tujuhpuluh

dua juta dua ratus ribu rupiah).

Angka tersebut cukup fantastis untuk memenuhi satu kebutuhan saja,

padahal masih banyak dana yang dibutuhkan bagi para narapidana seperti dana

kesehatan, pendidikan, konsumsi, dan lain-lain. Kurangnya anggaran dana

yang diberikan menjadi salah satu faktor penyebab yang menjadi faktor

penghambat bagi pelaksanaan pembinaan, karena dapat mengakibatkan tidak

berjalan dan tidak terealisasinya semua program pembinaan bagi warga binaan

pemasyarakatan karena sangat minimnya dana yang tersedia untuk berjalannya

kegiatan pembinaan. Bahkan hasil kerja narapidana dari pembinaan kerajinan

tangan hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam pelaksanaan

pembinaan kerajinan dan sebagian diberikan kepada narapidana. Prasarana

maupun sarana yang belum memadai dikarenakan anggaran yang diterima

harus dialokasikan ke hal-hal yang lebih mendesak lainnya. Berdasarkan hasil

wawancara yang dilakukan dengan bapak I Gede Ardita, beliau mengatakan

bahwa: 37

“Anggaran merupakan salah satu faktor penting dalam pembinaan, kita

belum bisa memfasilitasi berbagai kegiatan pembinaan karena anggaran

yang harus disesuaikan, apalagi jumlah narapidana yang overcapasity

37
I Gede Ardita, Petugas KASI BINAPI diLAPAS Kelas IIA Mataram, Wawancara,
Selasa, Tanggal 23 Mei 2017
50

sehingga biayanya harus diperhitungkan pula untuk kepentingan dalam

LAPAS dan kebutuhan narapidana.”

Jadi upaya yang tepat untuk mengatasi anggaran dana tersebut adalah dengan

menggunakan anggaran ke hal-hal yang lebih tepat saja.

3. Dari Segi Warga Binaan Pemasyarakatan

Keberhasilan dari terlaksananya program pembinaan terhadap warga

binaan tidak hanya tergantung dari faktor petugasnya, melainkan juga dapat

berasal dari faktor warga binaan pemasyarakatan itu sendiri juga memegang

peran yang sangat penting. Adapun hambatan-hambatan yang berasal dari

warga binaan pemasyarakatan adalah sebagai berikut :

a. Tidak adanya minat

Keinginan untuk maju merupakan upaya untuk menjadi lebih baik

lagi, namun jika tidak adanya minat maka proses kegiatan dari program

pembinaan jadi terhambat. Menurut Bapak Ketut Suardana Narapidana

LAPAS Kelas IIA Mataram, Tidak adanya minat dari warga binaan itu

sendiri terhadap program pembinaan yang diberikan karena pembinaan

yang diberikan tidak sesuai dengan keinginan warga binaan

pemasyarakatan.

b. Tidak adanya bakat

Dalam hal ini program-progam pembinaan yang diberikan tidak

sesuai dengan kemampuan dari masing-masing warga binaan

pemasyarakatan itu sendiri.


51

c. Watak diri

Kepribadian setiap warga binaan pemasyarakatan berbeda-beda.

Sehingga sulit untuk diperlakuan secara sama semuanya dalam

pembinaan.

d. Kurangnya Kesadaran Hukum

Dalam hal ini warga binaan yang tidak memahami keseluruan aturan

yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Mataram, sehingga

warga binaan banyak melanggar aturan tata tertib yang ada di LAPAS

itu sendiri.

Namun penjelasan yang diberikan bapak I Gede Ardita mengenai

hambatan dari segi warga binaan itu sendiri, dalam hal ini penyusun juga

mendapatkan data penelitian yang dilakukan di LAPAS Mataram dari segi

narapidana itu sendiri mengenai sebab timbulnya hambatan dari narapidana.

Dari hasil wawancara penyusun dengan bapak Ketut Suardana Narapidana

di LAPAS Kelas IIA Mataram, yang menjadi penyebab timbulnya hambatan-

hambatan yang berasal dari warga binaan pemasyarakatan adalah sebagai

berikut :

a. Kurangnya keiinginan narapidana dalam melaksanakan pembinaan, dalam

hal ini ketika dilakukannya program kegiatan pembinaan yang diberikan

LAPAS Kelas IIA Mataram, seharusnya petugas LAPAS memberikan

dorongan dan motivasi dalam meningkatkan minat warga binaan

pemasyarakat. Namun pada kenyataannya dilapangan justru ketika terjadi

keluhan dari setiap narapidana kepada petugas LAPAS Mataram yang


52

dijadikan acuan untuk membuat rasa nyaman dan senang terhadap semua

kegiatan dalam melaksanaan program pembinaan yang diberikan justru

petugas jarang menanggapinya atau direspon secara lama yang

mengakibatkan rasa malas dan enggan mengikuti kegiatan program

pembinaan dengan tepat serta rasa ketipuasan dari narapidana itu sendiri

b. Sulit mengembangkan bakat yang dimiliki, permasalahan dari segi warga

binaan itu sendiri dalam melaksanakan semua program pembinaan karena

hambatanya adalah sulit menyesuaikan bakat yang dimiliki warga binaan

dengan proragram pembinaan yang diberikan LAPAS. Ditambahkan oleh

Bapak Ibrahim, “bahwa untuk bakat yang tidak sesuai misalnya narapidana

memiliki bakat dibidang pertukangan namun diarahkan untuk menciptakan

bakat baru seperti dalam melaksanakan program kerohanian (ceramah,

memimpin sholat) yang pada kenyataan justru bertolakbelakang dengan

kemampuan yang dimiliki warga binaan itu sendiri”. 38

c. Watak diri yang berbeda dari satu narapidana dengan narapidana lainnya,

hambatan ini yang sering terjadi dikarenakan dalam melaksanakan

pembinaan narapidana sering merasa ketidak adilan yang diberikan

petugas untuk setiap narapidana. Padahal sudah jelas ketika ada narapidana

baru masuk dan narapidana yang sudah lama berada di LAPAS seharusnya

ada pembeda sikap yang diberikan seperi bersosialisasi dan berkomunikasi

antara petugas dengan narapidana, namun pada kenyataannya tidak ada

pemberian pembinaan yang secara khusus diberikan bagi setiap

38
Ibrahim, Narapidana diLAPAS Kelas IIA Mataram, Wawancara, Selasa, Tanggal 23
Mei 2017
53

narapidana, karena disinilah narapidana banyak mengalami ketidak adilan

dalam diperlakukan, misalnya untuk jam makan ada yang sekiranya yang

tidak suka makanan tersebut malah disinilah narapidana dipaksa suka atau

tidak suka harus dimakan.

d. Kurangnya pemahaman dari segala bentuk aturan yang diterapkan di

LAPAS Mataram, karena dari sinilah hambatan dari narapidana itu terjadi

misalnya seperti pemberitahuan mengenai aturan yang diinformasikan

melalui pengeras suara yang dilaksanakan sebanyak 3(tiga) kali dalam

seminggu, sedangkan jarak masing-masing sel narapidana dengan tempat

pengeras suara(mikrofon) itu berbeda-berbeda karena ada yang dekat dan

ada juga yang jauh. Jadi berdampak pada sulinya pemahaman mengenai

aturan yang diberikan karena menurut narapidana di LAPAS Mataram

pemberitahuan ini hanya sekedar formalitas saja. Namun menurut bapak

Agus Surya Narapidana di LAPAS Mataram, “seharusnya petugas lebih

secara tegas memberikan upaya penyuluhan hukum untuk menumbuhkan

kesadaran hukum yang tinggi sehingga sebagai warga binaan yang dibina

di LAPAS Mataram supaya menyadari hak dan kewajibannya dalam

rangka menciptakan rasa aman dan ketertiban serta terbentuknya perilaku

pada setiap warga binaan yang taat kepada aturan hukum yang berlaku.

Bentuk upaya memberikan kesadaran hukum ini dapat berupa langsung


54

bertatap muka, misalnya melalui ceramah, diskusi, saraseha, temuwicara,

peragaan, simulasi hukum”. 39

4. Sarana dan Prasarana Pembinaan

Kurangnya peralatan atau fasilitas, baik dalam jumlah dan mutu juga

banyaknya peralatan yang rusak menjadi salah satu faktor penghambat untuk

kelancaran proses pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana, karena dari

semuanya itu tidak tertutup kemungkinan faktor tersebut menjadi penyebab

tidak aman dan tertibnya keadaan di dalam penjara. Bahkan meskipun warga

binaan sudah mempunyai bakat setelah pemberian pembinaan yang diberikan

oleh petugas pembinaan namun belum mampu direalisasikan mengingat sarana

dan prasarana yang tidak mendukung. Seperti yang dikatakan oleh bapak I

Gede Ardita bahwa: 40

“Banyak bakat yang dimiliki oleh narapidana, seperti misalnya

pertukangan, namun sayangnya tempat dan alatnya yang tidak ada.

Sehingga kegiatan pertukangan tidak dapat dilaksanakan secara teratur,

hanya dilaksanakan ketika ada pekerjaan seperti perbaikan atau

pembangunan dalam rutan. Sarana gedung pemasyarakatan ini juga yang

menjadi kendala dalam pembinaan, over kapasitas jumlah warga binaan

dengan jumlah sel-selnya berbeda”.

39
Agus Surya, Narapidana diLAPAS Kelas IIA Mataram, Wawancara, Selasa, Tanggal
23 Mei 2017
40
I Gede Ardita, Petugas KASI BINAPI diLAPAS Kelas IIA Mataram, Wawancara,
Selasa, Tanggal 23 Mei 2017
55

B. Implementasi Hukuman Disiplin Bagi Warga Binaan Pemasyarakatan

Yang Melanggar Tata Tertib di LAPAS Kelas IIA Mataram.

1. Peranan Hukuman Disiplin Dalam Upaya Meningkatkan Rasa Aman

dan Tertib di LAPAS Kelas IIA Mataram.

Sistem pemasyarakatan pada saat ini bertujuan untuk melakukan

pembinaan dan pembimbingan agar warga binaan dan anak didik

pemasyarakatan bisa kembali ketengah masyarakat, hidup dengan layak

bertakwa dan taat kepada hukum serta terciptanya kehidupan sosial yang

damai, aman, dan tentram. Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri merupakan

tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik

pemasyarakatan. Keamanan dan tata tertib merupakan bagian dari

pelaksanaan program-program pembinaan. Oleh karena itu suasana aman dan

tertib di Lembaga Pemasyarakatan perlu diciptakan. Namun untuk menjamin

terselenggaranya tertib kehidupan di Lembaga Pemasyarakatan perlu adanya

tata tertib yang wajib dipatuhi beserta mekanisme penjatuhan hukuman

disiplin oleh setiap Warga Binaan Pemasyarakatan. Peranan hukuman

disiplin di LAPAS Kelas IIA Mataram sangatlah penting karena tidak hanya

untuk menciptakan rasa aman dan tertib di LAPAS tetapi juga agar setiap

narapidana dapat menaati dan mematuhi setiap kewajiban dan larangan di

LAPAS Kelas IIA Mataram.

Adapun kewajiban yang harus ditaati oleh setiap narapidana menurut

ketentuan Pasal 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
56

6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah

Tahanan Negara yakni:41

Setiap Narapidana atau Tahanan wajib :


1. Taat menjalankan ibadah sesuai agama dan/atau kepercayaan
yang dianutnya serta memelihara kerukunan beragama;
2. Mengikuti seluruh kegiatan yang diprogramkan;
3. Patut, taat, dan hormat kepada petugas;
4. Mengenakan pakaian seragam yang telah ditentukan;
5. Memelihara kerapihan dan berpakaian sesuai dengan norma
kesopanan;
6. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan hunian serta
mengikuti kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka
kebersihan lingkungan hunian; dan
7. Mengikuti apel kamar yang dilaksanakan oleh petugas
pemasyarakatan.

Melalui aturan mengenai kewajiban bagi narapidana itu sendiri, tidak

dapat menjamin bahwa apapun yang sudah jelas wajib bagi narapidana taati

malah justru dilanggar ataupun sulit untuk dilaksanakan. Maka dari sinilah

perlu adanya batasan atau larangan yang tidak boleh dilakukan oleh

narapidana dan harus taat pada setiap larangan di LAPAS Kelas IIA

Mataram.

Dalam ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Nomor 6 Tahun 2013, memuat mengenai larangan yang tidak boleh

dilakukan warga binaan pemasyarakatan, yakni:42

Setiap Narapidana atau Tahanan dilarang :

41
Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013
tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, BN Nomor 356,
Pasal 3.
42
Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013
tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, BN Nomor 356, Pasal
4.
57

1. Mempunyai hubungan keuangan dengan Narapidana atau


Tahanan lain maupun dengan Petugas Pemasyarakatan;
2. Melakukan perbuatan asusila dan/atau penyimpangan
seksual;
3. Melakukan upaya melarikan diri atau membantu pelarian;
4. Memasuki Steril Area atau tempat tertentu yang ditetapkan
Kepala Lapas atau Rutan tanpa izin dari Petugas
Pemasyarakatan yang berwenang;
5. Melawan atau menghalangi Petugas Pemasyarakatan dalam
menjalankan tugas;
6. Membawa dan/atau menyimpan uang secara tidak sah dan
barang berharga lainnya;
7. Menyimpan, membuat, membawa, mengedarkan, dan/atau
mengkonsumsi narkotikadan/atau precursor narkotika serta
obat-obatan lain yang berbahaya;
8. Menyimpan, membuat, membawa, mengedarkan, dan/atau
mengkonsumsi minuman yang mengandung alcohol
9. Melengkapi kamar hunian dengan alat pendingin, kipas
angin, televisi, dan/atau alat elektronik lainnya;
10. Memiliki, membawa dan/atau menggunakan alat
elektronik, seperti laptop atau komputer, kamera, alat
perekam, telepon genggam, pager, dan sejenisnya;
11. Melakukan pemasangan instalasi listrik di dalam kamar
hunian;
12. Membuat atau menyimpan senjata api, senjata tajam, atau
sejenisnya;
13. Membawa dan/atau menyimpan barang-barang yang dapat
menimbulkan ledakan dan/atau kebakaran;
14. Melakukan tindakan kekerasan, baik kekerasan fisik
maupun psikis, terhadap sesama Narapidana, Tahanan,
Petugas Pemasyarakatan, atau tamu/pengunjung;
15. Mengeluarkan perkataan yang bersifat provokatif yang
dapat menimbulkan terjadinya gangguan keamanan dan
ketertiban;
16. Membuat tato, memanjangkan rambut bagi Narapidana
atau Tahanan Laki-laki, membuat tindik, mengenakan
anting, atau lainnya yang sejenis;
17. Memasuki blok dan/atau kamar hunian lain tanpa izin
Petugas Pemasyarakatan;
18. Melakukan aktifitas yang dapat mengganggu atau
membahayakan keselamatan pribadi atau Narapidana,
Tahanan, Petugas Pemasyarakatan,pengunjung, atau tamu;
19. Melakukan perusakan terhadap fasilitas Lapas atau Rutan;
20. Melakukan pencurian, pemerasan, perjudian, atau
penipuan;
21. Menyebarkan ajaran sesat; dan
58

22. Melakukan aktifitas lain yang dapat menimbulkan


gangguan keamanan dan ketertiban Lapas atau Rutan.

Dari sekian banyak kewajiban dan larangan mengenai aturan yang

harus ditaati dan dipatuhi oleh setiap narapidana tidak bisa menjamin

bahwa warga binaan yang sudah dibina itu pasti mau menaati peraturan

dan tidak melakukan kejahatan lagi. Permasalahan yang sering timbul

terjadi disebabkan oleh narapidana itu sendiri, karena dalam

pelaksanaannya mereka banyak melanggar dengan cara mencari

kelemahan atau celah dari pihak petugas.

Dari hasil wawancara peyusun dengan bapak Taufik narapidana

diLAPAS Kelas IIA Mataram, yang menjadi penyebab timbulnya

permasalahan yang dihadapi LAPAS Mataram dari narapidana itu sendiri

yang melakukan pelanggaran yakni: 43

1. Adanya permasalah di luar LAPAS


Sering kali permasalahan antar narapidana terjadi karena
disebabkan adanya permasalahan di luar LAPAS Mataram
maksudnya dalam hal ini sebelum narapidana tersebut
melakukan tindak pidana atau sebelum berada di LAPAS
sesungguhnya mereka mempunyai konflik pribadi di
lingkungan masyarakat, sehingga permasalahan selama berada
di lingkungan masyarakat yang narapidana dirasa belum
terselesaikan ketika narapidana tersebut yang berkonflik
bertemu dalam satu sel yang sama di LAPAS Mataram,
narapidana tersebut akan berupaya untuk menyelesaikannya di
dalam LAPAS walaupun aturan mengenai kewajiban dan
larangan yang sudah diberlakukan di LAPAS Mataram bisa
saja narapidana tersebut melanggarnya demi menyelesaikan
permasalahannya. Contoh Permasalahan di luar Lapas yakni
adanya hutang-piutang antar narapidana. Permasalahan utang-
piutang inilah yang merupakan salah satu faktor yang sulit

43
Taufik, Narapidana diLAPAS Kelas IIA Mataram, Wawancara, Kamis, Tanggal 25
Mei 2017
59

disosialisasikan oleh petugas LAPAS itu sendiri yang


menyebabkan permasalahan didalam LAPAS terjadi, karena
permasalahan tersebut dapat terjadi ketika narapidana bertemu
atau berada dalam sel yang sama.
2. Permasalahan dari Narapidana
Permasalahan dari narapidana itu sendiri yang sering kali
terjadi pelanggaran. Pelanggaran yang dilakukan narapidana di
dalam LAPAS Mataram karena faktor kesalahpahaman antara
narapidana satu dengan narapidana yang lain. Ditambahkan
oleh Bapak Mustakim Narapidana di LAPAS Kelas IIA
Mataram, Bentuk kesalahpahaman dari narapidana itu sendiri
yaitu perbedaan pemikiran dan pola perilaku narapidana dalam
kamar sel pembinaan, fasilitas disaat jam mandi dan makan
yang dirasa kurang membuat narapidana saling berebut untuk
mendapatkannya yang berakibat pada perkelahian antar
narapidana. 44
3. Kebutuhan Biologis
Keterbatasan jam kunjungan dan larangan berkomunikasi
dengan keluarga (istri atau kekasih) di luar LAPAS inilah yang
mengharuskan narapidana tersebut melakukan hal-hal yang
dilarang atau sudah diatur di LAPAS Mataram. Kebutuhan
biologis memang sudah biasa bagi setiap orang. Bagi
narapidana kebutuhan biologis sangat sulit dilakukan karena
jauh dari keluarga. Ada kalanya narapidana menyalurkan
kebutuhan biologisnya saat jam kunjungan meskipun
narapidana tersebut sudah mengetahui larangan yang sudah
tertuang didalam Pasal 4 ayat 2 Peraturan Menteri Nomor 6
Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan
Rumah Tahanan Negara yakni:
“Melakukan Perbuatan Asusila dan/atau penyimpangan
seksual”. 45
4. Kebutuhan Khusus
Kebutuhan khusus dari narapidana inilah yang sering
terjadi di LAPAS. Situasi dan tempat yang menjadi
pelaksanaan dalam kebutuhan bagi narapidana tersebut. Tidak
dapat dipungkiri dalam pelaksanaannya narapidana banyak
sekali melanggar aturan demi untuk kepentingan diri sendiri
dengan cara mencari kelemahan pihak petugas untuk
melakukan pelanggaran. Contoh yang penyusun temukan dari
salah satu bentuk penyebab terjadinya pelanggaran yang
dilakukan narapidana yakni mencuri ponsel saat jam

44
Mustakim, Narapidana diLAPAS Kelas IIA Mataram, Wawancara, Kamis, Tanggal 25
Mei 2017
45
Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013
tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, BN Nomor 356, Pasal
4 ayat 2.
60

kunjungan, ponsel tersebut berasal dari pengunjung LAPAS


yang menitipkan ponselnya di tempat penitipan. Dan setelah
diselidiki oleh petugas LAPAS, Penyebab narapidana
melakukan pencurian ponsel yakni untuk kepentingan pribadi
narapidana itu sendiri antara lain : berkomunikasi dengan
keluarga yang sudah lama narapidana tidak mendapatkan
kunjungan atau hilangnya hak kunjungan, melakukan transaksi
jual beli, dan menggunakannya untuk digunakan di social
media (seperti: Facebook, Twitter, WA, dll).
5. Lamanya Masa Hukuman Narapidana
Lamanya masa hukuman yang dijalani narapidana membuat
keinginan dari diri narapidana untuk cepat pulang inilah yang
sangat diimpikan bagi setiap narapidana. Namun dengan
lamanya masa hukuman yang narapidana jalani di LAPAS
Mataram inilah yang membuat narapidana untuk menunda
keinginan karena hukuman yang dijalani dirasa sangatlah
lama. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh narapidana
untuk cepat pulang, baik dengan cara yang tidak baik maupun
cara yang sesuai dengan aturan di LAPAS Mataram. Adapun
contoh yang dapat penyusun berikan dari hasil penelitian yaitu
cara agar supaya narapidana bisa cepat pulang adalah dengan
cara melarikan diri LAPAS Mataram. Cara yang dilakukan
inilah bahwa sudah jelas upaya untuk melarikan diri dan
membantu pelarian merupakan bentuk pelanggaran disiplin
tingkat berat. Dan untuk pemberian hukuman disiplin adalah
memasukkan dalam sel pengasingan selama 6 (enam) hari dan
dapat diperpanjang selama 2 (dua) kali 6 (enam) hari; dam
tidak mendapatkan hak remisi, cuti mengunjungi keluarga, cuti
bersyarat, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan
bersyarat dalam tahun berjalan dan dicatat dalam register F.
Cara ini merupakan cara yang tidak baik untuk dilakukan bagi
setiap narapidana karena menimbulkan dampak kerugian bagi
narapidana itu sendiri. Tapi bila narapidana dalam
pembinaannya selalu mengikuti dan melaksanakan program
pembinaan dengan baik dapat mengajukan cuti mengunjungi
keluarga, cuti bersyarat, asimilasi, cuti menjelang bebas,
pembebasan bersyarat dan mendapatkan remisi.

2. Implementasi Hukuman Disiplin Bagi Warga Binaan Pemasyarakatan

yang Melanggar Tata Tertib di LAPAS Kelas IIA Mataram.

Pengamanan dan penertiban merupakan syarat mutlak untuk

terlaksanannya program-program pembinaan disetiap LAPAS. Oleh


61

karena itu suasana aman dan tertib senantiasa dikondisikan dengan

berbagai cara strategis memantau, menangkal, dan mencegah sedini

mungkin gangguan keamanan dan ketertiban yang timbul baik dalam

maupun dari luar LAPAS. Maka dari itu pihak petugas LAPAS harus

melakukan pengawasan terhadap para narapidana agar tidak terjadinya

pelanggaran tata tertib LAPAS.

Dalam upaya menciptakan kondisi LAPAS yang aman dan tertib,

langkah pengamanan dilakukan berdasarkan atas prinsip mencegah adalah

lebih baik daripada menindak. Petugas pengamanan sedini mungkin

mendeteksi setiap gejala yang menjadi penyebab terjadinya gangguan

keamanan dan ketertiban. Apabila di LAPAS terjadi gangguan keamanan

dan ketertiban, petugas pengamanan segera mengambil langkah

pengamanan dengan berupaya menghentikan kejadian gangguan keamanan

dan ketertiban tersebut. Hukuman disiplin merupakan bentuk penegakkan

disiplin bagi narapidana yang melakukan pelanggaran disiplin. Hukuman

disiplin adalah Hukuman yang dijatuhkan kepada narapidana atau tahanan

sebagai akibat melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib LAPAS

atau RUTAN. Dalam penerapan hukuman disiplin bagi narapidana,

terlebih dahulu harus mengetahui sejauh mana pelanggaran disiplin itu

dilakukan oleh narapidana.

Jenis pelanggaran yang dilakukan oleh tahanan dapat berupa

pelanggaran ringan, sedang dan berat. Jenis-jenis pelanggaran yang

dilakukan oleh narapidana atau tahanan yang diatur dalam Pasal 10 ayat
62

(1), ayat (2), ayat (3) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan

Rumah Tahanan Negara ialah sebagai berikut:46

1. Pelanggaran Tingkat Ringan, mencakup:


d. tidak menjaga kebersihan diri dan lingkungan;
e. meninggalkan blok hunian tanpa izin kepada petugas blok;
f. tidak mengenakan pakaian seragam yang telah ditentukan;
g. tidak mengikuti apel pada waktu yang telah ditentukan;
h. mengenakan anting, kalung, cincin, dan ikat pinggang;
i. melakukan perbuatan atau mengeluarkan perkataan yang
tidak pantas dan melanggar norma kesopanan atau
kesusilaan; dan
j. melakukan tindakan yang berdasarkan pertimbangan
sidang tim pengamat pemasyarakatan termasuk dalam
perbuatan yang dapat dikenakan Hukuman Disiplin tingkat
ringan.
2. Pelanggaran Tingkat Sedang, mencakup:
a. memasuki Steril Area tanpa ijin petugas;
b. membuat tato dan/atau peralatannya, tindik, atau
sejenisnya;
c. melakukan aktifitas yang dapat membahayakan
keselamatan diri sendiri atau orang lain;
d. melakukan perbuatan atau mengeluarkan perkataan yang
tidak pantas yang melanggar norma keagamaan;
e. melakukan aktifitas jual beli atau utang piutang;
f. melakukan perbuatan yang termasuk dalam kategori yang
mendapatkan Hukuman Disiplin tingkat ringan secara
berulang lebih dari 1 (satu) kali; dan
g. melakukan tindakan yang berdasarkan pertimbangan
sidang tim pengamat pemasyarakatan termasuk dalam
perbuatan yang dapat dikenakan Hukuman Disiplin tingkat
sedang.
3. Pelanggaran Tingkat Berat, mencakup:
a. tidak mengikuti program pembinaan yang telah
ditetapkan;
b. mengancam, melawan, atau melakukan penyerangan
terhadap Petugas;
c. membuat atau menyimpan senjata api, senjata tajam, atau
sejenisnya;
d. merusak fasilitas Lapas atau Rutan;

46
Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013,
Berita Negara Republik Indonesia Nomor 356, Pasal 10.
63

e. mengancam, memprovokasi, atau perbuatan lain yang


menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban;
f. memiliki, membawa, atau menggunakan alat komunikasi
atau alat elektronik;
g. membuat, membawa, menyimpan, mengedarkan atau
mengkonsumsi minuman yang mengandung alkohol;
h. membuat, membawa, menyimpan, mengedarkan, atau
mengkonsumsi narkotika dan obat terlarang serta zat
adiktif lainnya;
i. melakukan upaya melarikan diri atau membantu
Narapidana atau Tahanan lain untuk melarikan diri;
j. melakukan tindakan kekerasan terhadap sesama penghuni
maupun petugas;
k. melakukan pemasangan atau menyuruh orang lain
melakukan pemasangan instalasi listrik di dalam kamar
hunian;
l. melengkapi untuk kepentingan pribadi di luar ketentuan
yang berlaku dengan alat pendingin, kipas angin, kompor,
televisi, slot pintu, dan/atau alat elektronik lainnya di
kamar hunian;
m. melakukan perbuatan asusila atau penyimpangan seksual;
n. melakukan pencurian, pemerasan, perjudian, atau
penipuan;
o. menyebarkan ajaran sesat;
p. melakukan perbuatan yang termasuk dalam kategori yang
mendapatkan hukuman disiplin tingkat sedang secara
berulang lebih dari 1 (satu) kali atau perbuatan yang dapat
menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban
berdasarkan penilaian sidang TPP; dan
q. melakukan tindakan yang berdasarkan pertimbangan
sidang TPP termasuk dalam perbuatan yang dapat
dikenakan Hukuman Disiplin tingkat berat.

Penjatuhan hukuman disiplin diberikan ketika narapidana yang patut

diduga melakukan pelanggaran disiplin. Setelah mengetahui pelanggaran yang

dilakukan oleh narapidana maka kemudian hukuman disiplin dapat dijatuhkan

kepada narapidana. Berat ataupun ringannya pemberian hukuman disiplin bagi

narapidana dilihat dari besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan.


64

Dari Ketentuan Pasal 9 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Nomor 6 Tahun 2013, Adapun jenis hukuman disiplin yang bagi narapidana

yang melanggar tata tertib, yakni:47

(1) Hukuman Disiplin tingkat ringan, meliputi :


1. memberikan peringatan secara lisan; dan
2. memberikan peringatan secara tertulis.
(2) Hukuman Disiplin tingkat sedang, meliputi :
1. memasukkan dalam sel pengasingan paling lama 6 (enam)
hari; dan
2. menunda atau meniadakan hak tertentu dalam kurun
waktu tertentu berdasarkan hasil Sidang TPP.
(3) Menunda atau meniadakan hak tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat berupa penundaan waktu
pelaksanaan kunjungan.
(4) Hukuman Disiplin tingkat berat, meliputi:
1. memasukkan dalam sel pengasingan selama 6 (enam) hari
dan dapat diperpanjang selama 2 (dua) kali 6 (enam) hari;
dan
2. tidak mendapatkan hak remisi, cuti mengunjungi keluarga,
cuti bersyarat, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan
pembebasan bersyarat dalam tahun berjalan dan dicatat
dalam register F dan.
(5) Untuk alasan kepentingan keamanan, seorang
Narapidana/Tahanan dapat dimasukkan dalam pengasingan
dan dicatat dalam register H
Dari penelitian yang dilakukan penyusun di Lembaga Pemasyarakatan

Kelas IIA Mataram dapat diketahui dari tahun 2014-2016 ada sekitar 325

orang yang melakukan pelanggaran tata tertib. Sebagaimana tertera di tabel

berikut :

47
Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013
tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, BN Nomor 356, Pasal
9.
65

Tabel. III
Jenis-Jenis Pelanggaran Tata Tertib yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan
Kelas IIA Mataram dari Tahun 2014-2016.
No Jenis-Jenis Pelanggaran Jumlah Pelanggar Hukuman Tahun
1. a. Pelanggaran Tingkat Ringan a.64 orang -Peringatan teguran 2014
b. Pelanggaran Tingkat Sedang b.73 orang -Penundaan waktu
pelaksanaan
kunjungan
c. Pelanggaran Tingkat Berat c. - -
2. a. Pelanggaran Tingkat Ringan a.50 orang -Peringatan teguran 2015
b. Pelanggaran Tingkat Sedang b.47 orang -Penundaan waktu
pelaksanaan
kunjungan
c. Pelanggaran Tingkat Berat c. - -
3. a. Pelanggaran Tingkat Ringan a.65 orang Peringatan teguran 2016
b. Pelanggaran Tingkat Sedang b.24 orang -Penundaan waktu
pelaksanaan
kunjungan
c. Pelanggaran Tingkat Berat c.2 orang -Memasukkan
dalam sel
pengasingan 6 hari
-Dipindahkan ke
LAPAS lain
4. Jumlah 325 Pelanggar 2014-2016

Sumber : Kepala KPLP (Kepala Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan)


Kelas IIA Mataram

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa pelanggaran-pelanggaran

diatas merupakan pelanggaran dengan jenis tingkatan ringan, sedang, dan

berat. Sekaligus menjelaskan hukuman apa saja yang diberikan terhadap

pelanggaran-pelanggaran tata tertib tersebut.

1. Pelanggaran Tingkat Ringan

Dalam hal pelanggaran tingkat ringan yaitu tidak mengenakan

pakaian seragam yang telah ditentukan, memuat hasil wawancara dengan

Mustakim selaku narapidana yang melakukan pelanggaran disiplin tingkat


66

ringan, dia mengatakan hukuman disiplin yang diberikan terhadap

pelanggaran tersebut berupa peringatan teguran. Tidak ada hukuman yang

berat dalam hal pelanggaran tidak mengenakan pakaian seragam yang

telah ditentukan dan biasanya untuk pelanggaran disiplin karena tidak

memakai seragam biasanya faktor penyebabnya adalah karena adanya

kelalaian dari narapidana itu sendiri dan biasanya pelanggaran tersebut

terjadi dikarenakan menurutnya ada rasa malu saat memakai pakaian

seragam karena pakaian tersebut ada yang kurang layak dipakai seperti

robek, berlubang dan sudah using atau kotor.48

Mengenai hukuman yang diterapkan terhadap pelanggaran tersebut

sudah sesuai dengan undang-undang. Sehingga setiap narapidana dituntun

untuk selalu mematuhi segala aturan LAPAS seperti memakai pakaian

seragam.

2. Pelanggaran Tingkat Sedang

Pelanggaran tingkat sedang yaitu pelanggaran melakukan

perbuatan atau mengeluarkan perkataan yang tidak pantas dan melanggar

norma kesopanan atau kesusilaan dan penerapan hukuman disiplin yang

diberikan berupa peringatan teguran dan tertulis yang tercatat dibuku

keamanan LAPAS. Menurut Jumasih Kepala Pengamanan Lembaga

Pemasyarakatan Kelas IIA Mataram, Selama aktifitas perbuatan atau

mengeluarkan perkataan yang tidak pantas dan melanggar norma

kesopanan atau kesusilaan maka pelanggaran tersebut dikategorikan ke


48
Mustakim, Narapidana yang Melanggar Tata Tertib diLAPAS Kelas IIA Mataram,
Wawancara, Rabu Tanggal 24 Mei 2017
67

dalam pelanggaran ringan. Apabila narapidana tersebut mengulangi

pelanggaran yang sama maka narapidana tersebut akan diberikan hukuman

disiplin berupa memasukkan penundaan waktu pelaksanaan kunjungan.49

Sedangkan untuk pelanggaran tata tertib yang dilakukan

narapidana memuat hasil wawancara penyusun dengan bapak Benny

Triani Narapidana di LAPAS Kelas IIA Mataram, menurutnya bahwa

untuk pelanggaran mengeluarkan perkataan yang tidak pantas ini

disebabkan karena adanya faktor kesalahpaham baik dari segi naripadana

satu dengan narapidana yang lain maupun dari segi narapidana dengan

petugas LAPAS Mataram. Jadi dalam upaya menangani kasus tersebut

setidaknya petugas harus segera mengambil langkah cepat dalam

menyelesaikan hal tersebut supaya nanti harapannya agar nantinya hal

tersebut jangan sampai berakibat lebih jauh lagi pelanggaran tata tertib

yang dilakukan narapidana masuk dalam kategori pelanggaran disiplin

tingkat berat. 50

3. Pelanggaran tingkat berat

Dalam penerapan hukuman disiplin dalam hal pelanggaran

melakukan tindakan kekerasan terhadap sesama penghuni maupun

petugas, itu merupakan pelanggaran tingkat berat dan hukuman disiplin

49
Jumasih, Kepala KPLP diLAPAS Kelas IIA Mataram, Wawancara, Rabu Tanggal 24
Mei 2017
50
Benny Triani, Narapidana yang Melanggar Tata Tertib diLAPAS Kelas IIA Mataram,
Wawancara, Rabu Tanggal 24 Mei 2017
68

terhadap pelanggaran tersebut yaitu memasukkan ke dalam sel

pengasingan selama paling lama 6 hari. 51

Dalam penerapan hukuman disiplin terhadap pelanggaran

melakukan tindakan kekerasan terhadap sesama penghuni maupun petugas

apabila dalam melakukan pelanggaran tersebut sampai menyebabkan

narapidana lain atau petugas pemasyarakatan luka berat, maka di dalam

Pasal 17 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6

Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah

Tahanan Negara, yakni:

“Dalam hal pelanggaran yang dilakukan oleh Narapidana atau


Tahanan diduga tindak pidana, Kepala LAPAS atau Kepala
RUTAN meneruskan kepada instansi yang berwenang”. 52

Jadi sudah jelas bahwa terhadap pelanggaran berat yang

mengandung unsur pidana akan diproses secara hukum. Mengenai

pelanggaran perkelahian yang menyebabkan orang lain luka berat dan

sampai memerlukan perawatan intensif maka pelanggar tersebut bisa

dijerat dengan Pasal 351 Ayat (2) KUHP tentang Penganiayaan, yakni:

“Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah


dikenakan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun”. 53

Selanjutnya mengenai pelanggaran melakukan penggunaan alat

komunikasi (handphone) secara diam-diam yang dilakukan oleh

51
Galung Andip, Kepala KANTIP diLAPAS Kelas IIA Mataram, Wawancara, Rabu
Tanggal 24 Mei 2017
52
Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013
tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, BN Nomor 356, Pasal
17.
53
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 351 Ayat 2.
69

narapidana yang bernama Andika alias AN, setelah dilakukan

penyelidikan oleh pihak petugas keamanan kemudian narapidana tersebut

mengikuti sidang TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan) yang dilakukan

pihak LAPAS Mataram. Dan pihak LAPAS Mataram memberikan

kebijakan tegas sebagai bentuk untuk kepentingan keamanan dan sekaligus

pemberian hukuman disiplin tingkat berat yaitu memindahkan narapidana

Andika alias AN ke LAPAS Selong. Menurut Andika, bahwa penyebab

dilakukannya pelanggaran tersebut karena selama menjalani masa

hukumannya di LAPAS Mataram dia jarang bertemu dengan keluarganya

di Selong dan jarang juga mendapat penerimaan kunjungan oleh pihak

keluarganya yang membuat dirinya merasa jenuh sampai-sampai ingin

melakukan komunikasi dengan keluarganya yang berada di selong dengan

cara menggunakan handphone atau alat komunikasi yang biasanya tamu

kunjungan titipkan handphone di petugas, dari sinilah andika

menggunakan kelengahan petugas untuk melakukan komunikasi dengan

cara diam-diam menggunakan handphone tanpa persetujuan dari pihak

petugas LAPAS Mataram.54

Menurut Bapak Gajali petugas KANTIB di LAPAS Kelas IIA

Mataram, dari pihak LAPAS Mataram sendiri akan memberian hukuman

disiplin berupa dipindahkannya ke LAPAS lain merupakan sarana untuk

membuat dirinya lebih baik dalam hal pembinaan. Dalam hal penerapan

hukuman disiplin terhadap pelanggaran-pelanggaran diatas yang harus


54
Andika, Narapidana yang Melanggar Tata Tertib diLAPAS Kelas IIA Mataram,
Wawancara, Rabu Tanggal 24 Mei 2017
70

diperhatikan adalah kondisi narapidana tersebut dan juga harus sesuai

peraturan LAPAS Kelas IIA Mataram. 55

Menurut hasil wawancara dengan Arya Galung Kepala Kantib

LAPAS Kelas IIA Mataram, dalam penerapan hukuman disiplin haruslah

sesuai dengan prosedur tetap hukuman disiplin. Apabila narapidana

melakukan pelanggaran tata tertib, Kepala KPLP (Kepala Pengamanan

Lembaga Pemasyarakatan) meminta bagian administrasi keamanan dan

ketertiban untuk melakukan pemeriksaan dan membuat Berita Acara

Pemeriksaan pelanggaran tata tertib untuk menyampaikan kepada Kepala

LAPAS Mataram yang selanjutnya diserahkan kepada Ketua TPP (Tim

Pengamat Pemasyarakatan) untuk segara disidangkan. TPP kemudian

melakukan persidangan khusus hasil BAP (Berita Acara Pemeriksaan).

Bila dipandang perlu menghadirkan saksi-saksi dan pelaku untuk

memberikan keterangan tambahan yang diperlukan. Kemudian dari hasil

sidang TPP akan diberikan kepada Kepala LAPAS Mataram sebagai bahan

pertimbangan untuk menjatuhkan hukuman disiplin selanjutnya Kepala

LAPAS Mataram menyerahkan kepada Kepala KPLP untuk melaksanakan

hukuman disiplin. Kemudian Kepala KPLP menyerahkan salinan

55
Wawancara Gajali, Petugas KANTIP diLAPAS Kelas IIA Mataram, Wawancara,
Kamis Tanggal 25 Mei 2017
71

keputusan hukuman disiplin yang telah diberi catatan pelaksanaannya

kepada unit pembinaan untuk dicatat dalam salinan register F. 56

Hasil pemeriksaan yang dilakukan pada saat narapidana dalam

proses tindakan dibahas oleh Tim Pengawas Pengamat (TPP) untuk

selanjutnya dijadikan pertimbang Kepala Lapas dalam menjatuhkan

hukuman disiplin. Hukuman disiplin dapat berupa hukuman yang sesuai

dengan ketentuan dari Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan

Rumah Tahanan Negara.

Setiap Narapidana yang melakukan suatu perbuatan yang

dikategorikan sebagai perbuatan yang melanggar disiplin (pelanggar

tingkat berat) akan dicatat kedalam register F. Register F adalah buku

catatan pelanggaran tata tertib di Lembaga Pemasyarakatan. Ketika

pelanggaran disiplin yang dilakukan narapidana dicatat ke dalam register

F, maka hak-hak warga binaan pemasyarakatan tidak diberikan selama

1(satu) tahun semenjak dilakukannya pelanggaran tata tertib tersebut.

Pelanggaran yang tercatat dalam register F merupakan pelanggaran tingkat

berat seperti pelanggaran pencurian alat komunikasi, Pelanggaran

perkelahian atau kerusuhan berat yang mengakibatkan luka-luka yang

cukup serius sehingga membutuhkan perawatan yang intensif.

56
Wawancara Arya Galung, Kepala KANTIP diLAPAS Kelas IIA Mataram,
Wawancara, Kamis Tanggal 25 Mei 2017
72

Penerapan hukuman disiplin merupakan wujud dari pembinaan

LAPAS Kelas IIA Mataram terhadap narapidana yang melakukan

pelanggaran-pelanggaran tata tertib, berbagai upaya telah dilakukan oleh

pihak LAPAS Mataram dalam mencegah narapidana melakukan

pelanggaran tata tertib pencegahan agar tidak terjadi perbuatan

pelanggaran tata tertib dengan memberikan pembinaan kepada narapidana

baik berupa bimbingan kerja dan keterampilan kerja (pembuatan ukir-

ukiran dari kayu, pembuatan cuklik, dan hiasan buah).

Dari hasil wawancara peyusun dengan bapak I Gede Ardita

Anggota Petugas KASI BINAPI (Binaan Narapidana), upaya yang

dilakukan petugas untuk LAPAS Kelas IIA Mataram dalam melakukan

pencegahan ketika terjadi pelanggaran disiplin yang dilakukan warga

binaan pemasyarakatan yakni:57

1) Pengamanan Fisik

Yang dimaksud dengan pengamanan fisik adalah pengamanan baik dari

segi fisik bangunan misalnya membuat batasan-batasan area yang boleh

dimasuki oleh narapidana tertentu maupun dari segi personil keamanan,

pembagiannya adalah :

a) Ring 1 merupakan area terluar LAPAS yang hanya boleh dimasuki

oleh narapidana yang sudah memperoleh kepercayaan saja.

Narapidana ini (TAMPING) diberdayakan untuk bekerja sebagai

cleaning service, office boy, dan lain-lain. Kerja TAMPING yaitu

57
I Gede Ardita, Petugas KASI BINAPI diLAPAS Kelas IIA Mataram, Wawancara,
Kamis, Tanggal 25 Mei 2017
73

pekerjaan yang dilakukan oleh warga binaan pemasyarakatan untuk

LAPAS, yang telah lulus persyaratan dan hukumannya narapidana

kurang 1/3 dari masa hukumannya.

b) Ring 2 yaitu area dimana terdapat fasilitas untuk narapidana seperti

ibadah, klinik, aula, kantin, dan sebagainya. Area ini hanya diakses

oleh narapidana yang berkepentingan saja dan pada waktu-waktu

tertentu.

c) Ring 3 adalah area paling dalam dimana warga binaan

pemasyarakatan menghabiskan sebagian besar waktunya. Di sini

terdapat sel-sel yang terbagi dalam blok-blok.

2) Upaya lainnya dilakukan manakala telah terjadi suatu perbuatan yang

melanggar tata tertib misalnya terjadi pencurian alat komunikasi

(handphone). Apabila hal ini terjadi maka secepatnya petugas melakukan

pemeriksaan untuk penanganan lebih lanjut. Tindakan represif lainnya

adalah dengan menerapkan hukuman disiplin kepada narapidana yang

melanggar tata tertib dan dengan menempatkan di sel pengasingan

dengan jangka waktu yang ditentukan dan pemindahan ke LAPAS

berdasarkan hasil rapat dan tim pembuat hukuman disiplin yang ada di

LAPAS.

Peran petugas sangatlah penting untuk menjaga keamanan dan ketertiban

LAPAS Mataram dari gangguan-gangguan yang disebabkan oleh narapidana

serta menegakkan hukum secara tegas dan adil terhadap narapidana yang

melakukan pelanggaran demi terwujudnya tujuan dari pemasyarakatan itu


74

sendiri. Maka dalam hal ini upaya yang dilakukan petugas dalam melakukan

pencegahan ketika terjadi pelanggaran disiplin yang dilakukan warga binaan

pemasyarakatan sudah baik, karena bagaimanapun juga mencegah lebih

daripada mengobati.

Namun dari upaya yang dilakukan petugas dalam melakukan pencegahan

ketika terjadi pelanggaran masih dirasa belum sesuai dengan apa yang

diharapkan narapidana itu sendiri.

Dari hasil wawancara peyusun dengan bapak Iswandi Alias IS

Narapidana LAPAS Kelas IIA Mataram, upaya yang diharapkan dari

narapidana LAPAS Kelas IIA Mataram kepada petugas dalam melakukan

pencegahan ketika terjadi pelanggaran disiplin yang dilakukan warga binaan

pemasyarakatan yakni:58

1. Upaya fisik, maksudnya manakala telah terjadi pelanggaran tata tertib

misalnya terjadi perkelahian antar narapidana satu dengan narapidana yang

lain. Apabila hal ini terjadi maka secepatnya petugas melakukan

penanganan lebih lanjut dengan cara melerai dan menempatkan dalam sel

yang berbeda. Tindakan represif lainnya adalah dengan menerapkan

hukuman disiplin kepada narapidana yang melanggar tata tertib dan

dengan menempatkan di sel pengasingan dengan jangka waktu yang

ditentukan dan pemindahan ke LAPAS untuk kepentingan keamanan dan

pembinaan dari warga binaan itu sendiri.

58
Iswandi, Narapidana diLAPAS Kelas IIA Mataram, Wawancara, Kamis, Tanggal 25
Mei 2017
75

2. Upaya pendekatan atau bersosialisi, dalam hal ini ketika sudah diberikan

hukuman disiplin sebagai akibat telah melakukan pelanggaran tata tertib

yang dilakukan narapidana. menurut Supardi Alias Supar Narapidana

LAPAS Kelas IIA Mataram, petugas haruslah menunjukkan rasa impati

dan simpati terhadap pelanggar tata tertib terlebih lagi bagi narapidana

yang melakukan pelanggaran berat, karena itu juga merupakan cara

pendekatan yang diharapkan agar petugas dapat mengetahui penyebab-

penyebab narapidana melakukan pelanggaran tata tertib dan memberikan

saran yang terbaik sebagai upaya untuk memberikan efek jera dan

memberikan kesadaran bagi narapidana yang melakukan pelanggaran tata

tertib, sehingga selanjutnya agar kedepannya narapidana tersebut dapat

menyadari kesalahannya dan memperbaiki dirinya agar tidak melakukan

pelanggaran tata tertib. 59

59
Supardi, Narapidana diLAPAS Kelas IIA Mataram, Wawancara, Kamis, Tanggal 25
Mei 2017
76

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penyusun

uraikan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Kendala-kendala yang dihadapi LAPAS Kelas IIA Mataram dalam

melakukan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan yang

berimplikasi pada pelanggaran disiplin adalah sebagai berikut : a).

Kurangnya jumlah personil petugas LAPAS Mataram yang

dibandingkan dengan jumlah warga binaan pemasyarakatan yang

melebihi kapasitas dalam melaksanakan program pembinaan yang

mengakibatkan sulitnya pengawasan untuk menjaga keamanan dan

ketertiban di LAPAS Mataram, b). Anggaran dana yang dialokasikan

untuk kegiatan pembinaan dan kebutuhan sehari-hari bagi narapidana

yang masih kurang maksimal untuk menjamin dengan baik semua

pembinaan yang dilakukan, c). Dari segi warga binaan yang tidak ada

minat dan bakat untuk melakukan program pembinaan, serta watak diri

dari setiap narapidana yang berbeda sehingga sulit memberikan

perlakuan yang sama dalam pembinaan, dan kurangnya kesadaran

hukum, d). Sarana dan prasarana yang masih kurang baik dalam jumlah

maupun mutu.

2. Implementasi hukuman disiplin bagi warga binaan pemasyarakatan yang

melanggar tata tertib di LAPAS Kelas IIA Mataram adalah sebagai


77

berikut : a). Untuk pelanggar disiplin tingkat ringan yang dilakukan oleh

narapidana pemberian hukuman disiplinnya berupa Peringatan Teguran,

b). Untuk pelanggaran disiplin tingkat sedang hukuman disiplin yang

diberikan adalah penundaan waktu pelaksanaan kunjungan, dan c).untuk

pelanggaran disiplin tingkat berat bagi narapidana yang diduga

melakukan pelanggaran berat akan dilaksanakan pemeriksaan oleh

petugas, yang kemudian hasil pemeriksaan akan dijadikan bahan

rekomendasi untuk dilaksanakan sidang TPP, dan kemudian dari hasil

sidang TPP tersebut akan diberikan kepada Kepala LAPAS Mataram

sebagai pertimbangan untuk menjatuhkan hukuman disiplin. Untuk

hukuman disiplin yang diberikan dalam pelanggaran tingkat berat ini

yaitu penempatan dalam sel pengasingan selama 6 (enam) hari dan bisa

diperpanjang selama 2 (dua) kali 6 (enam) hari dan untuk kepentingan

keamanan bisa dipindahkan ke LAPAS lain. Dari tahun 2014 sampai

tahun 2016 telah terjadi kasus pelanggaran tata tertib dengan total 325

orang yang melakukan pelanggaran. Dengan sanksi yang diterapkan

berbeda-beda. Pada dasarnya pemberian hukuman disiplin untuk

menjamin situasi keamanan dan ketertiban yang aman dan terkendali

yang nantinya akan berpengaruh pada proses pembinaan warga binaan

dalam LAPAS dan tujuan pembinaan akan tercapai dengan maksimal.


78

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijelaskan,

maka penyusun memberikan saran sebagai berikut :

1. Disarankan kepada LAPAS Kelas IIA Mataram perlu menambah

personil serta meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)

yang ada. Penambahan jumlah personil sangat diperlukan mengingat

tugas utama dari para petugas LAPAS selain memberikan pembinaan

bagi warga binaan yaitu menjaga keamanan dan ketertiban LAPAS.

Peningkatan kualitas SDM dapat dilakukan dengan memberikan

pelatihan dan pendidikan tambahan dengan mendatangan ahli baik dari

para akademik, militer bahkan warga sipil yang mempunyai keahlian

yang berkaitan dengan apa yang diperlukan untuk meningkatkan

kualitas personil yang ada.

2. Disarankan Kepada LAPAS Kelas IIA Mataram agar lebih tegas dalam

menerapkan hukuman disiplin terhadap warga binaan yang melanggar

tata tertib LAPAS dengan aturan yang telah diatur didalam Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013 tentang

Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara

sehingga dapat menimbulkan efek jera kepada warga binaan

pemasyarakatan agar tidak lagi melanggar peraturan tata tertib LAPAS.


79

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Adi Sujatno dan Didin Sudirman, 2008, Pemasyarakatan Mejawab Tantangan


Jaman, (Jakarta: Vetlas Production).

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. 8,


Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 107

Andrisman, Tri, 2011, Hukum Pidana, Bandar Lampung, Universitas Lampung.

Asmarawati, Tina, 2015, Pidana dan Pemidanaan Dalam Sistem Hukum di


Indonesia, Yogyakarta, Deepublish.

Dellyana, Shant, 1988, Konsep Penegakan Hukum, Yogyakarta: Liberty.

Dirjen Pemasyarakatan Departemen Kehakiman RI, 1986, Petunjuk Pelaksanaan


dan Teknis Perawatan Rumah Tahanan Negara, Jakarta.

Dewi, Erna, 2013, Hukum Penitensier Dalam Perspektif, Bandar Lampung,


Penerbit Lembaga Penelitian Universitas Lampung.

Hartanti, Evi, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika.

Kerlinger, Fred N, 1996, Asas-Asas Penelitian Behavioral, Gajah Mada


University Press, Yogyakarta.

Mahrus, Ali, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Cet. II, Jakarta Timur: Sinar
Grafika.

Muhammad Zainal Abidin & I wayan Edy Kurniawan, 2013, Catatan Mahasiswa
Pidana, Indie Publishing, Depok.

M. Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo


Persada.

P P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana yang


Berlaku di Indonesia, Cet. III, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
80

Prasetyo, Teguh, 2011, Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Pers.


Pristiwati, Rita, 2009, “Peranan Pendidikan Agama Islam Bagi Pembinaan
Narapidana (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Kota
Pekalongan)”, Medan : USU.

Priyatno, Dwija, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia,


(Bandung: Refika Aditama).

Priyanto, 2009, Farmakoterapi dan Terminologi Medis, Leskonfi, Depok.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Soekanto, Soerjono, 1982, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. Ke- 4, Jakarta: CV.
Rajawali.

Suryobroto, Baharuddin, 2002, Bunga Rampai Pemasyarakatan, Jakarta, Dirjen


Pemasyarakatan.

B. Peraturan

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
4. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013
tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan
Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
6. Surat Edaran No.KP.10.13/3/1 tertanggal 8 Februari 1965 tentang
Pemasyarakatan Sebagai Proses.

C. Internet

Rommy Pratama, 2009, Sistem Pembinaan Para Narapidana Untuk Pencegahan


Recidivisme, dalam http:/www. sistem-pembinaan-para-narapidana-
untuk.html.

http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemasyarakatan.

Anda mungkin juga menyukai