Ulumul Hadist
Ulumul Hadist
Ulumul Hadist
Disusun Oleh :
A. Pengertian Hadist
Ilmu Hadis atau yang sering diistilahkan dalam bahasa Arab dengan Ulumul
Hadis yang terdiri dari dua kata, yaitu ‘ulum’ dan ‘al-Hadis’. Kata ulum dalam bahasa
Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti ilmu-ilmu, sedangkan al-Hadis dari
segi bahasa mengandung beberapa arti, diantaranya baru, sesuatu yang dibicarakan,
sesuatu yang sedikit dan banyak. Sedangkan menurut istilah Ulama Hadits adalah
“apa yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan,
sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya”. Sedangkan menurut
ahli ushul fiqh, hadis adalah: “perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan
kepada Rasulullah SAW setelah kenabian.” Adapun sebelum kenabian tidak dianggap
sebagai hadis, karena yang dimaksud dengan hadis adalah mengerjakan apa yang
menjadi konsekuensinya. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang
terjadi setelah kenabian. Adapun gabungan kata ulum dan al-Hadis ini melahirkan
istilah yang selanjutnya dijadikan sebagai suatu disiplin ilmu, yaitu Ulumul Hadis
yang memiliki pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadits
Nabi SAW”.
Penggunaan lafaz jamak Ulumul Hadist, setelah mengandung makna mufrad
atau tunggal, yaitu ilmu hadist, karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut
dari maknanya yang pertama – beberapa ilmu yang terpisah – menjadi nama dari
suatu disiplin ilmu yang khusus, yang nama lainnya adalah Mushthalah al-Hadist.1
Ulumul hadits dapat diartikan sebagai ilmu-ilmu yang mempelajari atau
membahas seputar hadits berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW.2
Sedangkan menurut As-Suyuthi dalam Kitab Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib
al-Nawawi, ulumul hadits adalah ilmu yang dijadikan pedoman untuk mengetahui
keadaan sanad dan matan sabih tidaknya suatu hadist. Beliau juga membagi ulumul
hadits menjadi dua macam, yakni riwayah dan dirayah.
Kesimpulan dari saya : Ulumul Hadist ialah, ilmu kehidupan yang berdasarkan
perbuatan dan perkataan Nabi Muhammad SAW yang dijadikan sebagai pedoman
hidup setelah Al-Qur’an.
1
Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag. Ulumul Hadist. Bandung:Tafakur. Hal 94
2
Yahya, Muhammad (2016) Ulumul Hadis : Sebuah Pengantar dan Aplikasinya. Syahadah, Makassar.
B. Sejarah Perkembangan Ulumul Hadist
Pada dasarnya ulumul hadist telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadist di dalam
Islam, terutama setelah Rasul Saw wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun
hadist-hadist Rasul Saw dikarenakan adanya kekhawatiran hadist-hadist tersebut akan hilang
atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadist.mereka
telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu ddalam menerima
hadist, namun mereka belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut.4
Dasar dan landasan periwayatan hadist di dalam Islam dijumpai di dalam Al-Qur’an
dan hadist Rasul Saw.
Di dalam surah al-Hujurat ayat 6, Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman
untuk meneliti dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari orang-orang yang fasik :
Artinya :
“Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka
periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaan ( yang sebenarnya) yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu” (QS. Al-Hujurat [49] : 6)
Di samping itu, Rasul Saw juga mendorong serta menganjurkan para sahabat ddan
yang lainnya yang mendengar atau menerima hadist-hadist beliau untuk menyampaikan atau
meriwayatkannya kepada mereka yang tidak mendengar atau mengetahuinya. Di dalam
sebuah hadistnya Rasul Saw bersabda :
(Semoga) Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar dari kami sesuatu (hadist),
lantas dia menyampaikannya (hadist tersebut) sebagaimana dia dengar, kadang-kadang
orang yang menyampaikan lebih hafal daripada orang yang mendengar. (HR. Al-Tirmidzi)5
Apabila dicermati sikap dan aktifitas para sahabat terhadap hadist Nabi Saw dan
periwayatannya, maka dapat disimpulkan beberapa ketentuan umum yang diberlakukan dan
dipatuhi oleh para sahabat, yaitu :
Ketelitian dan sikap hati-hati para sahabat diikuti pula oleh para ulama hadist yang
datang sesudah mereka, dan sikap tersebut semakin ditingkatkan terutama setelah munculnya
hadist-hadist palsu, yaitu sekitar tahun 41 H, setelah masa pemerintahan Khalifah Ali ra.
Semenjak saat itu mulailah dilakukan penelitian terhadap sanad hadist dengan mempraktikan
ilmu al-Jarrah wa al-Ta’dil, dan sekaligus mulai pulalah al-Jarrah wa al-Ta’dil ini tumbuh
dan berkembang.
Pada abad ke-2 H, ketika hadist telah di bukukan secara resmi atas prakarsa Khalifah
‘Umar bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri, para
ulama yang bertugas dalam menghimpun dan membukukan hadist tersebut menerapkan
ketentuan-ketentuan ilmu hadist yang sudah ada dan berkembang sampai pada masa mereka.
Mereka memperhatikan ketentuan-ketentuan hadist Shahih, demikian juga keadaan para
perawinya. Hal ini terutama karena telah menjadi perubahan yang besar didalam kehidupan
umat Islam, yaitu para penghapal hadist sudah mulai berkurang dan kualitas serta tingkat
kekuatan hapalan terhadap hadist pun sudah semakin menurun karena telah menjadi
6
Ibid hal 104-105
7
Nur al-Din Atr. “al-Madkhal ila ‘ulum al-Hadist.” Hal 8-10
percampuran dan akulturasi antara masyarakat Arab dengan non-Arab menyusul
perkembangan dan perluasan daerah kekuasaan Islam. Kondisi yang demikian memaksa para
ulama hadist untuk semakin berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan riwayat, dan
mereka pun telah merumuskan kaidah-kaidah dalam menentukan kualitas dan macam-macam
hadist. Hanya saja pada masa ini kaidah-kaidah tersebut masih bersifat rumusan yang tidak
tertulis dan hanya disepakati dan diingat oleh para ulama hadist di dalam hati mereka masing-
masing, namun mereka telah menerapkannya ketika melakukan kegiatan perhimpunan dan
pembukuan hadist.8
Pada abad ke-3 H yang dikenal dengan masa keemasan dalam sejarah perkembangan
hadist, mulailah ketentuan-ketentuan dan rumusan kaidah-kaidah hadist ditulis dan
dibukukan, namun masih bersifat parsial. Yahya bin Ma’in (w. 234 H/848 M) menulis
tentang tarikh al-Rijal, (sejarah dan riwayat para perawi hadist), Muhammad bin Sa’ad (w.
230 H/844 M) menulis al-Thabaqat (tingkatan para perawi hadist ), Ahmad bin Hanbal (241
H/855 M) menulis al-An’Ilal (beberapa ketentuan tentang cacat atau kelemahan suatu hadist
atau perawinya), dan lain-lain.
Pada abad ke-4 dan ke-5 Hijriah mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang
membahas tentang ilmu hadist yang bersifat komprehensif, seperti kitab al-Muhaddits al
Fashil byn al-Rawi wa al-Wa’i oleh al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan ibn ‘Abd al-Rahman
ibn al-Khallad al-Ramuharmuzi (w.360 H/971 M), Ma’rifat ‘Ulum al-Hadist oleh Abu ‘Abd
Allah Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Hakim al-Naisaburi (w.405 H/1014 M), al-Mustakhraj
‘ala Ma’rifat ‘Ulum al-Hadist oleh Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abd Allah al-Ashbahani (w.430
H/1038 M), al-Kifayah fi ‘Ulum al-Riwayah oleh Abu Bakar Muhammad ibn ‘Ali ibn Tsabit
al-Khathib al-Baghdadi (w.463 H/1071 M), al-Jami’ li Akhlaq wa adab al-Sami’ oleh al-
Baghdadi (463 H/1071 M). dan lain-lain.9
B.
8
Ibid hal. 10-8
9
Mahmud al-Thahan, Tafsir Mushthalah al-Hadist. Hal 9-10
10
Muhammad Dede Rudliyana, MA. Perkembangan pemikiran Ulumul Hadist dari klasik sampai modern,
Pustaka Setia, 2004 Bandung hlm 109
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Karim
Yahya, Muhammad (2016) Ulumul Hadis : Sebuah Pengantar dan Aplikasinya. Syahadah,
Makassar. ISBN 978-602-5493-15-7
Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag. Ulumul Hadist. Bandung:Tafakur
Dr. H. Ramly Abdul Wahid, MA, Studi Ilmu Hadist, Cita Pustaka Medi, Bandung 2005
Mahmud al-Thahan, Tafsir Mushthalah al-Hadist.
Muhammad Dede Rudliyana, MA. Perkembangan pemikiran Ulumul Hadist dari klasik
sampai modern, Pustaka Setia, 2004 Bandung
2. Istilah-Istilah Yang Terdapat Dalam Ulumul Hadist
2. Mukhadhramin
Kata Mukhadhramin merupakan bentuk jamak (plural) dari kata
Mukhadhram. Pengertiannya adalah orang yang hidup pada masa Jahiliyah dan masa
Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam lalu masuk Islam akan tetapi ia tidak sempat
melihat beliau Shallallahu Alaihi Wassalam.
Menurut pendapat yang shahih, Mukhadhramin dimasukkan ke dalam
kategori kalangan Tabi’in. Jumlah mereka ditaksir sebanyak 20 orang seperti yang
dihitung oleh Imam Muslim. Akan tetapi pendapat yang tepat,bahwa jumlah mereka
11
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh al-Bukhari (Kairo: Dar ar-Raiyan, 1988), jil. VII, h. 5.
12
Ali bin Ahmad vin Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, tth.) , jil. II, h. 86.
13
Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Ishabah ti Tamyiz as-Shahabah, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 1995), jil. I, h.
158
14
DR.H.M. Arief Halim, MA.,Ikhtisar Ilmu Hadis, (Makassar:Program Pasca Sarjan Universitas Muslim
Indonesia,2010), h.104
15
Abushafiyah,Arsipuntuk‘muhadditsin.http://abushafiyah.wordpress.com/category/muhadditsin/28 Maret 2013
lebih dari itu, di antara nama mereka terdapat Abu ‘Utsman an-Nahdi dan al-Aswad
bin Yazid an- Nakha’iy.16
3. Tabi’in
Tabi'in artinya pengikut, adalah orang Islam awal yang masa hidupnya setelah para
Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wassallam dan tidak mengalami masa
hidup bersama Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wassallam. Usianya tentu saja lebih
muda dari Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wassallam bahkan ada yang masih anak-anak
atau remaja pada masa Sahabat masih hidup. Tabi'in disebut juga sebagai murid Sahabat
Nabi shallallahu 'alaihi wassallam. Salah satu contoh tabi’in bernama Muhammad bin
Sirin (wafat th. 110H) 17
4. Al-mutaqoddimun
Yaitu para ulama’ yang hidup pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriah yang telah
menghimpun hadits-hadits Nabi SAW. di dalam kitab 3 mereka yang mereka dapatkan
melalui kunjungan langsung ke guru-guru mereka. Diantara ulama’ Mutaqoddimun yang
telah berhasil menghimpun hadits-hadits Nabi SAW. di antaranya adalah :
a. Imam Ahmad Ibn Hanbal (164 – 241H)
b. Imam Bukhori (194 – 256 H)
c. Imam Muslim (220 – 261 H)
d. Imam Al-Nasa’i (215 – 303 H)
e. Imam Abu Daud (202 – 276 H)
f. Imam Al-Tirmidzi (209 – 269 H)
g. Imam Ibn Majjah (202 – 279 H)18
5. Al-Mutaakhirun
Yaitu para ulama’ hadits yang hidup pada abad ke-4 Hijriah dan seterusnya.
Diantara tokoh-tokoh Muta’akhirun adalah :
a. Imam Al-Hakim (359 – 405 H)
b. Imam Al-Dar al-Quthni (w – 385 H)
c. Imam Ibn Hibban (w – 354 H)
d. Imam al-Thabrani (w – 360H)19
16
BayuSetiawan,BiografiIslam,http://biografiislami.blogspot.com/2012/03/pengertiantabiin.html) 28 Maret
2013
17
Odjat,UlumulHadis,http://salehon.blogspot.com/2010/10/ulumulhadits.html.Makassar 28 Maret 2013.
18
Ibid
19
'UlumalHadis,TahammulwaAdaalHadits,http://stiqulumalhadis.blogspot.com/2012/01/tahamul-wa-adaal-
hadis.html. Kamis, 28Maret 2013.
B. Istilah Dalam Periwayatan
Al-Muktsiruna fi al-Hadis
Yaitu para sahabat yang banyak meriwayatkan hadis yang jumlahnya lebih dari 1000
hadis.Mereka berjumlah 7 orang, yaitu :
a. Abu Hurairah ra, nama aslinya adalah Abdurrahman ibn Shakhruddausi al-Yamani (19
SH-59 H). meriwayatkan hadis sebanyak 5.374 (325 hadis muttafaq alaihi, 93 hadis
riwayat Bukhari, dan 189 hadis riwayat Muslim).
b. Abdullah ibn Umar ibn Khattab ra (10 SH-73 H). meriwayatkan hadis sebanyak 2.630
hadis (170 hadis muttafaq alaihi, 80 hadis riwayat Bukhari, dan 31 hadis riwayat Muslim)
c. Anas ibn Malik ra (10 SH-93 H). meriwayatkan hadis sebanyak 2.286 hadis (168
hadis muttafaq alaihi, 8 hadis riwayat Bukhari, dan 70 hadis riwayat Muslim)
d. ‘Aisyah binti Abu Bakar ra (9 SH-58 H). meriwayatkan hadis sebanyak 2.210 hadis
(174 hadis muttafaq alaihi, 64 hadis riwayat Bukhari, dan 68 hadis riwayat Muslim)
e. Abdullah ibn Abbas ibn Abdul Muthalib ra (3 SH-68 H). meriwayatkan hadis
sebanyak 1.660 hadis (95 hadis muttafaq alaihi, 28 hadis riwayat Bukhari, dan 49 hadis
riwayat Muslim)
f. Jabir ibn Abdullah al-Anshari ra (6 SH-78 H). meriwayatkan hadis sebanyak 1.540
hadis (60 hadis muttafaq alaihi, 16 hadis riwayat Bukhari, dan 126 hadis riwayat Muslim)
g. Sa’d ibn Malik ibn Sannan al-Ansharialias Abu Sa’id al-Khudri (12 SH-74 H).
meriwayatkan hadis sebanyak 1.170 hadis (46 hadis muttafaq alaihi, 16 hadis riwayat
Bukhari, dan 52 hadis riwayat Muslim).
1.Thalib al-Hadis
Yaitu seseorang yang sedang mencari atau mempelajari hadis.
2. Al-Musnid
Yaitu orang yang meriwayatkan hadis dengan menyebutkan sanadnya, baik mengetahui
maupun tidak keadaan sanad tersebut.
3. Al-Muhaddis
Yaitu gelar yang diberikan kepada orang yang telah mahir dalam bidang hadis, baik
riwayah maupun dirayah.
Mereka antara lain; ‘Atha ibn Abi Rabah (w. 105 H), Bakar ibn Muzar ibn Muhammad
ibn Hakim (w. 188 H), Husayn ibn Basyir ibn Abi Hazim Qasim ibn Dunar (w. 188 H),
Ibn Jarir ibn Yasir ibn Kasir alias Abu Ya’la al-Thabari (w. 305 H), dan Muhammad al-
Murtadha al-Zabidi.
4. Al-Hafiz
Yaitu gelar ulama hadis yang kepakarannya berada diatas Al-Muhaddis (mampu
menghafal sejumlah 100.000 hadis lengkap sanad dan matan, sifat-sifat perawi dari segi
jarh maupun ta’dil).
Mereka antara lain; Al-Hafiz Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn ‘Ubaidillah ibn
Abdullah ibn Syihab al-Zuhri (w. 136 H), Al-Hafiz ibn Khaitsan alias Zubair ibn Harb al-
Nasa’iy (w. 334 H), Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban (w. 354 H), Al-Hafiz
Abu al-Fadhl alias Syihabuddin Ahmad ibn Ali ibn Muhammad ibn Muhammad ibn
Hajar Al-Asqalani (w. 852 H), dan Al-Hafiz Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H)
5. Al-Hujjah
Yaitu gelar kepakaran dalam bidang hadis yang lebih tinggi dari Al-Hafiz (mampu
menghafal 300.000 hadis lengkap dengan sanad dan matannya).
Mereka antara lain; Hisyam ibn Urwah ibn Zubair ibn Awwam (w. 164 H), Hisyam ibn
Zakwan al-Bashri (w. 140 H), Basyar ibn Al-Mufadhdhil ibn Lahiq (Guru Imam Ahmad
ibn Hanbal w. 183 H), Muhammad ibn Abdullah ibn Amr (w. 242 H), dan Muhammad
ibn Salamah al-Bazzar (w. 286 H).
6. Al-Hakim
Yaitu gelar kepakaran di bidang hadis yang lebih tinggi dari Al-Hujjah (mampu
menghafal lebih dari 300.000 hadis lengkap sanad dan matannya).
Mereka antara lain; Sufyan al-Tsauri (w. 161 H), Al-Laits ibn Sa’d (w. 175 H), Malik
ibn Anas (w. 179 H), Muhammad ibn Idris al-Syafi’iy (w. 204 H), dan Ahmad ibn Hanbal
(w. 241 H).
b. al-Qira’ah (‘Ardh) yaitu periwayat menghadapkan riwayat hadis kepada gurunya
dengan cara periwayat itu sendiri yang membacanya atau orang lain yang membacakannya
dan ia mendengarkan.
Menggunakan lafal periwayatan (‘ada) : قرأت على فالن وأنا أسمع فأقر به , قرأت على فالن
c. Al-Ijazah yaitu seorang guru memberikan izin kepada seseorang untuk meriwayatkan
hadis yang ada padanya baik secara lisan maupun tertulis.
d. Al-Munawalah yaitu pemberian kitab hadis oleh guru hadis kepada muridnya sambil
berkata : “Ini hadis yang telah saya riwayatkan.”
e. Al-Mukatabah yaitu seorang guru hadis menuliskan hadis yang diriwayatkannya untuk
diberikan kepada orang tertentu.
f. Al-I’lam yaitu seorang guru hadis memberitahukan kepada muridnya hadis atau kitab
hadis yang telah diterimanya dari periwayatnya, tanpa adanya pernyataan agar muridnya
meriwayatkannya kepada orang lain.
g. Al-Washiyyah yaitu seorang periwayat hadis mewasiatkan kitab hadis yang
diriwayatkannya kepada orang lain.
h. Al-Wijadah yaitu seseorang dengan tidak melalui cara al-sama’ atau ijazah,
mendapatkan hadis yang ditulis oleh periwayatnya.20
20
https://akmalazb.blogspot.com/2017/03/istilah-istilah-dalam-ilmu-hadis.html