Adoc - Pub Pembuatan Perangkat Pembelajaran Ipa Berbasis Satu

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN AKHIR

PENERAPAN IPTEKS

Pembuatan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Satua Bali


Sebagai Media Pendidikan Karakter di Gugus V
Kecamatan Gerokgak

Oleh:
Putu Nanci Riastini, S.Pd.,M.Pd. (Ketua)
NIP. 198604272009122003
I Gede Margunayasa, S.Pd.,M.Pd. (Anggota)
NIP. 198504022009121009
Drs. Ndara T Rendra, M.Pd. (Anggota)
NIP. 195709061986031004

Dibiayai dari DIPA Universitas Pendidikan Ganesha


SPK Nomor: 101/UN48.16/PM/2016 tanggal 1 Maret 2016

JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
TAHUN 2016
Edited with the trial version of
Foxit Advanced PDF Editor
To remove this notice, visit:
www.foxitsoftware.com/shopping

HALAMAN PENGESAHAN

1. Judul Program : Pembuatan Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Satua Bali


Sebagai Media Pendidikan Karakter di Gugus V Kecamatan
Gerokgak

2. Ketua Pelaksana :
a. Nama lengkap : Putu Nanci Riastini, S.Pd., M.Pd.
b. Jenis kelamin : Perempuan
c. NIP : 198604272009122003
d. Disiplin ilmu : Pend. IPA SD
e. Pangkat/Gol : Penata /IIIc
f. Jabatan : Lektor
g. Fakultas / jurusan : Ilmu Pendidikan / PGSD
h. Alamat Kantor : Jln. Udayana-Singaraja
i. Telp : (0362) 23950
j. Alamat Rumah : Dusun Pendem, Desa Alasangker, Singaraja
k. Telp : 085737192895

3. Jumlah anggota pelaksana : 2 orang


4. Lokasi Kegiatan :
a. Nama : Guru SD Gugus V
b. Kecamatan : Gerokgak
c. Kabupaten : Buleleng
d. Provinsi : Bali

5. Jumlah biaya kegiatan : Rp. 10.000.000,00


6. Lama Kegiatan : 8 Bulan

Mengetahui, Singaraja, 14 November 2016


Dekan FIP Undiksha Ketua Pelaksana,

Prof. Dr. Ni Ketut Suarni, M.S. Putu Nanci Riastini, S.Pd., M.Pd.
NIP 195703031983032001 NIP 198604272009122003

Mengetahui,
Ketua LPPM Undiksha

Prof. Dr. I Nengah Suandi, M.Hum.


NIP 195612311983031022

i
Kata Pengantar

Puji syukur dihaturkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha
Esa atas limpahan anugrah dan karunia-Nya sehingga laporan akhir program
pengabdian kepada masyarakat dengan judul “Pembuatan Perangkat Pembelajaran IPA
Berbasis Satua Bali Sebagai Media Pendidikan Karakter di Gugus V Kecamatan
Gerokgak” dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Pada kesempatan ini ijinkan kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya terhadap Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Undiksha yang telah
mempercayai program ini untuk dibiayai dan guru-guru KKG Gugus V Kecamatan
Gerokgak yang telah menjadi mitra yang sangat baik bagi terlaksananya program ini.
Dan semua pihak yang telah membantu pelaksanaan program ini.
Tentunya laporan ini masih jauh dari sempurna khususnya mengenai isi yang
kemungkinan besar belum dapat mewakili apa yang telah kami lakukan dalam
pelaksanaan program pengabdian kepada masyarakat di KKG Gugus V Kecamatan
Gerokgak. Oleh karena itu, besar harapan kami adanya saran dan masukan guna
kesempurnaan laporan ini yang nantinya akan dikembangkan menjadi laporan akhir.

Tim pelaksana,

ii
DAFTAR ISI

HalamanPengesahan ......................................................................................... i
Kata Pengantar.................................................................................................. ii
Daftar Isi .......................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
BAB II.METODE PELAKSANAAN ............................................................. 5
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 7
BAB IV. PENUTUP ......................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 12
LAMPIRAN .................................................................................................... 13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

a. Analisis Situasi
Gugus V Kecamatan Gerokgak merupakan salah satu gugus sekolah dasar
yang ada di Kecamatan Gerokgak. Gugus V Kecamatan Gerokgak beranggotakan
beberapa SD yang tersebar di tiga desa berbeda, yaitu Desa Musi, Desa
Penyabangan, dan Desa Banyupoh. Sekolah-sekolah yang ada di desa tersebut,
yaitu: SDN 1 Musi, SDN 2 Musi, SDN 1 Penyabangan, SDN 2 Penyabangan,
SDN 1 Banyupoh, SDN 2 Banyupoh, dan SDN 3 Banyupoh. Jumlah guru di
masing-masing SD tersebut berbeda-beda, tergantung pada jumlah guru kelas
yang ada pada tiap sekolah. Berdasarkan data guru gugus V, jumlah guru di gugus
tersebut adalah 60 orang, dengan jumlah guru laki-laki adalah 27 orang dan guru
perempuan adalah 33 orang. Berdasarkan tingkat pendidikan guru, sebagian besar
guru telah berpendidikan S1 (91,67%) dan sekitar 8,33% guru masih
berpendidikan D2.
Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua Gugus V Kecamatan
Gerokgak, Bapak Putu Buda Ada, S.Pd. pada tanggal 16 September 2015,
diperoleh informasi bahwa guru-guru di Gugus V Kec. Gerokgak belum memiliki
pemahaman yang lebih mendalam mengenai perangkat pembelajaran IPA
terutama pada RPP. Memang guru-guru sudah mampu menerapkan pembelajaran
di kelas, namun secara administratif berkaitan dengan RPP mereka masih
binggung. Diduga faktor yang menyebabkan hal ini terjadi adalah kurangnya
pelatihan atau sosialisasi secara kontinyu mengenai perangkat pembelajaran. Di
awal diterapkan KTSP, memang guru-guru berlatih secara intensif mengenai
perangkat pembelajaran. Akan tetapi, sepanjang perjalanannya mereka tidak
pernah dilatih lagi. Mereka menggunakan RPP yang dibuat oleh kelompok KKG
di Kecamatan Gerokgak pada saat KTSP mulai diberlakukan. RPP yang mereka
gunakan tidak pernah mereka revisi dalam kaitannya dengan isi dan kegiatan
pembelajarannya cenderung sama untuk semua sekolah. Mereka hanya merevisi
tanggal, tahun, sekolah, dan kegiatan RPP dilaksanakan.

1
Di lain pihak, sepanjang perjalanan KTSP, di awal tahun 2010 pemerintah
mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan pendidikan karakter dalam
pembelajaran di RPP dan implementasinya di kelas. Akan tetapi, sosialisasi,
pelatihan atau workshop mengenai hal itu tidak pernah dilakukan oleh pemerintah
terutama di Kecamatan Gerokgak. Mereka hanya mendapat contoh mengenai RPP
berbasis pendidikan karakter dari pengawas mereka. Mereka belum memiliki
pemahaman yang memadai tentang pendidikan karakter. Mereka juga belum
memiliki keterampilan dalam membuat RPP berbasis pendidikan karakter, apalagi
mengimplementasikan di kelas. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui juga
bahwa guru-guru di Gugus V Kecamatan Gerokgak belum pernah dilatih untuk
mengintegrasikan satua Bali sebagai basis pendidikan karakter di sekolah dasar.
Padahal, satua Bali sarat akan nilai-nilai karakter yang sangat berpeluang untuk
mewujudkan pendidikan karakter berbasis budaya lokal.
Berdasarkan wawancara, dipaparkan juga harapan dari ketua Gugus V
Kecamatan Sukasada mengenai adanya kegiatan pengabdian yang dilakukan oleh
Undiksha berkaitan dengan pembuatan perangkat pembelajaran IPA, integrasi
nilai budaya lokal dalam hal ini satua Bali, dan pendidikan karakter. Untuk itu,
solusi yang ditawarkan oleh tim adalah berupa kegiatan Pembuatan Perangkat
Pembelajaran IPA berbasis Satua Bali sebagai Media Pendidikan Karakter di
Gugus V Kecamatan Gerokgak.

b. Identifikasi dan Perumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, permasalahan yang dapat
diidentifikasi dan diprioritaskan untuk ditangani adalah sebagai berikut.
1. Pemahaman yang masih kurang yang dimiliki oleh guru sekolah mitra
mengenai perangkat pembelajaran IPA, terutama bagian kegiatan
pembelajaran.
2. Pemahaman yang masih kurang yang dimiliki oleh guru sekolah mitra
mengenai integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran.
3. Keterampilan guru sekolah mitra yang masih kurang dalam membuat
perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali.

2
4. Guru sekolah mitra belum memiliki keterampilan dalam menerapkan
perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali dalam pembelajaran di
kelas.
Masalah diatas dapat dipecahkan dengan memberikan solusi berupa
kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai
media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak. Dengan demikian
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
 Apakah kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua
Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak
dapat meningkatkan pemahaman guru sekolah mitra mengenai perangkat
pembelajaran IPA?
 Apakah kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua
Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak
dapat meningkatkan pemahaman guru sekolah mitra mengenai integrasi
pendidikan karakter dalam pembelajaran?
 Apakah kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua
Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak
dapat meningkatkan keterampilan guru sekolah mitra dalam membuat
perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali?
 Apakah kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua
Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak
dapat meningkatkan keterampilan guru sekolah mitra dalam menerapkan
perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali dalam pembelajaran di
kelas?

c. Tujuan Kegiatan
Tujuan dari pelaksanaan P2M ini adalah sebagai berikut.
 Untuk meningkatkan pemahaman guru sekolah mitra mengenai perangkat
pembelajaran IPA melalui kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran
IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V
Kecamatan Gerokgak?

3
 Untuk meningkatkan pemahaman guru sekolah mitra mengenai integrasi
pendidikan karakter dalam pembelajaran melalui kegiatan pembuatan
perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan
karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak?
 Untuk meningkatkan keterampilan guru sekolah mitra dalam membuat
perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali melalui kegiatan
pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media
pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak?
 Untuk meningkatkan keterampilan guru sekolah mitra dalam menerapkan
perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali dalam pembelajaran di
kelas melalui kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis
satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V Kecamatan
Gerokgak?

d. Manfaat Kegiatan
Adapun manfaat dari pelaksanaan P2M ini adalah sebagai berikut.
1. Bagi guru, memperoleh tambahan pengetahuan mengenai perangkat
pembelajaran IPA. Di samping itu, guru sekolah mitra memperoleh
informasi mengenai integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran.
Guru sekolah mitra juga memperoleh keterampilan dalam membuat
perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali, serta memiliki
keterampilan dalam menerapkan perangkat pembelajaran IPA berbasis
satua Bali dalam pembelajaran di kelas.
2. Bagi kepala sekolah, memperoleh pengetahuan tambahan mengenai
perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali dalam pendidikan
karakter.
3. Bagi pengawas sekolah, memperoleh pengetahuan tambahan tentang
perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan
karakter, serta dapat berbagi dengan tim mengenai pendidikan karakter.
4. Bagi unit pengelola pendidikan, dapat mengarsip segala hasil kegiatan
yang dilaksanakan yang nantinya dapat dikembangkan di seluruh gugus
yang ada di Kecamatan Gerokgak.

4
BAB II
METODE PELAKSANAAN

a. Waktu dan Tempat


Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat di Gugus V Kecamatan
Gerokgak telah dilaksanakan mulai tanggal 8 April 2016 sampai dengan 29 April
2016. Tempat pelaksanaan kegiatan dilakukan di SDN 2 Banyupoh, Kecamatan
Gerokgak.

b. Metode Pelaksanaan
Untuk mengimplementasikan kegiatan pembuatan perangkat pembelajaran
IPA berbasis satua Bali sebagai media pendidikan karakter di Gugus V
Kecamatan Gerokgak, maka akan diadakan tiga kegiatan inti dengan metode
pelaksanaan sebagai berikut:
1. Seminar mengenai perangkat pembelajaran IPA dan pendidikan karakter.
Seminar ini akan membahas perangkat pembelajaran IPA, terutama bagian
RPP dan integrasi Pendidikan Karakter ke dalam RPP. Seminar ini akan
dihadiri oleh 28 orang guru dari Gugus V Kecamatan Gerokgak dan 2
mahasiswa Jurusan PGSD sebagai peserta seminar. Metode yang
digunakan dalam seminar adalah ceramah, tanya jawab, dan diskusi.
2. Workshop pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua bali.
Workshop ini akan membahas mengenai satua Bali dan integrasi satua
Bali dalam perangkat pembelajaran IPA, terutama bagian RPP dan media
satua Bali. Selain itu, workshop ini akan mengerjakan RPP berbasis satua
Bali. Wokshop ini akan dihadiri oleh 28 orang guru dari Gugus V
Kecamatan Gerokgak dan 2 mahasiswa Jurusan PGSD sebagai peserta
workshop. Metode yang digunakan dalam workshop adalah ceramah,
tanya jawab, diskusi, penugasan, dan kerja kelompok.
3. Pendampingan selama penerapan perangkat di dalam kelas. Setelah
perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali (RPP dan media satua
Bali) selesai dikerjakan, maka tahapan selanjutnya adalah pendampingan
selama penerapan perangkat pembelajaran IPA berbasis satua Bali (RPP

5
dan media satua Bali) di dalam kelas. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan kebiasaan dengan menerapkan metode drill.

Kegiatan pengabdian yang dilakukan terlihat pada bagan berikut.

Kesepakatan Pelatihan

Perizinan pada instansi terkait

Seminar perangkat pembelajaran dan


integrasi pendidikan karakter dalam
pembelajaran

Workshop mengenai pembuatan Perangkat pembelajaran


perangkat pembelajaran IPA berbasis IPA berbasis satua Bali
satua Bali dan video pembelajaran

Pendampingan pembuatan dan Gugus V


pengimplementasian perangkat Kecamatan
pembelajaran IPA berbasis satua Bali Gerokgak Pemahaman, keterampilan
membuat, dan
mengimplementasikan
perangkat pembelajaran
IPA berbasis satua Bali

Gambar 1. Bagan Pelaksanaan Kegiatan

6
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat dengan judul Pembuatan


Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Satua Bali Sebagai Media Pendidikan
Karakter di Gugus V Kecamatan Gerokgak sampai pada bulan Oktober 2016 telah
dilaksanakan sebanyak 100% dari program yang dirancang. Kegiatan-kegiatan
yang telah terlaksana adalah seminar dan workshop pembuatan perangkat
pembelajaran IPA berbasis Satua Bali dan pendampingan pembelajaran.
Pada tahap awal pelaksanaan program, telah dilaksanakan kegiatan berupa
perancangan kegiatan workshop, penyiapan narasumber, sosialisasi dan koordinasi
dengan ketua UPP Kecamatan Gerokgak, sosialisasi dan koordinasi dengan ketua
Gugus V Kecamatan Gerokgak, penentuan jadwal kegiatan bersama mitra,
penyiapan bahan workshop, dan penyiapan lokasi serta sarana prasarana kegiatan.
Kegiatan persiapan dilaksanakan dari tanggal 8 sampai dengan 21 April 2016.
Setelah tahap persiapan, dilaksanakan kegiatan workshop dan pendampingan
sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Kegiatan dilaksanakan di SDN 2
Banyupoh. Masing-masing kegiatan dipaparkan di bawah ini.

a. Seminar perangkat pembelajaran IPA dan Satua Bali


Seminar mengenai perangkat pembelajaran IPA dan Satua Bali
dilaksanakan pada tanggal 22 April 2016. Narasumber dalam kegiatan ini adalah
Bapak I Gede Margunayasa, S.Pd, M.Pd. Kegiatan ini bertujuan untuk membekali
mitra tentang model-model pembelajaran inovatif untuk mata pelajaran IPA dan
media Satua Bali. Respon mitra terhadap kegiatan pelatihan sangat baik. Mereka
antusias berpartisipasi dalam diskusi interaktif mengenai media satua Bali. Dalam
pelaksanaan seminar ini tidak ditemukan kendala yang berarti.

b. Workshop perangkat pembelajaran IPA dan Satua Bali


Workshop pembuatan perangkat pembelajaran IPA berbasis Media Satua
Bali dilaksanakan pada tanggal 23 April 2016. Narasumber dalam kegiatan ini

7
adalah Tim Pelaksanakan P2M yang diketuai oleh Ibu Putu Nanci Riastini,
S.Pd.,M.Pd. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan keterampilan mitra dalam
membuat perangkat pembelajaran IPA berbasis Media Satua Bali. Respon mitra
terhadap kegiatan pelatihan sangat baik. Hal in terlihat dari antusiasme peserta
berpartisipasi dalam diskusi interaktif.

c. Pendampingan penerapan perangkat pembelajaran


Pendampingan penerapan perangkat pembelajaran IPA berbasis Satua Bali
dilaksanakan sebanyak 3 kali, yaitu tanggal 25, 28, dan 29 April 2016. Kegiatan
yang dilaksanakan adalah dua orang guru ditunjuk oleh tim untuk menerapkan
perangkat pembelajaran yang dibuat di kelas yang mereka ampu. Kemudian tim
melaksanakanobservasi untuk melihat keterlaksanaan pembelajarannya. Setelah
itu, diadakan refleksi kembali oleh tim dan guru yang menerapkan pembelajaran.
Dari kegiatan yang dilaksanakan, semuanya berjalan dengan baik dan tidak ada
kendala.

3.2 Pembahasan

Penerapan nilai-nilai karakter dalam kurikulum dapat dilakukan melalui


integrasi dalam mata pelajaran, integrasi dalam muatan lokal, dan integrasi
melalui kegiatan pengembangan diri (Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2011).
Untuk itu, maka penerapan nilai-nilai karakter pada “Satua Bali” juga dapat
dilakukan melalui integrasi dalam mata pelajaran. Integrasi nilai-nilai karakter
dalam mata pelajaran dapat dilakukan melalui pengembangan silabus dan RPP
pada kompetensi yang telah ada sesuai dengan nilai yang akan diterapkan. Supaya
silabus dan RPP yang dikembangkan memuat penerapan nilai-nilai karakter dalam
satua bali, maka langkah-langkah dalam pengembangan silabus adalah:
Menganalisis nilai karakter yang ada pada “Satua Bali” dan menyesuaikan dengan
materi yang ada. Kemudian menganalisis Indikator, baik kata kerjanya maupun
materinya. Penganalisisan pertama menentukan kata kerjanya apakah ranah
kognitif, afiktif, atau psikomotor, kemudian lihat tingkat kesulitannya, kemudian
tentukan nilai karakter apa dan “Satua Bali” mana yang digunakan. Langkah
berikutnya memasukkan nilai karakter dari “Satua Bali” yang terpilih kedalam

8
silabus. Nilai Karakter yang terpilih yang telah dimuat sebelum kegiatan
pembelajaran, satu demi satu secara berangsur dimasukkan kedalam langkah-
langkah proses kegiatan pembelajaran, yang tentunya nilai-nilai karakter yang
sesuai dengan kegiatan pembelajaran siswa, sehingga tercermin pada setiap
langkah kegiatan pembelajaran, baik pada kegiatan exsplorasi, elaborasi maupun
pada kegiatan konfirmasi.
Dalam RPP, “Satua Bali” dapat dimasukkan di kegiatan inti pada tahap
eksplorasi. Pada tahap ini, siswa diberikan “Satua Bali”, kemudian siswa diminta
untuk membacakan sekaligus menghayatinya. Selain itu, guru juga dapat
membacakannya dan siswa menyimaknya. Pada tahap elaborasi, siswa diminta
untuk mendiskusikan secara berkelompok mengenai nilai karakter setiap tokoh
yang ada dalam cerita dan mendiskusikan materi pelajaran yang ada. Pada tahap
konfirmasi, guru mempertegas nilai-nilai karakter yang ada dalam “Satua Bali”,
meminta siswa untuk menceritakannya di depan kelas, dan mengkonfirmasi
materi pelajaran dalam “Satua Bali”, dan menambahkan materi sesuai dengan
kurikulum yang berlaku. Dengan demikian, penerapan “Satua Bali” dalam
pembelajaran dapat melestarikan kebudayaan lokal, menumbuhkan nilai-nilai
karakter siswa, dan sangat berkaitan dengan materi yang ada di kurikulum.
Disamping itu, dengan “Satua Bali”, maka dapat melatih kemampuan membaca
dan kemampuan menyimak siswa.
Ada beberapa faktor perlunya Satua Bali digunakan sebagai media
pembelajaran. Pertama, keberadaan sebuah media pembelajaran, dalam hal ini
Satua Bali, sangat penting bagi keberhasilan proses pembelajaran. Adanya media
pembelajaran membuat materi pelajaran menjadi lebih kontekstual dan
mendorong rasa ingin tahu siswa. Materi yang dimaksud adalah ditinjau dari
ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor. Jika anak mengalami hal-hal yang
bersifat kontekstual dan memiliki rasa ingin tahu tinggi terhadap sesuatu, maka
anak akan belajar secara aktif dan bermakna. Implikasinya adalah pengetahuan
dapat tersimpan dalam long term memory, sikap dapat dibudayakan, dan
keterampilan pun dapat diasah secara tidak langsung. Dengan demikian, media
pembelajaran membuat anak belajar secara kontekstual dan menumbuhkan rasa
ingin tahu siswa sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna. Penjelasan di

9
atas sesuai dengan pendapat Willis (2012), yang menyatakan bahwa manfaat
sebuah media diantaranya menarik minat siswa untuk belajar, siswa memperoleh
gambaran nyata tentang sesuatu, mendorong keingintahuan siswa, dan membuat
siswa riang belajar.
Kedua, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang melibatkan fisik dan
jiwa siswa. Untuk menciptakan terjadinya belajar yang demikian, maka siswa
harus belajar aktif. Belajar aktif yang dimaksud adalah siswa berpikir, berkata,
dan melakukan kegiatan yang dapat membuat mereka memperoleh pengetahuan,
sikap, dan keterampilan. Untuk mewujudkan pembelajaran yang demikian, tidak
bisa hanya dilakukan dengan mendengarkan penjelasan guru. Pembelajaran
tersebut dapat terwujud bila siswa terlibat langsung dalam kegiatan pembelajaran,
termasuk memanipulasi media pembelajaran. Jika hal ini dapat dilakukan, maka
pengetahuan dapat diperoleh dengan benar, sikap dapat diamalkan, dan
keterampilan dapat dikembangkan. Pemaparan tersebut sesuai dengan pendapat
Silberman (2007), yang menyatakan bahwa belajar membutuhkan keterlibatan
mental dan tindakan pelajar itu sendiri. Cara belajar aktiflah yang dapat
mewujudkan belajar tersebut, sehingga belajar dapat dikategorikan belajar yang
sebenarnya dan tahan lama.
Ketiga, pendidikan karakter bukan sekedar sebuah pengaturan
pembelajaran di sekolah. Implementasi pendidikan karakter lebih mengarah pada
transformasi budaya dan perikehidupan sekolah, bukan sekedar menambahkan
materi nilai-nilai karakter dalam kurikulum. Salah satu cara yang dapat dilakukan
adalah dengan bercerita sebagai salah satu cara efektif untuk
mengimplementasikan nilai-nilai karakter bagi anak. Melalui kegiatan seperti ini,
siswa dapat membedakan sikap baik dan buruk dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, implementasi pendidikan karakter dapat
terjadi dengan bantuan cerita. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Lickona
(1991), yang menyatakan bahwa salah satu cara agar pendidikan karakter dapat
berjalan efektif adalah dengan penggunaan cerita dalam pembelajaran.

10
BAB IV
PENUTUP

a. Simpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari pelaksanaan program pengabdian
kepada masyarakat ini adalah:
1. Pelaksanaan program mampu meningkatkan pemahaman guru-guru di
Gugus V Kecamatan Gerokgak tentang perangkat pembelajaran IPA dan
media satua Bali. Di samping itu, guru-guru juga memiliki keterampilan
dalam membuat dan melaksanakan pembelajaran IPA dengan media Satua
Bali.
2. Pelaksanaan program mampu menghasilkan luaran-luaran yang
diharapkan oleh program pengabdian kepada masyarakat ini, antara lain
perangkat pembelajaran IPA dengan media satua bali.

b. Saran
Tingkat partisipasi dan antusiasme peserta dalam program ini sangat
tinggi. Hal ini dapat dijadikan modal dasar dalam kegiatan-kegiatan berikutnya di
tingkat KKG di Gugus V Kecamatan Gerokgak. Dukungan dari segala pihak yang
meliputi dukungan penuh dari kepala UPP, pengawas, dan ketua gugus sangat
baik dan terus dipertahankan sehingga segala kegiatan yang dilaksanakan di
tingkat KKG dapat berjalan dengan baik dan sudah tentu dapat meningkatkan
pemahaman dan keterampilan guru dalam membuat dan melaksanakan
pembelajaran IPA dengan media Satua Bali.

11
DAFTAR PUSTAKA

Baittstich. History Teacher’s Discussion Forum, July 2008.


http://www.schoolhistory.co.uk (diakses tanggal 8 Oktober 2013).
Depdiknas. 2003. Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005, tentang Standar
Nasional Pendidikan, Jakarta.
Depdiknas. 2006. Panduan Pengembangan Pembelajaran IPA Terpadu. Jakarta:
Depdiknas.
Depdiknas. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 41 tahun 2007,
tentang Standar Proses Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah,
Jakarta.
Elkind, David H. dan Sweet, Freddy. How to Do Character Education. Artikel
yang diterbitkan pada bulan September/Oktober 2004
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010.
Kemdiknas. Buku Induk Pembangunan Karakter. Jakarta. 2010.
Lickona, Thomas. Educating for Character. New York: Bantam Book. 1991.
Lickona, Thomas, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect
and Responsibility. New York: Bantam Books, 1992.
Lickona, Tom; Schaps, Eric, dan Lewis, Catherine. Eleven Principles of Effective
Character Education. Character Education Partnership, 2007.
Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Pusat Kurikulum dan
Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian
Pendidikan Nasional. 2011.
Pusat Kurikulum. Jakarta: Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa: Pedoman Sekolah (hal. 9-10). 2009.
Riastini, Putu Nanci & I Gede Margunayasa. Pengaruh Satua Bali terhadap Nilai-
Nilai Karakter Bangsa (Quasi eksperimen pada siswa kelas IV SD Gugus
III Kecamatan Buleleng). Prosiding. Singaraja: Lembaga Penelitian
Undiksha. 2013.
Sairin, Weinata. Pendidikan yang Mendidik. Jakarta: Yudhistira, 2001
Schwartz, Merle J. Effective Character Education. New York: Mc. Graw-Hill
Companies. 2008.
Silberman, Mel. Active Learning; 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Penerjemah:
Sarjuli dkk. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. 2007.

12
LAMPIRAN

13
LAMPIRAN FOTO KEGIATAN
PEMBELAJARAN BERBASIS NILAI KARAKTER
DALAM SATUA BALI

I Gede Margunayasa, Putu Nanci Riastini

PENDAHULUAN
Penanaman nilai-nilai karakter bangsa saat ini menjadi isu utama dunia
pendidikan. Salah satu landasan yang mendukung penanaman nilai karakter adalah
pernyataan pada Pembukaan UUD 1945 alinea 4. Selanjutnya, ditegaskan pula
penanaman nilai karakter dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional. Pada Bab I pasal 1 (1) UU No. 20 Tahun 2003 dinyatakan bahwa

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.

Mengacu pada pernyataan tersebut, pendidikan diamanatkan untuk membentuk manusia


Indonesia yang cerdas dan berakhlak mulia. Artinya, pendidikan tidak hanya difokuskan
pada kegiatan kognitif semata, tetapi juga pembentukan nilai-nilai karakter bagi
generasi muda bangsa. Pendidikan merupakan salah satu strategi dasar dari pembangunan
karakter bangsa yang dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara koheren dengan
beberapa strategi lain. Strategi tersebut mencakup: sosialisasi atau penyadaran,
pemberdayaan, pembudayaan, dan kerjasama seluruh komponen bangsa. Pembangunan
karakter dilakukan dengan pendekatan sistematik dan integratif dengan melibatkan keluarga,
satuan pendidikan, pemerintah, masyarakat sipil, anggota legislatif, media massa, dunia
usaha, dan dunia industri (Sumber: Buku Induk Pembangunan Karakter, 2010).
Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan
pendidikan telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan
tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5)
Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat
Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif,
(14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18)
Tanggung Jawab (Sumber: Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan
Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009:9-10).
Menurut Baittstich (2008) bahwa pembangunan karakter yang efektif dapat
dilakukan dalam lingkungan sekolah yang memungkinkan semua anak menunjukkan
potensi mereka untuk mencapai tujuan yang sangat penting. Artinya, kegiatan-kegiatan
di sekolah, khususnya proses pembelajaran, merupakan cara yang paling efektif untuk
pembangunan karakter. Salah satu cara pembenahan dalam proses pembelajaran untuk
mengembangkan nilai karakter pada anak adalah dengan penggunaan perangkat
pembelajaran yang bersumber pada kebudayaan lokal. Pendapat ini didasarkan pada
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan
Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional. Instruksi ini mengamanatkan tentang
kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk
membentuk daya saing dan karakter bangsa. Sebagai contoh implementasinya, satua
Bali, yang sarat nilai-nilai moral dan nilai-nilai karakter. Penggunaan satua Bali dalam
proses pembelajaran sangat berdampak positif bagi karakter anak. Hal ini dibuktikan
oleh hasil penelitian Riastini dan I Gede Margunayasa (2013), yang menunjukkan
bahwa penggunaan media satua Bali dalam pembelajaran berpengaruh terhadap nilai-
nilai karakter bangsa, khususnya aspek bersahabat/komunikatif, toleransi, disiplin, dan
tanggung jawab.

PEMBAHASAN
Nilai karakter dalam satua bali
Berdasarkan hasil kajian, Satua Bali yang memungkinkan untuk dikembangkan
dalam pembelajaran untuk menumbuhkan nilai-nilai karakter ada sebanyak 20 judul
satua bali. Masing-masing satua memuat nilai-nilai karakter yang beragam dan materi
yang berbeda pula. Hasil analisis satua Bali tampak pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil analisis “Satua Bali”
No Judul Materi yang dikandung
Pengetahuan Nilai karakter
1 I Lutung Teken I  Bentuk tubuh hewan dan fungsinya  Toleransi
Kekua  Buah dan kandungannya  Kejujuran
2 Kambing Takutin  Ciri-ciri mahluk hidup  Kreatif
Macan  Hewan langka  Cermat
3 I Ketimun Mas  Indera pendengaran  Tanggung jawab
 Indera penglihatan  Tolong-menolong
 Hubungan timbal balik antara manusia  Teliti
dengan hewan
 Hewan dan makanannya
4 I Buta Teken I  Indera penglihatan  Kerjasama
Rumpuh  Sistem rangka tubuh  Tulus Iklas
 Jenis makanan  Tolong-menolong
5 I Belog  Ciri-ciri mahluk hidup  Tanggung jawab
 Ciri-ciri khusus mahluk hidup  Cermat
6 I Pengangon Bebek  Cara merawat mahluk hidup  Tanggung jawab
 Sumber daya alam  Cinta kasih
 Kejujuran
7 I Siap selem  Ciri-ciri mahluk hidup  Percaya diri
 Gaya gravitasi  Keiklasan
8 Men Sugih teken  Jenis-jenis sumber daya alam  Keiklasan
Men Tiwas  Teknologi sederhana dan modern  Kejujuran
9 Nang Bangsing  Teknologi sederhana  Kejujuran
teken I Belog  Sumber daya alam hayati  Hati-hati
 Peduli lingkungan
10 Lutung teken Kekua  Ciri-ciri tumbuhan  Peduli lingkungan
memaling isen  Manfaat tumbuhan  Teliti
 Pemanfaatan hewan  Tanggung jawab
11 I Bawang teken i  Air dan manfaatnya  Kesabaran
kesuna  Berbagai jenis benda dan sifatnya  Keiklasan
 Tanggung jawab
12 Anak ririh  Pentingnya matahari bagi kehidupan  Kreatif, Jujur
 Teknologi sederhana dan manfaatnya  Tanggung jawab
13 I Lutung dadi  Sumber bunyi  Disiplin
pecalang  Cahaya dan sifatnya  Tanggung jawab
 Ciri-ciri-khusus mahluk hidup  Kerjasama
 Tolong-menolong
No Judul Materi yang dikandung
Pengetahuan Nilai karakter
14 I Ubuh  Teknologi sederhana  Tekun
 Sumber daya alam dan manfaatnya  Tolong menolong
15 I Lanjana  Sumber daya alam hayati dan non hayati  Peduli
 Ciri-ciri hewan dan makanannya  Kreatif
 Percaya diri
16 I Tuung Kuning  Hubungan sumber daya alam dan  Keiklasan
pekerjaan  Tanggung jawab
 Kandungan bahan makanan
 Pemeliharaan hewan
17 I Belibis Putih  Jenis-jenis makanan dan kandungannya  Kasih sayang
 Ciri-ciri hewan  Tolong menolong
 Proses menanam padi  Kerjasama
 Jenis sumber daya alam hewan yang
dimanfaatkan dan cara pemanfaatannya
18 Men Tingkes  Makanan dan manfaatnya  Tolong menolong
 Sumber daya alam  Kasih sayang
 Peduli lingkungan
19 I Pucung  Jenis-jenis buah  Kejujuran
 Manfaat air  Teliti
 Hewan dan makanannya  Tolong menolong
 Kasih sayang
 Ketulusan
20 Ni Daa Tua  Pemanfaatan tumbuhan  Tidak iri hati
 Hutan dan pemanfaatannya  Peduli lingkungan
 Perdagangan sumber daya alam  Menghargai milik orang
lain

Penerapan nilai karakter dalam pembelajaran


Penerapan nilai-nilai karakter dalam kurikulum dapat dilakukan melalui
integrasi dalam mata pelajaran, integrasi dalam muatan lokal, dan integrasi melalui
kegiatan pengembangan diri (Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2011). Untuk itu, maka
penerapan nilai-nilai karakter pada “Satua Bali” juga dapat dilakukan melalui integrasi
dalam mata pelajaran. Integrasi nilai-nilai karakter dalam mata pelajaran dapat
dilakukan melalui pengembangan silabus dan RPP pada kompetensi yang telah ada
sesuai dengan nilai yang akan diterapkan. Supaya silabus dan RPP yang dikembangkan
memuat penerapan nilai-nilai karakter dalam satua bali, maka langkah-langkah dalam
pengembangan silabus adalah: Menganalisis nilai karakter yang ada pada “Satua Bali”
dan menyesuaikan dengan materi yang ada. Kemudian menganalisis Indikator, baik kata
kerjanya maupun materinya. Penganalisisan pertama menentukan kata kerjanya apakah
ranah kognitif, afiktif, atau psikomotor, kemudian lihat tingkat kesulitannya, kemudian
tentukan nilai karakter apa dan “Satua Bali” mana yang digunakan. Langkah berikutnya
memasukkan nilai karakter dari “Satua Bali” yang terpilih kedalam silabus. Nilai
Karakter yang terpilih yang telah dimuat sebelum kegiatan pembelajaran, satu demi satu
secara berangsur dimasukkan kedalam langkah-langkah proses kegiatan pembelajaran,
yang tentunya nilai-nilai karakter yang sesuai dengan kegiatan pembelajaran siswa,
sehingga tercermin pada setiap langkah kegiatan pembelajaran, baik pada kegiatan
exsplorasi, elaborasi maupun pada kegiatan konfirmasi.
Dalam RPP, “Satua Bali” dapat dimasukkan di kegiatan inti pada tahap
eksplorasi. Pada tahap ini, siswa diberikan “Satua Bali”, kemudian siswa diminta untuk
membacakan sekaligus menghayatinya. Selain itu, guru juga dapat membacakannya dan
siswa menyimaknya. Pada tahap elaborasi, siswa diminta untuk mendiskusikan secara
berkelompok mengenai nilai karakter setiap tokoh yang ada dalam cerita dan
mendiskusikan materi pelajaran yang ada. Pada tahap konfirmasi, guru mempertegas
nilai-nilai karakter yang ada dalam “Satua Bali”, meminta siswa untuk
menceritakannya di depan kelas, dan mengkonfirmasi materi pelajaran dalam “Satua
Bali”, dan menambahkan materi sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Dengan
demikian, penerapan “Satua Bali” dalam pembelajaran dapat melestarikan kebudayaan
lokal, menumbuhkan nilai-nilai karakter siswa, dan sangat berkaitan dengan materi yang
ada di kurikulum. Disamping itu, dengan “Satua Bali”, maka dapat melatih
kemampuan membaca dan kemampuan menyimak siswa.
Ada beberapa faktor perlunya Satua Bali digunakan sebagai media pembelajaran.
Pertama, keberadaan sebuah media pembelajaran, dalam hal ini Satua Bali, sangat
penting bagi keberhasilan proses pembelajaran. Adanya media pembelajaran membuat
materi pelajaran menjadi lebih kontekstual dan mendorong rasa ingin tahu siswa. Materi
yang dimaksud adalah ditinjau dari ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor. Jika
anak mengalami hal-hal yang bersifat kontekstual dan memiliki rasa ingin tahu tinggi
terhadap sesuatu, maka anak akan belajar secara aktif dan bermakna. Implikasinya
adalah pengetahuan dapat tersimpan dalam long term memory, sikap dapat dibudayakan,
dan keterampilan pun dapat diasah secara tidak langsung. Dengan demikian, media
pembelajaran membuat anak belajar secara kontekstual dan menumbuhkan rasa ingin
tahu siswa sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna. Penjelasan di atas sesuai
dengan pendapat Willis (2012), yang menyatakan bahwa manfaat sebuah media
diantaranya menarik minat siswa untuk belajar, siswa memperoleh gambaran nyata
tentang sesuatu, mendorong keingintahuan siswa, dan membuat siswa riang belajar.
Kedua, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang melibatkan fisik dan jiwa siswa.
Untuk menciptakan terjadinya belajar yang demikian, maka siswa harus belajar aktif.
Belajar aktif yang dimaksud adalah siswa berpikir, berkata, dan melakukan kegiatan
yang dapat membuat mereka memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Untuk
mewujudkan pembelajaran yang demikian, tidak bisa hanya dilakukan dengan
mendengarkan penjelasan guru. Pembelajaran tersebut dapat terwujud bila siswa terlibat
langsung dalam kegiatan pembelajaran, termasuk memanipulasi media pembelajaran.
Jika hal ini dapat dilakukan, maka pengetahuan dapat diperoleh dengan benar, sikap
dapat diamalkan, dan keterampilan dapat dikembangkan. Pemaparan tersebut sesuai
dengan pendapat Silberman (2007), yang menyatakan bahwa belajar membutuhkan
keterlibatan mental dan tindakan pelajar itu sendiri. Cara belajar aktiflah yang dapat
mewujudkan belajar tersebut, sehingga belajar dapat dikategorikan belajar yang
sebenarnya dan tahan lama.
Ketiga, pendidikan karakter bukan sekedar sebuah pengaturan pembelajaran di
sekolah. Implementasi pendidikan karakter lebih mengarah pada transformasi budaya
dan perikehidupan sekolah, bukan sekedar menambahkan materi nilai-nilai karakter
dalam kurikulum. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan bercerita sebagai
salah satu cara efektif untuk mengimplementasikan nilai-nilai karakter bagi anak.
Melalui kegiatan seperti ini, siswa dapat membedakan sikap baik dan buruk dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, implementasi
pendidikan karakter dapat terjadi dengan bantuan cerita. Pendapat tersebut sejalan
dengan pendapat Lickona (1991), yang menyatakan bahwa salah satu cara agar
pendidikan karakter dapat berjalan efektif adalah dengan penggunaan cerita dalam
pembelajaran.

SIMPULAN
Satua bali tidak saja berisi nilai karakter, akan tetapi sangat berkaitan dengan
materi kurikulum di sekolah dasar. Begitu juga, Satua bali sangat cocok diterapkan pada
kurikulum 2013 di sekolah dasar. Dalam pembelajaran, “Satua Bali” dapat dimasukkan
di kegiatan inti pada tahap eksplorasi. Pada tahap ini, siswa diberikan “Satua Bali”,
kemudian siswa diminta untuk membacakan sekaligus menghayatinya. Selain itu, guru
juga dapat membacakannya dan siswa menyimaknya. Pada tahap elaborasi, siswa
diminta untuk mendiskusikan secara berkelompok mengenai nilai karakter setiap tokoh
yang ada dalam cerita dan mendiskusikan materi pelajaran yang ada. Pada tahap
konfirmasi, guru mempertegas nilai-nilai karakter yang ada dalam “Satua Bali”,
meminta siswa untuk menceritakannya di depan kelas, dan mengkonfirmasi materi
pelajaran dalam “Satua Bali”, dan menambahkan materi sesuai dengan kurikulum yang
berlaku. Dengan demikian, penerapan “Satua Bali” dalam pembelajaran dapat
melestarikan kebudayaan lokal, menumbuhkan nilai-nilai karakter siswa, dan sangat
berkaitan dengan materi yang ada di kurikulum. Disamping itu, dengan “Satua Bali”,
maka dapat melatih kemampuan membaca dan kemampuan menyimak siswa.

DAFTAR RUJUKAN
Baittstich. History Teacher’s Discussion Forum, July 2008.
http://www.schoolhistory.co.uk (diakses tanggal 8 Oktober 2013).
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010.
Jackson, Paul. The Pop-up Book. Singapore: Anness Publishing Limited. 2000.
Kemdiknas. Buku Induk Pembangunan Karakter. Jakarta. 2010.
Lickona, Thomas. Educating for Character. New York: Bantam Book. 1991.
Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan,
Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional. 2011.
Pusat Kurikulum. Jakarta: Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa: Pedoman Sekolah (hal. 9-10). 2009.
Riastini, Putu Nanci & I Gede Margunayasa. Pengaruh Satua Bali terhadap Nilai-Nilai
Karakter Bangsa (Quasi eksperimen pada siswa kelas IV SD Gugus III
Kecamatan Buleleng). Prosiding. Singaraja: Lembaga Penelitian Undiksha.
2013.
Schwartz, Merle J. Effective Character Education. New York: Mc. Graw-Hill
Companies. 2008.
Silberman, Mel. Active Learning; 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Penerjemah: Sarjuli
dkk. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. 2007.
UU No. 20 Tahun 2003. www.mandikdasmen.depdiknas.go.id (diakses tanggal 20
Agustus 2012).
Willis, Sofyan S. Psikologi Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta. 2012.
Pembelajaran IPA yang Inovatif*

Oleh
I Gede Margunayasa**

* Makalah Disajikan pada Workshop P2M dengan tema: “ Pembuatan Perangkat


Pembelajaran IPA Berbasis Satua Bali Sebagai Media Pendidikan Karakter di
Gugus V Kecamatan Gerokgak”.

** Dosen Jurusan PGSD FIP Undiksha

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS PENDIDIKA GANESHA
SINGARAJA
2016
Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 pasal 29 ayat 2 menyebutkan bahwa pendidik
merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan. Dalam konteks
sistem pendidikan nasional tersebut, seorang pendidik harus memiliki kompetensi untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Agar bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan
profesional, maka guru dituntut memiliki empat kompetensi, yakni kompetensi pedagogik,
kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial (UU Sisdiknas, 2003 & PP
No 19, 2005).
Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir a dikemukakan
bahwa kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang
meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi
hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimilikinya.
Slamet PH (2006) mengatakan kompetensi pedagogik terdiri dari sub kompetensi (1)
berkontribusi dalam pengembangan KTSP yang terkait dengan matapelajaran yang diajarkan; (2)
mengembangkan silabus matapelajaran berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar; (3)
merencanakan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berdasarkan silabus yang telah
dikembangkan; (4) merancang manajemen pembelajaran dan manajemen kelas; (5) melaksanakan
pembelajaran yang pro perubahan (aktif, kreatif, inovatif, eksperimentatif, efektif dan
menyenangkan); (6) menilai hasil belajar peserta didik secara otentik; (7) membimbing peserta
didik dalam berbagai aspek, misalnya pelajaran, kepribadian, bakat, minat dan karir; dan (8)
mengembangkan profesionalisme diri sebagai guru (Sagala, 2009:31-32).
Dalam pandangan tersebut, dapat ditegaskan bahwa kompetensi pedagogik merupakan
kemampuan dalam pengelolaan peserta didik meliputi (1) pemahaman wawasan guru akan landasan
dan filsafat pendidikan; (2) guru mampu memahami potensi dan keberagaman peserta didik,
sehingga dapat didesain strategi pelayanan belajar sesuai keunikan masing-masing peserta didik;(3)
guru mampu mengembangkan kurikulum/ silabus baik dalam bentuk dokumen maupun
implementasi dalam bentuk pengalaman belajar; (4) guru mampu menyusun rencana dan strategi
pembelajaran berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar; (5) mampu melaksanakan
pembelajaran yang mendidik dengan suasana dialogis dan interaktif; (6) mampu melakukan
evaluasi hasil belajar dengan memenuhi prosedur dan standar yang dipersyaratkan; dan (7) mampu
mengembangkan bakat dan minat peserta didik melalui kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler
untuk mengaktualisasikan berbagai otensi yang dimilikinya.
Dengan demikian, tampak bahwa kemampuan pedagogik bagi guru bukanlah hal yang
sederhana, karena kualitas guru harus di atas rata-rata. Kualitas ini dapat dilihat dari aspek
intelektual meliputi aspek (1) logika sebagai pengembangan kognitif mencakup kemampuan
intelektual mengenal lingkungan terdiri atas enam macam yang disusun secara hierarkis dari yang
sederhana sampai yang kompleks. Yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan
penilaian; (2) etika sebagai pengembangan afektif mencakup kemampuan emosional dalam
mengalami dan menghayati sesuatu hal meliputi lima macam kemampuan emosional disusun secara
hierarkis. Yaitu : kesadaran, partisipasi, penghayatan nilai, pengorganisasian nilai dan karakterisasi
diri. dan (3) estetika sebagai pengembangan psikomotorik.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, guru perlu berpikir secara antisipatif dan proaktif.
Guru harus secara terus menerus belajar sebagai upaya melakukan pembaharuan atas ilmu
pengetahuan yang dimilikinya. Salah satu upaya yang dilakukan guru untuk dapat meningkatkan
kompetensi pedagogiknya adalah dengan memahami pembelajaran inovatif dan menerapkannya di
dalam kelas. Dengan demikian, makalah ini akan memaparkan 4 model pembelajaran inovatif
seperti yang diamanatkan dalam K13 yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam menerapkan
pembelajaran inovatif di kelas pembelajaran.

1
PEMBAHASAN
Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran sains dengan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah, selalu
diawali dengan penyajian masalah. Proses pembelajaran dimulai setelah siswa dikonfrontasikan
dengan struktur masalah real, sehingga siswa mengetahui mengapa mereka harus mempelajari
materi ajar tersebut. Informasi-informasi akan mereka kumpulkan dan mereka analisis dari unit-unit
materi ajar yang mereka pelajari dengan tujuan untuk dapat memecahkan masalah yang
dihadapinya. Masalah yang disajikan hendaknya dapat memunculkan konsep-konsep maupun
prinsip-prinsip yang relevan dengan content domain. Melalui model pembelajaran berbasis masalah
para siswa akan belajar bagaimana menggunakan suatu proses interaktif dalam mengevaluasi apa
yang mereka ketahui, mengidentifikasi apa yang perlu mereka ketahui, mengumpulkan informasi,
dan berkolaborasi dalam mengevaluasi suatu hipotesis berdasarkan data yang telah mereka
kumpulkan. Sedangkan, guru lebih berperan sebagai tutor dan fasilitator dalam menggali dan
menemukan hipotesis, serta dalam mengambil kesimpulan.
Terdapat empat penerapan esensial dari model pembelajaran berbasis masalah seperti yang
diurutkan oleh Gallagher et al. (dalam Sadia & Suma, 2006), yaitu sebagai berikut.
1. Pemusatan masalah di sekitar pembelajaran dari konsep-konsep sains yang penting.
2. Memberikan kesempatan bagi pebelajar untuk menguji ide mereka dengan berbagai teori
maupun dengan eksperimen.
3. Memberikan kesempatan kepada siswa mengolah data sebagai bagian dari melatih
metakognitif.
4. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan pemecahan masalah yang
mereka hasilkan, dengan tiap kelompok mempresentasikan laporannya dalam suatu bentuk
diskusi kelas.
Menurut Arends (2004), berbagai pengembangan pembelajaran berdasarkan masalah telah
memberikan model pembelajaran ini memiliki karakteristik sebagai berikut.
1. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pembelajaran berdasarkan masalah tidak hanya
mengorganisasikan di sekitar prisip-prinsip atau kemampuan akademik tertentu namun
mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang dua-duanya secara
sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa.
2. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Pembelajaran berdasarkan masalah mungkin
berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, matematika, ilmu-ilmu sosial), masalah yang
akan diselidiki telah dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa meninjau
masalah itu dari banyak mata pelajaran.
3. Penyelidikan autentik. Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan siswa melakukan
penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka
harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis, dan membuat
ramalan, mengumpulkan dan menganalisa informasi, melakukan eksperimen, membuat
inferensi, dan merumuskan kesimpulan. Metode penyelidikan yang digunakan akan
bergantung kepada masalah yang sedang dipelajari.
4. Menghasilkan produk dan mempresentasikannya. Pembelajaran berdasarkan masalah
menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata yang
menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk
tersebut dapat berupa transkrip debat, laporan, model fisik, video maupun program
komputer. Karya nyata dan peragaan seperti yang akan dijelaskan kemudian, direncanakan
oleh siswa untuk mendemonstrasikan kepada teman-temannya yang lain tentang apa yang
mereka pelajari.
5. Kolaborasi. Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh adanya kerja sama antara satu
siswa dengan siswa yang lainnya, paling tidak secara berpasangan atau dalam kelompok
kecil untuk menyelesaikan permasalahan. Bekerja sama antar siswa akan dapat memberikan
motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan

2
memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog serta untuk mengembangkan
kemampuan sosial dan kemampuan berfikir.
Menurut Barrows (1996) dalam tulisannya yang berjudul Problem-Based Learning in
Medicine and Beyond juga mengemukakan beberapa karakteristik model pembelajaran berbasis
masalah sebagai berikut.
1. Proses pembelajaran bersifat Student-Centered. Melalui bimbingan tutor (guru) siswa harus
bertanggung jawab atas pembelajaran dirinya, mengidentifikasi apa yang mereka perlu
ketahui untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik, mengelola permasalahan, dan
menentukan di mana mereka akan memperoleh informasi (buku teks, jurnal, Internet, dll.).
2. Proses pembelajaran berlangsung dalam kelompok kecil. Setiap kelompok biasanya terdiri
atas 5-8 orang. Anggota kelompok sebaiknya ditukar untuk setiap unit kurikulum lainnya.
Kondisi demikian akan memberi pengalaman praktis kepada siswa untuk bekerja dan belajar
secara lebih intensif dan efektif dalam variasi kelompok yang berbeda.
3. Guru berperan sebagai fasilitator atau pembimbing. Guru tidak berperan sebagai pemberi
ceramah atau pemberi informasi faktual. Peran guru sebagai fasilitator yakni tidak memberi
tahu siswa secara langsung apakah pemikiran siswanya benar atau salah, dan juga tidak
memberi tahu siswa tentang apa yang harus mereka pelajari atau baca. Siswa itu sendirilah
(secara berkelompok) yang mengidentifikasi dan menentukan konsep-konsep atau prinsip-
prinsip apa yang harus mereka pelajari dan mereka pahami agar mampu memecahkan
masalah yang telah disajikan guru pada awal pembelajaran.
4. Permasalahan-permasalahan yang disajikan dalam pembelajaran diorganisasi dalam bentuk
dan fokus tertentu dan merupakan stimulus pembelajaran. Kondisi demikian akan
menantang dan menghadapkan siswa dalam situasi praktis serta akan memotivasi siswa
untuk belajar. Siswa dalam memecahkan masalah tersebut akan merealisasikan apa yang
perlu mereka pelajari dari ilmu-ilmu dasar (basic science), serta akan mengarahkan mereka
untuk mengintegrasikan informasi-informasi dari berbagai disiplin ilmu.
5. Informasi baru diperoleh melalui belajar secara mandiri (self-directed learning). Siswa
diharapkan belajar dari dunia pengetahuan dan mengakumulasikan keahliannya melalui
belajar secara mandiri, serta dapat berbuat seperti praktisi yang sesungguhnya. Selama
proses belajar secara mandiri, siswa bekerja bersama dalam kelompok, berdiskusi,
melakukan komparasi, me-review, serta berdebat tentang apa yang sudah mereka pelajari.
6. Masalah merupakan wahana untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah
klinik. Format permasalahan hendaknya mempresentasikan permasalahan sesuai dengan
dunia realita. Format permasalahan juga harus memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengajukan pertanyan-pertanyaan kepada pasien, melakukan test fisik, test laboratorium,
dan lainnya.
Ada lima tahapan dalam penerapan model pembelajaran berbasis masalah yang diuraikan
oleh Arends (2004), di mana pembelajaran dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan
situasi real dan akhirnya dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Kelima tahapan itu adalah
sebagai berikut.
1. Orientasi siswa pada masalah
Pada saat mulai pembelajaran, guru menyampaikan tujuan pembelajaran secara jelas,
menumbuhkan sikap positif terhadap pelajaran. Guru menyampaikan bahwa tujuan utama
dari pembelajaran adalah tidak untuk mempelajari sejumlah informasi baru, namun lebih
kepada bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadikan
pebelajar yang mandiri. Guru perlu menyajikan masalah dengan hati-hati dengan prosedur
yang jelas untuk melibatkan siswa dalam identifikasi. Hal penting disini adalah orientasi
kepada situasi masalah menentukan tahap untuk penyelidikan selanjutnya. Oleh karena itu,
pada tahap ini presentasi masalah harus menarik minat siswa dan menimbulkan rasa ingin
tahu.

3
2. Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Model pembelajaran berbasis masalah membutuhkan kemampuan kolaborasi di antara siswa
yang nantinya digunakan untuk menyelidiki masalah secara bersama. Oleh karena itu
mereka juga membutuhkan bantuan untuk merencanakan penyelidikan dan tugas-tugas
belajarnya. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar kooperatif juga
berlaku untuk mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok model pembelajaran berbasis
masalah. Intinya disini adalah guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan
tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang akan dipecahkan.
3. Membantu penyelidikan siswa
Pada tahap ini guru mendorong siswa untuk mengumpulkan data-data atau melaksanakan
eksperimen sampai mereka betul-betul memahami dimensi dari masalah tersebut. Tujuannya
agar siswa mengumpulkan cukup informasi untuk membangun ide mereka sendiri. Siswa
akan membutuhkan untuk diajarkan bagaimana menjadi penyelidik yang aktif dan
bagaimana menggunakan metode yang sesuai untuk masalah yang sedang dipelajari. Setelah
siswa mengumpulkan cukup data mereka akan mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk
hipotesis, penjelasan dan pemecahan. Selama tahap ini guru mendorong semua ide dan
menerima sepenuhnya ide tersebut.
4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Pada tahap ini guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan hasil karya yang
akan disajikan. Masing-masing kelompok menyajikan hasil pemecahan masalah yang
diperoleh dalam suatu diskusi. Penyajian hasil karya ini dapat berupa laporan, poster
maupun media-media yang lain.
5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Tahap akhir ini meliputi aktivitas yang dimaksudkan untuk membantu siswa menganalisis
dan mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri dan di samping itu juga untuk
mengevaluasi kemampuan penyelidikan dan kemampuan intelektual yang telah mereka
gunakan.
Model pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan
model pembelajaran yang lain. Beberapa keunggulan dari model pembelajaran berbasis masalah
adalah sebagai berikut.
1. Pembelajaran berbasis masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk memahami isi
pelajaran.
2. Pembelajaran berbasis masalah dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan
kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa.
3. Pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa
4. Pembelajaran berbasis masalah dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan
untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
5. Pembelajaran berbasis masalah dapat membantu siswa mengembangkan pengetahuan
barunya dan bertanggungjawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Di samping itu,
PBL dapat mendorong siswa untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun
proses belajarnya.
6. Pembelajaran berbasis masalah dipandang lebih mengasikkan dan disukai siswa.
7. Pembelajaran berbasis masalah dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir
kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyelesaikan dengan pengetahuan
baru.
8. Pembelajaran berbasis masalah dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengaplikasikan pengetahuan yang telah mereka miliki dalam dunia nyata.
Implementasi model pembelajaran berbasis masalah akan memberikan kontribusi yang cukup
signifikan dalam perbaikan proses belajar mengajar, khususnya dalam menumbuhkembangkan
kemampuan berpikir kritis siswa, baik dalam merumuskan masalah, memberikan argumen,
melakukan deduksi, melakukan induksi, melakukan evaluasi, dan memutuskan serta melaksanakan.

4
Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing
Inkuiri yang dalam bahasa Inggris inquriy, berarti pertanyaan, pemeriksaan atau
penyelidikan. Pembelajaran inkuiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara
maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis,
analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuan dengan penuh percaya diri 1. Lebih
lanjut Kuslan & Stone menyatakan ciri-ciri mengajar dengan inkuiri2 adalah sebagai berikut ini.
 Menggunakan keterampilan proses IPA.
 Waktu tidak menjadi suatu masalah karena tidak ada keharusan untuk menyelesaikan unit
tertentu dalam waktu tertentu.
 Jawaban-jawaban yang dicari tidak diketahui lebih dahulu. Jawaban-jwaban ini tidak
ditemukan dalam buku pelajaran, sebab buku-buku pelajaran dan buku-buku petunjuk yang
dipilih berisi pertanyaan-pertanyaan dan saran-saran untuk menemukan jawaban, bukan
memberi jawaban.
 Siswa berhasrat untuk menemukan pemecahan masalah.
 Proses belajar mengajar lebih berpusat pada pertanyaan “mengapa”, “bagaimana”.
 Suatu masalah yang ditemukan kemudian dipersempit, hingga terlihat pemecahan masalah
tersebut.
 Siswa merumuskan hipotesis untuk membimbing penyelidikan.
 Siswa mengusulkan cara mengumpulkan data dengan melakukan eksperimen, mengadakan
pengamatan,membaca, dan menggunakan sumber-sumber lain.
 Semua usul dinilai bersama. Bila mungkin ditentukan pula asumsi-asumsi, keterbatasan-
keterbatasan dan kesukaran-kesukarannya.
 Para siswa melakukan penelitian secara individual atau kelompok untuk mengumpulkan data
yang diperlukan guna menguji hipotesis.
 Para siswa mengolah data sehingga mereka sampai pada kesimpulan sementara.
Inkuiri adalah bentuk aktivitas yang melibatkan pengamatan, pengajuan pertanyaan,
merujuk pada buku dan sumber-sumber lain, merencanakan penyelidikan, meninjau ulang apa yang
telah diketahui dari bukti-bukti hasil percobaan sederhana menggunakan perangkat-perangkat untuk
mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasi data, pengajuan jawaban, penjelasan dan
perkiraan, serta mengkomunikasikan hasil3.
Lee menyatakan bahwa ”the inquiry-based teaching lays special emphasis on the core
concepts of cognitive and discovery learning and its goal to develop higher-order thinking. In other
words, teachers do not teach everything directly or explicitly. Instead, learners are expected and
encouraged to discover the knowledge, to generate underlined rules based on a series of examples
and counterexamples, and to be able to further apply these rules or knowledge to novel cases and
deal with everyday life situations. The teacher thus becomes the facilitator to assist learners in
exploring and constructing their conceptual system. It is evident that this type of teaching
challenges”4.
Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa pengajaran berbasis inquiri meletakkan penekanan
khusus pada konsep inti dari pembelajaran kognitif dan penemuan dan tujuannya untuk
mengembangkan pemikiran tingkat tinggi. Dengan kata lain, guru tidak mengajarkan segala sesuatu
secara langsung atau eksplisit. Sebaliknya, peserta didik diharapkan dan didorong untuk
menemukan pengetahuan, untuk menghasilkan aturan berdasarkan serangkaian contoh dan untuk

1
Gulo, W, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002).
2
Suastra, I Wayan, Pembelajaran Sains Terkini: Mendekatkan Siswa dengan Lingkungan Alamiah dan Sosial Budaya
(Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha, 2009).
3
Olson, Steve and Horsley, Susan Loucks, Inquiry and The National Science Education Standards, A Guide for
Teaching and Learning (Washington, D.C: National Academy Press, 2000).
4
Lee, Horng-Yi. “Inquiry-based Teaching in Second and Foreign Language Pedagogy”. Journal of Language
Teaching and Research, Vol. 5, No. 6, 2014. Tersedia pada http://ojs.academy
publisher.com/index.php/jltr/article/view/jltr050612361244/10235 (diakses tanggal 16 Nopember 2015).
5
dapat lebih menerapkan aturan ini atau pengetahuan ini untuk kasus baru dan menghadapi situasi
kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, guru menjadi fasilitator untuk membantu peserta didik dalam
mengeksplorasi dan membangun sistem konseptual mereka sehingga pengajaran menjadi
menantang.
Sund and Trowbridge menyatakan bahwa “Inquiry” as a teaching method aimed at finding
out how scientists develop, understand and apply new knowledge of ideas through systematic
questioning, hypothesizing and experimenting which involves discovery rather than verification of
facts ie “search rather than the product”5. Menyatakan bahwa inkuiri merupakan metode
pengajaran yang bertujuan menemukan bagaimana ilmuan mengembangkan, memahami, dan
menerapkan pengetahuan baru dari ide dengan pertanyaan yang sistematis, membuat hipotesis, dan
bereksperimen dengan melibatkan penemuan bukan memverifikasi data.
Joyce & Weil menjelaskan “inquiry training has five phases. The first phase is the student’s
confrotation with the puzzling situation. Phases two and three are the data gathering operations of
verication and experimentation. In these two phases students ask a series of questions to which the
teacher replies yes or no, and they conduct a series of experiments on the enviroment of the
problem situation. In the fourt phases students organize the information they obtained during the
data gathering and try to explain the discrepancy. Finally in phase five, student reflect on the
problem solving strategies they used during the inquiry”6. Joyce & Weil menjelaskan ada lima fase
dari model pelatihan inkuiri. Fase 1 adalah siswa dikonfrontasikan dengan situasi yang acak /
membingungkan. Fase 2 dan 3 adalah pengumpulan data melalui verifikasi dan eksperimen. Dalam
kedua fase ini siswa menanyakan serangkaian pertanyaan ke guru untuk dijawab ya atau tidak, dan
mereka melakukan serangkaian eksperimen di lingkungan situasi masalah. Fase 4, siswa
mengorganisasikan informasi yang mereka peroleh selama pengumpulan data dan mencoba untuk
menjelaskan kesenjangan. Terakhir, fase 5, siswa merefleksi strategi pemecahan masalah yang
mereka gunakan selama melakukan inkuiri. Tahap model pelatihan inkuri seperti Tabel 1.

Tabel 1. Sintak Model Pelatihan Inkuri


FASE 1 FASE 2
PERTEMUAN DENGAN PENGUMPULAN DATA DAN
MASALAH VERIFIKASI
Menjelaskan prosedur inkuiri. Verifikasi objek dan kondisi
Menyajikan kesenjangan kejadian Verifikasi kejadian dari situasi
masalah
FASE 3 FASE 4
PENGUMPULAN DATA DAN MEMFORMULASIKAN DAN
EKSPERIMEN PENJELASAN
Mengisolasi variabel yang relevan. Memformulasikan aturan untuk
Membuat hipotesis dan menguji menjelaskan
hubungan sebab akibat.
FASE 5
ANALISIS PROSES INKUIRI
Analisis strategi inkuiri dan
mengembangkan strategi yang
efektif

Karen Worth et al menjelaskan The process of science inquiry can be represented here as a
set of 4 stages: 1) Explore: students become familiar with the phenomenon they will study, 2)
Investigate: students plan and carry out investigations (plan and design, implement, organize and
analyze data, draw tentative conclusions, and formulate new question), 3) Draw final conclusions:
students synthesize what they have learned and come to some final conclusions. 4) Communicate:

5
Sund, R.B. and L.W. Trowbridge, Teaching Science by Inquiry in the Secondary School. 2 nd Edn., (Ohio: Merrill
Columbus, 1973).
6
Joyce, Bruce and Weil, Marsha, Model of Teaching (New Jersey: Prentice-Hall, Inc, 1980), h 65-66.
6
students communicate their new understanding to a wider audience7. Menyatakan bahwa ada 4
tahap dalam proses inkuiri ilmiah, yaitu 1) eksplorasi, siswa berkenalan dengan penomena yang
akan dipelajari, 2) investigasi, siswa membuat perencanaan dan melaksanakan penyelidikan
(melalui perencanaan dan perancangan, implementasi, organisasi dan analisis data, membuat
simpulan sementara, dan memformulasikan pertanyaan baru), 3) membuat simpulan akhir, siswa
membuat sintesa apa yang sudah dipelajari dan membuat simpulan akhir, dan 4)
mengkomunikasikan, siswa mengkomunikasi pemahaman barunya ke pendengar.
Liewellyn menjelaskan 6 langkah dari siklus inkuri: 1. Inquisition – stating a “what if ” or
“I wonder” question to be investigated, 2. Acquisition – brainstorming possible procedures, 3.
Supposition – identifying an “I think” statement to test, 4. Implementation – designing and carrying
out a plan, 5. Summation – collecting evidence and drawing conclusions, 6. Exhibition – sharing
and communication results8. Liewellyn menjelaskan 6 langkah dari siklus inkuri: 1. Inkuisisi –
dimulai dengan pertanyaan "bagaimana jika" atau "aku pikir" pertanyaan untuk diselidiki, 2.
Akuisisi – memungkinkan adanya prosedur brainstorming, 3. Menduga - mengidentifikasi sebuah
pernyataan "Saya pikir" untuk diuji, 4. Pelaksanaan - merancang dan melaksanakan sebuah
perencanaan, 5. Penyajian akhir - mengumpulkan bukti dan menarik kesimpulan, 6. Pertunjukan -
berbagi dan mengkomunikasikan hasil. Siklus inkuiri diilustrasikan lebih lanjut dalam Gambar 2.
1. Inkuisisi
Dimulai dari pertanyaan
untuk diselidiki

6. Pertunjukkan 2. Akuisisi
berbagi dan Brainstorming
mengkomunikasikan hasil kemungkinan solusi
Siklus
Inkuiri

5. Penyajian akhir 3. Menduga


mengumpulkan bukti dan Memilih pernyataan
menarik kesimpulan untuk diuji

4. Implementasi
merancang dan melaksanakan
sebuah perencanaan

Gambar 2. Siklus inkuiri


Brown et al menyatakan bahwa: There are several techniques to teach science as inquiry.
This is dependent on these three types of inquiry. 1) Guided inquiry: This is a form of inquiry
whereby the teacher structures the lesson. He poses the problem and breaks it down into simpler
questions and may even advise about steps which the students should take to answer the questions.
2) Free inquiry: A form of inquiry which students formulate the problem to be solved, devise
methods and technique, to solve the problem as well as carrying out the investigation for a
conclusion. 3) Modified inquiry: This is in between the guided inquiry and free inquiry. The
teacher provides the problem and asks the students to carry out the investigation which might be in
groups. The teacher acts as a resource person giving assistance to avoid frustration or lack of
progress by the students9. Menyatakan bahwa ada tiga teknik dalam pengajaran sains dengan
Inkuiri, yaitu 1) Inkuiri Termbimbing: adalah bentuk penyelidikan dimana struktur pelajaran dibuat
guru. Guru menimbulkan masalah dan mengelompokkannya ke dalam pertanyaan sederhana dan
7
Worth, Karen, Mauricio Dugue, dan Edith Saltiel, Designing and Implementing Inquiry- Based Science Units for
Primary Education (France: La main a la pate, 2009), h 10 & 25.
8
Warner, Anna J. and Brian E. Myers, Implementing Inquiry-Based Teaching Methods (Florida: IFAS Extension
University of Florida, 2014), h 1-2.
9
Opara, op. cit. h 192.
7
bahkan mungkin menyarankan tentang langkah-langkah yang harus diambil siswa untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan. 2) Inkuiri bebas: suatu bentuk penyelidikan dimana siswa merumuskan
masalah yang harus dipecahkan, merancang metode dan teknik, untuk memecahkan masalah serta
melakukan investigasi untuk menarik kesimpulan. 3) Inkuiri dimodifikasi: inkuiri antara inkuiri
terbimbing dan inkuiri bebas. Guru memberikan masalah dan meminta siswa untuk melaksanakan
penyelidikan yang mungkin dalam kelompok. Guru bertindak sebagai narasumber memberikan
bantuan untuk menghindari frustrasi atau kurangnya kemajuan oleh mahasiswa. Laderman
Herron’s Scale describes four levels of inquiry: Level 1. Exploration, Level 2. Direct Inquiry, Level
3. Guided Inquiry, Level 4. Open-ended Inquiry10. Menyatakan bahwa ada 4 level dari inkuiri yaitu
level 1, eksplorasi, level 2, inkuiri langsung, level 3 inkuiri terbimbing, dan level 4, inkuiri masalah
terbuka. Carin menyediakan 2 model dari pembelajaran inkuiri, yaitu model 1, penemuan
terbimbing dan model 2, model 5E11.
Massialas menyatakan bahwa pembelajaran inkuiri terbimbing, "the Guided inquiry is a
teaching method that enables students to move step-by step from the identification of a problem
defining the problem formulation hypothesis, collection of data, verification of results, and
generalization to the drawing of conclusion”12. Pembelajaran inkuiri terbimbing dapat diartikan
sebagai metode mengajar yang memungkinkan siswa untuk bergerak selangkah demi selangkah dari
identifikasi masalah, mendefinisikan hipotesis, perumusan masalah, pengumpulan data, verifikasi
hasil, dan generalisasi yang menggambarkan kesimpulan.
Harbor Peters juga menyatakan definisi pembelajaran inkuri terbimbing, “the guided
inquiry teaching approach is techno-scientifically oriented. It places the learner’s constructive
mental ability first in all instructional processes. In other words it is learner centered” 13. Dalam hal
ini, pembelajaran inkuiri terbimbing adalah pembelajaran yang berorientasi pada techno-ilmiah.
Pembelajaran ini menempatkan kemampuan mental yang konstruktif pelajar dalam semua proses
pembelajaran. Dengan kata lain, pembelajaran berpusat pada pebelajar.
Chen menyatakan bahwa model pembelajaran inkuiri terbimbing merupakan model
pembelajaran yang penting dalam IPA, karena melibatkan berbagai kegiatan kelas, seperti
mengajukan pertanyaan, melakukan observasi, meneliti buku-buku dan sumber-sumber lain dari
informasi, menganalisis data, dan mengkomunikasikan hasil14. Opara & Oguzor menyatakan
keuntungan pembelajaran inkuiri Some advantages of inquiry method are summarized as follows:It
makes the students opportunity to think, It gives the students opportunity to think carefully about
ideas, problems and questions being considered valid by class, It creates room for students’ full
participation which increases their curiosity both inside and outside classroom work, It makes the
students to develop the spirit of personal initiative, It encourages patience, co-operation, unity and
decision making amongst the students, It arms the students with the right type of attitudes, values.
Skills and knowledge that enable them explore their social environment, It increases students
understanding of processes, concept and relationship15. Keuntungan metode inkuiri yaitu
memberikan siswa kesempatan untuk berpikir, memberikan siswa kesempatan untuk berpikir hati-
hati tentang ide-ide, masalah dan pertanyaan yang dipertimbangkan valid oleh kelas, menciptakan
ruang bagi siswa untuk berpartisipasi penuh untuk meningkatkan rasa ingin tahu mereka baik di
dalam dan luar kerja kelas, membuat siswa untuk mengembangkan semangat pribadi
prakarsa, mendorong pasien, kerjasama, persatuan dan pengambilan keputusan di antara siswa,

10
Laderman, Judith Sweeney, Teaching Scientific Inquiry: Exploration, Directed, Guided, and Opened-Ended Levels
(Chicago: Illinois Institute of Technology IIT).
11
Warner, Anna J. and Brian E. Myers, Implementing Inquiry-Based Teaching Methods (Florida: IFAS Extension
University of Florida, 2014), h 2.
12
Matthew, Bakke M. & Igharo O Kenneth, “A Study On The Effects Of Guided Inquiry Teaching Method On
Students Achievement In Logic”, International Researchers, Volume 2, Nomor 1, 2013, h 135-140).
13
Matthew, loc. cit.
14
Chen, L. C, The Effects of Integrated Information Literacy in Science Curriculum on First-Grade Students’ Memory
and Comprehension Using the Super3 Model (Taiwan: National Chiayi University, 2011).
15
Opara, op. cit. h 195.
8
Model pembelajaran berbasis proyek
Model pembelajaran berbasis proyek adalah langkah-langkah pembelajaran untuk mencapai
tujuan pembelajaran tertentu yang dilakukan melalui suatu proyek dalam rangka waktu tertentu
dengan melalui langkah-langkah persiapan/perencanaan, pelaksanaan, pembuatan laporan,
mengkomunikasikan hasil kegiatan serta evaluasi. Belajar bukan hanya sekedar menyerap materi,
akan tetapi secara terpadu untuk mendapatkan banyak hal. Proyek membantu siswa melibatkan
keseluruhan mental dan fisik, syaraf, indera, memberikan kesempatan untuk belajar membuat
keputusan efektif, analisis kritis, dan tindakan yang strategis (Dewaters et al., 2011).
Model pembelajaran berbasis proyek merupakan model pembelajaran yang mengacu hasil
konstruksi kognitif melalui aktivitas siswa, sehingga siswa dapat mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri dan bermakna melalui pengalaman yang nyata (Liu, 2007). Pengalaman nyata dan refleksi
terhadap pengalaman langsung dari diri sendiri merupakan kunci untuk belajar bermakna khususnya
pembelajaran sains (fisika). Model pembelajaran berbasis proyek dipilih dalam pengajaran IPA,
karena melalui prpyek pelajaran IPA khususnya fisika menjadi lebih menarik (Dahar, 1986). Fokus
dari model pembelajaran berbasis proyek adalah pada siswa dalam kegiatan pemecahan masalah
dan tugas-tugas bermakna lainnya, memberi peluang siswa bekerja secara otonom mengkonstruk
belajar mereka sendiri, dan puncaknya menghasilkan produk karya siswa (Kamdi, 2008). Hal ini
akan melibatkan seluruh indra, saraf, dan fisik siswa. Otak kanan dan otak kiri akan berkembang
dengan tantangan-tantangan dari pembelajaran ini (Rai, 2009).
Model pembelajaran berbasis proyek (MPBP) berfokus pada konsep dan prinsip inti sebuah
disiplin, memfasilitasi siswa untuk berinvestigasi, pemecahan masalah, dan tugas-tugas bermakna
lainnya, student-centered, dan menghasilkan produk nyata. Ada empat karakteristik MPBP, yaitu
isi, kondisi, aktivitas, dan hasil. Dalam MPBP, proyek dilakukan secara kolaboratif dan inovatif,
unik, yang berfokus pada pemecahan masalah yang berhubungan dengan kehidupan siswa atau
kebutuhan masyarakat atau industri lokal (Santyasa, 2006). MPBP memiliki potensi yang amat
besar untuk membuat pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermakna bagi usia dewasa:
siswa SMA, mahasiswa, atau pelatihan tradisional untuk membangun keterampilan kerja (Gaer,
1998). Dalam MPBP, siswa menjadi terdorong lebih aktif dalam belajar, guru hanya sebagai
fasilitator, guru mengevaluasi produk hasil kinerja siswa meliputi outcome yang mampu
ditampilkan dari hasil proyek yang dikerjakan.
Dalam mengerjakan proyek, siswa dapat berkolaborasi dengan guru satu atau dua orang,
tetapi siswa melakukan investigasi dalam kelompok kolaboratif antara 4-5 orang. Keterampilan-
keterampilan yang dibutuhkan dan dikembangkan oleh siswa dalam tim adalah merencanakan,
mengorganisasikan, negosiasi, dan membuat tugas yang akan dikerjakan, siapa yang mengerjakan,
dan bagaimana mengumpulkan informasi yang dibutuhkan dalam berinvestigasi (Santyasa, 2006).
Keterampilan yang dibutuhkan dan yang akan dikembangkan oleh siswa merupakan keterampilan
yang esensial sebagai landasan untuk keberhasilan hidupnya. Oleh karena hakikat kerja proyek
adalah kolaboratif, maka pengembangan keterampilan tersebut seyogyanya ditujukan untuk semua
tim.
MPBP dapat diterapkan untuk semua bidang studi. Implementasi model MPBP mengikuti
lima langkah utama (Santyasa, 2006) sebagai berikut.
1. Menetapkan tema proyek. Tema proyek hendaknya memenuhi indikator- indikator berikut:
(a) memuat gagasan umum dan orisinil, (b) penting dan menarik, (c) mendeskripsikan
masalah kompleks, (d) mencerminkan hubungan berbagai gagasan, (e) mengutamakan
pemecahan masalah ill defined.
2. Menetapkan konteks belajar. Konteks belajar hendaknya memenuhi indikator-indikator
berikut: (a) pertanyaan-pertanyaan proyek mempersoalkan masalah dunia nyata, (b)
mengutamakan otonomi siswa, (c) melakukan inquiry dalam konteks masyarakat, (d) siswa
mampu mengelola waktu secara efektif dan efesien, (e) siswa belajar penuh dengan kontrol
diri, (f) mensimulasikan kerja secara profesional.

9
3. Merencanakan aktivitas-aktivitas. Pengalaman belajar terkait dengan merencanakan proyek
adalah sebagai berikut: (a) membaca, (b) meneliti, (c) observasi, (d) interviu, (e) merekam,
(f) mengunjungi obyek yang berkaitan dengan proyek, (g) akses internet.
4. Memperoses aktivitas-aktivitas. Indikator-indikator memeroses aktivitas meliputi antara
lain: (a) membuat sketsa, (b) melukiskan analisa, (c) menghitung , (d) mengenerate, (e)
mengembangkan prototipe.
5. Penerapan aktivitas-aktivitas untuk menyelesaikan proyek. Langkah-langkah yang
dilakukan, adalah: (a) mencoba mengerjakan proyek berdasarkan sketsa, (b) menguji
langkah-langkah yang telah dikerjakan dan hasil yang diperoleh, (c) mengevaluasi hasil
yang telah diperoleh, (d) merevisi hasil yang telah diperoleh, (e) melakukan daur ulang
proyek yang lain, (f) mengklasifikasi hasil terbaik.
Kauchak & Eggen (2007) juga menyatakan bahwa langkah-langkah dalam implementasi
MPBP di kelas adalah sebagai berikut.
1. Planning
a) Mengidentifikasi sebuah topik pembelajaran kemudian menyusun topik pada kawasan
masalah yang akan diinvestigasi oleh siswa.
b) Mengorganisasikan sumber-sumber belajar yang berupa buku dan media internet.
2. Implementing
a) Mengorientasikan siswa pada masalah. Masalah ini mempunyai beberapa karakteristik
yang penting meliputi: (1) nyata dan bermakna bagi siswa, (2) dapat dimengerti dan
membuka titik awal untuk upaya investigasi siswa, dan (3) kompleks sehingga
menyediakan opsi yang banyak bagi investigasi mereka.
b) Mengorganisasi siswa dalam kelompok belajar.
c) Membentuk usaha-usaha kelompok dengan cara menetapkan batas waktu untuk tugas
akhir.
d) Mengontrol batas waktu pengerjaan proyek dengan mengadakan pertemuan dengan
kelompok lain secara periode untuk memfasilitasi kemajuan kelompok yang lain.
e) Mengoleksi data dan menganalisis.
f) Mempresentasikan hasil proyek pada siswa lain agar diperoleh masukan-masukan yang
dipakai sebagai bahan perbaikan proyek.
3. Product
Hasil akhir dari pembelajaran berbasis proyek adalah berupa produk yang juga dinilai
sebaga hasil belajar yang telah dilakukan oleh siswa bersama kelompoknya.

Langkah-langkah pembelajaran yang menggunakan MPBP dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Planning Implementing
Menetapkan tema proyek Memproses aktivitas-aktivitas
1. Mengidentifikasi topik pembelajaran dan Melakukan analisa dan menghitung
menyusun topik kawasan masalah. data yang diperoleh.
2. Mengorientasikan siswa pada masalah dan
mengorganisasi siswa dalam kelompok
belajar. Product
Menetapkan konteks belajar Penerapan aktivitas untuk
1. Mengorganisasikan sumber-sumber belajar. menyelesaikan proyek.
2. Menentukan batas waktu pengerjaan proyek. Menyusun laporan hasil analisa
Merencanakan aktivitas-sktivitas permasalahan dan
1. Merencanakan rancangan proyek dengan mempresentasikan hasil proyek
membaca, meneliti, dan mengobservasi agar diperoleh masukan-masukan
terkait permasalahan yang diberikan untuk yang dipakai sebagai bahan
melengkapi data yang hendak dicari. perbaikan.

10
Menurut The George Lucas Educational Foundation (dalam Nurohman, 2006),
pembelajaran berbasis proyek adalah sebagai berikut.
a. Project-based learning is curriculum fueled and standards based. Model pembelajaran
berbasis proyek merupakan model pembelajaran yang menghendaki adanya standar isi
dalam kurikulumnya. Melalui pembelajaran berbasis proyek, proses inquiry dimulai dengan
memunculkan pertanyaan penuntun (a guiding question) dan membimbing siswa dalam
sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam
kurikulum. Pada saat pertanyaan terjawab, secara langsung siswa dapat melihat berbagai
elemen mayor sekaligus berbagai prinsip dalam sebuah disiplin yang sedang dikajinya.
b. Project-based learning ask a question or poses a problem that each student can answer.
Pembelajaran berbasis proyek adalah model pembelajaran yang menuntut pengajar dan atau
siswa mengembangkan pertanyaan penuntun (a guiding question). Mengingat bahwa
masing-masing siswa memiliki gaya belajar yang berbeda, maka pembelajaran berbasis
proyek memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menggali konten (materi) dengan
menggunakan berbagai cara yang bermakna bagi dirinya, melakukan eksperimen secara
kolaboratif. Hal ini memungkinkan setiap siswa pada akhirnya mampu menjawab
pertanyaan penuntun.
c. Project-based learning ask student to investigate issue and topics addressing real-world
problems while integrating subjects across the curriculum. Pembelajaran berbasis proyek
merupakan model pembelajaran yang menuntut siswa membuat “jembatan” yang
menghubungkan antar berbagai subjek materi. Melalui jalan ini, siswa dapat melihat
pengetahuan secara holistik. Selain itu, pembelajaran berbasis proyek merupakan investigasi
mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha
siswa.
d. Project-based learning is a method that fosters abstract, intellctual tasks to explore complex
issue. Pembelajaran berbasis proyek merupakan model pembelajaran yang memperhatikan
pemahaman. Siswa melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, dan mensistesis informasi
melalui cara yang bermakna.
Pada saat proses pembelajaran, model pembelajaran berbasis proyek memiliki empat
karakteristik yaitu isi, kondisi, aktivitas, dan hasil. Deskripsi karakteristik pembelajaran berbasis
proyek disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Karakteristik Utama Pembelajaran Berbasis Proyek
I. ISI: memuat gagasan yang orisinil
1. Masalah kompleks
2. Siswa menemukan hubungan antar gagasan yang diajukan
3. Siswa berhadapan pada masalah yang ill defined
4. Pertanyaan cenderung mempersoalkan masalah dunia nyata
II. KONDISI: mengutamakan otonomi siswa
1. Melakukan inquiry dalam konteks masyarakat
2. Siswa mampu mengelola waktu secara efektif dan efisien
3. Siswa belajar penuh dengan kontrol diri
4. Mensimulasikan kerja secara professional
III. AKTIVITAS: investigasi kelompok kolaboratif
4. Siswa berinvestigasi selama periode tertentu
5. Siswa melakukan pemecahan masalah kompleks
6. Siswa memformulasikan hubungan antar gagasan orisinilnya untuk
mengkonstruksi keterampilan baru
7. Siswa menggunakan teknologi otentik dalam memecahkan masalah
8. Siswa melakukan umpan balik mengenai gagasan mereka
berdasarkan respon ahli atau dari hasil tes
IV. HASIL: produk nyata
1. Siswa menunjukkan produk nyata berdasarkan hasil investigasi
11
mereka
2. Siswa melakukan evaluasi diri
3. Siswa responsif terhadap segala implikasi dan kompetensi yang
dimilikinya
4. Siswa mendemonstrasikan kompetensi sosial, manajemen pribadi,
regulasi belajarnya
(Santyasa, 2006)
Model pembelajaran berbasis proyek memiliki kecocokan terhadap inovasi pada pendidikan
sains khususnya fisika terutama dalam hal sebagai berikut, siswa dapat belajar secara aktif dan
mandiri dengan sajian materi terintegrasi dan relevan dengan kenyataan sebenarnya, yang sering
disebut student-centered serta mampu mengembangkan inisiatif.
Menurut Munawaroh et al., (2012) pembelajaran berbasis proyek dapat meningkatkan
motivasi belajar siswa dan membantu para siswa untuk mengembangkan keterampilan belajar
jangka panjang, sehingga pembelajaran ini baik diterapkan dalam usaha meningkatkan kemampuan
berpikir. Model pembelajaran berbasis proyek memiliki keuntungan-keuntungan yaitu: (1)
meningkatkan motivasi belajar siswa, (2) meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, (3)
meningkatkan kolaborasi, dan (4) meningkatkan keterampilan mengelola sumber yaitu
bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugas yang kompleks (Kunandar, 2007).

Model Pembelajaran Discovery learning


Model pembelajaran discovery learning merupakan suatu model pembelajaran yang
berangkat dari suatu pandangan bahwa siswa sebagai subjek dalam proses pembelajaran. Siswa
memiliki kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki. Guru hanya sebagai fasilitator dan pembimbing siswa untuk memberikan rangsangan yang
dapat menantang siswa untuk merasa terlibat dalam proses pembelajaran.
Menurut Suryosubroto (2002:192) mengatakan bahwa “discovery learning merupakan
komponen dari praktek penyelidikan yang meliputi metode mengajar yang memajukan cara belajar
aktif, berorientasi pada proses, mengarahkan sendiri, mencari sendiri, dan reflektif”. Di dalam
proses pembelajaran guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan sendiri
informasi dan pengetahuannya berdasarkan hasil yang diperolehnya melalui pengamatannya. Sund
(dalam Suryosubroto, 2002:193), mengatakan bahwa "model pembelajaran discovery learning”
adalah proses mental, dimana siswa mengasimilasikan sesuatu konsep atau sesuatu prinsip. Proses
mental tersebut misalnya mengamati, menggolong-golongkan, membuat dugaan, mengukur,
membuat kesimpulan, dan sebagainya".
Selanjutnya, pengertian discovery learning menurut Rohani (2004:37) adalah "model
pembelajaran yang mengharuskan siswa untuk menemukan prinsip atau hubungan yang sebelumnya
tidak diketahuinya yang merupakan akibat dari pengalaman belajarnya yang telah diatur secara
cermat dan seksama oleh guru". Sedangkan menurut Roestiyah (2001:20) menjelaskan bahwa
“discovery learning merupakan suatu metode yang mempergunakan teknik penemuan”. Di dalam
proses pembelajarannya selalu melibatkan siswa untuk penguatan mental melalui tukar pendapat,
dengan diskusi, mencoba sendiri, agar siswa dapat belajar menemukan sendiri pengetahuannya.
Berdasarkan pendapat dari para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran
dengan menggunakan discovery learning, guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini,
dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka
sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri
untuk belajar. Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang membawa siswa ke tingkat
pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang mereka tulis dengan bahasa dan
kata- kata mereka sendiri.
Model pembelajaran discovery learning adalah langkah-langkah suatu pembelajaran dalam
belajar, dimana siswa berinteraksi dengan lingkungannya dengan jalan mengekspor dan
memanipulasi obyek, bergulat dengan sejumlah pertanyaan dan kontroversi atau melakukan
12
percobaan. Ide dasar teori ini yaitu siswa menjadi mudah dalam mengingat suatu konsep jika
konsep tersebut mereka dapatkan sendiri melalui proses belajar penemuan.
Belajar dengan model discovery learning biasanya dimulai dengan menghadapkan siswa
pada satu masalah. Selanjutnya siswa berusaha untuk membandingkan kenyataan di lingkungannya
dengan yang tersedia pada struktur mental yang telah dimilikinya. Melalui pengalaman yang telah
dimilikinya, siswa mencoba untuk menyesuaikan atau mengorganisasikan kembali struktur-struktur
agar mencapai keadaan seimbang. Untuk itu siswa harus mencoba, mengadakan analisis,
menemukan informasi baru, menyingkirkan informasi yang tidak perlu, kemudian menjadikannya
sebagai pengetahuan barunya.
Langkah-langkah Pembelajaran Discovery Learning
Dalam proses pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran discovery learning, guru
hanya berperan sebagai pembimbing dan fasilitator. Siswa diberikan kesempatan untuk menggali
dan menemukan pengetahuannya sendiri. Langkah-langkah pelaksanaan model pembelajaran
discovery learning menurut Gilstrap (dalam Suryosubroto, 2002:197) ialah:
(1) Menilai kebutuhan dan minat siswa, dan menggunakannya sebagai dasar untuk menentukan
tujuan yang berguna dan realitas untuk mengajar dengan penemuan;
(2) Seleksi pendahuluan atas dasar kebutuhan dan minat siswa, prinsip-prinsip, generalisasi,
pengertian dalam hubungannya dengan apa yang dipelajari;
(3) Mengatur susunan kelas sedemikian rupa sehingga memudahkan terlibatnya arus bebas
pikiran siswa dalam belajar dengan penemuan;
(4) Berkomunikasi dengan siswa membantu menjelaskan peranan penemuan;
(5) Menyiapkan suatu situasi yang mengandung masalah yang harus dipecahkan;
(6) Mengecek perhatian siswa tentang masalah yang digunakan untuk merangsang belajar
dengan penemuan;
(7) Menambah berbagai alat peraga untuk kepentingan pelaksanaan penemuan;
(8) Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan mengumpulkan dan bekerja
dengan data, misalnya tiap siswa mempunyai data harga bahan-bahan pokok dan jumlah
orang yang membutuhkan bahan-bahan pokok tersebut;
(9) Mempersilahkan siswa mengumpulkan dan mengatur data sesuai dengan kecepatannya
sendiri;
(10) Memberi kesempatan kepada siswa melanjutkan pengalamannya belajarnya, walaupun
sebagian atas tanggung jawabnya sendiri;
(11) Memberi jawaban dengan cepat dan tepat sesuai dengan data dan informasi bila ditanya dan
diperlukan siswa dalam kelangsungan kegiatannya;
(12) Memimpin analisisnya sendiri melalui percakapan dan eksplorasinya sendiri dengan
pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi proses;
(13) Mengajarkan keterampilan untuk belajar dengan penemuan yang diidentifikasi oleh
kebutuhan siswa, misalnya latihan penyelidikan;
(14) Merangsang interaksi siswa dengan siswa, misalnya merundingkan strategi penemuan,
mendiskusikan hipotesis dan data yang terkumpul;
(15) Mengajukan pertanyaan tingkat tinggi maupun pertanyaan tingkat yang sederhana;
(16) Bersikap membantu jawaban siswa, ide siswa, pandangan dan tafsiran yang berbeda. Bukan
menilai secara kritis, tetapi membantu;
(17) Membantu siswa untuk memperkuat pertanyaannya dengan alasan dan fakta;
(18) Memuji siswa yang sedang melakukan kegiatan dalam proses penemuan, misalnya seorang
siswa yang bertanya kepada temannya atau guru tentang berbagai tingkat kesukaran dan
siswa yang mengidentifikasi hasil dari penyelidikannya sendiri;
(19) Membantu siswa menulis atau merumuskan prinsip, aturan ide, generalisasi atau pengertian
yang menjadi pusat dari masalah semula dan yang telah ditemukan melalui strategi
penemuan;

13
(20) Mengecek apakah siswa menggunakan apa yang telah ditemukannya, misalnya teori atau
teknik, dalam situasi berikutnya, yaitu simulasi dimana siswa bebas menentukan
pembelajarannya.

Pendapat yang hampir sama juga disampaikan oleh disampaikan Ricard Scuhman. Langkah-
langkah menurut pembelajaran dengan model discovery learning menurut Richard Scuhman (dalam
Suryosubroto, 2002:199) adalah:
(1) Identidikasi kebutuhan siswa;
(2) Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian, konsep dan generalisasi yang akan
dipelajari;
(3) Seleksi bahan;
(4) Membantu memperjelas masalah yang akan dipelajari dan peranan masing-masing siswa;
(5) Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan;
(6) Mengecek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan tugas-tugas siwa;
(7) Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan penemuan;
(8) Membantu siswa dengan informasi, data, jika diperlukan oleh siswa;
(9) Memimpin analisis sendiri dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi
proses;
(10) Merangsang terjadinya interaksi antar siswa dengan siswa;
(11) Memuji dan membantu siswa yang sedang melakukan dalam proses penemuan;
(12) Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atas hasil penemuannya.

Sedangkan menurut Rohani (2004:40), langkah-langkah pembelajaran yang menerapkan


model discovery learning yaitu:
(1) Perumusan masalah untuk dipecahkan peserta didik
(2) Penetapan jawaban sementara/pengajuan hipotesis
(3) Peserta didik mencari informasi, data, fakta yang diperlukan untuk menjawab/memecahkan
masalah dan menguji hipotesis
(4) Menarik kesimpulan dari jawaban/generalisasi
(5) Aplikasi kesimpulan/generalisasi dalam situasi baru

Kelebihan Discovery learning


Sama halnya denga model-model pembelajaran yang lainnya, model pembelajaran discovery
learning juga memiliki beberapa kelebihan. Menurut Suryosubroto (2002:200), model pembelajaran
discovery learning memiliki beberapa kelebihan, antara lain:
a) Discovery learning dianggap membantu siswa mengembangkan atau memperbanyak persediaan
dan penguasaan keterampilan dan proses kognitif siswa, andaikata siswa itu dilibatkan terus
dalam penemuan terpimpin.
b) Pengetahuan diperoleh dari strategi ini sangat pribadi sifatnya dan mungkin merupakan suatu
pengetahuan yang sangat kukuh, dalam arti pendalaman dari pengertian retensi dan transfer.
c) Discovery learning mampu membangkitkan gairah pada siswa, misalnya siswa merasakan jerih
payah penyelidikannya, menemukan keberhasilan dan kadang-kadang kegagalan.
d) Discovery learning memberikan kesempatan kepada siswa untuk bergerak maju sesuai dengan
kemampuannya sendiri.
e) Discovery learning menyebabkan siswa mengarahkan sendiri cara belajarnya sehingga siswa
lebih merasa terlibat dan berminat sendiri untuk belajar, paling sedikit pada suatu proyek
penemuan khusus.
f) Discovery learning dapat membantu memperkuat pribadi siswa dengan bertambahnya
kepercayaan pada diri sendiri melalui proses-proses penemuan.
g) Strategi ini berpusat pada anak, misalnya memberi kesempatan pada siswa dan guru
berpartisipasi sebagai sesama dalam situasi penemuan yang jawabannya belum diketahui
sebelumnya;
14
h) Membantu perkembangan siswa menuju skeptisisme yang sehat untuk menemukan kebenaran
akhir dan mutlak.
Pendapat lain yang menjelaskan kelebihan dari model pembelajaran discovery learning juga
disampaikan oleh ahli alainnya. Menurut Roestiyah (2001:21) bahwa keunggulan model
pembelajaran discovery learning yaitu:
a) Teknik ini mampu membantu siswa untuk mengembangkan, memperbanyak kesiapan, serta
penguasaan keterampilan dalam proses kognitif/pengenalan siswa.
b) Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi/individual sehingga dapat kokoh
atau mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut;
c) Dapat meningkatkan kegairahan belajar para siswa.
d) Teknik ini mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang dan maju sesuai
dengan kemampuannya masing-masing.
e) Mampu mengarahkan cara belajar siswa, sehingga lebih memiliki minat yang kuat untuk
belajar lebih giat.
f) Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan diri sendiri dengan proses
penemuan sendiri.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
discovery learning memiliki beberapa kelebihan, yaitu: 1) menambah pengalaman siswa dalam
belajar, 2) memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih dekat lagi dengan sumber
pengetahuan selain buku, 3) menggali kreatifitas siswa, 4) mampu meningkatkan rasa percaya diri
pada siswa, dan 5) meningkatkan kerja sama antar siswa.
DAFTAR RUJUKAN
Arends, R. I. 2004. Learning to teach. Sixth edition. New York: The McGraw-Hill Higher
Education.
Barrows, H. S. 1996. Problem-based learning in medicine and beyond: A brief overview. New
Directions for Teaching and Learning. San Francisco: Jossey-Bass Publisher.
Chen, L. C. 2011. The Effects of Integrated Information Literacy in Science Curriculum on First-
Grade Students’ Memory and Comprehension Using the Super3 Model. Taiwan: National
Chiayi University.
Dahar, R W. 1986. Interaksi belajar mengajar IPA. Buku materi pokok. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Universitas Terbuka.
Dewaters, J. E., Powers, S. E. 2011. Improving energy literacy among middle school youth with
project-based learning pedagogies. Journal ASEE/IEEE Frontiers in Education Conference.
Tersedia pada http://www.clarkson. edu. Diakses pada tanggal 2 April 2012.
Gaer, S. 1998. Project based learning. Artikel. Tersedia pada http://members.aol. com. Diakses pada
tanggal 5 November 2012.
Kauchak, D. P. & Eggen, D. P. 2007. Learning and Teaching Research-Based Methods. New York:
Pearson.
Laderman, Judith Sweeney... Teaching Scientific Inquiry: Exploration, Directed, Guided, and
Opened-Ended Levels. Chicago: Illinois Institute of Technology (IIT).
Lee, Horng-Yi. 2014. “Inquiry-based Teaching in Second and Foreign Language Pedagogy”.
Journal of Language Teaching and Research, Vol. 5, No. 6.
Tersediapadahttp://ojs.academypublisher.com/index.php/jltr/article/view/jltr050612361244/
10235 (diakses tanggal 16 Nopember 2015).
Liu, W. C. 2007. Project based learning and students motivation. Journal Physics Education.
Tersedia pada: http//www.google.co.id/project-based-learning-journalfiletype:pdf. Diakses
pada tanggal 11 November 2012.
Matthew, Bakke M. & Igharo O Kenneth. 2013. “A Study On The Effects Of Guided Inquiry
Teaching Method On Students Achievement In Logic”. International Researchers, Volume
2, Nomor 1 (hlm. 135-140).
15
Munawaroh, R., Subali, B., & Sopyan, A. 2012. Penerapan model project based learning untuk
membangun empat pilar pembelajaran siswa SMP. Unnes Physics Education Journal. 1(1).
33-37. Tersedia pada http://journal. unnes.ac.id. Diakses pada tanggal 4 November 2012.
Olson, Steve and Horsley, Susan Loucks. 2000. Inquiry and The National Science Education
Standards, A Guide for Teaching and Learning. Washington, D.C: National Academy Press.
Opara, Jacinta Agbarachi and Oguzor, Nkasiobi Silas. 2011. “Inquiry Instructional Method and The
School Science Curriculum”. Journal of Social Science, 3(3): 188-198, 2011.
Rai, N G A. 2009. Pengaruh pembelajaran fisika berbasis proyek terhadap hasil belajar siswa kelas
VIII SMP Negeri 1 Baturiti tahun ajaran 2008/2009. Skripsi (tidak diterbitkan). Universitas
Pendidikan Ganesha.
Rohani, Ahmad, A. M. 2004. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Roestiyah, N. K. 2001. Stategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sadia, I W. & Suma, K. 2006. Pengembangan kemampuan berpikir formal siswa SMA di kabupaten
Buleleng melalui penerapan model pembelajaran “learning cycle” dan “problem based
learning” dalam pembelajaran fisika. Laporan penelitian (tidak diterbitkan). Jurusan
Pendidikan Fisika, Universitas Pendidikan Ganesha.
Sagala, Syaiful. 2009. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan. Bandung:
Alfabetha.
Santyasa. 2006. Pembelajaran inovatif: model kolaboratif, basis proyek, dan orientasi nos. Makalah.
Disajikan dalam Seminar Di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Semarapura Tanggal
27 Desember 2006.
Suastra, I Wayan. 2009. Pembelajaran Sains Terkini: Mendekatkan Siswa dengan Lingkungan
Alamiah dan Sosial Budaya. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.
Sund, R.B & Trowbridge, L.W. 1990. Teaching Science by Inquiry in The Secondary School. Ohio:
Charles E. Merrill Publishing, Co.
Suryosubroto, B. 2002. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Warner, Anna J. and Brian E. Myers. 2014. Implementing Inquiry-Based Teaching Methods.
Florida: IFAS Extension University of Florida. P 1-2.
Worth, Karen, Mauricio Dugue, dan Edith Saltiel. 2009. Designing and Implementing Inquiry-
Based Science Units for Primary Education. France: La main a la pate. P 10.

16

Anda mungkin juga menyukai