Kelompok 3
Kelompok 3
Kelompok 3
Disusun Oleh:
Ilmu Hukum A3
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alhamdulilah segala puji hanya milk Allah pemilik kerajaan langit dan bumi yang
dengan mudah mengatur keduanya secara sempurna memasukkan siang kedalam malam dan
memasukkan malam kedalam siang, Maha Pencipta, Yang Awal dan Yang Akhir, pemilik
Asmaul Husna, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada setiap hambaNya, senantiasa
memberi Rahmat, melindungi dan mengampuni setiap dosa hamba yang bertaubat. Hanya ia
yang bertahta dengan haq.
Solawat serta salam kepada Rasulullah, yang menunjuk umat jahiliyah menuju jalan
kebenaran penuh dengan cahaya. Ialah hamba Allah yang begitu sempurna, suri tauladan,
umat senantiasa merindukannya, rindu yang begitu mendalam terutama umat akhir zaman
yang tak pernah melihat wajahnya.
Pada kesempatan kali ini penulis akan membahas materi hukum agrarian nasional yang
merupakan tugas dari bapak dosen dari UIN Walisongo Semarang, semoga Allah senantiasa
merahmati beliau, barakallah fiikum.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, hukum agraria di Indonesia masih
dualistis, yaitu bahwa disamping hukum agraria adat berlaku hukum tanah barat.Yang
dimaksud hukum adat ialah adat kebiasaan yang mempunyai akibat hukum.Hukum adat itu
terdiri dari pereturan-peraturan yang tidak tertulis, sedangkan hukum barat itu terdiri dari
pereturan-peraturan yang tertulis. Dualisme itu merupakan peninggalan dari jaman Hindia
Belanda dahulu, dimana rakyat Indonesia dibagi menjadi golongan-golongan : Golongan
Eropa, Golongan Timur Asing Tionghoa, Golongan Timur Asing bukan Tionghoa, Golongan
Indonesia/Pribumi. Dan terhadap mereka masing-masing tidak diperlakukan satu macam
hukum.
Hukum agraria di Indonesia baru mendapat perhatian yang sebenar-benarnya pada waktu
pemerintahan Inggris menggantikan pemerintah kerajaan Belanda pada tahun 1811 pada
waktu Indonesia dipengaruhi oleh pikiran Raffles dengan teori domainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Hukum Agraria Nasional?
2. Bagaimana penyusunan Hukum Agraria Nasional?
3. Bagaimana upaya pemerintahdalam membentuk Hukum Agraria Nasional?
BAB II
PEMBAHASAN
2
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komperhensif, Jakarta:Kencana, 2012, hlm.32.
d. Perubahan peraturan persewaan tanah rakyat
Peraturan tentang persewaan tanah rakyat kepada perusahaan perkebunan
besar khususnya dan orang-orang bukan Indonesia asli pada umunya sebagai
yang dimaksudkan dalam pasal 51 ayat 8 IS untuk Jawa dan Madura diatur
dalam ddua peraturan, yaitu Grondhuur Ordonnatie Stb. 1918 No. 20 untuk
Surakarta dan Yogyakarta (daerah-daerah swapraja). Menurut ketentuan ini,
persewaan tanah dimungkinkan berjangka waktu paling lama 21,5 tahun.
Setelah Indonesia merdeka kedua peraturan tersebut diubah dengan
ditambahkan pasal 8a dan 8b serta pasal 15a dan 15b oleh UU Darurat no.6
tahun 1951. UU Darurat ini kemudian ditetapkan menjadi UU no.6 tahun 1952
dengan penambahan pasal pasal tersebut, maka persewaan tanah rakyat untuk
tanaman tebu dan lainnya yang ditunjuk oleh Menteri pertanian hanya
diperbolehkan paling lama satu tahun atau satu tahun tanaman. Adapun besar
sewanya ditetapkan oleh Menteri dalam negeri, kemudian oleh Menteri
agraria. Dengan demikian, rakyat tidak lagi dirugikan karena besar dan jumlah
sewanya disesuaikan dengan tingkat perkembangan harga pada saat itu dan
waktunya hanya untuk satu tahun tanaman.3
4
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komperhensif, Jakarta:Kencana, 2012, hlm.35.
Tanaman dan bangunan diatas tanah tersebut yang menurut keputusan Menteri
pertanian diperlukan untuk kelangsungan atau memulihkan pengusahaan yang
layak dikuasai oleh negara dengan pemberian ganti kerugian.
6
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.57-58.
b. Adanya pengakuan bangsa Indonesia bahwa bumi, air, ruang angkasa dan
kekyaan yang terkandung di dalamnya adalah karunia tuhan yang maha esa
(pasal 1 ayat 2)
c. Hubungan antara bangsa Indonesia dengan kekayaan alam adalah bersifat
abadi dan rakyat Indonesia selalu bersatu dengannya.
d. Hak ulayat dari kesatuan masyarakat diakui eksistensinya sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan umum, bangsa dan negara.
e. Semua ha katas tanah berfungsi sosial berarti ha katas tanah apapun yang ada
pada seseorang tidak dibenarkan untuk dipergunakan semata mata untu
kepentingan pribadi.
f. Hanya warga negara Indonesia yang berhubungan langsung dengan kekayaan
alam yang terkandung. (Pasal 9 ayat 2)
g. Laki laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam memiliki dan
menguasai tanah (pasal 9 ayat 2)7
Dalam penjelasan umum UUPA angka III dijelaskan bahwa hukum agraria yang
berlaku sebelum UUPA adalah bersifat dualism sehingga terjadi perbedaan ha
katas tanah menurut hukum adat dan ha katas tanah menurut hukum barat yang
berpokok pangkal pada ketentuan buku II KUHPerdata. UUPA secara sadar
menghilangkan dualism dan hendak mengadakan kesatuan hukum sesuai dengan
keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu dengan kepentingan perekonomian.
Dengan sendirinya hukum agraria baru harus sesuai dengan kesadaran hukum
rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia tunduk kepada hukum adat maka
hukum agraria yang baru akan didasarkan pada ketentuan hukum adat sebagai
hukum asli bangsa Indonesia.
Hukum agraria akan memperhatikan kepentingan hukum golongan rakyat banyak
dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Dengan tidak adanya lagi
perbedaan antara hukum adat dan hukum barat dalam bidang hukum agraria maka
maksud untuk mencapai kesederhanaan hukum hakekatnya akan terselenggara.
8
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.61.
Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden Republik Indonesia pada
tanggal 21 Mei 1948 Nomor 16, yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo
(Kepala Bagian Agraria Kemeterian Dalam Negeri) yang berkedudukan di
Yogyakarta. Panitia ini beranggotakan:
Pejabat-pejabat dari berbagai Kementerian dan Jawatan
Anggota-anggota Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia
Pusat) yang mewakili organisasi-organisasi tani dan daerah
Ahli-ahli hukum adat
Wakil dari Serikat Buruh Perkebunan
Panitia ini bertugas:
1. Memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal
mengenai hukum tanah pada umunya
2. Merancang dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agraria
negara Republik Indonesia
3. Merancang perubahan, penggantian, pencabutan peraturan-
peraturan lama, baik dari sudut legislatif maupun dari sudut praktik
4. Menyelidiki soal-soal lain yang berhubungan denagn hukum
tanah.9
Panitia mengusulkan beberapa asas pokok yang akan merupakan dasar Hukum
Agraria yang baru, yaitu:
Panitia ini dibentuk pada tahun 1951 dengan Keputusan Presiden Republik
Indonesia tanggal 19 Maret 1951 Nomor 36. Panitia ini diketahui oleh Sarimin
Reksodihardjo dengan wakil ketua Sajarwo. Kemudian pada tahun 1953
jabatan ketua diganti oleh Singgih Praptodiharjo.
Tugas panitia ini sama dengan panitia sebelumnya, yaitu sebagai berikut:
10
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.48-49.
Panitia ini merancang dan mengusulkan bahwa pada dasarnya tanah pertanian
hanya diperuntukkan petani dengan berbagai pembatasan sebagai berikut:
c. Panitia Soewahjo
d. Rancangan Soenarjo
Berdasarkan hak menguasai dari negara tersebut, dan dalam rangka Sosialisme
Indonesia, maka:
Untuk Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah Hak Milik, Tanah
Hak Guna Usaha, Tanah Hak Guna Bangunan, dan Tanah Hak Pakai.
Program keempat diatas dikatakan sebagai landeform dalam arti sempit, yaitu
dimana pemerintah melakukan pengaturan dan perombakan atau pembaruan
tentang kepemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum
yang bersangkutan dengan tanah.16
“Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan
kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia
sebagian besar tunduk pada Hukum Adat, maka Hukum Agraria baru tersebut
akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum Adat itu, sebagai
hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan
masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia
Internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia.
“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta
dengan peraturan-peratuaran yang tercantum dalam Undang-Undang ini
(maksudnya:UUPA) dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala
sesuatu dengan mengindahkan unsuur-unsur yang bersandar pada hukum
agama”.17
17
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.62-64.
hak erfpacht dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hak guna
bangunan bukan hak hak postal. Lembaga erfpacht dan postal ditiadakan
dengan dicabutnya ketentuan-ketentuan dalam Buku ke II Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata”.
18
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.64.
Dalam konsiderans (berpendapat) dinyatakan bahwa “perlu adanya hukum
agraria nasional yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah”.
Selanjutnya dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa: “Hukum Agraria yang berlaku
atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat”. Hukum Adat yang
disebut dalam UUPA sebagai dasar Hukum Tanah Nasional Adat yang murni
akan tetapi Hukum Adat sebenarnya, dalam arti bukan Hukum Adat yang
murni akan tetapi Hukum Adat yang murni akan tetapi Hukum Adat yang
sudah disaring dari unsur-unsur yang bertentangan dengan Undang-Undang
dan jiwa sosialisme Indonesia. Pernyataan UUPA, bahwa Hukum Tanah
Nasional kita ialah hukum Adat, menunjukan adanya hubungan fungsional
antara HukumAdat dengan Hukum Tanah Nasional. Hukum Adat yang
dimaksud disini ialah hukum Adat asli bangsa Indonesia. Hukum Adat yang
merupakan hukum asli golongan pribumi, yang merupakan hukum yang hidup
dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsure-unsur nasional yang asli,
yaitu sifat kemsyarakatan dan kekeluargaan, yang berdasarkan keseimbangan
serta diliputi suasana kekeluargaan.19
20
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.66-67.
Asas kemasyarakatan, kemerataan dan keadilan social (Pasal 6,7,10 Ayat
(1, 11 dan 13);
Pasal 6 menentukan: “semua hak atas tanah mempunyai fungsi social”.
Pasal 7 menentukan: “untuk tidak merugikan kepentingan umum maka
pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan”.21
Pasal 10 ayat (1) menentukan: “setiap orang dan badan hukum yang
mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan
mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan
mencegah cara-cara pemerasaan”.
Pasal 11 menentukan bahwa hubungan hukum antara orang, termasuk
badan hukum dengan bumi, air dan ruang angkasa serta wewenang-
wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur, agar
tercapai tujuan yang dimaksud dalam pasal (2) ayayt (3) dan dicegah
penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui
batas. Selanjutnya ditentukan: perbedaan dalam keadaan masyarakat dan
keperluan hukum golongan rakyat di mana perlu dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional diperhatikan dengan menjamin perlindungan
terhadap kepentingan golongan yang ekonomi lemah,
Pasal 13 ayat (1) menentukan: “pemerintahan berusaha agar supaya usaha-
usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga
meningkatkan produksi dan kemakmuran rakyat, serta menjamin bagi
setiap warga Negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat
manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”.
Asas penggunaan dan pemeliharaan tanah secara berencana (Pasal 14 dan
15);
Pasal 14 ayat (1) menentukan: pemerintahan dalam rangka sosialisme
Indonesia membuat suatu rencana umum mengenai persediaan,
peruntukkan, dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya.
Asas pemisahan horizontal tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada
di atasnya.
21
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.67-68.
Asas ini mengatakan bahwa baik tanah maupun bangunan yang melekat
diatas tanah adalah sama sekali terpisah dengan tanah di bawahnya,
kecuali diperjanjikan lain dan karena kenyataan yang tidak
memungkinkan karena tanaman dan bangunan itu melekat dengan tanah.22
22
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.68-69.
2. Hak kepala adat dan para tetua adat yang bersumber pada hak ulayat
yang mengandung aspek publik;
3. Hak atas tanah sebagai hak individu yang bersumber dari hak ulayat
yang mengandung aspek hukum perdataan.
Dalam Hukum Tanah Barat, hak penguasaan tanah yang tertinggi
adalah “hak eigendom” yakni hak kepemilikan atas tanah.23
23
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.71-72.
24
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.72-73.
penguasa tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat
pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.”
Sifat komunalistik religius dalam konsepsi Hukum Tanah Nasional terlihat
pada ketentuan pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa :seluruh bumi, air, dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah
Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air
dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
Sifat komunalitas tercermin pada kalimat bumi, air dan ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Kekayaan nasional dimaksud
adalah kekayaan bersama bangsa Indonesia yang mendiami wilayah Indonesia.
Sedangkan sifat religius tercermin pada kalimat :seluruh bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah
Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa
Indonesia.
Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat
2 pasal ini, digunakan untuk mencapai sebesar -besarnya kemakmuran rakya
dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan
negara hukum Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur;
Hak menguasai negara dimaksud adalah memberikan kewenangan kepada
lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara negara dengan tanah
Indonesia. Kewenangan negara tersebut merupakan pelimpahan tugas bangsa,
sehingga kewenangan tersebut semata-mata bersipat publik.
Berdasarkan penjelasan Umum angka II, perumusan kewenangan Negara ini
didalam UUPA adalah :berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa
yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3 UUD tidak perlu dan tidak pada
tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun negara bertindak sebagai pemilik
25
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.75-77.
tanah. Adalah lebih tepat jika negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh
rakyat bertindak selaku badan penguasa.26
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (RI)
dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh soekarno dan Mohamad Hatta atas nama
bangsa indonesia sebagai tanda terbentuknya negara kesatuan RI sebagai suatu bangsa yang
merdeka. Dari segi yuridis, proklamasi kemerdekaan merupakan saat tidak berlakunya hukum
kolonial dan saat mulai berlakunya hukum nasional, sedangkan dari segi politis, peroklamasi
kemerdekaan mengandung arti bahwa bangsa indonesia terbatas dari penjajahan bangsa asing
dan memiliki kedaulatan untuk menentukan nasibnya sendiri.
28
H.M. Arba, Hukum Agraria Indonsia, Jakarta:Sinar Grafika, 2017, hlm.74.
Faktor-fakror yang harus diperhatikan dalam pembangunan hukum agraria nasional, adalah
faktor formal, faktor materil,faktor ideal, faktor agraria modern, dan faktor ideologi politik.
Upaya pemerintah indonesia untuk membentukhukum agraria nasional yang akan
mengantikan hukum agraria kolonial , yang sesuai dengan pancasila dan UUD1945 sudah
dimulai pada tahun 1948 dengan membentuk kepentingan yang diberi tugas menyusun
undang-undang agraria.
Dan tujuan UUPA Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional,yang
akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagian, dan keadialn bagi negara
dan rakyat, terytama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
DAFTAR PUSTAKA