Kelompok IV Gizi Masyarakat
Kelompok IV Gizi Masyarakat
Kelompok IV Gizi Masyarakat
DOUBEL BURDEN OF
MALNUTRITION
HUSAIN PANGGI
SRI INDAH NURMAYANTI
KARSUM Y. NAUKO
SRI FEMIANTY BAHSUAN
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PRODI KESEHATAN MASYARAKAT
2022
MASALAH PEREMPUAN BAYI
DAN ANAK
GIZI MASYARAKAT
DOUBEL BURDEN OF
MALNUTRITION
Faktor – Faktor Penyebab Double
Burden Of Malnutrition
I. PENDAHULUAN
a. Situasi Terkini Double Burden Of Malnutrition di Indonesia
GIZI MASYARAKAT
Kecukupan gizi dan pangan merupakan salah satu faktor terpenting dalam
mengembangkan kualitas sumber daya manusia, sebagai indikator keberhasilan
pembangunan suatu bangsa. Dalam hal ini gizi memiliki pengaruh terhadap kecerdasan dan
produktivitas kerja sumber daya manusia (Almatsier, 2001).
Saat ini Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi yang berdampak serius
terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM).
Beban gizi ganda atau DBM (double burden of malnutrition) merupakan koeksistensi
dari kekurangan gizi dan kelebihan gizi pada suatu populasi dalam siklus kehidupan, hal ini
disebabkan karena fenomena kekurangan gizi pada usia dini memberikan kontribusi ataupun
berelasi dengan kejadian kelebihan gizi pada usia dewasa (Roger Shrimpton & Claudia Rokx,
2012).
Double Burden Of Malnutrition merupakan permasalahan global yang dapat
menyerang berbagai keluarga dengan latar belakang status ekonomi yang variatif. Sebanyak
51 juta anak di seluruh dunia berada pada status gizi kurus, 42 juta mengalami kasus
kegemukan dan Obesitas.(World Health Organization, 2014).
Beban ganda (double burden) malnutrisi, meliputi kurang gizi dan kelebihan berat
badan, menjadi masalah utama di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang
(WHO, 2014). The United Nations Food and Agriculture Organization memperkirakan
bahwa sekitar 795 juta orang dari 7,3 miliar orang di dunia menderita kekurangan gizi kronis
pada tahun 2014-2016 (FAO, 2016). Kelaparan dan kekurangan gizi berkontribusi bagi
kematian dini ibu, bayi dan anak-anak, serta gangguan perkembangan fisik dan otak di saat
dewasa (WHO, 2014).
Food and Agriculture Organization (2015) mengungkapkan secara umum kejadian
gizi lebih mempunyai persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan gizi kurang, namun
di negara berkembang persentase kurang gizi dan kelebihan gizi berimbang2. Seperti
beberapa negara berkembang lainnya, Indonesia sejak beberapa dekade terakhir ini tidak
luput dari permasalahan tersebut, terutama pada anak balita.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 mendapatkan prevalensi gizi buruk
pada anak balita 5,4 persen dan gizi lebih 4,3 persen. Pada survei Riskesdas tahun 2013 gizi
buruk pada anak balita meningkat menjadi 5,7 persen dan gizi lebih juga meningkat menjadi
4,5 persen.
GIZI MASYARAKAT
Gambar 1. Status Gizi Di Indonesia (Sumber Rencana Aksi Kegiatan Direktorat Gizi
Masyarakat Tahun 2020-2025)
Gambar 2. Pemetaan beban ganda malnutrisi UNICEF 2017 dalam Jurnal United Nations
Decade Of Action On Nutrition 2016-2025
Salah satu masalah kekurangan gizi yang masih cukup tinggi di Indonesia adalah
pendek (stunting) dan kurus (wasting) pada balita serta masalah anemia dan kurang energi
GIZI MASYARAKAT
kronik (KEK) pada ibu hamil. Masalah kekurangan gizi pada ibu hamil tersebut pada
akhirnya dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah (BBLR) dan kekurangan gizi
pada balita. Permasalahan gizi disebabkan oleh penyebab langsung seperti asupan makanan
yang tidak adekuat dan penyakit infeksi. Sedangkan penyebab tidak langsung permasalahan
gizi adalah masih tingginya kemiskinan, rendahnya sanitasi lingkungan, ketersediaan pangan
yang kurang, pola asuh yang kurang baik, dan pelayanan kesehatan yang belum optimal
(Kemenkes RI, 2017).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 berdasarkan indikator BB/U
menunjukkan secara nasional prevalensi gizi buruk-kurang pada tahun 2013 adalah 19,6%
yang terdiri dari 5,7% gizi buruk dan 13,9% gizi kurang. Terus terjadi peningkatan prevalensi
gizi buruk-kurang dibandingkan hasil Riskesdas pada tahun sebelumnya dimana pada tahun
2007 prevalensi gizi buruk-kurang adalah sebesar 18,4% dan tahun 2010 sebesar 17,9%.
Diantara 33 provinsi di Indonesia, terdapat 18 provinsi yang memiliki prevalensi gizi buruk-
kurang di atas angka dengan urutan dari yang tertinggi dan terendah adalah (1) Nusa
Tenggara Timur; (2) Papua Barat; (3) Sulawesi Barat; (4) Maluku; (5) Kalimantan Selatan;
(6) Kalimantan Barat; (7) Aceh; (8) Gorontalo; (9) Nusa Tenggara Barat; (10) Sulawesi
Selatan; (11) Maluku Utara; (12) Sulawesi Tengah; (13) Sulawesi Tenggara; (14) Kalimantan
Tengah; (15) Riau; (16) Sumatera Utara; (17) Papua, (18) Sumatera Barat dan (19) Jambi.
Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius, bila prevalensi gizi buruk-kurang
antara 20,0-29,0 % dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila ≥30% (WHO, 2010).
Prevalensi nasional gizi buruk-kurang pada anak balita sebesar 19,6%, yang berarti masalah
gizi buruk- kurang di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat mendekati
prevalensi tinggi (Riskesdas, 2013).
hanya 5.4%. Padahal masalah yang lebih besar adalah kenyataan bahwa 36% balita
mengalami stunting berikut konsekuansinya yang seumur hidup (lihat Tabel 1).
Gambar 3. Beban ganda nutrisi dapat terjadi pada tiga tingkat dalam Jurnal United
Nations Decade Of Action On Nutrition 2016-2025
Pertama, itu terjadi ditingkat individu melalui serentak perkembangan dua dari
lebih jenis malnutrisi – misalnya obesitas dengan anemia gizi atau kekurangan atau
kekurangan vitamin atau mineral. Itu juga dapat terjadi di sepanjang perjalanan
hidup dan menjaditerpisah sementara, karena lingkungan nutrisi yang kontras akibat
GIZI MASYARAKAT
pergeseran ekonomi atau keadaan lain, misalnya kelebihan berat badan pada orang
dewasa yang sebelumnya terhambat karena kekurangan gizi kronis selama masa kanak-
kanak.
Kedua, beban ganda ini dapat terjadi pada tingkat rumah tangga. Contohnya
termasuk anemia gizi pada ibu, dengan anak atau kakek- nenek yang kelebihan berat
badan atau menderita diabetes (tipe 2). Rumah tangga dengan beban ganda lebih sering
terjadi di negara- negara berpenghasilan menengah yang mengalami transisi nutrisi yang
cepat (Tzioumis E, 2014)
Akhirnya, beban ini juga diamati di tingkat populasi-dengan kekurangan gizi dan
kelebihan berat badan, obesitas atau PTM yang lazim di komunitas, wilayah atau negara
yang sama. Kurang gizi dan kelebihan berat badan, obesitas atau PTM sekarang hidup
berdampingan di banyak negara, dengan wanita terpengaruh secara tidak proporsional
pada tingkat populasi (FAO, 2006)
Survei Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (IFLS), yang mewakili 85% populasi,
menunjukkan bahwa selama periode lima belas tahun, proporsi lakilaki dan perempuan kurus
mengalami penurunan yang signifikan sedangkan proporsi laki-laki dan perempuan gemuk”
(berat badan lebih) naik hampir dua kali lipat. Hal ini menunjukkan penurunan jumlah orang
kurus dan peningkatan jumlah orang gemuk di kalangan dewasa Indonesia, sama seperti yang
terjadi pada anak-anak Indonesia. (Indonesia Health Sector Review 2012 )
Namun, meskipun bukti-bukti menunjukkan bahwa kegemukan (obesitas) terus
meningkat, persepsi yang salah telah mengaburkan betapa mendesaknya masalah tersebut.
Misalnya, banyak kalangan berasumsi bahwa obesitas merupakan masalah eksklusif orang
kaya. Hal itu tidak benar. Meskipun obesitas meningkat seiring dengan meningkatnya
pendapatan, volume terbesar obesitas justru terkonsentrasi di segmen ekonomi yang lebih
bawah, dan dikondisikan dengan meningkatnya lingkungan perkotaan yang menyebabkan
obesitas (obesogenic) (Swinburn, 2002).
Persepsi salah lainnya menyangkut sifat fisik obesitas, karena sering mengingatkan
kita pada seseorang yang “gemuk.” Padahal, kegemukan adalah masalah tersembunyi. Di
Indonesia, bahkan mereka yang tidak terlihat “gemuk” memiliki sejumlah besar lemak dalam
tubuhnya - sebanyak dua kali jumlah lemak tubuh orang Kaukasia yang memiliki bentuk
tubuh yang sama. Salah satu alasannya adalah terjadinya hambatan pertumbuhan pada 1.000
hari pertama kehidupan yang diikuti pertumbuhan pesat selama masa kanakkanak, yang
didorong oleh gaya hidup perkotaan. Selain itu, bagi masyarakat Indonesia, risiko kesehatan
yang terkait dengan kelebihan lemak tubuh berawal dari Indeks Massa Tubuh (BMI) yang
GIZI MASYARAKAT
lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia, dan tentunya lebih rendah
daripada standar internasional.
Secara geografis, angka rata-rata nasional mengaburkan keragaman yang besar di
seluruh negeri. Selanjutnya, tingkat kegemukan yang tinggi di pulau-pulau terluar dengan
tingkat kekurangan gizi ibu dan anak tertinggi memberikan bukti nyata akan hubungan antara
pertumbuhan awal dan peningkatan berat badan di sepanjang hidup. Misalnya, di tiga
provinsi (Riau, Bengkulu, dan Sulawesi Tenggara) baik tingkat anak yang kurus maupun
yang gemuk angkanya lebih dari 15%. Kegemukan di kalangan dewasa angkanya lebih dari
15% di semua provinsi kecuali NTT dan lebih dari 25% di delapan provinsi (Sumatera Barat,
Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku,
dan Maluku Utara). Secara keseluruhan, meskipun kegemukan terkonsentrasi di Jawa karena
populasinya yang besar, masalah DBM sebetulnya lebih besar di pulau-pulau terluar.
(Indonesia Health Sector Review 2012 )
Gambar 3. Pemicu beban ganda malnutrisi dalam Jurnal United Nations Decade Of
Action On Nutrition 2016-2025
Meskipun penyebab Double Burden Of Malnutrition bersifat kompleks, tinjauan ini
menganalisis DBM di Indonesia dengan menggunakan peta sistem obesitas yang
dikembangkan Proyek Foresight di Inggris, yang mengelompokkan lebih dari 100 variabel ke
dalam empat bidang tematis: (Indonesia Health Sector Review 2012)
2010 atau setengah dari angka 32% yang dilaporkan pada tahun 2007, dan jauh lebih sedikit
dari angka 40% yang dilaporkan pada tahun 2002.
Pola konsumsi pangan selama hidup lebih sulit untuk dievaluasi, tetapi data yang ada
menunjukkan peningkatan asupan pangan, terutama daging, ikan, telur, dan makanan olahan.
Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan tidak hanya meningkat secara kuantitatif, tapi
bahannya juga lebih mahal seperti daging dan makanan yang dikonsumsi di luar rumah.
Konsumsi sayuran dan buah-buahan tetap stabil dan rendah. Selain kuantitas, penelitian lebih
lanjut perlu dilakukan untuk lebih memahami kualitas pola makan.
3. Lingkungan Fisik/Bangun.
Penilaian terhadap lingkungan fisik di Indonesia menunjukkan lingkungan urban yang
tidak nyaman untuk aktivitas fisik berjalan kaki. Akses pada makanan sehat yang terbatas di
lingkungan urban Lingkungan fisik/bangun. Penilaian terhadap lingkungan fisik di Indonesia
menunjukkan lingkungan urban yang tidak nyaman untuk aktivitas fisik berjalan kaki.
Akses pada makanan sehat yang terbatas di lingkungan urban menyebabkan mereka
yang pergi ke atau pulang dari sekolah dan tempat kerja mempunyai pilihan yang terbatas
selain makanan siap saji di luar rumah. Karena saat ini kesadaran masyarakat terhadap
masalah DBM masih rendah, sekolah belum bisa menjadi tempat bagi pencegahan
kegemukan pada anak. Walaupun tempat anak-anak membeli makanan tidak jelas,
kemungkinan sekitar 35% berasal dari pedagang kaki lima.
GIZI MASYARAKAT
Peraturan atas hal ini yang dapat memastikan agar anak-anak makan lebih sehat,
merupakan tantangan yang harus ditangani dengan lebih baik Perencanaan tata kota dan
pemerintah daerah berperan penting dalam memberikan lebih banyak pilihan untuk aktivitas
fisik berjalan kaki karena sebagian besar penduduk tidak cukup berolahraga untuk membantu
mencegah penyakit kardiovaskular. Data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan anak usia
sekolah merupakan salah satu kelompok usia yang paling tidak aktif (Riskesdas, 2007)
4. Lingkungan Sosial Budaya.
Meskipun terbenam dalam segala bentuk media modern, Indonesia tetap terus
mempertahankan sebagian besar kebudayaannya. Kebiasaan tradisional mempengaruhi
kekurangan gizi pada ibu hamil dan anak usia dini, dan norma-norma sosial mendorong
banyak perempuan untuk menikah pada saat mereka masih anak-anak: 25% wanita usia subur
menikah sebelum berusia 18 tahun, bahkan 10% sebelum berusia 16 tahun, yang dengan
demikian berkontribusi terhadap tingginya angka kelahiran, terutama di pulau-pulau terluar.
Pada saat yang sama, anak-anak menonton televisi sekitar 4 jam perhari, sedangkan iklan
makanan olahan mendominasi media, dengan iklan-iklan yang ditargetkan kepada anak-anak.
Mayoritas orang tua melaporkan bahwa apa yang mereka beli dipengaruhi oleh pilihan
anakanaknya dibandingkan oleh pengaruh iklan. Hal ini menunjukkan perlunya mengurangi
pengaruh luar, seperti yang telah dilakukan oleh beberapa negara lain.
berkontribusi pada pencegahan dan pengobatan DBM selama kehidupan. Kerangka ini
dibangun berdasarkan tabel yang dikembangkan oleh Gillespie dan Haddad pada tahun 2001
untuk menurunkan DBM di Asia dan mengacu pada Lancet Nutritional Series dan tinjauan
terbaru lainnya mengenai berbagai bukti untuk mengatasi kegemukan dan obesitas.
Banyak intervensi yang sudah dilaksanakan di Indonesia. Meskipun terdapat kemajuan
pada beberapa bidang, masih ada kesenjangan pada bidang-bidang lainnya. Misalnya,
penerapan intervensi langsung di awal kehidupan, terutama pemberian ASI, masih perlu
ditingkatkan. Demikian pula, meskipun telah dicapai kemajuan fortifikasi pangan dengan
mikronutrien, masalah anemia pada ibu hamil masih membutuhkan perhatian. Akhirnya,
program kesejahteraan sosial telah membantu menjamin keamanan pangan di antara mereka
yang termiskin dari yang miskin, tetapi perlu ada penekanan yang lebih besar pada kualitas
maupun kuantitas pangan.
Sekolah adalah tempat yang sangat penting untuk membangun gaya hidup sehat yang
akan membantu mengurangi dampak DBM, tetapi sayangnya belum banyak dimanfaatkan
untuk tujuan ini. Tenaga kesehatan perlu diberi pelatihan yang lebih baik sehingga
obesitas/kegemukan dan stunting dianggap sebagai masalah yang harus ditangani
Gambar 6. Mengapa penting untuk bertindak dalam Jurnal United Nations Decade Of
Action On Nutrition 2016-2025
Menurut Indonesia Health Sector Review (2012) menjelaskan Aksi kebijakan berikut
ini dikelompokkan berdasarkan wilayah fungsional, tahapan kehidupan, dan jenis kegiatan,
yang perlu dipertimbangkan, didiskusikan secara mendalam, dan segera ditindak lanjuti dan
diuji cobakan:
1. Kebijakan dan Rencana Gizi
Memastikan seawal dan sepraktis mungkin bahwa program gizi di Indonesia
berorientasi menangani DBM, menyadari bahwa prioritas pertama untuk
melakukannya adalah dengan menangani masalah stunting melalui peningkatan
gizi ibu hamil dan anak usia dini, terutama dengan menerapkan paket
intervensi gizi langsung dari Lancet Nutrition Series
Memastikan bahwa rencana untuk dewan/forum gizi nasional tingkat tinggi
pada akhirnya mencakup rencana untuk menangani DBM, dengan
mengembangkan inisiatif yang ada saat ini melalui SUN.
Memastikan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) dan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG)
mempertimbangkan DBM dengan memadai.
2. Gizi Ibu Hamil, Bayi dan Balita
GIZI MASYARAKAT
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2001. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Food and Agricultural Organization. The Nutrition transition and obesity]. Available
from:http//www. fao.org/focus/e/obesity/ obes2.htm.
GIZI MASYARAKAT
Food and Agriculture Organization. The double burden of malnutrition-case studies from six
developing countries: FAO food and nutrition paper 84. Rome: FAO, 2006
Food and Agricultural Organization. The Nutrition transition and obesity. Available
from:http//www. fao.org/focus/e/obesity/ obes2.htm. 2016
Indonesia. Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam Rangka
Seribu Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK). Jakarta: Republik Indonesia,
2013.
Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI. Riset kesehatan
dasar (Riskesdas 2013). Jakarta: Badan Litbang Kesehatan, 2013.
Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI. Riset kesehatan dasar
(Riskesdas 2007)
Kementerian Kesehatan RI. 2017. Warta kesmas; gizi investasi masa depan bangsa. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Ri
Levels and trends in child malnutrition. UNICEF/ WHO/World Bank Group joint
malnutrition estimates. Key findings of the 2017 edition. New York/Geneva/
Washington DC: The United Nations Children’s Fund, the World Health Organization
and the World Bank Group; 2017
Roger Shrimpton, & Claudia Rokx. (2012). The Double Burden Of Malnutrition: A Review of
Global Evidence. Washington DC: The International Bank for Reconstruction and
Development : World Bank
Swinburn, B. dan Figger, G. 2002 Preventive Strategies against Weight Gain and
Obesity.Obesity Reviews, 3:289- 301.
Tzioumis E, Adair LS. Childhood dual burden of under and overnutrition in low and middle
income countries: a critical review. Food Nutr Bull. 2014;35(2):230–43. doi:
10.1177/15648265140350021
The World Bank Indonesia. Indonesia menghadapi beban ganda malnutrisi. Indonesia Health
Sector Review Jakarta: The World Bank Indonesia, 2012.
The double burden of malnutrition. Case studies from six developing countries. FAO Food
and Nutrition Paper 84. Rome: Food and Agriculture Organization of the United
Nations; 2006 (ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/009/a0442e/ a0442e00.pdf,
Unicef, 2013. Improving Child Nutrition The achievable imperative for global progress.
Diakses:www.unicef.org/media/files/nutrition _report_2013.
GIZI MASYARAKAT
World Health Organization. (2014). Global Strategy on Diet, Physical Activity and Health:
Childhood overweight and obesity. Switserland: WHO Prevention of Noncommunicable
Diseases (PND)
World Health Organization. The Doubel Borden Of Malnutrition. Police Brief. UNITED
NATIONS DECADE OF ACTION ON NUTRITION 2016-2025. WHO/NMH/NHD/17.3
World Health Organization (WHO). Global and regional trends by UN regions, 1990-2025.
Jeneva: WHO; 2010. 3.