Kelompok IV Gizi Masyarakat

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 19

GIZI MASYARAKAT

PROGRAM GIZI DAN


P E R M Atagline
SALAHANNYA

DOUBEL BURDEN OF
MALNUTRITION

HUSAIN PANGGI
SRI INDAH NURMAYANTI
KARSUM Y. NAUKO
SRI FEMIANTY BAHSUAN

PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PRODI KESEHATAN MASYARAKAT
2022
MASALAH PEREMPUAN BAYI
DAN ANAK
GIZI MASYARAKAT

Situasi Terkini Double Burden Of


Malnutrition di Indonesia

Masalah Double Burden Of


Malnutrition di Indonesia

DOUBEL BURDEN OF
MALNUTRITION
Faktor – Faktor Penyebab Double
Burden Of Malnutrition

Mengatasi Double Burden Of


Malnutrition di Indonesia

Aksi Kebijakan Untuk


Dipertimbangkan Di Indonesia

I. PENDAHULUAN
a. Situasi Terkini Double Burden Of Malnutrition di Indonesia
GIZI MASYARAKAT

Kecukupan gizi dan pangan merupakan salah satu faktor terpenting dalam
mengembangkan kualitas sumber daya manusia, sebagai indikator keberhasilan
pembangunan suatu bangsa. Dalam hal ini gizi memiliki pengaruh terhadap kecerdasan dan
produktivitas kerja sumber daya manusia (Almatsier, 2001).
Saat ini Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi yang berdampak serius
terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM).
Beban gizi ganda atau DBM (double burden of malnutrition) merupakan koeksistensi
dari kekurangan gizi dan kelebihan gizi pada suatu populasi dalam siklus kehidupan, hal ini
disebabkan karena fenomena kekurangan gizi pada usia dini memberikan kontribusi ataupun
berelasi dengan kejadian kelebihan gizi pada usia dewasa (Roger Shrimpton & Claudia Rokx,
2012).
Double Burden Of Malnutrition merupakan permasalahan global yang dapat
menyerang berbagai keluarga dengan latar belakang status ekonomi yang variatif. Sebanyak
51 juta anak di seluruh dunia berada pada status gizi kurus, 42 juta mengalami kasus
kegemukan dan Obesitas.(World Health Organization, 2014).
Beban ganda (double burden) malnutrisi, meliputi kurang gizi dan kelebihan berat
badan, menjadi masalah utama di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang
(WHO, 2014). The United Nations Food and Agriculture Organization memperkirakan
bahwa sekitar 795 juta orang dari 7,3 miliar orang di dunia menderita kekurangan gizi kronis
pada tahun 2014-2016 (FAO, 2016). Kelaparan dan kekurangan gizi berkontribusi bagi
kematian dini ibu, bayi dan anak-anak, serta gangguan perkembangan fisik dan otak di saat
dewasa (WHO, 2014).
Food and Agriculture Organization (2015) mengungkapkan secara umum kejadian
gizi lebih mempunyai persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan gizi kurang, namun
di negara berkembang persentase kurang gizi dan kelebihan gizi berimbang2. Seperti
beberapa negara berkembang lainnya, Indonesia sejak beberapa dekade terakhir ini tidak
luput dari permasalahan tersebut, terutama pada anak balita.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 mendapatkan prevalensi gizi buruk
pada anak balita 5,4 persen dan gizi lebih 4,3 persen. Pada survei Riskesdas tahun 2013 gizi
buruk pada anak balita meningkat menjadi 5,7 persen dan gizi lebih juga meningkat menjadi
4,5 persen.
GIZI MASYARAKAT

Gambar 1. Status Gizi Di Indonesia (Sumber Rencana Aksi Kegiatan Direktorat Gizi
Masyarakat Tahun 2020-2025)

Gambar 2. Pemetaan beban ganda malnutrisi UNICEF 2017 dalam Jurnal United Nations
Decade Of Action On Nutrition 2016-2025
Salah satu masalah kekurangan gizi yang masih cukup tinggi di Indonesia adalah
pendek (stunting) dan kurus (wasting) pada balita serta masalah anemia dan kurang energi
GIZI MASYARAKAT

kronik (KEK) pada ibu hamil. Masalah kekurangan gizi pada ibu hamil tersebut pada
akhirnya dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah (BBLR) dan kekurangan gizi
pada balita. Permasalahan gizi disebabkan oleh penyebab langsung seperti asupan makanan
yang tidak adekuat dan penyakit infeksi. Sedangkan penyebab tidak langsung permasalahan
gizi adalah masih tingginya kemiskinan, rendahnya sanitasi lingkungan, ketersediaan pangan
yang kurang, pola asuh yang kurang baik, dan pelayanan kesehatan yang belum optimal
(Kemenkes RI, 2017).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 berdasarkan indikator BB/U
menunjukkan secara nasional prevalensi gizi buruk-kurang pada tahun 2013 adalah 19,6%
yang terdiri dari 5,7% gizi buruk dan 13,9% gizi kurang. Terus terjadi peningkatan prevalensi
gizi buruk-kurang dibandingkan hasil Riskesdas pada tahun sebelumnya dimana pada tahun
2007 prevalensi gizi buruk-kurang adalah sebesar 18,4% dan tahun 2010 sebesar 17,9%.
Diantara 33 provinsi di Indonesia, terdapat 18 provinsi yang memiliki prevalensi gizi buruk-
kurang di atas angka dengan urutan dari yang tertinggi dan terendah adalah (1) Nusa
Tenggara Timur; (2) Papua Barat; (3) Sulawesi Barat; (4) Maluku; (5) Kalimantan Selatan;
(6) Kalimantan Barat; (7) Aceh; (8) Gorontalo; (9) Nusa Tenggara Barat; (10) Sulawesi
Selatan; (11) Maluku Utara; (12) Sulawesi Tengah; (13) Sulawesi Tenggara; (14) Kalimantan
Tengah; (15) Riau; (16) Sumatera Utara; (17) Papua, (18) Sumatera Barat dan (19) Jambi.
Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius, bila prevalensi gizi buruk-kurang
antara 20,0-29,0 % dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila ≥30% (WHO, 2010).
Prevalensi nasional gizi buruk-kurang pada anak balita sebesar 19,6%, yang berarti masalah
gizi buruk- kurang di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat mendekati
prevalensi tinggi (Riskesdas, 2013).

b. Masalah Double Burden Of Malnutrition di Indonesia


Adanya kasus kelebihan dan kekurangan berat badan di kalangan anak-anak
menunjukkan bahwa DBM di Indonesia sudah memprihatinkan. Stunting adalah masalah gizi
utama, dan makin mengkhawatirkan mengingat terdapatnya hubungan antara stunting dan
risiko penyakit tidak menular di kemudian hari, yang saat ini menjadi mayoritas beban
penyakit di Indonesia. Kaitan antara stunting dan penyakit tidak menular belum sepenuhnya
dipahami atau ditangani dengan baik oleh petugas kesehatan dan pembuat kebijakan.
Indonesia memberikan prioritas pada masalah kekurangan gizi dengan perhatian khusus pada
“Gizi Buruk” dalam menentukan situasi gizi nasional. Dengan demikian tampaknya sebagian
besar masalah gizi telah dapat diatasi mengingat prevalensi gizi buruk di kalangan balita
GIZI MASYARAKAT

hanya 5.4%. Padahal masalah yang lebih besar adalah kenyataan bahwa 36% balita
mengalami stunting berikut konsekuansinya yang seumur hidup (lihat Tabel 1).

Sumber : (Indonesia Health Sector Review 2012 )

Gambar 3. Beban ganda nutrisi dapat terjadi pada tiga tingkat dalam Jurnal United
Nations Decade Of Action On Nutrition 2016-2025

Pertama, itu terjadi ditingkat individu melalui serentak perkembangan dua dari
lebih jenis malnutrisi – misalnya obesitas dengan anemia gizi atau kekurangan atau
kekurangan vitamin atau mineral. Itu juga dapat terjadi di sepanjang perjalanan
hidup dan menjaditerpisah sementara, karena lingkungan nutrisi yang kontras akibat
GIZI MASYARAKAT

pergeseran ekonomi atau keadaan lain, misalnya kelebihan berat badan pada orang
dewasa yang sebelumnya terhambat karena kekurangan gizi kronis selama masa kanak-
kanak.
Kedua, beban ganda ini dapat terjadi pada tingkat rumah tangga. Contohnya
termasuk anemia gizi pada ibu, dengan anak atau kakek- nenek yang kelebihan berat
badan atau menderita diabetes (tipe 2). Rumah tangga dengan beban ganda lebih sering
terjadi di negara- negara berpenghasilan menengah yang mengalami transisi nutrisi yang
cepat (Tzioumis E, 2014)
Akhirnya, beban ini juga diamati di tingkat populasi-dengan kekurangan gizi dan
kelebihan berat badan, obesitas atau PTM yang lazim di komunitas, wilayah atau negara
yang sama. Kurang gizi dan kelebihan berat badan, obesitas atau PTM sekarang hidup
berdampingan di banyak negara, dengan wanita terpengaruh secara tidak proporsional
pada tingkat populasi (FAO, 2006)
Survei Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (IFLS), yang mewakili 85% populasi,
menunjukkan bahwa selama periode lima belas tahun, proporsi lakilaki dan perempuan kurus
mengalami penurunan yang signifikan sedangkan proporsi laki-laki dan perempuan gemuk”
(berat badan lebih) naik hampir dua kali lipat. Hal ini menunjukkan penurunan jumlah orang
kurus dan peningkatan jumlah orang gemuk di kalangan dewasa Indonesia, sama seperti yang
terjadi pada anak-anak Indonesia. (Indonesia Health Sector Review 2012 )
Namun, meskipun bukti-bukti menunjukkan bahwa kegemukan (obesitas) terus
meningkat, persepsi yang salah telah mengaburkan betapa mendesaknya masalah tersebut.
Misalnya, banyak kalangan berasumsi bahwa obesitas merupakan masalah eksklusif orang
kaya. Hal itu tidak benar. Meskipun obesitas meningkat seiring dengan meningkatnya
pendapatan, volume terbesar obesitas justru terkonsentrasi di segmen ekonomi yang lebih
bawah, dan dikondisikan dengan meningkatnya lingkungan perkotaan yang menyebabkan
obesitas (obesogenic) (Swinburn, 2002).
Persepsi salah lainnya menyangkut sifat fisik obesitas, karena sering mengingatkan
kita pada seseorang yang “gemuk.” Padahal, kegemukan adalah masalah tersembunyi. Di
Indonesia, bahkan mereka yang tidak terlihat “gemuk” memiliki sejumlah besar lemak dalam
tubuhnya - sebanyak dua kali jumlah lemak tubuh orang Kaukasia yang memiliki bentuk
tubuh yang sama. Salah satu alasannya adalah terjadinya hambatan pertumbuhan pada 1.000
hari pertama kehidupan yang diikuti pertumbuhan pesat selama masa kanakkanak, yang
didorong oleh gaya hidup perkotaan. Selain itu, bagi masyarakat Indonesia, risiko kesehatan
yang terkait dengan kelebihan lemak tubuh berawal dari Indeks Massa Tubuh (BMI) yang
GIZI MASYARAKAT

lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia, dan tentunya lebih rendah
daripada standar internasional.
Secara geografis, angka rata-rata nasional mengaburkan keragaman yang besar di
seluruh negeri. Selanjutnya, tingkat kegemukan yang tinggi di pulau-pulau terluar dengan
tingkat kekurangan gizi ibu dan anak tertinggi memberikan bukti nyata akan hubungan antara
pertumbuhan awal dan peningkatan berat badan di sepanjang hidup. Misalnya, di tiga
provinsi (Riau, Bengkulu, dan Sulawesi Tenggara) baik tingkat anak yang kurus maupun
yang gemuk angkanya lebih dari 15%. Kegemukan di kalangan dewasa angkanya lebih dari
15% di semua provinsi kecuali NTT dan lebih dari 25% di delapan provinsi (Sumatera Barat,
Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku,
dan Maluku Utara). Secara keseluruhan, meskipun kegemukan terkonsentrasi di Jawa karena
populasinya yang besar, masalah DBM sebetulnya lebih besar di pulau-pulau terluar.
(Indonesia Health Sector Review 2012 )

c. Faktor – Faktor Penyebab Double Burden Of Malnutrition


Beban gizi ganda (BGG) atau Double Burden of Malnutrition (DBM) adalah suatu
keadaan ko-eksistensi antara kekurangan gizi dan kelebihan gizi makronutrien maupun
mikronutrien di sepanjang kehidupan pada populasi, masyarakat, keluarga dan bahkan
individu yang sama. (The World Bank Indonesia dalam Indonesia Health Sector Review
2012)
Menurut World Health Organization dalam Jurnal United Nations Decade Of Action
On Nutrition 2016-2025 menjelaskan ada 4 hal yang menjadi pemicu Double Burden Of
Malnutrition dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
GIZI MASYARAKAT

Gambar 3. Pemicu beban ganda malnutrisi dalam Jurnal United Nations Decade Of
Action On Nutrition 2016-2025
Meskipun penyebab Double Burden Of Malnutrition bersifat kompleks, tinjauan ini
menganalisis DBM di Indonesia dengan menggunakan peta sistem obesitas yang
dikembangkan Proyek Foresight di Inggris, yang mengelompokkan lebih dari 100 variabel ke
dalam empat bidang tematis: (Indonesia Health Sector Review 2012)

1. Lingkungan Kesehatan Dan Biologis.


Indonesia sedang mengalami transisi demografis. Umur Harapan Hidup telah
meningkat dan karena Indonesia memberikan prioritas terhadap layanan kesehatan primer,
makin banyak masyarakat yang memiliki akses terhadap layanan kesehatan primer,
pengeluaran untuk kesehatan juga meningkat, dan serangkaian kebijakan kesehatan di tahun
delapan puluhan dan sembilan puluhan telah berdampak pada distribusi fasilitas kesehatan
yang lebih baik di seluruh Indonesia. Populasi yang semakin menua selanjutnya
mempengaruhi transisi epidemiologi, dan struktur usia yang berubah telah memberikan
kontribusi pada pergeseran beban penyakit dari penyakit menular ke penyakit tidak menular.
Dewasa ini, penyakit tidak menular menjadi penyebab utama disabilitas dan kematian (60%)
di Indonesia. Penyakit kardiovaskular menjadi penyebab utama kematian (30% dari semua
kematian akibat penyakit tidak menular), diikuti kanker, penyakit paru obstruktif kronik, dan
diabetes (lihat Gambar 3).
GIZI MASYARAKAT

Gambar 3. Penyebab kematian Di Indonesia (1995-2007) Sumber : (Indonesia Health Sector


Review 2012 )
Di lain pihak, kecepatan peningkatan cakupan sanitasi belum sejalan dan parasit
gastrointestinal masih sangat umum didapatkan, sehingga berpeluang menyebabkan anemia
pada ibu. Selanjutnya, meskipun akses pada layanan primer meningkat, pada umumnya
sistem kesehatan tidak seluruhnya siap untuk menerapkan berbagai intervensi gizi, antara lain
karena petugas kesehatan belum memiliki persepsi bahwa stunting dan obesitas/kegemukan
adalah suatu masalah.

2. Lingkungan Ekonomi Dan Pangan.


Peningkatan kekayaan negara telah disertai dengan penurunan kemiskinan dan
peningkatan ketersediaan pangan sebagai energi per kapita, yang sebagian besar berasal dari
penggandaan lemak. Ketersediaan beras umumnya stabil sementara energi yang berasal dari
daging dan ikan meningkat dua kali lipat, energi dari susu meningkat tiga kali lipat, dan dari
gandum meningkat enam kali lipat. Secara bersamaan, peningkatan perdagangan pangan
global telah menyebabkan meningkatnya impor makanan olahan ke negara berpenghasilan
rendah hingga menengah, yang terutama didistribusikan melalui jaringan supermarket dan
perusahaan makanan cepat saji multinasional yang terus berkembang. Outlet komersial jenis
baru ini terutama mempengaruhi daerah urban.
Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan di awal
kehidupan akan mempengaruhi sisa hidup seseorang. Sayangnya, praktek pemberian makan
pada bayi dan anak di Indonesia masih jauh dari memadai dan berkontribusi pada kekurangan
gizi di awal kehidupan serta meningkatkan risiko kelebihan gizi di kemudian hari.
Kebiasaan yang merugikan tersebut mencakup menurunnya pemberian ASI eksklusif
dan pemberian makanan pendamping yang terlalu dini. Meskipun pemerintah telah berupaya
untuk mendorong pemberian ASI eksklusif, upaya pemberian ASI terus menurun. Hanya
15% bayi mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan seperti yang dilaporkan pada tahun
GIZI MASYARAKAT

2010 atau setengah dari angka 32% yang dilaporkan pada tahun 2007, dan jauh lebih sedikit
dari angka 40% yang dilaporkan pada tahun 2002.
Pola konsumsi pangan selama hidup lebih sulit untuk dievaluasi, tetapi data yang ada
menunjukkan peningkatan asupan pangan, terutama daging, ikan, telur, dan makanan olahan.
Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan tidak hanya meningkat secara kuantitatif, tapi
bahannya juga lebih mahal seperti daging dan makanan yang dikonsumsi di luar rumah.
Konsumsi sayuran dan buah-buahan tetap stabil dan rendah. Selain kuantitas, penelitian lebih
lanjut perlu dilakukan untuk lebih memahami kualitas pola makan.

Sumber : (Indonesia Health Sector Review 2012 )


Peningkatan konsumsi makanan “Grup 3“ (Tabel 2) dibandingkan dengan konsumsi
makanan yang tingkat pengolahannnya lebih rendah secara lebih proporsional dan seimbang
kemungkinan besar menjadi penyumbang masalah obesitas di Indonesia dan di seluruh dunia.
Makanan grup 3 yang padat energi dan penuh dengan biji-bijian, gula dan lemak refinasi,
telah dikenal sebagai pilihan termurah bagi konsumen. Contohnya dalam konteks Indonesia
adalah mie instan.

3. Lingkungan Fisik/Bangun.
Penilaian terhadap lingkungan fisik di Indonesia menunjukkan lingkungan urban yang
tidak nyaman untuk aktivitas fisik berjalan kaki. Akses pada makanan sehat yang terbatas di
lingkungan urban Lingkungan fisik/bangun. Penilaian terhadap lingkungan fisik di Indonesia
menunjukkan lingkungan urban yang tidak nyaman untuk aktivitas fisik berjalan kaki.
Akses pada makanan sehat yang terbatas di lingkungan urban menyebabkan mereka
yang pergi ke atau pulang dari sekolah dan tempat kerja mempunyai pilihan yang terbatas
selain makanan siap saji di luar rumah. Karena saat ini kesadaran masyarakat terhadap
masalah DBM masih rendah, sekolah belum bisa menjadi tempat bagi pencegahan
kegemukan pada anak. Walaupun tempat anak-anak membeli makanan tidak jelas,
kemungkinan sekitar 35% berasal dari pedagang kaki lima.
GIZI MASYARAKAT

Peraturan atas hal ini yang dapat memastikan agar anak-anak makan lebih sehat,
merupakan tantangan yang harus ditangani dengan lebih baik Perencanaan tata kota dan
pemerintah daerah berperan penting dalam memberikan lebih banyak pilihan untuk aktivitas
fisik berjalan kaki karena sebagian besar penduduk tidak cukup berolahraga untuk membantu
mencegah penyakit kardiovaskular. Data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan anak usia
sekolah merupakan salah satu kelompok usia yang paling tidak aktif (Riskesdas, 2007)
4. Lingkungan Sosial Budaya.
Meskipun terbenam dalam segala bentuk media modern, Indonesia tetap terus
mempertahankan sebagian besar kebudayaannya. Kebiasaan tradisional mempengaruhi
kekurangan gizi pada ibu hamil dan anak usia dini, dan norma-norma sosial mendorong
banyak perempuan untuk menikah pada saat mereka masih anak-anak: 25% wanita usia subur
menikah sebelum berusia 18 tahun, bahkan 10% sebelum berusia 16 tahun, yang dengan
demikian berkontribusi terhadap tingginya angka kelahiran, terutama di pulau-pulau terluar.
Pada saat yang sama, anak-anak menonton televisi sekitar 4 jam perhari, sedangkan iklan
makanan olahan mendominasi media, dengan iklan-iklan yang ditargetkan kepada anak-anak.
Mayoritas orang tua melaporkan bahwa apa yang mereka beli dipengaruhi oleh pilihan
anakanaknya dibandingkan oleh pengaruh iklan. Hal ini menunjukkan perlunya mengurangi
pengaruh luar, seperti yang telah dilakukan oleh beberapa negara lain.

d. Mengatasi Double Burden Of Malnutrition di Indonesia


Berbagai aksi untuk memperkuat respons terhadap masalah gizi telah dituangkan dalam
gerakan Scaling Up Nutrition (SUN) yang telah diikuti oleh Indonesia sejak bulan September
2012. SUN yang fokusnya pada kekurangan gizi ibu hamil dan anak, perlu mengadopsi
masalah DBM seiring dengan upaya negara dalam meningkatkan respons terhadap masalah
DBM, khususnya karena upaya untuk mengatasi masalah kekurangan gizi ibu hamil dan anak
usia dini adalah langkah pertama yang diperlukan untuk mencegah DBM di tahapan
kehidupan selanjutnya.
Meskipun Indonesia telah menunjukkan kemajuan dalam mikronutrien, dan telah mulai
menggalakkan praktek gizi yang baik seperti ASI eksklusif dan rumah sakit sayang bayi,
masih ada ruang untuk perbaikan koordinasi lintas sektor di segala tingkatan kepemerintahan.
Sebuah kerangka kebijakan DBM yang menyeluruh di tingkat nasional seperti tertuang di
bawah ini, mencakup berbagai aksi yang perlu diterapkan oleh beberapa kementerian dan
mencakup empat pilar: ketahanan pangan, keamanan pangan, gaya hidup sehat, dan gizi.
Selanjutnya, usulan kerangka program untuk DBM termasuk intervensi yang dapat
GIZI MASYARAKAT

berkontribusi pada pencegahan dan pengobatan DBM selama kehidupan. Kerangka ini
dibangun berdasarkan tabel yang dikembangkan oleh Gillespie dan Haddad pada tahun 2001
untuk menurunkan DBM di Asia dan mengacu pada Lancet Nutritional Series dan tinjauan
terbaru lainnya mengenai berbagai bukti untuk mengatasi kegemukan dan obesitas.
Banyak intervensi yang sudah dilaksanakan di Indonesia. Meskipun terdapat kemajuan
pada beberapa bidang, masih ada kesenjangan pada bidang-bidang lainnya. Misalnya,
penerapan intervensi langsung di awal kehidupan, terutama pemberian ASI, masih perlu
ditingkatkan. Demikian pula, meskipun telah dicapai kemajuan fortifikasi pangan dengan
mikronutrien, masalah anemia pada ibu hamil masih membutuhkan perhatian. Akhirnya,
program kesejahteraan sosial telah membantu menjamin keamanan pangan di antara mereka
yang termiskin dari yang miskin, tetapi perlu ada penekanan yang lebih besar pada kualitas
maupun kuantitas pangan.
Sekolah adalah tempat yang sangat penting untuk membangun gaya hidup sehat yang
akan membantu mengurangi dampak DBM, tetapi sayangnya belum banyak dimanfaatkan
untuk tujuan ini. Tenaga kesehatan perlu diberi pelatihan yang lebih baik sehingga
obesitas/kegemukan dan stunting dianggap sebagai masalah yang harus ditangani

Tabel 3. Empat Pilar Dalam Kerangka Kebijakan Gizi Dbm

e. Aksi Kebijakan Untuk Dipertimbangkan Di Indonesia


Beban ganda malnutrisi memberikan dampak ekonomi yang serius dan negatif
pada individu dan populasi. Melalui pengaruhnya terhadap kesehatan, malnutrisi
meningkatkan biaya perawatan kesehatan, mengurangi produktivitas dan
memperlambat pertumbuhan ekonomi, yang pada gilirannya dapat melanggengkan
siklus kemiskinan dan kesehatan yang buruk. Biaya ekonomi makro dan mikro
langsung dan tidak langsung yang dikeluarkan oleh individu dan populasi seringkali
tidak berkelanjutan dan memberikan kontribusi hambatan yang signifikan terhadap
pembangunan ekonomi dan sosial. Karena beban kekurangan gizi terus meningkat,
GIZI MASYARAKAT

Gambar 6. Mengapa penting untuk bertindak dalam Jurnal United Nations Decade Of
Action On Nutrition 2016-2025
Menurut Indonesia Health Sector Review (2012) menjelaskan Aksi kebijakan berikut
ini dikelompokkan berdasarkan wilayah fungsional, tahapan kehidupan, dan jenis kegiatan,
yang perlu dipertimbangkan, didiskusikan secara mendalam, dan segera ditindak lanjuti dan
diuji cobakan:
1. Kebijakan dan Rencana Gizi
 Memastikan seawal dan sepraktis mungkin bahwa program gizi di Indonesia
berorientasi menangani DBM, menyadari bahwa prioritas pertama untuk
melakukannya adalah dengan menangani masalah stunting melalui peningkatan
gizi ibu hamil dan anak usia dini, terutama dengan menerapkan paket
intervensi gizi langsung dari Lancet Nutrition Series
 Memastikan bahwa rencana untuk dewan/forum gizi nasional tingkat tinggi
pada akhirnya mencakup rencana untuk menangani DBM, dengan
mengembangkan inisiatif yang ada saat ini melalui SUN.
 Memastikan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) dan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG)
mempertimbangkan DBM dengan memadai.

2. Gizi Ibu Hamil, Bayi dan Balita
GIZI MASYARAKAT

 Memperkuat mekanisme yang sudah ada dan memastikan dilaksanakannya


Peraturan Pemasaran Susu Pengganti ASI, sehingga bayi tidak lagi diberi susu
pengganti ASI oleh pekerja kesehatan, terutama pada saat kelahiran
 Memperkuat upaya untuk memperbaiki pola makan anak melalui fortifikasi di
rumah, fortifikasi makanan pendamping, dan/atau sumber makanan hewani
sesuai kebutuhan.
 Memperkuat semua upaya untuk mengendalikan defisiensi mikronutrien ganda
yang terus dialami ibu dan balita khususnya, melalui fortifikasi dan/ atau
pemberian suplemen. Sebagai tindakan jangka pendek sampai tingkat sanitasi
membaik, perkenalkan pemberian obat cacing (deworming) selama kehamilan
sesuai rekomendasi WHO untuk membantu mengendalikan anemia pada ibu
hamil.
3. Keamanan Pangan dan Gizi
 Memperkuat aspek kebijakan pertanian dalam rangka mempromosikan
produksi sayuran dan buahbuahan melalui petani lokal berskala kecil, tidak
hanya untuk meningkatkan kualitas ketersediaan pangan tetapi juga untuk
meningkatkan pendapatan di kalangan miskin pedesaan, sehingga baik
keamanan pangan maupun keamanan gizi terjamin.
 Memperkuat semua program kesejahteraan sosial bagi ibu dan balita dengan
memastikan program bantuan tunai bersyarat termasuk keterkaitannya dengan
promosi tanaman panen bernilai gizi tinggi seperti buah-buahan dan sayuran
yang bisa/ seharusnya disediakan oleh petani lokal berskala kecil melalui pasar
petani lokal.
4. Pendidikan Gizi dan Gaya Hidup Sehat
 Sebagai prioritas pertama untuk mengatasi masalah “stunting-obesitas-penyakit
tidak menular”, adalah pengembangan pendidikan gizi yang luas dan efektif di
seluruh Indonesia untuk mahasiswa, akademisi pejabat pemerintah, politisi,
industri makanan, dan masyarakat umum
 Membuat rencana untuk menjadikan semua sekolah “ramah gizi“ (termasuk
adaptasi kurikulum), mulai tahun 2013 dengan inisiatif percontohan di
sekurangkurangnya lima provinsi, dengan mengembangkan upaya yang sudah
ada melalui PMT-AS atau Penyediaan Makanan Tambahan Anak Sekolah.
 Memastikan semua upaya pembangunan kapasitas para profesional di bidang
gizi serta petugas layanan kesehatan sepenuhnya memperhatikan masalah
GIZI MASYARAKAT

DBM. • Memperkenalkan peraturan nasional untuk mengurangi dampak


pemasaran makanan yang mengandung kadar tinggi lemak jenuh, asam
lemaktrans, gula bebas, atau garam pada anak-anak, dalam fungsi rekomendasi
kebijakan resolusi World Health Assembly WHA63.14. Mengiklankan makanan
apapun untuk anak-anak melalui media apapun harus dilarang dan
pelanggarannya diberikan hukuman.
 Mengambil tindakan untuk menjamin bahwa inisiatif perencanaan perkotaan
masa depan lebih “menunjang olahraga” dengan membuat lebih banyak jalur
sepeda, trotoar, daerah pejalan kaki dan taman.
5. Penelitian
 Mengembangkan model untuk memperkirakan dampak ekonomi dan fiskal
DBM di sepanjang kehidupan.
 Menjajaki potensi dan kemungkinan untuk memberlakukan pajak atas
komoditas pangan impor yang menerima subsidi dari negara asalnya, serta
pajak atas makanan cepat saji tertentu, misalnya minuman yang mengandung
kadar gula tinggi, yang sangat bersifat obesogenik.
 Memeriksa kandungan lemak pada pola makanan nasional termasuk kualitas
lemak (berapa banyak asam lemak jenuh dan berapa banyak asam lemak poli
tak jenuh), serta jumlah dan sumber lemak trans yang dikonsumsi.
 Melakukan survei gizi tingkat nasional untuk memastikan status zat
mikronutrien, terutama untuk anemia defisiensi besi, dan kekurangan yodium,
vitamin A dan seng.
GIZI MASYARAKAT

Sumber : (Indonesia Health Sector Review 2012 )

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2001. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Food and Agricultural Organization. The Nutrition transition and obesity]. Available
from:http//www. fao.org/focus/e/obesity/ obes2.htm.
GIZI MASYARAKAT

Food and Agriculture Organization. The double burden of malnutrition-case studies from six
developing countries: FAO food and nutrition paper 84. Rome: FAO, 2006

Food and Agricultural Organization. The Nutrition transition and obesity. Available
from:http//www. fao.org/focus/e/obesity/ obes2.htm. 2016

Indonesia. Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam Rangka
Seribu Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK). Jakarta: Republik Indonesia,
2013.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI. Riset kesehatan
dasar (Riskesdas 2013). Jakarta: Badan Litbang Kesehatan, 2013.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI. Riset kesehatan dasar
(Riskesdas 2007)

Kementerian Kesehatan RI. 2017. Warta kesmas; gizi investasi masa depan bangsa. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Ri

Kementerian Kesehatan RI. 2017. RENCANA AKSI KEGIATAN DIREKTORAT GIZI


MASYARAKAT TAHUN 2020-2025. Jakarta: Kementerian Kesehatan Ri 2020

Levels and trends in child malnutrition. UNICEF/ WHO/World Bank Group joint
malnutrition estimates. Key findings of the 2017 edition. New York/Geneva/
Washington DC: The United Nations Children’s Fund, the World Health Organization
and the World Bank Group; 2017

Roger Shrimpton, & Claudia Rokx. (2012). The Double Burden Of Malnutrition: A Review of
Global Evidence. Washington DC: The International Bank for Reconstruction and
Development : World Bank

Swinburn, B. dan Figger, G. 2002 Preventive Strategies against Weight Gain and
Obesity.Obesity Reviews, 3:289- 301.

Tzioumis E, Adair LS. Childhood dual burden of under and overnutrition in low and middle
income countries: a critical review. Food Nutr Bull. 2014;35(2):230–43. doi:
10.1177/15648265140350021

The World Bank Indonesia. Indonesia menghadapi beban ganda malnutrisi. Indonesia Health
Sector Review Jakarta: The World Bank Indonesia, 2012.

The double burden of malnutrition. Case studies from six developing countries. FAO Food
and Nutrition Paper 84. Rome: Food and Agriculture Organization of the United
Nations; 2006 (ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/009/a0442e/ a0442e00.pdf,

Unicef, 2013. Improving Child Nutrition The achievable imperative for global progress.
Diakses:www.unicef.org/media/files/nutrition _report_2013.
GIZI MASYARAKAT

World Health Organization. (2014). Global Strategy on Diet, Physical Activity and Health:
Childhood overweight and obesity. Switserland: WHO Prevention of Noncommunicable
Diseases (PND)

World Health Organization. The Doubel Borden Of Malnutrition. Police Brief. UNITED
NATIONS DECADE OF ACTION ON NUTRITION 2016-2025. WHO/NMH/NHD/17.3

World Health Organization (WHO). Global and regional trends by UN regions, 1990-2025.
Jeneva: WHO; 2010. 3.

Anda mungkin juga menyukai