Gerakan Perempuan
Gerakan Perempuan
Gerakan Perempuan
Dosen Pengampu :
Disusun oleh :
PRODI SOSIOLOGI
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena telah mencurahkan rahmat
serta hidayahnya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa dikerjakan
dengan lancar dan selesai pada waktunya.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
Gerakan Sosial dengan judul “Gerakan Perempuan". Selain itu makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan teman-teman mahasiswa mengenai gerakan perempuan.
Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Dr. Dwi Setianingsih M.Pd.I selaku dosen
mata kuliah gerakan sosial yang telah memberikan tugas ini pada kami. Sehingga kami dapat
menambah wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan
bantuan dan semangat kepada kami sehingga kami mampu untuk menyelesaikan tugas ini .
Kami menyadari jika makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami terima untuk kesempurnaan makalah ini .
Penyusun
i
Daftar Isi
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 4
3.1 Kesimpulan.............................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA
ii
Bab I
Pendahuluan
1
Fahmi Wahyuningsih. “Perjuangan Tokoh Emansipasi Perempuan Indonesia dan Jerman”. Lentera Jurnal
Studi Perempuan. Vol 9. No 1. (Juni 2013). Hal 52.
2
Sukanti Suryochondro. Potret Pergerakan Wanita di Indonesia. (Jakarta: CV Rajawali, 1984). Hal 84.
3
G.A.Ohorella, dkk. Peranan Wanita Indonesia dalam Pergerakan Nasional. (Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1992). Hal 1.
1
Di Batavia tahun 1912 untuk pertama kalinya didirikan sebuah perkumpulan
perempuan yang bernama Poetri Mahardika. Organisasi ini mendapatkan dukungan
serta bantuan dari tokoh nasional yang bernama Budi Utomo dan menekankan pada
bidang pendidikan maupun kebudayaan4. Adapun tokoh-tokoh gerakan Poetri
Mahardika di antaranya R.A. Theresia Saburudin sebagai ketua, R.K. Rukmini, dan
R.A. Sutinah Joyopranoto. Poetri Mahardika merupakan organisasi yang memiliki
tujuan memberikan motivasi-motivasi kepada perempuan terkait pentingnya
meningkatkan taraf hidup para perempuan baik dalam pendidikan ataupun dalam
kehidupan sosial5. Setelah tahun 1912 jumlah perkumpulan organisasi kaum
perempuan bertambah banyak dan semakin luas orientasinya, terutama pada
jangkauan untuk mendapatkan kebebasan dalam kehidupan bermasyarakat. Pada masa
itu, beberapa organisasi besar mendirikan suatu perkumpulan khusus perempuan
seperti Sarikat Islam yaitu Sarekat Perempuan Islam Indonesia (SPII),
Muhammadiyah yaitu Aisyiah, dan Sarekat Ambon yaitu Ina Tuni. Dari banyaknya
organisasi yang didirikan, umumnya memiliki tujuan yang sama, yakni memberikan
keleluasan bagi perempuan untuk mempelajari supaya mereka mempunyai
kemampuan dan bagaimana cara bertahan hidup tanpa selalu bergantung kepada
lelaki. Menurut Sukanti Suryochondro, bahwasanya pergerakan perempuan 25 tahun
pertama bersifat memperjuangkan nilai-nilai baru dalam hal pendidikan, kesusilaan,
dan peri kemanusian serta menuju pada usaha meninggikan kedudukan perempuan
dalam keluarga dan masyarakat6.
Gerakan perempuan Indonesia telah didirikan pada tahun 1928. Kala itu,
gerakan perempuan di Indonesia merupakan gerakan untuk melawan pemerintah
kolonial dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. 22 Desember 1928
merupakan kongres perempuan pertama di Indonesia dan menjadi tonggak sejarah
bagi kesatuan pergerakan perempuan yang terjadi dalam dinamika sejarah pergerakan
perempuan di Indonesia. Pergerakan perempuan di Indonesia di pelopori oleh tokoh
wanita yang populer pada masa itu, yaitu R.A Kartini dan pergerakan perempuan ini
tidak terjadi secara tiba-tiba. R.A Kartini melakukan pergerakan perempuan
menggunakan strategi perjuangan melalui pendidikan. Pandangan R.A Kartini terkait
4
Cora Vreede-de stuers. Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan & Pencapaian. (Jakarta: Komunitas Bambu,
2008). Hal. 24.
5
Sukanti Suryochondro, Potret Pergerakan…, Op. Cit. Hal 85.
6
Ibid., Hal 87.
2
hal ini ialah bahwasanya pendidikan merupakan syarat utama untuk membebaskan
diri perempuan dari penindasan. Pada masa perang kemerdekaan berlangsung, salah
satu strategi perjuangan pergerakan perempuan Indonesia pada akhir penjajahan
Belanda ialah meningkatkan kedudukan perempuan dan mencapai kemerdekaan
Indonesia.7
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu Gerakan Perempuan.
2. Untuk mengetahui kondisi Gerakan Perempuan Di Indonesia Dari Masa Ke
Masa.
3. untuk mengetahui tantangan Gerakan Perempuan pada Masa Kini.
7
Dia Puspitasari. Skripsi:“GERAKAN PEREMPUAN MELAWAN KORPORASI TAMBANG (Studi Perspektif
Gender di Pegunungan Kendeng Utara, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah)”.
(Surabaya: Universitas Airlangga, 2017). Hal. 2-3.
8
G.A.Ohorella. Peranan Wanita Indonesia dalam Pergerakan Nasional... Op. Cit. Hal 2.
9
Kurniawan Junaedhi. Rahasia Dapur Majalah di Indonesia. (Jakarta: PT Gramedia Utama, 1995). Hal 69.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
pengakuan gender perempuan. Gerakan pembebasan perempuan merupakan gerakan
yang heterogen dengan berbagai teori dan pandangan politik yang berbeda.
A. Masa Pra-Kemerdekaan
Organisasi perempuan pertama di Indonesia adalah Poetri Mardika.
Organisasi perempuan ini dibentuk atas bantuan Boedi Oetomo. Kelahiran
Poetri Mardika dan gerakan perempuan di Indonesia memang tidak bisa
dipisahkan dari gerakan nasional bahkan internasional yang memperjuangkan
emansipasi, nasionalisme dan kebebasan dari kolonialisme (Suryochondro,
2000). Setelah itu muncullah berbagai organisasi perempuan yang merupakan
bagian dari organisasi/gerakan nasionalis seperti Jong Java Meiskering, Young
Javanese Girls Circle, Wanita Oetomo, Aisyiah, Poetri Indonesia, Wanita
Katolik, Wanito Muljo, Jong Islamieten Bond, dan lain-lain. Pada masa
kolonial dapat dipahami apabila perempuan dan gerakan perempuan secara
bersama-sama dengan gerakan nasionalis membasmi ketidakadilan dari sistem
kolonial sekaligus memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesejajaran.
Tonggak sejarah yang terpenting adalah bersatunya gerakan
perempuan Indonesia dalam Kongres Perempuan I yang berlangsung pada 22-
25 Desember 1928 di Yogyakarta yang memunculkan Perikatan Perkumpulan
Perempuan Indonesia (PPPI) yang kelak berubah menjadi Perikatan
Perkumpulan Istri Indonesia (PPII). Agenda pembicaraan kongres ke-1 PPII
meliputi pendidikan untuk kaum perempuan, nasib yatim piatu dan janda,
perkawinan anak-anak, reformasi undang-undang perkawinan Islam,
pentingnya meningkatkan harga diri perempuan, dan kejahatan kawin paksa.
Sementara pada konges ke-2 PPII tahun 1930, persoalan yang diangkat
meliputi perdagangan perempuan, hak suara perempuan, perlunya Kantor
Penerangan Tenaga Kerja untuk perempuan, dan penelitian keadaan sanitasi di
kampung serta tingginya angka kematian bayi. Walaupun sudah tiga perempat
abad berlalu tampak bahwa tema-tema tersebut masih relevan dengan situasi
perempuan Indonesia saat ini.
Jika kita mengukur hak politik perempuan sebagai bagian dari
pencapaian hak asasi perempuan sebagai warga negara, pada era kebangkitan
gerakan perempuan ini pula tercatat awal perjuangan perempuan untuk
5
memperoleh hak suara. Pada Kongres Oemoem ke 3 KPI (Kongres
Perempoean Indonesia, era kongres baru setelah pembubaran PPII), masalah
hak suara menghangat. Walaupun usaha organisasi perempuan untuk
mendudukan Maria Ulfah sebagai perwakilan perempuan Indonesia di
Volksraad ternyata gagal, wacana hak pilih pasif (dipilih) dan memilih terus
berkembang. Pada era itu pula telah ada empat perempuan Indonesia yang
terpilih menjadi anggota Dewan Kota. Pengakuan atas hak perempuan sebagai
warga negara menjadi makin jelas ketika Rasuna Said terpilih menjadi anggota
Volksraad dan SK Trimurti menjadi anggota BPUPKI sementara pada tahun
1955 perempuan Indonesia baru dapat memperoleh hak pilihnya secara penuh
dalam Pemilihan Umum Pertama yaitu September 1955, dan bahkan dapat
mendudukkan beberapa politisi perempuan sebagai anggota parlemen.
Setelah era kolonialisme Belanda, pada masa pendudukan Jepang
tercatat kemunculan berbagai organisasi perempuan yang dibentuk oleh
Jepang, yaitu Barisan Poeteri Asia Raja yang merupakan bagian dari Gerakan
Tiga A, Barisan Pekerdja Perempoean Poetera yang merupakan bagian dari
Poesat Tenaga Rakjat (Poetera) dan Fujinkai. Saat itu pula Jepang menyatakan
bubar bagi semua organisasi perempuan yang ada dan memberi satu wadah
bagi perempuan untuk berorganisasi yaitu Fujinkai Jawa Hokokai yang
tersebar di seluruh penjuru tanah air, tempat tentara Jepang berada. Pada era
ini perempuan memperoleh kesempatan untuk melakukan tempran mental dan
fisik di bawah tekanan Jepang sambil tetap terus berupaya menggalang
persatuan dengan sesama pejuang perempuan secara sembunyi-sembunyi
karena wadah atau organisasi pemersatu mereka sudah diberangus oleh
Jepang. Setelah kemerdekaan diperoleh, di samping kemunculan kembali
organisasi perempuan yang pernah ada, muncul pula organisasi perempuan
baru yang pada akhirnya membentuk federasi dengan nama Kowani pada
tahun 1946 di Solo.
6
penjajah. Ketika itu, musuh yang dihadapi bangsa Indonesia adalah fisik,
nyata di depan mata. Secara garis besar, apa yang diperjuangkan perempuan
setelah kemerdekaan adalah kesamaan politik, hak memperoleh pendidikan
dan kesempatan bekerja. Perjuangan yang dilakukan oleh organisasi-
organisasi perempuan saat itu harus berhadapan dengan diskriminasi atau
pembagian peran yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan.
Sesungguhnya perlakuan yang diskriminatif inilah yang menjadi kegundahan
Kartini saat zaman penjajahan.
Pada dua dekade pertama masa kemerdekaan, perjuangan perempuan
direpresentasikan dengan adanya organisasi-organisasi perempuan, baik yang
sudah ada sejak sebelum kemerdekaan, maupun yang muncul setelah
kemerdekaan. Ada organisasi perempuan yang bergerak di bidang politik, dan
ada pula yang bergerak di luar ranah politik (sosial, kemanusiaan, dll).
Keberadaan organisasi perempuan ketika itu telah memberi warna tersendiri
bagi perjuangan bangsa. Banyak dari organisasi perempuan yang memberikan
pembelaan yang tegas terhadap perempuan, ketika muncul situasi tertentu
yang merugikan kepentingan perempuan.
Pada masa Soekarno, perempuan telah diakui haknya dalam politik,
baik hak pilih dalam pemilihan umum 1955, atau untuk duduk sebagai anggota
parlemen. Pada masa itu juga telah ada UU yang bernuansa keadilan gender,
yaitu UU Nomor 80/1958. Undang-undang tersebut menentukan prinsip
pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama. Perempuan dan laki-laki
tidak dibedakan dalam sistem penggajian. Keluarnya UU ini merupakan salah
satu contoh dari keberhasilan perjuangan kaum perempuan ketika itu. Namun
tidak seluruh perjuangan perempuan berhasil mencapai situasi ideal yang
diharapkan. Salah satunya adalah upaya para pejuang perempuan untuk
mengakhiri praktek poligami yang merugikan perempuan. Isu poligami ini
muncul ketika Soekarno yang merupakan simbol Bapak Bangsa dan telah
beristeri Fatmawati menikahi Hartini. Perbuatan Soekarno ketika itu ternyata
mendapat penentangan dari organisasi perempuan, yaitu Persatuan Wanita In
donesia (Perwani). Organisasi tersebut mendesak untuk dibuatnya UU
Perkawinan. (Gunawan, 1993b)
Perjuangan untuk menentang poligami akhirnya sampai pada Komisi
Perkawinan Parlemen yang kemudian mengumumkan keputusan Peraturan
7
Pemerintah (PP) Nomor 19/1952 tentang tunjangan pensiun diberikan dua kali
bagi janda-jandanya yang tidak lebih dari 4 orang. Perwari sebagai organisasi
independen menentang keras keputusan ini yang kemudian, diikuti sejumlah
organisasi termasuk Bhayangkari. Di ulang tahun Perwari ke-8, pada 17
Desember 1953, mereka melakukan demonstrasi dan ini merupakan demo
pertama setelah kemerdekaan.
Menarik untuk dicatat bahwa organisasi perempuan yang dikenal
revolusioner ketika itu, yaitu Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) suatu
organisasi yang berbasis masa dan berafiliasi dengan Partai Komunis
Indonesia, tidak menunjukkan pembelaannya terhadap perempuan dalam
masalah poligami, atau dalam memperjuangkan lahirnya Undang-Undang
Perkawinan, karena kedekatan politik Gerwani/PKI dengan Soekarno.
Mungkin Presiden RI pertama tersebut dianggap sebagai sekutu strategis bagi
perjuangan komunis ketika itu untuk menghadapi politisi Islam yang anti
komunis. Perlu juga dicatat bahwa pada awalnya Soekarno sangat mendukung
perjuangan kaum perempuan. Gagalnya organisasi perempuan mencegah
poligami dari Soekarno sempat menimbulkan kekecewaan yang mendalam
dari aktivis perempuan ketika itu.
8
awal para aktivis menginginkan bahwa larangan poligami berlaku bagi setiap
bangsa Indonesia.
Kedua, adalah dibentuknya Kementerian Muda Urusan Peranan
Wanita pada Kabinet Pembangunan (1974). Kementerian ini dalam
perkembangannya mengalami beberapa kali perubahan nama, menjadi Menteri
Negara Urusan Peranan Wanita, dan terakhir menjadi Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan. Kementerian yang ditugasi untuk meningkatkan
peranan wanita dalam pembangunan dan memberdayakan perempuan ini
menjadi simbol legitimasi yang diberikan negara kepada hak perempuan untuk
mengambil peran di ranah publik, sesuatu yang diperjuangkan oleh Kartini.
Kementerian ini juga banyak memainkan peranannya dalam kelahiran banyak
Pusat Studi Wanita di banyak universitas di Indonesia. Kementerian ini
sesungguhnya mempunyai peranan strategis dalam memperjuangkan
keberdayaan perempuan dan kesetaraan gender. Melalui kementerian ini,
kebijakan-kebijakan publik yang berperspektif gender dapat dibangun,
kebijakan yang bias gender dapat dicegah, bias laki-laki dalam struktur
birokrasi dapat dieliminasi, dan seterusnya. Kementerian ini juga dapat
melakukan langkah-langkah proaktif untuk merespon berbagai isu perempuan
yang mendasar, seperti pemerkosaan, kekerasan terhadap perempuan di rumah
tangga dan di tempat kerja, aborsi yang tidak aman, seksualitas remaja,
pengembangan sistem hukum yang sensitif gender, dan sebagainya.
Sayangnya kementerian ini seringkali dipimpin oleh figur politisi perempuan
yang kurang sensitif pada persoalan dasar dari perempuan, dan banyak
terperangkap pada program-program artifisial yang tidak menyentuh masalah
perempuan yang paling mendasar.
Di samping fenomena yang bersifat positif, Orde Soeharto juga
menghadirkan sejumlah fenomena negatif. Pertama adalah adanya kebijakan
publik yang mereproduksi subordinasi perempuan dan superioritas laki-laki,
atau mengkondisikan munculnya proses reproduksi seperti itu di masyarakat.
Reproduksi nilai subordinasi ini secara menonjol terlihat dari berdirinya
Organisasi-Organisasi Isteri, baik isteri pegawai negeri (Dharma Wanita),
isteri militer (Persit Kartika Candra Kirana), Isteri profesional (Persatuan Isteri
Dokter Indonesia, Persatuan Isteri Insinyur Indonesia, dll). Organisasi tersebut
menegaskan posisi perempuan sebagai pendamping (konco wingking) laki-
9
laki, yang meletakkan eksistensi, status, dan kehormatan perempuan pada
bayang-bayang identitas suami, bukan identitas perempuan itu sendiri.
Struktur kepengurusan dari organisasi tersebut pun dikembangkan sebagai
bayang-bayang status suami (misalnya, isteri presiden menjadi penasehat
Dharma Wanita, isteri kepala organisasi pemerintah menjadi kepala organisasi
isteri).
Era Soeharto adalah era kooptasi organisasi masyarakat. Kemandirian
dari organisasi masyarakat menjadi hilang dengan politik wadah tunggal.
Organisasi perempuan juga menjadi korban kooptasi negara. Ini terjadi ketika
pada bulan Desember 1965 Pemerintahan Orde Baru menyelenggarakan
Musyawarah Kerja Sekber (Sekretariat Bersama) GOLKAR yang menyusun
program konsolidasi organisasi dan perjuangan bagi tegaknya Orde Baru.
Dalam konsolidasi ini terdapat 23 organisasi wanita yang tergabung dalam
koordinasi wanita Sekber Golkar dan untuk mewadahi organisasi wanita ini
maka dibentuk Himpunan Wanita Karya (HWK) sebagai bagian dari
konsolidasi tegaknya Orba (Gunawan, 1993a). PERWARI sebagai organisasi
perempuan yang besar pun pada akhirnya dipaksa untuk masuk Golkar pada
tahun 1978. Hilangnya otonomi ini, tentu sangat membatasi ruang gerak
organisasi, karena tidak bisa menentukan garis perjuangannya secara bebas,
apalagi berseberangan dengan kehendak penguasa. Meskipun begitu, bukan
berarti perjuangan perempuan ketika itu tidak membuahkan hasil sama sekali.
Pada tahun 1968 Pemerintah menyetujui pemberian cuti hamil selama 3 bulan
dan cuti haid selama 2 hari bagi pekerja perempuan. Dan pada tahun 1974,
Pemerintah mengesahkan UU Perkawinan, nomor 1/1974.
Perlu juga dicatat bahwa penyatuan organisasi-organisasi perempuan
ini dianggap oleh para aktivis perempuan sebagai pembrangusan ide dan
sangat bertentangan dengan asas demokrasi. Sementara itu ada kekuatan
internasional, yang menekan negara negara berkembang untuk lebih
memperhatikan nasib perempuan. Berangkat dari kenyataan ini maka muncul
berbagai LSM yang diharapkan sebagai penerus perjuangan perempuan dalam
warna yang berbeda seperti Yayasan Annisa Swasti yang peduli terhadap
buruh perempuan (1982), Kalyanamitra, bergerak di bidang dokumentasi
(1985), Yayasan Perempuan Mahardika (1986) Yayasan Solidaritas
Perempuan, sekarang menjadi Perserikatan Solidaritas Perempuan, (1990)
10
bergerak di bidang buruh migran perempuan dan sebagainya. Tumbuhnya
Organisasi LSM ini tidak dapat dilepaskan dari dampak globalisasi, karena
PBB dengan tegas menyatakan bahwa diskriminasi terhadap perempuan harus
dihapuskan. Seiring dengan semangat PBB tersebut, Pemerintah Indonesia
pada tahun 1984 telah meratifikasi CEDAW.
Perjuangan perempuan di masa 1990-an ke atas memberi hasil yang
cukup bervariasi. Upaya mendesakkan berbagai peraturan perundangan seperti
perlindungan korban Perkosaan dalam Rumah Tangga, Perdagangan
Perempuan, Perlindungan Saksi belum menunjukkan hasil yang
menggembirakan. Akan tetapi kehadiran Komnas Perempuan yang dilantik
Habibie November tahun 1998 yang diharapkan mampu menjadi penengah
kasus-kasus pelanggarana HAM terhadap perempuan belum juga mampu
mewarnai penegakkan keadilan bagi perempuan. Tentu bukan karena Komnas
Perempuan tidak bekerja dengan baik, namun karena kompleksnya
permasalahan yang harus ditangani. Munculnya banyak Lembaga Bantuan
Hukum dan pendampingan korban kekerasan (WCC RA, LBH APIK, Mitra
Perempuan, Safi Amira, Mitra Annisa) sering dinilai sebagai kegiatan karitatif
dan kurang menyelesaikan secara struktural. Secara struktural, sistem sosial
yang ada memberi ruang yang sangat lebar bagi terjadinya tindak kekerasan
terhadap perempuan.
11
masalah perempuan, bukan sudah terpecahkan, tetapi justru berada pada situasi yang
lebih rentan.
Harus diakui bahwa selama kurun tiga tahun terakhir ini ada kemajuan penting
yang patut dicatat, yaitu keluarnya Inpres No.9 Tahun 2000. Inpres ini dapat
dikatakan sebagai produk yang monumental dari perjuangan perempuan, karena
dalam inpres ini ditekankan tentang keharusan bagi setiap instansi pemerintah, di
pusat dan daerah untuk melakukan pengarusutamaan gender. Kantor Meneg PP,
ketika itu dipimpin oleh Chofifah Indar Parawangsa, diminta untuk
mengimplementasikan kebijakan tersebut dengan melakukan langkah langkah insiatif
dan koordinatif, menfasilitasi upaya pengarusutamaan gender di setiap instansi
pemerintah.
Akan tetapi keluarnya Inpres tersebut sesungguhnya merupakan indikasi dari
lemahnya posisi tawar pejuang perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan gender
di masyarakat. Pertama, produk hukum yang dihasilkan adalah sebuah inpres, suatu
produk yang mempunyai kekuatan hukum yang lemah, lebih lemah dibanding Kepres,
apalagi UU. Dengan produk hukum seperti itu, keterikatan formal dan legal dari
institusi-institusi publik untuk mengimplementasikan konsep pengarusutamaan
gender tidak maksimal. Gagalnya pembuatan keppres sesungguhnya tidak lepas dari
sikap setengah hati dari para politisi dan sejumlah tokoh eksekutif kunci di
pemerintah pusat. Kedua, tanggungjawab dalam implementasi (termasuk pemberian
instruksi, pedoman, fasilitasi pelaksanaan, dan pengendalian) diberikan ke kantor
Meneg PP yang memiliki otoritas terbatas dan kemampuan operasional yang juga
terbatas, karena statusnya sebagai Meneg, bukan departemen. Kementerian ini dalam
prakteknya nyaris tidak mampu melakukan pengarusutamaan gen der di instansi-
instansi pemerintah lain secara berarti.
Inpres Nomor 9 seperti tidak bergaung, apalagi sedikit sekali organisasi politik
atau organisasi massa yang menaruh perhatian serius pada masalah pemberdayaan
perempuan dan kesetaraan gender. Ada letupan-letupan perjuangan pembelaan
terhadap perempuan dari dalam tubuh organisasi massa perempuan berbasis agama,
seperti Aisyiah atau Fathayat, tetapi hal itu belum merupakan arus utama dari
organisasi-organisasi tersebut. Ada banyak LSM perempuan yang sangat proaktif
memperjuangkan perempuan, tetapi mereka tidak punya massa, dan juga terbatas
aksesnya untuk mempengaruhi kebijakan publik.
12
Lemahnya posisi tawar perempuan tampak misalnya dalam Pemilu 1999.
Ketika itu muncul wacana Presiden Perempuan. Politisi Islam menggunakan argumen
agama yang tidak membolehkan perempuan menjadi pemimpin sebagai instrumen
untuk mengganjal langkah politik ketua PDIP Megawati. Ketika kemudian para
politisi Islam menjagokan Megawati untuk menggantikan Gus Dur, tidak ada
pernyataan yang cukup kuat bahwa Islam mengakui hak perempuan menjadi
pemimpin bangsa. Argumen yang diberikan adalah konsep "dhorurot" (darurat), yang
berarti bahwa pada saat lain kepemimpinan perempuan dapat dipersoalkan kembali.
Pada Pemilu 2004 ini pun perjuangan politik perempuan menghadapi banyak
tantangan. Kuota perempuan dalam parlemen minimal 30% tampaknya sulit
terpenuhi. Banyak partai politik yang gagal memenuhi kuota tersebut karena di satu
sisi jumlah tokoh perempuan yang mau berpolitik mungkin masih terbatas, dan di sisi
lain banyak dari politisi laki-laki yang kurang bersemangat untuk memenuhi kuota
tersebut.
Selanjutnya, sebagai momen ketika gerakan perempuan berjuang melawan
menguatnya paham konservatisme agama, seksisme dan oligarki dalam kehidupan
politik dan ekonomi, serta diskriminasi gender dalam masyarakat. Perjuangan
melawan konservatisme agama di Indonesia menjadi salah satu PR besar bagi gerakan
perempuan karena konservatisme agama menghambat perempuan dalam
mendapatkan hak-hak mereka. Hal ini dapat terlihat dari kenyataan bahwa Rancangan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tidak kunjung
disahkan seiring beredarnya rumor-rumor RUU ini bertentangan dengan nilai moral
dan agama di Indonesia. Padahal, tren kekerasan terhadap perempuan terus meningkat
dan belum ada payung hukum spesifik yang melindungi perempuan dari kekerasan
seksual. Catatan Akhir Tahun Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) menyebutkan, selama kurun waktu 12 tahun, kekerasan
terhadap perempuan meningkat sebanyak 792%. Di tengah perjuangan perempuan di
Indonesia, mencari titik temu atau affinity politics di antara organisasi-organisasi
pergerakan perempuan sangat dibutuhkan saat ini. Hal ini dianggap penting dalam
pembuatan agenda bersama dalam penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap
peremuan, serta pencapaian keadilan dan kesetaraan gender untuk keadilan sosial
seluruh masyarakat. Serta bertujuan agar fokus perjuangan perempuan tidak pecah
karena agenda partai atau pilihan politik.
13
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1) Gerakan perempuan berawal dilakukan dengan perorangan membuat para
perempuan sadar bahwa peningkatan derajat kaum perempuan itu sangatlah
penting, sehingga pada perkembangan selanjutnya perjuangan perempuan
dilakukan dengan membentuk perkumpulan atau organisasi yang memiliki
pandangan yang sama, yaitu untuk memajukan keadaan perempuan dari berbagai
aspek, terutama dalam bidang pendidikan.
2) Gerakan perempuan yang terjadi pada akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20
banyak memusatkan perhatiannya pada upaya memperoleh ruang publik yang
lebih luas dengan keterlibatan perempuan di dalam wilayah politik dan ekonomi,
maka belakangan ini tuntutan yang memuncak dan meluas adalah penghilangan
batasan wilayah publik dan pribadi dalam masalah perempuan.
3) Tonggak sejarah yang terpenting adalah bersatunya gerakan perempuan Indonesia
dalam Kongres Perempuan I yang berlangsung pada 22-25 Desember 1928 di
Yogyakarta yang memunculkan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia
(PPPI) yang kelak berubah menjadi Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII).
Sayangnya kementerian ini seringkali dipimpin oleh figur politisi perempuan
yang kurang sensitif pada persoalan dasar dari perempuan, dan banyak
terperangkap pada program-program artifisial yang tidak menyentuh masalah
perempuan yang paling mendasar.
4) Berangkat dari kenyataan ini maka muncul berbagai LSM yang diharapkan
sebagai penerus perjuangan perempuan dalam warna yang berbeda seperti
Yayasan Annisa Swasti yang peduli terhadap buruh perempuan (1982),
Kalyanamitra, bergerak di bidang dokumentasi (1985), Yayasan Perempuan
Mahardika (1986) Yayasan Solidaritas Perempuan, sekarang menjadi
Perserikatan Solidaritas Perempuan, (1990) bergerak di bidang buruh migran
perempuan dan sebagainya.
15
DAFTAR PUSTAKA
Darwin, Muhadjir. (2004). "Gerakan Perempuan di Indonesia dari Masa ke Masa". Dalam
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 7 Nomor 3. Jogjakarta: Universitas Gajah
Mada Jogjakarta.
Diniyanti, Restu. (2020). "Potret Gerakan Perempuan Pada Abad ke 20 di Batavia: Poetri
Mardika 1912". Dalam HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, Volume 3
Nomor 2. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Gunawan, Ryadi. (1993). "Gerakan perempuan Dulu, Sekarang dan Sumbangannya kepada
Transformasi Bangsa". Dalam Dinamika Gerakan perempuan di Indonesia, Fauzie
Ridjal, Lusi Margiani, dan Agus Fahri Husein (eds). Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal:
93-98.
Ohorella, G.A. Dkk. (1992). "Peranan Wanita Indonesia dalam Pergerakan Nasional".
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal: 1.
16
Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah)". Dalam Skripsi. FISIP. Sosiologi.
Surabaya: Universitas Airlangga. Hal: 2-3.
Vreede-de stuers, Cora. (2008). "Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan & Pencapaian".
Jakarta: Komunitas Bambu. Hal: 24.
17