Tugas Hukum Lingkungan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 7

HUKUM LINGKUNGAN

TUGAS 3

NAMA : NOVRI ARIFANDI


NIM : 043745657

1. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) secara resmi menggugat Izin Lingkungan
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 9 & 10. Gugatan tersebut dilayangkan karena
pembangunan PLTU Jawa 9 & 10 akan memperburuk kualitas lingkungan hidup dan
kesehatan masyarakat di sekitar PLTU Jawa 9 & 10 dan gagal mematuhi standar emisi
terbaru yang telah berlaku sejak 2019.

     a. Analisalah apakah WALHI memiliki legal standing untuk melakukan gugatan
terhadap izin lingkungan yang telah dikeluarkan! Berikan dasar hukumnya

     b. Apa syarat hak gugat organisasi lingkungan hidup?

JAWABAN

a. Berdasarkan Pasal 71 Ayat (2) UU No 16 Tahun 2001 sebagaimana diubah oleh UU No


28 Tahun 2004 tentang Yayasan (UU Yayasan) setiap yayasan yang sudah didaftarkan
di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait,
tetap diakui sebagai badan hukum dengan syarat menyesuaikan anggaran dasarnya
paling lambat setelah lima tahun dari berlakunya UU Yayasan ini.

Lebih lanjut, Ayat (2) dari Pasal 71 tersebut mensyaratkan agar yayasan tersebut segera
memberitahukan kepada menkumham bersangkutan seputar penyesuaian anggaran
dasarnya dalam jangka waktu satu tahun setelah menyesuaikan anggaran dasarnya.
Sementara Akhmad menilai, berdasarkan bukti awal yang diajukan Walhi, ternyata
Walhi belum melaksanakan ketentuan tersebut. Karenanya sangat beralasan jika majelis
hakim menolak seluruh gugatan atau paling tidak menyatakan gugatan penggugat tidak
dapat diterima, tandas Akhmad.

Di lain pihak, Presiden sebagai tergugat VI yang diwakili Jaksa Pengacara Negara
(JPN) menyatakan pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa dan
memutus perkara sepanjang menyangkut kebijakan pemerintah. Lebih lanjut ia
berpendapat, yang berhak menilai atas suatu kebijakan pemerintah hanyalah DPR.

Menanggapi eksepsi Lapindo, kuasa hukum Walhi, Firman Wijaya tidak mau
mengambil pusing. Firman beralasan, selama ini proses gugatan yang dilayangkan
Walhi dalam setiap perkara lingkungan tidak pernah ditolak dengan dalil tidak memiliki
legal standing. Bahkan, lanjut Firman, ada beberapa putusan hakim yang mengabulkan
gugatan Walhi. Karenanya saya optimistis tidak ada persoalan menyangkut legal
standing Walhi. Toh sudah ada beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung yang
memenangkan Walhi ujarnya.

Berdasarkan catatan hukumonline, gugatan Walhi melawan PT Freeport Indonesia


pada tahun 2000 lalu, pernah dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di tingkat
banding, meskipun kalah, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ternyata tidak
mempermasalahkan legal standing Walhi.

Sebagaimana diketahui, pertengahan Januari lalu, Walhi mengajukan gugatan seputar


rusaknya kondisi lingkungan Porong, Sidoarjo Jawa Timur akibat semburan lumpur
panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas. Dalam gugatan beregister
284/Pdt.G/2007/PN Jaksel itu, Walhi menyeret 12 pihak sebagai tergugat. Enam
tergugat pertama adalah pihak swasta PT Lapindo Brantas Inc (Lapindo), PT Energi
Mega Persada Tbk, Kalila Energy Ltd, Pan Asia Entreprise, PT Medco Energy Tbk dan
Santos Asia Pacific Pty Ltd.

Sementara 6 tergugat berikutnya adalah pihak pemerintah, berturut-turut Presiden


Republik Indonesia, Menteri Energi Sumber Daya Manusia, BP Migas, Meneg
Lingkungan Hidup, Gubernur Provinsi Jawa Timur dan Bupati Kabupaten Sidoarjo.
Majelis hakim yang dipimpin Soedarmadji menunda persidangan hingga pekan
mendatang dengan agenda pengajuan replik dari pihak penggugat.

b. Syarat organisasi lingkungan hidup untuk dapat mengajukan hak gugatan dalam rangka
tanggung jawab dalam pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidupdiatur dalam Pasal 92 (3), syarat tersebut antara lain :
a. Berbentuk badan hukum atau yayasan ;
b. Menegaskan dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk
kepentingan pelestarian lingkungan hidup, dan :
c. Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat
2 (dua) tahun.

2.  Bacalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Lalu
carilah ketentuan tentang tanggung jawab mutlak .

Tugas anda:

Bandingkanlah ketentuan mengenai tanggung jawab mutlak dalam UU No 32 Tahun


2009 dengan tanggung jawab mutlak dalam UU No 11 Tahun 2020! Berikan analisis
saudara!

JAWABAN

Berdasarkan Penjelasan Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan


Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU PPLH”), Tanggung Jawab Mutlak adalah unsur
kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran
ganti rugi.

Sedangkan tanggung jawab mutlak dalam UU No 11 Tahun 2020 adalah Setiap orang
yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau
mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan
hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau
kegiatannya.
PERBANDINGAN
Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 22 angka (33) Undang- Undang Nomor 11
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Lingkungan Hidup
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi
atau kegiatannya menggunakan B3, sebagai berikut: Setiap orang yang tindakannya,
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3 usahanya, dan atau kegiatannya menggunakan
dan/atau yang menimbulkan ancamanserius B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3
terhadap lingkungan hidupbertanggung jawab dan/atau yang menimbulkan ancaman serius
mutlak ataskerugian yang terjadi tanpa perlu terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab
pembuktian unsur kesalahan. mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha
dan/atau kegiatannya.

Unsur-unsur yang terdapat pada pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu:
a) Setiap orang atau kelompok orang
b) Tindakannya, usahanya, dan atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau
mengelola limbah B3
c) Menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
d) Bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan.

Sedangkan unsur-unsur yang terdapat dalam ketentuan pasal 22 angka (33) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yaitu:
a) Setiap orang atau kelompok orang
b) Tindakannya, usahanya, dan atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau
mengelola limbah B3
c) Menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
d) Bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.

Unsur pertama, setiap orang, kelompok orang, termasuk badan hukum yang merupakan
subjek hukum. Secara umum subjek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban yaitu
manusia (natuurlijk persoon) dan badan hukum (rechts persoon). Subjek hukum ialah segala
sesuatu yang memperoleh hak dan kewajiban serta mempunyai kewenangan dalam
hubungan-hubungan hukum. Subjek hukum berkaitan erat dengan kecakapan seseorang
dalam melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaan), dan kewenagan dalam melakukan
perbutan hukum (rechtsbevoegd).

Unsur kedua, tindakannya, usahanya, dan atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan
dan/atau mengelola limbah B3. Unsur ini yang paling penting dalam asas tanggung jawab
mutlak karena berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang menggunakan, menghasilkan dan
mengelolaa bahan berbahaya dan beracun. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 22 VTahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan
dan Pengelolaan Linkungan Hidup menyatakan bahwa “limbah bahan berbahaya dan beracun
yang selanjutnya disebut limbah B3 adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung
B3.” Bahan berbahya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau
komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan
makhluk hidup lain.

Unsur ketiga, menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Yang dimaksud yaitu
kegiatan-kegiatan yang berpotensi menimbulkan resiko besar dan dapat membahayakan atau
merusak lingkungan hidup, serta mengancam keberlangsungan makhluk hidup. Hal ini
dikarenakan pengelolaan dan penaganan mengenai limbah B3 tidak sesuai dengan syarat-
syarat teknis yang telah ditentukan.

Unsur keempat, pada unsur ini, terdapat perbedaan frasa antara UUPPLH dan omnibus law.
Dalam UUPLH berbunyi “bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan.” Sedangkan dalam omnibus law berbunyi “bertanggung jawab
mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.” Pada bunyi klausula
tersebut terdapat perubahan frasa pada bagian akhir yakni “tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan” diganti menjadi “dari usaha dan/atau kegiatannya.”

Pasal 22 angka (33) Undang-Undang No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja telah merubah
frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” dalam Pasal 88 Undang-Undang No.32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dimana frasa tersebut
merupakan ciri utama atu unsur pokok dari asas strict liability. Penghapusan frasa tersebut
menjadikan tanggung jawab korporasi yang melakukan perbuatan pencemaran limbah B3
atau perusakan lingkungan berdasarkan pada kesalahan (liability based on fault). Tanggung
jawab berdasarkan kesalahan (libility based on fault) dalam sistem hukum sering disebut
dengan doktrin pertanggungjawaban tradisional. Asas pertanggungjawaban berdasarkan
kesalahan merupakan konsep bahwa tidak ada suatu pertanggungjawaban apabila tidak ada
unsur kesalahan. Model tanggung jawab seperti ini mengharuskan adanya pemenuhan
terhadap unsur pembuktian kesalahan.

Sistem petanggungjawaban berdasarkan prinsip kesalahan (liability based on fault) yang


digunakan memiliki konsekuensi yaitu proses beban pembuktian memberatkan si korban
(penderita pencemaran dan/atau perusak lingkungan). Pendapat yang dikemukakan Koesnadi
Hardjasoemantri menerangkan bahwa apabila tidak terbukti atau tidak berhasil membuktikan
adanya unsur kesalahan, maka si pelaku (pencemar atau perusak lingkungan) tidak harus
bertanggung jawaban. Dengan demikian apabila hanya mengandalakan doktrin
pertanggungjawaban tradisonal yakni pertanggungjawaban berdasarkan prinsip kesalahan,
maka penegakan hukum dalam bidang lingkungan akan mengalami kendala dan kesulitan,
karena secara efektif konsep ini tidak dapat mengantisipasi dampak dari kegiatan-kegitan-
kegiatan industri modern yang menimbulkan risiko-risiko tinggi atau berbahaya dan
berdampak besar pada kualitas lingkungan hidup dan kesehatan manusia. Hal ini dikarenakan
persyaratan penting yang harus terpenuhi dalam unsur negligence atau fault (kesalahan) ialah
the failure to exercise the care of an ordinary prudent and careful man yaitu apabila korporasi
yang melakukan pncemaran atau perusakan lingkungan berhasil menunjukan kehati-
hatiannya, meskipun ia telah menimbulkan kerugian, maka ia dapat dibebaskan dari tanggung
jawab.
Akan tetapi pada kenyataanya dalam kasus pencemaran limbah B3 dan perusakan lingkungan
sekarang ini banyak diakibatkan oleh perkembangan industri yang menggunakan teknologi
cangih dimana memiliki potensi besar atau berbahaya akibat dari penggunaan teknologi
tersebut sangat sulit dibuktikan oleh penderita, karena kebanyakan si penderita tidak
memahami tingkat laku teknologi modern, sedangkan si pencemar lingkungan lebih
menguasai dan memahami akan tingkat laku industri yang dikelolanya dengan produksi yang
dihasilkan.9 Jadi dalam kosep ini si penderita berada dalam posisi yang lemah karena
dihadapkan dengan si pencemar yang memiliki posisi kuat dan penderita harus membuktikan
unsur kesalahanya tersebut. Maka dari itu, pembuktian terkait kesalahan sangat sulit dalam
penegakan hukum lingkungan atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi
sehingga dapat mengancam keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya.

Sedangkan asas tanggung jawab mutlak (strict liability) ini merupakan asas tanggung jawab
korporasi/si pencemar lingkungan (polluter) yang melakukan pencemaran limbah B3 dapat
dimintakan pertanggungjawaban terhadap suatu permasalahan tanpa perlu membuktikan
kesalahan terlebih dahulu. Dalam asas strict libility, kesalahan (fault atau mens rea) tidak
penting dalam menyatakan seseorang untuk bertanggung jawab, karena saat timbulnya
peristiwa itu si pencemar lingkungan secara otomatis sudah memikul tanggung jawab. Hal ini
berlaku asas “res ipsa loquitur”, yakni fakta sudah berbicara sendiri (the thing speaks for
itself). Jadi pada konsep ini hanya unsur perbuatan (actus reus) yang harus dibuktikan, bukan
unsur kesalahan (mens rea).

Sistem pembuktian pada asas tanggung jawab mutlak (strict liability) yaitu beban pembuktian
terbalik. Beban pembuktian terbalik ialah penggugat tidak perlu membuktikan kesalahan
tergugat, tetapi sebaliknya tergugatlah yang harus membuktikan bahwa aktivitasnya tidak
menimbulkan gangguan berupa pencemaran lingkungan. Dengan demikian, maka dalam
perkara lingkungan seseorang bertanggung jawab atas akibat kerugian yang ditimbulkannya,
kecuali ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

Kegiatan yang tunduk pada konsep tanggung jawab mutlak yang diatur dalam kententuan
pasal 88 Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindangan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, bersifat terbatas atau limitatif, yaitu hanya diperuntukan pada
kegiatan/usaha yang dapat dikualifikasikan sebagai berikut:

a. Menyebabkan pontesi besar/berbahaya dan ancaman serius terhadap lingkungan.

b. Dalam memproduksi menggunakan bahan berbahaya dan beracun (B3).

c. Dalam memproduksi menghasilkan bahan berbahaya dan beracun.

Asas tanggung jawab mutlak dalam (CLC) ini dikecualikan dalam hal-hal sebagai berikut:

a. Kecelakaan akibat perang, persengketaan perang, pemberontakan atau bencana alam yang
tidak dapat dihindarkan.
b. Kecelakaan akibat dari perbuatan atau kelalaian sesorang yang menimbulkan suatu
kerugian.

c. Jika kecelakaan diakibatkan oleh perbuatan atau kelalaian dari korban sendiri.

Manfaat dari asas strict libility menurut pendapat yang dikemukakan L.B. Curzon yaitu
berkenaan dengan:13 pertama, pentingnya jaminan dalam mematuhi ketentuan-ketentuan
tertentu untuk melindungi kesejahteraan masyarakat, jaminan ini dapat memberikan kepastian
hukum bagi masyarakat dan juga dapat memberitahu kepada pelaku usaha akan adanya
hukum yang mengatur mengenai pertanggungjawaban, kedua, pembuktian unsur kesalahan
sulit untuk dibuktikan atas pelanggaran-pelanggaran peraturan yang berkaitan dengan
kesejahteraan masyarakat, ketiga, tingkat bahaya sosial yang tinggi ditimbulkan atas
perbuatan- perbuatan tersebut.

Maka dari itu, hilangnya frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”
sebagai ciri pokok asas strict liability dalam ketentuan pasal 22 angka (33) Undang-Undang
No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, menjadikan pertanggungjawaban korporasi yang
melakukan pencemaran limbah B3 tersebut berdasar pada perbuatan melawan hukum/PMH
biasa dengan membuktian unsur kesalahan (liability based on fault) terlebih dahulu.
Perubahan frasa tersebut secara otomatis menghapuskanya konsep strict liability menjadi
konsep liability based on fault dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja. Hal ini dianggap sebagai kemunduran dalam penegakan hukum di bidang lingkungan,
karena kembalinya kepada doktrin pertanggungjawaban tradisional berupa
pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault) yang tidak mampu
dalam mengatasi atau mengantisipasi kegiatan-kegiatan yang mempunyai resiko tinggi atau
dalam kategori berbahaya. Kemudian prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability
based on fault) ini dianggap sudah ketinggalan zaman dan tidak efisien untuk diterapakan
pada kasus-kasus di bidang lingkungan hidup. Penghapusan frasa tersebut dianggap
membahayakan, merugikan bagi masyarakat, mencederai komitmen pemerintah Indonesia
dalam memelihara, melindungi, serta menjaga kesetabilan lingkungan hidup dan dianggap
ampuh dalam menjerat korporasi-korporasi nakal untuk bertanggung jawab akibat dari
kegiatan/usahanya sehingga tidak terikat akan niatnya dalam melindungi lingkungan hidup.
REFERENSI

 Buku Modul Hukum Lingkungan


 https://www.hukumonline.com/berita/a/walhi-dinilai-tidak-memiliki-ilegal-standingi--
hol16818
 https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwiG6uiPs7
v7AhVUQnwKHWTCD9QQFnoECAgQAw&url=https%3A%2F%2Fjurnal.um-
palembang.ac.id%2Fdoktrinal%2Farticle%2Fdownload
%2F3411%2F2358&usg=AOvVaw3TA8ARu7SVDDOGV91r4HJH
 https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwia5LbYtL
v7AhXTILcAHYeNBZ8QFnoECCYQAQ&url=http%3A%2F
%2Fdownload.garuda.kemdikbud.go.id%2Farticle.php%3Farticle%3D2957554%26val
%3D26360%26title%3DPENGATURAN%2520ASAS%2520TANGGUNG
%2520JAWABAN%2520MUTLLAK%2520ATAS%2520PENCEMARAN
%2520LIMBAH%2520BAHAN%2520BERBAHAYA%2520DAN%2520BERACUN
%2520OLEH%2520KORPORASI&usg=AOvVaw3FXCerZ73rTyakuBAyCaFI

Anda mungkin juga menyukai