Proposal Penelitian Skripsi Koresy Tumbelaka

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 32

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON

JUDUL :

SIKAP GMIM TERHADAP POLITIK IDENTITAS DALAM PEMILIHAN


KEPALA DAERAH PROVINSI SULAWESI UTARA

PROPOSAL

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


sarjana teologi

KORESY MELKISEDEK GANDA TUMBELAKA

201841081

FAKULTAS TEOLOGI

PROGRAM STUDI TEOLOGI KRISTEN PROTESTAN

BIDANG KONSENTRASI AGAMA-AGAMA

TOMOHON

NOVEMBER 2022
2

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING

Proposal ini diajukan oleh :

Koresy M.G Tumbelaka

NIM : 201841081

Program Studi : Teologi Kristen Protestan

Judul Proposal

SIKAP GMIM TERHADAP POLITIK IDENTITAS DALAM PEMILIHAN


KEPALA DAERAH PROVINSI SULAWESI UTARA

Telah disetujui dan diterima sebagai persyaratan untuk kelanjutan penelitian


skripsi pada Program Studi Teologi Kristen Protestan Fakultas Teologi,
Universitas Kristen Indonesia Tomohon

Disetujui pada tanggal

Tanggal: 28 November 2022

Dosen Pembimbing

Pdt. Dr Marhaeni Mawuntu M.Si

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


3

BAB I

PENDAHULUAN

I. JUDUL

SIKAP GMIM TERHADAP POLITIK IDENTITAS DALAM PEMILIHAN


KEPALA DAERAH PROVINSI SULAWESI UTARA

II. BIDANG

AGAMA-AGAMA

III. LATAR BELAKANG DAN ALASAN PEMILIHAN JUDUL

Agama dapat menjadi bagian sentral dari identitas seseorang bahkan pun
sekelompok orang, dalam bahasa Latin agama berarti “mengikat”1. Menjadi
anggota suatu agama sering kali berarti lebih dari sekadar berbagi keyakinan dan
berpartisipasi dalam ritualnya; itu juga berarti menjadi bagian dari suatu
komunitas dan terkadang suatu budaya.2 Dengan masuk atau terlibatnya seorang
individu atau suatu kelompok tertentu dan menjadi satu kesatuan menyeluruh
dalam satu kelompok atau golongan tertentu yang diakui juga dapat diartikan
sebagai satu identitas atau jati diri.3 Identitas sendiri berkaitan dengan
kepemilikan atau belonging antara persamaan sejumlah orang sebagai diferensiasi
pada orang lain.4 Identitas sering kali digiring oleh keadaan politik dan menjadi
politik identitas sebagai sebuah cara untuk mengambil alih kekuasaan melalui
identitas sebagai penarik massa.

1
Agama dalam bahasa sansekerta āgama berarti tradisi, agama sebagai lembaga
religiusitas, Religi dalam bahasa Inggris Religion yang dari bahasa latin Religio dari kata kerja Re-
ligare kata kerja latin berarti “mengikat kembali” yang pertaliannya pada konsep ke-Tuhan-an tiap
agama, Agama sebagai ajaran dan sistem tata keimanan.
2
F. Bowie. Anthropology of Religion. The Wiley Blackwell Companion to the Study of
Religion. 2021. 1–24.
3
P. Suparlan. Hubungan Antar Suku Bangsa. KIK Press: Jakarta. 2004. 25.
4
Jeffrey Haynes. From Huntington to Trump: Twenty-Five Years of the “Clash of
Civilizations.” The Review of Faith & International Affairs, 17(1). 2019. 11–23.

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


4

Politik identitas merupakan sebuah cara untuk memobilisasi massa dengan


menggunakan identitas sebagai magnet pengambilan individu-individu demi
berproses dalam menyelesaikan kepentingan anggota kelompoknya. Otomatisasi
dari identitas dapat menarik setiap individu yang punya kesamaan dari agama,
suku, dan budaya lainnya. Politisasi agama sebagai identitas sebagai satu kekuatan
penarik massa sudah menjadi fenomena dan fakta lumrah di tengah kehidupan
masyarakat Indonesia yang Plural. Politik Identitas kerap menjadi penyebab
utama munculnya konflik politik terutama yang berkaitan dengan ketegangan
antara kelompok superior dan inferior ataupun antara kaum mayoritas dengan
kaum minoritas.

Di Provinsi Sulawesi Utara dengan jumlah penduduk mencapai 2.638.631


jiwa, penduduk yang beragama Kristen memiliki presentasi jumlah penduduk
sebesar 63,02%, penduduk beragama Katolik 4,43%, penduduk beragama Islam
31,79%, penduduk beragama Hindu 0,60%, penduduk beragama Buddha 0,15%
dan penduduk beragama Konghucu 0,02%. Dalam konstalasi politik Provinsi
Sulawesi Utara, penduduk beragama Kristen memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap kontestasi politik.

Dilakukan dua jenis Analisis Bivariat dan Multivariat untuk melihat


pengaruh agama dalam Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Utara, pada
tahun 2015 ada tiga pasangan calon yang maju dalam Pemilihan Kepala Daerah
Provinsi Sulawesi Utara: Olly Dondokambey dan Steven Kandouw sama-sama
Kristen dan keduanya suku Minahasa, Maya Rumantir dan Glenny Kairupan juga
suku Minahasa tapi Maya beragama Katolik kemudian Glenny beragama Kristen
dan berlatar belakang militer, adapun Benny Mamoto dan David Bobihoe berlatar
belakang etnik dan agama yang berbeda: Benny beragama Kristen dan suku
Minahasa sedangkan David beragama Muslim suku Gorontalo. Analisis Bivariat
menunjukkan bahwa faktor etnik memiliki efek signifikan terhadap elektabilitas
namun Analisis Multivariat koefisien etnik kehilangan signifikansinya 0.05%.
Afiliasi agama dan kualitas personal memainkan peran yang signifikan. 5
Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Utara pada Tahun 2020 juga
5
Burhanuddin Muhtadi, Populisme Politik Identitas dan Dinamika Elektoral : Mengurai
Jalan Panjang Demokrasi Prosedural. 2019. 26-28.

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


5

menunjukkan pola yang sama. Ada tiga pasangan Calon yang maju: Olly
Dondokambey dan Steven Kandouw, Christiany Eugenia Paruntu dan, adapun
Vonnie Anneke Panambunan dan Hendry Corneles Mamengko Runtuwene. Baik
pada tahun 2015 maupun 2020 pasangan Olly Dondokambey dan Steven
Kandouw keluar sebagai pemenang Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sulawesi
Utara.

Berdasarkan analisa di atas agama memiliki pengaruh yang signifikan


dalam kontestasi politik di Provinsi Sulawesi Utara, oleh karnanya agama Kristen
sebagai agama mayoritas dapat hampir mendominasi keseluruhan panggung
politik baik legislatif maupun eksekutif, baik pada tingkat daerah Kabupaten/Kota
maupun pada tingkat Provinsi di Sulawesi Utara. Namun, bila diamati lagi
khususnya pada tahun 2020 hampir semua calon beragama Kristen hanya Calon
Wakil Gubernur Sehan Salim Landjar saja yang beragama lain yakni Islam,
Calon-calon yang lain semua beragama Kristen, apa yang menyebabkan adanya
diferensiasi elektabilitas calon? Dapat dilihat bahwa pada Pemilihan Kepala
Daerah Provinsi Sulawesi Utara tahun 2020 ada Politik Identitas yang tampaknya
diprakarsai oleh pihak Gereja khususnya Gereja Masehi Injili di Minahasa
(GMIM) di tengah kepelbagaian golongan Gereja Kristen di Sulawesi Utara.

Terdapat pelbagai golongan Gereja pada tubuh Kekristenan di Provinsi


Sulawesi Utara, dan GMIM adalah satu di antaranya. GMIM merupakan Gereja
besar dengan jumlah anggota jemaat mencapai 803.686 jiwa6. Banyak anggota
jemaat GMIM yang aktif dalam ranah politik, bahkan memegang jabatan tinggi
baik dalam pemerintahan maupun dalam partai politik, misal Olly Dondokambey
merupakan Ketua DPD PDIP Sulawesi Utara7 dan juga Gubernur Sulawesi Utara,
serta masih banyak lagi jabatan politik lain yang dipegang anggota jemaat GMIM.
Hal ini menunjukkan bahwa GMIM tentunya memiliki satu relasi politik yang
cukup dekat dengan Pemerintah, yang semakin diperkuat dengan para pejabat
pemerintahan yang anggota jemaat GMIM juga memegang jabatan Gereja seperti

6
Khotbah Pendeta Fera Moningka-Warouw, M.Th berdasarkan sensus GMIM tahun 2019
sampai awal 2020. https://komentar.id/semakin-diberkati-warga-gmim-tembus-803-686-jiwa-
pendeta-2223-orang/
7
Surat Keputusan (SK) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP Nomor:
21-B/KPTS-DPD/DPP/IV/2021. 27 April 2021.

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


6

Penatua ataupun Diaken, misal Wakil Gubernur Steven Kandouw merupakan


seorang Penatua dan pada Pemilihan Pelayan Khusus Sinode GMIM terpilih
sebagai Wakil Ketua Badan Pekerja Majelis Sinode GMIM (BPMS GMIM)
Bidang Pengembangan Sumber Daya dan Diakonia. Pola relasi ini dapat terjadi
oleh karna peran Politik GMIM lewat kebijakan-kebijakannya, seperti pengutusan
bagi anggota jemaat GMIM yang akan maju dalam kontestasi Politik, juga
dukungan bagi para kepala daerah yang ingin maju dalam Pemilihan Pelayan
Khusus, kegiatan edukasi politik dan hal-hal lain yang dapat mempengaruhi
konstituen yang adalah anggota jemaat GMIM dan turut meningkatkan partisipasi
politik jemaat.

Melihat adanya politik identitas dalam kehidupan bernegara, maka sebagai


orang Kristen kita harus memiliki pandangan Kristen berkaitan dengan masalah
politik identitas, hal ini penting sebab orang Kristen bukan hanya warga kerajaan
Allah yang sifatnya rohani, tetapi juga merupakan warga Negara Indonesia. Orang
Kristen hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena itu jika Negara
menganggap politik identitas sebagai suatu masalah seperti yang sudah
dipaparkan diatas, maka orang Kristen sebagai warga Negara harus memiliki
pandangan yang jelas berkaitan dengan politik identitas. Pandangan Kristen tidak
bisa dilepaskan dengan pandangan Alkitab sebagai sumber otoritas yang darinya
kita memandang dunia dan segala isunya termasuk politik, maka masalah politik
juga bersifat teologis. Dikutip dari Oxford Academic, seorang teolog protestan
besar bernama Karl Barth berkata;

“theology which I tried to fashion out of Scripture was never a private


affair, foreign to the world and humanity. Its object is: God for the world, God for
human beings, heaven for the earth. It followed that my whole theology always
had a strong political component, explicit or implicit…this interest in politics
accompanies me to the present day.8

Karl Barth memandang bahwa teologi yang dia ingin tampilkan dari
Alkitab, tidak pernah merupakan urusan yang terbatas, terasing dari dunia dan

8
https://academic.oup.com/edited-volume/34223/chapter abstract/290197018?
redirectedFrom=fulltext Diakses pada tanggal 21 November 2022 Pukul 15:00 wita

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


7

kemanusiaan. Objeknya ialah Allah bagi dunia, Allah bagi keberadaan manusia,
surga bagi bumi. Mengikuti itu, bahwa semua Teologi dia selalu memiliki
komponen politik yang kuat, eksplisit maupun implisit. Berdasarkan hal ini isu
politik seperti masalah determinasi politik identitas juga bisa dikaji secara
Alkitabiah dan teologis. Akan tetapi Alkitab adalah Kitab Suci dengan tema
utama; Allah menyelamatkan manusia dari dosa, dan tidak membahas politik
sebagai tema utamanya. Untuk itu perlu disadari bahwa Alkitab walaupun masih
membahas masalah politik, tetapi itu bukan berita dan isi utamanya. Walaupun
begitu, penulis memberikan beberapa teks Alkitab yang bisa memberikan kita
pandangan mengenai politik identitas yang terdapat dalam;

Lukas 20:25 “Lalu kata Yesus kepada mereka: “Kalau begitu berikanlah
kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah
apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!”

Jawaban Yesus ini diberikan kepada para ahli-ahli Taurat dan imam-imam
kepala yang bertujuan untuk menjerat-Nya dengan suatu pertanyaan dan
menyerahkan-Nya kepada wewenang dan kuasa wali negeri (Lukas 20:20).
Mengapa orang Yahudi ingin menjerat Yesus dengan pertanyaan tersebut? Karena
orang Yahudi menganggap bahwa Kekaisaran Romawi sebagai penjajah bangsa
mereka, maka jika Yesus mendukung pajak kepada Kaisar (Lukas 20:22), Yesus
bisa dianggap tidak mendukung kemerdekaan bangsa Yahudi. Akan tetapi
penolakan orang Yahudi terhadap kekaisaran Romawi bukan semata-mata
diakibatkan penjajahan, melainkan juga pandangan politik orang Yahudi yang
hanya menerima pemerintahan yang berasal dari keturunan Yehuda, dalam hal ini
keturunan Daud (Kejadian 49:8-10). Orang Yahudi hanya mau diperintah oleh
keturunan Yehuda, dan secara khusus beragama Yahudi. Berdasarkan contoh teks
ini, kita melihat bahwa determinasi politik identitas juga terdapat dalam Alkitab.
Maka orang Kristen harus memiliki pandangan dan sikap yang jelas dan tegas
berkaitan dengan masalah determinasi politik identitas.

Berdasarkan penjelasan di atas penulis ingin mengkaji lebih dalam perihal


sikap GMIM terhadap Politik Identitas yang terjadi dalam konstalasi politik
Provinsi Sulawesi Utara terlebih khusus dalam Pemilihan Kepala Daerah Provinsi

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


8

Sulawesi Utara pada tahun 2020. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk menulis
skripsi dengan judul:

“SIKAP GMIM TERHADAP POLITIK IDENTITAS DALAM


PEMILIHAN KEPALA DAERAH PROVINSI SULAWESI UTARA”

IV. IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi


masalah-masalah sebagai berikut:

1. Bangkitnya Politik Identitas di tengah Pluralitas hidup masyarakat


Indonesia dan pengaruhnya pada beberapa daerah di Indonesia
2. Adanya indikasi Politik Identitas dalam Pemilihan Kepala Daerah Provinsi
Sulawesi Utara yang diprakarsai oleh pihak Gereja khususnya GMIM
3. GMIM memiliki peran politik yang dapat memengaruhi konstituen sebagai
warga gereja dalam Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Utara
4. Pandangan Teologis akan Politik Identitas yang terjadi.
5. Politik Identitas dianggap sebagai pemecah sekaligus pemersatu tatanan
sosial-politik di tengah masyarakat lewat penguatan identitas.

V. FOKUS MASALAH

Berdasarkan Identifikasi masalah di atas, maka penulis memfokuskan


masalah pada: Sikap GMIM terhadap Politik Identitas yang terjadi dalam
Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Utara Pada Tahun 2020 dan
2015.

VI. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan fokus masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah


dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana GMIM menyikapi Politik Identitas
yang terjadi dalam Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Utara?”.

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


9

VII. ROADMAP PENELITIAN

VIII. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengkaji lebih dalam akan Politik Identitas yang terjadi dalam Pemilihan
Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Utara
2. Mengakaji lebih dalam sikap GMIM di tengah realitas politik dalam
Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Utara
3. Mencari tahu Teologi GMIM akan Politik Identitas dalam Pemilihan
Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Utara

IX. MANFAAT PENELITAN

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengedukasi masyarakat terlebih khusus jemaat GMIM akan sikap politik


GMIM.

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


10

2. Memberikan kontribusi ilmiah sehubungan dengan Ilmu agama-agama


pada lembaga pendidikan Universitas Kristen Indonesia Tomohon, lebih
khusus bagi Fakultas Teologi UKIT Yayasan GMIM Ds A. Z. R. Wenas.
3. Bagi penulis sendiri, untuk menambah wawasan pengetahuan penulis
sehubungan dengan agama dan politik.

X. SISTEMATIKA PENULISAN

PENDAHULUAN

Dalam bagian ini berisi pengantar untuk dapat masuk ke pembahasan yang
terdiri dari, latar belakang permasalahan, identifikasi masalah, fokus masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, rancangan penelitian,
serta sistematika penulisan.

BAB I: KAJIAN TEORI

Pada bagian ini berisi kajian literatur buku yang menunjang mengenai materi
penelitian yang diangkat penulis.

BAB II: METODOLOGI PENELITIAN DAN PENDEKATAN STUDI

Dalam bagian ini berisi metode penelitian yang akan digunakan,


menguraikan tujuan penelitian dan juga tahapan-tahapan seperti wawancara, studi
kepustakaan, teknik pengumpulan data dan metode yang digunakan untuk
menguraikan hasil dari penelitian.

BAB III: HASIL PENELITIAN

Pada bagian ini membahas hasil dari penerapan metode penelitian yang
digunakan.

BAB IV: REFLEKSI TEOLOGIS

Pada bagian ini peneliti memberikan refleksi teologis berkaitan dengan


hasil penelitian yang dilakukan sehubungan dengan masalah yang peneliti angkat

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


11

BAB II

KAJIAN TEORI DAN LANDASAN ALKITABIAH

Gereja

“Pada hakikatnya, Gereja adalah mereka yang telah dipanggil keluar oleh
Kristus dari kegelapan dan masuk kedalam terang keselamatan9 dalam perjanjian
lama, sering digunakan kata kahal yang artinya umat, namun masuk di perjanjian
baru, telah digunakan kata ekklesia. Pengertan gereja dalam bahasa Indonesia
merupakan sebuah serapan dari kata portugis Igreya yang merupakan terjemahan
dari kata yunani Kyriake.10”

“Terdapat perbedaan metafora yang digunakan dalam perjanjian baru;

1. Tubuh Kristus, suatu penggambaran yang menjelaskan jemaat sebagai


tubuh dan kristus sebagai kepalanya (Rom. 12:5; 1 kor. 12:12; Ef. 1:22-23;
kol. 1:24).
2. Pengantin kristus. Suatu metafora yang menjelaskan mengenai kasih
kristus kepada gerejaNya, dan cintaNya kepada sang pengantin. Dalam
metafora inilah kita melihat bahwa sang pengantin haruslah menjaga
kemurnian dirinya sendiri untuk sang mempelai, yaitu Kristus.
3. Bait Allah. Metafora ini menjelaskan gereja sebagai rumah tempat Allah
berdiam, orang Kristen adalah batu, dan kristuslah batu penjurunya
4. Kawanan domba Allah  (Yoh 10:22; Kis 20:28; 1 Pet. 5:2). Metafora yang
menggambarkan Kristus sebagai seorang gembala, dan orang Kristen
sebagai kawanan doma yang dijaga Kristus”

“Dalam perziarahannya di dunia, Gereja memiliki beberapa aspek yang


harus diperhatikan

1. Gereja yang berjuang (militant church) dan gereja yang menang


(triumphant church). Gereja yang berjuang adalah gereja yang masih
berziarah di dunia, berjuang melawan segala godaan setan dan dosa.
9
Diambil dari kata Ekklesia. Dari kata ek dan kaleo Yang berarti dipanggil keluar
10
Muriwali Yanto Matalu.Dogmatika Kristen.(Malang:GKKR.2017).790

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


12

Sedangkan gereja yang menang adalah gereja (orang-orang percaya) yang


telah berpulang dan mengalami kemulian serta kemenangan surgawi. 11
2. Gereja sebagai oraganisasi dan gereja sebagai institusi. Gereja sebagai
organisasi adalah persekutuan yang hidup dari orang-orang percaya baik
yang masih hidup atau telah wafat. Sedangkan gereja sebagai institusi bisa
dilihat dari tata gereja, penatalayanan gereja, dan tata pemerintahan gereja.
3. Gereja yang kelihatan (visible church) dan gereja yang tidak kelihatan
(invisible church). Gereja yang kelihatan adalah komunitas orang percaya
dan gereja lokalnya, sedangjan gereja yang tak kelihatan adalah
persekutuan umat sebagai communio sanctorum12”

“Dalam katekismus Westminster, pasal 25 ayat 3 telah dijelaskan mengenai


tugas utama gereja dalam dunia.

Kepada gereja yang am yang kelihatan ini kristus telah memberikan


pelayanan, pengajaran, dan ketetapan-ketetapan Allah, untuk
mengumpulkan dan menyempurnakan orang-orang kudus di dalam
kehidupan ini sampai akhir dunia, dan dengan kehadiranNya sendiri dan
roh, sesuai janjinya, menjadikan semuanya efektif13.”

“Bahwa kehadiran gereja dalam dunia sudah semestinya menjadi jalan


bagi Kristus untuk menyempurnakan dan mengumpulkan semua orang percaya,
untuk tujuan penebusan, dan pengudusan. Hal ini menjadi urgensi kehadiran
gereja di dunia. Pemberitaan injil dan pembangunan iman dilakukan untuk
membangunkan diri jemaat, dan meningkatkan pengudusan umat percaya.

Pengertian Politik

Dilihat dari sisi etimologi, kata politik berasal dari bahasa Yunani, yakni
polis yang berarti kota yang berstatus negara kota (city state).14 Dalam negara-kota
di zaman Yunani, orang saling berinteraksi guna mencapai kesejahteraan

11
Ibid., 794
12
Persekutuan orang kudus, persekutuan orang percaya di segala zaman dan tempat, lihat
Muriwali, 795.
13
G.I Williamson.pengakuan iman Westminster.(Surabaya: Momentum.2020).291
14
Hidajat Imam. 2009. Teori-Teori politik. Malang: Setara press. Hlm 2.

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


13

(kebaikan, menurut Aristoteles) dalam hidupnya.15 Politik yang berkembang di


Yunani kala itu dapat ditafsirkan sebagai suatu proses interaksi antara individu
dengan individu lainnya demi mencapai kebaikan bersama.

Pemikiran mengenai politik pun khususnya di dunia barat banyak


dipengaruhi oleh filsuf Yunani Kuno. Filsuf seperti Plato dan Aristoteles
menganggap politics sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik
(polity) yang terbaik.16 Namun demikian, definisi politik hasil pemikiran para
filsuf tersebut belum mampu memberi tekanan terhadap upaya-upaya praksis
dalam mencapai polity yang baik. Meskipun harus diakui, pemikiran-pemikiran
politik yang berkembang dewasa ini juga tidak lepas dari pengaruh para filsuf
tersebut.

Dalam perkembangannya, para ilmuwan politik menafsirkan politik secara


berbeda-beda sehingga varian definisinya memperkaya pemikiran tentang politik.
Gabriel A. Almond mendefinisikan politik sebagai kegiatan yang berbuhungan
dengan kendali pembuatan keputusan publik dalam masyarakat tertentu di wilayah
tertentu, di mana kendali ini disokong lewat instrumen yang sifatnya otoritatif dan
koersif.17 Dengan demikian, politik berkaitan erat dengan proses pembuatan
keputusan publik. Penekanan terhadap penggunaan instrumen otoritatif dan
koersif dalam pembuatan keputusan publik berkaitan dengan siapa yang
berwenang, bagaimana cara menggunakan kewenangan tersebut, dan apa tujuan
dari suatu keputusan yang disepakati. Jika ditarik benang merahnya, definisi
politik menurut Almond juga tidak lepas dari interaksi dalam masyarakat politik
(polity) untuk menyepakati siapa yang diberi kewenangan untuk berkuasa dalam
pembuatan keputusan publik.

Definisi politik juga diberikan oleh ilmuwan politik lainnya, yaitu Andrew
Heywood. Menurut Andrey Heywood, politik adalah kegiatan suatu bangsa yang
bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-

15
Basri Seta. 2011. Pengantar Ilmu Politik. Jogjakarta: Indie Book Corner. Hlm 2.
16
Budiardjo Miriam. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. Hlm 14.
17
Andrew Heywood dalam Budiardjo Miriam. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm 16.

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


14

peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas
dari gejala konflik dan kerja sama. 18 Dengan definisi tersebut, Andrew Heywood
secara tersirat mengungkap bahwa masyarakat politik (polity) dalam proses
interaksi pembuatan keputusan publik juga tidak lepas dari konflik antara individu
dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok
lainnya. Dengan kata lain, masing-masing kelompok saling mempengaruhi agar
suatu keputusan publik yang disepakati sesuai dengan kepentingan kelompok
tertentu.

Konflik dan kerja sama dalam suatu proses pembuatan keputusan publik
adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan sebagai bagian dari proses
interaksi antar kepentingan. Aspirasi dan kepentingan setiap kelompok dan
individu dalam masyarakat tidak selalu sama, melainkan berbeda bahkan dalam
banyak hal bertentangan satu sama lain.19 Oleh sebab itu, sebuah kelaziman
apabila dalam realitas sehari-hari sering dijumpai aktivitas politik yang tidak
terpuji dilakukan oleh kelompok politik tertentu demi mencapai tujuan yang
mereka cita-citakan. Peter Merkl mengatakan bahwa politik dalam bentuk yang
paling buruk, adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk
kepentingan diri-sendiri (politics at its worst is a selfish grab for power, glory, dan
riches).20

Sistem Politik

Sistem politik menurut David Easton terdiri dari sejumlah lembaga-


lembaga dan aktivitas-aktivitas politik dalam masyarakat yang berfungsi
mengubah tuntutan-tuntutan (demands), dukungan-dukungan (supports) dan
sumber-sumber (resources) menjadi keputusan-keputusan atau kebijakan-
kebijakan yang bersifat otoritatif (sah dan mengikat) bagi seluruh anggota
masyarakat.21 Dari definisi tersebut, sistem politik mencerminkan sebagai suatu
18
Gabriel A. Almond dalam Basri Seta. Pengantar Ilmu Politik. Jogjakarta: Indie Book
Corner. Hlm 3.
19
Maksudi Iriawan Beddy. 2016. Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara Teoritik
dan Empirik. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm 25.
20
Peter Merkl dalam Budiardjo Miriam. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. Hlm 16
21
Maksudi Iriawan Beddy. 2016. Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara Teoritik
dan Empirik. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm 25.

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


15

kumpulan aktivitas dari masyarakat politik (polity) untuk membuat suatu


keputusan politik. Gabriel A. Almond mengatakan bahwa sistem politik
menjalankan fungsi-fungsi penyatuan dan penyesuaian (baik ke dalam masyarakat
itu sendiri maupun kepada masyarakat lain) dengan jalan perbuatan atau ancaman
untuk dilaksanakan walaupun agak bersifat paksaan.59 Hal ini mempertegas
pernyataan Easton bahwa keputusan-keputusan politik yang dihasilkan dari
kerangka kerja sistem politik sifatnya mengikat sehingga unsur paksaan dalam
pelaksanaannya merupakan implikasi yang tidak dapat dihindari.

Selanjutnya, Easton mengajukan suatu definisi sistem politik yang terdiri


dari tiga unsur, diantaranya yaitu (1) sistem politik menetapkan nilai (dengan cara
kebijaksanaan), (2) penetapannya besifat paksaan atau dengan kewenangan, dan
(3) penetapan yang bersifat paksaan itu tadi mengikuti masyarakat secara
keseluruhan.60 Dari pendapat tersebut, maka sistem politik menunjukkan adanya
unsur, (1) pola yang tetap antara hubungan manusia, yang dilembagakan dalam
bermacam-macam badan politik, (2) kebijakan yang mencakup pembagian atau
pendistribusian barang-barang materiil dan immateril untuk menjadi kesejahteraan
atau membagikan dan mengalokasikan nilai-nilai negara secara mengikat, (3)
penggunaan kekuasaan atau kewenangan untuk menjalankan paksaan fisik secara
legal, dan (4) fungsi integrasi dan adaptasi terhadap masyarakat baik ke dalam
maupun ke luar.22

Sistem politik berkaitan erat dengan sistem pemerintahan dan sistem


kekuasaan yang mengatur hubungan-hubungan individu atau kelompok individu
satu sama lain atau dengan negara dan antara negara dengan negara. 23 Dengan
demikian, secara sederhana, sistem politik dapat diartikan sebagai satu-kesatuan
aktivitas yang saling berhubungan untuk mengatur relasi antara negara dengan
masyarakatnya maupun negara dengan negara lainnya.

Proses Politik

22
Maksudi Iriawan Beddy. 2016. Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara Teoritik
dan Empirik. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm 20-21.
23
Sukarna. 1981. Sistim Politik. Bandung: Alumni. Hlm 14-15.

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


16

Teori proses politik (the Political Process Theory) lebih banyak


memfokuskan kepada faktor-faktor yang memungkinkan warga negara biasa
membentuk suatu gerakan sosial mereka sendiri yang bertentangan dengan
masyarakat yang dominan.24 Dengan demikian, proses politik erat kaitannya
dengan upaya perubahan sosial. Proses politik (political process) adalah mengacu
kepada suatu keadaan dimana ketika orang berusaha memperoleh akses pada
kekuasaan politik dan menggunakannya untuk kepentingan mereka atau kelompok
mereka sendiri.25

Proses politik dapat dimaknai sebagai perjuangan memperoleh akses atau


jalur politik demi mewujudkan tujuan yang ditetapkan. Selain itu, proses politik
sarat dengan kepentingan sehingga berimplikasi terhadap struktur masyarakat
yang saling beroposisi. Harus disadari bahwa kesepakatan sosial dan kendali
sosial tidak pernah lengkap, konflik antara individu dengan kelompok, serta antara
kelompok dengan kelompok adalah sesuatu yang selalu menyatu dalam kehidupan
manusia sehari-hari.26

Proses politik adalah pola-pola politik yang dibuat oleh manusia dalam
mengatur hubungan antara satu sama lain.27 Dalam interaksi antara satu sama lain,
proses politik diwadahi dalam suatu sistem politik. Proses dalam setiap sistem
dapat dijelaskan sebagai input dan output. Input itu sendiri merupakan tuntutan
serta aspirasi masyarakat dan juga dukungan dari masyarakat. Input ini kemudian
diolah menjadi output, kebijaksanaan, dan keputusan-keputusan, yang akan
dipengaruhi oleh lingkungan sosial.

Gabriel A. Almond mengatakan bahwa proses politik dimulai dengan


masuknya tuntutan yang diartikulasikan dan diagregasikan oleh parpol, sehingga
kepentingan-kepentingan khusus itu menjadi suatu usulan kebijakan yang lebih
umum, dan selanjutnya dimasukkan ke dalam proses pembuatan kebijakan yang
24
Sukmana Oman. 2016. Konsep dan Teori Gerakan Sosial. Malang: Intrans Publishing.
Hlm 179.
25
Irianto Maladi Agus, 2015. Interaksionisme Simbolik: Pendekatan Antropologis
Merespon Fenomena Keseharian. Semarang: Gigih Pustaka Mandiri. Hlm 7.
26
Irianto Maladi Agus, 2015. Interaksionisme Simbolik: Pendekatan Antropologis
Merespon Fenomena Keseharian. Semarang: Gigih Pustaka Mandiri. Hlm 7
27
Budiardjo, Miriam. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. Hlm 15.

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


17

dilakukan oleh badan legislatif dan eksekutif.28 Dengan demikian, proses politik
erat kaitannya dengan aktivitas infrastruktur politik seperti kelompok penekan dan
partai politik maupun suprastruktur politik seperti eksekutif dan legislatif.

Menurut Abercrombie, Hill, dan Turner, studi tentang proses politik


berfokus pada aktivitas-aktivitas partai dan kelompok-kelompok kepentingan,
organisasi-organisasi internal, sifat pembuatan keputusan politik, serta peran dan
latar belakang para politisi.29 Fokus dari teori Political Process Teory adalah lebih
banyak kepada koneksi politik (political connection) dari pada kepada
sumberdaya material (material resources).30 Dengan demikian, bangunan struktur
politik akan berimplikasi terhadap proses politik sehingga suatu sistem politik
dalam berjalan dengan baik.

Partisipasi

Partisipasi politik merupakan salah satu aspek penting dalam demokrasi.


Selain itu, partisipasi dapat dikatakan sebagai mesin penggerak demokrasi
maupun suatu sistem politik. Pandangan umum mainstream yang berkaitan
dengan relasi partisipasi dan demokrasi adalah semakin tinggi tingkat partisipasi
masyarakat dalam mempengaruhi suatu keputusan publik, maka semakin
berkualitas demokrasi di negara tersebut.

Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson menafsirkan partisipasi politik


adalah kegiatan warga yag bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud
untuk memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa
bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis,
secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif. 31
Definisi tersebut secara tersurat menganggap aksi-aksi kekerasan dan ilegal dalam
mempengaruhi keputusan pemerintah sebagai sebuah bentuk partisipasi meskipun
bisa saja aksi-aksi yang demikian mengganggu kepentingan umum.
28
Almond dalam Hijri S Yana. 2016. Politik Pemekaran Di Indonesia. Malang: UMM
Press. Hlm 21.
29
Abercrombie, Hill, dan Turner dalam Sukmana Oman. 2016. Konsep dan Teori
Gerakan Sosial. Malang: Intrans Publishing. Hlm 179.
30
Wiradi Gunawan. 2015. Menilik Demokrasi. Yogyakarta: Tanah Air Beta. Hlm 3.
31
Huntingtion dan Nelson dalam Budiardjo Miriam. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm 368.

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


18

Partisipasi politik pada intinya adalah keterlibatan individu-individu dalam


mempengaruhi keputusan pemerintah. Individu-individu yang terlibat dalam
proses pembuatan keputusan publik pada umumnya sadar bahwa keputusan
pemerintah akan berimplikasi terhadap dirinya entah secara langsung atau tidak
langsung. Perasaan kesadaran seperti ini dimulai dari orang yang berpendidikan,
yang kehidupannya lebih baik, dan orang-orang terkemuka.32

Merujuk pada The 1995-1997 World Value Survey, Charles Andrain dan
James Smith mengelompokkan tiga bentuk partisipasi. 33 Pertama adalah
partisipasi yang lebih pasif. Di dalam tipe pertama ini, partisipasi dilihat dari
keterlibatan politik seseorang, yakni sejauh mana orang itu melihat politik sebagai
sesuatu yang penting, memiliki minat terhadap politik, dan sering berdiskusi
mengenai isu-isu politik dengan teman. Kedua adalah partisipasi yang lebih aktif.
Yang menjadi perhatian adalah sejauh mana orang itu terlibat di dalam organisasi-
organisasi atau asosiasi-asosiasi sukarela (voluntary associations) seperti
kelompok-kelompok keagamaan, olahraga, pecinta lingkungan, organisasi profesi
dan organisasi buruh. Ketiga adalah partisipasi yang berupa kegiatan-kegiatan
protes seperti ikut menandatangani petisi, melakukan boikot, dan demokstrasi.

Politik Identitas

Adalah L.A. Kauffman yang pertama kali menjelaskan hakikat politik


identitas dengan melacak asal-muasalnya pada gerakan mahasiswa anti-kekerasan
yang dikenal dengan SNCC (the Student Nonviolent Coordinating Committee),
sebuah organisasi gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat di awal 1960-an.34
Siapa sebenarnya yang menciptakan istilah politik identitas itu pertama kali masih
kabur sampai hari ini. Tetapi secara substantif, politik identitas dikaitkan dengan
kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang merasa diperas dan
tersingkir oleh dominasi arus besar dalam sebuah bangsa atau negara.
32
Budiardjo Miriam. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. Hlm 369.
33
Marijan Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde
Baru. Jakarta: prenadamedia Group. Hlm 111.
34
Lihat L.A. Kaufffman, ”The Anti‐Politics of Identity,” Socialist Review, No.1, Vol. 20
(Jan.‐March 1990), hal. 67‐80. Analisis yang lebih komprehensif tentang politik identitas ini dapat
dibaca dalam karya Amy Gutmann, Identity in Democracy (Princeton, New Jersey: Princeton
University Press, 2003)

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


19

Di sinilah ide tentang keadilan untuk semua menjadi sangat relevan. Di


Amerika Serikat, para peng gagas teori politik identitas berdalil bahwa praktik
pemerasan lah yang membangun kesadaran golongan yang diperas, khususnya
masyarakat kulit hitam, masyarakat yang berbahasa Spanyol, dan etnis-etnis
lainnya yang merasa terpinggirkan oleh roda kapitalisme yang berpihak kepada
pemilik modal yang umumnya dikuasai golongan kulit putih tertentu.

Dalam konteks keterwakilan politik belum meluas dan menginstitusinya


partisipasi dan keterwakilan politik masyarakat secara komprehensif telah memicu
munculnya kebijakan yang diskriminatif dan eksklusif yang pada akhirnya
memperkuat alasan kebangkitan politik identitas etnik .

Menurut Barker (2005:217), Karena terdorong perjuangan politik serta


minat terhadap filsafat dan bahasa, ’identitas’ berkembang menjadi tajuk utama
kajian budaya di era 1990-an. Politik feminisme, etnisiti, dan orientasi seks, juga
tajuk-tajuk lain, menjadi minat utama yang memiliki kaitan rapat dengan politik
identitas.

Politik Identitas diasaskan pada esensialisme strategis, dimana kita


bertindak seolah-olah identitas merupakan entitas yang stabil demi tujuan politis
dan praktikal tertentu. Hall (1993:136) mengatakan bahwa setiap gagasan
mengenai diri, identitas, komuniti identifikasi (bangsa,etnisiti, seksualitas, kelas,
dan lain-lain), dan politik yang mengalir darinya hanyalah fiksi yang menandai
pembakuan makna secara temporer, parsial, dan arbitrer. Politik tanpa penyisipan
kuasa secara arbitrer kedalam bahasa, pemotongan ideologi, pemosisian,
persilangan arah, retidakan adalah mustahil.

Penanda-penanda identitas ’budaya’ boleh berasal dari sebuah kekhasan


yang diyakini ada pada agama, bahasa dan adat resam pada masyarakat yang
bersangkutan (Mauneti,2004:30). Namun tidak sesederhana itu pula, karena King
juga mengatakan bahwa konstruksi identitas budaya bersifat kompleks sebahagian
karena konstruksi ini merupakan salah satu produk sejarah.

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


20

Merujuk kepada Eriksen[4], (2001: 10) bahwa apabila ditinjau dari sudut
pandang antropologi, pada semua masyarakat sedang terjadi perubahan identitas
sosial dan budaya. Kata dia, sekurang-kurangnya dalam sepuluh tahun terakhir
menjelang abad ke 20, kita dapat melihat secara dramatis rekonseptualisasi konsep
kebudayaan dan masyarakat dalam studi-studi ilmu sosial. Seterusnya sebagai
berikut:

Sampai tahun 1960-an terjadi tumpang tindih antara kebudayaan dan


etnitas (diasumsikan bahwa identitas ditentukan oleh etnisitas, sejauh etnik
memelihara kekhasan kulturalnya) dengan masalah kewarganegaraan (status
kebangsaan seseorang). Namun, kurang lebih tiga puluh tahun berlalu atau sekitar
tahun 1990-an, mulai terlihat sebuah perubahan yang sangat cepat di mana kita tak
bisa lagi menunjukan hubungan langsung antara kebudayaan dan etnisitas.
Artinya, identitas etnik belum tentu ditunjukan lagi oleh kebudayaan dari etnik itu
(bdk. Barth 1969). Menurut Thomas, yang sedang terjadi kini adalah
meningkatnya perbedaan budaya kini berubah menjadi identitas etnik sebagai
identitas budaya kini berubah menjadi identitas budaya “baru” atau sekedar
sebagai identitas sosial semata-mata.

Seterusnya Eriksen menjelaskan bahwa apa yang digambarkan itu


menunjukan sekurang-kurangnya dua isu yang selalu terus diperdebatkan.

Pertama, bahwa selalu ada kontroversi tentang primordialisme dan


instrumentalisme. Ini dikarenakan, identitas etnik pada galibnya merupakan
sesuatu yang bersifat “primordial”, yang semula berakar pada kebudayaan yang
dihayati bersama secara kolektif baru” akibat asimilasi dua atau lebih budaya yang
didukung oleh perkawinan (amalgamasi) maupun komunikasi antarbudaya
ditempat kerja, sekolah, dan lain-lain (baca juga Abner Cohen mengenai etnisitas
keturunan Afrika di AS). Kolektiva komunitas baru itu dihasilkan oleh
keberhasilan mereka memanipulasi simbol-simbol komunikasi bersama yang baru
atau menafikan simbol-simbol budaya yang asli dan asal (lihat kasus Sunita Puri
diatas, mempertahankan bindi sebagai simbol etnik orang indian atau kita dapat
membuat bindi sendiri dengan membeli cat ditoko). Jadi, perdebatan ini berkaitan
dengan dikotomi antara mempertahankan karakteristik kebudayaan tertentu secara

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


21

primordial atau menerima suatu karakteristik kebudayaan tertentu secara


primordial atau menerima suatu karakteritik kebudayaan yang baru sebagai
sesuatu yang sekedar instrumental.

Kedua, perdebatan antara konstruktivisme dan esensialisme; bahwa yang


namanya etnik dan identitas dapat dibentuk dan hasil bentukan etnik baru itu
secara esensial menghilangkan atau mengurangi simbol-simbol kultural dari etnik
sebelumnya, atau secara esensial pula membentuk karakteristik etnik baru dengan
simbol-simbol etnik baru.

Isu inilah yang coba didiskusikan oleh Ernest Gellnar (1983, 1997) dan
Anthony D.Smith (1986, 1991). Keduanya mencoba “duduk” pada posisi
“antara”, di mana di satu pihak kita tetap mengakui keberadaan etnik-etnik, entah
dalam rangka etnik itu sendiri atau dalam rangka sebuah bangsa (artinya ada
hubungan antara etnisitas dan nasionalisne), dan dipihak lain kita harus
berhadapan dengan bentuk etnik baru karena arus modernisasi. Gellner kemudian
mengatakan bahwa : bagaimanapun juga yang namanya “bangsa” adalah sebuah
bentukan atau kreasi modern, sekurang-kurangnya kreasi pemikiran tentang
negara. Kalau begitu, perkembangan negara memang harus dibicarakan tanpa
mengabaikan bahwa dalam kenyataannya memang ada negara dan bangsa yang
terbentuk karena etnisitas dari etnik. Buktinya, kata Gellner, bangsa memang
merupakan bentukan dari kelompok etnik yang sekurang-kurangnya ditunjukan
oleh pemimpin (dari etnik mana) yang memerintah. Sebaliknya, Anderson (1983)
melihat bahwa bangsa adalah suatu komunitas abstrak atau imagined community
dari sebuah bangsa, khususnya kelompok etnik. Contoh imagined community
adalah Filipina dan Indonesia yang merupakan negara multietnik, sehingga kita
harus membedakan antara etnik dan bangsa (Smith 1991).

Apa yang diuraikan di atas merupakan gejala dari transformasi identitas


etnik karena perubahan tertentu dari arah sejarah, keadaan sosial ekonomi, kondisi
sosial dan politik. Tindakan dan kelompok etnik merespons kemajuan dan
modernisasi sebagai suatu perubahan yang selalu harus dan akan terjadi. Suka
atau tidak, kini sedang terjadi transformasi identitas etnik. Konsep kemajuan dan
modernisasi telah meningkatkan pandangan tentang kebebasan, termasuk

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


22

kebebasan ekspresi etnik-etnik.Modernisasi dalam bidang pemerintahan yang


demogratis turut membentuk otonomi individual, termasuk otonomi etnik
terhadap perubahan struktur dalam masyarakat kita. Kemajuan yang bersifat
fundamental tersebut melahirkan masyarakat sipil (civil society), yang kini mulai
menuntut kembali hak-haknya yang hilang dalam sejarah peradapan etnik-etnik
tersebut. Oleh karena itu, definisi sosial terhadap individu kini berubah seiring
dengan perubahan struktur kekuasaan, dominasi gender, kekuasaan politik, seperti
hak-hak minoritas, termasuk perkembangan agama yang tak membatasi
kesukubangsaan sebagai sesuatu yang membatasi peran. Dengan demikian, dalam
batas-batas dan konteks tertentu, kita masih membutuhkan pemaknaan etnik
secara kontekstual, terutama dalam suasana masyarakat yang multietnik dan
multikultur.

Poltik Dalam Perjanjian Lama

Dalam Alkitab ada begitu banyak contoh tokoh-tokoh Alkitab yang hidup
dalam dunia politik, seperti Saul, Daud, Salomo, Daniel, Ester, Mordekhai, dan
lain-lain. Melihat kehidupan Saul, maka kita dapat mengambil pelajaran tentang
politik kotor yang telah dilakukannya. Saul membenci Daud, dan menganggapnya
sebagai lawan yang harus disingkirkan. Saul juga bersikap sombong dan
menganggap dirinya mampu sehingga tidak mengandalkan nasehat dan firman
Tuhan.Tetapi Daud melakukan apa yang baik, jujur dan berkenan kepada Tuhan.
Integritas pribadi yang mulia, ditunjukkan oleh berbagai tokoh dalam Alkitab,
bagaimana mereka tetap memegang teguh prinsip kebenaran meskipun nyawa
harus menjadi taruhannya.

Jika dilihat dari asal katanya, maka Istilah politik (city) muncul dengan
tegas dalam Yeremia(29:7) Dalam Alkitab yang diterjemahkan oleh LAI diartikan
mencari atau mengupayakan kesejahteraan kota (politik), jelas merupakan amanat
Alkitab pada umat Tuhan. Dengan demikian, penataan politik tidak bisa
dilepaskan dari urusan Tuhan di segala tempat, ruang dan waktu.Amanat atau
perintah Alkitab untuk berpolitik bagi umat di dalam kitab Yeremia itu, tidak serta
merta diikuti dengan suatu bentuk atau sistem, apalagi yang menyangkut prosedur
dan mekanisme penataan politik yang detail. Tidak ada suatu rumusan politik

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


23

yang tercantum dalam Alkitab, tetapi menjadi suatu keharusan yang dirumuskan
umat Tuhan. Alkitab hanya memberikan suatu konsep yang sangatmendasar: to
seek peace (mengupayakan kesejahteraan politik). Kepada umat Tuhan, Alkitab
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk merumuskan suatu formula
politik, baik itu menyangkut dasar dan sistem politik, bentuk, prosedurdan
mekanisme pemerintahan. Alkitab hanya memberi satu tekanan dan
kepastian:kesejahteraan.

Politik Dalam Perjanjian Baru

Mengenai politik dalam Perjanjian Baru, penulis akan menguraikannya


dengan melihat bagaimana sikap Tuhan Yesus dan Rasul Paulus terhadap politik.
Pada zaman Yesus ada empat partai politik yang juga merupakan mazhab dalam
agama Yahudi.Jadi, Yesus mempunyai sedikitnya empat pilihan.

Partai Eseni/Kaum Eseni; Sebagaimana kelompok-kelompok Yahudi lainnya,


muncul sebagai respon terhadap konflik-konflik yang muncul, di mana identitas
Yahudi sedang terancam oleh Helenisasi dilancarkan oleh penjajah Romawi. 35
Kaum Esensi memiliki peertentangan yang kuat terhadapkelompok Farisi dan
Saduki, di mana kelompok Farisi dianggap oleh mereka kurang mengikuti hukum
Taurat secara literer, sedangkan kaum Saduki dianggap sebagai pemimpin
pemimpin agama yang korup dan salah mengerti hukum Tuhan dalam
menjalankan kultus Bait Suci.15

Partai Sikari atau Zelot; Di dalam Alkitab, beberapa kali disebut mengenai
keberadaan orang-orang Zelot.Di dalam daftar murid-murid Yesus terdapat nama
Simon orang Zelot (Lukas 6:14-15, Markus 3:18, Matius 10:4),
sehinggatampaknya di antara murid Yesus terdapat anggota gerakan Zelot. Selain
itu, di dalam perkataan Gamaliel (Kisah Para Rasul 5:36-37) disebut juga dua
nama pemimpin pemberontakan, yaitu Teudas dan Yudas.36

35
John Stambaugh, David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, (Jakarta: BPK
GunungMulia, 1997), 122.
36
Stambaugh, 122

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


24

Partai Saduki; Kata Saduki atau saddoukaios (baca: Saddoukaios), dalam bahasa
Inggris diterjemahkan Sadducees yang artinya "the righteous" atau orang benar. 37
Saduki adalah salah satu partai agama pada zaman Kristus di antara orang Yahudi,
yang menyangkal atau menolak penyataan lisan adalah suatu Wahyu Tuhan yang
diberikan Tuhan kepada bangsa Israel, dan yang dianggap hukum tertulis saja
untuk menjadi wajib pada bangsa, sebagai otoritas yang ilahi. Mereka menolak
doktrin-doktrin berikut: kebangkitan tubuh, kekekalan jiwa, adanya roh dan
malaikat, penentuan ilahi, meneguhkan kehendak bebas.38

Saduki adalah nama dari kelompok aristokratik Yahudi yang berkuasa di


Yerusalem hingga Bait Suci dihancurkan pada tahun 70 M.39 Kaum Saduki juga
bertanggung jawab terhadap ibadah yang dilakukan di Bait Suci sebagai kaum
imam, di mana hampir seluruh imam-imam dapat digolongkan sebagai kaum
ini.20 Jabatan Imam Besar Yahudi pada umumnya diduduki oleh orang Saduki,
tetapi tidak semua orang Saduki adalah imam.21Ada kemungkinan bahwa
orangorang Saduki juga terdiri dari orang awam yang kaya dan tuan-tuan tanah.22

Partai Farisi; Kaum Farisi adalah pemimpin spiritual Yahudi yang berkembang
padamasa Bait Allah ke-2, sekitar abad ke 2 SM. Menurut para ahli, kaum Farisi
adalah perkembangan dari kelompok Hasidim. Kelompok Hasidim adalah
kelompok yang menganggap diri mereka sebagai orang beragama yang
saleh.Kelompok Hasidim memisahkandiri dari orang biasa.23

Yesus tidak menjadi anggota salah satu partai itu. Akan tetapi, Yesus
berpolitik dalam pengertian Ia mempunyai sikap politik. Sikap politik-Nya antara
lain tampak ketika orang bertanya apakah pantas membayar pajak kepada
pemerintah penjajah. Yesus menjawab, "Berikanlah kepada kaisar apa yang wajib
kamu berikan kepada Allah" (Mat.22:21). Sepintas lalu jawaban Yesus ini
terkesan menyangkut urusan pajak, namun sebetulnya jawab itu mengandung
sebuah isu yang bersifat mendasar, yaitu tentang hubungan agama dan
negara.Dalam jawaban itu Yesus menunjukkan bahwa setiap orang mempunyai
37
Bart D. Ehrman, The New Testament: A Historical Introduction.
38
S. Wismoady Wahono.1986. Di Sini Kutemukan. {Jakarta:: BPK Gunung Mulia,1986),
325-326
39
George Foot More, Judaism. (USA: Hendrickson Publisher, 1960),59.

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


25

dua kewajiban atau dua tanggung jawab, Dengan kata lain, setiap orang
mempunyai dua kewarganegaraan, sebagaikuasa di Yerusalem hingga Bait Suci
dihancurkan pada tahun 70 M. Kaum Saduki juga bertanggung jawab terhadap
ibadah yang dilakukan di Bait Suci sebagai kaum imam, di mana hampir seluruh
imam-imam dapat digolongkan sebagai kaum ini warga negara Kerajaan Roma
dan sebagai warga negara Kerajaan Allah. Selanjutnya, jawaban Yesus itu
berimplikasi bahwa negara dan agama merupakan dua hal yang berbeda.Negara
dan agama mempunyai bidang, urusan, tugas, dan wewenangnya masing masing.
Tidak boleh negara dan agama dicampur menjadi satu.Saut Sirait menulis, Politik
teokrasi dinyatakan Yesus secara implisit, sebab dengan sengaja Yesus
memberikan garis tegas yang membedakan Allah dan kaisar. Kesatuan ilahi di
dalam totalitas kosmologi otokrasi40 jelas ditolak dengan pemisahan yang jelas
antara Allah dan kaisar.41

40
Otokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh
satuorang. Istilah ini diturunkan dari bahasa Yunani autokratôr yang secara harfiah berarti
"berkuasasendiri" atau "penguasa tunggal". https://id.wikipedia.org/wiki/Otokrasi
41
Saut Sirait, Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan Etis, (Jakarta: BPK.Gunung
Mulia,2011), 117-118

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


26

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Peneliti ingin mengunakan metode Research and Development dan Mixed


Methods Research.

Penelitian Research & Develoment

Penelitian Research & Develoment atau lebih dikenal dengan penelitian


pengembangan (R&D) merupakan salah satu pendekatan dalam penelitian yang
digunakan untuk pengembangan lebih lanjut sebuah hasil penelitian atau produk
penelitian. Produk penelitian yang dilahirkan bagi setiap generasi, pada intinya
memiliki kekurangan, sehingga perlu terus dikembangkan agar lebih tepat guna
dan berdaya guna. Karena itulah penelitian R & D merupakan penelitian yang
panjang (multi years).42

Definisi penelitian pengembangan oleh Borg dan Gall sebagai berikut:

“Educational Research and development (R & D) is a process used to develop


and validate educational products. The steps of this process are usually referred
to as the R & D cycle, which consists of studying research findings pertinent to
the product to be developed, developing the products based on these findings,
field testing it in the setting where it will be used eventually, and revising it to
correct the deficiencies found in the filed-testing stage. In more rigorous
programs of R&D, this cycle is repeated until the field-test data indicate that the

42
Samsu. Metode Penelitian: Teori dan Aplikasi Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, Mixed
Methods, serta Research & Development. 2017. 22.

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


27

product meets its behaviorally defined objectives.”43

Penelitian Campuran (mixed methods research)

Penelitian Campuran merupakan desain penelitian dengan asumsi filosofis


di samping sebagai metode inquiry. Sebagai metodologi, penelitian campuran ini
melibatkan asumsi filosofis yang membimbing arah pengumpulan dan analisis
data, serta mengolah pendekatan penelitian kualitatif dan kuantitatif pada banyak
fase proses penelitian tersebut. Sebagai metode, penelitian campuran
memfokuskan diri pada pengumpulan (collecting), analisis (analyzing), dan
mencampur data kualitatif dan kuantitatif dalam suatu studi yang tunggal atau
beberapa seri penelitian. Alasan utama penggunaan kombinasi pendekatan
kualitatif dan kuantitatif adalah memberikan pemahaman terhadap masalah
penelitian yang lebih baik daripada menggunakan pendekatan tunggal.44

Explanatory Design

Desain penelitian explanatory merupakan desain penelitian mixed method


yang terdiri dari dua fase, yaitu desain penelitian yang dimulai dengan
pengumpulan dan analisis data. Fase pertama ini diikuti dengan bagian
pengumpulan dan analisis data kuantitatif. Fase kedua, fase penelitian kualitatif
dirancang mengikut hubungan atau hasil kuantitatif pada fase pertama. Karena,
desain explanatory ini dimulai dengan kuantitatif, maka para peneliti
menempatkan penekanan yang lebih besar pada metode kuantitatif daripada
metode kualitatif. Tujuan desain explanatory ini secara keseluruhan adalah bahwa
data kuantitatif membantu menjelaskan atau membangun hasil penelitian
kuantitatif45.

43
Borg and Gall (1983). Educational Research, An Introduction. New York and London.
Longman Inc.
44
John W. Creswell and Vicki L. Plano Clark, Designing and Conducting Mixed Metods
Research, USA: Sage Publication, 2007, hal. 5. Lihat juga: Samsu. Metode Penelitian: Teori dan
Aplikasi Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, Mixed Methods, serta Research & Development. 2017 .
162.
45
Creswell, J. W, Plano Clark, V. L, Gutmann, M., & Hanson, W. 2003. Advanced mixed
methods research designs. In A. Tashakkori & D. Teddlie (Eds.), Handbook of mixed methods in
Social and behavioral research (pp.209-240). Thousand Oaks, CA: Sage. Lihat juga: Samsu.
2017.167

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


28

Follow-up Explanation Model (menekankan kuantitatif)

Tahapan model ini diawali dengan pengumpulan data kuantitatif,


kemudian data tersebut dianalisis secara kuantitatif, dan hasilnya bersifat
kuantitatif. Dari hasil tersebut diidentifikasi hasilnya untuk ditindaklanjuti (follow
up). Bentuk follow up tersebut dilakukan dengan cara mengumpulkan data secara
kualitatif, dianalisis secara kualitatif pula, dan hasilnya bersifat kualitatif. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa model ini menjelaskan bahwa interpretasi hasil
kuantitatif sebagai data utama, dianalisis sehingga menghasilkan kesimpulan
secara kualitatif

JADWAL RENCANA KEGIATAN

Rencana kegiatan dalam rangka penelitian yang akan dilaksanakan oleh peneliti
adalah:

Waktu Jenis Kegiatan

25 Oktober 2022 Pemberitahuan dosen pembimbing

3 November 2022 Pengumpulan literatur untuk penulisan proposal

9 November 2022 Memulai penulisan proposal

17 November 2022 Konsultasi dengan dosen pembimbing mengenai


pembuatan proposal

Pengumpulan proposal

Seminar proposal penelitian

Penelitian lapangan dan pengumpulan data

Pengelolaan data hasil penelitian dan pembuatan


skripsi

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


29

PERKIRAAN BIAYA PENELITIAN

Dapat dirincikan biaya yang diperlukan dalam penelitian ini adalah :

● Pendaftaran Proposal : Rp. 1.500.000


● Pembelian buku-buku penunjang : Rp. 2.000.000
● Pendaftaran Skripsi : Rp. 3.500.000
● Tinta print dan kertas HVS : Rp. 500.000
● Jilid (Hard Cover) : Rp. 550.000
● Alat tulis menulis : Rp. 100.000
● Foto copy untuk seminar : Rp. 250.000
● Transportasi Penelitian : Rp. 500.000
● Biaya lain-lain : Rp. 200.000
Jumlah Rp. 9.100.000

Catatan : Perkiraan biaya penelitian di atas semuanya bersumber dari


orang tua.

PENUTUP

Demikian penulisan proposal skripsi ini saya buat dengan harapan proposal
skripsi ini dapat berguna untuk keberlangsungan penulisan skripsi. Atas perhatian
diucapkan terima kasih.

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


30

DAFTAR PUSTAKA

Abercrombie, Hill, dan Turner dalam Sukmana Oman. 2016. Konsep dan Teori
Gerakan Sosial. Malang: Intrans Publishing.

Agus, Irianto Maladi, 2015. Interaksionisme Simbolik: Pendekatan Antropologis


Merespon Fenomena Keseharian. Semarang: Gigih Pustaka Mandiri

Beddy Maksudi Iriawan. 2016. Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara


Teoritik dan Empirik. Jakarta: Rajawali Pers

Borg and Gall (1983). Educational Research, An Introduction. New York and
London. Longman Inc.

Bowie, F.. Anthropology of Religion. The Wiley Blackwell Companion to the


Study of Religion. 2021

Budiardjo, Miriam. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama

Creswell, J. W, Plano Clark, V. L, Gutmann, M., & Hanson, W. 2003. Advanced


mixed methods research designs. In A. Tashakkori & D. Teddlie (Eds.),
Handbook of mixed methods in Social and behavioral research (pp.209-240).
Thousand Oaks, CA: Sage

Creswell, John W. and Vicki L. Plano Clark, Designing and Conducting Mixed
Metods Research, USA: Sage Publication, 2007,

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


31

Ehrman, Bart D., The New Testament: A Historical Introduction.

Gunawan, Wiradi. 2015. Menilik Demokrasi. Yogyakarta: Tanah Air Beta

Gutmann, Amy, Identity in Democracy (Princeton, New Jersey: Princeton


University Press, 2003)

Haynes, Jeffrey. From Huntington to Trump: Twenty-Five Years of the “Clash of


Civilizations.” The Review of Faith & International Affairs, 17(1). 2019.

Imam, Hidajat. 2009. Teori-Teori politik. Malang: Setara press.

Kacung Marijan. 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-


Orde Baru. Jakarta: prenadamedia Group.

Kaufffman, L.A., ”The Anti‐Politics of Identity,” Socialist Review, No.1, Vol. 20


(Jan.‐March 1990)

Maksudi Iriawan Beddy. 2016. Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara


Teoritik dan Empirik. Jakarta: Rajawali Pers

Matalu, Muriwali Yanto.Dogmatika Kristen.(Malang:GKKR.2017)

More, George Foot, Judaism. (USA: Hendrickson Publisher, 1960),59.

Muhtadi, Burhanuddin, Populisme Politik Identitas dan Dinamika Elektoral :


Mengurai Jalan Panjang Demokrasi Prosedural. 2019.

Samsu. Metode Penelitian: Teori dan Aplikasi Penelitian Kualitatif, Kuantitatif,


Mixed Methods, serta Research & Development. 2017. 22.

Seta, Basri. 2011. Pengantar Ilmu Politik. Jogjakarta: Indie Book Corner

Sirait, Saut, Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan Etis, (Jakarta:


BPK.Gunung Mulia,2011)

Stambaugh, John, David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula, (Jakarta:


BPK GunungMulia, 1997

FAKULTAS TEOLOGI UKIT


32

Sukarna. 1981. Sistim Politik. Bandung: Alumni

Suparlan, P.. Hubungan Antar Suku Bangsa. KIK Press: Jakarta. 2004.

Wahono, S. Wismoady.1986. Di Sini Kutemukan. {Jakarta:: BPK Gunung


Mulia,1986)

Williamson,G.I. pengakuan iman Westminster.(Surabaya: Momentum.2020)

Yana Hijri S. 2016. Politik Pemekaran Di Indonesia. Malang: UMM Press

FAKULTAS TEOLOGI UKIT

Anda mungkin juga menyukai