Tri Hita Karana
Tri Hita Karana
Tri Hita Karana
Oleh Kelompok :
Kelas :A
ILMU PENDIDIKAN
2022
PRAKATA
Puja dan puji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat rahmat beliau pembuatan laporan hasil observasi tentang
“Pentingnya Perilaku Beragama Untuk Kemanusiaan.”. Makalah ini disusun
untuk melengkapi tugas mata kuliah Tri Hita Karana (THK) yang diampu oleh
Prof. Dr. Desak Parmiti, M.S
Penulisan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak dan
sumber yang ada sehingga makalah ini bisa diselesaikan tepat pada waktunya
Diharapkan nantinya makalah ini dapat menjadi pedoman bagi semua orang .
Disadari isi dari makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu
alangkah baiknya pembaca dapat memberikan masukan berupa saran atau kritik
sehingga nantinya laporan ini dapat terselesaikan lebih baik lagi.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan perilaku keagamaan.
2. Menjelaskan perilaku-perilaku keagamaan yang terjadi di masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
D. Perilaku-Perilaku Kegamaan
Perilaku normal dan abnormal yang dalam praktiknya agak susah
dirumuskan apakah ia normal atau abnormal, dikarenakan sulit menemukan
model manusia yang ideal dan sempurna. Selain itu, dalam banyak kasus tidak
adanya batas-batas yang jelas antara perilaku normal dan abnormal. Pemakalah
mencoba untuk mengungkap perilaku-perilaku keagamaan dalam penjelasan di
bawah ini.
1. Perilaku Normal17
Dalam keseharian orang normal bisa saja melakukan perbuatan atau
mengucapkan perkataan yang tergolong abnormal di luar kesadarannya.
Sebaliknya orang abnormal bisa saja melakukan perbuatan atau
mengucapkan lisan seperti orang normal. terkadang, kita salah
mempersepsikan apakah perbuatan atau perkataan diri sendiri atau orang lain
termasuk kriteria normalkah ? atau abnormalkah? Oleh sebab itu, diperlukan
batas-batas yang membedakan antara normal dan abnormal sehingga kita
dapat membedakannya secara jelas.
Menggambarkan ciri-ciri tingkah laku yang norma atau sehat
biasanya relatif agak sulit dibanding dengan tingkah laku yang tidak normal.
Ini disebabkan karena tingkah laku yang normal seringkali kurang
mendapatkan perhatian karen tingkah laku tersebut dianggap wajar,
sedangkan tingkah laku abnormal biasanya lebih mendapatkan perhatian
karena biasanya tidak wajar dan aneh.
Pribadi yang normal itu pada umumnya memiliki mental yang sehat,
sedangkan pribadi yang abnormal biasanya juga memiliki mental yang tidak
sehat. Namun demikian, pada hakekatnya konsep mengenai normalitas dan
abnormalitas itu sangat samar-samar batasnya. Sebab pola kebiasaan dan
sikap hidup yang dirasakan normal oleh suatu kelompok tertentu, bisa dianggap
abnormal oleh kelompok lainnya. Akan tetapi apabila satu tingkah
laku itu begitu mencolok dan sangat berbeda dengan tingkah laku umum
(biasa pada umumnya), maka kita akan menyebutnya sebagai abnormal.
Dilihat dari setiap segi pandang, konsep normalitas-abnormalitas
adalah konsep yang bersifat relatif. Penyimpangan dari norma apa pun yang
diterima seseorang mungkin begitu kecil atau mungkin begitu mencolok
sehingga kelihatan jelas sifat abnormalnya. Tetapi karena tidak ada dikatomi
yang tegas, maka normalitas dan abnormalitas sulit dibedakan.
Kebanyakan orang menerima bahwa penyesuaian diri yang baik
sangat serupa dengan normalitas dan ketidakmampuan menyesuaikan diri
sama dengan abnormalitas. Sehat dan normal seringkali dapat digunakan
untuk makna yang sama. Normal mengandung beberapa pengertian. Ada
empat pengertian normalitas yaitu :
1) Tidak adanya gangguan atau kesakitan
2) Keadaan yang ideal atau keadaan mental yang positif
3) Diterima secara sosial
4) Proses berlangsung secara wajar, terutama dalam tahapan
perkembangan.
1) Sikap terhadap diri sendiri. Mampu menerima diri sendiri apa adanya,
memiliki identitas diri yang jelas, mampu menilai kelebihan dan
kekukarangan diri sendiri secara realitis.
2) Persepsi terhadap realita. Pandangan yang realistis terhadap diri sendiri
dan dunia sekitar yang meliputi orang lain maupun segala sesuatunya.
3) Integrasi. Kepribadian yang menyatu dan harmonis, bebas dari konflikkonflik
batin yang mengakibatkan ketidakmampuan dan memiliki
toleransi yang baik terhadap setres.
4) Kompetensi. Mengembangkan keterampilan mendasar berkaitan dengan
aspek fisik, intelektual, emosional, dan sosial untuk dapat melakukan
koping terhadap masalah-masalah kehidupan.
5) Otonomi. Memiliki ketetapan diri yang kuat, bertanggung jawab, dan
penentuan diri dan memiliki kebebasan yang cukup terhadap pengaruh
soaial.
6) Pertumbuhan dan aktualisasi diri. Mengembangkan kecenderungan
kearah peningkatan kematangan, pengembangan potensi, dan
pemenuhan diri sebagai seorang pribadi.
7) Relasi interpersonal. Kemampuan untuk membentuk dan memelihara
relasi interpersonal yang intim.
8) Tujuan hidup. Tidak terlalu kaku untuk mencapai kesempurnaan, tetapi
membuat tujuan yang realistis dan masih didalam kemampuan individu.
2. Perilaku Abnormal
Dalam pandangan psikologi, untuk menjelaskan apakah seorang
individu menunjukkan perilaku abnormal dapat dilihat dari tiga kriteria
berikut:18
1) Kriteria Statistik
Seorang individu dikatakan berperilaku abnormal apabila
menunjukkan karakteristik perilaku yang yang tidak lazim alias
menyimpang secara signifikan dari rata-rata, Dilihat dalam kurve
distribusi normal (kurve Bell), jika seorang individu yang menunjukkan
karakteristik perilaku berada pada wilayah ekstrem kiri (-) maupun
kanan (+), melampaui nilai dua simpangan baku, bisa digolongkan ke
dalam perilaku abnormal.
2) Kriteria Norma
Perilaku individu banyak ditentukan oleh norma-norma yang
berlaku di masyarakat, ekspektasi kultural tentang benar-salah suatu
tindakan, yang bersumber dari ajaran agama maupun kebiasaankebiasaan dalam
masyarakat, misalkan dalam berpakaian, berbicara,
bergaul, dan berbagai kehidupan lainnya. Apabila seorang individu
kerapkali menunjukkan perilaku yang melanggar terhadap aturan tak
tertulis ini bisa dianggap sebagai bentuk perilaku abnormal.
3) Kriteria Patologis
Seorang individu dikatakan berperilaku abnormal apabila
berdasarkan pertimbangan dan pemeriksaan psikologis dari ahli
menunjukkan adanya kelainan atau gangguan mental (mental disorder),
seperti: psikophat, psikotik, skizoprenia, psikoneurotik dan berbagai
bentuk kelainan psikologis lainnya.
Kriteria yang pertama (statististik) dan kedua (norma) pada dasarnya
bisa dideteksi oleh orang awam, tetapi kriteria yang ketiga (patologis) hanya
bisa dilakukan oleh orang yang benar-benar memiliki keahlian di bidangnya,
misalnya oleh psikolog atau psikiater.
Ketiga kriteria tersebut tidak selamanya berjalan paralel sehingga
untuk menentukan apakah seseorang individu berperilaku abnormal atau
tidak seringkali menjadi kontroversi. Misalkan, seorang yang melakukan
kehidupan sex bebas. Di Indonesia, perilaku sex bebas bisa dianggap sebagai
bentuk perilaku abnormal, karena tidak sesuai dengan norma-norma dan
nilai-nilai yang disepakati dan juga tidak dilakukan oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia, tetapi di Swedia dan beberapa negara Barat lainnya
bisa dianggap sebagai bentuk perilaku normal, karena masyarakat di sana
mengijinkannya (permisif) dan sebagian besar masyarakat di sana melakukan
tindakan sex bebas. Sementara, menurut kriteria patologis pun mungkin saja
tidak akan dianggap sebagai bentuk perilaku abnormal selama yang
bersangkutan masih mampu menunjukkan orientasi dan objek sexual yang
normal alias tidak mengalami psikosexual neurosis.
Sudah menjadi tabiat kehidupan bahwa ada orang sehat dan ada orang
sakit, ada orang normal dan ada yang abnormal, ada yang memiliki tingkat
kesehatan mental sangat tinggi, ada yang lemah mental. Ada yang jiwanya
sehat, ada yang terganggu kejiwaannya dan bahkan ada yang sakit jiwa.
Masalahnya menjadi heboh ketika ada orang yang terpelajar dan dikenal
sebagai orang yang mengerti agama serta menjalankan ibadah agamanya
secara taat tetapi melakukan sesuatu yang menurut suatu ukuran disebabkan
karena mengidap gangguan kejiwaan.
Publik menjadi sangat tergoda untuk mengetahui, adakah hubungan
antara corak keberagamaan seseorang dengan perilaku menyimpang? Term
sehat wal afiat biasanya digunakan untuk menyebut tingkat kesehatan yang prima, terkadang
hanya untuk menyebut kesehatan fisik, padahal juga dapat
dimaksud untuk menyebut kesehatan lahir batin. Tetapi jika kita melacak
asal-usul istilah itu, maka sesungguhnya ada perbedaan yang nyata antara
sehat dan afiat. Sehat (al shihhah) merujuk kepada fungsi, sedang afiat (al-
`afiyah) merujuk kepada maksud penciptaan.
Mata yang sehat adalah mata yang berfungsi untuk melihat tanpa
membutuhkan “Alat Bantu”, sedangkan mata yang afiat adalah mata yang
mudah untuk melihat obyek yang halal, dan takut untuk melihat obyek yang
diharamkan. Mengintip misalnya, jika ia digunakan untuk melihat sesuatu
dengan jelas maka dapat dikatakan sehat, namun jika apa yang dilihatnya itu
adalah orang yang sedang mandi misalnya maka mata tidak dapat dikatakan
sehat wal afiat, sebab mata tidak dapat membantu membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk, mana yang halal dan mana yang haram. Begitulah
seterusnya pada telinga, kaki, tangan dan seluruh anggota badan lainnya.
Oleh karena itu sehat wal `afiyat sesungguhnya juga mencakup
kesehatan mental. Dimana manusia melakukan hal-hal yang tetap dalam
koridor Islam, sebab sesungguhnya agama dalam hal ini Islam adalah konsep
hidup yang paripurna yang telah disusun oleh Tuhan untuk manusia. Sebagai
konsep yang disusun oleh Tuhan yang Maha Sempurna.
Sikap keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara unsur
kognisi (pengetahuan), afeksi (penghayatan) dan konasi (perilaku) terhadap
agama pada diri seseorang, karenanya ia berhubungan erat dengan gejala jiwa
pada seseorang.
Selanjutnya dari sikap keagamaan tersebut, lahirlah pola tingkah laku
untuk taat pada norma dan pranata keagamaan dan bahkan menciptakan
norma dan pranata keagamaan tertentu sebagai bentuk perwujudan dari
kesadaran agama dan pengamalan agama.
Sikap keagamaan dalam setiap agama, memuat ajaran norma-norma
yang dijadikan sebagai petunjuk dan tuntunan bagi para pemeluknya dalam
bersikap dan bertingkah laku. Hal itu bertujuan untuk mencapai nilai-nilai
yang luhur dalam pembentukan kepribadian dan keserasian hubungan sosial
sebagai upaya dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, tidak jarang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari ditemukan adanya perilaku menyimpang
dalam sikap beragama.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perilaku keagamaan adalah rangkaian perbuatan atau tindakan yang
didasari oleh nilai-nilai agama ataupun dalam proses melaksanakan aturanaturan yang
sudah ditentukan oleh agama dan meninggalkan segala yang
dilarang oleh agama.
Jelasnya, perilaku keagamaan itu tidak akan timbul tanpa adanya halhal yang
menariknya. Dan pada umumnya penyebab prilaku keagamaan
manusia itu merupakan campuran antara berbagai faktor baik faktor
lingkungan biologis, psikologis rohaniah unsur fungsional, unsur asli, fitrah
ataupun karena petunjuk dari Tuhan.
Meninjau perilaku beragama melalui dimensi keberagamaan dalam Islam
terdiri dari lima lima dimensi, yaitu: Aqidah (iman atau ideology), dimensi ibadah
(ritual), dimensi amal (pengamalan), dimensi ihsan (penghayatan, situasi
dimana seseorang merasa dekat dengan Allah), dan dimensi ilmu (pengetahuan).
Kalau normalitas dan abnormalitas dikaitkan dengan pandangan budaya,
maka akibatnya adalah adat kebiasaan dan norma-norma hidup yang dianggap
normal oleh kelompok budaya tertentu bisa dianggap abnormal oleh kelompok
budaya lain. Atau juga apa yang dianggap abnormal oleh satu generasi atau atau
masyarakat beberapa ratus tahun yang lalu mungkin bisa diterima dan dianggap
normal oleh masyarakat modern dewasa ini.
DAFTAR PUSTAKA