Kelompok 1 Sap Pembatasan Cairan Dan Diet Pada Pasien CKD On HD Di Ruangan Hemodialisa
Kelompok 1 Sap Pembatasan Cairan Dan Diet Pada Pasien CKD On HD Di Ruangan Hemodialisa
Kelompok 1 Sap Pembatasan Cairan Dan Diet Pada Pasien CKD On HD Di Ruangan Hemodialisa
Fasilitator Akademik
Ns. Rezky Pradessetia, M. Kep
Fasilitator Klinik
Ns. Agustianingsih, S. Kep
DISUSUN OLEH:
1. Yuyun Bella Ria Br. Batubara, S. Kep 22091006
2. Ichwa Ichsannurifly, S. Kep 22091007
3. Arpida Ningsih, S. Kep 22091035
4. Tengku Atika Rahmanisa, S. Kep 22091058
A. Latar Belakang
Meningkatnya angka kejadian penyakit kronis menjadi permasalahan global disetiap negara, bukan
hanya terjadi di negara berkembang tetapi juga menjadi bagi di negara-negara maju. Salah satu
penyakit kronis yang menjadi permasalahan yaitu penyakit ginjal kronik. Penyakit ginjal kronik
berada diperingkat 10 penyebab kematian di indonesia dengan prevalensi angka kejadiannya pada
tahun 2016 sebesar 2% (499.800 orang) (Kemenkes RI, 2018).
Gagal ginjal kronik menyebabkan kerusakan pada fungsi ginjal yang bersifat progresif dan
irreversibel, sehingga membuat tubuh tidak mampu untuk mempertahankan metabolism serta
keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh yang menyebabkan kondisi uremia (Smeltzer &
Bare, 2010). Oleh karena itu, diperlukan terapi untuk menggantikan peran ginjal dalam tubuh yang
dikenal dengan hemodialisa (Suparti, 2017). Secara global ada sekitar 2 juta penduduk dunia
melakukan terapi hemodialisa (HD) dari 10% penduduk dunia yang mengalami penyakit gagal
ginjal. Penduduk Indonesia yang tercatat melakukan terapi hemodialisa di tahun 2016 ada 25.446
pasien baru dan 52.835 pasien lama (Kemenkes RI, 2018).
Septiwi (2011) mengatakan hemodialisa dapat dilakukan 2-3 kali perminggu dengan durasi waktu
yang berbeda tergantung dari jenis frekuensi HD yang dipilih oleh pasien. Hemodialisa selain
bermanfaat dan berperan dalam menjalankan fungi ginjal hemodialisa juga memiliki dampak yang
buruk bagi pasien
berupa komplikasi akut dan komplikasi kronis. Komplikasi akut y a n g terjadi yaitu hipotensi,
hipertensi, reaksi alergi aritmia, emboli udara, kram otot, mual, muntah, sakit kepala, sakit dada,
sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil. Sedangkan komplikasi kronis yang dapat terjadi
antara lain penyakit jantung, malnutrisi, hipertensi, anemia, renal osteodystrophy, neuropathy,
disfungsi reproduksi, gangguan perdarahan, infeksi, amiloidosis, acquired cystic kidney disease
(Himmerfarb & Ikizler, 2010).
Kelebihan volume cairan dapat menyebabkan edema di sekitar tubuh,. Kondisi ini akan membuat
tekanan darah meningkat dan memperberat kerja jantung. Kelebihan volume cairan juga dapat
menyebabkan sesak nafas. Hal lain yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik yang tidak
membatasi cairan adalah peningkatan berat badan melebihi berat badan normal. Terapi diet pada
pasien GGK hanya bersifat membantu memperlambat progresifitas gagal ginjal kronis. Pemberian
suplemen seperti zat besi, asamfolat, kalsium, dan Vitamin D mungkin diperlukan. Pada pasien
gagal ginjal kronis, fokus terapi gizi bisa menghindari asupan elektrolit yang berlebihan dari
makanan karena kadar elektrolit bisa meningkat akibat klirens renal yang menurun (Rahayu, 2019)
Diet yang bersifat membatasi akan merubah gaya hidup dan dirasakan pasien sebagai gangguan
serta tidak disukai bagi banyak penderita gagal ginjal kronis. Jika pembatasan ini diabaikan
(pelanggaran diet / tidak patuh), komplikasi yang dapat membawa kematian seperti hiperkalemia
dan edema paru dapat terjadi. Pengaturan diet pada pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis
sedemikian kompleks, pengaturan diet tersebut sangat sukar untuk dipatuhi oleh pasien sehingga
memberikan dampak terhadap status gizi dan kualitas hidup pasien (Rahayu, 2019)
Kepatuhan pada program kesehatan merupakan prilaku yang dapat di observasi dan dengan begitu
dapat langsung diukur, kepatuhan itu sendiri adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan ketaatan
atau pasrah pada tujuan yang telah ditentukan (Rahayu, 2019)
LEADER
Keterangan:
: Leader
: Co-leader
: Audiens/peserta
PASIEN
: Fasilitator
: Observer
G. Pengorganisasian
1. Pembagian Tugas
1) Fasilitator : Tengku Atika Rahmanisa, S. Kep
2) Leader : Arpida Ningsih, S. Kep
3) Co- Leader : Yuyun Bella Ria Br. Batubara S. Kep
4) Observer : Ichwan Ichsannurifly, S. Kep
2. Tugas Pokok
1) Leader
a) Mengkoordinasi seluruh kegiatan
b) Memimpin jalannya penyuluhan dari awal hingga berakhirnya penyuluhan
c) Membuat suasana penyuluhan agar lebih tenang dan kondusif.
2) Co Leader
a) Membantu leader mengkoordinasi seluruh kegiatan
b) Mengingatkan leader jika ada kegiatan yang menyimpang
c) Membantu memimpin jalannya kegiatan
d) Menggantikan leader jika terhalang tugas
3) Fasilitator
a) Memotivasi anak agar dapat kooperatif dalam permainan yang akan dilakukan
b) Bertanggung jawab terhadap program antisipasi masalah
c) Fasilitator bertugas sebagai pemandu
d) Mengkoordinasi seluruh kegiatan
e) Memimpin jalannya penyuluhan kesehatan dari awal hingga berakhirnya penyuluhan
f) Membuat suasana bermain agar lebih tenang dan kondusif.
4) Observer
a) Mengamati semua proses kegiatan yang berkaitan dengan waktu, tempat dan jalannya acara
b) Melaporkan hasil pengamatan pada leader dan semua angota kelompok dengan evaluasi
kelompok
H. Kegiatan Penyuluhan
No Peran Proses kegiatan penyuluhan Waktu
I. Evaluasi
1. Evaluasi Proses
a) Diharapkan pasien dan keluarga pasien datang untuk mengikuti kegiatan penyuluhan
b) Peserta antusias terhadap materi penyuluhan
c) Tidak ada peserta yang meninggalkan tempat penyuluhan
2. Evaluasi Hasil
a) Pasien dan keluarga pasien mengetahui tentang pembatasan cairan dan diet yang tepat
untuk pasien CKD on HD
b) Diharapkan 70% pasien dan keluarga pasien mengerti tentang pembatasan cairan dan diet
yang tepat untuk pasien CKD on HD
MATERI PENYULUHAN
1. PENGERTIAN
Gagal ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kondisi penyakit pada ginjal yang
persisten (≥3 bulan) dengan terjadinya kerusakan pada ginjal dan kerusakan Glomerular filtration
Rate (GFR ≤60 ml/menit/1,73 m2). Dengan kata lain, gagal ginjal kronis merupakan gagal ginjal
akut yang sudah berlangsung lama yang mengakibatkan gangguan yang persisten (irreversible) dan
bersifat kontinyu (Prabowo & Pranata, 2014). Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir
(ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia atau adanya retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah (Brunner &
Suddarth, 2001). National Kidney Foundation mendefinisikan dampak dari kerusakan ginjal adalah
sebagai kondisi mikroalbuminuria/over-proteinuria, abnormalitas sedimentasi dan abnormalitas
gambaran ginjal (Prabowo & Pranata, 2014). Oleh karena itu, perlu diketahui klasifikasi derajat
gagal ginjal kronis untuk mengetahui tingkat prognosanya.
GFR
Stage Deskripsi
(ml/menit/1,73 m2)
I Kidney damage with normal or increase of GFR ≥90
II Kidney damage with mild decrease of GFR 60-89
III Moderate decrease of GFR 30-59
IV Severe decrease of GFR 15-29
V Kidney Failure <15 (or dialysis)
2. ETIOLOGI
Gagal ginjal kronis sering kali menjadi penyakit komplikasi dari penyakit lainnya, sehingga
merupakan penyakir sekunder. Prabowo & Pranata (2014), penyebab gagal ginjal kronis
diantaranya :
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis kronis merupakan penyakit yang berkembang lambat dan ditandai dengan
inflamasi glomeruli, yang mengakibatkan sklerosis, parut, dan akhirnya gagal ginjal.
b. Infeksi kronis (pyelonefritis kronis, TBC)
c. Kelainan kongenital (polikistik ginjal, asidosis tubulus ginjal)
d. Penyakit vaskuler (nefrosklerosis benigna / maligna, stenosis arteria renalis)
e. Proses obstruksi (kalkuli, nefrolithisis)
f. Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif)
g. Agen nefrotik (amino-glikosida)
h. Penyakit metabolik (diabetes, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis)
Menurut Rendy & Margareth (2012), penyebab GGK dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Penyakit parenkim ginjal
1) Penyakit ginjal primer : glomerulonefritis, miebnefritis, ginjal polikistik, TBC ginjal
2) Penyakit ginjal sekunder : nefritis lupus, nefropati, amilordosis ginjal, poliartritis nodasa,
selelosis sistemik, gout, DM.
b. Penyakit ginjal obstruktif
Pembesaran prostat, batu saluran kemih, refluk ureter
3. PATOFISIOLOGI
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh
sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan
memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan
penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾
dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa
direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron
yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya
gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila
kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai
kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. (Long, 1996)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam
urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin
banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik
setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001). Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi
menjadi tiga stadium yaitu:
1. Stadium 1 (penurunan cadangan ginjal)
Di tandai dengan kreatinin serum dan kadar Blood Ureum Nitrogen (BUN) normal dan
penderita asimtomatik.
2. Stadium 2 (insufisiensi ginjal)
Lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (Glomerulo filtration Rate besarnya 25%
dari normal). Pada tahap ini Blood Ureum Nitrogen mulai meningkat diatas normal, kadar
kreatinin serum mulai meningklat melabihi kadar normal, azotemia ringan, timbul nokturia dan
poliuri.
3. Stadium 3 (Gagal ginjal stadium akhir / uremia)
Timbul apabila 90% massa nefron telah hancur, nilai glomerulo filtration rate 10% dari normal,
kreatinin klirens 5-10 ml permenit atau kurang. Pada tahap ini kreatinin serum dan kadar blood
ureum nitrgen meningkat sangat mencolok dan timbul oliguri. (Price, 1992)
4. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronis dikarenakan gangguan yang bersifat sistemik.
Ginjal sebagai organ koordinasi dalam peran sirkulasi memiliki fungsi yang banyak sehingga
kerusakan kronis secara fisiologis ginjal akan mengakibatkan gangguan keseimbangan sirkulasi dan
vasomotor (Prabowo & Pranata, 2014). Menurut Long dalam Rendy & Margareth (2012), tanda dan
gejala GGK sebagai berikut :
a. Gejala dini : letargi, sakit kepala, kelelaham fisik dan mental, BB berkurang, mudah
tersinggung dan depresi.
b. Gejala lebih lanjut
Anoreksia, nausea, vomiting, nafas dangkal/sesak saat ada kegiatan maupun tidak, edema
disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
Sedangkan menurut Robinson (2013), tanda dan gejala pada gagal ginjal kronis meliputi :
a. Ginjal dan Gastrointestinal
Sebagai akibat dari hiponatremi maka timbul hipotensi, mulut kering, penurunan turgor kulit,
kelemahan, fatigue, dan mual. Kemudian terjadi penurunan kesadaran (somnolen) dan nyeri
kepala yang hebat. Dampak dari peningkatan kalium adalah peningkatan iritabilitas otot dan
akhirnya otot mengalami kelemahan. Kelebihan cairan yang tidak terkompensasi akan
mengakibatkan asidosis metabolik. Tanda paling khas adalah terjadinya penurunan urine output
dengan sedimentasi yang tinggi.
b. Kardiovaskuler
Biasanya terjadi hipertensi, aritmia, kardiomiopati, uremic perikarditis, efusi perikardial
(kemungkinan terjadi tamponade jantung), gagal jantung, edema periorbital dan edema perifer.
c. Sistem Respirasi
Biasanya terjadi edema pulmonal, nyeri pleura, friction rub dan efusi pleura, crackles, sputum
yang kental, uremic pleuritis dan uremic lung dan sesak nafas.
d. Gastrointestinal
Biasanya menunjukkan adanya inflamasi dan ulserasi pada mukosa gastrointestinal karena
stomatitis, ulserasi dan perdarahan gusi dan kemungkinan juga disertai parotitis, esofagitis,
gastritis, doudenal ulseratif, lesi pada intestinum/kolon, kolitis, dan pankreatitis. Kejadian
sekunder biasanya mengikuti seperti anoreksia, nausea dan vomitting.
e. Integumen
Kulit pucat, kekuning-kuningan, kecoklatan, kering, dan ada scalp. Selain itu biasanya juga
menunjukkan adanya purpura, ekimosis, petekie, dan timbunan urea pada kulit.
f. Neurologi
Biasanya ditunjukkan dengan adanya neuropati perifer, nyeri, gatal, pada lengan dan kaki.
Selain iu, juga adanya kram pada otot dan refleks kedutan, daya memori menurun, apatis, rasa
kantuk meningkat, iritabilitas, pusing, koma dan kejang. Dari hasil EEG menunjukkan adanya
perubahan metabolik ensefalopati.
g. Endokrin
Bisa terjadi infertilitas dan penurunan libido, amenorea dan gangguan siklus menstruasi pada
wanita, impoten, penurunan sekresi sperma, peningkatan sekresi aldosteron dan kerusakan
metabolisme karbohidrat.
h. Hematopoetic
Terjadi anemia, penurunan waktu hidup sel darah merah, trombositopenia (dampak dialisis)
dan kerusakan platelet. Biasanya masalah yang serius pada sistem hematologi ditunjukkan
dengan adanya perdarahan (purpura, ekimosis, petekie).
i. Muskuloskeletal
Nyeri pada sendi dan tulang, demineralisasi pada tulang, fraktur patologis, kalsifikasi (otak,
mata, gusi, sendi, miokard).
5. Pembatasan cairan pasien CKD on HD
Pada pasien dengan CKD, salah satu masalah yang paling sering adalah ketidakseimbangan hidrasi
dalam tubuh. Manifestasi dari keadaan ini adalah edema. Bagi pasien CKD, status hidrasi yang
normal merupakan hal yang sangat penting. Maka dari itu, pemantauan cairan yang dikonsumsi
penderita harus diawasi dengan seksama. Karena rasa haus bukan lagi petunjuk yang dapat dipakai
untuk mengetahui hidrasi tubuh (Endang, Rachmadi, & A., 2015). Asupan cairan yang terlalu
sedikit akan mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan memperberat gangguan fungsi ginjal.
Parameter yang tepat untuk diamati selain data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan
tepat adalah pengukuran berat badan harian (Desak, 2015).
Interdyalitic Weight Gain (IDWG) merupakan indikator untuk mengetahui jumlah cairan yang
masuk selama periode interdialitik dan kepatuhan pasien terhadap pengaturan cairan pada pasien
yang mendapat terapi Hemodialisis. Penyokong terapi untuk mencegah kelebihan beban cairan
adalah pembatasan asupan cairan dan garam. Untuk memperlambat kebutuhan akan dialisis dapat
juga dengan menggunakan diuretik. Pada pasien gagal ginjal kronik, pengkajian status cairan yang
berkelanjutan sangat lah penting, yang meliputi melakukan pembatasan asupan dan pengukuran
haluaran cairan yang akurat, menimbang berat badan setiap hari dan memantau adanya komplikasi
cairan. Bila tidak melakukan pengukuran asupan dan haluaran cairan akan mengakibatkan edema,
hipertensi, edema paru, gagal jantung, dan distensi vena jugularis, kecuali akan dilakukan terapi
dialisis. (Morton, 2014).
Monitoring keseimbangan cairan dilakukan dengan cara mencatat pemasukan dan pengeluaran
cairan serta berat badan. Pemasukan cairan meliputi jenis dan jumlah makanan maupun cairan.
Sedangkan pengeluaran cairan adalah jumlah urin, muntah dan diare. Pasien mengisi buku catatan
harian unutk memonitoring keseimbangan cairan setiap hari. Buku catatan harian membantu pasien
dalam memecahkan masalah, mengambil keputusan dan tindakan dalam menanggapi respon haus.
Pasien yang mengikuti dan melaksananakan petunjuk menjaga keseimbangan cairan dapat
membantu mempertahankan IDWG 2,5% sampai 3,5% berat badan kering atau tidak melebihi 5%
berat badan kering. Nilai IDWG (interdialytic weight gain) dihitung berdasarkan berat badan pasien
sebelum hemodialisa (berat badan basah) dikurangi berat badan setelah hemodialisa (berat badan
kering). Nilai normal IDWG adalah kurang dari 3% berat badan kering (Price dan Wilson, 2006).
Faktor kepatuhan pasien dalam mentaati jumlah konsumsi cairan menentukan tercapainya berat
badan kering yang optimal (Riyanto (2011). Memonitor status cairan dengan cara :
1. Turgor kulit
Dehidrasi atau kekurangan volume cairan dalam tubuh salah satu manifestasi klinis yang
ditimbulkan adalah turgor kulit menurun. (Nurarif & Kusuma, 2015);
2. Membrane mukosa
Selain selain turgor kulit menurun dampak yang ditimbulkan dari kekurangan volume cairan
dalam tubuh yaitu membrane mukosa kering. (Nurarif & Kusuma, 2015);
3. Urine output
Selain turgor kulit menurun dan membrane mukosa kering kekurangan volume cairan juga akan
mengakibatkan produksi urine sedikit. Sehingga penting dilakukan ketiga pemeriksaan tersebut.
(Nurarif & Kusuma, 2015).
Mengkaji penyebab timbulnya rasa haus maka akan memudahkan dalam melakukan intervensi yang
tepat untuk membantu klien jika timbul rasa haus berdasarkan penyebabnya. Selain itu adalah
memeriksa CRT. Pemeriksaan CRT dilakukan untuk memonitor dehidrasi dan jumlah aliran darah
ke jaringan, dan juga untuk mengetahui HB normal atau dibawa normal. (Nurarif & Kusuma, 2015).
Cara mengkaji penyebab timbulnya rasa haus yaitu sebagai berikut:
1. Membantu klien dalam mengontrol rasa haus akibat pembatasan asupan cairan. Dalam
melakukan pembatasan cairan biasanya pasien akan memiliki rasa haus atau keinginan yang
disadari akan kebutuhan cairan (Faruq, 2017). Sehingga penulis memberikan tips mengontrol
rasa haus kepada klien yakni minum sedikit tapi sering, membatasi jumlah natrium dan
makanan yang pedas, kurangi komsumsi makanan berminyak, dan hindari aktivitas yang
berlebihan, serta modifikasi lingkungan.
2. Menganjurkan klien untuk tidak terlalu banyak beraktivitas. Hal ini didukung oleh penelitian
Graha (2010) menjelaskan bahwa aktivitas yang berat akan menghasilkan suhu yang lebih tinggi
menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme pada saat aktivitas, efek pada sel
meningkat,peningkatan hormone norepinefrin,sehingga terjadi pengeluaran panas melalui kulit,
atau kehilangan air dan elektrolit dan akan menyebabkan dehidrasi. Oleh karena itu, pada pasien
GGK harus dilakukan pembatasan aktivitas untuk menghindari kehilangan cairan yang
berlebihan untuk mencegah rasa haus yang berlebihan.
Kepatuhan klien dalam mentaati jumlah konsumsi cairan menentukan kualitas hidup klien, semakin
besar presentase Intradyalitic Weight Gain (IDWG), maka akan menimbulkan dampak buruk
(Remela, Ismonah, & Hendrajaya, 2016). Sedangkan masalah resiko kekurangan volume cairan
intravaskuler masih ditemukan sering kehausan jika beraktivtas, haluaran urine sedikit meskipun
pasien sudah mulai menerapkan tips mengontrol rasa haus dengan minum sedikit tapi
sering,modifikasi lingkungan, membatasi aktivitas, CRT > 3 detik, kulit nampak hiperpigmentasi
dan kering, membran mukosa lembab. Menurut Sari (2016) dalam melakukan pembatasan cairan
biasanya pasien akan memiliki rasa haus atau keinginan yang disadari akan kebutuhan cairan.
Apabila terjadi penurunan cairanintravaskuler muncul ransangan pada osmoreseptor di
hypothalamus dan dihantarkan ke pusat haus di hypothalamus sebagai bentuk perilaku untuk
mengatasi haus. Tanda dari kehilangan cairan atau kekurangan cairan didalam tubuh (dehidrasi)
CRT > 3 detik.
Air adalah komponen pembentuk tubuh yang paling banyak jumlahnya. Pada orang dewasa kurang
dari 60% berat badan adalah air (air dan elektrolit). Pembatasan cairan perlu dilakukan seiring
dengan menurunnya kemampuan ginjal. Karena jika pasien gagal ginjal kronik mengkonsumsi
terlalu banyak cairan, maka cairan yang ada akan menumpuk didalam tubuh sehingga dapat
menyebabkan edema (pembengkakan). Oleh sebab itu agar tidak terjadi penumpukan cairan maka
jumlah cairan yang boleh dikonsumsi dalam satu hari yaitu sebanyak: 500 cc + jumlah urin dalam
satu hari.
Perlu diingat juga bahwa makanan yang berkuah seperti sup, ice cream, susu, syrup, yoghurt, juga
dihitung sebagai cairan. Penderita gagal ginjal kronik telah berkurang fungsi pengolahan cairannya,
sehingga jumlah cairan harus dibatasi. Cairan yang masuk kedalam tubuh harus seimbang dengan
cairan yang dikeluarkan dari tubuh. Seringkali penderita gagal ginjal kronik memerlukan tambahan
diuretic untuk mengeluarkan kelebihan cairan dari dalam tubuh.
Pantangan besar:
1. Air kelapa
2. Minuman isotonic
Dengan perhatian khusus: Kopi, susu, teh, lemon tea.
Peran perawat sebagai edukator berguna untuk mengedukasi penderita CKD atau keluarga penderita
untuk melakukan monitoring asupan kebutuhan cairan pasien. Selain itu juga membantu klien
dalam mengontrol rasa haus akibat pembatasan asupan cairan. Dalam melakukan pembatasan cairan
biasanya pasien akan memiliki rasa haus atau keinginan yang disadari akan kebutuhan cairan.
Mengontrol rasa pasien dapat dilakukan dengan minum sedikit tapi sering, membatasi jumlah
natrium dan makanan yang pedas, kurangi komsumsi makanan berminyak, dan hindari aktivitas
yang berlebihan, serta modifikasi lingkungan dan menganjurkan pasien untuk tidak banyak
beraktivitas.
6.Diet CKD ON HD
Diet yang diberikan pada pasien dengan penurunan ginjal tahap akhir dengan terapi pengganti, jika
hasil kliren kreatinin <15 ml/menit.
Mencukupi kebutuhsn zat gizi sesuai kebutuhan perorangan agar status gizi optimal
Syarat Diet
Energi 30 - 35 kkal/kgBB/hari
Kalium dibatasi terutama bila urin kurang dari 400 ml atau kadar kalium darah lebih dari 5,5 m
Eq/L
Bahan makanan sumber hidrat arang: Nasi, roti, mie, bihun, makaroni, bahan makanan yang terbuat
dari tepung-tepungan
Bahan makanan sumber protein: Daging sapi, ayam, telur, ikan (kembung, gurami,dorang, mujaer,
bandeng, lele patin, nila, emas, dll), susu.
Sayur dengan bahan wortel, gambas, labu kuning dan putih, manisa, sawi putih
Pepaya hanya satu potong kecil (5x5 cm) sehari untuk melancarkan buang air besar
Kacang-kacangan & hasil olahannya: tahu, tempe, kacang hijau, kacang merah (karena
menimbulkan gatal pada badan)
Terlalu banyak sayur, jagung, sukun, ubi-umbian (bisa membuat sesak karena kalium tinggi)
- Diet Hemodialisa harus direncanakan perorangankarena nafsu makan pasien umumnya rendah
sehingga perlu sekali diperhatikan makanan kesukaan pasien
- Untuk membatasi banyaknya jumlah cairan, masakan lebih baik dibuat dalam bentuk tidak
berkuah misalnya ditumis, dikukus, dipanggang, dibakar atau digoreng
- Bila ada bengkak di kaki, tekanan darah tinggi, perlu mengurangi garam dan menghindari
makanan sumber natrium lainnya, seperti minuman bersoda, kaldu instan, ikan asin, telur asin,
makanan yang diawetkan, vetsin, bumbu instan.
- Hidangkan makanan dalam bentuk yang menarik sehingga menimbulkan selera
- Agar meningkatkan cita rasa, gunakan lebih banyak bumbu seperti bawang, jahe, kunyit, salam
dll.
DAFTAR PUSTAKA
Dharma, P. S. (2015). Penyakit Ginjal Deteksi Dini dan Pencegahan. Yogayakarta: Solusi
Distribusi.
Endang, S. P., Rachmadi, & A., H. (2015). Tingkat Kepatuhan Pasien Gagal Ginjal Kronik Dalam
Pembatasan Cairan Pada Terapi Hemodialisa. Jurnal Ners, 7(1), 24-30.
Faruq, M. H. (2017). Upaya Penurunan Volume Cairan Pada Pasien gagal Ginjal Kronis. 3-4.
Graha, A. S. (2010). Adaptasi Suhu Tubuh Terhadap Latihan dan Efek Cedera di Cuaca Panas dan
Dingin. 125.
Nurani, V. M. (2013). Gambaran Makna Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Mengalami
Hemodialisis. Jurnal Psikologi, 11(1), 5-12.
Nurarif, H. A., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
& NANDA NIC-NOC .Jakarta: Mediaction
Ramela, M. I., Ismonah, & Hendrajaya. (2016). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kepatuhan Pembatasan Asupan pada Klien dengan Chronic Kidney Disease yang
Menjalani Hemodialisis. 1-8.
Ratna Sari, L., Purwanti, O. S., Ns, M. K., & Kep, N. S. 2016. Upaya Mencegah Kelebihan Volume
Cairan pada Pasien Chronic Kidney Disease Dirsud dr. Soehadi Prijonegoro. (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
Sari, L. R. (2016). Upaya Mencegah Kelebihan Volume Cairan pada Pasien Chronic Kidney
Disease. 4.