Manajemen Nyeri

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 43

BAB I

DEFINIS
I

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensasi yang tidak
menyenangkan (pengalaman emosional dan sensori) yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau
cedera pada tubuh.

Nyeri dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 3-6

1. Menurut Jenisnya

a. Nyeri nosiseptif

Disebabkan karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi nosiseptor baik

secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari

jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.

b. Nyeri neurogenik

Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf perifer. Hal

ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan

terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan

kadang disertai hilangnya rasa atau adanya sara tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat

menyebakan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau peningkatan

sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP).

SMP merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan respon yang buruk

pada pemberian analgetik konvensional.

c. Nyeri psikogenik

Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi.

Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.

1
2. Menurut waktu timbulnya nyeri

a. Nyeri akut

Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera atau intervensi bedah dan memiliki awitan

yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan. Nyeri ini terkadang bisa hilang

sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak. Apabila nyeri

akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat agresif untuk segera menghilangkan nyeri.

Misalnya nyeri pasca bedah.

b. Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode tertentu,

berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari tiga bulan. Nyeri ini

disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut atau karena

gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri kronik,

tatalaksana tidak seagresif pada nyeri akut. Klien yang mengalami nyeri kronik akan mengalami

periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat).

Nyeri ini biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada

penyebabnya. Nyeri ini merupakan penyebab utama ketidakmampunan fisik dan psikologis. Sifat

nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi membuat klien menjadi frustasi dan seringkali mengarah

pada depresi psikologis. Individu yang mengalami nyeri kronik akan timbul perasaan yang tidak

aman, karena ia tidak pernah tahu apa yang akan dirasakannya dari hari ke hari. Misalnya nyeri post-

herpetic, nyeri phantom atau nyeri karena kanker.

2
Tabel 1. Perbedaan karakteristik nyeri akut dan kronik
Nyeri akut Nyeri kronik
o Lamanya dalam hitungan menit  Lamannya sampai > 3 bulan
o Sensasi tajam menusuk  Sensasi terbakar, tumpul, pegal
o Dibawa oleh serabut saraf tipe A- delta  Dibawa oleh serabut saraf tipe C
o Ditandai peningkatan BP, nadi, dan  Fungsi fisiologi bersifat normal
respirasi
o Kausanya spesifik, dapat  Kausanya mungkin jelas mungkin tidak
diidentifikasi secara biologis  Tidak ada keluhan nyeri, depresi
o Respon pasien : Fokus pada nyeri, dan kelelahan
menangis dan mengerang, cemas  Tidak ada aktifitas fisik sebagai respon
o Tingkah laku menggosok bagian yang terhadap nyeri
nyeri  Respon terhadap analgesik : sering
o Respon terhadap analgesik : kurang meredakan nyeri
meredakan nyeri secara efektif

3. Menurut penyebabnya

a. Nyeri kanker

Nyeri kronis maligna merupakan kombinasi dari beberapa komponen nyeri akut, intermiten dan

kronis. Nyeri kanker dapat muncul pada tempat/situs primer kanker sebagai akibat ekspansi tumor,

penekanan/kompresi saraf, atau infiltrasi oleh tumor, obstruksi maligna, atau infeksi pada ulkus

maligna. Nyeri juga dapat muncul pada tempat metastase yang jauh. Selain itu, terapi kanker dengan

tindakan bedah, kemoterapi, dan radiasi juga dapat menimbulkan mukositis, gastroenteritis, iritasi

kulit, dan nyeri lain yang berakitan.

b. Nyeri non kanker

Nyeri kronis non-kanker dapat dibedakan menjadi 2 subtipe utama yaitu nyeri neuropati dan

nyeri muskuloskeletal. Nyeri neuropati dapat bersifat idiopatik atau dapat juga muncul dari lokasi

tertentu atau umum pada jejas saraf. Awitannya dapat terjadi seketika setelah jejas atau setelah jeda

waktu tertentu. Nyeri neuropati dapat bersifat konstan dan menetap. Selain nyeri yang terus menerus,

juga dapat terjadi nyeri yang tumpang tindih, hilang-muncul (intermitten), nyeri seperti syok, yang

seringkali dicirikan dengan sensasi nyeri yang tajam, seperti tersengat listrik/elektrik, mengejutkan,

seperti disobek/robek, atau

3
kejang Contoh sindroma nyeri neuropati kronis adalah neuralgia pascaherpes, neuropati diabetik,

neuralgia trigeminal, nyeri pascastroke, dan nyeri phantom (yaitu rasa nyeri pada bagian tubuh yang

telah diamputasi).

Nyeri muskuloskeletal muncul dari jaringan otot, tulang, persendian atau jaringan ikat. Nyeri ini

dapat diakibatkan oleh jejas idiopatik atau iatrogenik. Sindroma nyeri muskuloskeletal kronik yang

umum adalah nyeri yang berkaitan dengan penyakit inflamasi otot misalnya polimyositis (penyakit

jaringan ikat yang ditandai dengan edema, inflamasi, dan degenerasi otot) dan dermatitis dan juga

nyeri yang berkaitan dengan penyakit persendian misalnya arthritis.

4. Menurut derajat nyeri

a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang-timbul, terutama saat beraktivitas sehari-hari dan menjelang tidur.

b. Nyeri sedang nyeri yang berlangsung terus-menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang bila

penderita tidur.

c. Nyeri berat adalah nyeri yang berlangsung terus-menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur

dansering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu tidur.

5. Menurut sumber nyeri

a. Nyeri somatik luar

Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran mukosa. Nyeri biasanya

dirasakan seperti terbakar, tajam dan terlokalisasi.

b. Nyeri somatik dalam

Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan pada otot rangka,

tulang, sendi, jaringan ikat.

c. Nyeri visceral

Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya (pleura parietalis,

perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal

terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.

4
BAB II

RUANG LINGKUP

Ruang lingkup panduan manajemen nyeri adalah :


a. Pasien dengan kondisi nyeri yang dirawat bagian rawat inap, bagian rawat jalan, bagian Instalasi
Gawat Darurat dan bagian VK – KIA
b. Petugas yang melakukan penanganan nyeri yaitu dokter spesialis, dokter umum, perawat, bidan,
petugas kerohanian dan petugas lain yang berhubungan dengan perawatan pasien.

Ruang lingkup pembahasan dalam Panduan Manajemen Nyeri ini meliputi :


A. Penatalaksanaan nyeri secara medis
B. Penatalaksanaan nyeri secara syariah
C. Keterlibatan Pasien Dan Keluarga Dalam Tatalaksana Nyeri
D. Edukasi Pasien Dan Keluarga Tentang Nyeri

5
BAB III
TATA LAKSANA MANAJEMEN NYERI RUMAH SAKIT PURI HUSADA

I. PENATALAKSANAAN NYERI SECARA MEDIS

A. NYERI AKUT
1. Nyeri Akut merupakan nyeri yang terjadi dalam kurun waktu <6 minggu.
2. Melakukan asesmen nyeri : anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan
asesmen nyeri menggunakan skala nyeri.
3. Menentukan tipe dan sumber nyeri akut :
Tabel 1. Tipe dan sumber nyeri akut

TIPE / SUMBER DEFINIS SUMBER ATAU CONTOH


I
Penyakit Akut Nyeri yang disebabkan oleh  Appendicitis, renal colic,
penyakit akut. myocardial infarction
Perioperative Nyeri pada pasien bedah  Bedah kepala dan leher
(termasuk post karena terpapar penyakit,  Bedah dada dan dinding
operasi) prosedur pembedahan dada
(missal terpasang drain,  Bedah abdomen
selang NGT, Komplikasi)  Bedah vaskuler dan ortopedi
atau keduanya.
Post traumatic Termasuk nyeri local atau  Kecelakaan sepeda motor
(trauma mayor) keseluruhan pada bagian tubuh
yang disebabkan oleh
cedera akut.
Terbakar Nyeri yang disebabkan oleh  Api, terpapar zat kimia
terpapar suhu atau terbakar zat
kimia.
Procedural Nyeri yang berhubungan  Bone marrow biopsy,
(prosedur infasif) dengan pemeriksaan endoscopy, catheter
diagnostic atau prosedur placement, circumcision,
terapi medis. chest tube placement,
suturing
Obstetrik Nyeri yang berhubungan  Persalinan pervagina atau
dengan kehamilan dan operasi cesarean section
persalinan.

4. Tatalaksana sesuai mekanisme nyerinya.


a. Tatalaksana Non-farmakologi pada nyeri akut
Tabel 2. Intervensi Non Farmakologis Nyeri Akut

TIPE/SUMBER NYERI INTERVENS


I
Penyakit Akut  Edukasi pasien tentang nyeri
 Relaksasi
 Guided Imaginery
 Teknik Distraksi
Nyeri Perioperatif  Edukasi pasien tentang nyeri
 Relaksasi
 Imagery
 Teknik Distraksi
 Hypnosis
 Akupuntur
 Massage / pijat
Trauma  Istirahat
 Relaksasi
 Hypnosis
 Teknik distraksi
Luka Bakar  Edukasi pasien
 Relaksasi
 Teknik distraksi
 Guided Imaginery
 Terapi musik/murottal
Prosedur Invasif  Immobilisasi
 Massage
Obstetri  Edukasi pasien
 Relaksasi
 Teknik pernafasan
 Teknik distraksi

b. Tatalaksana Farmakologi pada nyeri akut : gunakan Step-Ladder WHO


1) OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) efektif untuk nyeri ringan-sedang, opioid
efektif untuk nyeri sedang – berat.
2) Mulailah dengan pemberian OAINS (langkah 1) atau opioid lemah (langkah 2) dengan
pemberian intermiten (bila diperlukan) opioid kuat yang disesuaikan dengan kebutuhan
pasien.
3) Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif atau nyeri menjadi sedang – berat, dapat ditingkatkan
menjadi langkah 3 (ganti dengan opioid kuat dan prn analgesik dalam kurun waktu 24
jam setelah langkah 1).
4) Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang sering digunakan adalah Morfin,
Codein.
5) Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan opioid ringan.
6) Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan pengurangan dosis secara bertahap :
a. Intravena : antikonvulsan, Ketamine, OAINS, Opioid.

8
b. Oral : antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolytic, kortikosteroid,
anestesi lokal, OAINS, Opioid, Tramadol.
c. Rektal (supositoria) : Parasetamol, Aspirin, Opioid, Fenotiazin.
d. Topikal : Lidokain patch, EMLA.
e. Subkutan : Opioid, anestesi lokal.
7) Pemberian Opioid intermiten (bila diperlukan) intravena untuk nyeri akut, dengan syarat :
a) Hanya digunakan oleh staf yang telah mendapat instruksi.
b) Tidak sesuai untuk pemberian analgesik secara rutin di ruang rawat inap biasa.
c) Efek puncak dari dosis intravena dapat terjadi selama 15 menit sehingga semua
pasien harus diobservasi dengan ketat selama fase ini.

Gambar 1. Tatalaksana nyeri berdasarkan WHO analgetic ladder


Keterangan :
1) Patch fentanyl tidak boleh digunakan untuk nyeri akut karena tidak sesuai indikasi
dan onset kerjanya lama.
2) Untuk nyeri kronik : pertimbangkan terapi analgetik adjuvan (misalnya : Amitriptilin,
Gabapentin).
3) NSAID : non-steroidal anti-inflammatory drug
4) S/R : slow release
5) PRN : jika diperlukan

9
10
5. Manajemen efek samping terapi nyeri farmakologi
1) Opioid
a) Mual dan muntah : antiemetic
b) Konstipasi : berikan stimulan buang air besar, hindari laksatif yang mengandung serat
karena dapat menyebabkan produksi gas-kembung-kram perut.
c) Gatal : pertimbangkan untuk mengganti opioid jenis lain, dapat juga menggunakan
antihistamin.
d) Mioklonus : pertimbangkan untuk mengganti opioid, atau berikan Benzodiazepine
untuk mengatasi mioklonus.
e) Depresi pernapasan akibat Opioid : berikan Nalokson (campur 0,4 mg Nalokson
dengan NaCl 0,9% sehingga total volume mencapai 10 ml). Berikan 0,02 mg (0,5 ml)
bolus setiap menit hingga kecepatan pernapasan meningkat. Dapat diulang jika
pasien mendapat terapi Opioid jangka panjang.

2) OAINS :
a) Gangguan gastrointestinal : berikan PPI (Proton Pump Inhibitor)
b) Perdarahan akibat disfungsi platelet : pertimbangkan untuk mengganti OAINS yang
tidak memiliki efek terhadap agregasi platelet.
c) Pembedahan : injeksi epidural, supraspinal, infiltrasi anestesi lokal di tempat nyeri.

6. Berikut ini adalah algoritma asesmen dan manajemen nyeri akut

11
7.
8. n

12
Gambar 2. Algoritma

13
Gambar 3. Lanjutan Algoritma Manajemen Nyeri Akut

9. Follow-up atau Asesmen Ulang Nyeri Akut


a. Asesmen ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang teratur.
b. Panduan umum :
1) Pemberian parenteral : 30 menit.
2) Pemberian oral : 60 menit.
3) Intervensi non-farmakologis : 30 – 60 menit.
10. Pencegahan Kekambuhan Nyeri akut
a. Edukasi pasien
1) Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, serta tatalaksananya.
2) Diskusikan tujuan dari manajemen nyeri dan manfaatnya untuk pasien.
3) Beritahukan bahwa pasien dapat mengubungi tim medis jika memiliki
pertanyaan/ingin berkonsultasi mengenai kondisinya.
4) Pasien dan keluarga ikut dilibatkan dalam menyusun manajemen nyeri (termasuk
penjadwalan medikasi, pemilihan analgesik, dan jadwal kontrol).
b. Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik

14
11. Medikasi saat pasien pulang
a. Pasien dipulangkan segera setelah nyeri dapat teratasi dan dapat beraktivitas seperti
biasa/normal.
b. Pemilihan medikasi analgetik bergantung pada kondisi pasien.

B. MANAJEMEN NYERI KRONIS


1. Nyeri kronik adalah nyeri yang dirasakan persisten atau berlangsung >6 minggu.
2. Melakukan asesmen nyeri kronis:
a. Anamnesis, pemeriksaan fisik (karakteristik nyeri, riwayat manajemen nyeri sebelumnya),
pemeriksaan penunjang dan asesmen nyeri dengan skala nyeri.
b. Asesmen fungsional :
1) Nilai aktivitas hidup dasar (ADL), identifikasi kecacatan/disabilitas.
2) Buatlah tujuan fungsional spesifik dan rencana perawatan pasien.
3) Nilai efektivitas rencana perawatan dan manajemen pengobatan.
3. Menentukan mekanisme nyeri kronis
a. Manajemen bergantung pada jenis/klasifikasi nyerinya.
b. Pasien sering mengalami > 1 jenis nyeri.
c. Terbagi menjadi 4 jenis :
1) Nyeri Neuropatik
a) Disebabkan oleh kerusakan/disfungsi sistem somatosensorik.
b) Contoh : neuropati DM, trigeminal neuralgia, neuralgia pasca-herpetik.
c) Karakteristik : nyeri persisten, rasa terbakar, terdapat penjalaran nyeri sesuai dengan
persarafannya, baal, kesemutan, alodinia.
d) Fibromyalgia : gatal, kaku dan nyeri yang difus pada muskuloskeletal (bahu,
ekstremitas), nyeri berlangsung selama >3 bulan.
2) Nyeri otot
a) Tersering adalah nyeri myofasial
b) Mengenai otot leher, bahu, lengan, punggung bawah, panggul, dan ekstremitas
bawah.
c) Nyeri dirasakan akibat disfungsi pada 1 atau lebih jenis otot, berakibat kelemahan
dan keterbatasan gerak.
d) Biasanya muncul akibat aktivitas pekerjaan yang repetitif.
e) Tatalaksana : mengembalikan fungsi otot dengan fisioterapi, identifikasi dan
manajemen faktor yang memperberat (postur, gerakan repetitif, dan faktor pekerjaan).
3) Nyeri inflamasi (dikenal juga dengan istilah nyeri nosiseptif) :
a) Contoh : artritis, infeksi, cedera jaringan (luka), nyeri paska operasi.
b) Karakteristik : pembengkakan, kemerahan, panas pada tempat nyeri. Terdapat riwayat
cedera atau luka.
c) Tatalaksana : manajemen proses inflamasi dengan antibiotik, anti rematik, OAINS
dan kortikosteroid.
4) Nyeri mekanis/kompresi :
a) Diperberat dengan aktivitas dan nyeri berkurang dengan istirahat.

15
b) Contoh : nyeri punggung dan leher (berkaitan dengan strain/sprain ligamen/otot),
degerasi diskus, osteoporosis dengan fraktur kompresi dan fraktur.
c) Merupakan nyeri nosiseptif
d) Tatalaksana : beberapa memerlukan dekompresi atau stabilisasi.
4. Manajemen Nyeri Kronis Non Kanker
a. Tujuan Umum Manajemen
1) Mengurangi penderitaan, termasuk nyeri dan masalah emosional.
2) Meningkatkan / memperbaiki fungsi fisik, sosial, vocational dan recreational.
3) Mengoptimalkan kesehatan, termasuk kesejahteraan psikologis.
4) Memperbaiki kemampuan koping (misal mengembangkan strategi pertolongan diri,
mengurangi ketergantungan pada sistem asuhan kesehatan) dan hubungan dengan yang
lain (misal keluarga, teman, tenaga kesehatan).
b. Prinsip Level I :
1) Buatlah rencana perawatan tertulis secara komprehensif (buat tujuan, perbaiki tidur,
tingkatkan aktivitas fisik, manajemen stres dan kurangi nyeri).
2) Pasien harus berpartisipasi dalam program latihan untuk meningkatkan fungsi.
3) Dokter dapat mempertimbangkan pendekatan perilaku kognitif dengan restorasi fungsi
untuk membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi.
a) Beritahukan kepada pasien bahwa nyeri kronik adalah masalah yang rumit dan
kompleks. Tatalaksana sering mencakup manajemen stress, latihan fisik, terapi
relaksasi dan sebagainya.
b) Beritahukan pasien bahwa fokus dokter adalah manajemen nyerinya.
c) Ajaklah pasien untuk berpartisipasi aktif dalam manajemen nyeri.
d) Berikan medikasi nyeri yang teratur dan terkontrol.
e) Jadwalkan kontrol pasien secara rutin, jangan biarkan penjadwalan untuk kontrol
dipengaruhi oleh peningkatan level nyeri pasien.
f) Bekerjasama dengan keluarga untuk memberikan dukungan kepada pasien.
g) Bantulah pasien agar dapat kembali bekerja secara bertahap.
h) Atasi keengganan pasien untuk bergerak karena takut nyeri.
4) Manajemen psikososial (atasi depresi, kecemasan dan ketakutan pasien)

c. Manajemen nyeri level 1 : menggunakan pendekatan standar dalam penatalaksanaan nyeri


kronik termasuk farmakologi, intervensi, non farmakologi dan terapi pelengkap/tambahan.
1) Nyeri Neuropatik
a) Atasi penyebab yang mendasari timbulnya nyeri :
- Kontrol gula darah pada pasien DM
- Pembedahan, kemoterapi, radioterapi untuk pasien tumor dengan kompresi
saraf.
- Kontrol infeksi (antibiotik).

16
b) Terapi simptomatik :
- antidepresan trisiklik (Amitriptilin).
- antikonvulsan : Gabapentin, Karbamazepin.
- obat topical (Lidocaine patch 5%, krim anestesi).
- OAINS, Kortikosteroid, Opioid.
- anestesi regional : blok simpatik, blok epidural/intratekal, infus
epidural/intratekal.
- terapi berbasis-stimulasi : akupuntur, stimulasi spinal, pijat.
- rehabilitasi fisik : bidai, manipulasi, alat bantu, latihan mobilisasi, metode
ergonomis.
- prosedur ablasi : kordomiotomi, ablasi saraf dengan radiofrekuensi.
- terapi lainnya : hypnosis, terapi relaksasi (mengurangi tegangan otot dan
toleransi terhadap nyeri), terapi perilaku kognitif (mengurangi perasaan
terancam atau tidak nyaman karena nyeri kronis).

2) Nyeri otot
a) Lakukan skrining terhadap patologi medis yang serius, faktor psikososial yang
dapat menghambat pemulihan.
b) Berikan program latihan secara bertahap, dimulai dari latihan dasar/awal dan
ditingkatkan secara bertahap.
c) Rehabilitasi fisik :
- Fitness : angkat beban bertahap, kardiovaskular, fleksibilitas,
keseimbangan
- Mekanik
- Pijat, terapi akuatik
d) Manajemen perilaku :
- Stress/depresi
- Teknik relaksasi
- Perilaku kognitif
- Ketergantungan obat
- Manajemen amarah
e) Terapi obat :
- analgesik dan sedasi
- antidepresan
- opioid jarang dibutuhkan

3) Nyeri inflamasi
a) Kontrol inflamasi dan atasi penyebabnya.
b) Obat anti-inflamasi utama : OAINS, Kortikosteroid.

17
4) Nyeri mekanis/kompresi
a) Penyebab yang sering : tumor/kista yang menimbulkan kompresi pada
struktur yang sensitif dengan nyeri, dislokasi, fraktur.
b) Penanganan efektif : dekompresi dengan pembedahan atau stabilisasi, bidai, alat
bantu.
c) Medikamentosa kurang efektif. Opioid dapat digunakan untuk mengatasi nyeri
saat terapi lain diaplikasikan.

d. Manajemen Level 1 lainnya :


1) OAINS dapat digunakan untuk nyeri ringan – sedang atau nyeri non-neuropatik.
2) Skor DIRE : digunakan untuk menilai kesesuaian aplikasi terapi Opioid jangka
panjang untuk nyeri kronik non-kanker.
3) Intervensi : injeksi spinal, blok saraf, stimulator spinal, infus intratekal, injeksi
intra-sendi, injeksi epidural.
4) Terapi pelengkap / tambahan : akupuntur, herbal.
Tabel 3. Skor DIRE (Diagnosis, Intractability, Risk, Efficacy)

Skor Faktor Penjelasan


Diagnosis 1 = Kondisi kronik ringan dengan temuan objektif
minimal atau tidak adanya diagnosis medis yang pasti.
Misalnya fibromyalgia, migraine, nyeri punggung
tidak spesifik.
2 = kondisi progresif perlahan dengan nyeri sedang
atau kondisi nyeri sedang menetap dengan temuan
objektif medium.
Misalnya : nyeri punggung dengan perubahan
degenerative medium, nyeri neuropatik.
3 = kondisi lanjut dengan nyeri berat dan temuan
objektif nyata.
Misalnya : penyakit iskemik vascular berat,
neuropati lanjut, stenosis spinal berat.
Intractability 1 = pemberian terapi minimal dan pasien terlibat
(keterlibatan secara minimal dalam manajemen nyeri.
) 2 = beberapa terapi telah dilakukan tetapi pasien tidak
sepenuhnya terlibat dalam manajemen nyeri, atau
terdapat hambatan ( finansial, transportasi, penyakit
medis ).
3 = pasien terlibat sepenuhnya dalam manajemen
nyeri tetapi respons terapi tidak
adekuat.
Skor Faktor Penjelasan
Risiko ( R ) R = jumlah skor P + K + R + D
Psikologi 1 = disfungsi kepribadian yang berat atau
gangguan jiwa yang mempengaruhi terapi.
Misalnya : gangguan kepribadian, gangguan afek
18
berat.
2 = gangguan jiwa / kepribadian medium/sedang..
Misalnya : depresi, gangguan cemas.
3 = komunikasi baik. Tidak ada disfungsi
kepribadian atau gangguan jiwa yang signifikan

Kesehatan 1 = penggunaan obat akhir-akhir ini, alkohol


berlebihan, penyalahgunaan obat.
2 = medikasi untuk mengatasi stress, atau riwayat
remisi psikofarmaka..
3 = tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan.
Reliabilitas 1 = banyak masalah : penyalahgunaan obat, bolos
kerja/jadwal kontrol, komplians buruk.
2 = terkadang mengalami kesulitan dalam komplians,
tetapi secara keseluruhan dapat diandalkan.
3 = sangat dapat diandalkan (medikasi, jadwal
kontrol, dan terapi).

Dukungan 1 = hidup kacau, dukungan keluarga minimal, sedikit


sosial teman dekat, kehilangan peran dalam kehidupan
normal.
2 = kurangnya hubungan dengan oral dan kurang
berperan dalam sosial.
3 = keluarga mendukung, hubungan dekat. Terlibat
dalam kerja/sekolah, tidak ada isolasi
sosial.
Efikasi 1 = fungsi buruk atau pengurangan nyeri minimal
meski dengan penggunaan dosis obat sedang- tinggi.
2 = fungsi meningkat tetapi kurang efisien (tidak
menggunakan opioid dosis sedang-tinggi ).
3 = perbaikan nyeri signifikan, fungsi dan kualitas
hidup tercapai dengan dosis yang stabil.

Skor total =D+I+R+E

Keterangan :
Skor 7 – 13 : tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang Skor 14
– 21 : sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang.

e. Manajemen Level 2
1) Meliputi rujukan ke tim multidisiplin dalam manajemen nyeri dan rehabilitasinya atau
pembedahan (sebagai ganti stimulator spinal atau infus intratekal).
2) Indikasi : pasien nyeri kronik yang gagal terapi konservatif/manajemen level 1.

19
3) Biasanya rujukan dilakukan setelah 4 – 8 minggu tidak ada perbaikan dengan manajemen
level
Berikut ini adalah algoritma asesmen dan manajemen nyeri kronis :

Gambar 4. Algoritme Asesmen Nyeri Kronik

20
Gambar 5. Algoritme Manajemen Nyeri Kronik

f. Tatalaksana non-farmakologis nyeri kronis non kanker

Tabel 4. Intervensi Non-farmakologis nyeri kronis non kanker:

TIPE NYERI INTERVENS


I
Nyeri Arthritis  Pembedahan: arthroscopy, synovectomy, osteotomy
dan spinal fision.
 ROM, massage, akupuntur, suplemen nutrisi
Low Back Pain  Pembedahan: laminectomy, diskectomy, lumbar fusion,
(LBP) lumbar stabilization.
 Olah raga, radiofrekuensi, akupuntur, terapi
manipulasi.
Fibromyalgia  Massage, aerobic peregangan, psikoterapi, relaksasi,
hypnosis, akupuntur.
Sickle cell desease  Massage, psikoterapi, teknik nafas dalam dan
relaksasi, distraksi, imagery, meditasi, akupuntur.
Neuropati perifer  Pembedahan vaskuler untuk insufisiensi vaskuler.
 Psikoterapi, relaksasi.
Migrain dan sakit  Massage, relaksasi
kepala tipe lain

21
g. Tatalaksana farmakologis nyeri kronis non kanker
Tabel 5. Intervensi farmakologis nyeri non kanker:

TIPE NYERI NON OPIOIDS OPIOIDS ADJUVAN


Nyeri Arthritis Paracetamol, Short term opioids Kortikosteroid
NSAIDs, selectif
COX-2 inhibitor
Low Back Pain Paracetamol, Short term opioids Amitriptilin,
(LBP) NSAIDs, gabapentin,
selective COX-2 carbamazapin,
inhibitor short acting
muscle relaxan
(misal
cyclobenzaprine).
Fibromyalgia Paracetamol, Opioids, tramadol Amitriptilin, short
NSAIDs, acting muscle
selective COX-2 relaxan (misal
inhibitor cyclobenzaprine).
Sickle cell Paracetamol, Short or long term Sedative
desease NSAIDs opioids anxiolytics
Neuropati Paracetamol, Short term opioids Amitriptilin,
perifer NSAIDs gabapentin,
carbamazapin,
short acting
muscle relaxan
(misal
cyclobenzaprine).

Tabel 6. Manajemen farmakologis nyeri kepala:

TIPE PROPHILAKSIS ARBOTIVE


NYERI
KEPALA
Migraine  AEDs (gabapentin)  NSAIDs
 BBs (propranolol)  Kombinasi Opioid
 CCBs (Verapamil, (paracetamol dengan
nifedipin) codein)
 TCAs  Dehydroergotamine,

 NSAIDs rizapritan, naratriptan


Tension TCAs Paracetamol, NSAIDs
Cluster CCBs, Corticosteroid, AEDs Ergotamine,
Dehydroergotamine,
inhalasi oksigen

5. Manajemen Nyeri Kronis Kanker


Penyebab rasa nyeri pada penderita kanker antara lain invasi langsung tumor pada
jaringan tubuh disekitar tumor; nyeri akibat metastase tulang; osteoporotik tulang

22
dan nyeri degenerative pada pasien lanjut usia; obstruksi visceral; tekanan pada saraf dan invasi
pembuluh darah; penyempitan pembuluh darah; inflamasi.
Prinsip umum manajemen nyeri kanker meliputi:
 Mempunyai komitmen dalam membebaskan penderitaan dan menawarkan kesembuhan.
 Melakukan asessmen dengan seksama atau teliti atas keluhan nyeri pasien dan kepada
pasien.
 Menggunakan pendekatan bertahap dalam pengobatan (WHO pain ladder) adalah cara
terbaik.
 Bekerja sebagai tim dalam menangani nyeri kanker, menggunakan beragam terapi dan
multidisiplin profesi.
 Mengobati dengan layak untuk membebaskan rasa nyeri ketika menunggu hasil
pemeriksaan atau investigasi.
 Pemberian obat regular menurut nyeri yang dirasakan terus menerus atau bertahap.
 Pemberian obat melalui oral lebih baik.
 Terbuka pada terapi non farmakologis dan terapi komplementer serta alternative yang
dapat membantu pasien.
 Edukasi pasien dan pemberi perawatan sebagai bekal dalam memperkuat rasa saling
percaya dan kepercayaan diri.

a. Asessmen nyeri kronis kanker


Elemen penting dalam melakukan sessmen pasien nyeri kanker adalah riwayat
kesehatan untuk menentukan gambaran nyeri yang persisten, dan pemecahan nyeri serta efek
nyeri terhadap fungsi tubuh.
Pengkajian nyeri pada pasien kanker dilakukan untuk mendapatkan data tentang
frekuensi dan episode nyeri dirasakan perharinya, durasi dalam satuan menit, intensitas dan
waktu saat nyeri dirasakan, data tentang pengalaman nyeri klien dimasa lalu, riwayat
pemakaian obat analgesic dan faktor – faktor pencetus lainnya. Pasien dengan nyeri kanker
sebaiknya juga dilakukan sessmen psikososial, yang meliputi:
1) Pemahaman pasien mengenai kondisinya saat ini.
2) Makna nyeri yang dirasakan pasien bagi pasien sendiri dan keluarga pasien.
3) Seberapa besar Kemungkinan masalah nyeri dapat mempengaruhi
hubungan antar keluarga pasien.
4) Apakah nyeri mempengaruhi semangat atau suasana hati pasien.
5) Perubahan suasana hati.
6) Strategi koping yang diadopsi pasien.
7) Pola tidur pasien.
8) Dampak lain terhadap masalah ekonomi pasien.
Evaluasi diagnostik untuk tanda dan gejala dihubungkan dengan sindrom nyeri
kanker yang dirasakan pasien.

23
b. Manajemen nyeri kronis kanker
1) Tatalaksana farmakologis nyeri kronis kanker
Tabel 7. Intervensi nyeri dengan terapi farmakologis

OPIOIDS ADJUVANT ANALGETIK


Efek samping: sedasi, konstipasi, depresi Tricyclic antidepressant, tramadol,
nafas, gangguan kognitif, toleransi NSAIDs dan COX inhibitor, obat
opioids antiepileptic, sodium channel blockers
Untuk mengelola efek samping digunakan
anti emetic dan laxative
(efek samping anti emetics: toleransi,
dependensi, hiperalgesia, konstipasi,
penekanan pada hipotalamus / pituitary
axis
Rute pemberian:
Transdermal, epidural dan intrathecal

2) Tatalaksana non-farmakologis nyeri kronis kanker


Tatalaksana non-farmakologis pada nyeri kanker dilakukan dengan melakukan pendekatan
psikologi dalam manajemen nyeri kanker dilakukan dengan melatih keterampilan /
mekanisme koping pasien terhadap masalah nyeri yang dihadapi. Contoh intervensi yang
dapat dilakukan adalah:
a) Latihan relaksasi
b) Latihan pernafasan diafragma
c) Guided Imaginery
d) Stimulasi aktivitas dan pemahaman terhadap konsep diri dalam menghadapi situasi.

C. MANAJEMEN NYERI PADA POPULASI KHUSUS

1. MANAJEMEN NYERI PADA PEDIATRIK


- Prevalensi nyeri yang sering dialami oleh anak adalah : sakit kepala kronik, trauma, sakit
perut dan faktor psikologi.
- Sistem nosiseptif pada anak dapat memberikan respons yang berbeda terhadap kerusakan
jaringan yang sama atau sederajat.
- Neonatus lebih sensitif terhadap stimulus nyeri.
- Berikut adalah algoritma manajemen nyeri mendasar pada pediatrik :

24
Gambar 6. Algoritme Manajemen Nyeri Mendasar Pada Pediatrik

Tatalaksana nyeri pada pediatrik secara farmakologis


a. ‘By the ladder’ : pemberian analgesik secara bertahap sesuai dengan level nyeri anak (ringan,
sedang, berat).
1) Awalnya, berikan analgesik ringan – sedang (level 1).
2) Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik level 1, naiklah ke level 2 (pemberian
analgesik yang lebih poten).
3) Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol tetap diaplikasikan
sebagai analgesik adjuvant.
4) Analgesik adjuvant :
a) Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan untuk nyeri tetapi dapat
berefek analgesik dalam kondisi tertentu.
b) Pada anak dengan nyeri neuropatik, dapat diberikan analgesik adjuvant sebagai level
1.
c) Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi nyeri neuropatik.
d) Kategori :
- Analgesik multi-tujuan : antidepresan, agonis adrenergic alfa-2,
Kortikosteroid, anestesi topical.

25
- Analgesik untuk nyeri neuropatik : antidepresan, antikonvulsan, agonis GABA,
anestesi oral-lokal.
- Analgesik untuk nyeri musculoskeletal : relaksan otot, Benzodiazepine, inhibitor
osteoklas, radiofarmaka.
b. ‘By the clock’ : mengacu pada waktu pemberian analgesik.
Pemberian haruslah teratur, misalnya : setiap 4 – 6 jam (disesuaikan dengan masa kerja obat
dan derajat keparahan nyeri pasien), tidak boleh prn (jika perlu) kecuali episode nyeri pasien
benar-benar intermiten dan tidak dapat diprediksi.
c. ‘By the child’ : mengacu pada pemberian analgesik yang sesuai dengan kondisi masing-
masing individu.
1) Lakukan monitor dan assesmen nyeri secara teratur.
2) Sesuaikan dosis analgesik jika perlu.
d. ‘By the mouth’ : mengacu pada jalur pemberian oral.
1) Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana, tidak invasive, dan efektif;
biasanya per oral.
2) Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat menyangkal bahwa mereka
mengalami nyeri atau tidak memerlukan pengobatan.
3) Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan langsung, pemberian parenteral
terkadang merupakan jalur yang paling efisien.
4) Opioid kurang poten jika diberikan per oral.
5) Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuscular karena nyeri dan absorbsi obat
tidak dapat diandalkan.
6) Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan i.m, i.v, dan subkutan
intermiten, yaitu : tidak nyeri, mencegah terjadinya penundaan/keterlambatan pemberian
obat, memberikan kontrol nyeri yang kontinu pada anak.
7) Indikasi : pasien nyeri di mana pemberian per oral dan opioid parenteral intermiten tidak
memberikan hasil yang memuaskan, adanya muntah hebat (tidak dapat memberikan obat
per oral).
e. Analgesik dan anestesi regional : epidural atau spinal
1) Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker stadium lanjut yang sulit diatasi dengan
terapi konservatif.
2) Harus dipantau dengan baik.
3) Berikan edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan segera obat-obatan dan peralatan
resusitasi, dan pencatatan akurat mengenai tanda vital/skor nyeri.

f. Berikut adalah obat-obatan non-opioid yang sering digunakan untuk anak : Tabel 8.

Obat-obatan non-opioid

Obat Dosis Keterangan

Parasetamol 10 – 15 mg/kgBB oral, setiap Efek antiinflamasi kecil, efek


4 – 6 jam gastrointestinal dan
hematologi minimal

26
Ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB oral, setiap Efek antiinflamasi. Hati-hati
6 – 8 jam pada pasien dengan gangguan
hepar/renal, riwayat
perdarahan gastrointestinal
atau
hipertensi.
Naproksen 10 – 20 mg/kgBB/hari oral, Efek antiinflamasi. Hati-hati
terbagi dalam 2 dosis pada pasien dengan disfungsi
renal. Dosis
maksimal 1 g/hari.
Diklofenak 1 mg/kgBB oral, Efek antiinflamasi. Efek
setiap 8 – 12 jam samping sama dengan
ibuprofen dan naproksen.
Dosis maksimal 50 mg/kali.

g. Panduan penggunaan Opioid pada anak :


1) Pilih rute yang paling sesuai. Untuk pemberian jangka panjang, pilihlah jalur oral.
2) Pada penggunaan infus kontinu i.v, sediakan obat Opioid kerja singkat dengan dosis 50%
– 200% dari dosis infus per jam kontinu prn.
3) Jika diperlukan > 6 kali opioid kerja singkat prn dalam 24 jam, naikkan dosis infus
i.v per-jam kontinu sejumlah : total dosis Opioid prn yang diberikan dalam 24 jam dibagi
24. Alternatif lainnya adalah dengan menaikkan kecepatan infus sebesar 50%.
4) Pilih Opioid yang sesuai dan dosisnya.
5) Jika efek analgesik tidak adekuat dan tidak ada toksisitas , tingkatkan dosis sebesar 50%.
6) Saat tapering-off atau penghentian obat : pada semua pasien yang menerima opioid > 1
minggu, harus dilakukan tapering-off (untuk menghindari gejala withdrawal). Kurangi
dosis 50% selama 2 hari, lalu kurangi sebesar 25% setiap 2 hari. Jika dosis ekuivalen
dengan dosis morfin oral (0,6 mg/kgBB/hari), opioid dapat dihentikan.
7) Meperidin tidak boleh digunakan untuk jangka lama karena dapat terakumulasi dan
menimbulkan mioklonus, hiper-refleks, dan kejang.

Tatalaksana nyeri pada pediatrik secara non-farmakologis


a. Terapi kognitif : merupakan terapi yang paling bermanfaat dan memiliki efek yang besar
dalam manajemen nyeri non-obat untuk anak
b. Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain seperti musik, cahaya, warna,
mainan, permen, komputer, permainan, film, dan sebagainya.
c. Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi perilaku yang dapat meningkatkan nyeri dan
meningkatkan perilaku yang dapat menurunkan nyeri.
d. Terapi relaksasi : dapat berupa mengepalkan dan mengendurkan jari tangan, menggerakkan
kaki sesuai irama, menarik napas dalam.

27
Tabel 9. Terapi non-farmakologis

Kognitif Perilaku Fisik


 Informasi  Latihan  pijat
 Pilihan dan kontrol  Terapi relaksasi  fisioterapi
 Distraksi dan atensi  Umpan balik positif  stimulasi termal
Hipnosis  Modifikasi gaya  Stimulasi sensorik
 Psikoterapi hidup/perilaku  Akupuntur
  TENS (transcutaneous
electrical nerve stimulation)

2. MANAJEMEN NYERI PADA PASIEN USIA LANJUT (GERIATRI)


a. Lanjut usia (lansia) didefinisikan sebagai orang-orang yang berusia ≥ 65 tahun.
b. Pada lansia, prevalensi nyeri dapat meningkat hingga dua kali lipatnya dibandingkan dewasa
muda.
c. Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah artritis, kanker, neuralgia
trigeminal, neuralgia pasca-herpetik, reumatika polimialgia, dan penyakit degenerative.
d. Lokasi yang sering mengalami nyeri : sendi utama/penyangga tubuh, punggung, tungkai
bawah, dan kaki.
e. Alasan seringnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah :
1) Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai manajemen nyeri pada geriatrik.
2) Assesmen nyeri yang tidak adekuat.
3) Keengganan dokter untuk meresepkan Opioid.
f. Assesmen nyeri pada geriatric yang valid, reliabel, dan dapat diaplikasikan menggunakan
Functional Pain Scale seperti di bawah ini :
Tabel 10. Functional Pain Scale

Skala Nyeri Keterangan


0 Tidak nyeri
1 Dapat ditoleransi (aktivitas tidak terganggu)
2 Dapat ditoleransi (beberapa aktivitas sedikit terganggu)
3 Tidak dapat ditoleransi (tetapi masih dapat menggunakan telepon,
menonton TV atau membaca)
4 Tidak dapat ditoleransi (tidak dapat menggunakan telepon, menonton TV
atau membaca)
5 Tidak dapat ditoleransi (dan tidak dapat berbicara karena nyeri)
Keterangan :
Skor normal / yang diinginkan : 0 – 2
g. Tatalaksana nyeri pada geriatri secara farmakologis
Pemilihan analgesik pada geriatri menggunakan 3 – step ladder WHO (sama dengan manajemen
pada nyeri akut). Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik pada geriatri ini adalah
penyesuaian dosis dan hati-hati dalam memberikan obat kombinasi
1) Nyeri ringan – sedang : analgesik non-opioid, seperti OAINS yaitu parasetamol, COX-2
inhibitor, antidepresan trisiklik, Amitriptilin, Ansiolitik. Risiko efek samping

28
OAINS meningkat pada lansia. Insiden perdarahan gastrointestinal meningkat hampir dua
kali lipat pada pasien > 65 tahun.
2) Nyeri sedang : opioid minor, dapat dikombinasikan dengan OAINS dan analgesik adjuvant.
Macam analgesik adjuvant yang dapat digunakan:
a) OAINS dan Amfetamin : meningkatkan toleransi Opioid dan resolusi nyeri.
b) Nortriptilin, Klonazepam, Karbamazepin, Fenitoin, Gabapentin, Tramadol,
Mexiletine : efektif untuk nyeri neuropatik.
c) Antikonvulsan : untuk neuralgia trigeminal.
d) Gabapentin : neuralgia pasca-herpetik 1 – 3 x 100 mg sehari dan dapat ditingkatkan
menjadi 300 mg/hari.

3) Nyeri berat : opioid poten.


Pada penggunaan obat Opioid perlu diperhatikan :
a) Risiko adiksi rendah jika digunakan untuk nyeri akut (jangka pendek).
b) Hidrasi yang cukup dan konsumsi serat/bulking agent untuk mencegah konstipasi
(preparat Senna, Sorbitol).
c) Berikan opioid jangka pendek.
d) Dosis rutin dan teratur memberikan efek analgesik yang lebih baik daripada pemberian
intermiten.
e) Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan.
f) Jika efek analgesik masih kurang adekuat, dapat menaikkan Opioid sebesar 50 – 100%
dari dosis semula.

Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada lansia antara lain adalah:
1) OAINS : Indometasin dan Piroksikam (waktu paruh yang panjang dan efek samping
gastrointestinal lebih besar).
2) Opioid : Pentazocine, Butorphanol (merupakan campuran antagonis dan agonis, cenderung
memproduksi efek psikotomimetik pada lansia); Metadon, Levorphanol (waktu paruh
panjang).
3) Propoxyphene : neurotoksik.
4) Antidepresan : tertiary amine tricyclics (efek samping antikolinergik).
h. Tatalaksana nyeri pada geriatri secara non-farmakologis :
1) Terapi termal : pemberian pendinginan atau pemanasan di area nosiseptif untuk menginduksi
pelepasan Opioid endogen.
2) Stimulasi listrik pada saraf transkutan/perkutan, dan akupuntur.
3) Blok saraf dan radiasi area tumor.
4) Intervensi medis pelengkap/tambahan atau alternatif : terapi relaksasi, umpan balik positif,
hipnosis.
5) Fisioterapi dan terapi okupasi.

29
D. TATACARA PEMBERIAN TATALAKSANA NYERI SECARA NON FARMAKOLOGI
Penatalaksanaan non farmakologis terdiri dari berbagai tindakan penanganan nyeri berdasarkan
stimulasi fisik maupun perilaku kognitif. Penatalaksanaan nyeri secara non farmakologis ini dapat
diterapkan pada jenis nyeri akut, kronis, non kanker maupun kanker. Terapi non-farmakologis ini diberikan
pada penderita dengan rasa nyeri ringan (skala 1-3). Terapi non-farmakologis pada nyeri bertujuan untuk
memperbaiki aspek fisiologis maupun psikologis dari penderita. Berikut ini adalah penjelasan teknik-
teknik terapi nyeri secara non farmakologis :
a. Masase kulit
Masase kulit dapat memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan otot. Rangsangan
masase otot ini dipercaya akan merangsang serabut berdiameter besar, sehingga mampu memblok
atau menurunkan implus nyeri. Teknik masase ini juga bertujuan untuk mengatasi masalah fisik,
fungsional atau fisiologis. Teknik masase dilakukan dengan penekanan terhadap jaringan lunak baik
secara terstruktur atau tidak, gerakan-gerakan atau getaran, dilakukan menggunakan bantuan media
ataupun tidak. Beberapa teknik masase yang dapat dilakukan untuk adalah :
1) Remasan. Usap otot bahu dan remas secara bersamaan.
2) Selang-seling tangan. Memijat punggung dengan tekanan pendek, cepat dan bergantian
tangan.
3) Gesekan. Memijat punggung dengan ibu jari, gerakannya memutar sepanjang tulang
punggung dari sacrum ke bahu.
4) Eflurasi. Memijat punggung dengan kedua tangan, tekanan lebih halus dengan gerakan ke
atas untuk membantu aliran balik vena.
5) Petriasi. Menekan punggung secara horizontal, pindah tangan anda dengan arah yang
berlawanan, menggunakan gerakan meremas.
6) Tekanan menikat. Secara halus, tekan punggung dengan ujung-ujung jari untuk mengakhiri
pijatan.

b. Kompres
Kompres panas dingin, selain menurunkan sensasi nyeri juga dapat meningkatkan proses
penyernbuhan jaringan yang mengalami kerusakan.
c. Imobilisasi
Imobilisasi terhadap organ tubuh yang mengalami nyeri hebat mungkin dapat meredakan
nyeri. Kasus seperti rheumatoid arthritis mungkin memerlukan teknik untuk mengatasi nyeri.
d. Distraksi
Distraksi merupakan pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri. Teknik distraksi terdapat
beberapa macam yaitu : distraksi visual, distraksi pendengaran, distraksi pernafasan, distraksi
intelektual, teknik pernafasan, imajinasi terbimbing. Teknik distraksi juga dapat dilakukan dengan :
1) Melakukan hal yang disukai, seperti membaca buku, melukis, menggambar dengan tidak
meningkatkan stimuli pada bagian tubuh yang dirasa nyeri.

30
2) Melakukan kompres hangat pada bagian tubuh yang dirasakan nyeri.
3) Bernapas lembut dan berirama secara teratur.
4) Membaca Al Qur’an dengan tenang dan tidak tergesa-gesa.
5) Mengucapkan kalimat dzikir secara berulang-ulang dengan menghayati maknanya.
e. Plasebo
Plasebo merupakan suatu bentuk tindakan, misalnya pengobatan atau tindakan keperawatan
yang mempunyai efek pada pasien akibat sugesti daripada kandungan fisik atau kimianya. Suatu
obat yang tidak berisi analgetika tetapi berisi gula, air atau saliner dinamakan placebo
f. Terapi Murottal
Menurut Oken (2004) musik dapat memiliki efek terapeutik pada pikiran dan tubuh manusia.
Efek suara dapat memengaruhi keseluruhan fisiologis tubuh pada basis aktivasi korteks sensori
dengan aktivitas sekunder lebih dalam pada neokorteks dan beruntun ke dalam sistem
limbik,hipotalamus, dan sistem saraf otonom. Saraf kranial kedelapan dan kesepuluh membawa
impuls suara melalui telinga.Dari sini, saraf vagus, yang membantu regulasi kecepatan denyut
jantung, respirasi dan bicara, membawa impuls sensorik motorik ke tenggorokan, laring, jantung,
dan diafragma.Para ahli terapi suara menyatakan saraf vagus dan sistem limbik (bagian otak yang
bertanggung jawab untuk emosi) merupakan penghubung antara telinga, otak, dan sistem saraf
otonom yang menjelaskan bagaimana suara bekerja dalam menyembuhkan gangguan fisik dan
emosional (Oken, 2004). Salah satu terapi musik yakni perangsangan auditori. Menurut Oken
(2004), perangsangan auditori adalah memberikan perangsangan pada pendengaran dengan
menggunakan suara. Suara bergerak di udara dengan kecepatan 340 m/detik, terdiri dari getaran-
getaran dari sumbernya sampai mencapai telinga, kemudian melalui telinga ini ia menyebar ke
seluruh tubuh. Sel yang terpengaruhi oleh vibrasi suar, berespon dengan mengubah vibrasinya
sendiri, yang berarti bahwa kerja mekanik dari sel ini dapat meningkat dan menjadi lebih kuat.Sel-
sel otak bervibrasi serta mengirimkan gelombang magnet dan elektromagnetik yang mewakili
aktivitas otak.Sel-sel otak dipengaruhi oleh segala vibrasi apapun jenisnya dan darimanapun
sumbernya.
Alternatif lain selain terapi musik adalah terapi religi dengan murottal Al Qur’an. Terapi
religi dengan murottal Al Qur’an dapat mempercepat penyembuhan, hal ini dibuktikan oleh
berbagai riset oleh para ahli yang membuktikan bahwa Al Qur’an dapat berpengaruh positif
terhadap fisiologis maupun psikologis manusia yang efeknya adalah penurunan ketegangan saraf.
Murottal Al Qur’an memberikan efek perangsangan auditorik baik dengan membaca maupun
mendengarkan. Perangsangan auditorik oleh murottal Al Qur’an mempunyai efek distraksi yang
meningkatkan efek endorfin dalam sistem saraf pusat yang memberikan rasa nyaman, tenang,
menurunkan kecemasan dan menimbulkan relaksasi. Sehingga, murottal Al Qur’an ini menjadi
salah satu metode penanganan nyeri secara non farmakologis di RS Nur Hidayah.
g. Guided Imaginary
Yaitu upaya yang dilakukan untuk mengalihkan persepsi rasa nyeri dengan mendorong pasien untuk
mengkhayal dengan bimbingan. Tekniknya sebagai berikut:

31
1) Atur posisi yang nyaman pada klien.
2) Dengan suara yang lembut, mintakan klien untuk memikirkan hal-hal yang menyenangkan
atau pengalaman yang membantu penggunaan semua indra.
3) Mintakan klien untuk tetap berfokus pada bayangan yang menyenangkan sambil
merelaksasikan tubuhnya.
4) Bila klien tampak relaks, perawat tidak perlu bicara lagi.
5) Jika klien menunjukkan tanda-tanda agitasi, gelisah, atau tidak nyaman, perawat harus
menghentikan latihan dan memulainya lagi ketika klien siap.
h. Relaksasi
Teknik relaksasi didasarkan kepada keyakinan bahwa tubuh berespon pada ansietas yang
merangsang pikiran karena nyeri atau kondisi penyakitnya. Teknik relaksasi dapat menurunkan
ketegangan fisiologis. Teknik ini dapat dilakukan dengan kepala ditopang dalam posisi berbaring
atau duduk dikursi. Hal utama yang dibutuhkan dalam pelaksanaan teknik relaksasi adalah klien
dengan posisi yang nyaman, klien dengan pikiran yang beristirahat, dan lingkungan yang tenang.
Teknik relaksasi banyak jenisnya, salah satunya adalah relaksasi autogenik. Relaksasi ini mudah
dilakukan dan tidak berisiko. Ketika melakukan relaksasi autogenik, seseorang membayangkan
dirinya berada didalam keadaan damai dan tenang, berfokus pada pengaturan napas dan detakan
jantung. Langkah-langkah latihan relaksasi autogenik adalah sebagai berikut:
1) Persiapan sebelum memulai latihan
a) Tubuh berbaring, kepala disanggah dengan bantal, dan mata terpejam.
b) Atur napas hingga napas menjadi lebih teratur.
c) Tarik napas sekuat-kuatnya lalu buang secara perlahan-lahan sambil katakan dalam hati
‘saya damai dan tenang’.
2) Langkah 1 : merasakan berat
a) Fokuskan perhatian pada lengan dan bayangkan kedua lengan terasa berat. Selanjutnya,
secara perlahan-lahan bayangkan kedua lengan terasa kendur, ringan, sehingga terasa
sangat ringan sekali sambil katakan ‘saya merasa damai dan tenang sepenuhnya’.
b) Lakukan hal yang sama pada bahu, punggung, leher dan kaki.
3) Langkah 2 : merasakan kehangatan
a) Bayangkan darah mengalir keseluruh tubuh dan rasakan hawa hangatnya aliran darah,
seperti merasakan minuman yang hangat, sambil mengatakan dalam diri ‘saya merasa
senang dan hangat’.
b) Ulangi enam kali.
c) Katakan dalam hati ‘saya merasa damai, tenang’.
4) Langkah 3 : merasakan denyut jantung
a) Tempelkan tangan kanan pada dada kiri dan tangan kiri pada perut.
b) Bayangkan dan rasakan jantung berdenyut dengan teratur dan tenang. Sambil katakana
‘jantungnya berdenyut dengan teratur dan tenang’.
c) Ulangi enam kali.
d) Katakan dalam hati ‘saya merasa damai dan tenang’.

32
5) Langkah 4 : latihan pernapasan
a) Posisi kedua tangan tidak berubah.
b) Katakan dalam diri ‘napasku longgar dan tenang’
c) Ulangi enam kali.
d) Katakan dalam hati ‘saya merasa damai dan tenang’.
6) Langkah 5 : latihan abdomen
a) Posisi kedua tangan tidak berubah. Rasakan pembuluh darah dalam perut mengalir dengan
teratur dan terasa hangat.
b) Katakan dalam diri ‘darah yang mengalir dalam perutku terasa hangat’.
c) Ulangi enam kali.
d) Katakan dalam hati ‘saya merasa damai dan tenang’.
7) Langkah 6 : latihan kepala
a) Kedua tangan kembali pada posisi awal.
b) Katakan dalam hati ‘kepala saya terasa benar-benar dingin’
c) Ulangi enam kali.
d) Katakan dalam hati ‘saya merasa damai dan tenang’.
8) Langkah 7 : akhir latihan
Mengakhiri latihan relaksasi autogenik dengan melekatkan (mengepalkan) lengan bersamaan
dengan napas dalam, lalu buang napas pelan-pelan sambil membuka mata.
i. Akupuntur
Akupuntur adalah tehnik pengobatan tradisional yang berasal dari Cina untuk memblok chi
dengan menggunakan jarum dan menusukkannya ke titik-titik tubuh tertentu yang bertujuan untuk
menciptakan keseimbangan yin dan yang.

33
ALGORITMA TATALAKSANA NYERI SECARA MEDIS DAN
SYARIAH DI RS NUR HIDAYAH

Nyeri Berat
Nyeri Sedang Nyeri Ringan (skala nyeri 7 – 10 pada
(skala nyeri 4 – 6 pada (skala nyeri 1 – 3 pada skala 0 – 10)
skala 0 - 10) skala 0 – 10)

DPJP,
Tatalaksana nyeri secara non- farmakologis Dr Sp.
oleh Perawat, Bidan dan Fisioterapis An, Dr
Sp.S
DPJP
(Teknik Relaksasi, Distraksi, Terapi
Murottal, dll)

DPJP, Opioid Dosis Tinggi


Dokter
(contoh:
bangsal
Hydromorphone,
Opioid Dosis Rendah (ex:
Methadone,
Codein, Hydrocodone,
+
Non – opioid (contoh :
Hydromorphone,
NSAID jika tidak ada
kontraindikasi pada + Tramadol, Morphine,
dewasa; Paracetamol – Oxycodone)
Methadone, Tramadol,
pada anak dan lansia >65
Morphine, Oxycodone) tahun)
Tindakan Invasif
+
Manajemen nyeri Dengan Injeksi
syariah
Supraspinal, Spinal
AtauDokter Ahli.
Perifer Oleh

Analgetik Adjuvan
+/ 1. Anti Depressant : Amitriptilin, Desipramine, +/
- Nortriptilin -
2. Anti Konvulsan : Gabapentin, Carbamazepine
(Tegretol)

34
II. PEMBERIAN EDUKASI NYERI KEPADA PASIEN DAN KELUARGA
A. Petugas medis atau paramedis memberikan edukasi medis terkait nyeri kepada pasien dan
keluarga tentang pelayanan nyeri sesuai dengan latar belakang agama, budaya, dan nilai-nilai pasien dan
keluarga. Adapun edukasi medis yang diberikan meliputi :
a. Apa itu nyeri
b. Penyebab nyeri,
c. Keberlangsungan nyeri,
d. Antisipasi ketidaknyamanan
e. Faktor-faktor yang memperberat keluhan nyeri, misalnya banyak gerak, dll.
f. Faktor-faktor yang meringankan nyeri, misalnya kompres, pijatan, dll
g. Prosedur tatalaksana nyeri sesuai latar belakang, budaya, dan agama.
h. Faktor-faktor yang mendukung kesembuhan, misalnya nutrisi dan istirahat yang cukup.

Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu
mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi
bagaimana bereaksi terhadap nyeri. Nilai-nilai budaya perawat dapat berbeda dengan nilai-nilai budaya
pasien dari budaya lain. Harapan dan nilai-nilai budaya perawat dapat mencakup menghindari ekspresi
nyeri yang berlebihan, seperti menangis atau meringis yang berlebihan. Pasien dengan latar belakang
budaya yang lain bisa berekspresi secara berbeda, seperti diam seribu bahasa ketimbang mengekspresikan
nyeri klien dan bukan perilaku nyeri karena perilaku berbeda dari satu pasien ke pasien lain.

Mengenali nilai-nilai budaya yang memiliki seseorang dan memahami mengapa nilai-nilai ini
berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien
berdasarkan harapan dan nilai budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan
mempunyai pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam mengkaji nyeri
dan respon-respon perilaku terhadap nyeri juga efektif dalam menghilangkan nyeri pasien.

Petugas medis/paramedis/bina rohani memberikan edukasi syariah terkait nyeri yang dialami pasien
yang meliputi :
a. Edukasi pasien dan keluarga untuk bertawakal dan menerima takdir
b. Edukasi pasien dan keluarga untuk istiqomah dalam beribadah dan berobat.

Selain itu perlu adanya edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai beberapa tindakan dalam
proses asuhan seperti beberapa prosedur invasif yang akan menimbulkan nyeri. Adapun tindakan
tersebut diantaranya adalah :

35
a. Pemasangan Infus
b. Perawatan Luka
c. Penjahitan Luka
d. Extraksi Corpal
e. Pengambilan Darah
f. Injeksi obat
g. Pemasangan Kateter
h. Pemasangan NGT
i. Dsb.

36
BAB IV

DOKUMENTASI MANAJEMEN NYERI

Manajemen nyeri yang dilakukan harus didukumentasikan dalam rekam medis pasien yaitu di
lembar Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT). Dokumentasi manajemen nyeri meliputi
dokumentasi hasil asessmen nyeri, jenis penatalaksanaan nyeri yang diberikan, dan hasil evaluasi terhadap
manajemen nyeri yang telah dilakukan.
Dokumentasi hasil asessmen nyeri meliputi pengkajian menggunakan metode PQRST yang terdiri
dari: penyebab nyeri, kualitas atau kuantitas nyeri, lokasi nyeri, skala nyeri, dan waktu atau onset
terjadinya nyeri. Pendokumentasian dilakukan pada lembar CPPT pasien yang disertai tanggal dan jam
asessmen serta nama dan paraf petugas yang melakukan asessmen.
Dokumentasi penatalaksanaan nyeri meliputi jenis penatalaksaan, tanggal dan jam
penatalaksanaan serta nama dan petugas yang melakukan penatalaksanaan nyeri. Termasuk pendidikan
kesehatan pada pasien tentang nyeri harus didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
Dokumentasi hasil evaluasi penatalaksanaan nyeri meliputi skala nyeri, kualitas dan kuantitas
nyeri, lokasi nyeri dan waktu atau onset nyeri. Dokumentasi juga harus menunjukkan kejelasan tanggal
dan jam evaluasi dilakukan serta nama dan paraf petugas yang melakukan evaluasi nyeri pasien.
Pemberian edukasi/penyuluhan didokumentasikan di dalam formulir lembar edukasi multidisiplin
kepada pasien dan keluarga pasien secara terintegrasi dan terdokumentasi dalam rekam medis pasien serta
dengan pemberian leaflet penanganan nyeri.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Joint Commision on Accreditation of Healthcare Organization. Pain: Current Understanding of


Assessment, Management, and Treatment. Nations Pharmaceutical Council. Inc: 2001.
2. Ambuel, Hamlett KW. Marx CM, Blumer JL. Assessing distress in pediatric intensive care
environments; the COMFORT scale. J paed Psych. 1992: 17: 95-109.
3. Pain Management. Diakses tanggal 23 Februari 2016. Diunduh dari: www.hospitalsoup.com
4. www.who.int/medicines/areas/quality_safety/guide_on_pain/en/. Treatment Guidelines on Pain.
5. http://pain.about.com/od/testingdiagnosis/ig/pain-scales . Pain scales and Pain Assessment.
6. www.dhhs.tas.gov.au/_.../Pain_Management_Final211209_PCSSubComm... Pain
Management.
7. www.asahq.org . Practice Guidelines for Chronic Pain Management.
8. www.guideline.gov/content.aspx?id=9744. National Guideline Clearinghouse / Pain
Management Guidelines.
9. www.ncbi.nlm.nih.gov/...Evidence-Based Assessment of Pediatric Pain.
10. www.painmed.org. American Academy of Pain Medicine – Clinical Guidelines.

38
LAMPIRAN :

FARMAKOLOGI OBAT ANALGESIK


1. Lidokain tempel (Lidocaine patch ) 5%
a. Berisi Lidokain 5% (700 mg).
b. Mekanisme kerja : memblok aktivitas abnormal di kanal natrium neuronal.
c. Memberikan efek analgesik yang cukup baik ke jaringan lokal, tanpa adanya efek anestesi (baal),
bekerja secara perifer sehingga tidak ada efek samping sistemik.
d. Indikasi : sangat baik untuk nyeri neuropatik (misalnya neuralgia pasca-herpetik, neuropati
diabetik, neuralgia pasca-pembedahan), nyeri punggung bawah, nyeri miofasial, osteoarthritis.
e. Efek samping : iritasi kulit ringan pada tempat menempelnya Lidokain.
f. Dosis dan cara penggunaan : dapat memakai hingga 3 patches di area yang paling nyeri (kulit
harus intak, tidak boleh ada luka terbuka), dipakai selama < 12 jam dalam periode 24 jam.

2. Eutectic Mixture of Local Anesthetics (EMLA)


a. Mengandung Lidokain 2,5% dan Prilokain 2,5%
b. Indikasi : anestesi topical yang diaplikasikan pada kulit yang intak dan pada membrane mukosa
genital untuk pembedahan minor superfisial dan sebagai pre-medikasi untuk anestesi infiltrasi.
c. Mekanisme kerja : efek anestesi (baal) dengan memblok total kanal natrium saraf sensorik.
d. Onset kerjanya bergantung pada jumlah krim yang diberikan. Efek anestesia lokal pada kulit
bertahan selama 2 – 3 jam dengan ditutupi kassa oklusif dan menetap selama 1 – 2 jam setelah
kassa dilepas.
e. Kontraindikasi : methemoglobinemia idiopatik atau kongenital.
f. Dosis dan cara penggunaan : oleskan krim EMLA dengan tebal pada kulit dan tutuplah dengan
kassa oklusif. 51
3. Parasetamol
a. Efek analgesik untuk nyeri ringan-sedang dan anti-piretik. Dapat dikombinasikan dengan opioid
untuk memperoleh efek analgesik yang lebih besar.
b. Dosis : 10 mg/kgBB/kali dengan pemberian 3 – 4 kali sehari. Untuk dewasa dapat
diberikan dosis 3 – 4 kali 500 mg perhari.

4. Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid (OAINS)


a. Efek analgesik pada nyeri akut dan kronik dengan intensitas ringan-sedang, anti-piretik.
b. Kontraindikasi : pasien dengan Triad Franklin (polip hidung, angioedema, dan urtikaria) karena
sering terjadi reaksi anafilaktoid.
c. Efek samping : gastrointestinal (erosi/ulkus gaster), disfungsi renal, peningkatan enzim hati.

39
d. Ketorolak :
- Merupakan satu-satunya OAINS yang tersedia untuk parenteral. Efektif untuk nyeri sedang –
berat.
- Bermanfaat jika terdapat kntraindikasi opioid atau dikombinasikan dengan opioid untuk
mendapat efek sinergistik dan meminimalisasi efek samping opioid (depresi pernapasan,
sedasi, stasis gastrointestinal). Sangat baik untuk terapi multi-analgesik.

5. Efek Analgesik pada Antidepresan


a. Mekanisme kerja : memblok pengambilan kembali norepinefrin dan serotonin sehingga
meningkatkan efek neurotransmitter tersebut dan meningkatkan aktivasi neuron inhibisi
nosiseptif.
b. Indikasi : nyeri neuropatik (neuropati DM, neuralgia pasca-herpetik, cedera saraf perifer, nyeri
sentral).
c. Contoh obat yang sering dipakai : Amitriptilin, Imipramine, Despiramin : efek antinosiseptif
perifer. Dosis : 50 – 300 mg, sekali sehari. 52
6. Anti-konvulsan
a. Carbamazepine : efektif untuk nyeri neuropatik. Efek samping : somnolen, gangguan berjalan,
pusing. Dosis : 400 – 1800 mg/hari (2 – 3 kali perhari). Mulai dengan dosis kecil (2 x 100 mg),
ditingkatkan perminggu hingga dosis efektif.

b. Gabapentin : merupakan obat pilihan utama dalam mengobati nyeri neuropatik. Efek samping
minimal dan ditoleransi dengan baik. Dosis : 100 – 4800 mg/hari (3 – 4 kali sehari).

7. Antagonis kanal natrium


a. Indikasi : nyeri neuropatik dan pasca-operasi.
b. Lidokain : dosis 2 mg/kgBB selama 20 menit, lalu dilanjutkan dengan 1 – 3 mg/kgBB/jam titrasi.
c. Prokain : 4 – 6,5 mg/kgBB/hari.

8. Antagonis kanal kalsium


a. Ziconotide : merupakan anatagonis kanal kalsium yang paling efektif sebagai analgesik. Dosis : 1
– 3 ug/hari. Efek samping : pusing, mual, nistagmus, ketidakseimbangan berjalan, konstipasi.
Efek samping ini bergantung dosis dan reversibel jika dosis dikurangi atau obat dihentikan.
b. Nimodipin, Verapamil : mengobati migraine dan sakit kepala kronik. Menurunkan kebutuhan
morfin pada pasien kanker yang menggunakan eskalasi dosis morfin.

9. Tramadol
a. Merupakan analgesik yang lebih poten daripada OAINS oral, dengan efek samping yang lebih
sedikit/ringan. Berefek sinergistik dengan medikasi OAINS.

40
b. Indikasi : Efektif untuk nyeri akut dan kronik intensitas sedang (nyeri kanker, osteoarthritis, nyeri
punggung bawahm neuropati DM, fibromyalgia, neuralgia pasca- herpetik, nyeri pasca-operasi).
c. Efek samping : pusing, mual, muntah, letargi, konstipasi.
d. Jalur pemberian : intravena, epidural, rektal, dan oral.
e. Dosis Tramadol oral : 3 – 4 kali 50 – 100 mg (perhari). Dosis maksimal : 400 mg dalam 24 jam.
f. Titrasi : terbukti meningkatkan toleransi pasien terhadap medikasi, terutama digunakan pada
pasien nyeri kronik dengan riwayat toleransi yang buruk terhadap pengobatan atau memiliki
risiko tinggi jatuh.

10. Opioid
a. Merupakan analgesik poten (tergantung-dosis) dan efeknya dapat ditiadakan oleh Nalokson.
b. Contoh opioid yang sering digunakan : Morfin, Sufentanil, Meperidin.
c. Dosis opioid disesuaikan pada setiap individu, gunakanlah titrasi.
d. Adiksi terhadap opioid sangat jarang terjadi bila digunakan untuk penatalaksanaan nyeri akut.
e. Efek samping :
1) Depresi pernapasan, dapat terjadi pada :
2) Overdosis : pemberian dosis besar, akumulasi akibat pemberian secara infus, opioid long
acting.

41
3) Pemberian sedasi bersamaan (Benzodiazepin, antihistamin, antiemetik tertentu).
4) Adanya kondisi tertentu : gangguan elektrolit, hipovolemia, uremia, gangguan respirasi dan
peningkatan tekanan intrakranial.
5) Obstructive sleep apnoes atau obstruksi jalan nafas intermiten.
6) Sedasi : adalah indikator yang baik untuk dan dipantau dengan menggunakan skor sedasi,
yaitu :
a. 0 = sadar penuh
b. 1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah dibangunkan
c. 2 = sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk, mudah
d. dibangunkan
e. 3 = sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan
f. S = tidur normal
g. Sistem Saraf Pusat :
- Euforia, halusinasi, miosis, kekakukan otot
- Pemakai MAOI : pemberian petidin dapat menimbulkan koma
- ‫ﷺﷺ‬Toksisitas metabolit :
- Petidin (Norpetidin) menimbulkan tremor, twitching, mioklonus multifokal, kejang.
- Petidin tidak boleh digunakan lebih dari 72 jam untuk penatalaksanaan nyeri pasca-
bedah.
7) Pemberian Morfin kronik : menimbulkan gangguan fungsi ginjal, terutama pada pasien usia >
70 tahun.
a) Efek kardiovaskular :
- Tergantung jenis, dosis, dan cara pemberian; status volume intravascular; serta level
aktivitas simpatetik.
- Morfin menimbulkan vasodilatasi.
- Petidin menimbulkan takikardi.
b) Gastrointestinal :
Mual, muntah. Terapi untuk mual dan muntah : hidrasi dan pantau tekanan darah
dengan adekuat, hindari pergerakan berlebihan pasca-bedah, atasi kecemasan pasien, obat
antiemetic.

f. Pemberian
Oral :
- Sama
efektifnya
dengan
pemberian
parenteral
pada dosis
yang sesuai.

42
- Digunakan segera setelah pasien dapat mentoleransi medikasi oral.
g. Injeksi intramuscular :
- Merupakan rute parenteral standar yang sering digunakan.
- Namun, injeksi menimbulkan nyeri dan efektifitas penyerapannya tidak dapat diandalkan.
- Hindari pemberian via intramuscular sebisa mungkin.
h. Injeksi subkutan
i. Injeksi intravena :
- Pilihan perenteral utama setelah pembedahan major.
- Dapat digunakan sebagai bolus atau pemberian terus-menerus (melalui infus).
- Terdapat risiko depresi pernapasan pada pemberian yang tidak sesuai dosis.
j. Injeksi supraspinal :
- Lokasi mikroinjeksi terbaik : mesencephalic periaqueductal gray (PAG).
- Mekanisme kerja : memblok respons nosiseptif di otak.
- Opioid intraserebroventrikular digunakan sebagai pereda nyeri pada pasien kanker.
k. Injeksi spinal (epidural, intratekal) :
- Secara selektif mengurangi keluarnya neurotransmitter di neuron kornu dorsalis spinal.
- Sangat efektif sebagai analgesik.
- Harus dipantau dengan ketat.
l. Injeksi perifer :
- Pemberian opioid secara langsung ke saraf perifer menimbulkan efek anestesi lokal (pada
konsentrasi tinggi).
- Sering digunakan pada : sendi lutut yang mengalami inflamasi.

43

Anda mungkin juga menyukai