Manajemen Nyeri
Manajemen Nyeri
Manajemen Nyeri
DEFINIS
I
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensasi yang tidak
menyenangkan (pengalaman emosional dan sensori) yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau
cedera pada tubuh.
1. Menurut Jenisnya
a. Nyeri nosiseptif
Disebabkan karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi nosiseptor baik
secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari
b. Nyeri neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf perifer. Hal
ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan
terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan
kadang disertai hilangnya rasa atau adanya sara tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat
menyebakan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau peningkatan
sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP).
SMP merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan respon yang buruk
c. Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi.
1
2. Menurut waktu timbulnya nyeri
a. Nyeri akut
Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera atau intervensi bedah dan memiliki awitan
yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan. Nyeri ini terkadang bisa hilang
sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak. Apabila nyeri
akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat agresif untuk segera menghilangkan nyeri.
b. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode tertentu,
berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari tiga bulan. Nyeri ini
disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut atau karena
gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri kronik,
tatalaksana tidak seagresif pada nyeri akut. Klien yang mengalami nyeri kronik akan mengalami
periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat).
Nyeri ini biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada
penyebabnya. Nyeri ini merupakan penyebab utama ketidakmampunan fisik dan psikologis. Sifat
nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi membuat klien menjadi frustasi dan seringkali mengarah
pada depresi psikologis. Individu yang mengalami nyeri kronik akan timbul perasaan yang tidak
aman, karena ia tidak pernah tahu apa yang akan dirasakannya dari hari ke hari. Misalnya nyeri post-
2
Tabel 1. Perbedaan karakteristik nyeri akut dan kronik
Nyeri akut Nyeri kronik
o Lamanya dalam hitungan menit Lamannya sampai > 3 bulan
o Sensasi tajam menusuk Sensasi terbakar, tumpul, pegal
o Dibawa oleh serabut saraf tipe A- delta Dibawa oleh serabut saraf tipe C
o Ditandai peningkatan BP, nadi, dan Fungsi fisiologi bersifat normal
respirasi
o Kausanya spesifik, dapat Kausanya mungkin jelas mungkin tidak
diidentifikasi secara biologis Tidak ada keluhan nyeri, depresi
o Respon pasien : Fokus pada nyeri, dan kelelahan
menangis dan mengerang, cemas Tidak ada aktifitas fisik sebagai respon
o Tingkah laku menggosok bagian yang terhadap nyeri
nyeri Respon terhadap analgesik : sering
o Respon terhadap analgesik : kurang meredakan nyeri
meredakan nyeri secara efektif
3. Menurut penyebabnya
a. Nyeri kanker
Nyeri kronis maligna merupakan kombinasi dari beberapa komponen nyeri akut, intermiten dan
kronis. Nyeri kanker dapat muncul pada tempat/situs primer kanker sebagai akibat ekspansi tumor,
penekanan/kompresi saraf, atau infiltrasi oleh tumor, obstruksi maligna, atau infeksi pada ulkus
maligna. Nyeri juga dapat muncul pada tempat metastase yang jauh. Selain itu, terapi kanker dengan
tindakan bedah, kemoterapi, dan radiasi juga dapat menimbulkan mukositis, gastroenteritis, iritasi
Nyeri kronis non-kanker dapat dibedakan menjadi 2 subtipe utama yaitu nyeri neuropati dan
nyeri muskuloskeletal. Nyeri neuropati dapat bersifat idiopatik atau dapat juga muncul dari lokasi
tertentu atau umum pada jejas saraf. Awitannya dapat terjadi seketika setelah jejas atau setelah jeda
waktu tertentu. Nyeri neuropati dapat bersifat konstan dan menetap. Selain nyeri yang terus menerus,
juga dapat terjadi nyeri yang tumpang tindih, hilang-muncul (intermitten), nyeri seperti syok, yang
seringkali dicirikan dengan sensasi nyeri yang tajam, seperti tersengat listrik/elektrik, mengejutkan,
3
kejang Contoh sindroma nyeri neuropati kronis adalah neuralgia pascaherpes, neuropati diabetik,
neuralgia trigeminal, nyeri pascastroke, dan nyeri phantom (yaitu rasa nyeri pada bagian tubuh yang
telah diamputasi).
Nyeri muskuloskeletal muncul dari jaringan otot, tulang, persendian atau jaringan ikat. Nyeri ini
dapat diakibatkan oleh jejas idiopatik atau iatrogenik. Sindroma nyeri muskuloskeletal kronik yang
umum adalah nyeri yang berkaitan dengan penyakit inflamasi otot misalnya polimyositis (penyakit
jaringan ikat yang ditandai dengan edema, inflamasi, dan degenerasi otot) dan dermatitis dan juga
a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang-timbul, terutama saat beraktivitas sehari-hari dan menjelang tidur.
b. Nyeri sedang nyeri yang berlangsung terus-menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang bila
penderita tidur.
c. Nyeri berat adalah nyeri yang berlangsung terus-menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran mukosa. Nyeri biasanya
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan pada otot rangka,
c. Nyeri visceral
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya (pleura parietalis,
perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal
4
BAB II
RUANG LINGKUP
5
BAB III
TATA LAKSANA MANAJEMEN NYERI RUMAH SAKIT PURI HUSADA
A. NYERI AKUT
1. Nyeri Akut merupakan nyeri yang terjadi dalam kurun waktu <6 minggu.
2. Melakukan asesmen nyeri : anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan
asesmen nyeri menggunakan skala nyeri.
3. Menentukan tipe dan sumber nyeri akut :
Tabel 1. Tipe dan sumber nyeri akut
8
b. Oral : antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolytic, kortikosteroid,
anestesi lokal, OAINS, Opioid, Tramadol.
c. Rektal (supositoria) : Parasetamol, Aspirin, Opioid, Fenotiazin.
d. Topikal : Lidokain patch, EMLA.
e. Subkutan : Opioid, anestesi lokal.
7) Pemberian Opioid intermiten (bila diperlukan) intravena untuk nyeri akut, dengan syarat :
a) Hanya digunakan oleh staf yang telah mendapat instruksi.
b) Tidak sesuai untuk pemberian analgesik secara rutin di ruang rawat inap biasa.
c) Efek puncak dari dosis intravena dapat terjadi selama 15 menit sehingga semua
pasien harus diobservasi dengan ketat selama fase ini.
9
10
5. Manajemen efek samping terapi nyeri farmakologi
1) Opioid
a) Mual dan muntah : antiemetic
b) Konstipasi : berikan stimulan buang air besar, hindari laksatif yang mengandung serat
karena dapat menyebabkan produksi gas-kembung-kram perut.
c) Gatal : pertimbangkan untuk mengganti opioid jenis lain, dapat juga menggunakan
antihistamin.
d) Mioklonus : pertimbangkan untuk mengganti opioid, atau berikan Benzodiazepine
untuk mengatasi mioklonus.
e) Depresi pernapasan akibat Opioid : berikan Nalokson (campur 0,4 mg Nalokson
dengan NaCl 0,9% sehingga total volume mencapai 10 ml). Berikan 0,02 mg (0,5 ml)
bolus setiap menit hingga kecepatan pernapasan meningkat. Dapat diulang jika
pasien mendapat terapi Opioid jangka panjang.
2) OAINS :
a) Gangguan gastrointestinal : berikan PPI (Proton Pump Inhibitor)
b) Perdarahan akibat disfungsi platelet : pertimbangkan untuk mengganti OAINS yang
tidak memiliki efek terhadap agregasi platelet.
c) Pembedahan : injeksi epidural, supraspinal, infiltrasi anestesi lokal di tempat nyeri.
11
7.
8. n
12
Gambar 2. Algoritma
13
Gambar 3. Lanjutan Algoritma Manajemen Nyeri Akut
14
11. Medikasi saat pasien pulang
a. Pasien dipulangkan segera setelah nyeri dapat teratasi dan dapat beraktivitas seperti
biasa/normal.
b. Pemilihan medikasi analgetik bergantung pada kondisi pasien.
15
b) Contoh : nyeri punggung dan leher (berkaitan dengan strain/sprain ligamen/otot),
degerasi diskus, osteoporosis dengan fraktur kompresi dan fraktur.
c) Merupakan nyeri nosiseptif
d) Tatalaksana : beberapa memerlukan dekompresi atau stabilisasi.
4. Manajemen Nyeri Kronis Non Kanker
a. Tujuan Umum Manajemen
1) Mengurangi penderitaan, termasuk nyeri dan masalah emosional.
2) Meningkatkan / memperbaiki fungsi fisik, sosial, vocational dan recreational.
3) Mengoptimalkan kesehatan, termasuk kesejahteraan psikologis.
4) Memperbaiki kemampuan koping (misal mengembangkan strategi pertolongan diri,
mengurangi ketergantungan pada sistem asuhan kesehatan) dan hubungan dengan yang
lain (misal keluarga, teman, tenaga kesehatan).
b. Prinsip Level I :
1) Buatlah rencana perawatan tertulis secara komprehensif (buat tujuan, perbaiki tidur,
tingkatkan aktivitas fisik, manajemen stres dan kurangi nyeri).
2) Pasien harus berpartisipasi dalam program latihan untuk meningkatkan fungsi.
3) Dokter dapat mempertimbangkan pendekatan perilaku kognitif dengan restorasi fungsi
untuk membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi.
a) Beritahukan kepada pasien bahwa nyeri kronik adalah masalah yang rumit dan
kompleks. Tatalaksana sering mencakup manajemen stress, latihan fisik, terapi
relaksasi dan sebagainya.
b) Beritahukan pasien bahwa fokus dokter adalah manajemen nyerinya.
c) Ajaklah pasien untuk berpartisipasi aktif dalam manajemen nyeri.
d) Berikan medikasi nyeri yang teratur dan terkontrol.
e) Jadwalkan kontrol pasien secara rutin, jangan biarkan penjadwalan untuk kontrol
dipengaruhi oleh peningkatan level nyeri pasien.
f) Bekerjasama dengan keluarga untuk memberikan dukungan kepada pasien.
g) Bantulah pasien agar dapat kembali bekerja secara bertahap.
h) Atasi keengganan pasien untuk bergerak karena takut nyeri.
4) Manajemen psikososial (atasi depresi, kecemasan dan ketakutan pasien)
16
b) Terapi simptomatik :
- antidepresan trisiklik (Amitriptilin).
- antikonvulsan : Gabapentin, Karbamazepin.
- obat topical (Lidocaine patch 5%, krim anestesi).
- OAINS, Kortikosteroid, Opioid.
- anestesi regional : blok simpatik, blok epidural/intratekal, infus
epidural/intratekal.
- terapi berbasis-stimulasi : akupuntur, stimulasi spinal, pijat.
- rehabilitasi fisik : bidai, manipulasi, alat bantu, latihan mobilisasi, metode
ergonomis.
- prosedur ablasi : kordomiotomi, ablasi saraf dengan radiofrekuensi.
- terapi lainnya : hypnosis, terapi relaksasi (mengurangi tegangan otot dan
toleransi terhadap nyeri), terapi perilaku kognitif (mengurangi perasaan
terancam atau tidak nyaman karena nyeri kronis).
2) Nyeri otot
a) Lakukan skrining terhadap patologi medis yang serius, faktor psikososial yang
dapat menghambat pemulihan.
b) Berikan program latihan secara bertahap, dimulai dari latihan dasar/awal dan
ditingkatkan secara bertahap.
c) Rehabilitasi fisik :
- Fitness : angkat beban bertahap, kardiovaskular, fleksibilitas,
keseimbangan
- Mekanik
- Pijat, terapi akuatik
d) Manajemen perilaku :
- Stress/depresi
- Teknik relaksasi
- Perilaku kognitif
- Ketergantungan obat
- Manajemen amarah
e) Terapi obat :
- analgesik dan sedasi
- antidepresan
- opioid jarang dibutuhkan
3) Nyeri inflamasi
a) Kontrol inflamasi dan atasi penyebabnya.
b) Obat anti-inflamasi utama : OAINS, Kortikosteroid.
17
4) Nyeri mekanis/kompresi
a) Penyebab yang sering : tumor/kista yang menimbulkan kompresi pada
struktur yang sensitif dengan nyeri, dislokasi, fraktur.
b) Penanganan efektif : dekompresi dengan pembedahan atau stabilisasi, bidai, alat
bantu.
c) Medikamentosa kurang efektif. Opioid dapat digunakan untuk mengatasi nyeri
saat terapi lain diaplikasikan.
Keterangan :
Skor 7 – 13 : tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang Skor 14
– 21 : sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang.
e. Manajemen Level 2
1) Meliputi rujukan ke tim multidisiplin dalam manajemen nyeri dan rehabilitasinya atau
pembedahan (sebagai ganti stimulator spinal atau infus intratekal).
2) Indikasi : pasien nyeri kronik yang gagal terapi konservatif/manajemen level 1.
19
3) Biasanya rujukan dilakukan setelah 4 – 8 minggu tidak ada perbaikan dengan manajemen
level
Berikut ini adalah algoritma asesmen dan manajemen nyeri kronis :
20
Gambar 5. Algoritme Manajemen Nyeri Kronik
21
g. Tatalaksana farmakologis nyeri kronis non kanker
Tabel 5. Intervensi farmakologis nyeri non kanker:
22
dan nyeri degenerative pada pasien lanjut usia; obstruksi visceral; tekanan pada saraf dan invasi
pembuluh darah; penyempitan pembuluh darah; inflamasi.
Prinsip umum manajemen nyeri kanker meliputi:
Mempunyai komitmen dalam membebaskan penderitaan dan menawarkan kesembuhan.
Melakukan asessmen dengan seksama atau teliti atas keluhan nyeri pasien dan kepada
pasien.
Menggunakan pendekatan bertahap dalam pengobatan (WHO pain ladder) adalah cara
terbaik.
Bekerja sebagai tim dalam menangani nyeri kanker, menggunakan beragam terapi dan
multidisiplin profesi.
Mengobati dengan layak untuk membebaskan rasa nyeri ketika menunggu hasil
pemeriksaan atau investigasi.
Pemberian obat regular menurut nyeri yang dirasakan terus menerus atau bertahap.
Pemberian obat melalui oral lebih baik.
Terbuka pada terapi non farmakologis dan terapi komplementer serta alternative yang
dapat membantu pasien.
Edukasi pasien dan pemberi perawatan sebagai bekal dalam memperkuat rasa saling
percaya dan kepercayaan diri.
23
b. Manajemen nyeri kronis kanker
1) Tatalaksana farmakologis nyeri kronis kanker
Tabel 7. Intervensi nyeri dengan terapi farmakologis
24
Gambar 6. Algoritme Manajemen Nyeri Mendasar Pada Pediatrik
25
- Analgesik untuk nyeri neuropatik : antidepresan, antikonvulsan, agonis GABA,
anestesi oral-lokal.
- Analgesik untuk nyeri musculoskeletal : relaksan otot, Benzodiazepine, inhibitor
osteoklas, radiofarmaka.
b. ‘By the clock’ : mengacu pada waktu pemberian analgesik.
Pemberian haruslah teratur, misalnya : setiap 4 – 6 jam (disesuaikan dengan masa kerja obat
dan derajat keparahan nyeri pasien), tidak boleh prn (jika perlu) kecuali episode nyeri pasien
benar-benar intermiten dan tidak dapat diprediksi.
c. ‘By the child’ : mengacu pada pemberian analgesik yang sesuai dengan kondisi masing-
masing individu.
1) Lakukan monitor dan assesmen nyeri secara teratur.
2) Sesuaikan dosis analgesik jika perlu.
d. ‘By the mouth’ : mengacu pada jalur pemberian oral.
1) Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana, tidak invasive, dan efektif;
biasanya per oral.
2) Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat menyangkal bahwa mereka
mengalami nyeri atau tidak memerlukan pengobatan.
3) Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan langsung, pemberian parenteral
terkadang merupakan jalur yang paling efisien.
4) Opioid kurang poten jika diberikan per oral.
5) Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuscular karena nyeri dan absorbsi obat
tidak dapat diandalkan.
6) Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan i.m, i.v, dan subkutan
intermiten, yaitu : tidak nyeri, mencegah terjadinya penundaan/keterlambatan pemberian
obat, memberikan kontrol nyeri yang kontinu pada anak.
7) Indikasi : pasien nyeri di mana pemberian per oral dan opioid parenteral intermiten tidak
memberikan hasil yang memuaskan, adanya muntah hebat (tidak dapat memberikan obat
per oral).
e. Analgesik dan anestesi regional : epidural atau spinal
1) Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker stadium lanjut yang sulit diatasi dengan
terapi konservatif.
2) Harus dipantau dengan baik.
3) Berikan edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan segera obat-obatan dan peralatan
resusitasi, dan pencatatan akurat mengenai tanda vital/skor nyeri.
f. Berikut adalah obat-obatan non-opioid yang sering digunakan untuk anak : Tabel 8.
Obat-obatan non-opioid
26
Ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB oral, setiap Efek antiinflamasi. Hati-hati
6 – 8 jam pada pasien dengan gangguan
hepar/renal, riwayat
perdarahan gastrointestinal
atau
hipertensi.
Naproksen 10 – 20 mg/kgBB/hari oral, Efek antiinflamasi. Hati-hati
terbagi dalam 2 dosis pada pasien dengan disfungsi
renal. Dosis
maksimal 1 g/hari.
Diklofenak 1 mg/kgBB oral, Efek antiinflamasi. Efek
setiap 8 – 12 jam samping sama dengan
ibuprofen dan naproksen.
Dosis maksimal 50 mg/kali.
27
Tabel 9. Terapi non-farmakologis
28
OAINS meningkat pada lansia. Insiden perdarahan gastrointestinal meningkat hampir dua
kali lipat pada pasien > 65 tahun.
2) Nyeri sedang : opioid minor, dapat dikombinasikan dengan OAINS dan analgesik adjuvant.
Macam analgesik adjuvant yang dapat digunakan:
a) OAINS dan Amfetamin : meningkatkan toleransi Opioid dan resolusi nyeri.
b) Nortriptilin, Klonazepam, Karbamazepin, Fenitoin, Gabapentin, Tramadol,
Mexiletine : efektif untuk nyeri neuropatik.
c) Antikonvulsan : untuk neuralgia trigeminal.
d) Gabapentin : neuralgia pasca-herpetik 1 – 3 x 100 mg sehari dan dapat ditingkatkan
menjadi 300 mg/hari.
Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada lansia antara lain adalah:
1) OAINS : Indometasin dan Piroksikam (waktu paruh yang panjang dan efek samping
gastrointestinal lebih besar).
2) Opioid : Pentazocine, Butorphanol (merupakan campuran antagonis dan agonis, cenderung
memproduksi efek psikotomimetik pada lansia); Metadon, Levorphanol (waktu paruh
panjang).
3) Propoxyphene : neurotoksik.
4) Antidepresan : tertiary amine tricyclics (efek samping antikolinergik).
h. Tatalaksana nyeri pada geriatri secara non-farmakologis :
1) Terapi termal : pemberian pendinginan atau pemanasan di area nosiseptif untuk menginduksi
pelepasan Opioid endogen.
2) Stimulasi listrik pada saraf transkutan/perkutan, dan akupuntur.
3) Blok saraf dan radiasi area tumor.
4) Intervensi medis pelengkap/tambahan atau alternatif : terapi relaksasi, umpan balik positif,
hipnosis.
5) Fisioterapi dan terapi okupasi.
29
D. TATACARA PEMBERIAN TATALAKSANA NYERI SECARA NON FARMAKOLOGI
Penatalaksanaan non farmakologis terdiri dari berbagai tindakan penanganan nyeri berdasarkan
stimulasi fisik maupun perilaku kognitif. Penatalaksanaan nyeri secara non farmakologis ini dapat
diterapkan pada jenis nyeri akut, kronis, non kanker maupun kanker. Terapi non-farmakologis ini diberikan
pada penderita dengan rasa nyeri ringan (skala 1-3). Terapi non-farmakologis pada nyeri bertujuan untuk
memperbaiki aspek fisiologis maupun psikologis dari penderita. Berikut ini adalah penjelasan teknik-
teknik terapi nyeri secara non farmakologis :
a. Masase kulit
Masase kulit dapat memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan otot. Rangsangan
masase otot ini dipercaya akan merangsang serabut berdiameter besar, sehingga mampu memblok
atau menurunkan implus nyeri. Teknik masase ini juga bertujuan untuk mengatasi masalah fisik,
fungsional atau fisiologis. Teknik masase dilakukan dengan penekanan terhadap jaringan lunak baik
secara terstruktur atau tidak, gerakan-gerakan atau getaran, dilakukan menggunakan bantuan media
ataupun tidak. Beberapa teknik masase yang dapat dilakukan untuk adalah :
1) Remasan. Usap otot bahu dan remas secara bersamaan.
2) Selang-seling tangan. Memijat punggung dengan tekanan pendek, cepat dan bergantian
tangan.
3) Gesekan. Memijat punggung dengan ibu jari, gerakannya memutar sepanjang tulang
punggung dari sacrum ke bahu.
4) Eflurasi. Memijat punggung dengan kedua tangan, tekanan lebih halus dengan gerakan ke
atas untuk membantu aliran balik vena.
5) Petriasi. Menekan punggung secara horizontal, pindah tangan anda dengan arah yang
berlawanan, menggunakan gerakan meremas.
6) Tekanan menikat. Secara halus, tekan punggung dengan ujung-ujung jari untuk mengakhiri
pijatan.
b. Kompres
Kompres panas dingin, selain menurunkan sensasi nyeri juga dapat meningkatkan proses
penyernbuhan jaringan yang mengalami kerusakan.
c. Imobilisasi
Imobilisasi terhadap organ tubuh yang mengalami nyeri hebat mungkin dapat meredakan
nyeri. Kasus seperti rheumatoid arthritis mungkin memerlukan teknik untuk mengatasi nyeri.
d. Distraksi
Distraksi merupakan pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri. Teknik distraksi terdapat
beberapa macam yaitu : distraksi visual, distraksi pendengaran, distraksi pernafasan, distraksi
intelektual, teknik pernafasan, imajinasi terbimbing. Teknik distraksi juga dapat dilakukan dengan :
1) Melakukan hal yang disukai, seperti membaca buku, melukis, menggambar dengan tidak
meningkatkan stimuli pada bagian tubuh yang dirasa nyeri.
30
2) Melakukan kompres hangat pada bagian tubuh yang dirasakan nyeri.
3) Bernapas lembut dan berirama secara teratur.
4) Membaca Al Qur’an dengan tenang dan tidak tergesa-gesa.
5) Mengucapkan kalimat dzikir secara berulang-ulang dengan menghayati maknanya.
e. Plasebo
Plasebo merupakan suatu bentuk tindakan, misalnya pengobatan atau tindakan keperawatan
yang mempunyai efek pada pasien akibat sugesti daripada kandungan fisik atau kimianya. Suatu
obat yang tidak berisi analgetika tetapi berisi gula, air atau saliner dinamakan placebo
f. Terapi Murottal
Menurut Oken (2004) musik dapat memiliki efek terapeutik pada pikiran dan tubuh manusia.
Efek suara dapat memengaruhi keseluruhan fisiologis tubuh pada basis aktivasi korteks sensori
dengan aktivitas sekunder lebih dalam pada neokorteks dan beruntun ke dalam sistem
limbik,hipotalamus, dan sistem saraf otonom. Saraf kranial kedelapan dan kesepuluh membawa
impuls suara melalui telinga.Dari sini, saraf vagus, yang membantu regulasi kecepatan denyut
jantung, respirasi dan bicara, membawa impuls sensorik motorik ke tenggorokan, laring, jantung,
dan diafragma.Para ahli terapi suara menyatakan saraf vagus dan sistem limbik (bagian otak yang
bertanggung jawab untuk emosi) merupakan penghubung antara telinga, otak, dan sistem saraf
otonom yang menjelaskan bagaimana suara bekerja dalam menyembuhkan gangguan fisik dan
emosional (Oken, 2004). Salah satu terapi musik yakni perangsangan auditori. Menurut Oken
(2004), perangsangan auditori adalah memberikan perangsangan pada pendengaran dengan
menggunakan suara. Suara bergerak di udara dengan kecepatan 340 m/detik, terdiri dari getaran-
getaran dari sumbernya sampai mencapai telinga, kemudian melalui telinga ini ia menyebar ke
seluruh tubuh. Sel yang terpengaruhi oleh vibrasi suar, berespon dengan mengubah vibrasinya
sendiri, yang berarti bahwa kerja mekanik dari sel ini dapat meningkat dan menjadi lebih kuat.Sel-
sel otak bervibrasi serta mengirimkan gelombang magnet dan elektromagnetik yang mewakili
aktivitas otak.Sel-sel otak dipengaruhi oleh segala vibrasi apapun jenisnya dan darimanapun
sumbernya.
Alternatif lain selain terapi musik adalah terapi religi dengan murottal Al Qur’an. Terapi
religi dengan murottal Al Qur’an dapat mempercepat penyembuhan, hal ini dibuktikan oleh
berbagai riset oleh para ahli yang membuktikan bahwa Al Qur’an dapat berpengaruh positif
terhadap fisiologis maupun psikologis manusia yang efeknya adalah penurunan ketegangan saraf.
Murottal Al Qur’an memberikan efek perangsangan auditorik baik dengan membaca maupun
mendengarkan. Perangsangan auditorik oleh murottal Al Qur’an mempunyai efek distraksi yang
meningkatkan efek endorfin dalam sistem saraf pusat yang memberikan rasa nyaman, tenang,
menurunkan kecemasan dan menimbulkan relaksasi. Sehingga, murottal Al Qur’an ini menjadi
salah satu metode penanganan nyeri secara non farmakologis di RS Nur Hidayah.
g. Guided Imaginary
Yaitu upaya yang dilakukan untuk mengalihkan persepsi rasa nyeri dengan mendorong pasien untuk
mengkhayal dengan bimbingan. Tekniknya sebagai berikut:
31
1) Atur posisi yang nyaman pada klien.
2) Dengan suara yang lembut, mintakan klien untuk memikirkan hal-hal yang menyenangkan
atau pengalaman yang membantu penggunaan semua indra.
3) Mintakan klien untuk tetap berfokus pada bayangan yang menyenangkan sambil
merelaksasikan tubuhnya.
4) Bila klien tampak relaks, perawat tidak perlu bicara lagi.
5) Jika klien menunjukkan tanda-tanda agitasi, gelisah, atau tidak nyaman, perawat harus
menghentikan latihan dan memulainya lagi ketika klien siap.
h. Relaksasi
Teknik relaksasi didasarkan kepada keyakinan bahwa tubuh berespon pada ansietas yang
merangsang pikiran karena nyeri atau kondisi penyakitnya. Teknik relaksasi dapat menurunkan
ketegangan fisiologis. Teknik ini dapat dilakukan dengan kepala ditopang dalam posisi berbaring
atau duduk dikursi. Hal utama yang dibutuhkan dalam pelaksanaan teknik relaksasi adalah klien
dengan posisi yang nyaman, klien dengan pikiran yang beristirahat, dan lingkungan yang tenang.
Teknik relaksasi banyak jenisnya, salah satunya adalah relaksasi autogenik. Relaksasi ini mudah
dilakukan dan tidak berisiko. Ketika melakukan relaksasi autogenik, seseorang membayangkan
dirinya berada didalam keadaan damai dan tenang, berfokus pada pengaturan napas dan detakan
jantung. Langkah-langkah latihan relaksasi autogenik adalah sebagai berikut:
1) Persiapan sebelum memulai latihan
a) Tubuh berbaring, kepala disanggah dengan bantal, dan mata terpejam.
b) Atur napas hingga napas menjadi lebih teratur.
c) Tarik napas sekuat-kuatnya lalu buang secara perlahan-lahan sambil katakan dalam hati
‘saya damai dan tenang’.
2) Langkah 1 : merasakan berat
a) Fokuskan perhatian pada lengan dan bayangkan kedua lengan terasa berat. Selanjutnya,
secara perlahan-lahan bayangkan kedua lengan terasa kendur, ringan, sehingga terasa
sangat ringan sekali sambil katakan ‘saya merasa damai dan tenang sepenuhnya’.
b) Lakukan hal yang sama pada bahu, punggung, leher dan kaki.
3) Langkah 2 : merasakan kehangatan
a) Bayangkan darah mengalir keseluruh tubuh dan rasakan hawa hangatnya aliran darah,
seperti merasakan minuman yang hangat, sambil mengatakan dalam diri ‘saya merasa
senang dan hangat’.
b) Ulangi enam kali.
c) Katakan dalam hati ‘saya merasa damai, tenang’.
4) Langkah 3 : merasakan denyut jantung
a) Tempelkan tangan kanan pada dada kiri dan tangan kiri pada perut.
b) Bayangkan dan rasakan jantung berdenyut dengan teratur dan tenang. Sambil katakana
‘jantungnya berdenyut dengan teratur dan tenang’.
c) Ulangi enam kali.
d) Katakan dalam hati ‘saya merasa damai dan tenang’.
32
5) Langkah 4 : latihan pernapasan
a) Posisi kedua tangan tidak berubah.
b) Katakan dalam diri ‘napasku longgar dan tenang’
c) Ulangi enam kali.
d) Katakan dalam hati ‘saya merasa damai dan tenang’.
6) Langkah 5 : latihan abdomen
a) Posisi kedua tangan tidak berubah. Rasakan pembuluh darah dalam perut mengalir dengan
teratur dan terasa hangat.
b) Katakan dalam diri ‘darah yang mengalir dalam perutku terasa hangat’.
c) Ulangi enam kali.
d) Katakan dalam hati ‘saya merasa damai dan tenang’.
7) Langkah 6 : latihan kepala
a) Kedua tangan kembali pada posisi awal.
b) Katakan dalam hati ‘kepala saya terasa benar-benar dingin’
c) Ulangi enam kali.
d) Katakan dalam hati ‘saya merasa damai dan tenang’.
8) Langkah 7 : akhir latihan
Mengakhiri latihan relaksasi autogenik dengan melekatkan (mengepalkan) lengan bersamaan
dengan napas dalam, lalu buang napas pelan-pelan sambil membuka mata.
i. Akupuntur
Akupuntur adalah tehnik pengobatan tradisional yang berasal dari Cina untuk memblok chi
dengan menggunakan jarum dan menusukkannya ke titik-titik tubuh tertentu yang bertujuan untuk
menciptakan keseimbangan yin dan yang.
33
ALGORITMA TATALAKSANA NYERI SECARA MEDIS DAN
SYARIAH DI RS NUR HIDAYAH
Nyeri Berat
Nyeri Sedang Nyeri Ringan (skala nyeri 7 – 10 pada
(skala nyeri 4 – 6 pada (skala nyeri 1 – 3 pada skala 0 – 10)
skala 0 - 10) skala 0 – 10)
DPJP,
Tatalaksana nyeri secara non- farmakologis Dr Sp.
oleh Perawat, Bidan dan Fisioterapis An, Dr
Sp.S
DPJP
(Teknik Relaksasi, Distraksi, Terapi
Murottal, dll)
Analgetik Adjuvan
+/ 1. Anti Depressant : Amitriptilin, Desipramine, +/
- Nortriptilin -
2. Anti Konvulsan : Gabapentin, Carbamazepine
(Tegretol)
34
II. PEMBERIAN EDUKASI NYERI KEPADA PASIEN DAN KELUARGA
A. Petugas medis atau paramedis memberikan edukasi medis terkait nyeri kepada pasien dan
keluarga tentang pelayanan nyeri sesuai dengan latar belakang agama, budaya, dan nilai-nilai pasien dan
keluarga. Adapun edukasi medis yang diberikan meliputi :
a. Apa itu nyeri
b. Penyebab nyeri,
c. Keberlangsungan nyeri,
d. Antisipasi ketidaknyamanan
e. Faktor-faktor yang memperberat keluhan nyeri, misalnya banyak gerak, dll.
f. Faktor-faktor yang meringankan nyeri, misalnya kompres, pijatan, dll
g. Prosedur tatalaksana nyeri sesuai latar belakang, budaya, dan agama.
h. Faktor-faktor yang mendukung kesembuhan, misalnya nutrisi dan istirahat yang cukup.
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu
mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi
bagaimana bereaksi terhadap nyeri. Nilai-nilai budaya perawat dapat berbeda dengan nilai-nilai budaya
pasien dari budaya lain. Harapan dan nilai-nilai budaya perawat dapat mencakup menghindari ekspresi
nyeri yang berlebihan, seperti menangis atau meringis yang berlebihan. Pasien dengan latar belakang
budaya yang lain bisa berekspresi secara berbeda, seperti diam seribu bahasa ketimbang mengekspresikan
nyeri klien dan bukan perilaku nyeri karena perilaku berbeda dari satu pasien ke pasien lain.
Mengenali nilai-nilai budaya yang memiliki seseorang dan memahami mengapa nilai-nilai ini
berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien
berdasarkan harapan dan nilai budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan
mempunyai pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam mengkaji nyeri
dan respon-respon perilaku terhadap nyeri juga efektif dalam menghilangkan nyeri pasien.
Petugas medis/paramedis/bina rohani memberikan edukasi syariah terkait nyeri yang dialami pasien
yang meliputi :
a. Edukasi pasien dan keluarga untuk bertawakal dan menerima takdir
b. Edukasi pasien dan keluarga untuk istiqomah dalam beribadah dan berobat.
Selain itu perlu adanya edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai beberapa tindakan dalam
proses asuhan seperti beberapa prosedur invasif yang akan menimbulkan nyeri. Adapun tindakan
tersebut diantaranya adalah :
35
a. Pemasangan Infus
b. Perawatan Luka
c. Penjahitan Luka
d. Extraksi Corpal
e. Pengambilan Darah
f. Injeksi obat
g. Pemasangan Kateter
h. Pemasangan NGT
i. Dsb.
36
BAB IV
Manajemen nyeri yang dilakukan harus didukumentasikan dalam rekam medis pasien yaitu di
lembar Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT). Dokumentasi manajemen nyeri meliputi
dokumentasi hasil asessmen nyeri, jenis penatalaksanaan nyeri yang diberikan, dan hasil evaluasi terhadap
manajemen nyeri yang telah dilakukan.
Dokumentasi hasil asessmen nyeri meliputi pengkajian menggunakan metode PQRST yang terdiri
dari: penyebab nyeri, kualitas atau kuantitas nyeri, lokasi nyeri, skala nyeri, dan waktu atau onset
terjadinya nyeri. Pendokumentasian dilakukan pada lembar CPPT pasien yang disertai tanggal dan jam
asessmen serta nama dan paraf petugas yang melakukan asessmen.
Dokumentasi penatalaksanaan nyeri meliputi jenis penatalaksaan, tanggal dan jam
penatalaksanaan serta nama dan petugas yang melakukan penatalaksanaan nyeri. Termasuk pendidikan
kesehatan pada pasien tentang nyeri harus didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
Dokumentasi hasil evaluasi penatalaksanaan nyeri meliputi skala nyeri, kualitas dan kuantitas
nyeri, lokasi nyeri dan waktu atau onset nyeri. Dokumentasi juga harus menunjukkan kejelasan tanggal
dan jam evaluasi dilakukan serta nama dan paraf petugas yang melakukan evaluasi nyeri pasien.
Pemberian edukasi/penyuluhan didokumentasikan di dalam formulir lembar edukasi multidisiplin
kepada pasien dan keluarga pasien secara terintegrasi dan terdokumentasi dalam rekam medis pasien serta
dengan pemberian leaflet penanganan nyeri.
37
DAFTAR PUSTAKA
38
LAMPIRAN :
39
d. Ketorolak :
- Merupakan satu-satunya OAINS yang tersedia untuk parenteral. Efektif untuk nyeri sedang –
berat.
- Bermanfaat jika terdapat kntraindikasi opioid atau dikombinasikan dengan opioid untuk
mendapat efek sinergistik dan meminimalisasi efek samping opioid (depresi pernapasan,
sedasi, stasis gastrointestinal). Sangat baik untuk terapi multi-analgesik.
b. Gabapentin : merupakan obat pilihan utama dalam mengobati nyeri neuropatik. Efek samping
minimal dan ditoleransi dengan baik. Dosis : 100 – 4800 mg/hari (3 – 4 kali sehari).
9. Tramadol
a. Merupakan analgesik yang lebih poten daripada OAINS oral, dengan efek samping yang lebih
sedikit/ringan. Berefek sinergistik dengan medikasi OAINS.
40
b. Indikasi : Efektif untuk nyeri akut dan kronik intensitas sedang (nyeri kanker, osteoarthritis, nyeri
punggung bawahm neuropati DM, fibromyalgia, neuralgia pasca- herpetik, nyeri pasca-operasi).
c. Efek samping : pusing, mual, muntah, letargi, konstipasi.
d. Jalur pemberian : intravena, epidural, rektal, dan oral.
e. Dosis Tramadol oral : 3 – 4 kali 50 – 100 mg (perhari). Dosis maksimal : 400 mg dalam 24 jam.
f. Titrasi : terbukti meningkatkan toleransi pasien terhadap medikasi, terutama digunakan pada
pasien nyeri kronik dengan riwayat toleransi yang buruk terhadap pengobatan atau memiliki
risiko tinggi jatuh.
10. Opioid
a. Merupakan analgesik poten (tergantung-dosis) dan efeknya dapat ditiadakan oleh Nalokson.
b. Contoh opioid yang sering digunakan : Morfin, Sufentanil, Meperidin.
c. Dosis opioid disesuaikan pada setiap individu, gunakanlah titrasi.
d. Adiksi terhadap opioid sangat jarang terjadi bila digunakan untuk penatalaksanaan nyeri akut.
e. Efek samping :
1) Depresi pernapasan, dapat terjadi pada :
2) Overdosis : pemberian dosis besar, akumulasi akibat pemberian secara infus, opioid long
acting.
41
3) Pemberian sedasi bersamaan (Benzodiazepin, antihistamin, antiemetik tertentu).
4) Adanya kondisi tertentu : gangguan elektrolit, hipovolemia, uremia, gangguan respirasi dan
peningkatan tekanan intrakranial.
5) Obstructive sleep apnoes atau obstruksi jalan nafas intermiten.
6) Sedasi : adalah indikator yang baik untuk dan dipantau dengan menggunakan skor sedasi,
yaitu :
a. 0 = sadar penuh
b. 1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah dibangunkan
c. 2 = sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk, mudah
d. dibangunkan
e. 3 = sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan
f. S = tidur normal
g. Sistem Saraf Pusat :
- Euforia, halusinasi, miosis, kekakukan otot
- Pemakai MAOI : pemberian petidin dapat menimbulkan koma
- ﷺﷺToksisitas metabolit :
- Petidin (Norpetidin) menimbulkan tremor, twitching, mioklonus multifokal, kejang.
- Petidin tidak boleh digunakan lebih dari 72 jam untuk penatalaksanaan nyeri pasca-
bedah.
7) Pemberian Morfin kronik : menimbulkan gangguan fungsi ginjal, terutama pada pasien usia >
70 tahun.
a) Efek kardiovaskular :
- Tergantung jenis, dosis, dan cara pemberian; status volume intravascular; serta level
aktivitas simpatetik.
- Morfin menimbulkan vasodilatasi.
- Petidin menimbulkan takikardi.
b) Gastrointestinal :
Mual, muntah. Terapi untuk mual dan muntah : hidrasi dan pantau tekanan darah
dengan adekuat, hindari pergerakan berlebihan pasca-bedah, atasi kecemasan pasien, obat
antiemetic.
f. Pemberian
Oral :
- Sama
efektifnya
dengan
pemberian
parenteral
pada dosis
yang sesuai.
42
- Digunakan segera setelah pasien dapat mentoleransi medikasi oral.
g. Injeksi intramuscular :
- Merupakan rute parenteral standar yang sering digunakan.
- Namun, injeksi menimbulkan nyeri dan efektifitas penyerapannya tidak dapat diandalkan.
- Hindari pemberian via intramuscular sebisa mungkin.
h. Injeksi subkutan
i. Injeksi intravena :
- Pilihan perenteral utama setelah pembedahan major.
- Dapat digunakan sebagai bolus atau pemberian terus-menerus (melalui infus).
- Terdapat risiko depresi pernapasan pada pemberian yang tidak sesuai dosis.
j. Injeksi supraspinal :
- Lokasi mikroinjeksi terbaik : mesencephalic periaqueductal gray (PAG).
- Mekanisme kerja : memblok respons nosiseptif di otak.
- Opioid intraserebroventrikular digunakan sebagai pereda nyeri pada pasien kanker.
k. Injeksi spinal (epidural, intratekal) :
- Secara selektif mengurangi keluarnya neurotransmitter di neuron kornu dorsalis spinal.
- Sangat efektif sebagai analgesik.
- Harus dipantau dengan ketat.
l. Injeksi perifer :
- Pemberian opioid secara langsung ke saraf perifer menimbulkan efek anestesi lokal (pada
konsentrasi tinggi).
- Sering digunakan pada : sendi lutut yang mengalami inflamasi.
43