Dari Ritus Menelan Rahasia

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 7

Dari Ritus Menelan Rahasia1 ke Estetika Sastra yang “Gila”2

:Pembacaan Sederhana atas Sosok Perempuan pada Cerita Rekaan

Oleh Moch. Irfan Hidayatullah


I
Tidak akan kesulitan bagi siapapun untuk mencari pola ucap perempuan dalam
karya sastra. Akan tetapi, mengambil sikap terhadap pola ucap itulah yang membuat
seseorang harus merelakan sesuatu yang dimilikinya terbang terlebih dahulu. Seseorang di
sini berarti laki-laki dan sesuatu yang dimiliki adalah pola pikir kelelakian. Bisa
dibayangkan, sebuah paradigma yang telah begitu mengakar tentang segi dan garis3
maskulinitas harus didekonstruksi lewat segi dan garis femininitas. Namun, pada
praktiknya ternyata kebingungan tersebut muncul karena sebuah penyakit pandangan yang
kemudian disebut bias gender dan setelah melalui pembacaan lebih lanjut ternyata sesuatu
yang harus direlakan tersebut menjadi sesuatu yang dirindukan kembali. Setidaknya tidak
terbang-jauh-jauh dari atas kepala seseorang. Empati keperempuanan dari seseorang
menjadi dasar objektivitas pola sikap tanpa meninggalkan paradigma kelelakiannya.
Beberapa saat setelah renungan tersebut serta merta muncullah berbagai indikasi
dari berbagai teks tentang betapa jelasnya kesenjangan gender. Perempuan yang
dihadirkan sangat jelas keberadaannya. Jelas keterasingannya dan jelas ketertekanannya.
Oleh karena itu, dari berbagai indikasi tersebut, tampaklah pola sikap yang beragam yang
grafiknya menaik. Dari kecenderungan menelan rahasia ke estetika sastra yang “gila”.
Sikap pertama adalah terdapat pada teks berikut:
….Bibiku tidak suka membiarkanku belajar menghadapi buku, sedangkan di rumah
banyak pekerjaan. Katanya anak perempuan tidak boleh menjadi anak yang pandai.
Tapi aku tidak mau menceritakan ini kepada tuan yang berjenggot itu. Lagi pula aku
melihat kehadiran bibiku yang memelototkan matanya dari sebelah meja panjang
(Dini, 1983:54)

Dari teks tersebut bisa kita lihat bahwa ada sesuatu yang membelenggu secara
kultural yang kemudian menjadikan tokoh perempuan dalam teks menjadi begitu halus.
Selain itu, ditunjang oleh kehadiran tokoh perempuan lain yang semakin memperkuat
ketidakberdayaan. Atau teks yang berikut:
Anak-anak perempuan di daerah itu tumbuh dan dibesarkan oleh cerita dan ancaman
kutukan Bandung Bondowoso mengenai jenis mereka yang tidak akan laku kawin dan
1
Kutipan dari kalimat pada novelet “Sagra” Oka Rusmini (2001:123)
2
Salah satu judul cerpen Nawaal El-Saadawi (2002: 1)
3
Judul kumpulan cerpen NH. Dini (1983)

1
menjadi perawan tua. Takhayul yang kemudian menjadi kepercayaan ini berlangsung
sampai zaman mutakhir. Dan Warsiah yang telah mengecap pendidikan tinggi di
kalangan keluarganya pun tidak bisa melepaskan diri dari takhayul itu. (NH. Dini,
1983: 76).

Sekali lagi tokoh perempuan di sini dihadapkan pada sebuah wacana ketertekanan
budaya. Akan tetapi, mereka hanya bisa melontarkan riak-riak kecil tentang
ketidaksepakatannya. Hal tersebut, bukanlah berarti sebuah kepasrahan sikap karena apa
yang membuat hati mereka bergemuruh adalah sesuatu yang telah mereka sadari dan
seolah-olah telah (dan akan) tidak menjadi masalah. Beda dengan teks-teks selanjutnya.
Seperti pada cerpen Ratna Indraswari Ibrahim yang berjudul Salma yang Terkasih
(2000: 52) berikut.
Nana yang baik,
Dia dengan tertawa menunjukkan surat yang menyatakan orang tuaku
sudah menjual, baik tanah maupun rumah ini. “Kalau kau terima nasibmu dengan
baik, kau bisa tinggal di sini sampai mati. Kau harus mengizinkan aku menikah
dengan perempuan yang paling kaya di desa ini. Kalau kau ingin cerai, silakan,
tetapi kau keluar tanpa membawa apa-apa.”

Kutipan tersebut mengungkapkan wacana kepasrahan perempuan atas nasib yang


menimpanya. Salma sebagai tokoh terdesak pasrah terhadap ancaman itu. Ia
menganggap bahwa itu adalah sebuah proses yang tidak bisa dihindarinya walaupun
pada sisi lain cerita dihadirkan sosok Yusuf sebagai konvensasi. Namun, sosok Salma
dihadirkan sebagai ikon dari ketertekanan perempuan pada wilayah kekuasaan
menentukan keputusan.
Atau pada teks berikut ini,
…Aku terlalu biasa berpikir sendiri dan selalu seorang diri, kini ada lelaki
yang melamarku. Aku yang sejak kecil mendengar dan diajar menyadari bahwa
aku tidak cantik, bahwa mataku terlalu besar untuk muka yang sedemikian ciut.
Waktu mendengar bahwa aku akan kawin, ibuku mulai memompakan berbagai
pikiran, di antaranya aku tidak seharusnya terlalu mencintai dan menalikan diri
kepada seorang laki-laki, karena aku akan amat menderita kalau sekali waktu nanti
laki-laki itu bosan terhadapku. Aku bukan potongan perempuan yang patut dicintai
sampai hari mati.(NH. Dini, 1983:20-21)

Kutipan yang luar biasa tersebut menghadirkan dua sosok perempuan yang saling
melengkapi ketidakberdayaan mereka, ibu dan aku. Mereka seolah menjadi stereotip tokoh
perempuan yang bulat karena tokoh aku tidak dibantu secara kebetulan atau sengaja oleh
tokoh bukan perempuan. Pada titik ini ada kerendahdirian perempuan terhadap diri mereka

2
karena permasalahan tubuh. Mungkinkah ini imbas dari pemikiran modern atau
tradisional? Entahlah,yang jelas kepasrahan tokoh perempauan pada cerpen Di Pondok
Salju ini melambungkan kelelakian. Pengarang mungkin sengaja mengangkat fenomena
ini sebagai introduksi bagi wacana-wacana gender berikutnya, oleh pengarang berikutnya.
Masih dalam ritus menelan rahasia, wacana perempuan yang dihadirkan pada
cerpen-cerpen (beberapa) pengarang perempuan masih menggambarkan sosok yang begitu
teralienasi oleh diri mereka sendiri dan oleh kultur yang tersedia (yang mau tidak mau
mereka terima). Oleh karena itulah, mereka seolah terasingkan dari dunia positif yang
seolah diberikan pada laki-laki. Keterasingan mereka disebabkan oleh hal yang bersifat
sistemik setelah melampaui wilayah persepsi dan kultur masyarakat mereka sehingga jika
kita lacak penyebabnya akan begitu pekat. Namun, cerpen-cerpen yang mengungkap
wacana tersebut justru mencoba mengangkat realita agar mengurangi kepekatan tersebut
untuk sebuah pandangan jernih para pembaca pada zaman selanjutnya. Keterasingan
tersebut akan kita lihat pada teks berikut,
“Kenapa aku tidak dilahirkan sebagai laki-laki saja. Perempuan yang
mengandungku pasti dikelilingi roh jahat. Bapakku pasti seorang perampok. Aku
dilahirkan dengan tubuh penuh dosa, sehingga setiap gerakku selalu meninggalkan
rasa sakit yang parah di hati dan dagingku. Aku adalah kumpulan dosa bapak dan
ibuku. Terkutuklah mereka yang membuatku memiliki wujud perempuan. Terkutuklah
manusia yang tidak pernah memberiku waktu untuk memilih wujudku…” (Oka
Rusmini, 2001:42)

Alienasi yang begitu pekat telah terjadi pada tokoh aku. Hal tersebut bukan sebuah
kepasrahan, melainkan sebuah gugatan. Nilai gugatan itulah yang mencerminkan sebuah
keterasingan. Seorang perempuan yang telah tidak memiliki dirinya sendiri dan telah tidak
memiliki sejarahnya sendiri. Seorang perempuan yang jiwanya mencelat mencari
pegangan yang sebenarnya sudah mereka pesimiskan keberadaannya. Kelelakian bukanlah
solusi bagi mereka karena lelakilah yang menyebabkan mereka terasingkan, tetapi
keperempuanan pun sangat menyiksa mereka. Tidak ada hal lain bagi mereka kecuali
menjerit walaupun dalam hati.
Pada kutipan cerpen Pesta Tubuh karya Oka Rusmini di atas tidak hanya
memberikan ornamen keperempuanan dalam sebuah wacana budaya lebih luas. Akan
tetapi, sebaliknya justru keperempuanan sebagai paradigma. Tokoh perempuan kecil yang
dipanggil Dayu pada cerpen tersebut mempertegas sebuah keterasingan yang luar bisa
karena keperempuanannya bukan karena hal yang lainnya. Hal ini terbukti dengan tidak

3
berfungsinya predikat kebangsawanannya dan kebrahmanaannya karena
keperempuanannya.
“Benarkah dalam darahku mengalir darah bangsawan? Kalau iya? Kenapa aku juga
di culik dan diperlakukan sama dengan mereka? (2001: 68).

Jika kita mencoba menarik benang merah dari semua teks tersebut, kita akan
menemukan sebuah kenyataan bahwa sesuatu yang lebih dari sekadar realita telah terjadi,
yaitu tindakan menelan rahasia. Perempuan dengan stereotip keperempuanannya yang
(bisa jadi) terbentuk dari sudut pandang kelelakian pada wilayah budaya patriarhki yang
diungkapkan oleh para pengarang perempuan seolah-olah mempunyai ritus tersendiri
dalam menghadapi berbagai tekanan. Ritus tersebut adalah bahwa perempuan hanya bisa
menelan rahasia.
…Pidada, ajari aku menelan rahasia!
Pintu tertutup keras. Tubuh Sagra rebah di atas kasur.

II
Teks sastra sebagai sebuah mozaik kutipan dari berbagai relitas dan transformasi
dari teks-teks lain selalu menyisakan sejumput emosi bagi para pembacanya. Begitupun
dengan teks-teks tentang perempuan yang diangkat oleh penulis perempuan. Teks-teks
tersebut mengungkapkan berbagi macam keluhan terhadap realitas yang mendiskreditkan
kehidupan kemanusiaan. Seseorang yang membaca sesuatu pada teks tersebut seakan
diseret pada sisi-sisi politis-ideologis daripada sekadar sebuah pesan moral.
Perempuan-perempuan pada teks pengarang perempuan ternyata membawa pesan
tertentu yang satu sama lain mempunyai keterjalinan emosi dan penaikan eksistensi. NH.
Dini, Titis Basino, Ratna Indraswari Ibrahim menciptakan teks-teks yang kemudian
menjadi relita tekstual bagi penulis-penulis generasi di bawahnya, semisal Oka Rusmini,
dan Ayu Utami (pengarang yang karyanya dijadikan contoh dalam makalah ini). Oleh
karena itulah, Seseorang yang membaca sesuatu pada teks perempuan akan tercengang
dengan keberanian pola ucap pada penulis kontemporer. Keberanian pola ucap tersebut
sebenarnya merupakan ikon dari semakin diangkatnya isu-isu gender pada wacana karya
sastra dan wacana budaya secara umum.
Perubahan yang mendasar dari teks yang teramati adalah ketegasan untuk menjadi
sosok lain. Hal ini berawal dari pendapat bersebrangan atas relitas yang ada atau bahkan
mendekonstruksi realitas tersebut. Oleh karena itulah (mungkin) Nawal El- Saadawi

4
menyebutnya sebagai Estetika Sastra yang Gila. Kata gila di sini adalah sebuah gugatan
pada nilai-nilai yang telah begitu berkarat yang ketika mendobraknya harus mengorbankan
eksistensi persepsi kemanusiaan modern penulis atau tokoh yang dimunculkan. Dengan
seperti itu sebenarnya karya sastra tidak menjadikan dirinya sebagai inti melainkan
sebagai sebuah proses transformasi nilai4.
Kita bisa membandingkan hal yang diungkapkan oleh dua penulis dari dua
generasi yang berbeda.
….Tapi itu tidak menjadikan Widi mundur, dia merasa berkewajiban
menyelamatkan dunia ini dari jebakan dan penipuan yang dilamurkan oleh para laki-laki
yang dianggap membuat kotor dunia yang suci yang diberikan Tuhan dengan keindahan
hakiki. (Titis Basino, Horison Agustus 1999)

dengan
“Apapun yang kau lakukan, kau tetap indah. Kau tetap membuat seluruh laki-laki
menanam impian dan berkaca di kulit tubuhmu.” Lalu apalagi yang harus dia lakukan
untuk merebut tubuhnya sendiri?” (Oka Rusmini, 2001: 73)

Perbedaan antara dua teks tersebut adalah bagaimana penulis mengartikulasikan


nilai-nilai yang diamanatkannya. Titis Basino menyampaikannya dengan begitu verbal
Keverbalan semacam ini tidak ditemukan pada teks kedua. Nilai-nilai yang diungkapkan
pada teks kedua telah melampaui keverbalan. Hal-hal yang lebih mendalam dari sekadar
dosa telah dilampauinya karena teks kedua membuat dirinya sendiri sebagai proses bukan
sebagai inti.
Selain teks-teks tersebut peningkatan keberanian pola ucap pun bisa kita dapatkan
pada pemberontakkan semacam ini,
“Hyang Widhi, apakah sebagai perempuan aku terlalu loba, tamak, sehingga Kau
tak mengizinkanku memiliki impian? Apakah Kau laki-laki? Sehingga tak pernah Kau
pahami keinginan dan bahasa sepertiku? (Oka Rusmini, 2001:74)

Sebuah pemberontakkan tidak tanggung-tanggung telah dieksplisitkan. Keverbalan


ungkapan menggugat Tuhan penuh nilai ideologis. Hal inilah yang mungkin disebut gila.
Mendekonstruksi sebuah tabu, tapi itu bukan inti. Hal tersebut adalah proses, penulis
mengorbankan stereotip dirinya. Jika zaman ini masih modern, penulis telah
mengorbankan dirinya.

4
Lihat Mohamad, Gunawan (2000: Xiii)

5
Selain keberanian tersebut Oka juga mengungkapkan berbagai gugatannya kepada
kaumnya sendiri. Oka telah menjadikan ceritanya sebagai subjek yang berbicara, saat itu,
karena memang pada kenyataannya gejala gender juga diwakili oleh kaum perempuan.
Tapi akhirnya ini menjadi semacam ironi.
“Aku ingin bayi yang kau kandung perempuan.”
Aku mendelik mendengar jawabannya. Perempuan? Bukankah anak perempuan
tidak begitu punya hak dalam keluarga? Kenapa laki-lakiku tidak menginginkan bayi laki-
laki? Bukankah bayi laki-laki akan jadi pelindung masa tuaku? Anak perempuan?
Bagaimana kalau anak perempuanku diambil orang? Tentu mereka akan punya dunia
sendiri, keluarga sendiri. Bagaimana masa tuaku? Aku meringis. (Oka Rusmini, 2001:
158-159)
Demikian beberapa teks mengungkapkan betapa pula ucap pengarang perempuan
mengalami kenaikan keberanian dan lebih memperjelas isu-isu gender. Mereka tidak lagi
hanya menelan rahasia tetapi mengungkapkannya dalam sebuah estetika yang gila. Selain
hal tersebut kegilaanpun diwakili oleh pola ucap Ayu Utami dalam pragmen novel-
novelnya. Ayu mencoba mengkonkretkan dunia yang sebenarnya menyimpan sisi-sisi
gelap yang selama ini selalu ragu-ragu untuk diungkapkan oleh para penulis. Sebagai inti
amanat mungkin semua cerita sama, yaitu mengungkapkan sesuatu yang seharusnya tidak
dilakukan oleh manusia beradab. Karya sastra menjadi cermin dalam hal ini. Namun, ayu
memang sengaja mengumbar kegilaan estetikanya dalam racikan metafor yang pekat.
Ayu sebagai seorang perempuan telah mendekonstruksi stereotip keperempuanan
yang halus, indah, perasa, dsb dengan mengungkapkan teks yang begitu keras.
….Permisi, biar kusayat kulit kepalamu. Aku juga masih ingat caranya. (1)
Letakkan sebuah balok menyangga leher. Tetapi tak ada kayu, maka buku Di Bawah
Bendera Revolusi yang tebal dan keras bisa dijadikan ganti. (2) Buatlah sayatan
melingkari batok kepala, di atas alis melewati pangkal telinga dan tonjolan oksipital,
seperti Columbus mengelilingi bola bumi. (3) tarik irisan vertikal membelah tengah dahi
hingga belakang kepala…dst. (Ayu Utami, 2001:73).

Tatacara pembedahan mungkin bisa kita temukan pada buku petunjuk kedokteran
yang tidak ada kesan kejam di sana. Namun, apa yang diungkapkan Ayu adalah sebuah
cerita yang didahului oleh kalimat, “Permisi, biar kusayat kulit kepalamu”. Sebuah
kalimat sopan yang kontras dengan apa yang akan dilakukan kepada sebuah tubuh. Maka,
apakah Ayu Utami menjadi maskulin?

6
Selain hal tersebut, Ayu juga kembali membolak-balik tatanan yang sudah mapan
dengan memilih nama Larung sebagai tokoh utamanya. Larung, sebuah nama perempuan,
disematkan pada seorang tokoh laki-laki menjadi Larung lanang. Tidakkah ini menjadi
sebuah kode yang begitu simpang siur. Namun, itulah pola ucap Ayu yang skizofrenia5.
Sebuah estetika sastra yang gila yang kemudian akan menjadi udara baru bagi wacana
gender pemikiran masyarakat setelah sekian lama hanya mampu menelan rahasia.

5
Bahasa skizofrenia post-modern adalah bahasa yang dihasilkan dari persimpangsiuran penanda, gaya dan
ungkapan dalam suatu karya, yang menghasilkan makna-makna kontradiktif, ambigu, terpecah atau samar-
samar.(Piliang, 1999:171)

Anda mungkin juga menyukai