Dimensi Budaya Dalam Korupsi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

Dimensi Budaya dalam Korupsi

Oleh

Kelompok

Cahya Aulianto Wicaksono

M. Akbar Pribadi

Jurusan Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Brawijaya

Malang

2015
BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Penjelasan konsep korupsi telah lama diperbincangkan dalam dunia politik. Konsep
tradisional yang menjelaskan korupsi adalah Mencuri, mencopet, merampok dan korupsi
adalah kegiatan yang sama-sama memiliki tujuan mengambil sesuatu yang bukan menjadi
hak miliknya. Namun sekarang ini istilah korupsi mengkrucut kepada kejahatan para
berkerah putih dalam memanfaatkan kekayaan negara secara pribadi. Sehingga dalam
istilahnya korupsi digunakan dalam kejahatan yang dilakukan para pejabat, diluar itu bukan
disebut sebagai korupsi.
Dalam penjelasan korupsi memang mudah dipahami dengan istilah “penyalah gunaan
jabatan publik untuk kepentingan pribadi” tetapi hal tersebut tidak dapat menjelaskan
bagaimana korupsi terbentuk menjadi sesuatu yang lazim dalam suatu negara, apakah korupsi
tersebut menjadi budaya tersendiri dalam suatu negara tertentu. Sehingga pengertian korupsi
lampau tidak cukup menjelaskan bagaimana korupsi terbentuk melalui budaya dalam suatu
negara.
Dalam menjelaskan budaya korupsi, penulis memberikan refrensi melalui jurnal
Linking cultural dimensions with the nature of corruption:An institutional theoryperspective.
Melalui refrensi jurnal tersebut, penulis dapat menjelaskan bagaimana budaya korupsi terjadi
di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa sajakah dimensi korupsi?


2. Apa sajakah dimensi budaya nasional?
3. Bagaimana korupsi berhubungan dengan budaya nasional?

1.3 Tujuan

1. Menjelaskan dimensi korupsi.


2. Menjelaskan dimensi budaya nasional.
3. Menjelaskan hubungan korupsi dengan budaya nasional.
BAB II

Pembahasan

2.1 Teori Institusionalisme

Korupsi dalam masyarakat terjadi karena danya lembaga – lembaga sosial di


masyarakat memengaruhi tingkat korupsi di masyarakat. Lembaga sosial yang ada di
masyarakat memiliki peranan dalam tumbuhnya praktik korupsi di masyarakat. Hal ini karena
lembaga – lembaga sosial di masyarakat merupakan faktor mikro dalam menganalisis
korupsi.

Setiap masyarakat memiliki lembaga sosial yang berbeda – beda. Setiap lembaga -
lembaga sosial di masyarakat memiliki fungsi yang berbeda – beda tergantung pada
kebutuhan suatu masyarakat. Fungsi – fungsi dalam lembaga sosial dipengaruhi oleh budaya
yang ada di masyarakat. Fungsi – fungsi pada lembaga sosial dipengaruhi oleh lingkungan
masyarakat seperti : nilai – nilai, norma – norma, kebiasaan, dan kebudayaan. Adanya fungsi
– fungsi lmbaga sosial ini yang melegitimasi tindakan dan perilaku orang – orang yang
terlibat di dalamnya.

“Rodriguez et al. contend that institutional legitimacy is influenced by


corrupt activities through its effects on formal and informal institutional
variables.” (Pillay 2010 : 365)
Hal ini menyatakan bahwa suatu lembaga sosial memiliki pengaruh dalam praktik
korupsi di dalamnya. Suatu lembaga melegitimasi tindakan individu di dalamnya untuk
melakukan korupsi. Hal ini menyebabkan adanya dimensi korupsi (penyebaran dan kesewang
- wenangan) yang dibentuk karena adanya legitimasi oleh lembaga – lmbaga sosial dan
budaya di masyarakat.

“Messner and Rosenfeld developed the institutional ‘anomie’ theory. This


theory is founded upon Durkheim’s (1893/1964) sociological theory of anomie,
which held that institutional and cultural change associated with modernization
causes a decline in traditional social controls.” (Pillay 2010 : 366)
Adanya lembaga yang anomie disebabkan oleh adanya pelemahan norma – norma
sosial akibat adanya perubahan. Hal ini menyebabkan kontrol - kontrol sosial yang bersfat
tradisional menjadi menghilang dan digantikan menjadi sistem yang lebih modern. Hingga
pada akhirnya kontrol sosial yang bersifat tradisional itu tidak diterima lagi.
Hal tersebut menunjukkan fungsi – fungsi dalam lembaga sosial dapat berubah menjadi
lebih modern. Fungsi tersebut dapat digantikan menadi lebih birokratis dan mampu untuk
melakukan praktik korupsi apabila birokrasinya rumit.

“Becker’s analysis examines the relationships that exist among three


protagonists: the citizen, the principal (say a government), and an agent (a public
official) who manages the relationship between the citizen and the government.
The degree of discretion they all enjoy in exercising their power create a
formidable information barrier between the principal and the agent. In these
circumstances, agents are posited as being more prone to corruption when they
enjoy a monopoly and have wide discretion and little accountability.”(Pillay 2010
: 366)
Suatu lembaga apabila dilihat melalui analisis principal-agents dapat diketahui terdapat
tiga pihak yang berperan di dalamnya. Tiga pihak tersebut, yaitu : rakyat, principal
(pemerintah), dan agen. Agen menjembatani antara pemerintah dan rakyat. Penyebaran
korupsi didorong oleh pertukaran antara keuntungan dan pengambilan kebijkan. Mereka
sama – sama menikmati derajat kebijaksanaan yang dikeluarkan, dan agen merupakan pihak
yang paling rentan dalam melakukan korupsi karena agen yang menjembatani hubungan
antara pemerintah dengan rakyat.

Terdapat keuntungan yang hubungannya positif dari ketiga pihak yang memainkan
peran ini. Keuntungan yang berhubungan posotif apabila terkait pada jabatan untuk mengatur
kebijakan dan distribusi sumbr daya. Namun, berhubungan negatif apabila terkait dengan
akuntabilitas dan kegiatan korupsi.

Semakin tinggi keuntungan yang didapat maka akan semakin tinggi kemungkinan
untuk korupsi, namun semakin tinggi resiko dan moral masyarakat maka semakin rendah
kemungkinan untuk korupsi.

Hal ini menandakan bahwa korupsi akan tumbuh subur apabila keuntungan yang
diperoleh semakin besar. Namun pihak yang melakukan korupsi harus menghitung terlebih
dahulu resiko yang didapatkan. Apabila resikonya semakin tinggi maka hal tersebut juga
menghambat timbulnya korupsi. Karena dalam melakukan korupsi dibutuhkan kehati –
hatian. Norma – norma yang berlaku di masyarakat juga berperan dalam melakukan praktik
korupsi. Norma – norma yang menghambat korupsi untuk tumbuh, akan memnyebabkan
korupsi sulit untuk dilakukan.
Norma dan sejarah suatu masyaraakt berpengaruh dalam melakukan praktik korupsi
contohnya kolonialisme. Kolonialisme menyebabkan adanya dominasi suatu kaum terhadap
kaum tertentu. Kaum yang memiliki dominasi akan cenderung melakukn korupsi untuk
meraih keuntungan. Hal ini disebabkan kontrol dari kaum yang didominasi sangat lemah
sehingga kaum yang mendominasi mampu untuk melakukan korupsi dengan bebas. Hal ini
dapat berlanjut walaupun suatu masyarkat sudah tidal lagi mengalami kolonialisme. Pihak
ang berkuasa akan cenderung melakukan korupsi seperti pihak yang mendominasi dalam
kolonialisme. Pihak yang berkuasa menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk korupsi
seperti pihak yang mendominasi melakukan dominasi yang dimiliki untuk melakukan
korupsi.

2.2 Dimensi Korupsi

Dalam jurnal tersebut menjelaskan bagaimana dimensi korupsi terbentuk melalui dua
dimensi yaitu penyebaran dan kesewenang-wenangan. Kerangka tersebut mengusulkan
bahwa variasi dalam pertanggungjawaban dan kebijaksanaan dapat menjelaskan variasi
dalam besarnya penyebaran dan kesewenang-wenangan korupsi di masyarakat yang berbeda.

2.2.1 Pervasiveness (Penyebaran)

Dimana dalam penyebaran tersebut dapat terlihat bagaimana praktek korupsi lazim
dilakukan dalam suatu negara. Melihat dari tiga aktor, yaitu Pejabat yang menyalahi
wewenang, agen yang termotivasi melakukan suap dan subjek atau masyarakat yang lemah.
Semakin adanya tiga unsur pembentuk penyebaran korupsi tersebut maka semakin mudah
praktek korupsi tersebar. Oleh karena itu, pejabat publik lebih cenderung untuk memajukan
keuntungan pribadi mereka sendiri secara ilegal di masyarakat di mana ditentukan secara
bersama dan fasilitator kelembagaan tersebut berkumpul untuk membuat peluang struktur
untuk korupsi.

Selain itu melihat aspek budaya dalam negara tersebut, dari dua budaya yaitu konteks
ekonomi-budaya dan politik-budaya. Dalam budaya ekonomi yang lemah, membuat
masyarakat miskin, kesejahteraan sosial rendah dan tingkat kriminalitas tinggi berdampak
terhadap perluasan korupsi. Hal tersebut dikarenakan karena pelayanan publik memiliki
kualitas rendah yang diakibatkan pula dari pejabat yang memanfaatkannya untuk kepentingan
pribadi. Bila perekonomian kuat, maka negara akan mampu memberikan jaminan
kesejahteraan terhadap pejabat yang nantinya mengurangi praktik korupsi.Berkurangnya
pertanggungjawaban terkait dengan besarnya penyebaran korupsi juga dapat dikaitkan
dengan budaya politik negara. Jika budaya politik memfasilitasi perilaku korup, maka orang
lebih cenderung menggunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Selain itu, negara-
negara yang memiliki sejarah yang telah dijajah selama jangka waktu yang panjang
cenderung memiliki struktur politik yang tidak tanggap dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam keadaan ini, penggunaan jabatan publik untuk keuntungan
pribadi 'yang diharapkan'. Ada hubungan sehingga sebab akibat antara budaya politik suatu
negara, kurangnya pertanggungjawaban sebagai bagian dari budaya politik dan penyebaran
korupsi. Upaya untuk memberantas korupsi di masyarakat seperti dengan membatasi
kebijaksanaan dan melembagakan proses yang demokratis dan transparan terhambat oleh
korupsi politik warisan.

Dengan demikian jelas bahwa faktor-faktor kontekstual (seperti kemiskinan dan budaya
pemerintah tidak dapat dipertanggungjawabkan) meningkatkan besarnya penyebaran korupsi.
Secara khusus, Sung (dalam Pillay 2010 : 368) berpendapat bahwa korupsi lebih mungkin
jika ada kekurangan dari peradilan yang kuat, pers yang bebas dan oposisi politik yang
efektif. Budaya di mana demokrasi, peradilan yang kuat dan media yang bebas berlaku
tampaknya memiliki faktor pencegah yang efektif terhadap besarnya penyebaran korupsi
(Gurgur dan Shah dalam Pillay 2010 : 368).

2.2.2 Arbitrariness (Kesewenang - Wenangan)

Dimensi kedua korupsi, kesewenang-wenangan, didefinisikan oleh Rodriguez et al.


(dalam Pillay 2010 : 368) sebagai 'tingkat yang melekat ketidakjelasan terkait dengan
transaksi korupsi di negara tertentu atau negara. Kegiatan korupsi muncul ketika agen
bertindak dalam kepentingan mereka sendiri untuk memaksimalkan personal mereka dan
mendapatkan dengan mengabaikan efek pada orang lain (Doh et al., dalam Pillay 2010 : 368).
Tingginya tingkat sewenang-wenang korupsi yang ditandai dengan ketidakpastian tentang
besaran, target dan jumlah transaksi korupsi yang diperlukan untuk mendapatkan persetujuan
(Rodriguez dalam Pillay 2010 : 368), dan di suatu negara di mana kesewenang-wenangan
tinggi dan besarnya penyebaran korupsi biasa terjadi, pejabat menikmati kekuasaan membuat
kebijakan yang luas, (penyebabnya) sebagai akibat dari ketidakjelasan dalam sifat pelayanan
publik. Sebagaimana kegiatan korupsi menjadi tidak menyebar dan sewenang-wenang.
Namun, besarnya penyebaran dan kesewenang-wenangan tidak selalu hidup
berdampingan. Di beberapa negara, korupsi bisa menyebar tapi tidak sewenang-wenang; di
negara lain, sebaliknya bisa terjadi; dan, tentu saja, dalam beberapa kasus korupsi dapat
menjadi menyebar dan sewenang-wenang. Doh et al. (dalam Pillay 2010 : 368) mengutip
kasus Indonesia dan Rusia sebagai negara yang memiliki dimensi keduanya yaitu korupsi
menyebar dan sewenang-wenang. Dalam kasus tersebut, korupsi mampu menangkap aspek
penting dari budaya nasional masyarakat, yang mencerminkan bagaimana pengaturan
kelembagaan yang dibentuk oleh budaya nasional suatu negara tersebut.

Kesewenang-wenangan juga menawarkan peluang bagi agen untuk menegaskan


kekuasaan berubah-ubah atas masyarakat. Dalam konteks bangsa yang kecil dan berkembang,
pemerintah sering memiliki monopoli atas penyediaan barang dan jasa tertentu melalui
BUMN (Sung, dalam Pillay 2010 : 368), dan monopoli ini memiliki efek buruk pada
transparansi dalam penyediaan semua atau beberapa layanan publik. Dalam keadaan seperti
ini, itu bisa sangat baik bahwa pejabat pemerintah memiliki kekuasaan yang sewenang-
wenang atas spesifikasi kontrak, harga dan tender. Kekuasaan diskresi seperti di tangan
pejabat publik menciptakan peluang untuk korupsi. Menurut Sung (dalam Pillay 2010 : 368),
pelaksanaan kebijakan dan peraturan yang meningkatkan kebijaksanaan pemerintah dalam
distribusi dan konsumsi barang dan jasa mendorong transaksi korupsi.

dalam kontrak jika budaya nasional suatu negara ditandai dengan proses demokrasi,
pers bebas, pengadilan yang independen, aturan hukum, organisasi sukarela, debat politik
yang terbuka, dan partisipasi masyarakat sipil, kemungkinan dan tingkat tindakan sewenang-
wenang mungkin sekali berkurang . Hal ini telah ditegaskan oleh saran Lord Acton bahwa
demokratisasi harus mengurangi korupsi (Werlin, dalam Pillay 2010 : 369).

Implikasinya adalah juga bahwa pemerintah yang ingin memberantas korupsi harus
mengekang monopoli, membatasi kebijaksanaan dan lembaga proses demokratis dan
transparan untuk meningkatkan tanggumg jawab. Namun, menerapkan saran ini dalam
beberapa konteks sosial sama sekali tidak mudah. Beberapa ahli telah mencatat (Kragh dan
Djursaa, 2006; Xin dan Rudel, 2004, dalam Pillay 2010 : 369), bentuk kelembagaan yang
mencegah korupsi lebih baik dipahami daripada konteks masyarakat yang sebenarnya lebih
besar yang mendorong atau mencegah korupsi.
2.3 Dimensi Budaya Nasional

Budaya merupakan faktor penting dalam praktik korupsi di dalam masyarakat. Dalam
sebuah budaya terdapat norma – norma sosial yang diikuti oleh seluruh anggota masyarakat.
Hal ini menyebabkan tindakan dan perilaku masyarakat mengikuti budaya yang ada di
lingkungan sosialnya. Pengaruh budaya terhadap lembaga – lembaga sosial sangat besar.
Lembaga – lembaga sosial memiliki fungsi – fungsi yang berbeda dan fungsi tersebut
dipengaruhi oleh budaya yang ada di masyarakat. Fungsi – fungsi yang dimiliki oleh lembaga
– lembaga sosial ini yang melegitimasi lembaga – lembaga sosial tersebut dan perilaku
individu yang ada di dalam lembaga tersebut, termasuk praktik korupsi. Hal inilah yang
menyebabkan praktik korupsi banyak dipengaruhi budaya nasional yang merupakan faktor
makro.

Budaya nasional yang berbeda di setiap negara menghasilkan praktik korupsi yang
berbeda pula. Hal ini dikarenakan praktik korupsi menyesuaikan diri dengan budaya nasional
yang berkembang di suatu negara.

Budaya nasional yang memengaruhi praktik korupsi di suatu negara, menghasilkan


sepuluh proposisi yang berbeda. Sepuluh proposisi tersebut berhubungan dengan dimensi
korupsi, yakni penyebaran dan kesewenang – wenangan. Proposisi ini menghasilkan hubugan
antara dimensi budaya nasional dengan dimensi korupsi.

2.3.1 Power Distance (Jarak Kekuasaan)

Dimensi budaya nasional yang pertama adalah power distance/jarak kekuasaan. Jarak
kekuasaan adalah jarak yang terjadi akubat adanya distribusi kekuasaan yang tidak merata
antara atasan dan bawahan. Ketimpangan kekuasaan yang dimiliki menyebabkan adanya
jarak antara atasan dan bahwahan pada suatu lembaga.

Pada suatu lembaga biasanya terdapat jarak kekuasaan antara atasan dan bawahan.
Atasan memegang kekuasaan yang lebih besar daripada bawahan. Akibatnya, atasan
memiliki wewenang yang lebih besar dalam mengatur perilaku bawahan dan distribusi
sumberdaya dalam suatu lembaga.

Besarnya jarak kekuasaan yang terjadi pada suatu lembaga, akan membuat atasan
enggan dalam memberikan kekuasaan kepada bawahan. Jarak antara atasan dan bahwahan
terkesan semakin jauh dan menyebabkan bawahan akan semakin sulit dalam berhubungan
dengan atasan. Sulitnya hubungan antara bawahan dengan atasan menyebabkan kontrol
terhadap atasan semakin kecil. Hal ini menyebabkan atasan akan semakin mudah dalam
melakukan praktik korupsi. Hal ini biasanya terjadi pada suatu negara yang pemerintahannya
tersentralisasi.

Praktik korupsi yang terjadi akibat adanya jarak kekuasaan yang begitu besar biasanya
berupa nepotisme dan favoritisme. Nepotisme terjadi karena atasan memegang kekuasaan
yang besar dalam distribusi sumber daya sehingga dengan bebas untuk mengangkat
seseorang untuk berada ada posisi tertentu, biasanya merupakan anggota keluarganya.
Favoritisme terjadi karena dengan adanya jarak kekuasaan yang besar, atas akan dengan
mudah mengutamakan seseorang dalam melakukan distribusi sumber daya. Hal ini membuat
kebijakan yang diambi menjadi tidk adil.

Jarak kekuasaan yang kecil akan menghambat terjadinya korupsi. Negara – negara yang
jarak kekuasaannya kecil (seperti : Denmark, Finlandia, Selandia Baru, dan Australia) akan
memiliki struktur organisasi yang cenderung datar. Hal ini menyebabkan kekuasaan yang ada
terdistribusi dengan sempurna sehingga memperkecil ketimpangan kekuasaan. Adanya
struktur di dalam lembaga hany berupa perbedaan peran saja. Pemerintahannya lebih bersifat
desentralisasi. Hal ini membuat masing – masing individu memiliki tanggung jawab terhadap
apa yang dia kerjakan karena kontrol antara atasan dan bawahan cenderung kuat.

Di Indonesia jarak kekuasaan masih tinggi tertuma pada masa rezim Orde Baru.
Kekuasaan pada saat itu terpusat kepada presiden yang pada saat tu dipegang oleh Soeharto.
Banyak keluarga presiden dan teman dekat presiden menduduki jabatan politis. Nepotisme
semakin besar dilakukan. Favoritisme dilakukan kepada pengusaha – pengusaha yang
memiliki proyek yang menguntungkan bagi pemerintah. Sejak masa Reformasi, jarak
kekuasaan dibuat sedikit berkurang dengan adanya desentralisasi kekuasaan melalui otonomi
daerah. Hal tersebut bukan berarti mengurangi praktik korupsi di Indonesia. Korupsi masih
terjadi karena terdapat jarak kekuasaan baru yang terletak kepada pemerintah daerah dalam
mengelola sumber daya alam.

Jarak kekuasaan menghasilkan proposisi sebagai berikut:

Proposisi 1, kesewenang – wenangan korupsi akan semakin tinggi jika jarak


kekuasaan semakin besar.
Poposisi 2, penyebaran korupsi akan berkurang jika jarak kekuasaan semakin
rendah.

2.3.2 Uncertainty Avoidance (Menghindari Ketidakpastian)

Dimensi budaya nasional yang kedua adalah uncertainty avoidance/menghindari


ketidakpastian. Menghindari ketidakpastian adalah sejauh mana pihak – pihak merasa tidak
aman terhadap suatu ketidakpastian.

Praktik korupsi menghasilkan ketidakpastian. Praktik korupsi merupakan tindakan yang


illegal. Tidak ada jaminan dalam melakukan praktik korupsi. Hal ini menimbulkan resiko dan
ketidakamanan bagi individu yang melakukannya.

Negara – negara yang memiliki rasa menghindari ketidakpastian yang rendah (seperti,
Denmark dan Swedia) akan banyak mengambil resiko dalam melakukan praktik korupsi.
Mereka melakukan praktik korupsi walaupun tahu bahwa praktik korupsi itu merupakan
illegal dan memiliki jaminan sehingga menimbulkan ketidakamanan. Hal ini berarti mereka
masih bisa berkompromi dengan rasa tidak aman yang terjadi jika melakukan praktik korupsi.

Negara – negara yang memiliki rasa menghindari ketidakpastian yang tinggi (seperti :
Jerman, Jepang, dan Spanyol) akan menghindari dalam melakukan praktik korupsi. Praktik
korupsi merupakan tindakan illegal yang melawan hukum sehingga harus dihindari agar tidak
mendapat hukuman. Hal ini berarti mereka merasa tidak aman dalam melakukan praktik
korupsi dan menghindari resiko yang ditimbulkannya.

Di Indonesia rasa menghindari ketidakpastian masih kecil. Hal ini terlihat dari
banyaknya pejabat negara yang melakukan korupsi. Padahal undang – undang tindak pidana
korupsi dan lembaga yang bertuga dalam memberantas korupsi sudah dibentuk. Namun para
pejabat negara tetap melakukan korupsi dengan mengambil resiko yang ditimbulkannya.
Bahkan pejabat yudikatif juga banyak yang melakukan tindakan korupsi (seperti kasus Akil
Mochtar/mantan ketua MK). Padahal pejabat yudikatif dinilai lebih paham pada hukum yang
berlaku di Indonesia.

Menghindari ketidakpastian ini menghasilkan proposisi sebagai berikut :

Proposisi 3, menghindari ketidakpastian yang tinggi akan menyebabkan


kesewenang – wenangan korupsi rendah.
Proposisi 4, menghindari ketidakpastian yang tinggi akan menyebabkan
penyebaran korupsi menjadi berkurang.

2.3.3 Individualism/Collectivism (Individualisme/Kolektivisme)

Dimensi budaya nasional yang ketiga adalah individualism/collectivism


(individualisme/kolektivisme). Individualisme/kolektivisme adalah sejauh mana kehidupan
individu diintegrasikan pada kehidupan kelompok. Pada suatu lembaga, individu akan
memiliki posisi yang individualisme atau kolektivisme, tergantung pada bagaimana individu
memaknai lembaganya.

Apabila individu memiliki rasa kolektivitas maka dia akan taat, setia, dan berperilaku
sesuai dengan norma dan tugas – tugas yang dibebankan kepada individu dalam lembaganya.
Kepentingan kelompok akan berada di atas kepentingan pribadi. Individu akan terlebih
dahulu mencapai tujuan kelompok daripada tujuan pribadi.

Pada masyarakat yang memiliki kolektivitas yang menghambat terjadinya praktik


korupsi akan menjadi baik karena masyarakat memiliki norma – norma yang menghambat
individu untuk melakukan praktik korupsi. Namun, jika suatu masyarakat tidak memiliki
kolektivitas yang menghambat terjadinya korupsi, hal itu akan membuat praktik korupsi
semakin tumbuh subur. Korupsi akan mudah terjadi. Individu melakukan orupsi untuk
membantu anggota kelompok yang lain. Individu melakukan korupsi karena anggota
kelompok lain juga melakukan korupsi sehingga dia takut terlihat berbeda dengan yang lain.

Seperti di Indonesia kolektivitas dalam melakukan praktik korupsi banyak terlihat.


Praktik korupsi yang dilakukan banyak yang merembet ke banyak pihak. Seperti kasus
korupsi Nazaruddin yang melibatkan banyak anggota dari Partai Demokrat. Anggota partai
yang terlibat bergotong royong agar korupsi menjadi lebih mudah dilaksanakan.

Individualisme terjadi apabila individu merasa sebagai independen yang tidak terikat
dengan kelompoknya. Pemahaman individu terhadap kelompoknya terikat pada
pemahamannya sendiri. Hak – hak individu lebih diutamakan. Individu yang melakukan
korupsi untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Individu menganggap kelmpoknya sebagai
alat untuk meraih tujuan pribadi. Kelompok banyak dipengaruhi oleh kepentingan individu
saja.
Seperti di Indonesia, individualisme terlihat dalam melakukan korupsi. Banyak kasus
korupsi dilakukan untuk kebutuhan pribadi yaitu kekuasaan. Seperti kasus suap Pilkada
Kabupaten Gunung Mas yang dilakukan oleh Hambit Bintih. Dia melakukan korupsi agar
mampu menduduki jabatan sebagai bupati.

Individualisme/kolektivisme menghasilkan proposisi sebagai berikut :

Proposisi 5, kesewenang – wenangan ditingkatkan oleh individualitas.


Proposisi 6, penyebaran korupsi ditingkatkan oleh kolektivitas.

2.3.4 Masculinity/Femininity (Maskulinitas/Femininitas)

Dimensi budaya nasional yang keempat adalah masculinity/femininity


(maskulinitas/femininitas). Maskulinitas/femininitas mengacu pada distribusi emosional dan
peran masyarakat yang berhubungan dengan jenis kelamin. Nilai yang dominan pada
maskulinitas adalah keberhasilan dan uang, sedangkan nilai yang dominan pada femininitas
adalah kualitas hidup dan kepedulian.

Negara dengan maskulinitas tinggi (Jerman, Venezuela, Amerika, Jepang) menekankan


keuntungan, kemajuan, dan pengakuan. Budayanya adalah kekuasaan, kekayaan, dan status.
Kebijakan publik akan menekankan pada keuntungan yang didapat sehingga dapat
meningkatkan kedudukan negaranya. Korupsi yang dilakukan diorientasikan kepada
keunungan berupa kekayaan. Budaya maskulin yang kurang cenderung melakukan kesalahan
dalam transaksi bisnis dan etika toleransi yang menimbukan kondisi yang baik dalam
penyebaran korupsi.

Budaya femininitas yang tinggi (norwegia finlandia swedia) cenderung mnekankan


kerjasama. Menyelesaikan konflik melalui negoisasi dan kompromi. Femininitas cenderung
menghasilkan praktik korupsi yang tinggi. Adnya toleransi yang tinggi menyebabkan pelaku
korupsi akan mendapatkan sanksi yang ringan. Hal ini karena negosiasi dilakukan dalam
menyelesaikan konflik. Hal ini juga berlaku di negara Indonesia

Maskulinitas/femininitas menghasilkan proposisi sebagai berikut :

Proposisi 7, kesewenang – weangan ditingkatkan melalui budaya femininitas.


Proposisi 8, penyebaran korupsi ditingkatkan melalui budaya femininitas.
2.3.5 Time Orientation (Orientasi Waktu)

Dimensi budaya nasional yang kelima adalah time orientation/orientasi waktu.


Orientasi waktu berhubungan dengan waktu yang digunakan untuk mengambil keuntungan
korupsi.

Korupsi jangka panjang memungkinkan korupsi dilakukan dengan keuntungan yang


tertunda untuk waktu lain dan memikirkan keamanan dalam melakukannya. Korupsi jangka
pendek dilakukan agar keuntungan cepat dapat diterima dan resiko yang diambil lebih besar.

Di Indonesia korupsi yang dilakukan cenderung korupsi jangka pendek. Korupsi yang
banyak dilakukan adalah suap dan penggelembungan harga. Hal ini dilakukan karena dapat
memberikan keuntungan yang cepat walaupun mudah untuk terdeteksi KPK melalui transaksi
yang dilakukan.

Orientasi waktu menghasilan proposisi sebagai berikut :

Proposisi 9, korupsi jangka pendek untuk kesewenang – wengangan.


Proposisi 10, korupsi jangka panjang untuk penyebaran korupsi.
BAB III

Penutup

3.1 Kesimpulan

Dimensi korupsi terdiri dari dua yaitu : kesewenang – wenangan dan penyebaran.
Kesewenang – wengangan adalah tindakan pelaku korupsi yang sesuai dengan keinginannya
dalam melakukan korupsi, sedangkan penyebaran adalah menyebarnya korupsi akibat
pemerintah yang menyalahi wewenang, agen termotivasi untuk memberikan suap, dan rakyat
sebagai subjek yang lemah yang semakin melanggengkan korupsi.

Dimensi budaya nasional terdiri dari lima hal. Pertama jarak kekuasaan yang
diakibatkan distirbusi kekuasaan tidak merata. Kedua menghindari ketidakpastian terhadp
tindakan yang illegal dan tidak aman. Ketiga rasa individualitas dan kolektivitas individu
terhadap kelompoknya. Keempat maskulinitas dan femininitas di suatu negara. Kelima adalah
orientasi waktu dalam melakukan korupsi.

Hubungan antara dimensi korupsi dan budaya nasional mengahasilkan sepuluh


proposisi yaitu :

Proposisi 1, kesewenang – wenangan korupsi akan semakin tinggi jika jarak


kekuasaan semakin besar.
Poposisi 2, penyebaran korupsi akan berkurang jika jarak kekuasaan semakin rendah.
Proposisi 3, menghindari ketidakpastian yang tinggi akan menyebabkan kesewenang
– wenangan korupsi rendah.
Proposisi 4, menghindari ketidakpastian yang tinggi akan menyebabkan penyebaran
korupsi menjadi berkurang.
Proposisi 5, kesewenang – wenangan ditingkatkan oleh individualitas.
Proposisi 6, penyebaran korupsi ditingkatkan oleh kolektivitas.
Proposisi 7, kesewenang – weangan ditingkatkan melalui budaya femininitas.
Proposisi 8, penyebaran korupsi ditingkatkan melalui budaya femininitas
Proposisi 9, korupsi jangka pendek untuk kesewenang – wengangan.
Proposisi 10, korupsi jangka panjang untuk penyebaran korupsi.
Daftar Pustaka

Pillay, Somma et all. 2010. Linking Cultural Dimensions with the Nature of Corruption : An
Institutional Theory Perspective. International Journal of Cross Cultural Management
2010 10 : 363

Anda mungkin juga menyukai