Tesis Hukum Islam PDF
Tesis Hukum Islam PDF
Tesis Hukum Islam PDF
TESIS
Oleh:
MARDI CANDRA
NIM. 08800-249
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1423 H/2002 M
بسم هللا الرحمن الرحيم
يرفع هللا الذين امنوا منكم
والذين أوتوا العلم درجات
{۱۱: } المجادلة
Terhadap Alat Bukti Qarinah). Maksud dari judul ini adalah untuk meneliti secara lebih
mendalam mengenai eksistensi alat bukti qarinah dalam hukum Islam serta sejauh
suatu perkara, sementara itu qarinah yang merupakan salah satu dari alat bukti belum
menciptakan konstatering yang tidak tepat. Dalam hal ini penulis ingin meneliti lebih
jauh, dimanakah kekuatan alat bukti qarinah, serta dalam kasus-kasus apa saja dapat
dengan melakukan upaya eksplorasi data yang bersifat verbal bersumberkan dari
maupun komparatif.
Hasil dari penelitian yang penulis lakukan dapat disimpulkan bahwa, alat bukti
qarinah dapat dibedakan menjadi qarinah qadha'iyyah yang bersifat bebas dan tidak
mengikat serta qarinah qanuniyah yang bersifat mengikat. Pada prinsipnya qarinah
merupakan alat bukti perantara (intermediary) yang tidak dapat dijadikan sebagai alat
bukti yang berdiri sendiri dan menentukan, kecuali tidak ditemukan alat bukti lainnya
serta tidak ada bantahan atau perlawanan terhadap alat bukti qarinah.
i
KATA PENGANTAR
Shalawat beserta salam, penulis kirimkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang
telah menuntun umat manusia ke jalan yang benar, untuk memperoleh kebahagiaan
Tesis ini tidaklah selesai begitu saja tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk
itu penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua
penulis, Nasaruddin dan Nismawati Jakh, yang atas asuhan, bimbingan, dorongan serta
kasih sayang mereka penulis dapat menempuh jenjang pendidikan seperti sekarang ini.
Begitu pula penulis tak dapat melupakan kesetiaan dan ketabahan hati isteri penulis,
penulis menjalani studi di Program Pascasarjana. Demikian juga anak tersayang Tifany
Maulida Candra, yang secara terpaksa harus menyesuaikan hidup sebagai anak dari
seluruh sanak famili yang telah memberikan bantuan moril dan materil.
1. Bapak Prof. DR. H. Nasrun Haroen, MA dan DR. H. Yaswirman, MA, yang telah
2. Bapak Direktur, Asisten Direktur dan seluruh Staf Program Pascasarjana IAIN
Imam Bonjol Padang, yang telah memberikan arahan dan pelayanan yang sebaik-
ii
3. Bapak Rektor IAIN Imam Bonjol Padang, yang telah memberikan dukungan dan
4. Bapak Menteri Agama RI dan Ketua Pengadilan Tinggi Agama Padang, yang telah
memberikan izin dan kesempatan belajar kepada penulis untuk mengikuti Program
Pascasarjana.
5. Kepala dan segenap karyawan perpustakaan IAIN Imam Bonjol Padang, yang
ini.
6. Berbagai pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah
Semoga segala bantuan, bimbingan serta jerih payah dari berbagai pihak akan
menjadi amal saleh di sisi Allah SWT dan memperoleh balasan yang berlipat ganda.
Disadari sepenuhnya bahwa tulisan ini tidak luput dari kekurangan, karenanya
diharapkan pada semua pihak untuk memberikan masukan dan kritikan yang sifatnya
konstruktif demi kesempurnaan tulisan ini. Akhirnya kepada Allah SWT dimohonkan
Penulis,
MARDI CANDRA
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iv
BAB I ............................................................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1
B. Rumusan dan Batasan Masalah .......................................................................... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................................................... 7
D. Definisi Operasional........................................................................................... 7
E. Metode Penelitian............................................................................................... 8
F. Review Kepustakaan ........................................................................................ 10
G. Sistematika Penulisan ...................................................................................... 14
BAB II ........................................................................................................................ 16
A. Pengertian Pembuktian..................................................................................... 16
B. Asas Pembuktian .............................................................................................. 20
C. Sistem Pembuktian ........................................................................................... 25
D. Beban Pembuktian ........................................................................................... 30
E. Hal-Hal yang Tidak Memerlukan Pembuktian ................................................ 38
BAB IV ....................................................................................................................... 94
A. Pengertian Alat Bukti Qarinah ......................................................................... 94
B. Kriteria dan Macam-Macam Alat Bukti Qarinah............................................. 97
C. Kedudukan Alat Bukti Qarinah ...................................................................... 111
D. Alat Bukti Qarinah Dalam Perspektif Hukum Islam ..................................... 127
iv
BAB I
PENDAHULUAN
perkara di Pengadilan. Selain itu, pembuktian yang benar dan baik akan menjamin
keadilan putusan hukum. Asas pembuktian dalam hukum Islam banyak dijumpai di
dalam al-Qur'an dan hadits Rasulullah SAW. Di antaranya adalah, hadits yang
لويعطى الناس بدعوامه الدعی: عن ابن عباس أن النيب صل هللا عليه وسمل قال
1{{انس دما رجال و امواهلم ولكن الميني عل املدعى عليه }رواه مسمل
Menurut riwayat al-Baihaqi dari hadits Ibn Abbas juga dengan sanad yang
1
Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Nisabury, Shahih Muslim (Beirut, Dar al-Fikr, 1993 M) Juz
II h. 120
2
Bersambungnya sanad (muttasil) merupakan salah satu syarat untuk terjaminnya kesahihan sebuah
hadits, yaitu masing-masing perawi pada setiap tingkat sanad saling berjawab dalam hal menerima dan
menyampaikan hadits, dan sanad merupakan jalan untuk sampai pada matan hadits. Lihat Muhammad
Mustafa A'Zami, Manhjai al-Naqd 'Inda alMuhaddisin Nasyatuhu wa tarikhuhu, (t.tp, Muktabah al-
Kausar, tt), h.31
3
Husain Ibn Ali al-Baihaqy, Sunan al-Kubra, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), juz X, h. 252
1
2
Hukum Islam sangat respon terhadap eksistensi dan realitas kebutuhan hukum
menegakkan kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain Ia tidak sekedar mengatur tapi
Dalam hukum Islam terkandung nilai-nilai fitriyah yang senantiasa berlandaskan pada
prinsip-prinsip hukum Islam yang tidak bisa dirubah, dalam hal ini termasuk kategori
syari'at yang bersifat tsabat (konstan, tetap), artinya tetap berlaku universal sepanjang
zaman. Bidang ini meliputi segala tatanan qat'iyah dan merupakan jati diri hukum
Islam.
fundamental. Di antara nilai-nilai dalam dimensi ini adalah apa yang dirumuskan
tujuan hukum Islam (maqashid al-syari'ah), yaitu kebahagiaan manusia yang dapat
nilai kebahagiaan tersebut bersifat abstrak (in abstracto) yang harus direalisasikan
Di samping nilai-nilai fundamental, ada juga hukum Islam dalam kategori Fiqh
yang bersifat murunah (fleksibel, elastis), tidak (harus) berlaku universal. Nilai
instrumental ini terkandung dalam proses pengamalan ajaran Islam di bidang hukum
yang pada hakikatnya merupakan transformasi nilai hukum Islam in abstracto menuju
nilai-nilai in concreto. Proses transformasi ini sering disebut sebagai proses operasional
4
Albnu al-Qayyim al-Jauziyah, I'lam al-Muwaqi'in 'an Rabbil Alamin, (Mesir, Mathba'ah Sa'adah, tt), h.
14
3
atau aktualisasi hukum Islam dalam kehidupan masyarakat. Pada tingkat inilah
Dimensi fiqh yang disebut terakhir ini, merupakan hukum Islam yang bersifat
adaptif, artinya dapat menerima nilai-nilai baru dan nilai-nilai luar yang berkembang
sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perubahan zaman.5 Perkembangan zaman dalam
konteks yang sesungguhnya memang tidak bisa dihindari, yang pada akhirnya
mendapat perhatian serius, hal ini dimaksudkan untuk menjamin penerapan hukum
Selanjutnya yang paling prinsip dari suatu pembuktian adalah keberadaan alat
bukti, yang memiliki perspektif yang berbeda di antara masing-masingnya, dan ada di
antara alat bukti yang belum jelas batasannya seperti alat bukti qarinah, yaitu alat bukti
yang merupakan tanda-tanda yang dipahami oleh Hakim yang menunjukan kebenaran.6
5
Lihat al-Qariy Ahmad Bin Abdullah, Majallah al-Ahkam al-Syar'iyyah (Jeddah, Tihamah Mathbu'ah,
1981), h. 39
6
Mahmud Syaltout dan Muhammad Ali as-Sayis, Mugarranah al-Madzahib Fi al-Fiqh, (Beirut, Dar al-
Fikr, 1978), h.289
4
Para ulama telah sepakat bahwa Hakim tidak boleh memutuskan hukuman
kecuali apabila telah ada bukti-bukti yang meyakinkan. Mereka juga sepakat bahwa
syara' yang dapat dipegang oleh Hakim dalam memutuskan perkara dan menetapkan
berdasarkan qarinah.
kitab para imam dapat melihat bahwa mereka sepakat tentang mengambil qarinah pada
umumnya, tetapi mereka berbeda pendapat dalam merinci qarinah-qarinah dan dalam
menentukan bidang mana serta kasus-kasus mana saja yang dapat diputuskan
berdasarkan qarinah.
peradilan (al-Qadha) yang ada pada masa Rasul masih sederhana dan masih
merupakan bagian integral pemerintahan umum (wilayah alammah),8 kondisi ini terus
7
Ibid.,
8
Muhammad Salam Madkur, op.cit. h. 21. Lihat juga Ati'ah Mustafah Musrifah, al-Qadha' Fi al-Islam,
(t. tp. tt), h. 90
9
Lihat Hasbi Ashshiddieqi, peradilan dan Hukum Acara Islam (Yogyakarta al-Ma'arif, 1964), h. 25
10
Terjadi pada pertengahan fase keemasan Daulah Abassiyah setelah berkembangnya epidemi
pesimistik dalam Mazhab. Lihat Abdul al-Rahman Ibrahim, abdul al-Azis al-Humaidi, al-Qadha' wa
Nizamuhu Fi al-Kitab wa as-Sunnah, (Kairo, Ma'had alBuhus al-Ilmiah, 1989) h. 282
5
pernyataannya “hukum dalam teori klasik adalah kehendak Tuhan yang diwahyukan,
sebuah sistem yang disusun secara ketuhanan, mendahului dan tidak didahului oleh
peluang untuk menerapkan kebutuhan hukum masyarakat. Berangkat dari hal yang
demikian itulah menurut Bismar Siregar, bahwa hakim tidak memutus atas dasar
hukum saja apalagi hanya yang tertulis, tapi juga yang tidak tertulis.12 Hal ini juga
Akhirnya, masalah ini semakin menarik dan signifikan untuk dibahas, selain
sudah pernah dipraktekkan dalam sejarah hukum dan peradilan, qarinah juga dianggap
mampu menjawab tantangan hukum dalam hal pembuktian di depan pengadilan. Akan
tetapi yang menjadi persoalan, adalah sampai di mana batasan qarinah itu, apa
kriterianya, bagaimana sifat maupun bentuknya serta apakah qarinah tanpa alat bukti
lain dapat dijadikan dasar pemutus, selanjutnya dalam kasus apa saja dapat diterapkan
alat bukti qarinah. Semua persoalan ini akan penulis teliti dan jawab dalam sebuah
karya ilmiah dengan judul Pembuktian dalam Perspektif Hukum Islam (Analisis
11
N.J. Coulson, A History of Islamic Law, (Edinburgh, Islamic Surveys, No.2,1964), h. 2
12
Bismar Siregar, Pembaharuan Hukum Pidana Nasional dan Prospek Hukum Islam di Dalamnya, baca
Tjun Sujarman (ed)., Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktek, (Bandung, Remaja Rosda Karya,
1994), h. 2
6
Berdasarkan uraian tentang latar belakang masalah di atas, masalah pokok yang
hendak diteliti dan dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimana kriteria, sifat maupun
bentuk qarinah yang dapat dijadikan alat bukti, dan apakah qarinah tanpa bukti lain
dapat dijadikan dasar pemutus, kemudian dalam kasus apa saja dapat diterapkan alat
bukti qarinah.
berikut:
1. Bagaimana sistem pembuktian dan alat bukti dalam perspektif hukum Islam
2. Bagaimana pula refleksi alat bukti qarinah, kapan munculnya, sampai di mana
wawasan atau cakupannya, apa objeknya serta di mana kelebihan dan kekurangan
3. Selanjutnya dibahas juga konsepsi alat bukti qarinah dalam perspektif hukum
Islam yang mencakup batasan alat bukti qarinah, kriterianya, sifat, dan bentuk alat
bukti qarinah kemudian dibahas juga alat bukti qarinah tanpa alat bukti lain,
apakah bisa menjadi dasar pemutus suatu perkara, artinya bisakah alat bukti
qarinah menjadi alat bukti yang berdiri sendiri tanpa didukung alat bukti lainnya.
4. Kemudian ditelaah juga kedudukan alat bukti qarinah dalam Hukum Islam.
7
1. Tujuan Penelitian
mana alat bukti qarinah dapat diterapkan sebagai alat bukti serta sampai dimana
2. Kegunaan Penelitian
bagi penulis dalam menekuni studi hukum Islam khususnya dalam bidang hukum
pembuktian.
D. Definisi Operasional
Dalam kajian ini digunakan beberapa term yang mempunyai makna khas
pembuktian itu adalah suatu cara meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil atau
Sedangkan qarinah secara bahasa berarti indikasi atau tanda.15 Secara istilah
qarinah berarti tanda yang menunjukkan ada atau tidak adanya sesuatu atau hal-hal
13
Anton M. Mulyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1995), h. 152
14
R. Subekti, op. cit., h. 1
15
Abdul Karim Zaidan, op.cit, h. 219
8
yang mempunyai hubungan atau pertalian yang erat sedemikian rupa sehingga
memberikan petunjuk.16
menunjukkan ada atau tidak adanya sesuatu yang meyakinkan hakim untuk
E. Metode Penelitian
dimana penulis melakukan upaya eksplorasi data yang bersifat verbal yang
komparatif.
seyogianya selalu mengaitkanya dengan arti-arti yang mungkin dapat diberikan pada
Pendekatan ini merupakan suatu proses kajian dan telaahan kritis terhadap putusan-
putusan hukum di masa lampau yang dapat disebut dengan Yurisprudensi, sehingga
16
Ibid.,
17
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, Ul-Press, 1986), cet. 3, h.43
9
dapat melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai satu kesatuan waktu,
tempat dan budaya di mana suatu peristiwa terjadi.18 Selanjutnya, juga diterapkan pola
pikir reflektif dengan cara meneliti perkembangan dan pengaruhnya terhadap suatu
pembuktian.
ini. Di samping itu juga dilakukan analisis terhadap ayat-ayat al-Qur'an dan juga al-
Hadits yang berkaitan dengan tulisan ini dengan melalui studi tematik.
Sebagai sumber utama dan dasar titik pijak dalam penelitian ini tidaklah akan
hukum) berikut seperangkat kitab-kitab tafsir dan hadits yang terkait, serta buku-buku
karya ulama, teoritis dan praktisi hukum Islam seperti al-Tasyri' al-Jina'i al-Islami
Mahmud Syaltut dan Muhammad Ali As-Sayis kitab al-Firasat dan al-Thuruq at
hukum dan peradilan yang berkaitan erat dengan penelitian ini. Di samping itu, untuk
18
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yokyokarta, Roke Sarasin, 1990), h.92
10
mendukung penelitian ini juga dibutuhkan literatur-literatur lain yang berkaitan dengan
F. Review Kepustakaan
praktek baik dalam hukum pidana (Jinayah) maupun hukum perdata. Akan tetapi
dan pertalian ( )الصلة والعالقةdan isteri ()الزوجة,19 indikasi atau tanda ()االمارات و العالمات.20
satu dari berbagai cara pembuktian suatu gugatan yang dapat membantu para penegak
keadilan untuk menyingkap rahasia suatu peristiwa. Lebih dari itu, Mahkamah-
mahkamah Syar'iyah di Mesir juga telah menetapakan qarinah sebagai alat bukti,
sebagaimana terdapat dalam peraturan susunan Mahkamah Syar'iyah tahun 1932 pasal
yang pasti”. 21
Zaidan (ahli hukum Islam berkebangsaan Irak) berarti tanda yang menunjukkan ada
19
Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta, unit pengadaan buku
Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren al-Munawir, 1984) h. 1198
20
Abdul Karim Zaidan, Nizham al-Qadha' fi al-Syari'ah al-Islamiyyah (Baghdad, Mathba'ah al-'Ani,
1984) h. 219
21
Mahmoud Syaltout dan Muhammad Ali as-Sayis, op.cit, h. 296
11
atau tidak adanya sesuatu.22 Dapat juga dipahami bahwa qarinah adalah hal-hal yang
mempunyai hubungan atau pertalian yang erat sedemikian rupa sehingga memberikan
petunjuk.
Umpamanya, kelihatan seseorang baru saja keluar dari sebuah rumah dan pada
tangannya ada sebilah pisau yang berlumuran darah, kemudian ternyata dalam rumah
itu ada jenazah tergeletak yang terbunuh dengan tusukan pisau. Maka keluarnya
seseorang yang membawa pisau berdarah dari rumah itu tadi adalah qarinah yang
Contoh lain dari qarinah adalah, seseorang kecurian suatu benda, kemudian
benda itu ditemukan dirumah Fulan, maka hal itu adalah qarinah bahwa pemilik rumah
itu dapat diduga pencuri benda itu, atau setidaknya bisa dituduh ada hubungannya
dengan pencuri seperti sebagai penadah, atau pencuri itu menitipkan benda itu dirumah
Fulan.
(vermoeden) dan dalam hukum acara pidana umum dinamakan dengan petunjuk
(aanwijzingen). Keduanya dipakai sebagai alat bukti di peradilan umum. Akan tetapi
R. Subekti dalam bukunya Hukum Pembuktian menolak persangkaan sebagai alat bukti
dengan alasan bahwa persangkaan itu adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu
peristiwa yang telah “terkenal” atau dianggap terbukti kearah suatu peristiwa yang
22
Abdul Karim Zaidan, op. cit.,
23
R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta, Pradnya Paramita, 2001), h. 45
12
Ada dua bentuk kesimpulan yang ditarik dari qarinah yaitu hakim atau undang-
undang. Bila yang menarik kesimpulan itu hakim, maka persangkaan itu dinamakan
Misal persangkaan hakim, kalau ada dan dapat dibuktikan seorang laki-laki
muda dan seorang perempuan muda dituduh berzina, sedangkan keduanya terbukti
pernah menginap dalam satu kamar di hotel dengan satu tempat tidur, maka dengan
pekarangan, jika terbukti tidak ada perjanjian lain, dianggap oleh undang-undang
pembahasan dan penelitian yang jelas terhadap eksistensi qarinah, apakah qarinah bisa
menjadi alat bukti tanpa didukung oleh bukti-bukti lainnya serta dimanakah batasan
Kalau dengan bukti tulisan atau kesaksian lainnya dilakukan pembuktian secara
langsung, artinya tidak dengan perantaraan alat-alat bukti lain, maka dengan qarinah
ini suatu peristiwa “dibuktikan” secara “tidak langsung”, artinya dengan melalui atau
24
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta, Pradnya, 1992), h.
154
13
وجاء وعىل مقيصه بدم كذب قال بل سو لت لمك انفسمك امر ا فصرب مجيل
}١٨:وهللا املس تعان عىل ما تصفون {يوسف
“Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah
palsu. Ya'qub berkata, sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik
perbuatan (yang buruk) itu, maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku).
Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu
ceritakan”.
antaranya memberikan barang yang hilang yang ditemukan kepada orang yang
3. Khalifah Umar bin Khathab pernah menghukum rajam seorang perempuan yang
hamil padahal ia tidak bersuami dan tidak pula bertuan (maksudnya bukan pula
sebagai alat bukti, akan tetapi ada yang dengan tegas menerimanya dan ada pula yang
tidak tegas.
25
Al-Qurtubi, al-Jami' Li Ahkam al-Quran, (Beirut, Darituya al - Turas al-Arabi 1985) Juz IX, h. 150
26
lbid.,
27
Jalaluddin al-Suyuthy, Muwatho' al-Imam Malik, (Mesir, Musthafa al-Baaby al-Halaby, 1951). Jilid II,
h. 168. Lihat juga Abdul Kadir Audah, at-Tasyri' al-Jina' al-Islami Muqaranah bi al-Qanun al-Wad'i
(Beirut, Mu'asasah ar-Risalah, 1992) Juz II, h. 440
14
Selain itu menurut pengamatan penulis, studi yang secara spesifik mengupas
tentang pembuktian khususnya alat bukti qarinah baru pada taraf sebagai sub kajian
dari kajian pokok yang mereka bahas, belum menjangkau kepada persoalan yang ingin
penulis bahas seperti keberadaan alat bukti qarinah tanpa alat bukti lainnya. Dengan
G. Sistematika Penulisan
Bab I, tentang pendahuluan, didalam bab ini akan dikemukakan tentang dasar-
dasar pembahasan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan dan batasan
mengantarkan pembahasan selanjutnya agar lebih terarah dan sistematis, bab ini
Bab III, penulis akan mengemukakan alat-alat bukti dalam paradigma hukum
Islam dengan uraian alat bukti pengakuan, alat bukti saksi, alat bukti sumpah dan alat
bukti surat.
Bab IV, dilanjutkan dengan kajian konsepsi alat bukti qarinah dalam perspektif
hukum Islam, dalam bab ini akan dibahas pengertian alat bukti qarinah, kriteria,
15
macam-macam, objek dan kedudukan alat bukti qarinah tanpa alat bukti lain serta alat
Bab V, dalam bab ini penulis akan mengakhiri kajian dengan kesimpulan dan
saran-saran dari seluruh uraian ini, kemudian dipaparkan kesimpulan dari pembahasan-
pembahasan sebelumnya dan diakhiri dengan beberapa saran yang relevan dengan
A. Pengertian Pembuktian
yang dikemukakan oleh para pakar hukum. Menurut M. Yahya Harahap, pembuktian
diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal yang masih
berpekara.2
hakim tentang kebenaran dalil atau dalil yang dikemukakan dalam suatu
etimologi berarti keterangan, yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
1
M. Yahya Harahap, Kumpulan Makalah Hukum Acara Perdata, Pendidikan Hakim Senior Angkatan 1,
(Tugu Bogor, 1991), h. 1
2
Ibid.,
3
R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta, Pradnya Paramita, 2001), h. 1
4
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta, Liberty, 1998), h. 1
16
17
menjelaskan yang hak (benar).5 Secara teknis berarti alat-alat bukti dalam sidang
Pengadilan. Dengan demikian dapat juga dipahami, bahwa alat bukti adalah cara atau
etimologisnya. Jumhur ulama fikih mengartikan al-bayyinah secara sempit yaitu sama
Diartikan dengan saksi karena melalui pernyataan saksi, perkara hak menjadi
tampak jelas.7 Menurut Kamal Isa dinamakan bayyinah dikarenakan saksi dapat
mengandung pengertian yang lebih luas dari definisi jumhur yang dapat digunakan
al-Jauziyah sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang hak
(benar) di depan majelis hakim, baik berupa keterangan, saksi dan berbagai indikasi
yang dapat dijadikan pedoman oleh majelis hakim untuk mengembalikan hak pada
pemiliknya.10
5
Abdurrahman Ibrahim Abdul Aziz Al-Humaidi, al-Qadha' Wa Nizamuhu fi al-Kitab Wa al-Sunnah, (al-
Makkah al-Arabiyah al-Saudi, Jani; ah Umm al-Qura, 1989) cetakan I, h. 382
6
Zainuddin Bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fanani, Fath al-Mu'in, Ab. Mooh Anwar, (Bandung, Sinar Baru
Algesindo, 1994), jil. 1, h. 1757
7
lbid.,
8
Kamal Isa, Aqdiyah wa Qudah fi Rihab al-Islam, (t.tp al-Badi al-Adab al-Saqafi, 1987), Cet. I, h. 139
9
Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyah, l'lam al-Muwaqgi'in 'an Rabbil Alamin, (Mesir, Mathba'ah Sa'adah, tt),
jilid I, h. 97 10
10
lbid.,
18
SAW, tidak menyatakan bahwa al-bayyinah itu khusus untuk kesaksian. Al-Qur'an
dan Sunnah hanya menjelaskan bahwa al-bayyinah itu adalah dalil, hujjah dan
keterangan yang dapat dijadikan alasan.11 Pendapat ini juga didasarkan pada sabda
Rasulullah SAW: 12
البينة:عن ابن عباس ريض هللا عهنام ان رسول هللا صىل هللا عليه وسمل قال
}عىل املدعى والميني عىل من انكر {رواه البهيقي
“Dari Ibn Abbas, dari Rasulullah SAW, bersabda: Penggugat harus
mengemukakan alat bukti, sumpah harus dilakukan Tergugat”. (H.R. al-
Baihaqy).
kesaksian untuk menetapkan hak atas diri orang lain.13 Di mana kesaksian (syahadah)
itu diambil dari kata musyahadah yang artinya melihat dengan mata kepala, karena
syahid (orang yang menyaksikan) itu memberitahukan tentang apa yang disaksikan dan
dilihatnya.14
upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa
atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersangkutan melalui alat-alat bukti
11
Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Turuq al-Hukmiyah Fi al-Siyasah al-Syar'iyah, (Beirut, Mu'assasah al-
Arabiyah li al-Tiba'ah Wa al-Nasyr, 1961), h. 12
12
Husain Ibn Ali al-Baihaqy, Sunan al-Kubra, (Beirut, Dar al-fikr, tt), juz X, h. 252
13
Ibn Qayyim al-Jauziyah, op.cit.,
14
Sayyid Sabiq, al-Fiqh al-Sunnah, (Beirut, Dar al-Fikr, 1992), Jilid 14. h. 55
19
Dalam sengketa yang berlangsung dan sedang diperiksa di muka majelis hakim
harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil mana yang benar dan dalil mana yang
tidak benar. Berdasarkan pemeriksaan yang teliti dan seksama, hakim menetapkan
hukum atas suatu peristiwa atau kejadian yang telah dianggap benar setelah melalui
pembuktian sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-
yang diajukan kepada hakim. Para praktisi hukum membedakan tentang kebenaran
yang dicari dalam hukum perdata dan hukum pidana, Dalam hukum perdata, kebenaran
yang dicari adalah kebenaran formil, sedangkan dalam hukum pidana, kebenaran yang
dicari oleh hakim adalah kebenaran materiil.15 Relevan dengan hal ini, al-Humaidi
pembuktian itu adalah untuk meyakinkan hakim atau memberikan kepastian kepada
pembuktian tersebut. Kebenaran formil yang dicari oleh hakim dalam arti bahwa hakim
15
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta, Yayasan
al-Hikmah, 2000), h. 129
16
Abdurrahman Ibrahim Abdul Aziz al-Humaidi, op. cit., h. 388
20
tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh pihak yang berperkara. Jadi baik
kebenaran formil maupun kebenaran materil hendaknya harus dicari secara simultan
B. Asas Pembuktian
Dalam suatu proses perkara salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki
apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak.
Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan
membuktikan dalil dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan
Berbeda dengan asas yang terdapat dalam hukum acara pidana, di mana
seseorang tidak bisa dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali berdasarkan
bukti-bukti yang sah dan hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa.
Dalam hal ini diterapkanlah asas praduga tak bersalah17 atau presumption of innocent.
Asas praduga tak bersalah, ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari segi
sebagai subyek, bukan sebagai obyek pemeriksaan. Karena itu tersangka atau terdakwa
17
Yaitu setiap orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka
sidang Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan Pengadilan yang menyatakan
kesalahan dan memperoleh hukum tetap, lihat UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman Pasal 8.
18
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. (Jakarta, Pustaka Kartini,
1988), h. 39
21
harkat dan martabat harga diri. Di samping itu yang menjadi obyek pemeriksaan dalam
prinsip akusatur adalah kesalahan yang dilakukan oleh tersangka/ terdakwa, pada
Dengan asas praduga tak bersalah yang ditetapkan dalam prinsip pembuktian,
aparat penegak hukum harus menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan yang
hak kemanusiaan dan nilai-nilai keadilan, sebagai mana dinyatakan oleh Rasulullah
قىض رسول هللا صىل هللا عليه وسمل ان اخلصمني:عن عبد هللا بن الزبري قال
}يقعد ان بني يدى احلامك {رواه امحد وابو داود
“Dari Abdullah bin Zubair, ia berkata: Rasulullah SAW memutuskan, bahwa
dua orang yang sedang bersengketa itu hendaknya duduk di hadapan hakim
(HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Duduk di hadapan hakim itu yang dimaksudkan oleh hadits di atas adalah
persamaan derajat dan sejajar antara pihak-pihak yang berperkara.21 Akan tetapi yang
pertama dalam mengajukan alat bukti tetap berada dipihak penggugat, namun
19
Prinsip akusatur pada dasarnya merupakan prinsip yang muncul dan berkembang secara murni
dalam hukum pidana Islam, hal ini dapat dibuktikan dengan sistim pembuktian dalam hukum Islam
yang mengutamakan kebenaran materil daripada kebenaran formal, serta ditetapkannya nilai masing-
masing alat bukti terhadap suatu tindak pidana tertentu. Lihat Abdul Kadir Audah, al-Tasyri' al-Jina'i al-
Islami Muqarranah bi al-Qanun al-Wad'i, (Beirut, Mu'assasah ar-Risalah, 1982), juz. II, n. 571
20
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut Daar al-Fikr, 1994), juz III, h. 293
21
Muhammad Bin Ali Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar, Syarh Muntaqa al-Ikhbar, (Beirut, Dar
al-fikr, 1983) h. 392
22
اذا تقاىض، قال رسول هللا صىل هللا عليه وسمل:عن عىل ريض هللا عنه قال
اليك رجالن فال تقىض لالول حىت تسمع الكم الا خر فسوق تدرى كيف
}تقىض قال عىل مفا زلت قاضيا بعد {رواه امحد وابو داود والرت مذى
“Dari Ali RA, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: Apabila dua orang
meminta keputusan-mu, maka jangan kamu memutuskan kemenangan bagi
pihak pertama sebelum kamu mendapatkan keterangan pihak kedua, setelah itu
kamu akan mengerti bagaimana cara memutuskannya. Kata Ali: Saya
senantiasa menjadi Hakim sesudah itu. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan at-
Tirmizi).
Begitu juga ketika Ali bin Abi Thalib diutus ke Yaman oleh Rasulullah SAW.
Secara eksplisit dari keterangan di atas dapat pula dipahami bahwa pembuktian
itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara dimuka hakim atau
misalnya tergugat membenarkan gugatan penggugat dalam beberapa hal, berarti dalam
konteks ini tidak terjadi persengketaan. Maka hakim tidak perlu lebih jauh lagi
dapat dilihat dalam pasal 1865 BW (Burgerlijk Wetbook), pasal 163 HIR (Het
22
At-Tirmizi, Abu Isa Muhammad, Jami'at Tirmizi, (Kairo; Dar asy-Sya'bi, tt), h. 129
23
Athiyah Musyifah, al-Qadha' fi al-Islam, (Mesir, Dar al-Fikr, tt), h. 23
23
Herzience Indonesie) atau pasal 283 (Rechts Reglement voor de Buitengwesten), yang
bunyi pasal-pasal tersebut sama, yaitu "barang siapa mempunyai sesuatu hak atau guna
membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristiwa, ia diwajibkan
(ketika itu) menyatakan mempunyai suatu hak, yaitu piutang pada B. Selanjutnya di
dipaksa oleh A untuk membuat (adanya ancaman kekerasan melanggar hukum), maka
antaranya yang paling relevan adalah yang dikemukan dalam hadis Rasulullah SAW,
yaitu:25
لو يعطى الناس:عن ابن عباس رىض هللا عهنام ان رسول هللا صىل هللا عليه وسمل قال
بدعو امه الد عى رجال اموال قوم ودماءمه ولكن البينة عىل املدعى والميني عىل
}من انكر {رؤاه البهيقي
“Dari Ibn Abbas R.A sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: seandainya
diberikan kepada orang-orang itu tuntutan mereka, maka sungguh-sungguh
24
K. wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBGHIR, (Jakarta Ghalia Indonesia, 1990), h. 71, lihat juga R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta Pradya Paramita, 1992), h.
397
25
Husain Ibn Ali al-Baihaqy, op. cit., h. 252
24
orang-orang akan menuntut harta dan darah beberapa orang akan tetapi bukti
itu wajib bagi penggugat dan sumpah itu wajib bagi tergugat (HR. al-Baihaqy).
Hadits ini mengandung suatu kaedah yang umum, bahwa gugatan itu
Selain itu, kaidah-kaidah kulliyah ini adalah kaedah-kaedah yang dipakai oleh
Oleh sebab itu, seseorang tergugat dalam kasus apapun tidak bisa dinyatakan
bersalah sebelum adanya pembuktian yang kuat dan meyakinkan bahwa ia bersalah.
saja suatu gugatan yang sebenarnya adalah benar, harus ditolak apabila si penggugat
yang dapat dibuktikan, walaupun bukti itu sebenarnya bukti palsu tapi tidak dapat
dibuktikan kepalsuannya
26
Teungku Muhammad Hasb, Ashshiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang, Pustaka
Rizki Putra, 1997), cet. 1, h.132
27
Lihat Jalal al-Din Abd. Al-Rahman al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha'ir, (Sir ura, Sulaiman Mari, t.t),
h. 48
25
C. Sistem Pembuktian
Sistem Hukum Acara Perdata di Indonesia yang merujuk kepada HIR/ RBG,
dalam memeriksa dan mengadili perkara perdata terikat pada cara-cara tertentu
menurut yang telah diatur di dalam Undang-Undang saja. Namun sistem ini sudah
hanya ditunjuk dalam HIR/RBG, tetapi juga didapat dalam Rsv (Reglement op de
lagi berdasarkan kepada kebenaran formal saja tetapi juga pada kebenaran materil,
artinya walaupun alat bukti telah mencukupi menurut formal dengan alat bukti yang
ditentukan dalam Undang-undang, namun hakim tidak boleh memutus kalau ia tidak
Dalam hal sistem pembuktian ini penulis tidak akan membedakan antara sistem
pembuktian dalam Hukum Acara Perdata dengan sistem Pembuktian dalam Hukum
Acara Pidana. Paradigma ini didasarkan kepada bahwa dalam hukum Islam dan yang
dalam perkara perdata maupun pidana, sudah sejak semula memakai sistem
satu istilah Hukum Acara, yaitu Hukum Acara Islam (al-Hukm al-Murafa'at).
Pendapat ini merupakan induksi dari beberapa logika nash. Lebih dari itu, pada kasus-
kasus tertentu, Allah SWT, dan Rasul-Nya telah langsung menetapkan hukum acara
26
tertentu pada kasus tertentu dalam hal pembuktian. Seperti, pembuktian pada kasus
zina serta tata cara li'an, dan sebagainya yang dibahas pada bab tiga tulisan ini.
pembuktian, namun pembuktian itu harus dinilai atau dalam istilah hukum Islam
dikenal juga dengan tarjihul bayyinah.28 Dalam hal ini Undang-undang dapat
mengikat hakim pada alat-alat bukti tertentu, sehingga ia tidak bebas menilainya,
hakim dalam menilai pembuktian. Misalnya, dalam Hukum Acara Perdata Umum,
terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis hakim terikat dalam penilaiannya,
sebaliknya hakim tidak wajib mempercayai seorang saksi, yang berarti bahwa hakim
menilai pembuktian. Apabila alat bukti dinilai cukup memberi kepastian tentang
peristiwa yang disengketakan untuk mengabulkan akibat hukum yang dituntut oleh
penggugat, kecuali ada bukti lawan, bukti itu dinilai sebagai bukti lengkap atau
sempurna. Jadi bukti itu dinilai lengkap atau sempurna, apabila hakim berpendapat,
bahwa berdasarkan bukti yang telah diajukan, peristiwa yang harus dibuktikan itu
Akan tetapi, selengkap apapun suatu pembuktian bisa saja dilumpuhkan oleh
bukti lawan. Pembuktian lawan adalah setiap pembuktian yang bertujuan untuk
menyangkal akibat hukum yang dikehendaki oleh pihak lawan atau untuk
28
Teungku Muhammad Hasbi Ashshiddieqy, op.cit., h. 134
29
Sudikno Mertokusumo, op. cit., h. 109
27
bukti lawan tidak dimungkinkan terhadap bukti yang bersifat menentukan atau
memutuskan. Bukti yang bersifat menentukan ini adalah bukti lengkap atau sempurna
harus memeriksanya secara cermat, mana alat bukti yang benar dan kuat di antara alat
bukti dimaksud. Dalam hal ini tentu membuka berbagai kemungkinan yang harus
dipastikan.
30
Lihat Pasal 1905 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, R. Subekti, op. cit, h. 403
31
Lihat K. Wantjik Saleh, op.cit., h. 71
28
Peradilan Islam misalnya terdapat beberapa contoh kasus di antaranya adalah tentang
sumpah li'an, seperti yang terdapat dalam al-Qur'an surat al-Nur ayat 6-9, yang
ilustrasinya sebagai berikut: Suami adalah orang yang saleh dan taat beragama, ia
yakin bahwa isterinya telah berzina dan anak yang lahir dari kandungan isterinya itu
adalah bukan anaknya, tetapi suami tidak mampu membuktikannya dengan empat
orang saksi.
tersebut, sehingga suami terlepas dari had qazaf, anak tersebut nasabnya hanya kepada
ibunya, perkawinan keduanya terputus dan isteri terkena had zina. Akan tetapi isteri
dengan sumpah bantahan ini, isteri terhindar dari hukum rajam. Hanya saja karena
isteri dalam hal ini bukan wanita yang taat, sehingga dia tidak peduli dosa besar
ataupun dosa kecil dan tidak peduli sumpah apapun ia berani saja mengucapkannya.
Dari beberapa keterangan ini, bertambah jelas bahwa sistem pembuktian formal
semata-mata akan membawa kepada kekecewaan hukum. Oleh karena itu sistem
pembuktian hukum Islam dengan sistem kebenaran materil adalah sangat tepat.
formal kepada kebenaran materil relevan dengan pergeseran hakim pasif didalam
sistem HIR/RBG kepada hakim aktif menurut UndangUndang no. 14 tahun 1970
Akan tetapi di antara ulama ada yang berpendapat bahwa di dalam hal tarjih al-
bayyinah sebenamya, cukup berpegang pada kaidah umum hadits yakni al-bayyinah
al-mudda'i, diserahkan pada pertimbangan hakim, tidak perlu hakim mengikuti teori-
hukum yang menyatakan bahwa hal yang dapat dibuktikan itu hanyalah kejadian-
adanya hak waris dan sebagainya. Jadi di depan hakim yang harus dibuktikan adalah
hukum yang demikian itu sekarang sudah banyak ditinggalkan, sebab pandangan
ajaran tersebut terlalu sempit, hanya yang dibuktikan itu adalah sesuatu yang dilihat
dengan panca indera saja, tetapi justru banyak hal yang hidup dalam ingatan kita
seperti hak milik, piutang, perikatan dan sebagainya, sehingga barang-barang ini harus
hanya diatur dalam perkara yang bersifat volunter, seperti permohonan mengesahkan
(itsbat) nikah, penetapan asal-usul anak dan cerai talak, tetapi juga dalam perkara yang
bersifat gugatan.
32
Manmasani, Falsafah al-Tasyri' Fi al-Islam, (Mesir, Mathba'ah Sa'adah, tt), h. 299
30
D. Beban Pembuktian
menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus
membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.33 Kemudian dalam pasal 1865
KUH Perdata mempunyai pengertian yang sama dengan pasal tersebut yang
prinsipnya, siapa yang mengakui mempunyai hak, maka ia harus membuktikan adanya
Berdasarkan peraturan tersebut dapat dipahami bahwa yang harus membuktikan atau
dibebani pembuktian adalah para pihak yakni pihak yang berkepentingan didalam
pula tergugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan oleh
penggugat.
berpekara baik penggugat maupun tergugat. Para pihak yang wajib membuktikan
33
Lihat Pasal 163 HIR dan Pasal 283 RBG, K. Wantjik saleh, op. cit, h. 71
34
R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, op. cit, h. 397
31
segala peristiwa, kejadian atau fakta yang disengketakan itu dengan mengajukan alat-
alat bukti yang sah menurut undang-undang. Yang menyatakan bahwa peristiwa,
kejadian atau fakta itu terbukti atau tidak adalah hakim yang menyidangkan perkara
tersebut. Resiko pembuktian pada hakikatnya tidak lain untuk memenuhi syarat
keadilan, agar resiko beban pembuktian itu tidak berat sebelah, maka hakim harus
قىض رسول هللا صىل هللا عليه وسمل ان اخلصمني:عن عبد هللا بن الزبري قال
}يقد ان بني يدى احلا مك {رواه امحد وابو داود
“Dari Abdullah Ibn Zubair ia berkata; Rasulullah SAW memutuskan, bahwa
dua oang yang sedang bersengketa itu hendaknya duduk di depan hakim”. (HR.
Ahmad dan Abu Dawud).
pembuktian yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim dalam memeriksa perkara yang
Menurut teori ini, siapa yang mengajukan sesuatu hal maka ia harus
membuktikannya, bukan pada pihak yang mengingkari atau yang menyangkal dalil
yang diajukan oleh orang yang mengajukan suatu hal itu. Dasar hukum dari teori
ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa segala yang bersifat negatif tidak
35
Abdul Manan, op. cit, h. 132
36
Abu Dawud, op. cit.,
37
Sudikno Mertokusumo, op. cit., h. 111
32
mungkin dapat membuktikannya (negative non sunt probanda). Teori ini juga
menyatakan bahwa peristiwa negatif tidak dapat menjadi dasar dari suatu hak,
sekalipun pembuktiannya mungkin dapat dilakukan dan oleh karena itu tidak dapat
merupakan pelaksanaan hukum subjektif. Dalam hal ini penggugat tidak perlu
didasarkan kepada hukum subjektif. Teori ini terlalu banyak kesimpulan yang
Teori ini juga tidak dapat memberikan solusi terhadap hal-hal yang timbul
dalam masalah pembuktian ini dan teori ini sering menimbulkan ketidak adilan
Umum, teori ini dalam banyak hal mendasarkan operasionalnya pada pasal 1865
BW.38
objektif kepada peristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus
tersebut. Kebenaran peristiwa yang diajukan itu dan Hakim yang memeriksa
ditetapkan oleh hukum objektif ada. Jadi atas dasar ini pula dapat ditentukan beban
pembuktian.
Teori ini juga sudah banyak ditinggalkan oleh para praktisi hukum karena
dalam banyak hal tidak dapat menjawab persoalan-persoalan hukum yang tidak
Inti dari teori ini adalah mencari kebenaran suatu peristiwa terhadap suatu
publik. Oleh karena itu hakim harus diberi kewenangan yang besar untuk mencari
38
R. Subekti, op. cit., h. 397
34
Demikian juga para pihak yang berperkara dalam hal pembuktian ada
kewajiban dengan hukum publik, dengan alat-alat bukti yang sifatnya umum.
Teori ini didasarkan pada asas kedudukan prosesuil yang sama dari pihak-
pihak yang berperkara di muka majelis hakim atau disebut azas Audi et alteram
partem. Pembebanan pembuktian model ini adalah sama di antara para pihak,
sehingga kemungkinan dalam setiap perkara untuk menang adalah sama sebab
kesempatannya adalah sama, seimbang dan patut. Dalam Peradilan Islam dikenal
dengan asas “ahsin nasa fi majlisika wa qadhaika”,39 hakim harus membagi beban
pembuktian berdasarkan persamaan kedudukan para pihak. Dalam segala hal bagi
yang bersengketa harus diperlakukan sama. Oleh karena itu hakim harus
Teori ini banyak dipergunakan oleh para praktisi hukum saat ini, karena
dianggap lebih mendekati kepada prinsip keadilan dan kebenaran. Jika rumusan
teoritis ini dihubungkan dengan praktek peradilan Islam, maka akan ditemukan
dikenal dengan البينة على المدعى واليمين على من انكر, prinsip ini menjadi logis
39
Menurut Mazhab Hanafi dan satu riwayat dari Imam Ahmad bahwa pembuktian tetap dimintakan
terlebih dahulu pada penggugat, berbeda dengan Imam Malik dan AsySyafi'i bahwa bukti tergugat
harus lebih didahulukan dari pada penggugat, lihat Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarhu Majallah al-
Ahkam, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt)
35
karena siapa yang mengajukan dalil gugat maka kepadanya lebih dahulu
dibebankan beban pembuktian dan juga karena penggugat lebih tahu dan lebih
Perdata, asas ini dapat dijumpai dalam pasal 163 HIR/283 RBG serta pasal
untuk berperkara di depan sidang pengadilan. Dalam hal ini tergugat dianggap
diwajibkan kepada penggugat lebih dahulu, akan tetapi tidak boleh dilakukan
umum yang tersebut dalam pasal 163 HIR, pasal 283 RBq dan 1685 KUH
tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa dalam hal suami
36
adalah:
1) Pasal 1244 KUH Perdata tentang keadaan memaksa atau over macht,
3) Pasal 1977 KUH Perdata tentang bezit atas benda bergerak atau bezit
eignaar, owner.43
4) Pasal 1394 KUH Perdata tentang sewa dan bunga yang harus dibayar,
40
S. Sapto Ajie, Undang-Undang Perkawinan, (Semarang; Aneka Ilmu, 1990), h. 15 R
41
. Subikto, op. cit., h. 270
42
Ibid., h. 288
43
Ibid., h. 414
44
Ibid., h. 293
45
Lihat R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Undang-undang
Kepailitan, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1994), cet. XXII, h. 134
37
3) Dalil barunya sama bobotnya dengan dalil gugat, maka beban wajib
dibagi dua.
hakim bebas menilai pembuktian. Dalam Hukum Acara Perdata Umum hal
ini sesuai dengan 165 HIR, 285 RBg, yang mana dikemukakan bahwa yang
46
Abdul Manan, op. cit., h. 134
38
atau kurang meyakinkan dirinya. Hakim bebas menilai kesaksian, hal ini
sesuai dengan ketentuan pasal 172 HIR dan pasal 309 RBg.47
Dalam paradigma pembuktian ada dua hal yang tidak perlu dibuktikan oleh
hakim, yaitu:
1. Peristiwa yang diangap tidak perlu diketahui oleh hakim atau dianggap tidak
Segala peristiwa yang didalilkan oleh penggugat harus dianggap benar, jika
Dalam hal ini hakim cukup meneliti apakah panggilan telah dilaksanakan
secara resmi dan patut, apabila telah dilaksanakan secara resmi dan patut maka
dapat dijatuhkan putusan tanpa hadirnya tergugat atau verstek, dan dalil gugat
47
K. Wantjik Saleh, op. cit., h. 78
48
Verstek merupakan istilah yang resmi dipakai dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara di Indonesia
dan sering dipakai dalam kajian ilmu hukum. Istilah ini berasal dari Bahasa Belanda yang artinya
putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa atau salah satu pihak lihat Andi Hamzah, Kamus Hukum,
(Jakarta, Ghalia Indonesia, 1996), h.620. Lihat juga pasal 214 (1) KUHAP dan pasal 125, 127, 181 HIR.
Jauh sebelumnya verstek dibicarakan dalam hukum Belanda, KUHAP dan HIR, persoalan ini sudah di
bicarakan dalam hadits Nabi Saw. Seperti Hadits dari Ali RA yang diriwayatkan at-Turmuzi di atas
selanjutnya sudah dibahas pula oleh para ulama, seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I serta
ulama-ulama Hadawiyah dan sebagainya. Akan tetapi tidak ditemukan istilah yang jelas dalam
menggambarkan substansi tersebut dalam hukum Islam.
39
Dalam hal dijatuhkan putusan Verstek dengan tidak hadirnya Tergugat setelah
1) Menurut pendapat Zaid bin Ali dan Imam Abu Hanifah bahwa putusan
verstek itu tidak dapat diterima dalam hukum Islam, karena sesungguhnya
jika putusan verstek dapat menyalahkan Tergugat tentu tidak ada kewajiban
menyatakan:50
قال رسول هللا صىل هللا عليه وسمل اذا تقا ىض:عن عىل ريض هللا عنه قال
}اليك رجالن فال تقىض لالول حىت تسمع الكم الاخر {رواه الرت مذى
“Dari Ali r.a beliau berkata: Rasulullah SAW, bersabda:
Apabila dua orang meminta keputusan, maka jangan kamu
memutuskan kemenangan bagi yang pertama sehingga kamu
mendengar keterangan yang kedua”. (HR. at-Tirmizi)
hakim boleh memutus verstek terhadap orang yang tidak hadir, berdasarkan
hadits di atas juga. Mereka menafsirkan hadits dari Ali RA ini atas orang
yang hadir. Dan mereka menyatakan: bahwa orang yang tidak hadir itu
tidak hilang haknya. Sesungguhnya jika dia hadir maka hujjahnya adalah
tetap berlaku dan didengar serta diputus sesuai dengan kekuatan hujjahnya
49
Muhammad Bin Ismail al-Kahlani as-San’ani, Subul as-Salam, (Kuwait Dar as-Salafiyah), h. 513
50
Ibid.,
40
artian bahwa putusan verstek tetap berlaku akan tetapi tidak sama dengan
putusan biasa seperti hadirnya penggugat dan tergugat, dimana dalam putusan
putusan verstek yang tenggang waktunya cukup lama kemudian upaya hukum
diberinya verzet dan banding. Setelah tergugat dipanggil secara resmi dan
patut, hal ini lebih terasa adil. Sebab jika dengan tidak hadirnya juga tergugat
suatu perkara tidak bisa diputus, maka dengan sendirinya juga akan
51
Lihat penjelasan Pasal 27 ayat (4) Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, dalam S. Sapto Ajie, op,
cit., h. 44. Keterangan tersebut dalam perkara perceraian, selain untuk menambah keyakinan hakim
dan memenuhi syarat hukum, juga sebagai upaya damai. Khusus dalam sengketa perkara perceraian,
asas mendamaikan para pihak adalah bersifat imperatif. Usaha mendamaikan para pihak adalah beban
yang diwajibkan oleh hukum kepada para hakim. Dalam upaya hakim melaksanakan upaya
perdamaian, maka hakim dapat meminta bantuan kepada pihak lain atau lembaga lain yang dianggap
41
Jika tergugat tidak mengakui dan juga tidak membantah gugatan penggugat,
menyatakan “terserah kepada bapak hakim sajalah”, maka dalam hal ini
Jika tergugat mengakui dalil gugat dari penggugat, maka gugatan penggugat
itu tidak perlu dibuktikan lagi, segala gugatan penggugat dianggap telah
terbukti, jadi tidak perlu dibuktikan lagi kebenaran dalil gugat penggugat lebih
lanjut.
Sumpah decesoir merupakan sumpah yang menentukan. Oleh sebab itu jika
sumpah decesoir telah dilaksanakan oleh salah satu pihak yang berperkara,
maka pembuktian lebih lanjut tidak diperlukan lagi. Segala peristiwa dan
kejadian yang menjadi pokok sengketa dianggap telah terbukti dan tidak
diperiksa, dan harus bersifat litis decesoir.52 Dalam hal ini hakim harus
perlu, termasuk keluarga dari para pihak yang bersengketa. Hal ini sesuai dengan maksud pasal 31 ayat
(2) peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 lihat ibid, h. 46
52
Litis decesoir, yaitu sumpah yang bersifat memutus dan menyelesaikan perkara, sehingga sumpah ini
sering juga disebut Sumpah Pemutus, Lihat Abdul Manan, op. cit, h. 135.
42
litis decesoir atau tidak. Jika bersifat litis decesoir maka hakim baru
sehingga peristiwa atau kejadian-kejadian yang menjadi dasar gugatan tidak perlu
peristiwa atau suatu hal yang negatif, pada umumnya tidak mungkin untuk
tidak itu pada umumnya suatu hal yang tidak mungkin. Mahkamah Agung RI
sesuatu yang negatif adalah lebih berat dari beban pembuktian pihak yang
harus membuktikan suatu yang positif, yang tersebut terakhir ini termasuk
Heiden”, atau fakta yang dianggap diketahui umum, sering juga disebut
53
Istilah ex officio, berasal dari bahasa latin, maksudnya adalah “karena jabatannya” lihat, Andi Aziz,
op, cit., h. 187
54
Bahwa pembuktian, untuk pertama kali tetap dibebankan pada penggugat sesuai dengan hadis
55
Sudikno Mertokusumo, op. cit., h. 110
43
2) Atau hal ikhwal suatu keaadaan atau peristiwa yang diketahui umum dan
semestinya.
seperti es itu dingin, api itu panas, apabila terjadi kemarau panjang selalu
misalnya suami yang ketagihan minuman keras atau penjudi, pada umumnya
Agama.
c. Pengetahuan Hakim.
notoir feiten, tetapi ketentuan ini tidak selamanya demikian sebab secara
56
M. Yahya Harahap, op. cit., h. 3
44
wilayah yuridiksinya, Ibn Hazm dan al-Zahiri berpendapat selain dalam kasus
diancam qishas, had, dan perzinaan, baik pengetahuannya itu sesudah atau
mendasarkan pendapat ini pada keumuman ayat 135 surat al-Nisa’ sebagai
berikut:
يأهيا اذلين أمنوا كو نوا قومني ابلقسط شهدأ هللا ولو عىل أنفسمك
}١٣٥ :{النسأ
“Hai orang-orang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap
dirimu sendiri”. (QS. al-Nisa: 135)
57
Akan tetapi berbeda dengan pendapat Sahnun, yang juga mengikuti Mazhab Maliki. Membenarkan
hakim memutus perkara atas dasar pengetahuannya tentang keadaan tergugat dan penggugat sesudah
diperiksa dan tidak ada perbedaan pendapat tentang apa yang diketahui atau didengar hakim tentang
keadaan pihak-pihak diluar sidang pengadilan, bahwa hal itu dapat dipergunakan sebagai dasar
putusannya dan apabila hakim telah menjatuhkan putusannya atas dasar yang demikian, maka putusan
tersebut berhak dibatalkan. Lihat Muhammad Salam Makdur, al-Qadha’ fi al-Islam, (Kairo, Dar al-
Nahdah al-Arabiyat, tt), h. 155
45
diantaranya dengan meminta keterangan dari saksi-saksi ahli dan memang secara
empirik hal ini sebagian besar tetap dilakukan dalam praktek di Pengadilan. Di
samping tidak melanggar hukum acara, hal ini pun tidak ada larangan untuk
memutus atas dasar hukum yang tertulis saja, tapi juga yang tidak tertulis.60
Berangkat dari tanggung jawab itu, maka teori-teori pembuktian akan selalu
teori Islam klasik, adaslah kehendak Tuhan yang diwahyukan, sebuah sistem yang
disusun secara ketuhanan, mendahului dan tidak didahului oleh negara Islam,
keputusan hukum dan Yurisprudensi dari hukum Islam yang telah diserap menjadi
60
Bismar Siregar, Pembaharuan Hukum Pidana Nasional dan Prospek Hukum Islam di Dalamnya, baca
Tjun Surjaman (ed, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktek, (Bandung, Remaja Rosda Karya,
1994), h. 165
61
H.J Coulson, A History of Islamic Law, (Edinburgh, Islamic Surveys, No.2, 1964), h. 1-2
62
Lihat Juhaya A. Praja, Delik Agama Dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung, Angkasa, 1982), h.
1
46
hukum Islam (fikih) alat bukti disebut juga at-turuq al-isbat. Para ulama berbeda
pendapat tentang macam-macam alat bukti yang dipakai. Diantaranya Ibn Qayyim al-
Jauziyah mengemukakan bahwa ada 26 alat bukti yang dapat digunakan dihadapan
Majelis Hakim.1 Alat bukti merupakan pegangan utama dalam memutuskan suatu
Akan tetapi terlebih dahulu harus dibedakan antara alat bukti pada umumnya
dengan alat bukti menurut hukum. Meskipun alat bukti yang diajukan salah satu bentuk
alat bukti yang ditentukan, tidak otomatis alat bukti tersebut sah sebagai alat bukti.
Agar alat bukti itu sah sebagai alat bukti menurut hukum, maka alat bukti yang diajukan
itu harus memenuhi syarat formil dan syarat materil. Di samping itu tidak pula setiap
alat bukti yang sah menurut hukum mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk
mendukung terbuktinya suatu peristiwa, meskipun alat bukti yang diajukan telah
memenuhi syarat formil atau materil. Supaya alat bukti yang sah mempunyai nilai
1
Lihat ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Turuq al-Hukumiyah fi al-Siyasah al-Syari’iyyah, (Beirut, Mu’assasah
al-Arabiyah Li al-Tiba’ah Wa al-Nasyr, 1961)
2
Abdurrahman Ibrahim Abdul Aziz al-Humaidi, al-Qadha’ wa Nizhamuhu fi al-Kitab wa al-Sunnah, (al-
Makkah al-Arabiyah al-Saudi, Jami’ah Umm al-Qur’an, 1989) Cet I, h. 382
47
48
kekuatan pembuktian, alat bukti yang bersangkutan harus mencapai batas minimal
pembuktian.3
Alat bukti yang diakui dalam hukum acara Peradilan Umum termasuk Peradilan
Agama yang ada di Indonesia, diatur dalam pasal 164 HIR, pasal 284 RBg dan Pasal
Berbeda dengan ketentuan alat bukti yang terdapat dalam hukum cara Peradilan Umum
diatas, yang ditulis sesuai urutan kekuatan alat-alat bukti tersebut, maka hukum islam
memiliki urutan tersendiri dalam menentukan kekuatan alat bukti. Sedangkan alat bukti
3
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta, Yayasan
al-Hikmah, 2000), h. 137
4
Lihat K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBg/HIR, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990), h. 71. Lihat
juga R. Subekti dan R. Tjitro Sudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta, Pradnya Pramita,
1992) h. 397
5
Alat Bukti Expertise dan Discente tidak diatur dalam HIR dan RBg maupun BW. Sebagai alat bukti,
dasarnya adalah yurisprudensi dan kebiasaan praktek pengadilan.
6
Prinsip ini sesuai dengan maksud pasal 54 UU No.7 tahun 1989 bahwa Hukum Acara yang berlaku
pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
49
Alat bukti dalam hukum islam sesuai urutan kekuatannya, diantaranya adalah:7
Untuk membatasi pembahasan tentang alat bukti dalam bab ini, penulis hanya
menulis beberapa alat bukti dari sejumlah alat bukti yang dikemukakan oleh para
ulama, seperti alat bukti pengakuan, alat bukti saksi, alat bukti sumpah dan alat bukti
surat. Secara empirik alat bukti inilah yang umumnya dipakai dalam penyelsaian
perkara di pengadilan.
Menurut hukum Islam, alat bukti pengakuan disebut al-Iqrar ()االقرار8 Dalam
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-
undang ini, lihat Dirbinbiapera Islam, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan
Peradilan Agama, (Jakarta, t.p, 2001), h. 256
7
Pendapat ini umumnya terdapat dalam kitab-kitab para ulama Fiqh yang membicarakan masalah
pembuktian, misalnya Ibn Qayyim al-jauziyah, op, cit., lihat juga Abdurahman Ibrahim Abdul Aziz al-
Humaidi, op. cit., lihat juga urutan kekuatan masing-masing alat bukti ini akan dibuktikan kebenarannya
dalam pembahasan bab tiga ini.
8
Secara umum para ulama mempergunakan kata-kata iqrar untuk menunjukan alat bukti pengakuan,
akan tetapi berbeda pendapat dalam menerjemahkan secara bahasa. Secara istilah, mereka sepakat
bahwa iqrar adalah pengakuan tertuduh/tergugat/terdakwa.
9
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta, Liberty, 1998), h. 142
50
hak orang lain yang ada pada diri pengaku itu sendiri dengan ucapan atau yang
berstatus sebagai ucapan, meskipun untuk masa yang akan datang.10 Dalam pasal 408
اعرتاف اخلصم امام القضاء بو اقعة قانو نية مدعى هبا عليه
“Pengakuan pihak lawan atau (tergugat/tertuduh), di muka sidang, tentang
suatu peristiwa hukum yang dituduhkan/digugat kepadanya”
Dasar pengakuan sebagai alat bukti adalah sangat kuaat. Para ulama sepakat
bahwa pengakuan (iqrar) disyari’atkan oleh kitab dan sunnah.12 Diantara landasan
}١٣٥: {النسا... يأهيا اذلين أمنوا كونوا قو مني ابالقسط شهدأ هللا ولو عىل انفسمك
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak kebenaran, menjadi saksi karena Allah karena biarpun terhadap
dirimu sendiri”. (Qs. an-Nisa’:135)
sebagai jalan menegakkan keadilan walaupun terhadap dirimu sendiri dan menjadi
10
Muhammad Salam Madkur, al-Qadha fi al-Islam, (Kairo Dar al-Nahdah al-Arabiyat, tt), h. 100
11
Ibid., h.101. Menurut Sayyid Sabiq, ikrar menurut bahasa berarti ‘itsbat (menetapkan) berasal dari
kata qarra asy-syaia, yaqirru. Dalam istilah syara’ iqrar berarti pengakuan terhadap apa yang
didakwakan, lihat Sayyid Sabiq, al-Fiqh al-Sunnah, (Beirut, Dar al-Fikr, 1992), jilid 14, h. 50. Sedangkan
Abdul Karim Zaidan mengartikan iqrar secara bahasa dengan (pengakuan). Lihat Abdul Karim Zaidan,
Nizham al-Qadha’ fi asy-Syari’ah al-Islamiyah (Bagdad, mathba’ah al-Ani, 1984), h. 157
12
Sayyid Sabiq, op.cit.,
13
al-Qurtubi, al-Jami’Li Ahkam al-Qur’an, (Beirut, Dar ihya’ al-Tauras al-‘Arabi, 1985), Juz V, h. 410
51
صل من: قال رسول هللا صىل هللا عليه وسمل،عن عيل ريض هللا عنه قال
}قطعك وأحسن اىل من أسأ اليك وقال احلق ولو عىل نفسك {رواه ابن النجار
Dari Ali r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Sambunglah orang yang
memutuskan (silaturahmi) denganmu; berbuat baiklah kepada orang yang
berbuat buruk kepadamu; dan katakanlah kebenaran meskipun mengenai
dirimu sendiri”. (HR. Ibn. Najar)
: أىت رجل رسول هللا صىل هللا عليه وسمل وهو ىف املسجد فناداه فقال:عن أيب هريرة قال
،ايرسول هللا اىن زنيت فاعرض عنه حىت ردد عليه اربع مرات فلام شهد عىل نفسه اربع شهادات
، نعم: فهل أحصنت؟ قال: قال، ا بك حنون؟ قال ال:دعاه النبىى صىل هللا عليه وسمل فقال
}فقال البىن اذهبيوابه فارمجوه {رواه البخارى
Dari Abi Hurairah beliau berkata: “Sewaktu Rasulullah di dalam masjid,
datang seorang muslim yang berseru kepada Rasulullah. Ya Rasulullah
sesungguhnya saya telah berzina. Rasulullah berpaling dari padanya hingga
orang itu mengulangi yang demikian itu sampai empat kali, tatkala orang itu
telah bersaksi atas (kesalahan) dirinya empat kali persaksian, Rasulullah
memanggilnya dan bertanya: “Apakah engkau gila?” orang itu menjawab
“tidak”, kata Rasulullah “apakah engkau sudah kawin?” orang itu menjawab
“sudah”. Maka Rasulullah bersabda: “bawalah orang ini dan rajamlah dia”.
(HR. Bukhari)
Hadits ini di samping dasar pengakuan juga sebagai dasar bahwa pengakuan
zina dapat menggantikan alat bukti empat orang lelaki (sebagai saksi) untuk berlakunya
hukum rajam, had zina dan qisas. Karena Nabi pernah memerintahkan eksekusi rajam
14
Jalaludin al-Suyuti, al-Jami’ al-Saghir (Beirut Dar al-Fikr, tt) h. 301
15
Lihat Muhammad bin Ismail al-Kahlani al-San’ani, Subul al-Salam, (Bandung, Dahlan, tt) jilid IV h. 6.
Lihat juga Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Mustafa al-Baaby al-Halaby,
1960) jilid II h. 438
52
terhadap pelaku zina dengan bukti pengakuan pelaku tersebut, sebagaimana diceritakan
bukti yang memiliki kekuatan paling tinggi. Dalam kaitan dengan iqrar sebagai alat
bukti, ulama fikih juga menyatakan bahwa pengakuan merupakan tuan dari alat bukti
lainnya. Artinya, ikrar merupakan alat bukti yang sangat meyakinkan, sangat sahih dan
Universitas Ahmadu Bello Nigeria, bahwa sebagian besar hukuman yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad SAW dan keempat Khulafa ur-Rasyidin di dasarkan alat bukti
Dasar hukum pengakuan sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata di
Indonesia diatur dalam pasal 174 HIR dan pasal 311 RBg,17 serta pasal 1923 sampai
keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apa-
Berbeda dengan hukum Islam, dalam Hukum Acara Perdata Umum, pengakuan
16
Lihat Abdurahman I Doi, Syari’ah The Islamic Law, ab. Wadi Matsuri, Tindak Pidana Dalam Syari’at
Islam, (Jakarta, Rineka Cipta, 1992), h. 39
17
K. Wantjik Saleh, op.cit, h. 78
18
R. Subekti, op.cit., h. 406-407
19
Teguh Samudra, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, (Bandung, Alumni, 1992), h. 83
53
mengatakan, bahwa tidak tepat memasukan pengakuan sebagai alat bukti, karena justru
apabila dalil-dalil yang dikemukan oleh salah satu pihak diakui kebenaran oleh pihak
lain, maka yang mengemukakan dalil itu dibebaskan dari pembuktian. Sedangkan
Schoten dan Load Enggens berpendapat bahwa pengakuan sebagai alat bukti
merupakan hal yang tepat, karena suatu pengakuan dimuka hakim bersifat pernyataan
oleh salah satu pihak yang berperkara dalam proses persidangan. Pengakuan
merupakan pernyataan kehendak (wilsvelaring) dari salah satu pihak yang berperkara.
merupakan suatu perbuatan hukum (rechtshadeling) dan setiap perlawanan hukum itu
(berchikkingshandeling).20
Demikian juga dengan pengakuan yang diucapkan oleh salah satu pihak dalam
persidangan, misalnya terhadap hal-hal yang disukai sepenuhnya oleh pihak yang
berikut: berakal, baligh, ridha dan boleh bagi yang melakukannya hal-hal sebagai
berikut: bertasharuf (bertindak); maka tidak sah pengakuan orang gila, anak kecil,
20
M. Abdurrahman, Hukum Acara Perdata, (Jakarta, Universitas Trisakti, 1994), h. 91
21
Ibid.,
54
orang yang dipaksa, orang yang dibatasi tindakannya, orang yang main-main dan orang
yang berikrar dengan hal yang mustahil menurut akal dan kebiasaan.22
- Syarat Formil
hakim.24
yaitu:25
- Syarat Materil
perkara
22
Sayyid Sabiq, op.cit., h. 52
23
Abdul Manan, op.cit., h. 150
24
Pengakuan yang sempurna itu adalah pengakuan didepan sidang pengadilan pendapat ini didukung
oleh mayoritas ulama-ulama kontemporer. Baca Abdul Karim Zaidan, op. cit.,
25
Muhammad Hasbi Ashshiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang, Pustaka Rizki Putra,
1997) edisi II, h. 137
55
umum.
Pengakuan boleh saja dilakukan dengan tulisan atau dengan bahasa isyarat (bagi
yang bisu), asal jelas diketahui maksudnya. Pengakuan tertulis yang di buat di luar
sidang sama kekuatannya dengan pengakuan yang lisan di depan sidang dan ia tidak
bisa dicabut kecuali dapat dibuktikan karena beralasan hukum seperti karena ada
dalam masalah hutang piutang,26 demikian juga sabda Rasulullah SAW, riwayat
Bukhari Muslim, supaya orang yang mau berwasiat tidak menunda sampai lebih dari
dua malam melainkan sudah siap tertulis didekatnya.27 Surat-surat Rasulullah SAW
kepada raja-raja yang mengajak mereka beriman, antara lain kepada raja Persia
(sekarang Iran), raja Rum (Romawi), raja Najjaasy (Nigeria) dan lain-lain, semua
ditulis oleh juru-juru tulis Nabi dan diberi stempel Nabi.28 Sampainya al-Qur’an dan
Pengakuan tertulis yang tidak diberikan di depan sidang harus memenuhi syarat-
syarat alat bukti atau tulisan atau surat-surat, supaya ia bernilai sebagai pengakuan yang
26
Lihat al-Qur’an al-Kariim Surat al-Baqarah, ayat 282
27
Bz Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San’ani, op.cit., jilid III, h. 103
28
Lihat Muhammad Natsir, Fiqhud Da’wah, (Jakarta, Kiblat, 1969), h. 278-279
56
Pengakuan dengan bahasa isyarat termasuk yang diperbolehkan, sebab tidak ada
larangan bagi orang yang bisu untuk berperkara di depan pengadilan. Adapun cara
pelaksanaannya ialah dengan didampingi oleh penterjemah isyarat dari kawan terdekat
sama dalam hal saksi yang bisu. Kalau tidak ada orang lain. Akan tetapi sebagian
fuqaha’ terutama Imam as-Syafi’i tidak menerima pengakuan dengan tulisan dengan
alasan bahwa tulisan-tulisan itu serupa dan mungkin dapat dihapuskan dan
dipalsukan.29
Menurut Sayyid Sabiq, pengakuan itu dianggap satu pembicaraan; sehingga tidak
bisa diambil sebagiannya dan ditolak sebagian yang lainnya.30 Jadi, pengakuan harus
bersifat mutlak dan murni, tidak berklausul artinya bukan pegakuan yang disertai
sebuah sepeda dari penggugat seharga Rp 100.000., tetapi harga tersebut telah dibayar
29
Lihat Muhammad Salam Madkur, op.cot., h. 101
30
Sayyid Sabiq, op.cit., h. 53
31
Sudikno Mertokusumo,op.cit., h.150
57
Yang dimaksud dengan pengakuan murni dan bulat yaitu pengakuan yang
sesungguhnya terhadap semua dalil gugatan yang diajukan oleh penggugat. Murni
Dengan kata lain pengakuan murni adalah pengakuan yang sifatnya sederhana dan
Yaitu pengakuan yang disertai dengan sengketa terhadap sebagian dari tuntutan
penggugat. Pada dasarnya, pengakuan dengan berkualifikasi ini tidak lain adalah
penggugat seharga Rp 6.000.000,- dalam hal ini tergugat mengaku telah membeli
pengakuan tentang hal pokok yang diajukan penggugat, tetapi disertai dengan
tambahan yang menjadi dasar penolakan gugat yang diajukan oleh penggugat.
beli rumah milik penggugat tersebut seharga Rp. 6.000.000 tetapi pengakuan tersebut
58
ditambah dengan keterangan bahwa harga rumah telah dibayar lunas. Jadi pengakuan
Berdasarkan pasal 176 HIR, pasal 313 RBg32 dengan pasal 1924 KUHP
semacam ini tidak boleh diterima sebahagian sehingga merugikan yang mengakui
tersebut. pengakuan yang tersebut dalam pasal ini adalah pengakuan yang ditambah
misahkan pengakuan oleh hakim sebagaimana yang tersebut dalam peraturan di atas,
dimaksudkan agar tidak memberatkan salah satu pihak yang mengakui akibat
pemisahan pengakuannya.
atas secara mutlak. Masih ada kemungkinan juga untuk memisah-misahkan pengakuan
yang berkualifikasi dan berklausula tersebut sepanjang tidak merugikan orang atau
pihak yang mengaku. Hal demikian itu hanya boleh dilakukan kalau orang yang
yang terbukti tidak benar. Ketentuan ini dapat dibenarkan sesuai dengan hal yang
tersebut dalam pasal 176 HIR yang memungkinkan pada kalimat terakhir dikemukakan
bahwa dengan masud akan melepaskan diri dan menyebutkan bahwa perkara yang
terbukti tidak benar. Demikian juga apa yang tersebut dalam pasal 1924 ayat (2) KUH
32
K. Wantjik Saleh, op.cit., h. 178
33
R. Subekti, op. cit., h. 406
59
manakala orang yang berhutang bermaksud untuk membebaskan dirinya dan hal ini
dapat dibenarkan kalau orang yang berhutang tersebut telah nyata menunjukakan
Dalam hal ada pengakuan yang terpisah-pisah, maka hakim bebas menentukan
kepada siapa harus dibebankan kewajiban pembuktian. Hal ini sesuai dengan putusan
mengemukakan bahwa dalam hal pengakuan yang disertai dengan tambahan dan tidak
ada hubungannya dengan pengakuan itu, yang oleh doktrin dan yurisprudensi
tambahanya.
Sejalan dengan hukum Islam, bahwa pengakuan yang dapat diterima sebagai
alat bukti adalah pengakuan murni dan bulat bukan pengakuan yang dipecah-pecah.
5. Pencabutan Pengakuan
Menurut Sayyid Sabiq, apabila pengakuan itu benar maka ia wajib diterapkan
oleh orang yang berikrar, dan tidak sah baginya untuk menarik kembali pengakuannya
itu bilamana pengakuan berhubungan dengan salah satu diantara hak-hak manusia.
Adapun bila pengakuan berhubungan dengan salah satu atau di antara hak-hak Allah,
seperti had terhadap zina dan minuman keras, maka orang itu boleh menarik kembali
34
Ibid.,
60
pengakuannya.35 Alasan pendapat ini adalah hadits riwayat al-Baihaqi dari Ali r.a.
berikut:36
اد راؤا احلدود، قال رسول هللا صىل هللا عليه وسمل:عن عىل ريض هللا عنه قال
}ابالش هبات {رواه البهيقى
Dari Ali r.a. beliau berkata: Rasulullah Saw. bersabda: "Hindarkanlah hudud
dengan masalah syubhat" (H.R. al-Baihaqy).
Akan tetapi aliran Zahiri menentang pendapat ini, mereka menolak keabsahan
penarikan pengakuan, baik dalam hak Allah maupun dalam hak manusia.37
depan sidang, kecuali kalau pencabutan itu betul-betul dapat dibuktikan terjadi karena
kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi, bukan mengenai soal yang diakui itu sendiri.
Termasuk tidak boleh mencabut pengakuan tertulis, sekalipun dibuat di luar sidang,
akibat yang banyak sekali rangkaiannya, apabila kalau proses perkara sudah berjalan
Oleh karena itu dalam perkembangan hukum dan derni kepastian hukum serta
menghindari akibat yang timbul yang mungkin kembali mentah lagi suatu perkara atau
35
Sayyid Sabiq op.cit., h. 52
36
Husain ibn Ali al-Baihaqy, Sunan al-Kubra, (Beirut, Dar al-Fikr,tt), Juz X, h.255. Lihat juga Muhammad
bin Ismail al-Kahlani al-Shan’ani, op.cit., juz IV, h. 63. Hadits ini menjadi kaedah umum dalam syari’at,
lihat Abdul Kadir Audah, Tasyri’ al Jina’l al-Islami’, Muqaranah bi al-Qanun al Wadh’I (Beirut mu’assah
al-Risalah, 1992), juz I, h.207
37
Sayyid Sabiq, op.cit.
61
mungkin menjadi arena manipulasi pasang cabut, maka diaturlah format-format upaya
Dalam hukum Islam, alat bukti saksi38 disebut dengan ) شلهدsaksi lelaki(, atau
yang artinya melihat dengan mata kepala, karena syahid (orang yang menyaksikan) itu
Ulama mendefinisikan alat bukti saksi dengan pemberitaan yang benar untuk
kesaksian (syahadah) dikatakan juga berasal dari kata I'laam (pemberitahuan). Firman
Allah SWT:
38
Harus dapat dibedakan, saksi sebagai syarat hukum (tahammul) atau saksi sebagai alat bukti (al-
'Ada') sebab fungsi keduanya berbeda. Misalnya dua orang saksi adalah syarat hukum untuk syahnya
suatu perkawinan. Tetapi untuk membuktikan adanya perkawinan tidak mesti dengan dua orang saksi.
Di samping itu, kemungkinan saksi sebagai alat bukti sekaligus sebagai syarat hukum juga dapat
dilakukan dan dalam hal ini harus menggunakan saksi sebagai syarat hukum, sebab syarat pembuktian
sudah sekaligus tercakup dalam syarat hukum sedangkan syarat hukum belum tentu memenuhi untuk
syarat pembuktian. Misalnya, boleh seseorang lelaki atau perempuan yang telah pernah kawin untuk
dihukum rajam dengan bukti empat orang saksi. Kedudukan empat orang saksi menempati syarat
hukum untuk bolehnya rajam dan sekaligus menempati sebagai alat bukti dalam menetapkan telah
terjadinya perzinaan. Selain itu, alat bukti pembuktian zina juga dapat dibuktikan dengan alat bukti
pengakuan. Jadi, saksi yang dibahas di sini adalah saksi sebagai alat bukti saja. Baca Roihan A. Rasyid,
Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta, Raja Grafindo, 1994), cet. 3, h 158
39
Lihat Abu Luis Ma'luf al-Yusu'i, al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut, Dar al-Masyriq, 1977), cet. III, h. 406,
Bandingkan dengan Abu al-Fadl Jamaluddin Muhammad al-Afriqi al-Misri ibn Manzur, Lisan al-Arab,
(Mesir, Dar al-Mishriyah, tt), juz IV, h. 225
40
Baca Abdul Karim Zaidan, op.cit. h. 165., pada umumnya definisi yang dikemukakan para ulama
tentang saksi memiliki banyak kesamaan, lihat juga Imam Kamaluddin Muhammad Ibn Abdu al-Walid,
Syarah Fath al-Qadir (Beirut, Dar al-Shadir, 1318), juz V, h. 2
62
Dasar saksi sebagai alat bukti banyak terdapat dalam ayat-ayat al-Qur'an
maupun Hadits, di antaranya yang tersebut dalam surat al-Baqarah ayat 282:
واستشهدوا شهيدين من رجالمك فان مل يكوان رجلني فرجل وامرأاتن حمن ترضون. . .
. . . من الشهداء ان تضل احد هام فتذ كر احد هام الاخرى وال يأب الشهدأ اذا مادعو
}٢٨٢:{البقرة
“.... Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antaramu. Jika
tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang
wanita dari saksi-saksi yang kamu Ridhai, supaya jika yang seorang lupa maka
yang seorang lagi mengingatkanya. Dan janganlah saksi-saksi itu enggan
(memberi keterangan) apabila mereka dipanggil .... (al-Baqarah: 282).
أال أخربمك خبري الشهداءاذلي: أن النيب صل هللا عليه وسمل قال: عن زيد بن خادل اجلهين
}يأت بشهادته قبل أن يسألها { رواه مسمل
41
Sayyid Sabiq, op.cit.,
42
Imam Abi al-Husain Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qusairy al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut, Dar al-Kitab
al-Ilmiyah, tt)., juz III, h. 1344
63
"Dari Zaid ibn Khalid al-Juhni, bahwa Nabi Saw. bersabda: "sebaik-baiknya
saksi adalah orang yang memberikan kesaksiannya sebelum diminta". (HR.
Muslim).
Dalam hukum Acara Perdata Umum, alat bukti saksi diatur dalam 43 pasal 168-
172 HIR dan pasal 306-309 RBg.43 Pembuktian dengan saksi pada dasarnya
Misalnya tentang persatuan harta kekayaan perkawinan, menurut pasal 150 Kitab
atau perjanjian pertanggungan harus dibuktikan dengan polis sesuai dengan pasal 258
dengan saksi baru diperlukan apabila bukti dengan surat atau tulisan tidak ada atau
kurang lengkap untuk mendukung dan menguatkan kebenaran dalil-dalil yang menjadi
dasar pendirian para pihak. Saksi-saksi itu ada yang secara kebetulan melihat atau
muka sidang pengadilan, ada juga saksi-saksi itu sengaja diminta untuk datang
seperti saksi diminta datang untuk menyaksikan akad nikah atau pembagian warisan
dan sebagainya.46
43
Wantjik Saleh, op. cit., h. 77
44
R. Subekti, op.cit., h. 130
45
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Dan Undang Kepalitan,
(Jakarta, Pradnya Paramita, 2000), h. 76
46
HM. Abdurrahman, Hukum Acara Perdata, (Jakarta, Universitas Trisakti, 1994), h. 82
64
2. Hukum Saksi
Menurut Abdul Karim Zaidan, hukum memberi kesaksian itu adalah Fardu
kifayah,47 sedangkan Sayyid Sabiq berpendapat bahwa hukum kesaksian itu fardhu 'ain
bagi orang yang memikulnya bila dia dipanggil untuk itu dan dikhawatirkan kebenaran
akan hilang; bahkan wajib apabila dikhawatirkan lenyapnya kebenaran meskipun dia
Baik Abdul Karim Zaidan maupun Sayyid Sabiq sama-sama berdasarkan pada firman
}٢٨٣ : {البقرة. . . وال تكمتوا الشهدة ومن يكمتها فانه أمث قلبه
“Janganlah kamu sembunyikan persaksian, dan barang siapa yang
menyembunyikannya, maka dia adalah orang yang berdosa hatinya”.
انرص أخاك ظاملا أو مظلوما:عن أنس ريض هللا عنه أن النيب صىل هللا عليه وسمل قال
}{رواه البخارى
Dari Anas r.a. Bahwa Nabi Saw. bersabda: “Tolonglah Saudaramu, baik yang
berbuat zhalim maupun yang dizhalimi” (HR. al-Bukhari)
47
Abdul Karim Zaidan, op.cit.m h. 165
48
Sayyid Sabiq, op.cit., h. 56
49
al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardazabah, Shahih al-
Bukhari, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998), Juz II, h. 112
50
Sayyid Sabiq, op.cit.,
65
Kesaksian itu hanya wajib dilakukan jika saksi sanggup melakukannya tanpa
Apabila saksi itu cukup banyak dan tidak dikhawatirkan kebenaran akan sia-sia
Yang menyangkut dengan persyaratan saksi, ada yang bersifat umum dan ada yang
a. Islam
Menurut Ibn Rusyd, para ahli hukum Islam sepakat atas persyaratan dalam
menerima kesaksian dari seorang saksi adalah harus beragama Islam.51 Para ulama
tidak memperbolehkan kesaksian orang kafir atas orang muslim kecuali dalam hal
saksi terhadap hal tersebut. Sebagaimana dalam surat al-Maidah ayat 106:
51
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al Muqtasid, (Beirut Dar al Fikr, 1960) h. 462
66
يأهيا اذلين أمنوا شهدة بينمك اذا حرض أحدمك املوت حني الو صية اثنان ذواعدل منمك او
}١.٦:أخر ان من غري مك ان أنمت رضبمت ىف الا رض فأصبتمك مصيبة املوت {املائدة
"Hai orang-orang yang beriman jika salah seorang diantara kamu menghadapi
kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah wasiat itu disaksikan oleh
dua orang yang adil diantara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan
kamu, jika kamua dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya
kematian”. (QS. al-Maidah: 106)
sesamanya, sebab Nabi SAW merajam dua orang yahudi dengan kesaksian orang-
orang yahudi atas keduanya bahwa keduanya telah berbuat zina.52 Akan tetapi Imam
Malik dan Imam Syafi'i berpendapat bahwa tidak diperbolehkan seorang kafir menjadi
Hal-hal yang disaksikan itu adalah hal yang bersifat qadhaan, bukan hal yang bersifat
diyanatan atau hal yang telah diatur oleh aturan agama Islam, seperti peristiwa
Dalam era globalisasi dunia saat ini, pendapat Malik dan Imam Syafi'i di atas
ditempati oleh penduduk muslim semata tetapi sudah bercampur dengan penduduk lain
52
Sayyid Sabiq, op.cit., h. 59 Lihat juga Mahmoud Saltout dan Muhammad Ali al-Sayis, Muqaranatul
Mazahib, (Mesir, Mustafa Babi al-Halabi, tt), h. 236
53
Al-Khatib Muhammad asy-Syarbaini, Muqni al-Muhtaj, (Beirut Dar al-Fikr, 1958), h. 426
67
yang non-muslim. Banyak peristiwa di antara orang Islam yang kebetulan disaksikan
oleh orang non-muslim, apabila ia tidak dibenarkan memberi kesaksian tentulah hal ini
akan menimbulkan kerugian. Dengan demikian pendapat Imam Hanafi lebih relevan
diterapkan dalam masalah ini. Akan tetapi, jika saksi non-muslim kehadirannya di
dalam sidang Pengadilan Agama untuk menjadi saksi dalam suatu peristiwa atau
kejadian, maka saksi non-muslim itu harus memenuhi syarat formil dan materiil
persaksian.
b. Adil
Oleh karena itu, tidak diterima kesaksian orang fasik dan orang yang terkenal
dengan kedustaan atau keburukan dan kerusakan akhlaknya, inilah yang dipilih dalam
pengertian adil.54
Baligh dan berakal adalah syarat di dalam keadilan, oleh sebab itu tidak
diterima kesaksian anak kecil walaupun dia bersaksi atas anak kecil yang seperti dia,
begitu pula kesaksian orang gila dan orang yang tidak waras, sebab kesaksian mereka
54
Menurut Abu Hanifah, Keadilan itu cukup dari keislamannya secara zahir, dan tidak diketahui darinya
apa yang merusak kemuliaan dan kehormatannya, tetapi hal ini hanya berlaku dalam perkara harta
benda dan bukan dalam masalah hudud terutama kefasikan yang disebabkan oleh tuduhan mengenai
hak orang lain, seperti firman Allah SWT surat al-Nur ayat 4. Lihat Ibnu Rusyd, op.cit., h. 684
55
Imam malik memperbolehkan kesaksian anak-anak dalam perkara penganiayaan jika mereka tidak
berselisih dan bercerai berai. Lihat Sayyid Sabiq, op.cit., h. 62.
68
d. Berbicara
Ulama Mazhab Hanafi, Syafi'i dan Hanbali mensyaratkan saksi itu bisa bicara.
Oleh sebab itu, mereka tidak menerima kesaksian orang bisu. Akan tetapi, ulama
Madzhab Maliki menerima kesaksian orang bisu melalui isyarat yang jelas.56
e. Saksi itu adalah orang yang tidak berkepentingan dan tidak terkait dengan
yang disaksikannya.
Oleh sebab itu, ayah tidak boleh menjadi saksi dalam kasus anaknya dan
sebaliknya. Dua orang yang saling bermusuhan atau saling gugat tidak boleh menjadi
saling saksi, demikian juga halnya kesaksian orang yang mengandung kebencian,
kesaksian orang yang berkhianat, kesaksian suami terhadap isteri atau sebaliknya, dan
kesaksian pelayan terhadap keluarga yang diikuti atau yang diberi belanja,
قال رسول هللا صىل هللا عليه وسمل ال جتوز:روى معروبن شعيب عن ابيه عن جده قال
والقانع اذلى.حشادة خائن وال خائنة وال ذى مغر عىل اخيه وال جتوز شهادة القانع ال هل البيت
} {رؤاه امحد وابو داود. . . ينفق عليه اهل البيت
“Telah diriwayatkan dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia
berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: tidak diperbolehkan kesaksian orang
yang berkhianat baik laki-laki maupun perempuan; dan tidak pula kesaksian
orang yang menyimpan kebencian terhadap saudaranya yang muslim; serta tidak
pula diperbolehkan kesaksian pelayan terhadap keluarga yang diikuti, dan tidak
56
Imam Abu Hanifah, Ahmad dan pendapat dari Madzhab Syafi'i memang tidak menerima kesaksian
orang bisu walau dengan isyarat yang jelas sekalipun, tetapi mereka menerima kesaksian orang bisu
dengan tulisan, lihat Ibid, h. 63.
57
Lihat Khalil Ahmad As-Sahar Nafuri, Bazlu al-Majhud Fi Halli Abi Daud, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiah)
juz 15, h. 279
69
pula kesaksian pelayan yang diberi belanja oleh keluarga yang diikuti". (HR.
Ahmad dan Abu Daud).
f. Merdeka
Syarat ini disepakati oleh ulama Mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi'i. Akan tetapi
ulama Mazhab Hanbali dan az-Zahiri berpendapat bahwa kesaksian hamba sahaya
dapat diterima, kecuali menurut ulama Mazhab Hanbali dalam masalah hudud dan
kisas.58
Menurut Sayyid Sabiq, tidak diterima kesaksian orang yang buruk hafalan,
banyak lupa dan salah, karena dia kehilangan kepercayaan pada pembicaraannya. Yang
demikian ini adalah orang yang lalai dan orang yang serupa dengan itu.59
mu'ayanan). Dalam hal ini ulama Mazhab Syafi'i sependapat dengan ulama Mazhab
Hanafi.60 Akan tetapi hakim juga harus mempercayai saksi-saksi itu dengan penuh
keyakinannya, hal ini juga relevan dengan pengertian saksi yaitu suatu pemberitahuan
yang disampaikan dengan sebenarnya dari seseorang kepada orang lain dengan lafaz
tertentu.61 Akan tetapi, ulama Mazhab Maliki, dan Hanbali serta Imam Abu Yusuf (ahli
fikih Mazhab Hanafi) mengatakan bahwa orang buta boleh jadi saksi jika ia secara
yakin mendengar peristiwa tersebut, karena yang dituntut dari seorang saksi adalah
58
Lihat Ibn Rusyd, op.cit., h. 687
59
Sayyid Sabiq, op.cit., h. 63
60
Abdul Karim Zaidan, op.cit., h. 174
61
Ibrahim al-Bajuri Ali Ibn Qasim, al-Bajuri, (Bandung, Dahlan, tt), juz II, h. 349
70
penglihatan dan pendengarannya terhadap peristiwa tersebut. Oleh sebab itu, orang
buta boleh menjadi saksi dalam hal-hal yang sifat persaksiannya melalui pendengaran,
bilangan saksi dalam suatu kasus, sementara itu Abdul Karim Zaidan dalam bukunya
sumpah, penuturan saksi dengan jelas terhadap yang dilihat dan didengarnya secara
langsung, bukan dari pihak kedua atau ketiga, adanya izin atau permintaan dari hakim,
dan lafaz yang digunakan adalah lafaz “asyhadu" (saya bersaksi), karena syara'
mensyaratkan lafaz ini. Oleh sebab itu, jika diungkapkan dengan lafaz "syahidtu” (saya
telah menyaksikan), menurut ulama fikih tidak sah, karena lafaz ini mengandung
pengertian pemberitaan pada masa lalu, sedangkan persaksian adalah pemberitaan pada
saat ini.64
Menurut Hukum Acara Perdata umum yang berlaku di Indonesia, pada asasnya
setiap orang yang bukan salah satu pihak yang berpekara, dapat didengar sebagai saksi
dan apabila telah dipanggil oleh pengadilan wajib memberi kesaksian. Kewajiban
untuk memberi kesaksian tercantum dalam pasal 139 HIR/165RBg65 dan pasal 1909
62
Lihat Abdul Karim Zaidan, op.cit., h. 181
63
Ibid., h. 165
64
Lihat Ibn Hazm, al-Muhalla, (Beirut, Dar al-Fikr, 1978), jilid 9, h. 334, Bandingkan dengan Ibn Qayyim
al-Jauziyah, op.cit., h. 125
65
K. Wantjik Saleh, op.cit., h. 28
71
memenuhinya.
Akan tetapi asas ini dibatasi oleh hukum acara dengan beberapa batasan yaitu:
Hakim dilarang untuk mendengar mereka ini sebagai saksi, mereka ini ialah:
a. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari
Mereka ini boleh didengar, akan tetapi tidak sebagai saksi, seperti:
a. Saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan dari salah
satu pihak
b. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan
66
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op.cit., h. 403
67
Lihat pasal 145 HIR/172 RBg, K. Wantjik salah, op.cit., h. 31, akan tetapi mereka ini tidak boleh ditolak
sebagai saksi dalam perkara yang menyangkut kedudukan keperdataan dari para pihak atau dalam
perkara yang menyangkut perjanjian kerja.
68
Lihat pasal 145HIR/172 RBg, K. Wantjik Saleh, Ibid.,
69
Lihat pasal 1912 BW, R. Subekti, op.cit., h. 404
70
Ibid.,
71
Hak ini dalam hukum acara perdata disebut dengan hak ingkar atau verschoningsrecht. Hak ini diatur
dalam pasal 146 HIR/174 RBG, lihat K. Wantjik Saleh, op.cit., h. 32
72
c. Semua oang yang karena martabat, jabatan atau hubungan kerja yang syah
Seorang saksi dilarang untuk menarik suatu kesimpulan, karena hal itu adalah
tugas hakim,73 maka yang harus dibuktikan adalah peristiwa dan bukan hukumnya.74
Oleh karena itu variasi saksi dan batas minimalnya selalu berbeda sesuai dengan
peristiwa yang akan dibuktikan, demikian juga halnya perbedaan saksi dalam peristiwa
perdata dengan peristiwa pidana. Hukum asal saksi sebagai alat bukti, cukup dua orang
Akan tetapi dalam beberapa jenis perkara, fenomena alat bukti saksi tersebut
bervariasi, seperti:
72
Hak mengundurkan diri ini hanya berlaku terhadap peristiwa-peristiwa yang dipercayakan kepada
orang yang harus merahasiakannya berhubung dengan martabat, jabatan atau hubungan yang syah.
Hak ini diberikan kepada dokter, advokat, notaris dan polisi, dan sebagainya.
73
Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam teori dan praktek,
(Bandung, Mandar Maju, 1989), h. 63
74
Sudikno Mertokusumo, op.cit, h. 106
73
a. Dalam perkara zina atau tuduhan zina, saksinya empat orang laki-laki muslim.75
b. Tuduhan zina terhadap isteri (tidak berlaku terhadap perempuan lain), jika tidak
mampu membuktikan dengan empat orang saksi, dapat dibuktikan dengan suami
c. Saksi untuk wasiat yang dibuat dalam perjalanan (musafir) dengan dua orang
lelaki muslim, atau boleh dengan dua laki-laki non-muslim jika tidak ada yang
muslim, atau boleh dengan satu orang laki-laki ditambah dua orang
perempuan.77
d. Dalam perkara hudud selain zina, qazaf dan gishas, maka saksinya dua orang
saksi muslim.78
hibah, iddah, perwalian, perdamaian dan lain-lainnya yang sejenis dengan satu
orang saksi laki-laki muslim bersama dua orang perempuan yang beragama
Islam.79
f. Saksi perempuan semua, dua atau empat orang yang beragama Islam, dalam
sejenis.80 Alasan yang mengatakan dua orang saksi adalah karena pengetahuan
75
al-Qur'an al-Karim Surat an-Nisa' ayat 16, lihat juga Surat al-Nur ayat 4
76
al-Qur'an al-Karim Surat al-Nur ayat 6-9
77
Ibid, Surat al-Maidah ayat 106 dan Surat al-Baqarah ayat 282
78
Perhatikan hukum asal alat bukti saksi, lihat Ibn Rusyd, op.cit, Jilid II, h. 464
79
Baca al-Qur'an al-Karim Surat al-Baqarah ayat 282, lihat juga Muhammad Salam Madkur, op.cit., h.
84
80
Lihat Shihabuddin al-Qalyubi, al-Qalyubi wa Umairoh (Mesir Dar al-Ihya al-Kutub Arasyiyah, tt), juz
IV h. 325, Lihat juga Ibn Rusyd op.cit.,
74
g. Saksi dengan satu orang laki-laki ditambah dengan sumpah dari pihak yang
memiliki saksi itu (al-Yamin ma'a Syahi'd), hal ini pernah dilakukan Rasulullah
kepada seseorang yang mengaku telah masuk Islam, cuma satu orang saksi
ditambah sumpah.82
hilal awal Ramadhan, demikian juga halnya dalam perkara kewanitaan seperti:
Dengan variasi saksi di atas, pada prinsipnya dapat dipahami bahwa dalam
perkara perdata maupun pidana, hukum acara itu mengabdi kepada hukum materil,
artinya, hukum materil Islam perlu dijaga dan ditegakkan dengan apa saja yang
pembuktiannya melalui alat bukti saksi, dan oleh sebab itu pula perlu memperhatikan
81
Ibn Hazm, op.cit., Jilid IX, h. 397
82
Ibn Rusyd, op.cit., h. 467-468
83
Alaudin at-Tharablisy, Mu'innul Hukkam, (Mesir, Mustafa al-Baaby al-Halaby, 1973), h. 246
75
Sumpah dalam bahasa Arab dikenal dengan kalimat Yamin, Half atau
Qasam, akan tetapi kata al-Yamin lebih sering dipakai dalam bahasa hukum dan
Muhammad SAW:85
البينة عىل املدعى والميني عىل من:عن ابن عباس ان البىن صىل هللا عليه وسمل قال
}انكر {رواه البهيقي
84
Selain itu sumpah juga banyak dipraktekkan dan diartikan dalam pengertian umum, oleh karena itu
para ulama fiqih membedakan sumpah pada dua macam sesuai objeknya, yaitu sumpah biasa dan
sumpah sebagai alat bukti di Pengadilan. Sumpah biasa yaitu menyatakan suatu niat dan menguatkan
dengan menyebut nama Allah SWT, atau menyebut salah satu dari sifat-Nya, yang didahului dengan
penyebutan kata sumpah, yaitu ba', waw, dan ta' yang berarti "demi”. Contoh, seseorang bersumpah
bahwa dia akan berpuasa, lalu katanya : "demi Allah saya akan berpuasa hari ini”. Dengan ucapan
demikian berarti ia telah mengucapkan lafal sumpah, terdapat perbedaan ulama Mazhab Hanafi
dengan ulama Mazhab Syafi'i dalam memberikan pengertian tentang sumpah biasa. Menurut ulama
Mazhab Hanafi, sumpah adalah pernyataan atas niat yang kuat untuk melaksanakan suatu perbuatan
atau meninggalkannya, artinya, sumpah biasa adalah ucapan yang keluar dari mulut seseorang untuk
menyatakan maksud hatinya. Pandangan demikian ditolak oleh ulama Mazhab Syafi'i. Menurut
mereka, sumpah ialah menyatakan suatu niat dan penguatkan dengan menyebut nama Allah SWT atau
menyebut salah satu dari sifat-Nya. Jadi, menurut ulama Mazhab Syafi'i, sumpah itu hanya terbatas
pada pengungkapan niat yang disertai dengan penyebutan nama Allah SWT, atau penyebutan salah
satu dari sifatsifat-Nya.
85
Husain ibn Ali al-Baihaqy, op. cit, h. 252
76
Dari Ibn Abbas r.a. bahwa Nabi Saw. bersabda: “Bukti itu wajib bagi
penggugat dan sumpah itu wajib bagi tergugat". (HR. al-Baihaqy)
sumpah merupakan hak bagi terdakwa, maka hakim dituntut untuk memintanya
Para ulama fiqh mendefinisikan sumpah sebagai alat bukti dengan penguat
atas sesuatu atau hak atau perkataan, baik berupa penguatan dalam penetapan hak
maupun penguat untuk meniadakan hak, dengan menyebut nama atau salah satu
Ada beberapa landasan hukum dari sumpah sebagai alat bukti, diantaranya
adalah:
ال يو أخذمك هللا ابللغو ىف أمينمك ولكن يو أخذ مك مبا كسبت قلو بمك وهللا غفور حلمي
}٢٢٥:{البقرة
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan
(sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun". (al-Baqarah: 225)
86
Lihat Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh 'Ala al-Mazahib al-'Araba'ah (Kairo, Dar al-Fikr, tt), jilid III,
h. 57
77
لو يعطى الناس بدعوا مه الدعى انس دمأ:عن ابن عباس ان انىب صىل هللا عليه وسمل قال
}رجال واموهلم ولكن الميني عىل املدعى عليه {رواه مسمل
"Dari Ibn Abbas, sesungguhnya Rasulullah SAW, bersabda: jika gugatan
dikabulkan begitu saja niscaya akan banyaklah orang yang akan
menggugat darah dan harta orang lain, akan tetapi sumpah wajib atas
tergugat”. (HR. Muslim)
Dalam hukum acara yang berlaku di Peradilan Umum, alat bukti sumpah
diatur dalam pasal 314 HIR dan 177 RBg88 serta pasal 1929-1945 BW.89 Menurut
diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan
mengingat akan sifat Maha Kuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang
memberikan keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.90
Dengan demikian, sumpah menurut hukum acara yang berlaku di Peradilan Umum
Majelis Hakim.
87
Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisabury, Shahih Muslim, (Beirut, Dar al-Fikr, 1993), juz
II, h. 120
88
K. Wantjik Saleh, op. cit, h. 79
89
R. Subekti, op. cit, h. 407-409
90
Sudikno Mertokusumo, op. cit, h. 147
78
Para ulama fiqh mengemukakan beberapa syarat atas sumpah sebagai alat
a. Orang yang bersumpah itu telah mukalaf, yaitu baligh dan serta
anak kecil, orang gila, dan dalam keadaan terpaksa dianggap tidak sah sebagai
diperlukan lagi.
c. Sumpah itu hanya pada kasus-kasus yang terhadap kasus itu pembuktiannya
boleh dilakukan melalui pengakuan. Oleh sebab itu, jika terhadap kasus itu
menyumpah tergugat.92
91
Lihat Abdul Karim Zaidan, op. cit, h. 204
92
Muhammad Salam Madkur, op. cit, h. 112, akan tetapi sumpah juga dapat menggugurkan gugatan
terhadap pihak tergugat, apabila pihak penggugat tidak mempunyai saksi-saksi, baca Ibn Rusyd, op. cit,
h. 693
79
e. Sumpah itu dilakukan sendiri oleh tergugat dan tidak boleh diwakilkan.93
mengemukakan alat buktinya, atau dalam ketiadaan alat bukti sebagai penguat
gugatan yang diajukan penggugat. Jika alat bukti yang dikemukakan penggugat
cukup dan kuat, maka sumpah dari tergugat untuk mempertahankan haknya tidak
diperlukan lagi. Syarat ini dikemukakan oleh Jumhur ulama fikih. Akan tetapi
ulama Mazhab Syafi'i tidak menerima syarat ini, karena menurut mereka, alat bukti
tergugat, sesuai dengan hadits dari Ibn Abbas yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi
di atas.
3. Nukul
Menurut Sayyid Sabiq, jika tergugat nukul94 atas sumpah yang ditawarkan
untuk bersumpah itu dianggap sebagai pengakuannya atas dakwaan tersebut, sebab
jika tergugat benar tentu tergugat tidak takut untuk bersumpah. Dalam keadaan
demikian, sumpah tidak boleh dikembalikan kepada penggugat; tidak ada sumpah
bagi penggugat atas kebenaran gugatan yang didakwakannya, sebab sumpah itu
93
Dalam perkembangan hukum selanjutnya, dapat diwakilkan kepada orang lain dengan surat kuasa
istimewa, lihat Abdul Manan, op. cit, h. 154
94
Kata ini dalam hukum Islam biasa dipasangkan dengan kata al-Yamin (sumpah) sehingga berbunyi
an-Nukul 'an al-Yamin yang berarti enggan bersumpah. Dalam Hukum Acara Islam (ahkam al-
Murafa'at) nukul berarti keengganan bersumpah dari pihak tergugat yang menolak tuduhan penggugat
ketika penggugat tidak dapat membukti gugatannya. Nukul merupakan salah satu cara pembuktian
atas kebenaran gugatan.
80
SAW:96
ألبينة عىل املدعى والميني عىل من:عن ابن عباس ان النىب صىل هللا عليه وسمل قال
}أنكر {رواه البهيقي
Dari Ibn Abbas bahwa Nabi Saw. bersabda: “Bukti itu bagi penggugat,
dan sumpah bagi tergugat". (HR. al-Baihaqy)
Fuqaha ljaz dan segolongan Fuqaha Irak berpendapat, bahwa apabila pihak
tergugat menolak sumpah (nukul), maka dengan penolakan itu pihak penggugat
Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya beserta sebagian besar para
adanya penolakan itu. ketentuan ini berlaku dalam urusan harta, sesudah ia
pembalikan sumpah terdapat dalam perkara dimana satu orang saksi dan dua orang
perempuan, atau satu orang dan sumpah dapat diterima. Alasan Imam Malik
95
Sayyid Sabiq, op. cit, h. 80
96
Al-Shan'any, op. cit.,
97
Ibn Rusyd, op.cit, h. 700
98
Ibid.,
81
adalah, bahwa sesuatu hak itu dapat ditetapkan hanya dengan dua perkara, yaitu
dengan sumpah dan saksi, atau dengan penolakan dan saksi, atau dengan
dengan hal di atas, sumpah sebagai alat bukti berbeda dengan sumpah/janji yang
sumpah di atas dapat diipahami bahwa pendapat yang cukup kuat dan secara
berlakunya pembalikan sumpah. Hal ini sesuai dengan nash dan prinsip-prinsip
pembuktian secara umum. Sebagian besar para ulama menjadikan Nukul ini
4. Bentuk-Bentuk Sumpah
alat bukti, akan tetapi bentuk-bentuk sumpah ini hanya ditemukan secara eksplisit
99
Ibid.,
100
Sumpah atau janji saksi tersebut bukanlah sebagai alat bukti, tetapi kesaksiannya itulah yang
menjadi bukti. Sebaliknya sumpah yang diucapkan para pihak dalam perkara adalah menjadi alat bukti.
82
diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak untuk melengkapi alat bukti
pasal 155/182 HIR/RBg101 dan pasal 1945 KUH Perdata,102 dalam pasal
berperkara untuk melengkapi alat bukti yang sudah ada supaya perkara dapat
diselesaikan.
3) Para pihak yang berperkara sudah tidak mampu lagi menambah alat
101
K. Wantjik Saleh, op. cit, h. 34
102
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, loc. cit, h. 409
103
Abdul Manan, op. cit, h. 153
83
2) Isi sumpah harus berkaitan langsung dengan pokok perkara dan tidak
yang dilaksanakan di luar gedung pengadilan, harus dihadiri oleh hakim yang
pelengkap ini dalam Masjid yang hanya dihadiri oleh panitera dengan alasan
permintaan pihak lainnya, karna tidak ada bukti. Dalam hukum acara perdata
umum, sumpah pemutus ini diatur dalam satu pihak pasal 156/183
gugatan atau jawaban atas gugatan itu, maka salah satu pihak dapat meminta
104
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit, h. 49
105
K. Wantjik Saleh, op. cit, h. 35
106
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit, h. 407
84
berikut:
- Syarat formil:
2) Harus atas permintaan salah satu pihak dan bukan atas perintah hakim.
- Syarat materil:
1) Isi lafaz sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri atau
kerugian. Sumpah ini dilaksanakan karena dalam praktek sering terjadi bahwa
jumlah uang ganti kerugian yang diajukan oleh pihak yang bersangkutan itu
tidak jelas, maka soal ganti rugi harus dipastikan dengan pembuktian.108
107
Artinya harus bersifat menentukan sehingga dengan sumpah yang akan diucapkan itu perkara yang
diperselisihkan menjadi pasti.
108
Sudikno Mertokusumo, op. cit, h. 150
85
pasal 155/182 HIR/RBg109 dan pasal 1940 KUH Perdata.110 Sumpah ini hanya
pemutus dan sumpah tambahan. Nilai pembuktiannya sangat kuat dan mutlak
utusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atas dasar bahwa
d. Sumpah Li’an
telah diatur secara qath'iy dalam al-Qur'an, surat an-Nur ayat 4, 6 dan 7 serta
zina dengan orang lain atau pengingkaran suami terhadap kehamilan isterinya.
109
K. Wantjik Saleh, op. cit.,
110
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit, h. 408
111
Ulama Mazhab Maliki Ada beberapa definisi li'an yang dikemukan ulama fikih. Ulama Mazhab Hanafi
dan Mazhab Hanbali mendefinisikan dengan persaksian kuat dari pihak suami bahwa isterinya berbuat
zina yang diungkapkan dengan sumpah yang dibarengi dengan lafal li'an, ditanggapi dengan
kemarahan dari pihak isteri, mendefinisikannya dengan “sumpah suami yang muslim dan cakap
bertindak hukum bahwa ia melihat isterinya berzina atau ia mengingkari kehamilan isterinya sebagai
hasil pergaulannya dengan isterinya itu, kemudian isteri bersumpah bahwa tuduhan tersebut tidak
benar sebanyak empat kali di hadapan hakim, baca Imam Malik Ibn Anas, al-Muwatha', (Beirut, dar al-
Kitab al-Ilmiah, tt), juz II, h. 566
86
bahwa apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan dengan alasan salah
satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat
empat orang saksi. Bila suami tidak sanggup mendatangkan empat orang saksi
maka ia akan dihukum dera delapan puluh kali (had qazaf). Untuk
upaya li'an sebagai pengganti qazaf, demikian pula halnya dengan isteri
sebagai bukti atas sanggahannya. Apabila yang tersebut dalam surat an-Nur
zina harus dengan saksi, dan saksi itu harus betul-betul menyaksikan peristiwa
87
sumpah li'an khusus dalam hal perkara permohonan talak dengan alasan isteri
semua jenis perkara. Sumpah li'an teks sumpahnya tertentu, sedangkan pada
sumpah pelengkap dan sumpah pemutus terserah kepada hakim dan para
5. Qasamah
pidana Islam, qasamah artinya sumpah yang dimintakan kepada para wali dari
tertuduh pelaku pembunuhan karena tidak diketahui siapa yang telah melakukan
namun tidak diketahui pembunuhnya, maka ahli waris dari terbunuh meminta agar
qasamah bahwa mereka tidak membunuhnya dan tidak tahu siapa pembunuhnya,
Menurut Imam Malik, qasamah juga bisa berlaku dalam kasus pembunuhan
112
Pendapat M. Yahya Harahap. Sebagaimana di kutip oleh Abdul Manan, op. cit, h. 156
113
Lihat Muhammad Salam Madkur, op. cit, h. 90
114
Lihat Imam Malik Ibn Anas, op.cit, h. 887
88
lapangan Hukum Acara Perdata, dalam acara pidana pun sulit untuk diterapkan.
Sangat berbeda dengan hukum acara perdata umum di Indonesia, dalam hukum
Islam alat bukti surat115 tidak begitu populer. Karena beberapa perkembangan
sebagai alat bukti. Hal ini dipegangi oleh Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah. Majalah ini
lainnya.116
Akan tetapi sebagian fuqaha' tidak dapat menerima tulisan (surat) sebagai alat
bukti, dengan alasan bahwa tulisan-tulisan itu dapat tasyabuh (serupa) dan mungkin
dapat dihapuskan.117 Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat, bahwa apabila hakim
telah pernah memperoleh data tentang kesaksian atas suatu hak yang dipersengketakan,
atau pengakuan, padahal hakim tersebut tidak ingat dan tidak hafal data-data tersebut,
maka ia boleh memutus atas dasar catatan yang ia miliki, sebab tidak semua (data)
115
Alat bukti surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksud untuk
mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai
pembuktian. Dengan demikian potret atau gambar tidak mengundang tanda bacaan atau buah pikiran,
tidak dapat dijadikan alat bukti, begitu juga halnya dengan denah atau peta, meskipun ada tanda
bacaannya tetapi tidak mengundang suatu buah pikiran atau isi hati seseorang, maka juga tidak dapat
dijadikan sebagai alat bukti . Lihat Sudikno Mertokusumo, op. cit, h. 116
116
Lihat Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarhu Majallah al-Ahkam, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiah, tt)
117
Muhammad Salam Madkur, op. cit., h. 102
118
Ibid.,
89
Persolan prinsip dalam penolakan tulisan atau surat sebagai alat bukti adalah
adanya kekuatiran pemalsuan dan penghapusan. Akan tetapi menurut penulis alasan ini
tidak kuat dan valid, karena alat bukti surat bukanlah alat bukti pemutus, sehingga
harus didukung oleh bukti lainnya, sementara itu suatu alat bukti betapapun kuatnya
pada tulisan masing-masing orang berbeda-beda antara tulisan yang satu dengan
lainnya, sebagaimana perbedaan bentuk yang satu dengan bentuk lainnya, dan memang
inilah dasar pengetahuan ahli tentang tulisan dan perbedaan antara satu macam tulisan
dengan lainnya.119
Menurut penulis, ada beberapa alasan yang dapat menjadikan surat atau tulisan
sebagai alat bukti, yang di induksi dari beberapa dalil, diantaranya yaitu:
واستشهدوا شهيدين من رجالمك فان مل يكوان رجلني فرجل وامرأاتن حمن ترضون. . .
. . . من الشهداء ان تضل احد هام فتذ كر احد هام الاخرى وال يأب الشهدأ اذا مادعو
}٢٨٢:{البقرة
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dengan benar.
Dan anganlah penulis enggan menuliskan sebagaimana Allah telah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan”. (al-Baqarah: 282)
119
Ibn Qayyim al-Jauziyah, op. cit. h. 192.
90
ماحق مرىء: ان رسول هللا صىل هللا عليه وسمل قال:حدثنا ماكل عن انفع عن عبد هللا بن معر
}مسمل هل يشء يوىص فيه يبيت ليلتني الا وصيته عنده مكتوبة {اخرجه البخار ومسمل
"Dari Malik dan Nafi' dan Abdullah Ibn Umar, bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda: tidaklah seorang muslim berwasiat tentang sesuatu yang dimilikinya
yang akan berlangsung dua malam, kecuali wasiatnya itu mesti harus tertulis”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Maka jika tulisan itu tidak dapat dipakai sebagai alat bukti, tentu tidak ada
artinya mencatat wasiat, atau catatan dalam mu'amalah sebagaimana tersebut dalam
Menurut Imam Ahmad, bahwa bentuk tulisan itu haruslah terkenal dan
masyhur, karena yang dimaksud di sini adalah dapatnya dibuktikan tentang suatu hak
dasar catatan tentang itu, oleh sebab itu semua catatan yang diajukan dapat menjadi
alat bukti, dan semua catatan atau surat yang tidak otentik bisa juga diingkari dan
ditolak sebab adanya pemalsuan. Adapun pengakuan yang dituangkan di atas catatan
resmi merupakan alat bukti yang tidak dapat diingkari, dan dapat juga menjadi alat
Dengan demikian alat bukti surat merupakan alat bukti yang konsisten,122
120
Imam Malik Ibn Anas, op. cit, h. 761
121
Muhammad Salam Madkur, op. cit, h. 104
122
Konsisten dalam penelitian hukum berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu
kerangka tertentu, Lihat Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, UI Press, 1986),
cet. 3, h. 42
91
Bukti tulisan atau surat, dalam perkara perdata umum merupakan bukti utama,
karena dalam lalu lintas keperdataan seringkali orang dengan sengaja menyediakan
suatu bukti yang dapat dipakai kalau timbul suatu perselisihan; dan bukti yang
Dasar hukum penggunaan surat atau tulisan sebagai alat bukti dalam hukum
acara perdata umum adalah pasal 164 HIR dan pasal 284, 293 dan 294 RBg,124 serta
Surat sebagai alat bukti tertulis dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan
akta. Akta dapat dibedakan menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Jadi dalam
1. Akta otentik
Dalam pasal 165 HIR, 285 RBg126 dan pasal 1868 BW127 disebutkan bahwa
akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi
Akta otentik mempunyai kekuatan bukti yang sempurna atau mengikat, baik
bagi pihak-pihak yang membuat maupun bagi ahli warisnya atau bagi orang-orang
yang memperoleh hak dari padanya. Akan tetapi isi akta secara material hanya
123
R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta, Pradaya Paramita, 2001), h. 25
124
K. Wantjik Saleh, op. cit, h. 71 dan 74
125
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Loc.cit, h. 398
126
K. Wantjik Saleh, op. cit.,
127
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit, h. 397
128
Yang dapat digolongkan kepada pejabat yang berwenang adalah seperti, akta cerai yang ditandai
oleh panitera Pengadilan Agama, akta nikah yang dibuat dan ditanda tangani oleh pegawai pencatat
nikah, akta jual beli tanah yang dibuat dan ditanda oleh pejabat pembuat akta tanah, dan lain-lain.
Lihat Abdul Manan, op. cit, h. 138
92
Akta di bawah tangan ialah segala tulisan yang memang sengaja dibuat untuk
dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditanda tangani tetapi tidak dibuat oleh
dan di hadapan pejabat yang berwenang sehingga bentuknya tidak terikat kepada
bentuk tertentu.
Kekuatan akta di bawah tangan, hakim menilainya secara bebas, tetapi jika
tanda tangan yang tercantum di dalam akta di bawah tangan tersebut diakui oleh
Ketentuan tentang alat bukti surat secara sepihak diatur dalam pasal 1877 KUH
Perdata,130 dan pasal 291 RBg.131 Bentuk surat ini berupa surat pengakuan yang
berisi pernyataan akan kewajiban sepihak dari yang membuat surat bahwa dia akan
membayar sejumlah uang atau akan menyerahkan sesuatu atau akan melakukan
Surat-surat non akta sebagaimana yang diatur dalam pasal 294 Rbg132 dan pasal
129
R. Subekti, op. cit, h. 29-30
130
R. Subekti, Loc. cit, h. 399
131
K. Wantjik Saleh, op. cit, h 73
132
Ibid.,
133
R. Subekti, op. cit, h. 400
93
harian dan sebagainya. Surat-surat tersebut tidak sengaja dibuat sebagai surat bukti
Dengan mencermati beberapa penjelasan tentang alat bukti surat di atas, dapat
dipahami bahwa alat bukti surat menempati posisi alat bukti yang menentukan dan
dapat diterapkan dalam Peradilan Islam, di samping itu sebagaimana pendapat Ibn
Qayyim al-Jauziyah bahwa bayyinah selain dua orang saksi adakalanya lebih
134
Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Firaasat, ab. Ibn Ibrahim, (Jakarta, Pustaka Azzam, 200), h. 4
BAB IV
diterjemahkan juga dengan indikasi atau tanda3 Selain itu, para ulama dalam
merupakan pengertian yang paling relevan dengan qarinah serta banyak dipahami
oleh para fuqaha' serta dipraktekkan di depan sidang pengadilan sebagai salah satu
dari berbagai cara pembuktian suatu gugatan yang dapat membantu para penegak
1
Ibn Manzur, Lisan al-Arab, (Beirut, Dar al-Ihya' al-Tulas al-Arabi, tt), Juz IX, h. 139. Lihat juga Abu Luis
Ma'luf al-Yusu'l, al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut, Dar al-Masyriq, 1977), cet.3, h. 210
2
Majma' al-Lughah al-Arabiyah, Mu'jam al-Wajiz, (Mesir, Wizarah Tarbiyah wa Ta'lim, 1993), h. 298
3
Abdul Karim Zaidan, Nizham al-Qadha' fi asy-Syari'ah al-Islamiyah, (Baghdad, Mathba'ah al-'Ani,
1984), h. 219
4
Abdurrahaman Ibrahim Al-Humaidi, al-Qadha' wa al-Nizham Fi al-Kitab wa al-Sunnah, (Makkah al-
Mukarraman, Jami'ah um-al-qura, 1989), h. 447, selanjutnya dapat juga dipahami bahwa qarinah
adalah hal-hal yang mempunyai hubungan atau pertallian yang erat sedemikian rupa sehingga
memberikan petunjuk. Umpamanya, kelihatan seseorang baru saja keluar dari sebuah rumah dan pada
tangannya ada sebilah pisau, kemudian dalam rumah itu ternyata ada jenazah tergeletak yang baru
terbunuh dengan tusukan pisau. Maka keluarnya seseorang yang membawa pisau dari rumah itu tadi
adalah qarinah yang menunjukkan atau menimbulkan kecurigaan kuat bahwa dialah pembunuhnya,
Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut, Dar al-Fikr, tt) Jilid III, Juz 14, h. 82
94
95
“Indikasi atau tanda yang menunjukkan ada atau tidak adanya sesuatu".
dengan:6
Tidak jauh berbeda dari Sayyid Sabiq, Abdurrahman Ibrahim Ali Humaidi
sebagai salah satu alat bukti, beliau lebih mempopulerkan istilah firasat dan imarat
sebagai alat bukti,8 hal ini dapat dipahami bahwa contoh-contoh yang dikemukakan
5
Abdul Karim Zardan, op.cit.,
6
Sayyid Sabiq, op.cit.,
7
Abdurrahman Ibrahim Ali Humaidi, op.cit.,
8
Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Turuq al-Hukmiyah Fi al-Siyasah al-Syar'iyah, (Kairo, Mathba'ah al-
Madani, tt), h.3., perhatikan juga dalam bukunya al-Firasat, (Baghdad, al-Maktabah al-wathamiyah
Math'at al-zaman, 1986).
96
oleh Ibn Qayyim sebagai contoh firasat dan imarat, adalah sama dengan contoh-
contoh qarinah yang dikemukakan oleh para ulama yang menerapkan qarinah
(aanwijizingen), seperti orang kecurian suatu benda, kemudian benda itu ditemukan
di rumah fulan, maka hal itu adalah qarinah (petunjuk), bahwa pemilik rumah
itulah pencuri benda itu, atau setidak-tidaknya dituduh ada hubungannya dengan
pencuri, seperti sebagai penadah, atau pencuri itu menitipkan benda itu dirumah
fulan.9
persangkaan (vermeoden), yaitu kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang
telah terkenal atau dianggap “terbukti” kearah suatu peristiwa yang "tidak terkenal”
artinya belum terbukti.10 Hanya saja R. Subekti, menyatakan kurang tepat bila
persangkaan itu dinamakan sebagai alat bukti, karena undang-undang sendiri tidak
diambil oleh ketentuan undang-undang atau oleh hakim tentang suatu kejadian
9
Termasuk juga qarinah, tuduhan zina pada wanita hamil tanpa suami. Lihat Abdul Kadir Audah, al-
Tasyri' al-jina'i al-islami muqaranah bi al-qanum al-wad'I (Beirut, Mu'assah ar-Risalah, 1992), h. 440
10
R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta, Pradnya Paramita, 2001), h. 45
11
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta, Pradanya Paramita,
1992), h. 404
97
yang dikenal dengan mana dapat diketahui adanya sesuatu kejadian yang tidak
terkenal.12
dengan persangkaan tidak lain adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung.
Misalnya saja pembuktian dari pada ketidakhadiran seseorang pada suatu waktu
tempat lain. Dengan demikian maka setiap alat bukti dapat menjadi persangkaan.13
Secara empirik dan teori-teori hukum acara, ada dua macam alat bukti
1. Qarinah Qadha’iyyah.
setelah memeriksa proses perkara, dan dalam hal ini hakim mempunyai kebebasan
نتاجئ يس تخر هجا القاىض من واقعة معر وفة لو اقعة غري معروفة
12
M.R. Tresna, Komentar HIR, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1994), h. 175
13
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta, Liberty, 1988), edisi 3, cet 1,
h. 138
14
Muhammad Salam Madkur, al-Qadha' Fi al-Islam (Mesir, Dar al-Nahdah alArabiyah, tt), h. 96
15
Lihat Teungku Muhammad Hasbi Ashshiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra), Cet. 1, h. 158
98
"Kesimpulan yang ditanggapi hakim dari suatu peristiwa yang terkenal untuk
suatu peristiwa yang tidak terkenal.”
berdasarkan kenyataan, yaitu kenyataan yang bersumber dari data yang terbukti
Sedangkan dari mana data yang terbukti itu diambil oleh hakim adalah bebas,
boleh diambil dari data yang ditemukan yang dikemukakan penggugat tapi boleh
juga data yang berasal dari tergugat, yang menjadi patokan adalah data atau fakta
tersebut sudah terbukti dalam persidangan. Dengan demikian setiap data atau fakta
yang sudah terbukti baik yang berasal dari penggugat atau tergugat adalah dapat
beranjak dari data atau fakta yang belum diketahui cara pengungkapannya adalah
dengan jalan menarik kesimpulan fakta yang telah terbukti tadi. Misalnya, apabila
si fulan melihat dari luar sebuah rumah gelap adalah dapat disimpulkan atau
persangkaan bahwa lampu dalam rumah itu tidak dihidupkan. Dalam hal ini fakta
yang terbukti dan diketahui adalah gelap, ditarik kesimpulan mengenai fakta yang
belum diketahui melalui qarinah yakni lampu dimatikan atau tidak dihidupkan.
16
Lihat M. Yahya Harahap, Bahan Kuliah Hukum Acara Perdata Program Pendidikan Calon Hakim
Peradilan Agama, (Bandung, ttp, 1994), h. 72
99
Karena pada umumnya, kehidupan manusia pada setiap saat penuh dengan
persangkaan, sehingga setiap waktu yang dilalui manusia dalam kehidupan selalu
positif bila didukung oleh fakta yang valid dan negatif jika tidak didukung oleh
Dua faktor yang rasional untuk membentuk suatu persangkaan: pertama, data
akurat yaitu yang sudah terbukti dalam proses persidangan. Kedua, Intelektual,
apabila data akurat yang sudah terbukti menjadi landasan sumber untuk
unsur yang berfungsi sebagai alat menyusun uraian kesimpulan untuk menemukan
fakta yang belum diketahui, sebab tanpa memanfaatkan intelektual tidak mungkin
ditemukan dan ditetapkan kesimpulan apa dan bagaimana wujud dan bentuk fakta
satu dengan yang lain, dimana ada persangkaan yang mendekati kebenaran dan
kebenaran dan kepastian. Hal ini disebabkan landasan fakta yang menjadi sumber
sangat kuat, terkadang ada fakta yang sumbernya sangat lemah atau ada fakta yang
Bertitik tolak dari kuat dan lemahnya fakta sumber qarinah dalam kehidupan
terdapat beberapa hal yang perlu dicermati, bahwa ada persangkaan yang benar-
rumah itu dilihat dari dekat dan yang melihatnya orang masih muda yang memiliki
penglihatan cukup terang terdiri dari dua orang atau lebih, maka fakta yang
terbukti diketahui memiliki kualitas yang sangat kuat, karena itu qarinah tersebut
mendekati kepastian.
sebelumnya, kalau yang melihat rumah itu orang tua yang sudah rabun matanya
dan hanya terdiri dari satu orang saja, apabila dari fakta itu ditarik kesimpulan
untuk menyingkap fakta yang belum diketahui tentang mati atau tidaknya lampu
hampir dapat dikatakan bahwa, qarinah yang diambil oleh hakim merupakan
harus secara cermat dan hati-hati penerapannya, diharapkan fakta itu harus yang
seobjektif mungkin.
berakibat tidak berani menarik konklusi, meskipun fakta yang terbukti memiliki
bobot yang kuat dan objektif. Dampak selanjutnya adalah sesuatu yang semestinya
syarat formil seperti di atas, yang tidak kalah pentingnya adalah faktor
101
intelektualitas hakim. Kalau fungsi fakta-fakta atau data yang sudah terbukti
menjadi landasan sumber untuk mengungkap fakta yang belum diketahui maka
mungkin ditemukan dan ditetapkan adanya kesimpulan apa dan bagaimana wujud
serta bentuk fakta yang belum diketahui. Dengan demikian pemecahan kasus
2. Qarinah Qanuniyah.
peristiwa tertentu.19
Dalam hukum Islam, tidak terdapat formulasi yang jelas tentang qarinah
menyatakan tanpa menjelaskannya dengan rinci bahwa qarinah qanuniyah ini ada
17
Ibid., h. 74
18
Muhammad Salam Madkur, op. cit.,
19
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta, al-
Hikmah, 2000), h. 147
102
dua macam dan keduanya terdapat dalam Undang-undang Perdata Mesir, yaitu
Selain itu qarinah qanuniyah ini disebut juga qarinah syar'iyah, yaitu:21
القرائن الىت يس تخر هجا الشارع من واقعة معروفة لوا قعة غري معروفة
Qarinah-qarinah yang dikeluarkan (ditanggapi) syara' dari peristiwa yang
yang terkenal untuk peristiwa yang tidak terkenal.
Dengan diinduksi dari beberapa dalil-dalil nash dan mencermati beberapa
kuat data dan faktanya serta dapat dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang
pengadilan.
20
Muhammad Salam Madkur, op. cit.,
21
Teungku Muhammad Hasbi Ashshiddieqy, op. cit., h. 159
22
Persoalan ini dapat dicermati dari berbagai dimensi, termasuk metode penemuan hukum, dengan
menggunakan metode Qiyas yang berdasarkan pertimbangan paling mendekatkan pada Allah SWT dan
yang paling mendekati kebenaran, baca Syams al-Din al-Sarakhsi, al-Mabsuth (Beirut, Dar al-Ma'rifah,
tt), juzz 15, h. 63
23
Sudono al-Qudsi, Urgensi Alat Bukti Persangkaan Dalam Perkara Perdata, dalam Buletin Berkala
Hukum dan Peradilan, (Jakarta Dirbinbapera Islam-Dirbenbaga Islam, 2001) Nomor 12, h. 6
103
dibantah, yaitu:24
pengadilan.25
persangkaan Undang-undang yang tidak dapat dibantah dapat dilihat dalam pasal
1152 ayat (2), 1168, 1180, 1320, 1338, 1426, dan pasal 1471 KUH Perdata.26
(capacity), mengenai suatu hal tertentu (bepalde onderwerp), dan suatu sebab
yang halal (geoorloofde oorzak).27 Kalau dari salah satu syarat tidak terpenuhi
dibantah, seperti:
24
M. Yahya Harahap, op. cit, h. 67
25
Lihat Pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 serta pasal 55, 56, 57 dan 58 Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia.
26
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit, h. 307
27
Ibid., h. 283
28
Hukum perkawinan yang sesuai dengan hukum Islam di Indonesia, direfleksi dalam UU No. 1/1974
tentang Perkawinan
104
menurut hukum agama maka perkawinan dianggap tidak sah, tidak pernah
ada (never existed) dan tidak mempunyai akibat hukum terhadap para pihak
didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Oleh karena itu maka
bahwa pabila terjadi perkawinan paksa dengan sendirinya batal demi hukum
atau paling tidak dapat dibatalkan, ketentuan ini sama dengan apa yang
diatur dalam pasal 6 ayat (3) undang-undang nomor 1 tahun 1974,31 yaitu
atas.
29
Dirbinbapera Islam, Himpunan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta,
Dirbinbapera Islam-Departemen Agama RI, 2001), h. 131
30
Ibid., h. 131
31
Ibid.,
32
Ibid., h. 134
105
ada juga beberapa contoh qarinah qanuniyah yang tidak dapat dibantah,
Berdasarkan ayat ini, para fuqaha berpendapat bahwa setiap perempuan yang
sepersusuan.34
disebut secara rinci dalam ayat dan dalam pasal 8 tersebut. Undang-undang
33
Berdasarkan surat An-Nisa' ayat 23, al-Syirazi mengelompokkannya kepada orangorang yang haram
dikawini karena hubungan nasab, lihat Abi Ishaq bin Ali bin Yusuf Fairuzabadi asy-Syirazi, al-Muhazzab
Fi Fiqhi al-Imam al-Syafi'i, (Beirut Dar al-Fikr, 1994), h. 59
34
Lihat Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Fairuzabadi asy-Syirazi, op.cit., h. 61
106
Jadi persangkaan hukum yang dapat ditarik dalam hal ini tidak dapat dibantah,
demikian juga masih banyak ayat serta pasal dari undang-undang perkawinan
yang memberi gambaran garinah qanuniyah yang tidak dapat dibantah seperti:
qanuniyah yang dapat dibantah. Akan tetapi terdapat metode mengetahui sifat
sebaliknya.36
35
Lihat Dirbinbapera Islam, op.cit., h. 137-140
36
Lihat Ahmad Mujahidin, Eksistensi Alat Bukti Persangkaan Sebagai Intermediary Pelaksanaan
Pembuktian dalam Bulletin Berkala Hukum dan Peradilan (Jakarta, Dirbinbapera Islam, 2001), No. 12,
h. 19
107
yang makan dan minum di bulan Ramadhan ketika ia sedang berpuasa, dapat
itu menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal karena ia telah
puasanya sampai berbuka. Akan tetapi, hukum ini dikecualikan oleh hadits
من: قال رسول هللا صىل هللا علهيو سمل:عن أىب هريرة ريض هللا عنه قال
}ألك أورشب انس يافال يفطر فامنا هو رزقة هللا {رواه الرتمذى
Dari Abi Hurairah r.a. berkata, Rasulullah Saw. bersabda : "Siapa
yang makan atau minum karena lupa tidak batal puasanya, karena
hal itu merupakan rezeki yang diturunkan Allah kepadanya". (HR.
al-Tirmidzi)
sudah diniatkan terlebih dahulu sehingga “lupa” hanya sebatas alibi, hal ini
37
Abu Isa Muhammad al-Tirmizi, Jami' al-Tirmizi, (Kairo, Dar asy-Sya'bi, t.t.), h. 371
108
fiqh, yaitu:38
Contoh lain dari qarinah qanuniyah yang dapat dibantah adalah dalam
kasus wakaf lahan pertanian. Menurut ketentuan qiyas jaliy (qiyas yang nyata)
wakaf ini sama dengan jual beli, karena pemilik lahan telah menggugurkan hak
miliknya dengan memindahtangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang
lain untuk melewati tanah tersebut atau hak orang lain untuk mengalirkan air
ke lahan pertaniannya melalui tanah tersebut, tidak termasuk dalam akad wakaf
itu sama dengan sewa menyewa, karena maksud dari wakaf adalah
seluruh hak orang lain yang telah ada dilahan pertanian tersebut, seperti hak
melewati lahan pertanian itu atau hak mengalirkan air di atas lahan pertanian
38
Jalaludin Abdurrahman Bin Abi Bakar al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair Fi al-furu' (Beirut Dar al-
Fikri, 1995), h. 7. Dasar kaedah ini adalah al-Qur'an antara lain seperti tercantum dalam al-Qur'an surat
Ali-Imran ayat 145, surat al-Bayyinah ayat 5 dan surat al-Zumara ayat 2 serta Hadis Rasulullah Saw:
(Sesungguhnya segala amalan tergantung niat). Meskipun menurut sebagian ahli hadis, hadits ini
tergolong masyhur tetapi menurut Abdullah bin Sa'id hadis ini di tahrijoleh Imam yang enam, selain itu
hadis ini juga didukung oleh hadis yang lain. Terlepas dari hal itu, permasalahan niat bisa diperiksa di
depan pengadilan jika dihubungkan dengan perbuatan sengaja atau tidak sengaja. Karena hakim hanya
diperintahkan untuk mengadili perkara yang Zahir saja. Lihat Syams al-Din al-Sarakhsi, op.cit., h. 65
109
akad.39
menurut undang-undang yang dapat dibatah adalah halhal yang disebut pada
dalam pasal 633 KUH Perdata,41 bahwa setiap tembok yang dipakai sebagai
tembok batas antara bangunan, tanah, tanaman dan kebun milik seseorang dan
terletak pada perbatasan antara dua orang atau lebih dari pemilik hak yang
berbatasan dengan tembok itu dianggap milik bersama, akan tetapi pada kalimat
untuk melawannya ditegaskan dalam kalimat yang berbunyi kecuali ada sesuatu
39
Jika seorang hakim atau mujtahid mengambil hukum qiyas al-Khafiy dengan meninggalkan qiyas jaliy,
maka ia disebut berdalil dengan istihsan, lihat al-Sarakhsi, Ushul al-Sarakhsi, (Beirut, Dar al-Kitab al-
l'Imiyah, 1993), h. 207
40
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op.cit., h. 405
41
Ibid., h. 154
42
Ahmad Mujahidin, op.cit.,
110
parit atau selokan antara dua pekarangan harus dianggap sebagai milik bersama,
kecuali terbukti sebaliknya. Selanjutnya juga terdapat dalam pasal 1394 Kitab
tunjangan nafkah, bunga uang pinjaman dan pada umumnya segala hal yang
harus di bayar tiap tahun atau tiap waktu tertentu. Maka dengan adanya tiga
dibuktikan sebaliknya.
tidak benar.
43
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op.cit., h. 159
44
Ibid., h. 293
45
M. Yahya Harahap, op.cit.,
111
- Dan mengenai penggunaan alat bukti untuk mencapai tujuan itu tidak di
batasi, boleh dipergunakan setiap jenis alat bukti yang disebut dalam
pihak ketiga yang tidak memihak tentu akan memberikan pertimbangan dengan
bahwa eksistensi qarinah sebagai alat bukti adalah masih diperselisihkan oleh
46
K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBg/HIR, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990), h. 73
47
Imron Rosyadi, Persangkaan (vermoeden Dalam Kaitannya Sebagai Alat Bukti dalam Bulletin Berkala
Hukum dan Peradilan, op.cit., h. 16
48
Muhammad Salam Madkur, op.cit., h. 93
112
Mahkamah Syar'iyah tidak menganggap qarinah sebagai alat bukti yang dapat
pendapat bahwa para fuqaha berbeda pendapat tentang eksistensi qarinah sebagai
alasan tentang kekuatan alat bukti qarinah yang bisa dijadikan sebagai dasar
pengadilan dan telah dapat melindungi banyak hak-hak dan menjauhkan peradilan
perselisihan para fuqaha dalam memandang alat bukti qarinah, bukanlah dalam
konteks ada atau tidaknya alat bukti qarinah dalam Islam, namun hanya sebatas
secara tegas atau tidak tegasnya mereka menerima qarinah sebagai alat bukti.
Seperti ulama Madzhab Maliki dan Madzhab Hanbali secara tegas dalam
dalam Madzhab lainnya seperti Madzhab Syafi'i dan Madzhab Hanafi meskipun
tidak secara tegas menerimanya namun dalam beberapa kasus fatwa-fatwa fiqh
tentang harta terpendam yang ditemukan oleh orang Islam, jika terdapat padanya
tanda-tanda yang menunjukkan harta itu adalah kepunyaan orang Islam, maka
49
Ibid.
50
lbid., h. 94
113
qarinah itu sudah dianggap cukup untuk menganggap harta itu sebagai harta
luqatah.51 Adapun jika pada harta itu terdapat tanda-tanda (qarinah) yang
menunjukkan kepunyaan orang kafir Harbi (kafir yang memerangi Islam), maka
Di samping itu, para ulama juga berbeda pendapat tentang kasus-kasus yang
mempergunakan qarinah sebagai alat bukti dalam bidang hak hamba saja, dan tidak
memakainya dalam bidang qishas dan had,53 dengan alasan untuk kehati-hatian.
pemiliknya yang diam saja berarti izin mengambilnya.54 Sedangkan dalam kasus
had dan qishas, ulama Hanafiyah tidak menghukum qishas orang yang memegang
pisau yang didekatnya ada orang yang terbunuh, serta tidak menghukum had
wanita yang kedapatan hamil walaupun tidak punya suami dan tidak mempunyai
tuan.55
51
Yaitu harta tercecer atau hilang dari pemiliknya, oleh karena itu tehadap harta itu diberlakukan
hukum luqatah. Lihat Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Beirut Dar al-Fikr,
1978), jilid III, h. 379
52
Yaitu harta terpendam yang secara sah boleh digunakan langsung oleh pihak yang menemukannya
dengan membayar zakatnya.
53
Mahmoud Syaltout dan Muhammad Ali as-Syais, Muqarranah al-Madzahib fi al-Fiqh, (Beirut, Dar al-
Fikr, 1978), h. 289
54
Ibid.,
55
Ibid., h. 290
114
ulama Malikiyah telah mempergunaan qarinah pada perkara pidana dan perdata.
dijatuhkan had berdasarkan bau dan muntah sebagaimana telah disepakati oleh para
sahabat, begitu pula dijatuhkannya hukum had terhadap orang yang dituduh
sebagai alat bukti, karena secara nash penerapannya telah dilakukan sejak zaman
Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, tidak boleh bagi seorang hakim dan
seorang penguasa menolak yang benar sesudah jelas dan nyata tanda-tandanya
salahnya.59
56
Ibn Qayyim al-Jauziyah, l'lam al-Muwaqqi'in'an Rabb al-'Alamin, (Mesir, Mathlaa'ah Sa'adah, tt), juz
III, h. 20
57
Abdul Karim Zaidan, op.cit., h. 221
58
Ibn Qayyim, op.cit., h. 7. Lihat juga Abdul Kadir Audah, op.cit., h.440. selanjutnya lihat juga pendapat
yang Sama dalam Jalaluddin al-Sayuthy, Muwatho' al-Imam Malik, al-Halaby, (Mesir, Musthafa al-
Baaby 1951), jilid II, h. 168
59
Ibn Qayyim al-Jauziyah, op. cit.,
115
berdasarkan keterangan satu saksi harus juga dianggap berlaku untuk persangkaan,
dalam arti bahwa yang dilarang adalah mengabulkan gugatan kalau dalam
keseluruhannya hanya terdapat satu persangkaan saja.60 Maka dari itu, kalau
persangkaan (qarinah) ini dinamakan alat bukti, adalah kurang tepat karena
untuk menambah kekuatan suatu bukti yang langsung, tapi kurang lengkap.62 Oleh
karenanya, jika dalam pemeriksaan hanya diajukan seorang saksi, menurut beliau,
persangkaan hakim.
masih diperselisihkan oleh para ahli hukum tentang alat bukti atau bukan. Sebagian
mereka mengatakan bahwa persangkaan itu bukan alat bukti, tetapi merupakan
kesimpulan belaka, dalam hal ini yang dipakai sebagai alat bukti sebenarnya bukan
60
R. Subekti, op.cit., h. 45
61
Ibid.,
62
R. Tresna, op.cit., h. 152
116
persangkaan itu, melainkan alat-alat bukti lain, misalnya persaksian atau surat-surat
bukti yang bersifat tidak langsung, misalnya saja pembuktian dari pada ketidak
kejadiannya pada waktu yang sama di tempat lain. Oleh sebab itu, maka setiap alat
yang terakhir ini didasarkan pada 66 pasal 164 HIR,65 dan pasal 1866 KUH
bahwa kedudukan qarinah sebagai alat bukti pada prinsipnya adalah kuat dan dapat
diterima, namun nilai kekuatan qarinah sebagai alat bukti tergantung dari jenis dan
bentuk qarinah itu sendiri. Penulis dapat menganalogikan qarinah dengan alat
bukti lainnya seperti saksi, saksi itu adalah alat bukti yang diterima tetapi pada
diterima, saksi yang ditolak ataupun saksi yang tidak boleh di dengar kesaksiannya,
63
R. Wiryono Projodikuro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung, sumur, 1992), h. 116. Lihat
juga R. Soebekti, Ibid.
64
Sudikno Mertokusumo, op.cit., peristiwa prosesuil merupakan peristiwa yang terjadi dalam
persidangan, sedangkan peristiwa notoir adalah peristiwa atau fakta yang dianggap diketahui umum.
65
K. Wanjik Saleh, op.cit.,
66
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op.cit., h. 397
117
qadha'iyah (persangkaan hakim) bersifat bebas, maka satu persangkaan saja tidak
cukup, paling tidak harus ada dua persangkaan agar terpenuhi batas minimal
pembuktian, atau paling tidak satu persangkaan ditambah dengan salah satu alat
bukti yang lain, dengan demikian kalau yang menjadi alat bukti hanya terdiri dari
antara qarinah yang satu dengan yang lain terdapat kecocokan dan persesuaian,
dari satu kenyataan fakta yang terbukti di persidangan ditarik satu qarinah,
kemudian dari fakta-fakta atau dari berbagai fakta lain yang ditemukan di
persidangan yang ternyata antara yang satu dengan yang lainnya terdapat saling
fakta yang saling berlawanan, qarinah yang demikian dianggap saling bertentangan
satu sama lain karena itu dianggap saling berdiri sendiri tidak dapat dijumlah
menjadi dua alat bukti sehingga tidak tercapai batas minimal pembuktian, maka
qarinah agar memenuhi kebenaran formil,68 dasarnya adalah dari data yang sudah
diketahui dan telah terbukti dalam persidangan, lalu hakim mengungkap data yang
belum diketahui dengan jalan menarik kesimpulan dari data yang sudah terbukti
hukum. Antara qarinah yang satu dengan yang lain harus terjalin saling
bersesuaian sehingga akan didapatkan dari satu kenyataan fakta yang sudah
fakta atau dari berbagai fakta lain yang ditemukan di persidangan yang ternyata
antara satu dengan yang lain terdapat saling persesuaian di tarik pula jadi satu
qarinah lain.
yang saling berlawanan satu sama lain, karena yang demikian dianggap saling
berdiri sendiri-sendiri sehingga tidak dapat dijumlah menjadi dua alat bukti
67
Ahmad Mujahidin, op.cit., h. 22
68
Kebenaran formil artinya kebenaran yang hanya didasarkan atas alat-alat bukti yang diajukan oleh
para pihak dimuka pengadilan, tanpa memperhatikan apakah hakim sudah yakin atau belum.
69
Sudono al-Qudsi, op.cit., h. 2
70
Kebenaran Materil adalah kebenaran yang diperoleh disamping didasarkan atas alat-alat bukti
dimuka persidangan, juga didasarkan atas keyakinan hakim.
119
persangkaan.71
Menurut penulis, selain hal-hal yang telah dijelaskan di atas, ada dua unsur
yang membuat kedudukan alat bukti qarinah qadha'iyah menjadi lebih kuat, yaitu:
a. Keyakinan hakim
Dalam kontek ini keyakinan hakim berarti suatu ketetapan hati atau
keputusan hakim yang didasarkan atas bukti-bukti qarinah, namun tidak semua
Akan tetapi jika alat bukti qarinah sudah menimbulkan keyakinan maka
hal itu merupakan dasar yang kuat untuk mengambil suatu keputusan, hal ini
adalah:73
71
M. Yahya Harahap, op. cit., h. 77
72
Lihat Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair Fi al-Furu' (Beirut
Dar al-Fikr, 1995) h. 38
73
Lihat Abdul Mujib, al-Qawa'idul Fiqh'iyah 73, (Yogyakarta, Nur cahaya, 1980), h. 25
120
Maka alat bukti itu akan semakin kuat karena sudah ditambah dengan kekuatan
b. Ijtihad hakim
ijtihad hakim. Oleh sebab itu seorang hakim disyaratkan haruslah orang yang
cerdas serta seorang mujtahid.74 Maka orang yang bodoh serta tidak mengetahui
bebas, disamping itu ijtihad seseorang tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad
mujtahid lainnya. Selain itu Nabi Muhammad Saw memberi dukungan kepada
اذا حمك احلا مك:عن معر وبن العاص أنه مسع رسول هللا صىل هللا عليه وسمل قال
}فا جهتد مت أصاب فهل اجر ان واذا حمك اجهتد مث أخطأ فهل اجر {رواه مسمل
“Dari Amru ibn al-Ash bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda:
Apabila seorang hakim berijtihad lalu ijtihadnya benar maka dia dapat
dua pahala dan jika ijtihadnya salah maka ia dapat satu pahala (HR.
Muslim)”.
74
Lihat Syamsuddin Muhammad bin Abil Abbas Ahmad Bin Humazah Bin Syihabuddin al-Ramli, Nihayah
al-Muhtaj. (Beirut, Dar al-Ihya, 1004), juz VIII, h. 240.
75
Zakiyuddin Abdul Azhim al-Munziriy, Mukhtasyar Shahih Muslim, (Riyad, Dar alSalam, 1996), h. 453
121
pendapat tertulis.
berbeda dengan qarinah qadah'iyah atau persangkaan hakim. Nilai kekuatan alat
bukti qarinah qadha'iyah adalah bebas, sedangkan nilai kekuatan alat bukti qarinah
qanuniyah, tidak dapat dibantah dan menjadikan qarinah qanuniyah menjadi dasar
jelas dalam literatur-literatur fiqh tentang qarinah qanuniyah ini, demikian juga
76
Selain dalam sistem hukum Islam, prinsip ini juga dapat ditemukan dalam aliran Realisme Hukum
yang diprakarsai oleh Karl Liwellyn (1893-1962), Jerone frank (1889-1957) dan Justice Oliver Nendell
Holines 61841-1935) ketiga-tiganya orang Amerika. Mereka terkenal dengan konsep yang radikal
tentang proses peradilan dengan menyatakan bahwa hakim-hakim tidak hanya menemukan hukum,
akan tetapi membentuk hukum. Lihat Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2001), h. 38
122
halnya tidak pula terdapat dalam yurisprudensi hukum Islam secara empiris suatu
merupakan hukum yang sempurna.77 Namun hukum Islam dalam konteks Tasyri'
Qada'i (hukum positif) selalu berproses dari waktu ke waktu mulai dari era Nabi
Muhammad Saw, Khalifah al-Rasyidin bahkan sampai saat ini, sehingga hukum
Oleh sebab itu, peradilan islam dan segala hal yang berhubungan dengan
institusi itu tidak langsung lengkap secara sempurna,78 termasuk dalam hal hukum
acara khususnya alat bukti qarinah. Karena itu alat bukti qarinah qanuniyah belum
yurisprudensinya.
77
Kesempurnaan hukum Islam yang dipresentasikan oleh al-Qur'an yang juga sebagai misi kenabian
ditegaskan oleh Allah SWT dalam al-Qur'an surat al-Maidah ayat 3.
78
Pada masa Rasulullah SAW kekuasaan peradilan belum terpisah dari kekuasaan umum pemerintahan
Lihat Atiyah Alustana Musyrifah al-Qadha' fi al-Islam, (tt, tp.) h.90 pada masa sahabat dan Bani
Umayyah keadaan peradilan tidak jauh berbeda dengan masa Nabi, baca Ahmad Syalaby, Tasyri’ wa
al-Qadha’ al-Fikr al-Islam (Kairo, Maktabah al-Nandah al-Misriyah, 1969), h. 308. Selanjutnya,
peradilan pada Masa Turki Usmani mulai berkembang dan diataur secara sistematis, lihat Su'ud Ibn Ali
Duraib, al-Tanzhim al-Qadha'l fi Mamlakah al-Arabiyah al-Su'udiyah (Riyad, Maktab al-Wazir, 1983), h.
283
123
para ulama menyebabkan sulitnya tercipta satu kesatuan hukum ataupun undang-
undang yang berlaku di depan pengadilan, tentu saja dalam institusi peradilan hal
ini merupakan suatu kelemahan karena dengan demikian bisa saja terjadi dalam
kasus yang sama, dan tempat yang sama terdapat putusan yang berbeda, sehingga
hukum acara yang permanen. Sehingga para hakim mempunyai pandangan yang
berbeda pada satu alat bukti. Contoh, hakim-hakim yang bermazhab Syafi'i
menganggap bahwa wakaf lahan pertanian itu adalah sama dengan jual beli karena
mereka memegang qiyas (qiyas jaliy), sehingga dalam hal ini terdapat prinsip-
wakaf lahan pertanian itu sama dengan sewa menyewa.79 Sehingga dalam hal ini
qanuniyah jelas ada dan mempunyai kedudukan yang kuat dalam perspektif hukum
Islam.
79
Karena mereka berpegang dengan istihsan, lihat al-Sarakhsi, op. cit.,
124
qarinah qadha'iyah menjadi qarinah qanuniyah pada alat bukti qarinah yang
diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw. Misalnya, ketika Nabi menetapkan suatu
putusan berdasarkan qarinah atas usaha dan ijtihad beliau sebagai hakim, maka
qarinah demikian dapat dinamakan dengan qarinah qadha'iyah karena posisi Nabi
sebagai hakim.
Akan tetapi, setelah putusan itu mendapat ketetapan dan kepastian hukum
dari Nabi sendiri serta telah dilakukan eksekusi, selanjutnya hasil dari putusan itu
salah satu sumber tasyri', dan sunnah Nabi itu harus menjadi rujukan oleh para
qarinah qanuniyah cukup kuat dalam perspektif hukum Islam, walaupun formatnya
belum diatur secara jelas dan sistematis, tetapi ada dalam penerapan dan tata hukum
Islam. Untuk memperkuat pernyataan ini ada beberapa contoh yang perlu
} قال رسول هللا صىل هللا عليه وسمل الودل للفراش {رواه البخارى:عن اىب هريرة قال
“Dari Abi Hurairah, Rasulullah Saw, bersabda: Anak itu haknya shahibul
firasy (suami)” (HR. Bukhari)
80
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Jami' a-Sahih, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), juz V, h. 54
125
kepada ayah dalam suatu perkawinan yang sah, oleh karenanya firasy yang
dimaksud oleh para ulama memiliki pengertian bahwa penetapan nasab dengan
dimasukkan sebagai salah satu contoh qarinah qanuniyah. Oleh karena itu dapat di
tarik suatu qarinah dari hadis itu yakni, bahwa suami dianggap sebagai ayah dari
(persangkaan) sebagai salah satu alat bukti. Akan tetapi penggunaan alat bukti
qarinah tersebut didasarkan pada pasal 164 HIR,82 hal ini dapat dipahami bahwa
hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama adalah hukum acara yang berlaku
Nomor 7 Tahun 1989, yaitu: “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam
81
Menurut Jumhur, tetapnya firasy dengan adanya kemungkinan wata' pada perkawinan yang sah
ataupun fasid. Abu Hanifah berpendapat, tetapnya firasy hanya semata-mata dengan terjadinya aqad.
Sedangkan Ibn Taimiyah, menggabungkan kedua pendapat tersebut, yaitu tetapnya firasy adalah
dengan dukhul hakiki dan akad nikah. Lihat Ali Hasbullah, al-Furqah al-Zaujain, (Beirut Dar al-Fikri,tt.)
h. 228. Agaknya hadis dari Abi Hurairah dan pemikiran para ulama di atas merupakan referensi dari
qarinah qanuniyah pada UU No. 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan
sepanjang perkawinan yang sah suami dianggap sebagai ayah dari anak-anaknya, lihat Abdul Manan,
op.cit.
82
K. Wantjik Saleh, op.cit., h. 71
126
lingkungan peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara
Peradilan Agama alat bukti qarinah adalah alat bukti yang paling sedikit
83
Departemen Agama RI, Pedoman Penyuluhan Hukum (undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam), (Jakarta, Probinbapera, 1993), h. 103
84
A.B. Loebis. Kekuatan Pembuktian di peradilan Agama, dalam Mimbar Hukum, (Jakarta, Yayasan al-
Hikmah, 1994), No. 16, h. 103
85
lihat yurisprudensi Mahkamah Agung RI: 1998, h. 219-256
127
formatnya belum diatur secara jelas dan sistemetis. Akan tetapi kekuatan
saja menjadi bagian pertimbangan hakim dalam mengambil putusan. Karena pada
(impossibilitas).
Selain itu, alat bukti qarinah dalam suatu perkara sangat berperan dalam
kesaksian, pengakuan dan lain-lain. Selanjutnya dapat pula ditegaskan bahwa nilai
Secara teoritis dalam perspektif hukum Islam tidak dijumpai format serta
rumusan yang jelas dan rinci tentang alat bukti qarinah. Hanya saja para ulama,
dengan kalimat yang hampir senada mengatakan bahwa qarinah yang dapat
dijadikan bukti, adalah qarinah yang menimbulkan dugaan keras atau zanni (relatif
benar) yang dalam bahasa al-Humaidi (seorang ahli hukum Islam berkebangsaan
Arab Saudi) disebut 'ilm at-Tuma'ninah (pengetahuan yang memenangkan hati atau
128
Oleh karena itu, dalam sub judul ini penulis secara dominan hanya akan
pembahasan ini berkisar antara qarinah sebelum Nabi Muhammad SAW, qarinah
di zaman Nabi Muhammad SAW, dan qarinah sesudah Nabi Muhammad SAW.
قالوا يأاباناانذ هبنا نستبق وتر كنا يوسف عند متا عنا فألكه اذلئب وما انت مبؤمن لنا
) وجأوا عىل مقيصه بدم كزب قال بل سولت لمك انفسمك أمر١٧( ولو كنا صدقني
}١٨-١٧:فصرب مجيل وهللا املس تعان عىل ما تصفون {يوسف
86
al-Humaidi, op. cit.,
129
secara tepat kedustaan saudara-saudara Nabi Yusuf AS. Qarinah itu adalah,
bahwa baju Yusuf AS yang diberikan telah dimakan serigala itu ternyata tidak
baju yang berlumuran darah (palsu) itu tidak robek, ia berkata: “kapan pula
serigala itu menjadi bijaksana sehingga bisa memakan Yusuf tanpa harus
من دبر والفيا س يد ها دلا الباب قالت ماجزأ من اراد،واستبقا الباب وقدت مقيصه
) قال ىه راود تىن عن نفس وشهد٢٥( بأهكل سؤا الا ان يسجن أو عذاب ألمي
) وان٢٦( شاهد من ا هلها ان اكن مقيصه قد من قبل فصدقت وهو من الكذبني
87
Al-Qurtubi, al-Jami'li Ahkam al-Qur'an, (Beirut Dar Ihya' al-Turas al-'Arabi, 1985), Juz IX, h. 150
88
Ibid.,
130
) فلام رءا مقيصه قد من دبر٢٧( اكن مقيصه قد من دبر فكذبت وهو من الصدقني
}٢٨-٢٥:قال انه من كيد كن ان كيد كن عظمي {يوسف
“Dan keduanya berlomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju
gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan keduanya mendapati
suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata: apakah pembalasan
terhadap orang yang dimaksud berbuat serong dengan isterimu, selain
dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?" Yusuf berkata:
“Dia menggodaku untuk menundukan diriku (kepadanya)”, dan
seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: “jika
baju gamisnya koyak di muka, wanita itu benar, dan Yusuf termasuk
orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka
wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang
benar”. Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak
di belakang berkatalah dia: “sesungguhnya (kejadian) itu adalah di
antara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu adalah benar”.
(QS. Yusuf: 25-28).
kelihatan betapa liciknya wanita itu. Setelah ia menggoda dan mengejar Yusuf
bahwa Yusuf AS lah yang ingin berbuat serong terhadap dirinya dan menuntut
Dalam peristiwa ini kelihatan betapa jelinya seorang saksi ahli atau juru
dan siapa yang benar. Dari kenyataan baju Yusuf AS adalah pihak yang dikejar
oleh wanita itu dan wanita itu adalah pihak yang mengejar Yusuf AS.
131
seorang Anak.
bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya, kemudian diadili oleh Nabi
Daud AS dan diputus dengan kemenangan dipihak perempuan yang lebih tua.
Lalu Nabi Sulaiman AS yang ikut hadir dalam majelis pengadilan itu berkata:
“Berilah aku sebilah pisau yang akan kupergunakan membelah anak ini
sedangkan wanita muda berkata: “jangan engkau lakukan itu, semoga Allah
بيامن امر ااتن: عن النيب صىل هللا عليه وسمل قال،عن اىب هريرة رىض هللا عنه
امنا ذهب اببنك: فقالت هذاه لصاحبهتا، فذهب اببن احد اهام، جأ اذلئب،معهام ابناهام
حفر جتا عىل، فقض به للكربى، امنا ذهب اببنك فتحا مك اىل داود: و قلت الا خرى.انت
فقالت. ائتوين ابلسكني اسقة بينكام: فقال، فاخرب اته، علهيام السالم،سلامين بن داود
} فقىض به للصغرى {رواه البخارى ومسمل. هو ابهنا، يرمحك هللا:الصغرى ال
89
Muhammad Salam Madkur, op. cit., h. 83
90
Al-Hafiz 'Abdul 'Azhim bin abdul Qawi Zakiyuddin al-Munziri, Mukhtasar Shahih Muslim. a. b. Ahmad
Zaidun, Ringkasan Shahih Muslim (Jakarta, Pustaka Amani, 2001), h. 558
132
tersebut kepada wanita muda itu, bahwa dialah yang menampakkan rasa balas
kasihan pada anak itu dan mencegah dibelahnya anak tersebut menjadi dua
itupun merelakan anak itu untuk diserahkan kepada wanita tua daripada harus
Islam menyatakan bahwa berdasarkan peristiwa di atas, alat bukti qarinah lebih
sudah cukup mewakili untuk memperjelas kuatnya posisi alat bukti qarinah
91
Muhammad Salam Madkur, op. cit.,
133
kepada Nabi Muhammad SAW dapat diterima sebagai syari'at Islam, karena
ulama Asy'ariyah, Mu'tazilah, Syi'ah, sebagian ulama Syafi'iyyah dan salah satu
bahwa Syari'at sebelum Islam tidak menjadi Syari'at bagi Rasulullah SAW dan
Hazm al-Zahiri serta Fakhruddin al-Razi (1150-1210 M), ahli fiqh Syafi'i.
bertanya kepadanya.95
كيف تقىض؟ أجابه ابلكتاب والس نة وان مل أجد ىف الس نة أجهتد فاقره علهيا {رواه
}البخارى ومسمل
"Bagaimana engkau menetapkan hukum? Mu'az menjawab: “Dengan
Kitabullah, jika tidak ada dalam kitabullah, dengan sunnah Rasulullah,
dan apabila dalam sunnah Rasulullah SAW juga tidak ada, maka saya
92
Syar'u Man Qablana berarti Syari'at sebelum Islam. Para ahli Ushul Fiqh membahas persoalan Syari'at
sebelum Islam dalam kaitannya dengan Syari'at Islam, apakah hukum-hukum yang ada bagi umat
sebelum Islam menjadi hukum juga bagi umat Islam. Lihat, Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta, Logos
Publishing House, 1998), h. 149
93
Ibid., h. 153
94
Ibid.,
95
Iman Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisabury, Shahih Muslim, (Beirut, Dar al-Fikr, 1993) juz II,
h. 121
134
merujuk syari'at sebelum Islam. Apabila syari'at sebelum Islam menjadi syari'at
merujuknya apabila hukum yang ia cari tidak terdapat dalam al-Qur'an atau
Malikiyyah, sebagian ulama Syafi'iyyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad
bukan melalui kitab agama mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak ada
nash yang menolak hukum-hukum itu, maka umat Islam terikat dengan hukum-
96
Ibid, h. 152
135
prinsip merupakan satu kesat uan,97 sebagaimana Firman Allah dalam Surat
Islam itu juga syari'at yang diturunkan Allah dan tidak ada indikasi yang
dengan syari'at itu. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat al-An'am
ayat 90:
hadis, ternyata tidak ditemukan satu nash pun yang mengangkat cerita umat
terkandung dalam cerita itu berlaku khusus atau umum.98 Selanjutnya Abu
Zahrah menerangkan, jika ada dalil yang menerangkan syar'u man qablana
berlaku khusus maka tidak bisa dijadikan hujjah dengan kesepakatan ulama.
97
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo, Dar al-Fikr al-'Arab, 1966), h. 305
98
Muhammad Abu Zahrah, op. cit, h. 307
136
Sedangkan apabila ada dalil yang menerangkan berlaku umum, maka bisa
sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat menyatakan
meskipun tidak diarahkan untuk umat Nabi Muhammad SAW, selama tidak ada
penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad
untuk memperkuat penggunaan alat bukti qarinah sebagai dasar putusan dalam
adalah:
99
Ibid.,
100
Nasrun Haroen, op. cit, h. 307
101
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu), Jilid, h. 395
137
لقد اكن ىف قصصهم عربة الؤىل الالباب مأاكن حديثا يفرتى ولكن تصديق اذلى بني
}١١١ :يديه وتفصيل لك شئ وهدى ورمحة لقوم يؤمنون {يوسف
SAW pada prinsipnya adalah membahas alat bukti qarinah dalam perspektif
sunnah.103 Terdapat beberapa sunnah yang menjadi dasar penggunaan alat bukti
102
Argumentasi ini akan dibahas dalam Sub judul Alat Bukti Qarinah pada masa Nabi Muhammad SAW.
103
Sunnah secara etimologis berarti jalan yang biasa dilalui, apakah jalan itu sesuatu yang baik atau
buruk. Lihat Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits; Ulumuhu wa Mustalahuhu (Beirut, Dar al-Fikr,
1989), h. 17. Sedangkan Sunnah menurut ulama Ushul Fiqh adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi
SAW berupa perbuatan, perkataan dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum. Dengan demikian
ulama Ushul Fiqh memandang Sunnah sebagai salah satu sumber atau dalil hukum. Lihat Muhammad
Luqman al-Salafi, al-Sunnah; Hujjiyatuna wa Makanatuha fi, al-Islam wa al-Radd 'Ala Munkiriha,
(Madinah al-Munawarah, Maktabah al-Imin, 1979), cet. I, h. 13. Penulis dalam pembahasan ini
memakai pengertian Sunnah dalam konteks istilah ulama Ushul Fiqh tersebut, selain itu juga memakai
hadits sebagai sinonim dari Sunnah
138
فرض ابه- يوم بدر- عن عبد الر محن بن عوف ان اثنني من الانصار ابتدرا أابحجل
ايكام: فقال.بس يفهام حىت قتاله مث انرص فا اىل رسول هللا صىل هللا عليه وسمل فاحرباه
فنظر يف. ال: هل مسحامت س يفيكام؟ قال: فقال، أان قتلت:قتهل؟ فقال لك واحد مهنام
} الك كام فتهل {رواه مسمل:الس يفني فقال
“Dari Abdur Rahman bin Auf, bahwa dua orang dari kalangan Ansar waktu
perang Badar berhasil membunuh Abu Jahal dan lalu masing-masing
melapor kepada Rasulullah SAW. Menjawab pertanyaan Rasulullah SAW,
siapa di antara keduanya yang membunuhnya, masing-masing mengklaim
bahwa dirinyalah yang membunuhnya (Abu Jahal). Lalu Rasulullah SAW
berkata lagi: “Apakah kalian sudah membasuh pedang kalian?” masing-
masing menjawab, "belum”. Setelah melihat tanda atau bekas darah pada
pedang masing-masing, Rasulullah SAW lalu berkata: “Kalau begitu, kalian
berdualah yang membunuhnya”. (HR. Muslim).104
bahwa kedua Ansar itulah yang membunuh Abu Jahal berdasarkan qarinah
ال تنكح الامي حتىىتس تأمر وال تنكح:عن اىب هريرة ان النىب صىل هللا عليه وسمل قال
} ان تسكت {رواه البخارى: قالو ايرسول هللا وكيف اذ هنام؟ قال،البكر حىت تس تأذن
“Dari Abi Hurairah bahwasanya Nabi SAW. Bersabda: jangan dinikahkan
para janda sebelum diminta pendapatnya (dimusyawarahkan dengan
mereka) dan perawan itu tidak dinikahi sebelum diminta izinnya, para
sahabat bertanya: “Ya Rasulullah bagaimana (pula) izin mereka?
104
Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisabury, op. cit, juz III, h. 1376
139
Berdasarkan hadits dari Abi Hurairah ini, dapat dipahami bahwa Nabi
dengan perkembangan hukum acara dewasa ini, maka alat bukti qarinah dalam
hadis ini dapat dikategorikan dengan qarinah qanuniyah. Menurut Ibn Farhun
hadis ini, menunjukan alat bukti qarinah sama kedudukannya dengan alat bukti
saksi.106 Hal ini juga merupakan suatu prediksi bahwa dalam perspektif hukum
Islam, alat bukti qarinah dalam kasus-kasus tertentu bisa saja lebih kuat daripada
جاء أعرايب اىل النىب صىل هللا عليه وسمل:عن زيدبن خادل اجلهىن رىض هللا عنه قال
عر فها س نة مث ا احفظ عفا صها وو كها فان جاء احد خيربك هبا:فساءهل عام يلتقطه فقال
}الا فستنفقها {رواه البخارى
“Dari Zaid bin Khalid al-Juhani r.a berkata: telah datang seorang Arab
Kampung (Badui) kepada Nabi Muhammad SAW. Menanyakan tentang
luqatah (barang temuan), maka beliau bersabda: umumkan selama setahun
kemudian simpan dengan kantong dan ikatannya, maka jika seseorang
105
Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut, Dar al-Fikr, 1981),
juz V, h. 23
106
Abdurrahman Ibrahim al-Humaidi, op. cit, h. 451
140
Salam Madkur, orang yang bisa menyebutkan sifat-sifat atau ciri-ciri suatu barang
yang hilang tersebut merupakan qarinah bahwa dialah pemilik barang itu.108
masih tetap dipakai walaupun dalam kasus-kasus yang berbeda, seperti pada
periode sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in bahkan sampai dewasa ini di wilayah-
pernah menjatuhkan putusan had atas wanita yang nampak hamil sedangkan ia
tidak bersuami dan tidak bertuan, sebagaimana Amru bin 'Ash menjatuhkan
putusan had (juga) kepada orang yang kedapatan mulutnya atau muntahnya berbau
107
Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, op. cit, juz III, h. 154
108
Muhammad Salam Madkur, op. cit, h. 93
109
Ibid.,
141
wajib potong tangan bagi tertuduh yang kedapatan padanya barang yang dicuri,
malam perayaan pengantin meskipun tanpa kesaksian dua orang laki-laki yang adil,
bahwa wanita itu memang benar-benar wanita yang telah dinikahinya, karena
ternyata ia masih hidup sampai hari itu dan juga masih berpakaian), kecuali jika ia
Demikian juga halnya tentang sahnya jual beli dengan semata-mata saling
menyerahkan (antara penjual dan pembeli) tanpa ada keterangan kata-kata apapun,
menurut para Fuqaha' adalah berdasarkan qarinah yang menunjukkan atas kerelaan
Berikut ini akan penulis paparkan beberapa kasus ataupun peristiwa yang
diputus atau diselesaikan berdasar alat bukti qarinah periode pasca wafatnya
Rasulullah SAW.
Mas'ud bin Abdurrahman al-Mashri (wafat tahun 175 H) menyatakan, bahwa Umar
bin Khatab pernah menemukan mayat yang ditelungkupkan di tengah jalan dan
110
Ibid., h. 94
111
Ibid.,
112
Ibid., h.95
142
seorang bayi yang diletakan di tempat mayat tersebut ditemukan, kemudian dibawa
kepada Khalifah, lalu Khalifah Umar berkata: “dengan ini aku akan menemukan
untuk dipeliharanya dan diberi bekal untuk perawatannya, dan khalifah Umar
pemelihara bayi tadi: "aku diperintahkan tuan puteri menghadap kemari untuk
menyampaikan kepada ibu, agar sudi datang kepada tuan puteri dengan membawa
bayi ini, karena tuan puteri ingin melihatnya dan akan dikembalikan kepada ibu
lagi!". kemudian dibawalah anak itu kepada tuan puteri, ketika melihat anak itu
maka tuan puteri menciumi dan memeluk anak itu. setelah Khalifah diberitahu
maka dicarilah wanita tersebut dan ia dituduh sebagai pembunuh mayat yang
pernah diketemukan beberapa waktu yang lalu, dan akhirnya wanita itu mengakui
Dari kasus ini dapat dicermati bahwa khalifah Umar bin Khatab dalam
113
Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyah, loc. cit, h. 23
143
bahwa ibu dari si bayi tersebut merupakan pembunuh laki-laki yang mayatnya
Akan tetapi dalam hal ini dapat pula dipahami, bahwa Umar bin Khatab
tidak mempergunakan alat bukti qarinah sebagai alat bukti pemutus melainkan
adanya qarinah bahwa bayi itu ada hubungannya dengan laki-laki yang terbunuh
tersebut, maka carilah ibunya dan ternyata ibunya adalah tuan puteri tersebut. Maka
bukti Ikrar (pengakuan). Ali bin Abi Thalib juga pernah mempergunakan qarinah
اياهيا الناس ان الزان زاناين زانرس وزان عال نية فزان الرس ان يشهد الشهود فيكون
الشهود اول من ير ىم وزان العال نية ان يظهر امحلل او الا عرتاف
"Wahai manusia, sesungguhnya zina itu ada dua macam: zina yang
tersembunyi dan zina yang nyata, zina yang tersembunyi memerlukan saksi-
saksi, dan merekalah sebagai penuduh pertama. Zina yang nyata
dibuktikan dengan kehamilan atau pengakuan”.114
kehamilan merupakan qarinah telah terjadinya tindak pidana zina bagi seorang
wanita yang tidak bersuami. Akan tetapi Abdul Kadir Audah menjelaskan, bahwa
kehamilan bukanlah merupakan qarinah yang kuat sebagai alat bukti yang
114
Abdul Kadir Audah, op. cit, h. 441
144
bukanlah merupakan alat bukti pemutus dan oleh sebab itu alat bukti qarinah tidak
Setelah berlalunya masa sahabat, alat bukti qarinah tetap dipakai. Ibn
Qayyim al-Jauziyah misalnya banyak menulis tentang beberapa kasus yang diputus
dengan mempergunakan alat bukti qarinah oleh para Qadhi setelah periode sahabat,
seperti Qadhi Abu Haazim, Qadhi Syuraih, Qadhi iyas bin Mu'awiyah dan lain-lain.
Ibrahim bin Marzuq al-Bashri berkata: “ada dua orang pria mendatangi lyas
bin Mu'awiyah, keduanya bersengketa mengenai dua helai handuk. Salah satunya
berwarna merah, dan yang lain berwarna hijau. Salah seorang dari kedua pria itu
berkata: “aku masuk kamar mandi untuk mandi dan meletakkan handukku di luar,
itupun ia masuk untuk mandi, ia keluar sebelum aku keluar dan mengambil handuk
yang ada di atas (yaitu handukku), lalu pergi. Kemudian aku keluar dan
mengikutinya. Akan tetapi ia mengklaim bahwa handuk yang ia bawa itu adalah
miliknya. "Lalu lyas pun bertanya kepadanya: “apakah engkau mempunyai bukti
dalam hal ini?" ia menjawab: “tidak”. Maka lyas berkata kepadanya: “berikan aku
115
Selain itu, kehamilan tersebut dapat pula dicurigai karena perkosaan sehingga hukum Had zina tidak
bisa terlaksana karna adanya syubhat, lihat Ibid.,
145
sisir”. Lalu ia menyisir kepala keduanya. Maka keluar darinya serabut merah dan
serabut hijau. Dan lyas memutuskan milik dari keduanya menurut serabut itu”.116
bahwa ada seorang laki-laki menitipkan sebuah karung tertutup berisikan uang
dinar kepada seorang temannya, setelah lama kepergian penitip barang tadi maka
dibukalah karung itu dari bagian bawahnya oleh orang yang dititipi, kemudian
diambil isinya dan diganti dengan uang dirham, lalu dijahit kembali seperti semula,
kemudian setelah beberapa lama datanglah penitip karung itu meminta kembali
barangnya, tetapi setelah dibuka ia terkejut karena isinya telah berubah menjadi
uang dirham, lalu ditanyakanlah kepada yang dititipi: "aku dahulu menitipkan
kepadamu adalah sebuah karung yang berisikan uang dinar, tapi ternyata yang
dijawab: "itu adalah karungmu dan tutupnya masih asli”. Maka dibawalah perkara
menjawab: “sejak lima belas tahun yang lalu”. Kemudian hakim mengambil uang
dirham itu, ternyata ada yang baru dibuat dua tahun yang lalu. Maka putusan
dijatuhkan dengan kewajiban kepada pihak yang dititipi untuk mengganti dirham
dengan dinar.117
alat bukti qarinah. Berdasarkan argumentasi itu juga para ulama fiqh sepakat
116
Ibn Qayyim al-Jauziyah, op. cit, h. 27
117
Muhammad Salam Madkur, op. cit.,
146
menjadikan qarinah sebagai alat bukti. Akan tetapi alat bukti qarinah bukanlah alat
bukti pemutus dan satu-satunya alat bukti dalam menyelesaikan suatu perkara, alat
bukti lainnya dengan arti kata alat bukti qarinah harus didukung oleh alat bukti
lainnya, dalam posisi seperti ini alat bukti qarinah dalam perspektif hukum Islam
kasus yang diputus dengan qarinah mulai sebelum Nabi Muhammad sampai
ataupun yurisprudensi.
tidak mengikat.
ال ينكر تغري الا حاکم بتغري الا زمنة والا مكنة
“Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan
tempat”.118
118
Lihat Jalaluddin 'Abdurrahman al-Suyuthi, op, cit, h. 80
147
adalah bersifat bebas, dengan arti lain bukanlah merupakan sebagai hujjah yang
mesti diikuti untuk memutus perkara lainnya. Hal ini juga disebabkan oleh karena
dapat dibatalkan dengan qarinah lainnya, seperti pendapat ulama mazhab Hanafi
yang menyatakan bahwa tidak diqishasnya orang yang memegang pisau yang di
dekatnya ada mayat yang belumuran darah. Bisa jadi korban itu melakukan bunuh
diri atau ia memegang pisau secara kebetulan saja. Wanita yang diketahui hamil,
sedangkan ia tidak bersuami, tidak bisa langsung didera karena bisa jadi ia dipaksa
melakukan zina. Demikian juga berlaku bagi orang yang diketahui menyimpan
barang curian di rumahnya. Bisa jadi ia membeli barang tersebut dari seorang yang
tanpa sepengetahuannya adalah seorang pencuri, atau ada orang lain menitipkannya
tanpa sepengetahuannya.
Berdasarkan paradigma ini dapat juga dipahami bahwa alat bukti qarinah
ditemukan bukti lainnya, dengan syarat tidak adanya bukti lawan. Jika terdapat
bukti lawan, maka sesuai dengan asas pembuktian yang telah di jelaskan pada bab
dua maka alat bukti qarinah harus dukung oleh sejumlah bukti lainnya.
BAB V
A. Kesimpulan
perspektif hukum Islam selalu mendapat perhatian serius, hal ini dimaksudkan
Alat bukti qarinah merupakan salah satu alat bukti yang terpenting dalam
proses pembuktian, secara empiris alat bukti qarinah sudah dipergunakan jauh
beberapa abad yang silam seperti dalam kasus Nabi Sulaiman AS dan Nabi Yusuf
AS. Sampai dalam penyelesaian beberapa kasus dewasa ini dalam Peradilan-
Peradilan Islam. Sehingga dapat dipertegas bahwa qarinah dapat dijadikan alat
bukti, walaupun alat bukti qarinah secara teori belum tersusun secara sistematis.
Pada awalnya dalam hukum Islam hanya dikenal qarinah qada'iyah yaitu
suatu persangkaan yang ditarik oleh hakim dalam memahami suatu kasus,
sedangkan nilai kekuatan pembuktian qarinah qada'iyah adalah bebas dan tidak
mengikat karena hakim tidak mesti memiliki pemikiran dan pemahaman yang sama
dalam memprediksi suatu kasus atau persengketaan. Implikasi dari persoalan ini
menetapkan suatu konklusi bahwa kedudukan alat bukti qarinah cukup kuat dalam
perspektif hukum Islam namun tidak mesti mengikat atau menjadi yurisprudensi
148
149
untuk putusan-putusan hukum berikutnya. Selain itu alat bukti qarinah tidak bisa
dijadikan sebagai satu-satunya dasar putusan jika terdapat alat bukti lain, dengan
qanuniyah yaitu suatu persangkaan yang diambil dan disebutkan oleh undang-
dapat ditemukan dalam al-Qur'an dan hadits, sumber dalam bentuk hadits harus
B. Saran-Saran
menjadi bagian pertimbangan hakim dalam mengambil putusan. Karena setiap alat
pembuktian (Impossibilitas). Selain itu, alat bukti qarinah sangat berperan dalam
dari qarinah, dan qarinah itu pada prinsipnya didominasi oleh pemahaman,
sehingga Ibn Qayyim pernah mengutip jawaban lyas bin Muawwiyah ketika di
“peradilan tidak diajarkan akan tetapi dipahami”. Relevan dengan itu hakim
150
sebagai pihak ketiga yang tidak memihak, tentu akan memberikan pertimbangan
ولو نشأ ل رينكهم فلعر فهتم بس ميهم و لتعر فهنم ىف حلن القول و هللا يعمل امعلمك
}٣۰ :{محمد
“Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka
kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan
tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari
kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-
perbuatan kamu". (Qs. Muhammad: 30).
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdurrahman, M., Hukum Acara Perdata, Jakarta Universitas Tri Sakti, 1994.
Abu Zahrah, Muhammad, Qisas Min al-Qur'an, Kairo, Daral Kitab al-'Arabi 1956.
151
152
Bahnasi, Ahmad Fathi, Nazariyyah fi al-Fiqh al-Jina' al-Islami, Kairo, Mu'assasah al-
Halabi wa Syurakah, 1969.
Al-Baihaqy, Husain Ibn Ali, Sunan al-Kubra, Beirut, Dar al-Fikr, tt.
Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail, Jami' as-Sahih, Beirut, Dar al-Fikr,
tt.
Coulson, N. J., A History of Islamic Law, Edinburgh, Islamic Surveys, Nomor 2 1964.
Al-Fanani, Zainuddin bin Abdul Azis al-Malibari, Fath al-Mu'in, ab Moch. Anwar,
Bandung, Sinar Baru al-Gesindo, 1994.
Haidar, Ali, Durar al-Hukkam Syarhu Majallah al-Ahkam, Beirut, Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, tt.
_________, Bahan Kuliah Hukum Acara Perdata Program Pendidikan Calon Hakim
Peradilan Agama, Bandung, tp, 1994.
Ibn Abdul al-Wahid, Imam Kamaludin Muhammad, Syarh Fath al-Qadir, Beirut, Dar
al-Shadir, 1318 H.
Ibn Anas, Imam Malik, al-Muwatha', Beirut, Dar al-Kitab al-Ilmiah, tt.
154
Ibn Bardazabah, Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-
Mughirah, Shahih al-Bukhari, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1998.
I Doi. Abdurrahman, Syari'ah The Islamic Law, ab. Wadi Masturi, Tindak Pidana
Dalam Syari'at Islam, Jakarta, Rineka Cipta, 1992.
Ibn Manzur, Lisan al-Arab, Beirut, Dar al-Ihya' al-Tulas al-Arabi, tt.
Isa, Kamal, Aqdiyah wa Qudah Fi Rihab al-Islam, t.tp, al-Badi' al-Adab al-Saqafi,
1987.
Mahkamah Agung RI, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, Jakarta, tp. 1998.
Mulyono, Anton M., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1995.
Al-Munziry, Zakiyuddin Abdul Azhim, Mukhtasyar Shahih Muslim, Riyadh, Dar al-
Salam, 1996.
Nafuri, Khalil Ahmad as-Sahar, Bazlu al-Majhud fi Halli Abi Dawud, Beirut, Dar al-
Kutub al-Ilmiah, 1984.
156
Al-Naisabury, Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Beirut, Dar
al-Fikr, 1993.
Praja, Juhaya S., Delik Agama Dalam Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, Angkasa,
1982.
Projodikuro, Wiryono. R., Hukum Acara Perdata di Indonesia, Bandung, Sumur, 1992.
Al-Qudsi, Sudono, Urgensi Alat Bukti Persangkaan Dalam Perkara Perdata, dalam
Buletin Berkala Hukum dan Peradilan, Jakarta, Dirbinbapera Islam,
Dirbinbaga Islam, 2001.
Al-Qurtubi, al-Jami' Li Ahkam al-Qur'an, Beirut, Dar Ihya' at-Turas al-Arabi, 1985.
Al-Ramli, Syamsuddin Muhammad bin Abi al-Abbas Ahmad bin Humazah bin
Syihabudin, Nihayah al-Muhtaj, Beirut, Dar al-Ihya', 1004 H.
Rosyadi, Imron, Persangkaan (vermoeden) dalam kaitannya Sebagai Alat Bukti, dalam
Buletin Berkala Hukum dan Peradilan, Jakarta, Dirbin bapera Islam, 2001.
Samudera, Teguh, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung, Alumni, 1992.
Saleh, K. Wantjik, Hukum Acara Perdata Rbg/HIR, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990.
Al-Sarakhsi, Syams al-Din, Ushul al-Sarakhsi, Beirut, Dar al-Kitab al-'Ilmiah, 1993.
Siregar, Bismar, Pembaharuan Hukum Pidana Nasional dan Prospek Hukum Islam di
Dalamnya, Tjun Surjana, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktek,
Bandung, Remaja Rosda Karya, 1994.
Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Nail al-Authar, Syarh Muntaqa
al-Ikhbar, Beirut, Dar al-Fikr, 1983.
158
Sujaman, Tjun, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktek, Bandung, Remaja
Rosda Karya, 1994.
Sutantio, Retno Wulan dan Oeripkartawinata, Iskandar, Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktek, Bandung, Mandar Maju, 1989.
Asy-Syirazi, Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Fairuzabadi, al-Muhazzab fi Fiqhi
al-Imam as-Syafi'i, Beirut, Dar al-Fikr, 1994
At-Tirmizi, Abu Ishak Muhammad, Jami'at Tirmizi, Kairo, Dar asy-Sya'bi, tt.
Al-Yusu'i, Abu Luis Ma'luf, al-Munjid Fi al-Lughah, Beirut, Dar al-Masyriq, 1977.