Tesis Hukum Islam PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 172

PEMBUKTIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

(Analisis Terhadap Alat Bukti Qarinah)

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai


Gelar Magister Dalam Ilmu Agama Islam
Konsentrasi. Bidang Studi
SYARI'AH

Oleh:

MARDI CANDRA
NIM. 08800-249

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1423 H/2002 M
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬
‫يرفع هللا الذين امنوا منكم‬
‫والذين أوتوا العلم درجات‬
{۱۱: ‫} المجادلة‬

"Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman


Dan orang-orang yang menuntut ilmu di antara kamu"
(al-Mujadalah: 11)

Pesan Rasulullah SAW.


Wahai Abu Hurairah, Keadilan Satu Jam
Lebih utama dari ibadahmu puluhan tahun
Shalat, Zakat dan Puasa
Wahai Abu Hurairah: Penyelewengan Hukum
Satu Jam lebih pedih dan lebih besar
Pada pandangan Allah dari pada melakukan
Maksiat enam puluhan tahun

Buat dinda Wirda dan ananda


kami Tifany Maulida Candra
Pengertian dan perhatianmu
Sangat berarti bagiku
ABSTRAK

Tesis ini berjudul Pembuktian Dalam Perspektif Hukum Islam (Analisis

Terhadap Alat Bukti Qarinah). Maksud dari judul ini adalah untuk meneliti secara lebih

mendalam mengenai eksistensi alat bukti qarinah dalam hukum Islam serta sejauh

mana penerapannya dalam memutuskan suatu perkara di depan pengadilan.

Hal ini beranjak dari signifikannya suatu pembuktian dalam menyelesaikan

suatu perkara, sementara itu qarinah yang merupakan salah satu dari alat bukti belum

jelas formulasinya, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang pada akhirnya

menciptakan konstatering yang tidak tepat. Dalam hal ini penulis ingin meneliti lebih

jauh, dimanakah kekuatan alat bukti qarinah, serta dalam kasus-kasus apa saja dapat

diterapkan alat bukti qarinah.

Penelitian ini berbentuk penelitian hukum, yang bersifat deskriptif analitik

dengan melakukan upaya eksplorasi data yang bersifat verbal bersumberkan dari

literatur-literatur yang penulis dapatkan di perpustakaan (library research) yang

kemudian dianalisis guna memperolah kesimpulan baik secara induktif, deduktif

maupun komparatif.

Hasil dari penelitian yang penulis lakukan dapat disimpulkan bahwa, alat bukti

qarinah dapat dibedakan menjadi qarinah qadha'iyyah yang bersifat bebas dan tidak

mengikat serta qarinah qanuniyah yang bersifat mengikat. Pada prinsipnya qarinah

merupakan alat bukti perantara (intermediary) yang tidak dapat dijadikan sebagai alat

bukti yang berdiri sendiri dan menentukan, kecuali tidak ditemukan alat bukti lainnya

serta tidak ada bantahan atau perlawanan terhadap alat bukti qarinah.

i
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah Penulis ucapkan kehadirat Allah Azza Wajalla yang

senantiasa menganugrahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan Tesis ini.

Shalawat beserta salam, penulis kirimkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang

telah menuntun umat manusia ke jalan yang benar, untuk memperoleh kebahagiaan

hidup di dunia dan akhirat.

Tesis ini tidaklah selesai begitu saja tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk

itu penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua

penulis, Nasaruddin dan Nismawati Jakh, yang atas asuhan, bimbingan, dorongan serta

kasih sayang mereka penulis dapat menempuh jenjang pendidikan seperti sekarang ini.

Begitu pula penulis tak dapat melupakan kesetiaan dan ketabahan hati isteri penulis,

Wirdayati, S. Ag, yang senantiasa menunjukan perhatian yang mendalam selama

penulis menjalani studi di Program Pascasarjana. Demikian juga anak tersayang Tifany

Maulida Candra, yang secara terpaksa harus menyesuaikan hidup sebagai anak dari

seorang ayah yang sedang menyelesaikan studinya di Program Pascasarjana, serta

seluruh sanak famili yang telah memberikan bantuan moril dan materil.

Tidak ketinggalan ucapan terima kasih ini Penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. DR. H. Nasrun Haroen, MA dan DR. H. Yaswirman, MA, yang telah

bermurah hati membimbing penulis dalam penulisan tesis ini.

2. Bapak Direktur, Asisten Direktur dan seluruh Staf Program Pascasarjana IAIN

Imam Bonjol Padang, yang telah memberikan arahan dan pelayanan yang sebaik-

baiknya kepada penulis.

ii
3. Bapak Rektor IAIN Imam Bonjol Padang, yang telah memberikan dukungan dan

segenap fasilitas yang ada.

4. Bapak Menteri Agama RI dan Ketua Pengadilan Tinggi Agama Padang, yang telah

memberikan izin dan kesempatan belajar kepada penulis untuk mengikuti Program

Pascasarjana.

5. Kepala dan segenap karyawan perpustakaan IAIN Imam Bonjol Padang, yang

telah sudi meminjamkan buku-buku yang diperlukan untuk menyelesaikan tesis

ini.

6. Berbagai pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah

berpartisipasi memberikan semangat dan bantuan dalam penyelesaian tesis ini.

Semoga segala bantuan, bimbingan serta jerih payah dari berbagai pihak akan

menjadi amal saleh di sisi Allah SWT dan memperoleh balasan yang berlipat ganda.

Disadari sepenuhnya bahwa tulisan ini tidak luput dari kekurangan, karenanya

diharapkan pada semua pihak untuk memberikan masukan dan kritikan yang sifatnya

konstruktif demi kesempurnaan tulisan ini. Akhirnya kepada Allah SWT dimohonkan

pertolongan dan hidayah-Nya.

Padang, 17 Agustus 2002

Penulis,

MARDI CANDRA

iii
DAFTAR ISI

ABSTRAK .................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iv

BAB I ............................................................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1
B. Rumusan dan Batasan Masalah .......................................................................... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................................................... 7
D. Definisi Operasional........................................................................................... 7
E. Metode Penelitian............................................................................................... 8
F. Review Kepustakaan ........................................................................................ 10
G. Sistematika Penulisan ...................................................................................... 14

BAB II ........................................................................................................................ 16
A. Pengertian Pembuktian..................................................................................... 16
B. Asas Pembuktian .............................................................................................. 20
C. Sistem Pembuktian ........................................................................................... 25
D. Beban Pembuktian ........................................................................................... 30
E. Hal-Hal yang Tidak Memerlukan Pembuktian ................................................ 38

BAB III ....................................................................................................................... 47


A. Paradigma Umum Alat Bukti ........................................................................... 47
B. Alat Bukti Pengakuan ...................................................................................... 49
C. Alat Bukti Saksi ............................................................................................... 61
D. Alat Bukti Sumpah ........................................................................................... 75
E. Alat Bukti Surat ............................................................................................... 88

BAB IV ....................................................................................................................... 94
A. Pengertian Alat Bukti Qarinah ......................................................................... 94
B. Kriteria dan Macam-Macam Alat Bukti Qarinah............................................. 97
C. Kedudukan Alat Bukti Qarinah ...................................................................... 111
D. Alat Bukti Qarinah Dalam Perspektif Hukum Islam ..................................... 127

BAB V....................................................................................................................... 148


A. Kesimpulan .................................................................................................... 148
B. Saran-Saran .................................................................................................... 149

DAFTAR KEPUSTAKAAN .................................................................................. 151

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembuktian merupakan hal yang sangat signifikan dalam menyelesaikan suatu

perkara di Pengadilan. Selain itu, pembuktian yang benar dan baik akan menjamin

keadilan putusan hukum. Asas pembuktian dalam hukum Islam banyak dijumpai di

dalam al-Qur'an dan hadits Rasulullah SAW. Di antaranya adalah, hadits yang

diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:

‫لويعطى الناس بدعوامه الدعی‬: ‫عن ابن عباس أن النيب صل هللا عليه وسمل قال‬
1{‫{انس دما رجال و امواهلم ولكن الميني عل املدعى عليه }رواه مسمل‬

"Dari Ibnu Abbas sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: Jika gugatan


seseorang dikabulkan begitu saja niscaya akan banyak orang yang akan
menggugat darah dan harta orang lain akan tetapi sumpah wajib atas tergugat
(HR. Muslim)"

Menurut riwayat al-Baihaqi dari hadits Ibn Abbas juga dengan sanad yang

bersambung (muttasil)2, matannya sebagai berikut:

3}‫البهيقى‬ ‫أ لبينة عىل املدعى والميني عىل من أنكر {رواه‬


“Bukti itu wajib atas penggugat dan sumpah itu wajib atas tergugat (HR. al-
Baihaqy)"

1
Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Nisabury, Shahih Muslim (Beirut, Dar al-Fikr, 1993 M) Juz
II h. 120
2
Bersambungnya sanad (muttasil) merupakan salah satu syarat untuk terjaminnya kesahihan sebuah
hadits, yaitu masing-masing perawi pada setiap tingkat sanad saling berjawab dalam hal menerima dan
menyampaikan hadits, dan sanad merupakan jalan untuk sampai pada matan hadits. Lihat Muhammad
Mustafa A'Zami, Manhjai al-Naqd 'Inda alMuhaddisin Nasyatuhu wa tarikhuhu, (t.tp, Muktabah al-
Kausar, tt), h.31
3
Husain Ibn Ali al-Baihaqy, Sunan al-Kubra, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), juz X, h. 252

1
2

Hukum Islam sangat respon terhadap eksistensi dan realitas kebutuhan hukum

masyarakat, baik dalam bentuk perubahan maupun perkembangan, dikarenakan hukum

merupakan bimbingan Allah SWT. untuk mengarahkan masyarakat dalam

menegakkan kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain Ia tidak sekedar mengatur tapi

juga menafikan kemafsadatan dan menciptakan kemaslahatan dalam masyarakat.

Dalam hukum Islam terkandung nilai-nilai fitriyah yang senantiasa berlandaskan pada

prinsip-prinsip hukum Islam yang tidak bisa dirubah, dalam hal ini termasuk kategori

syari'at yang bersifat tsabat (konstan, tetap), artinya tetap berlaku universal sepanjang

zaman. Bidang ini meliputi segala tatanan qat'iyah dan merupakan jati diri hukum

Islam.

Kelompok ini termasuk segala ketentuan yang berasal dari nilai-nilai

fundamental. Di antara nilai-nilai dalam dimensi ini adalah apa yang dirumuskan

tujuan hukum Islam (maqashid al-syari'ah), yaitu kebahagiaan manusia yang dapat

dijabarkan dalam kemaslahatan, kenikmatan, keadilan, rahmat, dan seterusnya.4 Nilai-

nilai kebahagiaan tersebut bersifat abstrak (in abstracto) yang harus direalisasikan

dengan bentuk nyata (in concreto).

Di samping nilai-nilai fundamental, ada juga hukum Islam dalam kategori Fiqh

yang bersifat murunah (fleksibel, elastis), tidak (harus) berlaku universal. Nilai

instrumental ini terkandung dalam proses pengamalan ajaran Islam di bidang hukum

yang pada hakikatnya merupakan transformasi nilai hukum Islam in abstracto menuju

nilai-nilai in concreto. Proses transformasi ini sering disebut sebagai proses operasional

4
Albnu al-Qayyim al-Jauziyah, I'lam al-Muwaqi'in 'an Rabbil Alamin, (Mesir, Mathba'ah Sa'adah, tt), h.
14
3

atau aktualisasi hukum Islam dalam kehidupan masyarakat. Pada tingkat inilah

dibicarakan dan dibahas dinamika hukum Islam.

Dimensi fiqh yang disebut terakhir ini, merupakan hukum Islam yang bersifat

adaptif, artinya dapat menerima nilai-nilai baru dan nilai-nilai luar yang berkembang

sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perubahan zaman.5 Perkembangan zaman dalam

konteks yang sesungguhnya memang tidak bisa dihindari, yang pada akhirnya

menimbulkan perubahan kebutuhan terhadap hukum.

Di antara permasalahan yang menimbulkan perubahan kebutuhan terhadap

hukum adalah perkembangan paradigma pembuktian dalam Lembaga Peradilan Islam.

Perkembangan tersebut dapat berarti secara mekanisme maupun reinterpretasi.

Karenanya lembaga peradilan dengan berbagai sistemnya selalu berkembang dari

waktu ke waktu seiring dengan perkembangan peradaban manusia.

Dengan demikian paradigma pembuktian dalam kajian hukum Islam senantiasa

mendapat perhatian serius, hal ini dimaksudkan untuk menjamin penerapan hukum

Islam dalam rangka mewujudkan maqashid al-syari'ah, walaupun terkadang masih

banyak perbedaan pendapat dalam kepastian hukumnya.

Selanjutnya yang paling prinsip dari suatu pembuktian adalah keberadaan alat

bukti, yang memiliki perspektif yang berbeda di antara masing-masingnya, dan ada di

antara alat bukti yang belum jelas batasannya seperti alat bukti qarinah, yaitu alat bukti

yang merupakan tanda-tanda yang dipahami oleh Hakim yang menunjukan kebenaran.6

5
Lihat al-Qariy Ahmad Bin Abdullah, Majallah al-Ahkam al-Syar'iyyah (Jeddah, Tihamah Mathbu'ah,
1981), h. 39
6
Mahmud Syaltout dan Muhammad Ali as-Sayis, Mugarranah al-Madzahib Fi al-Fiqh, (Beirut, Dar al-
Fikr, 1978), h.289
4

Para ulama telah sepakat bahwa Hakim tidak boleh memutuskan hukuman

kecuali apabila telah ada bukti-bukti yang meyakinkan. Mereka juga sepakat bahwa

pengakuan, kesaksian, sumpah dan penolakan sumpah adalah hujjah-hujjah menurut

syara' yang dapat dipegang oleh Hakim dalam memutuskan perkara dan menetapkan

hukum. Akan tetapi mereka berbeda pendapat mengenai menetapkan hukuman

berdasarkan qarinah.

Menurut Mahmud Syaltout dan Muhammad Ali as-Sayis,7 pemerhati kitab-

kitab para imam dapat melihat bahwa mereka sepakat tentang mengambil qarinah pada

umumnya, tetapi mereka berbeda pendapat dalam merinci qarinah-qarinah dan dalam

menentukan bidang mana serta kasus-kasus mana saja yang dapat diputuskan

berdasarkan qarinah.

Belum jelasnya persoalan-persoalan di atas, sangat wajar karena institusi

peradilan (al-Qadha) yang ada pada masa Rasul masih sederhana dan masih

merupakan bagian integral pemerintahan umum (wilayah alammah),8 kondisi ini terus

berlanjut dalam beberapa periode spektrum sejarah, sehingga dampaknya terhadap

lembaga peradilan semakin terbatas dalam perkara ahwal al-sakhsiyah (masalah

kekeluargaan saja).9 Bahkan diperparah pada periode selanjutnya dengan timbulnya

fanatisme Mazhab dan taqlid.10

7
Ibid.,
8
Muhammad Salam Madkur, op.cit. h. 21. Lihat juga Ati'ah Mustafah Musrifah, al-Qadha' Fi al-Islam,
(t. tp. tt), h. 90
9
Lihat Hasbi Ashshiddieqi, peradilan dan Hukum Acara Islam (Yogyakarta al-Ma'arif, 1964), h. 25
10
Terjadi pada pertengahan fase keemasan Daulah Abassiyah setelah berkembangnya epidemi
pesimistik dalam Mazhab. Lihat Abdul al-Rahman Ibrahim, abdul al-Azis al-Humaidi, al-Qadha' wa
Nizamuhu Fi al-Kitab wa as-Sunnah, (Kairo, Ma'had alBuhus al-Ilmiah, 1989) h. 282
5

Namun dalam perkembangan berikutnya hukum dan peradilan Islam tetap

berjalan menurut kehendak Syari' sebagaimana dielaborasi Coulson dalam

pernyataannya “hukum dalam teori klasik adalah kehendak Tuhan yang diwahyukan,

sebuah sistem yang disusun secara ketuhanan, mendahului dan tidak didahului oleh

negara Islam, menguasai dan tidak dikuasai oleh masyarakat Islam.11

Di samping itu, elastisitas hukum Islam yang bersifat adaptif memberikan

peluang untuk menerapkan kebutuhan hukum masyarakat. Berangkat dari hal yang

demikian itulah menurut Bismar Siregar, bahwa hakim tidak memutus atas dasar

hukum saja apalagi hanya yang tertulis, tapi juga yang tidak tertulis.12 Hal ini juga

untuk mengantisipasi munculnya ketidakpuasan hukum (rechtsonzekerheid) serta

tindakan kesewenang-wenangan (willekeurig).

Akhirnya, masalah ini semakin menarik dan signifikan untuk dibahas, selain

sudah pernah dipraktekkan dalam sejarah hukum dan peradilan, qarinah juga dianggap

mampu menjawab tantangan hukum dalam hal pembuktian di depan pengadilan. Akan

tetapi yang menjadi persoalan, adalah sampai di mana batasan qarinah itu, apa

kriterianya, bagaimana sifat maupun bentuknya serta apakah qarinah tanpa alat bukti

lain dapat dijadikan dasar pemutus, selanjutnya dalam kasus apa saja dapat diterapkan

alat bukti qarinah. Semua persoalan ini akan penulis teliti dan jawab dalam sebuah

karya ilmiah dengan judul Pembuktian dalam Perspektif Hukum Islam (Analisis

terhadap alat bukti Qarinah).

11
N.J. Coulson, A History of Islamic Law, (Edinburgh, Islamic Surveys, No.2,1964), h. 2
12
Bismar Siregar, Pembaharuan Hukum Pidana Nasional dan Prospek Hukum Islam di Dalamnya, baca
Tjun Sujarman (ed)., Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktek, (Bandung, Remaja Rosda Karya,
1994), h. 2
6

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan uraian tentang latar belakang masalah di atas, masalah pokok yang

hendak diteliti dan dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimana kriteria, sifat maupun

bentuk qarinah yang dapat dijadikan alat bukti, dan apakah qarinah tanpa bukti lain

dapat dijadikan dasar pemutus, kemudian dalam kasus apa saja dapat diterapkan alat

bukti qarinah.

Selanjutnya masalah ini dibatasi dengan perincian sub-sub masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana sistem pembuktian dan alat bukti dalam perspektif hukum Islam

2. Bagaimana pula refleksi alat bukti qarinah, kapan munculnya, sampai di mana

wawasan atau cakupannya, apa objeknya serta di mana kelebihan dan kekurangan

pemakaian alat bukti qarinah di pengadilan, kemudian apapula hubungannya

dengan persangkaan hakim.

3. Selanjutnya dibahas juga konsepsi alat bukti qarinah dalam perspektif hukum

Islam yang mencakup batasan alat bukti qarinah, kriterianya, sifat, dan bentuk alat

bukti qarinah kemudian dibahas juga alat bukti qarinah tanpa alat bukti lain,

apakah bisa menjadi dasar pemutus suatu perkara, artinya bisakah alat bukti

qarinah menjadi alat bukti yang berdiri sendiri tanpa didukung alat bukti lainnya.

4. Kemudian ditelaah juga kedudukan alat bukti qarinah dalam Hukum Islam.
7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan mengetahui sejauh

mana alat bukti qarinah dapat diterapkan sebagai alat bukti serta sampai dimana

kekuatan pembuktiannya dalam memutuskan suatu perkara menurut hukum Islam.

2. Kegunaan Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi konstribusi yang berharga

bagi penulis dalam menekuni studi hukum Islam khususnya dalam bidang hukum

pembuktian.

D. Definisi Operasional

Dalam kajian ini digunakan beberapa term yang mempunyai makna khas

sebagai acuan dalam keseluruhan pembahasan. Istilah-istilah tersebut adalah

pembuktian, dan qarinah.

Pembuktian berarti, proses pembuktian atau cara membuktikan13 jadi maksud

pembuktian itu adalah suatu cara meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil atau

dalil yang dikemukan dalam suatu sengketa.14

Sedangkan qarinah secara bahasa berarti indikasi atau tanda.15 Secara istilah

qarinah berarti tanda yang menunjukkan ada atau tidak adanya sesuatu atau hal-hal

13
Anton M. Mulyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1995), h. 152
14
R. Subekti, op. cit., h. 1
15
Abdul Karim Zaidan, op.cit, h. 219
8

yang mempunyai hubungan atau pertalian yang erat sedemikian rupa sehingga

memberikan petunjuk.16

Dengan demikian, yang dimaksudkan dari judul pembahasan ini adalah

penyelidikan atau penelitian terhadap cara-cara membuktikan dengan indikasi yang

menunjukkan ada atau tidak adanya sesuatu yang meyakinkan hakim untuk

memutuskan suatu perkara menurut hukum Islam.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini berbentuk penelitian hukum yang bersifat deskriptif analitik,

dimana penulis melakukan upaya eksplorasi data yang bersifat verbal yang

bersumberkan dari literatur-literatur yang penulis dapatkan dilapangan yang kemudian

dianalisis guna memperoleh kesimpulan baik secara induktif, deduktif maupun

komparatif.

Pendekatan historis diperlukan karena tulisan ini berkaitan dengan pola

penelitian trend hukum (justice trend). Di dalam melakukan penelitian hukum

seyogianya selalu mengaitkanya dengan arti-arti yang mungkin dapat diberikan pada

hukum. Arti-arti tersebut, merupakan pemahaman-pemahaman yang diberikan oleh

Masyarakat dari waktu ke waktu, terhadap gejala yang dinamakan hukum.17

Pendekatan ini merupakan suatu proses kajian dan telaahan kritis terhadap putusan-

putusan hukum di masa lampau yang dapat disebut dengan Yurisprudensi, sehingga

16
Ibid.,
17
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, Ul-Press, 1986), cet. 3, h.43
9

dapat melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai satu kesatuan waktu,

tempat dan budaya di mana suatu peristiwa terjadi.18 Selanjutnya, juga diterapkan pola

pikir reflektif dengan cara meneliti perkembangan dan pengaruhnya terhadap suatu

pembuktian.

Penggunaan pendekatan komperatif dalam penulisan ini dengan maksud untuk

menelaah dan membandingkan teori-teori pembuktian dalam Hukum Acara Islam

dengan realitas Implementasinya di pengadilan dan hukum positif di Indonesia dewasa

ini. Di samping itu juga dilakukan analisis terhadap ayat-ayat al-Qur'an dan juga al-

Hadits yang berkaitan dengan tulisan ini dengan melalui studi tematik.

Sebagai sumber utama dan dasar titik pijak dalam penelitian ini tidaklah akan

terlepas dari al-Qur'an dan al-Hadits sebagai mashadir al-ahkam (sumber-sumber

hukum) berikut seperangkat kitab-kitab tafsir dan hadits yang terkait, serta buku-buku

karya ulama, teoritis dan praktisi hukum Islam seperti al-Tasyri' al-Jina'i al-Islami

Muqarranah bi al-Qanun al-Wadh'i karangan Abdul kadir Audah, al-Qadha' wa

Nizhamuhu fi al-Kitab wa al-Sunnah karya Abdurrahman Ibrahim Abdul Aziz, al-

Qadha' fi al-Islam karya Muhammad Salam Madkur, Nizham al-qadha' fi al-Syari'ah

al-Islamiyah karya Abdul Karim Zaidan, Muqaranah al-Madzahib fi al-Fiqh karya

Mahmud Syaltut dan Muhammad Ali As-Sayis kitab al-Firasat dan al-Thuruq at

Hukmiyah fi al-Siyasah al-Syar'iyah karya Ibn qayyim al-Jauziyah serta buku-buku

hukum dan peradilan yang berkaitan erat dengan penelitian ini. Di samping itu, untuk

18
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yokyokarta, Roke Sarasin, 1990), h.92
10

mendukung penelitian ini juga dibutuhkan literatur-literatur lain yang berkaitan dengan

objek penelitian ini sebagai sumber pendukung.

F. Review Kepustakaan

Implementasi alat bukti qarinah sangat banyak ditemukan dalam bentuk

praktek baik dalam hukum pidana (Jinayah) maupun hukum perdata. Akan tetapi

sangat jarang ditemukan dalam kajian secara teoritis ataupun rumusannya.

Qarinah bentuk jamaknya adalah qara'in secara bahasa berarti perhubungan

dan pertalian (‫ )الصلة والعالقة‬dan isteri (‫)الزوجة‬,19 indikasi atau tanda (‫)االمارات و العالمات‬.20

Menurut hukum acara Islam (al-Hukm al-Murafa'at) qarinah merupakan salah

satu dari berbagai cara pembuktian suatu gugatan yang dapat membantu para penegak

keadilan untuk menyingkap rahasia suatu peristiwa. Lebih dari itu, Mahkamah-

mahkamah Syar'iyah di Mesir juga telah menetapakan qarinah sebagai alat bukti,

sebagaimana terdapat dalam peraturan susunan Mahkamah Syar'iyah tahun 1932 pasal

123: “Dalil-dalil syara' adalah sesuatu yang menunjukan kebenaran dan

menampakkannya, berupa pengakuan, kesaksian, pengambilan sumpah dan qarinah

yang pasti”. 21

Istilah qarinah menurut hukum Islam seperti dikemukakan Abdul Karim

Zaidan (ahli hukum Islam berkebangsaan Irak) berarti tanda yang menunjukkan ada

19
Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta, unit pengadaan buku
Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren al-Munawir, 1984) h. 1198
20
Abdul Karim Zaidan, Nizham al-Qadha' fi al-Syari'ah al-Islamiyyah (Baghdad, Mathba'ah al-'Ani,
1984) h. 219
21
Mahmoud Syaltout dan Muhammad Ali as-Sayis, op.cit, h. 296
11

atau tidak adanya sesuatu.22 Dapat juga dipahami bahwa qarinah adalah hal-hal yang

mempunyai hubungan atau pertalian yang erat sedemikian rupa sehingga memberikan

petunjuk.

Umpamanya, kelihatan seseorang baru saja keluar dari sebuah rumah dan pada

tangannya ada sebilah pisau yang berlumuran darah, kemudian ternyata dalam rumah

itu ada jenazah tergeletak yang terbunuh dengan tusukan pisau. Maka keluarnya

seseorang yang membawa pisau berdarah dari rumah itu tadi adalah qarinah yang

menunjukkan atau menimbulkan kecurigaan kuat bahwa dialah pembunuhnya.

Contoh lain dari qarinah adalah, seseorang kecurian suatu benda, kemudian

benda itu ditemukan dirumah Fulan, maka hal itu adalah qarinah bahwa pemilik rumah

itu dapat diduga pencuri benda itu, atau setidaknya bisa dituduh ada hubungannya

dengan pencuri seperti sebagai penadah, atau pencuri itu menitipkan benda itu dirumah

Fulan.

Qarinah dalam hukum acara perdata umum diterjemahkan dengan persangkaan

(vermoeden) dan dalam hukum acara pidana umum dinamakan dengan petunjuk

(aanwijzingen). Keduanya dipakai sebagai alat bukti di peradilan umum. Akan tetapi

R. Subekti dalam bukunya Hukum Pembuktian menolak persangkaan sebagai alat bukti

dengan alasan bahwa persangkaan itu adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu

peristiwa yang telah “terkenal” atau dianggap terbukti kearah suatu peristiwa yang

“tidak terkenal”, artinya belum terbukti.23

22
Abdul Karim Zaidan, op. cit.,
23
R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta, Pradnya Paramita, 2001), h. 45
12

Ada dua bentuk kesimpulan yang ditarik dari qarinah yaitu hakim atau undang-

undang. Bila yang menarik kesimpulan itu hakim, maka persangkaan itu dinamakan

“persangkaan hakim”, sedangkan apabila yang menarik kesimpulan undang-undang

maka persangkaan itu dinamakan “persangkaan undang-undang”.

Misal persangkaan hakim, kalau ada dan dapat dibuktikan seorang laki-laki

muda dan seorang perempuan muda dituduh berzina, sedangkan keduanya terbukti

pernah menginap dalam satu kamar di hotel dengan satu tempat tidur, maka dengan

persangkaan hakim dianggaplah terbukti keduannya telah melakukan zina. Di antara

contoh persangkaan undang-undang adalah, tiap-tiap tembok batas antara dua

pekarangan, jika terbukti tidak ada perjanjian lain, dianggap oleh undang-undang

sebagai tembok milik bersama.24

Beberapa persoalan qarinah sebagai alat bukti, yaitu belum adanya

pembahasan dan penelitian yang jelas terhadap eksistensi qarinah, apakah qarinah bisa

menjadi alat bukti tanpa didukung oleh bukti-bukti lainnya serta dimanakah batasan

qarinah sebagai alat bukti.

Kalau dengan bukti tulisan atau kesaksian lainnya dilakukan pembuktian secara

langsung, artinya tidak dengan perantaraan alat-alat bukti lain, maka dengan qarinah

ini suatu peristiwa “dibuktikan” secara “tidak langsung”, artinya dengan melalui atau

dengan perantaraan pembuktian peristiwa-peristiwa lain.

Para fuqaha' mengemukakan beberapa argumentasi yang menjadikan qarinah

sebagai salah satu cara pembuktian, antara lain:

24
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta, Pradnya, 1992), h.
154
13

1. Al-Qur'an surat Yusuf ayat 18:

‫وجاء وعىل مقيصه بدم كذب قال بل سو لت لمك انفسمك امر ا فصرب مجيل‬
}١٨:‫وهللا املس تعان عىل ما تصفون {يوسف‬
“Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah
palsu. Ya'qub berkata, sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik
perbuatan (yang buruk) itu, maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku).
Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu
ceritakan”.

Al-Qurtubi dalam karyanya al-Jami' Li Ahkam al-Qur'an menjelaskan, bahwa

berdasarkan ayat tersebut ahli-ahli Fikih menetapkan syahnya qarinah sebagai

salah satu cara pembuktian di pengadilan dalam memutuskan perkara.25

2. Nabi Muhammad SAW, pernah mempergunakan qarinah dalam beberapa hal, di

antaranya memberikan barang yang hilang yang ditemukan kepada orang yang

dapat menyebutkan sifat-sifat pokok dari barang itu.26

3. Khalifah Umar bin Khathab pernah menghukum rajam seorang perempuan yang

hamil padahal ia tidak bersuami dan tidak pula bertuan (maksudnya bukan pula

sebagai budak yang dimiliki oleh tuannya).27

Berdasarkan beberapa argumentasi tersebut ulama Fikih menjadikan qarinah

sebagai alat bukti, akan tetapi ada yang dengan tegas menerimanya dan ada pula yang

tidak tegas.

25
Al-Qurtubi, al-Jami' Li Ahkam al-Quran, (Beirut, Darituya al - Turas al-Arabi 1985) Juz IX, h. 150
26
lbid.,
27
Jalaluddin al-Suyuthy, Muwatho' al-Imam Malik, (Mesir, Musthafa al-Baaby al-Halaby, 1951). Jilid II,
h. 168. Lihat juga Abdul Kadir Audah, at-Tasyri' al-Jina' al-Islami Muqaranah bi al-Qanun al-Wad'i
(Beirut, Mu'asasah ar-Risalah, 1992) Juz II, h. 440
14

Selain itu menurut pengamatan penulis, studi yang secara spesifik mengupas

tentang pembuktian khususnya alat bukti qarinah baru pada taraf sebagai sub kajian

dari kajian pokok yang mereka bahas, belum menjangkau kepada persoalan yang ingin

penulis bahas seperti keberadaan alat bukti qarinah tanpa alat bukti lainnya. Dengan

demikian menjadikan studi ini signifikan untuk dibahas.

G. Sistematika Penulisan

Dalam kajian ini penulis mensistemasikan rangkaian pembahasan ini sebagai

satu kesatuan utuh. Perinciannya adalah sebagai berikut;

Bab I, tentang pendahuluan, didalam bab ini akan dikemukakan tentang dasar-

dasar pembahasan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan dan batasan

masalah, definisi operasional, tujuan dan kegunaan penulisan, metode penelitian,

review kepustakaan dan sumber penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II, berjudul beberapa aspek tentang pembuktian, dimaksudkan untuk

mengantarkan pembahasan selanjutnya agar lebih terarah dan sistematis, bab ini

meliputi pengertian pembuktian, asas pembuktian, sistem pembuktian, beban

pembuktian dan hal-hal yang tidak perlu dibuktikan.

Bab III, penulis akan mengemukakan alat-alat bukti dalam paradigma hukum

Islam dengan uraian alat bukti pengakuan, alat bukti saksi, alat bukti sumpah dan alat

bukti surat.

Bab IV, dilanjutkan dengan kajian konsepsi alat bukti qarinah dalam perspektif

hukum Islam, dalam bab ini akan dibahas pengertian alat bukti qarinah, kriteria,
15

macam-macam, objek dan kedudukan alat bukti qarinah tanpa alat bukti lain serta alat

bukti qarinah dalam perspektif hukum Islam.

Bab V, dalam bab ini penulis akan mengakhiri kajian dengan kesimpulan dan

saran-saran dari seluruh uraian ini, kemudian dipaparkan kesimpulan dari pembahasan-

pembahasan sebelumnya dan diakhiri dengan beberapa saran yang relevan dengan

topik yang diteliti.


BAB II

BEBERAPA ASPEK TENTANG PEMBUKTIAN

A. Pengertian Pembuktian

Dalam memahami istilah pembuktian, ada beberapa pengertian pembuktian

yang dikemukakan oleh para pakar hukum. Menurut M. Yahya Harahap, pembuktian

dalam pengertian yang luas adalah kemampuan Penggugat atau Tergugat

memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan

hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan

hukum yang diperkarakan.1 Sedangkan dalam arti sempit, pembuktian hanya

diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal yang masih

disengketakan, atau sepanjang yang menjadi perselisihan di antara pihak-pihak yang

berpekara.2

Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan pembuktian adalah meyakinkan

hakim tentang kebenaran dalil atau dalil yang dikemukakan dalam suatu

persengketaan.3 Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa pembuktian itu berarti

memberi kepastian, baik yang bersifat mutlak maupun relatif.4

Pembuktian dalam hukum Islam, dikenal dengan istilah al-bayyinah. Secara

etimologi berarti keterangan, yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk

1
M. Yahya Harahap, Kumpulan Makalah Hukum Acara Perdata, Pendidikan Hakim Senior Angkatan 1,
(Tugu Bogor, 1991), h. 1
2
Ibid.,
3
R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta, Pradnya Paramita, 2001), h. 1
4
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta, Liberty, 1998), h. 1

16
17

menjelaskan yang hak (benar).5 Secara teknis berarti alat-alat bukti dalam sidang

Pengadilan. Dengan demikian dapat juga dipahami, bahwa alat bukti adalah cara atau

alat yang digunakan dalam pembuktian.

Al-bayyinah didefinisikan oleh ulama fikih sesuai dengan pengertian

etimologisnya. Jumhur ulama fikih mengartikan al-bayyinah secara sempit yaitu sama

dengan kesaksian atau para saksi.6

Diartikan dengan saksi karena melalui pernyataan saksi, perkara hak menjadi

tampak jelas.7 Menurut Kamal Isa dinamakan bayyinah dikarenakan saksi dapat

mengungkapkan yang tersimpan, menyingkap yang tersembunyi dan membaca

bentuk-bentuk kebenaran, dan dari bayyinah itu termasuk saksi.8

Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, tokoh fiqh madzhab Hanbali, al-bayyinah

mengandung pengertian yang lebih luas dari definisi jumhur yang dapat digunakan

untuk mendukung dakwaan seseorang.9 Al-bayyinah didefinisikan oleh Ibn Qayyim

al-Jauziyah sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang hak

(benar) di depan majelis hakim, baik berupa keterangan, saksi dan berbagai indikasi

yang dapat dijadikan pedoman oleh majelis hakim untuk mengembalikan hak pada

pemiliknya.10

5
Abdurrahman Ibrahim Abdul Aziz Al-Humaidi, al-Qadha' Wa Nizamuhu fi al-Kitab Wa al-Sunnah, (al-
Makkah al-Arabiyah al-Saudi, Jani; ah Umm al-Qura, 1989) cetakan I, h. 382
6
Zainuddin Bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fanani, Fath al-Mu'in, Ab. Mooh Anwar, (Bandung, Sinar Baru
Algesindo, 1994), jil. 1, h. 1757
7
lbid.,
8
Kamal Isa, Aqdiyah wa Qudah fi Rihab al-Islam, (t.tp al-Badi al-Adab al-Saqafi, 1987), Cet. I, h. 139
9
Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyah, l'lam al-Muwaqgi'in 'an Rabbil Alamin, (Mesir, Mathba'ah Sa'adah, tt),
jilid I, h. 97 10
10
lbid.,
18

Ibn Qayyim al-Jauziyah berpendapat, bahwa al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah

SAW, tidak menyatakan bahwa al-bayyinah itu khusus untuk kesaksian. Al-Qur'an

dan Sunnah hanya menjelaskan bahwa al-bayyinah itu adalah dalil, hujjah dan

keterangan yang dapat dijadikan alasan.11 Pendapat ini juga didasarkan pada sabda

Rasulullah SAW: 12

‫ البينة‬:‫عن ابن عباس ريض هللا عهنام ان رسول هللا صىل هللا عليه وسمل قال‬
}‫عىل املدعى والميني عىل من انكر {رواه البهيقي‬
“Dari Ibn Abbas, dari Rasulullah SAW, bersabda: Penggugat harus
mengemukakan alat bukti, sumpah harus dilakukan Tergugat”. (H.R. al-
Baihaqy).

Sedangkan syahadah menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah adalah mengemukakan

kesaksian untuk menetapkan hak atas diri orang lain.13 Di mana kesaksian (syahadah)

itu diambil dari kata musyahadah yang artinya melihat dengan mata kepala, karena

syahid (orang yang menyaksikan) itu memberitahukan tentang apa yang disaksikan dan

dilihatnya.14

Dari beberapa pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pembuktian adalah

upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa

atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersangkutan melalui alat-alat bukti

yang telah ditetapkan undang-undang (syari'at).

11
Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Turuq al-Hukmiyah Fi al-Siyasah al-Syar'iyah, (Beirut, Mu'assasah al-
Arabiyah li al-Tiba'ah Wa al-Nasyr, 1961), h. 12
12
Husain Ibn Ali al-Baihaqy, Sunan al-Kubra, (Beirut, Dar al-fikr, tt), juz X, h. 252
13
Ibn Qayyim al-Jauziyah, op.cit.,
14
Sayyid Sabiq, al-Fiqh al-Sunnah, (Beirut, Dar al-Fikr, 1992), Jilid 14. h. 55
19

Dalam sengketa yang berlangsung dan sedang diperiksa di muka majelis hakim

itu, masing-masing pihak mengajukan dalil-dalil yang saling bertentangan. Hakim

harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil mana yang benar dan dalil mana yang

tidak benar. Berdasarkan pemeriksaan yang teliti dan seksama, hakim menetapkan

hukum atas suatu peristiwa atau kejadian yang telah dianggap benar setelah melalui

pembuktian sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Pembuktian bertujuan untuk mendapatkan kebenaran suatu peristiwa atau hak

yang diajukan kepada hakim. Para praktisi hukum membedakan tentang kebenaran

yang dicari dalam hukum perdata dan hukum pidana, Dalam hukum perdata, kebenaran

yang dicari adalah kebenaran formil, sedangkan dalam hukum pidana, kebenaran yang

dicari oleh hakim adalah kebenaran materiil.15 Relevan dengan hal ini, al-Humaidi

menjelaskan bahwa bayyinah (pembuktian) adalah petunjuk yang jelas tentang

kebenaran formil (aqliyah) atau kebenaran materil (makhsusah).16

Dalam praktek peradilan, sebenarnya seorang hakim dituntut mencari

kebenaran materil terhadap perkara yang sedang diperiksanya, karena tujuan

pembuktian itu adalah untuk meyakinkan hakim atau memberikan kepastian kepada

hakim adanya peristiwa-peristiwa tertentu, sehingga hakim dalam mengkonstatir,

mengkualifisir dan mengkostituir serta mengambil keputusan berdasarkan kepada

pembuktian tersebut. Kebenaran formil yang dicari oleh hakim dalam arti bahwa hakim

15
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta, Yayasan
al-Hikmah, 2000), h. 129
16
Abdurrahman Ibrahim Abdul Aziz al-Humaidi, op. cit., h. 388
20

tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh pihak yang berperkara. Jadi baik

kebenaran formil maupun kebenaran materil hendaknya harus dicari secara simultan

dalam pemeriksaan suatu perkara yang diajukan kepadanya.

B. Asas Pembuktian

Dalam suatu proses perkara salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki

apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak.

Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan

kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil untuk

membuktikan dalil dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan

ditolak, sedangkan apabila berhasil, gugatannya dikabulkan.

Berbeda dengan asas yang terdapat dalam hukum acara pidana, di mana

seseorang tidak bisa dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali berdasarkan

bukti-bukti yang sah dan hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa.

Dalam hal ini diterapkanlah asas praduga tak bersalah17 atau presumption of innocent.

Asas praduga tak bersalah, ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari segi

teknis penyidikan dinamakan Prinsip Akusatur18 yaitu asas yang menempatkan

kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pembuktian atau pemeriksaan

sebagai subyek, bukan sebagai obyek pemeriksaan. Karena itu tersangka atau terdakwa

17
Yaitu setiap orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka
sidang Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan Pengadilan yang menyatakan
kesalahan dan memperoleh hukum tetap, lihat UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman Pasal 8.
18
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. (Jakarta, Pustaka Kartini,
1988), h. 39
21

harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai

harkat dan martabat harga diri. Di samping itu yang menjadi obyek pemeriksaan dalam

prinsip akusatur adalah kesalahan yang dilakukan oleh tersangka/ terdakwa, pada

kesalahan itulah pembuktian ditujukan.19

Dengan asas praduga tak bersalah yang ditetapkan dalam prinsip pembuktian,

aparat penegak hukum harus menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan yang

inkuisitur yang menempatkan tersangka terdakwa dalam setiap pemeriksa sebagai

obyek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang.

Asas pembuktian itu haruslah menjiwai nilai-nilai penghargaan terhadap hak-

hak kemanusiaan dan nilai-nilai keadilan, sebagai mana dinyatakan oleh Rasulullah

SAW. dalam sabdanya: 20

‫ قىض رسول هللا صىل هللا عليه وسمل ان اخلصمني‬:‫عن عبد هللا بن الزبري قال‬
}‫يقعد ان بني يدى احلامك {رواه امحد وابو داود‬
“Dari Abdullah bin Zubair, ia berkata: Rasulullah SAW memutuskan, bahwa
dua orang yang sedang bersengketa itu hendaknya duduk di hadapan hakim
(HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Duduk di hadapan hakim itu yang dimaksudkan oleh hadits di atas adalah

persamaan derajat dan sejajar antara pihak-pihak yang berperkara.21 Akan tetapi yang

pertama dalam mengajukan alat bukti tetap berada dipihak penggugat, namun

19
Prinsip akusatur pada dasarnya merupakan prinsip yang muncul dan berkembang secara murni
dalam hukum pidana Islam, hal ini dapat dibuktikan dengan sistim pembuktian dalam hukum Islam
yang mengutamakan kebenaran materil daripada kebenaran formal, serta ditetapkannya nilai masing-
masing alat bukti terhadap suatu tindak pidana tertentu. Lihat Abdul Kadir Audah, al-Tasyri' al-Jina'i al-
Islami Muqarranah bi al-Qanun al-Wad'i, (Beirut, Mu'assasah ar-Risalah, 1982), juz. II, n. 571
20
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut Daar al-Fikr, 1994), juz III, h. 293
21
Muhammad Bin Ali Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar, Syarh Muntaqa al-Ikhbar, (Beirut, Dar
al-fikr, 1983) h. 392
22

pembuktian/keterangan tergugat wajib didengarkan dan dipertimbangkan, seperti

dijelaskan hadis Nabi SAW: 22

‫ اذا تقاىض‬،‫ قال رسول هللا صىل هللا عليه وسمل‬:‫عن عىل ريض هللا عنه قال‬
‫اليك رجالن فال تقىض لالول حىت تسمع الكم الا خر فسوق تدرى كيف‬
}‫تقىض قال عىل مفا زلت قاضيا بعد {رواه امحد وابو داود والرت مذى‬
“Dari Ali RA, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: Apabila dua orang
meminta keputusan-mu, maka jangan kamu memutuskan kemenangan bagi
pihak pertama sebelum kamu mendapatkan keterangan pihak kedua, setelah itu
kamu akan mengerti bagaimana cara memutuskannya. Kata Ali: Saya
senantiasa menjadi Hakim sesudah itu. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan at-
Tirmizi).

Begitu juga ketika Ali bin Abi Thalib diutus ke Yaman oleh Rasulullah SAW.

Rasul memberikan nasehat supaya tidak menetapkan hukum sebelum mendengar

keterangan dari kedua belah pihak yang bersangkutan.23

Secara eksplisit dari keterangan di atas dapat pula dipahami bahwa pembuktian

itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara dimuka hakim atau

pengadilan dan apabila timbul suatu perselisihan.

Maksudnya adalah apabila para pihak tidak menyangkal tuduhan lawannya,

misalnya tergugat membenarkan gugatan penggugat dalam beberapa hal, berarti dalam

konteks ini tidak terjadi persengketaan. Maka hakim tidak perlu lebih jauh lagi

membuktikan hal tersebut.

Asas pembuktian dalam Hukum Acara Perdata Peradilan Umum di Indonesia,

dapat dilihat dalam pasal 1865 BW (Burgerlijk Wetbook), pasal 163 HIR (Het

22
At-Tirmizi, Abu Isa Muhammad, Jami'at Tirmizi, (Kairo; Dar asy-Sya'bi, tt), h. 129
23
Athiyah Musyifah, al-Qadha' fi al-Islam, (Mesir, Dar al-Fikr, tt), h. 23
23

Herzience Indonesie) atau pasal 283 (Rechts Reglement voor de Buitengwesten), yang

bunyi pasal-pasal tersebut sama, yaitu "barang siapa mempunyai sesuatu hak atau guna

membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristiwa, ia diwajibkan

membuktikan adanya hak itu atau adanya peristiwa tersebut.24

Ilustrasi asas pembuktian tersebut dapat dilukiskan sebagai berikut, A

(penggugat) menggugat B (Tergugat) agar membayar hutang kepada A, maka kepada

A dibebankan oleh Hakim untuk membuktikan adanya hutang B kepadanya, sebab A

(ketika itu) menyatakan mempunyai suatu hak, yaitu piutang pada B. Selanjutnya di

muka sidang B membantah, menurut B adanya hutang di atas kwitansi tersebut

bukanlah sesungguhnya karena B mempunyai hutang kepada A, tapi adalah karena B

dipaksa oleh A untuk membuat (adanya ancaman kekerasan melanggar hukum), maka

kepada B dibebankan pula oleh hakim untuk membuktikan bantahannya tersebut.

Asas pembuktian dalam Peradilan Islam banyak dijumpai didalam Nash, di

antaranya yang paling relevan adalah yang dikemukan dalam hadis Rasulullah SAW,

yaitu:25

‫ لو يعطى الناس‬:‫عن ابن عباس رىض هللا عهنام ان رسول هللا صىل هللا عليه وسمل قال‬
‫بدعو امه الد عى رجال اموال قوم ودماءمه ولكن البينة عىل املدعى والميني عىل‬
}‫من انكر {رؤاه البهيقي‬
“Dari Ibn Abbas R.A sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: seandainya
diberikan kepada orang-orang itu tuntutan mereka, maka sungguh-sungguh

24
K. wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBGHIR, (Jakarta Ghalia Indonesia, 1990), h. 71, lihat juga R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta Pradya Paramita, 1992), h.
397
25
Husain Ibn Ali al-Baihaqy, op. cit., h. 252
24

orang-orang akan menuntut harta dan darah beberapa orang akan tetapi bukti
itu wajib bagi penggugat dan sumpah itu wajib bagi tergugat (HR. al-Baihaqy).

Hadits ini mengandung suatu kaedah yang umum, bahwa gugatan itu

dibenarkan menurut buktinya. Di antara kaidah-kaidah kulliyah itu adalah:26

‫ والميني ال بقاء الاصل‬،‫البينة الثبات خالف الظاهر‬


“Bukti itu, adalah untuk menetapkan sesuatu yang berlawanan dengan realitas
(zahir), sedang sumpah dilakukan untuk mempertahankan hukum asal
(kenyataan)".

Selain itu, kaidah-kaidah kulliyah ini adalah kaedah-kaedah yang dipakai oleh

ulama-ulama ushul Fiqh dalam menetapkan dasar istishab, di antaranya adalah:27

‫الاصل ىف اذلمة الرت اءة من التاكليف واحلقوق‬


“Pada dasamya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya
dalil yang menetapkan tanggung jawab seseorang"

Oleh sebab itu, seseorang tergugat dalam kasus apapun tidak bisa dinyatakan

bersalah sebelum adanya pembuktian yang kuat dan meyakinkan bahwa ia bersalah.

Walaupun kaidah ini kadang-kadang menimbulkan rasa ketidak-adilan. Karena bisa

saja suatu gugatan yang sebenarnya adalah benar, harus ditolak apabila si penggugat

tidak dapat membuktikan kebenarannya. Dan harus kita benarkan gugatan-gugatan

yang dapat dibuktikan, walaupun bukti itu sebenarnya bukti palsu tapi tidak dapat

dibuktikan kepalsuannya

26
Teungku Muhammad Hasb, Ashshiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang, Pustaka
Rizki Putra, 1997), cet. 1, h.132
27
Lihat Jalal al-Din Abd. Al-Rahman al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha'ir, (Sir ura, Sulaiman Mari, t.t),
h. 48
25

C. Sistem Pembuktian

Sistem Hukum Acara Perdata di Indonesia yang merujuk kepada HIR/ RBG,

mendasarkan sistem pembuktiannya kepada "Kebenaran Formal", artinya hakim

dalam memeriksa dan mengadili perkara perdata terikat pada cara-cara tertentu

menurut yang telah diatur di dalam Undang-Undang saja. Namun sistem ini sudah

banyak ditinggalkan, karena perkembangan hukum dan keperluan praktek

penyelenggaraan peradilan. Akhirnya dipakai Hukum Acara Perdata yang bukan

hanya ditunjuk dalam HIR/RBG, tetapi juga didapat dalam Rsv (Reglement op de

Rechtsvordering), dari kebiasaan-kebiasaan praktek peradilan, termasuk dari surat-

surat edaran/petunjuk Mahkamah Agung. Dengan demikian sistem pembuktian, tidak

lagi berdasarkan kepada kebenaran formal saja tetapi juga pada kebenaran materil,

artinya walaupun alat bukti telah mencukupi menurut formal dengan alat bukti yang

ditentukan dalam Undang-undang, namun hakim tidak boleh memutus kalau ia tidak

yakin bahwa hal itu telah terbukti secara material.

Dalam hal sistem pembuktian ini penulis tidak akan membedakan antara sistem

pembuktian dalam Hukum Acara Perdata dengan sistem Pembuktian dalam Hukum

Acara Pidana. Paradigma ini didasarkan kepada bahwa dalam hukum Islam dan yang

telah dipraktekkan di lingkungan Peradilan Islam, dalam sistem pembuktian baik

dalam perkara perdata maupun pidana, sudah sejak semula memakai sistem

pembuktian menurut kebenaran materiil. Karenanya hukum Islam hanya memakai

satu istilah Hukum Acara, yaitu Hukum Acara Islam (al-Hukm al-Murafa'at).

Pendapat ini merupakan induksi dari beberapa logika nash. Lebih dari itu, pada kasus-

kasus tertentu, Allah SWT, dan Rasul-Nya telah langsung menetapkan hukum acara
26

tertentu pada kasus tertentu dalam hal pembuktian. Seperti, pembuktian pada kasus

zina serta tata cara li'an, dan sebagainya yang dibahas pada bab tiga tulisan ini.

Sekalipun untuk suatu peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan

pembuktian, namun pembuktian itu harus dinilai atau dalam istilah hukum Islam

dikenal juga dengan tarjihul bayyinah.28 Dalam hal ini Undang-undang dapat

mengikat hakim pada alat-alat bukti tertentu, sehingga ia tidak bebas menilainya,

sebaliknya Undang-Undang dapat menyerahkan dan memberi kebebasan kepada

hakim dalam menilai pembuktian. Misalnya, dalam Hukum Acara Perdata Umum,

terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis hakim terikat dalam penilaiannya,

sebaliknya hakim tidak wajib mempercayai seorang saksi, yang berarti bahwa hakim

bebas menilai kesaksian.29

Pada umumnya, sepanjang undang-undang tidak mengatur, hakim bebas untuk

menilai pembuktian. Apabila alat bukti dinilai cukup memberi kepastian tentang

peristiwa yang disengketakan untuk mengabulkan akibat hukum yang dituntut oleh

penggugat, kecuali ada bukti lawan, bukti itu dinilai sebagai bukti lengkap atau

sempurna. Jadi bukti itu dinilai lengkap atau sempurna, apabila hakim berpendapat,

bahwa berdasarkan bukti yang telah diajukan, peristiwa yang harus dibuktikan itu

harus dianggap sudah pasti atau benar.

Akan tetapi, selengkap apapun suatu pembuktian bisa saja dilumpuhkan oleh

bukti lawan. Pembuktian lawan adalah setiap pembuktian yang bertujuan untuk

menyangkal akibat hukum yang dikehendaki oleh pihak lawan atau untuk

28
Teungku Muhammad Hasbi Ashshiddieqy, op.cit., h. 134
29
Sudikno Mertokusumo, op. cit., h. 109
27

membuktikan ketidakbenarannya peristiwa yang diajukan oleh pihak lawan. Karena

bukti lawan tidak dimungkinkan terhadap bukti yang bersifat menentukan atau

memutuskan. Bukti yang bersifat menentukan ini adalah bukti lengkap atau sempurna

yang tidak memungkinkan adanya bukti lawan.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dengan adanya bukti lawan

menimbulkan implikasi terhadap masing-masing alat bukti tersebut. Di mana hakim

harus memeriksanya secara cermat, mana alat bukti yang benar dan kuat di antara alat

bukti dimaksud. Dalam hal ini tentu membuka berbagai kemungkinan yang harus

dipastikan.

Dalam buku Handleiding tot de Beoefening van het Nederlands Burgerlijk

Recht karya Asser-Anema-Verdam, sebagaimana dikutip Sudikno Mertukusumo,

mengemukakan bahwa ada tiga teori pembuktian yaitu:

1. Teori pembuktian bebas.


Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim,
sehingga penilaian pembuktian sepenuhnya diserahkan kepada hakim. Teori ini
merupakan teori yang didukung oleh mayoritas praktisi hukum dan diyakini lebih
mampu mengantisipasi kelemahan-kelemahan hakim dalam mencari kebenaran.
2. Teori pembuktian negatif.
Menurut teori ini harus ada ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat
negatif, yaitu bahwa ketentuan ini harus membatasi pada larangan kepada hakim
untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi di sini
hakim dilarang dengan pengecualian. 30
3. Teori pembuktian positif.
Yaitu adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat dan hakim tidak boleh menilai
lain, seperti ditemui dalam pasal 165 HIR/285 RBg.31

30
Lihat Pasal 1905 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, R. Subekti, op. cit, h. 403
31
Lihat K. Wantjik Saleh, op.cit., h. 71
28

Selanjutnya berkenaan dengan mempertahankan sistem kebenaran materil yang

dimaksudkan untuk mengantisipasi kekecewaan hukum, dalam Hukum Acara

Peradilan Islam misalnya terdapat beberapa contoh kasus di antaranya adalah tentang

sumpah li'an, seperti yang terdapat dalam al-Qur'an surat al-Nur ayat 6-9, yang

ilustrasinya sebagai berikut: Suami adalah orang yang saleh dan taat beragama, ia

yakin bahwa isterinya telah berzina dan anak yang lahir dari kandungan isterinya itu

adalah bukan anaknya, tetapi suami tidak mampu membuktikannya dengan empat

orang saksi.

Suami mengucapkan sumpah li'an dalam tuduhannya dan pengingkaran anak

tersebut, sehingga suami terlepas dari had qazaf, anak tersebut nasabnya hanya kepada

ibunya, perkawinan keduanya terputus dan isteri terkena had zina. Akan tetapi isteri

berani pula mengucapkan sumpah, membantah sumpah li'an suaminya, sehingga

dengan sumpah bantahan ini, isteri terhindar dari hukum rajam. Hanya saja karena

isteri dalam hal ini bukan wanita yang taat, sehingga dia tidak peduli dosa besar

ataupun dosa kecil dan tidak peduli sumpah apapun ia berani saja mengucapkannya.

Dari beberapa keterangan ini, bertambah jelas bahwa sistem pembuktian formal

semata-mata akan membawa kepada kekecewaan hukum. Oleh karena itu sistem

pembuktian hukum Islam dengan sistem kebenaran materil adalah sangat tepat.

Dalam konteks hukum positif di Indonesia, ternyata pergesaran kebenaran

formal kepada kebenaran materil relevan dengan pergeseran hakim pasif didalam

sistem HIR/RBG kepada hakim aktif menurut UndangUndang no. 14 tahun 1970

tentang pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.


29

Akan tetapi di antara ulama ada yang berpendapat bahwa di dalam hal tarjih al-

bayyinah sebenamya, cukup berpegang pada kaidah umum hadits yakni al-bayyinah

al-mudda'i, diserahkan pada pertimbangan hakim, tidak perlu hakim mengikuti teori-

teori yang dikemukakan oleh ahli-ahli fiqh belakangan.32

Hukum pembuktian beroreintasi pada perkembangan. Dahulu ada ajaran

hukum yang menyatakan bahwa hal yang dapat dibuktikan itu hanyalah kejadian-

kejadian atau peristiwa-peristiwa saja. Dengan terbuktinya kejadian-kejadian atau

peristiwa-peristiwa tersebut, hakim menyimpulkan adanya hak milik, adanya piutang,

adanya hak waris dan sebagainya. Jadi di depan hakim yang harus dibuktikan adalah

fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa untuk membenarkan adanya suatu hak. Ajaran

hukum yang demikian itu sekarang sudah banyak ditinggalkan, sebab pandangan

ajaran tersebut terlalu sempit, hanya yang dibuktikan itu adalah sesuatu yang dilihat

dengan panca indera saja, tetapi justru banyak hal yang hidup dalam ingatan kita

seperti hak milik, piutang, perikatan dan sebagainya, sehingga barang-barang ini harus

dibuktikan secara langsung.

Oleh karena itu, di dalam Peradilan Agama di Indonesia, pembuktian tidak

hanya diatur dalam perkara yang bersifat volunter, seperti permohonan mengesahkan

(itsbat) nikah, penetapan asal-usul anak dan cerai talak, tetapi juga dalam perkara yang

bersifat gugatan.

32
Manmasani, Falsafah al-Tasyri' Fi al-Islam, (Mesir, Mathba'ah Sa'adah, tt), h. 299
30

D. Beban Pembuktian

Hukum Acara Peradilan Umum di Indonesia menegaskan bahwa barang siapa

yang mengaku mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk

menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus

membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.33 Kemudian dalam pasal 1865

KUH Perdata mempunyai pengertian yang sama dengan pasal tersebut yang

prinsipnya, siapa yang mengakui mempunyai hak, maka ia harus membuktikan adanya

hak itu atau peristiwa yang didalilkan itu.34

Jauh sebelum beban pembuktian Hukum Acara Peradilan Umum ini

diberlakukan, Hukum Islam telah menerapkan beban pembuktian tersebut.

Berdasarkan peraturan tersebut dapat dipahami bahwa yang harus membuktikan atau

dibebani pembuktian adalah para pihak yakni pihak yang berkepentingan didalam

suatu perkara terutama penggugat yang mengajukan dalil gugatannya, sedangkan

tergugat berkewajiban untuk membuktikan kebenaran bantahan tergugat, demikian

pula tergugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan oleh

penggugat.

Kalau penggugat tidak dapat membuktikan peristiwa yang diajukannya, maka

ia harus dikalahkan, sedangkan jika tergugat tidak dapat membuktikan kebenaran

bantahannya, maka ia harus pula dikalahkan, atau tidak dimenangkan.

Dengan demikian beban pembuktian terletak pada masing-masing pihak yang

berpekara baik penggugat maupun tergugat. Para pihak yang wajib membuktikan

33
Lihat Pasal 163 HIR dan Pasal 283 RBG, K. Wantjik saleh, op. cit, h. 71
34
R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, op. cit, h. 397
31

segala peristiwa, kejadian atau fakta yang disengketakan itu dengan mengajukan alat-

alat bukti yang sah menurut undang-undang. Yang menyatakan bahwa peristiwa,

kejadian atau fakta itu terbukti atau tidak adalah hakim yang menyidangkan perkara

tersebut. Resiko pembuktian pada hakikatnya tidak lain untuk memenuhi syarat

keadilan, agar resiko beban pembuktian itu tidak berat sebelah, maka hakim harus

berhati-hati dalam menerapkan beban pembuktian tersebut dengan pembuktian secara

seimbang dan patut serta tidak berat sebelah.35

Berkenaan dengan hal ini Rasulullah SAW. mengingatkan dalam sabdanya:36

‫ قىض رسول هللا صىل هللا عليه وسمل ان اخلصمني‬:‫عن عبد هللا بن الزبري قال‬
}‫يقد ان بني يدى احلا مك {رواه امحد وابو داود‬
“Dari Abdullah Ibn Zubair ia berkata; Rasulullah SAW memutuskan, bahwa
dua oang yang sedang bersengketa itu hendaknya duduk di depan hakim”. (HR.
Ahmad dan Abu Dawud).

Dalam ilmu pengetahuan hukum terdapat beberapa teori tentang beban

pembuktian yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim dalam memeriksa perkara yang

diajukan kepadanya, yaitu:

1. Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief).37

Menurut teori ini, siapa yang mengajukan sesuatu hal maka ia harus

membuktikannya, bukan pada pihak yang mengingkari atau yang menyangkal dalil

yang diajukan oleh orang yang mengajukan suatu hal itu. Dasar hukum dari teori

ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa segala yang bersifat negatif tidak

35
Abdul Manan, op. cit, h. 132
36
Abu Dawud, op. cit.,
37
Sudikno Mertokusumo, op. cit., h. 111
32

mungkin dapat membuktikannya (negative non sunt probanda). Teori ini juga

menyatakan bahwa peristiwa negatif tidak dapat menjadi dasar dari suatu hak,

sekalipun pembuktiannya mungkin dapat dilakukan dan oleh karena itu tidak dapat

membebankan pembuktian kepada seseorang. Teori ini sudah banyak ditinggalkan

oleh para praktisi hukum, karena dianggap kurang efektif.

2. Teori hukum subjektif.

Teori ini bertujuan untuk mempertahankan hukum subjektif dan selalu

merupakan pelaksanaan hukum subjektif. Dalam hal ini penggugat tidak perlu

membuktikan semuanya. Untuk mengetahui peristiwa mana yang harus dibuktikan

dibedakan antara peristiwa-peristiwa khusus. Peristiwa yang khusus dibagi lagi

menjadi peristiwa yang bersifat menimbulkan hak, peristiwa khusus yang

membatalkan hak. Penggugat berkewajiban membuktikan peristiwa-peristiwa

khusus yang menimbulkan hak, sedangkan tergugat harus membuktian tidak

adanya peristiwa-peristiwa umum dan adanya peristiwa-peristiwa khusus yang

bersifat menghalang-halangi dan juga yang bersifat membatalkan.

Teori ini hanya dapat memberikan jawaban apabila gugatan penggugat

didasarkan kepada hukum subjektif. Teori ini terlalu banyak kesimpulan yang

abstrak dan tidak dapat memberikan jawaban atas persoalan-persoalan tentang

pembuktian dalam sengketa yang bersifat prosesuil.

Teori ini juga tidak dapat memberikan solusi terhadap hal-hal yang timbul

dalam masalah pembuktian ini dan teori ini sering menimbulkan ketidak adilan

karena terlalu memberikan kelonggaran kepada hakim untuk mengadakan

peralihan beban pembuktian. Dalam hukum acara yang berlaku di Peradilan


33

Umum, teori ini dalam banyak hal mendasarkan operasionalnya pada pasal 1865

BW.38

3. Teori hukum objektif.

Yaitu, mengajukan gugatan atau tuntutan hak ke Pengadilan berarti

meminta kepada hakim agar menerapkan ketentuan Undang-Undang hukum

objektif kepada peristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus

membuktikan kemudian hukum objektifnya untuk diterapkan pada peristiwa

tersebut. Kebenaran peristiwa yang diajukan itu dan Hakim yang memeriksa

perkara tersebut hanya dapat mengabulkan gugatan apabila unsur-unsur yang

ditetapkan oleh hukum objektif ada. Jadi atas dasar ini pula dapat ditentukan beban

pembuktian.

Teori ini juga sudah banyak ditinggalkan oleh para praktisi hukum karena

dalam banyak hal tidak dapat menjawab persoalan-persoalan hukum yang tidak

diatur oleh Undang-Undang. Lagipula teori ini sangat formalitas.

4. Teori hukum publik.

Inti dari teori ini adalah mencari kebenaran suatu peristiwa terhadap suatu

gugatan yang diajukan oleh penggugat dilaksanakan berdasarkan kepentingan

publik. Oleh karena itu hakim harus diberi kewenangan yang besar untuk mencari

kebenaran di dalam hal pembuktian dari suatu perkara.

38
R. Subekti, op. cit., h. 397
34

Demikian juga para pihak yang berperkara dalam hal pembuktian ada

kewajiban dengan hukum publik, dengan alat-alat bukti yang sifatnya umum.

Kewajiban itu harus disertai sanksi pidana.

5. Teori hukum acara.

Teori ini didasarkan pada asas kedudukan prosesuil yang sama dari pihak-

pihak yang berperkara di muka majelis hakim atau disebut azas Audi et alteram

partem. Pembebanan pembuktian model ini adalah sama di antara para pihak,

sehingga kemungkinan dalam setiap perkara untuk menang adalah sama sebab

kesempatannya adalah sama, seimbang dan patut. Dalam Peradilan Islam dikenal

dengan asas “ahsin nasa fi majlisika wa qadhaika”,39 hakim harus membagi beban

pembuktian berdasarkan persamaan kedudukan para pihak. Dalam segala hal bagi

yang bersengketa harus diperlakukan sama. Oleh karena itu hakim harus

membebani pembuktian secara seimbang kepada para pihak yang berperkara.

Teori ini banyak dipergunakan oleh para praktisi hukum saat ini, karena

dianggap lebih mendekati kepada prinsip keadilan dan kebenaran. Jika rumusan

teoritis ini dihubungkan dengan praktek peradilan Islam, maka akan ditemukan

mekanisme beban pembuktian sebagai berikut:

a. Beban wajib bukti dibebankan kepada penggugat.

Asas ini merupakan asas umum dalam hal pembuktian sebagaimana

dikenal dengan ‫البينة على المدعى واليمين على من انكر‬, prinsip ini menjadi logis

39
Menurut Mazhab Hanafi dan satu riwayat dari Imam Ahmad bahwa pembuktian tetap dimintakan
terlebih dahulu pada penggugat, berbeda dengan Imam Malik dan AsySyafi'i bahwa bukti tergugat
harus lebih didahulukan dari pada penggugat, lihat Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarhu Majallah al-
Ahkam, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt)
35

karena siapa yang mengajukan dalil gugat maka kepadanya lebih dahulu

dibebankan beban pembuktian dan juga karena penggugat lebih tahu dan lebih

berkepentingan mengenai apa yang di sengketakan. Dalam Hukum Acara

Perdata, asas ini dapat dijumpai dalam pasal 163 HIR/283 RBG serta pasal

1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pada prinsipnya Tergugat adalah orang yang ditarik oleh penggugat

untuk berperkara di depan sidang pengadilan. Dalam hal ini tergugat dianggap

tidak mengetahui atau belum mengetahui peristiwa apa yang dikemukakan

dan dikehendaki oleh penggugat. Jadi pembebanan beban pembuktian

diwajibkan kepada penggugat lebih dahulu, akan tetapi tidak boleh dilakukan

secara berlebihan. Wajib bukti hanya dilakukan dalam hal-hal yang

disengketakan saja, sepanjang yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan.

b. Beban pembuktian ditentukan sendiri oleh Undang-Undang.

Mekanisme pembuktian seperti ini adalah pengecualian dari asas

umum pembuktian, pengecualian itu terdapat dan ditentukan sendiri oleh

Peraturan Perundang-Undangan kepada siapa wajib bukti dipikulkan oleh

hakim. Dalam Hukum Perdata Umum, maka dengan sendirinya ketentuan

umum yang tersebut dalam pasal 163 HIR, pasal 283 RBq dan 1685 KUH

Perdata tidak berlaku dalam mekanisme beban pembuktian.

Beban pembuktian dalam mekanisme Hukum Pembuktian di

Pengadilan Agama di Indonesia, dapat disimak dalam pasal 44 UU No. 1

tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa dalam hal suami
36

menyangkal tentang keabsahan seorang anak yang dilahirkan dalam ikatan

perkawinan, maka wajib bukti harus dipikul kepada pihak suami.40

Pasal-pasal yang telah menentukan sendiri mekanisme beban

pembuktian dalam Hukum Acara Perdata di Peradilan Umum, antara lain

adalah:

1) Pasal 1244 KUH Perdata tentang keadaan memaksa atau over macht,

fore majeure beban pembuktian ada pada debitur.41

2) Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum atau on

rechmitige daad, ilegal act beban pembuktian ada pada si pelanggar.42

3) Pasal 1977 KUH Perdata tentang bezit atas benda bergerak atau bezit

possession, beban pembuktian ada pada pemilik sebenar-benarnya

eignaar, owner.43

4) Pasal 1394 KUH Perdata tentang sewa dan bunga yang harus dibayar,

beban pembuktian ada pada debitur yang sudah membayar cicilan.44

5) Pasal 468 ayat (2) KUH Dagang tentang pengangkutan Vervoer,

transpor beban pembuktian ada pada pengangkut barang tersebut.45

40
S. Sapto Ajie, Undang-Undang Perkawinan, (Semarang; Aneka Ilmu, 1990), h. 15 R
41
. Subikto, op. cit., h. 270
42
Ibid., h. 288
43
Ibid., h. 414
44
Ibid., h. 293
45
Lihat R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Undang-undang
Kepailitan, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1994), cet. XXII, h. 134
37

c. Beban pembuktian dibagi dalam hal-hal tertentu.

Relevan dengan perkembangan praktek peradilan dewasa ini, asas

umum pembebanan pembuktian diperluas dengan cara penerapan pembagian

pembebanan wajib bukti kepada masih-masing pihak. Pihak penggugat

dibebani wajib bukti untuk membuktikan dalil gugatannya. Sedangkan

tergugat juga dibebani beban pembuktian dengan membuktikan dalil

bantahannya. Dalam hal pembuktian model ini sangat tergantung kepada

masing-masing pihak dan bersifat kasuistik.

Patokan penerapan beban pembuktian yang dibagi dalam hal-hal

tertentu, penerapannya harus digantung kepada:46

1) Sifat bantahan atau beban bantahan yang dikemukakan oleh tergugat.

2) Apabila sangkalan atau bantahan tergugat dibarengi dengan dalil baru.

3) Dalil barunya sama bobotnya dengan dalil gugat, maka beban wajib

dibagi dua.

4) Penggugat wajib membuktikan dalil gugat.

5) Tergugat wajib membuktikan dalil bantahannya.

Pada prinsipnya sepanjang undang-undang tidak mengatur, maka

hakim bebas menilai pembuktian. Dalam Hukum Acara Perdata Umum hal

ini sesuai dengan 165 HIR, 285 RBg, yang mana dikemukakan bahwa yang

menilai alat-alat bukti adalah hakim dan ia terikat dengan penilaiannya,

hakim juga berhak untuk tidak mempercayai keterangan saksi-saksi jika ia

46
Abdul Manan, op. cit., h. 134
38

menganggap bahwa keterangan-keterangan persaksian tersebut tidak relevan

atau kurang meyakinkan dirinya. Hakim bebas menilai kesaksian, hal ini

sesuai dengan ketentuan pasal 172 HIR dan pasal 309 RBg.47

E. Hal-Hal yang Tidak Memerlukan Pembuktian

Dalam paradigma pembuktian ada dua hal yang tidak perlu dibuktikan oleh

hakim, yaitu:

1. Peristiwa yang diangap tidak perlu diketahui oleh hakim atau dianggap tidak

mungkin diketahui oleh hakim, seperti:

a. Dalam putusan verstek.48

Segala peristiwa yang didalilkan oleh penggugat harus dianggap benar, jika

tergugat yang telah dipanggil secara patut ternyata tidak hadir.

Dalam hal ini hakim cukup meneliti apakah panggilan telah dilaksanakan

secara resmi dan patut, apabila telah dilaksanakan secara resmi dan patut maka

dapat dijatuhkan putusan tanpa hadirnya tergugat atau verstek, dan dalil gugat

penggugat tidak perlu di buktikan lagi.

47
K. Wantjik Saleh, op. cit., h. 78
48
Verstek merupakan istilah yang resmi dipakai dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara di Indonesia
dan sering dipakai dalam kajian ilmu hukum. Istilah ini berasal dari Bahasa Belanda yang artinya
putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa atau salah satu pihak lihat Andi Hamzah, Kamus Hukum,
(Jakarta, Ghalia Indonesia, 1996), h.620. Lihat juga pasal 214 (1) KUHAP dan pasal 125, 127, 181 HIR.
Jauh sebelumnya verstek dibicarakan dalam hukum Belanda, KUHAP dan HIR, persoalan ini sudah di
bicarakan dalam hadits Nabi Saw. Seperti Hadits dari Ali RA yang diriwayatkan at-Turmuzi di atas
selanjutnya sudah dibahas pula oleh para ulama, seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I serta
ulama-ulama Hadawiyah dan sebagainya. Akan tetapi tidak ditemukan istilah yang jelas dalam
menggambarkan substansi tersebut dalam hukum Islam.
39

Dalam hal dijatuhkan putusan Verstek dengan tidak hadirnya Tergugat setelah

dipanggil secara patut, para ulama berbeda pendapat, yaitu:49

1) Menurut pendapat Zaid bin Ali dan Imam Abu Hanifah bahwa putusan

verstek itu tidak dapat diterima dalam hukum Islam, karena sesungguhnya

jika putusan verstek dapat menyalahkan Tergugat tentu tidak ada kewajiban

hadir bagi tergugat dalam persidangan, dan berdasarkan hadits

menyatakan:50

‫ قال رسول هللا صىل هللا عليه وسمل اذا تقا ىض‬:‫عن عىل ريض هللا عنه قال‬
}‫اليك رجالن فال تقىض لالول حىت تسمع الكم الاخر {رواه الرت مذى‬
“Dari Ali r.a beliau berkata: Rasulullah SAW, bersabda:
Apabila dua orang meminta keputusan, maka jangan kamu
memutuskan kemenangan bagi yang pertama sehingga kamu
mendengar keterangan yang kedua”. (HR. at-Tirmizi)

Berdasarkan hadits ini, hakim tidak boleh memutuskan perkara sehingga

dia mendengar keterangan pihak tergugat. Sedangkan orang yang tidak

hadir tidak didengar jawabannya.

2) Menurut pendapat ulama al-Hadawiyah, Imam Malik dan Imam Syafi’i,

hakim boleh memutus verstek terhadap orang yang tidak hadir, berdasarkan

hadits di atas juga. Mereka menafsirkan hadits dari Ali RA ini atas orang

yang hadir. Dan mereka menyatakan: bahwa orang yang tidak hadir itu

tidak hilang haknya. Sesungguhnya jika dia hadir maka hujjahnya adalah

tetap berlaku dan didengar serta diputus sesuai dengan kekuatan hujjahnya

49
Muhammad Bin Ismail al-Kahlani as-San’ani, Subul as-Salam, (Kuwait Dar as-Salafiyah), h. 513
50
Ibid.,
40

itu, sekalipun mengakibatkan pembatalan putusan, karena sesungguhnya

itu dalam putusan yang bersyarat.

Menurut penulis, secara empiris praktek-praktek di peradilan islam

memakai kedua pendapat di atas yang mengambil jalan tengahnya, dengan

artian bahwa putusan verstek tetap berlaku akan tetapi tidak sama dengan

putusan biasa seperti hadirnya penggugat dan tergugat, dimana dalam putusan

verstek diterapkan aturan-aturan khusus seperti adanya pemberitahuan

putusan verstek yang tenggang waktunya cukup lama kemudian upaya hukum

diberinya verzet dan banding. Setelah tergugat dipanggil secara resmi dan

patut, hal ini lebih terasa adil. Sebab jika dengan tidak hadirnya juga tergugat

suatu perkara tidak bisa diputus, maka dengan sendirinya juga akan

mengabaikan hak-hak penggugat, dan tergugat merasa bisa bertindak

semaunya karena tanpa kehadirannya tergugat beranggapan suatu putusan

tidak bisa dilaksanakan.

Akan tetapi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama, tetap

dilaksanakan pembuktian tentang kebenaran dalil gugat penggugat, dan perlu

dipanggil keluarga masing-masing pihak atau orang yang dekat dengan

penggugat atau tergugat guna didengar keterangannya dalam rangka usaha

perdamaian secara maksimal.51

51
Lihat penjelasan Pasal 27 ayat (4) Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, dalam S. Sapto Ajie, op,
cit., h. 44. Keterangan tersebut dalam perkara perceraian, selain untuk menambah keyakinan hakim
dan memenuhi syarat hukum, juga sebagai upaya damai. Khusus dalam sengketa perkara perceraian,
asas mendamaikan para pihak adalah bersifat imperatif. Usaha mendamaikan para pihak adalah beban
yang diwajibkan oleh hukum kepada para hakim. Dalam upaya hakim melaksanakan upaya
perdamaian, maka hakim dapat meminta bantuan kepada pihak lain atau lembaga lain yang dianggap
41

b. Dalam hal tergugat reperte

Jika tergugat tidak mengakui dan juga tidak membantah gugatan penggugat,

segala gugatan penggugat diserahkan sepenuhnya kepada hakim dengan

menyatakan “terserah kepada bapak hakim sajalah”, maka dalam hal ini

seperti tidak perlu diadakan pembuktian lagi, walaupun hakim tidak

mengetahui sekalipun alasan-alasan tergugat.

c. Dalam hal mengakui gugatan penggugat

Jika tergugat mengakui dalil gugat dari penggugat, maka gugatan penggugat

itu tidak perlu dibuktikan lagi, segala gugatan penggugat dianggap telah

terbukti, jadi tidak perlu dibuktikan lagi kebenaran dalil gugat penggugat lebih

lanjut.

d. Telah dilaksanakan sumpah decesoir.

Sumpah decesoir merupakan sumpah yang menentukan. Oleh sebab itu jika

sumpah decesoir telah dilaksanakan oleh salah satu pihak yang berperkara,

maka pembuktian lebih lanjut tidak diperlukan lagi. Segala peristiwa dan

kejadian yang menjadi pokok sengketa dianggap telah terbukti dan tidak

memerlukan pembuktian lebih lanjut.

Sumpah decesoir ini bertujuan menyelesaikan perkara yang sedang

diperiksa, dan harus bersifat litis decesoir.52 Dalam hal ini hakim harus

mempertimbangkan dengan betul, apakah sumpah yang dimintakan itu bersifat

perlu, termasuk keluarga dari para pihak yang bersengketa. Hal ini sesuai dengan maksud pasal 31 ayat
(2) peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 lihat ibid, h. 46
52
Litis decesoir, yaitu sumpah yang bersifat memutus dan menyelesaikan perkara, sehingga sumpah ini
sering juga disebut Sumpah Pemutus, Lihat Abdul Manan, op. cit, h. 135.
42

litis decesoir atau tidak. Jika bersifat litis decesoir maka hakim baru

memerintahkan untuk dilaksanakan sumpah decesoir tersebut.

2. Hakim secara ex officio53 dianggap telah mengetahui atau mengenal peristiwanya,

sehingga peristiwa atau kejadian-kejadian yang menjadi dasar gugatan tidak perlu

dibuktikan lebih lanjut, di antara bentuk paradigma ini adalah:

a. Pernyataan yang bersifat negatif.

Paradigma ini relevan dengan prisnsip umum pembuktian.54 Suatu

peristiwa atau suatu hal yang negatif, pada umumnya tidak mungkin untuk

dibuktikan (negative non stunt probanda) misalnya pembuktian tidak

berhutang, tidak menerima uang. Pada hakikatnya membuktikan yang serba

tidak itu pada umumnya suatu hal yang tidak mungkin. Mahkamah Agung RI

dalam putusannya Nomor 547/SIP/1971 tanggal 15 Maret 1972 memutuskan

bahwa pembuktian yang diletakan kepada pihak yang harus membuktikan

sesuatu yang negatif adalah lebih berat dari beban pembuktian pihak yang

harus membuktikan suatu yang positif, yang tersebut terakhir ini termasuk

pihak yang lebih mampu untuk membuktikannya.55

b. Peristiwa Notoir Feiten.

Dalam Hukum Acara Peradilan Umum notoir feiten merupakan “Omstandeg

Heiden”, atau fakta yang dianggap diketahui umum, sering juga disebut

pengetahuan umum, tidak memerlukan pembuktian lagi, atau perihal berupa:

53
Istilah ex officio, berasal dari bahasa latin, maksudnya adalah “karena jabatannya” lihat, Andi Aziz,
op, cit., h. 187
54
Bahwa pembuktian, untuk pertama kali tetap dibebankan pada penggugat sesuai dengan hadis
55
Sudikno Mertokusumo, op. cit., h. 110
43

1) Kenyataan pengalaman manusia bahwa suatu hal atau peristiwa selalu

akan menimbulkan kesimpulan tertentu yang sudah pasti.

2) Atau hal ikhwal suatu keaadaan atau peristiwa yang diketahui umum dan

berbarengan dengan itu umum berpendapat bahwa apabila terjadi suatu

hal atau peristiwa akan begitulah keadaan yang sebenarnya dan

semestinya.

Pada umumnya notoir feiten bersumber dari ketentuan hukum alam,

seperti es itu dingin, api itu panas, apabila terjadi kemarau panjang selalu

mengakibatkan kekeringan. Notoir feiten bisa juga bersumber dari ekonomi,

misalnya jika barang persediaan taka da harga pasti naik.

Dapat juga diambil dari pengamatan psikologis atau sosiologis,

misalnya suami yang ketagihan minuman keras atau penjudi, pada umumnya

kurang memperhatikan kepentingan keluarga atau rumah tangga.56 Pada

hakekatnya, paradigm aini sudah di terapkan secara umum di Pengadilan

Agama.

c. Pengetahuan Hakim.

Pada dasarnya pengetahuan hakim sangat berdekatan dengan peristiwa

notoir feiten, tetapi ketentuan ini tidak selamanya demikian sebab secara

kasuistik pengetahuan hakim bisa bersandar pada hipotesa ilmu pengetahuan

atau kelaziman yang berlaku pada daerah setempat.

56
M. Yahya Harahap, op. cit., h. 3
44

Menurut Mazhab Maliki, bahwa hakim tidak boleh memutus perkara

atas dasar pengetahuannya tentang keadaan tergugat/tertuduh, baik

pengetahuannya itu sebelum atau sesudah diangkat sebagai hakim, baik

pengetahuannya didalam siding pengadilan atau diluarnya, demikian juga baik

sebelum itu ketika atau sesudah pemeriksaan perkara.57

Menurut Mazhab Hanafi, bahwa apabila menyangkut perkara perdata,

maka atas dasar pengetahuannya hakim boleh memutus perkara tentang

sesuatu yang menyangkut sengketa dimasa ia menduduki jabatannya dan

wilayah yuridiksinya, Ibn Hazm dan al-Zahiri berpendapat selain dalam kasus

perdata, hakim juga wajib menjatuh putusan dengan dasar pengetahuannya

dalam kasus-kasus pembunuhan, sengketa harta benda, kejahatan yang

diancam qishas, had, dan perzinaan, baik pengetahuannya itu sesudah atau

sebelum ia diangkat sebagai hakim. Ibn Hazm dan al-Zahiri hanya

mendasarkan pendapat ini pada keumuman ayat 135 surat al-Nisa’ sebagai

berikut:

‫يأهيا اذلين أمنوا كو نوا قومني ابلقسط شهدأ هللا ولو عىل أنفسمك‬
}١٣٥ :‫{النسأ‬
“Hai orang-orang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap
dirimu sendiri”. (QS. al-Nisa: 135)
57
Akan tetapi berbeda dengan pendapat Sahnun, yang juga mengikuti Mazhab Maliki. Membenarkan
hakim memutus perkara atas dasar pengetahuannya tentang keadaan tergugat dan penggugat sesudah
diperiksa dan tidak ada perbedaan pendapat tentang apa yang diketahui atau didengar hakim tentang
keadaan pihak-pihak diluar sidang pengadilan, bahwa hal itu dapat dipergunakan sebagai dasar
putusannya dan apabila hakim telah menjatuhkan putusannya atas dasar yang demikian, maka putusan
tersebut berhak dibatalkan. Lihat Muhammad Salam Makdur, al-Qadha’ fi al-Islam, (Kairo, Dar al-
Nahdah al-Arabiyat, tt), h. 155
45

Dalam hal ini penulis berpendapat, bahwa untuk kehati-hatian sebaiknya

hakim tetap memeriksa kebenaran pengetahuannya sendiri, dengan beberapa cara,

diantaranya dengan meminta keterangan dari saksi-saksi ahli dan memang secara

empirik hal ini sebagian besar tetap dilakukan dalam praktek di Pengadilan. Di

samping tidak melanggar hukum acara, hal ini pun tidak ada larangan untuk

dilaksanakan dalam sistem pembuktian dihadapan sidang pengadilan, yang dapat

mendukung kekuatan bukti-bukti lainnya.

Melengkapi beberapa paradigma di atas, perlu dipahami bahwa hakim tidak

memutus atas dasar hukum yang tertulis saja, tapi juga yang tidak tertulis.60

Berangkat dari tanggung jawab itu, maka teori-teori pembuktian akan selalu

berkembang sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat dan perkembangan zaman

pada semua lembaga peradilan.

Sebagaimana dielaborasi Coulson dalam pernyataannya : “Hukum dalam

teori Islam klasik, adaslah kehendak Tuhan yang diwahyukan, sebuah sistem yang

disusun secara ketuhanan, mendahului dan tidak didahului oleh negara Islam,

menguasai dan tidak dikuasai oleh masyarakat Islam”.61 Di indonesia banyak

keputusan hukum dan Yurisprudensi dari hukum Islam yang telah diserap menjadi

bagian hukum positif yang berlaku.62

60
Bismar Siregar, Pembaharuan Hukum Pidana Nasional dan Prospek Hukum Islam di Dalamnya, baca
Tjun Surjaman (ed, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktek, (Bandung, Remaja Rosda Karya,
1994), h. 165
61
H.J Coulson, A History of Islamic Law, (Edinburgh, Islamic Surveys, No.2, 1964), h. 1-2
62
Lihat Juhaya A. Praja, Delik Agama Dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung, Angkasa, 1982), h.
1
46

Dengan memahami beberapa aspek tentang pembuktian di atas, mulai dari

pengertian pembuktian, asas pembuktian, sistem pembuktian, beban pembuktian

serta hal-hal yang tidak perlu dibuktikan. Keseluruhannya secara universal

menegaskan pentingnya pembuktian untuk memperoleh kebenaran peristiwa. Maka

sudah seyogianya kalau hakim harus menguasai hukum pembuktian. Kurang

menguasai hukum pembuktian, selain menghambat jalannya peradilan, juga

menghasilkan konstatering yang tidak tepat.


BAB III

ALAT BUKTI DALAM HUKUM ISLAM

A. Paradigma Umum Alat Bukti

Alat bukti merupakan istilah teknis dari pembuktian (al-bayyinah). Dalam

hukum Islam (fikih) alat bukti disebut juga at-turuq al-isbat. Para ulama berbeda

pendapat tentang macam-macam alat bukti yang dipakai. Diantaranya Ibn Qayyim al-

Jauziyah mengemukakan bahwa ada 26 alat bukti yang dapat digunakan dihadapan

Majelis Hakim.1 Alat bukti merupakan pegangan utama dalam memutuskan suatu

perkara didepan pengadilan.2

Akan tetapi terlebih dahulu harus dibedakan antara alat bukti pada umumnya

dengan alat bukti menurut hukum. Meskipun alat bukti yang diajukan salah satu bentuk

alat bukti yang ditentukan, tidak otomatis alat bukti tersebut sah sebagai alat bukti.

Agar alat bukti itu sah sebagai alat bukti menurut hukum, maka alat bukti yang diajukan

itu harus memenuhi syarat formil dan syarat materil. Di samping itu tidak pula setiap

alat bukti yang sah menurut hukum mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk

mendukung terbuktinya suatu peristiwa, meskipun alat bukti yang diajukan telah

memenuhi syarat formil atau materil. Supaya alat bukti yang sah mempunyai nilai

1
Lihat ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Turuq al-Hukumiyah fi al-Siyasah al-Syari’iyyah, (Beirut, Mu’assasah
al-Arabiyah Li al-Tiba’ah Wa al-Nasyr, 1961)
2
Abdurrahman Ibrahim Abdul Aziz al-Humaidi, al-Qadha’ wa Nizhamuhu fi al-Kitab wa al-Sunnah, (al-
Makkah al-Arabiyah al-Saudi, Jami’ah Umm al-Qur’an, 1989) Cet I, h. 382

47
48

kekuatan pembuktian, alat bukti yang bersangkutan harus mencapai batas minimal

pembuktian.3

Alat bukti yang diakui dalam hukum acara Peradilan Umum termasuk Peradilan

Agama yang ada di Indonesia, diatur dalam pasal 164 HIR, pasal 284 RBg dan Pasal

1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu:4

a. Alat bukti surat (tullisan)

b. Alat bukti saksi

c. Alat bukti persangkaan (dugaan)

d. Alat bukti pengakuan

e. Alat bukti sumpah

f. Alat bukti pemeriksaan setempat (discente)

g. Alat bukti keterangan ahli (expertise).5

Berbeda dengan ketentuan alat bukti yang terdapat dalam hukum cara Peradilan Umum

diatas, yang ditulis sesuai urutan kekuatan alat-alat bukti tersebut, maka hukum islam

memiliki urutan tersendiri dalam menentukan kekuatan alat bukti. Sedangkan alat bukti

di muka Peradilan Agama dipergunakan alat-alat bukti menurut konsepsi Islam

Universal dan yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum sepanjang tidak

bertentangan dengan prinsip hukum islam.6

3
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta, Yayasan
al-Hikmah, 2000), h. 137
4
Lihat K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBg/HIR, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990), h. 71. Lihat
juga R. Subekti dan R. Tjitro Sudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta, Pradnya Pramita,
1992) h. 397
5
Alat Bukti Expertise dan Discente tidak diatur dalam HIR dan RBg maupun BW. Sebagai alat bukti,
dasarnya adalah yurisprudensi dan kebiasaan praktek pengadilan.
6
Prinsip ini sesuai dengan maksud pasal 54 UU No.7 tahun 1989 bahwa Hukum Acara yang berlaku
pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
49

Alat bukti dalam hukum islam sesuai urutan kekuatannya, diantaranya adalah:7

a. Alat bukti pengakuan

b. Alat bukti saksi

c. Alat bukti sumpah

d. Alat bukti surat

e. Alat bukti Qarienah

Untuk membatasi pembahasan tentang alat bukti dalam bab ini, penulis hanya

menulis beberapa alat bukti dari sejumlah alat bukti yang dikemukakan oleh para

ulama, seperti alat bukti pengakuan, alat bukti saksi, alat bukti sumpah dan alat bukti

surat. Secara empirik alat bukti inilah yang umumnya dipakai dalam penyelsaian

perkara di pengadilan.

B. Alat Bukti Pengakuan

1. Arti dan Dasar Pengakuan Sebagai Alat Bukti.

Menurut hukum Islam, alat bukti pengakuan disebut al-Iqrar (‫)االقرار‬8 Dalam

hukum Belanda disebut bekentenis sedangkan dalam hukum Inggris disebut

confession.9 Menurut Muhammad Salam Madkur Pengakuan adalah mengakui adanya

pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-
undang ini, lihat Dirbinbiapera Islam, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan
Peradilan Agama, (Jakarta, t.p, 2001), h. 256
7
Pendapat ini umumnya terdapat dalam kitab-kitab para ulama Fiqh yang membicarakan masalah
pembuktian, misalnya Ibn Qayyim al-jauziyah, op, cit., lihat juga Abdurahman Ibrahim Abdul Aziz al-
Humaidi, op. cit., lihat juga urutan kekuatan masing-masing alat bukti ini akan dibuktikan kebenarannya
dalam pembahasan bab tiga ini.
8
Secara umum para ulama mempergunakan kata-kata iqrar untuk menunjukan alat bukti pengakuan,
akan tetapi berbeda pendapat dalam menerjemahkan secara bahasa. Secara istilah, mereka sepakat
bahwa iqrar adalah pengakuan tertuduh/tergugat/terdakwa.
9
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta, Liberty, 1998), h. 142
50

hak orang lain yang ada pada diri pengaku itu sendiri dengan ucapan atau yang

berstatus sebagai ucapan, meskipun untuk masa yang akan datang.10 Dalam pasal 408

Undang-undang Perdata (Mesir) sebagaimana dikutip oleh Salam Makdur, menyatakan

bahwa yang dimaksud dengan pengakuan yaitu:11

‫اعرتاف اخلصم امام القضاء بو اقعة قانو نية مدعى هبا عليه‬
“Pengakuan pihak lawan atau (tergugat/tertuduh), di muka sidang, tentang
suatu peristiwa hukum yang dituduhkan/digugat kepadanya”

Dasar pengakuan sebagai alat bukti adalah sangat kuaat. Para ulama sepakat

bahwa pengakuan (iqrar) disyari’atkan oleh kitab dan sunnah.12 Diantara landasan

pengakuan sebagai alat bukti ialah:

-Firman Allah SWT surat an-Nisa’ ayat 135:

}١٣٥:‫ {النسا‬... ‫يأهيا اذلين أمنوا كونوا قو مني ابالقسط شهدأ هللا ولو عىل انفسمك‬
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak kebenaran, menjadi saksi karena Allah karena biarpun terhadap
dirimu sendiri”. (Qs. an-Nisa’:135)

Menurut al-Qurtubi, ayat ini menjelaskan dengan tegas pentingnya pengakuan

sebagai jalan menegakkan keadilan walaupun terhadap dirimu sendiri dan menjadi

saksi atas diri sendiri itu adalah dengan pengakuan.13

10
Muhammad Salam Madkur, al-Qadha fi al-Islam, (Kairo Dar al-Nahdah al-Arabiyat, tt), h. 100
11
Ibid., h.101. Menurut Sayyid Sabiq, ikrar menurut bahasa berarti ‘itsbat (menetapkan) berasal dari
kata qarra asy-syaia, yaqirru. Dalam istilah syara’ iqrar berarti pengakuan terhadap apa yang
didakwakan, lihat Sayyid Sabiq, al-Fiqh al-Sunnah, (Beirut, Dar al-Fikr, 1992), jilid 14, h. 50. Sedangkan
Abdul Karim Zaidan mengartikan iqrar secara bahasa dengan (pengakuan). Lihat Abdul Karim Zaidan,
Nizham al-Qadha’ fi asy-Syari’ah al-Islamiyah (Bagdad, mathba’ah al-Ani, 1984), h. 157
12
Sayyid Sabiq, op.cit.,
13
al-Qurtubi, al-Jami’Li Ahkam al-Qur’an, (Beirut, Dar ihya’ al-Tauras al-‘Arabi, 1985), Juz V, h. 410
51

-Sabda Rasulullah SAW14

‫ صل من‬:‫ قال رسول هللا صىل هللا عليه وسمل‬،‫عن عيل ريض هللا عنه قال‬
}‫قطعك وأحسن اىل من أسأ اليك وقال احلق ولو عىل نفسك {رواه ابن النجار‬
Dari Ali r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Sambunglah orang yang
memutuskan (silaturahmi) denganmu; berbuat baiklah kepada orang yang
berbuat buruk kepadamu; dan katakanlah kebenaran meskipun mengenai
dirimu sendiri”. (HR. Ibn. Najar)

-Hadis Nabi Saw. Riwayat Bukhari Muslim dari Abi Hurairah15

:‫ أىت رجل رسول هللا صىل هللا عليه وسمل وهو ىف املسجد فناداه فقال‬:‫عن أيب هريرة قال‬
،‫ايرسول هللا اىن زنيت فاعرض عنه حىت ردد عليه اربع مرات فلام شهد عىل نفسه اربع شهادات‬
،‫ نعم‬:‫ فهل أحصنت؟ قال‬:‫ قال‬،‫ ا بك حنون؟ قال ال‬:‫دعاه النبىى صىل هللا عليه وسمل فقال‬
}‫فقال البىن اذهبيوابه فارمجوه {رواه البخارى‬
Dari Abi Hurairah beliau berkata: “Sewaktu Rasulullah di dalam masjid,
datang seorang muslim yang berseru kepada Rasulullah. Ya Rasulullah
sesungguhnya saya telah berzina. Rasulullah berpaling dari padanya hingga
orang itu mengulangi yang demikian itu sampai empat kali, tatkala orang itu
telah bersaksi atas (kesalahan) dirinya empat kali persaksian, Rasulullah
memanggilnya dan bertanya: “Apakah engkau gila?” orang itu menjawab
“tidak”, kata Rasulullah “apakah engkau sudah kawin?” orang itu menjawab
“sudah”. Maka Rasulullah bersabda: “bawalah orang ini dan rajamlah dia”.
(HR. Bukhari)

Hadits ini di samping dasar pengakuan juga sebagai dasar bahwa pengakuan

zina dapat menggantikan alat bukti empat orang lelaki (sebagai saksi) untuk berlakunya

hukum rajam, had zina dan qisas. Karena Nabi pernah memerintahkan eksekusi rajam

14
Jalaludin al-Suyuti, al-Jami’ al-Saghir (Beirut Dar al-Fikr, tt) h. 301
15
Lihat Muhammad bin Ismail al-Kahlani al-San’ani, Subul al-Salam, (Bandung, Dahlan, tt) jilid IV h. 6.
Lihat juga Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Mustafa al-Baaby al-Halaby,
1960) jilid II h. 438
52

terhadap pelaku zina dengan bukti pengakuan pelaku tersebut, sebagaimana diceritakan

dalam hadits di atas.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pengakuan (iqrar) merupakan alat

bukti yang memiliki kekuatan paling tinggi. Dalam kaitan dengan iqrar sebagai alat

bukti, ulama fikih juga menyatakan bahwa pengakuan merupakan tuan dari alat bukti

lainnya. Artinya, ikrar merupakan alat bukti yang sangat meyakinkan, sangat sahih dan

tidak diragukan sama sekali.

Menurut Abdurahman I Doi, Direktur pengkajian Hukum Islam pada

Universitas Ahmadu Bello Nigeria, bahwa sebagian besar hukuman yang dilakukan

oleh Nabi Muhammad SAW dan keempat Khulafa ur-Rasyidin di dasarkan alat bukti

pengakuan bukan alat bukti saksi.16

Dasar hukum pengakuan sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata di

Indonesia diatur dalam pasal 174 HIR dan pasal 311 RBg,17 serta pasal 1923 sampai

pasal 1928 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.18 Menurut MR. A. Pitlo

sebagaimana dikutip Teguh Samudera, mengemukakan bahwa pengakuan adalah

keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apa-

apa yang kemukakan oleh pihak lawan.19

Berbeda dengan hukum Islam, dalam Hukum Acara Perdata Umum, pengakuan

masih diperselisihkan dikalangan pakar hukum sebagai alat bukti. R. Subekti

16
Lihat Abdurahman I Doi, Syari’ah The Islamic Law, ab. Wadi Matsuri, Tindak Pidana Dalam Syari’at
Islam, (Jakarta, Rineka Cipta, 1992), h. 39
17
K. Wantjik Saleh, op.cit, h. 78
18
R. Subekti, op.cit., h. 406-407
19
Teguh Samudra, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, (Bandung, Alumni, 1992), h. 83
53

mengatakan, bahwa tidak tepat memasukan pengakuan sebagai alat bukti, karena justru

apabila dalil-dalil yang dikemukan oleh salah satu pihak diakui kebenaran oleh pihak

lain, maka yang mengemukakan dalil itu dibebaskan dari pembuktian. Sedangkan

Schoten dan Load Enggens berpendapat bahwa pengakuan sebagai alat bukti

merupakan hal yang tepat, karena suatu pengakuan dimuka hakim bersifat pernyataan

oleh salah satu pihak yang berperkara dalam proses persidangan. Pengakuan

merupakan pernyataan kehendak (wilsvelaring) dari salah satu pihak yang berperkara.

Dengan demikian semua pernyataan yang bersifat pengakuan dimuka hakim

merupakan suatu perbuatan hukum (rechtshadeling) dan setiap perlawanan hukum itu

merupakan suatu hal yang bersifat menentukan secara mutlak

(berchikkingshandeling).20

Demikian juga dengan pengakuan yang diucapkan oleh salah satu pihak dalam

persidangan, misalnya terhadap hal-hal yang disukai sepenuhnya oleh pihak yang

mengakuinya, misalnya terhadap hal-hal kebendaan (vermogensrehten) yang dimiliki

sendiri perbuatan yang dilakukan sendiri olehnya.21

2. Syarat Sahnya Pengakuan

Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa untuk sahnya pengakuan, disyaratkan sebagai

berikut: berakal, baligh, ridha dan boleh bagi yang melakukannya hal-hal sebagai

berikut: bertasharuf (bertindak); maka tidak sah pengakuan orang gila, anak kecil,

20
M. Abdurrahman, Hukum Acara Perdata, (Jakarta, Universitas Trisakti, 1994), h. 91
21
Ibid.,
54

orang yang dipaksa, orang yang dibatasi tindakannya, orang yang main-main dan orang

yang berikrar dengan hal yang mustahil menurut akal dan kebiasaan.22

Pada perkembangan berikutnya, persyaratan pengakuan diformulasikan sesuai

dengan kebutuhan hukum masyarakat, yaitu:23

- Syarat Formil

a. Disampaikan dalam proses pemeriksaan perkara dalam persidangan majelis

hakim.24

b. Pengakuan disampaikan oleh pihak yang berperkara.

Persyaratan ini sejalan dengan prinsip pengakuan, implikasinya juga terhadap

sipemberi pengakuan sendiri. Karenanya para fuqaha mengemukakan suatu kaidah,

yaitu:25

‫البينة جحة متعدية و الاقرار جحة قارصة‬


“Kesaksian merupakan hujjah mengenai orang lain, sedang pengakuan
merupakan hujjah si pengaku sendiri”

- Syarat Materil

a. Pengakuan yang diberikan tersebut langsung berhubungan dengan pokok

perkara

b. Tidak merupakan kebohongan atau kepalsuan yang nyata dan terang.

22
Sayyid Sabiq, op.cit., h. 52
23
Abdul Manan, op.cit., h. 150
24
Pengakuan yang sempurna itu adalah pengakuan didepan sidang pengadilan pendapat ini didukung
oleh mayoritas ulama-ulama kontemporer. Baca Abdul Karim Zaidan, op. cit.,
25
Muhammad Hasbi Ashshiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang, Pustaka Rizki Putra,
1997) edisi II, h. 137
55

c. Tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, moral dan ketertiban

umum.

3. Pengakuan dengan Tulisan atau Bahasa Isyarat

Pengakuan boleh saja dilakukan dengan tulisan atau dengan bahasa isyarat (bagi

yang bisu), asal jelas diketahui maksudnya. Pengakuan tertulis yang di buat di luar

sidang sama kekuatannya dengan pengakuan yang lisan di depan sidang dan ia tidak

bisa dicabut kecuali dapat dibuktikan karena beralasan hukum seperti karena ada

paksaan atau kekhilafan peristiwa.

Secara eksplisit alasan-alasannya dapat terlihat dalam beberapa petunjuk nash

misalnya, Al-Qur’an telah menyuruh tuliskan dalam bidang mu’amalah, khususnya

dalam masalah hutang piutang,26 demikian juga sabda Rasulullah SAW, riwayat

Bukhari Muslim, supaya orang yang mau berwasiat tidak menunda sampai lebih dari

dua malam melainkan sudah siap tertulis didekatnya.27 Surat-surat Rasulullah SAW

kepada raja-raja yang mengajak mereka beriman, antara lain kepada raja Persia

(sekarang Iran), raja Rum (Romawi), raja Najjaasy (Nigeria) dan lain-lain, semua

ditulis oleh juru-juru tulis Nabi dan diberi stempel Nabi.28 Sampainya al-Qur’an dan

hadits-hadits juga melalui tulisan.

Pengakuan tertulis yang tidak diberikan di depan sidang harus memenuhi syarat-

syarat alat bukti atau tulisan atau surat-surat, supaya ia bernilai sebagai pengakuan yang

mengikat, atau tulisan itu tidak diingkari di depan sidang.

26
Lihat al-Qur’an al-Kariim Surat al-Baqarah, ayat 282
27
Bz Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San’ani, op.cit., jilid III, h. 103
28
Lihat Muhammad Natsir, Fiqhud Da’wah, (Jakarta, Kiblat, 1969), h. 278-279
56

Pengakuan dengan bahasa isyarat termasuk yang diperbolehkan, sebab tidak ada

larangan bagi orang yang bisu untuk berperkara di depan pengadilan. Adapun cara

pelaksanaannya ialah dengan didampingi oleh penterjemah isyarat dari kawan terdekat

sehari-hari sibisu tersebut dan sebelumnya ia disumpah untuk menerangkan dan

menterjemahkan dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya. Hal ini nantinya juga

sama dalam hal saksi yang bisu. Kalau tidak ada orang lain. Akan tetapi sebagian

fuqaha’ terutama Imam as-Syafi’i tidak menerima pengakuan dengan tulisan dengan

alasan bahwa tulisan-tulisan itu serupa dan mungkin dapat dihapuskan dan

dipalsukan.29

4. Pengakuan yang dipecah-pecah

Menurut Sayyid Sabiq, pengakuan itu dianggap satu pembicaraan; sehingga tidak

bisa diambil sebagiannya dan ditolak sebagian yang lainnya.30 Jadi, pengakuan harus

bersifat mutlak dan murni, tidak berklausul artinya bukan pegakuan yang disertai

tambahan yang bersifat membebaskan, misalnya tergugat meyakini telah membeli

sebuah sepeda dari penggugat seharga Rp 100.000., tetapi harga tersebut telah dibayar

lunas, cuma tidak memakai kwitansi dan saksi.

Menurut Sudikno Mertokusumo, dalam ilmu pengetahuan hukum (umum),

pengakuan sebagai alat bukti dibagi dalam tiga bentuk, yaitu:31

29
Lihat Muhammad Salam Madkur, op.cot., h. 101
30
Sayyid Sabiq, op.cit., h. 53
31
Sudikno Mertokusumo,op.cit., h.150
57

a. Pengakuan murni dan bulat (aveu pur et simple)

Yang dimaksud dengan pengakuan murni dan bulat yaitu pengakuan yang

sesungguhnya terhadap semua dalil gugatan yang diajukan oleh penggugat. Murni

artinya sungguh sesuai dengan keadaan sebenarnya, sedangkan bulat artinya

pengakuan yang tidak dibatasi dengan keterangan tambahan yang membebasakan.

Dengan kata lain pengakuan murni adalah pengakuan yang sifatnya sederhana dan

sesuai sepenuuhnya dengan tuntutan pihak lawan.

b. Pengakuan berkualifikasi (Gequalificeerde bekentenis, aveu qualifie)

Yaitu pengakuan yang disertai dengan sengketa terhadap sebagian dari tuntutan

penggugat. Pada dasarnya, pengakuan dengan berkualifikasi ini tidak lain adalah

jawaban tergugat yang sebagiannya terdiri dari sanggahan dan bantahan.

Misalnya, penggugat menyatakan bahwa tergugat telah membeli rumah dari

penggugat seharga Rp 6.000.000,- dalam hal ini tergugat mengaku telah membeli

rumah dari penggugat, tetapi bukan seharga Rp 6.000.000,- melainkan Rp 3.000.000,

c. Pengakuan berklausula (Geclausuleerde bekentenis, aveu complexe)

Yang dimaksud dengan pengakuan yang berklausula adalah suatu pengakuan

yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Pada

prinsipnya pengakuan berklausula ini adalah jawaban tergugat yang merupakan

pengakuan tentang hal pokok yang diajukan penggugat, tetapi disertai dengan

tambahan yang menjadi dasar penolakan gugat yang diajukan oleh penggugat.

Misalnya, penggugat menyatakan bahwa tergugat telah membeli rumah

penggugat seharga Rp 6.000.000 tergugat mengaku telah mengadakan perjanjian jual

beli rumah milik penggugat tersebut seharga Rp. 6.000.000 tetapi pengakuan tersebut
58

ditambah dengan keterangan bahwa harga rumah telah dibayar lunas. Jadi pengakuan

ini merupakan pengakuan yang disertai dengan keterangan penyangkalan.

Berdasarkan pasal 176 HIR, pasal 313 RBg32 dengan pasal 1924 KUHP

perdata,33 baik pengakuan berkualifikasi maupun pengakuan yang berklausula tidak

boleh dipisah-pisahkan, haruslah diterima secara bulat (onspits bareoveu). Pengakuan

semacam ini tidak boleh diterima sebahagian sehingga merugikan yang mengakui

tersebut. pengakuan yang tersebut dalam pasal ini adalah pengakuan yang ditambah

dengan keterangan yang bersifat menyangkal, dengan penyangkalan tersebut

diharapkan akan melumpuhkan gugatan penggugat. Larangan untuk memisah-

misahkan pengakuan oleh hakim sebagaimana yang tersebut dalam peraturan di atas,

dimaksudkan agar tidak memberatkan salah satu pihak yang mengakui akibat

pemisahan pengakuannya.

Dalam praktek peradilan, sangat sulit untuk menerapkan ketentuan tersebut di

atas secara mutlak. Masih ada kemungkinan juga untuk memisah-misahkan pengakuan

yang berkualifikasi dan berklausula tersebut sepanjang tidak merugikan orang atau

pihak yang mengaku. Hal demikian itu hanya boleh dilakukan kalau orang yang

berhutang dengan maksud akan melepaskan dirinya, dengan menyebutkan perkara

yang terbukti tidak benar. Ketentuan ini dapat dibenarkan sesuai dengan hal yang

tersebut dalam pasal 176 HIR yang memungkinkan pada kalimat terakhir dikemukakan

bahwa dengan masud akan melepaskan diri dan menyebutkan bahwa perkara yang

terbukti tidak benar. Demikian juga apa yang tersebut dalam pasal 1924 ayat (2) KUH

32
K. Wantjik Saleh, op.cit., h. 178
33
R. Subekti, op. cit., h. 406
59

perdata34 dikemukakan bahwa hakim leluasa untuk memisah-misahkan pengakuan itu

manakala orang yang berhutang bermaksud untuk membebaskan dirinya dan hal ini

dapat dibenarkan kalau orang yang berhutang tersebut telah nyata menunjukakan

peristiwa-peristiwa yang tersebut itu adalah palsu.

Dalam hal ada pengakuan yang terpisah-pisah, maka hakim bebas menentukan

kepada siapa harus dibebankan kewajiban pembuktian. Hal ini sesuai dengan putusan

Mahkamah Agung RI Nomor 117/K/SIP/1956 tanggal 12 Juni 1957 yang

mengemukakan bahwa dalam hal pengakuan yang disertai dengan tambahan dan tidak

ada hubungannya dengan pengakuan itu, yang oleh doktrin dan yurisprudensi

dinamakan bequalificeerde bakentenis, maka pengakuan dapat dipisahkan dari

tambahanya.

Sejalan dengan hukum Islam, bahwa pengakuan yang dapat diterima sebagai

alat bukti adalah pengakuan murni dan bulat bukan pengakuan yang dipecah-pecah.

5. Pencabutan Pengakuan

Menurut Sayyid Sabiq, apabila pengakuan itu benar maka ia wajib diterapkan

oleh orang yang berikrar, dan tidak sah baginya untuk menarik kembali pengakuannya

itu bilamana pengakuan berhubungan dengan salah satu diantara hak-hak manusia.

Adapun bila pengakuan berhubungan dengan salah satu atau di antara hak-hak Allah,

seperti had terhadap zina dan minuman keras, maka orang itu boleh menarik kembali

34
Ibid.,
60

pengakuannya.35 Alasan pendapat ini adalah hadits riwayat al-Baihaqi dari Ali r.a.

berikut:36

‫ اد راؤا احلدود‬،‫ قال رسول هللا صىل هللا عليه وسمل‬:‫عن عىل ريض هللا عنه قال‬
}‫ابالش هبات {رواه البهيقى‬
Dari Ali r.a. beliau berkata: Rasulullah Saw. bersabda: "Hindarkanlah hudud
dengan masalah syubhat" (H.R. al-Baihaqy).

Akan tetapi aliran Zahiri menentang pendapat ini, mereka menolak keabsahan

penarikan pengakuan, baik dalam hak Allah maupun dalam hak manusia.37

Secara empirik, dalam praktek peradilan tidak boleh mencabut pengakuan di

depan sidang, kecuali kalau pencabutan itu betul-betul dapat dibuktikan terjadi karena

kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi, bukan mengenai soal yang diakui itu sendiri.

Termasuk tidak boleh mencabut pengakuan tertulis, sekalipun dibuat di luar sidang,

kecuali dapat dibuktikan karena beralasan hukum.

Penulis berpendapat, bahwa pencabutan pengakuan didepan sidang mempunyai

akibat yang banyak sekali rangkaiannya, apabila kalau proses perkara sudah berjalan

lama, maka terhadap pencabutan ini sebaiknya hakim berhati-hati.

Oleh karena itu dalam perkembangan hukum dan derni kepastian hukum serta

menghindari akibat yang timbul yang mungkin kembali mentah lagi suatu perkara atau

35
Sayyid Sabiq op.cit., h. 52
36
Husain ibn Ali al-Baihaqy, Sunan al-Kubra, (Beirut, Dar al-Fikr,tt), Juz X, h.255. Lihat juga Muhammad
bin Ismail al-Kahlani al-Shan’ani, op.cit., juz IV, h. 63. Hadits ini menjadi kaedah umum dalam syari’at,
lihat Abdul Kadir Audah, Tasyri’ al Jina’l al-Islami’, Muqaranah bi al-Qanun al Wadh’I (Beirut mu’assah
al-Risalah, 1992), juz I, h.207
37
Sayyid Sabiq, op.cit.
61

mungkin menjadi arena manipulasi pasang cabut, maka diaturlah format-format upaya

hukum seperti, verzet, banding, kasasi dan peninjauan kembali (PK).

C. Alat Bukti Saksi

1. Pengertian dan Dasar Alat Bukti Saksi

Dalam hukum Islam, alat bukti saksi38 disebut dengan ‫) شلهد‬saksi lelaki(, atau

‫( شاهدة‬saksi perempuan). Kesaksian (syahadah) diambil dari kata musyahadah (‫)مشاهدة‬

yang artinya melihat dengan mata kepala, karena syahid (orang yang menyaksikan) itu

memberitahukan tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya.39

Ulama mendefinisikan alat bukti saksi dengan pemberitaan yang benar untuk

menetapkan hak dengan mempergunakan lafal syahadah dalam sidang pengadilan,40

kesaksian (syahadah) dikatakan juga berasal dari kata I'laam (pemberitahuan). Firman

Allah SWT:

38
Harus dapat dibedakan, saksi sebagai syarat hukum (tahammul) atau saksi sebagai alat bukti (al-
'Ada') sebab fungsi keduanya berbeda. Misalnya dua orang saksi adalah syarat hukum untuk syahnya
suatu perkawinan. Tetapi untuk membuktikan adanya perkawinan tidak mesti dengan dua orang saksi.
Di samping itu, kemungkinan saksi sebagai alat bukti sekaligus sebagai syarat hukum juga dapat
dilakukan dan dalam hal ini harus menggunakan saksi sebagai syarat hukum, sebab syarat pembuktian
sudah sekaligus tercakup dalam syarat hukum sedangkan syarat hukum belum tentu memenuhi untuk
syarat pembuktian. Misalnya, boleh seseorang lelaki atau perempuan yang telah pernah kawin untuk
dihukum rajam dengan bukti empat orang saksi. Kedudukan empat orang saksi menempati syarat
hukum untuk bolehnya rajam dan sekaligus menempati sebagai alat bukti dalam menetapkan telah
terjadinya perzinaan. Selain itu, alat bukti pembuktian zina juga dapat dibuktikan dengan alat bukti
pengakuan. Jadi, saksi yang dibahas di sini adalah saksi sebagai alat bukti saja. Baca Roihan A. Rasyid,
Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta, Raja Grafindo, 1994), cet. 3, h 158
39
Lihat Abu Luis Ma'luf al-Yusu'i, al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut, Dar al-Masyriq, 1977), cet. III, h. 406,
Bandingkan dengan Abu al-Fadl Jamaluddin Muhammad al-Afriqi al-Misri ibn Manzur, Lisan al-Arab,
(Mesir, Dar al-Mishriyah, tt), juz IV, h. 225
40
Baca Abdul Karim Zaidan, op.cit. h. 165., pada umumnya definisi yang dikemukakan para ulama
tentang saksi memiliki banyak kesamaan, lihat juga Imam Kamaluddin Muhammad Ibn Abdu al-Walid,
Syarah Fath al-Qadir (Beirut, Dar al-Shadir, 1318), juz V, h. 2
62

}١٨ :‫شهد هللا أنه ال اهل الا هو {ال معران‬


“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia"

Kalimat syahadah dalam ayat ini diterjemahkan dengan 'alima (mengetahui).

Syahid adalah orang membawa kesaksian dan menyampaikannya, sebab dia

menyaksikan apa yang tidak diketahui orang lain.41

Dasar saksi sebagai alat bukti banyak terdapat dalam ayat-ayat al-Qur'an

maupun Hadits, di antaranya yang tersebut dalam surat al-Baqarah ayat 282:

‫ واستشهدوا شهيدين من رجالمك فان مل يكوان رجلني فرجل وامرأاتن حمن ترضون‬. . .
. . . ‫من الشهداء ان تضل احد هام فتذ كر احد هام الاخرى وال يأب الشهدأ اذا مادعو‬
}٢٨٢:‫{البقرة‬
“.... Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antaramu. Jika
tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang
wanita dari saksi-saksi yang kamu Ridhai, supaya jika yang seorang lupa maka
yang seorang lagi mengingatkanya. Dan janganlah saksi-saksi itu enggan
(memberi keterangan) apabila mereka dipanggil .... (al-Baqarah: 282).

Sabda Rasulullah SAW:42

‫أال أخربمك خبري الشهداءاذلي‬: ‫أن النيب صل هللا عليه وسمل قال‬: ‫عن زيد بن خادل اجلهين‬
}‫يأت بشهادته قبل أن يسألها { رواه مسمل‬

41
Sayyid Sabiq, op.cit.,
42
Imam Abi al-Husain Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qusairy al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut, Dar al-Kitab
al-Ilmiyah, tt)., juz III, h. 1344
63

"Dari Zaid ibn Khalid al-Juhni, bahwa Nabi Saw. bersabda: "sebaik-baiknya
saksi adalah orang yang memberikan kesaksiannya sebelum diminta". (HR.
Muslim).

Dalam hukum Acara Perdata Umum, alat bukti saksi diatur dalam 43 pasal 168-

172 HIR dan pasal 306-309 RBg.43 Pembuktian dengan saksi pada dasarnya

diperbolehkan dalam segala hal, kecuali jika undang-undang menentukan lain.

Misalnya tentang persatuan harta kekayaan perkawinan, menurut pasal 150 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata harus dibuktikan dengan perjanjian kawin.44 Asuransi

atau perjanjian pertanggungan harus dibuktikan dengan polis sesuai dengan pasal 258

Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)45 dan sebagainya.

Pada dasarnya dalam hukum perdata yang berlaku di Indonesia, pembuktian

dengan saksi baru diperlukan apabila bukti dengan surat atau tulisan tidak ada atau

kurang lengkap untuk mendukung dan menguatkan kebenaran dalil-dalil yang menjadi

dasar pendirian para pihak. Saksi-saksi itu ada yang secara kebetulan melihat atau

mengalami sendiri peristiwa atau kejadian yang harus dibuktikan kebenarannya di

muka sidang pengadilan, ada juga saksi-saksi itu sengaja diminta untuk datang

menyaksikan suatu peristiwa atau perbuatan hukum yang sedang dilangsungkan,

seperti saksi diminta datang untuk menyaksikan akad nikah atau pembagian warisan

dan sebagainya.46

43
Wantjik Saleh, op. cit., h. 77
44
R. Subekti, op.cit., h. 130
45
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Dan Undang Kepalitan,
(Jakarta, Pradnya Paramita, 2000), h. 76
46
HM. Abdurrahman, Hukum Acara Perdata, (Jakarta, Universitas Trisakti, 1994), h. 82
64

2. Hukum Saksi

Menurut Abdul Karim Zaidan, hukum memberi kesaksian itu adalah Fardu

kifayah,47 sedangkan Sayyid Sabiq berpendapat bahwa hukum kesaksian itu fardhu 'ain

bagi orang yang memikulnya bila dia dipanggil untuk itu dan dikhawatirkan kebenaran

akan hilang; bahkan wajib apabila dikhawatirkan lenyapnya kebenaran meskipun dia

tidak dipanggil untuk itu.48

Baik Abdul Karim Zaidan maupun Sayyid Sabiq sama-sama berdasarkan pada firman

Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 283:

}٢٨٣ :‫ {البقرة‬. . . ‫وال تكمتوا الشهدة ومن يكمتها فانه أمث قلبه‬
“Janganlah kamu sembunyikan persaksian, dan barang siapa yang
menyembunyikannya, maka dia adalah orang yang berdosa hatinya”.

Sabda Nabi Muhammad SAW:49

‫ انرص أخاك ظاملا أو مظلوما‬:‫عن أنس ريض هللا عنه أن النيب صىل هللا عليه وسمل قال‬
}‫{رواه البخارى‬
Dari Anas r.a. Bahwa Nabi Saw. bersabda: “Tolonglah Saudaramu, baik yang
berbuat zhalim maupun yang dizhalimi” (HR. al-Bukhari)

Penunaian saksi adalah termasuk menolongnya.50

47
Abdul Karim Zaidan, op.cit.m h. 165
48
Sayyid Sabiq, op.cit., h. 56
49
al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardazabah, Shahih al-
Bukhari, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998), Juz II, h. 112
50
Sayyid Sabiq, op.cit.,
65

Kesaksian itu hanya wajib dilakukan jika saksi sanggup melakukannya tanpa

adanya bahaya yang menimpanya baik jasmani, kehormatan, harta ataupun

keluarganya, firman Allah SWT:

}٢٨٢:‫ {البقرة‬. . . ‫وال يضار اكتب وال شهيد‬

“Janganlah penulis dan saksi itu mendapatkan kesulitan” (al-Baqarah: 282).

Apabila saksi itu cukup banyak dan tidak dikhawatirkan kebenaran akan sia-sia

maka kesaksian menjadi sunnah.

3. Syarat diterimanya Kesaksian

Yang menyangkut dengan persyaratan saksi, ada yang bersifat umum dan ada yang

bersifat khusus, adapun syarat saksi yang bersifat umum adalah:

a. Islam

Menurut Ibn Rusyd, para ahli hukum Islam sepakat atas persyaratan dalam

menerima kesaksian dari seorang saksi adalah harus beragama Islam.51 Para ulama

tidak memperbolehkan kesaksian orang kafir atas orang muslim kecuali dalam hal

wasiat ditengah perjalanan.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa diperbolehkan orang kafir menjadi

saksi terhadap hal tersebut. Sebagaimana dalam surat al-Maidah ayat 106:

51
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al Muqtasid, (Beirut Dar al Fikr, 1960) h. 462
66

‫يأهيا اذلين أمنوا شهدة بينمك اذا حرض أحدمك املوت حني الو صية اثنان ذواعدل منمك او‬
}١.٦:‫أخر ان من غري مك ان أنمت رضبمت ىف الا رض فأصبتمك مصيبة املوت {املائدة‬
"Hai orang-orang yang beriman jika salah seorang diantara kamu menghadapi
kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah wasiat itu disaksikan oleh
dua orang yang adil diantara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan
kamu, jika kamua dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya
kematian”. (QS. al-Maidah: 106)

Ulama Hanafiyah juga membolehkan kesaksian orang-orang kafir terhadap

sesamanya, sebab Nabi SAW merajam dua orang yahudi dengan kesaksian orang-

orang yahudi atas keduanya bahwa keduanya telah berbuat zina.52 Akan tetapi Imam

Malik dan Imam Syafi'i berpendapat bahwa tidak diperbolehkan seorang kafir menjadi

saksi karena ayat 106 surat al-Maidah diatas sudah di nasakh.53

Saksi non-muslim dapat diterima di Pengadilan Agama sepanjang

penyaksiannya menyangkut peristiwa atau kejadian untuk memperjelas duduk perkara.

Hal-hal yang disaksikan itu adalah hal yang bersifat qadhaan, bukan hal yang bersifat

diyanatan atau hal yang telah diatur oleh aturan agama Islam, seperti peristiwa

penikahan harus disaksikan oleh seorang muslim.

Dalam era globalisasi dunia saat ini, pendapat Malik dan Imam Syafi'i di atas

nampaknya sulit untuk dipertahankan. Dalam masyarakat yang majemuk di mana

terjadinya pembaruan dalam kehidupan bermasyarakat, tempat pemukiman tidak lagi

ditempati oleh penduduk muslim semata tetapi sudah bercampur dengan penduduk lain

52
Sayyid Sabiq, op.cit., h. 59 Lihat juga Mahmoud Saltout dan Muhammad Ali al-Sayis, Muqaranatul
Mazahib, (Mesir, Mustafa Babi al-Halabi, tt), h. 236
53
Al-Khatib Muhammad asy-Syarbaini, Muqni al-Muhtaj, (Beirut Dar al-Fikr, 1958), h. 426
67

yang non-muslim. Banyak peristiwa di antara orang Islam yang kebetulan disaksikan

oleh orang non-muslim, apabila ia tidak dibenarkan memberi kesaksian tentulah hal ini

akan menimbulkan kerugian. Dengan demikian pendapat Imam Hanafi lebih relevan

diterapkan dalam masalah ini. Akan tetapi, jika saksi non-muslim kehadirannya di

dalam sidang Pengadilan Agama untuk menjadi saksi dalam suatu peristiwa atau

kejadian, maka saksi non-muslim itu harus memenuhi syarat formil dan materiil

persaksian.

b. Adil

Oleh karena itu, tidak diterima kesaksian orang fasik dan orang yang terkenal

dengan kedustaan atau keburukan dan kerusakan akhlaknya, inilah yang dipilih dalam

pengertian adil.54

c. Baligh dan Berakal

Baligh dan berakal adalah syarat di dalam keadilan, oleh sebab itu tidak

diterima kesaksian anak kecil walaupun dia bersaksi atas anak kecil yang seperti dia,

begitu pula kesaksian orang gila dan orang yang tidak waras, sebab kesaksian mereka

tidak membawa kepada keyakinan yang berdasarkan kepadanya perkara dihukumi.55

54
Menurut Abu Hanifah, Keadilan itu cukup dari keislamannya secara zahir, dan tidak diketahui darinya
apa yang merusak kemuliaan dan kehormatannya, tetapi hal ini hanya berlaku dalam perkara harta
benda dan bukan dalam masalah hudud terutama kefasikan yang disebabkan oleh tuduhan mengenai
hak orang lain, seperti firman Allah SWT surat al-Nur ayat 4. Lihat Ibnu Rusyd, op.cit., h. 684
55
Imam malik memperbolehkan kesaksian anak-anak dalam perkara penganiayaan jika mereka tidak
berselisih dan bercerai berai. Lihat Sayyid Sabiq, op.cit., h. 62.
68

d. Berbicara

Ulama Mazhab Hanafi, Syafi'i dan Hanbali mensyaratkan saksi itu bisa bicara.

Oleh sebab itu, mereka tidak menerima kesaksian orang bisu. Akan tetapi, ulama

Madzhab Maliki menerima kesaksian orang bisu melalui isyarat yang jelas.56

e. Saksi itu adalah orang yang tidak berkepentingan dan tidak terkait dengan

yang disaksikannya.

Oleh sebab itu, ayah tidak boleh menjadi saksi dalam kasus anaknya dan

sebaliknya. Dua orang yang saling bermusuhan atau saling gugat tidak boleh menjadi

saling saksi, demikian juga halnya kesaksian orang yang mengandung kebencian,

kesaksian orang yang berkhianat, kesaksian suami terhadap isteri atau sebaliknya, dan

kesaksian pelayan terhadap keluarga yang diikuti atau yang diberi belanja,

sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:57

‫ قال رسول هللا صىل هللا عليه وسمل ال جتوز‬:‫روى معروبن شعيب عن ابيه عن جده قال‬
‫ والقانع اذلى‬.‫حشادة خائن وال خائنة وال ذى مغر عىل اخيه وال جتوز شهادة القانع ال هل البيت‬
}‫ {رؤاه امحد وابو داود‬. . . ‫ينفق عليه اهل البيت‬
“Telah diriwayatkan dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia
berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: tidak diperbolehkan kesaksian orang
yang berkhianat baik laki-laki maupun perempuan; dan tidak pula kesaksian
orang yang menyimpan kebencian terhadap saudaranya yang muslim; serta tidak
pula diperbolehkan kesaksian pelayan terhadap keluarga yang diikuti, dan tidak

56
Imam Abu Hanifah, Ahmad dan pendapat dari Madzhab Syafi'i memang tidak menerima kesaksian
orang bisu walau dengan isyarat yang jelas sekalipun, tetapi mereka menerima kesaksian orang bisu
dengan tulisan, lihat Ibid, h. 63.
57
Lihat Khalil Ahmad As-Sahar Nafuri, Bazlu al-Majhud Fi Halli Abi Daud, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiah)
juz 15, h. 279
69

pula kesaksian pelayan yang diberi belanja oleh keluarga yang diikuti". (HR.
Ahmad dan Abu Daud).

f. Merdeka

Syarat ini disepakati oleh ulama Mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi'i. Akan tetapi

ulama Mazhab Hanbali dan az-Zahiri berpendapat bahwa kesaksian hamba sahaya

dapat diterima, kecuali menurut ulama Mazhab Hanbali dalam masalah hudud dan

kisas.58

g. Hafal dan Cermat

Menurut Sayyid Sabiq, tidak diterima kesaksian orang yang buruk hafalan,

banyak lupa dan salah, karena dia kehilangan kepercayaan pada pembicaraannya. Yang

demikian ini adalah orang yang lalai dan orang yang serupa dengan itu.59

h. Dapat Melihat (tidak buta)

Seorang saksi dituntut menyaksikan peristiwa tersebut dengan langsung (al-

mu'ayanan). Dalam hal ini ulama Mazhab Syafi'i sependapat dengan ulama Mazhab

Hanafi.60 Akan tetapi hakim juga harus mempercayai saksi-saksi itu dengan penuh

keyakinannya, hal ini juga relevan dengan pengertian saksi yaitu suatu pemberitahuan

yang disampaikan dengan sebenarnya dari seseorang kepada orang lain dengan lafaz

tertentu.61 Akan tetapi, ulama Mazhab Maliki, dan Hanbali serta Imam Abu Yusuf (ahli

fikih Mazhab Hanafi) mengatakan bahwa orang buta boleh jadi saksi jika ia secara

yakin mendengar peristiwa tersebut, karena yang dituntut dari seorang saksi adalah

58
Lihat Ibn Rusyd, op.cit., h. 687
59
Sayyid Sabiq, op.cit., h. 63
60
Abdul Karim Zaidan, op.cit., h. 174
61
Ibrahim al-Bajuri Ali Ibn Qasim, al-Bajuri, (Bandung, Dahlan, tt), juz II, h. 349
70

penglihatan dan pendengarannya terhadap peristiwa tersebut. Oleh sebab itu, orang

buta boleh menjadi saksi dalam hal-hal yang sifat persaksiannya melalui pendengaran,

seperti jual beli dan sewa menyewa.62

Adapun syarat-syarat khusus bagi saksi adalah yang menyangkut dengan

bilangan saksi dalam suatu kasus, sementara itu Abdul Karim Zaidan dalam bukunya

Nizham al-Qadha' fi al-Syariah al-Islmiyah menulis Sembilan syarat diterimanya

kesaksian dan cara-cara pelaksanaannya.63 Seperti, terpenuhinya syarat umum, sesuai

dengan tuntutan, dikemukakan dalam sidang pengadilan, kesaksian didukung oleh

sumpah, penuturan saksi dengan jelas terhadap yang dilihat dan didengarnya secara

langsung, bukan dari pihak kedua atau ketiga, adanya izin atau permintaan dari hakim,

dan lafaz yang digunakan adalah lafaz “asyhadu" (saya bersaksi), karena syara'

mensyaratkan lafaz ini. Oleh sebab itu, jika diungkapkan dengan lafaz "syahidtu” (saya

telah menyaksikan), menurut ulama fikih tidak sah, karena lafaz ini mengandung

pengertian pemberitaan pada masa lalu, sedangkan persaksian adalah pemberitaan pada

saat ini.64

Menurut Hukum Acara Perdata umum yang berlaku di Indonesia, pada asasnya

setiap orang yang bukan salah satu pihak yang berpekara, dapat didengar sebagai saksi

dan apabila telah dipanggil oleh pengadilan wajib memberi kesaksian. Kewajiban

untuk memberi kesaksian tercantum dalam pasal 139 HIR/165RBg65 dan pasal 1909

62
Lihat Abdul Karim Zaidan, op.cit., h. 181
63
Ibid., h. 165
64
Lihat Ibn Hazm, al-Muhalla, (Beirut, Dar al-Fikr, 1978), jilid 9, h. 334, Bandingkan dengan Ibn Qayyim
al-Jauziyah, op.cit., h. 125
65
K. Wantjik Saleh, op.cit., h. 28
71

Burgerlijk Wetboek.66 Serta adanya sanksi-sanksi ancaman apabila tidak

memenuhinya.

Akan tetapi asas ini dibatasi oleh hukum acara dengan beberapa batasan yaitu:

1. Mereka yang tidak mampu menjadi saksi secara mutlak (absolut).

Hakim dilarang untuk mendengar mereka ini sebagai saksi, mereka ini ialah:

a. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari

salah satu pihak.67

b. Suami isteri dari salah satu pihak, meskipun sudah bercerai.68

2. Mereka yang tidak mampu secara nisbi (relatif)

Mereka ini boleh didengar, akan tetapi tidak sebagai saksi, seperti:

a. Anak-anak yang belum mencapai umur 15 tahun.69

b. Orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat.70

3. Mereka yang boleh mengundurkan diri dari menjadi saksi71

a. Saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan dari salah

satu pihak

b. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan

perempuan dari suami atau isteri salah satu pihak.

66
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op.cit., h. 403
67
Lihat pasal 145 HIR/172 RBg, K. Wantjik salah, op.cit., h. 31, akan tetapi mereka ini tidak boleh ditolak
sebagai saksi dalam perkara yang menyangkut kedudukan keperdataan dari para pihak atau dalam
perkara yang menyangkut perjanjian kerja.
68
Lihat pasal 145HIR/172 RBg, K. Wantjik Saleh, Ibid.,
69
Lihat pasal 1912 BW, R. Subekti, op.cit., h. 404
70
Ibid.,
71
Hak ini dalam hukum acara perdata disebut dengan hak ingkar atau verschoningsrecht. Hak ini diatur
dalam pasal 146 HIR/174 RBG, lihat K. Wantjik Saleh, op.cit., h. 32
72

c. Semua oang yang karena martabat, jabatan atau hubungan kerja yang syah

diwajibkan mempunyai rahasia.72

4. Variasi alat bukti saksi

Seorang saksi dilarang untuk menarik suatu kesimpulan, karena hal itu adalah

tugas hakim,73 maka yang harus dibuktikan adalah peristiwa dan bukan hukumnya.74

Oleh karena itu variasi saksi dan batas minimalnya selalu berbeda sesuai dengan

peristiwa yang akan dibuktikan, demikian juga halnya perbedaan saksi dalam peristiwa

perdata dengan peristiwa pidana. Hukum asal saksi sebagai alat bukti, cukup dua orang

saksi laki-laki, sebagaimana ditentukan dalam Surat al-Baqarah ayat 282.

}٢٨٢ :‫ {البقرة‬. . . ‫ واستشهدوا شهدين من رجلمك‬. . .


"Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
diantaramu." (al-Baqarah 282)

Akan tetapi dalam beberapa jenis perkara, fenomena alat bukti saksi tersebut

bervariasi, seperti:

72
Hak mengundurkan diri ini hanya berlaku terhadap peristiwa-peristiwa yang dipercayakan kepada
orang yang harus merahasiakannya berhubung dengan martabat, jabatan atau hubungan yang syah.
Hak ini diberikan kepada dokter, advokat, notaris dan polisi, dan sebagainya.
73
Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam teori dan praktek,
(Bandung, Mandar Maju, 1989), h. 63
74
Sudikno Mertokusumo, op.cit, h. 106
73

a. Dalam perkara zina atau tuduhan zina, saksinya empat orang laki-laki muslim.75

b. Tuduhan zina terhadap isteri (tidak berlaku terhadap perempuan lain), jika tidak

mampu membuktikan dengan empat orang saksi, dapat dibuktikan dengan suami

mengucapkan sumpah li'an.76

c. Saksi untuk wasiat yang dibuat dalam perjalanan (musafir) dengan dua orang

lelaki muslim, atau boleh dengan dua laki-laki non-muslim jika tidak ada yang

muslim, atau boleh dengan satu orang laki-laki ditambah dua orang

perempuan.77

d. Dalam perkara hudud selain zina, qazaf dan gishas, maka saksinya dua orang

saksi muslim.78

e. Dalam perkara keperdataan seperti; harta benda, perkawinan, wasiat, wakaf,

hibah, iddah, perwalian, perdamaian dan lain-lainnya yang sejenis dengan satu

orang saksi laki-laki muslim bersama dua orang perempuan yang beragama

Islam.79

f. Saksi perempuan semua, dua atau empat orang yang beragama Islam, dalam

kasus yang lazimnya cuma diketahui perempuan, seperti tentang kelahiran,

susuan dan keperawanan serta cacat-cacat perempuan dan sebagainya yang

sejenis.80 Alasan yang mengatakan dua orang saksi adalah karena pengetahuan

75
al-Qur'an al-Karim Surat an-Nisa' ayat 16, lihat juga Surat al-Nur ayat 4
76
al-Qur'an al-Karim Surat al-Nur ayat 6-9
77
Ibid, Surat al-Maidah ayat 106 dan Surat al-Baqarah ayat 282
78
Perhatikan hukum asal alat bukti saksi, lihat Ibn Rusyd, op.cit, Jilid II, h. 464
79
Baca al-Qur'an al-Karim Surat al-Baqarah ayat 282, lihat juga Muhammad Salam Madkur, op.cit., h.
84
80
Lihat Shihabuddin al-Qalyubi, al-Qalyubi wa Umairoh (Mesir Dar al-Ihya al-Kutub Arasyiyah, tt), juz
IV h. 325, Lihat juga Ibn Rusyd op.cit.,
74

laki-laki, sedangkan dasar yang menyatakan empat orang adalah karena

kesaksian perempuan setengah kesaksian laki-laki.81

g. Saksi dengan satu orang laki-laki ditambah dengan sumpah dari pihak yang

memiliki saksi itu (al-Yamin ma'a Syahi'd), hal ini pernah dilakukan Rasulullah

kepada seseorang yang mengaku telah masuk Islam, cuma satu orang saksi

ditambah sumpah.82

h. Sebagian fuqaha' berpendapat dengan membolehkan satu orang saksi dalam

hilal awal Ramadhan, demikian juga halnya dalam perkara kewanitaan seperti:

kelahiran, susuan dan keperawanan.83

Dengan variasi saksi di atas, pada prinsipnya dapat dipahami bahwa dalam

perkara perdata maupun pidana, hukum acara itu mengabdi kepada hukum materil,

artinya, hukum materil Islam perlu dijaga dan ditegakkan dengan apa saja yang

mungkin dipakai untuk membuktikan sesuatu, dengan beberapa contoh cara

pembuktiannya melalui alat bukti saksi, dan oleh sebab itu pula perlu memperhatikan

alat bukti lain selain alat bukti saksi.

81
Ibn Hazm, op.cit., Jilid IX, h. 397
82
Ibn Rusyd, op.cit., h. 467-468
83
Alaudin at-Tharablisy, Mu'innul Hukkam, (Mesir, Mustafa al-Baaby al-Halaby, 1973), h. 246
75

D. Alat Bukti Sumpah

1. Pengertian dan Dasar Hukum Sumpah

Sumpah dalam bahasa Arab dikenal dengan kalimat Yamin, Half atau

Qasam, akan tetapi kata al-Yamin lebih sering dipakai dalam bahasa hukum dan

praktek Peradilan Islam.84

Sumpah sebagai alat bukti, di samping sumpah secara umum, adapula

sumpah yang khusus diucapkan di muka sidang pengadilan (al-Yamin al-

Qadha'iyah). Pada dasarnya sumpah di muka pengadilan tidak berbeda dengan

sumpah secara umum, namun sumpah di muka pengadilan mempunyai beberapa

karakteristik tersendiri. Sumpah di muka pengadilan merupakan hujah bagi

terdakwah dalam mempertahankan hak atau perbuatannya, seperti Sabda Nabi

Muhammad SAW:85

‫ البينة عىل املدعى والميني عىل من‬:‫عن ابن عباس ان البىن صىل هللا عليه وسمل قال‬
}‫انكر {رواه البهيقي‬

84
Selain itu sumpah juga banyak dipraktekkan dan diartikan dalam pengertian umum, oleh karena itu
para ulama fiqih membedakan sumpah pada dua macam sesuai objeknya, yaitu sumpah biasa dan
sumpah sebagai alat bukti di Pengadilan. Sumpah biasa yaitu menyatakan suatu niat dan menguatkan
dengan menyebut nama Allah SWT, atau menyebut salah satu dari sifat-Nya, yang didahului dengan
penyebutan kata sumpah, yaitu ba', waw, dan ta' yang berarti "demi”. Contoh, seseorang bersumpah
bahwa dia akan berpuasa, lalu katanya : "demi Allah saya akan berpuasa hari ini”. Dengan ucapan
demikian berarti ia telah mengucapkan lafal sumpah, terdapat perbedaan ulama Mazhab Hanafi
dengan ulama Mazhab Syafi'i dalam memberikan pengertian tentang sumpah biasa. Menurut ulama
Mazhab Hanafi, sumpah adalah pernyataan atas niat yang kuat untuk melaksanakan suatu perbuatan
atau meninggalkannya, artinya, sumpah biasa adalah ucapan yang keluar dari mulut seseorang untuk
menyatakan maksud hatinya. Pandangan demikian ditolak oleh ulama Mazhab Syafi'i. Menurut
mereka, sumpah ialah menyatakan suatu niat dan penguatkan dengan menyebut nama Allah SWT atau
menyebut salah satu dari sifat-Nya. Jadi, menurut ulama Mazhab Syafi'i, sumpah itu hanya terbatas
pada pengungkapan niat yang disertai dengan penyebutan nama Allah SWT, atau penyebutan salah
satu dari sifatsifat-Nya.
85
Husain ibn Ali al-Baihaqy, op. cit, h. 252
76

Dari Ibn Abbas r.a. bahwa Nabi Saw. bersabda: “Bukti itu wajib bagi
penggugat dan sumpah itu wajib bagi tergugat". (HR. al-Baihaqy)

Dengan demikian sumpah bagi terdakwa merupakan Taʼkid (penguat) atas

penolakan terhadap dakwaan yang dihadapkan oleh terdakwa kepadanya. Karena

sumpah merupakan hak bagi terdakwa, maka hakim dituntut untuk memintanya

mengucapkan sumpah di depan pengadilan. Sumpah demikian disebut "sumpah

wajib" (al-Yamin al-Wajibah) atau sumpah penolakan (al-Yamin ad-Dafi'ah).

Para ulama fiqh mendefinisikan sumpah sebagai alat bukti dengan penguat

atas sesuatu atau hak atau perkataan, baik berupa penguatan dalam penetapan hak

maupun penguat untuk meniadakan hak, dengan menyebut nama atau salah satu

sifat Allah SWT.86

Ada beberapa landasan hukum dari sumpah sebagai alat bukti, diantaranya

adalah:

Firman Allah Surat al-Baqarah ayat 225:

‫ال يو أخذمك هللا ابللغو ىف أمينمك ولكن يو أخذ مك مبا كسبت قلو بمك وهللا غفور حلمي‬
}٢٢٥:‫{البقرة‬
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan
(sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun". (al-Baqarah: 225)

86
Lihat Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh 'Ala al-Mazahib al-'Araba'ah (Kairo, Dar al-Fikr, tt), jilid III,
h. 57
77

Sabda Rasulullan SAW dari Ibn Abbas:87

‫ لو يعطى الناس بدعوا مه الدعى انس دمأ‬:‫عن ابن عباس ان انىب صىل هللا عليه وسمل قال‬
}‫رجال واموهلم ولكن الميني عىل املدعى عليه {رواه مسمل‬
"Dari Ibn Abbas, sesungguhnya Rasulullah SAW, bersabda: jika gugatan
dikabulkan begitu saja niscaya akan banyaklah orang yang akan
menggugat darah dan harta orang lain, akan tetapi sumpah wajib atas
tergugat”. (HR. Muslim)

Dalam hukum acara yang berlaku di Peradilan Umum, alat bukti sumpah

diatur dalam pasal 314 HIR dan 177 RBg88 serta pasal 1929-1945 BW.89 Menurut

Sudikno Mertokusumo, sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang

diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan

mengingat akan sifat Maha Kuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang

memberikan keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.90

Dengan demikian, sumpah menurut hukum acara yang berlaku di Peradilan Umum

merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam persidangan

Majelis Hakim.

87
Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisabury, Shahih Muslim, (Beirut, Dar al-Fikr, 1993), juz
II, h. 120
88
K. Wantjik Saleh, op. cit, h. 79
89
R. Subekti, op. cit, h. 407-409
90
Sudikno Mertokusumo, op. cit, h. 147
78

2. Syarat-Syarat Sumpah Sebagai Alat Bukti

Para ulama fiqh mengemukakan beberapa syarat atas sumpah sebagai alat

bukti di depan sidang pengadilan, yaitu:91

a. Orang yang bersumpah itu telah mukalaf, yaitu baligh dan serta

mengemukakan sumpahnya atas kesadaran sendiri. Oleh sebab itu, sumpah

anak kecil, orang gila, dan dalam keadaan terpaksa dianggap tidak sah sebagai

alat bukti di depan sidang pengadilan.

b. Pihak tergugat mengingkari gugatan yang diajukan kepadanya, sehingga

pihak tergugat mengemukakan sumpahnya. Jika pihak tergugat membenarkan

gugatan yang diajukan kepadanya, maka sumpah dari tergugat tidak

diperlukan lagi.

c. Sumpah itu hanya pada kasus-kasus yang terhadap kasus itu pembuktiannya

boleh dilakukan melalui pengakuan. Oleh sebab itu, jika terhadap kasus itu

ikrar tidak boleh, maka sumpahpun tidak dibolehkan.

d. Sumpah itu dilakukan atas permintaan atau atas perintah hakim.

Menurut Salam Madkur, sumpah itu merupakan hak penggugat, apabila

penggugat tidak dapat membuktikan gugatannya, sedang tergugat menolak isi

gugatan tersebut, maka penggugat mengajukan tuntutan pada hakim untuk

menyumpah tergugat.92

91
Lihat Abdul Karim Zaidan, op. cit, h. 204
92
Muhammad Salam Madkur, op. cit, h. 112, akan tetapi sumpah juga dapat menggugurkan gugatan
terhadap pihak tergugat, apabila pihak penggugat tidak mempunyai saksi-saksi, baca Ibn Rusyd, op. cit,
h. 693
79

e. Sumpah itu dilakukan sendiri oleh tergugat dan tidak boleh diwakilkan.93

Di samping syarat-syarat yang disepakati ulama fikih di atas, ada syarat

lainnya yang keberadaannya diperselisihkan, yaitu penggugat tidak mampu

mengemukakan alat buktinya, atau dalam ketiadaan alat bukti sebagai penguat

gugatan yang diajukan penggugat. Jika alat bukti yang dikemukakan penggugat

cukup dan kuat, maka sumpah dari tergugat untuk mempertahankan haknya tidak

diperlukan lagi. Syarat ini dikemukakan oleh Jumhur ulama fikih. Akan tetapi

ulama Mazhab Syafi'i tidak menerima syarat ini, karena menurut mereka, alat bukti

merupakan kewajiban dari pihak penggugat sedangkan sumpah merupakan hak

tergugat, sesuai dengan hadits dari Ibn Abbas yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi

di atas.

3. Nukul

Menurut Sayyid Sabiq, jika tergugat nukul94 atas sumpah yang ditawarkan

kepadanya karena tidak adanya bukti dari penggugat, maka ketidakberaniannya

untuk bersumpah itu dianggap sebagai pengakuannya atas dakwaan tersebut, sebab

jika tergugat benar tentu tergugat tidak takut untuk bersumpah. Dalam keadaan

demikian, sumpah tidak boleh dikembalikan kepada penggugat; tidak ada sumpah

bagi penggugat atas kebenaran gugatan yang didakwakannya, sebab sumpah itu

93
Dalam perkembangan hukum selanjutnya, dapat diwakilkan kepada orang lain dengan surat kuasa
istimewa, lihat Abdul Manan, op. cit, h. 154
94
Kata ini dalam hukum Islam biasa dipasangkan dengan kata al-Yamin (sumpah) sehingga berbunyi
an-Nukul 'an al-Yamin yang berarti enggan bersumpah. Dalam Hukum Acara Islam (ahkam al-
Murafa'at) nukul berarti keengganan bersumpah dari pihak tergugat yang menolak tuduhan penggugat
ketika penggugat tidak dapat membukti gugatannya. Nukul merupakan salah satu cara pembuktian
atas kebenaran gugatan.
80

selamanya dalam hal mengingkari dakwaan.95 Dasarnya adalah sabda Rasulullah

SAW:96

‫ ألبينة عىل املدعى والميني عىل من‬:‫عن ابن عباس ان النىب صىل هللا عليه وسمل قال‬
}‫أنكر {رواه البهيقي‬
Dari Ibn Abbas bahwa Nabi Saw. bersabda: “Bukti itu bagi penggugat,
dan sumpah bagi tergugat". (HR. al-Baihaqy)

Fuqaha berbeda pendapat tentang tetapnya hak bagi pihak tergugat

berdasarkan penolakannya untuk bersumpah.97 Misalnya, Imam Malik, Syafi'i,

Fuqaha ljaz dan segolongan Fuqaha Irak berpendapat, bahwa apabila pihak

tergugat menolak sumpah (nukul), maka dengan penolakan itu pihak penggugat

tidak memperoleh sesuatupun, kecuali jika pihak penggugat bersumpah atau

mempunyai satu orang saksi.98

Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya beserta sebagian besar para

fuqaha Kufah berpendapat, bahwa penggugat dimenangkan atas tergugat dengan

adanya penolakan itu. ketentuan ini berlaku dalam urusan harta, sesudah ia

bersumpah tiga kali.

Dalam hal pembalikan sumpah, Imam Malik berpendapat bahwa

pembalikan sumpah terdapat dalam perkara dimana satu orang saksi dan dua orang

perempuan, atau satu orang dan sumpah dapat diterima. Alasan Imam Malik

95
Sayyid Sabiq, op. cit, h. 80
96
Al-Shan'any, op. cit.,
97
Ibn Rusyd, op.cit, h. 700
98
Ibid.,
81

adalah, bahwa sesuatu hak itu dapat ditetapkan hanya dengan dua perkara, yaitu

dengan sumpah dan saksi, atau dengan penolakan dan saksi, atau dengan

penolakan dan sumpah.

Sedangkan Imam Syafi'i berpendapat, bahwa pembalikan sumpah itu

terdapat pada setiap perkara yang diharuskan adanya sumpah.99 Sehubungan

dengan hal di atas, sumpah sebagai alat bukti berbeda dengan sumpah/janji yang

diucapkan saksi sebelum memberikan keterangan di depan majelis hakim.100

Dalam beberapa perbedaan pendapat tentang nukul dan pembalikan

sumpah di atas dapat diipahami bahwa pendapat yang cukup kuat dan secara

empirik dipraktekkan dalam praktek Peradilan Islam adalah pendapat yang

menyatakan dikabulkannya gugatan penggugat jika tergugat nukul, serta tidak

berlakunya pembalikan sumpah. Hal ini sesuai dengan nash dan prinsip-prinsip

pembuktian secara umum. Sebagian besar para ulama menjadikan Nukul ini

sebagai salah satu alat bukti.

4. Bentuk-Bentuk Sumpah

Dalam praktek Peradilan Agama, dikenal beberapa bentuk sumpah sebagai

alat bukti, akan tetapi bentuk-bentuk sumpah ini hanya ditemukan secara eksplisit

dalam hukum Islam, yaitu:

99
Ibid.,
100
Sumpah atau janji saksi tersebut bukanlah sebagai alat bukti, tetapi kesaksiannya itulah yang
menjadi bukti. Sebaliknya sumpah yang diucapkan para pihak dalam perkara adalah menjadi alat bukti.
82

a. Sumpah pelengkap (Suppletoireed).

Sumpah pelengkap atau sumpah tambahan adalah sumpah yang

diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak untuk melengkapi alat bukti

yang masih kurang atau untuk menambah keyakinan hakim.

Dalam hukum acara Perdata Umum, sumpah pelengkap diatur dalam

pasal 155/182 HIR/RBg101 dan pasal 1945 KUH Perdata,102 dalam pasal

peraturan perundang-undangan tersebut dikemukakan bahwa hakim karena

jabatannya dapat memerintahkan sumpah kepada salah satu pihak yang

berperkara untuk melengkapi alat bukti yang sudah ada supaya perkara dapat

diselesaikan.

Supaya sumpah pelengkap dapat dijadikan alat bukti, maka harus

memenuhi syarat-syarat formil dan materil sebagai berikut:103

- Syarat formil sumpah pelengkap:

1) Sumpah tersebut untuk melengkapi atau menguatkan pembuktian yang

sudah ada, tetapi belum mencapai batas minimal pembuktian.

2) Bukti yang sudah ada baru bernilai bukti permulaan.

3) Para pihak yang berperkara sudah tidak mampu lagi menambah alat

bukti yang ada dengan alat bukti yang lain.

4) Sumpah dibebankan atas perintah hakim dan diucapkan di depan

sidang mejelis secara In Person.

101
K. Wantjik Saleh, op. cit, h. 34
102
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, loc. cit, h. 409
103
Abdul Manan, op. cit, h. 153
83

- Syarat materil sumpah pelengkap:

1) Isi lafaz sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri

oleh pihak yang berperkara atau yang mengucapkan sumpah tersebut.

2) Isi sumpah harus berkaitan langsung dengan pokok perkara dan tidak

bertentang dengan nash (agama), moral dan kesusilaan.

Menurut pasal 1944 KUH Perdata,104 pelaksanaan sumpah pelengkap

yang dilaksanakan di luar gedung pengadilan, harus dihadiri oleh hakim yang

memeriksa perkara tersebut. Tetapi putusan Mahkamah Agung RI Nomor 271

K/Sip/1956 tanggal 4 Desember 1957 membenarkan pelaksanaan sumpah

pelengkap ini dalam Masjid yang hanya dihadiri oleh panitera dengan alasan

hakim yang memeriksa perkara tersebut sedang berhalangan.

b. Sumpah pemutus (Decissoireed).

Sumpah pemutus adalah sumpah yang diucapkan oleh salah atas

permintaan pihak lainnya, karna tidak ada bukti. Dalam hukum acara perdata

umum, sumpah pemutus ini diatur dalam satu pihak pasal 156/183

HIR/RBg105 dan pasal 1930 KUH Perdata.106 Dalam pasal-pasal ini

dikemukakan bahwa jika tidak ada sesuatu keterangan untuk menguatkan

gugatan atau jawaban atas gugatan itu, maka salah satu pihak dapat meminta

supaya pihak lain bersumpah di muka hakim.

104
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit, h. 49
105
K. Wantjik Saleh, op. cit, h. 35
106
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit, h. 407
84

Syarat-syarat sumpah pemutus sebagai alat bukti adalah sebagai

berikut:

- Syarat formil:

1) Jika memang tidak ada alat bukti lain.

2) Harus atas permintaan salah satu pihak dan bukan atas perintah hakim.

3) Diucapkan dalam sidang majelis hakim secara In Person.

- Syarat materil:

1) Isi lafaz sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri atau

yang dilakukan bersama-sama oleh kedua belah pihak yang berperkara.

2) Isi sumpah harus relevan dengan pokok perkara.

Sumpah pemutus itu harus "litis decisoir”107 karena tujuan dari

pelaksanaan sumpah pemutus adalah untuk menyelesaikan perkara.

c. Sumpah penaksir (Aestimatoir, Schattingseed).

Sumpah penaksir, yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena

jabatannya kepada penggugat untuk menentukan sejumlah uang ganti

kerugian. Sumpah ini dilaksanakan karena dalam praktek sering terjadi bahwa

jumlah uang ganti kerugian yang diajukan oleh pihak yang bersangkutan itu

tidak jelas, maka soal ganti rugi harus dipastikan dengan pembuktian.108

107
Artinya harus bersifat menentukan sehingga dengan sumpah yang akan diucapkan itu perkara yang
diperselisihkan menjadi pasti.
108
Sudikno Mertokusumo, op. cit, h. 150
85

Sumpah penaksir dalam hukum acara perdata umum diatur dalam

pasal 155/182 HIR/RBg109 dan pasal 1940 KUH Perdata.110 Sumpah ini hanya

berlaku dalam perkara gugatan ganti rugi saja.

Nilai pembuktian sumpah penaksir ini adalah sama dengan sumpah

pemutus dan sumpah tambahan. Nilai pembuktiannya sangat kuat dan mutlak

yaitu sempurna, mengikat dan menentukan. Hanya bisa dilumpuhkan dengan

utusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atas dasar bahwa

sumpah yang diucapkan itu adalah sumpah palsu.

d. Sumpah Li’an

Sumpah li'an adalah bentuk khusus, baik redaksinya, jumlah kali

mengucapkannya, maupun kekuatan pembuktiannya. Prosedur mula'anah

telah diatur secara qath'iy dalam al-Qur'an, surat an-Nur ayat 4, 6 dan 7 serta

tidak boleh disampingi dengan pengertian lain.

Li'an secara etimologi artinya adalah jauh dari nikmat Allah,

sedangkan secara terminologi adalah, tuduhan suami bahwa isterinya berbuat

zina dengan orang lain atau pengingkaran suami terhadap kehamilan isterinya.

Sebagai buah pergaulan dengan isterinya itu.111

109
K. Wantjik Saleh, op. cit.,
110
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit, h. 408
111
Ulama Mazhab Maliki Ada beberapa definisi li'an yang dikemukan ulama fikih. Ulama Mazhab Hanafi
dan Mazhab Hanbali mendefinisikan dengan persaksian kuat dari pihak suami bahwa isterinya berbuat
zina yang diungkapkan dengan sumpah yang dibarengi dengan lafal li'an, ditanggapi dengan
kemarahan dari pihak isteri, mendefinisikannya dengan “sumpah suami yang muslim dan cakap
bertindak hukum bahwa ia melihat isterinya berzina atau ia mengingkari kehamilan isterinya sebagai
hasil pergaulannya dengan isterinya itu, kemudian isteri bersumpah bahwa tuduhan tersebut tidak
benar sebanyak empat kali di hadapan hakim, baca Imam Malik Ibn Anas, al-Muwatha', (Beirut, dar al-
Kitab al-Ilmiah, tt), juz II, h. 566
86

Dalam Peradilan Agama (Islam) di Indonesia, masalah sumpah li'an

diatur dalam pasal 87-88 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang

Peradilan Agama. Dalam peraturan perundang-undangan ini dikemukakan

bahwa apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan dengan alasan salah

satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat

melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan

tersebut, maka hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau

penggugat untuk bersumpah. Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan

pula untuk menegakkan sanggahannya dengan cara yang sama. Apabila

sumpah dilakukan oleh pihak suami maka penyelesaiannya dapat

dilaksanakan dengan cara sumpah li'an.

Ketentuan sebagaimana tersebut di atas adalah sejalan dengan

ketentuan yang dirumuskan dalam al-Qur'an Surat an-Nur ayat 4, 6 dan 7 di

mana dikemukakan apabila suami menuduh isterinya berbuat zina, dan

isterinya menyangkal tuduhan tersebut, suami wajib membuktikan dengan

empat orang saksi. Bila suami tidak sanggup mendatangkan empat orang saksi

maka ia akan dihukum dera delapan puluh kali (had qazaf). Untuk

menghindari hukum dera tersebut, al-Qur'an memberi jalan keluar dengan

upaya li'an sebagai pengganti qazaf, demikian pula halnya dengan isteri

sebagai bukti atas sanggahannya. Apabila yang tersebut dalam surat an-Nur

itu mengandung asas “inflarante delicto”, yakni pembuktian tuduhan berbuat

zina harus dengan saksi, dan saksi itu harus betul-betul menyaksikan peristiwa
87

zina yang dilakukan di dalam keadaan tertangkap basah, sedang berhubungan

kelamin secara fisik dan biologis.112

Perbedaan yang mendasar antara sumpah li'an dengan sumpah

pelengkap dan sumpah pemutus dalam perkara di Pengadilan Agama adalah

sumpah li'an khusus dalam hal perkara permohonan talak dengan alasan isteri

berbuat zina, sedangkan sumpah pelengkap dan sumpah pemutus meliputi

semua jenis perkara. Sumpah li'an teks sumpahnya tertentu, sedangkan pada

sumpah pelengkap dan sumpah pemutus terserah kepada hakim dan para

pihak yang berperkara.

5. Qasamah

Qasamah (‫ )القسمة‬juga berarti sumpah, tetapi termasuk yuridiksi hukum

pidana Islam, qasamah artinya sumpah yang dimintakan kepada para wali dari

tertuduh pelaku pembunuhan karena tidak diketahui siapa yang telah melakukan

pembunuhan tersebut. Misalnya, ada seseorang ditemui terbunuh di suatu tempat

namun tidak diketahui pembunuhnya, maka ahli waris dari terbunuh meminta agar

50 orang terkemuka dan shaleh di sekitar tempat kejadian untuk mengucapkan

qasamah bahwa mereka tidak membunuhnya dan tidak tahu siapa pembunuhnya,

setelah itu penduduk setempat wajib membayar diyat.113

Menurut Imam Malik, qasamah juga bisa berlaku dalam kasus pembunuhan

tersalah dan minuman keras.114

112
Pendapat M. Yahya Harahap. Sebagaimana di kutip oleh Abdul Manan, op. cit, h. 156
113
Lihat Muhammad Salam Madkur, op. cit, h. 90
114
Lihat Imam Malik Ibn Anas, op.cit, h. 887
88

Qasamah dalam bentuk pertama di atas, di samping tidak termasuk dalam

lapangan Hukum Acara Perdata, dalam acara pidana pun sulit untuk diterapkan.

E. Alat Bukti Surat

Sangat berbeda dengan hukum acara perdata umum di Indonesia, dalam hukum

Islam alat bukti surat115 tidak begitu populer. Karena beberapa perkembangan

masyarakat, sebagian ulama mutaakhirin memberikan fatwa diterimanya tulisan

sebagai alat bukti. Hal ini dipegangi oleh Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah. Majalah ini

menerima ditetapkannya dokumen-dokumen hutang piutang, kontrak bisnis dan lain-

lainnya.116

Akan tetapi sebagian fuqaha' tidak dapat menerima tulisan (surat) sebagai alat

bukti, dengan alasan bahwa tulisan-tulisan itu dapat tasyabuh (serupa) dan mungkin

dapat dihapuskan.117 Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat, bahwa apabila hakim

telah pernah memperoleh data tentang kesaksian atas suatu hak yang dipersengketakan,

atau pengakuan, padahal hakim tersebut tidak ingat dan tidak hafal data-data tersebut,

maka ia boleh memutus atas dasar catatan yang ia miliki, sebab tidak semua (data)

dihafal oleh hakim.118

115
Alat bukti surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksud untuk
mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai
pembuktian. Dengan demikian potret atau gambar tidak mengundang tanda bacaan atau buah pikiran,
tidak dapat dijadikan alat bukti, begitu juga halnya dengan denah atau peta, meskipun ada tanda
bacaannya tetapi tidak mengundang suatu buah pikiran atau isi hati seseorang, maka juga tidak dapat
dijadikan sebagai alat bukti . Lihat Sudikno Mertokusumo, op. cit, h. 116
116
Lihat Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarhu Majallah al-Ahkam, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiah, tt)
117
Muhammad Salam Madkur, op. cit., h. 102
118
Ibid.,
89

Persolan prinsip dalam penolakan tulisan atau surat sebagai alat bukti adalah

adanya kekuatiran pemalsuan dan penghapusan. Akan tetapi menurut penulis alasan ini

tidak kuat dan valid, karena alat bukti surat bukanlah alat bukti pemutus, sehingga

harus didukung oleh bukti lainnya, sementara itu suatu alat bukti betapapun kuatnya

akan tetap diteliti dan dianalisa terlebih dahulu oleh hakim.

Ibn Qayyim al-Jauziyah, berpendapat bahwa Allah SWT telah menciptakan

pada tulisan masing-masing orang berbeda-beda antara tulisan yang satu dengan

lainnya, sebagaimana perbedaan bentuk yang satu dengan bentuk lainnya, dan memang

inilah dasar pengetahuan ahli tentang tulisan dan perbedaan antara satu macam tulisan

dengan lainnya.119

Menurut penulis, ada beberapa alasan yang dapat menjadikan surat atau tulisan

sebagai alat bukti, yang di induksi dari beberapa dalil, diantaranya yaitu:

- Firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 282:

‫ واستشهدوا شهيدين من رجالمك فان مل يكوان رجلني فرجل وامرأاتن حمن ترضون‬. . .
. . . ‫من الشهداء ان تضل احد هام فتذ كر احد هام الاخرى وال يأب الشهدأ اذا مادعو‬
}٢٨٢:‫{البقرة‬
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dengan benar.
Dan anganlah penulis enggan menuliskan sebagaimana Allah telah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan”. (al-Baqarah: 282)

119
Ibn Qayyim al-Jauziyah, op. cit. h. 192.
90

- Hadits Rasulullah SAW:120

‫ ماحق مرىء‬:‫ ان رسول هللا صىل هللا عليه وسمل قال‬:‫حدثنا ماكل عن انفع عن عبد هللا بن معر‬
}‫مسمل هل يشء يوىص فيه يبيت ليلتني الا وصيته عنده مكتوبة {اخرجه البخار ومسمل‬
"Dari Malik dan Nafi' dan Abdullah Ibn Umar, bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda: tidaklah seorang muslim berwasiat tentang sesuatu yang dimilikinya
yang akan berlangsung dua malam, kecuali wasiatnya itu mesti harus tertulis”.
(HR. Bukhari dan Muslim)

Maka jika tulisan itu tidak dapat dipakai sebagai alat bukti, tentu tidak ada

artinya mencatat wasiat, atau catatan dalam mu'amalah sebagaimana tersebut dalam

Surat al-Baqarah ayat 282 di atas.

Menurut Imam Ahmad, bahwa bentuk tulisan itu haruslah terkenal dan

masyhur, karena yang dimaksud di sini adalah dapatnya dibuktikan tentang suatu hak

dasar catatan tentang itu, oleh sebab itu semua catatan yang diajukan dapat menjadi

alat bukti, dan semua catatan atau surat yang tidak otentik bisa juga diingkari dan

ditolak sebab adanya pemalsuan. Adapun pengakuan yang dituangkan di atas catatan

resmi merupakan alat bukti yang tidak dapat diingkari, dan dapat juga menjadi alat

bukti bagi pihak lain yang ada kaitan peristiwanya.121

Dengan demikian alat bukti surat merupakan alat bukti yang konsisten,122

sehingga bisa diterapkan dalam peradilan secara kumulatif maupun yuridis.

120
Imam Malik Ibn Anas, op. cit, h. 761
121
Muhammad Salam Madkur, op. cit, h. 104
122
Konsisten dalam penelitian hukum berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu
kerangka tertentu, Lihat Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, UI Press, 1986),
cet. 3, h. 42
91

Bukti tulisan atau surat, dalam perkara perdata umum merupakan bukti utama,

karena dalam lalu lintas keperdataan seringkali orang dengan sengaja menyediakan

suatu bukti yang dapat dipakai kalau timbul suatu perselisihan; dan bukti yang

disediakan tadi lazimnya berupa tulisan.123

Dasar hukum penggunaan surat atau tulisan sebagai alat bukti dalam hukum

acara perdata umum adalah pasal 164 HIR dan pasal 284, 293 dan 294 RBg,124 serta

KUH Perdata pasal 1867-1880 dan pasal 1869, 1874.125

Surat sebagai alat bukti tertulis dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan

akta. Akta dapat dibedakan menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Jadi dalam

hukum pembuktian dikenal paling tidak tiga jenis surat yaitu:

1. Akta otentik

Dalam pasal 165 HIR, 285 RBg126 dan pasal 1868 BW127 disebutkan bahwa

akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi

wewenang128 serta menurut ketentuan yang telah ditetapkan.

Akta otentik mempunyai kekuatan bukti yang sempurna atau mengikat, baik

bagi pihak-pihak yang membuat maupun bagi ahli warisnya atau bagi orang-orang

yang memperoleh hak dari padanya. Akan tetapi isi akta secara material hanya

dipandang sah jika tidak bertentangan dengan hukum material Islam.

123
R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta, Pradaya Paramita, 2001), h. 25
124
K. Wantjik Saleh, op. cit, h. 71 dan 74
125
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Loc.cit, h. 398
126
K. Wantjik Saleh, op. cit.,
127
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit, h. 397
128
Yang dapat digolongkan kepada pejabat yang berwenang adalah seperti, akta cerai yang ditandai
oleh panitera Pengadilan Agama, akta nikah yang dibuat dan ditanda tangani oleh pegawai pencatat
nikah, akta jual beli tanah yang dibuat dan ditanda oleh pejabat pembuat akta tanah, dan lain-lain.
Lihat Abdul Manan, op. cit, h. 138
92

2. Akta di bawah tangan

Akta di bawah tangan ialah segala tulisan yang memang sengaja dibuat untuk

dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditanda tangani tetapi tidak dibuat oleh

dan di hadapan pejabat yang berwenang sehingga bentuknya tidak terikat kepada

bentuk tertentu.

Kekuatan akta di bawah tangan, hakim menilainya secara bebas, tetapi jika

tanda tangan yang tercantum di dalam akta di bawah tangan tersebut diakui oleh

pihak yang menandatangani, maka akta di bawah tangan tersebut mempunyai

kekuatan sama dengan akta otentik.129

3. Surat secara sepihak

Ketentuan tentang alat bukti surat secara sepihak diatur dalam pasal 1877 KUH

Perdata,130 dan pasal 291 RBg.131 Bentuk surat ini berupa surat pengakuan yang

berisi pernyataan akan kewajiban sepihak dari yang membuat surat bahwa dia akan

membayar sejumlah uang atau akan menyerahkan sesuatu atau akan melakukan

sesuatu kepada seseorang tertentu.

4. Surat Lain yang bukan akta

Surat-surat non akta sebagaimana yang diatur dalam pasal 294 Rbg132 dan pasal

1881 KUH Perdata,133 bentuknya dapat berupa surat biasa/koresponden, catatan

129
R. Subekti, op. cit, h. 29-30
130
R. Subekti, Loc. cit, h. 399
131
K. Wantjik Saleh, op. cit, h 73
132
Ibid.,
133
R. Subekti, op. cit, h. 400
93

harian dan sebagainya. Surat-surat tersebut tidak sengaja dibuat sebagai surat bukti

atau tidak sengaja dibuat untuk alat bukti.

Dengan mencermati beberapa penjelasan tentang alat bukti surat di atas, dapat

dipahami bahwa alat bukti surat menempati posisi alat bukti yang menentukan dan

dapat diterapkan dalam Peradilan Islam, di samping itu sebagaimana pendapat Ibn

Qayyim al-Jauziyah bahwa bayyinah selain dua orang saksi adakalanya lebih

kuat,134 seperti halnya alat bukti surat.

134
Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Firaasat, ab. Ibn Ibrahim, (Jakarta, Pustaka Azzam, 200), h. 4
BAB IV

ALAT BUKTI QARINAH DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Alat Bukti Qarinah

Qarinah merupakan mufrad dari bentuk jamak Qara’inu, secara bahasa

berarti perhubungan dan pertalian1 (‫ )الصلة والعالقة‬atau isteri2 ( ‫ ) الزوجة‬serta

diterjemahkan juga dengan indikasi atau tanda3 Selain itu, para ulama dalam

pengertian yang lebih luas juga menginterpretasikan qarinah dengan

menghubungkan sesuatu dengan sesuatu4 ( ‫) قرنت الشئ بااشئ‬.

Dalam pengertian perhubungan dan pertalian atau indikasi maupun tanda,

merupakan pengertian yang paling relevan dengan qarinah serta banyak dipahami

oleh para fuqaha' serta dipraktekkan di depan sidang pengadilan sebagai salah satu

dari berbagai cara pembuktian suatu gugatan yang dapat membantu para penegak

hukum untuk menyingkap rahasia suatu peristiwa.

1
Ibn Manzur, Lisan al-Arab, (Beirut, Dar al-Ihya' al-Tulas al-Arabi, tt), Juz IX, h. 139. Lihat juga Abu Luis
Ma'luf al-Yusu'l, al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut, Dar al-Masyriq, 1977), cet.3, h. 210
2
Majma' al-Lughah al-Arabiyah, Mu'jam al-Wajiz, (Mesir, Wizarah Tarbiyah wa Ta'lim, 1993), h. 298
3
Abdul Karim Zaidan, Nizham al-Qadha' fi asy-Syari'ah al-Islamiyah, (Baghdad, Mathba'ah al-'Ani,
1984), h. 219
4
Abdurrahaman Ibrahim Al-Humaidi, al-Qadha' wa al-Nizham Fi al-Kitab wa al-Sunnah, (Makkah al-
Mukarraman, Jami'ah um-al-qura, 1989), h. 447, selanjutnya dapat juga dipahami bahwa qarinah
adalah hal-hal yang mempunyai hubungan atau pertallian yang erat sedemikian rupa sehingga
memberikan petunjuk. Umpamanya, kelihatan seseorang baru saja keluar dari sebuah rumah dan pada
tangannya ada sebilah pisau, kemudian dalam rumah itu ternyata ada jenazah tergeletak yang baru
terbunuh dengan tusukan pisau. Maka keluarnya seseorang yang membawa pisau dari rumah itu tadi
adalah qarinah yang menunjukkan atau menimbulkan kecurigaan kuat bahwa dialah pembunuhnya,
Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut, Dar al-Fikr, tt) Jilid III, Juz 14, h. 82

94
95

Pengertian qarinah secara istilah cukup banyak diungkapkan para ulama

dalam beberapa definisi, di antaranya Abdul Karim Zaidan, mengemukakan bahwa

qarinah itu adalah:5

‫الامارات والعال مات الىت يس تدل هبا عىل وجود شئ او نفيه‬

“Indikasi atau tanda yang menunjukkan ada atau tidak adanya sesuatu".

Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah mendefinisikan qarinah

dengan:6

‫الامارات الىت بلغت حد اليقني‬

"Indikasi yang mencapai batas keyakinan"

Tidak jauh berbeda dari Sayyid Sabiq, Abdurrahman Ibrahim Ali Humaidi

juga mengungkapkan definisi serupa dari istilah para fuqaha.7

‫اهنا الا مارة البالغة حد اليقني‬

"Petunjuk yang mencapai batas keyakinan"

Akan tetapi Ibn Qayyim al-Jauziyah, tidak memperkenalkan qarinah

sebagai salah satu alat bukti, beliau lebih mempopulerkan istilah firasat dan imarat

sebagai alat bukti,8 hal ini dapat dipahami bahwa contoh-contoh yang dikemukakan

5
Abdul Karim Zardan, op.cit.,
6
Sayyid Sabiq, op.cit.,
7
Abdurrahman Ibrahim Ali Humaidi, op.cit.,
8
Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Turuq al-Hukmiyah Fi al-Siyasah al-Syar'iyah, (Kairo, Mathba'ah al-
Madani, tt), h.3., perhatikan juga dalam bukunya al-Firasat, (Baghdad, al-Maktabah al-wathamiyah
Math'at al-zaman, 1986).
96

oleh Ibn Qayyim sebagai contoh firasat dan imarat, adalah sama dengan contoh-

contoh qarinah yang dikemukakan oleh para ulama yang menerapkan qarinah

sebagai alat bukti.

Dalam hukum acara pidana umum, qarinah dinamakan dengan petunjuk

(aanwijizingen), seperti orang kecurian suatu benda, kemudian benda itu ditemukan

di rumah fulan, maka hal itu adalah qarinah (petunjuk), bahwa pemilik rumah

itulah pencuri benda itu, atau setidak-tidaknya dituduh ada hubungannya dengan

pencuri, seperti sebagai penadah, atau pencuri itu menitipkan benda itu dirumah

fulan.9

Qarinah dalam hukum acara perdata umum, diterjemahkan dengan

persangkaan (vermeoden), yaitu kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang

telah terkenal atau dianggap “terbukti” kearah suatu peristiwa yang "tidak terkenal”

artinya belum terbukti.10 Hanya saja R. Subekti, menyatakan kurang tepat bila

persangkaan itu dinamakan sebagai alat bukti, karena undang-undang sendiri tidak

memberikan batasan arti "persangkaan" maka dapat digunakan pengertian

persangkaan yang disebutkan dalam pasal KUH Perdata.11

R. Tresna, sebagaimana halnya yang telah ditetapkan UndangUndang

mengungkapkan arti persangkaan itu dengan "dugaan”, yaitu kesimpulan yang

diambil oleh ketentuan undang-undang atau oleh hakim tentang suatu kejadian

9
Termasuk juga qarinah, tuduhan zina pada wanita hamil tanpa suami. Lihat Abdul Kadir Audah, al-
Tasyri' al-jina'i al-islami muqaranah bi al-qanum al-wad'I (Beirut, Mu'assah ar-Risalah, 1992), h. 440
10
R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta, Pradnya Paramita, 2001), h. 45
11
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta, Pradanya Paramita,
1992), h. 404
97

yang dikenal dengan mana dapat diketahui adanya sesuatu kejadian yang tidak

terkenal.12

Menurut Sudikno Mertokusumo, pada hakekatnya yang dimaksudkan

dengan persangkaan tidak lain adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung.

Misalnya saja pembuktian dari pada ketidakhadiran seseorang pada suatu waktu

ditempat tertentu dengan membuktikan kehadirannya pada waktu yang sama di

tempat lain. Dengan demikian maka setiap alat bukti dapat menjadi persangkaan.13

B. Kriteria dan Macam-Macam Alat Bukti Qarinah

Secara empirik dan teori-teori hukum acara, ada dua macam alat bukti

Qarinah yang diterapkan dalam Peradilan Islam, yaitu:

1. Qarinah Qadha’iyyah.

Qarinah qadha'iyyah adalah qarinah yang merupakan hasil kesimpulan hakim

setelah memeriksa proses perkara, dan dalam hal ini hakim mempunyai kebebasan

yang sangat luas untuk menentukannya berdasar keyakinannya.14 Teungku

Muhammad Hasbi Ashshiddiegy dalam bukunya Peradilan dan Hukum Acara

Islam, mengistilahkan qarinah qadha'iyyah ini dengan qarinah urfiyah, dengan

definisi sebagai berikut:15

‫نتاجئ يس تخر هجا القاىض من واقعة معر وفة لو اقعة غري معروفة‬

12
M.R. Tresna, Komentar HIR, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1994), h. 175
13
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta, Liberty, 1988), edisi 3, cet 1,
h. 138
14
Muhammad Salam Madkur, al-Qadha' Fi al-Islam (Mesir, Dar al-Nahdah alArabiyah, tt), h. 96
15
Lihat Teungku Muhammad Hasbi Ashshiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra), Cet. 1, h. 158
98

"Kesimpulan yang ditanggapi hakim dari suatu peristiwa yang terkenal untuk
suatu peristiwa yang tidak terkenal.”

Qarinah qadha'iyyah adalah qarinah menurut kenyataan (factual

presumption), di mana hakim bebas menyusun persangkaan dengan syarat harus

berdasarkan kenyataan, yaitu kenyataan yang bersumber dari data yang terbukti

dalam persidangan sebagai pangkal titik tolak menyusun suatu persangkaan,16

namun diingat cara ini tidak harus dilakukan hakim.

Sedangkan dari mana data yang terbukti itu diambil oleh hakim adalah bebas,

boleh diambil dari data yang ditemukan yang dikemukakan penggugat tapi boleh

juga data yang berasal dari tergugat, yang menjadi patokan adalah data atau fakta

tersebut sudah terbukti dalam persidangan. Dengan demikian setiap data atau fakta

yang sudah terbukti baik yang berasal dari penggugat atau tergugat adalah dapat

dijadikan landasan sumber untuk menarik persangkaan atau qarinah.

Sistem merumuskan persangkaan yang memenuhi syarat formal adalah

beranjak dari data atau fakta yang belum diketahui cara pengungkapannya adalah

dengan jalan menarik kesimpulan fakta yang telah terbukti tadi. Misalnya, apabila

si fulan melihat dari luar sebuah rumah gelap adalah dapat disimpulkan atau

persangkaan bahwa lampu dalam rumah itu tidak dihidupkan. Dalam hal ini fakta

yang terbukti dan diketahui adalah gelap, ditarik kesimpulan mengenai fakta yang

belum diketahui melalui qarinah yakni lampu dimatikan atau tidak dihidupkan.

16
Lihat M. Yahya Harahap, Bahan Kuliah Hukum Acara Perdata Program Pendidikan Calon Hakim
Peradilan Agama, (Bandung, ttp, 1994), h. 72
99

Cara yang dibenarkan untuk menarik dan merumuskan persangkaan hakim

yang lazim juga disebut persangkaan berdasar kenyataan (factual presumption).

Karena pada umumnya, kehidupan manusia pada setiap saat penuh dengan

persangkaan, sehingga setiap waktu yang dilalui manusia dalam kehidupan selalu

diliputi oleh persangkaan-persangkaan baik yang bersifat positif maupun negatif,

positif bila didukung oleh fakta yang valid dan negatif jika tidak didukung oleh

data dan fakta yang akurat.

Dua faktor yang rasional untuk membentuk suatu persangkaan: pertama, data

akurat yaitu yang sudah terbukti dalam proses persidangan. Kedua, Intelektual,

apabila data akurat yang sudah terbukti menjadi landasan sumber untuk

mengungkap fakta yang belum diketahui, maka faktor intelektual merupakan

unsur yang berfungsi sebagai alat menyusun uraian kesimpulan untuk menemukan

fakta yang belum diketahui, sebab tanpa memanfaatkan intelektual tidak mungkin

ditemukan dan ditetapkan kesimpulan apa dan bagaimana wujud dan bentuk fakta

yang belum diketahui.

Dalam kriterianya, tidak jarang terdapat perbedaan antara persangkaan yang

satu dengan yang lain, dimana ada persangkaan yang mendekati kebenaran dan

kepastian (qarinah wadhihah), ada juga persangkaan yang kurang mendekati

kebenaran dan kepastian. Hal ini disebabkan landasan fakta yang menjadi sumber

persangkaan terdapat beberapa kemungkinan dimana ada fakta yang sumbernya

sangat kuat, terkadang ada fakta yang sumbernya sangat lemah atau ada fakta yang

sumbernya bersifat sangat subjektif.


100

Bertitik tolak dari kuat dan lemahnya fakta sumber qarinah dalam kehidupan

terdapat beberapa hal yang perlu dicermati, bahwa ada persangkaan yang benar-

benar mendekati kepastian, seperti pada contoh sebelumnya, kalau gelapnya

rumah itu dilihat dari dekat dan yang melihatnya orang masih muda yang memiliki

penglihatan cukup terang terdiri dari dua orang atau lebih, maka fakta yang

terbukti diketahui memiliki kualitas yang sangat kuat, karena itu qarinah tersebut

mendekati kepastian.

Terdapat juga qarinah yang tidak mendekati kepastian, seperti contoh

sebelumnya, kalau yang melihat rumah itu orang tua yang sudah rabun matanya

dan hanya terdiri dari satu orang saja, apabila dari fakta itu ditarik kesimpulan

untuk menyingkap fakta yang belum diketahui tentang mati atau tidaknya lampu

hampir dapat dikatakan bahwa, qarinah yang diambil oleh hakim merupakan

qarinah yang tidak tepat dan tidak jelas.

Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat dipahami bahwa, pada prinsipnya hakim

berwenang untuk mengkonstruksi qarinah, namun kebebasan kewenangan itu

harus secara cermat dan hati-hati penerapannya, diharapkan fakta itu harus yang

seobjektif mungkin.

Akan tetapi, hakim yang sangat berlebihan sikap kehati-hatiannya bisa

berakibat tidak berani menarik konklusi, meskipun fakta yang terbukti memiliki

bobot yang kuat dan objektif. Dampak selanjutnya adalah sesuatu yang semestinya

terbukti menurut hukum menjadi tidak terbukti.

Di samping hakim berwenang merumuskan persangkaan agar memenuhi

syarat formil seperti di atas, yang tidak kalah pentingnya adalah faktor
101

intelektualitas hakim. Kalau fungsi fakta-fakta atau data yang sudah terbukti

menjadi landasan sumber untuk mengungkap fakta yang belum diketahui maka

faktor intelektualitas hakim merupakan unsur yang berfungsi sebagai bahan

menyusun uraian kesimpulan untuk menemukan dan menentukan fakta yang

belum diketahui.17 Sebab itu tanpa memfungsikan faktor intelektualitas, tidak

mungkin ditemukan dan ditetapkan adanya kesimpulan apa dan bagaimana wujud

serta bentuk fakta yang belum diketahui. Dengan demikian pemecahan kasus

berdasarkan qarinah memerlukan ilmu pengetahuan hakim ('ilm al-qadi) untuk

membuktikan kebenaran persoalan.

2. Qarinah Qanuniyah.

Qarinah qanuniyah, yaitu qarinah yang ditentukan oleh Undang-Undang.18

Dalam hukum pembuktian, qarinah qanuniyah dikenal juga dengan persangkaan

berdasarkan hukum (rechtsvermoedens, preasumptiones yuris), yaitu qarinah

yang oleh Undang-undang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau

peristiwa tertentu.19

Dalam hukum Islam, tidak terdapat formulasi yang jelas tentang qarinah

qanuniyah ini, demikian juga halnya penjelasan-penjelasan oleh para Fuqaha',

namun demikian Muhammad Salam Madkur dalam bukunya al-Qadha fi al-Islam,

menyatakan tanpa menjelaskannya dengan rinci bahwa qarinah qanuniyah ini ada

17
Ibid., h. 74
18
Muhammad Salam Madkur, op. cit.,
19
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta, al-
Hikmah, 2000), h. 147
102

dua macam dan keduanya terdapat dalam Undang-undang Perdata Mesir, yaitu

qarinah basithah (‫ )بسيطة‬dan qarinah qathi'ah (‫)قاطعة‬.20

Selain itu qarinah qanuniyah ini disebut juga qarinah syar'iyah, yaitu:21

‫القرائن الىت يس تخر هجا الشارع من واقعة معروفة لوا قعة غري معروفة‬
Qarinah-qarinah yang dikeluarkan (ditanggapi) syara' dari peristiwa yang
yang terkenal untuk peristiwa yang tidak terkenal.
Dengan diinduksi dari beberapa dalil-dalil nash dan mencermati beberapa

pendapat ulama (Fuqaha’),22 maka qarinah qanuniyah atau persangkaan Undang-

undang (legal presumption), dapat dibedakan dua macam yaitu:

a. Qarinah qanuniyah yang tidak dapat dibantah

Qarinah qanuniyah yang tidak dapat dibantah merupakan qarinah yang

kuat data dan faktanya serta dapat dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang

pengadilan.

Qarinah qanuniyah seperti ini dapat diketahui bahwa, apabila ditemukan

ketentuan Undang-undang yang memuat larangan atau ancaman pembatalan

maka dalam ketentuan Undang-undang tersebut dinyatakan terkandung

persangkaan menurut Undang-undang.23

20
Muhammad Salam Madkur, op. cit.,
21
Teungku Muhammad Hasbi Ashshiddieqy, op. cit., h. 159
22
Persoalan ini dapat dicermati dari berbagai dimensi, termasuk metode penemuan hukum, dengan
menggunakan metode Qiyas yang berdasarkan pertimbangan paling mendekatkan pada Allah SWT dan
yang paling mendekati kebenaran, baca Syams al-Din al-Sarakhsi, al-Mabsuth (Beirut, Dar al-Ma'rifah,
tt), juzz 15, h. 63
23
Sudono al-Qudsi, Urgensi Alat Bukti Persangkaan Dalam Perkara Perdata, dalam Buletin Berkala
Hukum dan Peradilan, (Jakarta Dirbinbapera Islam-Dirbenbaga Islam, 2001) Nomor 12, h. 6
103

Ada beberapa cara mengetahui sifat persangkaan yang tidak dapat

dibantah, yaitu:24

- Apabila dalam ketentuan suatu pasal Undang-undang terdapat ancaman,

seperti batal, batal demi hukum atau dapat dibatalkan.

- Atau dalam ketentuan pasal Undang-undang terdapat larangan, seperti

larangan berpoligami tanpa persetujuan isteri pertama dan tanpa izin

pengadilan.25

Dalam hukum perdata yang berlaku di Indonesia, contoh-contoh

persangkaan Undang-undang yang tidak dapat dibantah dapat dilihat dalam pasal

1152 ayat (2), 1168, 1180, 1320, 1338, 1426, dan pasal 1471 KUH Perdata.26

Salah satu pasal di atas adalah 1320 menyebutkan untuk sahnya

persetujuan diperlukan empat syarat, yaitu: kesepakatan (agreement). kecakapan

(capacity), mengenai suatu hal tertentu (bepalde onderwerp), dan suatu sebab

yang halal (geoorloofde oorzak).27 Kalau dari salah satu syarat tidak terpenuhi

maka Undang-undang menganggap persetujuan tersebut batal demi hukum,

sehingga persangkaan yang demikian tidak dapat dibantah.

Dalam hukum perkawinan (Islam) di Indonesia,28 banyak ditemukan dapat

dibantah, seperti:

24
M. Yahya Harahap, op. cit, h. 67
25
Lihat Pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 serta pasal 55, 56, 57 dan 58 Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia.
26
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit, h. 307
27
Ibid., h. 283
28
Hukum perkawinan yang sesuai dengan hukum Islam di Indonesia, direfleksi dalam UU No. 1/1974
tentang Perkawinan
104

- Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974,29 perkawinan adalah

sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu, dalam hal ini Undang-undang memberikan persangkaan

hukum yang tidak dapat dibantah. Apabila perkawinan tidak dilakukan

menurut hukum agama maka perkawinan dianggap tidak sah, tidak pernah

ada (never existed) dan tidak mempunyai akibat hukum terhadap para pihak

dan anak yang lahir daripadanya.

- Pasal 6 ayat (1) Undang-undang nomor 1 tahun 1974,30 perkawinan harus

didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Oleh karena itu maka

undang-undang memberi persangkaan hukum yang tidak dapat dibantah,

bahwa pabila terjadi perkawinan paksa dengan sendirinya batal demi hukum

atau paling tidak dapat dibatalkan, ketentuan ini sama dengan apa yang

diatur dalam pasal 6 ayat (3) undang-undang nomor 1 tahun 1974,31 yaitu

tentang adanya izin orang tua.

- Pasal 8 undang-undang nomor 1 tahun 1974,32 perkawinan dilarang antara

dua orang yang:

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau pun ke

atas.

29
Dirbinbapera Islam, Himpunan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta,
Dirbinbapera Islam-Departemen Agama RI, 2001), h. 131
30
Ibid., h. 131
31
Ibid.,
32
Ibid., h. 134
105

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, dan seterusnya

sampai kepada huruf F dalam pasal tersebut.

Pokok-pokok pikiran dalam pasal ini sejalan dengan hukum Islam

dikarenakan berhubungan dan berdasarkan Nash al-Qur'an.33 Selain itu,

ada juga beberapa contoh qarinah qanuniyah yang tidak dapat dibantah,

seperti firman Allah SWT dalam surah an-Nisa' ayat 23:

}٢٣:‫ {النسأ‬. . . ‫ وأهما تمك الالىت ارضعنمك واخو اتمك من الرضاعة‬. . .


“(Diharamkan bagimu) ibu-ibumu yang menyusukanmu dan saudara-
saudaramu sepersusuan." (QS. an-Nisa': 23).

Berdasarkan ayat ini, para fuqaha berpendapat bahwa setiap perempuan yang

haram dikawini karena hubungan kerabat, diharamkan pula karena

sepersusuan.34

Dengan demikian, larangan ayat dan pasal-pasal dari undang-undang di atas

mengatur larangan perkawinan, apabila dilanggar salah satu larangan yang

disebut secara rinci dalam ayat dan dalam pasal 8 tersebut. Undang-undang

sendiri telah memberikan persangkaan hukum, bahwa perkawinan batal demi

hukum atau dapat dibatalkan.

33
Berdasarkan surat An-Nisa' ayat 23, al-Syirazi mengelompokkannya kepada orangorang yang haram
dikawini karena hubungan nasab, lihat Abi Ishaq bin Ali bin Yusuf Fairuzabadi asy-Syirazi, al-Muhazzab
Fi Fiqhi al-Imam al-Syafi'i, (Beirut Dar al-Fikr, 1994), h. 59
34
Lihat Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Fairuzabadi asy-Syirazi, op.cit., h. 61
106

Jadi persangkaan hukum yang dapat ditarik dalam hal ini tidak dapat dibantah,

demikian juga masih banyak ayat serta pasal dari undang-undang perkawinan

yang memberi gambaran garinah qanuniyah yang tidak dapat dibantah seperti:

pasal 22,26,28,35,36 ayat (1) UU No. 1/1974.35

b. Qarinah qanuniyah yang dapat dibantah

Tidak ditemukan definisi yang jelas untuk membatasi qarinah

qanuniyah yang dapat dibantah. Akan tetapi terdapat metode mengetahui sifat

qarinah qanuniyah yang dapat dibantah, yaitu:

1. Apabila pasal-pasal dari Undang-undang tersebut terdapat perkataan

kecuali atau kecuali dapat dibuktikaan sebaliknya.

2. Terdapat perkataan; melainkan atau melainkan dapat dibuktikan

sebaliknya.36

Dengan demikian dapat di istilahkan bahwa qarinah qanuniyah atau

persangkaan undang-undang yang dapat dibantah adalah qarinah yang

memakai kata-kata kecuali atau melainkan yang dapat dibuktikan sebaliknya

sehingga mengandung kemungkinan-kemungkinan lain.

Memperhatikan perkataan kecualli dapat dibuktikannya, berarti

perlawanan terhadap persangkaan tersebut adalah dengan mempergunakan

pembuktian apa yang telah disangkakan undang-undang sebagai kebenaran

35
Lihat Dirbinbapera Islam, op.cit., h. 137-140
36
Lihat Ahmad Mujahidin, Eksistensi Alat Bukti Persangkaan Sebagai Intermediary Pelaksanaan
Pembuktian dalam Bulletin Berkala Hukum dan Peradilan (Jakarta, Dirbinbapera Islam, 2001), No. 12,
h. 19
107

dapat dilawan dan dilumpuhkan dengan pembuktian bahwa apa yang

disangkakan undang-undang adalah tidak benar.

Terdapat beberapa contoh yang perlu dicermati dalam persangkaan

undang-undang yang dapat dibantah ini, di antaranya: dalam kasus orang

yang makan dan minum di bulan Ramadhan ketika ia sedang berpuasa, dapat

dipersangkakan bahwa ia tidak berpuasa atau setidak-tidaknya puasanya

sudah batal. Akan tetapi persangkaan ini dapat dibantah dengan

pengecualian yaitu apabila ia lupa atau dapat dibuktikan sebaliknya. Selain

itu menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal karena ia telah

memasukkan sesuatu ke dalam kerongkongannya dan tidak menahan

puasanya sampai berbuka. Akan tetapi, hukum ini dikecualikan oleh hadits

Rasulullah Saw, yang menyatakan:37

‫ من‬:‫ قال رسول هللا صىل هللا علهيو سمل‬:‫عن أىب هريرة ريض هللا عنه قال‬
}‫ألك أورشب انس يافال يفطر فامنا هو رزقة هللا {رواه الرتمذى‬
Dari Abi Hurairah r.a. berkata, Rasulullah Saw. bersabda : "Siapa
yang makan atau minum karena lupa tidak batal puasanya, karena
hal itu merupakan rezeki yang diturunkan Allah kepadanya". (HR.
al-Tirmidzi)

Selanjutnya, dalam kasus ini yang perlu dibuktikan atau

dipertanyakan adalah niatnya, apakah betul-betul tidak sengaja ataukah

sudah diniatkan terlebih dahulu sehingga “lupa” hanya sebatas alibi, hal ini

37
Abu Isa Muhammad al-Tirmizi, Jami' al-Tirmizi, (Kairo, Dar asy-Sya'bi, t.t.), h. 371
108

menjadi signifikan karena dihubungkan dengan niat, berdasarkan kaidah

fiqh, yaitu:38

‫المور مبقا صدها‬


“Segala urusan tergantung pada niat"

Contoh lain dari qarinah qanuniyah yang dapat dibantah adalah dalam

kasus wakaf lahan pertanian. Menurut ketentuan qiyas jaliy (qiyas yang nyata)

wakaf ini sama dengan jual beli, karena pemilik lahan telah menggugurkan hak

miliknya dengan memindahtangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang

lain untuk melewati tanah tersebut atau hak orang lain untuk mengalirkan air

ke lahan pertaniannya melalui tanah tersebut, tidak termasuk dalam akad wakaf

itu, kecuali jika dinyatakan dalam akad.

Akan tetapi menurut qiyas al-khafi'y (qiyas yang tersembunyi) wakaf

itu sama dengan sewa menyewa, karena maksud dari wakaf adalah

memanfaatkan lahan pertanian yang diwakafkan. Dengan sifat ini, maka

seluruh hak orang lain yang telah ada dilahan pertanian tersebut, seperti hak

melewati lahan pertanian itu atau hak mengalirkan air di atas lahan pertanian

38
Jalaludin Abdurrahman Bin Abi Bakar al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair Fi al-furu' (Beirut Dar al-
Fikri, 1995), h. 7. Dasar kaedah ini adalah al-Qur'an antara lain seperti tercantum dalam al-Qur'an surat
Ali-Imran ayat 145, surat al-Bayyinah ayat 5 dan surat al-Zumara ayat 2 serta Hadis Rasulullah Saw:
(Sesungguhnya segala amalan tergantung niat). Meskipun menurut sebagian ahli hadis, hadits ini
tergolong masyhur tetapi menurut Abdullah bin Sa'id hadis ini di tahrijoleh Imam yang enam, selain itu
hadis ini juga didukung oleh hadis yang lain. Terlepas dari hal itu, permasalahan niat bisa diperiksa di
depan pengadilan jika dihubungkan dengan perbuatan sengaja atau tidak sengaja. Karena hakim hanya
diperintahkan untuk mengadili perkara yang Zahir saja. Lihat Syams al-Din al-Sarakhsi, op.cit., h. 65
109

tersebut, termasuk ke dalam akad wakaf, sekalipun tidak dijelaskan dalam

akad.39

Dalam hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, persangkaan

menurut undang-undang yang dapat dibatah adalah halhal yang disebut pada

angka 2 pasal 1916 Kitab undang-undang Hukum Perdata,40 hal-hal menurut

undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan hukum

disimpulkan dari keadaan tertentu.

Untuk memperjelas hal tersebut di atas berikut contoh yang terdapat

dalam pasal 633 KUH Perdata,41 bahwa setiap tembok yang dipakai sebagai

tembok batas antara bangunan, tanah, tanaman dan kebun milik seseorang dan

orang lain harus dianggap sebagai tembok batas milik bersama.

Dalam ketentuan tersebut ditegaskan anggapan hukum, tembok yang

terletak pada perbatasan antara dua orang atau lebih dari pemilik hak yang

berbatasan dengan tembok itu dianggap milik bersama, akan tetapi pada kalimat

berikutnya anggapan hukum tersebut dapat di lawan atau dilumpuhkan.42 Dasar

untuk melawannya ditegaskan dalam kalimat yang berbunyi kecuali ada sesuatu

atas hak atau tanda-tanda yang menunjukkan sebaliknya.

39
Jika seorang hakim atau mujtahid mengambil hukum qiyas al-Khafiy dengan meninggalkan qiyas jaliy,
maka ia disebut berdalil dengan istihsan, lihat al-Sarakhsi, Ushul al-Sarakhsi, (Beirut, Dar al-Kitab al-
l'Imiyah, 1993), h. 207
40
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op.cit., h. 405
41
Ibid., h. 154
42
Ahmad Mujahidin, op.cit.,
110

Pasal-pasal lainnya yang juga terdapat anggapan hukum yang dapat

dilawan, seperti pasal 658 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.43 Tiap-tiap

parit atau selokan antara dua pekarangan harus dianggap sebagai milik bersama,

kecuali terbukti sebaliknya. Selanjutnya juga terdapat dalam pasal 1394 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata.44 Pembayaran sewa menyewa rumah, tanah,

tunjangan nafkah, bunga uang pinjaman dan pada umumnya segala hal yang

harus di bayar tiap tahun atau tiap waktu tertentu. Maka dengan adanya tiga

surat tanda pembayaran angsuran berturut-turut, terbitlah suatu persangkaan

bahwa angsuran-angsuran yang sebelumnya telah lunas dibayar melainkan jika

dibuktikan sebaliknya.

Terdapat beberapa solusi untuk melawan alat bukti persangkaan

undang-undang yang dapat dibantah, yaitu:45

- Dengan mempergunakan pembuktian apa yang telah disangkakan

undang-undang sebagai kebenaran, dapat dilawan dan dilumpuhkan

dengan pembuktian bahwa apa yang disangkakan undang-undang adalah

tidak benar.

- Oleh karena perlawanan terhadapnya melalui pembuktian, berarti setiap

perlawanan yang ditujukan untuk melumpuhkan suatu persangkaan

menurut undang-undang, harus memperjuangkan alat bukti yang syah.

43
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op.cit., h. 159
44
Ibid., h. 293
45
M. Yahya Harahap, op.cit.,
111

- Dan mengenai penggunaan alat bukti untuk mencapai tujuan itu tidak di

batasi, boleh dipergunakan setiap jenis alat bukti yang disebut dalam

pasal 164 HIR dan 289 RBg.46

Dengan demikian nilai kekuatan persangkaan undang-undang adalah

sempurna (volledig), mengikat (binden) dan menentukan (beslissen), karenanya

hakim terikat untuk menerima kebenaran persangkaan undang-undang kecuali

dapat dibuktikan sebaliknya.

Selanjutnya dalam hal ini penerapan bukti persangkaan diserahkan

penilaiannya kepada hakim yang mengadili perkara tersebut. hakim sebagai

pihak ketiga yang tidak memihak tentu akan memberikan pertimbangan dengan

hati nuraninya,47 dengan patokan bahwa hukum formil tidak boleh

mengorbankan hukum materil Islam, karena hukum formil semata-mata

mengabdi untuk kepentingan hukum materil.

C. Kedudukan Alat Bukti Qarinah

Menurut Muhammad Salam Madzkur dalam bukunya al-Qadha Fi al Islam

bahwa eksistensi qarinah sebagai alat bukti adalah masih diperselisihkan oleh

fuqaha',48 ia menambahkan bahwa undang-undang yang khusus menyangkut

46
K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBg/HIR, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990), h. 73
47
Imron Rosyadi, Persangkaan (vermoeden Dalam Kaitannya Sebagai Alat Bukti dalam Bulletin Berkala
Hukum dan Peradilan, op.cit., h. 16
48
Muhammad Salam Madkur, op.cit., h. 93
112

Mahkamah Syar'iyah tidak menganggap qarinah sebagai alat bukti yang dapat

dijadikan dasar putusan.49

Selain alasan di atas, tidak ditemukan argumentasi yang mendukung

pendapat bahwa para fuqaha berbeda pendapat tentang eksistensi qarinah sebagai

alat bukti. Selanjutnya Muhammad Salam Madkur banyak mendukung alasan-

alasan tentang kekuatan alat bukti qarinah yang bisa dijadikan sebagai dasar

putusan. Menurut undang-undang No. 78 tahun 1931 (undang-undang Mesir) telah

menetapkan qarinah sebagai alat bukti yang berpengaruh terhadap putusan

pengadilan dan telah dapat melindungi banyak hak-hak dan menjauhkan peradilan

dari ruh kebekuan.50

Akan tetapi dari beberapa referensi lainnya dapat dipahami bahwa

perselisihan para fuqaha dalam memandang alat bukti qarinah, bukanlah dalam

konteks ada atau tidaknya alat bukti qarinah dalam Islam, namun hanya sebatas

secara tegas atau tidak tegasnya mereka menerima qarinah sebagai alat bukti.

Seperti ulama Madzhab Maliki dan Madzhab Hanbali secara tegas dalam

literatur-literatur fiqh mereka menyebutkan qarinah sebagai alat bukti. Sedangkan

dalam Madzhab lainnya seperti Madzhab Syafi'i dan Madzhab Hanafi meskipun

tidak secara tegas menerimanya namun dalam beberapa kasus fatwa-fatwa fiqh

mereka menunjukkan menerima qarinah sebagai pembuktian. Misalnya, fatwa

tentang harta terpendam yang ditemukan oleh orang Islam, jika terdapat padanya

tanda-tanda yang menunjukkan harta itu adalah kepunyaan orang Islam, maka

49
Ibid.
50
lbid., h. 94
113

qarinah itu sudah dianggap cukup untuk menganggap harta itu sebagai harta

luqatah.51 Adapun jika pada harta itu terdapat tanda-tanda (qarinah) yang

menunjukkan kepunyaan orang kafir Harbi (kafir yang memerangi Islam), maka

dengan itu harta tersebut dapat dianggap sebagai harta rikaz.52

Di samping itu, para ulama juga berbeda pendapat tentang kasus-kasus yang

dapat dibuktikan dengan qarinah, misalnya ulama Hanafiyah, mereka hanya

mempergunakan qarinah sebagai alat bukti dalam bidang hak hamba saja, dan tidak

memakainya dalam bidang qishas dan had,53 dengan alasan untuk kehati-hatian.

Di antara contoh-contoh yang dikemukakan ulama Hanafiyah dan bidang

hak hamba adalah menganggap diam si perawan atau ketawanya merupakan

qarinah mengenai relanya, mengambil barang hibah dan sedekah di hadapan

pemiliknya yang diam saja berarti izin mengambilnya.54 Sedangkan dalam kasus

had dan qishas, ulama Hanafiyah tidak menghukum qishas orang yang memegang

pisau yang didekatnya ada orang yang terbunuh, serta tidak menghukum had

wanita yang kedapatan hamil walaupun tidak punya suami dan tidak mempunyai

tuan.55

Selanjutnya ulama-ulama madzhab Syafi'i, sebagaimana dikemukakan ibn

Qayyim al-Jauziyah, mempergunakan qarinah lebih dari seratus kasus. Sedangkan

51
Yaitu harta tercecer atau hilang dari pemiliknya, oleh karena itu tehadap harta itu diberlakukan
hukum luqatah. Lihat Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Beirut Dar al-Fikr,
1978), jilid III, h. 379
52
Yaitu harta terpendam yang secara sah boleh digunakan langsung oleh pihak yang menemukannya
dengan membayar zakatnya.
53
Mahmoud Syaltout dan Muhammad Ali as-Syais, Muqarranah al-Madzahib fi al-Fiqh, (Beirut, Dar al-
Fikr, 1978), h. 289
54
Ibid.,
55
Ibid., h. 290
114

ulama Malikiyah telah mempergunaan qarinah pada perkara pidana dan perdata.

Adapun ulama Hanabilah merupakan yang paling banyak mempergunakan qarinah

serta membahasnya dalam kitabkitab mereka. Ulama Hanabilah tersebut misalnya,

mempergunakan qarinah dan petunjuk-petunjuk keadaan mengenai tuduhan, maka

dijatuhkan had berdasarkan bau dan muntah sebagaimana telah disepakati oleh para

sahabat, begitu pula dijatuhkannya hukum had terhadap orang yang dituduh

mencuri, apabila barang curian kedapatan padanya.56

Menurut Abdul Karim Zaidan, kebanyakan ulama menerima qarinah

sebagai alat bukti, karena secara nash penerapannya telah dilakukan sejak zaman

al-khulafa al-Rasyidin.57 Pada masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Khatab,

beliau pernah menghukum cambuk/had seorang perempuan yang hamil padahal ia

tidak memiliki suami dan tidak pula berstatus sahaya.58

Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, tidak boleh bagi seorang hakim dan

seorang penguasa menolak yang benar sesudah jelas dan nyata tanda-tandanya

berdasarkan perkataan seseorang. Jika hakim tidak memahami qarinah, berarti

telah banyak menghilangkan hak-hak orang, sedang orang-orang dapat mengetahui

salahnya.59

56
Ibn Qayyim al-Jauziyah, l'lam al-Muwaqqi'in'an Rabb al-'Alamin, (Mesir, Mathlaa'ah Sa'adah, tt), juz
III, h. 20
57
Abdul Karim Zaidan, op.cit., h. 221
58
Ibn Qayyim, op.cit., h. 7. Lihat juga Abdul Kadir Audah, op.cit., h.440. selanjutnya lihat juga pendapat
yang Sama dalam Jalaluddin al-Sayuthy, Muwatho' al-Imam Malik, al-Halaby, (Mesir, Musthafa al-
Baaby 1951), jilid II, h. 168
59
Ibn Qayyim al-Jauziyah, op. cit.,
115

Sebagian ahli hukum di Indonesia seperti R. Soebekti berpendapat bahwa

hakim tidak boleh menjatuhkan putusan hanya berdasarkan persangkaaan

(qarinah) belaka. Menurutnya, walaupun undang-undang tidak memberikan

keterangan secara jelas, maka larangan hakim menjatuhkan putusan dengan

berdasarkan keterangan satu saksi harus juga dianggap berlaku untuk persangkaan,

dalam arti bahwa yang dilarang adalah mengabulkan gugatan kalau dalam

keseluruhannya hanya terdapat satu persangkaan saja.60 Maka dari itu, kalau

persangkaan (qarinah) ini dinamakan alat bukti, adalah kurang tepat karena

persangkaan (qarinah) itu sendiri artinya belum terbukti.61

Menurut R. Tresna, bahwa bukti persangkaan (qarinah) dapat digunakan

untuk menambah kekuatan suatu bukti yang langsung, tapi kurang lengkap.62 Oleh

karenanya, jika dalam pemeriksaan hanya diajukan seorang saksi, menurut beliau,

hakim boleh menjatuhkan putusan berdasarkan seorang saksi ditambah dengan

persangkaan hakim.

Dengan demikian dalam hukum acara di Indonesia, bukti persangkaan

masih diperselisihkan oleh para ahli hukum tentang alat bukti atau bukan. Sebagian

mereka mengatakan bahwa persangkaan itu bukan alat bukti, tetapi merupakan

kesimpulan belaka, dalam hal ini yang dipakai sebagai alat bukti sebenarnya bukan

60
R. Subekti, op.cit., h. 45
61
Ibid.,
62
R. Tresna, op.cit., h. 152
116

persangkaan itu, melainkan alat-alat bukti lain, misalnya persaksian atau surat-surat

pengakuan satu pihak.63

Sebagian lagi mengatakan, bahwa persangkaan (qarinah) itu adalah alat

bukti yang bersifat tidak langsung, misalnya saja pembuktian dari pada ketidak

hadiran seseorang pada suatu waktu di tempat tertentu dengan membuktikan

kejadiannya pada waktu yang sama di tempat lain. Oleh sebab itu, maka setiap alat

bukti dapat menjadi persangkaan. Bahkan hakim dapat menggunakan peristiwa

prosesuil maupun peristiwa notoir sebagai persangkaan.64 Nampaknya pendapat

yang terakhir ini didasarkan pada 66 pasal 164 HIR,65 dan pasal 1866 KUH

Perdata,66 yang menyatakan dengan tegas bahwa bukti persangkaan (qarinah)

adalah alat bukti.

Dengan menganalisa beberapa penjelasan di atas, penulis berpendapat

bahwa kedudukan qarinah sebagai alat bukti pada prinsipnya adalah kuat dan dapat

diterima, namun nilai kekuatan qarinah sebagai alat bukti tergantung dari jenis dan

bentuk qarinah itu sendiri. Penulis dapat menganalogikan qarinah dengan alat

bukti lainnya seperti saksi, saksi itu adalah alat bukti yang diterima tetapi pada

perkembangan selanjutnya dan penerapannya secara teknis, ada saksi yang

diterima, saksi yang ditolak ataupun saksi yang tidak boleh di dengar kesaksiannya,

demikian juga halnya dengan alat bukti qarinah.

63
R. Wiryono Projodikuro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung, sumur, 1992), h. 116. Lihat
juga R. Soebekti, Ibid.
64
Sudikno Mertokusumo, op.cit., peristiwa prosesuil merupakan peristiwa yang terjadi dalam
persidangan, sedangkan peristiwa notoir adalah peristiwa atau fakta yang dianggap diketahui umum.
65
K. Wanjik Saleh, op.cit.,
66
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op.cit., h. 397
117

Berhubung dengan persoalan di atas, maka sangat urgen untuk melihat

kedudukan pada masing-masing jenis dari alat bukti qarinah, yaitu:

1. Kedudukan alat bukti qarinah qadha'iyah

Nilai kekuatan pembuktian qarinah qadha'iyah (persangkaan hakim)

adalah bebas (vrij bewijskracht), oleh karena kekuatan pembuktian qarinah

qadha'iyah (persangkaan hakim) bersifat bebas, maka satu persangkaan saja tidak

cukup, paling tidak harus ada dua persangkaan agar terpenuhi batas minimal

pembuktian, atau paling tidak satu persangkaan ditambah dengan salah satu alat

bukti yang lain, dengan demikian kalau yang menjadi alat bukti hanya terdiri dari

persangkaan, maka paling tidak harus ada dua qarinah.

Adapun cara memperhitungkan qarinah yang memenuhi syarat materil

adalah memperhitungkan qarinah-qarinah yang sah menurut hukum, dimana

antara qarinah yang satu dengan yang lain terdapat kecocokan dan persesuaian,

dari satu kenyataan fakta yang terbukti di persidangan ditarik satu qarinah,

kemudian dari fakta-fakta atau dari berbagai fakta lain yang ditemukan di

persidangan yang ternyata antara yang satu dengan yang lainnya terdapat saling

bersesuaian, maka di tarik pula satu lagi qarinah lain.

Hakim tidak boleh memperhitungkan qarinah yang bersumber dari fakta-

fakta yang saling berlawanan, qarinah yang demikian dianggap saling bertentangan

satu sama lain karena itu dianggap saling berdiri sendiri tidak dapat dijumlah

menjadi dua alat bukti sehingga tidak tercapai batas minimal pembuktian, maka

terhadap persangkaan-persangkaan seperti itu berlaku asas "satu persangkaan


118

bukan persangkaan”.67 Akan tetapi hakim berwenang merumuskan qarinan-

qarinah agar memenuhi kebenaran formil,68 dasarnya adalah dari data yang sudah

diketahui dan telah terbukti dalam persidangan, lalu hakim mengungkap data yang

belum diketahui dengan jalan menarik kesimpulan dari data yang sudah terbukti

tadi,69 yang keseluruhannya adalah untuk memenuhi kebenaran materil.70

Supaya qarinah qadha'iyah atau persangkaan hakim memenuhi kebenaran

materil, harus ditempuh dengan cara:

a. Memperhitungkan qarinah (persangkaan-persangkaan) yang sah menurut

hukum. Antara qarinah yang satu dengan yang lain harus terjalin saling

bersesuaian sehingga akan didapatkan dari satu kenyataan fakta yang sudah

terbukti di persidangan di tarik satu persangkaan (qarinah). Kemudian dari

fakta atau dari berbagai fakta lain yang ditemukan di persidangan yang ternyata

antara satu dengan yang lain terdapat saling persesuaian di tarik pula jadi satu

qarinah lain.

b. Hakim tidak boleh memperhitungkan qarinah yang bersumber dari fakta-fakta

yang saling berlawanan satu sama lain, karena yang demikian dianggap saling

berdiri sendiri-sendiri sehingga tidak dapat dijumlah menjadi dua alat bukti

yang berakibat tidak tercapai batas minimal pembuktian. Maka terhadap

67
Ahmad Mujahidin, op.cit., h. 22
68
Kebenaran formil artinya kebenaran yang hanya didasarkan atas alat-alat bukti yang diajukan oleh
para pihak dimuka pengadilan, tanpa memperhatikan apakah hakim sudah yakin atau belum.
69
Sudono al-Qudsi, op.cit., h. 2
70
Kebenaran Materil adalah kebenaran yang diperoleh disamping didasarkan atas alat-alat bukti
dimuka persidangan, juga didasarkan atas keyakinan hakim.
119

qarinah-qarinah yang seperti itu berlaku asas satu persangkaan bukan

persangkaan.71

Menurut penulis, selain hal-hal yang telah dijelaskan di atas, ada dua unsur

yang membuat kedudukan alat bukti qarinah qadha'iyah menjadi lebih kuat, yaitu:

a. Keyakinan hakim

Dalam kontek ini keyakinan hakim berarti suatu ketetapan hati atau

keputusan hakim yang didasarkan atas bukti-bukti qarinah, namun tidak semua

alat bukti akan menimbulkan keyakinan.

Akan tetapi jika alat bukti qarinah sudah menimbulkan keyakinan maka

hal itu merupakan dasar yang kuat untuk mengambil suatu keputusan, hal ini

bisa dihubungkan dengan beberapa kaedah fiqh, di antaranya:72

‫اليقني ال يزال ابالشك‬


“Sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihilangkan dengan keraguan".

Para ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan keyakinan

adalah:73

‫هو ما اكن اثبتا ابلنظر او ادلليل‬


“Sesuatu yang menjadi tetap dengan adanya penglihatan atau dengan
adanya dalil"

71
M. Yahya Harahap, op. cit., h. 77
72
Lihat Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair Fi al-Furu' (Beirut
Dar al-Fikr, 1995) h. 38
73
Lihat Abdul Mujib, al-Qawa'idul Fiqh'iyah 73, (Yogyakarta, Nur cahaya, 1980), h. 25
120

Ukuran yakin haruslah disertai dengan bukti atas keterangan yang

ditetapkan oleh panca-indera, dengan demikian jika alat bukti qarinah

menimbulkan keyakinan pada hakim bahwa telah terjadinya suatu peristiwa.

Maka alat bukti itu akan semakin kuat karena sudah ditambah dengan kekuatan

lainnya yaitu keyakinan hakim.

b. Ijtihad hakim

Kedudukan qarinah qadha'iyah semakin kuat jika dihubungkan dengan

ijtihad hakim. Oleh sebab itu seorang hakim disyaratkan haruslah orang yang

cerdas serta seorang mujtahid.74 Maka orang yang bodoh serta tidak mengetahui

hukum-hukum syari'at tidak boleh diangkat menjadi hakim.

Posisi hakim sebagai seorang Mujtahid merupakan legitimasi kepada

hakim untuk menarik kesimpulan dari persangkaan-persangkaannya secara

bebas, disamping itu ijtihad seseorang tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad

mujtahid lainnya. Selain itu Nabi Muhammad Saw memberi dukungan kepada

hakim untuk berijtihad, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:75

‫ اذا حمك احلا مك‬:‫عن معر وبن العاص أنه مسع رسول هللا صىل هللا عليه وسمل قال‬
}‫فا جهتد مت أصاب فهل اجر ان واذا حمك اجهتد مث أخطأ فهل اجر {رواه مسمل‬
“Dari Amru ibn al-Ash bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda:
Apabila seorang hakim berijtihad lalu ijtihadnya benar maka dia dapat
dua pahala dan jika ijtihadnya salah maka ia dapat satu pahala (HR.
Muslim)”.

74
Lihat Syamsuddin Muhammad bin Abil Abbas Ahmad Bin Humazah Bin Syihabuddin al-Ramli, Nihayah
al-Muhtaj. (Beirut, Dar al-Ihya, 1004), juz VIII, h. 240.
75
Zakiyuddin Abdul Azhim al-Munziriy, Mukhtasyar Shahih Muslim, (Riyad, Dar alSalam, 1996), h. 453
121

Pada perkembangan selanjutnya metode ijtihad hakim diperluas

menjadi prinsip bahwa hakim selain menjalankan undang-undang dan hukum

juga sebagai pembuat undang-undang dan penemu hukum.76 Keputusan-

keputusan pengadilan dan doktrin hukum selalu dapat diperkembangkan untuk

menunjang perkembangan atau hasil-hasil proses hukum. Suatu putusan

pengadilan biasanya dibuat atas dasar konsepsi-konsepsi hakim yang

bersangkutan tentang keadilan dan kemudian dirasionalkan di dalam suatu

pendapat tertulis.

2. Kedudukan alat bukti qarinah qanuniyah

Qarinah qanuniyah atau dalam istilah hukum Indonesia disebut

persangkaan undang-undang, kedudukan dan nilai kekuatan alat buktinya jauh

berbeda dengan qarinah qadah'iyah atau persangkaan hakim. Nilai kekuatan alat

bukti qarinah qadha'iyah adalah bebas, sedangkan nilai kekuatan alat bukti qarinah

qanuniyah adalah sempurna, mengikat dan menentukan.

Dengan demikian hakim terikat untuk menerima kebenaran qarinah

qanuniyah, tidak dapat dibantah dan menjadikan qarinah qanuniyah menjadi dasar

pertimbangan dalam menjatuhkan putusan. Namun tidak ditemukan formulasi yang

jelas dalam literatur-literatur fiqh tentang qarinah qanuniyah ini, demikian juga

76
Selain dalam sistem hukum Islam, prinsip ini juga dapat ditemukan dalam aliran Realisme Hukum
yang diprakarsai oleh Karl Liwellyn (1893-1962), Jerone frank (1889-1957) dan Justice Oliver Nendell
Holines 61841-1935) ketiga-tiganya orang Amerika. Mereka terkenal dengan konsep yang radikal
tentang proses peradilan dengan menyatakan bahwa hakim-hakim tidak hanya menemukan hukum,
akan tetapi membentuk hukum. Lihat Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2001), h. 38
122

halnya tidak pula terdapat dalam yurisprudensi hukum Islam secara empiris suatu

putusan yang berdasarkan qarinah qanuniyah. Walaupun demikian persoalan ini

bukanlah suatu hal yang menandakan lemahnya kedudukan qarinah qanuniyah

dalam hukum Islam.

Akan tetapi, menurut penulis terjadinya permasalahan-permasalahan ini

karena beberapa hal:

a. Peradilan yang sangat sederhana.

Dalam konteks Tasyri' Ilahiyah yang bersumberkan al-Qur'an, hukum Islam

merupakan hukum yang sempurna.77 Namun hukum Islam dalam konteks Tasyri'

Qada'i (hukum positif) selalu berproses dari waktu ke waktu mulai dari era Nabi

Muhammad Saw, Khalifah al-Rasyidin bahkan sampai saat ini, sehingga hukum

Islam menjadi hukum yang dinamis.

Oleh sebab itu, peradilan islam dan segala hal yang berhubungan dengan

institusi itu tidak langsung lengkap secara sempurna,78 termasuk dalam hal hukum

acara khususnya alat bukti qarinah. Karena itu alat bukti qarinah qanuniyah belum

tersusun secara sistematis dalam teori-teorinya sehingga tidak ditemukan pula

yurisprudensinya.

b. Banyaknya masalah-masalah Khilafiah.

77
Kesempurnaan hukum Islam yang dipresentasikan oleh al-Qur'an yang juga sebagai misi kenabian
ditegaskan oleh Allah SWT dalam al-Qur'an surat al-Maidah ayat 3.
78
Pada masa Rasulullah SAW kekuasaan peradilan belum terpisah dari kekuasaan umum pemerintahan
Lihat Atiyah Alustana Musyrifah al-Qadha' fi al-Islam, (tt, tp.) h.90 pada masa sahabat dan Bani
Umayyah keadaan peradilan tidak jauh berbeda dengan masa Nabi, baca Ahmad Syalaby, Tasyri’ wa
al-Qadha’ al-Fikr al-Islam (Kairo, Maktabah al-Nandah al-Misriyah, 1969), h. 308. Selanjutnya,
peradilan pada Masa Turki Usmani mulai berkembang dan diataur secara sistematis, lihat Su'ud Ibn Ali
Duraib, al-Tanzhim al-Qadha'l fi Mamlakah al-Arabiyah al-Su'udiyah (Riyad, Maktab al-Wazir, 1983), h.
283
123

Banyaknya masalah-masalah Khilafiah atau perbedaan pendapat di antara

para ulama menyebabkan sulitnya tercipta satu kesatuan hukum ataupun undang-

undang yang berlaku di depan pengadilan, tentu saja dalam institusi peradilan hal

ini merupakan suatu kelemahan karena dengan demikian bisa saja terjadi dalam

kasus yang sama, dan tempat yang sama terdapat putusan yang berbeda, sehingga

tidak terciptanya kepastian hukum.

Selain itu, perbedaan pendapat tersebut menimbulkan pudarnya sistem

hukum acara yang permanen. Sehingga para hakim mempunyai pandangan yang

berbeda pada satu alat bukti. Contoh, hakim-hakim yang bermazhab Syafi'i

menganggap bahwa wakaf lahan pertanian itu adalah sama dengan jual beli karena

mereka memegang qiyas (qiyas jaliy), sehingga dalam hal ini terdapat prinsip-

prinsip qarinah undang-undang yang dapat dibantah.

Sedangkan hakim-hakim yang bermazhab Hanafi berpendapat bahwa

wakaf lahan pertanian itu sama dengan sewa menyewa.79 Sehingga dalam hal ini

terdapat prinsip-prinsip qarinah undang-undang yang tidak dapat dibantah.

Dengan demikian, sulit merumuskan qarinah qanuniyah atau persangkaan

undang-undang secara sistematis dalam hukum Islam, akan tetapi qarinah

qanuniyah jelas ada dan mempunyai kedudukan yang kuat dalam perspektif hukum

Islam.

79
Karena mereka berpegang dengan istihsan, lihat al-Sarakhsi, op. cit.,
124

c. Penerapan bahasa atau istilah.

Menurut penulis, pada prinsipnya akan terjadi perubahan istilah dari

qarinah qadha'iyah menjadi qarinah qanuniyah pada alat bukti qarinah yang

diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw. Misalnya, ketika Nabi menetapkan suatu

putusan berdasarkan qarinah atas usaha dan ijtihad beliau sebagai hakim, maka

qarinah demikian dapat dinamakan dengan qarinah qadha'iyah karena posisi Nabi

sebagai hakim.

Akan tetapi, setelah putusan itu mendapat ketetapan dan kepastian hukum

dari Nabi sendiri serta telah dilakukan eksekusi, selanjutnya hasil dari putusan itu

berubah kedudukannya menjadi qarinah qanuniyah karena posisi Nabi sebagai

salah satu sumber tasyri', dan sunnah Nabi itu harus menjadi rujukan oleh para

hakim dalam mempertimbangkan putusannya.

Berdasarkan beberapa hal di atas, dapat ditegaskan bahwa kedudukan

qarinah qanuniyah cukup kuat dalam perspektif hukum Islam, walaupun formatnya

belum diatur secara jelas dan sistematis, tetapi ada dalam penerapan dan tata hukum

Islam. Untuk memperkuat pernyataan ini ada beberapa contoh yang perlu

dicermati, diantaranya Sabda Rasulullah Saw:80

}‫ قال رسول هللا صىل هللا عليه وسمل الودل للفراش {رواه البخارى‬:‫عن اىب هريرة قال‬

“Dari Abi Hurairah, Rasulullah Saw, bersabda: Anak itu haknya shahibul
firasy (suami)” (HR. Bukhari)

80
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Jami' a-Sahih, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), juz V, h. 54
125

Zahir hadis tersebut menyatakan bahwa anak dihubungkan nasabnya

kepada ayah dalam suatu perkawinan yang sah, oleh karenanya firasy yang

dimaksud oleh para ulama memiliki pengertian bahwa penetapan nasab dengan

firasy adalah penetapan nasab berdasarkan perkawinan. Dan perkawinan dimaksud

adalah yang sah ataupun perkawinan yang fasid.81

Menurut penulis, berdasarkan batasan qarinah qanuniyah yaitu qarinah

yang berdasarkan suatu ketentuan nash atau undang-undang, dihubungkan dengan

perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu, maka hadis di atas dapat

dimasukkan sebagai salah satu contoh qarinah qanuniyah. Oleh karena itu dapat di

tarik suatu qarinah dari hadis itu yakni, bahwa suami dianggap sebagai ayah dari

anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah.

Kedudukan qarinah dalam hukum Islam yang berlaku di Indonesia,

diimplementasikan lewat Peradilan Agama yang memakai alat bukti qarinah

(persangkaan) sebagai salah satu alat bukti. Akan tetapi penggunaan alat bukti

qarinah tersebut didasarkan pada pasal 164 HIR,82 hal ini dapat dipahami bahwa

hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama adalah hukum acara yang berlaku

di peradilan umum, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 54 Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989, yaitu: “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam

81
Menurut Jumhur, tetapnya firasy dengan adanya kemungkinan wata' pada perkawinan yang sah
ataupun fasid. Abu Hanifah berpendapat, tetapnya firasy hanya semata-mata dengan terjadinya aqad.
Sedangkan Ibn Taimiyah, menggabungkan kedua pendapat tersebut, yaitu tetapnya firasy adalah
dengan dukhul hakiki dan akad nikah. Lihat Ali Hasbullah, al-Furqah al-Zaujain, (Beirut Dar al-Fikri,tt.)
h. 228. Agaknya hadis dari Abi Hurairah dan pemikiran para ulama di atas merupakan referensi dari
qarinah qanuniyah pada UU No. 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan
sepanjang perkawinan yang sah suami dianggap sebagai ayah dari anak-anaknya, lihat Abdul Manan,
op.cit.
82
K. Wantjik Saleh, op.cit., h. 71
126

lingkungan peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada

Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara

khusus dalam undang-undang ini”.83 Namun selanjutnya pun pada praktek di

Peradilan Agama alat bukti qarinah adalah alat bukti yang paling sedikit

dipergunakan dibandingkan dengan alat bukti lainnya.84

Untuk menambah pemahaman dan jangkauan alat bukti persangkaan

(qarinah) di Indonesia, disini dapat dikemukakan putusan Mahkamah Agung

Nomor: 189/K/A6/1996, yang membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama

Manado Nomor: 17/Pdt.G/1995/PTA. Mdo tanggal 28 Desember 1995 M, sehingga

Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Agama Gorontalo

Nomor: 80/Pdt.G/1994/PA.Gtlo tanggal 29 Maret 1995. Salah satu

pertimbangan hukum Mahkamah Agung adalah; Menimbang bahwa berdasarkan

pertimbangan di atas maka telah terdapat cukup alasan untuk mengabulkan

permohonan kasasi dari pemohon kasasi ERNA N. AKADJI tersebut dengan

membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama Manado, sehingga Mahkamah

Agung mengadili sendiri perkara ini dengan menguatkan putusan Pengadilan

Agama Gorontalo yang dianggap sudah benar dan tepat.85

Berdasarkan penjelasan dan argumentasi di atas, dapat ditegaskan bahwa

kedudukan qarinah cukup kuat dalam perspektif Hukum Islam walaupun

83
Departemen Agama RI, Pedoman Penyuluhan Hukum (undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam), (Jakarta, Probinbapera, 1993), h. 103
84
A.B. Loebis. Kekuatan Pembuktian di peradilan Agama, dalam Mimbar Hukum, (Jakarta, Yayasan al-
Hikmah, 1994), No. 16, h. 103
85
lihat yurisprudensi Mahkamah Agung RI: 1998, h. 219-256
127

formatnya belum diatur secara jelas dan sistemetis. Akan tetapi kekuatan

kedudukan qarinah tersebut bukanlah sebagai satu-satunya dasar putusan, hanya

saja menjadi bagian pertimbangan hakim dalam mengambil putusan. Karena pada

setiap alat bukti di persidangan mesti mempergunakan qarinah dan tanpa

mempergunakan qarinah tidak mungkin hakim melaksanakan hukum pembuktian

(impossibilitas).

Selain itu, alat bukti qarinah dalam suatu perkara sangat berperan dalam

menelusuri kebenaran formil sehingga hakim dalam menjatuhkan putusannya dapat

menggunakan qarinah qada'iyah maupun qarinah qanuniyah, yang tentunya

qarinah tersebut digunakan setelah dibuktikan peristiwa-peristiwa lain seperti bukti

kesaksian, pengakuan dan lain-lain. Selanjutnya dapat pula ditegaskan bahwa nilai

kekuatan qarinah qada'iyah adalah bebas, sedangkan nilai kekuatan qarinah

qanuniyah adalah sempurna, mengikat dan menentukan, karenanya hakim terikat

untuk menerima kebenaran qarinah qanuniyah kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

D. Alat Bukti Qarinah Dalam Perspektif Hukum Islam

Secara teoritis dalam perspektif hukum Islam tidak dijumpai format serta

rumusan yang jelas dan rinci tentang alat bukti qarinah. Hanya saja para ulama,

dengan kalimat yang hampir senada mengatakan bahwa qarinah yang dapat

dijadikan bukti, adalah qarinah yang menimbulkan dugaan keras atau zanni (relatif

benar) yang dalam bahasa al-Humaidi (seorang ahli hukum Islam berkebangsaan

Arab Saudi) disebut 'ilm at-Tuma'ninah (pengetahuan yang memenangkan hati atau
128

tidak mengandung keraguan yang berarti).86 Di zaman Nabi Muhammad SAW

sendiri ataupun sebelumnya, qarinah hanya terdapat dalam bentuk perbuatan-

perbuatan ataupun putusan-putusan mereka sebagai hakim, dan tidak pernah

dijelaskan dalam bentuk rumusan ataupun teori.

Oleh karena itu, dalam sub judul ini penulis secara dominan hanya akan

mencermati dan membahas qarinah dalam aspek empiris, yaitu putusan-putusan

hukum yang menempatkan qarinah sebagai dasarnya. Selanjutnya, karena

perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW sebagai law standar, maka

pembahasan ini berkisar antara qarinah sebelum Nabi Muhammad SAW, qarinah

di zaman Nabi Muhammad SAW, dan qarinah sesudah Nabi Muhammad SAW.

1. Alat Bukti Qarinah sebelum Nabi Muhammad SAW

Sebelum di utusnya Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul dan

sebelum diturunkannya al-Qur'an al-Karim kepada abi Muhammad SAW,

ternyata alat bukti qarinah sudah pernah dipergunakan, antara lain:

a. al-Qur'an surat Yusuf ayat 17 dan 18,

‫قالوا يأاباناانذ هبنا نستبق وتر كنا يوسف عند متا عنا فألكه اذلئب وما انت مبؤمن لنا‬
‫) وجأوا عىل مقيصه بدم كزب قال بل سولت لمك انفسمك أمر‬١٧( ‫ولو كنا صدقني‬
}١٨-١٧:‫فصرب مجيل وهللا املس تعان عىل ما تصفون {يوسف‬

“Mereka berkata: "Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi


berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang
kami, lalu dia dimakan serigala; dan kamu sekali kali tidak akan

86
al-Humaidi, op. cit.,
129

percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar".


Mereka datang membawa baju gamisnya (yang belumuran) dengan
darah palsu. Ya'qub berkata: “sebenarnya diri-mu sendirilah yang
memandang baik perbuatan (yang buruk) itu: maka kesabaran yang
baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon
pertolongan-Nya terhadap apa yang kami ceritakan”. (QS. Yusuf 17-
18).

Al-Qurtubi dalam karyanya al-Jami'li Ahkam al-Qur'an menjelaskan,

bahwa berdasarkan ayat tersebut ahli-ahli fikih menetapkan sahnya qarinah

sebagai salah satu cara pembuktian di pengadilan dalam memutuskan perkara.87

Nabi Ya'qub AS, menurut al-Qurtubi, berdasarkan qarinah dapat menebak

secara tepat kedustaan saudara-saudara Nabi Yusuf AS. Qarinah itu adalah,

bahwa baju Yusuf AS yang diberikan telah dimakan serigala itu ternyata tidak

robek. Seandainya benar Yusuf AS dimakan serigala seperti dilaporkan oleh

saudara-saudaranya itu, tentu bajunya robek, ketika Nabi Ya'qub AS melihat

baju yang berlumuran darah (palsu) itu tidak robek, ia berkata: “kapan pula

serigala itu menjadi bijaksana sehingga bisa memakan Yusuf tanpa harus

merobek bajunya?".88 Ungkapan bernada pertanyaan tersebut sebagai sindiran

bahwa dia tahu akan kebohongan saudara-saudara Nabi Yusuf AS.

b. al-Qur'an Surat Yusuf ayat 25 sampai dengan 28:

‫ من دبر والفيا س يد ها دلا الباب قالت ماجزأ من اراد‬،‫واستبقا الباب وقدت مقيصه‬
‫) قال ىه راود تىن عن نفس وشهد‬٢٥( ‫بأهكل سؤا الا ان يسجن أو عذاب ألمي‬
‫) وان‬٢٦( ‫شاهد من ا هلها ان اكن مقيصه قد من قبل فصدقت وهو من الكذبني‬
87
Al-Qurtubi, al-Jami'li Ahkam al-Qur'an, (Beirut Dar Ihya' al-Turas al-'Arabi, 1985), Juz IX, h. 150
88
Ibid.,
130

‫) فلام رءا مقيصه قد من دبر‬٢٧( ‫اكن مقيصه قد من دبر فكذبت وهو من الصدقني‬
}٢٨-٢٥:‫قال انه من كيد كن ان كيد كن عظمي {يوسف‬
“Dan keduanya berlomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju
gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan keduanya mendapati
suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata: apakah pembalasan
terhadap orang yang dimaksud berbuat serong dengan isterimu, selain
dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?" Yusuf berkata:
“Dia menggodaku untuk menundukan diriku (kepadanya)”, dan
seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: “jika
baju gamisnya koyak di muka, wanita itu benar, dan Yusuf termasuk
orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka
wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang
benar”. Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak
di belakang berkatalah dia: “sesungguhnya (kejadian) itu adalah di
antara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu adalah benar”.
(QS. Yusuf: 25-28).

Dalam kisah Zulaikha (isteri Aziz, seorang pembesar Mesir) yang

menggoda Nabi Yusuf AS seperti diungkapkan dalam al-Qur'an di atas,

kelihatan betapa liciknya wanita itu. Setelah ia menggoda dan mengejar Yusuf

AS sampai baju Yusuf AS robek, di hadapan suaminya ia justru menuduh

bahwa Yusuf AS lah yang ingin berbuat serong terhadap dirinya dan menuntut

agar suaminya menimpakan hukuman terhadap diri Yusuf AS.

Dalam peristiwa ini kelihatan betapa jelinya seorang saksi ahli atau juru

penyelesaian dengan menggunakan qarinah untuk menebak siapa yang salah

dan siapa yang benar. Dari kenyataan baju Yusuf AS adalah pihak yang dikejar

oleh wanita itu dan wanita itu adalah pihak yang mengejar Yusuf AS.
131

c. Kisah Nabi Sulaiman AS Menyelesaikan Sengketa Memperebutkan

seorang Anak.

Nabi Sulaiman AS yang didatangi dua orang perempuan yang

bersengketa memperebutkan seorang anak, yang masing-masing mengakui

bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya, kemudian diadili oleh Nabi

Daud AS dan diputus dengan kemenangan dipihak perempuan yang lebih tua.

Lalu Nabi Sulaiman AS yang ikut hadir dalam majelis pengadilan itu berkata:

“Berilah aku sebilah pisau yang akan kupergunakan membelah anak ini

menjadi dua bagian untuk masing-masing pihak yang bersangketa".

Selanjutnya wanita tua memperkenankan tindakan Nabi Sulaiman AS,

sedangkan wanita muda berkata: “jangan engkau lakukan itu, semoga Allah

memberikan rahmat-Nya atasmu, berikanlah anak itu kepadanya (wanita tua).89

Walaupun peristiwa ini tidak terdapat dalam al-Qur'an, namun dapat

ditemukan dalam Hadis Rasulullah SAW dari Abi Hurairah:90

‫ بيامن امر ااتن‬:‫ عن النيب صىل هللا عليه وسمل قال‬،‫عن اىب هريرة رىض هللا عنه‬
‫ امنا ذهب اببنك‬:‫ فقالت هذاه لصاحبهتا‬،‫ فذهب اببن احد اهام‬،‫ جأ اذلئب‬،‫معهام ابناهام‬
‫ حفر جتا عىل‬،‫ فقض به للكربى‬،‫ امنا ذهب اببنك فتحا مك اىل داود‬:‫ و قلت الا خرى‬.‫انت‬
‫ فقالت‬.‫ ائتوين ابلسكني اسقة بينكام‬:‫ فقال‬،‫ فاخرب اته‬،‫ علهيام السالم‬،‫سلامين بن داود‬
}‫ فقىض به للصغرى {رواه البخارى ومسمل‬.‫ هو ابهنا‬،‫ يرمحك هللا‬:‫الصغرى ال‬

89
Muhammad Salam Madkur, op. cit., h. 83
90
Al-Hafiz 'Abdul 'Azhim bin abdul Qawi Zakiyuddin al-Munziri, Mukhtasar Shahih Muslim. a. b. Ahmad
Zaidun, Ringkasan Shahih Muslim (Jakarta, Pustaka Amani, 2001), h. 558
132

“Dari Abi Hurairah r. a. dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda:


ketika dua orang perempuan sedang bersama dua anak mereka, tiba-
tiba datang seekor serigala lalu (menerkam dan) membawa pergi salah
satu dari dua anak mereka. Kemudian perempuan yang kehilangan
anak itu berkata kepada temannya, “sungguh serigala itu membawa
anakmu". Perempuan yang satunya menjawab, "bukan anakku, tapi
anakmulah yang dibawa pergi oleh serigala itu”. Keduanya lalu minta
keputusan kepada Nabi Daud AS. Kemudian beliau memutuskan,
bahwa anak yang selamat itu milik perempuan yang lebih tua. Kedua
perempuan itu kemudian keluar menuju Nabi Sulaiman bin Daud AS
Lalu mereka adukan hal itu kepada beliau, maka Nabi Sulaiman AS,
mengatakan,“bawalah pisau kemari lalu aku belah anak itu untuk
kalian berdua !" perempuan yang lebih muda menjawab, “jangan!
semoga Allah memberikan rahmat kepada Anda. Anak yang masih
hidup ini milik dia (perempuan yang lebih tua)”. Maka Nabi Sulaiman
AS memutuskan bahwa anak tersebut milik perempuan yang lebih
muda”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan qarinah, maka diputuskan dengan diberikannya anak

tersebut kepada wanita muda itu, bahwa dialah yang menampakkan rasa balas

kasihan pada anak itu dan mencegah dibelahnya anak tersebut menjadi dua

bagian, dimana wanita tua justru mengizinkannya, sehingga wanita muda

itupun merelakan anak itu untuk diserahkan kepada wanita tua daripada harus

dibelah jadi dua bagian.

Lebih jauh Muhammad Salam Madkur dalam bukunya al-Qadha fi al-

Islam menyatakan bahwa berdasarkan peristiwa di atas, alat bukti qarinah lebih

diutamakan dari pada Ikrar (pengakuan).91 Kiranya beberapa kasus di atas

sudah cukup mewakili untuk memperjelas kuatnya posisi alat bukti qarinah

dalam perspektif hukum Islam.

91
Muhammad Salam Madkur, op. cit.,
133

Akan tetapi persoalannya adalah, apakah kasus-kasus yang terjadi

sebelum kerasulan Muhammad SAW atau sebelum diturunkannya al-Qur'an

kepada Nabi Muhammad SAW dapat diterima sebagai syari'at Islam, karena

paradigma yang berkembang sebelum Islam itu dapat dikategorikan dengan

syar'u man qablana92 ( ‫) شرع من قبلنا‬.

Terdapat beberapa pendapat dalam mencermati masalah ini, misalnya

ulama Asy'ariyah, Mu'tazilah, Syi'ah, sebagian ulama Syafi'iyyah dan salah satu

pendapat Imam Ahmad Ibn Hanbal (164-241 H/780-855 M),93 mengatakan

bahwa Syari'at sebelum Islam tidak menjadi Syari'at bagi Rasulullah SAW dan

umatnya. Pendapat ini juga dikemukakan Imam al-Ghazāli, al-Amidi, Ibn

Hazm al-Zahiri serta Fakhruddin al-Razi (1150-1210 M), ahli fiqh Syafi'i.

Alasan mereka adalah:94

1) Sewaktu Mu'az Ibn Jabal diutus menjadi qadhi ke Yaman, Rasulullah

bertanya kepadanya.95

‫كيف تقىض؟ أجابه ابلكتاب والس نة وان مل أجد ىف الس نة أجهتد فاقره علهيا {رواه‬
}‫البخارى ومسمل‬
"Bagaimana engkau menetapkan hukum? Mu'az menjawab: “Dengan
Kitabullah, jika tidak ada dalam kitabullah, dengan sunnah Rasulullah,
dan apabila dalam sunnah Rasulullah SAW juga tidak ada, maka saya
92
Syar'u Man Qablana berarti Syari'at sebelum Islam. Para ahli Ushul Fiqh membahas persoalan Syari'at
sebelum Islam dalam kaitannya dengan Syari'at Islam, apakah hukum-hukum yang ada bagi umat
sebelum Islam menjadi hukum juga bagi umat Islam. Lihat, Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta, Logos
Publishing House, 1998), h. 149
93
Ibid., h. 153
94
Ibid.,
95
Iman Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisabury, Shahih Muslim, (Beirut, Dar al-Fikr, 1993) juz II,
h. 121
134

akan berijtihad. “Rasulullah memuji sikap Mu'az ini”. (HR. al-Bukhari


dan Muslim).

Dalam hadits ini Rasulullah tidak menganjurkan kepada Mu'az untuk

merujuk syari'at sebelum Islam. Apabila syari'at sebelum Islam menjadi syari'at

bagi umat Islam, minimal Rasulullah akan menganjurkan Mu'az untuk

merujuknya apabila hukum yang ia cari tidak terdapat dalam al-Qur'an atau

sunnah Rasulullah SAW.

2) Firman Allah dalam Surat al-Maidah ayat 48:

}٤٨ :‫للك جعلنا منمك رشعة و مهناجا {املائدة‬


"Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan
yang terang”. (QS. al-Maidah: 48)

Maksudnya suatu umat tidak dituntut untuk mengambil syari'at umat

lain dan setiap umat mempunyai syari'at sendiri.

Sedangkan jumhur ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyyah,

Malikiyyah, sebagian ulama Syafi'iyyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad

Ibn Hanbal menyatakan bahwa apabila hukum-hukum syari'at sebelum Islam

itu disampaikan kepada Rasulullah SAW. melalui wahyu yaitu al-Qur'an,

bukan melalui kitab agama mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak ada

nash yang menolak hukum-hukum itu, maka umat Islam terikat dengan hukum-

hukum itu.96 Lebih jauh Muhammad Abu Zahrah menambahkan dalam

bukunya Ushul al-Fiqh, bahwa sesungguhnya syari'at-syari'at Samawi secara

96
Ibid, h. 152
135

prinsip merupakan satu kesat uan,97 sebagaimana Firman Allah dalam Surat

Asy-Syura ayat 13:

}١٣:‫رشع لمك من ادلين ما وىص به نوحا واذلى او حينا اليك {الشورى‬


"Dia telah mensyari'atkan bagimu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan
kepadamu..." (QS. Asy-Syura: 13).

Selain itu, argumentasi mereka adalah bahwa syari'at sebelum syari'at

Islam itu juga syari'at yang diturunkan Allah dan tidak ada indikasi yang

menunjukkan pembatalan syari'at tersebut, karenanya umat Islam terikat

dengan syari'at itu. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat al-An'am

ayat 90:

}٩. :‫أو لئك اذلين هدى هللا فهبدا مه اقتده {الانعام‬


"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah,
maka ikutilah petunjuk mereka..." (al-An'am: 90).

Berdasarkan istiqra' (penelitian) terhadap nash-nash al-Qur'an maupun

hadis, ternyata tidak ditemukan satu nash pun yang mengangkat cerita umat

terdahulu tanpa dilengkapi dengan keterangan bahwa ketentuan hukum yang

terkandung dalam cerita itu berlaku khusus atau umum.98 Selanjutnya Abu

Zahrah menerangkan, jika ada dalil yang menerangkan syar'u man qablana

berlaku khusus maka tidak bisa dijadikan hujjah dengan kesepakatan ulama.

97
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo, Dar al-Fikr al-'Arab, 1966), h. 305
98
Muhammad Abu Zahrah, op. cit, h. 307
136

Sedangkan apabila ada dalil yang menerangkan berlaku umum, maka bisa

dijadikan hujjah sesuai dengan sasarannya.99 Namun para ulama tetap

mensyaratkan hukum-hukum itu harus terdapat dalam al-Qur'an dan sunnah

Rasulullah, sebagai sumber utama hukum Islam.100

Sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian

sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat menyatakan

bahwa hukum-hukum yang disebutkan dalam alQur'an atau Sunnah Nabi

meskipun tidak diarahkan untuk umat Nabi Muhammad SAW, selama tidak ada

penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad

SAW. Dari sini muncul kaidah:

‫رشع من قبلنا رشع لنا‬

“Syari'at untuk umat sebelum kita berlaku untuk syari'at kita”.101

Dengan demikian, ayat-ayat dan kisah-kisah yang menceritakan

pengambilan putusan yang berdasarkan qarinah di atas dapat dijadikan alasan

untuk memperkuat penggunaan alat bukti qarinah sebagai dasar putusan dalam

menyelesaikan suatu perkara di depan pengadilan. Alasan-alasan Penulis

adalah:

1. Ayat-ayat tersebut bersifat umum.

2. Ayat-ayat tersebut tidak ada penjelasan tentang nasakhnya.

99
Ibid.,
100
Nasrun Haroen, op. cit, h. 307
101
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu), Jilid, h. 395
137

3. Nabi Muhammad SAW pernah mempergunakan qarinah dalam putusanya

untuk menyelesaikan suatu perkara.102

4. Terdapatnya perintah dari Allah SWT untuk mengambil pelajaran dari

kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur'an sebagaimana Firman Allah

SWT dalam Surat Yusuf ayat 111:

‫لقد اكن ىف قصصهم عربة الؤىل الالباب مأاكن حديثا يفرتى ولكن تصديق اذلى بني‬
}١١١ :‫يديه وتفصيل لك شئ وهدى ورمحة لقوم يؤمنون {يوسف‬

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi


orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur'an itu bukanlah cerita yang
dibuat-buat akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya
dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang beriman". (Qs. Yusuf: 111).

2. Alat Bukti Qarinah pada Masa Nabi Muhammad SAW

Membicarakan qarinah sebagai alat bukti pada masa Nabi Muhammad

SAW pada prinsipnya adalah membahas alat bukti qarinah dalam perspektif

sunnah.103 Terdapat beberapa sunnah yang menjadi dasar penggunaan alat bukti

qarinah, antara lain:

102
Argumentasi ini akan dibahas dalam Sub judul Alat Bukti Qarinah pada masa Nabi Muhammad SAW.
103
Sunnah secara etimologis berarti jalan yang biasa dilalui, apakah jalan itu sesuatu yang baik atau
buruk. Lihat Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits; Ulumuhu wa Mustalahuhu (Beirut, Dar al-Fikr,
1989), h. 17. Sedangkan Sunnah menurut ulama Ushul Fiqh adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi
SAW berupa perbuatan, perkataan dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum. Dengan demikian
ulama Ushul Fiqh memandang Sunnah sebagai salah satu sumber atau dalil hukum. Lihat Muhammad
Luqman al-Salafi, al-Sunnah; Hujjiyatuna wa Makanatuha fi, al-Islam wa al-Radd 'Ala Munkiriha,
(Madinah al-Munawarah, Maktabah al-Imin, 1979), cet. I, h. 13. Penulis dalam pembahasan ini
memakai pengertian Sunnah dalam konteks istilah ulama Ushul Fiqh tersebut, selain itu juga memakai
hadits sebagai sinonim dari Sunnah
138

a. Hadits riwayat Imam Muslim dari Abdurrahman bin Auf.

‫ فرض ابه‬-‫ يوم بدر‬- ‫عن عبد الر محن بن عوف ان اثنني من الانصار ابتدرا أابحجل‬
‫ ايكام‬:‫ فقال‬.‫بس يفهام حىت قتاله مث انرص فا اىل رسول هللا صىل هللا عليه وسمل فاحرباه‬
‫ فنظر يف‬.‫ ال‬:‫ هل مسحامت س يفيكام؟ قال‬:‫ فقال‬،‫ أان قتلت‬:‫قتهل؟ فقال لك واحد مهنام‬
}‫ الك كام فتهل {رواه مسمل‬:‫الس يفني فقال‬
“Dari Abdur Rahman bin Auf, bahwa dua orang dari kalangan Ansar waktu
perang Badar berhasil membunuh Abu Jahal dan lalu masing-masing
melapor kepada Rasulullah SAW. Menjawab pertanyaan Rasulullah SAW,
siapa di antara keduanya yang membunuhnya, masing-masing mengklaim
bahwa dirinyalah yang membunuhnya (Abu Jahal). Lalu Rasulullah SAW
berkata lagi: “Apakah kalian sudah membasuh pedang kalian?” masing-
masing menjawab, "belum”. Setelah melihat tanda atau bekas darah pada
pedang masing-masing, Rasulullah SAW lalu berkata: “Kalau begitu, kalian
berdualah yang membunuhnya”. (HR. Muslim).104

Dalam hadits di atas dapat dicermati bahwa Rasulullah SAW memutuskan

bahwa kedua Ansar itulah yang membunuh Abu Jahal berdasarkan qarinah

(petunjuk) pada darah yang terdapat di pedang masing-masing.

b. Hadits riwayat Imam al-Bukhari dari Abi Hurairah.

‫ ال تنكح الامي حتىىتس تأمر وال تنكح‬:‫عن اىب هريرة ان النىب صىل هللا عليه وسمل قال‬
}‫ ان تسكت {رواه البخارى‬:‫ قالو ايرسول هللا وكيف اذ هنام؟ قال‬،‫البكر حىت تس تأذن‬
“Dari Abi Hurairah bahwasanya Nabi SAW. Bersabda: jangan dinikahkan
para janda sebelum diminta pendapatnya (dimusyawarahkan dengan
mereka) dan perawan itu tidak dinikahi sebelum diminta izinnya, para
sahabat bertanya: “Ya Rasulullah bagaimana (pula) izin mereka?

104
Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisabury, op. cit, juz III, h. 1376
139

“Rasulullah SAW menjawab:"izin mereka adalah diamnya”. (HR. al-


Bukhari).105

Berdasarkan hadits dari Abi Hurairah ini, dapat dipahami bahwa Nabi

Muhammad SAW menetapkan, bahwa untuk menikahkan perawan harus seizin

perawan tersebut, dan diamnya anak perawan dimaksud merupakan qarinah

(indikasi) keizinannya (keredaannya). Menurut penulis, jika hadis ini dihubungkan

dengan perkembangan hukum acara dewasa ini, maka alat bukti qarinah dalam

hadis ini dapat dikategorikan dengan qarinah qanuniyah. Menurut Ibn Farhun

sebagaimana dikutip oleh al-Humaidi menyatakan bahwa dengan berdalilkan pada

hadis ini, menunjukan alat bukti qarinah sama kedudukannya dengan alat bukti

saksi.106 Hal ini juga merupakan suatu prediksi bahwa dalam perspektif hukum

Islam, alat bukti qarinah dalam kasus-kasus tertentu bisa saja lebih kuat daripada

alat bukti lainnya.

c. Hadits riwayat Imam al-Bukhari dari Zaid Khalid al-Juhani.

‫ جاء أعرايب اىل النىب صىل هللا عليه وسمل‬:‫عن زيدبن خادل اجلهىن رىض هللا عنه قال‬
‫ عر فها س نة مث ا احفظ عفا صها وو كها فان جاء احد خيربك هبا‬:‫فساءهل عام يلتقطه فقال‬
}‫الا فستنفقها {رواه البخارى‬
“Dari Zaid bin Khalid al-Juhani r.a berkata: telah datang seorang Arab
Kampung (Badui) kepada Nabi Muhammad SAW. Menanyakan tentang
luqatah (barang temuan), maka beliau bersabda: umumkan selama setahun
kemudian simpan dengan kantong dan ikatannya, maka jika seseorang

105
Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut, Dar al-Fikr, 1981),
juz V, h. 23
106
Abdurrahman Ibrahim al-Humaidi, op. cit, h. 451
140

datang padamu beritahukan (tanya) olehmu tentang ciri-ciri (kantong dan


ikatannya) dan jika tidak pergunakanlah". (HR. Bukhari).107

Dalam hadits ini, Nabi Muhammad SAW, memerintahkan orang yang

menemukan sesuatu agar menyerahkan barang temuannya kepada orang yang

ternyata tepat dalam menyebutkan sifat-sifat barangnya yang hilang. Menurut

Salam Madkur, orang yang bisa menyebutkan sifat-sifat atau ciri-ciri suatu barang

yang hilang tersebut merupakan qarinah bahwa dialah pemilik barang itu.108

Selain itu, Rasulullah SAW pernah menahan orang dan menghukum

tertuduh setelah timbul persangkaan karena nampak tanda-tanda mencurigakan

pada diri tertuduh.109

3. Alat Bukti Qarinah Pasca Wafatnya Nabi Muhammad SAW

Pasca wafatnya Rasulullah SAW, penggunaan qarinah sebagai alat bukti

masih tetap dipakai walaupun dalam kasus-kasus yang berbeda, seperti pada

periode sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in bahkan sampai dewasa ini di wilayah-

wilayah Peradilan Islam.

Amir al-mukminin Umar bin al-Khatab beserta sahabat yang bersamanya

pernah menjatuhkan putusan had atas wanita yang nampak hamil sedangkan ia

tidak bersuami dan tidak bertuan, sebagaimana Amru bin 'Ash menjatuhkan

putusan had (juga) kepada orang yang kedapatan mulutnya atau muntahnya berbau

khamar karena berpegang pada qarinah, dan Imam-iman Madzhab berpendapat

107
Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, op. cit, juz III, h. 154
108
Muhammad Salam Madkur, op. cit, h. 93
109
Ibid.,
141

wajib potong tangan bagi tertuduh yang kedapatan padanya barang yang dicuri,

sementara itu para fuqaha' memperkenankan suami mengumpuli isterinya pada

malam perayaan pengantin meskipun tanpa kesaksian dua orang laki-laki yang adil,

bahwa wanita itu memang benar-benar wanita yang telah dinikahinya, karena

semata-mata berpegang kepada qarinah.110

Ulama Madinah berpendapat, bahwa pernyataan seorang perempuan yang

menyatakan bahwa suaminya tidak membelanjainya dan tidak memberikan pakaian

kepadanya, tidaklah dapat diterima, berdasarkan qarinah secara lahiriah (sebab

ternyata ia masih hidup sampai hari itu dan juga masih berpakaian), kecuali jika ia

dapat membuktikan atas keterangannya tersebut.111

Demikian juga halnya tentang sahnya jual beli dengan semata-mata saling

menyerahkan (antara penjual dan pembeli) tanpa ada keterangan kata-kata apapun,

menurut para Fuqaha' adalah berdasarkan qarinah yang menunjukkan atas kerelaan

masing-masing pihak yang merupakan syarat sahnya jual beli.112

Berikut ini akan penulis paparkan beberapa kasus ataupun peristiwa yang

diputus atau diselesaikan berdasar alat bukti qarinah periode pasca wafatnya

Rasulullah SAW.

Misalnya, Umar bin Khatab sebagaimana diriwayatkan oleh al-Laits bin

Mas'ud bin Abdurrahman al-Mashri (wafat tahun 175 H) menyatakan, bahwa Umar

bin Khatab pernah menemukan mayat yang ditelungkupkan di tengah jalan dan

110
Ibid., h. 94
111
Ibid.,
112
Ibid., h.95
142

tidak diketahui siapa pembunuhnya, lalu ia berdo'a: "Ya Allah, tunjukkanlah

kepadaku pembunuhnya!", kemudian setelah berjalan satu tahun, ditemukanlah

seorang bayi yang diletakan di tempat mayat tersebut ditemukan, kemudian dibawa

kepada Khalifah, lalu Khalifah Umar berkata: “dengan ini aku akan menemukan

jejak pembunuhnya”, kemudian diserahkan bayi itu kepada seorang perempuan

untuk dipeliharanya dan diberi bekal untuk perawatannya, dan khalifah Umar

berkata: “perhatikan siapa yang mengambilnya dan apabila engkau temukan

seorang perempuan menciuminya dan merangkulnya maka beritahukanlah

kepadaku tempat perempuan itu berada".

Setelah beberapa waktu, tiba-tiba seorang perempuan lalu berkata kepada si

pemelihara bayi tadi: "aku diperintahkan tuan puteri menghadap kemari untuk

menyampaikan kepada ibu, agar sudi datang kepada tuan puteri dengan membawa

bayi ini, karena tuan puteri ingin melihatnya dan akan dikembalikan kepada ibu

lagi!". kemudian dibawalah anak itu kepada tuan puteri, ketika melihat anak itu

maka tuan puteri menciumi dan memeluk anak itu. setelah Khalifah diberitahu

maka dicarilah wanita tersebut dan ia dituduh sebagai pembunuh mayat yang

pernah diketemukan beberapa waktu yang lalu, dan akhirnya wanita itu mengakui

kemudian menceritakan sebab musabab mengapa ia sampai membunuhnya.113

Dari kasus ini dapat dicermati bahwa khalifah Umar bin Khatab dalam

mengungkapkan kasus ini dengan bukti-bukti qarinah, yaitu adanya petunjuk

113
Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyah, loc. cit, h. 23
143

bahwa ibu dari si bayi tersebut merupakan pembunuh laki-laki yang mayatnya

ditelungkupkan di tengah jalan tersebut.

Akan tetapi dalam hal ini dapat pula dipahami, bahwa Umar bin Khatab

tidak mempergunakan alat bukti qarinah sebagai alat bukti pemutus melainkan

hanya sebagai alat bukti perantara (washal/intermediary), di mana setelah diketahui

adanya qarinah bahwa bayi itu ada hubungannya dengan laki-laki yang terbunuh

tersebut, maka carilah ibunya dan ternyata ibunya adalah tuan puteri tersebut. Maka

ketika menginterogasi wanita te rsebut Khalifah Umar masih mempergunakan alat

bukti Ikrar (pengakuan). Ali bin Abi Thalib juga pernah mempergunakan qarinah

sebagai alat bukti, sebagaimana tergambar dalam kata-katanya yaitu:

‫اياهيا الناس ان الزان زاناين زانرس وزان عال نية فزان الرس ان يشهد الشهود فيكون‬
‫الشهود اول من ير ىم وزان العال نية ان يظهر امحلل او الا عرتاف‬
"Wahai manusia, sesungguhnya zina itu ada dua macam: zina yang
tersembunyi dan zina yang nyata, zina yang tersembunyi memerlukan saksi-
saksi, dan merekalah sebagai penuduh pertama. Zina yang nyata
dibuktikan dengan kehamilan atau pengakuan”.114

Dalam pernyataan di atas, Ali bin Abi Thalib mengungkapkan bahwa

kehamilan merupakan qarinah telah terjadinya tindak pidana zina bagi seorang

wanita yang tidak bersuami. Akan tetapi Abdul Kadir Audah menjelaskan, bahwa

kehamilan bukanlah merupakan qarinah yang kuat sebagai alat bukti yang

114
Abdul Kadir Audah, op. cit, h. 441
144

menentukan dalam perkara zina, justru kehamilan bahkan dapat membuktikan

sebaliknya, yaitu menetapkan suatu dalil adanya perkawinan.115

Beberapa persoalan terakhir juga merupakan indikasi bahwa qarinah

bukanlah merupakan alat bukti pemutus dan oleh sebab itu alat bukti qarinah tidak

bisa berdiri sendiri tanpa didukung oleh alat bukti lainnya.

Setelah berlalunya masa sahabat, alat bukti qarinah tetap dipakai. Ibn

Qayyim al-Jauziyah misalnya banyak menulis tentang beberapa kasus yang diputus

dengan mempergunakan alat bukti qarinah oleh para Qadhi setelah periode sahabat,

seperti Qadhi Abu Haazim, Qadhi Syuraih, Qadhi iyas bin Mu'awiyah dan lain-lain.

Ibrahim bin Marzuq al-Bashri berkata: “ada dua orang pria mendatangi lyas

bin Mu'awiyah, keduanya bersengketa mengenai dua helai handuk. Salah satunya

berwarna merah, dan yang lain berwarna hijau. Salah seorang dari kedua pria itu

berkata: “aku masuk kamar mandi untuk mandi dan meletakkan handukku di luar,

lalu datanglah orang ini. Ia meletakan handuknya di bawah handukku, setelah

itupun ia masuk untuk mandi, ia keluar sebelum aku keluar dan mengambil handuk

yang ada di atas (yaitu handukku), lalu pergi. Kemudian aku keluar dan

mengikutinya. Akan tetapi ia mengklaim bahwa handuk yang ia bawa itu adalah

miliknya. "Lalu lyas pun bertanya kepadanya: “apakah engkau mempunyai bukti

dalam hal ini?" ia menjawab: “tidak”. Maka lyas berkata kepadanya: “berikan aku

115
Selain itu, kehamilan tersebut dapat pula dicurigai karena perkosaan sehingga hukum Had zina tidak
bisa terlaksana karna adanya syubhat, lihat Ibid.,
145

sisir”. Lalu ia menyisir kepala keduanya. Maka keluar darinya serabut merah dan

serabut hijau. Dan lyas memutuskan milik dari keduanya menurut serabut itu”.116

Muhammad Salam Madkur menulis dalam bukunya al-Qadha Fi al-Islam,

bahwa ada seorang laki-laki menitipkan sebuah karung tertutup berisikan uang

dinar kepada seorang temannya, setelah lama kepergian penitip barang tadi maka

dibukalah karung itu dari bagian bawahnya oleh orang yang dititipi, kemudian

diambil isinya dan diganti dengan uang dirham, lalu dijahit kembali seperti semula,

kemudian setelah beberapa lama datanglah penitip karung itu meminta kembali

barangnya, tetapi setelah dibuka ia terkejut karena isinya telah berubah menjadi

uang dirham, lalu ditanyakanlah kepada yang dititipi: "aku dahulu menitipkan

kepadamu adalah sebuah karung yang berisikan uang dinar, tapi ternyata yang

engkau serahkan kepadaku karung yang berisikan uang dirham”. Kemudian

dijawab: "itu adalah karungmu dan tutupnya masih asli”. Maka dibawalah perkara

tersebut ke hadapan hakim, kemudian hakim mengajukan pertanyaan kepada si

pemilik barang: “sejak kapan engkau menitipkan barangmu itu kepadanya?". la

menjawab: “sejak lima belas tahun yang lalu”. Kemudian hakim mengambil uang

dirham itu, ternyata ada yang baru dibuat dua tahun yang lalu. Maka putusan

dijatuhkan dengan kewajiban kepada pihak yang dititipi untuk mengganti dirham

dengan dinar.117

Jelas sekali dalam beberapa kasus di atas, penyelesaiannya mempergunakan

alat bukti qarinah. Berdasarkan argumentasi itu juga para ulama fiqh sepakat

116
Ibn Qayyim al-Jauziyah, op. cit, h. 27
117
Muhammad Salam Madkur, op. cit.,
146

menjadikan qarinah sebagai alat bukti. Akan tetapi alat bukti qarinah bukanlah alat

bukti pemutus dan satu-satunya alat bukti dalam menyelesaikan suatu perkara, alat

bukti lainnya dengan arti kata alat bukti qarinah harus didukung oleh alat bukti

lainnya, dalam posisi seperti ini alat bukti qarinah dalam perspektif hukum Islam

dapat didudukan sebagai alat bukti perantara (intermediary).

Bila pendapat terakhir ini dikolaborasikan dengan argumentasi dan kasus-

kasus yang diputus dengan qarinah mulai sebelum Nabi Muhammad sampai

setelah Nabi Muhammad SAW. Penulis beralasan:

a. Perkara-perkara yang diputus dengan alat bukti qarinah tersebut sangat

kasuistik sehingga sulit dijadikan sebagai suatu ketentuan yang mengikat

ataupun yurisprudensi.

b. Tidak terdapat perintah (kewajiban) untuk mempergunakan alat bukti qarinah

sebelumnya, untuk dipakai sebagai alat bukti yang mengikat.

c. Alat bukti qarinah tersebut umumnya merupakan qarinah qadha'iyah

(persangkaan hakim), sedangkan qarinah qadha'iyah sifatnya adalah bebas,

tidak mengikat.

d. Berbedanya tempat dan waktu, menyebabkan berbedanya kebutuhan terhadap

hukum sehingga dikenal kaedah:

‫ال ينكر تغري الا حاکم بتغري الا زمنة والا مكنة‬
“Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan
tempat”.118

118
Lihat Jalaluddin 'Abdurrahman al-Suyuthi, op, cit, h. 80
147

Dengan demikian alat bukti qarinah yang dipakai sebagai dasar

pertimbangan dalam memutuskan suatu perkara, seperti dalam kasus-kasus di atas

adalah bersifat bebas, dengan arti lain bukanlah merupakan sebagai hujjah yang

mesti diikuti untuk memutus perkara lainnya. Hal ini juga disebabkan oleh karena

kedudukan qarinah merupakan salah satu sistem pembuktian, sebagai hukum

formil bukan sebagai hukum materil.

Paradigma ini dapat didukung oleh penjelasan sebelumnya bahwa qarinah

dapat dibatalkan dengan qarinah lainnya, seperti pendapat ulama mazhab Hanafi

yang menyatakan bahwa tidak diqishasnya orang yang memegang pisau yang di

dekatnya ada mayat yang belumuran darah. Bisa jadi korban itu melakukan bunuh

diri atau ia memegang pisau secara kebetulan saja. Wanita yang diketahui hamil,

sedangkan ia tidak bersuami, tidak bisa langsung didera karena bisa jadi ia dipaksa

melakukan zina. Demikian juga berlaku bagi orang yang diketahui menyimpan

barang curian di rumahnya. Bisa jadi ia membeli barang tersebut dari seorang yang

tanpa sepengetahuannya adalah seorang pencuri, atau ada orang lain menitipkannya

tanpa sepengetahuannya.

Berdasarkan paradigma ini dapat juga dipahami bahwa alat bukti qarinah

dapat dijadikan sebagai satu-satunya dasar putusan apabila memang tidak

ditemukan bukti lainnya, dengan syarat tidak adanya bukti lawan. Jika terdapat

bukti lawan, maka sesuai dengan asas pembuktian yang telah di jelaskan pada bab

dua maka alat bukti qarinah harus dukung oleh sejumlah bukti lainnya.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN

A. Kesimpulan

Pembuktian merupakan komponen hukum formil dalam mewujudkan dan

menegakkan hukum materil. Oleh sebab itu paradigma pembuktian dalam

perspektif hukum Islam selalu mendapat perhatian serius, hal ini dimaksudkan

untuk menjamin penerapan hukum materil Islam, serta untuk memperoleh

kebenaran peristiwa. Kurang menguasai hukum pembuktian, selain menghambat

jalannya peradilan, juga akan menghasilkan konstatering yang tidak tepat.

Alat bukti qarinah merupakan salah satu alat bukti yang terpenting dalam

proses pembuktian, secara empiris alat bukti qarinah sudah dipergunakan jauh

beberapa abad yang silam seperti dalam kasus Nabi Sulaiman AS dan Nabi Yusuf

AS. Sampai dalam penyelesaian beberapa kasus dewasa ini dalam Peradilan-

Peradilan Islam. Sehingga dapat dipertegas bahwa qarinah dapat dijadikan alat

bukti, walaupun alat bukti qarinah secara teori belum tersusun secara sistematis.

Pada awalnya dalam hukum Islam hanya dikenal qarinah qada'iyah yaitu

suatu persangkaan yang ditarik oleh hakim dalam memahami suatu kasus,

sedangkan nilai kekuatan pembuktian qarinah qada'iyah adalah bebas dan tidak

mengikat karena hakim tidak mesti memiliki pemikiran dan pemahaman yang sama

dalam memprediksi suatu kasus atau persengketaan. Implikasi dari persoalan ini

menetapkan suatu konklusi bahwa kedudukan alat bukti qarinah cukup kuat dalam

perspektif hukum Islam namun tidak mesti mengikat atau menjadi yurisprudensi

148
149

untuk putusan-putusan hukum berikutnya. Selain itu alat bukti qarinah tidak bisa

dijadikan sebagai satu-satunya dasar putusan jika terdapat alat bukti lain, dengan

demikian qarinah menempati posisi sebagai alat bukti Intermediary (perantara).

Pada perkembangan berikutnya dalam hukum Islam dikenal juga qarinah

qanuniyah yaitu suatu persangkaan yang diambil dan disebutkan oleh undang-

undang. Nilai kekuatan pembuktian qarinah qanuniyah adalah sempurna, mengikat

dan menentukan, karenanya hakim terikat untuk menerima kebenaran qarinah

qanuniyah kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Sumber qarinah qanuniyah ini

dapat ditemukan dalam al-Qur'an dan hadits, sumber dalam bentuk hadits harus

diutamakan hadits-hadits qauli.

B. Saran-Saran

Alat bukti qarinah dalam penyelesaian suatu perkara sangat diperlukan,

menjadi bagian pertimbangan hakim dalam mengambil putusan. Karena setiap alat

bukti di persidangan mesti terkait dengan qarinah sebagai perantara (Intermediary)

dan tanpa mempergunakan qarinah tidak mungkin hakim melaksanakan hukum

pembuktian (Impossibilitas). Selain itu, alat bukti qarinah sangat berperan dalam

menelusuri kebenaran formil.

Berdasarkan paradigma di atas, hakim harus berani menarik kesimpulan

dari qarinah, dan qarinah itu pada prinsipnya didominasi oleh pemahaman,

sehingga Ibn Qayyim pernah mengutip jawaban lyas bin Muawwiyah ketika di

tanya seorang lelaki: "beritahukan kepadaku tentang peradilan?" lyas menjawab:

“peradilan tidak diajarkan akan tetapi dipahami”. Relevan dengan itu hakim
150

sebagai pihak ketiga yang tidak memihak, tentu akan memberikan pertimbangan

dengan hati nurani, sehingga putusan yang dijatuhkan dapat dipertanggung

jawabkan kepada Allah SWT, dan hati nurani.

Apabila prinsip-prinsip ini diyakini, tentu saja Allah SWT akan

memberikan hidayah-Nya sebagaimana Firman-Nya:

‫ولو نشأ ل رينكهم فلعر فهتم بس ميهم و لتعر فهنم ىف حلن القول و هللا يعمل امعلمك‬
}٣۰ :‫{محمد‬
“Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka
kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan
tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari
kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-
perbuatan kamu". (Qs. Muhammad: 30).
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdurrahman, M., Hukum Acara Perdata, Jakarta Universitas Tri Sakti, 1994.

Abu Baqi, Muhammad Fuad, Mu'jam al-Mufahras Li al-Alfaz al-Qur'an al-Karim,


Beirut Dar al-Fikr, 1987.

Abu al-'Ainaini, Abdul Fattah Muhammad, al-Qadha' wa al-Isbat Fi al-Fiqh al-Islami


Ma'a al-Muqaranah bi Qanun al-Isbat al-Yamani, Kairo, Dar alKitab, tt.

Abu Zahrah, Muhammad, Qisas Min al-Qur'an, Kairo, Daral Kitab al-'Arabi 1956.

Abu Zahrah, Muhammad, Ushul al-Fiqh, Kairo, Daral-Fikr, al-Arab, 1966.

_________, al-Jarimah wa al-Uqubah, Kairo, Dar al-Fikr al-'Arabi, 1968.

_________, al-Ahwal asy-Syakhsiah, Kairo, Dar al-Fikr al-'Arabi, tt.

_________, al-Milkiyyah wa Nazariyyat al-'Aqd fi asy-Syari'ah al-Islamiyah, Kairo


Dar al-Fikr al-'Arabi, tt.

Ajie, S. Sapto, Undang-Undang Perkawinan, Semarang, Aneka Ilmu, 1990.

Ashhiddiegi, Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Yogyakarta, al-Ma'arif,


1964.

_________, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1988.

Audah, Abdul Kadir, at-Tasyri' al-jina' al-Islami Muqaranah bi al-Qamun al-Wadi,


Beirut, Mu'assah ar-Risalah, 1992.

151
152

Azis, Andi, Kamus Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1986.

Bahnasi, Ahmad Fathi, Nazariyyah fi al-Fiqh al-Jina' al-Islami, Kairo, Mu'assasah al-
Halabi wa Syurakah, 1969.

Al-Baihaqy, Husain Ibn Ali, Sunan al-Kubra, Beirut, Dar al-Fikr, tt.

Al-Bajuri, Ibrahim, al-Bajuri, Bandung, Dahlan, tt.

Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail, Jami' as-Sahih, Beirut, Dar al-Fikr,
tt.

Coulson, N. J., A History of Islamic Law, Edinburgh, Islamic Surveys, Nomor 2 1964.

Dawud, Abu, Sunan Abu Daud, Beirut Dar al-Fikr, 1994.

Departemen Agama RI, Pedoman Penyuluhan Hukum (Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam), Jakarta,
Probinbapera, 1993.

Ad-Dimyati, Abdurrahman Ibrahim Abdul Azis, al-Qadha' Wa Nizamuhu fi al- Kitab


wa as-sunnah, Mekkah, Ma'had al-Buhus al-Ilmiyah, 1984.

Dirbinbapera Islam, Himpunan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan


Agama, Jakarta, Departemen Agama RI, 2001.

Duraib, Su'ud Ibn Ali, al-Tanzhim al-Qadha'i Fi Mamlakah al-Arabiyah al-Su'udiyah,


Riyadh Maktab al-Qazir, 1983.
153

Al-Fanani, Zainuddin bin Abdul Azis al-Malibari, Fath al-Mu'in, ab Moch. Anwar,
Bandung, Sinar Baru al-Gesindo, 1994.

Haidar, Ali, Durar al-Hukkam Syarhu Majallah al-Ahkam, Beirut, Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, tt.

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP, Jakarta,


Pustaka Kartini, 1988.

_________, Kumpulan Makalah Hukum Acara Perdata, Pendidikan Hakim Senior


Angkatan 1, Tugu Bogor, 1991.

_________, Bahan Kuliah Hukum Acara Perdata Program Pendidikan Calon Hakim
Peradilan Agama, Bandung, tp, 1994.

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh I, Jakarta, Logos Publishing House, 1996.

Hasbullah, Ali, al-Furqah al-Zaujain, Beirut, Dar al-Fikr, tt.

Al-Humaidi, Abd. Al-Rahman Ibrahim Abd. Al-Azis, Qadha' wa Nizamuhu fi al-Kitab


wa as-Sunnah, Kairo, Ma'had al-Buhus al-Ilmiah, 1989.

Ibn Abdullah, al-Qary Ahmad, Majallah al-Ahkam al-Syar'iyyah, Jeddah, Tihanah,


Mathbu'ah, 1981.

Ibn Abdul al-Wahid, Imam Kamaludin Muhammad, Syarh Fath al-Qadir, Beirut, Dar
al-Shadir, 1318 H.

Ibn Anas, Imam Malik, al-Muwatha', Beirut, Dar al-Kitab al-Ilmiah, tt.
154

Ibn Bardazabah, Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-
Mughirah, Shahih al-Bukhari, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1998.

Ibn Hazm, al-Muhalla, Beirut Dar al-Fikr, 1978.

I Doi. Abdurrahman, Syari'ah The Islamic Law, ab. Wadi Masturi, Tindak Pidana
Dalam Syari'at Islam, Jakarta, Rineka Cipta, 1992.

Ibn Manzur, Lisan al-Arab, Beirut, Dar al-Ihya' al-Tulas al-Arabi, tt.

Isa, Kamal, Aqdiyah wa Qudah Fi Rihab al-Islam, t.tp, al-Badi' al-Adab al-Saqafi,
1987.

Al-Jauziyah, Ibn al-Qayyim, I'lam al-Muwaqi'in'an Rabb al-Alamin, Mesir Mathba'ah


Sa'adah, tt.

_________, at-Turuq al-Hukmiyah fi as-Siyasah as-Syar'iyah, Beirut, Mu'assasah al-


Arabiyah li at-Tiba'ah wa an-Nasyr, 1961.

_________, Al-Firasaat, Baghdad, al-Maktabah al-Wathaniyah Math'at al-Zaman,


1986.

Ka'bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Universitas Yarsi, 1999.

Al-Khatib, Muhammad 'Ajjaj, Ushul al-Hadits: Ulumuhu wa Mustalahuhu, Beirut, Dar


al-Fikr, 1989.

Loebis, A. B., Kekuatan Pembuktian di Peradilan Agama dalam Mimbar Hukum,


Jakarta, Yayasan al-Hikmah, 1994.
155

Mahkamah Agung RI, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, Jakarta, tp. 1998.

Mahmasani, Falsafah al-Tasyri' fi al-Islam, Mesir, Mathba'ah Sa'adah, tt.

Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,


Jakarta, Yayasan al-Hikmah, 2000.

Mazkur, Muhammad Salam, al-Qadha' fi al-Islam, Kairo, Dar al-Nahdah alArabiyat,


tt.

Masrifah, Athiah Mustafa, al-Qadha' fi al-Islam, Mesir, Dar al-Fikr, tt.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1998.

Mujahidin, Ahmad, Eksistensi Alat Bukti Persangkaan Sebagai Intermediary


Pelaksanaan Pembuktian, dalam Bulletin Berkala Hukum dan Peradilan,
Jakarta, Dirbinbapera Islam, 2001.

Mujib, Abdul, al-Qawa'id al-Fiqhiyah, Yogyakarta, Nurcahaya, 1980.

Mulyono, Anton M., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1995.

Munawir, Ahmad Warson, al-Munawir, Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta, Unit


Pengadaan Buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren al-Menawir, 1984.

Al-Munziry, Zakiyuddin Abdul Azhim, Mukhtasyar Shahih Muslim, Riyadh, Dar al-
Salam, 1996.

Nafuri, Khalil Ahmad as-Sahar, Bazlu al-Majhud fi Halli Abi Dawud, Beirut, Dar al-
Kutub al-Ilmiah, 1984.
156

Al-Naisabury, Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Beirut, Dar
al-Fikr, 1993.

Natsir, Muhammad, Fiqhud Da'wa, Jakarta, Kiblat, 1969.

Praja, Juhaya S., Delik Agama Dalam Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, Angkasa,
1982.

Projodikuro, Wiryono. R., Hukum Acara Perdata di Indonesia, Bandung, Sumur, 1992.

Al-Qalyubi, Shihabuddin, al-Qalyubi wa Umairoh, Mesir, Dar al-Ihya' al-Kutub


Arasyiyah, tt.

Al-Qudsi, Sudono, Urgensi Alat Bukti Persangkaan Dalam Perkara Perdata, dalam
Buletin Berkala Hukum dan Peradilan, Jakarta, Dirbinbapera Islam,
Dirbinbaga Islam, 2001.

Al-Qurtubi, al-Jami' Li Ahkam al-Qur'an, Beirut, Dar Ihya' at-Turas al-Arabi, 1985.

Al-Ramli, Syamsuddin Muhammad bin Abi al-Abbas Ahmad bin Humazah bin
Syihabudin, Nihayah al-Muhtaj, Beirut, Dar al-Ihya', 1004 H.

Rosyada, Dede, Hukum Pembuktian, Jakarta, Pradnya Paramita, 1975.

Rosyadi, Imron, Persangkaan (vermoeden) dalam kaitannya Sebagai Alat Bukti, dalam
Buletin Berkala Hukum dan Peradilan, Jakarta, Dirbin bapera Islam, 2001.

Rusyd, Ibn, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Mustafa al-Baaby al-


Halaby, 1960.
Sabiq, Sayyid, al-Fiqh al-Sunnah, Beirut, Dar al-Fikr, 1902.
157

Al-Salafi', Muhammad Luqman, al-Sunnah: Hujjiyatuha wa Makanatuha fi alIslam wa


al-Radd 'Ala Munkiriha, Madinah al-Munawarah, Maktabah al-Imin, 1979.

Samudera, Teguh, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung, Alumni, 1992.

Saleh, K. Wantjik, Hukum Acara Perdata Rbg/HIR, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990.

Al-Sarakhsi, Syams al-Din, Ushul al-Sarakhsi, Beirut, Dar al-Kitab al-'Ilmiah, 1993.

_________, al-Mabsuth, Beirut Dar al-Ma'rifah, tt.

Ash-Shan'any, Subulus-Salam, Bandung, Dahlan, tt.

Siregar, Bismar, Pembaharuan Hukum Pidana Nasional dan Prospek Hukum Islam di
Dalamnya, Tjun Surjana, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktek,
Bandung, Remaja Rosda Karya, 1994.

Subekti, R., dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta,


Pradnya Paramita, 1992.

_________, Hukum Pembuktian, Jakarta, Pradnya Paramita, 1975.

_________, dan Tjitrosudibio. R., Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan


Undang-Undang Kepailitan, Jakarta, Pradnya Paramita, 2000.

Syarifuddin, Amir, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang, Angkasa


Raya, 1993.

Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Nail al-Authar, Syarh Muntaqa
al-Ikhbar, Beirut, Dar al-Fikr, 1983.
158

Sujaman, Tjun, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktek, Bandung, Remaja
Rosda Karya, 1994.

Al-Suyuthi, Jalaludin, Muwatha' al-Imam Malik, Kairo, Mustafa al-Baaby al-Halaby,


1951.

_________, al-Jami' as-Saghir, Beirut Dar al-Fikr, tt.

Syatout, Muhammad dan as-sayis, Muhammad Ali, Muqarranah al-Mazahib, Mesir,


Mustafa Babi al-Halabi, tt.

Asy-Syarbaini, Muhammad, Mughni al-Muhtaj, Beirut Dar al-Fikr, 1958.

Sutantio, Retno Wulan dan Oeripkartawinata, Iskandar, Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktek, Bandung, Mandar Maju, 1989.

Asy-Syirazi, Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Fairuzabadi, al-Muhazzab fi Fiqhi
al-Imam as-Syafi'i, Beirut, Dar al-Fikr, 1994

Syalabi, Ahmad, Tasyri' wa al-Qadha' al-Fikr al-Islam, Kairo, Maktabah al-Bahdah


al-Misriyah, 1969.

Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Raja Grafindo, Persada,


2001.

_________, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986.

At-Tarablisy, Alaudin, Mu'in al-Hukum, Mesir, Mustafa al-Baaby al-Halaby, 1973.

Tresna, M. R., Komentar HIR, Jakarta, Pradaya Paramita, 1994.


159

At-Tirmizi, Abu Ishak Muhammad, Jami'at Tirmizi, Kairo, Dar asy-Sya'bi, tt.

Al-Yusu'i, Abu Luis Ma'luf, al-Munjid Fi al-Lughah, Beirut, Dar al-Masyriq, 1977.

Zaidan, Abdul Karim, Nizam al-Qadha' fi asy-Syari'ah al-Islamiyyah, Baghdad,


Marthba'ah al-'Ani, 1984.

Anda mungkin juga menyukai