Prinsip Pendidikan Islam

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 8

Pesan-Pesan Al-Qur’an tentang Pendidikan

A. Prinsip Pendidikan Islam


Pendidikan merupakan Lembaga utama yang memainkan peranan penting dalam
membangun dan menumbuh kembangkan peradaban. Maju mundurnya suatu peradaban
ditentukan oleh Pendidikan. Bahkan, peradaban dan kebudayaan umat manusia tidak
akan pernah muncul tanpa ada Lembaga yang mengarahkan manusia kearah tersebut.
Karena manusia terlahir ke dunia tidak memiliki daya dan ilmu yang dapat membuatnya
berkembang lebih maju. Maka, pendidikanlah yang membangun daya dan pengetahuan
tersebut dalam jiwa manusia. Al-quran menegaskan:

َ ‫َوٱهَّلل ُ َأ ْخ َر َج ُكم ِّم ۢن بُطُو ِن ُأ َّمهَ ٰـتِ ُك ْم اَل تَ ْعلَ ُمونَ َشئًْۭـا َو َج َع َل لَ ُك ُم ٱل َّس ْم َع َوٱَأْلب‬
َ‫ْص ٰـ َر َوٱَأْل ْفـِٔ َدةَ ۙ لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُون‬
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu apapun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan,
dan hati Nurani, agar kamu bersyukur. (QS. Al-Nahl (16): 78)
Adapun prinsip pendidikan Islam adalah, sebagai berikut:
1. Prinsip Tauhid
Menurut perspektif al-Qur'an, tauhid adalah merupakan akar utama yang harus
memberikan energi kepada pokok, dahan, dan daun kehidupan. Atau ia merupakan
hulu yang harus menentukan gerak dan kualitas air sebuah sungai kehidupan. Semua
aktivitas kehidupan mestilah berangkat dari tauhid tersebut, termasuk kegiatan dan
penyelenggaraan pendidikan.
Pendidikan terdiri atas beberapa komponen, yaitu murid, guru, dan kurikulum.
Nilai tauhid mestinya tercermin pada setiap komponen tersebut. Nilai tauhid mesti
mewarnai pribadi siswa dan guru serta interaksi atau komunikasi antara keduanya.
Guru mestinya tampilsebagai pribadi yang bertauhid, yang tercermin dalam perilaku,
tutur sapa, pikiran, dan rasa, Semuanya tnesti diwarnat oleh tauhid, seperti yang
terlihat pada pribadi para nabi mulai dari Adam AS hingga Muhammad SAW.
Demikian pula siswa, mereka ini mestinya dilihat sebagai komunitas pencari nilai-
nilai tauhid, Maka semua aktivitas belajar dan interaksi antara guru dan murid tidak
boleh bertentangan dengan nuansa tauhid.
2. Risalah Ilahiyah
Selain akidah tauhid yang meliputi perbincangan mengenai Allah, manusia,
dan alam, pendidikan Islam juga dibangun atas prinsip risalah ilahiyah.
Penyelenggaraan pendidikan mesti selaras dan sesuai bahkan didasarkan atas risalah
ketuhanan yang dibawa para nabi, terutama Nabi Muhammad SAW. Allah telah
mengutus para rasul kepada umat manusia untuk menyampaikan atau mengajarkan
risalah-Nya agar manusia memegangi serta mempedomani risalah tersebut dalam
menjalankan kehidupan mereka di dunia ini.
Risalah itu berarti pesan-pesan Tuhan yang dibawa para rasul untuk
disampaikan kepada umatnya. Pesan-pesan tersebut berisi akidah tauhid, pesan-pesan
moral, dan tatanan hidup yang mengatur interaksi manusia dengan Tuhan, alam
sekitar, dan sesama manusia itu sendiri. Semua nabi dan rasul yang diutus Allah
kepada umat manusia membawa risalah yang sama. Tidak ada perbedaan risalah yang
dibawa seorang rasul dengan risalah yang dibawa rasul lainnya, kecuali risalah yang
berkaitan dengan tatanan kehidupan sosial atau hukum. Semua nabi dan rasul
mengajarkan risalah tauhid kepada umat mereka, yaitu u budi Allah ma lakum min
ilahin ghayruh (sembahlah Allah, tiada Tuhan bagimu selain-Nya). Banyak ayat Al-
qur'an menjelaskan kesamaan risalah tauhid yang dibawa para nabi tersebut.
Perbedaan risalah para nabi itu hanya terdapat pada persoalan-persoalan mu'amalah,
seperti makanan, tata cara ibadah kepada Allah dan lain sebagainya.
Risalah ilahiyah yang dibawa Nabi Muhammad, seperti yang termuat dalam
al-qur'an dan sunnahnya, mengandungi tiga isi utama di mana manusia dituntut agar
mematuhi dan menyikapi dengan baik ketiga isi tersebut. Pertama, keimanan atau
akidah tauhid, seperti yang juga termuat dalam kitab-kitab suci sebelumnya. Hal itu
meliputi keimanan kepada Allah, di mana mengimani-Nya mempunyai konsekuensi
kemestian mengimani malaikat, kitab suci yang diturunkan-Nya kepada manusia,
rasul, adanya hari perhitungan, dan keyakinan kepada ketentuan Allah. Mengimani
persoalan-persoalan ini mesti pula melahirkan perilaku terpuji yang disebut dengan
akhlak mulia. Oleh sebab itu, akidah dan keshalehan merupakan suatu kesatuan yang
tidak boleh dipisahkan.
Lembaga pendidikan merupakan wadah mengkaji dan menanamkan risalah
ilahiah. Pendidikan didirikan atas dasar pewarisan, pengkajian, dan pengembangan
risalah ilahiah itu. Pendidikan berfungsi mewariskan pesan-pesan ilahi dari generasi
ke generasi sehingga ia tetap eksis, lestari, atau kekal sepanjang eksisnya manusia di
bumi ini. Hukum normatif yang terkandung dalam al-qur'an termasuk akidah tauhid
merupakan misi utama lembaga pendidikan Islam. Ia diwariskan dan
ditransformasikan sehingga menjadi bagian internal pribadi peserta didik serta
diamalkan dalam menjalani kehidupan ini. Demikian pula hukum Allah yang tidak
bersifat normatif (hukum alam), ia juga mesti dikaji dalam memberi penguatan
terhadap hukum normatif. Semua kegiatan pendidikan didasarkan dan dirujukkan
kepada persoalan-persoalan ini. Kebijakan dan program pendidikan ditetapkan dan
diimplementasikan berdasarkan risalah ilahiyah ini, termasuk kebijakan mengenai
kurikulum dan proses pembelajaran.

B. Perspektif Al-Quran Tentang Ilmu Pengetahuan


Islam, sebagai ajaran ilahi, kaya dengan ide dan gagasan. Paradigma. nya dalam
mengkaji dan menjelaskan suatu permasalahan selalu menunjukkan perbedaan dengan
paradigma lainnya, terutama Barat (non-Islam) termasuk di antaranya konsep ilmu.
Perbedaan Islam dan non-Islam mengenai kerangka berpikir tentang suatu persoalan,
termasuk konsep ilmu, berawal dari perbedaan antara keduanya dalam memandang dan
memberikan penilaian terhadap alam, manusia, dan kehidupan. Barat memandang atau
menilai ketiga persoalan tersebut dari sudut material dan keuntungannya kepada
manusia secara material pula.
Adapun perspektif Al-Quran tentang ilmu pengetahuan, sebagai berikut:
1. Konsep Ilmu
“Ilmu” merupakan suatu istilah yang berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘alima
yang terdiri dari huruf ‘ayn, lam, dan mim. Al-Quran sering menggunakan kata ini
dalam berbagai sighat (pola), yaitu Masdar, fi’il mudari’, fi’il madi, amr, isim fa’il,
isim maf’ul, dan isim tafdil. Antara lain, kata al-‘il terdapat dalam firman Allah:
َ ِ‫ت ِإنِّى قَ ْد َجٓا َءنِى ِمنَ ْٱل ِع ْل ِم َما لَ ْم يَْأت‬
‫ك‬ ِ َ‫يَ ٰـَٓأب‬٤٢ ‫ك َشئًْۭـا‬
َ ‫ص ُر َواَل يُ ْغنِى عَن‬ ِ َ‫ِإ ْذ قَا َل َأِلبِي ِه يَ ٰـَٓأب‬
ِ ‫ت لِ َم تَ ْعبُ ُد َما اَل يَ ْس َم ُع َواَل يُ ْب‬
٤٣ ‫ص ٰ َر ۭطًا َس ِو ۭيًّا‬ ِ ‫ك‬ َ ‫فَٱتَّبِ ْعنِ ٓى َأ ْه ِد‬
(Ingatlah) Ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku!
Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan
tidak dapat menolongmu sedikitpun? Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai
kepadaku Sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku,
niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. (QS. Maryam (19):
42-43).
Kata “al-ilm” dalam ayat ini berarti pengetahuan yang berisi risalah ilahiyah
yang diterima Ibrahim dari Allah. Risalah itu berisi ajaran tauhid dan ketentuan-
ketentuan Allah yang mesti dipatuhi manusia. Selain konsep ilmu, firman Allah ini
juga menggambarkan tentang guna atau manfaat suatu pengetahuan, baik bagi diri
sendiri maupun orang lain yaitu ia dapat mengantarkan manusia ke jalan yang benar,
yang penuh dengan kesenangan dan kebahagiaan.
Secara harfiah, “ilmu” dapat diartikan kepada tahu atau mengetahui. Secara
istilah, ilmu berarti memahami hakikat sesuatu, atau memahami hukum yang berlaku
atas sesuatu.
Dalam pandangan al-Our'an, ilmu tersebut dapat membentuk sikap atau sifat-
sifat manusia. Atau dengan kata lain, sikap atau karakter seseorang merupakan
gambaran pengetahuan yang dimilikinya. Maka perbedaan sikap dan pola pikir antara
seseorang dengan lainnya dilatarbelakangi oleh perbedaan pengetahuan mereka.
Itulah sebabnya pola pikir atau sikap seorang yang ahli dalam bidang sains dan
teknologi, misalnya, berbeda dengan orang yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu sosial.
Bahkan ilmu pengetahuan tidak hanya membentuk pola pikir, sifat dan karakter
seseorang tetapi juga dapat membentuk perilaku. Al-dur'an menafikan persamaan
antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu'. Penafian itu tentu saja
tidak hanya . mengenai persamaan sifat tetapi juga persamaan perilaku. Maka itulah
sebabnya kitab suci tersebut memerintahkan umat ini agar banyak belajar, meneliti,
dan mengamati fenomena alam guna mendapatkan ilmu pengetahuan. Selanjutnya,
pengetahuan itu dapat membentuk kesadaran dan sikap kemudian dapat pula
melahirkan perilaku berdasarkan kesadaran atau sikap yang telah terbentuk itu.
Dengan demikian, belajar pada hakikatnya tidak hanya sematamata pencarian
ilmu. Atau dengan kata lain, penguasaan ilmu bukanlah tujuan utama suatu
pembelajaran, penguasaan ilmu hanya sebagai jembatan atau alat yang dapat
mengantarkan manusia kepada kesadaran, keyakinan, dan perasaan atau sikap positif
terhadap fenomena alam dan kehidupan sebagai suatu sistem ilahiyah, Dan pada
akhirnya, hal ini dapat melahirkan perilaku seorang hamba yang menyadari kehadiran
Tuhan dalam setiap saat kehidupan yang dilalui.
2. Sumber Ilmu
Peta Konsep Sumber Ilmu

ALLAH

Alam dan Hukum Al-Qur’an al-Karim


Alam dan Wahyu lainnya

Keterangan :
Manusia
: Penciptaan

: Pewahyuan

: Penciptaan dan
Pelimpahan
Jadi,Ilmu
manusia merupakan makhluk pencari ilmu. Ilmu tersebut ia dapatkan
: Pencarian Ilmu
melalui alam, wahyu tersurat, dan atau ilham. Semua ilmu yang diperoleh manusia
dari mana
Peta Konsep : Allahpun ia pelajari
sebagai adalah
Pusat dan ilmuIlmu
Sumber Tuhan atau bersumber dari Tuhan.
Pengetahuan
3. Cabang Ilmu
Bagi ibn Sina, terlihat bahwa ilmu metafisika atau ilmu ketuhan lebih utama
dari ilmu lainnya. Sebab, persoalan ini menyangkut kewajiban manusia sebagai
individu dan hubungannya dengan Sang Pencipta.
Berbeda dari Ibn Sina, Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu kepada dua
macam, yaitu ilmu shari’ah dan ilmu gayr al-shari’ah. Klasifikasi ini serasi dengan
pembagian yang dibuat oleh Ibn Khaldun, yang membagi ilmu itu kepada ilmu naqqal
dan ilmu ‘Aqal. Yang pertama sama dengan ilmu shari’ah dan yang terakhir sama
dengan ilmu ghayr al shari’ah dalam kategori Al-Ghazali.
Walaupun para ilmuwan muslim klasih telah mengklasifikasikan cabang-
cabang ilmu tersebut, naun mereka sepakat bahwa yang terpenting adalah semua
cabang itu berangkat dari sumber utamanya, yaitu Allah. Maka pembelajaran sebagai
pewarisan ilmu dan penelitian sebagai pengembangan ilmu mesti diformat atas dasar
keimanan dan ketakwaan.
4. Jendela Perolehan Ilmu
Banyak ayat Al-Qur’an yang mendorong manusia agar mempelajari fenomena
alam, seperti: unta, angkasa, bumi, gunung, manusia dan ufuk. Hal ini berarti
fenomena ala mini mesti dipelajari agar manusia mendapatkan ilmu mengenainya.
Ayat-ayat itu selain menggambarkan sesuatu yang dipelajari, ia juga mendeskripsikan
cara-cara mendapatkan ilmu mengenainya. Menurut Al-Qur’an, ilmu itu dapat
diperoleh melalui tiga hal, yaitu: rasional, empiris, dan wahyu atau ilham.
Mendapatkan ilmu melalui rasio, misalnya dapat dilihat dalam firman Allah
ayat 12-16 Surah Al-Mu’minun yang bicara tentan embriologi. Secara tekstual, ayat-
ayat tersebut mendeskripsikan proses kejadian dan perjalanan hidup manusia, mulai
dari tanah sampai kepada penentuan nasibnya yang abadi; surga atau neraka.
Ilmu pengetahuan itu tumbuh dan berkembang dalam diri manusia melalui
pengalaman empiris, rasional, dan ilham yang masuk melalui indra, baik zahir, batin,
maupun kalbu. Dengan kata lain, indra merupakan bagian dari unsur kepribadian
manusia yang menjembatani masuknya ilmu pengetahuan ke dalam diri, sehingga
ilmu tersebut menjadi internal kepribadian manusia. Tidak hanya itu, indra juga
berfungsi membangun karakter. Adapun karakter terbangun berdasarkan ilmu
pengetahuan dan ilmu itu sendiri dipasok oleh indra. Dengan demikian, semakin aktif
indra berinteraksi dengan objek pengetahuan, semakin dalam pengetahuan seseorang.
Selain itu, semakin berkualitas informasi yang ditangkap indra dari suatu objek,
semakin berkualitas pula pengetahuan yang diperoleh. Begitu pula sebaliknya. Oleh
karena itu, al-Our'an selalu mengajak manusia menggunakan indranya untuk
mengkaji alam dan fenomena yang terjadi.
5. Orientasi Pendidikan
Adapun yang dimaksud dengan orientasi pendidikan dalam kajian ini adalah
kecenderungan ke mana peserta didik diarahkan. Suatu lembaga pendidikan
mempunyai rancangan mengenai apa yang ia harapkan dari peserta didik setelah
mereka melalui bimbingan atau proses pembelajaran pada lembaga tersebut.
Demikian pula peserta didik, atau masyarakat, mereka juga mempunyai rancangan
mengenai apa yang ingin mereka peroleh melalui proses pendidikan.
Kedua keinginan (keinginan lembaga pendidikan dan keinginan masyarakat)
mestilah berhubungan. Suatu lembaga pendidikan mesri menyusun sistem yang
sesuai dengan apa yang diinginkan komunitas masyarakat, demikian pula masyarakat
mesti mencari lembaga pendidikan yang sesuai dengan kecenderungan putra-
putrinya.
Menurut Farhan, menyebutkan tiga prinsip yang mesti diimplementasikan
dalam proses pembelajaran, yaitu:
a. Pertama adalah semua ciptaan ini mempunyai tujuan. Alam semesta dan segala
isinya yang menjadi objek kajian ilmu pengetahuan diciptakan berjalan atau
berlaku sesuai kehendak Allah. Manusia diciptakan bertujuan agar ia mengimani
Sang Penciptanya, dan kehidupan diciptakan bertujuan untuk memperoleh
keamanan dan kenyamanan.
b. Kedua adalah prinsip kesatuan baik alam, manusia, maupun kehidupan. Alam
sebagai ciptaan Tuhan terdiri dari bagian-bagian. Ja merupakan suatu sistem yang
saling berkait antara satu dengan yang lain. Sistem itu merupakan hukum alam
telah ditetapkan oleh Allah. Al Mur'an menyebut ketundukan dan beredar atau
berlakunya alam ini atas ketetapan Allah itu dengan “sujud”. Artinya, alam dan
segala isinya sujud kepada-Nya dengan kepatuhannya kepada ketetapan tersebut.
Maka dengan kepatuhannya itu pula, sistem dan hukum alam itu bisa berubah jika
Tuhan menghendaki demikian.
c. Ketiga adalah prinsip keseimbangan (al-ittizan). Kedua prinsip di atas (penciptaan
yang bertujuan dan prinsip kesatuan) mesti dipahami sebagai suatu keseimbangan.
Manusia, alam, dan sistem yang berlaku padanya terajut sedemikian rupa, di mana
kebaikan dan kerusakan salah satu darinya berpengaruh kepada yang lain. Jika ada
di antara bagian-bagian alam ini yang rusak, maka yang lain juga akan rusak.
Dengan demikian jelaslah, bahwa kerusakan alam berdampak kepada manusia
serta kehidupannya, dan kemiskinan yang disebabkan oleh kezaliman dan
ketidakjujuran berdampak pula kepada yang lain, baik yang terlibat dalam menzalimi
ataupun tidak, Al-Qur'an menegaskan:
٢٨ ‫َوٱ ْعلَ ُم ٓو ۟ا َأنَّ َمٓا َأ ْم ٰ َولُ ُك ْم َوَأوْ لَ ٰـ ُد ُك ْم فِ ْتنَ ۭةٌ َوَأ َّن ٱهَّلل َ ِعن َد ٓۥهُ َأجْ ٌر َع ِظي ۭ ٌم‬
Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang
yang zalim saja diantara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.
(QS. Al-Anfal (8): 25).
Ketiga prinsip di atas perlu terdapat dan dijabarkan dalam proses
pembelajaran serta evaluasi. Sepantasnya kurikulum dan silabus disusun berdasarkan
prinsip-prinsip tersebut. Ia perlu menggambarkan kepada siswa, bahwa segala yang
ada ini diciptakan mempunyai tujuan, terbentuk dalam suatu kesatuan yang tiada
terpisahkan serta keseimbangan, Berdasarkan prinsip ini, maka para peserta didik
diharapkan benar-benar menyadari, bahwa dirinya bagian dari penciptaan yang
bertujuan yang berada dalam suatu sistsem kesatuan dan keseimbangan itu.

Anda mungkin juga menyukai