Jurnal Liberalisme

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 111

ANALISIS FATWA MUI TENTANG PLURALISME, LIBERALISME

DAN SEKULARISME AGAMA

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)

Oleh:
Andi
Permana
NIM : 1112043200006

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
ABSTRAK

Andi Permana, NIM 1112043200006, ANALISIS FATWA MUI


TENTANG PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA,
Strata Satu (S-1), Jurusan Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1438 H/2017 M, 82
halaman.
Skripsi ini merupakan upaya untuk memaparkan mengenai permasalahan
ditolaknya putusan Fatwa MUI Nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama oleh para pemikir Islam Liberal
serta perbedaan pemahaman antara pemikir Islam Liberal dengan MUI terhadap
berkembangnya paham Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui Fatwa MUI tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama. Selanjutnya, untuk mengetahui perbedaan
pemahaman antara pemikir Islam Liberal dan MUI tentang paham Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama.
Adapun penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif
tertulis, dengan melakukan pendekatan analitis, yang menghasilkan data deskriptif
dengan mengkaji permasalahan yang terdapat dalam skripsi ini. Metode
pengumpulan data yang digunakan, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka.
Selain itu, sumber data penelitian yang digunakan mengacu kepada Fatwa MUI
Nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan
Sekularisme Agama serta mencari data dari al-Qur’an, Hadits, buku-buku, jurnal,
dan artikel yang relevan dengan masalah dalam skripsi ini.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan bahwa Fatwa MUI tentang
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama menegaskan pengharaman
kepada umat Islam untuk mengikuti paham Pluralisme, Liberalisme dan
Sekularisme Agama, karena hanya menambah kesesatan bagi yang mengikutinya.
Selain itu, perbedaan pemahaman antara pemikir Islam Liberal yang
membolehkan paham Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama dengan
alasan kebebasan berpikir dalam HAM. Kemudian, MUI yang melarang paham
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama dengan alasan bertentangan
terhadap ajaran agama Islam.

Kata kunci : Analisis, Fatwa MUI, Pluralisme, Liberalisme,


Sekularisme Agama.
Pembimbing : 1. Dr. H. Ahmad Sudirman Abbas, MA
2. Hj. Siti Hanna, S. Ag, Lc, MA
Daftar Pustaka : 1988-2016.
KATA PENGANTAR
‫بسم ّلال ال هرحمن ال هرحيم‬

Puji dan syukur yang tiada hentinya dipanjatkan kepada sang Penguasa

alam Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, karunia dan hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “ANALISIS

FATWA MUI TENTANG PLURALISME, LIBERALISME DAN

SEKULARISME AGAMA”. Shalawat serta salam dilimpahkan kepada Nabi

Muhammad SAW yang telah mengantarkan umatnya dari kegelapan dunia ke

zaman pencerahan ilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini.

Selama penulisan skripsi ini penulis menyadari banyak mengalami

kesulitan dan hambatan untuk mendapatkan data dari referensi. Namun berkat

kesungguhan hati dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga kesulitan itu dapat

diselesaikan. Untuk ini penulis mengucapkan terimakasih kepada yang

terhormat:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
3. Fahmi Muhammad Ahmadi, M. Si, dan Hj. Siti Hanna, S. Ag, Lc, MA,

Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Sekretaris Program Studi

Perbandingan Mazhab Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Pembimbing Akademik Dr. Fuad Thohari, MA, dan seluruh Dosen Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

vi
5. Dosen pembimbing Skripsi Dr. H. Ahmad Sudirman Abbas, MA, dan Hj.

Siti Hanna, S. Ag, Lc, MA, yang selalu memberi pengarahan, pembelajaran

yang baru bagi saya dengan penuh keikhlasan, kesabaran dan keistiqomahan

dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Khusus kepada kedua orang tua penulis yang sangat penulis cintai dan

sayangi. Ayahanda tercinta Arifin dan ibunda tercinta Chaironi yang selalu

mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini, serta telah mengorbankan seluruh hidupnya

untuk membahagiakan dan membesarkan penulis sampai saat ini. Tidak

akan pernah dan mustahil penulis mampu membalas kebaikan yang telah

diberikan selama ini. Kedua orang tua selalu menjadi sumber teladan bagi

penulis dalam mengarungi kehidupan dan menyelesaikan skripsi ini.

7. Kepada kakak dan adik penulis yang selalu memberikan semangat serta

mendoakan penulis dalam perjalanan studi penulis dan penyelesaian

skripsi ini.

8. Kepada guru ngaji penulis, abang Abdul Aziz dan Rahmat. Terimakasih

telah membantu penulis dalam perjalanan studi baik dalam bentuk materil
maupun moril.

9. Kepada teman-teman seperjuangan mahasiswa PH (Perbandingan Hukum)

angkatan 2012, khususnya Muhammad Aryo Purwanto, Adam Rohili,

Suhadi Yazid, Achmad Furqon, Zaki Mubarok, Nova Sandy Prasetyo,

Ahmad Fajri, Nurhilaluddin, Miladiyah, Mawaddah, Ronni Johan, Bukhori

Muslim, Fatima Wati, serta teman-teman lain yang selalu memberikan

vii
semangat, dukungan, dan saran kepada penulis. Terimakasih teman-teman,

dengan kebersamaan kita selama ini dalam suka dan duka. Penulis

menyadari itu semua sebagai pengalaman berharga yang tidak akan pernah

terlupakan.

10. Kepada sahabat-sahabat terbaikku Rizal Nurdiansyah, Fuadz Zakariya,

Nursaman, Nurkolis Madjid, Endan Setiawan dan Muhammad Arwan Fauzi.

Terimakasih atas semangat dan dukungannya kepada penulis dalam

penyelesaian skripsi ini. Terimakasih telah membuat cerita dalam

hidup penulis baik berupa canda tawa, tangis dan pengorbanan. Tetaplah

selalu menjadi sahabat yang terbaik bagi penulis.

11. Seluruh pihak yang terkait dengan penyusunan skripsi ini yang mana

penulis tidak bisa sebutkan satu persatu. Semoga Allah senantiasa

memberkati langkah kita. Semoga Allah membalas amal baik kalian

semua dengan kebaikan yang berlipat ganda.

Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat

khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca sekalian. Amin.

Jakarta, 24 Desember 2016

Penulis

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................................i

PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................................................ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI....................................................................iii

LEMBAR PERNYATAANiv
ABSTRAKv
KATA PENGANTARvi
DAFTAR ISIix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah............................................................

B. IdentifikasiMasalah..................................................................

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ........................................

ix
F. Metode Penelitian .....................................................................

12

G. Sistematika Penulisan ...............................................................

13

BAB II PLURALISME,LIBERALISMEDANSEKULARISME AGAMA


Pengertian Islam Liberal15
Sejarah dan lahirnya Islam Liberal17
Pluralisme Agama di dalam Masyarakat Islam dan Barat21
Liberalisme Agama di dalam Masyarakat Islam dan Barat26

E. Sekularisme Agama di dalam Masyarakat Islam dan Barat28

BAB III PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM TENTANG

PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME

AGAMA

A. Konsep Pluralisme Agama............................................................33

B. Konsep Liberalisme Agama..........................................................39

C. Konsep Sekularisme Agama.........................................................45

D. Kebebasan Berpikir Menurut Hukum Islam dan HAM...............51

E. Historisitas Kebebasan Berpikir Dalam Islam dan HAM............58

x
BAB IV ANALISA FATWA MUI NO. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005

TENTANG PLURALISME, LIBERALISME DAN

SEKULARISME AGAMA

A. Latar Belakang Lahirnya Fatwa MUI No.7/MUNAS

VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme

dan

Sekularisme Agama63
B. Landasan Hukum Fatwa MUI No. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
C. Analisis Perbandingan Fatwa MUI No. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Plural
Sekularisme Agama dengan HAM71

BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan74

B. Saran-saran76

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................78

LAMPIRAN

xi
BAB I

PENDAHULUA

A. Latar Belakang Masalah

Pada tahun 2005 MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam Musyawarah

Nasional MUI VII telah mengeluarkan keputusan fatwa mengenai Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme
MUI menjelaskan bahwa dewasa ini umat Islam tengah dihadapkan pada perang non fisik atau boleh dibila

keraguan terhadap akidah dan syariat Islam. Beberapa contoh yang dijelaskan oleh

MUI diantaranya pemikiran tentang relativisme agama, sinkretisme agama, penafian

serta pengingkaran terhadap hukum syariat.1

1
Keputusan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005.

1
2

Namun, ternyata respons negatif terhadap fatwa MUI tersebut bermunculan

dari para pemikir Islam Liberal itu sendiri. Diantaranya datang dari M. Dawam

Rahardjo yang menyatakan bahwa MUI telah melarang suatu paham yang

menurutnya bertentangan dengan ajaran agama Islam. Tentu ini bisa diartikan

sebagai pelarangan kemerdekaan berpikir, berpendapat dan berkeyakinan yang

merupakan bagian dari hak asasi manusia. MUI bisa berpendapat yang isinya

menolak suatu paham. Namun, jika melarang masyarakat menganut suatu paham,

itu namanya mengingkari kemerdekaan berpikir dan berpendapat. Lebih lanjut,

dalam fatwa MUI, liberalisme agama diartikan menggunakan akal pikiran secara

bebas dan bukan pemikiran yang dilandasi agama. Dalam hukum Islam haruskah

penggunaan pikiran manusia dalam pemikiran Islam itu harus dicegah? Jika

dicegah melalui hukum, hal itu sama saja dengan pemberangusan kebebasan

berpikir. Selain itu, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang intinya

mengantisipasi dijumpainya persoalan-persoalan yang tidak ditemukan

petunjuknya, baik dalam Al Quran maupun As Sunnah. Dalam kasus yang

demikian, Nabi SAW mengizinkan penggunaan akal bebas, yang disebut ijtihad.
negara dan suksesi
Misalnya, masalahkepemimpinan. Jika pemikiran yang menggunakan akal bebas itu
pemilihan kepala
tidak diakui, sementara penggunaan akal bebas tidak bisa dicegah, bahkan

merupakan suatu keharusan dalam hal tidak ada landasan Al Quran dan Sunnah,

karena masalah itu merupakan persoalan dunia dan bukan agama, justru akan timbul

sekularisme, yang memisahkan masalah agama dan dunia atau agama dan negara.

Fatwa MUI juga menolak asas pluralisme beragama, tapi menerima pluralitas
3

beragama karena merupakan realitas. MUI agaknya membedakan pluralisme dan

pluralitas, yang memang berbeda. Yang satu pemikiran dan yang satu lagi adalah

realitas yang tak bisa ditolak. Namun, keduanya berkaitan satu sama lain.2

Hal yang sama juga diungkapkan salah satu aktivis Fatayat NU, Neng Dara

Afiah yang menyatakan bahwa 11 Fatwa MUI3 itu telah memporak-porandakan

kebebasan berpikir. Sebab menurutnya, kebebasan berpikir adalah mutlak bagi umat

Islam. Kemajuan umat Islam diperoleh dari kebebasan berpikir dan kebebasan

berpikir sekarang ini telah dirampok oleh MUI melalui pelarangan pluralisme,

sekularisme dan liberalisme. Karena semua itu harus dipelajari, bukannya

dipenjarakan atau ditutupi.4

Fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme agama itu kemudian

mendapatkan sorotan yang sangat tajam dari sejumlah ulama papan atas. Salah satu
2
Lihat M. Dawam Rahardjo. https:/m.tempo.co/read/news/2005/08/01/05564630/kala-mui-
mengharamkan-pluralisme, artikel diakses pada 14 Juli 2016.
3
Hasil Munas VII MUI yang patut disimak adalah 11 fatwa yang dirilis. 11 fatwa tersebut
ialah: (1) MUI mengharamkan pelanggaran hak atas kekayaan intelektual termasuk hak cipta. (2) MUI
mengharamkan perdukunan dan peramalan termasuk publikasi hal tersebut di media. (3) MUI
mengharamkan doa bersama antaragama, kecuali doa menurut keyakinan atau ajaran agama masing-
masing, dan mengamini pemimpin doa yang berasal dari agama Islam. Fatwa ini dikeluarkan karena
doa bersama antaragama dianggap sebagai sesuatu yang bid’ah atau tidak diajarkan dalam syariah
agama Islam. (4) MUI mengharamkan kawin beda agama kecuali tidak ada lagi muslim atau
muslimah untuk dinikahi. (5) MUI mengharamkan warisan beda agama kecuali dengan wasiat dan
hibah. (6) MUI mengeluarkan kriteria maslahat atau kebaikan bagi orang banyak. (7) MUI
mengharamkan pluralisme, sekularisme dan liberalisme. (8) MUI memfatwakan, hak milik pribadi
wajib dilindungi oleh negara dan tidak ada hak bagi negara merampas bahkan memperkecilnya,
namun jika berbenturan dengan kepentingan umum yang didahulukan adalah kepentingan umum.
Pemerintah dapat mencabut hak pribadi untuk kepentingan umum jika dilakukan dengan cara
musyawarah dan tanpa paksaan serta harus menyediakan ganti rugi dan tidak untuk kepentingan
komersial. (9) MUI mengharamkan perempuan menjadi imam salat selama ada pria yang telah akil
balig. Perempuan mubah jika menjadi imam salat bagi sesama perempuan. (10) MUI mengharamkan
aliran Ahmadiyah. (11) MUI memperbolehkan hukuman mati untuk tindak pidana berat. Lihat
http://m.detik.com/news/berita/412287/11-fatwa--mui-mulai-imam-perempuan-hingga-liberalisme,
artikel diakses pada 08 Desember 2016.
4
Lihat Kala Fatwa jadi penjara “MUI merampok Kebebasan Berpikir”. Sumber.
http://www.wahidinstitute.org/v1/Programs/Detail/?id=217/hl=id, artikel diakses pada 15 Juli 2016.
4

respons datang dari Gus Dur, menurutnya Indonesia bukanlah negara yang didasari

oleh satu agama tertentu dan MUI bukanlah institusi yang berhak menentukan

apakah sesuatu hal benar atau salah. Gus Dur juga menilai sikap pemerintah, seperti

ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka Munas ke-7 MUI di Istana

Negara, sebagai sikap yang keliru dari pemimpin formal Indonesia.5 Kemudian,

tanggapan datang dari ketua Umum PBNU pada masa itu, KH Hasyim Muzadi,

beliau menyatakan bahwa fatwa MUI itu merupakan suatu langkah mundur bagi

kehidupan antar-umat beragama. Bahkan, Azyumardi Azra menilai ada

kesalahpahaman tentang arti pluralisme yang dipakai sebagai acuan oleh MUI

dengan pengertian pluralisme dalam wacana akademik. Sehingga, dikehendaki agar

fatwa tentang pengharaman pluralisme agama tersebut segera ditinjau kembali. Jika

fatwa pengharaman itu tidak direvisi, dikhawatirkan dialog dan kerja sama agama-

agama yang tengah mengalami surplus di Indonesia akan kandas dan pupus

kembali. Kemungkinan, umat beragama di Indonesia akan berada dalam era penuh

prasangka dan ketegangan sehingga mudah tersulut amarah dan konflik. Jika

demikian yang terjadi, maka yang rugi adalah seluruh warga bangsa di negeri ini.6
Munas MUIhasil
Penjelasan tersebut menunjukkan betapa intervensi negara (pemerintah) masih

sangat kuat. Kompleksitas peran MUI dalam menentang pluralisme agama menjadi

semakin terasa ketika para tokoh agama terutama yang berada di luar jalur

5
Adian Husaini, Pluralisme Agama: Haram (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 4.
6
Lihat Abd Moqsith Ghazali,
http://wahidinstitute.org/v1/Opini/Detail/?id=47/hl=id/Fatwa_MUI_Dan_Keterancaman_Pluralisme_
Agama, artikel diakses pada 21 Juli 2016.
5

pemerintah seperti Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid tidak memberikan

respons positif terhadap kebijakan MUI yang menentang pluralisme agama di negeri

ini.7

Menurut penulis, MUI dengan otoritasnya sebagai Lembaga Swadaya

Masyarakat yang mengeluarkan fatwa kepada masyarakat tampaknya mempunyai

inisiatif baik dengan mengeluarkan fatwa tersebut supaya umat Islam tidak

terpengaruh oleh paham-paham menyesatkan yang berasal dari luar agama Islam.

Mengingat belum ada yang membahas tema tersebut, maka penulis memandang

perlu mengangkat penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis

Fatwa MUI Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama”.

B. Identifikasi Masalah

Supaya pembahasan masalah ini tidak rancu, maka perlu adanya identifikasi

masalah. Masalah ditolaknya fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan

Sekularisme Agama oleh para pemikir Islam Liberal dengan dalih kebebasan

berpikir dan berpendapat dalam menjalankan kehidupan beragama di masyarakat,

yang menurut mereka kebebasan berpikir adalah bagian dari hak atas kebebasan
yang telah dimiliki oleh setiap manusia.
pribadi
Masalah yang dapat diidentifikasi penulis adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme

Agama?

7
Halid Alkaf, Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia (Jakarta: Kompas, 2011), h. 210.
6

2. Bagaimana dampak dari Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama

terhadap akidah dan syariat Islam?

3. Bagaimana perbedaan pemahaman antara pemikir Islam Liberal dan MUI

terhadap Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama?

4. Bagaimana tanggapan masyarakat Islam terhadap gagasan-gagasan Islam

Liberal?

5. Bagaimana perbandingan antara Hukum Islam dan HAM terhadap Pluralisme, Liberalisme dan Sekular
C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah

Peneliti akan membatasi tema penelitian ini hanya mengkaji fatwa MUI nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/200
Pokok masalah yang hendak diteliti dalam penelitian ini ialah ditolaknya putusan fatwa MUI nomor 7/MUN

1. Bagaimana fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme

Agama?

2. Bagaimana perbedaan pemahaman antara pemikir Islam Liberal dan MUI

terhadap Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama?


7

D. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan

Sekularisme Agama.

2. Untuk mengetahui perbedaan pemahaman antara pemikir Islam Liberal dan

MUI terhadap Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang dilakukan ini diharapkan bermanfaat bagi pihak yang mempunyai kepentingan den
Bagi penulis

Sebagai bahan untuk menambah informasi dan pengetahuan serta pemahaman terhadap Fatwa MUI tentang
Bagi akademisi

Skripsi ini dapat menambah literatur penelitian pustaka dan referensi bacaan dalam rangka memajukan keilm

3. Bagi masyarakat

Penelitian ini dapat menjadi literatur bacaan yang bermanfaat dalam hal

memberikan informasi, sumbangan pemikiran dan menambah khazanah pengetahuan

pembaca, khususnya dalam bidang ilmu hukum Islam.


8

F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dalam penelitian terdahulu telah ada penulisan yang terkesan mirip dengan

penulisan skripsi yang dipilih oleh penulis, yaitu jurnal yang ditulis oleh Bustanul

Arifin, dalam Jurnal at-Tahdzib tahun 2014 yang berjudul “Fatwa dan Demokrasi:

Studi Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)”. Penelitian ini terfokus

membahas fatwa-fatwa MUI yang dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip

demokrasi paling fundamental, yaitu persamaan, kebebasan dan pluralisme. Hasil

dari penelitian ini menyatakan bahwa fatwa MUI berimplikasi terhadap nilai-nilai

demokrasi yaitu, nilai persamaan, nilai kebebasan dan nilai pluralisme. Diantaranya

fatwa MUI tentang pakaian kerja wanita bagi petugas medis yang secara literal

bertentangan dengan nilai persamaan dalam demokrasi. Kemudian, fatwa MUI

tentang Ahmadiyyah, yang secara literal fatwa tersebut tidak mencerminkan nilai

kebebasan baik dalam perspektif sosial, politik dan budaya. Dilanjutkan dengan

fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme yang secara literal

tidak mencerminkan nilai-nilai pluralisme dalam budaya demokrasi. Perbedaannya

dengan penulis, yaitu penulis lebih fokus menganalisis fatwa MUI tentang
Liberalisme
Pluralisme, dan Sekularisme Agama yang ditolak oleh para pemikir Islam Liberal
karena menurut mereka dinilai bertentangan dengan nilai kebebasan dalam HAM

serta mengenai perbedaan pemahaman antara MUI dengan para pemikir Islam

Liberal terhadap Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.

Kemudian, skripsi yang ditulis oleh Edi Usman, UIN Sultan Syarif Kasim

Riau, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadits tahun 2013, yang berjudul “Islam
9

Liberal dalam Pemikiran Ulil Abshar Abdalla”. Penelitian ini mengkaji tentang Ulil

Abshar Abdalla dengan pemikiran Islam Liberalnya serta berkaitan dengan gagasan-

gagasan pembaruan di kalangan intelektual, khususnya gagasan Liberalisasi Islam

yang datang dari Barat dan memberi pengaruh terhadap pola pemikiran intelektual

muda Indonesia. Hasil dari penelitian ini menjelaskan ada beberapa faktor

materialistik kecenderungan pada golongan tertentu dalam Islam untuk mudah

menganggap sesat, kafir, musuh atau murtad pada golongan-golongan lain yang

mempunyai tafsiran berbeda dalam lapangan akidah. Kemudian pemikiran Ulil

yang menekankan bahwa kebebasan itu merupakan hak semua manusia.

Perbedaannya dengan penulis, yaitu penulis fokus menganalisis fatwa MUI tentang

Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama yang ditolak oleh para pemikir

Islam Liberal karena menurut mereka dinilai bertentangan dengan nilai kebebasan

dalam HAM serta perbedaan pandangan antara MUI dengan para pemikir Islam

Liberal terhadap Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.

Selanjutnya penelitian yang ditulis oleh Muhammad Harfin Zuhdi dalam

Jurnal Ulumuna, Volume 16 Nomor 1 (Juni) 2012 dengan judul “Tipologi


Hukum Islam: Pergulatan Pemikiran dari Tradisionalis Hingga
Pemikiran Liberalis”.

Penelitian ini menjelaskan kolaborasi suatu tipologi pemikiran hukum Islam yang

dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu tradisional, moderat dan liberal. Hasil

dari penelitian ini membagi umat Islam menjadi tiga kelompok dalam merespon

issue-issue yang berkembang dalam diskursus pemikiran kontemporer. Diantaranya,

kelompok yang secara kukuh tetap berpegang pada basis epistemologi yang telah
1

dibangun oleh para ulama terdahulu. Selanjutnya, kelompok yang sedikit banyak

telah terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Filsafat Barat, sehingga terkesan

Rasionalis, Sekularis, dus Liberalis. Kemudian, corak pemikiran dari kelompok yang

mencoba mengompromikan antara pandangan-pandangan kaum tradisionalis dan

liberalis. Perbedaannya dengan penulis, yaitu penulis hanya fokus mengkaji fatwa

MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama yang ditolak oleh

para pemikir Islam Liberal karena menurut mereka dinilai bertentangan dengan

nilai kebebasan dalam HAM serta perbedaan pandangan antara MUI dengan para

pemikir Islam Liberal terhadap Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.

Ada juga penelitian yang ditulis oleh Hamid Fahmi Zarkasyi, dalam Jurnal

Tsaqafah, Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430, Institut Studi Islam Darussalam (ISID)

Gontor, Ponorogo, dengan judul “Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama

Missionaris, Orientalis dan Kolonialis”. Penelitian ini membahas cara-cara

penyebaran paham Postmodernisme dan Liberalisme melalui jalan atau cara-cara

missionarisme, orientalisme dan kolonialisme. Hasil dari penelitian ini menjelaskan

bahwa perang pemikiran memerlukan rentang waktu yang lebih lama, ia


boleh jadi berlangsung sepanjang satu generasi. Perang pemikiran yang dipicu oleh
bahkan
globalisasi dan westernisasi ini umat Islam tidak perlu membawanya kepada

peperangan fisik. Perbedaannya dengan penulis, yaitu penulis fokus meneliti fatwa

MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama yang ditolak oleh para

pemikir Islam Liberal karena menurut mereka dinilai bertentangan dengan nilai
1

kebebasan dalam HAM serta perbedaan pandangan antara MUI dengan para pemikir

Islam Liberal terhadap Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.

Kemudian, ada lagi penulisan yang mirip, yaitu dalam Jurnal Substantia Vol.

14, No. 1, April 2011, dengan judul “Mengenal Pemikiran Islam Liberal” yang

ditulis oleh Lukman Hakim dan Mohd Nasir Umar. Penelitian ini membahas tentang

pro dan kontra terhadap kemunculan pemikiran Islam Liberal. Hasil dari penelitian

ini memaparkan pemikiran Islam Liberal sebagai corak pemikiran keislaman yang

muncul untuk merespon atas buruknya citra Islam yang sering diidentikkan dengan

kekerasan, radikalisme dan terorisme. Namun di sisi lain Islam Liberal dengan

pemahamannya yang terlalu longgar terhadap normatif Islam menjadikan

keberadaannya selalu dipertentangkan dengan Islam tradisionalis ataupun Islam

fundamentalis. Perbedaannya dengan penulis, yaitu penulis fokus menganalisis

fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama yang ditolak

oleh para pemikir Islam Liberal karena menurut mereka dinilai bertentangan

dengan nilai kebebasan dalam HAM serta perbedaan pandangan antara MUI

dengan para pemikir Islam Liberal terhadap Pluralisme, Liberalisme dan


Selain Agama.
Sekularisme itu, tulisan yang dimuat di dalam Jurnal Ulumuna, Volume X Nomor 1

Januari-Juni 2006, yang ditulis oleh Masnun Tahir dengan judul “Pencarian

Otentisitas Islam Liberal di Indonesia”. Penelitian ini membahas penelaahan

terhadap historisitas, otentisitas dan dasar metodologis Islam Liberal di Indonesia.

Hasil dari penelitian ini menginformasikan bahwa Islam Liberal merupakan

kelanjutan dan perubahan dari gerakan pembaharuan Islam sebelumnya. Kesadaran


1

yang perlu diperjuangkan oleh intelektual Islam dan agama lain adalah bagaimana

membiarkan semua potensi pemikiran keagamaan tumbuh, apakah itu formalis,

substansialis, maupun liberalis, serta secara sadar membangun dialog yang tidak

terburu-buru mengharapkan sebuah konsensus. Oleh sebab itu, penulis berusaha

untuk menelaah lebih dalam fatwa MUI mengenai paham-paham yang telah

disebutkan diatas.

G. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif tertulis.

Penelitian hukum normatif tertulis adalah metode penelitian hukum terhadap

aturan hukum yang tertulis.8

2. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi

dokumen atau bahan pustaka.

3. Sumber penelitian

Sumber primer, yaitu Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang


Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.

Sumber sekunder, diperoleh dari al-Qur’an, Hadits, doktrin-doktrin Hukum Islam

dan HAM, buku-buku hukum, literatur Islam, jurnal-jurnal, skripsi, artikel.

4. Pendekatan

8
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum (Ciputat: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 38.
1

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan analitis.

Pendekatan analitis hukum dimaksudkan untuk menganalisis pengertian hukum,

asas hukum, kaidah hukum, sistem hukum dan berbagai konsep yuridis.9

5. Metode analisis data

Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

tematik.

H. Sistematika Penulisan

Supaya pemahaman dalam naskah skripsi nanti teratur dan berurutan dengan baik, maka pembahasan propo
Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:

BAB I : Merupakan Bab Pendahuluan yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pem

BAB II : Membahas tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama yang

meliputi: Pengertian Islam Liberal, sejarah dan lahirnya Islam Liberal, Pluralisme

Agama di dalam Masyarakat Islam dan Barat, Liberalisme Agama di dalam

9
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia
Publishing, 2005), h. 311.
1

Masyarakat Islam dan Barat serta Sekularisme Agama di dalam Masyarakat Islam

dan Barat.

BAB III : Membahas tentang Perspektif Hukum Islam dan HAM tentang Pluralisme,

Liberalisme dan Sekularisme Agama yang meliputi: Konsep Pluralisme Agama,

Konsep Liberalisme Agama, Konsep Sekularisme Agama, Kebebasan berpikir

menurut Hukum Islam dan HAM, serta Historisitas kebebasan berpikir dalam Islam

dan HAM.

BAB IV : Membahas tentang Analisa Fatwa MUI No. 7/MUNAS

VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama yang

meliputi: Latar Belakang lahirnya Fatwa MUI No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005

tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama, Landasan Hukum Fatwa

MUI No. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan

Sekularisme Agama serta Analisis Perbandingan Fatwa MUI No. 7/MUNAS

VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama dengan

HAM.

BAB V : Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran, serta

dilengkapi dengan daftar pustaka.


BAB II

PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA

A. Pengertian Islam Liberal

Islam berasal dari kata kerja aslama, yang berarti beragama Islam1, dan

terdapat cukup banyak dijumpai dalam al-Quran. Selain dalam bentuk aslama,

derivasi dari kata Islam juga bisa ditarik menjadi salima min (selamat dari)2;

muslim (orang Islam)3; dan salam (sejahtera, kesejahteraan)4. Sedangkan, term

“liberal” berasal dari bahasa Latin liber yang berarti bebas dan bukan budak atau

kondisi dimana seseorang itu bebas dari kepemilikan orang lain. Kemudian,

makna bebas ini menjadi sikap masyarakat kelas terpelajar di Barat yang

membuka pintu kebebasan berpikir (The old Liberalism).5

Islam Liberal merupakan istilah yang bermula diperkenalkan oleh

beberapa penulis Barat seperti Leonard Binder, Charles Kurzman dan Greg

Barton. Binder menggunakan istilah “Islamic Liberalism”. Sedangkan Kurzman

dan Barton memakai istilah Islam Liberal (Liberal Islam).6 Definisi Islam

Liberal
Tema Islam Liberal yang dikemukakan Binder merupakan tema yang mengangkat

1
A. Thoha Husein Almujahid dan A. Atho’illah Fathoni Alkhalil, Kamus Akbar Bahasa
Arab (Indonesia-Arab) (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 543.
2
A. Thoha Husein Almujahid dan A. Atho’illah Fathoni Alkhalil, Kamus Akbar Bahasa
Arab (Indonesia-Arab), h. 1267.
3
Nur Mufid, Kamus Modern Indonesia-Arab Al-Mufied (Surabaya: Pustaka Progressif,
2010), h. 283.
4
Adib Bisri dan Munawwir AF, Kamus Al-Bisri : Indonesia -- Arab Arab – Indonesia
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), h. 315.
5
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris,
Orientalis dan Kolonialis”, Tsaqafah, V, no. I (Jumadal Ula, 1430), h. 3.
6
Lukman Hakim, “Mengenal Pemikiran Islam Liberal”, Substantia, XIV, no. 1 (April,
2011), h. 181.

15
1

dialog terbuka antara dunia Islam dengan dunia Barat, yaitu antara pemikiran

Islam dan pemikiran Barat. Dalam konteks dialog tersebut, yang terjadi bukan

hanya menarik akar-akar trend “Liberalisme Islam” hingga ke dunia Barat,

melainkan sebagai proses take and give yang saling mengisi dan menangani

persoalan-persoalan kemodernan, transformasi sosial dan tradisi lokal (menurut

Binder dalam konteks tradisi Arab).7

Kata Islam yang digunakan dalam istilah ini merupakan sebuah konsep

yang dipahami sebagai pegangan dan jalan hidup yang dilahirkan dari doktrin-

doktrin Islam, baik Al-Quran maupun as-Sunnah yang kemudian menjadi

sebuah objektivasi dari para pemeluknya terhadap sebuah ajaran. Islam

ditempatkan sebagai objek yang memuat dogma-dogma. Dogma tersebut

dipahami dan diinterpretasikan menurut perspektif intelektual muslim liberal

yang senantiasa melakukan reinterpretasi terhadap doktrin Islam sebagai bentuk

ijtihad untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Islam ditempatkan

sebagai sumber rujukan yang akan terus ditafsirkan. Sehingga akan terus ada

penafsiran- penafsiran baru terhadap doktrin-doktrin Islam.8 Islam Liberal

sebagai suatu
“project pemikiran”, layaknya sajian siap saji yang beraroma ideal (kaffah).9

Paradigma berpikir liberal mensyaratkan terbangunnya kebebasan berpikir dan

keluasan berijtihad atas dasar nilai-nilai universal atau nilai-nilai intrinsik Islam

7
Imam Mustofa, “Sketsa Pemikiran Islam Liberal di Indonesia”, Akademika, XVII, no. 2
(2012), h. 5.
8
Zuly Qodir, Islam Liberal Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002
(Yogyakarta: LKiS, 2010), h. 7.
9
Masnun Tahir, “Pencarian otentisitas Islam Liberal di Indonesia”, Ulumuna, X, no. 1
(Januari-Juni 2006), h. 123.
1

yang universal.10 Istilah Islam Liberal juga diartikan oleh para pendukungnya

sebagai sebuah interpretasi ajaran Islam yang punya perhatian lebih terhadap

berbagai persoalan modern, seperti demokrasi, kebebasan berpikir serta promosi

Hak Asasi Manusia (HAM). Kesemua interpretasi Islam yang selaras dengan

zaman itu hanya bisa dituntaskan dengan membuka kembali selebar-lebarnya

pintu ijtihad dengan menawarkan penafsiran Islam baru yang lebih senafas dengan

zaman.11 Sebagian ilmuan memahami Islam Liberal sebagai sebuah aliran

pemikiran yang tidak lagi mempercayai Islam sebagai agama yang didasarkan

pada Al-Qur’an dan hadits sebab intelektual liberal sering melakukan kritik

terhadap pemahaman kitab suci Al-Qur’an dan hadits nabi. Pendapat seperti ini

dianut, oleh Charles Kurzman, Leonard Binder, Mahmudi Masmoudi, Abdel

Wahab Affendy dan Farid Esack.12 Bahkan ada pendapat yang mengatakan

kelompok Islam Liberal tak berbeda seperti orientalis yang “mengobok-obok”

ajaran Islam. Mereka menyerang al-Qur’an sebagai produk rekayasa politik

kaum Quraisy, menuduh hukum-hukum yang terkandung di dalamnya sangat

tidak humanis dan sebagainya.13

B. Sejarah dan lahirnya Islam Liberal


Pemikiran Islam Liberal di Indonesia muncul melalui gagasan-gagasan

yang dilontarkan oleh Harun Nasution dan Nurcholis Madjid. Tepatnya pada

tahun 1970-an muncul terma-terma “Islam rasional” yang dikemukakan oleh

10
Halid Alkaf, Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia (Kompas: Jakarta, 2011), h. 4.
11
Hamdiah A. Latif, “Mengkritisi Jaringan Islam Liberal (JIL): Antara Spirit
Revivalisme, Liberalisme dan Bahaya Sekularisme”, Islam Futura, X, no. 2 (Februari 2011), h. 51.
12
Zuly Qodir, Islam Liberal Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002,
h. 7.
13
Nirwan Syafrin, “Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam”, Tsaqafah, V, no.
1 (Jumadal Ula 1430), h. 55.
1

Harun Nasution dan “Sekularisasi” oleh Nurcholis Madjid. Salah satu inti dasar

pemikiran kedua tokoh ini adalah Islam itu modern, liberal dan rasional.14

Menurut Luthfi Assyaukanie, kemunculan istilah Islam Liberal mulai

dipopulerkan tahun 1950-an, tapi mulai berkembang pesat terutama di Indonesia

pada tahun 1980-an, yaitu oleh tokoh utama dan sumber rujukan “utama”

komunitas atau Jaringan Islam Liberal, Nurcholis Madjid. Walaupun Nurcholis

sendiri mengaku tidak pernah menggunakan istilah Islam Liberal untuk

mengembangkan gagasan-gagasan pemikiran Islamnya, tapi ia tidak menentang

ide-ide Islam Liberal. Sebenarnya Islam Liberal tidak berbeda dengan gagasan-

gagasan Islam yang dikembangkan oleh Nurcholis Madjid dan kelompoknya.

Diantaranya, gagasan kelompok Islam yang tidak setuju dengan formalisasi

syariat Islam oleh negara, yang getol memperjuangkan sekularisasi, emansipasi

wanita, “menyamakan” agama Islam dengan agama lain (pluralisme agama),

memperjuangkan demokrasi Barat dan sejenisnya.15

Menurut Charles Kurzman, Islam Liberal muncul sekitar abad ke-18 saat

kerajaan Turki Utsmani, Dinasti Shafawai dan Dinasti Mughal tengah berada

di
gerakan pemurnian, kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Pada saat ini

muncullah cikal bakal paham liberal awal melalui Syah Waliyullah di India

(1703-1762). Hal yang sama juga terjadi di kalangan Syiah. Pencetusnya adalah

Aqa Muhammad Bihbihani (Iran, 1790) yang mulai berani mendobrak pintu

ijtihad dan kemudian membukanya lebar-lebar. Bila dilihat kembali ke Indonesia,

14
Masnun Tahir, “Pencarian otentisitas Islam Liberal di Indonesia”, h. 124.
15
Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan
dan Jawabannya (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h. 3.
1

menurut pendapat Adian Husaini yang menukil dari Greg Barton, Nurcholis

Madjid-lah bersama-sama dengan Djohan Efendi, Ahmad Wahib dan

Abdurrahman Wahid yang telah memelopori gerakan firqah liberal di Indonesia.

Pada tahun 1970-an seperti yang telah penulis jelaskan di awal tulisan juga telah

disuarakan pluralisme agama dengan menyatakan bahwa toleransi agama hanya

akan tumbuh di atas dasar paham kenisbian (relativisme) bentuk-bentuk formal

agama dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal,

yang mengarah kepada setiap manusia sebagai inti setiap agama.16

Kelompok Islam Liberal ini telah menempatkan dirinya untuk merespons

dan memberikan reaksi terhadap fenomena baru yang mereka beri label sebagai

’radikalisme dan fundamentalisme Islam’ yang mulai marak seiring dengan

jatuhnya rezim pemerintahan Orde Baru. Mereka yang dimaksudkan disini

adalah kelompok yang secara getol berusaha untuk menerapkan syari’at Islam

sebagai hukum positif dalam sistem pemerintahan Indonesia.17 Gerakan Islam

Liberal ini juga sebuah ungkapan ketidakberdayaan para pendukungnya dalam

berhadapan dengan fenomena global yang saat ini didominasi dan dihegemoni

oleh peradaban
yang diraih Barat. Sehingga timbul keyakinan bahwa bila umat Islam ingin maju

maka harus mengikuti setiap jejak langkah Barat. Umat Islam harus mengadopsi

demokrasi, kebebasan beragama dan berpendapat, persamaan kedudukan laki-laki

dan perempuan, pemisahan agama dari ruang publik (sekularisme) dan

sebagainya. Karena hanya dengan begitu, mereka yakin, masyarakat Islam akan

16
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Jaringan_Islam_Liberal, artikel diakses pada 19
Oktober 2016.
17
Nirwan Syafrin, “Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam”, h. 54.
2

terlepas dari keterpurukan yang mereka alami.18 Gerakan liberalisme dalam

konteks Islam sebenarnya adalah pengaruh dari falsafah liberalisme yang

berkembang di Barat yang masuk ke dalam seluruh bidang kehidupan, seperti

liberalisme ekonomi, liberalisme budaya, liberalisme politik dan liberalisme

agama. Pada periode ini pengaruh liberalisme yang telah terjadi dalam agama

Yahudi dan Kristian mulai diikuti oleh sekumpulan sarjana dan pemikir Muslim,

seperti yang dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zayd dari Mesir, Muhammad

Arkoun dari Al Jazair, Abdulah Ahmed Naim dari Sudan, Asghar Ali Enginer

dari India, Aminah Wadud dari Amerika, di Indonesia dilakukan oleh Nurcholis

Madjid, Syafii Ma’arif, Abdurrahman Wahid dan Ulil Abshar Abdalla,

selanjutnya Muhammad Shahrour dari Syria, Fatima Mernissi dari Marocco,

Abdul Karim Soroush dari Iran, Khaled Abou Fadl dari Kuwait dan lain-lain

sebagainya. Di samping itu terdapat banyak juga kelompok diskusi dan institusi,

seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia, Sister in Islam di Malaysia,

dan hampir di seluruh negara Islam lainnya.19

Lahirnya pemikiran Islam Liberal di kalangan pemikir dan intelektual

Indonesia tidak dapat terlepas dari pengaruh para pemikir Barat yang menggagas
Liberalisasi Islam. Gerakan liberalisasi pemikiran Islam ini, sebenarnya lebih

dipengaruhi unsur eksternal daripada perkembangan alami dari dalam tradisi

pemikiran Islam. Pengaruh eksternal itu dengan mudah dapat ditelusuri dari trend

pemikiran liberal di Barat dan dalam tradisi keagamaan Kristen. Leonard Binder,

diantara sarjana Barat keturunan Yahudi yang bertanggungjawab mencetuskan

18
Nirwan Syafrin, “Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam”, h. 54.
19
Cahyaningrum Tri Agustina, “Pergerakan Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia
tahun 2001-2005”, Candi, IV, UNS, h. 4.
2

pergerakan Islam Liberal dan mengorbitkannya pada era 80-an, telah memerinci

agenda-agenda penting Islam Liberal dalam bukunya Islamic Liberalism: A

Critique of Development Ideologies. Dalam buku ini ia menjelaskan premis 20 dan

titik tolak perlunya pergerakan Islam Liberal didukung dan disebarluaskan.21

C. Pluralisme Agama di dalam Masyarakat Islam dan Barat

Pluralisme merupakan suatu pandangan yang meyakini akan banyak dan

beragamnya hakikat realitas kehidupan, termasuk realitas keberagamaan manusia.

Pluralisme agama diartikan sebagai pandangan dan sikap bahwa hakikat agama di

dunia ini tidak hanya satu, tetapi banyak atau beragam. 22 Dalam konteks agama-

agama, pluralisme mengacu pada teori atau sikap bahwa semua agama, meskipun

dengan jalan yang berbeda-beda, menuju kepada satu tujuan yang sama, Yang

Absolut, Yang Terakhir, yakni Tuhan. Sejumlah definisi pluralisme agama juga

dimajukan para pemikir muslim di Indonesia. Mengutip dari Umi Sumbulah, M.

Rasjidi misalnya, memberikan definisi pluralisme sebatas sebagai realitas

20
Premis yang dimaksud dalam buku ini, yaitu (1) Pemerintahan liberal adalah produk
dari proses yang berkelanjutan dari diskursus rasional. (2) Diskursus rasional ini dimungkinkan
bahkan di antara mereka yang tidak berbagi budaya yang sama atau kesadaran yang sama. (3)
Diskursus rasional dapat menghasilkan kesepahaman dan konsensus budaya, serta kesepakatan
tentang hal khusus.(4) Konsensus memungkinkan pengaturan politik yang stabil, dan merupakan
dasar rasional pilihan strategi politik yang koheren. (5) Pilihan strategis yang rasional adalah dasar
dari meningkatkan kondisi manusia melalui tindakan kolektif. (6) Liberalisme politik, dalam
pengertian ini, adalah hal tak terpisahkan. Entah ini akan menang di seluruh dunia, atau akan harus
dipertahankan dengan tindakan non diskursif. (7) Penolakan terhadap liberalisme di Timur Tengah
atau di tempat lain bukanlah masalah ketidakpedulian moral atau politik. (8) Liberalisme politik
hanya bisa ada di mana dan kapan prasyarat sosial dan intelektualnya ada. (9) Prasyarat ini sudah
ada di beberapa bagian Timur Tengah Islam. (10) Dengan terlibat dalam diskursus rasional pada
mereka yang kesadarannya telah dibentuk oleh budaya Islam adalah dimungkinkan untuk
meningkatkan prospek liberalisme politik di wilayah itu dan lain-lain di mana tidak ada pribumi.
Lihat Leonard Binder, Islamic Liberalism : a critique of development ideologies (Chicago: The
University of Chicago Press, 1988), h. 1.
21
Imam Mustofa, “Sketsa Pemikiran Islam Liberal di Indonesia”, h. 3.
22
Umi Sumbulah, Islam “Radikal” dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial
Aktivis Hizb al-Tahrir dan Majelis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi
(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), h. 47.
2

sosiologis, bahwa pada kenyataannya masyarakat memang plural. Namun

demikian, pengakuan terhadap realitas kemajemukan ini tidak berarti memberikan

pengakuan terhadap kebenaran teologis agama-agama lain.23 Definisi lebih liberal

juga dapat dilihat pada gagasan Nurcholis Madjid, bahwa semua agama adalah

jalan kebenaran menuju Tuhan. Dalam konteks ini, Madjid menyatakan bahwa

keragaman agama tidak hanya sekedar realitas sosial, tetapi keragaman agama

justru menunjukkan bahwa kebenaran memang beragam. Pluralisme agama

tidak hanya dipandang sebagai fakta sosial yang fragmentatif, tetapi harus

diyakini bahwa begitulah faktanya mengenai kebenaran. Tidak ada seorang pun

yang berhak memonopoli kebenaran Tuhan karena hal ini akan menjadi bibit

permusuhan terhadap agama lain. Untuk itu, pluralisme seharusnya tidak hanya

dimaknai dengan sekadar menyatakan masyarakat kita majemuk, beraneka

ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru mengesankan

fragmentasi, tidak juga dipahami sebagai kebaikan negatif (negative good),

tetapi pluralisme adalah bagian dari pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-

ikatan keadaban.24

Masyarakat dalam setiap negeri Muslim terdiri dari kaum Muslim dan
Muslim memiliki perbedaan-perbedaan teologi dan fikih, sedangkan non-Muslim

23
Umi Sumbulah, Islam “Radikal” dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial
Aktivis Hizb al-Tahrir dan Majelis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi, h.
48.
24
Umi Sumbulah, Islam “Radikal” dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial
Aktivis Hizb al-Tahrir dan Majelis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi, h.
49.
2

termasuk ke dalam agama-agama dan sekte-sekte yang berbeda-beda.25

Sebenarnya paham Pluralisme Agama ini merupakan paham yang berkembang

pesat dalam masyarakat Kristen-Barat dan bukan dari masyarakat Islam yang

hanya mengakui adanya Pluralitas. Pendapat ini tentu saja tidak omong kosong

belaka, tapi memang benar seperti pernyataan yang dilontarkan oleh salah satu

tokoh Islam Liberal, Budhy Munawar Rachman, dia menyatakan bahwa

pandangan-pandangan Pluralisme yang berakar pada teologi Kristiani telah

menjadi isu global, sehingga pemikiran Islam mulai menyadari pentingnya

mengembangkan pemikiran pluralisme, termasuk di Indonesia.26 Hal ini

disebabkan setidaknya oleh tiga hal, yaitu trauma sejarah kekuasaan Gereja di

Zaman Pertengahan dan konflik Katolik-Protestan, Problema teologis Kristen,

dan terakhir Problema Teks Bibel.27 Misalnya, pada 1527, di Paris terjadi

peristiwa yang disebut The St Bartholomeus Day’s Massacre. Pada suatu

malam di tahun itu, sebanyak 10.000 jiwa orang Protestan dibantai oleh orang

Katolik. Peristiwa mengerikan semacam inilah yang lalu mengilhami revisi

teologi Katolik dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Semula diyakini

bahwa extra ecclesiam nulla


gereja. Lalu diubah, bahwa kebenaran dan keselamatan itu bisa saja ada di luar

gereja (di luar agama Katolik/Protestan). Jadi, paham Pluralisme Agama ini tidak

25
Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan Pandangan al-
Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban (Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2006), h.
61.
26
Budhy Munawar Rachman, Islam dan Liberalisme (Jakarta: Friedrich Naumann
Stiftung, 2011), h. 200.
27
Adian Husaini, Pluralisme Musuh Agama-Agama (Pandangan Katolik, Protestan,
Hindu dan Islam terhadap Paham Pluralisme Agama) (Bogor: Adabiy Press, 2012), h. 5.
2

memiliki akar sosio-historis yang genuine dalam sejarah dan tradisi Islam, tapi

diimpor dari setting sosio-historis kaum Kristen di Eropa dan Amerika Serikat.28

Ketika Gereja berkuasa di Zaman Pertengahan, para tokohnya telah

melakukan banyak kekeliruan dan kekerasan yang akhirnya menimbulkan sikap

trauma masyarakat Barat terhadap klaim kebenaran satu agama tertentu. Problema

yang menimpa masyarakat Kristen Barat ini kemudian diadopsi oleh sebagian

kalangan Muslim yang terpesona oleh Barat atau memandang bahwa hanya

dengan mengikuti peradaban Baratlah maka kaum Muslim akan maju. Termasuk

dalam hal cara pandang terhadap agama-agama lain, banyak yang kemudian

menjiplak begitu saja terhadap cara pandang kaum Inklusifis dan Pluralis

Kristen dalam memandang agama-agama lain. Di Indonesia, penyebaran paham

ini sudah sangat meluas, baik dalam tataran wacana publik maupun buku-buku

di perguruan tinggi.29 Dalam dunia Barat-Kristiani, teologi Pluralisme ini

dikembangkan oleh banyak filsuf, teolog dan ilmuwan, seperti John Hick, Karl

Rahner, Raimundo Panikkar, Wilffred Cantwel Smith, Rosemary Rueth, Paul F.

Knitter, Gordon D. Kaufmann, dan lain-lain.30

Dalam sejarahnya, memang peradaban Islam pernah mengalami kenyataan


Pluralitas Agama namun bukan pandangan Pluralisme Agama, kaum Muslim

berbaur dengan Non-Muslim dalam wilayah-wilayah Muslim. Sebagai contoh,

kaum Majusi memperoleh status dzimmi, sama dengan Kristen dan Yahudi, dan

kemudian Hindu. Kaum Sabiin dilindungi dan diperlakukan setara oleh kaum

28
https://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/09/menolak-pluralisme/, artikel diakes pada 25
Oktober 2016.
29
Adian Husaini, Pluralisme Musuh Agama-Agama (Pandangan Katolik, Protestan,
Hindu dan Islam terhadap Paham Pluralisme Agama), h. 5.
30
Budhy Munawar Rachman, Islam dan Liberalisme, h. 190.
2

Muslim.31 Para pemimpin Katolik Nestor dipilih oleh gereja, tetapi pemilihannya

dipertegas oleh Khalifah Abbasiah pada waktu itu yang mengeluarkan

pentahbisan untuk posisinya. Di bawah dinasti Fatimiah, pemimpin Yahudi di

Kairo disebut “Pangeran dari para pangeran”.32 Non-Muslim menikmati

kebebasan menjalankan kegiatan keagamaan, dan beberapa khalifah mungkin saja

menghadiri upacara-upacara dan perayaan mereka; seperti halnya penduduk

Muslim acap kali lakukan. Rumah sakit umum memperlakukan sama semua yang sakit. Non-Musli
yang bersumber dari Barat khususnya Kristen dan tidak murni dari ajaran Islam.

D.Liberalisme Agama di dalam Masyarakat Islam dan Barat

Ensiklopedi Nasional Indonesia menyebut liberalisme sebagai aliran

pikiran yang mengharapkan kemajuan dalam berbagai bidang atas dasar

kebebasan individu yang dapat mengembangkan bakat dan kemampuannya

sebebas mungkin. Heuken lebih lanjut menyebut liberalisme dasarnya adalah

31
Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan Pandangan al-
Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban, h. 62.
32
Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan Pandangan al-
Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban, h. 63.
33
Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan Pandangan al-
Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban, h. 64.
2

pandangan Zaman-Pencerahan, bahwa manusia tidak hanya berhak mengusahakan

masyarakat yang bebas dari kekuasaan negara, yang kurang mengindahkan hak-

hak asasi manusia, melainkan juga membebaskan diri dari kuasa rohani yang tidak

mendapat mandat dari umat. Kuasa “dari atas” ditolak.34 Terkait dengan

Liberalisme Agama, para sejarawan Barat biasanya menunjuk moto revolusi

Perancis 1789, yaitu kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite,

fraternite) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme modern. Sebuah

prinsip yang menyatakan bahwa tunduk kepada otoritas apapun namanya adalah

bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia, yakni otoritas

yang akarnya, aturannya, ukurannya dan ketetapannya ada di luar dirinya.35

Liberalisme yang sudah dikampanyekan sejak abad ke-15 dan ke-16 M oleh

John Locke, Hume (Inggris), J.J. Rousseau, Diderot (perancis), Lessing dan

Imanuel Kant (Jerman) ini pada tahap selanjutnya menuntut kebebasan individu

yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut

penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja.36 Ideologi liberalisme yang

kebablasan tersebut pada akhirnya mengajarkan tiga hal, yaitu kebebasan

berpikir
sophisme dan sikap longgar juga semena-mena dalam beragama.37

Ketika liberalisme masuk ke dalam pemikiran keagamaan maka banyak

konsep dasar dalam agama yang berubah, misalnya Kristen. Menurut Nicholas F.

34
Herlianto, “Liberalisme”. Artikel diakses pada 14 Januari 2017 dari
http://artikel.sabda.org/node/714.
35
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani, 2008),
h. 76.
36
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, h. 77.
37
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, h. 79.
2

Gier, dari University of Idaho, Moscow, sebagaimana yang dikutip oleh Hamid

Fahmy Zarkasyi, dia menyimpulkan karakteristik pemikiran tokoh-tokoh liberal

Amerika Serikat sebagai berikut. Pertama, percaya pada Tuhan, tapi bukan Tuhan

dalam kepercayaan Kristen Orthodok. Karena Tuhan mereka tidak Orthodok

maka seringkali mereka disebut Atheist.38 Kedua, kaum liberal memisahkan

antara doktrin Kristen dan etika Kristen. Dengan mengurangi penekanan pada

doktrin atau kepercayaan, mereka berpegang pada prinsip bahwa Kristen dan

non- Kristen harus saling menerima dan berbuat baik. Ketiga, kaum liberal tidak

ada yang percaya pada doktrin Kristen Orthodok. Mereka menolak sebagian

atau keseluruhan doktrin-doktrin Trinitas, ketuhanan Yesus, perawan yang

melahirkan, Bible sebagai kata-kata Tuhan secara literal, takdir, neraka, setan

dan penciptaan dari tiada (creatio ex nihilo). Keempat, menerima secara mutlak

pemisahan gereja dan negara. Kelima, percaya penuh pada kebebasan dan

toleransi agama. Jadi, liberalisme dalam bidang sosial dan politik dalam

peradaban Barat telah memarginalkan agama atau memisahkan agama dari

urusan sosial dan politik secara perlahan-lahan.39

Sejarah liberalisme termasuk juga liberalisme agama adalah tonggak baru


bagi sejarah kehidupan masyarakat Barat dan karena itu, disebut dengan periode

pencerahan. Perjuangan untuk kebebasan mulai dihidupkan kembali di zaman

renaissance Italia. Paham ini muncul ketika terjadi konflik antara pendukung-

38
Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris,
Orientalis dan Kolonialis, h. 8.
39
Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris,
Orientalis dan Kolonialis, h. 9.
2

pendukung negara kota yang bebas melawan pendukung Paus.40 Penulis

menegaskan bahwa paham Liberalisme termasuk juga Liberalisme Agama

merupakan paham yang lahir dari tradisi pandangan-pandangan masyarakat Barat-

Kristen. Ideologi ini pada dasarnya tidak pernah ada dalam masyarakat Islam dan

juga dari ajaran Islam. Hanya saja, paham ini masuk ke dalam masyarakat Islam

melalui para pemikir muslim berhaluan liberal yang terlena dengan mengadopsi

ajaran Barat untuk diterapkan dalam ajaran Islam.

E. Sekularisme Agama di dalam Masyarakat Islam dan Barat

Sekularisme adalah ideologi yang muncul dari proses sekularisasi.

Mengutip dari M. Syukri Ismail, Nurkholis Madjid mendefinisikan Sekuler

sebagai zaman sekarang. Sekularisme adalah suatu paham keduniawian,

sedangkan Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan Sekularisme

dan mengubah kaum Muslimin menjadi sekularis, menurutnya Sekularisme

adalah untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat dunia,

dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya,

atau suatu proses penduniawian.41 Menjadi perdebatan para ahli sejarah

adalah
telah mengalami sekularisasi selama sejak 250 tahun terakhir dan para ahli sejarah

sepakat dengan pendapat tersebut. Gerakan sekularisme tumbuh di Eropa dan

berkembang ke seluruh penjuru dunia seiring dengan pengaruh penjajahan,

kristenisasi dan komunisme. Banyak faktor yang mengakibatkan tersebarnya

40
Henri Shalahuddin, “memaknai liberalisme”, artikel diakses pada 25 Oktober 2016 dari
https://insists.id-INSIST-Institute for The Study of Islamic Thought and Civilizations, 12
November 2007.
41
M. Syukri Ismail, “Kritik Terhadap Sekularisme (Pandangan Yusuf Qardhawi)”,
Kontekstualita, XXIX, no. 1 (2014), h. 106.
2

gerakan ini, baik sebelum dan sesudah meletusnya revolusi Prancis pada tahun

1799 M.42 Apabila paham atau ideologi ini masuk ke dalam ranah pemikiran di

dunia Islam, maka akan terjadi pemisahan otoritas sang Khaliq dan makhluk yang

akan mengakibatkan urusan-urusan duniawi manusia hanya diurus oleh manusia

saja dan tidak lagi mementingkan keberadaan Tuhan atau kehidupan setelah

dunia.43 Munculnya Sekularisme sebenarnya merupakan bentuk kekecewaan

(mosi tidak percaya) masyarakat Eropa kepada agama Kristen saat itu pada abad

ke 15. Di mana Kristen beberapa abad lamanya menenggelamkan dunia barat ke

dalam periode yang kita kenal sebagai the dark age. Padahal pada saat yang

sama peradaban Islam saat itu sedang berada di puncak kejayaannya. Sehingga

ketika perang salib berakhir dengan kekalahan di pihak Eropa, walau mereka

mengalami kerugian di satu sisi, tetapi, sebenarnya mendapatkan sesuatu yang

berharga, yaitu inspirasi pengetahuan. Karena justru setelah mereka

“bergesekan” dengan umat Islam di perang salib hal tersebut ternyata menjadi

sebab lahirnya renaissance beberapa abad setelahnya di Eropa. Setelah mereka

menerjemahkan buku-buku filsafat Yunani berbahasa arab dan karya-karya

filosof Islam lainnya ke dalam


gereja yang menyekat pintu pemikiran dan penemuan sains. Pihak gereja Eropa

telah menghukum ahli sains, seperti Copernicus, Gradano, Galileo, dan lain-lain

yang mengutarakan penemuan saintifik yang berlawanan dengan ajaran gereja.

42
H. Muhammad Najih Maimoen, Islam Liberal Proyek Imperialis Protestanis Barat
(Rembang: Toko Kitab Al-Anwar I, 2011, h. 72.
43
H. Muhammad Najih Maimoen, Islam Liberal Proyek Imperialis Protestanis Barat, h.
73.
44
https://pwkpersis.wordpress.com/2008/03/28/sekilas-tentang-sekularisme/, artikel
diakses pada 26 Oktober 2016.
3

Kemunculan paham ini juga disebabkan tindakan pihak gereja yang mengadakan

upacara agama yang dianggap berlawanan dengan nilai pemikiran dan moral,

seperti penjualan surat pengampunan dosa, yaitu seseorang boleh membeli surat

pengampunan dengan nilai uang yang tinggi dan mendapat jaminan surga

walaupun berbuat kejahatan di dunia.45 Misalnya, Marthin Luther (1483-1546)

yang melakukan pemberontakan terhadap Paus terkait praktek jual beli surat

penebusan dosa. Pada 31 Oktober 1517, Marthin memberontak dengan cara

menempelkan 95 point pernyataan (Ninety-five Theses) di pintu gerejanya, di

Jerman. Gugatannya yang paling utama adalah tentang praktik penjualan

“pengampunan dosa” oleh pemuka gereja.46

Di Turki, negara memang telah dipisahkan dari agama. Kekhalifahan

Islam, yang pernah membawa Turki ke puncak peradaban dunia itupun telah

dihapuskan dan diganti dengan negara sekular. Dewasa ini, di Turki ada

peraturan yang melarang anggota keluarga pejabat negara yang perempuan

untuk memakai jilbab. Sehingga, PM Erdogan pun harus mengungsikan anak

perempuannya ke AS, yang walaupun juga sebuah negara sekular, namun

tidak mau mencampuri


keras, di luar negara komunis. Paradoksnya, di negara komunis sendiri, agama-

agama masih tetap bertahan. Alasan Perancis terhadap pelarangan jilbab adalah

ekspresi sektarianisme yang mengganggu persatuan kebangsaan. Ekspresi

keagamaan di ruang publik, benar-benar dilarang tanpa kompromi, karena jika

45
Jamaluddin, “Sekularisme; Ajaran dan Pengaruhnya dalam Dunia Pendidikan”,
Mudarrisuna, III, no. 2 (Juli-Desember 2013), h. 313.
46
M. Syukri Ismail, “Kritik Terhadap Sekularisme (Pandangan Yusuf Qardhawi)”, h.
106.
3

ekspresi agama di ruang publik itu diperbolehkan, maka agama akan

menimbulkan pencemaran ruang publik. Umpamanya, azan yang dikumandangan

melalui pengeras suara, akan dinilai mengganggu masyarakat dalam bentuk polusi

suara.47 Di Mesir, Khudaiwi Ismail memasukkan perundang-undangan Perancis

pada tahun 1883 M. Tokoh ini sudah tergila-gila terhadap Barat. Cita-citanya

ingin menjadikan Mesir sebagai bagian dari Barat. Di India, hukum yang berlaku

di negeri ini masih sejalan dengan syariat Islam sampai tahun 1791 M. Tetapi

setelah didalangi oleh Inggris, kemudian berangsur-angsur berubah, melepaskan

syariat. Sehingga pada pertengahan abad 19, syariat Islam telah habis sama

sekali di negeri ini. Al-Jazair menghapuskan hukum Islam setelah dijajah

Perancis pada tahun 1830. Tunisia memasukkan perundang-undangan Perancis

pada tahun 1906 dan Maroko pada tahun 1913 M.48

Menurut M. Dawam Rahardjo, di Indonesia, pemikir yang pertama kali

memperkenalkan paham sekularisme adalah Bung Karno. Dengan pemahaman

bahwa Hindia Belanda pada waktu itu adalah sebuah negeri Muslim. Namun, ia

juga menyadari bahwa Indonesia adalah bangsa yang plural. Bahkan, ia pun

tahu
banyaknya aliran keagamaan, corak budaya, organisasi Islam dan partai politik

Indonesia.49

Meskipun sekularisme pada awalnya terjadi pada abad modern (khususnya

abad ke-19) yang dialami kaum Kristen, namun dalam perkembangannya kini

47
M. Dawam Rahardjo dalam kata pengantar Argumen Islam untuk Sekularisme (Jakarta:
Grasindo. Anggota Ikapi, 2010), XXVI.
48
WAMY, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Akar Ideologis dan Penyebarannya
(Jakarta: Al-I’tishom, 2002), h. 281.
49
M. Dawam Rahardjo dalam kata pengantar Argumen Islam untuk Sekularisme, XXVII.
3

sekularisme menyusup secara diam-diam dan lebih langsung ke dalam pandangan

dan budaya kaum Muslim, sehingga tak kurang pro dan kontra tentang

sekularisme mengiringi perkembangan masyarakat Islam dewasa ini.50 Hal ini

memperkuat pandangan bahwa paham Sekularisme Agama tidak lahir dari agama

Islam, melainkan dari kaum Kristen yang mana paham ini disebarluaskan dan

diadopsi begitu saja tanpa di kritisi terlebih dahulu oleh para pemikir Muslim

yang berhaluan Liberal.

50
Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam Sekularisme, Liberalisme
dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat
(LSAF), 2010), h. 226.
BAB III

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM TENTANG PLURALISME,

LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA

A. Konsep Pluralisme Agama

Secara etimologi, Pluralisme Agama, berasal dari dua kata, yaitu

“pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa Inggris disebut “religious pluralism.”

Plural berarti “jama” atau lebih dari satu.1 Sedangkan, religious berarti

beragama, saleh, beriman atau menjalankan agama dengan patuh.2 Dalam

bahasa Arab, Pluralisme disebut dengan ّ‫ع‬Q Q ‫ة الت‬Qّ‫( ددي‬al-ta‟addudiyyah) yang

berarti doktrin yang mengatakan bahwa ada lebih dari satu kebenaran mutlak.3

Sedangkan, ّ‫( ي ِدين‬diiniy) yang berarti agama atau beragama.4 Jika Pluralisme

dan agama dirangkai menjadi satu, maka dapat dikatakan pluralisme agama

berarti doktrin atau ajaran atau paham yang mengatakan bahwa ada lebih dari

satu kebenaran mutlak dalam beragama. Secara terminologi, menurut Hamid

Fahmy Zarkasyi, pluralisme dalam pengertian pertama adalah toleransi, dimana

masing-masing agama, ras, suku dan

kepercayaan orang lain. Pluralisme dalam pengertian kedua sudah tidak

berpegang pada suatu dasar apapun. Masyarakat harus menerima kenyataan

bahwa disana tidak ada kebenaran tunggal, artinya semua benar. Atau masyarakat

1
Rayner Hardjono, Kamus Populer Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2002), h. 292.
2
Rayner Hardjono, Kamus Populer Inggris-Indonesia, h. 321.
3
Munir Ba‟albaki, Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary (Beirut: Dar El-Ilm
Lil-Malayen, 1992), h. 700.
4
Munir Ba‟albaki, Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary, h. 774.
33
3

tidak boleh memiliki keyakinan bahwa agama dan kepercayaan mereka itu benar

atau paling benar. Bahkan, dalam suatu pengertian, pluralisme mengajarkan

bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada.5 Agama adalah sebagai nama jenis

bagi keyakinan hidup tertentu yang dianut oleh suatu masyarakat. Masyarakat

beragama pada umumnya memandang agama sebagai jalan hidup yang dipegang

dan diwarisi turun temurun oleh masyarakat manusia, agar hidup mereka menjadi

tertib, damai dan tidak kacau. 6 Pluralisme mengandung arti bahwa pandangan-

pandangan dunia yang ada menjadi relatif dan bahwa struktur-struktur rasional

menjadi sulit. Agama-agama tidak dapat lagi melegitimasi „dunia‟ secara luas,

meskipun beberapa organisasi agama berusaha melegitimasi sub-dunia mereka

melalui sistem-sistem kepercayaan mereka.7 Bagi penulis, pluralisme agama

diartikan sebagai paham atau ajaran dalam beragama yang mengakui kebenaran

agama lain disamping kebenaran agama yang dianutnya, sehingga menganggap

semua agama sebagai jalan kebenaran dan sama kedudukannya dengan agama

yang dianutnya.

Mengenai konsep Pluralisme Agama, sebagaimana mengutip dari Zuly

Qodir, Abdul Munir Mulkhan berpendapat bahwa memang ada pendapat yang
mengatakan orang beriman yang mengajarkan tentang pluralisme itu

mendangkalkan keimanan sebab mengakui banyak agama. Hal ini disebabkan

karena pendekatan formalistik terhadap agama dan keimanan. Menurutnya yang

5
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat; Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam
(Jakarta: INSISTS – MIUMI, 2012), h. 138.
6
Harun Nasution dan Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam
Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 63.
7
Muhamad Ali, Teologi Pluralis Multikultural: Menghargai Kemajemukan, Menjalin
Kebersamaan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), h. 38.
3

paling pokok sebenarnya apa sebetulnya substansi dari iman itu, dan kalau itu ada

enam, maka kalau substansinya percaya adalah percaya dan dia tunduk, maka

orang Yahudi, Nasrani, Shabiin adalah iman itu sendiri. Kaum sufi lebih mampu

menerima, sebab adanya Yahudi, Nasrani, Shabiin itu sebetulnya hanya variabel

saja. Hanya varian saja, bukan substansi.8 Selanjutnya, dia mengatakan, “Jika

semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang

satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk

tiap agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan

pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan,

tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari

sini, kerja sama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.”9 Ulil Abshar

Abdalla, seorang Koordiantor Jaringan Islam Liberal (JIL), mengatakan, “semua

agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang

Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi,

tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan

religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu

keluarga pencinta jalan


pernyataan Budhy Munawar Rachman di buku Wajah Liberal Islam di Indonesia

(terbitan JIL), mengutip dari Adian Husaini, Budhy menulis satu artikel berjudul

“Basis Teologi Persaudaraan Antaragama” (hlm 51-53), bahwa “Konsep teologi

8
Zuly Qodir, Islam Liberal Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002
(Yogyakarta: LkiS, 2010), h. 207.
9
Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2002), h. 44.
10
Ulil Abshar-Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, Kompas, 18
November 2002.
3

semacam ini memberikan legitimasi kepada “kebenaran semua agama”, bahwa

pemeluk agama apa pun layak disebut sebagai “orang yang beriman”, dengan

makna “orang yang percaya dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan.” Budhy

menyimpulkan, “Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan

masalah pluralisme antaragama, yakni pandangan bahwa siapa pun yang beriman-

tanpa harus melihat Agamanya apa-adalah sama di hadapan Allah. Karena, Tuhan

kita semua adalah Tuhan Yang Satu.”11

Mengutip dari Sukidi, menurut nalar pikir Paul F. Knitter (1985),

bahwa pada dasarnya semua agama sebagai jalan dalam melihat segala sesuatu

adalah relatif, yakni terbatas, parsial dan tidak lengkap. Menganggap bahwa

semua agama secara intrinsik lebih baik dari yang lain (oleh ahli agama-agama)

dirasakan sebagai sebuah sikap yang agak salah, ofensif dan merupakan

pandangan yang sempit. Karena itu, klaim-klaim kebenaran dan keselamatan

agama sudah sepantasnya untuk dihindari dan jika perlu dikikis habis oleh umat

beragama.12 Cak Nur menegaskan bahwa agama tanpa sikap pasrah kepada

Tuhan, betapapun seorang itu mengaku sebagai “muslim” atau penganut

“Islam”,
Tuhan, ia termasuk orang yang merugi di akhirat kelak (QS. 3.85). Dalam konteks

inilah, sikap pasrah menjadi kualifikasi signifikan pemikiran teologi inklusif Cak

Nur. Bukan saja kualifikasi seorang yang beragama Islam, tetapi “muslim” itu

sendiri (secara generik) juga dapat menjadi kualifikasi bagi penganut agama lain,

khususnya para penganut kitab suci, baik Yahudi maupun Kristen. Maka,

11
Adian Husaini, Pluralisme Agama: Haram (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 39.
12
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Penerbit buku Kompas, 2001), h. 5.
3

konsekuensi secara teologis bahwa siapa pun di antara kita-baik orang Islam,

Yahudi, Kristen, maupun Shabi‟in, yang benar-benar beriman kepada Tuhan dan

Hari Kemudian, serta berbuat kebaikan, maka akan mendapatkan pahala di sisi

Tuhan... (QS., 2:62; & 5:69). Dengan kata lain, sesuai firman Tuhan ini, terdapat

jaminan teologis bagi umat beragama, apapun “agama”-nya, untuk menerima

pahala (surga) dari Tuhan. Dari sinilah, bahwa Islam itu hanyalah “jalan” atau

“sarana”, menuju Tuhan sebagai tujuan akhir dalam hidup ini. Sementara jalan

menuju Tuhan amat lebar dan plural. “Banyak pintu (jalan) menuju Tuhan”,

tegas Cak Nur.13

Pluralisme bertolak dari keinginan mencari titik temu antara agama-

agama yang berbeda. Pluralisme memang tidak menyamakan semua agama.

Sebab, andaikata semua agama sama, maka pluralitas tidak ada. Namun, kaum

pluralis tidak sekadar mengakui keberadaan berbagai agama. Lebih dari itu,

mereka menganggap semua agama mewakili kebenaran yang sama,

meskipun

„porsinya‟ tidak sama. Semuanya menjanjikan keselamatan dan kebahagiaan

walaupun „resepnya‟ berbeda-beda. Peter Byrne, sebagaimana yang dikutip


paham bahwa kebenaran hanya bisa didekati, tetapi mustahil ditemukan.

Pluralisme agama, jelasnya merupakan persenyawaan tiga proposisi. Pertama,

semua tradisi agama-agama besar adalah sama, semuanya merujuk dan menunjuk

sebuah realitas tunggal yang transenden dan suci. Kedua, semuanya sama-sama

menawarkan jalan keselamatan. Ketiga, semuanya tidak ada yang final. Artinya,

13
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, h. 22.
3

setiap agama harus selalu terbuka untuk dikritisi dan direvisi.14 Konsep pluralisme

agama dikalangan umat Islam klasik pernah diistilahkan dengan Wahdat al-Adyan

oleh seorang sufi (mistikus) yang dikenal dengan sebutan al-Hallaj (858-922 M) ,

sebagaimana yang dikutip oleh Imron AM dari Fathimiah Usman, dalam

pengantar bukunya yang berjudul Wahdat Al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama.

Wahdat al-Adyan mengajarkan bahwa pada hakikatnya agama-agama bertujuan

sama dan mengabdi kepada Tuhan yang sama pula. Perbedaan yang ada hanya

dalam bentuk luar dan namanya saja. Jadi, agama apa pun dapat dipahami

setara, karena sumbernya satu yakni Tuhan. Wahdat al-Adyan menyalahkan

orang yang menyalahkan agama orang lain, sekaligus ia mengajarkan agar

seseorang patuh dan konsisten pada ajaran agamanya masing-masing. Oleh

karena itu, konsep ini sama sekali tidak mengarahkan pada upaya menyatukan

agama-agama.15 Di Indonesia, pluralisme kerap dipadankan dengan

inklusivisme. Oleh para pengusungnya, gagasan ini diartikan sebagai paham

keagamaan yang mengakui dan menerima kebenaran agama lain. Namun, pada

hakikatnya, inklusivisme cukup berbahaya. Paham ini mengajarkan tidak

boleh menganggap penganut


agamanya bisa saja selamat. Islam berarti penyerahan diri kepada Tuhan dan tidak

lebih dari itu. Maka siapa pun yang menyerahkan diri kepada Tuhan, meskipun

secara formal ia berada di luar agama Islam, boleh disebut Muslim.16 Habib

Rizieq Syihab menyatakan bahwa pluralitas adalah suatu kebhinekaan, keragaman

14
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani, 2008),
h. 82.
15
Imron AM, Islam Liberal Mengikis Akidah Islam (Jakarta: INSIDA, 2004), h. 83.
16
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, h. 83.
3

dan kemajemukan, sedangkan pluralisme adalah suatu pemaksaaan kehendak dan

pencampur-adukkan akidah. Pluralitas adalah suatu kebebasan, keindahan dan

keniscayaan, sedangkan pluralisme adalah suatu kejahatan, pengkhianatan dan

kesesatan.17

B. Konsep Liberalisme Agama

Ketika penulis mencari kata liberalisme secara etimologi dalam kamus,

maka yang penulis temukan adalah kata liberalism dalam bahasa Inggris dan

kata ‫ة‬Q ‫تانتّية ا ليبرالي‬Q‫( البروتس‬al-liibiraliyah al-brotestantiyyah) dalam bahasa Arab

yang artinya liberalisme agama protestan, mempunyai makna sebagai gerakan

dalam agama Protestan modern yang mengedepankan kebebasan mental dan

konten spiritual serta moral dalam agama Kristen.18 Sedangkan, agama secara

etimologi disebut religious dalam bahasa Inggris dan ّ‫( ي ِدين‬diiniy) dalam

bahasa Arab.19 Jika dirangkai antara kata liberalisme dengan agama, maka dapat

dikatakan bahwa liberalisme agama sebagai gerakan dalam agama yang

mengedepankan kebebasan mental dan konten spiritual serta moral dalam

beragama. Sebagaimana penulis telah jelaskan dalam penulisan terdahulu

pada bab 2, bahwa memang paham

terminologi, menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, term “liberal” diambil dari bahasa

Latin liber artinya bebas dan bukan budak atau suatu keadaan dimana seseorang

itu bebas dari kepemilikan orang lain. Makna bebas kemudian menjadi sebuah

sikap kelas masyarakat terpelajar di Barat yang membuka pintu kebebasan berfikir

17
Habib Rizieq Syihab, Hancurkan Liberalisme Tegakkan Syariat Islam (Jakarta: Suara
Islam Press, 2013), h. 137.
18
Munir Ba‟albaki, Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary, h. 525.
19
Munir Ba‟albaki, Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary, h. 774.
4

(The old Liberalism). Dari makna kebebasan berpikir inilah kata liberal

berkembang sehingga mempunyai berbagai makna.20 Selain tren liberalisme yang

menekankan pada hak-hak ekonomi, politik dan sosial, terdapat liberalisme dalam

bidang pemikiran termasuk pemikiran keagamaan. Liberal dalam konteks

kebebasan intelektual berarti independen secara intelektual, berpikiran luas, terus

terang dan terbuka.21 Ciri liberalisme pemikiran dan keagamaan yang paling

menonjol adalah pengingkaran terhadap semua otoritas yang sesungguhnya,

sebab otoritas dalam pandangan liberal menunjukkan adanya kekuatan di

luar dan di atas manusia yang mengikatnya secara moral. Memang pada

mulanya yang muncul adalah liberalisme intelektual yang mencoba untuk bebas

dari agama dan dari Tuhan. Namun, dari situlah lahir dan tumbuhnya

liberalisme pemikiran keagamaan yang disebut juga theological liberalism.22

Dalam liberalisme pemikiran keagamaan masalah yang pertama kali

dipersoalkan adalah konsep Tuhan (teologi), kemudian doktrin atau dogma

agama. Setelah itu, mempersoalkan dan kemudian memisahkan hubungan

agama dengan politik (sekularisme). Akhirnya, liberalisme pemikiran

keagamaan
postmodernisme23 yang menjunjung tinggi pluralisme, persamaan (equality) dan

20
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris,
Orientalis dan Kolonialis”, Tsaqafah, V, no. I (Jumadal Ula, 1430), h. 3.
21
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat; Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan
Islam, h. 108.
22
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat; Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan
Islam, h. 109.
23
Postmodernisme atau pascamodernisme adalah gerakan abad akhir ke-20 dalam seni,
arsitektur dan kritik, yang melanjutkan modernisme. Lihat
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pascamodernisme. Artikel diakses pada 17 Januari 2017.
4

relativisme.24 Liberalisme identik dengan “pembaharuan”. Klaim “pembaharuan”

kelompok liberal itu sejatinya tidak lebih dari justifikasi paham feminisme dan

kesetaraan gender, pluralisme, teori hermeneutika dan teori dekonstruksi ke dalam

studi Islam. Ini semua jelas merupakan bahan liberalisme dan postmodernisme.

Akhirnya, unsur konsep Islamnya kalah dominan dibanding unsur Baratnya.

Inilah yang menurut Foucault adalah penjajahan wacana. Jadi, ternyata

“pembaharuan” telah diartikan sebagai modifikasi dan aplikasi paham Barat

asing ke dalam pemikiran Islam. Jika demikian, maka pembaharuan adalah

perubahan terus menerus yang tidak ada jalan kembali seperti Barat.

Pembaharuan menjadi dekonstruksi kepercayaan masa lalu menjadi

kontemporer. Penafian makna- makna teks secara kontekstual dan sosial

sehingga sesuai dengan tuntutan masyarakat sekular dan liberal.25

Liberalisme adalah paham yang berusaha memperbesar kebebasan

wilayah individu dan mendorong kemajuan sosial. Liberalisme merupakan

paham kebebasan, artinya manusia memiliki kebebasan atau kalau kita lihat

dengan perspektif filosofis, merupakan tata pemikiran yang landasan

pemikirannya adalah
dengan apa yang diinginkan. Liberalisme adalah paham pemikiran yang optimistis

tentang manusia.26 Syaikh Sulaiman al-Khirasy menyebutkan, liberalisme adalah

mazhab pemikiran yang memperhatikan kebebasan individu. Mazhab ini

24
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat; Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan
Islam, h. 112.
25
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat; Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan
Islam, h. 191.
26
Budhy Munawar Rachman, Islam dan Liberalisme (Jakarta: Friedrich Naumann
Stiftung, 2011), h. 3.
4

memandang wajibnya menghormati kemerdekaan individu, serta berkeyakinan

bahwa tugas pokok pemerintah ialah menjaga dan melindungi kebebasan rakyat,

seperti kebebasan berpikir, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan

kepemilikan pribadi, kebebasan individu, dan sejenisnya.27 Liberalisme

merupakan isu yang selalu diusung oleh kaum Sepilis di Indonesia. Konsep ini

sejatinya murni konsep Kristen-Barat yang mencoba melarikan diri dari

cengkraman otoritas Gereja yang sudah (menurut mereka) kelewatan. Gereja

yang pada Abad Pertengahan (Middle Age) begitu hegemonik dilawan oleh para

pemikir Kristen Liberal. Akhirnya, mereka mengadopsi konsep Bibel yang

menyatakan, “Berikan kepada Kaisar apa yang menjadi haknya, dan berikan

kepada Tuhan apa yang menjadi hak-Nya.” Konsep inilah kemudian yang

melahirkan istilah “sekularisme” yang pada dasarnya sebagai perpanjangan dari

“liberalisme” itu sendiri. Liberalisme di sini identik dengan “liberalisme

pemikiran” (thought liberalism).28 Dalam urusan agama, liberalisme berarti

kebebasan menganut, meyakini dan mengamalkan apa saja, sesuai

kecenderungan, kehendak dan selera masing-masing. Bahkan lebih jauh

dari itu, liberalisme


nahi munkar bukan saja dinilai tidak relevan, bahkan dianggap bertentangan

dengan semangat liberalisme. Menurut prinsip ini, asal tidak merugikan pihak

lain, orang yang berzina tidak boleh dihukum, apalagi jika dilakukan atas dasar

suka sama suka. Karena menggusur peran agama dan otoritas wahyu dari wilayah

27
https://almanhaj.or.id/3129-islam-dan-liberalisme.html, diakses pada 06 November
2016.
28
Qosim Nursheha Dzulhadi, Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia: Study Kritis
Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012), h.
198.
4

politik, ekonomi, maupun sosial, maka tidak salah jika liberalisme dipadankan

dengan sekularisme.29

Beberapa contoh dari fenomena liberalisme ini, yaitu pengecaman kitab-

kitab tafsir para ulama terdahulu dan pengajuan tafsir baru metode hermeneutika.

Mengutip dari Adian Husaini, salah satu tokohnya, yaitu Nasr Hamid yang

seorang hermeneut, mengecam keras metode tafsir kaum Ahlussunnah yang

didasarkan pada Sunnah Rasul, pendapat para sahabat Nabi, Tabi‟in, dan

Tabi‟it Tabi‟in. Ia menulis dalam buku Mafhum al-Nash Diraasah fii Uluum

al-Quran: bahwa tafsir kaum Ahlussunnah adalah tafsir yang didasarkan pada

kuasa ulama kuno, yang mengaitkan “makna teks” dan signifikansinya dengan

masa keemasan, kenabian, risalah, dan masa turunnya wahyu. Fenomena Nasr

Hamid dengan pemikiran yang “nyeleneh” dan banyak persamaannya dengan

fenomena serupa dalam tradisi Kristen itu begitu banyak digemari oleh kalangan

sarjana Muslim.30 Selain itu fenomena buku “Pembaharuan Hukum Islam:

Counter Legal Draft (CLD) KHI” sebagai tandingan yang ditulis dan

dirumuskan oleh Tim Pengarusutamaan Gender Depag RI, yang mendapat

dukungan dana dari Asia


dan Sunnah serta sumber-sumber hukum Islam lainnya yang mu‟tabarah dari hasil

ijtihad para ulama mujtahidin yang mumpuni dalam bidangnya dalam hal-hal

yang belum diatur dalam Alquran dan Sunnah. Menurut perumus KHI tandingan

bahwa CLD-KHI yang mereka rumuskan itu adalah sebagai pembaruan hukum

Islam. Padahal sesungguhnya yang mereka rumuskan itu, hanya sebagai bid‟ah

29
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, h. 77.
30
Adian Husaini, Hendak Kemana (ISLAM) Indonesia? Seri II (Surabaya: Media
Wacana, 2005), h. 191.
4

yang menyesatkan, penyimpangan, perusakan dan perubahan dari hukum Islam

yang asli dan hanya sebagai pembaharuan liberal yang tidak mengikuti cara-cara

dan kaidah-kaidah yang dicanangkan dalam penetapan hukum Islam, untuk

memenangkan prinsip-prinsip yang datang dari dunia Barat dan dari luar Islam.

Tim perumus KHI tandingan terdiri dari orang-orang liberal yang berprinsip

bukan untuk ketaatan kepada Allah, tetapi hanya penghambaan terhadap

demokrasi dan nilai-nilai sekuler.31 Padahal sesungguhnya bila mereka mengkaji

secara mendalam ajaran Islam, khususnya masalah hukum Islam, akan

ditemukan justru hukum Islam itu sangat demokrasi dan memperhatikan

masalah keadilan. Alquran dan al-Hadits banyak mengajarkan masalah

demokrasi dan keadilan, tetapi manusia masih banyak belum memahaminya,

bahkan ada yang belum mengetahuinya. Akibat penghambaan terhadap

demokrasi dan nilai-nilai sekuler, maka tidak aneh jika mereka memandang

masalah pernikahan, mahar, nafkah perceraian, iddah, dan waris tidak perlu lagi

membedakan laki-laki dan perempuan, atau agama.32 Selanjutnya, pernyataan

Sumanto Al Qurtuby yang dikutip oleh Qosim Nursheha Dzulhadi, dalam

bukunya Lobang Hitam Agama


Dalam bukunya tersebut dia menulis bahwa “sesungguhnya hakikat al-Quran

bukanlah “teks verbal” yang terdiri atas 6666 ayat bikinan Usman itu melainkan

gumpalan-gumpalan gagasan.” Kemudian, dia menambahkan, “Al-Quran bagi

saya hanyalah berisi semacam “spirit ketuhanan” yang kemudian redaksinya oleh

Nabi. Oleh karena itu, menurutnya, Nabi, sahabat, dan pengalaman komunitas

31
Huzaemah Tahido Yanggo, dkk, Membendung Liberalisme (Jakarta: Penerbit
Republika, 2004), h. 1.
32
Huzaemah Tahido Yanggo, dkk, Membendung Liberalisme, h. 2.
4

Mekkah dan Madinah (tajribatul madinah wa makkah) pada hakekatnya adalah

“co-author” karena ikut “menciptakan” al-Quran.” Setelah itu, Sumanto

“berandai-andai bahwa “Seandainya Pak Harto berkuasa ratusan tahun, saya

yakin Pancasila ini bisa menyaingi al-Quran dalam hal “keangkerannya”

tentunya.”33 Selain itu ungkapan mereka yang menuduh orang yang kembali

merujuk nash syariat sebagai orang yang kolot dan paganis (musyrik). Fahmi

Huwaidi dalam artikelnya yang berjudul Watsaniyun Hum „Abadatun Nushush

(Paganis itu adalah mereka yang menyembah nash-nash Syari‟at)

menggambarkan hal tersebut sebagai paganisme baru (Watsaniyah jadidah). Hal

itu karena Paganisme tidak hanya berbentuk penyembahan patung berhala

semata. Karena ini adalah paganisme zaman dahulu. Namun paganisme zaman

ini telah berubah menjadi bentuk penyembahan simbol dan rumus pada

penyembahan nash-nash dan ritualisme.34 Fenomena semacam ini,

membuktikan, bahwa sedang terjadi proses liberalisasi yang sangat serius di

dalam tubuh umat Islam, khususnya di Indonesia. Ratusan, bahkan ribuan

cendekiawan dari kalangan kaum Muslim sendiri kini siap membongkar-

bongkar apa yang selama ini telah “selesai” dalam


C. Konsep Sekularisme Agama

Berlanjut ke konsep Sekularisme Agama, secara etimologi sekularisme

berasal dari kata secularism dalam bahasa Inggris dan ‫( الدنيوية‬al-daniyawiyah)

dalam bahasa Arab yang berarti keduniaan. Keduniaan bermakna sebagai

33
Qosim Nursheha Dzulhadi, Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia: Study Kritis
Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme, h. 201.
34
https://almanhaj.or.id/3129-islam-dan-liberalisme.html, diakses pada 06 November
2016.
35
Adian Husaini, Hendak Kemana (ISLAM) Indonesia? Seri II, h. 193.
4

ketidakpedulian terhadap agama atau pandangan agama.36 Sedangkan, agama atau

beragama dalam bahasa Inggris disebut religious dan dalam bahasa Arab disebut

‫( ديني‬diiniy).37 Jika kedua kata tersebut dirangkai, maka dapat dikatakan

sekularisme agama berarti paham keduniaan yang mengajarkan ketidakpedulian

terhadap agama dalam beragama. Al-Qaradawi lebih cenderung

kepada „ilmaniyyah, sedangkan al-Attas lebih kepada „almaniyyah. Perbedaan

penggunaan terjemahan ini sekaligus menunjukkan bahwa istilah sekularisme yang coba diterjema
ilmuwan ini menolak secara tegas terjemahan-terjemahan di atas. Al-Qaradawi

misalnya, menyatakan bahwa menerjemahkan sekularisme

sebagai „ilmaniyyah tidak saja “satu terjemahan yang tidak teliti (ghayru daqiqah)”, tetapi juga “sa
menerjemahkannya tidak memahami perkataan al-din dan al-„ilm melainkan

hanya dengan ide Barat Kristian, yang memang bagi orang Barat (al-insan al-

gharbi) agama dan ilmu mereka itu adalah saling bertentangan.” Al-Qaradawi

selanjutnya menyimpulkan bahwa menerjemahkan sekularisme

dengan „ilmaniyyah dan mengaitkannya dengan ilmu adalah suatu usaha untuk

menjadikannya satu makna dengan istilah „ilmiyyah. Karenanya, menurut al-

36
Munir Ba‟albaki, Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary, h. 827.
37
Munir Ba‟albaki, Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary, h. 774.
4

Qaradawi, adalah “penipuan yang (patut) diungkap”. Paham sekular, menurut al-

Attas, merujuk kepada makna dan faham ” kedisinikinian”. Oleh karena itu, jika

perkataan sekularisme itu ingin diterjemahkan juga kedalam bahasa Arab, maka

terjemahan harfiah yang paling tepat adalah perkataan hunalaniyyah berasal dari

dua kata Arab, huna yang bermaksud di sini dan al-an yang bermaksud kini. Jadi

al-hunalaniyyah adalah paham “kedisinikinian” yang tercermin dalam istilah

secularism. al-Attas menyimpulkan bahwa terjemahan sekularisme ke dalam

bahasa Arab sebagai „almaniyyah sebenarnya tidak menjelaskan pengertian ide

itu sendiri yang secara konseptualnya lebih mendekati ide waqi‟iyyah yang

mempunyai kaitan dengan aliran positivisme. Sedangkan menurut al-Qaradawi,

yang sejak awal memfokuskan pertentangan antara al-„ilm (ilmu) dan al-din

(agama) dalam konsepsi pemikiran dan pengalaman orang Barat, pengertian

sekularisme itu sinonim dengan konsep alladiniyyah (tidak ada agama) atau al-

dunyawiyyah (dunia tiada hubungan dengan agama). Beliau yang tidak juga

menguraikan asal-usul perkataan sekularisme secara terperinci, selanjutnya

menerjemahkan konsep sekularisme sebagai berikut: “Terjemahan yang

betul
bukan bermakna menomorduakan sesuatu yang bersifat ukhrawi semata-mata,

tetapi sekularisme mempunyai makna yang lebih khusus, yaitu makna yang tidak

mempunyai hubungan dengan agama (al-din), ataupun kalau ada hubungannya

dengan agama, maka hubungan itu adalah hubungan pertentangan.”38

38
http://inpasonline.com/new/istilah-sekularisme-menurut-al-attas-dan-al-qardhawy/,
artikel diakses pada 18 Januari 2017.
4

Secara terminologi, menurut Arif Rahman Hakim, sekularisme sering

didefinisikan sebagai sebuah konsep yang memisahkan antara negara dan agama

(state and religion). Yaitu, bahwa negara merupakan lembaga yang mengurusi

tatatanan hidup yang bersifat duniawi dan tidak ada hubungannya dengan yang

berbau akhirat, sedangkan agama adalah lembaga yang hanya mengatur hubungan

manusia dengan hal-hal yang bersifat metafisis dan bersifat spiritual, seperti

hubungan manusia dengan tuhan. Maka, menurut para sekular, negara dan

agama dianggap masing-masing mempunyai kutub yang berbeda tidak bisa

disatukan. Masing-masing haruslah berada pada jalurnya sendiri-sendiri.39

Sekularisme biasanya disamakan dengan sekularisasi walaupun sebenarnya

keduanya sangat berbeda, karena keduanya menawarkan jawaban yang berbeda.

Sekularisasi muncul sebagai dampak dari proses modernisasi yang terjadi pada

masa pencerahan. Ini terjadi di dunia Barat ketika nalar Agama (The Age of

Religion) digantikan oleh nalar akal (The Age Reason). Sedangkan sekularisme

adalah pemusatan pikiran pada dunia materi lebih banyak daripada dunia

spiritual. Masyarakat sekular hanya memikirkan kehidupan dunia dan

benda-benda
Universitas Indonesia yang Berjudul Negara Hukum sebagaimana mengutip dari

Syukri Ismail, mendefinisikan Sekularisme sebagai “paham yang ingin

memisahkan atau menetralisir semua bidang kehidupan, seperti politik dan

kenegaraan, ekonomi, hukum, sosial budaya dan ilmu pengetahuan teknologi dari

39
https://pwkpersis.wordpress.com/2008/03/28/sekilas-tentang-sekularisme/, artikel
diakses pada 18 Januari 2017.
40
M. Syukri Ismail, “Kritik Terhadap Sekularisme (Pandangan Yusuf Qardhawi)”
Kontekstualita, XXIX, 1 (2014), h. 103.
4

pengaruh Agama atau hal-hal yang ghaib. Sedangkan sekularisasi, menurutnya

adalah usaha atau proses yang menuju kepada keadaan sekuler atau proses

netralisasi dari setiap pengaruh Agama dan hal-hal yang ghaib.41 Sekularisme

adalah suatu paham yang memisahkan antara kehidupan dunia dengan akhirat

dalam semua aspek kehidupan, baik dari sisi agama, ekonomi, pendidikan, politik,

sosial dan lain sebagainya. Selain itu, sekularisme juga memperjuangkan hak

untuk bebas dari berbagai aturan-aturan dari ajaran agama, di samping juga

memberikan sifat toleransi yang tidak terbatas, termasuk juga antar agama.

Dengan kata lain, sekularisme merujuk kepada kepercayaan bahwa semua

kegiatan dan keputusan yang keseluruhannya berada dan dibuat oleh manusia,

tidak boleh ada peran dan campur tangan agama di dalamnya. 42 Yang penting

diperhatikan dan dipikirkan menurut paham ini ialah masalah-masalah dunia

yang dihadapi dan dirasakan sekarang ini termasuk kebebasan berpikir dan

berdiskusi dengan membebaskan diri dari ikatan-ikatan keagamaan. 43 Mengutip

dari Budhy Munawar Rachman, Ulil Abshar Abdalla pernah mengatakan,

bahwa “Sekularisme adalah satu sistem di mana secara kelembagaan

dimungkinkan
wilayah agama adalah wilayah ritual dan makna hidup, maka agama seharusnya di

wilayah itu saja. Dia tidak bisa ikut campur dalam segala hal. Tentu saja yang

saya maksud adalah sekularisme liberal, bukan sekularisme seperti yang terjadi di

41
M. Syukri Ismail, “Kritik Terhadap Sekularisme (Pandangan Yusuf Qardhawi)”, h.
104.
42
Jamaluddin, “Sekularisme; Ajaran dan Pengaruhnya Dalam Dunia Pendidikan”
Mudarrisuna, III, 2 (Juli-Desember, 2013), h. 312.
43
Hamzah Ya‟qub, Pemurnian Aqidah dan Syari‟ah Islam, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu
Jaya, 1988), h. 27.
5

Uni Soviet dulu. Sebab, inti sekularisme liberal adalah demokrasi, dan inti dari

demokrasi adalah tidak dimungkinkannya totalitarianisme atau dominasi satu

bidang ke semua bidang yang lain.” Lebih jauh Ulil mengatakan, “Sebagai

seorang Muslim liberal, jika boleh menyebut begitu, saya tidak pernah menentang

hukum-hukum yang terkait dengan „ubudiyah‟ dan itu adalah masalah yang

sudah selesai. Maka, saya menganggap bahwa aspek-aspek ritual dalam agama

sangat
penting dalam rangka membangun makna hidup individu. Tetapi agama tidak

bisa mencampuri urusan yang lain. Misalnya, peraturan Pilkada, masalah

pengelolaan hutan, masalah lalu lintas dan sebagainya. Menurut saya, wilayah

duniawi jauh lebih banyak ketimbang wilayah agama.”44

Beberapa contoh fenomena dari sekularisme ini, mengutip dari Qosim

Nursheha Dzulhadi, diantaranya pernyataan Ahmad Idris al-Ta‟an al-Haj bahwa

wacana sekularisme mengulang-ulangi seruan untuk mengkritisi Al-Quran agar

dianalisis dan didekonstruksi. Karena selama ini, mengkritik Al-Quran

merupakan bagian dari “ranah diharamkan” dalam pemikiran Islam. Padahal

kritik ini sangat penting dan harus dilakukan. Manfaatnya adalah: agar

manusia memelihara

“menundukkan” teks suci mereka untuk dikritik.45 Selanjutnya pernyataan Robert

Morey dalam bukunya yang berjudul “The Islamic Invasion”, mengutip dari Irena

Handono, dia mengatakan bahwa “Agama Islam adalah bentuk dari imperialisme

budaya dimana agama dan budaya Arab abad ke-7 ditingkatkan statusnya

44
Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam Sekularisme, Liberalisme
dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat
(LSAF), 2010), h. 251.
45
Qosim Nursheha Dzulhadi, Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia: Study Kritis
Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme, h. 210.
5

menjadi hukum ilahi.”46 Kemudian dilanjutkan dengan, “Muhammad mengadopsi

budaya Arab yang dikenal disekitarnya, beserta kebiasaan-kebiasaan sakral dan

duniawinya, dan menjadikannya agama Islam.”47 Selain itu pernyataan Nasr

Hamid Abu Zayd yang telah dikutip oleh Michael Cook, dalam bukunya, The

Koran: A Very Short Introduction tentang Al-Quran sebagai produk budaya: “Jika

teks (Al-Quran) merupakan pesan yang dikirim untuk bangsa Arab pada abad

ketujuh, maka teks itu perlu diformulasikan dengan cara yang tentu saja harus

sesuai dengan aspek-aspek bahasa dan budaya yang khas Arab pada masa itu.

Maka Al-Quran terbentuk dengan latar belakang manusia. Jadi, ia merupakan

sebuah produk budaya,” sebuah istilah yang digunakan Abu Zayd beberapa kali,

dan digarisbawahi oleh Mahkamah Kasasi ketika memvonisnya sebagai orang

kafir.48

D. Kebebasan Berpikir Menurut Hukum Islam dan HAM

Islam telah menjamin kebebasan berpikir. Hal itu sangat jelas terlihat

saat Islam menyeru agar menggunakan pikiran dalam menjelajahi penciptaan

alam semesta, langit dan bumi. Hal itu merupakan anjuran yang banyak disebut-

sebut49, sebagaimana firman Allah Ta‟ala,


˜ۡ ‫قُل‬
‫ِإم‬
‫ٰ َََرد َٰى‬.ُ‫ قُوموْا لِلمِ ه َمث ۡ˜ ََٰن َوف‬.ُ ‫نَ ۡا أَ ِعُظ ُكم بِٰ ََوِ ح َد„ ۡة َأن َت‬

50 “ۡ ‫ ف مك روْا‬.َ ‫ت‬.‫ثم َت‬


ُ
Artinya : “Katakanlah. “Sesungguhnya Aku hendak memperingatkan kepadamu
suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas)
berdua-dua atau sendiri-sendiri ; kemudian kamu pikirkan.”

46
Irena Handono, et al., Islam Dihujat Menjawab buku The Islamic Invasion (Kudus:
Bima Rodheta, 2004), h. 137.
47
Irena Handono, et al., Islam Dihujat Menjawab buku The Islamic Invasion, h. 140.
48
Qosim Nursheha Dzulhadi, Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia: Study Kritis
Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme, h. 212.
49
Raghib As-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia (Jakarta: Al-Kautsar,
‫‪5‬‬
‫‪2011), h. 103.‬‬
‫‪50‬‬
‫سبأ ‪46 :34/‬‬
5

Juga dalam firman-Nya,

‫َِِبا‬ ˜ۡ ‫لم ۡ˜ ي ِسريوْا ِِف ٱل ۡ˜َأر‬.َ ‫أ َف‬


‫َت ُكو َن َأو ˜ۡ َءا َذا َيس َۡ˜ مُعو‬.‫ِض َف‬ ُ َ
‫َن‬ ‫˚ن‬
‫ُلو ˚ب َيع ۡ˜قُِلو َن‬.‫ُلم ۡ˜ ق‬

‫َبآ‬
‫ُلو ُب ٱلِمِت ِِف ٱل ُّص‬.‫ َم ها َل َتع َۡ˜ مى ٱل ۡ˜َأب ۡ˜ ََٰ ُص ر َوََٰل ِكن َتع َۡ˜ مى ٱل ۡ˜ق‬.‫َفِإن‬
51 ِ
‫ُدور‬
Artinya : “Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai
hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar. Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah
hati yang di dalam dada.”

Berpikir dalam kacamata Islam merupakan kewajiban yang tidak boleh

dihilangkan dalam kondisi bagaimanapun juga. Islam telah membuka pintu

seluas-luasnya untuk selalu berpikir tentang urusan agama. Demikian itu untuk

membahas kebenaran syariat pada tiap-tiap yang didapatinya dari problematika

hidup. Inilah yang oleh para ulama disebut dengan ijtihad. Caranya, berpegang

atas dasar berpikir dalam mengambil hukum (istinbath) syariat. Merupakan salah

satu asas fundamental Islam yang memberikan kebebasan berpikir dalam Islam

berpengaruh besar dalam metode pembelajaran fikih bagi kaum Muslimin,

memperbaharui analisa syariat bagi permasalahan yang tidak memungkinkan

pandangan di masa awal permulaan Islam. 52 Abul A‟la Mawdudi menyatakan,

bahwa Islam memberikan hak kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat

kepada seluruh warga negara Islam dengan syarat bahwa hak itu digunakan untuk

menyebarkan kebaikan dan bukan untuk menyebarkan keburukan. Konsep Islam

tentang kebebasan mengeluarkan pendapat jauh lebih tinggi daripada hak yang

diakui Barat. Hak untuk kebebasan mengeluarkan pendapat guna menyebarkan


5
kebaikan dan kebajikan bukan hanya semata-mata hak, tetapi suatu kewajiban.

51
46 /22: ‫احل ّج‬
52
Raghib As-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, h. 104.
5

Siapa pun yang berusaha menyangkal hak ini terhadap rakyatnya secara terang-

terangan menentang Tuhan Yang Maha Kuasa.53 Akal adalah kunci untuk

memahami agama, ajaran dan hukum Islam. Kita tidak akan dapat memahami

Islam tanpa mempergunakan akal. Oleh karena itu, Nabi Muhammad menyatakan

dengan jelas bahwa agama adalah akal, tidak ada agama bagi orang yang tidak

berakal. Jika ungkapan ini dihubungkan dengan hukum, berarti bahwa hukum dan

hukuman itu berkaitan dengan akal, tidak ada hukum atau hukuman bagi orang

yang tidak berakal atau gila. Akal, karena itu, mempunyai kedudukan yang

tinggi dalam sistem agama Islam, karena akal adalah wadah yang menampung

aqidah, syariah dan akhlak.54 Akal pikiran manusia yang memenuhi syarat

untuk berijtihad yang menjadi sumber hukum Islam yang ketiga ini, dalam

kepustakaan disebut arra‟yu atau ijtihad.55 Ijtihad dalam istilah para ahli ilmu

ushul fiqih ialah mencurahkan segenap usaha untuk sampai kepada hukum

syar‟i dari dalil tafshili yang termasuk dalil syar‟i.56 Ijtihad pada prinsipnya

sama, yaitu usaha ahli fikih menggunakan pengetahuannya secara sungguh-

sungguh untuk menemukan hukum syariat yang amaliah (hukum fikih) dari

sumber (dalil) nya. Sedangkan


kebenaran, masih mengandung kemungkinan lain).57 Ijtihad adalah suatu kegiatan

yang membutuhkan banyak energi dan keseriusan. Dengan demikian, tidak setiap

53
Abul A‟la Mawdudi, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Islam (Jakarta: Bumi Aksara,
1995), h. 30.
54
H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 112.
55
H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, h. 115.
56
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama, 1994), h. 338.
57
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1994), h. 127.
5

orang dapat melakukan ijtihad. Hanya orang-orang yang mempunyai ilmu

pengetahuan yang luas saja yang dapat melakukannya. 58 Orang-orang yang berhak

berijtihad adalah mereka yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1)

menguasai bahasa Arab untuk dapat memahami Alquran dan kitab-kitab hadis

yang tertulis dalam bahasa Arab, (2) mengetahui isi dan sistem hukum Alquran

serta ilmu-ilmu untuk memahami Alquran, (3) mengetahui hadis-hadis hukum dan

ilmu-ilmu hadis yang berkenaan dengan pembentukan hukum, (4) menguasai

sumber-sumber hukum Islam dan cara-cara (metode) menarik garis-garis hukum

dari sumber-sumber hukum Islam, (5) mengetahui dan menguasai kaidah-kaidah

fiqih (qawa‟id al-fiqhiyyah), (6) mengetahui rahasia dan tujuan-tujuan hukum

Islam, (7) jujur, dan ikhlas. Syarat-syarat ini diperlukan untuk seorang mujtahid

mutlak di masa lampau, namun kini untuk melakukan ijtihad yang peringkatnya

lebih rendah dari mujtahid mutlak, syarat-syarat yang berat di atas, dapat

diringankan. Untuk melakukan ijtihad pada waktu ini, seorang mujtahid

seyogianya juga (8) menguasai ilmu-ilmu sosial (antropologi, sosiologi) dan

ilmu- ilmu yang relevan dengan masalah yang diijtihadi, (9) serta

dilakukan secara
Para ulama ushul sepakat bahwa ruang lingkup ijtihad hanya pada ayat-

ayat yang bersifat zhanniyyat, karena sebagian dari materi-materi hukum dalam al

Quran dan sunnah sudah berbentuk diktum yang otentik, tidak mengandung

pengertian lain, atau sudah diberi interpretasi otentik dalam sunnah. Di samping

58
Jaenal Aripin, dkk, Filsafat Hukum Islam Dalam Dua Pertanyaan (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 35.
59
H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, h. 118.
5

itu ada sebagian di antaranya yang sudah memperoleh kesepakatan bulat serta

diberlakukan secara umum dan mengikat semua pihak, berdasarkan ijma‟ Dengan

demikian, dalam bidang hukum-hukum yang telah ada, nash qath‟iy tsubut

maupun dalalah-nya, baik dari kitabullah maupun dari sunnah, tidak dapat

diijtihadi lagi. Sekelompok peraturan hukum Islam, seperti kewajiban salat, zakat,

puasa, dan haji, berbakti kepada orang tua, mengasihi orang miskin serta

menyantuni anak yatim dan juga larangan berzina, mencuri, membunuh tanpa

hak dan masih banyak yang lainnya adalah kategori hukum Islam yang sudah

diketahui oleh umum dan bersifat mengikat semua pihak serta tidak memerlukan

interpretasi lain lagi. Seperti telah ditetapkan dalam kaedah yang berbunyi:

‫َ َل م َسا َغ لِ ِإل ْج َتِ ها ِد ِِف َ ْم وِِردالنم ص‬

Artinya: “Tidak diperkenankan ijtihad pada tempat yang telah ada nashnya”60

Ketika kita mendapatkan bahwa Islam menetapkan ijtihad dalam agama

serta mendorongnya dan Rasulullah juga menyerukan ijtihad dan

mengaktualisasikannya sebagai pelajaran dan teladan, ini bukan berarti kita

bebas mutlak untuk melakukannya sekehendak hati, dan tidak berarti setiap
bebas mengatakan apa saja sesuai dengan kehendak diri dan pikirannya. Tetapi
mujtahid
ijtihad adalah ilmu dan tradisi yang memerlukan pembuktian dan penalaran.

60
Nash yang dimaksud di sini adalah ayat-ayat Al-Qur‟an dan Al-Hadis Nabi sebagai
sumber hukum. Dalam ilmu hukum bisa diartikan, “apabila teks hukum sudah jelas, maka tidak
perlu ada penafsiran-penafsiran.” Arti lain kaidah ini adalah pada nash-nash yang sudah jelas
dalam arti sudah qath‟i wurud dan dalalah-nya disepakati. Lihat A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih:
Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis (Jakarta:
Kencana, 2011), h. 98.
5

Ijtihad adalah amanat, dan merupakan amanat yang paling tinggi derajatnya. 61

Apakah rasional dan logis jika agama dalam hal-hal yang pokok (ushul), cabang

(furu‟), dan kaidah-kaidahnya menjadi bidang yang dapat ditafsirkan sekehendak

dan semaunya, dengan alasan kebebasan berpikir dan tidak adanya monopoli

kebenaran?62 Pada hakikatnya tafsir, interpretasi (ta‟wil) dan ijtihad dalam agama

lebih membutuhkan syarat-syarat, kecakapan dan keahlian tertentu daripada

bidang keilmuan lainnya, termasuk sikap teliti dan berhati-hati. Saat ini sering

kita dapatkan beberapa orang nekat yang mengkritisi agama dan mengemukakan

pandangan dan ide-ide kontroversial, memotong dan memilah-milah persoalan

yang kemudian ditakwilkan dan diinterpretasikan sekehendak hatinya mengikuti

alur kanan ataupun kiri. Menganggap dirinya pemikir bebas, mujtahid

pembaharu dan pelopor pembaharuan, padahal ia tidak memiliki keahlian sama

sekali tentang substansi persoalan, tidak banyak pengetahuan yang diketahuinya

kecuali sebagian kecil yang bersifat parsial dan mengemukakan pandangan yang

tidak valid legalitasnya.63

Menurut HAM (Hak Asasi Manusia), kebebasan berpikir dan kebebasan

berpendapat merupakan bagian dari kebebasan berekspresi (freedom of


expression), yaitu kebebasan manusia untuk mengekspresikan diri dalam

kehidupan masyarakat sebagai pengejawantahan kemampuan nalar dan

kemampuan rasa manusia. Aspek lain yang terkait dalam lingkup kebebasan

61
Ahmad Al Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara Teks, Realitas dan
Kemaslahatan Sosial (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002), h. 4.
62
Ahmad Al Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara Teks, Realitas dan
Kemaslahatan Sosial, h. 6.
63
Ahmad Al Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara Teks, Realitas dan
Kemaslahatan Sosial, h. 7.
5

berekspresi adalah kebebasan berkesenian dalam segala bentuk dan

manifestasinya. Kebebasan berpendapat pada dasarnya adalah kebebasan manusia

untuk mengungkapkan pikiran dan pendapatnya mengenai masalah-masalah

kemanusiaan dan kemasyarakatan.64 Kemerdekaan berpikir dan menyampaikan

pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh pasal 28E

UUD 1945 yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,

mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan

dengan undang-undang.” Pasal 19 deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia

yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai pendapat

dengan tidak mendapat gangguan untuk mencari, menerima dan menyampaikan

pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memandang batas-batas

serta merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.” Agar dalam membangun demokrasi

yang berkeadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia diperlukan adanya

suasana yang aman, tertib dan damai serta dilaksanakan secara bertanggung

jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.65

Sementara itu, menurut


14 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pikiran

dan sikap sesuai hati nurani.”66 Kemudian, di dalam UU Hak Asasi Manusia

Nomor 39 tahun 1999, Pasal 23 ayat 2 menyatakan bahwa: “Setiap orang bebas

untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati

64
Arif Wijaya, “Kemerdekaan Berfikir Dalam Hak Asasi Manusia dan Islam” Al-Daulah,
III, no. 2 (Oktober 2013), h. 242.
65
Arif Wijaya, “Kemerdekaan Berfikir Dalam Hak Asasi Manusia dan Islam”, h. 243.
66
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2010), h. 158.
6

nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik

dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan

umum dan keutuhan bangsa.”67 Kemajuan teknologi dan informasi di abad iptek

saat ini memunculkan berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Salah

satunya adalah kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat. Misalnya, saat

era Soeharto kebebasan berpikir dan berpendapat sangat dibatasi. Kebebasan

berpikir dan mengemukakan pendapat pada era tersebut hanya untuk

kepentingan pemerintah atau pihak-pihak tertentu. Sehingga masyarakat

Indonesia belum memiliki kebebasan dalam berpikir dan mengemukakan

pendapat. Setelah rezim orde baru berganti dengan era reformasi, kebebasan

berpikir dan mengemukakan pendapat mulai mudah disampaikan oleh setiap

orang karena sudah memiliki landasan hukum. Namun, seringkali kebebasan

berpikir dan menyampaikan pendapat tersebut tidak mengindahkan nilai-nilai

dan norma-norma kesusilaan, hukum negara dan adat istiadat yang berlaku. Hak

kebebasan yang dipergunakan tanpa batas itulah yang akan menimbulkan

keresahan masyarakat dan kekacauan negara (anarki).68

E. Historisitas Kebebasan Berpikir dalam Islam dan HAM


Dalam lintasan sejarah, ijtihad telah tumbuh dan dipraktikkan sejak

masa-masa awal Islam, kemudian berkembang pada masa sahabat dan tabi‟in

serta generasi-generasi selanjutnya hingga kini dan mendatang dengan

mengalami

67
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, h. 9.
68
http://jokerbalad.blogspot.co.id/2015/03/memanfaatkan-kebebasan-berfikir-
dan.html?m=1, diakses pada 12 November 2016.
6

pasang surut dengan ciri khasnya masing-masing. Bahwa ijtihad telah ada sejak

zaman rasul69, antara lain dapat dilacak dari riwayat berikut:

‫َ ْعب ِدا لمِ ه ْب ِن ا‬


‫نا ُ َش رْي „ح َح مدَثِِن‬.َ‫َنا َ ْعب ُدا لمِ ه ْب ُن َيِ زي َد اْل ُ ْم ِق ر َح مدث‬.‫َح مدث‬
‫َِيزي ُد ْب ُن‬ ‫ وُة بْ ُن‬.َ ‫حي‬ ْ َ ‫ُئ اْل َم ك ُّي‬
‫َلا د َع ْن‬ ِ
‫را ِهي َم بْ ِن ا َْحلا ِر ِث َسعِي „د َع ْن „س م وََل َع مِ رو بْ ِن ا َْل عا َع‬.َ ‫َُُم مم ِد ْب ِن ْإ ِب‬
ْ َْ
ِ
‫ِص َع ن ْم روْب‬ ‫ي‬.ْ ‫َِأِب َق‬ ‫َع ْن ُب ْسِ ر ْب ِن‬
ْ
‫ِن‬
ُ .‫الَْ عا ِص َأنمُه ََِس َع ر ُس َو ل ا ل ِم ه َصلمى ا لمُه َعَْليِ ه َو َسلم م ح ا ْ لَحاكِ ُم َفا ْجَت‬
‫ه د ثم َأ َصا َب‬ َ َ
َ َ ‫ك‬ َ ‫ ق ُو ل إِ َذا‬.ُ ‫ي‬
‫َلُه‬.‫َف‬ َ
‫َم‬
ِ ‫ج را ِن َوإِ َح‬
‫ َه َد‬.‫جت‬ َ ْ ‫َفا‬ َ ْ ‫َأ‬
‫َبَ ذا َْحل ِدي ِث َأَبابَ ْ ِك ر بْ َن َع ْمِ رو‬ ‫َذا َك‬
‫َلُه َأ ْج˚ر َقا َل َف َح مدْث‬.‫َم ثم َأ ْخَطَأ َف‬
‫ح ز„م‬ ْ َ ْ ‫ن‬ ِ ‫ب‬
‫ُت‬
‫فقا َل َه َك َح مدث َِِن َأُبو َسَل َم َة بْ ُن َ ْعب ِدالم ْر َْح ِن َع ْن َ ْعب ُدالَْ ِع ز ِي ز بْ ُن اْل ُمطملِ ِب‬.َ َ
‫َع ْن َ ْعب ِدا لمِ ه‬ ‫َرة َوقَا َل‬.َ ‫هْري‬ ِ
َ ُ ‫َأِب‬
‫َذا‬
‫ْب ِن َِأِب َب ْك „ر ْن َسلَ َم َة َع ْن المِن ِب َص مل ا لمُه َعَْليِ ه‬
70 ِ
‫لَُه‬.‫َو َسلم َم م ْث‬ ‫َِأِب َع‬

Artinya; “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yazid almuqri‟ almakki
telah menceritakan kepada kami Haiwa bin Syuraikh telah
menceritakan kepadaku Yazid bin Abdullah bin Al Had dari
Muhammad bin Ibrahim bin Alharits dari Busr bin Sa‟id dari Abu
Qais mantan budak Amru bin „Ash, dari „Amru bin „ash ia
mendengar Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam bersabda: “Jika
seorang hakim mengadili dan berijtihad, kemudian ijtihadnya benar,
maka ia mendapat dua pahala, dan jika seorang hakim berijtihad,
lantas ijtihadnya salah (meleset), baginya satu pahala.” Kata „Amru,
„Maka aku ceritakan hadis ini kepada Abu Bakar bin Amru bin Hazm,
dan ia berkata, „Beginilah Abu Salamah bin Abdurrahman
mengabarkan kepadaku dari Abu Hurairah. Dan Abdul „Aziz bin Al
Muththalib dari Abdullah bin Abu Bakar dari Abu Salamah dari
Nabi shallallahu
„alaihi wasallam semisalnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits Mu‟az bin Jabal, Nabi Muhammad senang sekali mendengar
6
jawaban Mu‟az yang menyatakan bahwa ia akan berijtihad dengan ra‟yunya, bila

tidak terdapat pemecahan suatu masalah dalam Alquran dan As-Sunnah. Umar bin

Khattab, mempergunakan ra‟yunya untuk berijtihad, bahkan mengenai

pelaksanaan hukum yang petunjuknya telah terdapat di dalam Alquran dan

Sunnah Nabi Muhammad, antara lain dalam kasus pelaksanaan ancaman hukuman

69
Jaenal Aripin,dkk, Filsafat Hukum Islam Dalam Dua Pertanyaan, h. 40.
70
Imam Bukhari dan Muslim, Shahih Bukhari Muslim, Penyunting Imron Hakim
(Jakarta: Quantum Ikhlas, 2016), h. 3213.
6

bagi seorang yang mencuri dalam keadaan paceklik dan ikrar talak tiga yang

diucapkan sekaligus menyebabkan jatuhnya talak tiga.71 Pada peradaban gemilang

Islam ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh filsuf, seperti al-Farabi, al-Biruni,

Jabir bin Hayyan, Ibnu Rusyd, Ibnu Haitsam, Ibnu Khaldun, hingga al-Ghazali.

Mereka adalah pintu gerbang kebebasan yang dibuka lebar-lebar pada masa Bani

Umayyah. Tepatnya oleh Khalid bin Yazid di Syiria dan puncaknya pada Bani

Abbasiyah; tepatnya masa khalifah Harun al-Rasyid dan anaknya, al-Makmun.

Keduanya membuka ruang kebebasan dan apresiasi tinggi terhadap tradisi

penerjemahan karya-karya klasik Yunani. Kendati demikian, sejarah Islam

diwarnai pengalaman pahit getirnya penyegelan ruang kebebasan berpikir dan

menyatakan pendapat.72 Dalam sejarah Islam, sejumlah tokoh yang dianggap

menyimpang dari Islam tetap diberikan kebebasan untuk hidup, melakukan

penelitian, dan mengembangkan pemikiran mereka. Mereka antara lain adalah

Ibn al-Rawandi (w.910), yang mengajarkan pemikiran naturalisme yang

bertentangan dengan ajaran Islam. Abu Bakr al-Razy (w.sekitar 925), yang

dikenal dalam sumber-sumber latin sebagai Rhazes, menolak konsep

wahyu dan kenabian.


Dalam bidang fiqih, penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum

(istinbath) dengan istilah-istilah seperti istihsan, istishlah, qiyas, dan lainnya telah

lazim digunakan. Tokoh-tokoh mazhab fiqih menelurkan metode istinbath dengan

71
H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, h. 115.
72
Mohammad Monib dan Islah Bahrawi, Islam & Hak Asasi Manusia Dalam Pandangan
Nurcholis Madjid (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), h. 180.
73
Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syariah Islam dan HAM Dampak Perda
Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim (Jakarta: CSRC UIN
Syarif Hidayatullah, 2007), h. 35.
6

menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796

M), Syafi‟i (767-820 M), dan Ibnu Hanbal (780-855 M), hidup sebelum

kedatangan filsafat Yunani.74

Dalam “Universal Declaration of Human Rights” yang pada tanggal 10

Desember 1948 diterima oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (48

negara memberi suara “pro”, tidak satu negara pun “kontra” dan 8 negara

“abstain”) diproklamasikan beberapa kebebasan yang dapat digolongkan sebagai

hak asasi manusia, salah satunya kebebasan berpikir, berhati nurani dan

beragama (art. 18).75 Mengutip dari tulisan Nirwan Dewanto, kebebasan

berekspresi dan mengemukakan pendapat merupakan salah satu kebebasan dasar

yang dijamin dalam Piagam Hak-hak Asasi manusia tahun 1948. UUD 1945 pun

menjamin bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,

menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya dan setiap orang

berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Tapi,

meski sudah dijamin dalam sebuah negara, biasanya kebebasan berekspresi itu

turun-naik.76 Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara yang

menjadi salah satu


individu dan hak-hak kolektif manusia. Diadopsi pada 26 Agustus 1789 oleh

Majelis Konstituen Nasional, sebagai langkah awal untuk penulisan sebuah

konstitusi. Menetapkan hak-hak fundamental tidak hanya bagi warga negara

Perancis tetapi memperuntukkan hak-hak ini untuk seluruh manusia tanpa

74
A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer (Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2013), h. 28.
75
Nico Syukur Dister OFM, Filsafat Kebebasan (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 57.
76
Hamid Basyaib, Membela Kebebasan Percakapan tentang Demokrasi Liberal (Jakarta:
Pustaka Alvabet, 2006), H. 263.
6

terkecuali. Dari kelima belas isi deklarasi Perancis, salah satunya menyatakan

manusia merdeka mengeluarkan pikiran.77

77
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Deklarasi_Hak_Asasi_Manusia_dan_Warga_Negara,
diakses pada 15 November 2016.
BAB IV

ANALISA FATWA MUI NO. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 TENTANG

PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA

A. Latar Belakang Lahirnya Fatwa MUI No. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005

tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama

Sebelum penulis menjelaskan latar belakang lahirnya Fatwa MUI No.

7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme

Agama, perlu baiknya mengetahui isi ketentuan umum dan ketentuan hukum

dari fatwa MUI tersebut.

a. Ketentuan Umum

MUI memberikan beberapa penjelasan definisi tentang paham Pluralisme,

Liberalisme dan Sekularisme Agama, diantaranya:

1. Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua

agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif;

oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa

hanya
juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup

berdampingan di surga.

2. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah

tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.

63
6

3. Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur‟an dan

Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya

menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai akal pikiran semata.1

4. Sekularisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama

hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan,

sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan

kesepakatan sosial.

b. Ketentuan Hukum

1. Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud

pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran

agama Islam.

2. Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, liberalisme dan

sekularisme agama.

3. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif,

dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam

dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.

4. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain


(pluralitas agama, dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah

dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan

pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling

merugikan.2

1
Ketentuan Umum Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 96.
2
Ketentuan Hukum Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 97.
6

Lahirnya Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) No. 7/MUNAS

VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama

dilatarbelakangi oleh berkembangnya paham pluralisme, liberalisme dan

sekularisme agama beserta paham-paham sejenis lainnya di kalangan masyarakat.

Berkembangnya paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama ini di

kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan pada umat Islam.3 MUI

menjelaskan “perang non-fisik” atau yang disebut ghazwul fikr (perang

pemikiran) tengah dihadapkan kepada umat Islam Indonesia. Perang pemikiran

ini berdampak luas terhadap ajaran, kepercayaan dan keberagamaan umat.

Paham yang dimaksud MUI adalah paham sekularisme dan liberalisme agama

yang datang dari Barat, dua pemikiran yang telah berkembang di kalangan

kelompok tertentu di Indonesia. Kelompok tertentu yang dimaksud MUI disini

ialah aktifis Islam Liberal. Dua aliran pemikiran tersebut telah menyimpang dari

sendi-sendi ajaran Islam dan merusak keyakinan serta pemahaman masyarakat

terhadap ajaran agama Islam.4

MUI mengemukakan bahwa paham Sekularisme dan Liberalisme Agama


telah membelokkan ajaran Islam sedemikian rupa sehingga menyebabkan

timbulnya keraguan umat terhadap akidah dan syari‟at Islam. Contohnya,

pemikiran tentang relativisme agama, penafian dan pengingkaran terhadap hukum

Allah (syari‟at) serta menggantikannya dengan hukum-hukum hasil pemikiran

3
Konsideran Menimbang Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 92.
4
Penjelasan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 98.
6

akal semata. Agama ditafsirkan secara bebas dan tanpa kaidah penuntun sehingga

melahirkan paham Ibahiyah, yaitu menghalalkan segala tindakan terhadap etika

dan agama serta dampak lainnya. Berdasarkan kenyataan yang terjadi, MUI

bertindak tegas terhadap perkembangan pemikiran sekuler dan liberal di

Indonesia.5

Berkembangnya paham sekularisme dan liberalisme agama juga diiringi

dengan berkembangnya paham pluralisme agama. MUI menjelaskan bahwa

pluralisme agama tidak lagi dimaknai adanya kemajemukan agama. Dalam

pandangan pluralisme agama, semua agama adalah sama. Karena menganggap

semua agama diartikan sama, maka timbullah relativisme agama yang

berdampak dapat mendangkalkan keyakinan akidah. MUI memaparkan hasil

dialog antar umat beragama di Indonesia yang digagas oleh Prof. Dr. H. A.

Mukti Ali, pada tahun 1970-an. Hasilnya, paham pluralisme dengan pengertian

setuju untuk berbeda (agree in disagreement) serta mengakui adanya klaim

kebenaran masing- masing agama telah dibelokkan kepada paham sinkretisme,

yaitu paham yang mengajarkan penyampuradukan ajaran agama, bahwa

semua agama dianggap

boleh berganti-ganti. Kemudian, paham pluralisme agama ini telah disebarkan

secara aktif ke tengah umat dan telah dipahami oleh masyarakat sebagaimana

dimaksud para penganjurnya tanpa banyak mendapat perhatian dari para ulama

dan tokoh umat. Paham ini juga telah menyelinap jauh ke pusat-pusat/ lembaga

pendidikan umat. Penyebab Majelis Ulama Indonesia pada Munas VII

5
Penjelasan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 98.
6

mengeluarkan fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama

adalah untuk merespons usul para ulama dari berbagai daerah serta sebagai

tuntunan dan bimbingan kepada umat Islam agar tidak mengikuti paham-paham

tersebut.6

Definisi yang digunakan oleh MUI dalam menetapkan fatwa mengenai

Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama adalah bersifat empirik, bukan

definisi yang bersifat akademis. Dikatakan bersifat empirik sebab definisi

pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama dalam fatwa tersebut adalah

paham (isme) yang hidup dan dipahami oleh masyarakat sebagaimana telah

diuraikan di atas. Oleh sebab itu, definisi mengenai pluralisme, liberalisme dan

sekularisme agama sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para ulama peserta

Munas VII MUI bukanlah definisi yang mengada-ada atau dibuat-buat, tetapi

sebagai tanggapan apa yang selama ini telah disebarluaskan oleh para

pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama. MUI juga menjelaskan bahwa

para penganjur pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama telah bertindak

melampaui batas dengan menganggap bahwa banyak ayat-ayat al-Qur‟an

sebagai kitab suci umat


relevan lagi, dalam hal ini MUI mengutip harian Kompas edisi 18 November

2002, bahwa larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam

dan laki-laki non-Islam sudah tidak relevan lagi. MUI juga mengutip pendapat

para aktivis pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama dalam Website JIL

yang mengganggap bahwa al-Qur‟an itu bukanlah firman Allah tetapi hanya

6
Penjelasan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 99.
6

merupakan teks biasa seperti halnya teks-teks lainnya, bahkan dianggap sebagai

angan-angan teologis atau disebut al-khayal al-dini. Misalnya, seperti yang

dikemukakan dalam website mereka yang berbunyi: “Sebagian besar kaum

muslimin meyakini bahwa al-Qur‟an dari halaman pertama hingga terakhir

merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara

verbatim, baik kata-katanya (lafzhan) maupun maknanya (ma‟nan). Keyakinan

semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan

teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari

formalisasi doktrin-doktrin Islam.” Tidak hanya itu saja, masih banyak lagi

pernyataan- pernyataan “aneh” yang mereka kemukakan.7

MUI menegaskan bahwa pluralitas agama berarti kemajemukan agama,

sehingga dibedakan antara pluralisme agama dengan pluralitas agama. Suatu

kenyataan bahwa banyaknya agama-agama di Indonesia itu mengharuskan

semua warga negara, termasuk umat Islam Indonesia untuk menerimanya

sebagai suatu keniscayaan dan menyikapinya dengan toleransi dan hidup

berdampingan secara damai. Pluralitas agama merupakan hukum sejarah

(sunnatullah) yang tidak


mengeluarkan fatwa tentang pluralisme agama dengan maksud untuk membantah

berkembangnya paham relativisme agama, yaitu bahwa kebenaran suatu agama

bersifat relatif dan tidak absolut. Fatwa ini justru menegaskan bahwa masing-

masing agama dapat mengklaim kebenaran agamanya masing-masing (truth-

7
Penjelasan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 99.
6

claim) sendiri-sendiri tapi tetap berkomitmen saling menghargai satu sama lain

dan mewujudkan keharmonisan hubungan antar para pemeluk agama.8

B. Landasan Hukum Fatwa MUI No. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang

Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama

Penulis akan mencantumkan beberapa landasan hukum yang dipakai oleh

MUI dalam memutuskan fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme

Agama, diantaranya:

1. Al-Qur‟an
َ9‫ل ˚ن ُيق ۡ˜بَ َل ِمن ۡ˜ ُه َو ُى َو ِف ا˚آل ِخ َرِة ِم َن ا ˚َلا ِر ِري َن‬
َ .‫ف‬
َ ‫َوم ˚ن َيب ˜ۡتَ ِغ َغي ۡ˜ َر ا ˚ِلس ۡ˜َِلم ِدين˝ا‬

Artinya : ”Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (

01‫ِإ َّن ال ِّدي َن ِع˚ن َد اَِّللو ا˚ ِل ˚راَلُم‬...

Artinya : ”Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...”.


(QS. ali-„Imron: 19)
11‫ين ُكم ۡ˜ َلوِ َ ِدي˚ ِن‬
ُ ‫ل ُكم ۡ˜ ِد‬
َ

Artinya : ”Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. al-Kafirun: 06)

َ‫ َرُة ِمن‬.‫ي‬
َ ‫ي ُكو َن ل ُ َم ٱل ۡ˜ ِخ‬
َ ‫ق َضى اوَّلل ُ َوَر ُروُلوُ أَم ۡ˜ ˝را َأ ˚ن‬
َ ‫ن „ة َِإ ذا‬
َ ‫ل ُمؤ ˜ۡ ِم „ن َوَل ُمؤ ۡ˜ ِم‬
ِ ‫ۡ وَما َكا َن‬ ˜
21‫ل ˝ال مبِين˝ا‬
َ ' ‫ َق ˚د َض َّل َض‬.‫ف‬
َ ُ‫ ˚ع ِص اََّللو َوَر ُروَلو‬.َ‫َأم ۡ˜ ِِرىم ˜ۡ ۡ َوَم ˚ن ي‬

Artinya : ”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah

8
Penjelasan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 100.
9
85 /03: ‫آل عمران‬
10
19 /03: ‫آل عمران‬
11
06 /109: ‫الكافرون‬
12
36 /33: ‫األحزاب‬
7

dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”.
(QS. al-Ahzab: 36).

‫َأن‬
‫ُيخ ۡ˜ ِر ُجُوكم ِّمن ِديَا‬ ‫ال ِّدي ِن‬ ‫َع ِن‬ ‫َل َين ۡ˜ َىا ُك ُم‬
˜ۡ ‫ُِركم‬ ۡ˜ ‫ََول‬ ‫ال‬ ‫ٱل‬
‫ُ;َقاتُِلُوكم ۡ˜ ِف‬.‫ُّو ّ ِذي َن َل ۡ˜ ي‬
‫ َع ِ ن‬، ‫ي‬ ‫ۡ ا˚ ِإَِل ۡ˜ ِىم ۡ˜ ۡ“ إِ َّن‬ ˜ۡ ‫ ر ُو;ىم ۡ˜ وُتق‬.‫ب‬.‫َت‬
َ َ َ
‫ٱل‬ ‫رُطو‬ ِ
‫َنا ي َ;ن ۡ˜ َى';ى ُك ُم‬ ‫َّو ُُِي ب ٱل ُۡ˜;مق ۡ˜ ِر ِط‬
‫ٱل‬
‫ُّو‬
‫عَل ۡى ِإخ ۡ˜ را ِج َأن‬ ˜ۡ ‫َوأخ ۡ˜ ر جُوكم ِّم ن ِديا ُِركم‬
َ ' َ َ ˚ ُ َ َ ‫ال‬
˜ۡ ‫ُكم‬ ˚‫َوَظا َ ُى;روا‬ ‫لُُوكم ۡ˜ ِف ال ِّدي ِن‬.‫ّ ِذي َن َقاَت‬
‫َول‬.‫َت‬
‫ّو ۡ˜ ُىم ۡ˜ ۡ“ ََومن‬
َ‫تو‬.‫َي‬.
َ
‫ُلم ۡ˜ َفُأو' لَ; ۡئِ َك ُى ُم‬
‫ال ظ‬
13
‫ّالِ ُمو َن‬
Artinya : ”Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang
yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan
barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim”. (QS. al-Mumtahinah: 8-9).

˜ۡ ‫ٱل دن ۡ˜ ي ۡا وَأح‬
َ َ ‫َس َن ِصيَب‬ ‫ٱ ل ۡ ِخَرَ ۡة ََول‬ ‫َوٱب ۡ˜َتِ;غ فِي َماۡ َءاَت'ى َك‬
‫رن‬ ِ
‫َك ِم َن‬ ‫َتن‬ ‫ُّو ٱل َّداَر ٱل ۡ˜أ‬
‫َك َماۡ َأح ۡ˜ َر َن‬
‫ٱل‬
‫ض إِ َّن‬
ۡ ِ ˜ۡ ‫ُّو إَِِل ۡ˜ َ ۡك ََول َتب ۡ˜ ِغ ٱل ۡ˜َف َسا َد ِف ٱل ۡ˜َأر‬
‫ٱل‬
‫َّو َل ُُِي ب‬
7

˜ ˜ ِ ِ
َ ‫ن دي ر ۡ ُۡ;مف‬
14

‫ ٱل‬Artinya : ”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah


kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. al-
Qashash: 77).

‫ِ ِ ُىم‬ ِ ‫من ِف ٱل‬


‫َرب ي ل‬ َ ‫ض ُي‬ َ ‫َر‬.َ‫َوِإن ُت ِطع ۡ˜ َأك ۡ˜ث‬
˜ۡ
‫ٱل‬ ‫˜َۡأر ۡ˜ ِضل وَك ع‬ 15
‫إَِّل َيخ ُۡ˜;ر ُصو َن‬
‫ِّ;و ۡ“ إِن‬ ‫ن‬
‫َت‬.‫ي‬
‫ِّبُعو َن َِّإل‬
‫ٱل ظ‬
˜ۡ ‫ّ َّن وإِن‬
َ
Artinya : ”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak
lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain
hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. (QS. al-An‟am: 116).

13
8-9 /60: ‫املمتحنة‬
14
77 /28: ‫القصص‬
15
116 /06: ‫األ نعام‬
7

ۡ˜ ‫ۡ ء ىم ۡ˜ َلف س د ِت ٱل وٱل ۡ˜َأر ض ومن فِي بل ۡ˜ َأ َت‬ ‫َوَلِ;و‬


َ ََ ُ َ َ َ َُ
‫َ'َُنم‬ “ۡ ‫ِه َّن‬ ˜ۡ ‫َّس 'َم' َ;و ُت‬ .‫ٱت‬
‫بّ َ َع ٱل ۡ˜ َح ق َأه ۡ˜َوا‬
‫ ُهم ۡ˜ َعن ِذك ۡ˜ ِِرىم مع ۡ˜ ِر‬.‫ِب ِذك ۡ˜ ِرِىم ۡ˜ َف‬
16
‫ُضو َن‬
Artinya : ”Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah
langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya
Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi
mereka berpaling dari kebanggaan itu”. (QS. al-Mu‟minun: 71).

2. Hadis Nabi Muhammad SAW


a. Imam Muslim (w. 262 H) dalam kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan
sabda Rasulullah SAW :

‫و ُس ُُمَ َّم „د‬ ‫َصل‬ ‫َر ِض َي‬ ‫َع ˚ن َِأِب‬


ِ ِ ِ َ
‫بَي ده َل‬ ‫َر ل‬ ‫ّى‬ ‫ال‬ ‫˚ََرة‬.‫ُىَري‬
‫ّ َم‬ ‫ال‬ ‫ُّو َع˚;نُو َع ِن‬
‫َأن‬ ‫ُّو َعَل˚يِ;و‬ ‫ال ن‬
: ‫ُّو َقا َل‬ ‫ِّ ِِّب‬
‫َوال‬
‫ف‬.;˚‫ّ ِذي َن‬
‫ ُهوِ;د ٌّي ََول َن‬.َ‫َي ˚س َم ُع ِِب َأ َح ٌد ِم ˚ن َى ِذِ;ه ˚اأَُلّمِ;ة ي‬
‫˚صَرِاِن‬
،ّ
‫ُُث‬
ّ

‫˚;ؤِم ˚ن‬.ُ‫ُيو ُت ََول˚ ي‬


‫ِ ب ال‬
‫إَِّل َكا َن‬، ‫ّ ِذي ُأ˚رِ;ر˚;ل ُت بِ;و‬
‫ِم ˚ن َأ ˚ص َحا ِب‬
‫الن‬
.17‫ّا ِر‬
Artinya : ”Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Nabi saw. Bersabda, “Demi
7
Allah yang menguasai diri Muhammad, tidaklah ada seorang Yahudi
dan Nasrani dari umat ini yang mendengar ajaranku. Kemudian ia
mati tanpa mengimani ajaran yang disampaikan kepadaku, kecuali ia
tergolong ahli neraka.” (HR. Muslim)

b. Nabi mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non-muslim,


antara lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al-
Najasyi raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang
beragama Majusi, di mana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam.
(riwayat Ibn Sa‟d dalam al-Thabaqat al-Kubra dan Imam al-Bukhari dalam
Shahih al-Bukhari).
c. Nabi SAW melakukan pergaulan sosial secara baik dengan komunitas-
komunitas non-muslim seperti komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar
dan Nasrani yang tinggal di Najran. Bahkan, salah seorang mertua Nabi
yang bernama Huyay bin Ahthab adalah tokoh Yahudi Bani Quradzah
(Sayyid Bani Quraizah). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

C. Analisis Perbandingan Fatwa MUI No. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang

Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama dengan HAM

1. Perbedaan dari perspektif Fatwa MUI dengan HAM, yaitu

16
71 /23: ‫املؤ منون‬
17
Muslim 1/93. Lihat M. Nashiruddin al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, Penerjemah
Elly Lathifah, Penyunting Harlis Kurniawan (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 17.
7

- Perbedaan keduanya dilihat dari ketentuan hukum yang digunakan. Fatwa

MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama

mengharamkan umat Islam untuk mengikuti paham Pluralisme, Liberalisme

dan Sekularisme Agama. Alasannya, karena paham ini dapat menimbulkan

keraguan umat Islam terhadap akidah dan syari‟at Islam.18 Sedangkan,

HAM lebih menonjolkan kebolehan terhadap paham Pluralisme,

Liberalisme dan Sekularisme Agama. Sebab, paham pluralisme,

Liberalisme dan Sekularisme Agama dibangun atas dasar kebebasan

berpikir dan berpendapat. Oleh karena itu, HAM tidak membatasi

kebebasan fundamental dalam diri manusia atau individu khususnya

kebebasan berpikir dan berpendapat yang tidak terikat oleh norma-norma

agama.

- Perbedaan dari keduanya juga dilihat dari sumber hukum yang dijadikan

sebagai dalil. Fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan

Sekularisme Agama menggunakan dalil-dalil yang diambil dari al-Qur‟an

dan Sunnah tanpa mengesampingkan nilai-nilai sosial. Karena paham

Pluralisme, Liberalisme dnan Sekularisme Agama bertentangan dan tidak


Sedangkan, HAM cenderung memberikan kebebasan berpikir tanpa batas

yang didasarkan pada akal logika manusia dan nilai-nilai individu.

Sehingga, paham Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama

menjadikan HAM sebagai dasar pendiriannya.

2. Persamaan dari perspektif Fatwa MUI dengan HAM, yaitu

18
Penjelasan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 98.
7

- Persamaan keduanya dilihat dari aspek sosial. Fatwa MUI tentang

Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama tetap menghargai adanya

kemajemukan agama yang ada di Indonesia dan menjaga keharmonisan

hubungan antar pemeluk agama.19 Sementara itu, para pemikir Islam Liberal

bila dilihat dari pemikiran mereka terhadap Pluralisme Agama juga

mengedepankan adanya toleransi agama untuk menjaga hubungan baik antar

pemeluk agama, namun dengan porsi yang berbeda. Secara tersirat, fatwa

MUI tersebut menghargai kebebasan berpikir dengan batas-batas tertentu

yang tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah. Sedangkan, HAM

juga memberikan jaminan kepada manusia atas kebebasan berpikir dengan

syarat memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban,

kepentingan umum dan keutuhan bangsa.20

19
Penjelasan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 100.
20
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2010), h. 9.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah penulis paparkan mengenai Analisis Fatwa MUI

Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama, maka banyak hal

sebenarnya yang dapat disimpulkan. Namun, penulis mencatat beberapa point

penting yang menjadi inti dari bahan skripsi penulis.

1. Fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama

menegaskan pengharaman bagi umat Islam untuk mengikuti paham

Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama. Fatwa MUI ini

menyadarkan kepada umat Islam bahwa sesungguhnya paham Pluralisme,

Liberalisme dan Sekularisme Agama bukanlah paham yang memberikan

manfaat bagi umat Islam, melainkan hanya menambah kesesatan bagi yang

mengikutinya. Fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme

Agama ini memberikan pencerahan kepada umat Islam bahwa

sesungguhnya perang pemikiran atau


karena umat Islam diharuskan lebih memfilter dirinya dari bahaya

perkembangan dan pengaruh pemikiran Pluralisme, Liberalisme dan

Sekularisme Agama serta pemikiran yang terkait dengannya. Fatwa MUI

tersebut juga memberikan solusi kepada umat Islam bahwa sesungguhnya

toleransi umat beragama tidaklah harus ditumbuhkan dengan mengakui

kebenaran yang dibawa agama lain. Sebab kalau harus mengakui kebenaran

74
7

agama lain, maka konsekuensinya kebenaran akidah umat Islam harus

dicampuri dengan kebenaran akidah umat agama lain dan ini sangat tercela.

Namun, prinsipnya saling menghargai mewujudkan kedamaian antar pemeluk

agama satu sama lain. Fatwa MUI tersebut memberikan prinsip kebenaran bagi

umat Islam bahwa hanya dengan berpegang teguh kepada al-Qur’an dan

Sunnah dapat menghindarkan umat Islam dari bahaya kesesatan pemikiran,

khususnya terkait dengan paham Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme

Agama.

2. Perbedaan yang mencolok antara pemahaman para pemikir Islam Liberal dan

MUI terhadap paham Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama

diantaranya, pemahaman terhadap Pluralisme Agama yang dipakai oleh para

pemikir Islam Liberal lebih ditekankan kepada toleransi antar umat beragama

dengan cara mengakui kebenaran agama lain sehingga kedudukan semua

agama dianggap sepadan dan sama benar kebenarannya. Berbeda yang

ditegaskan oleh MUI, bahwa dengan adanya Pluralisme Agama, maka akan

menimbulkan dampak yang berbahaya terhadap akidah umat Islam,

karena
Agama dengan mengedepankan toleransi antar pemeluk agama serta menjaga

kerukunan antar umat beragama tanpa mengurangi klaim kebenaran masing-

masing agama. Dengan demikian, kedudukan masing-masing agama berbeda

dan tidak sama kebenarannya. Begitu juga dengan paham Liberalisme dan

Sekularisme Agama yang telah menjadi jiwa dari pemikiran para pemikir Islam

Liberal. Bagi mereka, menganut paham Liberalisme dan Sekularisme Agama


7

merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mengedepankan akal dan

kebebasan berpikir tanpa batas-batas apapun, sehingga menggusur peran

agama. Berbeda dengan pandangan MUI dan dari data-data yang telah penulis

peroleh bahwa dua pemikiran tersebut memang sangat tidak sesuai dengan

ajaran agama Islam. Bahkan, sangat mengingkari ajaran-ajaran agama Islam,

khususnya terhadap akidah dan syari’at umat Islam. Sehingga, MUI

menginginkan agar agama tetap mencampuri urusan dunia dan tidak

dihilangkan dalam kehidupan sosial.

B. Saran-saran

1. Kepada pemerintah Indonesia dalam hal ini khususnya Kementerian Agama

Republik Indonesia, supaya mencegah berkembangnya paham Pluralisme,

Liberalisme dan Sekularisme Agama terhadap ajaran agama Islam. Caranya

bisa dengan gencar mensosialisasikan Fatwa MUI tentang Pluralisme,

Liberalisme dan Sekularisme Agama kepada umat Islam, memberikan

pemahaman kepada umat Islam tentang bahaya paham Pluralisme,

Liberalisme dan Sekularisme Agama, serta mengajak umat Islam untuk

mempertebal
2. Kepada para ulama, supaya selalu memberikan bimbingan kepada umat Islam

tentang pentingnya berpegang teguh pada akidah dan syari’at agama Islam

yang dibawa oleh Rasulullah SAW, sehingga umat Islam tidak mudah untuk

terpengaruh oleh paham-paham menyesatkan dari luar agama Islam, khususnya

paham Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.


7

3. Kepada para akademisi, supaya menyeleksi setiap buku-buku atau tulisan

tentang paham Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama yang

dipastikan dapat memberikan dampak negatif terhadap pemahaman umat Islam

atas ajaran agama Islam yang diajarkan oleh setiap institusi pendidikan agar

tidak ditularkan paham-paham tersebut kepada setiap peserta didik, namun

paham-paham tersebut hanya perlu dikritisi sebab dikhawatirkan bisa

mempengaruhi pola pikir umat Islam.

4. Kepada masyarakat dalam hal ini khususnya umat Islam. Mengenai

permasalahan perbedaan pemikiran yang sering timbul dikalangan umat

Islam, sebaiknya umat Islam menyelesaikannya dengan cara dialog terlebih

dahulu. Dengan demikian, umat Islam dapat membedakan dan menyeleksi

mana pemikiran yang benar-benar sesuai dengan ajaran agama Islam serta

mana yang bukan atau malah bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Dalam hal ini paham Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama yang

telah beredar di masyarakat. Dengan cara memahami Fatwa MUI tentang

Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama secara cermat, umat Islam

dapat selamat
agamanya. Islam memang menghargai kebebasan berpikir, tapi Islam juga

memberikan pertimbangan terhadap pemikiran itu supaya tidak bertentangan

dengan nilai-nilai dan norma-norma ajaran agama.


DAFTAR PUSTAKA

Al- Qur’an al-Karim

Abdalla, Ulil Abshar. “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam.” Kompas, 18


November 2002.

Afiah, Neng Dara. Kala Fatwa jadi penjara “MUI merampok Kebebasan
Berpikir”. Artikel diakses pada 15 Juli 2016 dari
http://www.wahidinstitute.org/v1/Programs/Detail/?id=217/hl=id.

Agustina, Cahyaningrum Tri. “Pergerakan Jaringan Islam Liberal (JIL) di


Indonesia tahun 2001-2005.” Candi IV, UNS: h. 1-17.

Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Aripin, Jaenal. Metode Penelitian


Hukum.
Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

A. Latif, Hamdiah. “Mengkritisi Jaringan Islam Liberal (JIL): Antara Spirit


Revivalisme, Liberalisme dan Bahaya Sekularisme.” Islam Futura X,
No. 2 (Februari 2011): h. 50-64.

Al-Albani, M. Nashiruddin. Ringkasan Shahih Muslim. Penerjemah Elly


Lathifah.
Penyunting Harlis Kurniawan. Jakarta: Gema Insani Press, 2005.

Al Raysuni, Ahmad dan Barut, Muhammad Jamal. Ijtihad antara Teks,


Realitas dan Kemaslahatan Sosial. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002.

Ali, H. Mohammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

Ali, Muhamad. Teologi Pluralis Multikultural: Menghargai Kemajemukan,


Alkaf, Halid. Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia. Jakarta: Kompas, 2011.

Almujahid, A. Thoha Husein dan Fathoni Alkhalil, A. Atho’illah. Kamus Akbar


Bahasa Arab (Indonesia-Arab). Jakarta: Gema Insani, 2013.

AM, Imron. Islam Liberal Mengikis Akidah Islam. Jakarta: INSIDA, 2004.

Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani,


2008.

Aripin, Jaenal, dkk. Filsafat Hukum Islam Dalam Dua Pertanyaan. Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

78
7

As-Sirjani, Raghib. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia. Jakarta: Al-


Kautsar, 2011.

Basyaib, Hamid. Membela Kebebasan Percakapan tentang Demokrasi Liberal.


Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006.

Ba’albaki, Munir. Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary. Beirut: Dar


El-Ilm Lil-Malayen, 1992.

Binder, Leonard. Islamic Liberalism : a critique of development ideologies.


Chicago: The University of Chicago Press, 1988.

Bisri, Adib dan AF, Munawwir. Kamus Al-Bisri : Indonesia -- Arab Arab –
Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.

Bukhari, Imam dan Muslim. Shahih Bukhari Muslim. Penyunting Imron Hakim.
Jakarta: Quantum Ikhlas, 2016.

Djazuli, A. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam


Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana, 2011.

Dzulhadi, Qosim Nursheha. Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia:


Study Kritis Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme.
Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012.

Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,


Liberalisme dan Sekularisme Agama.

Ghazali, Abd Moqsith. “Fatwa MUI dan Keterancaman Pluralisme Agama”.


Artikel diakses pada 21 Juli 2016
dari
http://wahidinstitute.org/v1/Opini/Detail/?id=47/hl=id/Fatwa_MUI_Dan
_ Keterancaman_Pluralisme_Agama.

Hakim, Lukman. “Mengenal Pemikiran Islam Liberal.” Substantia XIV. No.


Handono, Irena, et al. Islam Dihujat Menjawab buku The Islamic Invasion.
Kudus: Bima Rodheta, 2004.

Hardjono, Rayner. Kamus Populer Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama, 2002.

Herlianto, “Liberalisme”. Artikel diakses pada 14 Januari 2017 dari


http://artikel.sabda.org/node/714.

http://jokerbalad.blogspot.co.id/2015/03/memanfaatkan-kebebasan-berfikir-
dan.html?m=1, diakses pada 12 November 2016.
8

http://m.detik.com/news/berita/412287/11-fatwa--mui-mulai-imam-perempuan-
hingga-liberalisme, artikel diakses pada 08 Desember 2016.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Jaringan_Islam_Liberal, artikel diakses pada 19


Oktober 2016.

http://inpasonline.com/new/istilah-sekularisme-menurut-al-attas-dan-al-
qardhawy/, artikel diakses pada 18 Januari 2017.

https://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/09/menolak-pluralisme/, artikel diakes pada 25


Oktober 2016.

https://pwkpersis.wordpress.com/2008/03/28/sekilas-tentang-sekularisme/, artikel diakses pada 26 O

https://almanhaj.or.id/3129-islam-dan-liberalisme.html, November
diakses2016.pada06

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Deklarasi_Hak_Asasi_Manusia_dan_Warga_Neg ara, artikel diakses


https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pascamodernisme, artikel diakses pada 17 Januari 2017.

Husaini, Adian. Pluralisme Agama: Haram. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.

----------. Pluralisme Musuh Agama-Agama (Pandangan Katolik, Protestan, Hindu dan Islam terhada

----------. Hendak Kemana (ISLAM) Indonesia? Seri II. Surabaya: Media Wacana, 2005.

---------- dan Hidayat, Nuim. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya. Jaka

Ibrahim, Jhonny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif . Malang:


Bayumedia Publishing, 2005.

Ismail, M. Syukri. “Kritik Terhadap Sekularisme (Pandangan Yusuf Qardhawi).”


Kontekstualita XXIX, No. 1 (2014): h. 101-126.

Jamaluddin. “Sekularisme; Ajaran dan Pengaruhnya dalam Dunia Pendidikan.”


Mudarrisuna III, No. 2 (Juli-Desember 2013): h. 309-327.

Kamil, Sukron dan Bamualim, Chaider S.. Syariah Islam dan HAM Dampak
Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-
Muslim. Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2007.
8

Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama, 1994.

Mawdudi, Abul A’la. Hak-hak Asasi Manusia Dalam Islam. Jakarta: Bumi
Aksara, 1995.

Monib, Mohammad dan Bahrawi, Islah. Islam & Hak Asasi Manusia Dalam
Pandangan Nurcholis Madjid. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2011.

Mufid, Nur. Kamus Modern Indonesia-Arab Al-Mufied. Surabaya: Pustaka


Progressif, 2010.

Mulkhan, Abdul Munir. Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar.
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002.

Mustofa, Imam. “Sketsa Pemikiran Islam Liberal di Indonesia.” Akademika XVII,


No. 2 (2012): h. 1-24.

Nasution, Harun dan Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam
Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992.

OFM, Nico Syukur Dister. Filsafat Kebebasan. Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Osman, Mohamed Fathi. Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan


Pandangan al-Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban. Jakarta:
PSIK Universitas Paramadina, 2006.

Qodir, Zuly. Islam Liberal Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-


2002. Yogyakarta: LKiS, 2010.

Rachman, Budhy Munawar. Islam dan Liberalisme. Jakarta: Friedrich Naumann


Stiftung, 2011.

----------. Reorientasi Pembaruan Islam Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme


Paradigma Baru Islam Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan
Filsafat (LSAF), 2010.

Rahardjo, M. Dawam. Argumen Islam untuk Sekularisme. Jakarta: Grasindo.


Anggota Ikapi, 2010.

----------. “Kala MUI mengharamkan Pluralisme”. Artikel diakses pada 14 Juli


2016 dari https:/m.tempo.co/read/news/2005/08/01/05564630/kala-mui-
mengharamkan-pluralisme.

Shalahuddin, Henri. “memaknai liberalisme”, artikel diakses pada 25 Oktober


2016 dari https://insists.id-INSIST-Institute for The Study of Islamic
Thought and Civilizations, 12 November 2007.
8

Soleh, A. Khudori. Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer. Jogjakarta:


Ar-Ruzz Media, 2013.

Sukidi. Teologi Inklusif Cak Nur. Jakarta: Penerbit buku Kompas, 2001.

Sumbulah, Umi. Islam “Radikal” dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial
Aktivis Hizb al-Tahrir dan Majelis Mujahidin di Malang tentang Agama
Kristen dan Yahudi. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI, 2010.

Syafrin, Nirwan. “Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam.” Tsaqafah V,


No. 1 (Jumadal Ula 1430): h. 51-78.

Syihab, Habib Rizieq. Hancurkan Liberalisme Tegakkan Syariat Islam. Jakarta:


Suara Islam Press, 2013.

Tahir, Masnun. “Pencarian otentisitas Islam Liberal di Indonesia.” Ulumuna X,


No. 1 (Januari-Juni 2006): h. 121-154.
Thoha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: Perspektif,
2005.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi


Manusia. Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2010.

Usman, Iskandar. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada, 1994.

WAMY. Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Akar Ideologis dan


Penyebarannya. Jakarta: Al-I’tishom, 2002.

Wijaya, Arif. “Kemerdekaan Berfikir Dalam Hak Asasi Manusia dan Islam.” Al-
Daulah III, No. 2 (Oktober 2013): h. 241-259.

Yanggo, Huzaemah Tahido, dkk. Membendung Liberalisme. Jakarta: Penerbit


Republika, 2004.

Ya’qub, Hamzah. Pemurnian Aqidah dan Syari’ah Islam. Jakarta: CV Pedoman


Ilmu Jaya, 1988.

Zarkasyi, Hamid Fahmy. “Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama


Missionaris, Orientalis dan Kolonialis.” Tsaqafah V. No. I (Jumadal Ula
1430): h. 1-28.

----------. Misykat; Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam. Jakarta:


INSISTS – MIUMI, 2012.
12

PLURALISME, LIBERALISME, DAN


SEKULARISME AGAMA

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA


Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005
Tentang
PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA

Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional


MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M :

Menimbang :
1. bahwa pada akhir-akhir ini berkembang
paham pluralisme, liberalisme dan
sekularisme agama serta paham-paham
sejenis lainnya di kalangan masyarakat;
2. bahwa berkembangnya paham pluralisme,
liberalisme dan sekularisme agama di
kalangan masyarakat telah menimbulkan
keresahan sehingga sebagian masyarakat
meminta MUI untuk menetapkan fatwa
tentang masalah tersebut;
3. bahwa oleh karena itu, MUI memandang
perlu menetapkan fatwa tentang paham
pluralisme, liberalisme, dan sekularisme
agama tersebut untuk dijadikan pedoman
oleh umat Islam.
Mengingat : 1. Firman Allah SWT :
‫ﻲ‬ ‫ ﻓ‬ ‫ﻫ‬ ‫ ﻭ‬ ‫ﻨ‬ ‫ ﻣ‬ ‫ﻘﹾﺒ‬ ‫ﻳﻨ ﻓﹶﻠﹶ ﻳ‬ ‫ ﺩ‬ ‫ ﺍﹾِﻹﺳ‬ ‫ ﻏﹶﻴ‬‫ﺒ ﺘ‬ ‫ ﻳ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭ‬
 ‫ ﻮ‬ ‫ ﻞﹶ ﻪ‬ ‫ﺎ ﻦ‬ ‫ﺮ ﻼﹶﻡﹺ‬ ‫ﻎﹺ‬
‫ )ﺁﻝ‬ ‫ﺮﹺﻳﻦ‬ ‫ﺎﺳ‬ ‫ ﺍﻟﹾﺨ‬ ‫ﻦ‬ ‫ ﻣ‬ ‫ﺓ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺍﹾﻵﺧ‬
( :‫ﻋﻤﺮﺍﻥ‬
92
HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA

“Barangsiapa mencari agama selain agama


Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia
di akhirat termasuk orang-orang yang
rugi”. (QS. Ali Imran [3]: 85)

‫ )ﺁﻝ‬ ...‫ﻼﹶﻡ‬ ‫ ﺍﹾِﻹﺳ‬ ‫ﺪ ﺍﻟﱠﻠﻪ‬ ‫ﻨ‬ ‫ ﻋ‬ ‫ﻳﻦ‬ ‫ﺇﹺﱠﻥ ﺍﻟﺪ‬


( :‫ﻋﻤﺮﺍﻥ‬

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di


sisi Allah hanyalah Islam…”. (QS. Ali Imran
[3]: 19)

‫ﻦﹺ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻲ ﺩ‬  ‫ ﻭ ﻟ‬ ‫ﻜﹸﻢ‬ ‫ﻳﻨ‬ ‫ ﺩ‬ ‫ﻟﹶﻜﹸﻢ‬


( :‫)ﺍﻟﻜﺎﻓﺮﻭﻥ‬
“Untukmulah agamamu, dan untukkulah,
agamaku”. (QS. al-Kafirun [109] : 6).

‫ ﺇﹺﺫﹶﺍ‬ ‫ﺔ‬ ‫ﻨ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺆ‬ ‫ ﹶﻻ ﻣ‬ ‫ﻦﹴ ﻭ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺎ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻟ‬ ‫ﻭﻣ‬
 ‫ﻜﹸﻮﻥﹶ ﻟﹶﻬ‬ ‫ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ﺮ ﺍ‬ ‫ ﺃﹶﻣ‬ ‫ﻮﻟﹸﻪ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻪ ﻭ‬‫ﻰ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﻗﹶﻀ‬
‫ﺺﹺ‬ ‫ﻌ‬ ‫ ﻳ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ ﻭ‬، ‫ﻢ‬ ‫ﺮﹺﻫ‬ ‫ ﺃﹶﻣ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺓﹸ ﻣ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻴ‬ ‫ ﺍﻟﹾﺨ‬ ‫ﻢ‬
‫ﺎ‬ ‫ﺒﹺﻴﻨ‬ ‫ﻼﹶﻻﹰ ﻣ‬ ‫ﻞﱠ ﺿ‬ ‫ﺪ ﺿ‬ ‫ ﻓﹶﻘﹶ‬ ‫ﻮﻟﹶﻪ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻪ ﻭ‬‫ﺍﻟﱠﻠ‬
( :‫)ﺍﻷﺣﺰﺍﺏ‬

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang


mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-
Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)

 ‫ ﹶﻢ‬‫ﻭ ﻟ‬
 ‫ﻲ ﺍﻟﺪ‬ ‫ ﻓ‬ ‫ﻘﹶﺎﺗ‬ ‫ ﻳ‬ ‫ﻦﹺ ﻟﹶﻢ‬ ‫ ﺍﻟﱠﻠﻪ ﻋ‬ ‫ﺎﻛﹸﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻨ‬ ‫ﻻﹶ ﻳ‬
‫ﻳﻦﹺ‬  ‫ﻠﹸﻮﻛﹸﻢ‬  ‫ﻳﻦ‬ ‫ ﺍﱠﻟﺬ‬
 ‫ﺗ‬ ‫ ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻭﻫ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺒ‬ ‫ ﺃﹶﻥﹾ ﺗ‬ ‫ﺎﺭﹺﻛﹸﻢ‬ ‫ﻳ‬ ‫ ﺩ‬ ‫ﻦ‬ ‫ ﻣ‬ ‫ﻮﻛﹸﻢ‬ ‫ﺮﹺﺟ‬ ‫ﺨ‬ ‫ﻳ‬
‫ ﺇﹺﱠﻥ‬، ‫ﻬﹺﻢ‬ ‫ﺴﻄﹸﻮﺍ ﺇﹺﻟﹶﻴ‬ ِ ‫ﻘﹾ‬
 ‫ﻳﻦ‬ ‫ ﺍﱠﻟﺬ‬ ‫ﺎ ﺍﻟﱠﻠﻪ ﻋ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻨ‬ ‫ ﻳ‬ ‫ ﺇﹺﻧ‬ ‫ﺴﻄ‬ ِ ‫ﻘﹾ‬ ‫ ﺍﻟﹾﻤ‬ ‫ﺤ‬ ‫ ﻳ‬ ‫ﺍﻟﱠﻠﻪ‬
‫ ﻦﹺ‬  ‫ﺎ ﻛﹸﻢ‬ ‫ ﻤ‬، ‫ﲔ‬ ‫ﺐ‬
‫ﻭﺍ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻇﹶﺎﻫ‬ ‫ﺎﺭﹺ ﻭ‬ ‫ﻳ‬ ‫ ﺩ‬‫ﻦ‬  ‫ﺟ‬ ‫ﺮ‬ ‫ ﹶﺧ‬‫ﻳ ﻭ ﺃ‬ ‫ ﺍﻟﺪ‬ ‫ ﻓ‬ ‫ﻠﹸﻮﻛﹸﻢ‬ ‫ﻗﹶﺎﺗ‬
 ‫ ﻣ ﻛﹸﻢ‬ ‫ﻮﻛﹸﻢ‬ ‫ﻲ ﻦﹺ‬
‫ﻋ ‪‬ﻠﹶﻰ ﺇﹺﺧ ‪‬ﺮ ﺍ‪ ‬ﺟﹺ ﺃﹶ ﺗ ‪‬ﻮ ﻟ‪‬ﱠﻮ ‪‬ﻫ ‪ ‬ﻭ ‪‬ﻣ ‪ ‬ﻳ ‪‬ﺘ ‪‬ﻮ ﻟ‪‬ﱠ ﻓﹶﺄﹸﻭﻟﹶﺌ ‪ ‬ﻫ‪‬ﻢ‪‬‬
‫ﻢ ‪ ،‬ﻦ ‪ ‬ﻬ ‪‬ﻢ ‪ ‬ﻚ ‪‬‬ ‫ﻜﹸﻢ ‪ ‬ﻥﹾ‬
‫ﻈﺎﻟ ‪‬ﻤ ‪‬ﻮﻥﹶ )ﺍﳌﻤﺘﺤﻨﺔ ‪-( :‬‬ ‫ﺍﻟ ﱠ‬

‫‪93‬‬
BIDANG AQIDAH DAN ALIRAN KEAGAMAAN

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat


baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang
yang memerangi kamu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu dan
membantu (orang lain) untuk mengusirmu.
Dan barangsiapa menjadikan mereka
sebagai kawan, maka mereka itulah orang-
orang yang zalim”. (QS. al-Mumtahinah
[60]: 8-9).

 ‫ﻻﹶ ﺗ‬ ‫ﺓﹶ ﻭ‬ ‫ﺮ‬ ‫ ﺍﻟﹾﺂﺧ‬ ‫ ﺭ‬‫ ﺍﻟﺪ ﺍ‬ ‫ ﺍﻟﱠﻠﻪ‬ ‫ﺎﻙ‬ ‫ﺎ ﺀَﺍﺗ‬ ‫ﻴﻤ‬ ‫ﻎﹺ ﻓ‬ ‫ ﺑ ﺘ‬‫ﻭ ﺍ‬
 ‫ﻦ‬ ‫ ﻣ‬ ‫ﻚ‬ ‫ﻴﺒ‬ ‫ﺼ‬ ‫ ﻧ‬ ‫ﺲ‬ ‫ﻨ‬
 ‫ﻚ‬ ‫ ﺇﹺﻟﹶﻴ‬ ‫ ﺍﻟﱠﻠﻪ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺴ‬ ‫ﺎ ﺃﹶﺣ‬ ‫ ﻛﹶﻤ‬ ‫ﺴﻦ‬ ِ  ‫ ﹶﺣ‬‫ ﻭ ﺃ‬.‫ﺎ‬ ‫ﻧ ﻴ‬ ‫ﺍﻟﺪ‬
‫ ﻻﹶ‬ ‫ ﺇﹺﱠﻥ ﺍﻟﱠﻠﻪ‬،‫ﺽﹺ‬ ‫ﻲ ﺍﻟﹾﺄﹶﺭ‬ ‫ ﻓ‬ ‫ﺎﺩ‬ ‫ﻎﹺ ﺍﻟﹾﻔﹶﺴ‬ ‫ﺒ‬ ‫ﻻﹶ ﺗ‬ ‫ﻭ‬
( :‫ )ﺍﻟﻘﺼﺺ‬ ‫ﻳﻦ‬ ‫ﺴﺪ‬ ِ ‫ﻔﹾ‬ ‫ ﺍﻟﹾﻤ‬ ‫ﺐ‬ ‫ﺤ‬ ‫ﻳ‬
“Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (keni`matan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang- orang yang berbuat
kerusakan”. (QS. al- Qashash [28]: 77).

 ‫ﱡﻠﻮﻙ‬ ‫ﻀ‬ ‫ﺽﹺ ﻳ‬ ‫ﻲ ﺍﻟﹾﺄﹶﺭ‬ ‫ ﻓ‬ ‫ﻦ‬ ‫ ﻣ‬ ‫ ﺃﹶﻛﹾﺜﹶﺮ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﻄ‬ ‫ ﹺﻥﹾ ﺗ‬‫ﻭ ﺇ‬
، ‫ﺒﹺﻴﻞﹺ ﺍﻟﱠﻠﻪ‬ ‫ﻦ ﺳ‬ ‫ﻋ‬
:‫ )ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ‬ ‫ﺻ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺨ‬ ‫ ﺇﹺ ﻳ‬‫ﻢ‬ ‫ ﹺ‬‫ ﺇﹺ ﺍﻟﱠﻈﻦ ﻭ ﺇ‬ ‫ﺒﹺﻌ‬ ‫ﺘ‬ ‫ﺇﹺ ﹾﻥ ﻳ‬
‫ﻮﻥﹶ‬ ‫ ﻥﹾ ﻫ ﱠﻻ‬ ‫ﻮﻥﹶ ﱠﻻ‬
(
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan
orang-orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari
jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah
mengikuti

94
HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA

persangkaan belaka, dan mereka tidak lain


hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. (QS.
al-An’am [6]: 116).

 ‫ﺽ‬ ‫ ﻟﹾﺄﹶﺭ‬‫ﻭ ﺍ‬
‫ﻮ ﺍ‬ ‫ﻤ‬ ‫ ﺍﻟﺴ‬ ‫ﺪ‬ ‫ ﺀَ ﻟﹶﻔﹶﺴ‬‫ﻮ ﺍ‬ ‫ ﺃﹶﻫ‬ ‫ ﺍﻟﹾﺤ‬ ‫ﺒ‬ ‫ ﹶﻮﹺ ﺍﺗ‬‫ﻭ ﻟ‬
‫ﺕ‬ ‫ﺕ‬  ‫ﻢ‬ ‫ ﻫ‬ ‫ ﻖ‬ ‫ﻊ‬
 ‫ﻢ‬ ‫ﻛﹾﺮﹺﻫ‬ ‫ ﺫ‬‫ﻦ‬  ‫ﻛﹾﺮﹺ ﻓﹶﻬ‬ ‫ ﺑﹺﺬ‬ ‫ﻴ ﻨ‬ ‫ ﺃﹶﺗ‬ ‫ﻴﻬﹺ ﺑ‬ ‫ ﻓ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭ‬
‫ ﻋ‬ ‫ ﻢ‬ ‫ﻢ‬ ‫ ﻫ‬ ‫ﻢ‬ ‫ ﻞﹾ ﺎﻫ‬ ‫ﻦ‬
( :‫ﻮﻥﹶ )ﺍﳌﺆﻣﻨﻮﻥ‬ ‫ﺮﹺﺿ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻣ‬

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa


nafsu mereka, pasti binasalah langit dan
bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya.
Sebenarnya Kami telah mendatangkan
kepada mereka kebanggaan mereka tetapi
mereka berpaling dari kebanggaan itu”.
(QS. al-Mu’minun [23]: 71).

2. Hadis Nabi saw.:


a. Imam Muslim (w. 262 H) dalam kitabnya
Shahih Muslim, meriwayatkan sabda
Rasulullah SAW :

 ‫ﻦ‬ ‫ ﻣ‬ ‫ﺪ‬ ‫ ﺃﹶﺣ‬ ‫ ﺑﹺﻲ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺴ‬ ‫ ﻻﹶ ﻳ‬، ‫ﻩ‬ ‫ﺪ‬ ‫ ﺑﹺﻴ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺤ‬ ‫ ﻣ‬ ‫ﻔﹾﺲ‬ ‫ ﻧ‬ ‫ﻱ‬ ‫ ﱠﻟﺬ‬‫ﻭ ﺍ‬
‫ﻢ‬ ‫ ﹶ‬‫ ﻭ ﻟ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻤ‬ ‫ ﺛﹸ ﻳ‬‫ﺮ ﺍ‬ ‫ﺼ‬ ‫ ﻧ‬ ‫ ﻭ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻬ‬ ‫ ﻳ‬ ‫ ﺍﹾُﻷﻣ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﻫﺬ‬
 ‫ ﺕ‬ ‫ ﻢ‬ ‫ ﹶﻻ ﻧﹺﻲ‬ ‫ﻱ‬ ‫ ﺩ‬ ‫ﺔ‬
 ‫ ﺇﹺﱠﻻ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻣ‬ ‫ ﺑﹺﻪ‬ ‫ﹾ ﻠﺖ‬ ‫ﺳ‬ ‫ ﺃﹸﺭ‬ ‫ﻱ‬ ‫ ﺑﹺﺎﱠﻟﺬ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻳ‬
‫ﺎﺭﹺ‬ ‫ﺎﺏﹺ ﺍﻟﻨ‬ ‫ﺤ‬ ‫ ﺃﹶﺻ‬ ‫ﻦ‬
“Demi Dzat Yang menguasai jiwa
Muhammad, tidak ada seorang pun baik
Yahudi maupun Nasrani yang
mendengar tentang diriku dari umat
Islam ini, kemudian ia mati dan tidak
beriman terhadap ajaran yang aku
bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni
neraka”. (H.R. Muslim)
b. Nabi mengirimkan surat-surat dakwah
kepada orang-orang non-muslim, antara
lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi
yang beragama Nasrani, al-Najasyi raja
Abesenia yang bergama Nasrani dan
Kisra Persia yang beragama Majusi, di

95
BIDANG AQIDAH DAN ALIRAN KEAGAMAAN

mana Nabi mengajak mereka untuk


masuk Islam. (riwayat Ibn Sa’d dalam al-
Thabaqat al-Kubra dan Imam al-Bukhari
dalam Shahih al-Bukhari).
c. Nabi saw melakukan pergaulan sosial
secara baik dengan komunitas-komunitas
non-muslim seperti komunitas Yahudi
yang tinggal di Khaibar dan Nasrani
yang tinggal di Najran; bahkan salah
seorang mertua Nabi yang bernama
Huyay bin Ahthab adalah tokoh Yahudi
Bani Quradzah (Sayyid Bani Quraizah).
(Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Memperhatikan Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada


:
Munas VII MUI 2005.

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT,

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG PLURALISME,


LIBERALISME, DAN SEKULARISME
AGAMA

Pertama : Ketentuan Umum


Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan :
1. Pluralisme agama adalah suatu paham yang meng-
ajarkan bahwa semua agama adalah sama dan
karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif;
oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh
mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar
sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama
juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan
masuk dan hidup berdampingan di surga.
2. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di
negara atau daerah tertentu terdapat berbagai
pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.
3. Liberalisme agama adalah memahami nash-nash
agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan
akal pikiran yangg bebas; dan hanya menerima
doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal
pikiran semata.

96
HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA

4. Sekularisme agama adalah memisahkan urusan dunia


dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur
hu-bungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan
hubungan sesama manusia diatur hanya dengan
berdasarkan kesepakatan sosial.

Kedua : Ketentuan Hukum


1. Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama
sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah
paham yang bertentangan dengan ajaran agama
Islam.
2. Umat Islam haram mengikuti paham pluralism,
sekularisme dan liberalisme agama.
3. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam
wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram
mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam
dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
4. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama
pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam
masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah
dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti
tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk
agama lain sepanjang tidak saling merugikan.

Ditetapkan : Jakarta, 21 Jumadil Akhir 1426 H


28 Juli 2005 M

MUSYAWARAH NASIONAL VII


MAJELIS ULAMA INDONESIA

Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa

Ketua
Sekretaris
ttd
ttd
K.H. Ma’ruf Amin
Drs. Hasanuddin, M.Ag

97
BIDANG AQIDAH DAN ALIRAN KEAGAMAAN

PENJELASAN TENTANG FATWA


PLURALISME, LIBERALISME DAN
SEKULARISME AGAMA

1. Umat Islam Indonesia dewasa ini tengah dihadapkan pada


“perang non-fisik” yang disebut ghazwul fikr (perang pemikiran).
Perang pemikiran ini berdampak luas terhadap ajaran,
kepercayaan dan keberagamaan umat. Adalah paham sekularisme
dan liberalisme agama, dua pemikiran yang datang dari Barat,
yang akhir-akhir ini telah berkembang di kalangan kelompok
tertentu di Indonesia. Dua aliran pemikiran tersebut telah
menyimpang dari sendi-sendi ajaran Islam dan merusak
keyakinan serta pemahaman masyarakat terhadap ajaran agama
Islam.
2. Sekularisme dan Liberalisme Agama yang telah membelokkan
ajaran Islam sedemikian rupa telah menimbulkan keraguan umat
terhadap akidah dan sya’riat Islam; seperti pemikiran tentang
relativisme agama, penafian dan pengingkaran adanya hukum
Allah (sya’riat) serta menggantikannya dengan hukum-hukum
hasil pemikiran akal semata. Penafsiran agama secara bebas
dan tanpa kaidah penuntun ini telah melahirkan pula faham
Ibahiyah (menghalalkan segala tindakan) yang berkaitan dengan
etika dan agama serta dampak lainnya. Berdasarkan realitas ini,
MUI memandang perlu bersikap tegas terhadap berkembangnya
pemikiran sekuler dan liberal di Indonesia. Untuk itu, MUI
mengeluarkan fatwa tentang sekularisme dan liberalisme agama.
3. Sejalan dengan berkembangnya sekularisme dan liberalisme
agama juga berkembang paham pluralisme agama. Pluralisme
agama tidak lagi dimaknai adanya kemajemukan agama, tetapi
menyamakan semua agama. Dalam pandangan pluralisme agama,
semua agama adalah sama. Relativisme agama semacam ini jelas
dapat mendangkalkan keyakinan akidah. Hasil dialog antar umat
beragama di Indonesia yang dipelopori oleh Prof.DR.H.A. Mukti
Ali, tahun 1970-an, paham pluralisme dengan pengertian setuju
untuk berbeda (agree in disagreement) serta adanya klaim
kebenaran masing-masing agama telah dibelokkan kepada paham
sinkretisme (penyampuradukan ajaran agama), bahwa semua
agama sama benar dan baik, dan hidup beragama dinisbatkan
seperti memakai baju dan boleh berganti-ganti. Paham
pluralisme agama seperti ini tanpa banyak mendapat perhatian
dari para ulama dan tokoh umat telah disebarkan secara aktif ke
tengah umat dan dipahami oleh masyarakat sebagaimana maksud
para penganjurnya. Paham ini juga menyelusup jauh ke pusat-
pusat/lembaga pendidikan

98
HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA

umat. Itulah sebabnya Munas VII Majelis Ulama Indonesia


merasa perlu merespon usul para ulama dari berbagai daerah agar
MUI mengeluarkan fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme dan
Sekulraisme agama sebagai tuntunan dan bimbingan kepada umat
untuk tidak mengikuti paham-paham tersebut.
4. Fatwa mengenai Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama
dibagi menjadi dua bagian, yakni Ketentuan Umum dan
Ketentuan Hukum. Kedua bagian tersebut merupakan satu
kesatuan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Karena secara
substansial ketetapan hukum yang disebutkan dalam bagian
kedua menunjuk kepada definisi dan pengertian yang disebutkan
pada bagian pertama. Definisi dalam fatwa tersebut bersifat
empirik, bukan definisi akademis. Dimaksud bersifat empirik adalah
bahwa definisi prularisme, liberalisme dan sekularisme agama
dalam fatwa ini adalah faham (isme) yang hidup dan dipahami
oleh masyarakat sebagaimana diuraikan di atas. Oleh sebab itu,
definisi tentang prularisme, liberalisme dan sekularisme agama
sebagaimana dirumuskan oleh para ulama peserta Munas VII
MUI bukanlah definisi yang mengada-ada, tapi untuk merespon
apa yang selama ini telah disebarluaskan oleh para prularisme,
liberalisme dan sekularisme agama.
Bahkan para penganjur prularisme, liberalisme dan sekularisme
agama juga telah bertindak terlalu jauh dengan menganggap
bahwa banyak ayat-ayat al-Qur’an (Kitab Suci Umat Islam yang
dijamin keotentikannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) sudah
tidak relevan lagi, seperti larangan kawin beda agama, dalam hal
ini antara perempuan Islam dengan laki-laki non-Islam sudah
tidak relevan lagi (Kompas, 18/11/2002). Mereka juga
menganggap bahwa al- Qur’an itu bukanlah firman Allah tetapi
hanya merupakan teks biasa seperti halnya teks-teks lainnya,
bahkan dianggap sebagai angan-angan teologis (al-khayal al-
dini). Misalnya, seperti yang dikemukakan oleh aktifis Islam
liberal dalam website mereka yang berbunyi: ”Sebagian besar
kaum muslimin meyakini bahwa al- Qur’an dari halaman pertama
hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya
(lafzhan) maupun maknanya (ma’nan). Keyakinan semacam itu
sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan
teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai
bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam.” (Website JIL).
Masih banyak lagi pernyataan-pernyataan “aneh” yang mereka
kemukakan.
Fatwa MUI menegaskan pula bahwa pluralisme agama berbeda

99
BIDANG AQIDAH DAN ALIRAN KEAGAMAAN

dengan pluralitas agama, karena pluralitas agama berarti


kemajemukan agama. Banyaknya agama-agama di Indonesia
merupakan sebuah kenyataan di mana semua warga negara,
termasuk umat Islam Indonesia, harus menerimanya sebagai
suatu keniscayaan dan menyikapinya dengan toleransi dan hidup
berdampingan secara damai.
Pluralitas agama merupakan hukum sejarah (sunnatullah) yang
tidak mungkin terelakkan keberadaannya dalam kehidupan kita
sehari-hari.
5. Fatwa MUI tentang pluralisme agama ini dimaksudkan untuk
membantah berkembangnya paham relativisme agama, yaitu
bahwa kebenaran suatu agama bersifat relatif dan tidak absolut. Fatwa ini justru men

100

Anda mungkin juga menyukai