Jurnal Liberalisme
Jurnal Liberalisme
Jurnal Liberalisme
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh:
Andi
Permana
NIM : 1112043200006
Puji dan syukur yang tiada hentinya dipanjatkan kepada sang Penguasa
alam Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, karunia dan hidayah-Nya
kesulitan dan hambatan untuk mendapatkan data dari referensi. Namun berkat
kesungguhan hati dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga kesulitan itu dapat
terhormat:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
3. Fahmi Muhammad Ahmadi, M. Si, dan Hj. Siti Hanna, S. Ag, Lc, MA,
4. Pembimbing Akademik Dr. Fuad Thohari, MA, dan seluruh Dosen Fakultas
vi
5. Dosen pembimbing Skripsi Dr. H. Ahmad Sudirman Abbas, MA, dan Hj.
Siti Hanna, S. Ag, Lc, MA, yang selalu memberi pengarahan, pembelajaran
yang baru bagi saya dengan penuh keikhlasan, kesabaran dan keistiqomahan
6. Khusus kepada kedua orang tua penulis yang sangat penulis cintai dan
sayangi. Ayahanda tercinta Arifin dan ibunda tercinta Chaironi yang selalu
akan pernah dan mustahil penulis mampu membalas kebaikan yang telah
diberikan selama ini. Kedua orang tua selalu menjadi sumber teladan bagi
7. Kepada kakak dan adik penulis yang selalu memberikan semangat serta
skripsi ini.
8. Kepada guru ngaji penulis, abang Abdul Aziz dan Rahmat. Terimakasih
telah membantu penulis dalam perjalanan studi baik dalam bentuk materil
maupun moril.
vii
semangat, dukungan, dan saran kepada penulis. Terimakasih teman-teman,
dengan kebersamaan kita selama ini dalam suka dan duka. Penulis
menyadari itu semua sebagai pengalaman berharga yang tidak akan pernah
terlupakan.
hidup penulis baik berupa canda tawa, tangis dan pengorbanan. Tetaplah
11. Seluruh pihak yang terkait dengan penyusunan skripsi ini yang mana
khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca sekalian. Amin.
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................................................ii
LEMBAR PERNYATAANiv
ABSTRAKv
KATA PENGANTARvi
DAFTAR ISIix
BAB I PENDAHULUAN
B. IdentifikasiMasalah..................................................................
ix
F. Metode Penelitian .....................................................................
12
13
AGAMA
x
BAB IV ANALISA FATWA MUI NO. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005
SEKULARISME AGAMA
dan
Sekularisme Agama63
B. Landasan Hukum Fatwa MUI No. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
C. Analisis Perbandingan Fatwa MUI No. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Plural
Sekularisme Agama dengan HAM71
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan74
B. Saran-saran76
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................78
LAMPIRAN
xi
BAB I
PENDAHULUA
Nasional MUI VII telah mengeluarkan keputusan fatwa mengenai Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme
MUI menjelaskan bahwa dewasa ini umat Islam tengah dihadapkan pada perang non fisik atau boleh dibila
keraguan terhadap akidah dan syariat Islam. Beberapa contoh yang dijelaskan oleh
1
Keputusan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005.
1
2
dari para pemikir Islam Liberal itu sendiri. Diantaranya datang dari M. Dawam
Rahardjo yang menyatakan bahwa MUI telah melarang suatu paham yang
menurutnya bertentangan dengan ajaran agama Islam. Tentu ini bisa diartikan
merupakan bagian dari hak asasi manusia. MUI bisa berpendapat yang isinya
menolak suatu paham. Namun, jika melarang masyarakat menganut suatu paham,
dalam fatwa MUI, liberalisme agama diartikan menggunakan akal pikiran secara
bebas dan bukan pemikiran yang dilandasi agama. Dalam hukum Islam haruskah
penggunaan pikiran manusia dalam pemikiran Islam itu harus dicegah? Jika
dicegah melalui hukum, hal itu sama saja dengan pemberangusan kebebasan
berpikir. Selain itu, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang intinya
demikian, Nabi SAW mengizinkan penggunaan akal bebas, yang disebut ijtihad.
negara dan suksesi
Misalnya, masalahkepemimpinan. Jika pemikiran yang menggunakan akal bebas itu
pemilihan kepala
tidak diakui, sementara penggunaan akal bebas tidak bisa dicegah, bahkan
merupakan suatu keharusan dalam hal tidak ada landasan Al Quran dan Sunnah,
karena masalah itu merupakan persoalan dunia dan bukan agama, justru akan timbul
sekularisme, yang memisahkan masalah agama dan dunia atau agama dan negara.
Fatwa MUI juga menolak asas pluralisme beragama, tapi menerima pluralitas
3
pluralitas, yang memang berbeda. Yang satu pemikiran dan yang satu lagi adalah
realitas yang tak bisa ditolak. Namun, keduanya berkaitan satu sama lain.2
Hal yang sama juga diungkapkan salah satu aktivis Fatayat NU, Neng Dara
kebebasan berpikir. Sebab menurutnya, kebebasan berpikir adalah mutlak bagi umat
Islam. Kemajuan umat Islam diperoleh dari kebebasan berpikir dan kebebasan
berpikir sekarang ini telah dirampok oleh MUI melalui pelarangan pluralisme,
mendapatkan sorotan yang sangat tajam dari sejumlah ulama papan atas. Salah satu
2
Lihat M. Dawam Rahardjo. https:/m.tempo.co/read/news/2005/08/01/05564630/kala-mui-
mengharamkan-pluralisme, artikel diakses pada 14 Juli 2016.
3
Hasil Munas VII MUI yang patut disimak adalah 11 fatwa yang dirilis. 11 fatwa tersebut
ialah: (1) MUI mengharamkan pelanggaran hak atas kekayaan intelektual termasuk hak cipta. (2) MUI
mengharamkan perdukunan dan peramalan termasuk publikasi hal tersebut di media. (3) MUI
mengharamkan doa bersama antaragama, kecuali doa menurut keyakinan atau ajaran agama masing-
masing, dan mengamini pemimpin doa yang berasal dari agama Islam. Fatwa ini dikeluarkan karena
doa bersama antaragama dianggap sebagai sesuatu yang bid’ah atau tidak diajarkan dalam syariah
agama Islam. (4) MUI mengharamkan kawin beda agama kecuali tidak ada lagi muslim atau
muslimah untuk dinikahi. (5) MUI mengharamkan warisan beda agama kecuali dengan wasiat dan
hibah. (6) MUI mengeluarkan kriteria maslahat atau kebaikan bagi orang banyak. (7) MUI
mengharamkan pluralisme, sekularisme dan liberalisme. (8) MUI memfatwakan, hak milik pribadi
wajib dilindungi oleh negara dan tidak ada hak bagi negara merampas bahkan memperkecilnya,
namun jika berbenturan dengan kepentingan umum yang didahulukan adalah kepentingan umum.
Pemerintah dapat mencabut hak pribadi untuk kepentingan umum jika dilakukan dengan cara
musyawarah dan tanpa paksaan serta harus menyediakan ganti rugi dan tidak untuk kepentingan
komersial. (9) MUI mengharamkan perempuan menjadi imam salat selama ada pria yang telah akil
balig. Perempuan mubah jika menjadi imam salat bagi sesama perempuan. (10) MUI mengharamkan
aliran Ahmadiyah. (11) MUI memperbolehkan hukuman mati untuk tindak pidana berat. Lihat
http://m.detik.com/news/berita/412287/11-fatwa--mui-mulai-imam-perempuan-hingga-liberalisme,
artikel diakses pada 08 Desember 2016.
4
Lihat Kala Fatwa jadi penjara “MUI merampok Kebebasan Berpikir”. Sumber.
http://www.wahidinstitute.org/v1/Programs/Detail/?id=217/hl=id, artikel diakses pada 15 Juli 2016.
4
respons datang dari Gus Dur, menurutnya Indonesia bukanlah negara yang didasari
oleh satu agama tertentu dan MUI bukanlah institusi yang berhak menentukan
apakah sesuatu hal benar atau salah. Gus Dur juga menilai sikap pemerintah, seperti
ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka Munas ke-7 MUI di Istana
Negara, sebagai sikap yang keliru dari pemimpin formal Indonesia.5 Kemudian,
tanggapan datang dari ketua Umum PBNU pada masa itu, KH Hasyim Muzadi,
beliau menyatakan bahwa fatwa MUI itu merupakan suatu langkah mundur bagi
kesalahpahaman tentang arti pluralisme yang dipakai sebagai acuan oleh MUI
fatwa tentang pengharaman pluralisme agama tersebut segera ditinjau kembali. Jika
fatwa pengharaman itu tidak direvisi, dikhawatirkan dialog dan kerja sama agama-
agama yang tengah mengalami surplus di Indonesia akan kandas dan pupus
kembali. Kemungkinan, umat beragama di Indonesia akan berada dalam era penuh
prasangka dan ketegangan sehingga mudah tersulut amarah dan konflik. Jika
demikian yang terjadi, maka yang rugi adalah seluruh warga bangsa di negeri ini.6
Munas MUIhasil
Penjelasan tersebut menunjukkan betapa intervensi negara (pemerintah) masih
sangat kuat. Kompleksitas peran MUI dalam menentang pluralisme agama menjadi
semakin terasa ketika para tokoh agama terutama yang berada di luar jalur
5
Adian Husaini, Pluralisme Agama: Haram (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 4.
6
Lihat Abd Moqsith Ghazali,
http://wahidinstitute.org/v1/Opini/Detail/?id=47/hl=id/Fatwa_MUI_Dan_Keterancaman_Pluralisme_
Agama, artikel diakses pada 21 Juli 2016.
5
respons positif terhadap kebijakan MUI yang menentang pluralisme agama di negeri
ini.7
inisiatif baik dengan mengeluarkan fatwa tersebut supaya umat Islam tidak
terpengaruh oleh paham-paham menyesatkan yang berasal dari luar agama Islam.
Mengingat belum ada yang membahas tema tersebut, maka penulis memandang
B. Identifikasi Masalah
Supaya pembahasan masalah ini tidak rancu, maka perlu adanya identifikasi
Sekularisme Agama oleh para pemikir Islam Liberal dengan dalih kebebasan
yang menurut mereka kebebasan berpikir adalah bagian dari hak atas kebebasan
yang telah dimiliki oleh setiap manusia.
pribadi
Masalah yang dapat diidentifikasi penulis adalah sebagai berikut:
Agama?
7
Halid Alkaf, Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia (Jakarta: Kompas, 2011), h. 210.
6
Liberal?
5. Bagaimana perbandingan antara Hukum Islam dan HAM terhadap Pluralisme, Liberalisme dan Sekular
C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah
Peneliti akan membatasi tema penelitian ini hanya mengkaji fatwa MUI nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/200
Pokok masalah yang hendak diteliti dalam penelitian ini ialah ditolaknya putusan fatwa MUI nomor 7/MUN
Agama?
D. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, penelitian ini bertujuan:
Sekularisme Agama.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang dilakukan ini diharapkan bermanfaat bagi pihak yang mempunyai kepentingan den
Bagi penulis
Sebagai bahan untuk menambah informasi dan pengetahuan serta pemahaman terhadap Fatwa MUI tentang
Bagi akademisi
Skripsi ini dapat menambah literatur penelitian pustaka dan referensi bacaan dalam rangka memajukan keilm
3. Bagi masyarakat
Penelitian ini dapat menjadi literatur bacaan yang bermanfaat dalam hal
Dalam penelitian terdahulu telah ada penulisan yang terkesan mirip dengan
penulisan skripsi yang dipilih oleh penulis, yaitu jurnal yang ditulis oleh Bustanul
Arifin, dalam Jurnal at-Tahdzib tahun 2014 yang berjudul “Fatwa dan Demokrasi:
Studi Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)”. Penelitian ini terfokus
dari penelitian ini menyatakan bahwa fatwa MUI berimplikasi terhadap nilai-nilai
demokrasi yaitu, nilai persamaan, nilai kebebasan dan nilai pluralisme. Diantaranya
fatwa MUI tentang pakaian kerja wanita bagi petugas medis yang secara literal
tentang Ahmadiyyah, yang secara literal fatwa tersebut tidak mencerminkan nilai
kebebasan baik dalam perspektif sosial, politik dan budaya. Dilanjutkan dengan
fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme yang secara literal
dengan penulis, yaitu penulis lebih fokus menganalisis fatwa MUI tentang
Liberalisme
Pluralisme, dan Sekularisme Agama yang ditolak oleh para pemikir Islam Liberal
karena menurut mereka dinilai bertentangan dengan nilai kebebasan dalam HAM
serta mengenai perbedaan pemahaman antara MUI dengan para pemikir Islam
Kemudian, skripsi yang ditulis oleh Edi Usman, UIN Sultan Syarif Kasim
Riau, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadits tahun 2013, yang berjudul “Islam
9
Liberal dalam Pemikiran Ulil Abshar Abdalla”. Penelitian ini mengkaji tentang Ulil
Abshar Abdalla dengan pemikiran Islam Liberalnya serta berkaitan dengan gagasan-
yang datang dari Barat dan memberi pengaruh terhadap pola pemikiran intelektual
muda Indonesia. Hasil dari penelitian ini menjelaskan ada beberapa faktor
menganggap sesat, kafir, musuh atau murtad pada golongan-golongan lain yang
Perbedaannya dengan penulis, yaitu penulis fokus menganalisis fatwa MUI tentang
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama yang ditolak oleh para pemikir
Islam Liberal karena menurut mereka dinilai bertentangan dengan nilai kebebasan
dalam HAM serta perbedaan pandangan antara MUI dengan para pemikir Islam
Penelitian ini menjelaskan kolaborasi suatu tipologi pemikiran hukum Islam yang
dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu tradisional, moderat dan liberal. Hasil
dari penelitian ini membagi umat Islam menjadi tiga kelompok dalam merespon
kelompok yang secara kukuh tetap berpegang pada basis epistemologi yang telah
1
dibangun oleh para ulama terdahulu. Selanjutnya, kelompok yang sedikit banyak
Rasionalis, Sekularis, dus Liberalis. Kemudian, corak pemikiran dari kelompok yang
liberalis. Perbedaannya dengan penulis, yaitu penulis hanya fokus mengkaji fatwa
MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama yang ditolak oleh
para pemikir Islam Liberal karena menurut mereka dinilai bertentangan dengan
nilai kebebasan dalam HAM serta perbedaan pandangan antara MUI dengan para
Ada juga penelitian yang ditulis oleh Hamid Fahmi Zarkasyi, dalam Jurnal
Tsaqafah, Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430, Institut Studi Islam Darussalam (ISID)
peperangan fisik. Perbedaannya dengan penulis, yaitu penulis fokus meneliti fatwa
MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama yang ditolak oleh para
pemikir Islam Liberal karena menurut mereka dinilai bertentangan dengan nilai
1
kebebasan dalam HAM serta perbedaan pandangan antara MUI dengan para pemikir
Kemudian, ada lagi penulisan yang mirip, yaitu dalam Jurnal Substantia Vol.
14, No. 1, April 2011, dengan judul “Mengenal Pemikiran Islam Liberal” yang
ditulis oleh Lukman Hakim dan Mohd Nasir Umar. Penelitian ini membahas tentang
pro dan kontra terhadap kemunculan pemikiran Islam Liberal. Hasil dari penelitian
ini memaparkan pemikiran Islam Liberal sebagai corak pemikiran keislaman yang
muncul untuk merespon atas buruknya citra Islam yang sering diidentikkan dengan
kekerasan, radikalisme dan terorisme. Namun di sisi lain Islam Liberal dengan
fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama yang ditolak
oleh para pemikir Islam Liberal karena menurut mereka dinilai bertentangan
dengan nilai kebebasan dalam HAM serta perbedaan pandangan antara MUI
Januari-Juni 2006, yang ditulis oleh Masnun Tahir dengan judul “Pencarian
yang perlu diperjuangkan oleh intelektual Islam dan agama lain adalah bagaimana
substansialis, maupun liberalis, serta secara sadar membangun dialog yang tidak
untuk menelaah lebih dalam fatwa MUI mengenai paham-paham yang telah
disebutkan diatas.
G. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi
3. Sumber penelitian
4. Pendekatan
8
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum (Ciputat: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 38.
1
asas hukum, kaidah hukum, sistem hukum dan berbagai konsep yuridis.9
Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
tematik.
H. Sistematika Penulisan
Supaya pemahaman dalam naskah skripsi nanti teratur dan berurutan dengan baik, maka pembahasan propo
Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:
BAB I : Merupakan Bab Pendahuluan yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pem
meliputi: Pengertian Islam Liberal, sejarah dan lahirnya Islam Liberal, Pluralisme
9
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia
Publishing, 2005), h. 311.
1
Masyarakat Islam dan Barat serta Sekularisme Agama di dalam Masyarakat Islam
dan Barat.
BAB III : Membahas tentang Perspektif Hukum Islam dan HAM tentang Pluralisme,
menurut Hukum Islam dan HAM, serta Historisitas kebebasan berpikir dalam Islam
dan HAM.
HAM.
Islam berasal dari kata kerja aslama, yang berarti beragama Islam1, dan
terdapat cukup banyak dijumpai dalam al-Quran. Selain dalam bentuk aslama,
derivasi dari kata Islam juga bisa ditarik menjadi salima min (selamat dari)2;
“liberal” berasal dari bahasa Latin liber yang berarti bebas dan bukan budak atau
kondisi dimana seseorang itu bebas dari kepemilikan orang lain. Kemudian,
makna bebas ini menjadi sikap masyarakat kelas terpelajar di Barat yang
beberapa penulis Barat seperti Leonard Binder, Charles Kurzman dan Greg
dan Barton memakai istilah Islam Liberal (Liberal Islam).6 Definisi Islam
Liberal
Tema Islam Liberal yang dikemukakan Binder merupakan tema yang mengangkat
1
A. Thoha Husein Almujahid dan A. Atho’illah Fathoni Alkhalil, Kamus Akbar Bahasa
Arab (Indonesia-Arab) (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 543.
2
A. Thoha Husein Almujahid dan A. Atho’illah Fathoni Alkhalil, Kamus Akbar Bahasa
Arab (Indonesia-Arab), h. 1267.
3
Nur Mufid, Kamus Modern Indonesia-Arab Al-Mufied (Surabaya: Pustaka Progressif,
2010), h. 283.
4
Adib Bisri dan Munawwir AF, Kamus Al-Bisri : Indonesia -- Arab Arab – Indonesia
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), h. 315.
5
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris,
Orientalis dan Kolonialis”, Tsaqafah, V, no. I (Jumadal Ula, 1430), h. 3.
6
Lukman Hakim, “Mengenal Pemikiran Islam Liberal”, Substantia, XIV, no. 1 (April,
2011), h. 181.
15
1
dialog terbuka antara dunia Islam dengan dunia Barat, yaitu antara pemikiran
Islam dan pemikiran Barat. Dalam konteks dialog tersebut, yang terjadi bukan
melainkan sebagai proses take and give yang saling mengisi dan menangani
Kata Islam yang digunakan dalam istilah ini merupakan sebuah konsep
yang dipahami sebagai pegangan dan jalan hidup yang dilahirkan dari doktrin-
sebagai sumber rujukan yang akan terus ditafsirkan. Sehingga akan terus ada
sebagai suatu
“project pemikiran”, layaknya sajian siap saji yang beraroma ideal (kaffah).9
keluasan berijtihad atas dasar nilai-nilai universal atau nilai-nilai intrinsik Islam
7
Imam Mustofa, “Sketsa Pemikiran Islam Liberal di Indonesia”, Akademika, XVII, no. 2
(2012), h. 5.
8
Zuly Qodir, Islam Liberal Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002
(Yogyakarta: LKiS, 2010), h. 7.
9
Masnun Tahir, “Pencarian otentisitas Islam Liberal di Indonesia”, Ulumuna, X, no. 1
(Januari-Juni 2006), h. 123.
1
yang universal.10 Istilah Islam Liberal juga diartikan oleh para pendukungnya
sebagai sebuah interpretasi ajaran Islam yang punya perhatian lebih terhadap
Hak Asasi Manusia (HAM). Kesemua interpretasi Islam yang selaras dengan
pintu ijtihad dengan menawarkan penafsiran Islam baru yang lebih senafas dengan
pemikiran yang tidak lagi mempercayai Islam sebagai agama yang didasarkan
pada Al-Qur’an dan hadits sebab intelektual liberal sering melakukan kritik
terhadap pemahaman kitab suci Al-Qur’an dan hadits nabi. Pendapat seperti ini
Wahab Affendy dan Farid Esack.12 Bahkan ada pendapat yang mengatakan
yang dilontarkan oleh Harun Nasution dan Nurcholis Madjid. Tepatnya pada
10
Halid Alkaf, Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia (Kompas: Jakarta, 2011), h. 4.
11
Hamdiah A. Latif, “Mengkritisi Jaringan Islam Liberal (JIL): Antara Spirit
Revivalisme, Liberalisme dan Bahaya Sekularisme”, Islam Futura, X, no. 2 (Februari 2011), h. 51.
12
Zuly Qodir, Islam Liberal Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002,
h. 7.
13
Nirwan Syafrin, “Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam”, Tsaqafah, V, no.
1 (Jumadal Ula 1430), h. 55.
1
Harun Nasution dan “Sekularisasi” oleh Nurcholis Madjid. Salah satu inti dasar
pemikiran kedua tokoh ini adalah Islam itu modern, liberal dan rasional.14
pada tahun 1980-an, yaitu oleh tokoh utama dan sumber rujukan “utama”
ide-ide Islam Liberal. Sebenarnya Islam Liberal tidak berbeda dengan gagasan-
Menurut Charles Kurzman, Islam Liberal muncul sekitar abad ke-18 saat
kerajaan Turki Utsmani, Dinasti Shafawai dan Dinasti Mughal tengah berada
di
gerakan pemurnian, kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Pada saat ini
muncullah cikal bakal paham liberal awal melalui Syah Waliyullah di India
(1703-1762). Hal yang sama juga terjadi di kalangan Syiah. Pencetusnya adalah
Aqa Muhammad Bihbihani (Iran, 1790) yang mulai berani mendobrak pintu
14
Masnun Tahir, “Pencarian otentisitas Islam Liberal di Indonesia”, h. 124.
15
Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan
dan Jawabannya (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h. 3.
1
menurut pendapat Adian Husaini yang menukil dari Greg Barton, Nurcholis
Pada tahun 1970-an seperti yang telah penulis jelaskan di awal tulisan juga telah
agama dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal,
dan memberikan reaksi terhadap fenomena baru yang mereka beri label sebagai
adalah kelompok yang secara getol berusaha untuk menerapkan syari’at Islam
berhadapan dengan fenomena global yang saat ini didominasi dan dihegemoni
oleh peradaban
yang diraih Barat. Sehingga timbul keyakinan bahwa bila umat Islam ingin maju
maka harus mengikuti setiap jejak langkah Barat. Umat Islam harus mengadopsi
sebagainya. Karena hanya dengan begitu, mereka yakin, masyarakat Islam akan
16
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Jaringan_Islam_Liberal, artikel diakses pada 19
Oktober 2016.
17
Nirwan Syafrin, “Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam”, h. 54.
2
agama. Pada periode ini pengaruh liberalisme yang telah terjadi dalam agama
Yahudi dan Kristian mulai diikuti oleh sekumpulan sarjana dan pemikir Muslim,
seperti yang dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zayd dari Mesir, Muhammad
Arkoun dari Al Jazair, Abdulah Ahmed Naim dari Sudan, Asghar Ali Enginer
dari India, Aminah Wadud dari Amerika, di Indonesia dilakukan oleh Nurcholis
Abdul Karim Soroush dari Iran, Khaled Abou Fadl dari Kuwait dan lain-lain
sebagainya. Di samping itu terdapat banyak juga kelompok diskusi dan institusi,
Indonesia tidak dapat terlepas dari pengaruh para pemikir Barat yang menggagas
Liberalisasi Islam. Gerakan liberalisasi pemikiran Islam ini, sebenarnya lebih
pemikiran Islam. Pengaruh eksternal itu dengan mudah dapat ditelusuri dari trend
pemikiran liberal di Barat dan dalam tradisi keagamaan Kristen. Leonard Binder,
18
Nirwan Syafrin, “Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam”, h. 54.
19
Cahyaningrum Tri Agustina, “Pergerakan Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia
tahun 2001-2005”, Candi, IV, UNS, h. 4.
2
pergerakan Islam Liberal dan mengorbitkannya pada era 80-an, telah memerinci
Pluralisme agama diartikan sebagai pandangan dan sikap bahwa hakikat agama di
dunia ini tidak hanya satu, tetapi banyak atau beragam. 22 Dalam konteks agama-
agama, pluralisme mengacu pada teori atau sikap bahwa semua agama, meskipun
dengan jalan yang berbeda-beda, menuju kepada satu tujuan yang sama, Yang
Absolut, Yang Terakhir, yakni Tuhan. Sejumlah definisi pluralisme agama juga
20
Premis yang dimaksud dalam buku ini, yaitu (1) Pemerintahan liberal adalah produk
dari proses yang berkelanjutan dari diskursus rasional. (2) Diskursus rasional ini dimungkinkan
bahkan di antara mereka yang tidak berbagi budaya yang sama atau kesadaran yang sama. (3)
Diskursus rasional dapat menghasilkan kesepahaman dan konsensus budaya, serta kesepakatan
tentang hal khusus.(4) Konsensus memungkinkan pengaturan politik yang stabil, dan merupakan
dasar rasional pilihan strategi politik yang koheren. (5) Pilihan strategis yang rasional adalah dasar
dari meningkatkan kondisi manusia melalui tindakan kolektif. (6) Liberalisme politik, dalam
pengertian ini, adalah hal tak terpisahkan. Entah ini akan menang di seluruh dunia, atau akan harus
dipertahankan dengan tindakan non diskursif. (7) Penolakan terhadap liberalisme di Timur Tengah
atau di tempat lain bukanlah masalah ketidakpedulian moral atau politik. (8) Liberalisme politik
hanya bisa ada di mana dan kapan prasyarat sosial dan intelektualnya ada. (9) Prasyarat ini sudah
ada di beberapa bagian Timur Tengah Islam. (10) Dengan terlibat dalam diskursus rasional pada
mereka yang kesadarannya telah dibentuk oleh budaya Islam adalah dimungkinkan untuk
meningkatkan prospek liberalisme politik di wilayah itu dan lain-lain di mana tidak ada pribumi.
Lihat Leonard Binder, Islamic Liberalism : a critique of development ideologies (Chicago: The
University of Chicago Press, 1988), h. 1.
21
Imam Mustofa, “Sketsa Pemikiran Islam Liberal di Indonesia”, h. 3.
22
Umi Sumbulah, Islam “Radikal” dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial
Aktivis Hizb al-Tahrir dan Majelis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi
(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), h. 47.
2
juga dapat dilihat pada gagasan Nurcholis Madjid, bahwa semua agama adalah
jalan kebenaran menuju Tuhan. Dalam konteks ini, Madjid menyatakan bahwa
keragaman agama tidak hanya sekedar realitas sosial, tetapi keragaman agama
tidak hanya dipandang sebagai fakta sosial yang fragmentatif, tetapi harus
diyakini bahwa begitulah faktanya mengenai kebenaran. Tidak ada seorang pun
yang berhak memonopoli kebenaran Tuhan karena hal ini akan menjadi bibit
permusuhan terhadap agama lain. Untuk itu, pluralisme seharusnya tidak hanya
ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru mengesankan
tetapi pluralisme adalah bagian dari pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-
ikatan keadaban.24
Masyarakat dalam setiap negeri Muslim terdiri dari kaum Muslim dan
Muslim memiliki perbedaan-perbedaan teologi dan fikih, sedangkan non-Muslim
23
Umi Sumbulah, Islam “Radikal” dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial
Aktivis Hizb al-Tahrir dan Majelis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi, h.
48.
24
Umi Sumbulah, Islam “Radikal” dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial
Aktivis Hizb al-Tahrir dan Majelis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi, h.
49.
2
pesat dalam masyarakat Kristen-Barat dan bukan dari masyarakat Islam yang
hanya mengakui adanya Pluralitas. Pendapat ini tentu saja tidak omong kosong
belaka, tapi memang benar seperti pernyataan yang dilontarkan oleh salah satu
disebabkan setidaknya oleh tiga hal, yaitu trauma sejarah kekuasaan Gereja di
dan terakhir Problema Teks Bibel.27 Misalnya, pada 1527, di Paris terjadi
malam di tahun itu, sebanyak 10.000 jiwa orang Protestan dibantai oleh orang
gereja (di luar agama Katolik/Protestan). Jadi, paham Pluralisme Agama ini tidak
25
Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan Pandangan al-
Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban (Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2006), h.
61.
26
Budhy Munawar Rachman, Islam dan Liberalisme (Jakarta: Friedrich Naumann
Stiftung, 2011), h. 200.
27
Adian Husaini, Pluralisme Musuh Agama-Agama (Pandangan Katolik, Protestan,
Hindu dan Islam terhadap Paham Pluralisme Agama) (Bogor: Adabiy Press, 2012), h. 5.
2
memiliki akar sosio-historis yang genuine dalam sejarah dan tradisi Islam, tapi
diimpor dari setting sosio-historis kaum Kristen di Eropa dan Amerika Serikat.28
trauma masyarakat Barat terhadap klaim kebenaran satu agama tertentu. Problema
yang menimpa masyarakat Kristen Barat ini kemudian diadopsi oleh sebagian
kalangan Muslim yang terpesona oleh Barat atau memandang bahwa hanya
dengan mengikuti peradaban Baratlah maka kaum Muslim akan maju. Termasuk
dalam hal cara pandang terhadap agama-agama lain, banyak yang kemudian
menjiplak begitu saja terhadap cara pandang kaum Inklusifis dan Pluralis
ini sudah sangat meluas, baik dalam tataran wacana publik maupun buku-buku
dikembangkan oleh banyak filsuf, teolog dan ilmuwan, seperti John Hick, Karl
kaum Majusi memperoleh status dzimmi, sama dengan Kristen dan Yahudi, dan
kemudian Hindu. Kaum Sabiin dilindungi dan diperlakukan setara oleh kaum
28
https://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/09/menolak-pluralisme/, artikel diakes pada 25
Oktober 2016.
29
Adian Husaini, Pluralisme Musuh Agama-Agama (Pandangan Katolik, Protestan,
Hindu dan Islam terhadap Paham Pluralisme Agama), h. 5.
30
Budhy Munawar Rachman, Islam dan Liberalisme, h. 190.
2
Muslim.31 Para pemimpin Katolik Nestor dipilih oleh gereja, tetapi pemilihannya
Muslim acap kali lakukan. Rumah sakit umum memperlakukan sama semua yang sakit. Non-Musli
yang bersumber dari Barat khususnya Kristen dan tidak murni dari ajaran Islam.
31
Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan Pandangan al-
Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban, h. 62.
32
Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan Pandangan al-
Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban, h. 63.
33
Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme, dan Toleransi Keagamaan Pandangan al-
Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban, h. 64.
2
masyarakat yang bebas dari kekuasaan negara, yang kurang mengindahkan hak-
hak asasi manusia, melainkan juga membebaskan diri dari kuasa rohani yang tidak
mendapat mandat dari umat. Kuasa “dari atas” ditolak.34 Terkait dengan
prinsip yang menyatakan bahwa tunduk kepada otoritas apapun namanya adalah
bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia, yakni otoritas
Liberalisme yang sudah dikampanyekan sejak abad ke-15 dan ke-16 M oleh
John Locke, Hume (Inggris), J.J. Rousseau, Diderot (perancis), Lessing dan
Imanuel Kant (Jerman) ini pada tahap selanjutnya menuntut kebebasan individu
berpikir
sophisme dan sikap longgar juga semena-mena dalam beragama.37
konsep dasar dalam agama yang berubah, misalnya Kristen. Menurut Nicholas F.
34
Herlianto, “Liberalisme”. Artikel diakses pada 14 Januari 2017 dari
http://artikel.sabda.org/node/714.
35
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani, 2008),
h. 76.
36
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, h. 77.
37
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, h. 79.
2
Gier, dari University of Idaho, Moscow, sebagaimana yang dikutip oleh Hamid
Amerika Serikat sebagai berikut. Pertama, percaya pada Tuhan, tapi bukan Tuhan
antara doktrin Kristen dan etika Kristen. Dengan mengurangi penekanan pada
doktrin atau kepercayaan, mereka berpegang pada prinsip bahwa Kristen dan
non- Kristen harus saling menerima dan berbuat baik. Ketiga, kaum liberal tidak
ada yang percaya pada doktrin Kristen Orthodok. Mereka menolak sebagian
melahirkan, Bible sebagai kata-kata Tuhan secara literal, takdir, neraka, setan
dan penciptaan dari tiada (creatio ex nihilo). Keempat, menerima secara mutlak
pemisahan gereja dan negara. Kelima, percaya penuh pada kebebasan dan
toleransi agama. Jadi, liberalisme dalam bidang sosial dan politik dalam
renaissance Italia. Paham ini muncul ketika terjadi konflik antara pendukung-
38
Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris,
Orientalis dan Kolonialis, h. 8.
39
Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris,
Orientalis dan Kolonialis, h. 9.
2
Kristen. Ideologi ini pada dasarnya tidak pernah ada dalam masyarakat Islam dan
juga dari ajaran Islam. Hanya saja, paham ini masuk ke dalam masyarakat Islam
melalui para pemikir muslim berhaluan liberal yang terlena dengan mengadopsi
adalah
telah mengalami sekularisasi selama sejak 250 tahun terakhir dan para ahli sejarah
40
Henri Shalahuddin, “memaknai liberalisme”, artikel diakses pada 25 Oktober 2016 dari
https://insists.id-INSIST-Institute for The Study of Islamic Thought and Civilizations, 12
November 2007.
41
M. Syukri Ismail, “Kritik Terhadap Sekularisme (Pandangan Yusuf Qardhawi)”,
Kontekstualita, XXIX, no. 1 (2014), h. 106.
2
gerakan ini, baik sebelum dan sesudah meletusnya revolusi Prancis pada tahun
1799 M.42 Apabila paham atau ideologi ini masuk ke dalam ranah pemikiran di
dunia Islam, maka akan terjadi pemisahan otoritas sang Khaliq dan makhluk yang
saja dan tidak lagi mementingkan keberadaan Tuhan atau kehidupan setelah
(mosi tidak percaya) masyarakat Eropa kepada agama Kristen saat itu pada abad
dalam periode yang kita kenal sebagai the dark age. Padahal pada saat yang
sama peradaban Islam saat itu sedang berada di puncak kejayaannya. Sehingga
ketika perang salib berakhir dengan kekalahan di pihak Eropa, walau mereka
“bergesekan” dengan umat Islam di perang salib hal tersebut ternyata menjadi
telah menghukum ahli sains, seperti Copernicus, Gradano, Galileo, dan lain-lain
42
H. Muhammad Najih Maimoen, Islam Liberal Proyek Imperialis Protestanis Barat
(Rembang: Toko Kitab Al-Anwar I, 2011, h. 72.
43
H. Muhammad Najih Maimoen, Islam Liberal Proyek Imperialis Protestanis Barat, h.
73.
44
https://pwkpersis.wordpress.com/2008/03/28/sekilas-tentang-sekularisme/, artikel
diakses pada 26 Oktober 2016.
3
Kemunculan paham ini juga disebabkan tindakan pihak gereja yang mengadakan
upacara agama yang dianggap berlawanan dengan nilai pemikiran dan moral,
seperti penjualan surat pengampunan dosa, yaitu seseorang boleh membeli surat
pengampunan dengan nilai uang yang tinggi dan mendapat jaminan surga
yang melakukan pemberontakan terhadap Paus terkait praktek jual beli surat
Islam, yang pernah membawa Turki ke puncak peradaban dunia itupun telah
dihapuskan dan diganti dengan negara sekular. Dewasa ini, di Turki ada
agama masih tetap bertahan. Alasan Perancis terhadap pelarangan jilbab adalah
45
Jamaluddin, “Sekularisme; Ajaran dan Pengaruhnya dalam Dunia Pendidikan”,
Mudarrisuna, III, no. 2 (Juli-Desember 2013), h. 313.
46
M. Syukri Ismail, “Kritik Terhadap Sekularisme (Pandangan Yusuf Qardhawi)”, h.
106.
3
melalui pengeras suara, akan dinilai mengganggu masyarakat dalam bentuk polusi
pada tahun 1883 M. Tokoh ini sudah tergila-gila terhadap Barat. Cita-citanya
ingin menjadikan Mesir sebagai bagian dari Barat. Di India, hukum yang berlaku
di negeri ini masih sejalan dengan syariat Islam sampai tahun 1791 M. Tetapi
syariat. Sehingga pada pertengahan abad 19, syariat Islam telah habis sama
bahwa Hindia Belanda pada waktu itu adalah sebuah negeri Muslim. Namun, ia
juga menyadari bahwa Indonesia adalah bangsa yang plural. Bahkan, ia pun
tahu
banyaknya aliran keagamaan, corak budaya, organisasi Islam dan partai politik
Indonesia.49
abad ke-19) yang dialami kaum Kristen, namun dalam perkembangannya kini
47
M. Dawam Rahardjo dalam kata pengantar Argumen Islam untuk Sekularisme (Jakarta:
Grasindo. Anggota Ikapi, 2010), XXVI.
48
WAMY, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Akar Ideologis dan Penyebarannya
(Jakarta: Al-I’tishom, 2002), h. 281.
49
M. Dawam Rahardjo dalam kata pengantar Argumen Islam untuk Sekularisme, XXVII.
3
dan budaya kaum Muslim, sehingga tak kurang pro dan kontra tentang
memperkuat pandangan bahwa paham Sekularisme Agama tidak lahir dari agama
Islam, melainkan dari kaum Kristen yang mana paham ini disebarluaskan dan
diadopsi begitu saja tanpa di kritisi terlebih dahulu oleh para pemikir Muslim
50
Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam Sekularisme, Liberalisme
dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat
(LSAF), 2010), h. 226.
BAB III
Plural berarti “jama” atau lebih dari satu.1 Sedangkan, religious berarti
berarti doktrin yang mengatakan bahwa ada lebih dari satu kebenaran mutlak.3
Sedangkan, ّ( ي ِدينdiiniy) yang berarti agama atau beragama.4 Jika Pluralisme
dan agama dirangkai menjadi satu, maka dapat dikatakan pluralisme agama
berarti doktrin atau ajaran atau paham yang mengatakan bahwa ada lebih dari
bahwa disana tidak ada kebenaran tunggal, artinya semua benar. Atau masyarakat
1
Rayner Hardjono, Kamus Populer Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2002), h. 292.
2
Rayner Hardjono, Kamus Populer Inggris-Indonesia, h. 321.
3
Munir Ba‟albaki, Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary (Beirut: Dar El-Ilm
Lil-Malayen, 1992), h. 700.
4
Munir Ba‟albaki, Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary, h. 774.
33
3
tidak boleh memiliki keyakinan bahwa agama dan kepercayaan mereka itu benar
bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada.5 Agama adalah sebagai nama jenis
bagi keyakinan hidup tertentu yang dianut oleh suatu masyarakat. Masyarakat
beragama pada umumnya memandang agama sebagai jalan hidup yang dipegang
dan diwarisi turun temurun oleh masyarakat manusia, agar hidup mereka menjadi
tertib, damai dan tidak kacau. 6 Pluralisme mengandung arti bahwa pandangan-
pandangan dunia yang ada menjadi relatif dan bahwa struktur-struktur rasional
menjadi sulit. Agama-agama tidak dapat lagi melegitimasi „dunia‟ secara luas,
diartikan sebagai paham atau ajaran dalam beragama yang mengakui kebenaran
semua agama sebagai jalan kebenaran dan sama kedudukannya dengan agama
yang dianutnya.
Qodir, Abdul Munir Mulkhan berpendapat bahwa memang ada pendapat yang
mengatakan orang beriman yang mengajarkan tentang pluralisme itu
5
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat; Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam
(Jakarta: INSISTS – MIUMI, 2012), h. 138.
6
Harun Nasution dan Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam
Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 63.
7
Muhamad Ali, Teologi Pluralis Multikultural: Menghargai Kemajemukan, Menjalin
Kebersamaan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), h. 38.
3
paling pokok sebenarnya apa sebetulnya substansi dari iman itu, dan kalau itu ada
enam, maka kalau substansinya percaya adalah percaya dan dia tunduk, maka
orang Yahudi, Nasrani, Shabiin adalah iman itu sendiri. Kaum sufi lebih mampu
menerima, sebab adanya Yahudi, Nasrani, Shabiin itu sebetulnya hanya variabel
saja. Hanya varian saja, bukan substansi.8 Selanjutnya, dia mengatakan, “Jika
semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang
satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk
tiap agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan
tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari
sini, kerja sama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.”9 Ulil Abshar
agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang
religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu
(terbitan JIL), mengutip dari Adian Husaini, Budhy menulis satu artikel berjudul
8
Zuly Qodir, Islam Liberal Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002
(Yogyakarta: LkiS, 2010), h. 207.
9
Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2002), h. 44.
10
Ulil Abshar-Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, Kompas, 18
November 2002.
3
pemeluk agama apa pun layak disebut sebagai “orang yang beriman”, dengan
makna “orang yang percaya dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan.” Budhy
masalah pluralisme antaragama, yakni pandangan bahwa siapa pun yang beriman-
tanpa harus melihat Agamanya apa-adalah sama di hadapan Allah. Karena, Tuhan
bahwa pada dasarnya semua agama sebagai jalan dalam melihat segala sesuatu
adalah relatif, yakni terbatas, parsial dan tidak lengkap. Menganggap bahwa
semua agama secara intrinsik lebih baik dari yang lain (oleh ahli agama-agama)
dirasakan sebagai sebuah sikap yang agak salah, ofensif dan merupakan
agama sudah sepantasnya untuk dihindari dan jika perlu dikikis habis oleh umat
beragama.12 Cak Nur menegaskan bahwa agama tanpa sikap pasrah kepada
“Islam”,
Tuhan, ia termasuk orang yang merugi di akhirat kelak (QS. 3.85). Dalam konteks
inilah, sikap pasrah menjadi kualifikasi signifikan pemikiran teologi inklusif Cak
Nur. Bukan saja kualifikasi seorang yang beragama Islam, tetapi “muslim” itu
sendiri (secara generik) juga dapat menjadi kualifikasi bagi penganut agama lain,
khususnya para penganut kitab suci, baik Yahudi maupun Kristen. Maka,
11
Adian Husaini, Pluralisme Agama: Haram (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 39.
12
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Penerbit buku Kompas, 2001), h. 5.
3
konsekuensi secara teologis bahwa siapa pun di antara kita-baik orang Islam,
Yahudi, Kristen, maupun Shabi‟in, yang benar-benar beriman kepada Tuhan dan
Hari Kemudian, serta berbuat kebaikan, maka akan mendapatkan pahala di sisi
Tuhan... (QS., 2:62; & 5:69). Dengan kata lain, sesuai firman Tuhan ini, terdapat
pahala (surga) dari Tuhan. Dari sinilah, bahwa Islam itu hanyalah “jalan” atau
“sarana”, menuju Tuhan sebagai tujuan akhir dalam hidup ini. Sementara jalan
menuju Tuhan amat lebar dan plural. “Banyak pintu (jalan) menuju Tuhan”,
Sebab, andaikata semua agama sama, maka pluralitas tidak ada. Namun, kaum
pluralis tidak sekadar mengakui keberadaan berbagai agama. Lebih dari itu,
meskipun
semua tradisi agama-agama besar adalah sama, semuanya merujuk dan menunjuk
sebuah realitas tunggal yang transenden dan suci. Kedua, semuanya sama-sama
menawarkan jalan keselamatan. Ketiga, semuanya tidak ada yang final. Artinya,
13
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, h. 22.
3
setiap agama harus selalu terbuka untuk dikritisi dan direvisi.14 Konsep pluralisme
agama dikalangan umat Islam klasik pernah diistilahkan dengan Wahdat al-Adyan
oleh seorang sufi (mistikus) yang dikenal dengan sebutan al-Hallaj (858-922 M) ,
sama dan mengabdi kepada Tuhan yang sama pula. Perbedaan yang ada hanya
dalam bentuk luar dan namanya saja. Jadi, agama apa pun dapat dipahami
karena itu, konsep ini sama sekali tidak mengarahkan pada upaya menyatukan
keagamaan yang mengakui dan menerima kebenaran agama lain. Namun, pada
lebih dari itu. Maka siapa pun yang menyerahkan diri kepada Tuhan, meskipun
secara formal ia berada di luar agama Islam, boleh disebut Muslim.16 Habib
14
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani, 2008),
h. 82.
15
Imron AM, Islam Liberal Mengikis Akidah Islam (Jakarta: INSIDA, 2004), h. 83.
16
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, h. 83.
3
kesesatan.17
maka yang penulis temukan adalah kata liberalism dalam bahasa Inggris dan
konten spiritual serta moral dalam agama Kristen.18 Sedangkan, agama secara
etimologi disebut religious dalam bahasa Inggris dan ّ( ي ِدينdiiniy) dalam
bahasa Arab.19 Jika dirangkai antara kata liberalisme dengan agama, maka dapat
terminologi, menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, term “liberal” diambil dari bahasa
Latin liber artinya bebas dan bukan budak atau suatu keadaan dimana seseorang
itu bebas dari kepemilikan orang lain. Makna bebas kemudian menjadi sebuah
sikap kelas masyarakat terpelajar di Barat yang membuka pintu kebebasan berfikir
17
Habib Rizieq Syihab, Hancurkan Liberalisme Tegakkan Syariat Islam (Jakarta: Suara
Islam Press, 2013), h. 137.
18
Munir Ba‟albaki, Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary, h. 525.
19
Munir Ba‟albaki, Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary, h. 774.
4
(The old Liberalism). Dari makna kebebasan berpikir inilah kata liberal
menekankan pada hak-hak ekonomi, politik dan sosial, terdapat liberalisme dalam
terang dan terbuka.21 Ciri liberalisme pemikiran dan keagamaan yang paling
luar dan di atas manusia yang mengikatnya secara moral. Memang pada
mulanya yang muncul adalah liberalisme intelektual yang mencoba untuk bebas
dari agama dan dari Tuhan. Namun, dari situlah lahir dan tumbuhnya
keagamaan
postmodernisme23 yang menjunjung tinggi pluralisme, persamaan (equality) dan
20
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris,
Orientalis dan Kolonialis”, Tsaqafah, V, no. I (Jumadal Ula, 1430), h. 3.
21
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat; Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan
Islam, h. 108.
22
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat; Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan
Islam, h. 109.
23
Postmodernisme atau pascamodernisme adalah gerakan abad akhir ke-20 dalam seni,
arsitektur dan kritik, yang melanjutkan modernisme. Lihat
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pascamodernisme. Artikel diakses pada 17 Januari 2017.
4
kelompok liberal itu sejatinya tidak lebih dari justifikasi paham feminisme dan
studi Islam. Ini semua jelas merupakan bahan liberalisme dan postmodernisme.
perubahan terus menerus yang tidak ada jalan kembali seperti Barat.
paham kebebasan, artinya manusia memiliki kebebasan atau kalau kita lihat
pemikirannya adalah
dengan apa yang diinginkan. Liberalisme adalah paham pemikiran yang optimistis
24
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat; Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan
Islam, h. 112.
25
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat; Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan
Islam, h. 191.
26
Budhy Munawar Rachman, Islam dan Liberalisme (Jakarta: Friedrich Naumann
Stiftung, 2011), h. 3.
4
bahwa tugas pokok pemerintah ialah menjaga dan melindungi kebebasan rakyat,
merupakan isu yang selalu diusung oleh kaum Sepilis di Indonesia. Konsep ini
yang pada Abad Pertengahan (Middle Age) begitu hegemonik dilawan oleh para
menyatakan, “Berikan kepada Kaisar apa yang menjadi haknya, dan berikan
kepada Tuhan apa yang menjadi hak-Nya.” Konsep inilah kemudian yang
dengan semangat liberalisme. Menurut prinsip ini, asal tidak merugikan pihak
lain, orang yang berzina tidak boleh dihukum, apalagi jika dilakukan atas dasar
suka sama suka. Karena menggusur peran agama dan otoritas wahyu dari wilayah
27
https://almanhaj.or.id/3129-islam-dan-liberalisme.html, diakses pada 06 November
2016.
28
Qosim Nursheha Dzulhadi, Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia: Study Kritis
Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012), h.
198.
4
politik, ekonomi, maupun sosial, maka tidak salah jika liberalisme dipadankan
dengan sekularisme.29
kitab tafsir para ulama terdahulu dan pengajuan tafsir baru metode hermeneutika.
Mengutip dari Adian Husaini, salah satu tokohnya, yaitu Nasr Hamid yang
didasarkan pada Sunnah Rasul, pendapat para sahabat Nabi, Tabi‟in, dan
Tabi‟it Tabi‟in. Ia menulis dalam buku Mafhum al-Nash Diraasah fii Uluum
al-Quran: bahwa tafsir kaum Ahlussunnah adalah tafsir yang didasarkan pada
kuasa ulama kuno, yang mengaitkan “makna teks” dan signifikansinya dengan
masa keemasan, kenabian, risalah, dan masa turunnya wahyu. Fenomena Nasr
fenomena serupa dalam tradisi Kristen itu begitu banyak digemari oleh kalangan
Counter Legal Draft (CLD) KHI” sebagai tandingan yang ditulis dan
ijtihad para ulama mujtahidin yang mumpuni dalam bidangnya dalam hal-hal
yang belum diatur dalam Alquran dan Sunnah. Menurut perumus KHI tandingan
bahwa CLD-KHI yang mereka rumuskan itu adalah sebagai pembaruan hukum
Islam. Padahal sesungguhnya yang mereka rumuskan itu, hanya sebagai bid‟ah
29
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, h. 77.
30
Adian Husaini, Hendak Kemana (ISLAM) Indonesia? Seri II (Surabaya: Media
Wacana, 2005), h. 191.
4
yang asli dan hanya sebagai pembaharuan liberal yang tidak mengikuti cara-cara
memenangkan prinsip-prinsip yang datang dari dunia Barat dan dari luar Islam.
Tim perumus KHI tandingan terdiri dari orang-orang liberal yang berprinsip
demokrasi dan nilai-nilai sekuler, maka tidak aneh jika mereka memandang
masalah pernikahan, mahar, nafkah perceraian, iddah, dan waris tidak perlu lagi
bukanlah “teks verbal” yang terdiri atas 6666 ayat bikinan Usman itu melainkan
saya hanyalah berisi semacam “spirit ketuhanan” yang kemudian redaksinya oleh
Nabi. Oleh karena itu, menurutnya, Nabi, sahabat, dan pengalaman komunitas
31
Huzaemah Tahido Yanggo, dkk, Membendung Liberalisme (Jakarta: Penerbit
Republika, 2004), h. 1.
32
Huzaemah Tahido Yanggo, dkk, Membendung Liberalisme, h. 2.
4
tentunya.”33 Selain itu ungkapan mereka yang menuduh orang yang kembali
merujuk nash syariat sebagai orang yang kolot dan paganis (musyrik). Fahmi
semata. Karena ini adalah paganisme zaman dahulu. Namun paganisme zaman
ini telah berubah menjadi bentuk penyembahan simbol dan rumus pada
33
Qosim Nursheha Dzulhadi, Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia: Study Kritis
Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme, h. 201.
34
https://almanhaj.or.id/3129-islam-dan-liberalisme.html, diakses pada 06 November
2016.
35
Adian Husaini, Hendak Kemana (ISLAM) Indonesia? Seri II, h. 193.
4
beragama dalam bahasa Inggris disebut religious dan dalam bahasa Arab disebut
penggunaan terjemahan ini sekaligus menunjukkan bahwa istilah sekularisme yang coba diterjema
ilmuwan ini menolak secara tegas terjemahan-terjemahan di atas. Al-Qaradawi
sebagai „ilmaniyyah tidak saja “satu terjemahan yang tidak teliti (ghayru daqiqah)”, tetapi juga “sa
menerjemahkannya tidak memahami perkataan al-din dan al-„ilm melainkan
hanya dengan ide Barat Kristian, yang memang bagi orang Barat (al-insan al-
gharbi) agama dan ilmu mereka itu adalah saling bertentangan.” Al-Qaradawi
dengan „ilmaniyyah dan mengaitkannya dengan ilmu adalah suatu usaha untuk
36
Munir Ba‟albaki, Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary, h. 827.
37
Munir Ba‟albaki, Al-Mawrid A Modern English-Arabic Dictionary, h. 774.
4
Qaradawi, adalah “penipuan yang (patut) diungkap”. Paham sekular, menurut al-
Attas, merujuk kepada makna dan faham ” kedisinikinian”. Oleh karena itu, jika
perkataan sekularisme itu ingin diterjemahkan juga kedalam bahasa Arab, maka
terjemahan harfiah yang paling tepat adalah perkataan hunalaniyyah berasal dari
dua kata Arab, huna yang bermaksud di sini dan al-an yang bermaksud kini. Jadi
itu sendiri yang secara konseptualnya lebih mendekati ide waqi‟iyyah yang
yang sejak awal memfokuskan pertentangan antara al-„ilm (ilmu) dan al-din
sekularisme itu sinonim dengan konsep alladiniyyah (tidak ada agama) atau al-
dunyawiyyah (dunia tiada hubungan dengan agama). Beliau yang tidak juga
betul
bukan bermakna menomorduakan sesuatu yang bersifat ukhrawi semata-mata,
tetapi sekularisme mempunyai makna yang lebih khusus, yaitu makna yang tidak
38
http://inpasonline.com/new/istilah-sekularisme-menurut-al-attas-dan-al-qardhawy/,
artikel diakses pada 18 Januari 2017.
4
didefinisikan sebagai sebuah konsep yang memisahkan antara negara dan agama
(state and religion). Yaitu, bahwa negara merupakan lembaga yang mengurusi
tatatanan hidup yang bersifat duniawi dan tidak ada hubungannya dengan yang
berbau akhirat, sedangkan agama adalah lembaga yang hanya mengatur hubungan
manusia dengan hal-hal yang bersifat metafisis dan bersifat spiritual, seperti
hubungan manusia dengan tuhan. Maka, menurut para sekular, negara dan
Sekularisasi muncul sebagai dampak dari proses modernisasi yang terjadi pada
masa pencerahan. Ini terjadi di dunia Barat ketika nalar Agama (The Age of
Religion) digantikan oleh nalar akal (The Age Reason). Sedangkan sekularisme
adalah pemusatan pikiran pada dunia materi lebih banyak daripada dunia
benda-benda
Universitas Indonesia yang Berjudul Negara Hukum sebagaimana mengutip dari
kenegaraan, ekonomi, hukum, sosial budaya dan ilmu pengetahuan teknologi dari
39
https://pwkpersis.wordpress.com/2008/03/28/sekilas-tentang-sekularisme/, artikel
diakses pada 18 Januari 2017.
40
M. Syukri Ismail, “Kritik Terhadap Sekularisme (Pandangan Yusuf Qardhawi)”
Kontekstualita, XXIX, 1 (2014), h. 103.
4
adalah usaha atau proses yang menuju kepada keadaan sekuler atau proses
netralisasi dari setiap pengaruh Agama dan hal-hal yang ghaib.41 Sekularisme
adalah suatu paham yang memisahkan antara kehidupan dunia dengan akhirat
dalam semua aspek kehidupan, baik dari sisi agama, ekonomi, pendidikan, politik,
sosial dan lain sebagainya. Selain itu, sekularisme juga memperjuangkan hak
untuk bebas dari berbagai aturan-aturan dari ajaran agama, di samping juga
memberikan sifat toleransi yang tidak terbatas, termasuk juga antar agama.
kegiatan dan keputusan yang keseluruhannya berada dan dibuat oleh manusia,
tidak boleh ada peran dan campur tangan agama di dalamnya. 42 Yang penting
yang dihadapi dan dirasakan sekarang ini termasuk kebebasan berpikir dan
dimungkinkan
wilayah agama adalah wilayah ritual dan makna hidup, maka agama seharusnya di
wilayah itu saja. Dia tidak bisa ikut campur dalam segala hal. Tentu saja yang
saya maksud adalah sekularisme liberal, bukan sekularisme seperti yang terjadi di
41
M. Syukri Ismail, “Kritik Terhadap Sekularisme (Pandangan Yusuf Qardhawi)”, h.
104.
42
Jamaluddin, “Sekularisme; Ajaran dan Pengaruhnya Dalam Dunia Pendidikan”
Mudarrisuna, III, 2 (Juli-Desember, 2013), h. 312.
43
Hamzah Ya‟qub, Pemurnian Aqidah dan Syari‟ah Islam, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu
Jaya, 1988), h. 27.
5
Uni Soviet dulu. Sebab, inti sekularisme liberal adalah demokrasi, dan inti dari
bidang ke semua bidang yang lain.” Lebih jauh Ulil mengatakan, “Sebagai
seorang Muslim liberal, jika boleh menyebut begitu, saya tidak pernah menentang
hukum-hukum yang terkait dengan „ubudiyah‟ dan itu adalah masalah yang
sudah selesai. Maka, saya menganggap bahwa aspek-aspek ritual dalam agama
sangat
penting dalam rangka membangun makna hidup individu. Tetapi agama tidak
pengelolaan hutan, masalah lalu lintas dan sebagainya. Menurut saya, wilayah
kritik ini sangat penting dan harus dilakukan. Manfaatnya adalah: agar
manusia memelihara
Morey dalam bukunya yang berjudul “The Islamic Invasion”, mengutip dari Irena
Handono, dia mengatakan bahwa “Agama Islam adalah bentuk dari imperialisme
budaya dimana agama dan budaya Arab abad ke-7 ditingkatkan statusnya
44
Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaruan Islam Sekularisme, Liberalisme
dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat
(LSAF), 2010), h. 251.
45
Qosim Nursheha Dzulhadi, Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia: Study Kritis
Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme, h. 210.
5
Hamid Abu Zayd yang telah dikutip oleh Michael Cook, dalam bukunya, The
Koran: A Very Short Introduction tentang Al-Quran sebagai produk budaya: “Jika
teks (Al-Quran) merupakan pesan yang dikirim untuk bangsa Arab pada abad
ketujuh, maka teks itu perlu diformulasikan dengan cara yang tentu saja harus
sesuai dengan aspek-aspek bahasa dan budaya yang khas Arab pada masa itu.
sebuah produk budaya,” sebuah istilah yang digunakan Abu Zayd beberapa kali,
kafir.48
Islam telah menjamin kebebasan berpikir. Hal itu sangat jelas terlihat
alam semesta, langit dan bumi. Hal itu merupakan anjuran yang banyak disebut-
46
Irena Handono, et al., Islam Dihujat Menjawab buku The Islamic Invasion (Kudus:
Bima Rodheta, 2004), h. 137.
47
Irena Handono, et al., Islam Dihujat Menjawab buku The Islamic Invasion, h. 140.
48
Qosim Nursheha Dzulhadi, Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia: Study Kritis
Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme, h. 212.
49
Raghib As-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia (Jakarta: Al-Kautsar,
5
2011), h. 103.
50
سبأ 46 :34/
5
َبآ
ُلو ُب ٱلِمِت ِِف ٱل ُّص. َم ها َل َتع َۡ˜ مى ٱل ۡ˜َأب ۡ˜ ََٰ ُص ر َوََٰل ِكن َتع َۡ˜ مى ٱل ۡ˜ق.َفِإن
51 ِ
ُدور
Artinya : “Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai
hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar. Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah
hati yang di dalam dada.”
seluas-luasnya untuk selalu berpikir tentang urusan agama. Demikian itu untuk
hidup. Inilah yang oleh para ulama disebut dengan ijtihad. Caranya, berpegang
atas dasar berpikir dalam mengambil hukum (istinbath) syariat. Merupakan salah
satu asas fundamental Islam yang memberikan kebebasan berpikir dalam Islam
kepada seluruh warga negara Islam dengan syarat bahwa hak itu digunakan untuk
tentang kebebasan mengeluarkan pendapat jauh lebih tinggi daripada hak yang
51
46 /22: احل ّج
52
Raghib As-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, h. 104.
5
Siapa pun yang berusaha menyangkal hak ini terhadap rakyatnya secara terang-
terangan menentang Tuhan Yang Maha Kuasa.53 Akal adalah kunci untuk
memahami agama, ajaran dan hukum Islam. Kita tidak akan dapat memahami
Islam tanpa mempergunakan akal. Oleh karena itu, Nabi Muhammad menyatakan
dengan jelas bahwa agama adalah akal, tidak ada agama bagi orang yang tidak
berakal. Jika ungkapan ini dihubungkan dengan hukum, berarti bahwa hukum dan
hukuman itu berkaitan dengan akal, tidak ada hukum atau hukuman bagi orang
yang tidak berakal atau gila. Akal, karena itu, mempunyai kedudukan yang
tinggi dalam sistem agama Islam, karena akal adalah wadah yang menampung
aqidah, syariah dan akhlak.54 Akal pikiran manusia yang memenuhi syarat
untuk berijtihad yang menjadi sumber hukum Islam yang ketiga ini, dalam
kepustakaan disebut arra‟yu atau ijtihad.55 Ijtihad dalam istilah para ahli ilmu
ushul fiqih ialah mencurahkan segenap usaha untuk sampai kepada hukum
syar‟i dari dalil tafshili yang termasuk dalil syar‟i.56 Ijtihad pada prinsipnya
sungguh untuk menemukan hukum syariat yang amaliah (hukum fikih) dari
yang membutuhkan banyak energi dan keseriusan. Dengan demikian, tidak setiap
53
Abul A‟la Mawdudi, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Islam (Jakarta: Bumi Aksara,
1995), h. 30.
54
H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 112.
55
H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, h. 115.
56
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama, 1994), h. 338.
57
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1994), h. 127.
5
pengetahuan yang luas saja yang dapat melakukannya. 58 Orang-orang yang berhak
menguasai bahasa Arab untuk dapat memahami Alquran dan kitab-kitab hadis
yang tertulis dalam bahasa Arab, (2) mengetahui isi dan sistem hukum Alquran
serta ilmu-ilmu untuk memahami Alquran, (3) mengetahui hadis-hadis hukum dan
Islam, (7) jujur, dan ikhlas. Syarat-syarat ini diperlukan untuk seorang mujtahid
mutlak di masa lampau, namun kini untuk melakukan ijtihad yang peringkatnya
lebih rendah dari mujtahid mutlak, syarat-syarat yang berat di atas, dapat
ilmu- ilmu yang relevan dengan masalah yang diijtihadi, (9) serta
dilakukan secara
Para ulama ushul sepakat bahwa ruang lingkup ijtihad hanya pada ayat-
ayat yang bersifat zhanniyyat, karena sebagian dari materi-materi hukum dalam al
Quran dan sunnah sudah berbentuk diktum yang otentik, tidak mengandung
pengertian lain, atau sudah diberi interpretasi otentik dalam sunnah. Di samping
58
Jaenal Aripin, dkk, Filsafat Hukum Islam Dalam Dua Pertanyaan (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 35.
59
H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, h. 118.
5
itu ada sebagian di antaranya yang sudah memperoleh kesepakatan bulat serta
diberlakukan secara umum dan mengikat semua pihak, berdasarkan ijma‟ Dengan
demikian, dalam bidang hukum-hukum yang telah ada, nash qath‟iy tsubut
maupun dalalah-nya, baik dari kitabullah maupun dari sunnah, tidak dapat
diijtihadi lagi. Sekelompok peraturan hukum Islam, seperti kewajiban salat, zakat,
puasa, dan haji, berbakti kepada orang tua, mengasihi orang miskin serta
menyantuni anak yatim dan juga larangan berzina, mencuri, membunuh tanpa
hak dan masih banyak yang lainnya adalah kategori hukum Islam yang sudah
diketahui oleh umum dan bersifat mengikat semua pihak serta tidak memerlukan
interpretasi lain lagi. Seperti telah ditetapkan dalam kaedah yang berbunyi:
Artinya: “Tidak diperkenankan ijtihad pada tempat yang telah ada nashnya”60
bebas mutlak untuk melakukannya sekehendak hati, dan tidak berarti setiap
bebas mengatakan apa saja sesuai dengan kehendak diri dan pikirannya. Tetapi
mujtahid
ijtihad adalah ilmu dan tradisi yang memerlukan pembuktian dan penalaran.
60
Nash yang dimaksud di sini adalah ayat-ayat Al-Qur‟an dan Al-Hadis Nabi sebagai
sumber hukum. Dalam ilmu hukum bisa diartikan, “apabila teks hukum sudah jelas, maka tidak
perlu ada penafsiran-penafsiran.” Arti lain kaidah ini adalah pada nash-nash yang sudah jelas
dalam arti sudah qath‟i wurud dan dalalah-nya disepakati. Lihat A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih:
Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis (Jakarta:
Kencana, 2011), h. 98.
5
Ijtihad adalah amanat, dan merupakan amanat yang paling tinggi derajatnya. 61
Apakah rasional dan logis jika agama dalam hal-hal yang pokok (ushul), cabang
dan semaunya, dengan alasan kebebasan berpikir dan tidak adanya monopoli
kebenaran?62 Pada hakikatnya tafsir, interpretasi (ta‟wil) dan ijtihad dalam agama
bidang keilmuan lainnya, termasuk sikap teliti dan berhati-hati. Saat ini sering
kita dapatkan beberapa orang nekat yang mengkritisi agama dan mengemukakan
kecuali sebagian kecil yang bersifat parsial dan mengemukakan pandangan yang
kemampuan rasa manusia. Aspek lain yang terkait dalam lingkup kebebasan
61
Ahmad Al Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara Teks, Realitas dan
Kemaslahatan Sosial (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002), h. 4.
62
Ahmad Al Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara Teks, Realitas dan
Kemaslahatan Sosial, h. 6.
63
Ahmad Al Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara Teks, Realitas dan
Kemaslahatan Sosial, h. 7.
5
pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh pasal 28E
pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memandang batas-batas
yang berkeadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia diperlukan adanya
suasana yang aman, tertib dan damai serta dilaksanakan secara bertanggung
dan sikap sesuai hati nurani.”66 Kemudian, di dalam UU Hak Asasi Manusia
Nomor 39 tahun 1999, Pasal 23 ayat 2 menyatakan bahwa: “Setiap orang bebas
64
Arif Wijaya, “Kemerdekaan Berfikir Dalam Hak Asasi Manusia dan Islam” Al-Daulah,
III, no. 2 (Oktober 2013), h. 242.
65
Arif Wijaya, “Kemerdekaan Berfikir Dalam Hak Asasi Manusia dan Islam”, h. 243.
66
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2010), h. 158.
6
nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik
umum dan keutuhan bangsa.”67 Kemajuan teknologi dan informasi di abad iptek
saat ini memunculkan berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Salah
pendapat. Setelah rezim orde baru berganti dengan era reformasi, kebebasan
dan norma-norma kesusilaan, hukum negara dan adat istiadat yang berlaku. Hak
masa-masa awal Islam, kemudian berkembang pada masa sahabat dan tabi‟in
mengalami
67
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, h. 9.
68
http://jokerbalad.blogspot.co.id/2015/03/memanfaatkan-kebebasan-berfikir-
dan.html?m=1, diakses pada 12 November 2016.
6
pasang surut dengan ciri khasnya masing-masing. Bahwa ijtihad telah ada sejak
Artinya; “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yazid almuqri‟ almakki
telah menceritakan kepada kami Haiwa bin Syuraikh telah
menceritakan kepadaku Yazid bin Abdullah bin Al Had dari
Muhammad bin Ibrahim bin Alharits dari Busr bin Sa‟id dari Abu
Qais mantan budak Amru bin „Ash, dari „Amru bin „ash ia
mendengar Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam bersabda: “Jika
seorang hakim mengadili dan berijtihad, kemudian ijtihadnya benar,
maka ia mendapat dua pahala, dan jika seorang hakim berijtihad,
lantas ijtihadnya salah (meleset), baginya satu pahala.” Kata „Amru,
„Maka aku ceritakan hadis ini kepada Abu Bakar bin Amru bin Hazm,
dan ia berkata, „Beginilah Abu Salamah bin Abdurrahman
mengabarkan kepadaku dari Abu Hurairah. Dan Abdul „Aziz bin Al
Muththalib dari Abdullah bin Abu Bakar dari Abu Salamah dari
Nabi shallallahu
„alaihi wasallam semisalnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits Mu‟az bin Jabal, Nabi Muhammad senang sekali mendengar
6
jawaban Mu‟az yang menyatakan bahwa ia akan berijtihad dengan ra‟yunya, bila
tidak terdapat pemecahan suatu masalah dalam Alquran dan As-Sunnah. Umar bin
Sunnah Nabi Muhammad, antara lain dalam kasus pelaksanaan ancaman hukuman
69
Jaenal Aripin,dkk, Filsafat Hukum Islam Dalam Dua Pertanyaan, h. 40.
70
Imam Bukhari dan Muslim, Shahih Bukhari Muslim, Penyunting Imron Hakim
(Jakarta: Quantum Ikhlas, 2016), h. 3213.
6
bagi seorang yang mencuri dalam keadaan paceklik dan ikrar talak tiga yang
Jabir bin Hayyan, Ibnu Rusyd, Ibnu Haitsam, Ibnu Khaldun, hingga al-Ghazali.
Mereka adalah pintu gerbang kebebasan yang dibuka lebar-lebar pada masa Bani
Umayyah. Tepatnya oleh Khalid bin Yazid di Syiria dan puncaknya pada Bani
bertentangan dengan ajaran Islam. Abu Bakr al-Razy (w.sekitar 925), yang
(istinbath) dengan istilah-istilah seperti istihsan, istishlah, qiyas, dan lainnya telah
71
H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, h. 115.
72
Mohammad Monib dan Islah Bahrawi, Islam & Hak Asasi Manusia Dalam Pandangan
Nurcholis Madjid (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), h. 180.
73
Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syariah Islam dan HAM Dampak Perda
Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim (Jakarta: CSRC UIN
Syarif Hidayatullah, 2007), h. 35.
6
menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796
M), Syafi‟i (767-820 M), dan Ibnu Hanbal (780-855 M), hidup sebelum
negara memberi suara “pro”, tidak satu negara pun “kontra” dan 8 negara
hak asasi manusia, salah satunya kebebasan berpikir, berhati nurani dan
yang dijamin dalam Piagam Hak-hak Asasi manusia tahun 1948. UUD 1945 pun
menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya dan setiap orang
meski sudah dijamin dalam sebuah negara, biasanya kebebasan berekspresi itu
74
A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer (Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2013), h. 28.
75
Nico Syukur Dister OFM, Filsafat Kebebasan (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 57.
76
Hamid Basyaib, Membela Kebebasan Percakapan tentang Demokrasi Liberal (Jakarta:
Pustaka Alvabet, 2006), H. 263.
6
terkecuali. Dari kelima belas isi deklarasi Perancis, salah satunya menyatakan
77
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Deklarasi_Hak_Asasi_Manusia_dan_Warga_Negara,
diakses pada 15 November 2016.
BAB IV
Agama, perlu baiknya mengetahui isi ketentuan umum dan ketentuan hukum
a. Ketentuan Umum
agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif;
oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa
hanya
juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup
berdampingan di surga.
63
6
kesepakatan sosial.
b. Ketentuan Hukum
agama Islam.
sekularisme agama.
3. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif,
dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan
merugikan.2
1
Ketentuan Umum Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 96.
2
Ketentuan Hukum Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 97.
6
Paham yang dimaksud MUI adalah paham sekularisme dan liberalisme agama
yang datang dari Barat, dua pemikiran yang telah berkembang di kalangan
ialah aktifis Islam Liberal. Dua aliran pemikiran tersebut telah menyimpang dari
3
Konsideran Menimbang Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 92.
4
Penjelasan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 98.
6
akal semata. Agama ditafsirkan secara bebas dan tanpa kaidah penuntun sehingga
dan agama serta dampak lainnya. Berdasarkan kenyataan yang terjadi, MUI
Indonesia.5
dialog antar umat beragama di Indonesia yang digagas oleh Prof. Dr. H. A.
Mukti Ali, pada tahun 1970-an. Hasilnya, paham pluralisme dengan pengertian
secara aktif ke tengah umat dan telah dipahami oleh masyarakat sebagaimana
dimaksud para penganjurnya tanpa banyak mendapat perhatian dari para ulama
dan tokoh umat. Paham ini juga telah menyelinap jauh ke pusat-pusat/ lembaga
5
Penjelasan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 98.
6
adalah untuk merespons usul para ulama dari berbagai daerah serta sebagai
tuntunan dan bimbingan kepada umat Islam agar tidak mengikuti paham-paham
tersebut.6
paham (isme) yang hidup dan dipahami oleh masyarakat sebagaimana telah
diuraikan di atas. Oleh sebab itu, definisi mengenai pluralisme, liberalisme dan
sekularisme agama sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para ulama peserta
Munas VII MUI bukanlah definisi yang mengada-ada atau dibuat-buat, tetapi
sebagai tanggapan apa yang selama ini telah disebarluaskan oleh para
2002, bahwa larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam
dan laki-laki non-Islam sudah tidak relevan lagi. MUI juga mengutip pendapat
para aktivis pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama dalam Website JIL
yang mengganggap bahwa al-Qur‟an itu bukanlah firman Allah tetapi hanya
6
Penjelasan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 99.
6
merupakan teks biasa seperti halnya teks-teks lainnya, bahkan dianggap sebagai
teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari
formalisasi doktrin-doktrin Islam.” Tidak hanya itu saja, masih banyak lagi
bersifat relatif dan tidak absolut. Fatwa ini justru menegaskan bahwa masing-
7
Penjelasan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 99.
6
claim) sendiri-sendiri tapi tetap berkomitmen saling menghargai satu sama lain
Agama, diantaranya:
1. Al-Qur‟an
َ9ل ˚ن ُيق ۡ˜بَ َل ِمن ۡ˜ ُه َو ُى َو ِف ا˚آل ِخ َرِة ِم َن ا ˚َلا ِر ِري َن
َ .ف
َ َوم ˚ن َيب ˜ۡتَ ِغ َغي ۡ˜ َر ا ˚ِلس ۡ˜َِلم ِدين˝ا
Artinya : ”Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (
َ َرُة ِمن.ي
َ ي ُكو َن ل ُ َم ٱل ۡ˜ ِخ
َ ق َضى اوَّلل ُ َوَر ُروُلوُ أَم ۡ˜ ˝را َأ ˚ن
َ ن „ة َِإ ذا
َ ل ُمؤ ˜ۡ ِم „ن َوَل ُمؤ ۡ˜ ِم
ِ ۡ وَما َكا َن ˜
21ل ˝ال مبِين˝ا
َ ' َق ˚د َض َّل َض.ف
َ ُ ˚ع ِص اََّللو َوَر ُروَلو.ََأم ۡ˜ ِِرىم ˜ۡ ۡ َوَم ˚ن ي
Artinya : ”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah
8
Penjelasan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 100.
9
85 /03: آل عمران
10
19 /03: آل عمران
11
06 /109: الكافرون
12
36 /33: األحزاب
7
dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”.
(QS. al-Ahzab: 36).
َأن
ُيخ ۡ˜ ِر ُجُوكم ِّمن ِديَا ال ِّدي ِن َع ِن َل َين ۡ˜ َىا ُك ُم
˜ۡ ُِركم ۡ˜ ََول ال ٱل
ُ;َقاتُِلُوكم ۡ˜ ِف.ُّو ّ ِذي َن َل ۡ˜ ي
َع ِ ن، ي ۡ ا˚ ِإَِل ۡ˜ ِىم ۡ˜ ۡ“ إِ َّن ˜ۡ ر ُو;ىم ۡ˜ وُتق.ب.َت
َ َ َ
ٱل رُطو ِ
َنا ي َ;ن ۡ˜ َى';ى ُك ُم َّو ُُِي ب ٱل ُۡ˜;مق ۡ˜ ِر ِط
ٱل
ُّو
عَل ۡى ِإخ ۡ˜ را ِج َأن ˜ۡ َوأخ ۡ˜ ر جُوكم ِّم ن ِديا ُِركم
َ ' َ َ ˚ ُ َ َ ال
˜ۡ ُكم ˚َوَظا َ ُى;روا لُُوكم ۡ˜ ِف ال ِّدي ِن.ّ ِذي َن َقاَت
َول.َت
ّو ۡ˜ ُىم ۡ˜ ۡ“ ََومن
َتو.َي.
َ
ُلم ۡ˜ َفُأو' لَ; ۡئِ َك ُى ُم
ال ظ
13
ّالِ ُمو َن
Artinya : ”Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang
yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan
barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim”. (QS. al-Mumtahinah: 8-9).
˜ۡ ٱل دن ۡ˜ ي ۡا وَأح
َ َ َس َن ِصيَب ٱ ل ۡ ِخَرَ ۡة ََول َوٱب ۡ˜َتِ;غ فِي َماۡ َءاَت'ى َك
رن ِ
َك ِم َن َتن ُّو ٱل َّداَر ٱل ۡ˜أ
َك َماۡ َأح ۡ˜ َر َن
ٱل
ض إِ َّن
ۡ ِ ˜ۡ ُّو إَِِل ۡ˜ َ ۡك ََول َتب ۡ˜ ِغ ٱل ۡ˜َف َسا َد ِف ٱل ۡ˜َأر
ٱل
َّو َل ُُِي ب
7
˜ ˜ ِ ِ
َ ن دي ر ۡ ُۡ;مف
14
13
8-9 /60: املمتحنة
14
77 /28: القصص
15
116 /06: األ نعام
7
16
71 /23: املؤ منون
17
Muslim 1/93. Lihat M. Nashiruddin al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, Penerjemah
Elly Lathifah, Penyunting Harlis Kurniawan (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 17.
7
agama.
- Perbedaan dari keduanya juga dilihat dari sumber hukum yang dijadikan
18
Penjelasan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 98.
7
hubungan antar pemeluk agama.19 Sementara itu, para pemikir Islam Liberal
pemeluk agama, namun dengan porsi yang berbeda. Secara tersirat, fatwa
19
Penjelasan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme,
Liberalisme dan Sekularisme Agama, h. 100.
20
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2010), h. 9.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan mengenai Analisis Fatwa MUI
manfaat bagi umat Islam, melainkan hanya menambah kesesatan bagi yang
kebenaran yang dibawa agama lain. Sebab kalau harus mengakui kebenaran
74
7
dicampuri dengan kebenaran akidah umat agama lain dan ini sangat tercela.
agama satu sama lain. Fatwa MUI tersebut memberikan prinsip kebenaran bagi
umat Islam bahwa hanya dengan berpegang teguh kepada al-Qur’an dan
Agama.
2. Perbedaan yang mencolok antara pemahaman para pemikir Islam Liberal dan
pemikir Islam Liberal lebih ditekankan kepada toleransi antar umat beragama
ditegaskan oleh MUI, bahwa dengan adanya Pluralisme Agama, maka akan
karena
Agama dengan mengedepankan toleransi antar pemeluk agama serta menjaga
dan tidak sama kebenarannya. Begitu juga dengan paham Liberalisme dan
Sekularisme Agama yang telah menjadi jiwa dari pemikiran para pemikir Islam
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mengedepankan akal dan
agama. Berbeda dengan pandangan MUI dan dari data-data yang telah penulis
peroleh bahwa dua pemikiran tersebut memang sangat tidak sesuai dengan
B. Saran-saran
mempertebal
2. Kepada para ulama, supaya selalu memberikan bimbingan kepada umat Islam
tentang pentingnya berpegang teguh pada akidah dan syari’at agama Islam
yang dibawa oleh Rasulullah SAW, sehingga umat Islam tidak mudah untuk
atas ajaran agama Islam yang diajarkan oleh setiap institusi pendidikan agar
mana pemikiran yang benar-benar sesuai dengan ajaran agama Islam serta
mana yang bukan atau malah bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Dalam hal ini paham Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama yang
dapat selamat
agamanya. Islam memang menghargai kebebasan berpikir, tapi Islam juga
Afiah, Neng Dara. Kala Fatwa jadi penjara “MUI merampok Kebebasan
Berpikir”. Artikel diakses pada 15 Juli 2016 dari
http://www.wahidinstitute.org/v1/Programs/Detail/?id=217/hl=id.
Ali, H. Mohammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
AM, Imron. Islam Liberal Mengikis Akidah Islam. Jakarta: INSIDA, 2004.
Aripin, Jaenal, dkk. Filsafat Hukum Islam Dalam Dua Pertanyaan. Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
78
7
Bisri, Adib dan AF, Munawwir. Kamus Al-Bisri : Indonesia -- Arab Arab –
Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.
Bukhari, Imam dan Muslim. Shahih Bukhari Muslim. Penyunting Imron Hakim.
Jakarta: Quantum Ikhlas, 2016.
http://jokerbalad.blogspot.co.id/2015/03/memanfaatkan-kebebasan-berfikir-
dan.html?m=1, diakses pada 12 November 2016.
8
http://m.detik.com/news/berita/412287/11-fatwa--mui-mulai-imam-perempuan-
hingga-liberalisme, artikel diakses pada 08 Desember 2016.
http://inpasonline.com/new/istilah-sekularisme-menurut-al-attas-dan-al-
qardhawy/, artikel diakses pada 18 Januari 2017.
https://almanhaj.or.id/3129-islam-dan-liberalisme.html, November
diakses2016.pada06
----------. Pluralisme Musuh Agama-Agama (Pandangan Katolik, Protestan, Hindu dan Islam terhada
----------. Hendak Kemana (ISLAM) Indonesia? Seri II. Surabaya: Media Wacana, 2005.
---------- dan Hidayat, Nuim. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya. Jaka
Kamil, Sukron dan Bamualim, Chaider S.. Syariah Islam dan HAM Dampak
Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-
Muslim. Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2007.
8
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama, 1994.
Mawdudi, Abul A’la. Hak-hak Asasi Manusia Dalam Islam. Jakarta: Bumi
Aksara, 1995.
Monib, Mohammad dan Bahrawi, Islah. Islam & Hak Asasi Manusia Dalam
Pandangan Nurcholis Madjid. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2011.
Mulkhan, Abdul Munir. Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar.
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002.
Nasution, Harun dan Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam
Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992.
Sukidi. Teologi Inklusif Cak Nur. Jakarta: Penerbit buku Kompas, 2001.
Sumbulah, Umi. Islam “Radikal” dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial
Aktivis Hizb al-Tahrir dan Majelis Mujahidin di Malang tentang Agama
Kristen dan Yahudi. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI, 2010.
Wijaya, Arif. “Kemerdekaan Berfikir Dalam Hak Asasi Manusia dan Islam.” Al-
Daulah III, No. 2 (Oktober 2013): h. 241-259.
Menimbang :
1. bahwa pada akhir-akhir ini berkembang
paham pluralisme, liberalisme dan
sekularisme agama serta paham-paham
sejenis lainnya di kalangan masyarakat;
2. bahwa berkembangnya paham pluralisme,
liberalisme dan sekularisme agama di
kalangan masyarakat telah menimbulkan
keresahan sehingga sebagian masyarakat
meminta MUI untuk menetapkan fatwa
tentang masalah tersebut;
3. bahwa oleh karena itu, MUI memandang
perlu menetapkan fatwa tentang paham
pluralisme, liberalisme, dan sekularisme
agama tersebut untuk dijadikan pedoman
oleh umat Islam.
Mengingat : 1. Firman Allah SWT :
ﻲ ﻓ ﻫ ﻭ ﻨ ﻣ ﻘﹾﺒ ﻳﻨ ﻓﹶﻠﹶ ﻳ ﺩ ﺍﹾِﻹﺳ ﻏﹶﻴﺒ ﺘ ﻳ ﻦ ﻣ ﻭ
ﻮ ﻞﹶ ﻪ ﺎ ﻦ ﺮ ﻼﹶﻡﹺ ﻎﹺ
)ﺁﻝ ﺮﹺﻳﻦ ﺎﺳ ﺍﻟﹾﺨ ﻦ ﻣ ﺓ ﺮ ﺍﹾﻵﺧ
( :ﻋﻤﺮﺍﻥ
92
HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
ﺇﹺﺫﹶﺍ ﺔ ﻨ ﻣ ﺆ ﹶﻻ ﻣ ﻦﹴ ﻭ ﻣ ﺆ ﻤ ﺎ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻟ ﻭﻣ
ﻜﹸﻮﻥﹶ ﻟﹶﻬ ﺃﹶﻥﹾ ﻳﺮ ﺍ ﺃﹶﻣ ﻮﻟﹸﻪ ﺳ ﺭ ﻪ ﻭﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻗﹶﻀ
ﺺﹺ ﻌ ﻳ ﻦ ﻣ ﻭ، ﻢ ﺮﹺﻫ ﺃﹶﻣ ﻦ ﺓﹸ ﻣ ﺮ ﻴ ﺍﻟﹾﺨ ﻢ
ﺎ ﺒﹺﻴﻨ ﻼﹶﻻﹰ ﻣ ﻞﱠ ﺿ ﺪ ﺿ ﻓﹶﻘﹶ ﻮﻟﹶﻪ ﺳ ﺭ ﻪ ﻭﺍﻟﱠﻠ
( :)ﺍﻷﺣﺰﺍﺏ
ﹶﻢﻭ ﻟ
ﻲ ﺍﻟﺪ ﻓ ﻘﹶﺎﺗ ﻳ ﻦﹺ ﻟﹶﻢ ﺍﻟﱠﻠﻪ ﻋ ﺎﻛﹸﻢ ﻬ ﻨ ﻻﹶ ﻳ
ﻳﻦﹺ ﻠﹸﻮﻛﹸﻢ ﻳﻦ ﺍﱠﻟﺬ
ﺗ ﻭ ﻢ ﻭﻫ ﺮ ﺒ ﺃﹶﻥﹾ ﺗ ﺎﺭﹺﻛﹸﻢ ﻳ ﺩ ﻦ ﻣ ﻮﻛﹸﻢ ﺮﹺﺟ ﺨ ﻳ
ﺇﹺﱠﻥ، ﻬﹺﻢ ﺴﻄﹸﻮﺍ ﺇﹺﻟﹶﻴ ِ ﻘﹾ
ﻳﻦ ﺍﱠﻟﺬ ﺎ ﺍﻟﱠﻠﻪ ﻋ ﻬ ﻨ ﻳ ﺇﹺﻧ ﺴﻄ ِ ﻘﹾ ﺍﻟﹾﻤ ﺤ ﻳ ﺍﻟﱠﻠﻪ
ﻦﹺ ﺎ ﻛﹸﻢ ﻤ، ﲔ ﺐ
ﻭﺍ ﺮ ﻇﹶﺎﻫ ﺎﺭﹺ ﻭ ﻳ ﺩﻦ ﺟ ﺮ ﹶﺧﻳ ﻭ ﺃ ﺍﻟﺪ ﻓ ﻠﹸﻮﻛﹸﻢ ﻗﹶﺎﺗ
ﻣ ﻛﹸﻢ ﻮﻛﹸﻢ ﻲ ﻦﹺ
ﻋ ﻠﹶﻰ ﺇﹺﺧ ﺮ ﺍ ﺟﹺ ﺃﹶ ﺗ ﻮ ﻟﱠﻮ ﻫ ﻭ ﻣ ﻳ ﺘ ﻮ ﻟﱠ ﻓﹶﺄﹸﻭﻟﹶﺌ ﻫﻢ
ﻢ ،ﻦ ﻬ ﻢ ﻚ ﻜﹸﻢ ﻥﹾ
ﻈﺎﻟ ﻤ ﻮﻥﹶ )ﺍﳌﻤﺘﺤﻨﺔ -( : ﺍﻟ ﱠ
93
BIDANG AQIDAH DAN ALIRAN KEAGAMAAN
ﻻﹶ ﺗ ﺓﹶ ﻭ ﺮ ﺍﻟﹾﺂﺧ ﺭ ﺍﻟﺪ ﺍ ﺍﻟﱠﻠﻪ ﺎﻙ ﺎ ﺀَﺍﺗ ﻴﻤ ﻎﹺ ﻓ ﺑ ﺘﻭ ﺍ
ﻦ ﻣ ﻚ ﻴﺒ ﺼ ﻧ ﺲ ﻨ
ﻚ ﺇﹺﻟﹶﻴ ﺍﻟﱠﻠﻪ ﻦ ﺴ ﺎ ﺃﹶﺣ ﻛﹶﻤ ﺴﻦ ِ ﹶﺣ ﻭ ﺃ.ﺎ ﻧ ﻴ ﺍﻟﺪ
ﻻﹶ ﺇﹺﱠﻥ ﺍﻟﱠﻠﻪ،ﺽﹺ ﻲ ﺍﻟﹾﺄﹶﺭ ﻓ ﺎﺩ ﻎﹺ ﺍﻟﹾﻔﹶﺴ ﺒ ﻻﹶ ﺗ ﻭ
( : )ﺍﻟﻘﺼﺺ ﻳﻦ ﺴﺪ ِ ﻔﹾ ﺍﻟﹾﻤ ﺐ ﺤ ﻳ
“Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (keni`matan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang- orang yang berbuat
kerusakan”. (QS. al- Qashash [28]: 77).
ﱡﻠﻮﻙ ﻀ ﺽﹺ ﻳ ﻲ ﺍﻟﹾﺄﹶﺭ ﻓ ﻦ ﻣ ﺃﹶﻛﹾﺜﹶﺮ ﻊ ﻄ ﹺﻥﹾ ﺗﻭ ﺇ
، ﺒﹺﻴﻞﹺ ﺍﻟﱠﻠﻪ ﻦ ﺳ ﻋ
: )ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ ﺻ ﺮ ﺨ ﺇﹺ ﻳﻢ ﹺ ﺇﹺ ﺍﻟﱠﻈﻦ ﻭ ﺇ ﺒﹺﻌ ﺘ ﺇﹺ ﹾﻥ ﻳ
ﻮﻥﹶ ﻥﹾ ﻫ ﱠﻻ ﻮﻥﹶ ﱠﻻ
(
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan
orang-orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari
jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah
mengikuti
94
HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
ﺽ ﻟﹾﺄﹶﺭﻭ ﺍ
ﻮ ﺍ ﻤ ﺍﻟﺴ ﺪ ﺀَ ﻟﹶﻔﹶﺴﻮ ﺍ ﺃﹶﻫ ﺍﻟﹾﺤ ﺒ ﹶﻮﹺ ﺍﺗﻭ ﻟ
ﺕ ﺕ ﻢ ﻫ ﻖ ﻊ
ﻢ ﻛﹾﺮﹺﻫ ﺫﻦ ﻛﹾﺮﹺ ﻓﹶﻬ ﺑﹺﺬ ﻴ ﻨ ﺃﹶﺗ ﻴﻬﹺ ﺑ ﻓ ﻦ ﻣ ﻭ
ﻋ ﻢ ﻢ ﻫ ﻢ ﻞﹾ ﺎﻫ ﻦ
( :ﻮﻥﹶ )ﺍﳌﺆﻣﻨﻮﻥ ﺮﹺﺿ ﻌ ﻣ
ﻦ ﻣ ﺪ ﺃﹶﺣ ﺑﹺﻲ ﻊ ﻤ ﺴ ﻻﹶ ﻳ، ﻩ ﺪ ﺑﹺﻴ ﺪ ﻤ ﺤ ﻣ ﻔﹾﺲ ﻧ ﻱ ﱠﻟﺬﻭ ﺍ
ﻢ ﹶ ﻭ ﻟ ﻮ ﻤ ﺛﹸ ﻳﺮ ﺍ ﺼ ﻧ ﻭ ﻮ ﻬ ﻳ ﺍﹾُﻷﻣ ﻩ ﻫﺬ
ﺕ ﻢ ﹶﻻ ﻧﹺﻲ ﻱ ﺩ ﺔ
ﺇﹺﱠﻻ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻣ ﺑﹺﻪ ﹾ ﻠﺖ ﺳ ﺃﹸﺭ ﻱ ﺑﹺﺎﱠﻟﺬ ﻦ ﻣ ﺆ ﻳ
ﺎﺭﹺ ﺎﺏﹺ ﺍﻟﻨ ﺤ ﺃﹶﺻ ﻦ
“Demi Dzat Yang menguasai jiwa
Muhammad, tidak ada seorang pun baik
Yahudi maupun Nasrani yang
mendengar tentang diriku dari umat
Islam ini, kemudian ia mati dan tidak
beriman terhadap ajaran yang aku
bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni
neraka”. (H.R. Muslim)
b. Nabi mengirimkan surat-surat dakwah
kepada orang-orang non-muslim, antara
lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi
yang beragama Nasrani, al-Najasyi raja
Abesenia yang bergama Nasrani dan
Kisra Persia yang beragama Majusi, di
95
BIDANG AQIDAH DAN ALIRAN KEAGAMAAN
MEMUTUSKAN
96
HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua
Sekretaris
ttd
ttd
K.H. Ma’ruf Amin
Drs. Hasanuddin, M.Ag
97
BIDANG AQIDAH DAN ALIRAN KEAGAMAAN
98
HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
99
BIDANG AQIDAH DAN ALIRAN KEAGAMAAN
100