Sejarah Perkembangan (Ips) Ilmu Penegtahuan Sosial

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 17

SEJARAH PERKEMBANGAN (IPS)

ILMU PENEGTAHUAN SOSIAL

(Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Konsep Dasar IPS Di SD)

OLEH
Kelompok 3

ANDI ALYSHA AZZAHRA (220407560007)


ERNIDAR (220407561044)
MAHARANI (220407561074)
NURFADILLA (220407562032)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2022/2023
SEJARAH PERKEMBANGAN IPS

A. Sejarah Perkembangan IPS Di Dunia (Secara Umum)


Pada tahun 1935 terjadi polemic diantara kalangan intelektual Amerika Serikat (AS)
mengenai Ilmu Pengetahuan Sosial yang lebih dikenal dengan Social Studies, kemudian
hal tersebut dipublikasikan oleh Organisasi yang bernama National Council for The
Sosial Studies. tapi hal itu tidak berlangsung lama karena menurut L.Tildsley hal itu
memberi tanda sejak awal pertumbuhannya bidang social studies dihadapkan kepada
tantangan untuk dapat membangun dirinya sebagai suatu disiplin yang solid.
Definisi tentang social studies menurut Edgar Bruce Wesley pada tahun 1937 (Barr.
Bart dan Shermis. 1977:2) yaitu: The social Studies are the social sciences simplified for
pedagogical purpose" Ilmu Sosial itu yang disederhanakan untuk tujuan pendidikan.
Yang meliputi aspek-aspek, seperti sejarah, ekonomi, politik, sosiologi, antropologi,
psikologi, geografi, dan filsafat, yang praktiknya digunakan dalam pembelajaran di
sekolah maupun perguruan tinggi.
Pada perkisaran tahun 1940-1950 NCSS mendapat serangan yang berkisar tentang
perlu atau tidaknya Sosial Studies untuk remaja bersikap demokratis dan kritis, sehingga
munculah sikap penekanan terhadap fakta-fakta sejarah dan budaya yang ada.
Namun pada tahun 1960 timbul satu gerakan akademis yang lebih dikenal dengan the
new social studies yang dipelopori oleh sejarawan dan ahli-ahli ilmu social untuk
mengembangkan proyek yang menciptakan kurikulum dan memproduksi bahan belajar
yang sangat inovatif dan menantang dalam skala besar. Tapi sampai tahun 1970an hal itu
belum juga terwujud, tapi jika kembali pada penuturan Barr dkk 1977 yaitu dua visi yang
berbeda dalam social studies yaitu citizenship education (pendidikan kewarganegaraan)
atau social studies Education (Ilmu pendidikan social) hal itu juga dipengaruhi oleh PD
II.
Pada tahun 1955 terjadi terobosan yang besar, berupa inovasi oleh Maurice Hunt dan
Lawrence metcalft yang mencoba cara baru dalam pengintegrasian pengetahuan dan
keterampilan ilmu social untuk tujuan citizenship education, mengubah program Sosial
studies disekolah yang dahulunya Closed Area ( hal-hal yang tabu dalam masyarakat)
menjadi refleksi rasional dalam mengupayakan siswa dapat mengambil keputusan
mengenai masalah-masalah public. Sehingga bisa melatih keterampilan reflektif thinking
(berfikif reflek) dan berfikir secara kritis.
Gerakan the new social studies pada tahun 1960 masih belum efektif dalam
mengajarkan substansi perubahan sikap siswa, sehingga para sejarawan dan ahli-ahli
ilmu social bersatu untuk meningkatkan social studies kepada higher level of intellectual
pursuit yang melahirkan social science education.
Menurut Barr dkk, mendefinisikan social studies dalam beberapa bagian yaitu :social
studies merupakan satu system pengetahuan yang terpadu, kedua misi utama social
studies adalah pendidikan kewarganegaraan dalam suatu masyarakat yang demokratis,
ketiga sumber utama konten social studies adalah social sciene dan humanitier, keempat
dalam upaya penyiapan warga Negara yang demokratis terbuka kemungkinan perbedaan
dalam orientasi, visi tujuan dan metode pembelajaran. diantaranya lahirlah visi, misi dan
strategi social studies itu adalah
1. Sosial studies taught as citizenship transmission
2. Sosial studies taught as social science
3. Sosial studies taught as reflective inquiry.
Jika dilihat dari definisi dan tujuan social studies maka terkandung beberapa hal.
pertama social studies merupakan mata pelajaran dasar diseluruh jenjang pendidikan
persekolahan, kedua tujuan utama mata pelajaran ini ialah mengembangkan siswa untuk
menjadi warga Negara yang memiliki pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan untuk
berperan serta dalam kehidupan berdemokrasi. Ketiga konten pelajarannya digali dan
diseleksi dari sejarah dan ilmu-ilmu social. Keempat pembelajarannya menggunakan
cara- cara yang mencerminkan kesadaran pribadi, kemasyarakatan, pengalaman budaya,
perkembangan pribadi siswa.
Di awal tahun 1994 the board of direction of the national council for the social studies
menerbitkan Dokumen resmi yang diberi nama Expectations of Exellence: curriculum
Standard for social studies. Dokumen ini yang sedang mewarnai pemikiran praksis social
studies di AS sampai saat ini. dalam dunia pendidikan NCSS juga menggariskan bahwa
dalam pendidikan mulai dari Taman kanak-kanak sampai pendidikan menengah
memiliki keterpaduan " Knowledge, Skills, and attitudes within and across disipliner ",
pada kelas rendah ditekankan pada social studies yang tidak mengikat atau bisa bertolak
dari tema- tema tertentu.
Ide IPS berasal dari literatur pendidikan Amerika Serikat. Nama asli IPS di Amerika
Serikat adalah social studies. Istilah tersebut pertama kali digunakan sebagai nama
sebuah lembaga yang diberi nama committee of social studies.
Lembaga ini merupakan himpunan tenaga ahli yang berminat pada kurikulum ilmu-
ilmu sosial di tingkat sekolah dan ahli-ahli ilmu sosial yang mempunyai minat yang
sama. Nama lembaga ini kemudian dipergunakan untuk nama kurikulum yang mereka
hasilkan, yakni kurikulum social studies. Nama social studies makin terkenal ketika
pemerintah mulai memberikan dana untuk mengembangkan kurikulum tersebut.
Kurikulum tersebut ahirnya dikembangkan dengan nama kurikulum social studies. Di
Indonesia social studies dikenal dengan nama studi sosial. Dalam Kurikulum 1975,
pendidikan ilmu sosial kemudian ditetapkan dengan nama Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS). IPS merupakan sebuah mata pelajaran yang dipelajari dari tingkat pendidikan
dasar sampai dengan pendidikan tinggi pada jurusan atau progrsam studi tertentu.
Istilah IPS pertama kali muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic Education
tahun 1972 di Tawamangu, Solo. Ada 3 istlah yang muncul dari Seminar Nasional di
Tawamangu dan digunakan secara bertukar, yaitu:
1. Pengetahuan Sosial / Social Science
2. Studi Sosial/Social Studies
3. Ilmu Pengetahuan Sosial/ Social Education
Pembahasan mengenai latar belakang lahirnya IPS akan dilihat dari dua aspek, yakni
latar belakang sosiologis dan pedagogis dengan mempertimbangkan aspek
kemasyarakatan dan ilmu-ilmu sosial yang dikaji dalam IPS. Ilmu Pengetahuan Sosisal
(IPS) adalah terjemahan dari Social Studies. Perkembanagan IPS dapat kita lihat melalui
sejarah Social Studies yang dikembangkan oleh Amerika Serikat (AS) dalam karya
akademis dan dipublikasikian oleh National Council for the Social Studies (NCSS) pada
pertemuan organisasi tersebut tahun 1935 sampai sekarang.
Definisi tentang "Social Studies" yaitu ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk
tujuan pendididkan, kemudian pengertian ini dibakukan "Social Studies" meliputi aspek-
aspek ilmu sejarah, ilmu ekonomi, ilmu politik, sosiologi, antropologi, pisikologi, ilmu
geografi, dan filsafat yang dalam praktiknya dipilih untuk tujuan pembelajaran di sekolah
dan di perguruan tinggi.
Dalam pengertian awal "Social Studies" tersebut diatas terkandung hal-hal sebagai
berikut :
1. Social Studies merupakan turunan dari ilmu-ilmu sosial
2. Disiplin ini dikembangkan untuk memenuhi tujuan pendidikan atau pembelajaran,
baik pada tingkat sekolah maupun tingkat pendidikan tinggi.
3. Aspek-asoek dari masing-masing disiplin ilmu sosial itu perlu diseleksi sesuai
dengan tujuan tersebut.
Pada tahun 1940-1960 ditegaskan oleh Barr, dkk (1977:36) yaitu terjadinya tarik
menarik antara dua visi Social Studies. Di satu pihak, adanya gerakan untuk
mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu sosial untuk tujuan citizenship education, yang
terus bergulir sampai mencapai tahap yang lebih canggih. Di pihak lain, terus bergulirnya
gerakan pemisahan sebagai disiplin ilmu-ilmu sosial yang cenderung memperlemah
konsepsi social studies education. Hal tersebut, merupakan dampak dari berbagai
penelitian yang dirancang untuk mempengaruhi kurikulum sekolah, terutama yang
berkenaan dengan pengertian dan sikap siswa.
Benyaknya gerakan-gerakan yang muncul akibat dari tekanan yang cukup dahsyat
untuk mereformasi Social Studies. Mereka menganggap perlu adanya perubahan
pembelajaran Social Studies menjadi pembelajaran yang berorientasi the integrated,
reflected inquiry, and problem centered (Barr, dkk.; 41-82) dan memperkuat munculnya
gerakan The new Social Studies.
Atas pendapat para pakar, akhirnya para sejarawan, ahli ilmu sosial, dan pendidikan
sepakat untuk melakukan reformasi Social Studies dengan menggunakan cara yang
berbeda dari sebelum pendekatan tersebut adalah dengan melalui proses pengembangan
kurikulum sekelompok pendidik, ahli psikologi, dan ahli ilmu sosial secara bersama-
sama mengembangkan bahan ajar berdasarkan temuan penelitian dan teori belajar,
kemudian di uji cobakan di lapangan, selanjutnya direvisi, dan pada akhirnya
disebarluaskan untuk digunakan secara luas dalam dunia persekolahan.
Jika dilihat dari Visi misi dan strateginya, Barr, dkk. (1978:1917) Social Studies telah
dan dapat dikembangkan dalam tiga tradisi, yaitu :
1. Social Studies Taught as citizenship Transmission
Merujuk pada suatu modus pembelajaran sosial yang bertujuan untuk
mengembangkan warga negara yang baik sesuai dengan norma yang telah
diterima secara baku dalam negaranya.
2. Social Studies Taught social Science
Merupakan modus pembelajaran sosial yang juga mengembangkan karakter
warga negara yang baik yang ditandai oleh penguasaan tradisi yang menitik
beratkan pada warga Negara yang dapat mengatasi masalah-masalah sosial dan
personal dengan menggunakan visi dan cara ilmuan sosial.
3. Social Studies Taught as Reflective Inquiry
Merupakan modus pembelajaran sosial yang menekankan pada hal yang sama
yakni pengembangan warga negara yang baik dengan kriteria yang berbeda yaitu
dilihat dari kemampunnya dalam mengambil keputusan'
Tahun 1992, the board of direction of the national Council for the social
studies mengadopsi visi ternaru mengenai Social Studies, yang kemudian
diterbitkan resmi oleh NCSS pada tahun 1994 dengan judul Expectation of
Excellence: Curriculum Standard for Social Studies.

Sebagai rambu-rambu dalam rangka mewujudkan visi, misi, dan strategi baru
Social Studies, NCSS (1994) menggariskan hal-hal sebagai berikut:

1. Program Social Studies mempunyai tujuan pokok yang ditegaskan kembali bahwa
civic competence bukanlah hanya menjadi tanggung jawab Social Studies.
2. Program Social Studies dalam dunia pendidikan persekolahan, mulai dari taman
kanak- kanak sampai ke pendidikan menengah, ditandai oleh keterpaduan
“...knowledge, skill, and attitudes within and across disciplines” (NCSS, 1994:3).
3. Program Social Studies dititik beratkan pada upaya membantu siswa dalam
construct a knowledge base and attitude drawn from academic discipline as
specialized ways of viewing reality (NCSS, 1994:4).
4. Program Social Studies mencerminkan "...the changing nature of knowledge,
fostering entirely new and highly integrated approaches to resolving issues of
significance to humanity" (NCSS, 1994:5).

a) Latar belakang sosiologis


Tinjauan terhadap latar belakang sosiologis difokuskan pada tempat lahirnya
IPS yang pada awalnya bernama social studies. IPS dengan nama social studies
pertama kali digunakan dalam kurikulum sekolah Rugby di Inggris pada tahun 1827.
Dr. Thomas Arnold, direktur sekolah tersebut adalah orang pertama yang berjasa
memasukkan IPS (social studies) ke dalam kurikulum sekolah.
Latar belakang dimasukkannya IPS ke dalam kurikulum sekolah berangkat
dari kondisi masyarakat Inggris pada waktu itu yang tengah mengalami kekacauan
akibat revolusi industri yang melanda negara itu. Masyarakat dan peradaban Inggris
terancam dekadensi, karena mekanisasi industri telah menimbulkan kesulitan besar
bagi masyarakat Inggris, terutama kaum buruh.
Kaum kapitalis dan pemerintah yang kurang memperhatikan nasib kaum
buruh yang mengakibatkan terjadinya pemerasan dan penindasan. Selain itu, di
Inggris juga terjadi persaingan di kalangan buruh sendiri, yang menyebabkan hidup
kaum tidak punya (the haves not) menjadi sangat menderita. Kehidupan antar kaum
buruh dan antara buruh dengan majikan digambarkan oleh filosuf Inggris Thomas
Hobbes sebagai homo homoni lopus bellum omnium contra omnes (manusia adalah
srigala bagi yang lain, mereka saling berperang).
Singkatnya, manusia menjadi kehilangan kemanusiaannya (dehumanisasi).
Sebagai respon terhadap keadaan yang demikian ironis, Arnold memasukkan IPS ke
dalam kurikulum sekolahnya. Upayanya kemudian ditiru oleh banyak sekolah
lainnya, dan sekaligus menjadi awal berkembangnya IPS sebagai matapelajaran di
sekolah.
Latar belakang munculnya IPS di Amerika Serikat berbeda dari Inggris.
Setelah Perang Budak atau Perang Saudara antara penduduk Utara-Selatan (1861-
1865), di Amerika terjadi kekacauan sosial. Masyarakat Amerika Serikat yang sangat
beragam belum merasa menjadi satu bangsa. Segregasi sosial masih kental dan lekat
dengan kehidupan masyarakat Amerika pada saat itu.
Sebagai respon atas keadaan masyarakat tersebut, para ahli kemasyarakatan
Amerika Serikat mencari upaya untuk membantu proses pembentukan bangsa
Amerika Serikat, antara lain dengan mengembangkan IPS sebagai jawaban atas
situasi sosial. IPS dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, yang dipelopori oleh
sekolah-sekolah di negara bagian Wisconsin sejak 1892. Setelah dipelajari secara
terus menerus sampai awal dasa warsa abad ke-20, pada tahun 1916 panitia nasional
untuk pendidikan menengah Amerika Serikat menyetujui pengembangan dan
pemasukan IPS ke dalam kurikulum sekolah.
Paparan tersebut menggambarkan bahwa situasi masyarakat di Inggris pada
tahun 1827, yaitu awal industri modern, mirip dengan keadaan masyarakat Indonesia
dewasa ini. Industri sedang berkembang dan tanda-tanda dehumanisasi nampak pula
di Indonesia. Di antara indikator yang menunjukkan kemiripan tersebut adalah
terjadinya berbagai tindak kejahatan, seperti perampokan yang disertai pembunuhan,
kurang terjaminnya kaum buruh, individualisme yang mulai menggerayangi
masyarakat perkotaan, tindakan mengobyekkan para penganggur dan pencari
pekerjaan melalui human trafficing, terdesaknya alat-alat produksi tradisional oleh
alat produksi buatan negara asing, dan penumpukan kekayaan pada golongan
minoritas.
Keadaan masyarakat yang demikian mengingatkan pada betapa pentingnya
pembentukan jiwa sosial yang humanis sedini mungkin melalui pembelajaran IPS di
sekolah-sekolah.

b) Latar Belakang Pedagogis


Di samping sebagai reaksi atas keadaan masyarakat, seperti di Inggris,
Amerika, dan Indonesia, lahirnya IPS juga dilatarbelakangi oleh keinginan untuk
menyiapkan peserta didik agar menjadi warga masyarakat yang bertanggungjawab,
yakni dapat mewujudkan kewajiban dan hak-haknya dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan mempelajari IPS, peserta didik diharapkan akan menjadi warga masyarakat
yang tidak individualistik, yang hanya mementingkan kebutuhan sendiri, dan
mengesampingkan kebutuhan orang lain atau warga masyarakat lainnya. Sebaliknya,
mereka diharapkan menjadi warga masyarakat yang memiliki watak sosial yang selalu
sadar bahwa hidupnya hanya dapat berlangsung bersama dan bekerja sama dengan
orang lain, dan orang lain hanya mau hidup bersama dan bekerja sama bila mendapat
perlakuan yang baik dari mereka.
Disiplin ilmu-ilmu sosial dipandang tidak mendukung prinsip pedagogis di
atas. karena berbagai disiplin itu membawa masyarakat dalam keadaan terpisahpisah.
Pengajaran IPS juga lebih dekat dengan keadaan sekarang yang ada dalam lingkungan
hidupnya. Dengan demikian tidaklah terlalu sukar bagi peserta didik untuk
mengamati, menggambarkan dan memikirkannya, karena masih berada dalam
jangkauan mereka, baik dari segi waktu maupun tempatnya.
Itulah latar belakang pedagogis dikembangnya IPS. Mengingat berbagai
kemiripan dan kegunaanya bagi pembinaan masyarakat Indonesia, maka
pengembangan IPS di dunia pendidikan di Indonesia merupakan kebutuhan pedagogis
sebagaimana halnya pengalaman di Inggris dan Amerika Serikat sebagai wahana
pembinaan sikap sosial bagi peserta didik.

 Tiga Tradisi Pembelajaran IPS


Pembelajaran IPS memiliki tiga tradisi yang berbeda satu dengan yang lain.
Ketiga tradisi tersebut adalah:
a. Pembelajaran IPS sebagai transmisi kewarganegaraan,
b. Pembelajaran IPS sebagai ilmu sosial, dan
c. Pembelajaran IPS sebagai inkuiri yang reflektif.
Gambaran tentang ketiga tradisi pembelajaran IPS tersebut akan dipaparkan
dalam bahasan berikut.
a. Pembelajaran IPS sebagai Transmisi Kewarganegaraan
Pembelajaran IPS sebagai transmisi kewarganegaraan merupakan strategi
pengajaran IPS yang berhubungan dengan penanaman tingkah laku, pengetahuan,
pandangan, dan nilai yang harus dimiliki oleh peserta didik.
Tingkah laku, pengetahuan, pandangan dan nilai yang akan diajarkan harus
sesuai dengan kekayaan nilai-nilai budaya yang berkembang di lingkungan peserta
didik dan guru yang mengajarkan IPS. Hal ini dimaksudkan agar nilainilai budaya
yang ada dalam masyarakat dapat ditransmisikan dari generasi ke generasi.
Pembelajaran IPS sebagai transmisi kewarganegaraan merupakan proses
pewarisan budaya dalam suatu masyarakat tertentu. Pewarisan budaya ini
merupakan budaya yang memilki nilai-nilai yang baik dan disepakati oleh
masyarakat.
Pembelajaran IPS model transmisi kewarganegaraan di Amerika Serikat
bertujuan membina warga negara agar dapat memenuhi kewajiban dan tanggung
jawab yang baik, taat kepada hukum, membayar pajak, memenuhi kewajiban
belajar, dan memiliki dorongan diri yang kuat untuk mempertahankan negara
(Sumaatmadja, 1980). Pembelajaran IPS sebagai transmisi kewarganegaraan juga
merupakan suatu proses pewarisan budaya dalam suatu masyarakat tertentu.
Pewarisan budaya ini tentu merupakan budaya yang memilki nilai-nilai yang baik
dan disepakati oleh masyarakat, sehingga dapat membentuk warga negara yang
dapat memenuhi kewajiban, taat pada hukum, dan bertanggung jawab dalam
pembelaan negara.
Tradisi pembelajaran IPS model transmisi kewarganegaraan ini, oleh sebagian
ahli dipandang sebagai bentuk proses pendidikan yang statis, bahkan konservatif.
Hal ini dikarenakan di tengah kehidupan masyarakat yang dinamis di tengah
perkembangan dunia yang terus mengalami perubahan, setiap anak manusia
dituntut untuk memiliki kemampuan, pemikiran, dan keterampilan yang lebih luas
dan kompleks. Jika dikaitkan dengan kehidupan masyarakat Indonesia yang sedang
berkembang, maka pembelajaran model transmisi kewarganegaraan ini kurang
relevan. Oleh karena itu, proses pembelajaran IPS yang relevan untuk masyarakat
Indonesia saat ini perlu terus dikembangkan.

b. Pembelajaran IPS sebagai Ilmu Sosial


Pembelajaran IPS sebagai ilmu sosial didasarkan pada asumsi bahwa peserta
didik dapat berpikir secara kritis, mampu mengobservasi dan meneliti seperti apa
yang dilakukan oleh ahli ilmu sosial. Tujuan pengajaran IPS sebagai ilmu sosial
adalah menciptakan warga negara yang mampu belajar dan berpikir secara baik,
seperti yang dilakukan oleh ahli ilmu sosial.

c. Pembelajaran IPS sebagai inkuiri reflektif


Pembelajaran IPS sebagai inkuiri reflektif merupakan proses berpikir yang
mendalam dan merefleksikan pengalaman, atau dengan kata lain dapat di katakan
sebagai proses merenung. Oleh karena itu, proses inkuiri reflektif atau berpikir dan
merenung tidak hanya berpikir untuk memeriksa atau meneliti sesuatu persoalan,
tetapi berhubungan pula dengan sikap penilaian pengungkapan penilaian.
B. Sejarah Perkembangan IPS di Indonesia
Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di
Indonesia juga hampir sama dengan di beberapa negara lain, di antaranya situasi kacau
dan pertentangan politik bangsa, kondisi keragaman budaya bangsa (multikultur) yang
sangat rentan terjadinya konflik. Sehingga, sebagai akibat konflik dan situasi nasional
bangsa yang tidak stabil, terlebih adanya pemberontakan G30S/PKI dan berbagai
masalah nasional lainnya di pandang perlu memasukan program pendidikan sebagai
propaganda dan penanaman nilai- nilai sosial budaya masyarakat, berbangsa dan
bernegara ke dalam kurikulum sekolah.
Oleh karenanya, dalam beberapa pertemuan ilmiah dibahas Istilah IPS (Ilmu
Pengetahuan Sosial) sebagai program pendidikan tingkat sekolah di Indonesia, dan
pertama kali muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di
Tawangmangu Solo Jawa Tengah. Dalam laporan seminar tersebut, muncul 3 istilah dan
digunakan secara bertukar pakai, yaitu:
1. Pengetahuan Sosial
2. Studi Sosial
3. Ilmu Pengetahuan Sosial
Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dunia persekolahan di Indonesia pada
tahun 1972-1973 yang diujicobakan dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah
Pembangunan (PSSP) IKIP Bandung. Kemudian secara resmi dalam kurikulum 1975
program pendidikan tentang masalah sosial dipandang tidak cukup diajarkan melalui
pelajaran sejarah dan geografi saja, maka dilakukan reduksi mata pelajaran di tingkat
SD-SMA untuk beberapa mata pelajaran ilmu sosial yang serumpun digabung ke dalam
mata pelajaran IPS. Oleh karena itu, pemberlakuan istilah IPS (social studies) dalam
kurikulum 1975 tersebut, dapat dikatakan sebagai kelahiran IPS secara resmi di
Indonesia.
Sejak pemerintahan Orde Baru keadaan tenang pemerintah melancarkan Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti
Nasional di bidang pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam bidang
pendidikan. Kelima masalah tersebut antara lain:
1. Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
2. Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan
3. Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan
pembangunan.
4. Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
5. Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi
kepentingan pembangunan nasional.

Oleh karena itu, upaya pembangunan sektor pendidikan oleh pemerintah menjadi
prioritas. Program pembangunan pendidikan bidang sosial semakin ditingkatkan untuk
mengatasi dan menanamkan kewarganegaraan serta cinta tanah air Indonesia. Upaya
memasukan materi ilmu-ilmu sosial dan humaniora ke dalam kurikulum sekolah di
Indonesia disajikan dalam mata pelajaran dan bidang studi/jurusan Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS) secara resmi pada kurikulum 1975. Kurikulum ini merupakan perwujudan
dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen,
bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia
Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan
jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada
kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang
sehat dan kuat. Kurikulum pendidikan 1975 menggunakan pendekatan-pendekatan di
antaranya sebagai berikut :
1. Berorientasi pada tujuan
2. Menganut pendekatan integratif
3. Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.
4. Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI).
5. Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon
dan latihan.
Konsep pendidikan IPS tersebut lalu memberi inspirasi terhadap kurikulum 1975
yang menampilkan empat profil, yaitu:
 Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Kewargaan Negara sebagai bentuk
pendidikan IPS khusus.
 Pendidikan IPS terpadu untuk SD
 Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai
konsep peyung untuk sejarah, geografi dan ekonomi koperasi.
 Pendidikan IPS terisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, ekonomi
dan geografi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG, dan IPS
(ekonomi dan sejarah) untuk SMEA /SMK.

Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap dipertahankan dalam Kurikulum 1984 yang
secara konseptual merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975 khususnya dalam
aktualisasi materi, seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4) sebagai materi pokok PMP. DalamKurikulum 1984, PPKn merupakan mata
pelajaran sosial khusus yang wajib diikuti semua siswa di SD, SMP dan SMU.
Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan dalam:
1. Pendidikan IPS terpadu di SD kelas I-VI
2. Pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup geografi, sejarah dan
ekonomi koperasi.
3. Pendidikan IPS terpisah di SMU yang meliputi Sejarah Nasional dan Sejarah
Umum di kelas.
I-II: Ekonomi dan Geografi di kelas I-II, Sejarah Budaya di kelas III program IPS.
Dimensi konseptual mengenai pendidikan IPS telah berulang kali dibahas dalam
rangkaian pertemuan ilmiah, yakni pertemuan HISPISI (Himpunan Sarjana Pendidikan
Ilmu Sosial) pertama di Bandung tahun 1989, Forum Komunikasi Pimpinan HIPS di
Yogyakarta tahun 1991, di Padang tahun 1992, di Ujung Pandang tahun 1993, Konvensi
Pendidikan kedua di Medan tahun 1992. Salah satu materi yang selalu menjadi agenda
pembahasan ialah mengenai konsep PIPS. Dalam pertemuan Ujung Pandang, M. Numan
Soemantri, pakar dan ketua HISPISI menegaskan adanya dua versi PIPS sebagaimana
dirumuskan dalam pertemuan di Yogyakarta, yaitu:

a) Versi PIPS untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. PIPS adalah


penyederhanaan, adaptasi dari disiplin Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora, serta
kegiatan dasar manusia yang duorganisir dan disajikan secara ilmiah dan
pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan.
b) Versi PIPS untuk Jurusan Pendidikan IPS-IKIP. PIPS adalah seleksi dari
disiplin Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang
diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan.
PIPS untuk tingkat perguruan tinggi pendidikan Guru IPS (eks IKIP, FKIP, STKIP),
direkonseptualisasikan sebagai pendidikan disiplin ilmu, sehingga menjadi Pendidikan
Disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial, seperti pendidikan Geografi, Pendidikan Ekonomi,
Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan sosiologi, Pendidikan Sejarah dsb).

Bentuk keseriusan ahli pendidikan dan ahli ilmu-ilmu sosial khususnya mereka yang
memiliki komitmen terhadap social studies atau pendidikan IPS sebagai program
pendidikan di tingkat sekolah, maka mereka berusaha untuk memasukkan ilmu-ilmu
sosial ke dalam kurikulum sekolah lebih jelas lagi. Namun karena tidak mungkin semua
disiplin ilmu sosial diajarkan di tingkat sekolah, maka kurikulum ilmu sosial itu disajikan
secara terintegrasi atau interdisipliner ke dalam kurikulum IPS (social studies). Jadi
untuk program pendidikan ilmu- ilmu sosial di tingkat pendidikan dasar dan menengah
harus sudah mulai di ajarkan.

Program pendidikan dasar di SD dan SMP penyajiannya secara terpadu penuh,


sementara itu untuk pembelajaran IPS di tingkat SMA/MA dan SMEA penyajiannya bisa
dilakukan secara terpisah antar cabang ilmu-ilmu sosial, tetapi tetap memperhatikan
keterhubungannya antara ilmu sosial yang satu dengan ilmu sosial lainnya, terutama
dalam rumpun jurusan IPS di SMA dan juga di SMEA. Sementara itu, pada tingkat
perguruan tinggi pendidikan ilmu-ilmu sosial disajikan secara terpisah atau fakultatif,
seperti FE, FH, FISIP dsb. Namun untuk pendidikan IPS di FKIP/IKIP/STKIP yang
mempersiapkan calon guru atau mendidik calon guru di tingkat sekolah, maka
pendidikan IPS di berikan secara interdisipliner dan juga secara disipliner. Secara
interdisipliner karena ilmu yang diperoleh nantinya untuk program pembelajaran untuk
usia anak sekolah, dan secara disipliner karena sebagai guru juga harus menguasai ilmu
yang diajarkan.

Kurikulum 1994 dilaksanakan secara bertahap mulai ajaran 1994-1995 merupakan


pembenahan atas pelaksanaan kurikulum 1984 setelah memperhatikan tuntutan
perkembangan dan keadaan masyarakat saat itu, khususnya yang menyangkut
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni, kebutuhan pembangunan dan
gencarnya arus globalisasi, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum 1984 itu sendiri. Upaya
pembaharuan kurikulum pendidikan nampak saat diadakannya serangkaian Rapat Kerja
Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dari tahun 1986 sampai 1989.
Pembenahan kurikulum ini juga didorong oleh amanat GBHN 1988 yang intinya:

 Perlunya diteruskan upaya peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenis dan


jenjang pendidikan
 Perlunya persiapan perluasan wajib belajar pendidikan dasar dari enam tahun
menjadi sembilan tahun
 Perlunya segera dilahirkan undang-undang yang mengatur tentang Sistem
Pendidikan Nasional.

Pada tahun 2004, pemerintah melakukan perubahan kurikulum kembali yang dikenal
dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS
diusulkan menjadi Pengetahuan Sosial untuk merespon secara positif berbagai
perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal ini dilakukan untuk
meningkatkan relevansi program pembelajaran Pengetahuan Sosial dengan keadaan dan
kebutuhan setempat. Di samping itu, khusus dalam kurikulum SD, IPS pernah diusulkan
digabung dengan Pendidikan kewarganegaraan yaitu menjadi pendidikan
kewrganegaraan dan pengetahuan sosial (PKnPS), namun akhirnya kurikulum
disempurnakan ke dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) tahun 2006,
antara IPS dan PKn dipisahkan kembali.

Hal ini memperhatikan berbagai masukan dan kritik ahli pendidikan serta kepentingan
pendidikan nasional dan politik bangsa yaitu perlunya pendidikan kewarganegaraan
bangsa, maka antara IPS dan PKn meskipun tujuan dan kajiannya adalah sama yaitu
membentuk warganegara yang baik, maka PKn tetap diajarkan sebagai mata pelajaran di
sekolah secara terpisah dengan IPS.
KESIMPULAN

Ide IPS pertama kali muncul di Amerika Serikat yang adopsi dari nama sebuah lembaga yang
bernama committe of social studies. Latar belakang Lahirnya IPS dapat ditinjau dari dua
aspek, yaitu aspek sosiologis dan aspek pedagogis. Aspek sosiologis dilatarbelakangi oleh
kondisi sosial masyarakat yang mengalami ketidakstabilan, bahkan kekacauan. Hal ini
nampak pada pola interaksi antar lapisan masyarakat yang tidak harmonis, yang digambarkan
dengan kehidupan kaum buruh dengan sesama buruh dan antara kaum buruh dengan majikan
yang mempekerjakan mereka dalam masyarakat Inggris sebagai dampak dari revolusi
industri.

Berbeda dari aspek sosiologis, aspek pedagogik lebih menekankan upaya mengatasi
pembelajaran ilmu sosial yang belum menyentuh kehidupan riil peserta didik karena sifat
ilmiah yang dimiliki oleh ilmu tersebut. Latar belakang sosiologis dan pedagogis tersebut
kemudian melahirkan tiga tradisi pembelajaran IPS, yang masing-masing dengan urgensi
yang berbeda. Ketiganya adalah

1) pembelajaran IPS sebagai transmisi kewarganegaraan,

2) pembelajaran IPS sebagai ilmu sosial,

3) pembelajaran IPS sebagai inkuiri yang reflektif.


DAFTAR PUSTAKA

Bassuqy, T. (2013). Makalah konsep dasar ips sejarah. blogspot.com, 04.


Dauf, M. (2013). Sejarah IPS di dunia. blogspot.com, 10.
Hamzah, A. (2021). Sejarah Perkembangan IPS. Academia.edu.
Log.fisit. (2012). Blogspot.com. Perkembangan pendidikan ilmu, 7.

Anda mungkin juga menyukai