Analisis Putusan Arbitrase Mahkamah Agung
Analisis Putusan Arbitrase Mahkamah Agung
Analisis Putusan Arbitrase Mahkamah Agung
321.K/PDT/2017
Oleh:
Zeira Nabilla
110620190002
Dosen:
Prof. Huala Adolf, S.H.,LL.M.,Ph.D.
Prita Amalia, S.H.,M.H.
MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2020
A. KASUS I (PUTUSAN NOMOR 808 K/PDT.SUS/2011)
1. Fakta Hukum
Penggugat:
Melawan
Tergugat:
Emirates.
2. Permasalahan Hukum
SIAC Tahun 2010 yang telah didaftarkan di PN Jakarta Pusat, dalam hal ini
1
menolak untuk melaksanakan eksekusi tersebut sehingga pemohon kasasi yang
huruf d yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan Arbitrase
No. 062 of 2008 (ARB062/08/JL) tersebut melebihi kewenangan yang sudah ditetapkan
yaitu telah menginterfensi pelaksanaan proses peradilan di Indonesia yang telah berjalan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (sesuai tertib hukum), maka
telah terlebih dahulu mendaftarkan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) pada
Pendaftaran Sengketa Arbitrase SIAC dan seluruh putusan yang dihasilkan dari
SIAC Tahun 2009 dan Putusan Arbitrase Internasional SIAC Tahun 2010), dianggap
2
proses pemeriksaan dan putusan atas perkara di pengadilan Indonesia, maka eksekusinya
pada fakta-fakta bahwa majelis hakim pada PN Jakarta Pusat telah salah
September 2008 adalah PT. Ayunda Prima Mitra (salah satu pemegang saham
pada PT. Direct Vision) sehingga terjadi silang sengketa di antara perusahaan-
perusahaan tersebut.
Terbanding berargumen bahwa Putusan SIAC Tahun 2009 telah melanggar tertib
Indonesia”, hal ini sejalan dengan pertimbangan Putusan PN Jakarta Pusat yang
Peraturan SIAC No. 062 of 2008 (ARB062/08/JL), tersebut diatas adalah melebihi
yang berlaku (sesuai tertib hukum), maka Putusan Arbitrase Internasional dimaksud tidak
dapat dijalankan (Non Eksekutorial);” Pertimbangan tersebut diatas lebih lanjut lagi
dikuatkan dalam Putusan MARI No. 01/2010, di mana Majelis Hakimnya dipimpin
3
langsung oleh Yang Mulia Dr. Harifin A. Tumpa (Ketua Mahkamah Agung RI), yang telah
penolakan pemberian eksekuatur oleh Judex Facti adalah sudah benar dan tepat karena:
Indonesia, adalah melanggar asas Souvereignity dari Negara Republik Indonesia tidak ada
sesuatu kekuatan asing pun yang dapat mencampuri proses hukum yang sedang berjalan
di Indonesia. Hal ini jelas melanggar ketertiban umum (public order) di Indonesia.”
4. Putusan Hakim
permohonan banding dari Pemohon Banding PT. Direct Vision tersebut. Menurut
Tergugat telah mengadakan perjanjian kerjasama usaha (joint venture agreement) dan
dalam perjanjian itu para pihak juga telah mengadakan perjanjian penyelesaian
usaha jelas telah bertentangan dengan perjanjian arbitrase. Sebab perjanjian arbitrase
adalah pilihan para pihak dalam perkara a quo dan menempuh pengadilan daripada
arbitrase yang telah disepakati berarti pula pelanggaran perjanjian. Baik hukum Indonesia
(Pasal 1338 KUH Perdata) menegaskan tiap perjanjian berlaku bagai undang-undang bagi
4
pembuatnya maupun hukum internasional mengenal pula adagium “pacta sunt servanda”
Kasasi/Penggugat telah digugat oleh Para Termohon Kasasi/Para Tergugat dalam forum
SIAC. SIAC telah menerbitkan putusan atas perselisihan para pihak dan Pemohon
5. Analisis
Internasional diatur dalam UUA dan APS, serta dalam Konvensi New York 1958. Masing-
tetapi teknisnya berbeda. Norma di dalam UUA dan APS mengatur penolakan ditujukan di
pengadilan di negara yang termohon tereksekusi yaitu di Indonesia. Konvensi New York
1958 bukan saja mengatur masalah penolakan ditujukan di negara termohon tereksekusi,
tetapi juga mengatur tentang pembatalan Putusan Arbitrase Internasional hanya boleh
diajukan di negara di mana putusan itu dijatuhkan bukan di negara termohon tereksekusi.
Arbitrase Internasional yang diajukan oleh PT. Direct Vision dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 808 K/Pdt.Sus/2011 tidak memberikan kepastian hukum bagi PT. Direct
Vision sebab dinyatakan harus menunggu adanya penetapan eksekusi dari Ketua PN
Jaksel atas perkara gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh PT. Ayunda
5
Akibat hukum penolakan majelis hakim terhadap eksekusi Putusan Arbitrase
mengakibatkan putusan tersebut menjadi non eksekutorial, dan masih ada kesempatan
bagi PT. Direct Vision untuk membela kepentingan hukumnya setelah Perkara Perdata
menjadi tidak efektif dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pihak dalam
Tahun 2010. Sebab UUA dan APS tidak mengatur batas waktu sampai kapan pendafataran
1. Fakta Hukum
Penggugat:
oleh direksi:
1. M. Budi Rustanto
2. Handhianto Suryokentjono
Melawan:
Tergugat:
2. Permasalahan Hukum
6
Terhadap putusan Badan Arbitrase Nasional/Internasional Nomor 6722/ CYK
Penggugat).
Adapun yang menjadi pokok persengketaan di dalam perkara No. 16772 di ICC
tersebut adalah mengenai pelaksanaan Put and Call Option Agreement (untuk
selanjutnya disebut "Perjanjian Opsi 9 Juni 2006") yang secara lebih terperinci
a. Penggugat wajib membeli saham PT. Mobile 8 milik Tergugat dengan harga
exercise), maka Tergugat harus menjual saham PT. Mobile 8 milik mereka
7
Pemohon pembatalan putusan arbitrase (tergugat) berargumen berdasarkan
ketentuan Article V ayat 2 New York Convention, suatu putusan Arbitrase tidak dapat
competent authority in the country where recognition and enforcement is sough finds
that: a The subject matter of the difference is not capable of settlement by arbitration
under the law of that country; or ; b The recognition or enforcement of the award
Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Rl No. 1 tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing adalah sendi-sendi asasi dari seluruh sistem
hukum dan masyarakat di Indonesia. Dalam Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata, salah
yang halal. Pasal 1337 KUHPerdata menjelaskan bahwa suatu sebab adalah terlarang
jika sebab itu dilarang oleh Undang-Undang atau bila sebab itu bertentangan dengan
kesusilaan atau dengan ketertiban umum. Hal tersebut membuktikan bahwa sistem
hukum dan masyarakat di Indonesia melarang adanya kausa/sebab yang tidak halal
Penggugat juga berpendapay bahwa perjanjian Opsi 9 Juni 2006 yang merupakan
obyek sengketa di dalam perkara ICC No. 16772 tersebut juga dibuat dengan
jumlah besar yang tidak wajar dalam hal Tergugat melakukan notice to put exercise
8
sebagaimana dijelaskan di atas. Penyelundupan hukum tersebut dilakukan dengan
cara membuat Perjanjian Opsi yang dari awal sudah direncanakan untuk dieksploitasi
9 Juni 2006 Tergugat telah mengetahui bahwa PT. Mobile 8 akan mengadakan
Penawaran Umum Perdana (intial public offering). Adapun pada akhirnya PT. Mobile 8
meenurut huruf (e) Pasal V Konvensi New York Tahun 1958 berbunyi sebagai berikut:
"1. Recognition and enforcement of the award may be refused, at the request of the
party against whom it revoked, only if the party furnishes to the competent authority
where the recognition and enforcement is sought, proof that: (e) the award has not yet
become binding on the parties, or has been set aside or suspended by competent
authority of the country in which, or under the law, that award was made";
Terjemahannya: "1. Pengakuan dan pelaksanaan putusan Arbitrase dapat ditolak, atas
permintaan dari pihak terhadap siapa itu dipanggil, hanya jika pihak menyediakan
membuktikan bahwa: (e) putusan belum mengikat para pihak, atau telah
dikesampingkan atau ditangguhkan oleh pejabat yang berwenang dari Negara dimana,
atau berdasarkan hukum dimana putusan itu dibuat", sehingga menegaskan bahwa
berdasarkan hukum yang berlaku di wilayah hukum Negara Republik Indonesia, suatu
9
lembaga peradilan di Indonesia. Oleh sebab itu Putusan Arbitrase No. 16772/CYK tidak
Ketentuan Pasal 70 s/d Pasal 72 UU No. 30/1999 tidak dapat dipergunakan sebagai
Negara lain sehingga berlaku hukum Arbitrase Negara yang bersangkutan (lex loci
arbitri), sehingga tidak dapat dinilai dan dibatalkan berdasarkan hukum Indonesia (UU
terbatas di wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Dengan perkataan lain hukum
Indonesia, termasuk UU No. 30/1999, tidak dapat diberlakukan di wilayah Negara lain,
4. Putusan Hakim
Pada kasus ini majelis hakim menerima p ermohonan dari Pemohon: PT.
2012 karena dianggap telah tepat dan benar dengan alasan bahwa terhadap Putusan
5. Analisis
10
Dalam membuat sebuah kontrak internasional, Menurut teori Lex Loci
dilaksanakan, kemudian terdapat teori Lex Situs yaitu apabila obyek gugatan
benda tidak bergerak maka jika terjadi sengketa maka gugatan diajukan
dapat mempunyai hak milik”, dengan demikian warga negara asing atau badan
usaha asing tidak mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia. namun warga
negara asing dapat memiliki tanah di Indonesia dengan Hak Guna Usaha (HGU),
Hak guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP) dan Hak sewa Untuk Bangunan.
Kesemua hak yang diberikan kepada warga negara asing oleh pemerintah
dinyatakan sudah cukup untuk memberikan peran kepada warga negara asing
mencederai dari asas nasionalitas dan asas kebangsaan yang dianut dalam
UUPA. Hal ini secara garis besar telah diatur dalam Pasal 41 & Pasal 42 Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA) dan diatur lebih lanjut dalam PP No. 40 tahun
1996 tentang Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak
Pakai (HP) atas tanah. Akan tetapi, layaknya sebuah produk hukum bahwa
11
tidak ada yang sempurna, ada saja celah bagi warga Negara asing untuk dapat
dapat mempunyai hak milik atas tanah tersebut, hal itu tidak menghalangi
rencana usaha yang akan dijalankan oleh para penggugat untuk berinvestasi di
Bali dengan adanya pembelian tanah dimaksud, sehingga tergugat tetap dapat
C. KESIMPULAN
Pada kasus I dan kasus II terdapat kesamaan yaitu keduanya memiliki objek
gugatan yang sama, yaitu tanah yang berada di wilayah Republik Indonesia,
Pada dasarnya, ketika berbicara tentang tanah sebagai objek sengketa dari
suatu kontrak internasional, Pasal 21 ayat 1 undang undang nomor 5 tahun 1960
Indonesia dapat mempunyai hak milik”, dengan demikian warga negara asing atau
badan usaha asing tidak mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia. namun
warga negara asing dapat memiliki tanah di Indonesia dengan Hak Guna Usaha
(HGU), Hak guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP) dan Hak sewa Untuk Bangunan.
12
Kesemua hak yang diberikan kepada warga negara asing oleh pemerintah
dinyatakan sudah cukup untuk memberikan peran kepada warga negara asing
tergugat di kedua kasus yang telah dipaparkan adalah termasuk dalam perjanjian
yang tidak diatur di dalam KUHPerdata. Perjanjian ini tidak dilarang dalam
berdasarkan kesepakatan di antara para pihak, kesepakatan para pihak inilah yang
kemudian melahirkan hubungan terikatnya para pihak terhadap isi dari perjanjian
itu sendiri sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata bahwa perjanjian berlaku
pada Kasus I, perlu dicermati bahwa hak milik atas tanah yang menjadi objek
sengketa adalah atas nama seorang WNI meskipun ia hanya dipinjam namanya
13