LP HD Dan CKD AZIZ
LP HD Dan CKD AZIZ
LP HD Dan CKD AZIZ
Disusun Oleh :
Nama : MIFTAKHUL AZIZ
NIM : 24.21.15.58
Kelompok III
2. Etiologi
a. Gagal Ginjal Akut Pre Renal (Azotemia Pre Renal) Pada hipoperfusi
ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta
berlangsung dalam jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi
tersebut akan terganggu dimana arteriol afferent mengalami
vasokonstriksi, terjadi kontraksi mesangial dan penigkatan reabsorbsi
natrium dan air. Keadaan ini disebut prerenal atau gagal ginjal akut
fungsional dimana belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal. 10
Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis
intrarenal menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi
oleh berbagai macam obat seperti ACEI, NSAID terutama pada pasien
– pasien berusia di atas 60 tahun dengan kadar serum kreatinin 2 mg/dL
sehingga dapat terjadi GGA pre-renal. Proses ini lebih mudah terjadi
pada kondisi hiponatremi, hipotensi, penggunaan diuretic, sirosis hati
dan gagal jantung. Perlu diingat bahwa pada pasien usia lanjut dapat
timbul keadaan – keadaan yang merupakan resiko GGA pre-renal
seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit renovaskuler),
penyakit ginjal polikistik, dan nefrosklerosis intrarenal. Sebuah
penelitian terhadap tikus yaitu gagal ginjal ginjal akut prerenal akan
terjadi 24 jam setelah ditutupnya arteri renalis.
b. Gagal Ginjal Akut Intra Renal (azotemia Intrinsik Renal) Gagal ginjal
akut intra renal merupakan komplikasi dari beberapa penyakit parenkim
ginjal. Berdasarkan lokasi primer kerusakan tubulus penyebab gagal
ginjal akut inta renal, yaitu :
1. Pembuluh darah besar ginjal
2. Glomerulus ginjal
3. Tubulus ginjal : nekrosi tubular akut
4. Interstitial ginjal Gagal ginjal akut intra renal yang sering terjadi
adalah nekrosi tubular akut disebabkan oleh keadaan iskemia dan
nefrotoksin. Pada gagal ginjal renal terjadi 13 kelainan vaskular
yang sering menyebabkan nekrosis tubular akut. Dimana pada
NTA terjadi kelainan vascular dan tubular. Pada kelainan vaskuler
terjadi:
peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriol afferent glomerolus
yang menyebabkan sensitifitas terhadap substansi-substansi
vasokonstriktor dan gangguan otoregulasi.
terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan
kerusakan sel endotel vaskular ginjal, yang mengakibatkan
peningkatan A-II dan ET-1 serta penurunan prostaglandin dan
ketersediaan nitric oxide yang berasal dari endotelial NO-
sintase.
peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor
dan interleukin-18, yang selanjutnya akan meningkatkan
ekspresi dari intraseluler adhesion molecule-1 dan P-selectin
dari sel endotel, sehingga peningkatan perlekatan sel radang
terutama sel netrofil. Keadaan ini akan menyebabkan
peningkatan radikal bebas oksigen. Kesuluruhan proses di atas
secara bersama-sama menyebabkan vasokonstriksi intrarenal
yang akan menyebabkan penurunan GFR. Salah satu Penyebab
tersering AKI intrinsik lainnya adalah sepsis, iskemik dan
nefrotoksik baik endogenous dan eksogenous dengan dasar
patofisiologinya yaitu peradangan, apoptosis dan perubahan
perfusi regional yang dapat menyebabkan nekrosis tubular akut
(NTA). Penyebab lain yang lebih jarang ditemui dan bisa
dikonsep secara anatomi tergantung bagian major dari
kerusakan parenkim renal : glomerulus, tubulointerstitium, dan
pembuluh darah.
c. Gagal Ginjal Akut Post Renal Gagal ginjal post-renal, GGA post-renal
merupakan 10% dari keseluruhan GGA. GGA post-renal disebabkan
oleh obstruksi intra-renal dan ekstrarenal. Obstruksi intrarenal terjadi
karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan protein
( mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi pada
pelvis ureter oleh obstruksi intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla) dan
ekstrinsik ( keganasan pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta
pada kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi/ keganasan prostate) dan
uretra (striktura). GGA postrenal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada
uretra, buli – buli dan ureter bilateral, atau obstruksi pada ureter
unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi. Pada fase awal dari
obstruksi total ureter yang akut terjadi peningkatan aliran darah ginjal
dan peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana hal ini disebabkan oleh
prostaglandin-E2. Pada fase ke-2, setelah 1,5-2 jam, terjadi penurunan
aliran darah ginjal dibawah normal akibat pengaruh tromboxane-A2 dan
A-II. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam mulai
menetap. Fase ke-3 atau fase kronik, ditandai oleh aliran ginjal yang
makin menurun dan penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam
beberapa minggu. Aliran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari
normal dan setelah 2 minggu tinggal 20% dari normal. Pada fase ini
mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan faktor - faktor
pertumbuhan yang menyebabkan fibrosis interstisial ginjal.
4. Manifestasi Klinis
a. Kelainan hemopoesis, dimanifestasikan dengan anemia
1) Retensi toksik uremia → hemolisis sel eritrosit, ulserasi mukosa sal.cerna,
gangguan pembekuan, masa hidup eritrosit memendek, bilirubuin serum
meningkat/normal, uji comb’s negative dan jumlah retikulosit normal.
2) Defisiensi hormone eritropoetin
Ginjal sumber ESF (Eritropoetic Stimulating Factor) → def. H eritropoetin
→ Depresi sumsum tulang → sumsum tulang tidak mampu bereaksi
terhadap proses hemolisis/perdarahan → anemia normokrom normositer.
b. Kelainan Saluran Cerna
1) Mual, muntah, hicthcup
dikompensasi oleh flora normal usus → ammonia (NH3) →
iritasi/rangsang mukosa lambung dan usus.
2) Stomatitis uremia Mukosa kering, lesi ulserasi luas, karena sekresi cairan
saliva banyak mengandung urea dan kurang menjaga kebersihan mulut.
3) Pankreatitis
Berhubungan dengan gangguan ekskresi enzim amylase.
c. Kelainan mata
d. Kardiovaskuler :
1) Hipertensi
2) Pitting edema
3) Edema periorbital
4) Pembesaran vena leher
5) Friction Rub Pericardial
e. Kelainan kulit
1) Gatal
Terutama pada klien dgn dialisis rutin karena:
a. Toksik uremia yang kurang terdialisis
b. Peningkatan kadar kalium phosphor
c. Alergi bahan-bahan dalam proses HD
2) Kering bersisik Karena ureum meningkat menimbulkan
a. penimbunan kristal urea di bawah kulit.
3) Kulit mudah memar
4) Kulit kering dan bersisik
5) Rambut tipis dan kasar
f. Neuropsikiatri
g. Kelainan selaput serosa
h. Neurologi :
1) Kelemahan dan keletihan
2) Konfusi
3) Disorientasi
4) Kejang
5) Kelemahan pada tungkai
6) Rasa panas pada telapak kaki
7) Perubahan Perilaku
i. Kardiomegali.
Tanpa memandang penyebabnya terdapat rangkaian perubahan fungsi ginjal
yang serupa yang disebabkan oleh destruksi nefron progresif. Rangkaian
perubahan tersebut biasanya menimbulkan efek berikut pada pasien : bila GFR
menurun 5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien
menderita apa yang disebut Sindrom Uremik
5. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron
utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang
meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya
saring.Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari
nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada
yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus.
Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri
timbul disertai retensi produk sisa.Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada
pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila
kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%.Pada tingkat ini fungsi renal yang
demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah
itu.Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah.Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah,
akan semakin berat.
6. Penatalaksana
Menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan mencegah komplikasi
merupaka tujuan dari penatalaksanaan pasien CKD (Muttaqin& Sari,2011).
Menurut Suharyanto dan Madjid (2009) pengobatan pasien CKD dapat
dilakukan dengan tindakan konservatif dan dialisis atau transplatansi ginjal.
a. Tindakan konservatif
Tindakan konservatif merupakan tindakan yang bertujuan untuk
meredakan atau memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif.
1) Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan.
Intervensi diet perlu pada gangguan fungsi renal dan mencakup
pengaturan yang cermat terhadap masukan protein, masukan cairan
untuk mengganti cairan yang hilang, masukan natrium untuk mengganti
natrium yang hilang dan pembatasan kalium (Smeltzer & Bare, 2015).
a) Pembatasan protein
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga
mengurangi asupan kalium dan fosfat, serta mengurangi produksi ion
hydrogen yang berasal dari protein. Brunner dan Suddart (2016),
menjelaskan protein yang diperbolehkan harus mengandung nilai
biologis yang tinggi (produk susu, keju, telur, daging).
b) Diet rendah kalium
Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal
lanjut. Asupan kalium dikurangi. Diet yang dianjurkan adalah 40-
80 mEq/hari. Penggunanaan makanan dan obat-obatan yang tinggi
kadar kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia.
c) Diet rendah natrium
Diet natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g Na).
Asupan natrium yang terlalu longgar dapat mengakibatkan retensi
cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung
kongestif.
d) Pengaturan cairan
Cairan yang diminimum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus di
awasi dengan seksama. Parameter yang terdapat untuk diikuti selain
data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat adalah
pengukuran Berat badan harian.
Aturan yang dipakai untuk menentukan banyaknya asupan cairan adalah :
Misalnya : Jika jumlah urin yang dikeluarkan dalam waktu 24 jam adalah
400 ml, maka asupan cairan total dalam sehari adalah 400 + 500 ml = 900
ml.
g) Pemeriksaan Fisik
1) Keluhan umum dan tanda-tanda vital
Keadaan umum pasien lemah dan terlihat sakit berat. Tingkat
kesadaran menurun sesuai dengan tingkat uremia dimana dapat
mempengaruhi system saraf pusat. Pada hasil pemeriksaan vital
sign, sering didapatkan adanya perubahan pernafasan yang
meningkat, suhu tubuh meningkat serta terjadi perubahan tekanan
darah dari hipertensi ringan hingga menjadi berat (Muttaqin &
Sari,2011).
2) Pengukuran antropometri: Penurunan berat badan karena
kekurangan nutrisi, atau terjadi peningkatan berat badan karena
kelebihan cairan.
3) Kepala
a) Mata : konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan
kabur, edema periorbital.
b) Rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar.
c) Hidung : biasanya ada pernapasan cuping hidung
d) Mulut : nafas berbau amonia, mual, muntah serta cegukan,
peradangan mukosa mulut.
4) Leher : terjadi pembesaran vena jugularis.
5) Dada dan toraks : penggunaan otot bantu pernafasan,
pernafasan dangkal dan kusmaul serta krekels, pneumonitis, edema
pulmoner, friction rub pericardial.
6) Abdomen : nyeri area pinggang, asites.
7) Genital : atropi testikuler, amenore.
8) Ekstremitas : Capitally revil time > 3 detik, kuku rapuh dan kusam
serta tipis, kelemahan pada tungkai, edema, akral dingin, kram
otot dan nyeri otot, nyeri kaki, dan mengalami keterbatasan gerak
sendi.
9) Kulit : ekimosis, kulit kering, bersisik, warna kulit abu-abu,
mengkilat atau hiperpigmentasi, gatal (pruritus), kuku tipis dan rapuh,
memar (purpura), edema.
h) Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
Menurut Muttaqin (2011) dan Rendi & Margareth (2012) hasil
pemeriksaan laboratoium pada pasien gagal ginjal kronik adalah :
a) Urine, biasanya kurang dari 400ml / 24 jam (oliguria) atau urine
tidak ada (anuria). Warna secara abnormal urine keruh mungkin
disebabkan pus, bakteri, lemak fosfat, dan urat sedimen kotor.
Kecoklatan menunjukkan adanya darah. Berat jenis urine kurang
dari 0,015 (metap pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal
berat). Protein, derajat tinggi proteinuria (3-4) secara kuat
menunjukkan kerusakan glomerulus.
b) Laju endap darah meninggi yang diperberat oleh adanya
anemia, dan hipoalbuminemia. Anemia normoster normokrom
dan jumlah retikulosit yang rendah.
c) Ureum dan kreatinin meninggi, biasanya perbandingan antara
ureum dan kreatinin kurang lebih 20:1. Perbandingan bisa
meninggi oleh karena perdarahan saluran cerna, demam,
luka bakar luas, pengobatan steroid dan obstruksi saluran kemih.
Perbadingan ini ber kurang ketika ureum lebih kecil dari
kreatinin, pada diet rendah protein dan tes Klirens Kreatinin yang
menurun.
d) Hiponatremi: umumnya karena kelebihan cairan.
Hiperkalemia: biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut
bersama dengan menurunnya diuresis.
e) Hipoklasemia dan hiperfosfatemia : terjadi karena berkurangnya
sintesis vitamin D3 pada pasien CKD.
f) Alkalin fosfat meninggi akibat gangguan metabolisme
tulang, terutama isoenzim fosfatase lindin tulang.
g) Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia, umumnya
disebabkan gangguan metabolisme dan diet rendah protein.
h) Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme
karbohidrat pada gagal ginjal (resistensi terhadap pengaruh insulin
pada jaringan perifer).
i) Hipertrigleserida, akibat gangguan metabolisme lemak,
disebabkan peninggian hormon insulin dan menurunnya
lipoprotein lipase.
j) Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi
menunjukkan Ph yang menurun, HCO3 yang menurun, PCO2
yang menurun, semua disebabkan retensi asam-asam organik pada
gagal ginjal.
2) Pemeriksaan Diagnostik lain
Pemeriksaan radiologis menurut Sudoyo,dkk (2009) dan
Muttaqin & Sari (2011) meliputi :
a) Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal
(adanya batu atau adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan
memperburuk keadaan ginjal, bisa tampak batu radio – opak,
oleh sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
b) Intra Vena Pielografi (IVP) untuk menilai sistem
pelviokalises dan ureter. Pemeriksaan ini mempunyai resiko
penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu, misalnya usia
lanjut, diabetes mellitus, dan nefropati asam urat. Pielografi
intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah
mengalami kerusakan.
c) Ultrasonografi (USG) untuk menilai besar dan bentuk ginjal,
tebal parenkim ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi system
pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
d) Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi
dari gangguan (vaskuler, parenkim, eksresi) serta sisa fungsi
ginjal.
e) Elektrokardiografi (EKG) untuk melihat kemungkinan: hipertropi
ventrikel kiri, tanda-tanda pericarditis, aritmia, gangguan elektrolit
(hiperkalemia).
2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan NANDA internasional 2015-2017 yang
mungkin muncul pada pasein CKD yaitu :
a. Ketida kefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan
mekanisme regulasi
c. Penuruan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontraktilitas
d. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan
dengan koagulopati (uremia)
e. Risiko cidera berhubungan dengan profil darah yang abnormal
(uremia)
f. Risiko ketidakefektifan perusi jaringan ginjal berhubungan dengan
hipoksia
g. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
berkurangnya suplai oksigen ke jaringan
h. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan mual dan muntah/anoreksia
i. Nyeri kronis berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
kronis
j. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidak seimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen
k. Risiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasiv berulang
l. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status
cairan.
3. Rencana Keperawatan.
Terapi oksigen
1. Berikan oksigen
sesuai kebutuhan
2. Monitor aliran
oksigen
3. Amati tanda-tanda
hipoventilasi
4. Monitor tanda-
tanda vital pasien.
5. Monitor indikasi
kelebihan cairan
(CVP, Edema,
distensi vena leher,
dan asites).
7. Berikan terapi IV
seperti yang
ditentukan
9. Berikan diuretic
yang diresepkan
Monitor cairan
1. Tentukan jumlah
dan jenis
intake/asupan cairan
serta kebiasaan
eliminasi
2. Monitor asupan
pengeluran
5. Monitor tekanan
darah, denyut
jantung dan
pernafasan
6. Berikan dialisis
dan catat respon
pasien
7. Monitor toleransi
aktivitas pasien
8. Monitor tanda-
tanda vital
9. Kolaborasi
pemberian obat
kortikosteroid:
prednison,
dexamethazon
4. Posisikan tinggi
4. Pola pernafasan
kepala tempat tidur
tidak terganggu
30 derajat atau lebih
5. Orientasi kognitif
5. Batasi cairan
tidak terganggu
6. Berikan diuretik
Setelah dilakukan
osmotik
asuhan keperawatan,
diharapkan ketidak 7. Pertahankan suhu
efektifan perfusi normal
jaringan serebral
8. Lakukan tindakan
teratasi.
pencegahan
Kriteria Hasil : terjadinya kejang.
6. Identifikasi adanya
abnormalitas rambut
(kering, tipis, kasar,
dan mudah patah,
rontok)
7. Monitor adanya
mual muntah
9. Monitor wajah
pucat, konjungtiva
anemis
Monitor tanda-tanda
vital
4. Ciptakan lingkungan
yang aman untuk
dapat melakukan
pergerakan otot
secara berkala sesuai
dengan indikasi
Manajemen Nyeri
1. Lakukan pengkajian
nyeri secara
komprehensif
2. Observasi adanya
petunjuk nonverbal
mengenai ketidak
nyamanan.
3. Demonstrasikan
tindakan penurun
nyeri
nonfarmakologi
dengan teknik nafas
dalam
5. Gunakan
pengontrolan nyeri
sebelum nyeri
bertambah berat
6. Pastikan pemberian
analgesik dan atau
strategi
nonfarmakologis
sebelum dilakukan
prosedur yang
menimbulkan nyeri
7. Dukung
istirahat/tidur yang
adekuat untuk
membantu
penurunan nyeri
8. Berikan informasi
yang akurat untuk
meningkatkan
pengetahuan dan
respon keluarga
terhadap pengalaman
nyeri
9. Monitor kepuasan
pasien terhadap
manajemen nyeri
dalam interval yang
spesifik
5. Gunakan sabun
antimikrobia untuk
cuci tangan
6. Cuci tangan
setiap sebelum dan
sesudah tindakan
keperawatan
7. Pertahankan
lingkungan aseptik
selama
pemasangan alat
8. Tingktkan intake
nutrisi
5. Anjurkan pasien
untuk tidak
memakai pakaian
ketat
6. Anjurkan pasien
untuk memotong
kuku
7. Anjurkan pasien
mandi dengan air
hangat kuku
8. Anjurkan pasien
untuk
menggunakan
telapak tangan
ketika menggosok
area kulit yang luas
atau cubit kulit
dengan perlahan.
4. Implementasi Keperawatan
b. Diagnosis keperawatan.
5. Evaluasi Keperawatan
b. Diagnosa keperawatan.
c. Evaluasi keperawatan.
B. KONSEP TEORI HEMODIALYSIS
1. Definisi Hemodialysis
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan
cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu
melaksanakan proses tersebut atau suatu proses pembuatan zat terlarut dan
cairan dari darah melewati membrane semi permeable.Hemodialisa dan
dialisa peritoneal merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa.
Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari
plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau
tekanan tertentu (Mutaqin &Sari, 2018).
Hemodialisa merupakan dialysis yang dilakukan diluar tubuh. Darah
dikeluarkan dari tubuh, melalui sebuah kateter arteri, masuk ke dalam sebuah
mesin besar.Di dalam mesin tersebut terdapat dua ruang yang dipisahkan oleh
sebuah membrane semipermeabel. Darah dimasukkan ke salah satu ruang,
sedangkan ruangan yang lain diisi oleh cairan pen-dialisis, dan diantara
keduanya akan terjadi difusi. Darah dikembalikan ke tubuh melalui sebuah
pirau vena (Mutaqin &Sari, 2018).
Pada prinsipnya terapi hemodialisa adalah untuk menggantikan kerja
dari ginjal yaitu menyaring dan membuang sisa – sisa metabolisme dan
kelebihan cairan, membantu menyeimbangkan unsur kimiawi dalam tubuh
serta membantu menjaga tekanan darah.Hemodialisis tidak menyembuhkan
atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya
aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari
gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien.Pasien-pasien ini
harus menjalani terapi dialisis sepanjang hidupnya (biasanya 3 kali seminggu
selama paling sedikit 3 atau 4 jam per kali terapi) atau sampai mendapat
ginjal baru melalui operasi pencangkokan yang berhasil. Pasien memerlukan
terapi dialysis yang kronis kalau terapi ini diperlukan untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan mengendalikan gejala uremia.
2. Etiologi
Hemodialisa dilakukan kerena pasien menderita gagal ginjal akut dan
kronik akibat dari : azotemia, simtomatis berupa enselfalopati, perikarditis,
uremia, hiperkalemia berat, kelebihan cairan yang tidak responsive dengan
diuretic, asidosis yang tidak bisa diatasi, batu ginjal, dan sindrom hepatorenal.
Gagal ginjal kronis sering kali menjadi penyakit komplikasi dari penyakit
lainnya, sehingga merupakan penyakir sekunder. Prabowo &
Pranata (2014), penyebab gagal ginjal kronis diantaranya :
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis kronis merupakan penyakit yang berkembang lambat
dan ditandai dengan inflamasi glomeruli, yang mengakibatkan sklerosis,
parut, dan akhirnya gagal ginjal.
b. Infeksi kronis (pyelonefritis kronis, TBC)
c. Kelainan kongenital (polikistik ginjal, asidosis tubulus ginjal)
d. Penyakit vaskuler (nefrosklerosis benigna / maligna, stenosis arteria
renalis)
e. Proses obstruksi (kalkuli, nefrolithisis)
f. Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodosa, sklerosis
sistemik progresif)
g. Agen nefrotik (amino-glikosida)
h. Penyakit metabolik (diabetes, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis)
PRE HD
Penarikan cairanberlebih
Port the entry Faktor dan cepat ke dalam
mikroorganisme pembekuan dialiser
darah menurun
Hemolisis Reaksi pirogen
terjadi pada endogen
Resiko infeksi Penurunan Volume cairan dan
RBC Resiko pendaraha
elektrolit dalam tubuh
PK Anemia
Termostat suhu Klien mengalami PK: hipotensi
terganggu Hipotensi
Hipertermia
Meransang Pusat
Cerebral Otot mual dan muntah di
hipotalamus
Nausea
PK: PRURITUS
Sumber : SDKI DPP PPNI, 2016
4. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronis dikarenakan
gangguan yang bersifat sistemik. Ginjal sebagai organ koordinasi dalam
peran sirkulasi memiliki fungsi yang banyak sehingga kerusakan kronis
secara fisiologis ginjal akan mengakibatkan gangguan keseimbangan sirkulasi
dan vasomotor (Prabowo & Pranata, 2014). Menurut Long dalam Rendy &
Margareth (2012), tanda dan gejala GGK sebagai berikut :
a. Gejala dini : letargi, sakit kepala, kelelaham fisik dan mental, BB
berkurang, mudah tersinggung dan depresi.
b. Gejala lebih lanjut
Anoreksia, nausea, vomiting, nafas dangkal/sesak saat ada kegiatan
maupun tidak, edema disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi
mungkin juga sangat parah.
5. Patofisiologi
Ginjal adalah organ penting bagi hidup manusia yang mempunyai
fungsi utama untuk menyaring/membersihkan darah. Gangguan pada ginjal
bisa terjadi karena sebab primer ataupun sebab sekunder dari penyakit lain.
Gangguan pada ginjal dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal atau
kegagalan fungsi ginjal dalam menyaring/membersihkan darah. Penyebab
gagal ginjal dapat dibedakan menjadi gagal ginjal akut maupun gagal ginjal
kronik. Dialisis merupakan salah satu modalitas pada penanganan pasien
dengan gagal ginjal, namun tidak semua gagal ginjal memerlukan dialisis.
Dialisis sering tidak diperlukan pada pasien dengan gagal ginjal akut
yang tidak terkomplikasi, atau bisa juga dilakukan hanya untuk indikasi
tunggal seperti hiperkalemia. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan
sebelum melalui hemodialisis pada pasien gagal ginjal kronik terdiri dari
keadaan penyakit penyerta dan kebiasaan pasien. Waktu untuk terapi
ditentukan oleh kadar kimia serum dan gejala-gejala. Hemodialisis biasanya
dimulai ketika bersihan kreatin menurun dibawah 10 ml/mnt, yang biasanya
sebanding dengan kadar kreatinin serum 8-10 mge/dL namun demikian yang
lebih penting dari nilai laboratorium absolut adalah terdapatnya gejala-gejala
uremia.
6. Penata Laksana
Mengingat bahwa fungsi ginjal yang rusak sangat sulit untuk
dikembalikan, maka tujuan penatalaksanaan adalah untuk mengoptimalkan
fungsi ginjal yang ada dan mempertahankan keseimbangan secara maksimal
untuk memperpanjang harapan hidup klien. Sebagai penyakit yang kompleks,
gagal ginjal kronis membutuhkan penatalaksanaan terpadu dan serius
sehingga akan meminimalisir komplikasi dan meningkatkan harapan hidup
klien (prabowo & pranata, 2014). Menurut robinson (2013), beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan yaitu :
a. Perawatan kulit yang baik
Gunakan sabun yang mengandung lemak dan lotion tanpa alcohol untuk
mengurangi rasa gatal. Jangan gunakan gliserin/sabun yang mengandung
gliserin karena akan mengakibatkan kulit semakin kering.
b. Jaga kebersihan oral
Gunakan sikat gigi dengan bulu sikat yang lembut, kurangi konsumsi gula
untuk mengurangi rasa tidak nyaman di mulut.
c. Beri dukungan nutrisi
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menyediakan makanan dengan anjuran
diet tinggi kalori, rendah protein (20-40 gr/hari), rendah natrium dan
kalium. Menghilangkan gejala anoreksia dan nausea dari uremia,
menyebabkan penurunan uremia, dan perbaikan gejala. Hindari masukan
berlebih dari kalium dan garam.
d. Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam
Diusahakan hingga tekanan vena jugularis sedikit meningkat dan terdapat
edema betis ringan. Pengawasan dilakukan melalui berat badan, urine dan
pencatatan keseimbangan cairan
e. Pantau adanya hiperkalemia
Hiperkalemia ditunjukkan dengan adanya kejang/kram pada lengan dan
abdomen dan diarea, dan dapat dipantau melalui ECG. Hindari masukan
kalium yang besar (<60 mmol/hari). Hiperkalemia diatasi dengan dialisis.
f. Atasi hiperfosfatemia dan hipokalsemia
Kondisi ini dapat diatasi dengan pemberian antasida (kalsium karbonat)
g. Kaji status hidrasi dengan hati-hati
Periksa ada/tidaknya distensi vena jugularis dan crackles pada auskultasi
paru-paru. Pantau keringan berlebih pada aksila, lidah yang kering,
hipertensi dan edema perifer. Cairan hidrasi yang diperbolehkan adalah
500-600 ml atau lebih dari haluaran urine 24 jam.
h. Kontrol tekanan darah
Upayakan dalam kondisi normal, yang dapat dicegah dengan mengontrol
volume intravaskuler dan obat-obatan anti-hipertensi.
i. Pantau terjadinya komplikasi pada tulang dan sendi
j. Mencegah obstruksi jalan nafas
Latih klien nafas dalam dan batuk efektif untuk mencegah terjadinya
kegagalan nafas akibat obstruksi
k. Jaga kondisi septik dan aseptik setiap prosedur perawatan
l. Observasi tanda perdaraham
Pantau kadar hemoglobin dan hematokrit. Pemberian heparin selama
proses dialisis harus disesuaikan dengan kebutuhan.
m. Observasi adanya gejala neurologis
Laporkan segera jika dijumpai kedutan, sakit kepala, kesadaran delirium,
kejang otot. Berikan diazepam/fenitoin jika dijumpai kejang.
n. Atasi komplikasi dan penyakit
Sebagai penyakit yang sangat mudah menimbulkan komplikasi, maka
harus dipantau secara ketat. Gagal jantung kongestif dan edema pulmonal
dapat diatasi dengan membatasi cairan, diet rendah natrium, diuretik,
preparat inotropik (igitalis/dobutamin) dan lakukan dialisis jika perlu.
Kondisi asidosis metabolik dapat diatasi dengan pemberian nartrium
bikarbonat atau dialisis.
o. Laporkan segera jika mucul tanda-tanda perikarditis (friction rub & nyeri
dada)
p. Tata laksana dialisis/transplantasi ginjal
q. Transfusi darah
r. Obat-obatan
Diuretik untuk meningkatkan urinasi, alumunium hidroksida untuk terapi
hiperfosfatemia, anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta diberi obat
yang dapat menstimulasi produksi RBC seperti epoetin alfa bila terjadi
anemia, suplemen besi, agen pengikat fosfat, suplemen kalsium,
furosemid (membantu berkemih)
Arif Muttaqin dan Kumala Sari. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta : Selemba Medika
Retno, Dwy, 2014. ‘Efektivitas Training Efikasi Diri Pada Pasien Penyakit Ginjal
Kronik Dalam Meningkatkan Kepatuhan Terhadap Intake Cairan’. [Online]
Jurnal. Dari Jurnal. Media.Neliti.Com/Media/Publications/219966-None.Pdf
(26 Desember 2018)
Permana, Sari, 2012. ‘Asuhan Keperawatan Pada Ny.M Dengan Chronic Kidney
Disease Di Ruang Hemodialisa Rsud Dr. Moewardi Surakarta’. [Online]
Jurnal. Dari Jurnal. http://Eprints.Ums.Ac.Id/22368/10/Naskah_Pdf (29
Desember 2018)
Daugirdas, J.T., Blake, P.G., Ing, T.S. 2017. Handbook of Dialysis. 4th ed.
Phildelphia. Lipincott William & Wilkins.
Mansjoer, A dkk. 2017. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Mutaqin, Arif & Kumala Sari. (2018). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Suwitra, Ketut. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
IPD FKUI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Definisi dan Kriteria hasil Kepreawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
Timby, B. K., & Smith, N. E. (2010). Introductory Medical Surgical Nursing (10th
ed.).2010: Lippincott Williams & Wilkins.
Smeltzer, S. C., Hinkle, J. L., Bare, B. G., & Cheever, K. H. (2010). Brunner &
Suddarth’s textbook of medical-surgical nursing (12th ed.). Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.