Makalah Pemberantasan Anti Korupsi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PEMBERANTASAN ANTI KORUPSI

“DASAR HUKUM DAN LEMBAGA PEMBERANTASAN KORUPSI”

KELOMPOK I :
ELA NURHAYATI
HERMAN
KARTIKA AMELIA P
TANGGUH PANJI S

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ABDI NUSANTARA
JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum. Wr. Wb. Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan kasih saying-Nya kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan
makalah dengan tepat waktu , yang berjudul “ Dasar hukum dan lembaga pemberantasan
korupsi “ dibuat dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Pemberantasan Anti
Korupsi di semester satu. Terima kasih kami ucapkan kepada seluruh pihak yang telah
membantu proses pembuatan makalah ini baik secara moril maupun materil. Besar
harapan kami makalah ini bisa menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi kami dan
bagi siapapun yang membacanya. Terlepas dari semua itu , kami menyadari sepenuhnya
bahwa makalah yang kami buat ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kami
menerima segala kritik dan saran bagi pembaca.

Terima kasih Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bekasi , 13 Maret 2023


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................
BAB I..........................................................................................................................................................
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................
A. Latar Belakang.................................................................................................................................
BAB II.........................................................................................................................................................
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................
A. DASAR HUKUM............................................................................................................................
B. LEMBAGA PEMBERANTASAN KORUPSI................................................................................
BAB III......................................................................................................................................................
PENUTUP.................................................................................................................................................
A. KESIMPULAN.............................................................................................................................
B. SARAN.........................................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini masih menjadi salah satu
penyebab terpuruknya sistem perekonomian bangsa. Hal ini disebabkan karena korupsi di
Indonesia terjadi secara sistemik dan meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi
keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas. Untuk itu pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut harus dilakukan
dengan cara luar biasa dengan menggunakan cara -cara khusus.
Korupsi bukanlah suatu bentuk kejahatan baru dan bukan pula suatu kejahatan
yang hanya berkembang di Indonesia. Korupsi merupakan perbuatan anti sosial yang
dikenal di berbagai belahan dunia. Menurut Mochtar Lubis, korupsi akan selalu ada
dalam budaya masyarakat yang tidak memisahkan secara tajam antara hak milik pribadi
dan hak milik umum.
Bangsa Indonesia pada awalnya memiliki suatu harapan adanya perubahan
terhadap kondisi kehidupan bangsa, khususnya terhadap penyelesaian kasus-kasus
korupsi yang telah berlangsung. Namun kenyataannya, hingga detik ini wujud tindakan
pemberantasan korupsi belum terlihat hasilnya secara memuaskan. Bahkan, tindakan
korupsi terlihat makin menyebar tidak saja di kalangan Pusat tetapi telah sampai pula di
tingkat Daerah.
Perkembangan tindak pidana korupsi, makin meningkat baik dari sisi kuantitas
maupun dari sisi kualitas. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa
korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan
sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra – ordinary crimes).
Ketika korupsi telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra – ordinary
crimes), maka upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi
harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula. Namun, kenyataannya kinerja
kepolisian dan kejaksaan dalam menangani korupsi selama 5 (lima) tahun terakhir
cenderung memposisikan korupsi sebagai suatu kejahatan biasa yang akhirnya juga
ditangani dengan cara-cara biasa pula.
Berbagai peraturan perundang-undangan dan berbagai lembaga dibentuk oleh
Pemerintah dalam upaya menanggulangi korupsi. Seharusnya tindakan korupsi di
Indonesia jumlahnya berkurang, tetapi kenyataan yang ada justru tidak berubah, dan
bahkan makin menjadi- jadi.
Saat ini, masyarakat sudah demikian skeptis dan bersikap sinis terhadap setiap
usaha pemberantasan kasus-kasus korupsi yang dilakukan pemerintah. Kenyataan dalam
usaha pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa kegagalan
demi kegagalan lebih sering terjadi, terutama dalam mengadili koruptor kelas kakap
dibandingkan dengan koruptor kelas teri. Kegagalan tersebut menunjukkan bahwa
masyarakat pada strata rendah selalu menjadi korban dari ketidakadilan dalam setiap
tindakan hukum terhadap kasus korupsi.
Strategi penghukuman yang keras sangat diperlukan, karena korupsi bukan
merupakan penyimpangan perilaku (deviant behavior). Korupsi adalah tindakan yang
direncanakan penuh perhitungan untung rugi (benefit-cost ratio) oleh pelanggar hukum
yang memiliki status terhormat. Mereka tidak saja pandai menghindari jeratan hukum
dengan jalan memanfaatkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem hukum itu
sendiri. Pengerahan segenap kemampuan dan kewenangan diperhitungkan secermat
mungkin, sehingga orang lain hanya bisa merasakan aroma korupsi, namun tidak berdaya
bila harus membuktikan hal tersebut.
Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya merupakan
persoalan dan penegakan hukum semata, tetapi juga merupakan persoalan sosial dan
psikologi sosial yang sama-sama sangat parahnya dengan persoalan hukum, sehingga
masalah tersebut harus dibenahi secara simultan. Alasan mengapa korupsi dianggap
merupakan persoalan sosial karena korupsi telah mengakibatkan hilangnya pemerataan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Korupsi pun harus dianggap sebagai
persoalan psikologi sosial, karena korupsi merupakan penyakit sosial yang sulit
disembuhkan.
BAB II

PEMBAHASAN
A. DASAR HUKUM
Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptio atau corruptus yang berasal
dari kata corrumpere (Webster Student Dictionary : 1960).9 Arti harfiah dari kata
tersebut adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau
memfitnah.(The Lexicon Webster Dictionary 1978).
Tidak dapat dipungkiri bahwa korupsi di Indonesia sudah meluas dalam
masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah
kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas
tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki
seluruh aspek kehidupan masyarakat. Kerugian negara atas menjamurnya praktek korupsi
sudah tidak terhitung lagi. Soemitro Djojohadikusumo11, menyebutkan tingkat
kebocoran dana pembangunan pada 1989 – 1993 sebesar 30 persen, sedangkan menurut
hasil penelitian World Bank, kebocoran dana pembangunan mencapai 45%.
Upaya pemberantasan korupsi sebenarnya telah dilakukan baik pada masa Orde
Lama, Orde Baru hingga era Reformasi yang dimulai pada tahun 1998. Upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1950-an. Kejaksaan
Agung dibawah pimpinan Jaksa Agung Soeprapto sudah melakukan berbagai tindakan
pemberantasan korupsi yang berakhir dengan penuntutan terhadap beberapa orang
menteri.
Selanjutnya, karena kerasnya tuntutan masyarakat dalam memberantas korupsi,
kemudian timbulah gerakan pemberantasan korupsi yang dipimpin Kolonel Zulkifli
Lubis dan Kolonel Kawilarang, dan pada saat itu beberapa tokoh koruptor berhasil
ditangkap dan diadili seperti Lie Hok Thai dan Piet De Quelyu.
Berbagai peraturan perundang-undangan berkaitan dengan upaya pemberantasan
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dapat dicatat antara lain :
1. Peraturan pemberantasan korupsi yang pertama ialah Peraturan Penguasa Militer
tanggal 9 April 1957 Nomor : Prt/PM/06/1957, tanggal 27 Mei 1957 Nomor
Prt/PM/03/1957 dan tanggal 1 Juli 1957 Nomor : Prt/PM/011/1957.
2. Undang-Undang Nomor : 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.

4. Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas KKN;
5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas KKN;
6. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
8. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Selain peraturan perundang-undangan tersebut, telah dikeluarkan pula beberapa
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya pemberantasan korupsi di
Indonesia, yaitu :
1. Keputusan Presiden Nomor 127 Tahun 1999 tentang Komisi Pemeriksa Kekayaan
Pejabat Negara.
2. Keputusan Presiden Nomor 155 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Pembentukan
Lembaga Ombudsman Nasional.
3. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2000 tentang Pelaporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 274 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Selain itu, berdasarkan amanat Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 telah
dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Jaksa Agung RI
sebagai koordinatornya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Tim
gabungan ini terdiri dari 4 (empat) unsur yaitu : kepolisian, kejaksaan, instansi terkait dan
unsur masyarakat dan anggotanya sekurang- kurangnya 10 orang dan sebanyak-
banyaknya 25 orang. Tim Gabungan ini dibentuk untuk menanggulangi tindak pidana
korupsi yang sulit dibuktikan antara lain tindak pidana korupsi di bidang perbankan,
perpajakan, pasar modal, perdagangan dan industri, komoditi berjangka, atau di bidang
moneter dan keuangan yang :

a. bersifat lintas sektoral;


b. dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih; atau
c. dilakukan oleh tersangka atau terdakwa yang berstatus sebagai penyelenggara negara
sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999.

B. LEMBAGA PEMBERANTASAN KORUPSI


Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka penyidikan terhadap tindak pidana
korupsi dilaksanakan oleh 3 (tiga) instansi penegak hukum yaitu :
1. Kejaksaan Agung Republik Indonesia;
2. Kepolisian Republik Indonesia; dan
3. Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sedangkan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan oleh 2 (dua) instansi
penegak hukum yaitu Kejaksaan Agung RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi yang
masing-masing independen satu dengan lainnya.

Selain lembaga-lembaga tersebut, dalam upaya meningkatkan kemampuan dalam


penanggulangan korupsi, telah pula dibentuk beberapa lembaga baru yaitu :

1. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).


2. Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; yang dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005);
3. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;
4. Tim Pemburu Koruptor.
Selain lembaga-lembaga tersebut, lembaga yang juga terkait tugas dan wewenangnya
dalam melakukan penanggulangan korupsi adalah BPKP dan BPK serta
Inspektorat Jenderal tiap-tiap Departemen/LPND atau BAWASDA di tiap-tiap
Pripinsi, Kabupaten dan Kota.

1. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Penanggulangan


Tindak Pidana Korupsi.
KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi. Tugas KPK tidaklah hanya bersifat penindakan
(represif) terhadap tindak pidana korupsi tetapi juga yang bersifat pencegahan korupsi
(preventif). Tugas-tugas KPK adalah :
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
dan
d. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah- an negara.

Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan


tindak pidana korupsi, meliputi tindak pidana korupsi yang:

a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggaran negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
atau penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

2. Peranan Kejaksaan Republik Indonesia dalam penang- gulangan tindak pidana


korupsi.
Sebelum terbentuknya lembaga atau komisi yang mempunyai peran dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, kejaksaan sudah secara konsisten
menjalankan fungsi tersebut sejak berlakunya undang-undang nomor 3 tahun 1971 atau
UU No. 24 Prp 1960 dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor :
Prt/PERPU/013/1958. Oleh karena itu secara historis lembaga kejaksaan telah cukup
lama dan berpengalaman dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
telah dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1991 tentang Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Sesuai Pasal 2 Keppres tersebut,
disebutkan bahwa tugas pokok kejaksaan adalah melaksanakan kekuasaan Negara di
bidang penuntutan dan tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan serta
turut serta menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintahan dan pembangunan di
bidang hukum.

3. Peranan Kepolisian Republik Indonesia (NCB-Interpol Indonesia) dalam


penanggulangan tindak pidana korupsi.

Dalam Chapter IV Konvensi Anti Korupsi 2003 disebutkan bentuk-bentuk kerjasama


Internasional dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi yakni :

a. ekstradisi;
b. pemindahan narapidana;
c. bantuan timbal balik dalam masalah pidana;
d. transfer of criminal proceeding;
e. kerjasama penegak hukum;
f. penyidikan bersama;
g. teknik-teknik penyidikan khusus (pembuntutan);
h. asset recovery (penyitaan dan pengembalian asset).

Kerjasama ini dilakukan melalui International Criminal Police Organization (ICPO –


Interpol). ICPO-Interpol adalah organisasi internasional yang bertujuan untuk mencegah
dan memerangi semua bentuk kejahatan dengan menciptakan dan membangun kerjasama
kepolisian melalui National Central Bureau (NCB-Interpol) Negara-negara anggota.
Indonesia berkaitan dengan hal ini telah membentuk NCB-Interpol Indonesia. Kepala
NCB – Interpol Indonesia adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Namun perlu dijelaskan bahwa peran NCB-Interpol Indonesia hanyalah sebatas pemberi
sumber informasi criminal, sebagai fasilitator untuk terselenggaranya kerjasama antar
penegak hukum Indonesia dan Negara lain dan melayani, memproses dan
mengkoordinasikan dengan pihak berwenang dalam memenuhi permintaan bantuan
penyelidikan dan penyidikan dari dalam dan luar negeri.

4. Peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam pemberan- tasan tindak pidana
korupsi.
Badan Pemeriksa Keuangan Negara dibentuk berdasarkan amanat Pasal 23E
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pemeriksaan yang
dilakukan oleh BPK mencakup tiga kriteria yaitu pemeriksaan keuangan; pemeriksaan
kinerja; dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
a. Pemeriksaan keuangan.
b. Pemeriksaan kinerja.
c. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
BPK memiliki kebebasan dan kemandirian dalam melakukan pemeriksaan baik
segi perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam tahap
perencanaan mencakup kebebasan dalam menentukan obyek yang akan diperiksa,
kecuali pemeriksaan yang obyeknya telahdiatur tersendiri dalam undang-undang, atau
pemeriksaan berdasarkan permintaan khusus dari lembaga perwakilan. BPK diberi
kewenangan untuk mendapatkan data, dokumen, dan keterangan dari pihak yang
diperiksa; kesempatan untuk memeriksa secara fisik setiap aset yang berada dalam
pengurusan pejabat instansi yang diperiksa; termasuk melakukan penyegelan untuk
mengamankan uang, barang, dan/atau dokumen pengelolaan keuangan negara pada saat
pemeriksaan berlangsung.
Hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan
kewenangannya, antara lain dengan membahasnya bersama pihak terkait. Selain itu, hasil
pemeriksaan tersebut juga disampaikan kepada pihak pemerintah untuk dilakukan
koreksi dan menanggapi temuan yang ada. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan
adanya unsur pidana, maka BPK wajib melaporkannya kepada instansi yang berwenang
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5. Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor)


Berkaitan dengan tugas dan wewenang penanggulangan korupsi, telah dibentuk
sebuah Tim yakni Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau lebih
dikenal dengan sebutan Tim Tastipikor. Dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2005.
Pertimbangan dibentuknya Tim Tastipikor adalah untuk lebih mempercepat
pemberantasan tindak pidana korupsi. Unsur-unsur yang terlibat dalam TimTastipikor ini
terdiri dari instansi Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Tim ini melaksanakan
tugasnya sesuai tugas fungsi dan wewenangnya masing-masing, diketuai oleh Jaksa
Agung Muda Tindak Pidana Khusus dan berada dibawah dan bertanggung jawab
langsung kepada Presiden. Di dalam diktum ketiga dan keempat Keppres tersebut
disebutkan bahwa Tim Tastipikor bertugas :
a. melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai ketentuan hukum yang
berlaku terhadap kasusu dan/atau indikasi tindak pidana korupsi;
b. mencari dan menangkap para pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana
korupsi, serta menelusuri dan mengamankan seluruh asset-asetnya dalam rangka
pengembalian keuangan Negara secara optima

Susunan keanggotaan Tim Tastipikor terdiri dari :

a. Penasehat :
1. Jaksa Agung RI.
2. Kepala Kepolisian Negara RI.
3. Kepala BPKP
b. Ketua merangkap Anggota : Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.
c. Wakil Ketua Merangkap Anggota : Direktur III/Pidana Korupsi dan WCC, Badan
Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI.
d. Wakil Ketua Merangkap Anggota : Deputi Bidang Investigasi Badan
PengawasKeuangan dan Pembangunan.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini masih menjadi salah satu
penyebab terpuruknya sistem perekonomian bangsa. Hal ini disebabkan karena korupsi di
Indonesia terjadi secara sistemik dan meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi
keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas. Untuk itu pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut harus dilakukan
dengan cara luar biasa dengan menggunakan cara-cara khusus
Saat ini, masyarakat sudah demikian skeptis dan bersikap sinis terhadap setiap
usaha pemberantasan kasus-kasus korupsi yang dilakukan pemerintah. Kenyataan dalam
usaha pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa kegagalan
demi kegagalan lebih sering terjadi, terutama dalam mengadili koruptor kelas kakap
dibandingkan dengan koruptor kelas teri. Kegagalan tersebut menunjukkan bahwa
masyarakat pada strata rendah selalu menjadi korban dari ketidakadilan dalam setiap
tindakan hukum terhadap kasus korupsi.
Sulitnya pemberantasan tindak pidana korupsi, dikarenakan permasalahan
korupsi bukan hanya terjadi dan terdapat di lingkungan birokrasi baik di lembaga
eksekutif, yudikatif dan legislatif, tetapi juga telah berjangkit dan terjadi pula pada sektor
swasta, dunia usaha dan lembaga-lembaga dalam masyarakat pada umumnya.
Pemerintah menyadari bahwa usaha pemberantasan korupsi tidak semata-mata
merupakan persoalan hukum, tetapi juga merupakan persoalan sosial, ekonomi dan
politik, sehingga upaya pemberantasannya pun harus bersifat komprehensif dan
multidisipliner.

B. SARAN
Mengingat korupsi merupakan suatu tindak kejahatan yang luar biasa (extra
ordinary crime), maka upaya pemberantasannya pun tidak dapat dilakukan secara biasa,
tetapi harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula; yakni melalui 4 pendekatan
yakni pendekatan hukum; pendekatan budaya; pendekatan ekonomi; dan pendekatan
sumber daya manusia dan sumber daya keuangan.
Salah satu langkah yang harus diambil dalam rangka mendorong percepatan
pemberantasan korupsi di Indonesia adalah meninjau kembali peraturan perundang-
undangan tentang korupsi yang telah ada termasuk di dalamnya prosedur dalam
penanganan perkara korupsi secara keseluruhan.
Mengingat korupsi telah terjadi di segala kalangan baik eksekutif, legislatif,
yudikatif dan pihak swasta dan mulai dari kalangan pelaksana sampai pejabat atau
manajer, maka selain upaya peninjauan kembali berbagai produk hukum yang ada serta
lembaga yang ada, unsur yang tidak kalah penting adalah peningkatan kesadaran hukum
tentang kerugian yang diakibatkan tindak pidana korupsi bagi generasi saat ini dan
bahkan bagi generasi yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai