Draft Proposal
Draft Proposal
Draft Proposal
BANTARGEBANG
Oleh:
UBAIDILLAH
PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2021
1
BAB 1
PENDAHULUAN
2
udara di sekitar tempat pembuangan sampah, cairan tersebut juga mengandung
logam berat yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat (Suwardi et
al.,2005).
Selain dari segi kesehatan, meningkatnya volume sampah juga berdampak
secara sosial. Keberadaan TPA Bantar Gebang mengundang penduduk sekitar dan
pendatang untuk mengais rejeki dari keberadaan sampah. Pendatang yang sebagian
besar sebagai pemulung umumnya mendirikan rumah di sekitar tempat sampah dan
membentuk komunitas tersendiri. Mereka membangun dan mendirikan rumah dari
bahan seadanya, dan akhirnya terbentuklah pemukiman-pemukiman kumuh.
Ditambah lagi mereka mengumpulkan dan menyimpan barang-barang hasil
memulung di rumahnya menimbulkan pemandangan yang tidak sedap (Suwardi et
al., 2005). Hal ini tentunya akan dapat teratasi jika ada penanganan yang baik.
Namun pada kenyataannya sampai saat ini berbagai cara yang dilakukan
pemerintah dapat dikatakan nihil hasilnya, seperti pembuatan tempat sampah yang
berbeda untuk tiap jenis sampah yang dihasilkan akhirnya hanya menjadi sebuah
wacana yang diacuhkan oleh masyarakat.
TPA Bantargebang tersebut dikelola oleh Pemda DKI Jakarta dengan
menerapkan konsep pengelolaan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST).
Secara kepemilikan aset, lahan TPA seluas 115 ha Bantargebang sudah menjadi aset
milik pemerintah provinsi (pemprov) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sejak
tahun 1999. Secara teknis, pelaksanaan pengelolaan persampahan dilakukan melalui
skema kerjasama antara pemprov DKI Jakarta dengan pemerintah kota (pemkot)
Bekasi. Dasar hukum terkait kerjasama tersebut tertuang dalam dokumen addendum
ke-3 keputusan kerjasama nomor 96 tahun 1999 junto nomor 3428/072 tahun 2003
dan nomor 168 tahun 1999 junto nomor 658.1/Kep.439 tahun 2003 tentang
pengelolaan sampah dan TPA sampah di kecamatan Bantargebang kota Bekasi (DKI-
Jakarta, 2003).
Volume sampah dari Jakarta ke TPST Bantargebang rata-rata sekitar 7.000
sampai 8.000 ton per hari yang dilayani oleh 1.200 truk sampah, dimana 60%
diantaranya merupakan sampah domestik atau rumah tangga. Kondisi saat ini, daya
3
tampung sampah dari Bekasi maupun Jakarta sudah mendekati maksimum dan
beberapa tahun ke depan, sampah tidak dapat lagi dibuang di TPST Bantargebang.
Bahkan diperkirakan, TPST Bantargebang akan tutup pada 2021. Di beberapa zona
TPST yang belum dikelola dengan baik, masih menggunakan sistem open dumping,
menyebabkan kerusakan lingkungan karena menghasilkan air lindi (leachate) dan gas
metana. Seiring berjalannya waktu, meskipun dinas kebersihan DKI Jakarta sudah
memiliki lahan untuk TPA, namun dalam penanganan sampahnya masih dilakukan
upaya optimal. Bahkan sejak diberlakukannya undang-undang pengelolaan sampah
(Indonesia, 2008), upaya-upaya perbaikan untuk pengelolaan TPA yang lebih efektif
terus dilakukan hingga sampai saat ini. Di TPST Bantargebang, permasalahan yang
krusial adalah daya tampung yang terus menyusut, dimana kapasitas maksimum
adalah 49 juta ton, kini tinggal tersisa kapasitas 10 juta ton (UPTPST, 2020). Begitu
juga pengelolaan sampah dengan open dumping sudah melampaui ketinggian 35
meter. Jarak efektif polusi udara (bau) mencapai 10 km dari titik TPST. Permasalahan
daya tampung TPST ini menurut Manurung et al. (2016), bisa didekati dengan dua
acara yaitu melalui program intensifikasi, seperti program yang dijalankan dengan
menggunakan teknologi yang dapat mereduksi sampah; dan ekstensifikasi, misalnya
perluasan lahan TPST Bantargebang eksisting dengan lahan baru di sekitar lahan
yang sudah ada.
Untuk mencapai pelayanan persampahan yang optimal, sudah waktunya ada
perubahan paradigma pengelolaan sampah kota. Paradigma transformatif dimaksud
adalah konsep pengelolaan sampah kota yang dapat mencegah atau meminimalkan
timbulnya pencemaran dan dampak negatif lainnya yang merugikan masyarakat dan
lingkungan hidup. Menurut Witoelar (2006) dibutuhkan pionir untuk merubah
paradigma pengelolaan sampah dari pendekatan ujung pipa (end of pipes) yaitu
membuang sampah langsung ke TPA ke arah pengelolaan sampah dengan prinsip 3 \
R yaitu Reduce (mengurangi), Reuse (menggunakan kembali) dan Recycle (daur
ulang). Dalam hal perubahan paradigma ini sudah jauh tertinggal dengan negara-
negara lain. Sebagai contoh, menurut Buclet dan Olivier (2001) perubahan paradigma
pengelolaan sampah di sebagian besar negara Eropa sudah dimulai sejak tahun 1970.
4
Kebijakan pengelolaan sampah ditekankan pada pengurangan sampah pada
sumbernya, pemilahan dan daur ulang. Pijakan awal yang sangat penting dalam
merubah paradigma ini adalah merubah kebijakan ke arah minimalisasi sampah pada
sumbernya, bukan pada pembuangannya.
Apabila diamati, timbulnya masalah persampahan tidak dapat lepas dari
perilaku manusia/masyarakat sebagai penghasil dan pngelola sampah. Sejauh ini
dirasakan bahwa pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam kebersihan belum
berjalan sesuai dengan harapan. Masih banyak masyarakat yang membuang sampah
sembarangan, padahal tempat sampah tersedia. Seharusnya masalah sampah tidak
hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga merupakan tanggung jawab
seluruh masyarakat. Agar partisipasi masyarakat dapat terwujud secara nyata, perlu
ada usaha yang dapat membangkitkan motivasi, kemampuan, kesempatan dan
menggali serta mengembangkan sumber-sumber yang ada pada masyarakat, sehingga
masyarakat bersedia berpartisipasi dalam pengelolaan persampahan secara konsisten
dan berkesinambungan. Mengingat perilaku masyarakat besar pengaruhnya terhadap
kebersihan, maka masyarakat harus pula berperan secara aktif dalam pengelolaan
sampah yang optimal.
Dalam pengelolaan sampah, TPST Bantargebang menerapkan konsep yang
lebih ramah lingkungan, terpadu, dan berkelanjutan (UPTPST, 2020). Namun di lain
sisi, persepsi negatif sebagian masyarakat dan pemangku kepentingan (stakeholder)
terkait isu lingkungan dan sosial dari masih ada. Konflik pengelolaan sampah ini
menjadi suatu pembahasan yang menarik untuk diteliti lebih dalam karena
permasalahan ini dapat menimbulkan biaya yang tinggi apabila tidak segera
diselesaikan. Bantargebang sebagai proyek pemerintah dalam hal penanggulangan
sampah wilayah DKI Jakarta dan Bekasi merupakan suatu proyek yang melibatkan
masyarakat sekitarnya karena dapat berdampak positif dan negatif.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan tentang kinerja persampahan, sudah
saatnya pemerintah daerah Kabupaten Lamandau merubah pola pikir yang lebih
bernuansa lingkungan. Konsep kinerja pengelolaan infrastruktur persampahan yang
tepat sudah waktunya diterapkan, yaitu dengan teknik operasional dan manajemen
5
pengelolaan sampah, pemeliharaan dan kelengkapan infrastruktur persampahan sesuai
dengan kebutuhan ideal dan ditunjang dengan kesadaran masyarakat. Untuk
mengetahui apakah konsep kinerja pengelolaan persampahan tersebut sudah benar-
benar diterapkan, maka perlu adanya evaluasi terhadap kinerja pengelolaan
persampahan tersebut. Menurut Wand and Brown (dalam Sapani dan Abidin, 2014)
evaluasi adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai sesuatu,
dengan kata lain evaluasi merupakan penentuan apakah sesuatu itu mempunyai nilai
atau tidak.
Kemudian Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (2000), menyebutkan bahwa evaluasi kinerja merupakan kegiatan
untuk menilai atau melihat keberhasilan dan kegagalan suatu organisasi atau unit
kerja dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang dibebankan. Adapun tujuan dari
evaluasi kinerja tersebut adalah untuk mengetahui kemajuan dan kendala yang
dijumpai dalam pelaksanaan misi dapat dinilai dan dipelajari guna perbaikan
pelaksanaan program/kegiatan di masa yang akan datang
6
1. Apakah terdapat pengaruh tangible terhadap kinerja pengelolaan persampahan di
TPST Bantargebang?
2. Apakah terdapat pengaruh reliability terhadap kinerja pengelolaan persampahan
di TPST Bantargebang?
3. Apakah terdapat pengaruh responsiveness terhadap kinerja pengelolaan
persampahan di TPST Bantargebang?
4. Apakah terdapat pengaruh assurance terhadap kinerja pengelolaan persampahan
di TPST Bantargebang?
5. Apakah terdapat pengaruh empathy terhadap kinerja pengelolaan persampahan di
TPST Bantargebang?
6. Apakah terdapat pengaruh tangible, reliability, responsiveness, assurance dan
empathy terhadap kinerja pengelolaan persampahan di TPST Bantargebang secara
simultan?
7
6. pengaruh tangible, reliability, responsiveness, assurance dan empathy terhadap
kinerja pengelolaan persampahan di TPST Bantargebang secara simultan.
Nama
No Judul Penelitian Metode Hasil Penelitian
Peneliti
1 Setiyono Sistem Metodologi Pemda Kabupaten Bekasi telah
dan Pengelolaan penelitian ini berusaha untuk meningkatkan
Wahyono Sampah Kota di meliputi studi mutu sistem pengelolaan
(2002) Kabupaten literatur, sampahnya walaupun
Bekasi-Jawa wawancara, pelaksanaannya masih dilakukan
Barat kunjungan secara konvensional yaitu dengan
lapangan dan metode kumpul, angkut dan buang
sampling
2 Sukwika dan Status Data yang .Hasil studi menunjukkan status
Noviana Keberlanjutan dikumpulkan keberlanjutan pengelolaan sampah
(2020) Pengelolaan dalam terpadu di TPST-Bantargebang
Sampah Terpadu penelitian ini, antar stakeholder sangat beragam,
di meliputi data secara rataan nilai indeks
TPSTBantargeban primer dan multidimensional berkisar di 51,71
g Bekasi: sekunder. Data pada tingkat determinasi 97 persen
Menggunakan primer dan menghasilkan 15 atribut
Rapfish dengan R dihimpun dari sensitif yang berpengaruh terhadap
Statistik wawancara pengelolaan sampah terpadu di
pakar, TPST-Bantargebang. Simpulannya,
sedangkan data secara keseluruhan status
sekunder dari keberlanjutan pengelolaan sampah
laporan, jurnal terpadu di TPST-Bantargebang
dan hasil-hasil termasuk dalam kategori
kajian berbagai berkelanjutan (lulus)
instansi terkait
8
3 Mulyadin, Konflik Metode studi Hasil penelitian menunjukkan
Iqbal & Pengelolaan kasus dengan konflik pengelolaan sampah di
Ariawan Sampah di DKI pendekatan wilayah DKI Jakarta melibatkan
(2016) Jakarta dan analisis para pihak, yakni Pemerintah
Upaya kualitatif Provinsi DKI Jakarta, Komisi D
Mengatasinya DPRD DKI Jakarta, PT Godang
Tua Jaya, dan Komisi A DPRD
Kota Bekasi. Faktor penyebab
konflik antara lain pengelolaan
TPA Bantargebang dinilai berbagai
kalangan tidak sesuai dengan
ketentuan yang telah disepakati,
adanya ketidakharmonisan dan
ketidakmampuan pihak pengelola
dalam mengolah sampah, serta
belum berjalannya sistem
pengelolaan sampah Intermediate
Treatment Facility (ITF).
Pengelolaan sampah perlu
membangun teknologi sampah
ramah lingkungan karena payung
hukumnya sudah ada, seperti
Peraturan Gubernur Nomor 50
Tahun 2016 tentang Pembangunan
dan Pengoperasian Fasilitas
Pengelola Sampah di dalam Kota
10
mengandung arti bahwa para pemimpin atau manajer organisasi apapun berupaya
untuk mencapai berbagai hasil akhir spesifik, tentu saja harus unik bagi masing-
masing organisasi.
Silalahi (2002) mengungkapkan manajemen sebagai proses perencanaan,
pengorganisasian, pengisian staf, pemimpin dan pengontrolan untuk optimasi
penggunaan sumber-sumber dan pelaksanaan tugas-tugas dalam mencapai tujuan
organisasional secara efektif dan secara efisien. Secara prinsip dapat dilihat bahwa
pada kenyataannya manajemen merupakan kombinasi ilmu dan seni dan tidak
dalam proporsi yang tetap, tetapi dalam proporsi yang bermacam-macam. Konsep
manajemen merupakan suatu konsep yang mencerminkan adanya kebiasaan yang
dilakukan secara sadardan terus menerus dalam organisasi. Berdasarkan dari
pendapat beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa manajemen adalah suatu pola
atau sistem koordinasi yang dilakukan dalam organisasi melalui proses perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan dengan memberdayakan semua
kekuatan yang dimiliki dalam rangka pencapaian tujuan tertentu.
2.1.1.1 Manajemen Lingkungan Hidup
Manajemen pada intinya adalah suatu proses yang terdiri dari perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian aktivitas-aktivitas perusahaan untuk
mencapai tujuan tertentu (Musselman dan Jackson, 2002). Lingkungan menurut
definisi umum yaitu segala hal yang ada di sekeliling kita yang terkait kepadanya
secara langsung atau tidak langsung, segala sesuatu yang hidup dan kegiatan kita
berhubungan dengannya dan bergantung padanya (Notohadiprawiro, 2006). Elemen
lingkungan adalah hal-hal yang terkait dengan tanah, udara, air, sumberdaya alam,
flora, fauna, manusia dan hubungan antar faktor-faktor tersebut. Titik sentral isu
lingkungan adalah manusia. Jadi manajemen lingkungan bisa diartikan sekumpulan
aktivitas merencanakan, mengorganisasikan, dan menggerakkan sumber daya
manusia dan sumber daya lain untuk mencapaitujuan kebijakan lingkungan yang telah
ditetapkan (Purwanto, 2004). Menurut Strum (2008), manajemen lingkungan
merupakan sebuah aspek dari keseluruhan fungsi manajemen yang menentukan dan
mengarah pada implementasi kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan.
11
Manajemen lingkungan berada dalam kondisi terpecah-pecah dan tidak memiliki
standar tertentu sebelum adanya ISO 14001 dan secara internasional berbeda
penerapannya antara negara satu dengan lain.
Praktek manajemen lingkungan yang dilakukan secara sistematis, prosedural
dan dapat diulang disebut dengan Environmental Management System (EMS).
Menurut ISO 14001 (1996) dalam Purwanto (2004), sistem manajemen lingkungan
(EMS) adalah:
“That part of the overall management system which includes
organizational structure planning, activities, responsibilities,
practices, procedures, processes, and resources for developing,
implementing, achieving, reviewing, and maintaining the
environmental policy.”
12
Menurut Kodoatie (2003) sampah adalah limbah atau buangan yang bersifat
padat, setengah padat yang merupakan hasil sampingan dari kegiatan perkotaan atau
siklus kehidupan manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Menurut Standar
Nasional Indonesia (SNI) Nomor T-13-1990, yang dimaksud dengan sampah adalah
limbah yang bersifat padat terdiri dari zat organik dan anorganik yang dianggap tidak
berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan
melindungi investasi bangunan. Sampah perkotaan adalah sampah yang timbul di
kota dan tidak termasuk sampah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Menurut Kodoatie (2005) master plan infrastruktur suatu wilayah kabupaten
atau kota harus dibuat bersamaan dengan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah
(RUTRW) Kabupaten/Kota, mengingat masing-masing saling mendukung dan saling
mempengaruhi baik dalam rencana pengembangan, pengelolaan dan rencana tindak
pembangunan. Bilamana master plan infrastruktur telah dibuat maka untuk
komponenkomponen infrastruktur perlu dibuat master plannya karena masing-masing
komponen infrastruktur, seperti persampahan misalnya mempunyai karakteristik
berbeda-beda, baik teknis, sosial, ekonomi maupun lingkungan.
2.1.1.3 Konsep Pengembangan Manajemen Pengelolaan Sampah Terpadu
Keberadaan sampah yang tidak terkelola sering menimbulkan masalah di
bidang kebersihan dan kesehatan. Kebijakan manajemen pengelolaan sampah di
Indonesia diarahkan pada pengembangan tingkat pelayanan untuk mencapai sasaran
nasional secara bertahap. Rentang antara cakupan pelayanan yang harus dicapai
secara nasional pada tahun 2015 dengan tingkat pelayanan saat ini cukup jauh, yaitu
sekitar 30 – 40 %, tentunya memerlukan kesungguhan semua pihak. Kebijakan ini
dapat dilaksanakan melalui berbagai strategi, yaitu:
a. Optimalisasi pemanfaatan prasarana dan sarana persampahan yang tersedia agar
prasarana dan sarana yang ada dapat digunakan lebih efisien;
b. Meningkatkan kapasitas pelayanan yang berkeadilan, terencana dan terprogram
sesuai kebutuhan dan prioritas;
c. Meningkatkan kualitas pengelolaan TPA ke arah Sanitary Landfill dan rehabilitasi
TPA yang mencemari lingkungan;
13
d. Melakukan penelitian, pengembangan dan aplikasi teknologi penanganan
persampahan tepat guna dan berwawasan lingkungan.
Arah kebijakan di bidang kelembagaan pengelolaan sampah perkotaan
diarahkan pada penguatan kapasitas lembaga pengelola persampahan. Kebijakan ini
dapat dilaksanakan melalui beberapa strategi sebagai berikut:
1. Mendorong peningkatan bentuk dan kapasitas lembaga pengelola persampahan
sesuai kebutuhan pelayanan;
2. Memisahkan badan regulator dan operator;
3. Meningkatkan kerjasama dan koordinasi pengelolaan dan mendorong pengelolaan
kolektif atas penyelenggaraan persampahan skala regional;
4. Mekanisme insentif untuk kawasan di sekitar TPA.
Sistem pembiayaan pengelolaan sampah ke depan diarahkan pada penerapan
prinsip pemulihan biaya (cost recovery) secara bertahap. Kebijakan ini dapat
dilaksanakan dengan strategi sebagai berikut:
1. Perbaikan sistem tarif retribusi;
2. Mekanisme penarikan yang lebih efisien;
3. Meningkatkan prioritas pendanaan APBD untuk sektor persampahan.
Suatu peraturan sebaik apapun tidak akan banyak memberikan manfaat
apabila tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Untuk itu, dalam rangka
menerapkan sistem peraturan dalam pengelolaan persampahan sebagaimana yang
diharapkan, arah kebijakan yang ditempuh adalah upaya penegakan hukum secara
sistematis dan terpadu sehingga akan berpengaruh pada perubahan perilaku
masyarakat dalam pola penanganan sampah yang berwawasan lingkungan. Strategi
pelaksanaan kebijakan ini dapat dilaksanakan dengan:
1. Mengembangkan produk hukum sebagai landasan dan acuan dalam pelaksanaan
pelayanan persampahan;
2. Melaksanakan sistem pengawasan dan sanksi hukum secara konsisten. Untuk
melaksanakan kebijakan penegakan hukum tersebut harus didahului dengan
sosialisasi yang memadai, menyiapkan aparat penegak hukum, melaksanakan uji
coba dan kemudian baru melaksanakannya secara menyeluruh.
14
2.1.2 Kualitas Pelayanan
Menurut Tjiptono & Chandra (2011), Konsep kualitas dianggap sebagai
ukuran kesempurnaan sebuah produk atau jasa yang terdiri dari kualitas desain dan
kualitas kesesuaian (conformance quality). Kualitas desain merupakan fungsi secara
spesifik dari sebuah produk atau jasa, kualitas kesesuaian adalah ukuran seberapa
besar tingkat kesesuaian antara sebuah produk atau jasa dengan persyaratan atau
spesifikasi kualitas yang ditetapkan sebelumnya. Maka dari itu yang dimaksud
kualitas adalah apabila beberapa faktor dapat memenuhi harapan konsumen seperti
pernyataan tentang kualitas oleh Goetsh dan Davis dalam Tjiptono & Chandra (2011),
“Kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, sumber daya manusia,
proses, dan lingkungan memenuhi atau melebihi harapan”. Menurut beberapa definisi
di atas dalam kata lain, kualitas adalah sebuah bentuk pengukuran terhadap suatu nilai
layanan yang telah diterima oleh konsumen dan kondisi yang dinamis suatu produk
atau jasa dalam memenuhi harapan konsumen.
Menurut Vargo & Lusch dalam Tjiptono (2011), “Service is an interactive
process of doing something for someone”. Diartikan bahwa layanan/jasa merupakan
proses interaksi dalam melakukan sesuatu kepada seseorang. Menurut Gummesson
dalam Tjiptono & Chandra (2011) mengungkapkan bahwa layanan/jasa adalah
“Something which can be bought and sold but which you cannot drop on your feet”.
Sehingga dikatakan bahwa layanan merupakan hal yang dapat dipertukarkan melalui
beli dan jual namun tidak dapat dirasakan secara fisik. Layanan/jasa dikatakan
intangible sama halnya dengan pendapat menurut Kotler dalam Tjiptono & Chandra
(2011), “Setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak
kepada pihak lain yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan
tidak menghasilkan kepemilikian sesuatu”. Sama halnya yang diungkapkan oleh
Gronroos dalam Tjiptono & Chandra (2011), “Jasa adalah proses yang terdiri atas
serangkaian aktivitas intangible yang biasanya (namun tidak harus selalu) terjadi pada
interaksi antara pelanggan dan karyawan jasa dan/atau sumber daya fisik atau barang
15
dan/atau sistem penyedia jasa, yang disediakan sebagai solusi atas masalah
pelanggan”. Menurut Tjiptono (2011), “Sebagai layanan, istilah service menyiratkan
segala sesuatu yang dilakukan pihak tertentu kepada pihak lain”.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa layanan/jasa
adalah sebuah aktifitas atau tindakan interaksi antara pihak pemberi dan pihak
penerima layanan/jasa yang ditawarkan oleh pihak pemberi secara tidak berwujud
sehingga tidak dapat dirasakan oleh fisik. Menurut Lewis & Booms dalam Tjiptono &
Chandra (2011), kualitas layanan sebagai ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang
diberikan mampu terwujud sesuai harapan pelanggan. Sama seperti yang telah
diungkapkan oleh Tjiptono (2011), kualitas layanan itu sendiri ditentukan oleh
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan sesuai
dengan ekspektasi pelanggan. Menurut Parasuraman dalam Tjiptono (2011), terdapat
faktor yang mempengaruhi kualitas sebuah layanan adalah expected service (layanan
yang diharapkan) dan perceived service (layanan yang diterima). Jika layanan yang
diterima sesuai bahkan dapat memenuhi apa yang diharapkan maka jasa dikatakan
baik atau positif. Jika perceived service melebihi expected service, maka kualitas
pelayanan dipersepsikan sebagai kualitas ideal. Sebaliknya apabila perceived service
lebih jelek dibandingkan expected service, maka kualitas pelayanan dipersepsikan
negatif atau buruk. Oleh sebab itu, baik tidaknya kualitas pelayanan terhantung pada
kemampuan perusahaan dan stafnya memenuhi harapan pelanggan secara konsisten.
Dari beberapa pendapat, dapat di ambil garis besar bahwa kualitas pelayanan adalah
kemampuan suatu perusahaan dalam memenuhi harapan konsumen dengan
memberikan pelayanan kepada konsumen pada saat berlangsung dan sesudah
transaksi berlangsung.
2.1.2.1 Indikator Kualitas Pelayanan
Parasuraman, Zeithaml dan Berry (dalam Tjiptono dan Chandra, 2011)
mengemukakan bahwa terdapat lima dimensi layanan yang sering digunakan untuk
mengukur kualitas layanan. Kelima dimensi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang
diinginkan dengan segera, akurat dan memuaskan. Kinerja harus sesuai dengan
16
harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk
semua pelanggan tanpa ada kesalahan, sikap simpatik dan akurasi yang tinggi.
2. Responsiveness (daya tanggap), yaitu kemampuan perusahaan untuk membantu
dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada para
pelanggan dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan pelanggan
menunggu tanpa ada suatu alasan yang jelas menyebabkan persepsi yang negatif
terhadap kualitas pelayanan.
3. Assurance (jaminan), adanya kepastian yaitu pengetahuan, kesopansantunan dan
kemampuan para pegawai untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan
kepada pelayan perusahaan yang memiliki beberapa komponen antara lain:
a. Communication (komunikasi), yaitu secara terus menerus membiarkan
informasi kepada pelanggan dalam bahasa dan penggunaan kata yang jelas
sehingga para pelanggan dapat dengan mudah mengerti di samping itu
perusahaan hendaknya dapat secara cepat dan tanggap dalam menyikapi
keluhan dan complain yang dilakukan oleh pelanggan.
b. Credibility (kredibilitas), perlunya jaminan atas suatu kepercayaan yang
diberikan kepada pelanggan atau sifat kejujuran. Menanamkan kepercayaan,
memberikan kredibilitas yang baik bagi perusahaan pada masa yang akan
datang.
c. Security (keamaan), adanya suatu kepercayaan yang tinggi dari pelanggan akan
pelayanan yang akan diterima. Tentunya pelayanan yang diberikan memberikan
suatu jaminan kepercayaan yang maksimal.
d. Competence (kompetensi), yaitu keterampilan yang dimiliki dan dibutuhkan
agar dalam memberikan pelayanan kepada para pelanggan dapat dilaksanakan
dengan optimal.
e. Courtesy (sopan santun), dalam pelayanan adanya suatu nilai moral yang
dimiliki oleh perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan.
Jaminan akan sopan santun yang diberikan kepada pelanggan sesuai dengan
kondisi dan situasi yang ada.
17
4. Empathy (empati), yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individu
atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami
keinginan konsumen. Dimana suatu perusahaan diharapkan memiliki suatu
pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan
secara spesifik, serta memiliki waktu pengorganisasian yang nyaman bagi
pelanggan.
5. Tangibles (bukti fisik), yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan
eksitensinya kepada pihak eksternal perusahaan. Penampilan dan kemampuan
sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah
bukti nyata dari pelayanan yang diberikan pihak perusahaan.
Dari pengertian-pengertian yang dipaparkan oleh para ahli diatas dapat
disimpulkan bahwa kualitas adalah pada dasarnya bersifat relative yaitu tergantung
dari perspektif yang digunakan untuk menetukan ciri-ciri dan spersifikasinya, namun
secara umum pengertian kualitas dapat didefenisikan sebagai fitur-fitur yang
memiliki kesesuaian antara apa yang dirasakan pelanggan dengan apa yang
diharapkan pelanggan.
2.1.2.2 Pengukuran Kualitas Pelayanan
Menurut Rangkuti (2006) kualitas jasa dipengaruhi dua variabel, kedua
variabel tersebut yaitu jasa yang dirasakan (perseived service) dan jasa yang
diharapkan (expected service). Pengukuran kualitas jasa lebih sulit dibandingkan
dengan mengukur kualitas produk nyata, karena atribut yang melekat pada jasa tidak
mudah untuk diidentifikasi. Menurut Tjiptono (2007) langkah-langkah yang harus
diambil dalam mengukur kualitas jasa adalah spesifikasi determinan kualitas jasa.
Langkah ini menyangkut variabel yang digunakan untuk mengukur kualitas jasa
perangkat standar kualitas jasa yang bisa diukur. Kualitas yang dimaksud adalah
menyangkut tentang standar atau instrument kualitas jasa yang bisa digunakan untuk
mengukur variabel.
Menurut Rangkuti (2006) melakukan penelitian mengenai custumer
perceived quality pada industri jasa yang dilakukan mengidentifikasi lima
kesenjangan yang menyebabkan kegagalan dalam menyampaikan jasa, yaitu:
18
1. Kesenjangan tingkat harapan konsumen dan persepsi manajemen. Pada
kenyataannya pihak manajemen suatu perusahaan tidak selalu dapat merasakan
atau memahami secara tepat apa yang diinginkan oleh para pelanggannya.
Akibatnya manajemen tidak mengetahui bagaimana produkproduk jasa didesain
dan jasa-jasa pendukung (sekunder) apa saja yang diinginkan oleh konsumen.
2. Kesenjangan antara persepsi manajemen dan spesifikasi kualitas jasa. Kadang kala
manajemen mampu memahami secara tepat apa yang diinginkan oleh pelanggan,
tetapi mereka tidak menyusun standar kinerja yang jelas. Hal ini dapat terjadi
karena tiga faktor, yaitu tidak adanya komitmen total manajemen terhadap kualitas
jasa, kurangnya sumber daya, atau karena adanya kelebihan pemintaan.
3. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa. Ada beberapa
penyebab terjadinya kesenjangan ini, misalnya karyawan kurang terlatih, beban
kerja yang melampaui batas, ketidak mampuan memenuhi standar kerja, atau
bahkan ketidakmauan memenuhi standar kinerja yang ditetapkan.
4. Kesenjangan antara penyampaian jasa komunikasi eksternal. Seringkali tingkat
kepentingan pelanggan dipengaruhi oleh iklan dan pernyataan atau janji yang
dibuat oleh perusahaan. Resiko yang dipahami oleh perusahaan apabila janji tidak
dipenuhi akan menyebabkan persepsi negatif terhadap kualitas jasa perusahaan.
5. Kesenjangan antara jasa yang dirasakan dan jasa yang diharapkan. Kesenjangan ini
terjadi apabila pelanggan mengukur kinerja atau persepsi perusahaan dengan cara
yang berbeda, atau apabila pelanggan keliru mempersepsikan kualita jasa tersebut.
2.1.3 Kinerja
2.1.3.1 Pengertian Kinerja
Kinerja dapat diartikan sebagai perilaku berkarya, berpenampilan atau
berkarya. Kinerja merupakan bentuk bangunan organisasi yang bermutu dimensional,
sehingga cara mengukurnya bervariasi tergantung pada banyak faktor (Bates dan
Holton dalam Mulyadi, 2006). Pengertian kinerja organisasi menurut Mulyadi (2006),
adalah hasil kerja organisasi dalam mewujudkan tujuan yang ditetapkan organisasi,
kepuasan pelanggan serta kontribusinya terhadap perkembangan ekonomi masyarakat
19
tempat organisasi. Indikator kinerja organisasi adalah ukuran kuantitatif maupun
kualitatif yang dapat menggambarkan tingkat pencapaian sasaran dan tujuan. Untuk
mengetahui kinerja pelayanan dapat dilihat dari seberapa besar output, semakin besar
volume output berarti semakin tinggi pula tingkat kinerjanya. Indikator kinerja
berguna untuk menunjukan kemajuan dalam rangka menuju pencapaian sasaran
maupun tujuan organisasi yang bersangkutan (Mulyadi 2006). Baik buruknya
penilaian kinerja sangat terkait dan dapat diukur melalui penilaian tingkat efisiensi
dan efektifitas. (Prawirosentono; 2009)
Menurut Nurmandi (2009), efisiensi menunjukan pada rasio minimal antara
input dan output. Input yang kecil dan diikuti dengan diikuti dengan output yang
besar merupakan kondisi yang diharapkan. Sedangkan efektifitas (effectiveness)
memfokuskan pada tingkat pencapaian terhadap tujuan organisasi dalam memberikan
pelayanan. Salah satu ukuran efektifitas adalah derajat kepuasan masyarakat. Ukuran
ini tidak mempertimbangkan berapa berapa biaya, tenaga dan waktu yang digunakan
dalam memberikan pelayanan tetapi lebih menitik beratkan pada tercapainya tujuan
organisasi pelayanan publik. Menurut Mulyadi (2006:118), beberapa pengukuran
kinerja antara lain adalah sebagai berikut:
1. Membandingkan kinerja nyata dengan kinerja yang direncanakan.
2. Membandingkan kinerja nyata dengan hasil (sasaran) yang diharapkan.
3. Membandingkan kenerja tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya;
4. Membandingkan kinerja satu instansi dengan kinerja instansi lain atau dengan
swasta yang unggul dibidang tugas yang sama dengan kegiatan yang sedang
diukur.
5. Membandingkan kinerja nyata dengan standar kinerja.
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kinerja
merupakan hasil kerja yang secara kualitas dan kuantitasnya dapat dicapai individu
atau organisasi sesuai dengan tanggung jawab yang diemban yang terkait dengan
tingkat efisiensi dan efektifitas, maupun dengan melihat dari seberapa besar output
sehingga dapat dilihat apabila semakin besar volume output berarti semakin tinggi
pula tingkat kinerjanya.
20
2.1.3.2 Kinerja Pengelolaan Sampah
Beradasarkan beberapa pengertian seperti di atas, kinerja pengelolaan
sampah dapat diukur dengan membandingkan kinerja nyata dengan hasil atau sasaran
yang diharapkan, disamping itu kinerja juga sangat terkait dengan tingkat efisiensi
dan efektifitas. Kinerja pengelolaan sampah merupakan perbandingan antara hasil
nyata dengan sasaran yang ingin dicapai dalam sistem pengelolaan sampah yang
meliputi aspek teknis, kelembagaan, pembiayaan, hukum dan peran serta masyarakat.
Untuk melakukan penilaian kinerja dalam pengelolaan sampah sangat terkait dengan
kualitas pelayanan yang dapat dinikmati oleh masyarakat serta kepuasan yang
dinikmati oleh masyarakat.
Dalam kaitan dengan kondisi yang diharapkan dalam pengelolaan sampah,
indikator kinerja pengelolaan sampah pada dasarnya adalah kondisi ideal pengelolaan
sampah yang didapatkan dari kajian literatur mengenai sistem pengelolaan sampah
maupun maupun sesuai dengan Standar yang ada seperti SNI T-13-1990-F tentang
Tata Cara Teknik Pengelolaan Sampah Perkotaan maupun SNI T-12-1991-03 tentang
Tata Cara Pengelolaan Sampah Permukiman. Disamping itu penilaian kinerja dapat
didasarkan pada pendapat atau persepsi masyarakat selaku pelanggan pelayanan
sampah. Menurut Haryono (2004), untuk mengukur keberhasilan dalam mencapai
sasaran pengelolaan sampah dapat diukur dengan menghitung melalui:
1. Perbandingan antara keterangkutan sampah dengan jumlah timbulan yang
dihasilkan oleh suatu kota berdasarkan kondisi wilayah dan kepadatan penduduk.
2. Perbandingan antara daerah yang dilayani dengan luas daerah yang seharusnya
dilayani.
3. Jumlah penduduk yang dilayani harus diimbangi dengan ketersediaan sarana dan
prasarana, personil dan biaya yang dibutuhkan dalam pengelolaan sampah.
Menurut Ismaria (2012), salah satu faktor penentu baik buruknya operasi
pengelolaan sampah adalah metode operasional yang dipengaruhi oleh karakteristik
komponen operasinya seperti seperti kendaraan, tenaga operasional serta faktor
eksternal lainnya seperti kondisi fisik wilayah operasi. Secara kuantitatif, efektifitas
21
dan efisiensi operasi pengelolaan sampah dapat diukur berdasarkan volume yang
ditangani.
22
lingkungan hidup, terutama pada segi perairan sebagai salah satu kebutuhan pokok
umat manusia dan makhluk hidup lainnya.”
Studi yang dilakukan oleh Marliani (2014) yang berjudul Pemanfaatan
Limbah Rumah Tangga (Sampah Anorganik) Sebagai Bentuk Implementasi Dari
Pendidikan Lingkungan Hidup. Dari hasil penelitian menunjukan bahwaproses dari
perencanaan untuk pemanfaatan dan pengelolaan limbah rumah tangga di lingkungan
masyarakat dapat dimulai dari beberapa tahap yakni, pertama pembuatan kesepakatan
awal, kedua perumusan masalah, ketiga identifikasi daya dukung, dan keempat yang
paling utama adalah peran serta dari masyarakat itu sendiri dalamhal pemanfaatan
dan pengelolaan limbah sampah rumah tangga.
Penelitian yang dilakukan oleh Fatmawinir (2015) yang berjudul Analisis
Sebaran Logam Berat Pada Aliran Air Dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Sampah Air Dingin.Dari hasil penelitian menunjukan bahwaaroma dan baudari air
kolam lindi akibat dari pembuangan akhir (TPA) sampah air dingin menunjukan tidak
memenuhi syarat. Timbulnya bau air kolam lindi tersebut akibat dari hasil proses
perombakan atau perubahan bahan organic, khususnya perubahan komponen-
komponen atau partikel-partikelnya secara anaerobic. Hal tersebut akan
menghasilkan senyawa yang berbau tidak sedap danberbau busuk yang diakibatkan
oleh senyawa amoniak, H2S dan methan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Mahyudin (2012) yang berjudul Kajian Permasalahan Pengelolaan Sampah dan
Dampak Lingkungan Di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Dari hasil penelitian
menunjukan permasalahan pengelolaan sampah yang yang utama adalah sampah
yang tidak mengalami proses pengelolaan dan pengolahan TPA dengan sistemyang
tidaktepat yaitu masih berfokus pada lahan urug. Menurut (Mulasari, 2014) yang
berjudul Kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan SampahDomestik.Dari hasil
penelitian menunjukanbahwa dalam hal Monitoring dan evaluasi sangat dibutuhkan
dalam hal kegiatan pengelolaan sampah.Penanganan sampah yang baik dan berjalan
dengan baik, diperlukan pengawasan yang terus-menerus (intens) dan dievaluasi atau
di nilai keberhasilanya secara terus-menerus. Pihak yang mengawasinya dan bentuk
pengawasanya antara lain seperti pengawasan secara internal di dalam keluarga atau
23
rumah tangga, ketua RT sebagai pimpinan di lingkungan wilayahnya dengan cara
pengawasan secara langsung ke lapangan.
Menurut (Syafrini, 2013) yang berjudul Bank Sampah: Mekanisme
Pendorong Perubahan Dalam Kehidupan Masyarakat (Studi Kasus: Bank Sampah
Barokah Assalam Perumahan Dangau Teduh Kecamatan LubukBegalung, Padang).
Hasil dari penelitian menunjukan bahwa Bank Sampah Barokah Assalam mampu
membuat untuk menarik perhatian banyak masyarakat. Hal ini mendorong perubahan
terjadi dalam kehidupan warga DangauTeduh yang dilihat dari beberapa dimensi
diantara ada tiga dimensi perubahanyakni dimensi interaksional, dimensi kultural
(kebiasaan) dan dimensi struktural.
Tangible (X1)
Reliability (X2)
24
Responsiveness Kinerja Pengolahan
(X3) Persampahan (Y)
Assurance (X4)
Empathy (X5)
25
BAB III
METODE PENELITIAN
26
penelitian yaitu: waktu dan dana yang tersedia, dan minat peneliti. Hal-hal yang
dikemukakan Arikunto tersebut yang melatarbelakangi dipilihnya pendekatan
kuantitatif dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan ingin mempelajari dan
mengetahui variabel kualitas pelayanan, variabel kinerja TPST Bantargebang, dan
hubungan antara variabel kualitas pelayanan dengan variabel kinerja TPST
Bantargebang. Penelitian ini menggunakan metode survei. Metode survei dipilih
karena metode ini lazim digunakan dan merupakan metode yang tepat dalam
mengukur kualitas pelayanan dan kinerja TPST Bantagerbang.
Metode penelitian yang dipakai adalah penelitian survei yang bersifat
deskriptif-eksploratif. Menurut Irawan (2007),“metode eksploratif adalah penelitian
yang digunakan untuk mengumpulkan data-data awal tentang sesuatu”. Masih
menurut Irawan (2007),“metode deskriptif digunakan untuk mengkaji sesuatu seperti
apa adanya (variabel tunggal) atau pola hubungan (korelasional) antara dua atau lebih
variabel”. Sebagaimana telah dikemukakan di depan, penelitian ini ingin mempelajari
dan mengetahui variabel kualitas pelayanan, variabel TPST Bantargebang, dan
hubungan antara variabel kualitas pelayanan dengan variabel kinerja TPST
Bantargebang.
3.4 Sampel
Pada penelitian ini yang menjadi populasi dan sampel dikemukakan dalam
hubungan dengan sumber data yakni dijadikan obyek peneliti. Populasi peneliti
adalah keseluruhan orang yang terlibat pada kegiatan pengelolaan sampah di TPST
Bantargebang atau seluruh masyarakat di sekitar TPST Bantargebang yaitu sebesar
25.965 jiwa, sedangkan sampelnya diambil secara proportionate stratified random
sampling yaitu mengumpulkan yang ada kaitanya dengan data pengelolaan sampah di
TPST Bantargebang tetapi anggota populasi ini tidak homogen, karena populasi ini
adalah masyarakat TPST Bantargebang dan polulasi pengelolaan sampah adalah
teknis operasional dan infrastruktur persampahan di Kota Nanga bulik.
27
3.5 Teknik Pengumpulan Sampel
Teknik pengambilan sampel dilakukan secara acak/random sederhana.
Menurut Malo (1996), sampel radom sederhana adalah sebuah sampel yang diambil
sedemikian rupa, sehingga anggota populasi mempunyai kesempatan atau peluang
yang sama untuk dipilih menjadi sampel. Penarikan sampel didasarkan atas batasan
dari Slovin dalam Consuelo (1993) dengan rumus sebagai berikut:
n = N / (1 + N( λ )2 )
Keterangan:
n : Jumlah sampel
N : Jumlah Populasi (25.965)
λ : Persen kelonggaran ketidaktelitian karena pengambilan sampel yang dapat
ditolelir (10 %)
n = 25.965 / (1 + 25.965 ( λ )2 ) = 99.62 ≈ 100
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus matematika
tersebut 214 di atas, maka banyaknya masyarakat yang dijadikan sampel dalam
penelitian ini adalah sebanyak 100 jiwa.
28
3.7 Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan
analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial. Analisis statistik deskriptif
digunakan untuk mengetahui harga skor minimum, skor maksimum, jangkauan
(range), mean, median, modus, standar deviasi dan varian dari masing-masing
variabel. Selanjutnya perhitungan tersebut dideskripsikan dalam dafta distribusi
frekuensi untuk masing-masing variabel yang kemudian divisualkan dalam bentuk
histogram. Pengujian analisis data dikerjakan dengan menggunakan fasilitas software
SPSS versi 25.00 for Windows.
Adapun analisis statistik inferensial diperlukan untuk pengujian hipotesis dan
generalisasi penelitian. Teknik analisis data yang digunakan meliputi:
a. Korelasi sederhana dan regresi linier sederhana
1) Perhitungan nilai koefisien korelasi
Untuk menghitung koefisien korelasi digunakan rumus Product Moment
Pearson:
n ∑ XY −( ∑ X )( ∑ Y )
r xy =
√[ n ∑ X −(∑ X ) ][ n∑ Y −(∑ Y ) ]
2 2 2 2
n = Jumlah subyek
X = Skor setiap item
Y = Skor total
2
(∑ X ) = Kuadrat jumlah skor item
29
2) Regresi linier sederhana
Regresi linier sederhana didasarkan pada hubungan fungsional atau kausal
satu variabel bebas dengan satu variabel terikat. Persamaan umum regresi regresi
linier sederhana:
Ŷ = a + bX
Dimana:
Ŷ = Subyek dalam variabel bebas yang diprediksikan
a = Harga Y bila X = 0 (harga konstan)
b = Angka arah atau koefisien regresi, yang menunjukkan angka
peningkatan ataupun penurunan variabel terikat yang didasarkan
pada variabel bebas. Bila b (+) maka naik dan bila (-) maka
terjadi penurunan.
Rumus yang digunakan untuk mencari nilai (konstanta) dan nilai (koefisien
regresi), adalah sebagai berikut:
n ( ∑ XY )− ( ∑ X )( ∑ Y )
b= 2
n ( ∑ X 2 ) −( ∑ X )
a=Y−b X
Dimana:
a = Nilai konstanta
X = Rata-rata variabel X
Y = Rata-rata variabel Y
30
√
2
(r YX ) + (r YX )−2 ( r YX )( r YX )( r X X )
( r YX X )=
1 2 1 2 1 2
1 2 1−( r X X )
1 2
Dimana:
rY
X 1 X2
= Korelasi antara X1 dan X2 secara bersama-sama dengan Y
r YX
1 = Korelasi antara X1 dengan Y
r YX
2 = Korelasi antara X2 dengan Y
rX X
1 2 = Korelasi antara X1 dengan X2
2) Regresi linier berganda
Regresi linier berganda didasarkan pada hubungan fungsional atau kausal dua
variabel bebas atau lebih dengan satu variabel terikat. Persamaan umum regresi linier
berganda adalah:
Ŷ = a0 + b1X1 + b2X2
Untuk mencari nilai a, b1 dan b2 dapat digunakan formula berikut:
an+b 1 ∑ X 1 +b2 ∑ X 2=∑ Y
a ∑ X 1 +b1 ∑ X 2 + b2 ∑ X 1 X 2 =∑ X 1 Y
1
a ∑ X 2 +b1 ∑ X 1 X 2 + b2 ∑ X 2 =∑ X 2 Y
2
31
d. Uji Hipotesis dengan t-test dan F-test
Uji hipotesis dengan t-test digunakan untuk mengetahui apakah variabel bebas
memiliki hubungan signifikan dengan variabel terikat secara individual untuk setiap
variabel. Rumus yang digunakan untuk mengetahui nilai t-hitung adalah dengan
rumus sebagai berikut:
r √ n−2
t hitung=
√1−r 2
Setelah mendapat t-hitung melalui rumus di atas maka untuk
mengiterpretasikan hasilnya berlaku ketentuan sebagai berikut:
Jika t-hitung > t-tabel ----H0 ditolak (ada hubungan yang signifikan)
Jika t-hitung < t-tabel ----H0 diterima (tidak ada hubungan yang signifikan)
Uji hipotesis dengan F-test digunakan untuk menguji hubungan dua variabel
bebas secara bersama-sama dengan variabel terikat. Rumus yang digunakan adalah
sebagai berikut:
R2 / K
F=
( 1−R2) / ( n−K −1 )
Dimana:
R2 = koefisien determinasi
K = jumlah variabel independen
N = jumlah sampel
Nilai F-hitung > F-tabel, berarti H0 ditolak, Ha diterima.
32
DAFTAR PUSTAKA
Fatmawinir. 2015. Analisis Sebaran Logam Berat Pada Aliran Air Dari Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Air Dingin. J. Ris. Kim Vol. 8, No. 2,
Maret 2015, 102.
33
Kodoatie, Robert J. 2003, Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar.
Kosmanto, Y., Rohidin, & Brata, B. 2012. Strategi Pengelolaan Sampah di Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Kabupaten Bengkulu Selatan Tahun 2012. Jurnal
Penelitian Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, 1(1), 7–14.
Mulyadin, R. M., Iqbal, M., & Ariawan, K. 2018. Konflik Pengelolaan Sampah di
DKI Jakarta dan upaya Mengatasinya. Jurnal Analisis Kebijakan
Kehutanan, 15(2), 179-191.
34
Rangkuti, F. 2004. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis (kesebelas; Izul,
Ed.). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suharjono. 2019. TPST Piyungan Masih Ditutup, Pemkot Yogya Bingung Buang
Sampah Pasar. Yogyakarta.
Wahyuni, Djatmiko Hartoyo dan Sri Syaukat, Yusman. 2013. Strategi Pengelolaan
Sampah pada Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang, Bekasi., 5, 1–17.
35