Dokumen tersebut membahas tentang penyalahgunaan NAPZA di Indonesia. Secara garis besar menyebutkan bahwa prevalensi penyalahgunaan NAPZA di Indonesia mengalami peningkatan dan penurunan dari tahun ke tahun, dengan rentang usia pengguna terbanyak berada pada usia 18-28 tahun. Dokumen juga menjelaskan bahwa dukungan dari keluarga sangat penting dalam mencegah terjadinya relapse bagi mantan pengguna N
0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
1 tayangan7 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang penyalahgunaan NAPZA di Indonesia. Secara garis besar menyebutkan bahwa prevalensi penyalahgunaan NAPZA di Indonesia mengalami peningkatan dan penurunan dari tahun ke tahun, dengan rentang usia pengguna terbanyak berada pada usia 18-28 tahun. Dokumen juga menjelaskan bahwa dukungan dari keluarga sangat penting dalam mencegah terjadinya relapse bagi mantan pengguna N
Dokumen tersebut membahas tentang penyalahgunaan NAPZA di Indonesia. Secara garis besar menyebutkan bahwa prevalensi penyalahgunaan NAPZA di Indonesia mengalami peningkatan dan penurunan dari tahun ke tahun, dengan rentang usia pengguna terbanyak berada pada usia 18-28 tahun. Dokumen juga menjelaskan bahwa dukungan dari keluarga sangat penting dalam mencegah terjadinya relapse bagi mantan pengguna N
Dokumen tersebut membahas tentang penyalahgunaan NAPZA di Indonesia. Secara garis besar menyebutkan bahwa prevalensi penyalahgunaan NAPZA di Indonesia mengalami peningkatan dan penurunan dari tahun ke tahun, dengan rentang usia pengguna terbanyak berada pada usia 18-28 tahun. Dokumen juga menjelaskan bahwa dukungan dari keluarga sangat penting dalam mencegah terjadinya relapse bagi mantan pengguna N
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 7
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat adiktif lainnya) menurut
Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 Pasal 1, merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran1. Dampak yang terjadi dari penyalahgunaan NAPZA sangat besar selain seorang pengguna akan menjadi kecanduan (addictive), terjadi juga masalah psikososial dan psikologis secara umum yang didapat dari efek NAPZA yang dipakainya. Pengguna NAPZA juga akan mengalami gangguan kesehatan yang kronis berupa gangguan fungsi organ dan terkenanya Virus Hepatitis C dan D atau bahkan HIV/AIDS. Dampak yang lebih buruk terjadi pada pengguna dalam jangka waktu lama, seperti yang ditemukan di beberapa studi antara lain kematian, depresi, gangguan bipolar, bunuh diri dan skizofrenia2. Resiko penyalahgunaan NAPZA terhadap tubuh tergantung pada jenis NAPZA, jumlah atau dosis, frekuensi pemakaian, cara menggunakan (apakah digunakan bersama dengan obat lain), faktor psikologis (kepribagian, harapan dan perasan saat memakai), dan faktor biologis (berat badan, dan kecendrungan alergi)9. Data United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) tahun 2019 sebagai Badan dunia yang mengurusi masalah narkotika mencatat ada 271 juta jiwa di seluruh dunia atau 5,5 % dari jumlah populasi global penduduk dunia pernah mengkonsumsi narkoba. Menurut laporan European Drug Report 2020, kematian akibat narkoba di Eropa masih tinggi dengan angka kematian lebih dari 80 orang per juta kasus. Dengan Swedia menjadi negara tertinggi dengan kasus kematian mencapai 81 orang per satu juta penduduk akibat narkoba, Inggris menjadi negara kedua dengan kasus kematian akibat narkoba dengan data 79 kematian per satu juta penduduk. Angka tersebut meningkat dari tahun 2019 dan menjadi angka tertinggi sejak tahun 1993. Tingkat kematian tertinggi ditemukan pada usia 45-49 tahun, di ikuti oleh usia 40-44 tahun. Dan Finlandia berada di posisi ketiga dengan kasus kematian mencapai 72 orang per satu juta penduduk2,3,4. Sementara itu, Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat bahwa persoalan narkotika di Indonesia masih dalam kondisi yang memerlukan perhatian dan kewaspadaan tinggi secara terus menerus dari seluruh elemen bangsa Indonesia3. Dari hasil penelitian yang dilakukan BNN secara periodik setiap tiga tahunnya, Angka Prevalensi terhadap narkotika mulai tahun 2011 sampai dengan tahun 2014, terjadi penurunan. Namun di tahun 2019 kembali meningkat akibat adanya peningkatan penyalahgunaan narkoba jenis baru (New Psychoactive Substances) yang di tahun-tahun sebelumnya belum terdaftar di dalam lampiran Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang (Narkotika dan Permenkes Nomor 13 tahun 2014)5.
Pada tahun 2011 prevalensi pada angka 2,23% orang/jumlah penduduk
melakukan penyalahgunaan NAPZA. Pada tahun 2014 prevelensi menurun pada angka 2,18 %, dan pada tahun 2017 terus menurun pada angka 1,77 % setara dengan 3.376.115 orang melakukan penyalahgunaan narkoba5. Pada tahun 2019 kasus penyalahgunaan narkoba kembali meningkat dari tahun sebelumnya pada angka 1,80 % atau setara dengan 3,6 juta orang3,5. Di Indonesia tercatat wilayah provinsi penyalahgunaan narkoba tertinggi berada di wilayah Sumatera Utara dengan 2049 kasus, disusul Jawa Timur 1910 kasus, Jakarta 964 kasus, Jawa Barat 672 kasus dan Jawa Tengah 661 kasus pada tahun 2021 triwulan 130. Data United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) tahun 2019 menyimpulkan bahwa rentang usia penyalahgunaan narkoba diseluruh dunia ialah usia 15 hingga 64 tahun4. Sedangkan di Indonesia, data penelitian oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2017 bekerja sama dengan Universitas Indonesia, menunjukkan bahwa rentang usia penyalahgunaan narkoba di Indonesia ialah usia 10 hingga 59 tahun dengan total 90% pelaku penyalahgunaan NAPZA adalah individu berusia 18-28 tahun, yaitu kelompok usia dewasa muda. Penyalahgunaan narkoba tertinggi terdapat di kalangan pelajar dan mahasiswa sebesar 3,2% atau setara dengan 2.297.492 orang, di ikuti oleh kalangan pekerja dengan 2,1% setara dengan 1.514.037 orang dari 74.030.000 pekerja formal melakukan penyalahgunaan narkoba3,5. Upaya untuk mengatasi penyalahgunaan NAPZA salah satunya adalah rehabilitasi. Rehabilitasi merupakan upaya memulihkan dan mengembalikan kondisi para mantan penyalahguna NAPZA kembali sehat dalam arti fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Rehabilitasi adalah program yang dibuat khusus untuk memulihkan keadaan baik fisik maupun jasmani penyalahguna NAPZA. Biasanya rehabilitasi dilakukan di pusat-pusat rehabilitasi, atau ada juga beberapa rumah sakit yang menyediakan program rehabilitasi untuk para penyalahguna NAPZA6. Salah satu penyebab rehabilitasi yang merupakan program BNN dalam menanggulangi masalah penyalahgunaan NAPZA masih belum maksimal karena tinggi nya tingkat kejadian relapse. Menurut data UNDCP (United Nations International Drug Control Program), 200 juta orang di seluruh dunia atau sekitar 50-60% pengguna narkoba mengalami relapse (kambuh) pasca rehabilitasi. Data tersebut diperkuat oleh data National Institute on Drug (NIDA) yang menyatakan bahwa sekitar 40-60% orang yang pernah menjalani program rehabilitasi atau terapi untuk kecanduan narkoba akan mengalami relapse. Menurut BNN dalam PUSPENSOS (Pusat Penyuluhan Sosial) tahun 2020, sekitar 70% dari jumlah pecandu narkoba yang telah melalui program rehabilitasi dapat kembali kambuh atau relapse dan mengulangi tindakan penyalahgunaan obat-obatan terlarang30. Data tersebut diperkuat oleh penelitian Marizki Putri dkk pada tahun 2020, di Indonesia pengguna narkoba pasca rehabilitasi sebanyak 70-80% pengguna narkoba yang mengalami kekambuhan (relapse)31. Pencegahan relapse yang dilakukan guna mencegah terjadinya dampak psikologis bagi penyalahguna NAPZA. Mantan penyalahguna yang sudah pulih seringkali mengalami euforia karena keberhasilannya menyelesaikan masa rehabilitasi. Hal tersebut yang menjadikannya sombong dan serakah, akibatnya mantan penyalahguna tersebut menjadi lengah dan kembali menggunakan narkoba. Dampak psikologis yang dirasakan yaitu stres, karena mantan penyalahguna NAPZA terkadang merasa terbebani dan menyalahkan diri sendiri. Semua itu membuatnya stres seperti yang dulu pernah dialaminya, setiap kali mengalami masalah narkoba dijadikan sebagai pelariannya7. Peran yang sangat mendukung dalam penyembuhan individu dari ketergantungan obat yaitu keluarga dan lingkungan. Hal ini dikarenakan keinginan untuk sembuh tidak datang dari diri individu melainkan dorongan dari luar. Jika individu disuruh untuk berhenti dengan dorongan positif misalnya berhenti menggunakan NAPZA tetapi hasilnya tidak ada. Perlunya dukungan dari keluarga karena keluarga mempunyai sifat yang menghibur dan sebagai penguat perilaku yang mengarahkan keyakinan bahwa individu merasa dicintai dan dihargai. Peran keluarga sangat penting dalam setiap aspek keperawatan dalam meningkatkan status kesehatan anggota keluarganya7. Friedman pada tahun 2010 menyatakan dukungan keluarga yaitu tindakan dan penerimaan terhadap setiap anggota keluarga. Dukungan yang dimaksud selalu bersifat memberikan bantuan dan pertolongan jika ada yang membutuhkan29. Dukungan keluarga (family support) tidak hanya keluarga terdekat tetapi juga diberikan oleh teman akrab. Dalam keadaan ini individu merasa mendapatkan dukungan. Selain dukungan dari keluarga, korban penyalahgunaan narkoba harus mempunyai keinginan atau motivasi untuk sembuh agar proses penyembuhan lebih cepat. Dukungan keluarga tersebut ditunjukan untuk mengatasi secara efektif kondisi stres dan tertekan pada individu yang menghadapi masalah. Bentuk dukungan keluarga antara lain adalah dukungan penilaian, dukungan instrumental, dukungan informasi, dukungan emosional7.
Keluarga mempunyai peran yang penting dalam proses penyembuhan. Peran
adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu system, peran keluarga sangat diperlukan untuk membantu proses penyembuhan relapse, karena keluarga menyediakan sumber-sumber yang penting untuk memberi pelayanan kesehatan/keperawatan bagi dirinya dan orang lain dalam keluarga. Peran keluarga terbagi menjadi dua yaitu peran formal seperti sebagai penyedia, pengatur rumah tangga, merawat keluarga baik yang sehat maupun yang sakit, sosialisasi anak, dan sebagainya. Sedangkan peran informal keluarga seperti pendorong, pengharmonis, penghibur, perawat keluarga, dan sebagainya10.
Dukungan keluarga akan meningkatkan kemampuan anggota keluarga yang
bermasalah dengan NAPZA. Dukungan keluarga juga akan mengurangi resiko seseorang mengalami relapse11. Hal ini disebabkan karena dukungan keluarga merupakan faktor yang mendukung berhasilnya program rehabilitasi. Sehingga dukungan keluarga akan mendorong individu untuk menjadi kompeten dan tangguh sehingga dapat mengatasi kesulitan anggota keluarganya31. Upaya pencegahan relapse yang dilakukan tidak ada artinya jika tidak ada dukungan keluarga. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Aida Yulia pada tahun 2017 menunjukkan bahwa kejadian relapse lebih banyak terjadi pada responden yang tidak mendapatkan dukungan keluarga, yaitu sebesar 73,8% dari 78 responden1. Permasalahan ini sesuai dengan pernyataan, yaitu dukungan keluarga sangat berperan dalam proses penyembuhan seseorang yang ketergantungan obat8. Asmoro tahun 2016 menyatakan bahwa ada pengaruh lingkungan keluarga terhadap penggunaan NAPZA pada remaja. Lingkungan keluarga yang berpengaruh diantaranya keharmonisan keluarga, aktivitas orang tua, tipe orang tua serta ibadah dalam keluarga. Penelitian lain yang dilakukan Nurmaya pada tahun 2016 menyatakan ada 4 penyebab penggunaan NAPZA pada remaja yaitu faktor individu, faktor lingkungan pergaulan, faktor keluarga dan faktor lingkungan tempat tinggal10. Dilihat dari hasil pada penelitian sebelumnya peneliti merasa penting untuk melakukan penelitian dengan metode studi literatur untuk memperoleh hasil bagaimana dukungan keluarga dan jenis dukungan keluarga diberikan sehingga dukungan keluarga tersebut berpengaruh atau tidak terhadap kejadian relapse pada penyalahgunaan NAPZA
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk dapat melakukan Studi
Literatur dengan judul “Hubungan dukungan keluarga terhadap kejadian relapse pada penyalahgunaan NAPZA”.
Tujuan penelitian studi literatur ini adalah untuk mengetahui gambaran
dukungan keluarga pada klien penyalahgunaan NAPZA terhadap kejadian relapse. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada studi ini adalah bagaimana dukungan keluarga terhadap kejadian relapse pada penyalahgunaan NAPZA. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk menganalisis artikel penelitian terkait gambaran dukungan keluarga terhadap kejadian relapse pada penyalahgunaan NAPZA. 1.3.2 Tujuan Khusus 1.3.2.1 Untuk diketahui gambaran dukungan keluarga terhadap kejadian relapse pada penyalahgunaan NAPZA
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan Institusi pendidikan dapat memanfaatkan hasil studi literatur ini untuk tambahan pengetahuan dan sebagai referensi dalam upaya untuk mengetahui dukungan kelurga terhadap kejadian relapse pada penyalahgunaan NAPZA.
1.4.2 Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan (Rehabilitasi)
Institusi pelayanan kesehatan dapat menambah informasi untuk melihat bagaimana dukungan kelurga terhadap kejadian relapse pada penyalahgunaan NAPZA.
1.4.3 Bagi Perawat Pendidik
Perawat pendidik dapat menggunakan hasil studi literatur ini dalam pengembangan metode pembelajaran dalam meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk mengatasi masalah keperawatan keluarga tentang dukungan keluarga terhadap kejadian relapse pada penyalahgunaan NAPZA. 1.4.4 Bagi Peneliti Lain Diharapkan dapat digunakan sebagai sumber dan bahan masukan bagi penelitian selanjutnya untuk menggali dan melakukan penelitian tentang bagaimana dukungan keluarga terhadap kejadian relapse pada penyalahgunaan NAPZA.