Hak Kekayaan Intelektual
Hak Kekayaan Intelektual
Hak Kekayaan Intelektual
tercatat ada 151 baik negara maju maupun negara berkembang, meski
anggotanya termasuk pula negara maju, namun sebenarnya PCT
dikhususkan untuk negara berkembang seperti Indonesia. Manfaat yang
bisa diperoleh dari mengajukan atau mendaftarkan paten secara
internasional melalui PCT ialah inventor atau kalangan pengusaha swasta
Indonesia bisa mendapatkan perlindungan hukum atas patennya di banyak
negara sesuai dengan keinginan pemohon, serta inventor tidak perlu
mengajukan perlindungan paten ke Dirjen HKI.
Perlindungan Varietas
7. Tanaman UU No. 29 Tahun 2000
Kreasi estetika;
skema;
aturan dan metode untuk melakukan kegiatan
aturan dan metode mengenai program komputer;
presentasi mengenai suatu informasi.
Paten juga tidak diberikan untuk invensi tentang;
Judul Invensi;
Latar Belakang Invensi, yang menerangkan teknologi yang ada sebelumnya
serta masalah yang terdapat pada teknologi tersebut, yang coba
ditanggulangi oleh invensi;
Uraian Singkat Invensi, yang menerangkan secara ringkas mengenai fitur-
fitur yang terkandung dalam, dan menyusun, invensi;
Uraian Lengkap Invensi, yang menerangkan mengenai bagaimana cara
melaksanakan invensi;
Gambar Teknik, jika diperlukan untuk menerangkan invensi secara lebih
jelas;
Uraian Singkat Gambar, untuk menerangkan mengenai Gambar Teknik
yang disertakan;
Abstrak, ringkasan mengenai invensi dalam satu atau dua paragraf;
Klaim, yang memberi batasan mengenai fitur-fitur apa saja yang dinyatakan
sebagai baru dan inventif oleh sang inventor, sehingga layak mendapatkan
hak paten.
Penyusunan spesifikasi paten membutuhkan keahlian dan pengalaman
tersendiri, karena perlu memadukan antara bahasa teknik dan bahasa
hukum di dalamnya. Banyak Konsultan HKI Terdaftar yang memiliki
kualifikasi keahlian dan pengalaman tersebut, serta akan dapat membantu
anda menyusun spesifikasi. Perlu membayar biaya Permohonan Paten
sebesar Rp. 750.000,00. Apabila ketiga persyaratan minimum ini dipenuhi,
maka permohonan akan mendapat Tanggal Penerimaan
(FilingDate).Persyaratan lain berupa persyaratan formalitas dapat
dilengkapi selama tiga bulan sejak Tanggal Penerimaan, dan dapat dua
kali diperpanjang, masing-masing untuk dua dan satu bulan. Persyaratan
formalitas tersebut adalah:
Surat Pernyataan Hak, yang merupakan pernyataan Pemohon Paten bahwa
ia memang memiliki hak untuk mengajukan permohonan paten tersebut;
Surat Pengalihan Hak, yang merupakan bukti pengalihan hak dari Inventor
kepada Pemohon Paten, jika Inventor dan Pemohon bukan orang yang sama;
Surat Kuasa, jika permohonan diajukan melalui Kuasa;
Fotokopi KTP/Identitas Pemohon, jika Pemohon perorangan;
Fotokopi Akta Pendirian Badan Hukum yang telah dilegalisir, jika Pemohon
adalah Badan Hukum;
Fotokopi NPWP Badan Hukum, jika Pemohon adalah Badan Hukum; dan
Fotokopi KTP/Identitas orang yang bertindak atas nama Pemohon Badan
Hukum untuk menandatangani Surat Pernyataan dan Surat Kuasa.
Masa pengumuman akan dimulai segera setelah 18 (delapanbelas) bulan
berlalu dari sejak Tanggal Penerimaan, dan akan berlangsung selama 6
(enam) bulan.
Permohonan paten akan dimuat dalam Berita Resmi Paten dan media
resmi pengumuman paten lainnya. Tujuannya adalah membuka
kesempatan kepada masyarakat untuk mengetahui mengenai invensi yang
dimohonkan paten, di mana masyarakat bisa mengajukan keberatan
secara tertulis kepada DJHKI jika masyarakat mengetahui bahwa invensi
tersebut tidak memenuhi syarat untuk dipatenkan.
Pasal 20
Pemegang hak paten dengan dasar hukum (legal standing) ini dapat
mengajukan ganti rugi kepada siapa saja yang melakukan perbuatan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1) di atas. Pasal 143
Undang-undang Paten ayat (1) menegaskan bahwa “Pemegang Paten
atau penerima Lisensi berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada
Pengadilan Niaga terhadap setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa
hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1)”.
Khusus untuk hak kekayaan intelektual dalam ranah hak cipta karya tulis,
Abdullah al-Mushlih, dan Shalah Ash-Shawi mendefinisikannya sebagai
sejumlah keistimewaan yang dimiliki oleh seorang penulis atau pengarang
yang bisa dihargai dengan uang. Hak demikian bisa disebut hak abstrak,
kepemilikan seni atau sastra, atau hak-hak intelektual. Fatwa Majelis
Ulama’ Indonesia sendiri mendefinisikan hak kekayaan intelektual sebagai
hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundangan-
undangan yang berlaku. [9]
Hukum hak kekayaan intelektual dalam fiqih Islam dapat dianalisa dengan
menggunakan qawaidh fiqhiyyah, ushul fiqih, dan maqashid asy-
syariah. Berdasarkan ijma ulama hak kekayaan intelektual dilindungi oleh
hukum Islam, karena keberadaannya disamakan dengan harta, dan hak
kekayaan intelektual termasuk dalam kategori milk al-tam (milik penuh).
Implikasinya atau karena HKI adalah harta, HKI dapat diperjualbelikan oleh
pemegang hak. Diperbolehkannya menjual hak kekayaan intelektual
tersebut akan mampu memberikan stimulus bagi penemu dan pencipta di
bidang garapan keilmuan lainnya untuk berkompetisi secara aktif dalam
riset, karena mereka telah mendapatkan penghidupan yang layak dari jerih
payahnya (dari hasil komersialisasi objek HKI).
Mengembangkan Sendiri
Pada bentuk komersialisasi ini, pemilik HKI dapat mengembangkan usaha
berbasiskan HKI miliknya. Bentuk komersialisasi ini merupakan bentuk
komersialisasi yang memiliki resiko dan pengembalian ekonomis yang
paling tinggi. Pada bentuk komersialisasi ini, semua resiko ditanggung oleh
pemilik HKI dengan catatan bahwa pemilik HKI memiliki sumberdaya yang
dibutuhkan untuk mengembangkan usahanya ini.
Akuisisi
Membeli/mengakuisisi suatu perusahaan lebih tidak beresiko dibandingkan
dengan mengembangkan usaha baru karena investasi pengembangan
awal sudah selesai dan infrastruktur produksi sudah tersedia. Dengan
bentuk komersialisasi ini, pemegang HKI dapat meningkatkan daya
saingnya untuk penetrasi pasar dengan lebih cepat karena
memperpendek time to market dengan tetap mempertahankan kendali total
(Megantz, 1996). Tantangan pada bentuk komersialisasi adalah potensi-
potensi friksi atau konflik karena perbedaan budaya atau manajemen
antara pemilik HKI dan perusahaan yang mengakuisisinya.
Joint Venture
Ketika dua perusahaan memiliki kesamaan visi atau saling mengisi satu
sama lain (satu perusahaan menutup asset komplementer dari perusahaan
yang lain), maka sebuah perusahaan joint venture dapat dibentuk. Dalam
joint venture ini, dua atau lebih perusahaan menyetujui untuk berbagi
modal, teknologi, sumberdaya manusia, resiko dan imbalan dalam
pembentukan unit usaha baru di bawah pengawasan bersama (Megantz,
1996). Bentuk komersialisasi ini sangat strategis apabila bias ditemukan
partner yang memiliki asset komplementer (kapasitas, sumberdaya, dan
lain-lain).
Lisensi
Lisensi berarti izin yang diberikan oleh pemilik HKI kepada pihak lain
berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi
dari suatu HKI dalam jangka waktu dan syarat tertentu. Hak untuk
memakai HKI ini umumnya ditukar dengan suatu biaya lisensi atau royalti
dalam berbagai bentuknya, seperti persentase dari laba bersih pemegang
lisensi, persentase dari penjualan kotor dari pemegang lisensi atau biaya
yang telah ditentukan. Bentuk komersialisasi ini merupakan bentuk yang
paling umum digunakan dalam komersialisasi HKI. Lisensi sendiri terdapat
dua bentuk yaitu lisensi eksklusif dan non-eksklusif. Pada lisensi eksklusif,
pemilik HKI biasanya memutuskan untuk tidak memberikan HKI tersebut
kepada pihak lain dalam daerah tersebut untuk jangka waktu lisensi,
kecuali kepada pemegang lisensi eksklusifnya. Sedangkan pada lisensi
non eksklusif, pemilik HKI dapat memberikan lisensi HKI-nya kepada pihak
lainnya dan juga menambah jumlah pemakai lisensi dalam daerah yang
sama.
Aliansi Strategis
Jika dua perusahan memiliki tujuan yang sama dan saling menguntungkan,
sebuah aliansi dapat dibentuk yang memungkinkan terjadinya pembagian
keuntungan. Melalui sebuah aliansi, perusahaan dapat menggunakan
keahlian masing-masing untuk mengambil manfaat sebesar-besarnya dari
sebuah pasar atau satu perusahaan setuju untuk memasarkan dan
menjual produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang lain. Dalam bentuk
komersialisasi ini, satu perusahaan dapat mencapai tujuan dengan tetap
mempertahankan fleksibilitasnya untuk beradaptasi dengan cepat misalnya
dengan penggantian partner. Aliansi dapat horisontal atau vertikal. Sebagai
contoh pada aliansi yang vertikal, partner menangani market dan pemilik
HKI mengembangkan produknya.
Penjualan
Pemilik HKI dapat melakukan penjualan atas HKI-nya dengan
pertimbangan-pertimbangan strategis tertentu. Bentuk komersialisasi ini
merupakan yang paling tidak beresiko bagi pemilik HKI tetapi memberikan
resiko yang tertinggi bagi pembelinya.
Bagaimana pendapat saudara apakah memang terdapat indikasi pelanggaran merek dalam kasus
ini ? Jelaskan !
Jawab :
Ya, terdapat indikasi pelanggaran merek “Trio Macan” , karena pada dasarnya pelanggaran merek
terjadi apabila terdapat kesamaan keseluruhannya atau persamaan pada pokoknya dengan Merek
yang telah terdaftar baik untuk barang atau jasa yang sejenis dalam satu kelas. “TrioMacan” adalah
merek yang telah didaftarkan sedangkan “3Macan” merek yang memiliki kesamaan pada pokoknya
yaitu pada kata “Macan” dan kesamaan pada terjemahannya yaitu kata “Trio” dengan “3” memiliki
arti terjemahan yang sama.
2. HKI dapat dikelompokan dalam berapa kelompok. Di Indonesia diatur dimana saja ?
Jawab :
HKI dikelompokkan dalam :
a. Yang berkaitan dengan Industri (Industrial Property), yaitu : Paten, Merek, Nama Perusahaan,
Rahasia Dagang
b. Yang berkaitan dengan Estetika (Aesthetics Property), yaitu : Hak Cipta
3. HKI ada dimana-mana, HKI ada disekitar kita, ”dari herbal dampai digital” berkaitan dengan
HKI, apa maksudnya ungkapan tersebut ?
Jawab :
Bidang kajian HKI meliputi seluruh aspek kehidupan manusia sehari-hari, termasuk didalamnya
barang, jasa, seni, Ilmu pengetahuan yang dibutuhkan manusia, sehing HKI selalu ada ketika
manusia itu ada.
4. Merek mempunyai beberapa fungsi, dari fungsi yang paling dasar sampai dengan fungsi yang
paling bergengsi, sebutkan fungsi tersebut dan mana dari fungsi tersebut yang merupakan fungsi
merek yang sesungguhnya ?
Jawab :
Fungsi merek adalah :
a. Memberi nama Product
b. Membedakan dengan Product lain
c. Memberikan jaminan kepada konsumen
d. Memberikan Persepsi kualitas product (Emotional Branding)
Persepsi atau citra product inilah yang merupakan fungsi merek yang sesunguhnya
6. Apabila seseorang mendaftarkan ciptaan program computer ke Ditjen HKI dan ditolak
permohonan pendaftarannya, Apakah akibat Hukumnya ?
Jawab :
Tidak berakibat atau berpengaruh hukum terhadap karya cipta Program computer tersebut, karena
adanya ketentuan Automatic Protection jika karya cipta tersebut memang benar-benar telahselesai
dibuatnya. Disamping itu karena Pendaftaran terhadap Karya Hak Cipta sifatnya hanya pengesahan
Administratif saja, Karya Cipta tidak wajib untuk didaftarkan di Ditjen HKI.
Teknologi Sistem Informasi
empat macam jenis HAKI »
Sejarah Singkat, Latar Belakang, dan
Perkembangan HAKI di Indonesia
November 12, 2012 //
0
A. PENGERTIAN
Hak Kekayaan Intelektual yang disingkat ‘HKI’ atau akronim ‘HaKI’ adalah padanan kata yang
biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang timbul bagi hasil olah
pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia.
Pada intinya HaKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas
intelektual. Objek yang diatur dalam HaKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena
kemampuan intelektual manusia.
Kalau dilihat secara historis, undang-undang mengenai HaKI pertama kali ada di Venice, Italia
yang menyangkut masalah paten pada tahun 1470. Caxton, Galileo dan Guttenberg tercatat
sebagai penemu-penemu yang muncul dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak
monopoli atas penemuan mereka.
Hukum-hukum tentang paten tersebut kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris di jaman TUDOR
tahun 1500-an dan kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris yaitu Statute of
Monopolies (1623). Amerika Serikat baru mempunyai undang-undang paten tahun 1791. Upaya
harmonisasi dalam bidang HaKI pertama kali terjadi tahun 1883 dengan lahirnya Paris
Convention untuk masalah paten, merek dagang dan desain. Kemudian Berne Convention 1886
untuk masalah copyright atau hak cipta.
Tujuan dari konvensi-konvensi tersebut antara lain standarisasi, pembahasan masalah baru,
tukar menukar informasi, perlindungan mimimum dan prosedur mendapatkan hak. Kedua
konvensi itu kemudian membentuk biro administratif bernama the United International Bureau for
the Protection of Intellectual Property yang kemudian dikenal dengan nama World Intellectual
Property Organisation (WIPO). WIPO kemudian menjadi badan administratif khusus di bawah
PBB yang menangani masalah HaKI anggota PBB.
Sebagai tambahan pada tahun 2001 World Intellectual Property Organization (WIPO) telah
menetapkan tanggal 26 April sebagai Hari Hak Kekayaan Intelektual Sedunia. Setiap tahun,
negara-negara anggota WIPO termasuk Indonesia menyelenggarakan beragam kegiatan dalam
rangka memeriahkan Hari HKI Sedunia
Sejak ditandatanganinya persetujuan umum tentang tariff dan perdagangan (GATT) pada
tanggal 15 April 1994 di Marrakesh-Maroko, Indonesia sebagai salah satu negara yang telah
sepakat untuk melaksanakan persetujuan tersebut dengan seluruh lampirannya melalui Undang-
undang No. 7 tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO).
Lampiran yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual (HaKI) adalah Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights (TRIP’s) yang merupakan jaminan bagi keberhasilan
diselenggarakannya hubungan perdagangan antar Negara secara jujur dan adil, karena :
1. TRIP’s menitikberatkan kepada norma dan standard
2. Sifat persetujuan dalam TRIP’s adalah Full Complience atau ketaa
tan yang bersifat memaksa tanpa reservation
3. TRIP’s memuat ketentuan penegakan hukum yang sangat ketat de
ngan mekanisme penyelesaian sengketa diikuti dengan sanksi yang
bersifat retributif.
Tumbuhnya konsepsi kekayaan atas karya-karya intelektual pada akhirnya juga menimbulkan
untuk melindungi atau mempertahankan kekayaan tersebut. Pada gilirannya, kebutuhan ini
melahirkan konsepsi perlindungan hukum atas kekayaan tadi, termasuk pengakuan hak
terhadapnya. Sesuai dengan hakekatnya pula, HaKI dikelompokan sebagai hak milik perorangan
yang sifatnya tidak berwujud (Intangible).
Pengenalan HaKI sebagai hak milik perorangan yang tidak berwujud dan penjabarannya secara
lugas dalam tatanan hukum positif terutama dalam kehidupan ekonomi merupakan hal baru di
Indonesia. Dari sudut pandang HaKI, aturan tersebut diperlukan karena adanya sikap
penghargaan, penghormatan dan perlindungan tidak saja akan memberikan rasa aman, tetapi
juga mewujudkan iklim yang kondusif bagi peningkatan semangat atau gairah untuk
menghasilkan karya-karya inovatif,inventif dan produktif.
Jika dilihat dari latar belakang historis mengenai HaKI terlihat bahwa di negara barat (western)
penghargaan atas kekayaan intelektual atau apapun hasil olah pikir individu sudah sangat lama
diterapkan dalam budaya mereka yang kemudian ditejemahkan dalam perundang-undangan.
HaKI bagi masyarakat barat bukanlah sekedar perangkat hukum yang digunakan hanya untuk
perlindungan terhadap hasil karya intelektual seseorang akan tetapi dipakai sebagai alat strategi
usaha dimana karena suatu penemuan dikomersialkan atau kekayaan intelektual,
memungkinkan pencipta atau penemu tersebut dapat mengeksploitasi ciptaan/penemuannya
secara ekonomi. Hasil dari komersialisasi penemuan tersebut memungkinkan pencipta karya
intelektual untuk terus berkarya dan meningkatkan mutu karyanya dan menjadi contoh bagi
individu atau pihak lain, sehingga akan timbul keinginan pihak lain untuk juga dapat berkarya
dengan lebih baik sehingga timbul kompetisi.Perkembangan Haki di Indonesia
Pada awal tahun 1990, di Indonesia, HAKI itu tidak populer. Dia mulai populer memasuki tahun
2000 sampai dengan sekarang. Tapi, ketika kepopulerannya itu sudah sampai puncaknya,
grafiknya akan turun. Ketika dia mau turun, muncullah hukum siber, yang ternyata kepanjangan
dari HAKI itu sendiri. Jadi, dia akan terbawa terus seiring dengan ilmu-ilmu yang baru. Tapi kalau
yang namanya HAKI dan hukum siber itu prediksi saya akan terus berkembang pesat, seiring
dengan perkembangan teknologi informasi yang tidak pernah berhenti berinovasi.
Inilah kira-kira perubahan undang-undang perjalanan perundangn-undang HAKI
di Indonesia sebagai berikut : UU No 6 Tahun 1982 ——-> diperbaharui menjadi UU No 7 Tahun
1987—— > UU No 12 Tahun 1992——> Terakhir, UU tersebut diperbarui menjadi UU No 19
Tahun 2002 tentang Hak Kekayan Intelektual yang disahkan pada 29 Juli 2002 ternyata
diberlakukan untuk 12 bulan kemudian, yaitu 19 Juli 2003, inilah kemudian menjadi landasan
diberlakukannya UU HAKI di Indonesia.
Apakah pemberlakuan HAKI merupakan “kelemahan” Indonesia terhadap Negara-negara maju
yang berlindung di balik WTO ? Konsekuensi HAKI/akibat diberlakukannya HAKI :
1. Pemegang hak dapat memberikan izin atau lisensi kepada pihak lain.
2. Pemegang hak dapat melakukan upaya hukum baik perdata maupun
pidana dengan masyarakat umum.
3. Adanya kepastian hukum yaitu pemegang dapat melakukan usahanya
dengan tenang tanpa gangguan dari pihak lain.
4. pemberian hak monopoli kepada pencipta kekayaan intelektual memungkinkan pencipta atau
penemu tersebut dapat mengeksploitasi ciptaan/penemuannya secara ekonomi. Hasil dari
komersialisasi penemuan tersebut memungkinkan pencipta karya intektual untuk terus berkarya
dan meningkatkan mutu karyanya dan menjadi contoh bagi individu atau pihak lain, sehingga
akan timbul keinginan pihak lain untuk juga dapat berkarya dengan lebih baik sehingga timbul
kompetisi.
Di Indonesia, HaKI mulai populer memasuki tahun 2000 sampai dengan sekarang. Tapi, ketika
kepopulerannya itu sudah sampai puncaknya, grafiknya akan turun. Ketika mau turun, muncullah
hukum siber (cyber), yang ternyata perkembangan dari HaKI itu sendiri. Jadi, HaKI akan terbawa
terus seiring dengan ilmu-ilmu yang baru. seiring dengan perkembangan teknologi informasi
yang tidak pernah berhenti berinovasi.
Peraturan perundangan HaKI di Indonesia dimulai sejak masa penjajahan Belanda dengan
diundangkannya Octrooi Wet No. 136 Staatsblad 1911 No. 313, Industrieel Eigendom Kolonien
1912 dan Auterswet 1912 Staatsblad 1912 No. 600.
Setelah Indonesia merdeka, Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman No. JS 5/41
tanggal 12 Agustus 1953 dan No. JG 1/2/17 tanggal 29 Agustus 1953 tentang Pendaftaran
Sementara Paten.
Pada tahun 1961, Pemerintah RI mengesahkan Undang-undang No. 21 Tahun 1961 tentang
Merek. Kemudian pada tahun 1982, Pemerintah juga mengundangkan Undang-undang No. 6
Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Di bidang paten, Pemerintah mengundangkan Undang-undang
No. 6 Tahun 1989 tentang Paten yang mulai efektif berlaku tahun 1991. Di tahun 1992,
Pemerintah mengganti Undang-undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek dengan Undang-
undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek.
Sejalan dengan masuknya Indonesia sebagai anggota WTO/TRIPs dan diratifikasinya beberapa
konvensi internasional di bidang HaKI sebagaimana dijelaskan dalam jawaban no. 7 di atas,
maka Indonesia harus menyelaraskan peraturan perundang-undangan di bidang HaKI. Untuk itu,
pada tahun 1997 Pemerintah merevisi kembali beberapa peraturan perundang-undangan di
bidang HaKI, dengan mengundangkan:
– Undang-undang No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun
1982 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta;
– Undang-undang No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun
1989 tentang Paten;
– Undang-undang No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 19 Tahun
1992 tentang Merek;
Selain ketiga undang-undang tersebut di atas, pada tahun 2000 Pemerintah juga
mengundangkan :
Pada tahun 1994, Indonesia masuk sebagai anggota WTO (World Trade Organization) dengan
meratifikasi hasil Putaran Uruguay yaitu Agreement Establishing the World Trade Organization
(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Salah satu bagian penting dari
Persetujuan WTO adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights
Including Trade In Counterfeit Goods (TRIPs). Sejalan dengan TRIPs, Pemerintah Indonesia
juga telah meratifikasi konvensi-konvensi Internasional di bidang HaKI, yaitu:
a. Paris Convention for the protection of Industrial Property and Convention Establishing the
World Intellectual Property Organizations, dengan Keppres No. 15 Tahun 1997 tentang
perubahan Keppres No. 24 Tahun 1979;
b. Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT, dengan Keppres No. 16
Tahun 1997;
Memasuki milenium baru, hak kekayaan intelektual menjadi isu yang sangat penting yang selalu
mendapat perhatian baik dalam forum nasional maupun internasional Dimasukkannya TRIPS
dalam paket Persetujuan WTO di tahun 1994 menandakan dimulainya era baru perkembangan
HaKI di seluruh dunia. Dengan demikian pada saat ini permasalahan HaKI tidak dapat
dilepaskan dari dunia perdagangan dan investasi. Pentingnya HaKI dalam pembangunan
ekonomi dan perdagangan telah memacu dimulainya era baru pembangunan ekonomi yang
berdasar ilmu pengetahuan
.
HaKI adalah konsep hukum yang netral. Namun, sebagai pranata, HaKI juga memiliki misi. Di
antaranya, menjamin perlindungan terhadap kepentingan moral dan ekonomi pemiliknya. Bagi
Indonesia, pengembangan sistem HaKI telah diarahkan untuk menjadi pagar, penuntun dan
sekaligus rambu bagi aktivitas industri dan lalu lintas perdagangan. Dalam skala ekonomi makro,
HaKI dirancang untuk memberi energi dan motivasi kepada masyarakat untuk lebih mampu
menggerakkan seluruh potensi ekonomi yang dimiliki.
Ketika menghadapi badai krisis ekonomi, HaKI terbukti dapat menjadi salah satu payung
pelindung bagi para tenaga kerja yang memang benar-benar kreatif dan inovatif. Lebih dari itu,
HaKI sesungguhnya dapat diberdayakan untuk mengurangi kadar ketergantungan ekonomi pada
luar negeri. Bagi Indonesia, menerima globalisasi dan mengakomodasi konsepsi perlindungan
HaKI tidak lantas menihilkan kepentingan nasional. Keberpihakan pada rakyat, tetap menjadi
justifikasi dalam prinsip-prinsip pengaturan dan rasionalitas perlindungan berbagai bidang HaKI
di tingkat nasional. Namun, semua itu harus tetap berada pada koridor hukum dan norma-norma
internasional.
Dari segi hukum, sesungguhnya landasan keberpihakan pada kepentingan nasional itu telah
tertata dalam berbagai pranata HaKI. Di bidang paten misalnya, monopoli penguasaan dibatasi
hanya 20 tahun. Selewatnya itu, paten menjadi public domain. Artinya, klaim monopoli dihentikan
dan masyarakat bebas memanfaatkan.
Di bidang merek, HaKI tegas menolak monopoli pemilikan dan penggunaan merek yang miskin
reputasi. Merek serupa itu bebas digunakan dan didaftarkan orang lain sepanjang untuk
komoditas dagang yang tidak sejenis. HaKI hanya memberi otoritas monopoli yang lebih ketat
pada merek yang sudah menjadi tanda dagang yang terkenal. Di luar itu, masyarakat bebas
menggunakan sepanjang sesuai dengan aturan. Yang pasti, permintaan pendaftaran merek
ditolak bila didasari iktikad tidak baik.
Banyak pemikiran yang menawarkan tesis bahwa efektivitas UU ditentukan oleh tiga hal utama.
Yaitu, kualitas perangkat perundang-undangan, tingkat kesiapan aparat penegak hukum dan
derajat pemahaman masyarakat.
Pertama, dari segi kualitas perundang-undangan. Masalahnya adalah apakah materi muatan UU
telah tersusun secara lengkap dan memadai, serta terstruktur dan mudah dipahami. Aturan
perundang-undangan di bidang HaKI memiliki kendala dari sudut parameter ini. Hal ini terbukti
dari seringnya merevisi perangkat perundangan yang telah dimiliki. UU Hak Cipta telah tiga kali
direvisi. Demikian pula UU Paten dan UU Merek yang telah disempurnakan lagi setelah
sebelumnya bersama-sama direvisi tahun 1997. Sebagai instrumen pengaturan yang relatif
baru, bongkar pasang UU bukan hal yang tabu.
Setiap kali dilakukan revisi, setiap kali pula tertambah kekurangan-kekurangan yang dahulu tidak
terpikirkan. Dalam banyak hal, revisi juga sekedar merupakan klarifikasi. Ini yang sering kali
digunakan sebagai solusi atas problema pengaturan yang tidak jelas atau melahirkan
multiinterpretasi.
Kedua, tingkat kesiapan aparat penegak hukum. Faktor ini melibatkan banyak pihak: polisi,
jaksa, hakim, dan bahkan para pengacara. Seperti sudah sering kali dikeluhkan, sebagian dari
para aktor penegakan hukum tersebut dinilai belum sepenuhnya mampu mengimplementasikan
UU HaKI secara optimal. Dengan menepis berbagai kemungkinan terjadinya ‘penyimpangan’,
kendala yang dihadapi memang tidak sepenuhnya berada di pundak mereka. Sistem pendidikan
dan kurikulum di bangku pendidikan tinggi tidak memberikan bekal substansi yang cukup di
bidang HaKI. Karenanya, dapat dipahami bila wajah penegakan hukum HaKI masih tampak
kusut dan acapkali diwarnai berbagai kontroversi.
Ketiga, derajat pemahaman masyarakat. Sesungguhnya memang kurang fair menuntut
masyarakat memahami sendiri aturan HaKI tanpa bimbingan yang memadai. Sebagai konsep
hukum baru yang padat dengan teori lintas ilmu, HaKI memiliki kendala klasik untuk dapat
dimengerti dan dipahami. Selain sistem edukasi yang kurang terakomodasi di jenjang perguruan
tinggi, HaKI hanya menjadi wacana yang sangat terbatas karena kurangnya
Dari paparan di atas tampak bahwa faktor pemahaman masyarakat dan kesiapan aparat
penegak hukum, memiliki korelasi yang kuat dengan kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan.
Sosialisasi menjadi tingkat prakondisi bagi efektivitas penegakan hukum. Efektivitas penegakan
hukum sungguh sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahaman masyarakat dan kesiapan aparat.
Semakin tinggi pemahaman masyarakat semakin tinggi pula tingkat kesadaran hukumnya.
Demikian pula kondisi aparat. Semakin bulat pemahaman aparat, semakin mantap kinerja
mereka di lapangan. Keduanya merupakan faktor yang menentukan. Karenanya, sosialisasi
merupakan keharusan. Sosialisasi diperlukan utamanya untuk membangun pemahaman dan
menumbuhkan kesadaran masyarakat. Seiring dengan itu untuk meningkatkan pemahaman dan
memantapkan kemampuan aparat dalam menangani masalah HaKI.
Di antara bidang-bidang HaKI yang diobservasi, hak cipta, dan merek merupakan korban paling
parah akibat pelanggaran. Terdapat empat kategori karya cipta yang banyak dibajak hak
ekonominya. Data ini direpresentasi oleh karya program komputer, musik, film dan buku dari AS
yang secara berturut-turut mencatat angka kerugian yang sangat signifikan. Kalkulasi kerugian
berbagai komoditas tersebut telah memaksa AS menghukum Indonesia dengan
menempatkannya ke dalam status priority watchlist dalam beberapa tahun terakhir ini.
Di bidang merek, pelanggaran tidak hanya menyangkut merek-merek asing. Selain merek
terkenal asing, termasuk yang telah diproduksi di dalam negeri, merek-merek lokal juga tak luput
dari sasaran peniruan dan pemalsuan. Di antaranya, produk rokok, tas, sandal dan sepatu,
busana, parfum, arloji, alat tulis dan tinta printer, oli, dan bahkan onderdil mobil. Kasus
pemalsuan yang terakhir ini terungkap lewat operasi penggerebekan terhadap sebuah toko di
Jakarta Barat yang mendapatkan sejumlah besar onderdil Daihatsu palsu. Pelakunya telah
ditindak dan saat ini sedang menjalani persidangan di PN Jakarta Barat.
Kasus Daihatsu tampaknya belum akan menjadi kasus terakhir. Prediksi ini muncul karena
fenomena pelanggaran hukum yang masih belum dijerakan oleh sanksi pidana yang dijatuhkan.
Faktor deterrent hukum masih belum mampu unjuk kekuatan. Pengadilan masih nampak
setengah hati memberi sanksi. Padahal, pemalsuan sparepart bukan saja merugikan konsumen
secara ekonomi, tetapi juga dapat mencelakakan dan mengancam jiwanya. Kesemuanya itu
tidak disikapi dengan penuh atensi. Sebaliknya, dianggap sekedar sebagai perbuatan yang
dikategorikan merugikan orang lain. Sekali lagi, tingkat kesadaran hukum masyarakat sangat
menentukan. Betapapun, datangnya kesadaran itu acapkali harus dipaksakan melalui putusan
pengadilan. Inilah harga yang harus dibayar untuk dapat mewujudkan penegakan hukum HaKI
yang tidak hanya diperlukan untuk kepentingan pemegang HaKI, tetapi juga bagi jaminan
kepastian, kenyamanan, dan keselamatan masyarakat konsumen secara keseluruhan.
MACAM-MACAM HAK
KEKAYAAN INTELEKTUAL
Ditulis pada April 27, 2014
MACAM-MACAM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Hak kekayaan intelektual itu adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari
hasil kerja otak (peranannya sebagai pusat pengaturan segala kegiatan fisik dan psikologis), hasil
kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar, hasilkerjaanya itu berupa benda
immateril (benda yang tidak berwujud). Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai
intelektualitas. Orang yang optimal mememrankan kerja otaknya disebut sebagai orang yang
terpelajar, mampu menggunakan rasio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan
logika (metode berpikir, cabang filsafat), karena itu hasil pemikirannya disebut rasional atau
logis. Orang yang tergabung dalam kelompok ini disebut kaum intelektual.
Hak kekayaan intelektual diklasifikasikan termasuk dalam bidang hukum perdata yang
merupakan bagian hukum benda. Khusus mengenai hukum benda di sana terdapat pengaturan
tentang hak kebendaan. Hak kebendaan itu sendiri terdiri atas hak benda materil dan immateril.
HAKi disebut juga Hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada seseorang atau sekelompok
orang untuk memegang monopoli dalam menggunakan dan mendapatkan manfaat dari kekayaan
intelektual.
Perlindungan dan penegakkan hukum HAKi burtujuan untuk mendorong timbulnya inovasi,
pengalihan dan penyebaran teknologi dan diperolehnya manfaat bersama antara penghasil dan
pengguna pengetahuan teknologi, menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi serta
keseimbangan antara hak dan kewajiban. Berikut adalah penjelasan mendetail mengenai macam-
macam HAKi:
Dimaksudkan dengan pengumuman, di sini tercakup juga hak untuk menjual, memamerkan,
mengedarkan dan lain sebagainya dengan menggunakan alat apapun termasuk melalui media
internet sehingga ciptaan itu bisa dinikmati oleh orang lain. Sedangkan yang dimaksudkan
dengan pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas
inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan,
ketrampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
Dimaksudkan dengan ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya
dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. Perlindungan suatu ciptaan timbul secara
otomatis sejak ciptaan itu diwujudkan dalam bentuk yang nyata. Pendaftaran suatu ciptaan tidak
merupakan suatu kewajiban. Namun demikian pencipta maupun pemegang hak cipta yang
mendaftarkan ciptaannya akan mendapatkan surat pendaftaran ciptaan yang dapat dijadikan
sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa dikemudian hari terhadap ciptaan
tersebut.
Paten (Patent)
Berbeda dengan hak cipta yang melindungi sebuah karya, paten melindungi sebuah ide, bukan
ekspresi dari ide tersebut. Pada hak cipta, seseorang lain berhak membuat karya lain yang
fungsinya sama asalkan tidak dibuat berdasarkan karya orang lain yang memiliki hak cipta.
Sedangkan pada paten, seseorang tidak berhak untuk membuat sebuah karya yang cara
bekerjanya sama dengan sebuah ide yang dipatenkan.
Iklan