Perang Jagaraga
Perang Jagaraga
Perang Jagaraga
Puputan Jagaraga atau perang Bali II menjadi salah satu pertempuran terbesar di pulau Dewata pada masa
penjajahan Belanda. Namun, jauh sebelum terjadinya Perang Jagaraga, Belanda datang untuk pertama kali ke Pulau
Dewata pada tahun 1597. Dengan dipimpin oleh Cornelis de Houtman, mereka mendarat di salah satu pesisir pantai.
Pada waktu itu, penduduk menerima kedatangan mereka dengan baik. Pasukan Belanda terkejut karena seringnya
mereka ditolak jika singgah di suatu tempat. Karena hal tersebut Cornelis de Houtman mencoba menjalin hubungan
yang baik dengan para penguasa kerajaan yang ada di Pulau Dewata. Salah satunya adalah dengan Raja Gelgel.
Bahkan, ia menyuruh bawahannya membawa cenderamata untuk sang raja. Semenjak saat itu, mereka pun menjalin
hubungan yang baik.
Puluhan tahun hubungan salah satu penguasa Kerajaan Bali dengan orang-orang Belanda berjalan dengan
baik. Namun hubungan tersebut mulai memburuk dikarenakan Belanda berupaya untuk menguasai banyak wilayah
di nusantara, termasuk Bali. Pada tahun 1817, pihak Belanda berencana untuk mendirikan pangkalan dagang di
Pulau Bali. Namun, rencana tersebut mendapatkan pertentangan dari para raja-raja di Bali. Rakyat di sana tidak lagi
menyambut bangsa asing dengan hangat. Karena apa yang diperbuat oleh mereka, rakyat pun selalu menaruh
kecurigaan.
Puncak memburuknya hubungan kedua belah pihak ini adalah karena Belanda menginginkan penghapusan
Hukum Tawan Karang. Peristiwa tersebut tentu membuat beberapa pemimpin kerajaan Bali tidak setuju. Hukum
Tawan Karang bahkan sudah ada jauh sebelum Belanda datang ke Bali. Tawan Karang merupakan hak istimewa
yang dimiliki oleh raja-raja di Bali. Pada zaman dulu, jika ada kapal tenggelam atau terdampar, barang-barangnya
akan menjadi hak milik raja wilayah tersebut. Misalnya, ada sebuah kapal yang terdampar di wilayah Kerajaan
Karangasem. Maka, seluruh barang-barang di kapal itu menjadi milik Raja Karangasem. Hal itu berlaku juga untuk
kerajaan di Bali seperti Tabanan, Klungkung, Badung, Buleleng, dan lain-lain. Belanda tidak mau kapal-kapalnya
terancam. Karena bagaimanapun, kapal milik mereka sering berlayar melewati perairan di Bali dengan membawa
banyak muatan. Meskipun banyak yang menolak, bangsa penjajah tersebut pada akhirnya dapat memengaruhi
beberapa raja untuk menghapuskan hukum tersebut. Kerajaan-kerajaan yang menyetujui antara lain Badung,
Tabanan, dan Klungkung. Sementara itu, Kerajaan Buleleng dan Karangasem tetap menolak.
Pada tahun 1846, terjadi penyerangan terhadap Kerajaan Buleleng oleh Belanda. Penyebabnya adalah
Kerajaan Buleleng tetap menjalankan tradisi Tawan Karang dan mengambil barang-barang milik kapal Belanda
yang karam di wilayahnya. Belanda mengajukan ganti rugi, tapi ditolak oleh pihak kerajaan. Karena hal tersebut,
Belanda marah dan mengirimkan pasukannya untuk menyerang Kerajaan Buleleng. Pada waktu itu, sekitar 1.700
tentara dikerahkan. Penyerangan tersebut dipimpin oleh Van den Bosch. Sementara itu di pihak lawan, pasukan
dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik dan sang raja, yaitu I Gusti Ngurah Made. Dalam berperang, kerajaan tersebut
juga dibantu oleh Kerajaan Karangasem. Menurut beberapa sumber sejarah, sewaktu terjadi perang tersebut
Buleleng sudah menjadi bagian dari Karangasem. Peperangan ini terjadi selama dua hari dan banyak korban
berjatuhan dari kedua belah pihak. Setelah mengerahkan seluruh jiwa raga, Kerajaan Buleleng tetap mengalami
kekalahan. Penyebabnya apa lagi kalau bukan persenjataan yang masih kalah modern. Belanda tak hanya dapat
menaklukkan wilayah Kerajaan Buleleng saja, tetapi juga Karangasem. Tak lama setelah itu, pihak penjajah itu
juga mendirikan benteng di sana.
Setelah mengalami kekalahan, Kerajaan Buleleng dan Karangasem harus menandatangani sebuah
perjanjian yang juga terjadi pada tahun 1846. Mengenai isi dari perjanjian damai yang harus dipatuhi oleh kerajaan
yang kalah adalah sebagai berikut:
Kerajaan Buleleng dan Karangasem menjadi daerah bawahan Belanda. Mereka harus mengakui Raja
Belanda sebagai pemimpinnya.
Tradisi Tawan Karang tetap harus dihapuskan.
Kedua kerajaan tersebut tidak diperbolehkan untuk membuat perjanjian dengan bangsa berkulit putih yang
lain.
Selanjutnya, kedua kerajaan tersebut diharuskan mengganti biaya perang sebanyak 300.000 ribu Gulden.
Dalam jangka waktu 10 tahun, Kerajaan Buleleng harus membayar 2/3 dari biaya perang. Sementara itu,
1/3 bagian harus dilunasi oleh Kerajaan Karangasem.
Kekalahan dalam peperangan di atas membuat para pemimpin kerajan mundur. Mereka kemudian membangun
pusat pertahanan di daerah Jagaraga.Mereka memilih daerah tersebut karena letaknya yang berada di perbukitan dan
jurang sehingga memudahkan serangan mendadak. Selain itu, tempat itu juga strategis sehingga bisa dengan mudah
untuk mengintai musuh.Di tempat ini, Raja Buleleng dan I Gusti Ketut Jelantik menyusun rencana untuk
mengadakan serangan balasan. Mereka banyak membangun benteng pertahanan di desa ini.Para prajurit Buleleng
dilatih untuk selalu siap sedia untuk menghadapi peperangan yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Selain itu, para
pemimpin juga diam-diam meminta bantuan dari raja Bali yang lain untuk menyuplai persenjataan.Mereka berada
dalam keadaan siap siaga seperti itu selama kurang lebih dua tahun. Selanjutnya, mereka bersiap untuk menyerang
pihak lawan.
Raja Buleleng dan para pejuangnya berpura-pura setuju dengan adanya perjanjian ini. Raja dan Patih Ketut
Jelantik terus memperkuat pasukannya. Setelah memantapkan kekuatan, I Gusti Ketut Jelantik mulai menggerakkan
pasukannya untuk menyerang kapal-kapal dan pos milik Belanda pada tahun 1848. Mereka menggunakan strategi
perang gerilya dalam misinya kali ini.Selain itu, mereka juga melakukan pemboikotan terhadap suplai bahan
makanan milik tentara Belanda. Mengetahui serangan yang dilancarkan oleh pihak Buleleng, Belanda pun
menyadari kalau mereka telah melanggar perjanjian yang dibuat. Pada tanggal 8 Juni 1848, Belanda melakukan
penyerangan dengan menggunakan meriam. Di sisi lain, pasukan I Gusti Ketut Jelantik juga sudah siap sedia
menerima serangan. Perang Jagaraga I pun meletus. Kedua belah pihak yang berseteru bertempur dengan sengit.
Tak sedikit korban jiwa yang jatuh pada peperangan ini. Namun, pihak Belanda-lah yang paling terkena dampaknya.
Peristiwa tersebut menewaskan kurang lebih dari 250 tentaranya. Yang menjadi latar belakang mengapa Perang
Jagaraga I di Bali ini dapat dimenangkan dikarenakan Belanda yang tidak mengenai medan perang dengan baik.
Selain itu, semangat rakyat begitu tinggi untuk mengusir bangsa asing itu dari wilayah mereka.
Setelah perang yang terjadi pada tahun 1848 ini, keadaan menjadi lebih kondusif untuk sementara waktu.
Periode tersebut digunakan oleh Belanda untuk menyusun rencana dan mengadakan serangan balasan. Mereka
melakukan segala cara untuk melumpuhkan pasukan I Gusti Ketut Jelantik. Mulai dari mengirim mata-mata untuk
mengetahui strategi perang yang digunakan hingga mencari petunjuk jalan supaya lebih menguasai daerah perang.
Selain itu, pihak Belanda kemudian menggunakan taktik yang biasa dilakukannya, yaitu devide et impera atau adu
domba. Melalui mata-mata yang dikirim, mereka juga membuat berita yang tidak benar untuk memecah belah
persatuan. Menurut sebuah sumber sejarah, Belanda menyebarkan berita mengenai sebagian besar Kerajaan Bali
yang sudah dapat ditaklukkan. Berita tersebut tentu saja membuat pihak Buleleng menjadi kalang kabut. Hingga
kemudian, banyak dari pasukan kerajaan ini meninggalkan pos pertahanan mereka di Jagaraga. Keadaan yang kacau
tersebut tentu saja dimanfaatkan oleh Belanda dengan sebaik mungkin. Mereka kemudian bersiap untuk pergi dan
menyerang Jagaraga.
Kemudian pada tanggal 14 April 1849, Belanda sampai di pelabuhan terdekat daerah Jagaraga. Mereka bersiap
untuk menyerang daerah tersebut. Untuk mengulur waktu, I Gusti Ketut Jelantik menemui dan meminta Belanda
untuk mengadakan perjanjian damai. Hal ini dilakukan supaya ia memiliki cukup waktu untuk meminta bantuan
kepada kerajaan lain.Sayangnya sekali, permintaaan itu ditolak oleh Belanda. Sekembalinya ke Jagaraga, ia
mendapati kalau benteng pertahanan sudah porak poranda. I Gusti Ketut Jelantik dan Raja Buleleng memutuskan
untuk pergi menemui Raja Karangasem. Namun di tengah perjalanan, mereka dihadang oleh pasukan Belanda. Saat
itu juga, mereka diserang dan tewas di tangan pasukan penjajah.
Menurut beberapa sumber, ada dua versi mengenai gugurnya tokoh Perang Jagaraga, yaitu I Gusti Ketut
Jelantik. Versi yang pertama adalah yang telah kamu baca di atas. Sementara itu, versi lainnya adalah di pagi-
pagi buta tanggal 15 April 1849, pasukan Belanda menyerang pertahanan Jagaraga dari berbagai sisi. Karena tidak
siap, banyak sekali korban tewas pada penyerangan ini.Selanjutnya, Ketut Jelantik mundur dan hendak menyingkir
ke Gunung Batur. Namun karena diburu oleh pasukan Belanda dan kondisinya terluka parah, ia pun meninggal
dunia.Gugurnya sang pemimpin perlawanan ini kemudian menandai berakhirnya Perang Jagaraga. Wilayah
Buleleng pada akhirnya tetap dikuasai oleh Belanda.