Tugas Uas Makalah Teori Hukum

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 25

1

TUGAS MEMBUAT MAKALAH TEORI HUKUM:


"Relevansi dan Aktualisasi Teori Hukum Bagi Pendidikan Ke-Notariatan
Indonesia;

TUGAS INDIVIDU
MATA KULIAH : TEORI HUKUM
DOSEN : DR. ANTHON FREDDY SUSANTO, S.H., M.HUM.
DR. HABIB ADJIE, SH., M.HUM., AIIArb.

Disusun oleh,
NAMA : MOCHAMAD NURWENDA FAIZAL
NPM : 218100038
ANGKATAN :8

MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
2023
2

Daftar Isi

I. Pendahuluan ………………………………………………………………... 3
II. Problem ……………………………………………………………………….. 4
III. Metode ……………………………………………………………………….. 6
IV. Teori…………………………………………………………………………… 7
V. Pembahasan/ Analisis ……………………………………………………… 9
VI. Kesimpulan ………………………………………………………………….. 22
VII. Daftar Pustaka ……………………………………………………………… 23
3

I. Pendahuluan
Teori hukum adalah suatu satu kesatuan dari pernyataan yang saling berkaitan
berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan
hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang telah dipositifkan. 1
Teori hukum merupakan ilmu disiplin tersendiri diantara dogmatik hukum dan
filsafat hukum, yang mempunyai perspektif interdisipliner dan eksternal secara
kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam
kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan
keseluruhan, baik dalam konsepsi teoretisnya maupun dalam penerapan
praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan
memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang hukum dalam kenyataan
kemasyarakatan. Yang menjadi urgensi teori hukum adalah teori hukum memiliki
kegunaan diantaranya:
(1) menjelaskan hukum dengan cara menafsirkan sesuatu arti/pengertian,
sesuatu syarat atau unsur sahnya suatu peristiwa hukum, dan hirarkhi kekuatan
peraturan hukum,
(2) menilai suatu peristiwa hukum, dan
(3) memprediksi tentang sesuatu yang akan terjadi. Menurut Radbruch, teori
hukum memiliki tugas: membikin jelas nilai-nilai serta postulat-postulat hukum
sampai kepada landasan filosifisnya yang tertinggi. Sedangkan Kelsen
menyatakan bahwa teori hukum berfungsi untuk mengurangi kekacauan dan
kemajemukan menjadi kesatuan. Teori hukum merupakan ilmu pengetahuan
mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya. 2
Kegunaan yang lain, teori hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja, teori
hukum pembangunan, adalah mengundang banyak atensi, yang apabila
dijabarkan aspek tersebut secara global adalah sebagai berikut: Pertama, Teori
Hukum Pembangunan sampai saat ini adalah teori hukum yang diciptakan oleh
orang Indonesia dengan melihat dimensi dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh
karena itu, dengan tolok ukur dimensi teori hukum pembangunan tersebut lahir,
tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi Indonesia. Hakikatnya jikalau
1
“Peran Hakim Dalam Penemuan Hukum,” http://www.blogster.com/dansur/peranan-hakim-dalam-
penemuan, diunduh 16 Maret 2023.
2
 (http://www.forumbebas.com/thread-11519.html). diunduh 16 Maret 2023.
4

diterapkan dalam aplikasinya akan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat
Indonesia yang pluralistik. Kedua, secara dimensional maka Teori Hukum
Pembangunan memakai kerangka acuan pada pandangan hidup (way of
live) masyarakat serta bangsa Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat
kekeluargaan maka terhadap norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat
dalam Teori Hukum Pembangunan tersebut relatif sudah merupakan dimensi
yang meliputi structure (struktur), culture (kultur)
dan substance (substansi) Ketiga, pada dasarnya Teori Hukum
Pembangunan memberikan dasar fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan
masyarakat” (law as a tool social engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem
sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang
berkembang. 3
Bahwa keberadaan lembaga notaris di indonesia senantiasa dikaitkan dengan
keberadaan fakultas hukum, hal ini terbukti dari institusi yang menghasilkan calon
notaris semuanya (sekarang ini) dari fakultas hukum yang mempunyai program studi
magister kenotariatan (prodi mkn), dan secara substansi yang dipelajari dalam program
tersebut tidak pernah terlepas dari ilmu hukum yang dipelajari di fakultas hukum,
padahal sebenarnya ada materimateri yang bukan bagian dari ilmu hukum, artinya ada
materi yang harus ditempat sebagai kajian tersendiri (otonom) dengan nama Hukum
Notaris Indonesia (HNI) atau Hukum Kenotariatan Indonesia (HKI).

II. Problem
Dalam ilmu perundang-undangan dikatakan bahwa jika ingin memahami suatu
undang-undang maka harus memahami kehendak atau alasan pembentuk
undang-undang tersebut yang dicantumkan dalam konsideran menimbang suatu
undangundang. Dengan perkataan lain bahwa ruh atau hakikat suatu
undangundang terdapat dalam bagian pertimbangan atau dasar pembentukan
undang-undang itu, yakni dalam bagian konsiderans. Pertanyaan selanjutnya,
bagaimana mungkin seorang yang akan menjadi notaris bisa memahami
kebenaran dan keadilan jika dalam proses pembelajaran atau pendidikannya
tidak diajarkan mengenai apa itu benar dan apa itu adil serta bagaimana cara

3
Lilik Mulyani, Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja,  Sebuah Kajian Deskriptif Analitis, hlm. 1
5

memperoleh dan mewujudkan kebenaran dan keadilan itu? Jawabannya sudah


pasti, yakni dengan diadakannya matakuliah yang bisa memberikan pemahaman
tentang kebenaran dan keadilan. Notaris bukanlah robot yang sekedar membuat
akta, namun notaris adalah manusia. Manusia adalah makhluk yang penuh
dengan subjektifitas dan kepentingan. Subjektifitas dan kepentingan inilah yang
menyebabkan notaris bisa menghadapi permasalahan hukum di kemudian hari.
Lalu, jika notaris menghadapi permasalahan hukum, apakah cukup dengan ilmu
atau matakuliah tentang teknik pembuatan akta dapat membantu notaris
menyelesaikan masalah hukumnya? Tentu tidak. Oleh karena itu dalam
pendidikan kenotariatan, tidak cukup skill tentang teknik pembuatan akta
semata, namun skill ilmu hukumnya juga harus diberikan. Bukan hanya untuk
antisipasi jika ada masalah hukum, namun yang utama ialah untuk mewujudkan
kebenaran dan kepastian sebagai intisari dari kepastian hukum itu sendiri. Dalam
kaitannya dengan matakuliah penemuan hukum, mahasiswa diberikan
kemampuan untuk memahami cara menyelesaikan permasalahan hukum yang
sewaktu-waktu bisa dihadapi oleh notaris dalam menjalankan jabatannya.
Termasuk didalamnya juga diajarkan bagaimana menyusun
argumentasi/pendapat hukum yang benar, karena ilmu hukum merupakan ilmu
argumentasi, sehingga dalam beragumentasi, notaris tidak sesat dan
menyesatkan. Terakhir, pendidikan magister kenotarian bukan diadakan untuk
menghasilkan Magister Akta, akan tetapi untuk menghasilkan Magister
Menotariatan yang merupakan anak kandung dari ilmu hukum itu sendiri, ilmu
tentang kebenaran dan keadilan. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam bab ini
akan diuraikan beberapa konsep dan teori hukum yang relevan dalam hukum
kenotariatan dan/atau jabatan notaris. Konsep dan teori-teori hukum ini
nantinya diharapkan dapat membantu mahasiswa Magister Kenotariatan dalam
memahami hukum kenotariatan, khususnya dalam menyelesaikan tugas akhir
(tesis) pada Program Studi Magister Kenotariatan.

III. Metode
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian yuridis normatif, yaitu
6

penelitian yang dilakukan terhadap data sekunder dengan fokus kegiatan


penelitian adalah penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap
sistematika hukum, dan penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum.
Pelaksanaan penelitian hukum normatif ni dapat diuraiakan sebagai berikut:
A. Penelitian terhadap asas-asas hukum. Seperti misalnya penelitian
terhadap hukum positif yang tertulis atau penelitian terhadap kaidah-
kaidah hukum yang hidup di dalam masyarakat.
B. Penelitian terhadap sistematika hukum. Penelitian ini dapat dilakukan
pada perundang-undangan tertentu ataupun hukum tercatat. Tujuan
pokoknya adalah untuk mengadakan identifikasi terhadap
pengertianpengertian pokok/dasar dalam hukum, yakni masyarakat
hukum, subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan
hukum dan obyek hukum. Penelitian ini sangat penting oleh karena
masing-masing pengertian pokok/dasar mempunyai arti tertentu dalam
kehidupan hukum. Penelitian terhadap sistematika hukum dapat terlihat
dari dipanggilnya notaris di persidangan baik sebagai saksi, tersangka dan
terdakwa. Pemanggilan notaris sebagai saksi merupakan bentuk
pertanggung jawaban apa yang telah notaris lakukan dalam pembuatan
akta outentik, pertanggungjawaban dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya mana telah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUJN
sebagaiana yang telah diuraiakan dalam latar belakang. Pemanggilanan
notaris seabagi saksi ini juga harus mendapatkan persetujuan dari MKN
(Majelis Kehormatan Notaris) yang juga telah diatur dalam Pasal 66 UUJN.
C. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum. Dalam penelitian terhadap taraf
sinkronisasi baik vertikal maupun horizontal, maka yang diteliti adalah
sampai sejauh manakah hukum positif tertulis yang ada serasi. Hal ini
dapat ditinjau secara vertikal, yakni apakah peraturan perundang-
undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling
bertentangan, apabila dilihat dari sudut hirarki perundang-undangan
tersebut. Sedang apabila dilakukan penelitian taraf sinkronisasi secara
horisontal, maka yang ditinjau adalah perundang-undangan yang
sederajat yang mengatur bidang yang sama.
7

IV. Teori

Kita akan mencoba menelaah dahulu dari apa itu pejabat, bila diperhatikan dari
segi bahasa, Pengertian “pejabat” menurut pengertian bahasa adalah pegawai
pemerintah yang memegang jabatan (unsur pimpinan) 4 . Dalam bahasa Belanda
5
istilah “pejabat” disalin antara lain menjadi “ambtdrager”, yang diartikan
sebagai orang yang diangkat dalam dinas pemerintah (negara, propinsi,
kotapraja, dan sebagainya)6 . E. Utrecht mengungkapkan bahwa jabatan adalah
sebagai pendukung hak dankewajiban, sebagai subjek hukum (persoon)
berwenang melakukan perbuatan hukum (rechtsdelingen) baik menurut hukum
publik maupun menurut hukum privat. Ditambahkan bahwa jabatan dapat
menjadi pihak dalam suatu perselisihan hukum (process party) baik di luar
maupun pada pengadilan perdata dan administrasi. 7 Agar wewenang dapat
dijalankan, maka jabatan sebagai personifikasi hak dan kewajiban, memerlukan
suatu perwakilan, yang disebut pejabat yaitu manusia atau badan, dengan kata
lain disebut pemangku jabatan. Dengan perantaraan pejabat maka jabatan dapat
8
melaksanakan kewajibannya. Logemann menempatkan jabatan dari aspek
negara sebagai organisasi otoritas yang mempunyai fungsi yang saling
berhubungan dalam suatu totalitas lingkungan kerja tertentu, sehingga negara
disebut sebagai suatu perikatan fungsi - fungsi. Negara sebagai organisasi jabatan
yang melahirkan otoritas dan wewenang, dan jabatan adalah bagian dari fungsi
9
atau aktivitas pemerintahan yang bersifat tetap atau berkelanjutan. Jabatan
muncul sebagai pribadi (persoon) atau subjek hukum, yang dibebani kewajiban
dan dijadikan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum, akan tetapi untuk
melakukan tindakan harus melalui pejabat atau pemangku jabatan. Dalam hal ini
harus ada pemisahan mutlak antara pribadi pemangku jabatan selaku pejabat

4
Anton M. Moeliono, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, h. 393.
5
Teeuw, A., Kamus Indonesia–Belanda, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, h. 264
6
Algra, N.E, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, Terjemahan Saleh diwinata, A.Teloeki,
Boerhanoeddin St. Batoeah, Bina Cipta, Jakarta, 1983, h. 29.
7
Utrecht, E., Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Bali Buku Indonesia, Jakarta, 1957, h. 144.
8
IbId
9
S. F. Marbun, “Eksistensi Asas-asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Layak Dalam Menjelmakan
Pemerintahan Yang Baik dan Bersih Di Indonesia”, Disertasi, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Padjajaran Bandung, 2001. h. 50.
8

10
dan selaku manusia sebagai prive. Jabatan Notaris adalah jabatan umum atau
publik, karena Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah. Notaris
menjalankan tugas negara, dan akta yang dibuat, yaitu minuta (asli akta) adalah
merupakan dokumen negara. Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat dan
diberhentikan oleh kekuasaan umum (pemerintah) dan diberi wewenang serta
kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu, karena itu Notaris ikut
juga melaksanakan kewibawaan pemerintah. 11 Namun demikian, Notaris
bukanlah satu-satunya pejabat umum yang ditugasi oleh Undang-Undang dalam
membuat akta otentik. Untuk memperoleh otentisitas yang terdapat pada akta
Notaris, maka menurut ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata, akta yang
bersangkutan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Akta harus dibuat “oleh” (door) atau “di hadapan” (ten ovestaan) seorang
pejabat umum.
2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh UndangUndang.
3. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai
wewenang untuk membuat akta itu.12 Istilah Notaris pada dasarnya berasal
dari kata “ notarius ” (Latin), yakni nama yang diberikan pada orang-orang
Romawi dimana tugasnya menjalankan pekerjaan menulis pada masa itu.
Menurut Herlien Budiono, kewenangan Notaris yang utama adalah membuat
akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki
oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin
kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse,
salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta
tersebut tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau
orang lain, atau orang lain yang ditetapkan oleh UUJN.37 Notaris adalah satu-
satunya pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh
10
Logemann, J.H.A., Over deTheorie van een Stelling Staatsrecht, Universite Pers, Leiden, 1948 Terjemahan
Makkatutu dan J.C. Pangkerego, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, Ichtiar Baru - Van Hoeve,
Jakarta, 1975 h: 1170-120.
11
R. Soesanto, Tugas, Kewajiban dan Hak-hak Notaris, Wakil Notaris Sementara, Pradnya Paramita, Jakarta,
1978, h. 75.
12
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1983,
9

suatu peraturan umum, atau oleh para penghadap atau para pihak yang
berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik,
menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan
grosse, salinan dan kutipannya, sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu
peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat
atau orang lain.13

V. Pembahasan
Sebagai salah satu cabang studi ilmu hukum pada Fakultas Hukum , khususnya
cabang studi pada program magister, maka lulusan Program Studi Magister
Kenotariatan harus menguasai konsep dan teori hukum. Ilmu Hukum merupakan
induk dari studi kenotariatan sehingga selanjutnya dikenal istilah Hukum
Kenotariatan. Dengan kata lain studi hukum kenotariatan merupakan salah satu
studi dalam bilangan ilmu hukum. Oleh karena itu, sudah menjadi suatu
keniscayaan bahwa lulusan Magister Kenotarian mutlak harus menguasai
konsep, teori, doktrin, atau ajaran-ajaran dalam ilmu hukum. Beberapa waktu
lalu saya membaca laporan kuliah lapanganmahasiswa yang melaporkan bahwa
narasumber kuliah lapangan yang ditemui mahasiswa mempertanyakan relevansi
Matakuliah Penemuan Hukum diajarkan di Program Magister Kenotariatan15,
bahkan menurut laporan tersebut bahwa notaris tidak boleh membicarakan
penemuan hukum karena notaris ada dan diadakan hanya untuk memberikan
kepastian hukum, bukan melakukan penemuan hukum karena penemuan hukum
itu tugasnya hakim. Intinya, dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa tidak ada
relevansi Penemuan Hukum dengan Jabatan Notaris. Semoga saja laporan itu
yang salah, bukan orang yang ditemui oleh mahasiswanya yang salah. Baiklah,
coba kita analisis pendapat tersebut bukan hanya dari segi ego profesi jabatan
notaris, namun juga dari segi Ilmu Hukum yang melingkupi jabatan notaris itu.
Dengan perkataan lain, jabatan notaris merupakan bagian dari profesi hukum,
sehingga pertanyaannya benarkan profesi hukum tertentu hanya diadakan untuk
menjamin kepastian hukum semata, atau untuk menjamin kemanfaatan semata

13
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2010 (selanjutnya disebut Habib Adjie II ), h. 13.
10

atau bahkan hanya untuk menjamin keadilan semata. Misalnya, profesi hakim
untuk menjamin keadilan, profesi notaris untuk menjamin kepastian, profesi
advokat untuk menjamin kemanfaatan dan perlindungan? Atau setiap profesi
notaris wajib menjamin kepastian, kemanfaatan, serta keadilan dan kebenaran.
Jika jabatan notaris diadakan hanya untuk menjamin kepastian hukum, kenapa
untuk menjadi notaris haruslah sarjana hukum dan tidak boleh sarjana non
hukum? Bukankah kepastian hukum bisa juga diberikan melalui keputusan atau
penetapan atau akta yang dibuat oleh pejabat negara atau pejabat lainnya yang
tidak perlu mempersyaratkan sarjana hukum untuk menduduki jabatan itu?
Dengan perkataan lain, jika hanya sekedar membutuhkan dokumen autentik
sebagai alat bukti yang sempurna atas suatu perbuatan, perjanjian, keadaan,
atau peristiwa hukum, lalu kenapa harus sarjana hukum yang melakukannya?
Bukankah akta kelahiran/kematian juga merupakan akta autentik yang memiliki
keududukan sebagai alat bukti yang sempurna, namun tidak harus sarjana
hukum yang membuat atau menetapkannya. Di Thailand, untuk menjamin
kepastian hukum atas perjanjian jual beli tanah, maka para pihak membuat
perjanjian dan cukup dengan 2 orang saksi yg selanjutnya disahkan di kantor
pertanahan setempat. Hal tersebut sudah cukup menjadi alat bukti yang
menjamin kepastian hukum bagi para pihak. Lalu kenapa untuk menjadi notaris
haruslah sarjana hukum, tentu bukan semata-mata untuk menjamin kepastian
hukum semata. Sarjana hukum bukanlah sarjana undang-undang atau sarjana
akta yang hanya diberikan skill untuk sekedar membuat akta atau membuat
undang-undang. Sarjana hukum adalah sarjana yang memiliki pengetahuan ilmu
hukum (jurispridence). Hukum merupakan standar, pedoman, patokan dan nilai
untuk mendatangkan keadilan dan ketertiban. Tidak ada literatur atau
kepustakaan dalam ilmu hukum yang mendefinisikan bahwa hukum adalah alat
untuk mendatangkan kepastian hukum, namun kepastian hukum hanyalah salah
satu tujuan dari ilmu hukum, itupun dalam perspektif hukum alam. Dalam
perspektif aliran hukum lainnya, termasuk positivisme, kepastian hukum
bukanlah tujuan hukum. Baiklah, kita kembali ke permasalahan “notaris diadakan
hanya semata untuk menjamin kepastian hukum”... Dalam Konsiderans
Menimbang huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004
11

tentang Jabatan Notaris (UUJN) disebutkan bahwa inti dari kepastian hukum,
ketertiban hukum dan perlindungan hukum ialah kebenaran dan keadilan. Itulah
alasan utama kenapa negara mengadakan jabatan notaris, bukan hanya untuk
menjamin kepastian hukum semata, namun lebih dari itu ialah untuk kebenaran
dan keadilan.

3.2. Teori Kewenangan

Istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang sering ditemukan dalam literatur


ilmu politik, ilmu pemerintahan dan ilmu hukum. Kekuasaan sering disamakan
begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan
istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering
disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan
dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang
diperintah.14 Menurut Phillipus M. Hadjon: “Jika dicermati ada sedikit perbedaan
antara istilah kewenangan dengan istilah bevoegheid. Perbedaan tersebut
terletak pada karakter hukumnya. Istilah bevoegheid digunakan dalam konsep
hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep hukum kita istilah
kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum
publik.15 Sedangkan menurut Juanda: “Kewenangan adalah kekuasaan formal
yang berasal dari atau diberikan oleh Undang-Undang misalnya kekuasaan
legislatif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan yudikatif. Dengan demikian dalam
kewenangan terdapat kekuasaan dan dalam kewenangan lahirlah wewenang”. 16
Sedangkan wewenang (competence, bevoegdheid) hanya mengenai sesuatu
onderdil tertentu atau bidang tertentu saja. 17 Penjabaran mengenai konsep
wewenang, dapat ditelusuri melalui sumber wewenang dan konsep pembenaran
dari tindakan kekuasaan yang didapat dalam pemerintahan. Sumber wewenang
sendiri meliputi atribusi, delegasi dan mandat. Berkaitan dengan sumber
wewenang, Indroharto mengemukakan: “Wewenang yang diperoleh secara

14
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, h. 35-36
15
Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang”, Makalah Universitas Airlangga, Surabaya, h. 20.
16
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Alumnni, Bandung, 2004, hal. 265.

17
SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,1997, h.
154
12

atribusi, yaitu pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu


ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini
dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru. Pada delegasi
terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan
TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif
kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului
oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disana tidak terjadi suatu
pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau
Jabatan TUN yang satu kepada yang lain”.18 Hal tersebut sejalan dengan
pendapat beberapa sarjana lainnya yang mengemukakan bahwa kewenangan
yang diperoleh secara atribusi itu sebagai penciptaan kewenangan (baru) oleh
pembentuk wet (wetgever) yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang
sudah ada maupun yang baru dibentuk untuk itu. Masih menurut Indroharto 44
“Pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum”. Menurut
H.D.van Wijk/Willem Konijnenbelt, kewenangan dapat dirumuskan sebagai
berikut:

a. Attributie: toekenning van een bestuursbevoegdheid door een weigever aan


een bestuursorgaan; (pemberian izin/wewenang oleh pemerintah kepada
pejabat administrasi Negara)

b. Delegatie: overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan
een ander; (pelimpahan wewenang dari satu badan ke yang lain)

c. Mandaat: een bestuursorgaan laat zijn bevoegh eid namens hem uitoefenen
door een ander. (tidak adanya suatu pelimpahan wewenang dari Badan atau
pejabat yang satu kepada yang pejabat lain). 19 Dalam hal atribusi tanggung jawab
wewenang ada pada penerima wewenang tersebut (atributaris), pada delegasi
tanggung jawab wewenang ada pada penerima wewenang (delegans) dan bukan

18
Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Cet. I, Pustaka
Harapan, Jakarta, 1993, h. 90.
19
5 H. D. van Wijk / Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Culemborg, Uitgeverij
LEMMA BV, 1988, p. 56. Dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006,
h. 70.
13

pada pemberi wewenang (delegataris), sementara pada mandat tanggung jawab


wewenang ada pada pemberi mandat (mandans) bukan penerima mandat
(mandataris). Jika dilihat dari sifatnya wewenang itu dapat dibedakan menjadi
tiga yakni:

1. Wewenang yang sifatnya terikat yakni terjadi apabila telah dirumuskan secara
jelas kapan, keadaan bagaimana wewenang tersebut harus dilaksanakan serta
telah ditentukan bagaimana keputusan seharusnya diambil.

2. Wewenang fakultatif yakni wewenang tersebut tidak wajib dilaksanakan


karena masih ada pilihan sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan pada
keadaan-keadaan tertentu sebagaimana yang dijelaskan pada peraturan
dasarnya.

3. Wewenang bebas yakni wewenang yang dapat dilakukan ketika peraturan


dasarnya memberikan kebebasan sendiri kepada pejabat tata usaha negara
untuk berti ndak dan menentukan keputusan yang akan diambilnya. 20

3.3. Teori Tanggung Jawab

Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus Hukum
yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang
menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab. Liability meliputi
semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian,
ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk
melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal yang dapat
dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, termasuk putusan, ketrampilan,
kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas
undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis,
istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat
akibat kesalahan yang dilakukan oleh subjek hukum, sedangkan istilah
21
responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik. Mengenai

20
Ibid hal.7
21
Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 335-337.
14

persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua


teori yang melandasinya yaitu:

a. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian


terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu
telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan
pada manusia selaku pribadi.

b. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian


terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan.
Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam
penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang
dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat
dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus
22
ditanggung. Suatu konsep yang terkait dengan konsep kewajiban hukum
adalah konsep tanggung jawab hukum. Seseorang yang bertanggung jawab
secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi
dalam kasus perbuatannya bertentangan atau berlawanan hukum. Sanksi
dikenakan deliquet karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut
bertanggungjawab. Subjek responsibility dan subjek kewajiban hukum adalah
sama. Dalam teori tradisional, ada dua jenis tanggung jawab:
pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan dan pertanggungjawaban mutlak. 23
Tanggung jawab mutlak yaitu suatu perbuatan menimbulkan akibat yang
dianggap merugikan oleh pembuat undang-undang dan ada suatu hubungan
antara perbuatan dengan akibatnya. Tiada hubungan antara keadaan jiwa si
pelaku dengan akibat dari perbuatannya. Menurut Hans Kelsen dalam teorinya
tentang tanggung jawab hukum menyatakan bahwa, “seseorang bertanggung
jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul
tanggung jawab hukum, subjek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu
sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan” 24. Lebih lanjut Hans Kelsen
22
Ibid., h. 365.
23
imly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, h. 61.
24
Hans Kelsen, 2007, General Theory Of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu
Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, terjemahan Somardi, BEE Media Indonesia, Jakarta
(selanjutnya ditulis Hans Kelsen II), h. 81.
15

menyatakan bahwa: “Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan


oleh hukum disebut kekhilafan (negligence); dan kekhilafan biasanya dipandang
sebagai satu jenis lain dari kesalahan (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan
yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa
maksud jahat, akibat yang membahayakan”. Hans Kelsen selanjutnya membagi
25
tanggung jawab menjadi 4 (empat) bagian yang terdiri dari: a.
Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab
terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri; b. Pertanggungjawaban kolektif
berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang
dilakukan oleh orang lain; c. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang
berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang
dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan
kerugian; d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu
bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan
tidak diperkirakan. Teori pertanggung jawaban hukum diperlukan untuk dapat
menjelaskan hubungan antara tanggung jawab Notaris yang berkaitan dengan
kewenangan Notaris berdasarkan UUJN yang berada dalam bidang hukum
26
perdata. Kewenangan ini salah satunya adalah menciptakan alat bukti yang
dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak, kemudian menjadi suatu
delik atau perbuatan yang harus dipertanggung jawabkan secara pribadi atau
individu. Dalam ilmu hukum murni, delik dikarakterisasi sebagai kondisi dari
sanksi. “The sanction is made a consequence of the behavior which is considered
detrimental to society and which, according to the intention of the legal order,
has to be avoided.”27 Sanksi dibuat sebagai konsekuensi dari perilaku yang
dianggap merugikan masyarakat dan yang menurut tata hukum, hal tersebut
harus dihindari. Menurut pengertian ilmu hukum, delik merupakan suatu
perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran
terhadap undang-undang.

25
Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni, terjemahan Raisul Mutaqien, Nuansa & Nusamedia, Bandung
(selanjutnya ditulis Hans Kelsen III), h. 140.
26
Lanny Kusumawati, 2009, Tanggung Jawab Jabatan Notaris, diakses pada tanggal 6 juli 2017, pukul 10.35
WIB, http://lontar.ui.ac.id/file?file= digital/131140-T%2027453 Analisa%2tanggungjawab-Analisis.pdf.
27
Hans Kelsen, Op Cit, h. 51
16

3.4. Teori Perlindungan Hukum

Perlindungan Hukum merupakan unsur yang harus ada dalam suatu negara.
Setiap pembentukan negara pasti di dalamnya ada hukum untuk mengatur warga
negaranya. Dalam suatu negara, terdapat hubungan antara negara dengan warga
negaranya. Hubungan inilah yang melahirkan hak dan kewajiban. Perlindungan
Hukum akan menjadi hak bagi warga negara, namun di sisi lain perlindungan
hukum menjadi kewajiban bagi negara. Negara wajib memberikan perlindungan
hukum bagi warga negaranya, sebagaimana di Indonesia yang mengukuhkan
dirinya sebagai negara hukum yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) Pasal 1
ayat (3) yang berbunyi “Indonesia adalah negara hukum”. Perlindungan hukum
merupakan suatu perlindungan yang diberikan terhadap subjek hukum (dari
tindakan sewenang-wenang seseorang) dalam bentuk perangkat hukum baik
yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis.28 Perlindungan hukum merupakan suatu gambaran dari fungsi
hukum, yaitu bahwa hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban,
kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon
bahwa perlindungan hukum bagi rakyat terhadap suatu tindakan pemerintah
dapat bersifat preventif dan represif, yaitu sebagai berikut: a) Perlindungan
hukum yang bersifat preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa,
yang mengarahkan tindakan pemerintah untuk bersikap hati-hati dalam
pengambilan keputusan berdasarkan kewenangan. Dalam hal ini Notaris sebagai
pejabat umum harus berhati-hati dalam menjalankan tugas jabatannya
berdasarkan kewenangan yang diberikan Negara kepadanya untuk membuat
suatu akta otentik guna menjamin kepastian hukum bagi masyarakat. b)
Perlindungan hukum yang bersifat represif bertujuan untuk menyelesaikan
terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan. Dalam hal
ini, dengan begitu banyaknya akta otentik yang dibuat oleh Notaris, tidak jarang
Notaris tersebut dipermasalahkan oleh salah satu pihak atau pihaklainnya karena
dianggap telah merugikan kepentingannya, baik itu dengan pengingkaran akan isi

28
Phillipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, h. 2.
17

akta, tanda tangan maupun kehadiran pihak dihadapan Notaris. Perlindungan


hukum menjadi unsur esensial serta menjadi konsekuensi dalam negara
hukum,bahwa Negara wajib menjamin hak-hak hukum warga negaranya.
Perlindungan hukum terhadap klien terhadap Notaris yang pindah wilayah
jabatan dapat diwujudkan dalam suatu pengaturan yuridis (Bescherming jurische
voorzieningen).

3.5. Prinsip Equality Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding
fathers sebagai suatu Negara Hukum (Rechsstaat/The Rule of Law). Dalam
negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap
individu tanpa membedakan latar belakangnya, sehingga semua orang memiliki
hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). 29 A.V.
Dicey mengemukakan adanya tiga aspek penting dari rule of law: “no man is
punishable or can be lawfully made to suffer in body or goods for distinct breach
of law established in the ordinary legal manner before the ordinary courts of the
land in this sense, the rule of law is contransted with every system of government
based on the exercise by person in outhority of wide, arbitrary, or discretionary
power of constraint; no man is above the law; every man and woman, whatever
be his or her rank or condition, is subject to the ordinary law of the ralm and
amenable to the jurisdiction of the ordinary tribunals; and the general principles
of the condition (as, for example, the right to personal liberty; or the right of
public meeting) are, with us, the result of yudicial decisions determining the right
of private persons in particular cases brought before the courts”. 30Pernyataan
Dicey mengenai tiga aspek penting rule of law memiliki pengertian bahwa aspek
pertama dari rule of law yaitu tak seorangpun dapat dihukum atau secara hukum
dapat dibuat menderita tubuh atau harta bendanya kecuali atas pelanggaran
hukum tertentu yang tertuang dalam tata cara bukan biasa dihadapan
pengadilan hukum Negara.31 Aspek kedua, yaitu tidak seorang pun berada di atas
hukum, namun setiap orang apapun pangkat atau kondisinya tunduk pada
29
Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum, Akses Masyarakat Marginal Terhadap Keadilan (Tinjauan, Sejarah,
Konsep, Kebijakan, Penerapan dan Perbandingan di Berbagai Negara), Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta,
2007, h. 97.
30
A.V. Dicey, Introduction To The Study Of The Constitution, cet 2, terjemahan dari Nurhadi, Nusamedia,
Bandung, 1952, h. 254-255
31
A.V. Dicey, ibid, h. 258.
18

hukum biasa yang merupakan lingkup dan berada di dalam yuridiksi biasa. Aspek
Ketiga, yaitu Konstitusi di jiwai oleh rule of law dengan alasan bahwa prinsip-
prinsip umum konstitusi (misalnya terkait dengan hak kebebasan) merupakan
hasil dan keputusan yudisial yang menentukan hak-hak individu pada kasuskasus
32
tertentu yang dibawa ke pengadilan. Equality before the law dalam arti
sederhananya bahwa semua orang sama di depan hukum. Equality before the
law adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi
salah satu sendi doktrin Rule of Law yang juga menyebar pada negara-negara
berkembang seperti Indonesia. Prinsip equality before the law ini merupakan
salah satu manifestasi dari Negara hukum (rechtstaat) sehingga harus adanya
perlakuan sama bagi setiap orang di depan hukum (gelijkheid van ieder voor de
wet). 59Dengan demikian, elemen yang melekat mengandung makna
perlindungan sama di depan hukum dan mendapatkan keadilan yang sama di
depan hukum. 3.6. Konsep Akta Otentik Akta otentik adalah akta yang dibuat
oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan
yang telah ditetapkan, baik dengan atau tanpa bantuan dari pihak-pihak yang
berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya
oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Akta otentik tersebut memuat
keterangan seorang pejabat yang menerangkan tentang apa yang dilakukannya
atau dilihat di hadapannya. Dalam Pasal 165 Herzien Inlandsch Reglement
(selanjutnya disebut H.I.R.) atau Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui
(selanjutnya disebut R.I.B.) disebutkan bahwa “Akta otentik yaitu suatu akta yang
dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu,
merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan
mereka yang mendapat hak dari padanya tentang apa yang tercatum di
dalamnya dan bahkan tentang apa yang tercantum di dalamnya sebagai
pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang
diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta”. Berdasarkan
definisi tersebut diketahui bahwa suatu akta dapat dikatakan sebagai akta
otentik harus memenuhi syarat-syarat yaitu dibuat dalam bentuk yang
ditentukan Undang-Undang, dibuat oleh seorang pejabat atau pegawai umum,
32
A.V. Dicey, ibid, h. 259.
19

dan pejabat atau pegawai umum tersebut harus berwenang untuk membuat
akta tersebut ditempat di mana akta dibuat. Karena dibuat oleh seorang pejabat
atau pegawai umum, maka akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna. Hal ini dikarenakan pejabat atau pegawai umum tersebut
mendapatkan kepercayaan dari negara untuk menjalankan sebagian fungsi
administratif negara, sehingga legalitasnya dapat dipastikan. Selain itu, seorang
pejabat atau pegawai umum juga tidak memiliki keberpihakan dalam pembuatan
akta. Bukti tulisan dalam perkara perdata adalah merupakan bukti yang utama,
karena dalam lalu lintas keperdataan sering kali orang dengan sengaja
menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai kalua timbul suatu perselisihan, dan
bukti tadi lazimnya atau biasanya berupa tulisan. 33 Menurut Pasal 1867
KUHPerdata juga disebutkan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan
dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan - tulisan di bawah tangan,
dari bukti berupa tulisan tersebut ada bagian yang sangat berharga untuk
dilakukan pembuktian, yaitu pembuktian tentang akta. Suatu akta adalah berupa
tulisan yang memang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu
peristiwa dan ditandatangani secukupnya. Dengan demikian, maka unsur penting
untuk suatu akta ialah kesengajaaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan
penandatangan tulisan itu. Syarat penandatangan akta tersebut dapat dilihat dari
Pasal 1874 KUHPerdata dan Pasal 1 Ordonansi Nomor 29 Tahun 1867 yang
memuat ketentuan-ketentuan tentang pembuktian dari tulisan-tulisan di bawah
tangan yang dibuat oleh orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan
mereka. Tulisan-tulisan dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan, yaitu akta dan
tulisan-tulisan lainnya, yang dipentingkan dari suatu akta adalah
penandatangannya, karena dengan menandatangani suatu akta seseorang
dianggap menanggung terhadap kebenaran apa-apa yang ditulis dalam akta itu.
Di antara surat-surat atau tulisan-tulisan yang dinamakan akta tadi, ada suatu
golongan lagi yang mempunyai suatu kekuatan pembuktian yang istimewa yaitu
yang dinamakan sebagai akta otentik. Sebelum melengkapi uraian tentang
masalah pembuktian dengan akta otentik tersebut, terlebih dahulu akan

33
Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h.
157
20

diterangkan mengenai arti membuktikan. Yang dimaksud dengan membuktikan,


adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam
suatu sidang persengketaan yang tergugat.61 Tugas dari hakim atau pengadilan
adalah, menetapkan hukum atau Undang-Undang secara pasti, atau pun
menerapkan peraturan perundang-undangan yang cocok atau tepat, untuk
menyelesaikan suatu perkara. Dalam proses sengketa perdata yang berlangsung
di muka pengadilan, masing-masing pihak memasukkan dalil-dalil yang saling
bertentangan antara pihak satu dengan pihak lainnya, maka dari dalil-dalil
tersebut, hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil dari pihak manakah yang
benar dalam kasus sengketa persidangan tersebut. Ketidakpastian hukum dan
kesewenang-wenangan akan timbul, apabila hakim dalam melaksanakan
tugasnya itu diperbolehkan menyandarkan keputusannya atas keyakinannya
yang kurang kuat dan murni, keyakinan hakim haruslah didasarkan pada sesuatu,
yang oleh Undang-Undang disebut sebagai “alat bukti”. Berdasarkan uraian
singkat di atas dapat terlihat, bahwa pembuktian itu sebenarnya merupakan
suatu bagian dari hukum acara perdata, karena pembuktian itulah yang
memberikan aturan-aturan, tentang bagaimana berlangsungnya suatu perkara di
muka pengadilan, dan terlihat betapa pentingnya hukum pembuktian itu,
KUHPerdata telah mengatur ketentuan-ketentuan hukum materiil.
3.7. Prinsip Good Governence
Governance atau asas-asas umum pemerintahan yang baik diartikan sebagai
mekanisme, praktek dan tata cara pemerintahan dan warga mengatur sumber
daya serta memecahkan masalah-masalah publik. Dalam konsep governance,
pemerintah hanya menjadi salah satu actor dan tidak selalu menjadi aktor yang
menentukan. Implikasi peran pemerintah sebagai pembangunan maupun
penyedia jasa layanan dan infrastruktur akan bergeser menjadi bahan pendorong
terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain di komunitas.
Governance menuntut redefinisi peran negara, dan itu berarti adanya redefinisi
pada peran warga. Adanya tuntutan yang lebih besar pada warga, antara lain
untuk memonitor akuntabilitas pemerintahan itu sendiri 34 . Good goovernance
sendiri bersifat etis normatif maksudnya Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang
34
Sumarto Hetifa Sj, Inovasi Partisipasi dan Good Governance, Yayasan Obor Indonesia, Bandung, 2003, h. 1-2
21

Baik dapat digunakan sebagai petunjuk melengkapi suatu sifat penting yang
mengandung berbagai pengertian hukum, seperti asas persamaan, asas
kepastian hukum dan asas kepercayaan. Makna dari sifat normative ini yakni
bahwa AsasAsas Umum Pemerintahan Yang Baik mengatur kadar etis di dalam
hukum adminsitrasi penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan makna dari
sifatnya yang menjelaskan adalah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
35
tersebut memiliki sifat menjelaskan terhadap sejumlah peraturan hukum.
Sebagai asas hukum, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik adalah asas
hukum yang bahanya diturunkan dari susila (bahan hukum idiil) yang didasarkan
pada moral. Moral berkatian dengan etika, kesopanan, kepatutan, yang
berdasarkan pada norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat yang baik
dan sangat dipengaruhi oleh manusia. Karena Asas-Asas Umum Pemerintahan
Yang Baik merupakan susila yang diturunkan dari moral, etika, kesopanan dan
kepatutan yang berdasarkan pada norma yang berlakku dalam kehidupan
masyarakat, maka Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik sebagai asas hukum
juga mempunyai kekuatan mengikat dan harus dipatuhi oleh pejabat
administrasi sebagaimana halnya dengan norma atau aturan hukum 36 . Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik yang biasa digunakan di Indonesia sebenarnya
adalah peninggalan produk pemikiran dari masa penjajahan Belanda, awal mula
kelahiran asasasas ini karena ketakutan akan terjadinya over diskresi dari
pemerintah yang berakibat pada pelanggaran HAM. Oleh karena itu, pada tahun
1946 pemerintah Belanda membentuk komisi yang dipimpin oleh de Monchy
yang diberikan tugas untuk memikirkan dan meneliti beberapa alternative
tentang Verhoogde Rechtsbescherming (peningkatan perlindungan hukum bagi
rakyat dari tindakan administrasi Negara yang menyimpang), pada tahun 1950
komisi tersebut melaporkan hasil penelitianya tentang Verhoogde
Rechtsbescherming dalam bentuk algemene beginselen van behoorlijk bestuur
(asas-asas umum pemerintahan yang baik) Namun hasil penelitian komisi ini
tidak seluruhyna disetujui oleh pemerintah dan pada akhrinya komisi ini
dibubarkan, diganti dengan komisi Greenten. Komisi greenten yang bertugas

35
SF. Marbun, Op. Cit., h. 50.
36
Ibid h. 69
22

sama dengan komisi de monchy ternyata juga mengalami nasib yang sama
karena ada bebrapa hal yang tidak disetujui oleh pemrintah. Meskipun kedua
komisi ini dibubarkan oleh pemerintah, namun hasil penelitian mereka
(khususnya dari komisi 5 de Monchy) dipergunakan dalam pertimbangan
37
putusan-putusan Raad van State dalam perkara administrasi. Ciri-Ciri Good
Governance dalam dokumen kebijakan United Nation Development Programme
(UNDP) lebih jauh menyebutkan ciri-ciri good governance yaitu: 1. Mengikut
sertakan semua, transparansi dan bertanggung jawab, efektif dan adil. 2.
Menjamin adanya supremasi hukum. 3. Menjamin bahwa prioritas-prioritas
politik, sosial dan ekonomi didasarkan pada konsesus masyarakat. 4.
Memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam proses
pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya pembangunan. 38

VI. Kesimpulan
Relevansi dan Aktualisasi Teori Hukum bagi Pendidikan kenotariatan di Indonesia
sangat diperlukan dikarenakan untuk:
1. Memahami dan mampu menjelaskan konsep dasar dan ruang lingkup mata kuliah
berdasarkan hasil-hasil pemikiran para ahli hukum.
2. Mampu menerapkan pemikiran logis, kritis, sistematis dan inovatif dalam konteks
pengembangan atau implementasi ilmu pengetahuan hukum yang memperhatikan
dan menerapkan nilai humaniora yang sesuai dengan bidang keahliannya.
3. Mampu menunjukkan kinerja mandiri, bermutu, dan terukur.
4. Terampil merancang dan menyusun kontrak internasional, memberikan konsultasi
dan bantuan hukum, serta mampu mengimplementasikan konsep dasar hukum yang
terkait dengan Teori Hukum.
5. Mampu mengkaji dan menganalisis persoalan hukum berdasarkan konsep-konsep,
teori, dan pendapat hukum serta mampu berpikirsecara logis dan analitis untuk
menyelesaikan masalah-masalah hukum yang dihadapi secara professional.

VII. Daftar Pustaka

37
Ridwan HR, Op. Cit., h. 231-232
38
Ibid, h. 3.
23

Anton M. Moeliono, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,


1995, h. 393.
Algra, N.E, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia,
Terjemahan Saleh diwinata, A.Teloeki, Boerhanoeddin St. Batoeah, Bina Cipta,
Jakarta, 1983, h. 29.
Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum, Akses Masyarakat Marginal Terhadap
Keadilan (Tinjauan, Sejarah, Konsep, Kebijakan, Penerapan dan Perbandingan di
Berbagai Negara), Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta, 2007.
A.V. Dicey, Introduction To The Study Of The Constitution, cet 2, terjemahan dari
Nurhadi, Nusamedia, Bandung, 1952.
Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2002.

G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1983.

H. D. van Wijk / Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht,


Culemborg, Uitgeverij LEMMA BV, 1988, p. 56. Dalam Ridwan HR, Hukum
Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30


Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2010
(selanjutnya disebut Habib Adjie II).

Himly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen tentang Hukum,
Konstitusi Press, Jakarta.

Hans Kelsen, 2007, General Theory Of Law and State, Teori Umum Hukum dan
Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif
Empirik, terjemahan Somardi, BEE Media Indonesia, Jakarta (selanjutnya ditulis
Hans Kelsen II).
Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni, terjemahan Raisul Mutaqien, Nuansa &
Nusamedia, Bandung (selanjutnya ditulis Hans Kelsen III).

Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha


Negara, Cet. I, Pustaka Harapan, Jakarta, 1993.

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Alumnni, Bandung, 2004.


Logemann, J.H.A., Over deTheorie van een Stelling Staatsrecht, Universite Pers,
Leiden, 1948 Terjemahan Makkatutu dan J.C. Pangkerego, Tentang Teori Suatu
Hukum Tata Negara Positif, Ichtiar Baru - Van Hoeve, Jakarta, 1975.
24

Lilik Mulyani, Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, 


Sebuah Kajian Deskriptif Analitis.

Lanny Kusumawati, 2009, Tanggung Jawab Jabatan Notaris, diakses pada


tanggal 6 juli 2017, pukul 10.35 WIB, http://lontar.ui.ac.id/file?file=
digital/131140-T%2027453 Analisa%2tanggungjawab-Analisis.pdf.

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,


1998.
Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang”, Makalah Universitas Airlangga,
Surabaya.

Phillipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina
Ilmu, Surabaya.

Rusdianto Sesung, Fayakundia Putra Sufi, “Hukum & Politik Hukum Jabatan
Notaris”, Angka Standar Buku Internasional, Surabaya, 2017
R. Soesanto, Tugas, Kewajiban dan Hak-hak Notaris, Wakil Notaris Sementara,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1978.
Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta,.

SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia,


Liberty, Yogyakarta,1997.

SF Marbun, “Eksistensi Asas-asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Yang


Layak Dalam Menjelmakan Pemerintahan Yang Baik dan Bersih Di Indonesia”,
Disertasi, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Padjajaran
Bandung, 2001. h. 50.

Sumarto Hetifa Sj, Inovasi Partisipasi dan Good Governance, Yayasan Obor
Indonesia, Bandung, 2003. “Peran Hakim Dalam Penemuan
Hukum,”http://www.blogster.com/dansur/peranan-hakim-dalam-penemuan,
diunduh 16 Maret 2023.(http://www.forumbebas.com/thread-11519.html).
diunduh 16 Maret 2023.

Teeuw, A., Kamus Indonesia–Belanda, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999.

Utrecht, E., Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Bali Buku
Indonesia, Jakarta, 1957.
25

Anda mungkin juga menyukai