Tugas Agama .Samhul

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 6

1

Nama : Samahati Hulu


Npm : 2320237
Mat.k : Agama

Toleransi dan Pluralisme beragama.

Menurut kesejarahannya, pluralisme dapat diruntut dari dimulai munculnya gelombang


pemikiran yang disebut dengan humanisme. Humanisme tersebut kemudian melahirkan
rasionalisme dan akhirnya berkembang ke arah liberalismedalam kekristenan. Liberalisme
tersebut pada akhirnya memunculkan variasi-variasi dalam teologi Kristen. Variasi-variasi dalam
teologi Kristen tersebut lebih banyak dipicu oleh pergumulan sehari-hari yang dihadapi manusia
dalam suatu lingkungan masyarakat. Salah satu varian dari teologi liberal tersebut adalah
pluralisme. Pluralisme juga lahir dari pergumulan yang dihadapi kekristenan, khususnya yang
berada di tengah-tengah lingkungan yang begitu beragam baik secara politik, ekonomi, budaya,
maupun kepercayaan. Bagi para penganut pluralisme, tujuan dari pandangan yang mereka
cetuskan tersebut tentu adalah agar dapat membina kehidupan yang rukun di tengah begitu banyak
keberagaman yang berpotensi untuk memicu terjadinya konflik. Charles Sherlock berpendapat
bahwa, “pluralism is usually made in search for security, or the desire to be comfortable in
life.”5(pluralisme biasanya dalam rangka mencari rasa aman, atau keinginan untuk mendapatkan
kehidupan yang nyaman).

Puralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius bagi kekristenan.
Karena pluralisme bukan sekedar konsep sosiologis, anthropologis, melainkan konsep filsafat
agama yang bertolak bukan dari Alkitab, melainkan bertolak dari fakta kemajemukan yang diikuti
oleh tuntutan toleransi, dan diilhami oleh keadaan sosial-politik yang didukung oleh
kemajemukan etnis,

pluralisme menjadi konsep dan sikap yang sangat penting. Pluralisme agama di sini berarti
pemahaman dan penghayatan sekaligus penerimaan terhadap kenyataan bahwa ada agama-agama
lain yang berbeda dengan kita dan bahwa di dalam agama-agama itu Allah menyatakan dirinya
secara khusus juga, dan karena itu di dalam agama-agama yang ada, orang dapat menemukan
Allah dan mendapatkan ridha, berkat dan keselamatan dari-Nya. Di samping atau bersamaan
dengan itu, istilah toleransi juga sering dipergunakan sebagai sikap rela menerima kenyataan
bahwa ada pihak-pihak lain yang berbeda di sekitar kita. Toleransi di sini mengandung di
dalamnya makna sabar, rela, atau pasrah menerima. Pemahaman ini memperlihatkan bahwa
toleransi adalah sikap menerima keadaan yang sebenarnya tidak disukai. Ada beban yang
ditangung yang sebenarnya tidak dikehendaki.pluralitas agama berkonotasi atau memiliki makna
negatif.
2

Pluralitas agama telah menjadi perhatian utama agama-agama, termasuk Kekristenan. Ini
karena pluralitas agama telah menjadi realitas mutlak di dalam masyarakat, bahkan sejak jaman
ketika proses pembentukan agama baru dimulai. Di dalam Kekristenan, pluralitas dan pluralisme
ini dihadapi sejak jaman para leluhur dan kemudian di masa para nabi. Di dalam perjumpaan itu,
ada pandangan dan sikap yang eksklusif, inklusif dan juga pluralis. Demikian juga di masa
pembentukan Kekristenan di jaman Yesus, murid-murid dan pengikut-pengikutnya. Ada
eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme. Memang di dalam sejarah Kekristenan, di dalam
perjumpaan dengan pihak-pihak lain, pandangan dan sikap yang eksklusif dan bahkan kadang
ekstrim, telah menjadi unsur yang dominan. Pernyataan-pernyataan yang menunjukkan
pandangan dan sikap pluralis yang mengakui dan menerima keberadaan pihak lain yang berbeda
secara sungguh-sungguh dan tulus juga tampak. Bangsa-bangsa lain diterima sebagai saluran
berkat Allah.

Akhirnya, pandangan dan sikap Kristen dalam menghadapi pluralitas di atas, terutama
model inklusif dan pluralis, harus dapat mendorong umatnya untuk merumuskan kembali teologi
berdasarkan pengalaman perjumpaan dalam pluralitas itu. Dengan kata lain, pandangan itu dapat
menghasilkan rumusan-rumusan doktrin baru sebagai hasil dari atau yang sesuai dengan keadaan
dan kebutuhan hidup beragama dalam masyarakat majemuk. Bahwa hendaknya, doktrin-doktrin
yang dihasilkan sebagai pegangan umat.

Anselm Min, seperti yang dikutip oleh situs GKI Pondok Indah Jakarta, menyebutkan
paling sedikit ada enam paradigma yang dianut oleh kaum pluralis, yaitu

a) the phenomenalist pluralism (John Hick dan Paul Knitter). Dalam pendekatan ini
agama hanya dilihat sebagai fenomena respon yang berbeda terhadap realitas
transenden yang satu (baca: Allah). Pendekatan ini lebih theosentris. Mereka percaya
bahwa Allah yang esa itu tidak bisa dipenjara oleh satu agama atau doktrin agama
mana pun. Keanekaragaman agama bukan dilihat sebagai keanekaragaman Allah tetapi
keanekaragaman interpretasi tentang Allah yang bekerja dan dipahami di dalam
konteks historis dan budaya masyarakat di mana Allah menyatakan diri. Oleh karena
itu mereka mengakui adanya kebenaran pada agama-agama lain. Semua agama
dianggap menyembah Allah yang menyatakan diri dan dipahami dalam berbagai
interpretasi.
b) the universalist pluralism (Leonard Swidler, Wilffred Cantwell Smith, Ninian Smart,
dsb). Pendekatan ini menekankan kemungkinan dan bahkan keperluan dibuatnya satu
teologi yang universal berdasarkan pengalaman sejarah agama-agama.
c) soteriosentrik pluralism (Rosemary Ruether, Suchocki, Tom Driver dan juga Knitter)
menegaskan perlu keadilan sebagai ukuran dan praxis bersama umat berbagai agama.
Dalam pendekatan ini umat beragama didorong untuk bekerja-sama secara fungsional
dalam menangani persoalan sosial dan politik demi kemaslahatan bersama.
3

d) pluralisme ontologis dengan tokohnya Panikkar yang menegaskan bahwa pluralisme


bukanlah sekedar suatu pengetahuan tetapi bahkan eksistensi dan hakikat hidup
manusia. Pendekatan lebih bersifat kristosentris. Dalam pendekatan ini, Kristus
mewujudkan diri dalam berbagai agama lain sebagai pribadi yang berbeda.
e) Kristosentris pluralis tokohnya adalah Hans Kung, John Cobb, Jurgen Moltmann,
Kenneth Surin, dsb. Pendekatan ini menegaskan bahwa meskipun kita harus
menghargai agama-agama lain, orang Kristen harus tetap mengakui identitas dan
finalitas Yesus Kristus sebagai juruselamat dunia. Tanpa pengakuan ini, orang Kristen
kehilangan identitas Kristennya. Sebaliknya, tanpa sikap positif terhadap agama lain,
orang Kristen terjebak dalam kepongahan rohaninya.
f) Keenam, Kristologi yang Soteriosentris. Eka Darmaputera salah satu tokohnya. Posisi
ini sangat menekankan Kristosentris, tetapi Yesus Kristus yang ditekankan di sini
bukanlah Yesus yang kita kenal melalui doktrin dan dogma. Paradigma ini
menekankan Yesus sebagai Anak Allah yang care pada manusia dan dunia serta rela
berinkarnasi untuk masuk, hidup dan berjuang untuk menciptakan keadilan dan
perdamaian di dalam dunia di tengah umat manusia. Bagi pendekatan ini, seorang
Kristen belum sungguh-sungguh ‘Kristen’ bila belum meneladani sikap hidup Kristus

Dengan melihat kepada paradigma-paradigma tersebut, maka dengan jelas kita dapat
menarik suatu garis bahwa, apapun paradigma yang dianut oleh kaum pluralis tetap ada satu
benang merah, yaitu pengakuan terhadap agama lain sebagai “jalan keselamatan dan kebenaran”.

Oleh karena itu, berdasarkan faktor-faktor tersebut, kaum pluralis menyatakan bahwa,
semua agama memiliki kebenaran yang menyelamatkan. Bahkan, kekristenan tidak akan dapat
mengenal Allah dengan lengkap apabila tidak turut serta menyelami pengalaman iman yang
terdapat dalam agama lain. Selanjutnya, kita juga perlu untuk mengetahui sistem hermeneutik
yang biasanya dipakai oleh kaum pluralis. Hermeneutik tidak dapat dipisahkan dari Gereja. Gereja
yang benar pasti memiliki dan menggunakan hermeneutik yang benar pula. Wisma Pandia
merangkumkan hermeneutik yang biasa dipakai oleh kaum pluralis, yaitu:

➢ Kritik Redaksi
o Tujuan dari kritik ini adalah untuk membuktikan bahwa tulisan Injil merupakan
tafsir ulang dari para penulis Injil, bahkan lebih jauh hendak menunjukkan bahwa
Injil tidak bersifat historis dan hanya merupakan ungkapan iman dari penulisnya.
➢ Ketidakrelevanan Injil dengan Konteks Masa Kini
o Menurut kaum pluralis, Injil sinoptik tidak relevan dengan orang Kristen sekarang
ini. Karena itu orang Kristen masa kini, khususnya orang Kristen Asia yang banyak
menderita karena kepincangan sosial politik, harus mencari Yesus dengan makna
kehadirannya di tengah-tengah persoalan menghadapi penderitaan: kemiskinan,
penindasan, ketidakadilan,dan sebagainya.
4

➢ Pendekatan Sosiologis - Antropologis dan Psikologis Terhadap Alkitab


o Sebagai perkembangan dari bentuk kritik Alkitab, saat ini muncul pendekatan baru
dalam penafsiran Alkitab, yakni metode sosial-antropologi terhadap Alkitab. Para
peneliti yang menggunakan metode ini berusaha merekontruksi sosial Israel kuno
dan kondisi sosial zaman Yesus. Pendekatan seperti ini menyimpulkan bahwa
Yesus tidak mengalami perkembangan sosial yang sehat, sehingga ia menjadi
pemberontak yang mendirikan sekte baru. Sementara itu pendekatan Antropologis
ialah yang mempelajari semua segi kehidupan dan budaya manusia untuk menguji
ulang pertanyaan mengenai.
➢ Kritik Kanonis
o Kaum pluralis memiliki pandangan bahwa kanon merupakan suatu koreksi yang
dapat salah dari kitab-kitab yang dapat salah. Karena itu kaum pluralis tidak hanya
mengakui kitab-kitab Alkitab yang kanonis, tetapi juga mengakui beberapa kitab
seperti Injil Barnabas dan Thomas. Disamping itu kaum pluralis mengakui bahwa
ada kebenaran di luar Alkitab, karena itu Allah terus menerus berfirman untuk
segala zaman dan Alkitab bukan suatu wahyu final.
➢ Inkarnasi Teks
o Pada umumnya, kaum pluralis sangat tertarik dengan teologi kontekstualisasi.
Mereka selalu berupaya untuk mempertemukan antara teks dan konteks. Oleh
sebab itu mereka suka mengurangi dan memanipulasi teks demi kepentingan
konteks.
➢ Sistem Penafsiran Kritik Sosial
o Teologi kontekstual yang dipahami oleh kaum pluralis adalah sama dengan teologi
situasional. Teologi situasional berakar pada sistem hermeneutika situasional. Titik
tolak teologi situasional adalah bertolak dari kenyataan sosial yang banyak
memiliki Kristus di dalamnya. Sistem penafsiran ini adalah sistem penafsiran kritik
sosial. Para penafsir kritik sosial ini cenderung mengangkat topik-topik khusus
berkenaan dengan persoalan sosial dan politik seperti yang ditunjukkan oleh
Alkitab.

Pluralisme dalam Konteks di Indonesia

Untuk dapat memahami pemikiran kaum pluralis Indonesia, maka kita perlu mengetahui juga
pemikiran-pemikiran kaum pluralis Asia. Ada banyak kemiripan antara pemikiran pluralis di
Indonesia dengan pemikiran pluralis Asia. Bagaimanapun juga, Indonesia mempunyai situasi
masyarakat yang mirip dengan bangsa Asia lainnya, yaitu memiliki kemajemukan dalam berbagai
hal, yaitu agama, budaya, politik, maupun ekonomi. Selain itu, kaum pluralis Indoesia banyak
mendasarkan pemikiran mereka kepada pemikiran pluralis Asia semacam C.S. Song atau Stanley
Samartha. Mempelajari pemikiran Song, tidak akan dapat dilepaskan dari teologi
transposisionalnya. Ada tiga pengertian yang Song berikan untuk teologi transposisionalnya12,
yaitu pertama, transposisional berarti perpindahan Injil dari Israel ke Dunia Ketiga. Perpindahan
5

tersebut tentu tanpa campur tangan Dunia Barat. Song menolak adanya teologi perwalian, dimana
seseorang dapat diselamatkan hanya melalui kekristenan. Padahal, menurutnya, orang-orang di
luar gereja cukup mampu berbicara atas nama sendiri dan memberikan pertanggungjawaban
sendiri di hadapan Allah.13 Ia memberikan bukti bagaimana orang Babel dan orang Asyur mampu
tampil di hadapan Allah sehingga mereka dipakai Allah untuk menghukum orang Israel. Di luar
Alkitab, Song juga mencontohkan mengenai keberhasilan agama Budha di Cina, dan sebaliknya,
kegagalan kekristenan di Cina. Menurutnya, hal tersebut membuktikan bahwa agama Budha juga
merupakan jalan keselamatan, sama seperti agama Kristen.14 Hal tersebut juga, menurutnya,
membuktikan bahwa Allah bekerja atas semua sejarah bangsa-bangsa untuk mendatangkan
keselamatan dan kebaikan bagi mereka semua.

Sikap Gereja terhadap Pluralisme

Sikap Gereja yang dimaksudkan terhadap pluralisme agama tentu adalah sikap yang
mendasarkan kepada pemahaman yang benar terhadap Alkitab. Gereja di Indonesia harus tetap
mempertahankan sistem hermeneutiknya, meskipun oleh kaum pluralis dikatakan sebagai sistem
yang tradisional dan tidak sesuai lagi dengan konteks

Indonesia masa kini, di tengah-tengah gencarnya kaum pluralis menawarkan sistem


hermeneutik yang mereka klaim lebih benar dan lebih maju. Hal mendasar yang membedakan
antara Gereja yang benar dengan Gereja pluralis adalah bagaimana mereka memandang Alkitab.
Gereja yang benar adalah gereja yang tetap menjunjung tinggi dan menghormati Alkitab sebagai
Firman Allah, yang tidak mungkin terdapat kesalahan dan tetap relevan bagi segala zaman dan
tempat. Gereja yang menghormati Alkitab sebagai Firman Allah, pasti akan menyadari kekhasan
identitas yang dimilikinya sebagai orang percaya. Bagi kaum pluralis, hal tersebut tentu akan
dianggap tinggi hati. Namun, bagaimanapun juga Alkitab menegaskan keeksklusivan kekristenan.
Jadi, bukan seperti anggapan kaum pluralis selama ini bahwa keeksklusivan kekeristenan
hanyalah prasangka saja, terutama dianggap sebagai warisan teologi sebelum abad XX yang
sangat dipengaruhi oleh imperialisme dan kolonialisme. Alkitab secara jelas menyampaikan
tentang sejarah keselamatan yang akhirnya berpusat kepada Yesus Kristus. Alkitab dibuka dengan
suatu janji yang eksklusive tentang keselamatan, yaitu ketika Allah menjanjikan keselamatan bagi
manusia melalui keturunan perempuan, yang tidak lain adalah Yesus Kristus sendiri (Kej. 3:15).
Selanjutnya, sejarah keselamatan bergerak menuju pemilihan Abraham, dimana Allah
mengadakan perjanjian yang kekal melalui keturunan Abraham yang dipilih-Nya secara
eksklusive, yaitu Ishak (Kej. 17:19). Perjanjian tersebut kemudian diteruskan kepada Yakub dan
bukan kepada Esau

Gereja harus waspada terhadap usaha kaum pluralis tersebut yang memanipulasi ayat-ayat
Alkitab. Gereja harus tetap memandang Alkitab sebagai satu kesatuan yang utuh, sehingga akan
6

diperoleh berita yang benar dari Alkitab, berbeda dengan kaum pluralis yang memotong-motong
ayat Alkitab demi membenarkan pandangan mereka. Puncak keeksklusivan kekristenan adalah
terdapat pada diri Yesus Kristus sendiri. Dalam agama lain, Yesus memang dikenal, namun tidak
ditempatkan secara utuh. Yesus dalam agama lain hanya dikenal sebagai manusia biasa, sebagai
pemimpin agama yang disebut dengan Kristen. Hanya di dalam kekristenan sajalah Yesus dikenal,
dihormati, dan ditempatkan seutuhnya dan sepenuhnya. Yesus adalah Tuhan dan sekaligus
manusia yang sejati. Yesus adalah jalan keselamatan satu-satunya. Klaim ini harus disadari bukan
hanya merupakan prasangka, sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum pluralis. Pernyataan ini
adalah bersumber dari Alkitab. Yesus sendiri yang menyatakan bahwa Dialah jalan keselamatan
satu-satunya (Yoh. 14:6). Dan lagi, rasul-rasul, di bawah kuasa Roh Kudus, menyatakan bahwa
keselamatan tidak ada di luar nama Yesus (Kis. 4:12). Jelaslah bahwa hal finalitas Yesus bukanlah
merupakan prasangka atau hasil rumusan teologis saja, namun merupakan fakta Alkitabiah. Tidak
ada satu tempatpun dalam Alkitab yang menyatakan ada jalan keselamatan yang lain di luar Yesus
Kristus. Jika ada jalan keselamatan lain, betapa bodohnya para rasul dan jemaat gereja mula-mula
sehingga rela menderita demi pekabaran Injil. Gereja di Indonesia harus berani menyatakan
finalitas Yesus tersebut, karena finalitas Yesus merupakan fakta dan bukan prasangka.

Anda mungkin juga menyukai