Tugas Agama .Samhul
Tugas Agama .Samhul
Tugas Agama .Samhul
Puralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius bagi kekristenan.
Karena pluralisme bukan sekedar konsep sosiologis, anthropologis, melainkan konsep filsafat
agama yang bertolak bukan dari Alkitab, melainkan bertolak dari fakta kemajemukan yang diikuti
oleh tuntutan toleransi, dan diilhami oleh keadaan sosial-politik yang didukung oleh
kemajemukan etnis,
pluralisme menjadi konsep dan sikap yang sangat penting. Pluralisme agama di sini berarti
pemahaman dan penghayatan sekaligus penerimaan terhadap kenyataan bahwa ada agama-agama
lain yang berbeda dengan kita dan bahwa di dalam agama-agama itu Allah menyatakan dirinya
secara khusus juga, dan karena itu di dalam agama-agama yang ada, orang dapat menemukan
Allah dan mendapatkan ridha, berkat dan keselamatan dari-Nya. Di samping atau bersamaan
dengan itu, istilah toleransi juga sering dipergunakan sebagai sikap rela menerima kenyataan
bahwa ada pihak-pihak lain yang berbeda di sekitar kita. Toleransi di sini mengandung di
dalamnya makna sabar, rela, atau pasrah menerima. Pemahaman ini memperlihatkan bahwa
toleransi adalah sikap menerima keadaan yang sebenarnya tidak disukai. Ada beban yang
ditangung yang sebenarnya tidak dikehendaki.pluralitas agama berkonotasi atau memiliki makna
negatif.
2
Pluralitas agama telah menjadi perhatian utama agama-agama, termasuk Kekristenan. Ini
karena pluralitas agama telah menjadi realitas mutlak di dalam masyarakat, bahkan sejak jaman
ketika proses pembentukan agama baru dimulai. Di dalam Kekristenan, pluralitas dan pluralisme
ini dihadapi sejak jaman para leluhur dan kemudian di masa para nabi. Di dalam perjumpaan itu,
ada pandangan dan sikap yang eksklusif, inklusif dan juga pluralis. Demikian juga di masa
pembentukan Kekristenan di jaman Yesus, murid-murid dan pengikut-pengikutnya. Ada
eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme. Memang di dalam sejarah Kekristenan, di dalam
perjumpaan dengan pihak-pihak lain, pandangan dan sikap yang eksklusif dan bahkan kadang
ekstrim, telah menjadi unsur yang dominan. Pernyataan-pernyataan yang menunjukkan
pandangan dan sikap pluralis yang mengakui dan menerima keberadaan pihak lain yang berbeda
secara sungguh-sungguh dan tulus juga tampak. Bangsa-bangsa lain diterima sebagai saluran
berkat Allah.
Akhirnya, pandangan dan sikap Kristen dalam menghadapi pluralitas di atas, terutama
model inklusif dan pluralis, harus dapat mendorong umatnya untuk merumuskan kembali teologi
berdasarkan pengalaman perjumpaan dalam pluralitas itu. Dengan kata lain, pandangan itu dapat
menghasilkan rumusan-rumusan doktrin baru sebagai hasil dari atau yang sesuai dengan keadaan
dan kebutuhan hidup beragama dalam masyarakat majemuk. Bahwa hendaknya, doktrin-doktrin
yang dihasilkan sebagai pegangan umat.
Anselm Min, seperti yang dikutip oleh situs GKI Pondok Indah Jakarta, menyebutkan
paling sedikit ada enam paradigma yang dianut oleh kaum pluralis, yaitu
a) the phenomenalist pluralism (John Hick dan Paul Knitter). Dalam pendekatan ini
agama hanya dilihat sebagai fenomena respon yang berbeda terhadap realitas
transenden yang satu (baca: Allah). Pendekatan ini lebih theosentris. Mereka percaya
bahwa Allah yang esa itu tidak bisa dipenjara oleh satu agama atau doktrin agama
mana pun. Keanekaragaman agama bukan dilihat sebagai keanekaragaman Allah tetapi
keanekaragaman interpretasi tentang Allah yang bekerja dan dipahami di dalam
konteks historis dan budaya masyarakat di mana Allah menyatakan diri. Oleh karena
itu mereka mengakui adanya kebenaran pada agama-agama lain. Semua agama
dianggap menyembah Allah yang menyatakan diri dan dipahami dalam berbagai
interpretasi.
b) the universalist pluralism (Leonard Swidler, Wilffred Cantwell Smith, Ninian Smart,
dsb). Pendekatan ini menekankan kemungkinan dan bahkan keperluan dibuatnya satu
teologi yang universal berdasarkan pengalaman sejarah agama-agama.
c) soteriosentrik pluralism (Rosemary Ruether, Suchocki, Tom Driver dan juga Knitter)
menegaskan perlu keadilan sebagai ukuran dan praxis bersama umat berbagai agama.
Dalam pendekatan ini umat beragama didorong untuk bekerja-sama secara fungsional
dalam menangani persoalan sosial dan politik demi kemaslahatan bersama.
3
Dengan melihat kepada paradigma-paradigma tersebut, maka dengan jelas kita dapat
menarik suatu garis bahwa, apapun paradigma yang dianut oleh kaum pluralis tetap ada satu
benang merah, yaitu pengakuan terhadap agama lain sebagai “jalan keselamatan dan kebenaran”.
Oleh karena itu, berdasarkan faktor-faktor tersebut, kaum pluralis menyatakan bahwa,
semua agama memiliki kebenaran yang menyelamatkan. Bahkan, kekristenan tidak akan dapat
mengenal Allah dengan lengkap apabila tidak turut serta menyelami pengalaman iman yang
terdapat dalam agama lain. Selanjutnya, kita juga perlu untuk mengetahui sistem hermeneutik
yang biasanya dipakai oleh kaum pluralis. Hermeneutik tidak dapat dipisahkan dari Gereja. Gereja
yang benar pasti memiliki dan menggunakan hermeneutik yang benar pula. Wisma Pandia
merangkumkan hermeneutik yang biasa dipakai oleh kaum pluralis, yaitu:
➢ Kritik Redaksi
o Tujuan dari kritik ini adalah untuk membuktikan bahwa tulisan Injil merupakan
tafsir ulang dari para penulis Injil, bahkan lebih jauh hendak menunjukkan bahwa
Injil tidak bersifat historis dan hanya merupakan ungkapan iman dari penulisnya.
➢ Ketidakrelevanan Injil dengan Konteks Masa Kini
o Menurut kaum pluralis, Injil sinoptik tidak relevan dengan orang Kristen sekarang
ini. Karena itu orang Kristen masa kini, khususnya orang Kristen Asia yang banyak
menderita karena kepincangan sosial politik, harus mencari Yesus dengan makna
kehadirannya di tengah-tengah persoalan menghadapi penderitaan: kemiskinan,
penindasan, ketidakadilan,dan sebagainya.
4
Untuk dapat memahami pemikiran kaum pluralis Indonesia, maka kita perlu mengetahui juga
pemikiran-pemikiran kaum pluralis Asia. Ada banyak kemiripan antara pemikiran pluralis di
Indonesia dengan pemikiran pluralis Asia. Bagaimanapun juga, Indonesia mempunyai situasi
masyarakat yang mirip dengan bangsa Asia lainnya, yaitu memiliki kemajemukan dalam berbagai
hal, yaitu agama, budaya, politik, maupun ekonomi. Selain itu, kaum pluralis Indoesia banyak
mendasarkan pemikiran mereka kepada pemikiran pluralis Asia semacam C.S. Song atau Stanley
Samartha. Mempelajari pemikiran Song, tidak akan dapat dilepaskan dari teologi
transposisionalnya. Ada tiga pengertian yang Song berikan untuk teologi transposisionalnya12,
yaitu pertama, transposisional berarti perpindahan Injil dari Israel ke Dunia Ketiga. Perpindahan
5
tersebut tentu tanpa campur tangan Dunia Barat. Song menolak adanya teologi perwalian, dimana
seseorang dapat diselamatkan hanya melalui kekristenan. Padahal, menurutnya, orang-orang di
luar gereja cukup mampu berbicara atas nama sendiri dan memberikan pertanggungjawaban
sendiri di hadapan Allah.13 Ia memberikan bukti bagaimana orang Babel dan orang Asyur mampu
tampil di hadapan Allah sehingga mereka dipakai Allah untuk menghukum orang Israel. Di luar
Alkitab, Song juga mencontohkan mengenai keberhasilan agama Budha di Cina, dan sebaliknya,
kegagalan kekristenan di Cina. Menurutnya, hal tersebut membuktikan bahwa agama Budha juga
merupakan jalan keselamatan, sama seperti agama Kristen.14 Hal tersebut juga, menurutnya,
membuktikan bahwa Allah bekerja atas semua sejarah bangsa-bangsa untuk mendatangkan
keselamatan dan kebaikan bagi mereka semua.
Sikap Gereja yang dimaksudkan terhadap pluralisme agama tentu adalah sikap yang
mendasarkan kepada pemahaman yang benar terhadap Alkitab. Gereja di Indonesia harus tetap
mempertahankan sistem hermeneutiknya, meskipun oleh kaum pluralis dikatakan sebagai sistem
yang tradisional dan tidak sesuai lagi dengan konteks
Gereja harus waspada terhadap usaha kaum pluralis tersebut yang memanipulasi ayat-ayat
Alkitab. Gereja harus tetap memandang Alkitab sebagai satu kesatuan yang utuh, sehingga akan
6
diperoleh berita yang benar dari Alkitab, berbeda dengan kaum pluralis yang memotong-motong
ayat Alkitab demi membenarkan pandangan mereka. Puncak keeksklusivan kekristenan adalah
terdapat pada diri Yesus Kristus sendiri. Dalam agama lain, Yesus memang dikenal, namun tidak
ditempatkan secara utuh. Yesus dalam agama lain hanya dikenal sebagai manusia biasa, sebagai
pemimpin agama yang disebut dengan Kristen. Hanya di dalam kekristenan sajalah Yesus dikenal,
dihormati, dan ditempatkan seutuhnya dan sepenuhnya. Yesus adalah Tuhan dan sekaligus
manusia yang sejati. Yesus adalah jalan keselamatan satu-satunya. Klaim ini harus disadari bukan
hanya merupakan prasangka, sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum pluralis. Pernyataan ini
adalah bersumber dari Alkitab. Yesus sendiri yang menyatakan bahwa Dialah jalan keselamatan
satu-satunya (Yoh. 14:6). Dan lagi, rasul-rasul, di bawah kuasa Roh Kudus, menyatakan bahwa
keselamatan tidak ada di luar nama Yesus (Kis. 4:12). Jelaslah bahwa hal finalitas Yesus bukanlah
merupakan prasangka atau hasil rumusan teologis saja, namun merupakan fakta Alkitabiah. Tidak
ada satu tempatpun dalam Alkitab yang menyatakan ada jalan keselamatan yang lain di luar Yesus
Kristus. Jika ada jalan keselamatan lain, betapa bodohnya para rasul dan jemaat gereja mula-mula
sehingga rela menderita demi pekabaran Injil. Gereja di Indonesia harus berani menyatakan
finalitas Yesus tersebut, karena finalitas Yesus merupakan fakta dan bukan prasangka.