Optimized
Optimized
Optimized
SKRIPSI
ABSTRAK
ii
Public Health Science Departement
Faculty of Sport Science
Universitas Negeri Semarang
September 2019
ABSTRACT
iii
PERNYATAA
iv
PENGESAHA
v
MOTTO DAN
MOTTO:
Learn from yesterday, live for today, hope for tomorrow (Albert Einstein)
Tidak ada kesuksesan melainkan dengan pertolongan Allah (Q.S. Huud: 88)
PERSEMBAHAN:
Semarang
vi
PRAKAT
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
Semarang”. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu
syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Jurusan Ilmu
Semarang. Penyusunan skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak, oleh karena itu, disamping rasa bersyukur yang tak terhingga
atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT, penulis juga menyampaikan
1. Prof. Dr. Tandiyo Rahayu, M.Pd selaku Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan.
2. Dr. Irwan Budiono, M.Kes (Epid) selaku Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan
Masyarakat.
3. dr. Arulita Ika Fibriana, M.Kes (Epid) selaku dosen pembimbing yang telah
ilmu bermanfaat.
5. Staff dan perawat RSUD Ungaran yang telah membantu dalam penyelesaian
skripsi.
vii
6. Kedua orang tua yang penulis sayangi dan cintai yaitu Bapak Tukiran dan Ibu
Suratmi yang memberikan doa dan dukungan dengan ikhlas dan penuh kasih
sayang.
keluarga yang telah memberikan doa serta dukungan moral maupun materiil
skripsi ini dapat berguna pada pribadi penulis, almamater, dan masyarakat untuk
Penulis
viii
DAFTAR ISI
1.4. MANFAAT................................................................................................ 8
1.4.1. Bagi Peneliti ....................................................................................... 8
ix
1.6.1. Ruang Lingkup Tempat..................................................................... 12
2.1.2. Phlebitis............................................................................................. 17
3.6.2. Sampel............................................................................................... 53
x
3.8.1. Instrumen Penelitian.......................................................................... 56
5.1.5. Hubungan antara Jenis Cairan Infus dengan Kejadian Phlebitis ...... 96
5.1.6. Hubungan antara Ukuran Jarum Infus dengan Kejadian Phlebitis ... 98
xi
5.1.7. Hubungan antara Jumlah Insersi dengan Kejadian Phlebitis ........... 100
5.1.11. Hubungan antara Jenis Balutan Infus dengan Kejadian Phlebitis... 108
xii
DAFTAR TABEL
xiii
Tabel 4.16. Distribusi Responden Berdasarkan Ukuran Jarum Infus ................. 73
Tabel 4.17. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Insersi.......................... 74
Tabel 4.18. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Pemasangan Infus.......... 74
Tabel 4.19. Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi Tentang Teknik
Aseptik Pemasangan Infus............................................................... 75
Tabel 4.20. Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Pergantian Balutan
Infus ................................................................................................. 75
Tabel 4.21. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Balutan Infus .................. 76
Tabel 4.22. Hubungan antara Usia Responden dengan Kejadian Phlebitis........ 77
Tabel 4.23. Hubungan antara Jenis Kelamin Pasien dengan Kejadian
Phlebitis ........................................................................................... 77
Tabel 4. 24. Hubungan antara Riwayat Penyakit dengan Kejadian Phlebitis ..... 78
Tabel 4.25. Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian Phlebitis ................ 79
Tabel 4.26. Hubungan antara Jenis Cairan Infus dengan Kejadian Phlebitis..... 80
Tabel 4.27. Hubungan antara Ukuran Jarum Infus dengan Kejadian Phlebitis.. 81
Tabel 4.28. Hubungan antara Jumlah Insersi dengan Kejadian Phlebitis........... 82
Tabel 4.29. Hubungan antara Lama Pemasangan Infus dengan Kejadian
Phlebitis ........................................................................................... 83
Tabel 4.30. Hubungan antara Persepsi Responden tentang Teknik Aseptik
Pemasangan Infus dengan Kejadian Phlebitis ................................. 84
Tabel 4.31. Hubungan antara Frekuensi Pergantian Balutan Infus dengan
Kejadian Phlebitis............................................................................ 85
Tabel 4.32. Hubungan antara Jenis Balutan Infus dengan Kejadian Phlebitis ... 86
Tabel 4.33. Rekapitulasi Analisis Bivariat ......................................................... 87
xiv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
satu Healthcare Associated Infections (HAIs) yang sering dialami oleh pasien
rawat inap. Data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
yang sering ditemukan pada pasien selama menjalani masa perawatan di rumah
sakit (CDC,
phlebitis per tahun yaitu 5%. Survei prevalensi yang dilakukan pada 55 rumah
sakit dari 14 negara yang mewakili 4 wilayah (Eropa, Mediteranian Timur, Asia
Tenggara, dan Pasifik Barat) menunjukkan rata-rata 8,7% pasien rumah sakit
mengalami phlebitis (WHO, 2011). Angka kejadian phlebitis pada empat region
yaitu Eropa (7,7%), Pasifik Barat (9%), Mediterania Timur (11,8%), dan Asia
1
2
Data phlebitis di Indonesia belum banyak ditemukan dan baru terdapat data
di 10 rumah sakit umum yaitu 16.435 kejadian phlebitis dari 588.328 pasien
(kurang lebih 2,8%) dan sebanyak 293 kejadian phlebitis dari 18.800 pasien yang
berisiko di rumah sakit khusus atau swasta tahun 2011 (kurang lebih 1,5%)
penyakit sistem sirkulasi darah pasien rawat inap di Indonesia tahun 2013
didapatkan angka kejadian phlebitis sebanyak 21,7% (Agustini et al., 2014). Sama
halnya dengan angka kejadian phlebitis di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih
sebesar
21% (Rizky, 2016). Angka kejadian phlebitis di Rumah Sakit Bhayangkara TK.II.
kejadian phlebitis dari hasil penelitan di atas masih jauh dari standar Kementerian
menempati urutan kedua dari tiga provinsi di Jawa yaitu Jawa Barat sebesar 2,2%,
Jawa Tengah sebesar 0,8%, dan Jawa Timur sebesar 0,5% (Kementerian
melibatkan
penelitian menyatakan penyakit penyerta, jumlah insersi, dan lama infus terpasang
pada hari
3
mengalami phlebitis pada hari kedua (3,7%) dan 6 responden lainnya mengalami
phlebitis pada hari ketiga sebesar 7,4%. Hal tersebut dikaitkan dengan teknik
insersi dan pemilihan lokasi pemasangan infus yang belum sesuai (Lindayanti
& Priyanto,
2014).
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ungaran adalah rumah sakit umum
merupakan rumah sakit rujukan di Kabupaten Semarang baik untuk rawat jalan
maupun rawat inap. Mengenai rawat inap di RSUD Ungaran juga tidak terlepas
pertama sebagai infeksi yang sering ditemukan pada pasien selama menjalani
seperti rumah sakit lainnya. Berdasarkan data dari bagian Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi (PPI) di RSUD Ungaran, didapatkan data HAIs tahun 2015-
2019. Angka kejadian phlebitis tahun 2015 dengan 265 kasus (5,13%), tahun 2016
dengan 193 kasus (3,7%), tahun 2017 dengan 258 kasus (1,8%), dan tahun 2018
yaitu 416 kasus (3,4%). Pada tahun 2019 bulan Januari sampai Juli, angka
kejadian phlebitis sebanyak 130 kasus (3,34%). Infeksi lainnya seperti dekubitus
pada tahun
2015 sebesar 2,02%, tahun 2016 sebesar 1,85%, tahun 2017 sebesar 1,7%, tahun
2018 tidak terdapat kasus, dan tahun 2019 sebesar 0,83%. Infeksi luka operasi
(ILO) tahun 2015 sebesar 4,52%, tahun 2016 sebesar 3,21%, tahun 2017-2018
tidak
4
terdapat kasus, namun tahun 2019 sebesar 1,35%. Infeksi saluran kemih (ISK)
pada tahun 2015 sebesar 3,87%, tahun 2016 sebesar 3,07%, tahun 2017-2018
tidak terdapat kasus, tetapi pada tahun 2019 sebesar 3,71%. Pneumonia pada tahun
2015-
2019 tidak terdapat kasus dan untuk infeksi aliran darah primer (IADP) tahun
2015-
2018 tidak terdapat kasus tetapi tahun 2019 sebesar 10,34% (Tim PPI RSUD
Ungaran, 2019).
berjenis kelamin perempuan (12 pasien atau 80%), status gizi buruk atau
malnutrisi (9 pasien atau 60%), riwayat penyakit (11 pasien atau 73,3%), cairan
hipertonik (11 pasien atau 73,3%), ukuran jarum infus <18 (9 pasien atau 60%),
jumlah insersi ≥
2 kali (13 pasien atau 86,7%), lama pemasangan infus >72 jam (14 pasien atau
93,3%), persepsi responden tentang teknik aseptik buruk (8 pasien atau 53,3%),
frekuensi balutan infus >72 jam sebanyak 12 pasien (80%), dan jenis balutan infus
Faktor penyebab dari phlebitis terdiri dari faktor internal dan eksternal.
Faktor internal dari phlebitis terdiri dari usia, status gizi, stres, kondisi vena, faktor
penyakit pasien, serta jenis kelamin (Perry & Potter, 2009). Faktor eksternal dari
phlebitis terdiri dari 3 jenis, yaitu faktor kimia, faktor mekanik, dan faktor
phlebitis terbanyak didapati pada usia > 45 tahun sebesar 66,67%, jenis kelamin
5
perempuan sebesar 57,6%, status gizi tidak baik sebesar 57,8%, ukuran kanula
20G sebesar 64,2%, lama pemasangan >3 hari sebesar 80%, pemasangan infus di
ruang IGD sebesar 51,1%, pemberian cairan infus isotonik sebesar 95,6%,
pada penyakit Diabetes Melitus (DM) dan efusi pleura sebesar 11,1%. Pada
melakukan teknik aseptik sebanyak 36 orang (88%) dan pasien yang tidak
angka signifikan dengan nilai p<0,05 yaitu p=0,0001 yang berarti terdapat
Jenis balutan infus juga salah satu faktor risiko phlebitis. Angka kejadian
orang (5%), sedangkan plester cokelat sebanyak 4 orang (10%). Hasil uji statistik,
Kabupaten Semarang”.
6
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apa saja faktor-faktor yang
1.2.2.4. Apakah terdapat hubungan antara status gizi responden dengan kejadian
1.2.2.5. Apakah terdapat hubungan antara jenis cairan infus dengan kejadian
1.2.2.6. Apakah terdapat hubungan antara ukuran jarum infus dengan kejadian
Kabupaten Semarang ?
1.2.2.11. Apakah terdapat hubungan antara jenis balutan infus dengan kejadian
Semarang.
1.3.2.5. Mengetahui hubungan antara jenis cairan infus dengan kejadian phlebitis
Kabupaten Semarang.
1.4. MANFAAT
Semarang.
variabel bebas, dimana pada penelitian ini terdapat penambahan variabel persepsi
responden tentang teknik aseptik pemasangan infus dan jenis balutan infus.
Materi yang dikaji pada penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Masyarakat
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1.1. Pengertian
Terapi infus adalah salah satu teknologi yang paling sering digunakan
dalam pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Terapi ini merupakan cara yang
digunakan untuk memberikan cairan pada pasien yang tidak dapat menelan,
bukan merupakan asupan dari saluran cerna, meliputi pemberian Nutrisi Parenteral
Total (NPT), terapi cairan, elektrolit, serta pergantian darah. NPT adalah nutrisi
dalam bentuk cairan hipertonik yang adekuat, terdiri dari glukosa dan nutrient lain
(Perry
sebagai berikut:
vitamin, protein, lemak, dan kalori yang tidak dapat dipertahankan secara
14
1
jarum menghadap ke atas, sudut tusukan 30-40 derajat arah jarum sejajar arah
e. Bila jarum masuk ke dalam pembuluh vena, darah akan tampak masuk ke
f. Memisahkan bagian jarum dari bagian kanul dengan memutar bagian jarum
i. Bila tetesan lancar, tidak ada ekstravasasi, dilakukan fiksasi dengan plester
perawat bertanggung jawab atas masalah lain yang dapat muncul pada pasien
tampak pada daerah sekitar insersi yang terjadi sebagai akibat kegagalan mekanik,
hematoma, dan bekuan pada jarum. Komplikasi sistemik meliputi sistem vaskular,
overload cairan, edema paru, dan speed shock (Perry & Potter, 2009).
1
2.1.2. Phlebitis
Phlebitis adalah reaksi inflamasi yang terjadi pada pembuluh darah vena
pada daerah tusukan, dan pengerasan sepanjang pembuluh darah vena (WHO,
2011). Menurut Brunner & Suddarth’s (2010), phlebitis adalah inflamasi vena
yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik ditandai dengan kemerahan,
nyeri, pembengkakan, panas, dan keras di daerah penusukan atau sepanjang vena.
pasien yang diperoleh selama dirawat di rumah sakit diikuti dengan manifestasi
sebagai infeksi yang sering ditemukan pada pasien selama menjalani masa
Menurut data WHO (2011), angka kejadian phlebitis per tahun yaitu 5%.
Survei prevalensi yang dilakukan dengan bantuan WHO pada 55 rumah sakit dari
1
dan Pasifik Barat) menunjukkan rata-rata 8,7% pasien rumah sakit mengalami
phlebitis. Angka kejadian phlebitis pada empat region yaitu Eropa (7,7%), Pasifik
Barat (9%), Mediterania Timur (11,8%), dan Asia Tenggara (10%). Adapun
Data phlebitis di Indonesia belum banyak ditemukan dan baru terdapat data
di 10 rumah sakit umum yaitu 16.435 kejadian phlebitis dari 588.328 pasien atau
kurang lebih 2,8% dan sebanyak 293 kejadian phlebitis dari 18.800 pasien yang
berisiko di rumah sakit khusus atau swasta pada tahun 2011 atau kurang lebih
distribusi penyakit sistem sirkulasi darah pasien rawat inap di Indonesia Tahun
didapatkan angka kejadian phlebitis sebanyak 21,7% (Agustini et al., 2014). Sama
halnya dengan angka kejadian phlebitis di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih
sebesar
21% (Rizky, 2016). Angka kejadian phlebitis di Rumah Sakit Bhayangkara TK.II.
kejadian phlebitis dari hasil penelitan di atas masih jauh dari standar Kementerian
urutan kedua dari tiga provinsi di Jawa yaitu Jawa Barat sebesar 2,2%, Jawa
Tengah
1
sebesar 0,8%, dan Jawa Timur sebesar 0,5% (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
jumlah insersi, dan lama infus terpasang berpengaruh terhadap kejadian phlebitis.
(2,5%). Tiga responden mengalami phlebitis pada hari kedua (3,7%) dan 6
responden lainya mengalami phlebitis pada hari ketiga sebesar 7,4%. Hal tersebut
dikaitkan dengan teknik insersi dan pemilihan lokasi pemasangan infus yang
belum sesuai.
atas vena. Pada beberapa kasus timbul kemerahan di tempat insersi atau di
pembuluh vena, dan pada kasus yang paling parah dapat keluar nanah (Alexander
et al., 2010). Berikut tanda dan gejala phlebitis (Infusion Nursing Society, 2016):
a. Rubor (Kemerahan)
daerah yang mengalami peradangan. Pada saat reaksi peradangan, arteriola yang
b. Kalor (Panas)
peradangan. Daerah sekitar peradangan akan menjadi lebih panas, karena darah
yang disalurkan ke daerah tersebut lebih besar dibandingkan daerah lainnya yang
normal.
c. Tumor (Bengkak)
d. Dolor (Nyeri)
ataupun konsentrasi ion-ion tertentu yang merangsang ujung saraf. Selain itu,
e. Hilangnya Fungsi
jaringan dan rasa nyeri. Keduanya mengurangi mobilitas pada daerah yang
terkena.
obat, mengganti cairan infus, dan perubahan kecepatan infus (Alexander et al.,
2010).
al., 2010). Penyebab kimia terjadi karena iritasi tunika intima oleh obat atau jenis
cairan yang memiliki pH tinggi atau rendah (asam atau basa serta osmolalitas
cairan yang tinggi). Cairan atau obat dengan pH <5 atau < 9 atau yang memiliki
osmolalitas > 375 mOsm/L dapat menyebabkan iritasi lapisan intima vena,
kulit pada daerah insersi yang menjadi jalan masuk organisme patogen ke dalam
sirkulasi darah. Komplikasi ini dapat menjadi serius, jika tidak ditangani dengan
septikemia. Kurangnya teknik aseptik saat pemasangan infus dan balutan infus
yang tidak steril pada tempat insersi dapat terjadi kontaminasi baik melalui tangan,
cairan infus, set infus, dan daerah insersi (Tim Media Cipta Guru SMK, 2017).
Lama pemasangan dan perawatan infus yang terlalu lama juga merupakan
Pseudomonas akan tumbuh selama 24 jam pertama pada tempat insersi (Alexander
et al., 2010).
pada vena. Ukuran jarum yang terlalu besar, dapat mengganggu aliran darah di
sekitarnya, serta menyebabkan iritasi pada dinding pembuluh darah. Selain itu
juga disebabkan karena lokasi insersi yang tidak tepat, seperti jika jarum
ditempatkan pada area fleksi dan jarum tidak difiksasi dengan benar
al., 2010).
asam atau hipertonik. Selain itu juga disebabkan karena trauma atau infeksi oleh
merupakan respon langsung tubuh terhadap cedera atau kematian sel. Perubahan
respon cedera diikuti dengan vasodilatasi dan peningkatan aliran darah ke daerah
Peradangan pada sel endotel menyebabkan vasodilatasi melalui kerja nitric oxide
pada otot polos pembuluh darah. Selain itu, menyebabkan pelepasan peptida
memungkinkan
2
cairan yang kaya protein bocor dan masuk ke dalam daerah cedera. Jika hal
Manifestasi khas dari phlebitis adalah nyeri akut disertai rasa terbakar dan
ditimbulkan oleh perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu yang
histamin atau zat-zat kimia bioaktif juga dapat merangsang ujung-ujung saraf.
terjadi karena ujung saraf kulit berdekatan dengan letak proses peradangannya.
Kulit di sepanjang vena tersebut menjadi eritematosa dan hangat (Ausman, 2012;
WHO, 2012).
Angka kejadian phlebitis merupakan salah satu indikator mutu dan standar
rumah sakit yang diperoleh dari perbandingan jumlah kejadian phlebitis dengan
jumlah pasien yang mendapat terapi infus (Kementerian Kesehatan RI, 2012).
adalah level 1 atau lebih. Angka kejadian yang direkomendasikan adalah 5% atau
phlebitis lebih
2
dari 5%, maka data harus dianalisis kembali terhadap derajat phlebitis dan
2.1.2.8.Pencegahan Phlebitis
b. Rotasi Infus
Dianjurkan untuk melakukan rotasi infus atau pergantian posisi infus setiap
48-72 jam untuk membatasi potensi infeksi oleh mikroorganisme (CDC, 2016).
Mengganti tempat (rotasi) infus ke lengan kontralateral setiap hari dapat mencegah
Para ahli sepakat bahwa makin lambat infus larutan hipertonik diberikan
makin rendah risiko phlebitis (Muttaqin & Sari, 2009). Ada paradigma yang
berbeda apabila pemberian infus obat injeksi dengan osmolalitas tinggi boleh
mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam. Durasi sebaiknya kurang
dari tiga jam untuk mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif dengan
dibutuhkan untuk menetralkan pH larutan infus. Potensi phlebitis dari larutan infus
tidak bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau titratable acidity sendiri. Bahkan
titratable acidity sangat rendah (0,16mEq/L). Jadi, makin rendah titrateble acidity
keparahan peradangan dan adanya trombus. Pasien phlebitis dengan skor VIP 2
atau lebih akan dilakukan pelepasan infus atau dirotasi. Pengobatan awal untuk
segala bentuk phlebitis adalah menghentikan infus. Hal ini harus dilakukan
pasien tidak stabil, infus hanya akan dilepaskan jika infus baru telah terpasang
gumpalan baru, trombolitik untuk melarutkan bekuan yang sudah ada, obat anti
inflamasi non- steroid (OAINS), seperti ibuprofen untuk mengurangi rasa sakit
dan peradangan, antibiotik (jika ada infeksi) (Kementerian Kesehatan RI, 2017).
2.1.3.1.1. Usia
Menurut Notoatmodjo (2011), usia adalah jumlah hari, bulan, tahun yang
telah dilalui sejak lahir sampai waktu tertentu. Seiring dengan penambahan usia,
maka akan terjadi berbagai perubahan fungsi tubuh baik secara fisik, biologis,
psikologi, dan sosial. Salah satu perubahan fisik tersebut adalah penurunan sistem
imun tubuh. Sistem imun tubuh memiliki fungsi yaitu membantu mencegah
infeksi yang disebabkan oleh jamur, bakteri, virus, dan organisme lain serta
diferensiasi dan maturasi sel limfosit T terjadi pada usia lanjut (usia ≥ 60 tahun).
Fungsi timus mulai menurun pada usia 1 tahun dan akan terjadi penurunan yang
signifikan setelah usia 40 tahun. Diperkirakan pada usia 70 tahun ruang epitel
timus yang tersisa kurang dari 10% dari total jaringan timus. Hal ini
kanker, kelainan autoimun, atau penyakit kronik (Brunner & Suddarth’s, 2010).
dinding vena. Adanya trombus meningkat di usia lebih dari 40 tahun, sehingga
meningkat
2
aktivasi koagulasi dan faktor degenerasi sel-sel tubuh (Rizky, 2016). Berdasarkan
hubungan usia pasien dengan kejadian phlebitis (p-value 0,0001). Pasien yang
berusia > 45 tahun memiliki risiko menderita phlebitis 59,5 kali lebih besar
Urbanetto et al., (2017), usia 49-70 tahun jumlah yang mengalami phlebitis
Status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan hasil akhir dari
keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan penggunaannya.
Status gizi dalam hal ini menggunakan IMT menurut berat badan dan tinggi badan
(BB/TB) (kg/m2). Klasifikasi BMI (Body Mass Index) atau IMT (Indeks Massa
3. Obese II (> 30.0 kg/m2): risiko terhadap komorbiditas berbahaya (Akbar &
Isfandiari, 2018).
2
Pada pasien dengan gizi buruk, baik pasien yang gemuk dan kurus lebih
berisiko untuk terkena phlebitis. Pada pasien gemuk memiliki masalah sulitnya
mencari vena superfisial. Pada pasien kurus, vena dapat terlihat tetapi sedikit
rapuh (Pradini, 2016). Menurut Akbar & Isfandiari (2018), sebagian besar pasien
yang terdiagnosis phlebitis berstatus gizi malnutrisi (68,90%) dan risikonya 4,01
2.1.3.1.3. Stres
kelenjar ini akan menghasilkan kortisol. Apabila stres yang dialami pasien sangat
tinggi, maka kelenjar adrenal akan menghasilkan kortisol dalam jumlah banyak,
Tubuh merespon terhadap stres dan emosi melalui adaptasi imun. Rasa
takut akan cedera tubuh dan nyeri sering terjadi pada anak-anak. Anak-anak yang
mengalami rasa takut dan nyeri karena pengobatan akan cenderung menghindari
perawatan medis. Hal ini yang mengakibatkan phlebitis karena pemasangan yang
berulang dan respon imun yang menurun (Perry & Potter, 2011).
yang menurun. Pada penelitian ini, stres tidak diteliti karena belum ada penelitian
2
tidak hanya dikarenakan stres saja, tetapi juga bisa karena usia, jenis kelamin, dan
pasien yang usianya > 60 tahun, memiliki vena yang bersifat rapuh, tidak elastis,
dan mudah hilang (kolaps). Pada pasien anak vena lebih bersifat kecil, elastis, dan
mudah hilang (kolaps). Hal inilah yang nantinya akan mempengaruhi kejadian
Alasan tidak dilakukan penelitian pada keadaan vena karena bisa dilihat
dari status gizi pasien. Jika status gizi pasien baik, maka keadaan vena pun baik,
sehingga dalam pemasangan infus akan lebih mudah dibandingkan dengan pasien
dengan status gizi buruk, karena vena mudah hilang, tidak elastis, dan rapuh.
sebelum atau selama terjadi phlebitis berdasarkan diagnosis yang memiliki risiko
phlebitis. Kejadian phlebitis erat kaitannya dengan riwayat penyakit yang diderita
maupun efek dari pengobatan. Semua kondisi tersebut membutuhkan terapi infus
baik sebagai terapi utama maupun sebagai akses medikasi. Pemberian cairan infus
portal the entry and exit yang merupakan akses masuknya mikroorganisme ke
3
dalam tubuh jika tidak dilakukan tindakan pencegahan yang adekuat (Perry &
Potter, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Enes et al., (2016), 13,10% kejadian
phlebitis terjadi karena adanya penyakit penyerta seperti penyakit kronis dan
infeksi.
pertahanan alamiah lokal, sehingga pasien DM rentan terhadap infeksi (Brunner &
Suddarth’s,
aliran darah ke perifer berkurang, sehingga jika terdapat luka mudah mengalami
Penyakit penyerta gagal ginjal kronik juga merupakan salah satu penyebab
terjadinya phlebitis. Phlebitis pada gagal ginjal kronik ini dikaitkan pada posisi
pada pasien gagal ginjal memiliki risiko lebih besar terkena phlebitis karena
elektrolit, dan asam basa (Asmadi, 2009). Pasien bedah sangat rentan mengalami
banyak kehilangan darah dan cairan tubuh lainnya. Pada pasien pasca
ketidakseimbangan cairan dan eletrolit yang buruk (Perry & Potter, 2009).
dengan riwayat penyakit kronis berisiko 2,462 kali lebih besar mengalami
phlebitis. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Akbar &
Isfandiari (2018) bahwa pada pasien DM mempunyai risiko 17,88 kali mengalami
phlebitis dan pasien dengan hipertensi berisiko 6,18 kali mengalami phlebitis.
(Wahyunah,
2011). Perempuan lebih rentan untuk terinfeksi phlebitis karena adanya penurun
daya tahan tubuh yang lebih sering dibanding laki-laki. Perempuan mengalami
kekuatan otot, kelenturan, dan kekenyalan kulit, serta jaringan adiposa subkutis
melawan ekspresi enzim yang selama ini menghalangi proses peradangan (Irfani,
2,487 kali lebih besar dibandingkan dengan pasien laki-laki. Hal tersebut juga
antara lain yaitu faktor kimiawi, faktor mekanik, dan faktor bakterial (Alexander
et al.,
2010).
1) Cairan Hipotonik
lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan
osmolalitas serum (< 250 mOsm/l). Tujuan pemberian larutan hipotonik adalah
untuk menggantikan cairan seluler dan menyediakan air bebas untuk ekskresi sisa
keadaan hipernatremi. Namun, larutan ini bisa berbahaya jika terjadi perpindahan
cairan secara tiba-tiba dari dalam pembuluh darah ke sel. Hal tersebut
otak (Asfuah,
2012). Contohnya dextrosa 5%, NaCl 45%, dan dektrosa 2,5% (Perry & Potter,
2011).
2) Cairan Isotonik
sebagai cairan resusitasi dan waktu yang diperlukan relatif pendek jika
5%, normal saline (NaCl 0,9%), dan larutan ringer lactate (Perry & Potter, 2011).
3) Cairan Hipertonik
dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah (> 375 mOsm/l)
saline
mendapatkan cairan infus jenis hipertonik berisiko menderita phlebitis 18,943 kali
lebih besar dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan cairan infus isotonik.
Hal ini sejalan dengan penelitian Yeesin et al., (2017), bahwa phlebitis banyak
Jenis obat-obatan yang bisa diberikan melalui infus antara lain golongan
obat secara parenteral ialah efeknya timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan
dengan pemberian per oral, dapat diberikan pada penderita yang tidak kooperatif
dan tidak sadar, serta sangat berguna dalam keadaan darurat. Kerugiannya ialah
efek toksik mudah terjadi karena kadar obat yang tinggi segera mencapai darah
dan jaringan. Obat yang diberikan melalui infus tidak dapat ditarik kembali,
sehingga jika terjadi alergi atau phlebitis, maka cara mengatasinya adalah dengan
dikarenakan pencampuran dan kecepatannya yang tidak sesuai (Muttaqin & Sari,
2009). Pemberian obat dengan kecepatan rendah dapat mengurangi iritasi pada
umumnya tidak ada obat yang boleh disuntikan dengan kecepatan kurang dari satu
menit, kecuali jika pasiennya mengalami gagal jantung atau bila terdapat
perdarahan hebat (Perry & Potter, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Enes et
al., (2016), jenis obat dan risiko pengobatan tidak berhubungan dengan phlebitis.
Hal
3
tersebutlah yang menjadi alasan jenis obat tidak dilakukan penelitian karena dalam
pemberian obat setiap orang berbeda-beda baik dari jenis obat, kecepatan, dosis,
a. Bahan Infus
Bahan merupakan satu faktor yang paling penting dalam insiden dan
tingkat keparahan phlebitis pada pemasangan infus. Berbagai polimer yang dapat
merupakan salah satu pilihan paling umum karena bahannya tipis, fleksibel,
ringan, cocok untuk mengalirkan darah, cairan infus, cairan suplemen, dan tidak
reaktif terhadap cairan tubuh. Bahan polyuretan juga bisa digunakan untuk
pembuatan infus. Bahan ini memiliki lapisan permukaan hidrofilik yang tipis,
sehingga lebih aman dan lebih nyaman untuk dipasang (Wahyunah, 2011).
Material infus juga bisa berasal dari bahan vialon yang mudah dipasang,
lebih halus, fleksibel, tidak kaku, masa tinggal di dalam vena yang lebih lama, dan
bisa digunakan untuk semua pasien. Bahan vialon bisa menurunkan insiden
dalam vena 3-4 hari dibandingkan bahan lain yang hanya bisa digunakan selama 2
hari. Vialon dapat menurunkan risiko kejadian phlebitis secara keseluruhan hampir
30% sedangkan pada phlebitis yang berat, penurunannya hampir 50% (Efendi &
Makhfudli, 2018).
3
karena tidak panas dan nyaman. Namun, bahan infus yang terbuat dari PVC
mempunyai risiko terjadi phlebitis lebih besar dibanding bahan lainnya. Bahan
PVC lebih kaku, keras, dan mudah terbelit, sehingga membuat kerusakan pada
infus yang digunakan oleh pasien tidak bervariasi, sehingga harus dikeluarkan
PVC.
Ukuran jarum infus berkisar antara 14-24 gauge yang dapat dibedakan
dengan warna dan panjangnya antara 25-45 mm. Ukuran jarum infus dipengaruhi
oleh faktor- faktor seperti durasi dan komposisi cairan infus, kondisi klinik,
Pemilihan jarum harus sesuai dengan keadaan dan kondisi vena pasien,
juga harus sesuai dengan keadaan pembuluh darah vena. Struktur pembuluh darah
sangat tipis, maka bila menggunakan ukuran jarum infus yang tidak sesuai dapat
menderita phlebitis hanya ada 1 orang (1,5%). Pasien menggunakan jarum infus
menderita phlebitis dan sisanya 45 orang (66,2%) tidak menderita phlebitis. Hasil
uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara ukuran infus dengan
Lokasi pemasangan infus yang tepat adalah vena yang cukup besar untuk
ketika memilih tempat penusukan vena adalah kondisi vena, jenis cairan atau obat
yang akan digunakan, lamanya terapi, usia pasien, ukuran jarum, riwayat
kesehatan. Vena yang akan digunakan harus teraba kuat, elastis, besar, bulat, tidak
misalnya vena metakarpal, vena sefalika, vena basilika, vena sefalika mediana,
vena basilika mediana, vena antebrakial mediana, dan lainnya. Namun, vena
supervisial di kaki dapat digunakan jika pasien dalam kondisi tidak dapat berjalan
dan kebijakan mengizinkan hal tersebut. Penggunaan infus di kaki pada umunya
dilakukan pada pasien pediatrik dan biasanya dihindari pada pasien dewasa karena
diakses dan mudah dilihat serta dipalpasi. Vena ini sangat baik untuk pemasangan
infus karena posisi infus datar dan memberikan beban yang alami. Vena
metakarpal kontraindikasi pada pasien lansia karena turgor kulit sudah berkurang
dan sudah kehilangan lapisan subkutan, sehingga membuat vena kurang stabil,
vena lebih rapuh, serta distensi vena yang menurun (Perry & Potter, 2009). Vena
sefalika merupakan vena dengan ukuran besar. Berdasarkan ukuran, vena ini dapat
menjadi pilihan terbaik untuk pemberian tranfusi karena ukuran venanya siap
untuk mengakomodasi infus yang berukuran besar. Posisi vena sefalika berada di
lengan bawah (Perry & Potter, 2009). Vena basilaris sering diabaikan karena
posisinya yang tidak menarik perhatian yaitu pada perbatasan ulnaris dan lengan
Menurut Perry & Potter (2009), banyak tempat yang dapat digunakan
untuk pemasangan infus. Namun kemudahan akses dan potensi bahaya berbeda di
antara
3
vena ekstremitas atas dan vena ekstremitas bawah. Vena ekstremitas atas paling
sering digunakan karena relatif aman dan mudah untuk pemasangan infus. Pada
vena ekstremitas bawah atau vena di kaki sangat jarang digunakan, kalaupun
Misalnya digunakan sebagai penopang saat beralih dari posisi tidur ke posisi
duduk, dan dari posisi duduk ke posisi berdiri, atau untuk aktivitas lain-lain seperti
makan dan minum (Istiroha & Erfatunafiah, 2017). Hal ini juga dinyatakan oleh
Ausman (2012), bahwa letak vena mempunyai hubungan yang signifikan dengan
kejadian phlebitis. Vena metakarpal yang letaknya lebih dekat dengan persendian
dan mudah untuk digerakkan, sehingga menyebabkan gesekan dinding vena. Hal
ini sering terjadi pada pemasangan vena ekstremitas atas yang sering terpasang
orang. Berbeda dengan lokasi pemasangan infus pada vena sefalika, dimana
kejadian phlebitis berjumlah 2 orang. Hasil statistik didapatkan nilai p=0,025 yang
phlebitis pada pasien rawat inap. Hal ini sejalan dengan penelitian Anggita (2018),
bahwa 16 pasien yang terpasang infus pada vena metakarpal terjadi phlebitis
(37%) dan 6
4
pasien yang terpasang infus pada vena sefalika (14%) terjadi phlebitis dari 43
sampel (p=0,001).
punggung tangan baik tangan kanan atau tangan kiri. Lokasi pemasangan infus
pada pasien tidak bervariasi, sehingga tidak diteliti dalam variabel penelitian.
d. Jumlah Insersi
Jumlah insersi adalah jumlah penusukan infus yang dilakukan oleh perawat
sebelum insersi yang berhasil. INS merekomendasikan maksimal dua kali insersi
dari satu infus jika terjadi kegagalan insersi. Kejadian phlebitis yang terjadi karena
teknik insersi yang tidak dilakukan dengan benar dapat menyebabkan perlukaan
pada lokasi insersi yang dapat dijadikan sebagai portal the entry and exit bagi
pasien yang mendapatkan insersi jarum infus tidak sesuai (>2 kali) mempunyai
risiko 2,040 kali lebih besar untuk mengalami phlebitis. Penelitian ini sejalan
dengan Herlina & Jafa (2018), bahwa ada hubungan jumlah insersi dengan
Menurut Perry & Potter (2009), hari pertama penusukan terjadi kerusakan
merupakan reaksi tubuh terhadap luka dimulai setelah beberapa menit dan
jaringan yang semakin luas (Alexander et al., 2010). Lama pemasangan infus yang
tidak diganti lebih dari 72-96 jam dapat menyebabkan bekuan dan sumbatan pada
selang infus. Selain itu, aliran balik dan cairan infus mengalir tidak lancar,
pemasangan infus dengan kejadian phlebitis (p= 0,0001). Selain itu, pasien
dengan lama pemasangan infus >72 jam berisiko 11,7 kali mengalami phlebitis
nosokomial. Teknik aseptik ini digunakan pada setiap prosedur dan peralatan
invasif. Prosedur ini harus dilakukan pada tempatnya untuk meminimalkan risiko
infeksi. Infeksi nosokomial diperkirakan 30% dapat dicegah dengan teknik aseptik
tangan. Sebab handscoon bedah lateks dengan kualitas terbaik pun, mungkin
mengalami kerusakan kecil yang tidak terlihat. Handscoon mungkin robek pada
saat digunakan
4
atau tangan terkontaminasi pada saat melepas handscoon (Tim Media Cipta Guru
SMK, 2017).
dibersihkan dahulu dengan sabun dan air sebelum diberikan larutan antiseptik.
(Marina,
2016). Menurut Perry & Potter (2011), phlebitis dapat disebabkan karena teknik
cuci tangan yang kurang baik dan teknik aseptik yang kurang oleh perawat pada
saat penusukan. Yana & Hasan (2016), menyatakan bahwa terdapat hubungan
teknik aseptik pemasangan infus dengan kejadian phlebitis pada anak yang
harus dijaga agar tetap kering. Frekuensi ganti balutan infus yang
direkomendasikan harus dilakukan setiap 48-72 jam, tetapi jika balutan basah,
kotor, ataupun lepas harus segera diganti (Istiroha & Erfatunafiah, 2017).
balutan infus yang menggunakan plester dan kassa harus diganti setiap 48 jam.
infus bersayap dan tidak boleh dipasang secara langsung pada kulit (Asmadi,
2009). Penggunaan plaster harus ditambahkan kassa baik kassa antibiotik, kassa
Menurut Perry & Potter (2009), infeksi yang terkait dengan pemberian
kuman dimana kuman atau mikroba dapat masuk melalui daerah insersi ke
terjadi lebih lama, sehingga kurang perhatian pada gejala awal dari phlebitis
(Bearman, 2014).
Balutan infus yang lazim digunakan adalah balutan kassa betadin dan
balutan plester khusus seperti plester strip. Contohnya handsaplast, tensoplast, dan
dapat mengurangi risiko terjadinya infeksi dan phlebitis sebesar 60% dan
al., 2016).
menyesuaikan luka yang berbeda (Astuti & Aminah, 2018). Digunakan untuk
mempertahankan set
4
infus, memungkinkan untuk inspeksi visual infus, tidak mudah kotor atau lembab,
dan tidak perlu diganti dengan sering dibandingkan balutan kassa atau plester
(Perry
& Potter, 2009). Selain itu juga berfungsi sebagai kulit kedua yang melindungi
masuknya mikroorganisme ke dalam luka tusukan infus (Perry & Potter, 2009).
inspeksi pada luka. Bahan yang tipis dan lentur memudahkan untuk mengikuti
lekuk tubuh, sehingga bisa merekat dengan sempurna pada tubuh (Sudarman et al.,
2016). Bahannya tahan air, sehingga balutan tidak harus dibuka saat mandi atau
tusukan infus. Balutan kasa harus sering diganti untuk mendapatkan kelembaban
(sehari bisa 1 sampai 2 atau 3 kali) karena balutan telah terbuka. Balutan kasa
cepat kering dan kurang menyerap keringat, sehingga mudah untuk lepas (Astuti
Plester juga salah satu balutan konvensional berbentuk perban kecil yang
digunakan pada luka kecil yang tidak perlu perban besar. Bahannya yang elastis
dapat meregang sesuai dengan gerakan kulit. Di tengahnya terdapat bantalan luka
yang tidak lengket untuk melindungi luka dan berperekat untuk memastikan
kualitas serap yang tinggi dan penampilan bersih, lebih murah daripada balutan
Kekurangan dari balutan kasa yaitu menutupi tempat insersi dan mengganggu
inspeksi visual pada area penusukan (Asmadi, 2009). Semua jenis balutan infus
pada prinsipnya dapat digunakan dalam dressing infus selama memenuhi syarat
yaitu untuk menutupi luka insersi, melindungi kulit, dan mempertahankan atau
dressing infus dilakukan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan tempat pelayanan
dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi usia, status gizi
pasien, stres, keadaan vena, riwayat penyakit, dan jenis kelamin. Adapun faktor
eksternal meliputi faktor kimiawi, faktor mekanik, dan faktor bakterial. Faktor
kimiawi meliputi jenis cairan dan jenis obat. Faktor mekanik meliputi bahan infus,
4
lokasi pemasangan infus, ukuran jarum infus, dan jumlah insersi. Faktor bakterial
meliputi lama pemasangan infus, teknik aseptik yang buruk, frekuensi pergantian
balutan infus, dan jenis balutan infus (Alexander et al., 2010; Perry & Potter,
2011;
WHO, 2012). Kerangka teori penelitian ini disajikan pada gambar 2.1. berikut:
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kejadian
Phlebitis
Gambar 2. 1. Kerangka Teori (Alexander et al., 2010; Perry & Potter, 2011;
WHO, 2012).
BAB III
METODE PENELITIAN
atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variabel
satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo,
Variabel Bebas
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Riwayat Penyakit
4. Status Gizi
5. Jenis Cairan Infus Va
6. Ukuran Jarum Infus
7. Jumlah Insersi Kejadi
8. Lama Pemasangan Infus RS
9. Persepsi Responden Kabup
Tentang Teknik Aseptik
Pemasangan Infus
10. Frekuensi Pergantian
Balutan Infus
11. Jenis Balutan Infus
bebas (Sastroatmoro & Ismail, 2014). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah
47
4
& Ismail,
2014). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, riwayat
penyakit, status gizi, jenis cairan infus, ukuran jarum infus, jumlah insersi, lama
Semarang.
10. Terdapat hubungan antara frekuensi pergantian balutan infus dengan kejadian
11. Terdapat hubungan antara jenis balutan infus dengan kejadian phlebitis di
berdasarkan studi
5
paparannya (Sastroatmoro & Ismail, 2014). Pada penelitian ini, kelompok kasus
Skema penelitian
2014).
3.6.1. Populasi
ditetapkan oleh peneliti berdasarkan kualitas dan kriteria atau karakteristik tertentu
Populasi kasus dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang terpasang
infus dan terdiagnosis phlebitis yang tercatat dalam rekam medis RSUD Ungaran
pada bulan Januari sampai Juli tahun 2019 sebanyak 130 kasus.
5
Populasi kontrol dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang terpasang
infus dan tidak terdiagnosis phlebitis yang tercatat dalam rekam medis RSUD
3.6.2. Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan obyek yang diteliti
Sampel kasus dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap yang terpasang
infus dan terdiagnosis phlebitis dengan memenuhi kriteia inklusi dan eksklusi
yang tercatat dalam rekam medis pada bulan Januari sampai Juli tahun 2019.
Sampel kontrol dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap yang
terpasang infus dan tidak terdiagnosis phlebitis dengan memenuhi kriteia inklusi
dan eksklusi yang tercatat dalam rekam medis RSUD Ungaran pada bulan Januari
2. Responden yang tercatat pada hari, tanggal, bulan, dan tahun yang sama atau
kontrol yang akan diambil dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan
dari nilai OR (Ratio Odds) terkecil penelitian terdahulu yaitu c dengan judul
populasi
Keterangan :
Zα = devirat baku normal untuk α (α= 0,05 untuk uji dua arah sebesar 1,96).
(1 − 𝑃1 ) = 1 − 0,689 = 0,311
(1 − 𝑃2 ) = 1 − 0,356 = 0,644
[1.96√2�0,356�0,644 + 0,842√(0,689�0,311) +
��1 =
(0,356�0,644)]2
��2 =
(0,689 − 0,356)2
[1,326 + 0,56]2
��1 =
0,11
��2 =
untuk menghindari drop out sampel penelitian, ditambah 10% dari 33 yaitu 4,
kelompok kasus dan kontrol yaitu 1:1, dimana jumlah sampel adalah 37 kasus dan
sampling. Pada consecutive sampling, semua subjek yang datang atau tercatat
dalam data rekam medis yang memenuhi kriteria pemilihan dalam penelitian
sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi pada kurun waktu tertentu.
5
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian
dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data, langsung pada
subjek sebagai sumber informasi yang dicari. Data primer dalam penelitian ini
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui pihak lain, tidak
langsung diperoleh dari subjek penelitiannya. Data sekunder dalam penelitian ini
berasal dari rekam medis dan data surveilens Tim PPI RSUD Ungaran.
memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang hal pribadi atau
2010). Rekam medis merupakan alat yang digunakan dalam mengumpulkan data
5
dari responden yang diambil dengan melihat hasil pada rekam medis secara
langsung.
reliabel maka harus dilakukan uji validitas instrumen dan reabilitas instrumen.
Validitas instrumen adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu
menghitung korelasi antara setiap skor butir pertanyaan dengan skor total
��(∑ ��) − (∑
� ∑ �)
𝑟−
√{𝑛 ∑ � 2 − (∑ �)2 } {𝑛 ∑ � 2 − (∑
�)2 }
Keterangan:
N = jumlah responden.
pengujian setiap item lebih besar dari r tabel (r hasil > r tabel). Pengujian validitas
instrumen pada penelitian ini menggunakan program komputer, dimana hasil akhir
pengukur dapat dipercaya atau diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan sejauh
mana suatu alat pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali
atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama
reliabilitas untuk pertanyaan yang valid diuji dengan rumus Alpha Cronbac.
Rumus
𝑘 ∑
�� 2
��11 = ( )(
)
𝑘−1 �2
𝑡
Keterangan:
Item pertanyaan dikatakan reliabel apabila R11 yang diperoleh dari hasil pengujian
setiap item soal lebih besar dari R tabel (R11 > R tabel).
diambil dari luar populasi, tetapi memiliki karakteristik yang hampir sama dengan
sampel penelitian baik dari karakteristik sosial, ekonomi, maupun budaya. Uji
3.8.2.1. Wawancara
data dimana peneliti mendapatkan keterangan secara lisan dari seseorang sasaran
tersebut (face to face) (Notoatmodjo, 2010). Data akan didapatkan secara langsung
memperoleh data primer dengan menggunakan kuesioner. Data yang akan diambil
3.8.2.2. Dokumentasi
berdasarkan dokumen yang ada, baik berupa laporan catatan, berkas, atau bahan-
bahan tertulis lainnya yang merupakan dokumen resmi yang relavan dalam
penelitian ini.
Berkas yang berisi catatan antara lain identitas pasien, hasil pemeriksaan,
pengobatan yang telah diberikan, serta tindakan dan pelayanan lain yang telah
diberikan kepada pasien. Teknik ini bertujuan untuk memperkuat data mengenai
1. Mencari data pasien phlebitis dan pasien rawat inap untuk penentuan sampel
penelitian.
kepada responden.
dalam penelitian meliputi editing, coding, tabulating, dan entry dengan rincian
sebagai berikut.
diperoleh atau dikumpulkan melalui kuesioner. Jika ternyata masih terdapat data
yang tidak lengkap dan tidak mungkin dilakukan wawancara ulang, maka
Coding merupakan kegiatan merubah data dari bentuk huruf menjadi data
dibaca dan dipahami. Entry data adalah kegiatan memasukkan data yang telah
didapat ke dalam tabel-tabel statistik yang telah disiapkan. Data disusun agar
data dari setiap variabel yang diteliti dan apakah data telah optimal untuk
dianalisis lebih lanjut, serta untuk menggambarkan variabel bebas dengan variabel
terikat. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi
Analisi bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yang
pengambilan keputusan berdasarkan tingkat signifikansi (nilai p), jika nilai p >
0,05 maka hipotesis penelitian ditolak, dan jika p < 0,05 maka hipotesis
penelitian diterima. Selain itu juga untuk mengetahui estimasi risiko relatif
dihitung odds ratio (OR) dengan tabel 2 x 2 dan rumus sebagai berikut
6.1. SIMPULAN
Semarang.
2. Tidak terdapat hubungan antara usia, status gizi, jenis cairan infus, dan jenis
Semarang.
6.2. SARAN
6.2.1.2. Melakukan supervisi secara berkala pada semua ruangan dan memastikan
112
113
Agustini C., Utomo W., & Agrina., 2014. Analisis Faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Phlebitis Pada Pasien yang Terpasang Infus di Ruang
Medikal Chrysant Rumah Sakit Awal Bros Pekanbaru. JOM PSIK (Jurnal
Online Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan), 4(1): 102–108.
Alexander M., Corrigan A., Gorski L., Hankins J., & Peucca R., 2010. Infusion
Nursing Society Infusion Nursing an Evidence Based Approach. Jakarta:
Saunders Elsevier.
Asfuah, S., 2012. Buku Saku Klinik Untuk Keperawatan dan Kebidanan.
Yogyakarta: Nuha Medika.
114
11
Benaya A., Schwartz Y., Kory R., Yinnon A. M., & Ben-Chetrit E., 2015. Relative
Incidence of Phlebitis Associated with Peripheral Intravenous Catheters in
The Lower Versus Upper Extremities. Springer, 34 (5): 913-916.
CDC., 2016. National and State Healthcare Associated Infections Progress Report.
Washington DC: CDC.
Damanik, C., 2016. Perbedaan Pengunaan Plester Transparan dan Plester Coklat
Terhadap Tingkat Kejadian Phlebitis. Media Sains, 10(1): 15–20.
Efendi, F. & Makhfudli., 2018. Vialon Biomaterial. Jakarta: PT. Becton Dickinson
Indonesia.
Enes S. M. S., Opitz S. P., Maia da Costa de Faro, A.R., & Pedreira, M. G., 2016.
Phlebitis Associated with Peripheral Intravenous Catheters in Adults
Admitted to Hospital in The Western Brazilian Amazon. Journal of School of
Nursing USP, 50(2): 261–269.
Gargar, A. P., Cutamora J. C., & Abocejo F. T., 2017. Phlebitis, Infiltration, and
Localized Site Infection Among Patients With Peripheral Intravenous
Catheters. European Scientific Journal, 13(18): 148–170.
Infusion Nursing Society., 2016. Standards for Infusion Therapy. London: Royal
College of Nursing.
Irfani, R., 2017. Hubungan Antara Lama Hari Pada Waktu Pemasangan Infus
dengan Kejadian Phlebitis Pada Pasien di Ruang Flamboyan RSUD A. W.
Sjahranie Samarinda. Skripsi. Samarinda: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Muhammadiyah Samarinda.
Istiroha & Erfatunafiah H., 2017. Faktor Lama Hari Pemasangan Infus Tidak
Berhubungan dengan Kejadian Phlebitis. Journal of Ners Community, 8(45):
133-143.
Lestari, D. D., Ismanto, A. Y., & Malara, R. T., 2016. Hubungan Jenis Cairan dan
Lokasi Pemasangan Infus dengan Kejadian Phlebitis Pada Pasien Rawat Inap
di RSU Pancaran Kasih GMIM Manado. E-journal Keperawatan (e-Kp),
4(3):
1-7.
Lindayanti N. & Priyanto., 2014. Hubungan Antara Teknik Insersi dan Lokasi
Pemasangan Kateter Intravena dengan Kejadian Phlebitis di RSUD
Ambarawa. Keperawatan Medikal Bedah, 1(2): 142–149.
Mishra D. & Nishant K., 2017. A Prospective Study to Compare Routine versus
Need Based Change of IV Cannula on Development of Infusion Phlebitis in
Adult Surgical Patients. Journal of Health Science, 13(5): 251–262.
Notoatmodjo, S., 2011. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nurjanah I. N., Suhartono, & Adi M. S., 2016. Prevalensi Phlebitis Pada Pasien
Rawat Inap dengan Infus di RSUD Tugurejo Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat ( e-Journal ), 4(4): 1–7.
Oregon Health Authority., 2013. Health Care Acquired Infections. Oregon: Oregon
Health Authority
Pasalioglu, K. B. & Kaya, H., 2014. Catheter Indwell Time and Phlebitis
Development During Peripheral Intravenous Catheter Administration.
Pakistan Journal of Medical Sciences (PJMS), 30 (4): 725–730.
Perry, A. G. & Potter, P. A., 2009. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep,
Proses dan Praktek. (R. Komalasari, Ed.) (4th ed.) Jakarta: EGC.
Perry, A. G. & Potter, P. A., 2011. Clinical Nursing Skills and Techniques.
Jakarta:
Elsevier Mosby.
Prastika, D., Susilaningsih, F. S., & Amir, A., 2011. Kejadian Phlebitis di Rumah
Sakit Umum Daerah Majalaya. Skripsi. Bandung: Universitas Padjadjaran.
11
Rahmadani, F., 2017. Karakteristik Phlebitis Pada Pasien Rawat Inap di RSUP Haji
Adam Malik Medan Tahun 2016. E-Jurnal FK USU, 4 (4): 1–15.
Rifai, M., 2013. Imunologi dan Alergi Hipersensitif. (Tim UB Press, Ed.) Malang:
UB Press.
Rizky, W., 2016. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Phlebitis
Pada Pasien yang Terpasang Kateter Intravena di Ruang Bedah Rumah Sakit.
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia, 4(2): 102–108.
Rojas-Sánchez, L. Z., Parra, D. I., & Camargo-Figuera, F. A., 2015. Incidence and
Factors Associated with The Development of Phlebitis: Results of a Pilot
Cohort Study. Revista de Enfermagem Referência, 4(4): 61–67.
RSUD Ungaran., 2019. Profil Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ungaran.
Ungaran: RSUD Ungaran.
Salgueiro-Oliveira, A., Veiga, P., & Parreira, P., 2014. Incidence of Phlebitis in
Patients with Peripheral Intravenous Catheters: The Influence of Some Risk
Factors. Australian Journal of Advanced Nursing, 30(2): 32–39.
Tim Media Cipta Guru SMK., 2017. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia.
Yogyakarta: Indopublika.
Tim PPI RSUD Ungaran., 2019. Data Health Care Infections (HAIs) RSUD
Ungaran. Ungaran: RSUD Ungaran.
Urbanetto, J., Muniz, F. M., Martins da Silva, R., Christo de Freitas, A. P., Ribeiro
de Oliveira, A. P., & Ramos dos Santos, J., 2017. Incidence of Phlebitis and
Post-Infusion Phlebitis in Hospitalised Adults. Revista Gaúcha de
Enfermagem (RGE), 38(2): 1-10.
11
Whitaker I. Y., Buzatto L. L., Massa G. P., & Peterlini M. A. S., 2016. Factors
Associated with Phlebitis in Elderly Patients with Amiodarone Intravenous
Infusion. Acta Pau Enferm, 29(3): 260–266.
Yana E. & Hasan N., 2016. Tehnik Aseptik Pemasangan Infus dengan Kejadian
Phlebitis Pada Anak di RSUD Zainoel Abidin Aceh. JIM (Jurnal Ilmiah
Mahasiswa) Unsyiah, 1(1): 1–6.
Yeesin A., Rojanaworarit C., & Chansatitporn N., 2017. Incidence of Peripheral
Phlebitis and its Predictive Characteristics Infemale Inpatients Hospitalized at
a Public Hospital in Thailand : A Prospective Cohort Study. International
Journal On Advanced Computer Theory And Engineering (IJACTE), 6 (2–3):
27–33.
Yulendrasari R., Hirawan B., & Hermawan D., 2014. Hubungan Lamanya
Pemasangan Kateter Intravena dengan Kejadian Phlebitis di Ruang Penyakit
Dalam RSU Jend. A. Yani Metro Tahun 2013. Jurnal Kesehatan Holistik,
8(2): 89–93.