Optimized

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 86

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

KEJADIAN PHLEBITIS DI RSUD UNGARAN


KABUPATEN SEMARANG

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk


Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Disusun oleh: Dian


Safitri Rara Defi NIM
6411415010

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Semarang
September 2019

ABSTRAK

Dian Safitri Rara Defi


Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Phlebitis di RSUD
Ungaran Kabupaten Semarang
XVI + 117 halaman + 39 tabel + 3 gambar + 11 lampiran

Phlebitis merupakan komplikasi pemasangan infus. Data phlebitis di


Indonesia pada 10 rumah sakit umum ≤ 2,8% dan di rumah sakit khusus atau
swasta
≤ 1,5%, persentase angka kejadian phlebitis di Jawa Tengah 0,8%. Jumlah pasien
rawat inap di RSUD Ungaran tahun 2017 yang mengalami phlebitis sebanyak 258
kasus (1,8%), tahun 2018 sebanyak 416 kasus (3,4%), dan tahun 2019 bulan
Januari sampai Juli sebanyak 130 kasus (3,34%). Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian phlebitis di
RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.
Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan rancangan case
control. Sampel yang ditetapkan sebesar 37 kasus dan 37 kontrol dengan teknik
consecutive sampling. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner dan rekam
medis dengan panduan wawancara. Data analisis dengan uji chi square dengan
perangkat SPSS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin (p=0.033; OR=3,176;
95% CI=1,202-8,395), riwayat penyakit (p=0,044; OR=3,265; 95% CI=1,144-
9,319), ukuran jarum infus (p=0,039; OR=3,523; 95% CI=1,181-10,510), jumlah
insersi (p=0,036; OR=3,056; 95% CI=1,180-7,909), lama pemasangan infus
(p=0,017; OR=3,660; 95% CI=1,359-9860), persepsi responden tentang teknik
aseptik pemasangan infus (p=0,014; OR=4,060; ; 95% CI=1,428-11,547), dan
frekuensi pergantian balutan infus (p=0,005; OR=4,563; 95% CI=1,683-12,371)
berhubungan dengan kejadian phlebitis.
Saran penelitian ini adalah melakukan pemasangan infus sesuai dengan
Standard Operational Procedure (SOP).

Kata kunci: Faktor Risiko, Phlebitis, Infus


Kepustakaan: 72 (2009-2019)

ii
Public Health Science Departement
Faculty of Sport Science
Universitas Negeri Semarang
September 2019

ABSTRACT

Dian Safitri Rara Defi


Factors Related to the Incidence of Phlebitis in Ungaran General Hospital in
Semarang Regency
XVI + 117 pages + 39 tables + 3 images + 11 appendices

Phlebitis is complication of infusion. The number of phlebitis in Indonesia


at 10 general hospitals ≤2,8%, in special or private hospitals ≤1,5%, and in Central
Java 0,8%. The case of phlebitis in Ungaran General Hospital in 2017 were 258
cases (1,8%), in 2018 were 416 cases (3,4%), and in 2019 from January-July were
130 cases (3,34%). The purpose of this study was to determine the factors
associated with phlebitis in Ungaran General Hospital.
This research was observational analytic with case control study. Samples
were 37 cases and 37 controls using consecutive sampling techniques. The
instruments used was questionnaire and medical records with interview guides.
Data analysis using chi square test with SPSS.
The results showed that gender (p=0,033; OR=3,176; 95% CI=1,202-
8,395), history of disease (p=0,044; OR=3,265; 95% CI=1,144-9,319), infusion
needle size (p=0,039; OR=3,523; 95% CI=1,181-10,510), number of insertions
(p=0,036; OR=3,056; 95% CI=1,180-7,909), duration of infusion (p=0,017;
OR=3,660; 95% CI=1,359-9860), respondents perceptions about aseptic
techniques (p=0,014; OR=4,060; 95% CI=1,428-11,547), and the infusion
dressing frequency (p=0,005; OR=4,563; 95% CI=1,683-12,371) related to the
incidence of phlebitis.
This research recommended to do infusion in accordance with Standard
Operational Procedure (SOP).

Keywords: Risk factors, Phlebitis, Infusion


Literatures: 72 (2009-2019)

iii
PERNYATAA

iv
PENGESAHA

v
MOTTO DAN

MOTTO:

Learn from yesterday, live for today, hope for tomorrow (Albert Einstein)

Tidak ada kesuksesan melainkan dengan pertolongan Allah (Q.S. Huud: 88)

PERSEMBAHAN:

Skripsi ini Saya persembahkan untuk:

1. Bapak dan Ibuku tercinta (Bapak

Tukiran dan Ibu Suratmi)

2. Almamaterku, Universitas Negeri

Semarang

vi
PRAKAT

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan

rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor

yang Berhubungan dengan Kejadian Phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten

Semarang”. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu

syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Jurusan Ilmu

Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri

Semarang. Penyusunan skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan bimbingan

dari berbagai pihak, oleh karena itu, disamping rasa bersyukur yang tak terhingga

atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT, penulis juga menyampaikan

rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. Tandiyo Rahayu, M.Pd selaku Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan.

2. Dr. Irwan Budiono, M.Kes (Epid) selaku Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan

Masyarakat.

3. dr. Arulita Ika Fibriana, M.Kes (Epid) selaku dosen pembimbing yang telah

membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyelesaian skripsi.

4. Segenap dosen Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan

ilmu bermanfaat.

5. Staff dan perawat RSUD Ungaran yang telah membantu dalam penyelesaian

skripsi.

vii
6. Kedua orang tua yang penulis sayangi dan cintai yaitu Bapak Tukiran dan Ibu

Suratmi yang memberikan doa dan dukungan dengan ikhlas dan penuh kasih

sayang.

7. Saudariku tercinta Afit Wanugiyanti Wanti, Ratna Purwanti, dan segenap

keluarga yang telah memberikan doa serta dukungan moral maupun materiil

selama penyusunan skripsi.

8. Istiqomah dan rekan-rekan tercinta peminatan Epidemiologi dan Biostatistika,

serta rekan-rekan Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat UNNES yang telah

memberikan dukungan dan arahan selama perkuliahan.

9. Serta semua pihak terlibat dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua

pihak yang telah membantu penyusunan skripsi. Penulis menyadari bahwa

terdapat banyak kekurangan, sehingga pihak pembaca dapat memberikan saran

yang membangun agar kekurangan dapat diperbaiki. Penulis berharap semoga

skripsi ini dapat berguna pada pribadi penulis, almamater, dan masyarakat untuk

meningkatkan kualitas kesehatan di masa yang akan datang. Amin.

Semarang, 30 September 2019

Penulis

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ........................................................................................ i


ABSTRAK ........................................................................................................... ii
ABSTRACT........................................................................................................... iii
PERNYATAAN................................................................................................... iv
PENGESAHAN .................................................................................................... v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ....................................................................... vi
PRAKATA........................................................................................................... vii
DAFTAR ISI........................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL............................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xvi
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH.......................................................... 1
1.2. RUMUSAN MASALAH........................................................................... 6
1.2.1. Rumusan Masalah Umum .................................................................. 6

1.2.2. Rumusan Masalah Khusus ................................................................. 6

1.3. TUJUAN PENELITIAN............................................................................ 7


1.3.1. Tujuan Umum .................................................................................... 7

1.3.2. Tujuan Khusus.................................................................................... 7

1.4. MANFAAT................................................................................................ 8
1.4.1. Bagi Peneliti ....................................................................................... 8

1.4.2. Bagi Masyarakat................................................................................. 9

1.4.3. Bagi RSUD Ungaran dan Instansi Terkait ......................................... 9

1.4.4. Bagi Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat UNNES ........................... 9

1.5. KEASLIAN PENELITIAN....................................................................... 9


1.6. RUANG LINGKUP PENELITIAN......................................................... 12

ix
1.6.1. Ruang Lingkup Tempat..................................................................... 12

1.6.2. Ruang Lingkup Waktu ...................................................................... 13

1.6.3. Ruang Lingkup Keilmuan ................................................................. 13

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 14


2.1. LANDASAN TEORI................................................................................ 14
2.1.1. Infus (Terapi Intravena) .................................................................... 14

2.1.2. Phlebitis............................................................................................. 17

2.1.3. Faktor yang Mempengaruhi Phlebitis ............................................... 25

2.2. KERANGKA TEORI................................................................................ 45


BAB III. METODE PENELITIAN....................................................................... 47
3.1. KERANGKA KONSEP............................................................................ 47
3.2. VARIABEL PENELITIAN...................................................................... 47
3.2.1. Variabel Terikat................................................................................. 47

3.2.2. Variabel Bebas .................................................................................. 48

3.3. HIPOTESIS PENELITIAN...................................................................... 48


3.4. JENIS DAN RANCANGAN PENELITIAN............................................ 49
3.5. DEFINISI OPERASIONAL DAN SKALA PENGUKURAN
VARIABEL.............................................................................................. 50
3.6. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN............................................ 52
3.6.1. Populasi ............................................................................................. 52

3.6.2. Sampel............................................................................................... 53

3.6.3. Besar Sampel Minimal ...................................................................... 54

3.6.4. Teknik Pengambilan Sampel............................................................. 55

3.7. SUMBER DATA...................................................................................... 56


3.7.1. Sumber Data Primer .......................................................................... 56

3.7.2. Sumber Data Sekunder...................................................................... 56

3.8. INSTRUMEN PENELITIAN DAN TEKNIK PENGAMBILAN


DATA....................................................................................................... 56

x
3.8.1. Instrumen Penelitian.......................................................................... 56

3.8.2. Teknik Pengambilan Data ................................................................. 59

3.9. PROSEDUR PENELITIAN..................................................................... 60


3.9.1. Tahap Pra Penelitian........................................................................... 60

3.9.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ........................................................... 60

3.9.3. Tahap Pasca Penelitian...................................................................... 60

3.10.TEKNIK ANALISIS DATA.................................................................... 61


3.10.1. Teknik Pengolahan Data ................................................................... 61

3.10.2. Teknik Analisis Data......................................................................... 61

BAB IV. HASIL PENELITIAN .......................................................................... 63


4.1. GAMBARAN UMUM............................................................................. 63
4.1.1. Gambaran Umum Tempat Penelitian................................................ 63

4.1.2. Jumlah Pasien Rawat Inap di RSUD Ungaran .................................. 64

4.1.3. Deskripsi Subjek Penelitian .............................................................. 66

4.2. HASIL PENELITIAN.............................................................................. 68


4.2.1. Karakteristik Umum Responden ....................................................... 68

4.2.2. Analisis Univariat.............................................................................. 71

4.2.3. Analisis Bivariat................................................................................ 76

4.3. Rekapitulasi Hasil Analisis Bivariat......................................................... 86


BAB V. PEMBAHASAN .................................................................................... 88
5.1. PEMBAHASAN....................................................................................... 88
5.1.1. Hubungan antara Usia dengan Kejadian Phlebitis............................ 88

5.1.2. Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kejadian Phlebitis ............ 90

5.1.3. Hubungan antara Riwayat Penyakit dengan Kejadian Phlebitis....... 92

5.1.4. Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian Phlebitis.................. 94

5.1.5. Hubungan antara Jenis Cairan Infus dengan Kejadian Phlebitis ...... 96

5.1.6. Hubungan antara Ukuran Jarum Infus dengan Kejadian Phlebitis ... 98

xi
5.1.7. Hubungan antara Jumlah Insersi dengan Kejadian Phlebitis ........... 100

5.1.8. Hubungan antara Lama Pemasangan Infus dengan Kejadian


Phlebitis............................................................................................ 102

5.1.9. Hubungan antara Persepsi Responden tentang Teknik Aseptik


Pemasangan Infus dengan Kejadian Phlebitis ................................. 104

5.1.10. Hubungan antara Frekuensi Pergantian Balutan Infus dengan


Kejadian Phlebitis ............................................................................ 106

5.1.11. Hubungan antara Jenis Balutan Infus dengan Kejadian Phlebitis... 108

5.2. HAMBATAN DAN KELEMAHAN PENELITIAN............................. 110


5.2.1. Hambatan Penelitian ........................................................................ 110

5.2.2. Kelemahan Penelitian....................................................................... 110

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN..................................................................112


6.1. SIMPULAN............................................................................................ 112
6.2. SARAN................................................................................................... 112
6.2.1. Bagi RSUD Ungaran ........................................................................ 112

6.2.2. Bagi Pasien....................................................................................... 113

6.2.3. Bagi Peneliti Selanjutnya ................................................................. 113

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 114

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Keaslian Penelitian .......................................................................... 9


Tabel 2.1. Visual Infusion Phlebitis (VIP) Score............................................. 21
Tabel 2.2. Rekomendasi Pemilihan Ukuran Jarum Infus ................................. 37
Tabel 3.1. Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel..................... 50
Tabel 4.1. Distribusi Jumlah Pasien Rawat Inap di RSUD Ungaran Tahun
2015- 2019 (Januari-Juli)................................................................. 64
Tabel 4.2. Distribusi Pasien Rawat Inap menurut Tempat/Bangsal Pada
Tahun 2019 (Januari- Juli) di RSUD Ungaran ................................ 65
Tabel 4.3. Distribusi Pasien Rawat Inap Menurut Waktu (Bulan) Pada
Tahun 2019 (Januari-Juli) di RSUD Ungaran ................................. 65
Tabel 4.4. Data Jumlah Kasus Kejadian Phlebitis di RSUD Ungaran ............. 66
Tabel 4.5. Distribusi Kejadian Phlebitis Menurut Tempat/Bangsal pada
Tahun 2019 (Januari- Juli) di RSUD Ungaran ................................ 67
Tabel 4.6. Distribusi Kejadian Phlebitis Menurut Waktu (Bulan) pada
Tahun 2019 (Januari-Juli) di RSUD Ungaran ................................. 68
Tabel 4.7. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
Terakhir............................................................................................ 68
Tabel 4.8. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan ........... 69
Tabel 4.9. Distribusi Karakteristik Responden Kasus Berdasarkan
Diagnosis Penyakit Saat Rawat Inap ............................................... 69
Tabel 4.10. Distribusi Karakteristik Responden Kontrol Berdasarkan
Diagnosis Penyakit Saat Rawat Inap ............................................... 70
Tabel 4.11. Distribusi Responden Berdasarkan Usia.......................................... 71
Tabel 4.12. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin .......................... 72
Tabel 4.13. Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Penyakit..................... 72
Tabel 4.14. Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi ............................... 73
Tabel 4.15. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Cairan Infus .................... 73

xiii
Tabel 4.16. Distribusi Responden Berdasarkan Ukuran Jarum Infus ................. 73
Tabel 4.17. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Insersi.......................... 74
Tabel 4.18. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Pemasangan Infus.......... 74
Tabel 4.19. Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi Tentang Teknik
Aseptik Pemasangan Infus............................................................... 75
Tabel 4.20. Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Pergantian Balutan
Infus ................................................................................................. 75
Tabel 4.21. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Balutan Infus .................. 76
Tabel 4.22. Hubungan antara Usia Responden dengan Kejadian Phlebitis........ 77
Tabel 4.23. Hubungan antara Jenis Kelamin Pasien dengan Kejadian
Phlebitis ........................................................................................... 77
Tabel 4. 24. Hubungan antara Riwayat Penyakit dengan Kejadian Phlebitis ..... 78
Tabel 4.25. Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian Phlebitis ................ 79
Tabel 4.26. Hubungan antara Jenis Cairan Infus dengan Kejadian Phlebitis..... 80
Tabel 4.27. Hubungan antara Ukuran Jarum Infus dengan Kejadian Phlebitis.. 81
Tabel 4.28. Hubungan antara Jumlah Insersi dengan Kejadian Phlebitis........... 82
Tabel 4.29. Hubungan antara Lama Pemasangan Infus dengan Kejadian
Phlebitis ........................................................................................... 83
Tabel 4.30. Hubungan antara Persepsi Responden tentang Teknik Aseptik
Pemasangan Infus dengan Kejadian Phlebitis ................................. 84
Tabel 4.31. Hubungan antara Frekuensi Pergantian Balutan Infus dengan
Kejadian Phlebitis............................................................................ 85
Tabel 4.32. Hubungan antara Jenis Balutan Infus dengan Kejadian Phlebitis ... 86
Tabel 4.33. Rekapitulasi Analisis Bivariat ......................................................... 87

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1. Kerangka Teori................................................................................ 46


Gambar 3. 1. Kerangka Konsep............................................................................. 47
Gambar 3. 2. Rancangan Penelitian Kasus Kontrol .............................................. 50

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Tugas Pembimbing .......................................................... 121


Lampiran 2. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Ilmu Keolahragaan, Unnes... 122
Lampiran 3. Surat Izin Penelitian dari Kesbangpol ......................................... 123
Lampiran 4. Salinan Ethical Clearance........................................................... 124
Lampiran 5. Surat Izin Penelitian .................................................................... 125
Lampiran 6. Surat/Bukti Sudah Melaksanakan Penelitian/Pengambilan Data
dari Institusi ................................................................................. 126
Lampiran 7. Instrumen Penelitian.................................................................... 127
Lampiran 8. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen ............................ 132
Lampiran 9. Data Mentah Hasil Penelitian...................................................... 133
Lampiran 10. Hasil Perhitungan Uji Statistik .................................................... 138
Lampiran 11. Dokumentasi Penelitian............................................................... 152

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Phlebitis adalah komplikasi akibat terapi infus. Phlebitis merupakan salah

satu Healthcare Associated Infections (HAIs) yang sering dialami oleh pasien

rawat inap. Data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC)

menunjukkan bahwa kejadian phlebitis menempati urutan keempat sebagai infeksi

yang sering ditemukan pada pasien selama menjalani masa perawatan di rumah

sakit (CDC,

2017). Laporan HAIs tahun 2009-2012 menyebutkan bahwa phlebitis juga

menjadi penyebab meningkatnya angka kesakitan (morbidity) dan angka kematian

(mortality) di rumah sakit, sehingga dapat menjadi masalah kesehatan baik di

negara berkembang maupun di negara maju (Oregon Health Authority, 2013).

Data World Health Organization (WHO) tahun 2011, angka kejadian

phlebitis per tahun yaitu 5%. Survei prevalensi yang dilakukan pada 55 rumah

sakit dari 14 negara yang mewakili 4 wilayah (Eropa, Mediteranian Timur, Asia

Tenggara, dan Pasifik Barat) menunjukkan rata-rata 8,7% pasien rumah sakit

mengalami phlebitis (WHO, 2011). Angka kejadian phlebitis pada empat region

yaitu Eropa (7,7%), Pasifik Barat (9%), Mediterania Timur (11,8%), dan Asia

Tenggara (10%). Adapun angka kejadian phlebitis di beberapa negara berkembang

seperti Iran (14,20%), Malaysia (12,70%), Filipina (10,10%), Taiwan (13,8%),

Nigeria (17,5%), dan Indonesia (9,80%) (WHO, 2016).

1
2

Data phlebitis di Indonesia belum banyak ditemukan dan baru terdapat data

di 10 rumah sakit umum yaitu 16.435 kejadian phlebitis dari 588.328 pasien

(kurang lebih 2,8%) dan sebanyak 293 kejadian phlebitis dari 18.800 pasien yang

berisiko di rumah sakit khusus atau swasta tahun 2011 (kurang lebih 1,5%)

(Kementerian Kesehatan RI, 2012). Jumlah kejadian phlebitis menurut distribusi

penyakit sistem sirkulasi darah pasien rawat inap di Indonesia tahun 2013

berjumlah 744 orang (17,11 %) (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Awal Bros Pekanbaru

didapatkan angka kejadian phlebitis sebanyak 21,7% (Agustini et al., 2014). Sama

halnya dengan angka kejadian phlebitis di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih

sebesar

21% (Rizky, 2016). Angka kejadian phlebitis di Rumah Sakit Bhayangkara TK.II.

H.S. Samosoeri Mertojoso Surabaya sebesar 32,35% (Fitriyanti, 2015). Angka

kejadian phlebitis dari hasil penelitan di atas masih jauh dari standar Kementerian

Kesehatan RI Nomor: 129/Menkes/SK/II/2008 yaitu ≤1,5%.

Di Indonesia, tahun 2013 persentase phlebitis di Provinsi Jawa Tengah

menempati urutan kedua dari tiga provinsi di Jawa yaitu Jawa Barat sebesar 2,2%,

Jawa Tengah sebesar 0,8%, dan Jawa Timur sebesar 0,5% (Kementerian

Kesehatan RI, 2013). Berdasarkan penelitian di RSUD Tugurejo Semarang yang

melibatkan

100 sampel, menunjukkan bahwa 55 responden (55%) mengalami phlebitis. Hasil

penelitian menyatakan penyakit penyerta, jumlah insersi, dan lama infus terpasang

berpengaruh terhadap kejadian phlebitis (Pradini, 2016). Penelitian yang

dilakukan Lindayanti dan Priyanto tahun 2014 di RSUD Ambarawa menyatakan

bahwa 11 dari 81 responden mengalami phlebitis (13,6%). Kejadian phlebitis

pada hari
3

pertama pemasangan infus sebanyak 2 kejadian (2,5%). Tiga responden

mengalami phlebitis pada hari kedua (3,7%) dan 6 responden lainnya mengalami

phlebitis pada hari ketiga sebesar 7,4%. Hal tersebut dikaitkan dengan teknik

insersi dan pemilihan lokasi pemasangan infus yang belum sesuai (Lindayanti

& Priyanto,

2014).

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ungaran adalah rumah sakit umum

daerah milik Pemerintah Daerah Kabupaten Semarang tipe C. RSUD Ungaran

merupakan rumah sakit rujukan di Kabupaten Semarang baik untuk rawat jalan

maupun rawat inap. Mengenai rawat inap di RSUD Ungaran juga tidak terlepas

dari sumber HAIs terutama phlebitis. Kejadian phlebitis menempati urutan

pertama sebagai infeksi yang sering ditemukan pada pasien selama menjalani

masa perawatan (RSUD Ungaran, 2019).

Angka kejadian phlebitis di RSUD Ungaran masih di atas standar

Kementerian Kesehatan RI Nomor: 129/Menkes/SK/II/2008 yaitu ≤1,5% sama

seperti rumah sakit lainnya. Berdasarkan data dari bagian Pencegahan dan

Pengendalian Infeksi (PPI) di RSUD Ungaran, didapatkan data HAIs tahun 2015-

2019. Angka kejadian phlebitis tahun 2015 dengan 265 kasus (5,13%), tahun 2016

dengan 193 kasus (3,7%), tahun 2017 dengan 258 kasus (1,8%), dan tahun 2018

yaitu 416 kasus (3,4%). Pada tahun 2019 bulan Januari sampai Juli, angka

kejadian phlebitis sebanyak 130 kasus (3,34%). Infeksi lainnya seperti dekubitus

pada tahun

2015 sebesar 2,02%, tahun 2016 sebesar 1,85%, tahun 2017 sebesar 1,7%, tahun

2018 tidak terdapat kasus, dan tahun 2019 sebesar 0,83%. Infeksi luka operasi

(ILO) tahun 2015 sebesar 4,52%, tahun 2016 sebesar 3,21%, tahun 2017-2018
tidak
4

terdapat kasus, namun tahun 2019 sebesar 1,35%. Infeksi saluran kemih (ISK)

pada tahun 2015 sebesar 3,87%, tahun 2016 sebesar 3,07%, tahun 2017-2018

tidak terdapat kasus, tetapi pada tahun 2019 sebesar 3,71%. Pneumonia pada tahun

2015-

2019 tidak terdapat kasus dan untuk infeksi aliran darah primer (IADP) tahun
2015-

2018 tidak terdapat kasus tetapi tahun 2019 sebesar 10,34% (Tim PPI RSUD

Ungaran, 2019).

Studi pendahuluan yang dilakukan pada 30 responden, yaitu 15 pasien

terdiagnosis phlebitis dan 15 pasien tidak terdiagnosis phlebitis. Pada kelompok

kasus dengan karakteristik seperti usia ≥ 45 tahun sebanyak 13 pasien (86,7%),

berjenis kelamin perempuan (12 pasien atau 80%), status gizi buruk atau

malnutrisi (9 pasien atau 60%), riwayat penyakit (11 pasien atau 73,3%), cairan

hipertonik (11 pasien atau 73,3%), ukuran jarum infus <18 (9 pasien atau 60%),

jumlah insersi ≥

2 kali (13 pasien atau 86,7%), lama pemasangan infus >72 jam (14 pasien atau

93,3%), persepsi responden tentang teknik aseptik buruk (8 pasien atau 53,3%),

frekuensi balutan infus >72 jam sebanyak 12 pasien (80%), dan jenis balutan infus

konvensional sebanyak 14 pasien (93,3%).

Faktor penyebab dari phlebitis terdiri dari faktor internal dan eksternal.

Faktor internal dari phlebitis terdiri dari usia, status gizi, stres, kondisi vena, faktor

penyakit pasien, serta jenis kelamin (Perry & Potter, 2009). Faktor eksternal dari

phlebitis terdiri dari 3 jenis, yaitu faktor kimia, faktor mekanik, dan faktor

bakterial (Alexander et al., 2010).

Berdasarkan penelitian Rahmadani (2017), menyatakan bahwa pasien

phlebitis terbanyak didapati pada usia > 45 tahun sebesar 66,67%, jenis kelamin
5

perempuan sebesar 57,6%, status gizi tidak baik sebesar 57,8%, ukuran kanula

20G sebesar 64,2%, lama pemasangan >3 hari sebesar 80%, pemasangan infus di

ruang IGD sebesar 51,1%, pemberian cairan infus isotonik sebesar 95,6%,

pemasangan di ekstremitas atas sebesar 100%, dan phlebitis banyak ditemukan

pada penyakit Diabetes Melitus (DM) dan efusi pleura sebesar 11,1%. Pada

penelitian Arnicstian (2018), mengenai teknik aseptik bahwa perawat yang

melakukan teknik aseptik sebanyak 36 orang (88%) dan pasien yang tidak

mengalami phlebitis berjumlah 35 orang (85,37%). Hasil uji statistik diperoleh

angka signifikan dengan nilai p<0,05 yaitu p=0,0001 yang berarti terdapat

hubungan antara teknik aseptik dengan kejadian phlebitis.

Jenis balutan infus juga salah satu faktor risiko phlebitis. Angka kejadian

phlebitis pada pemasangan infus menggunakan balutan transparan sebanyak 2

orang (5%), sedangkan plester cokelat sebanyak 4 orang (10%). Hasil uji statistik,

didapatkan nilai p=0,338 yang berarti tidak terdapat perbedaan penggunaan

balutan transparan dengan plester cokelat pada pemasangan infus. Penggunaan

plester cokelat mempunyai risiko 2 kali terhadap kejadian phlebitis dibandingkan

dengan menggunakan balutan transparan (Damanik, 2016). Berdasarkan latar

belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang

“Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Phlebitis di RSUD Ungaran

Kabupaten Semarang”.
6

1.2. RUMUSAN MASALAH

1.2.1. Rumusan Masalah Umum

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apa saja faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang ?

1.2.2. Rumusan Masalah Khusus

1.2.2.1. Apakah terdapat hubungan usia responden dengan kejadian phlebitis di

RSUD Ungaran Kabupaten Semarang ?

1.2.2.2. Apakah terdapat hubungan jenis kelamin responden dengan kejadian

phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang ?

1.2.2.3. Apakah terdapat hubungan antara riwayat penyakit responden dengan

kejadian phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang ?

1.2.2.4. Apakah terdapat hubungan antara status gizi responden dengan kejadian

phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang ?

1.2.2.5. Apakah terdapat hubungan antara jenis cairan infus dengan kejadian

phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang ?

1.2.2.6. Apakah terdapat hubungan antara ukuran jarum infus dengan kejadian

phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang ?

1.2.2.7. Apakah terdapat hubungan antara jumlah insersi dengan kejadian

phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang ?

1.2.2.8. Apakah terdapat hubungan antara lama pemasangan infus dengan

kejadian phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang ?


7

1.2.2.9. Apakah terdapat hubungan antara persepsi responden tentang teknik

aseptik pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di RSUD Ungaran

Kabupaten Semarang ?

1.2.2.10. Apakah terdapat hubungan antara frekuensi balutan infus dengan

kejadian phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang ?

1.2.2.11. Apakah terdapat hubungan antara jenis balutan infus dengan kejadian

phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang ?

1.3. TUJUAN PENELITIAN

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor

yang berhubungan dengan kejadian phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten

Semarang.

1.3.2. Tujuan Khusus

1.3.2.1. Mengetahui hubungan usia responden dengan kejadian phlebitis di

RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.

1.3.2.2. Mengetahui hubungan jenis kelamin responden dengan kejadian

phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.

1.3.2.3. Mengetahui hubungan antara riwayat penyakit responden dengan

kejadian phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.

1.3.2.4. Mengetahui hubungan antara status gizi responden dengan kejadian

phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.


8

1.3.2.5. Mengetahui hubungan antara jenis cairan infus dengan kejadian phlebitis

di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.

1.3.2.6. Mengetahui hubungan antara ukuran jarum infus dengan kejadian

phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.

1.3.2.7. Mengetahui hubungan antara jumlah insersi dengan kejadian phlebitis di

RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.

1.3.2.8. Mengetahui hubungan antara lama pemasangan infus dengan kejadian

phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.

1.3.2.9. Mengetahui hubungan antara persepsi responden tentang teknik aseptik

pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di RSUD Ungaran

Kabupaten Semarang.

1.3.2.10. Mengetahui hubungan antara frekuensi balutan infus dengan kejadian

phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.

1.3.2.11. Mengetahui hubungan antara jenis balutan infus dengan kejadian

phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.

1.4. MANFAAT

1.4.1. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman

dalam merancang dan melaksanakan penelitian ilmiah sebagai sarana penerapan

ilmu pengetahuan yang telah diperoleh dalam perkuliahan.


9

1.4.2. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapakan dapat menambah pengetahuan masyarakat

mengenai phlebitis. Selain itu, memberikan informasi kepada masyarakat supaya

bisa mencegah terjadinya phlebitis saat menjalankan perawatan.

1.4.3. Bagi RSUD Ungaran dan Instansi Terkait

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi

sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan kesehatan selanjutnya

terutama dalam program penanggulangan dan pengendalian phlebitis.

1.4.4. Bagi Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat UNNES

Penelitian ini diharapkan menjadi bahan pustaka, informasi, dan referensi

yang dapat digunakan sebagai masukan untuk penelitian selanjutnya dalam

mengembangkan ilmu di Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri

Semarang.

1.5. KEASLIAN PENELITIAN

Tabel 1.1. Keaslian Penelitian


No. Peneliti Judul Rancangan Variabel Hasil Penelitian
Penelitian
1. Putri Cahya Faktor-faktor Cross Variabel terikat: Terdapat 55 pasien (55%)
Ayu Pradini yang sectional. kejadian phlebitis. yang mengalami phlebitis
(Pradini, berhubungan Variabel bebas: dari 100 responden.
2016). dengan kejadian usia, jenis kelamin, Faktor yang berhubungan
phlebitis pada status gizi, penyakit dengan kejadian phlebitis
pasien rawat penyerta, ukuran adalah penyakit penyerta
inap di RSUD infus, jenis cairan, (p= 0,0001; RP=2,462;
Tugurejo lokasi pemasangan CI 95%=1,577-3,842),
Semarang infus, lama infus jumlah insersi (p =
Tahun 2016. terpasang, jumlah 0,0001; RP = 2,040; CI
insersi, dan 95%= 1,499-2,777), dan
frekuensi pergantian lama infus terpasang (p =
balutan. 0,0001; RP = 0,360; CI
95%= 0,272-0,478).
1

2. Nella Mega Pengaruh Case Variabel terikat: Karakteristik pasien yaitu


Fadhilah karakteristik control. kejadian phlebitis. usia (p=0,01; OR=9,63;
Haritya pasien yang Variabel bebas: 95% CI = 3,67 < OR <
Akbar dan terpasang usia, jenis kelamin, 25,25), jenis kelamin (p =
Muhammad kateter intravena status gizi, riwayat 0,01; OR=4,84; 95% CI =
Atoillah terhadap hipertensi, dan 1,85 < OR < 12,66),
Isfandiari kejadian riwayat diabetes status gizi (p = 0,01; OR
(Akbar & phlebitis. melitus. = 4,01; 95% CI = 1,69 <
Isfandiari, OR < 9,66), riwayat
2018). hipertensi (p = 0,01; OR
=
6,18; 95% CI=2,47 < OR
< 15,51), dan riwayat
diabetes melitus (p =
0,01; OR = 17,88; 95%
CI = 6,05 < OR <52,85)
berpengaruh terhadap
3. Sepvi Faktor yang Cross Variabel terikat: kejadian phlebitis.
Fitriyanti mempengaruhi sectional. kejadian phlebitis. Faktor yang berhubungan
(Fitriyanti, terjadinya Variabel bebas: dengan phlebitis adalah
2015). phlebitis di usia, jenis kelamin, usia (p =0,0001;
Rumah Sakit penyakit penyerta, RP=59,5), jenis kelamin
Bhayangkara ukuran jarum, jenis (p=0,085; RP =2,487),
TK II. H.S. cairan, lokasi infus, penyakit penyerta
Samsoeri perawatan infus, (p=0,11; RP=6,249),
Mertojoso lamanya infus, dan ukuran jarum (p=0,0001),
Surabaya. teknik pemasangan jenis cairan infus
infus. (p=0,0001; RP=18,943),
lokasi penusukan infus (p
= 0,016; RP=2,4),
perawatan infus
(p=0,0001; RP = 6,818),
lamanya pemasangan
infus (p=0,0001;
RP=14,286), dan teknik
pemasangan infus
4. Febriana Karakteristik Cross Variabel terikat: (p=0,0001; RP = 4,048).
Rahmadani phlebitis pada sectional. kejadian phlebitis. Pasien phlebitis
(Rahmadani, pasien rawat Variabel bebas: terbanyak didapati pada
2017). inap di RSUP usia, jenis kelamin, usia > 45 tahun sebesar
Haji Adam status gizi, ukuran 66,67%, jenis kelamin
Malik Medan kanula, lama waktu perempuan sebesar
Tahun 2016. pemasangan infus, 57,6%, status gizi tidak
ruang pemasangan baik sebesar 57,8%,
infus, cairan infus, ukuran kanula 20G
lokasi pemasangan, sebesar 64,2%, lama
dan penyakit. pemasangan >3 hari
sebesar 80%,
pemasangan di ruang
IGD sebesar 51,1%,
pemberian cairan infus
isotonik sebesar 95,6%,
pemasangan di
ekstremitas atas sebesar
100%, dan phlebitis
banyak ditemukan pada
1

penyakit DM dan efusi


pleura sebesar 11,1%.
5. Wahyu Analisis faktor Deskripsi Variabel terikat: Angka kejadian phlebitis
Rizky yang korelasi. kejadian phlebitis. di ruang perawatan bedah
(Rizky, berhubungan Variabel bebas: Ibnu Sina Rumah Sakit
2016). dengan kejadian usia, jenis cairan, AR. Bunda Prabumulih
phlebitis pada aseptic dressing, sebesar 21%. Ada
pasien yang dan penyakit hubungan antara usia dan
terpasang penyerta. jenis cairan intravena
kateter intravena terhadap kejadian
di ruang bedah phlebitis (p=0,0001).
Rumah Sakit Ar.
Bunda
Prabumulih.
6. Evfa Hubungan Cohort. Variabel terikat: Ada hubungan tindakan
Arnicstian tindakan teknik kejadian phlebitis. teknik aseptik
(Arnicstian, aseptik Variabel bebas: pemasangan infus dengan
2018). pemasangan teknik aseptik. kejadian phlebitis di
infus dengan RSUD Jombang
kejadian (p=0,0001).
phlebitis (di
RSUD
Jombang).
7. Chrisyen Perbedaan Quasy Variabel terikat: Tidak terdapat
Damanik penggunaan experiment. kejadian phlebitis. perbedaan
penggunaan plester
(Damanik, plester Variabel bebas: transparan
2016). transparan dan plester transparan dibandingkan
plester cokelat pada
plester cokelat dan plester cokelat. pemasangan infus
terhadap tingkat dengankejadian
angka
kejadian phlebitis
pada pasien di Bangsal
phlebitis. Anak Rumah Sakit
Umum Daerah Wates
(p=0,338).
8. Sandra Phlebitis Exploratory Variabel terikat: Komplikasi adalah
Maria associated with study. kejadian phlebitis. alasan pencabutan
utama
Sampaio peripheral Variabel bebas: kateter
(67,2%),
Enes, intravenous waktu penggunaan phlebitis
merupakan
Simone catheters (IVT) IVT, jenis infus, komplikasi
yang sering terjadi
Perufo in adults metode infus, jenis (31,1%). Jenis infus (p =
Opitz, André admitted to cairan, jumlah obat, 0,044), penyakit kronis
Ricardo hospital in The risiko pengobatan, (p
= 0,005), dan infeksi (p
Maia da Western tingkatan =
0,007)
Costa de Brazilian keperawatan, lama mempengaruhi
kejadian phlebitis.
Faro, Amazon. tinggal di rumah
Mavilde da sakit, infeksi, dan
Luz penyakit kronis.
Gonçalves
Pedreira
(Enes et al.,
2016).
9. Lyda Zoraya Incidence and Pilot Variabel terikat: Insiden phlebitis sebesar
Rojas- factors prospective kejadian phlebitis. 10,1%. Faktor risiko
Sánchez, associated cohort Variabel bebas: phlebitis yaitu age (p =
Dora Inés with the study. age, gender, 0,007), hospital stay (p =
development completed
1

Parra, and of phlebitis: and approved years 0,003), platelets (p =


Fabio results of a pilot of education, 0,043), number of
Alberto cohort study. procedence, medicines (p = <0,001),
Camargo- referred, hospital antibacterial (p =0,002),
Figuera stay, type of dan gastric antisecretory
(Rojas- disease, general (p = 0,041).
Sánchez et condition, diabetes,
al., 2015). cancer, HIV,
haemoglobin,
leukocytes,
platelets, number of
medicines,
antibacterial,
antiepileptic,
potassium chloride,
gastric
antisecretory,
corticoids,
autonomy in ADLs,
10. Kadriye Catheter indwell Cross and glasgow scale. Phlebitis terdeteksi pada
Burcu time and sectional. Variabel terikat: 41,2% pemasangan PIC
Pasalioglu phlebitis kejadian phlebitis. dan angka tersebut
dan Hatice development Variabel bebas: menurun dengan
Kaya during jenis kelamin, meningkatnya catheter
(Pasalioglu peripheral ukuran kateter, indwell time. Faktor yang
& Kaya, intravenous lokasi pemasangan mempengaruhi kejadian
2014). catheter kateter, pemberian phlebitis yaitu catheter
administration. antibiotik, ukuran indwell time (p = 0,0001),
cairan, tipe cairan, jenis kelamin (p = 0,007),
dan lama lokasi pemasangan
pemasangan kateter. kateter (p = 0,034),
pemberian antibiotik (p =
0,002), dan tipe cairan (p
= 0,011).

Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah

variabel bebas, dimana pada penelitian ini terdapat penambahan variabel persepsi

responden tentang teknik aseptik pemasangan infus dan jenis balutan infus.

1.6. RUANG LINGKUP PENELITIAN

1.6.1. Ruang Lingkup Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.


1

1.6.2. Ruang Lingkup Waktu

Penelitian ini akan dilakukan pada tahun 2019.

1.6.3. Ruang Lingkup Keilmuan

Materi yang dikaji pada penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Masyarakat

bidang epidemiologi mengenai infeksi nosokomial.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. LANDASAN TEORI

2.1.1. Infus (Terapi Intravena)

2.1.1.1. Pengertian

Terapi infus adalah salah satu teknologi yang paling sering digunakan

dalam pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Terapi ini merupakan cara yang

digunakan untuk memberikan cairan pada pasien yang tidak dapat menelan,

tidak sadar, dehidrasi, atau syok untuk memperbaiki atau mencegah

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh manusia (Asmadi, 2009).

Terapi melalui cairan infus diberikan secara langsung ke dalam darah

bukan merupakan asupan dari saluran cerna, meliputi pemberian Nutrisi Parenteral

Total (NPT), terapi cairan, elektrolit, serta pergantian darah. NPT adalah nutrisi

dalam bentuk cairan hipertonik yang adekuat, terdiri dari glukosa dan nutrient lain

(Perry

& Potter, 2009).

2.1.1.2. Tujuan Pemberian Infus

Menurut Poltekkes Kemenkes Maluku (2011), tujuan pemberian infus

sebagai berikut:

a. Memberikan atau menggantikan cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit,

vitamin, protein, lemak, dan kalori yang tidak dapat dipertahankan secara

adekuat melalui oral.

14
1

b. Memperbaiki keseimbangan asam-basa dalam tubuh.

c. Memperbaiki volume komponen darah dan memberikan jalan masuk untuk

pemberian obat-obatan ke dalam tubuh.

d. Memonitor tekanan vena sentral.

e. Memberikan nutrisi pada saat sistem pencernaan yang mengalami gangguan.

2.1.1.3. Standar Operasional Prosedur (SOP) Pemasangan Infus

Menurut Poltekkes Kemenkes Maluku (2011), prosedur pemasangan terapi

infus yang benar yaitu:

a. Menentukan lokasi pemasangan, menyesuaikan dengan keperluan rencana

pengobatan, punggung tangan kanan/kiri, kaki kanan/kiri, 1 / 2 hari.

b. Melakukan tindakan aseptik dan antiseptik.

c. Melencangkan kulit dengan cara memegang tangan/ kaki menggunakan

tangan kiri, menyiapkan jarum infus di tangan kanan.

d. Menusukkan jarum sedistal mungkin dari pembuluh vena dengan lubang

jarum menghadap ke atas, sudut tusukan 30-40 derajat arah jarum sejajar arah

vena, lalu didorong.

e. Bila jarum masuk ke dalam pembuluh vena, darah akan tampak masuk ke

dalam bagian reservoir jarum.

f. Memisahkan bagian jarum dari bagian kanul dengan memutar bagian jarum

sedikit. Mendorong kanul ke dalam vena secara perlahan sambil diputar

sampai seluruh kanul masuk.

g. Mencabut bagian jarum seluruhnya. Memperhatikan apakah darah keluar dari

kanul, menahan bagian kanul dengan ibu jari kiri.


1

h. Menghubungkan kanul dengan transfusion set. Membuka saluran infus,

memperhatikan tetesannya lancar atau tidak. Memperhatikan lokasi

penusukan mengalami pembengkakan atau tidak. Pembengkakan menandakan

elestravasasi cairan, sehingga penusukan harus diulang dari awal.

i. Bila tetesan lancar, tidak ada ekstravasasi, dilakukan fiksasi dengan plester

dan pada bayi/balita diperkuat dengan spalk.

j. Mengompres dengan kasa betadin pada lokasi penusukan.

k. Mengatur tetesan infus sesuai instruksi.

l. Melakukan proses administrasi, melengkapi berita acara pemberian infus,

mencatat jumlah cairan masuk dan keluar, keseimbangan cairan selama 24

jam setiap harinya, dan mencatat dalam perincian harian ruangan.

2.1.1.4. Komplikasi Pemasangan Infus

Pemasangan infus merupakan salah satu prosedur invasif yang dapat

menimbulkan komplikasi. Terjadinya komplikasi pada pemasangan infus dapat

menyebabkan meningkatnya lama rawat, terapi pengobatan menjadi panjang, dan

perawat bertanggung jawab atas masalah lain yang dapat muncul pada pasien

(Ausman, 2012). Komplikasi yang berhubungan dengan pemasangan infus

meliputi komplikasi lokal dan komplikasi sistemik. Komplikasi lokal biasanya

tampak pada daerah sekitar insersi yang terjadi sebagai akibat kegagalan mekanik,

contohnya infiltrasi, ekstravasasi, infeksi lokal, phlebitis, trombophlebitis,

hematoma, dan bekuan pada jarum. Komplikasi sistemik meliputi sistem vaskular,

biasanya jauh dari tempat insersi, contohnya setikemia/sepsis, emboli udara,

overload cairan, edema paru, dan speed shock (Perry & Potter, 2009).
1

2.1.2. Phlebitis

2.1.2.1. Definisi Phlebitis

Phlebitis adalah reaksi inflamasi yang terjadi pada pembuluh darah vena

yang ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak, panas, indurasi (pengerasan)

pada daerah tusukan, dan pengerasan sepanjang pembuluh darah vena (WHO,

2011). Menurut Brunner & Suddarth’s (2010), phlebitis adalah inflamasi vena

yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik ditandai dengan kemerahan,

nyeri, pembengkakan, panas, dan keras di daerah penusukan atau sepanjang vena.

Phlebitis merupakan salah satu infeksi oleh mikroorganisme yang dialami

pasien yang diperoleh selama dirawat di rumah sakit diikuti dengan manifestasi

klinis yang muncul sekurang-kurangnya 3x24 jam (WHO, 2012). Menurut

Infusion Nursing Society (2011), phlebitis merupakan peradangan pada tunika

intima pembuluh darah vena yang sering dilaporkan sebagai komplikasi

pemberian terapi infus.

2.1.2.2. Epidemiologi Phlebitis

Data dari CDC (2017), kejadian phlebitis menempati urutan keempat

sebagai infeksi yang sering ditemukan pada pasien selama menjalani masa

perawatan di rumah sakit. Laporan HAIs tahun 2009-2012 menyebutkan bahwa

phlebitis juga menjadi penyebab meningkatnya angka kesakitan (morbidity) dan

angka kematian (mortality) di rumah sakit di negara berkembang maupun di

negara maju (Oregon Health Authority 2013).

Menurut data WHO (2011), angka kejadian phlebitis per tahun yaitu 5%.

Survei prevalensi yang dilakukan dengan bantuan WHO pada 55 rumah sakit dari
1

14 negara yang mewakili 4 wilayah (Eropa, Mediteranian Timur, Asia Tenggara,

dan Pasifik Barat) menunjukkan rata-rata 8,7% pasien rumah sakit mengalami

phlebitis. Angka kejadian phlebitis pada empat region yaitu Eropa (7,7%), Pasifik

Barat (9%), Mediterania Timur (11,8%), dan Asia Tenggara (10%). Adapun

kejadian phlebitis di beberapa negara berkembang seperti Iran (14,20%), Malaysia

(12,70%), Filipina (10,10%), Taiwan (13,8%), Nigeria (17,5%), dan Indonesia

(9,80%) (WHO, 2016).

Data phlebitis di Indonesia belum banyak ditemukan dan baru terdapat data

di 10 rumah sakit umum yaitu 16.435 kejadian phlebitis dari 588.328 pasien atau

kurang lebih 2,8% dan sebanyak 293 kejadian phlebitis dari 18.800 pasien yang

berisiko di rumah sakit khusus atau swasta pada tahun 2011 atau kurang lebih

1,5% (Kementerian Kesehatan RI, 2012). Jumlah kejadian phlebitis menurut

distribusi penyakit sistem sirkulasi darah pasien rawat inap di Indonesia Tahun

2013 berjumlah 744 orang (17,11 %) (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Awal Bros Pekanbaru

didapatkan angka kejadian phlebitis sebanyak 21,7% (Agustini et al., 2014). Sama

halnya dengan angka kejadian phlebitis di Rumah Sakit AR. Bunda Prabumulih

sebesar

21% (Rizky, 2016). Angka kejadian phlebitis di Rumah Sakit Bhayangkara TK.II.

H.S. Samosoeri Mertojoso Surabaya sebesar 32,35% (Fitriyanti, 2015). Angka

kejadian phlebitis dari hasil penelitan di atas masih jauh dari standar Kementerian

Kesehatan RI Nomor: 129/Menkes/SK/II/2008 yaitu ≤1,5%.

Tahun 2013 persentase phlebitis di Provinsi Jawa Tengah menempati

urutan kedua dari tiga provinsi di Jawa yaitu Jawa Barat sebesar 2,2%, Jawa

Tengah
1

sebesar 0,8%, dan Jawa Timur sebesar 0,5% (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Berdasarkan penelitian Pradini (2016), di RSUD Tugurejo Semarang tahun 2016

yang melibatkan 100 sampel, menunjukkan bahwa 55 responden (55%)

mengalami phlebitis. Hasil penelitian menyatakan bahwa penyakit penyerta,

jumlah insersi, dan lama infus terpasang berpengaruh terhadap kejadian phlebitis.

Sama halnya dengan penelitian Lindayanti & Priyanto (2014), di RSUD

Ambarawa menyatakan bahwa 11 dari 81 responden mengalami phlebitis (13,6%).

Kejadian phlebitis pada hari pertama pemasangan infus sebanyak 2 kejadian

(2,5%). Tiga responden mengalami phlebitis pada hari kedua (3,7%) dan 6

responden lainya mengalami phlebitis pada hari ketiga sebesar 7,4%. Hal tersebut

dikaitkan dengan teknik insersi dan pemilihan lokasi pemasangan infus yang

belum sesuai.

2.1.2.3. Tanda dan Gejala Phlebitis

Phlebitis ditandai adanya nyeri, bengkak, peningkatan temperatur kulit di

atas vena. Pada beberapa kasus timbul kemerahan di tempat insersi atau di

sepanjang jalur vena, pengerasan pada daerah insersi, pengerasan sepanjang

pembuluh vena, dan pada kasus yang paling parah dapat keluar nanah (Alexander

et al., 2010). Berikut tanda dan gejala phlebitis (Infusion Nursing Society, 2016):

a. Rubor (Kemerahan)

Rubor atau kemerahan biasanya kejadian pertama yang ditemukan di

daerah yang mengalami peradangan. Pada saat reaksi peradangan, arteriola yang

mensuplai darah mengalami pelebaran, sehingga darah yang mengalir ke mikro

sirkulasi lokal lebih banyak.


2

b. Kalor (Panas)

Kalor (panas) terjadi bersamaan dengan kemerahan pada saat reaksi

peradangan. Daerah sekitar peradangan akan menjadi lebih panas, karena darah

yang disalurkan ke daerah tersebut lebih besar dibandingkan daerah lainnya yang

normal.

c. Tumor (Bengkak)

Pembengkakan lokal terjadi karena pengiriman cairan dan sel-sel dari

sirkulasi ke jaringan interstitial.

d. Dolor (Nyeri)

Rasa nyeri pada daerah peradangan disebabkan oleh perubahan pH lokal

ataupun konsentrasi ion-ion tertentu yang merangsang ujung saraf. Selain itu,

pembengkakan yang terjadi dapat menyebabkan peningkatan tekanan lokal yang

dapat merangsang sakit.

e. Hilangnya Fungsi

Hilangnya fungsi dapat disebabkan oleh penumpukan cairan pada cidera

jaringan dan rasa nyeri. Keduanya mengurangi mobilitas pada daerah yang

terkena.

2.1.2.4. Derajat Keparahan Phlebitis

Mendeteksi terjadinya phlebitis pada pasien yang terpasang infus harus

diobservasi sedikitnya 1x24 jam. Observasi juga dilakukan ketika memberikan

obat, mengganti cairan infus, dan perubahan kecepatan infus (Alexander et al.,

2010).

Keparahan phlebitis dapat dilihat dengan menggunakan skala Visual

Infusion Phlebitis (VIP) Score.


2

Tabel 2. 1. Visual Infusion Phlebitis (VIP) Score


Skala Kriteria Klinis
0 Tidak ditemukan gejala.
1 Eritema pada daerah insersi dengan /tanpa nyeri.
2 Nyeri pada daerah insersi disertai dengan eritema dan/ atau bengkak.
3 Nyeri pada daerah insersi disertai dengan eritema, bengkak dan
pengerasan area insersi.
4 Nyeri pada daerah insersi, eritema, pengerasan daerah insersi, pengerasan
sepanjang vena.
5 Nyeri pada daerah insersi, kemerahan, pengerasan area insersi,
pengerasan sepanjang vena, demam dan/ atau disertai keluar nanah.
Sumber: (Infusion Nursing Society, 2016).

2.1.2.5. Etiologi Phlebitis

Penyebab phlebitis terdiri dari kimia, mekanik, dan bakterial (Alexander et

al., 2010). Penyebab kimia terjadi karena iritasi tunika intima oleh obat atau jenis

cairan yang memiliki pH tinggi atau rendah (asam atau basa serta osmolalitas

cairan yang tinggi). Cairan atau obat dengan pH <5 atau < 9 atau yang memiliki

osmolalitas > 375 mOsm/L dapat menyebabkan iritasi lapisan intima vena,

sehingga merangsang terjadinya proses inflamasi dan trombosis (Asfuah, 2012).

Phlebitis yang disebabkan infeksi bakteri terjadi akibat kerusakan integritas

kulit pada daerah insersi yang menjadi jalan masuk organisme patogen ke dalam

sirkulasi darah. Komplikasi ini dapat menjadi serius, jika tidak ditangani dengan

benar, sehingga dapat berkembang menjadi komplikasi sistemik seperti

septikemia. Kurangnya teknik aseptik saat pemasangan infus dan balutan infus

yang tidak steril pada tempat insersi dapat terjadi kontaminasi baik melalui tangan,

cairan infus, set infus, dan daerah insersi (Tim Media Cipta Guru SMK, 2017).

Lama pemasangan dan perawatan infus yang terlalu lama juga merupakan

penyebab phlebitis bakterial karena beberapa mikroorganisme seperti Klebsiella,

Enterobacterial, Serratia, dan


2

Pseudomonas akan tumbuh selama 24 jam pertama pada tempat insersi (Alexander

et al., 2010).

Phlebitis dapat disebabkan gerakan benda asing (jarum infus) dalam

pembuluh darah yang menyebabkan gesekan dan selanjutnya terjadi peradangan

pada vena. Ukuran jarum yang terlalu besar, dapat mengganggu aliran darah di

sekitarnya, serta menyebabkan iritasi pada dinding pembuluh darah. Selain itu

juga disebabkan karena lokasi insersi yang tidak tepat, seperti jika jarum

ditempatkan pada area fleksi dan jarum tidak difiksasi dengan benar

mengakibatkan jarum sering bergerak dapat menyebabkan phlebitis (Alexander et

al., 2010).

2.1.2.6. Patofisiologi Phlebitis

Penyebab tersering phlebitis yaitu infus terutama jika memasukkan larutan

asam atau hipertonik. Selain itu juga disebabkan karena trauma atau infeksi oleh

mikroorganisme. Phlebitis terjadi karena peradangan pada vena. Peradangan akut

merupakan respon langsung tubuh terhadap cedera atau kematian sel. Perubahan

fase vaskular pada peradangan akut meliputi vasokontriksi sementara sebagai

respon cedera diikuti dengan vasodilatasi dan peningkatan aliran darah ke daerah

yang mengalami cedera, sehingga mengakibatkan kemerahan dan panas.

Peradangan pada sel endotel menyebabkan vasodilatasi melalui kerja nitric oxide

pada otot polos pembuluh darah. Selain itu, menyebabkan pelepasan peptida

vasoaktif seperti bradikinin, serotonin, dan ekstravasasi cairan ke ruang interstitial

(Alexander et al., 2010).

Aktivasi sistem komplemen di sel mast menghasilkan pelepasan histamin

yang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler. Hal tersebut

memungkinkan
2

cairan yang kaya protein bocor dan masuk ke dalam daerah cedera. Jika hal

tersebut terjadi, maka perembesan cairan ke ruang interstitial akan mengakibatkan

pembengkakan dan nyeri (Alexander et al., 2010). Adanya perembesan cairan di

sepanjang membran kapiler memasuki jaringan interstitial terjadi karena

peningkatan tekanan hidrostatik.

Manifestasi khas dari phlebitis adalah nyeri akut disertai rasa terbakar dan

nyeri tekan permukaan (Alexander et al., 2010). Nyeri pada peradangan

ditimbulkan oleh perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu yang

dapat merangsang ujung-ujung saraf. Pelepasan zat-zat kimia tertentu seperti

histamin atau zat-zat kimia bioaktif juga dapat merangsang ujung-ujung saraf.

Selain itu, pembengkakan pada jaringan yang meradang menyebabkan

peningkatan tekanan lokal, sehingga menimbulkan nyeri. Nyeri pada phlebitis

terjadi karena ujung saraf kulit berdekatan dengan letak proses peradangannya.

Kulit di sepanjang vena tersebut menjadi eritematosa dan hangat (Ausman, 2012;

WHO, 2012).

2.1.2.7. Angka Kejadian Phlebitis

Angka kejadian phlebitis merupakan salah satu indikator mutu dan standar

rumah sakit yang diperoleh dari perbandingan jumlah kejadian phlebitis dengan

jumlah pasien yang mendapat terapi infus (Kementerian Kesehatan RI, 2012).

Standar angka kejadian phlebitis mengacu dari Kementerian Kesehatan RI Nomor:

129/Menkes/SK/II/2008 adalah ≤1.5%.

INS merekomendasikan bahwa level phlebitis yang harus dilaporkan

adalah level 1 atau lebih. Angka kejadian yang direkomendasikan adalah 5% atau

kurang (Infusion Nursing Society, 2016). Jika ditemukan angka kejadian

phlebitis lebih
2

dari 5%, maka data harus dianalisis kembali terhadap derajat phlebitis dan

kemungkinan penyebabnya (Alexander et al., 2010).

2.1.2.8.Pencegahan Phlebitis

a. Mencegah Phlebitis Akibat Faktor Bakterial

Tindakan pencegahan pada phlebitis adalah dengan mencuci tangan, teknik

aseptik, menggunakan sarung tangan, perawatan pada daerah yang terpasang

infus, serta antisepsis kulit. Antisepsis bisa menggunakan chlorhexedine 2%,

yodium, dan alkohol 70 %.

b. Rotasi Infus

Dianjurkan untuk melakukan rotasi infus atau pergantian posisi infus setiap

48-72 jam untuk membatasi potensi infeksi oleh mikroorganisme (CDC, 2016).

Mengganti tempat (rotasi) infus ke lengan kontralateral setiap hari dapat mencegah

15 pasien bebas phlebitis (Anggita, 2018; Komari, 2017).

c. Laju Pemberian Infus

Para ahli sepakat bahwa makin lambat infus larutan hipertonik diberikan

makin rendah risiko phlebitis (Muttaqin & Sari, 2009). Ada paradigma yang

berbeda apabila pemberian infus obat injeksi dengan osmolalitas tinggi boleh

mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam. Durasi sebaiknya kurang

dari tiga jam untuk mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif dengan

dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan tinggi (150-330 ml/jam) (Asfuah,

2012). d. Titratable Acidity

Titratable acidity dari suatu larutan infus tidak pernah dipertimbangkan

dalam kejadian phlebitis. Titratable acidity mengukur jumlah alkali yang


2

dibutuhkan untuk menetralkan pH larutan infus. Potensi phlebitis dari larutan infus

tidak bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau titratable acidity sendiri. Bahkan

pada pH 4,0 larutan glukosa 10% jarang menyebabkan perubahan karena

titratable acidity sangat rendah (0,16mEq/L). Jadi, makin rendah titrateble acidity

larutan infus semakin rendah risiko terjadinya phlebitis (WHO, 2011).

2.1.2.9. Pola Pengobatan Phlebitis

Pengobatan phlebitis tergantung pada tingkat tertentu yaitu pada tingkat

keparahan peradangan dan adanya trombus. Pasien phlebitis dengan skor VIP 2

atau lebih akan dilakukan pelepasan infus atau dirotasi. Pengobatan awal untuk

segala bentuk phlebitis adalah menghentikan infus. Hal ini harus dilakukan

dengan mempertimbangkan kebutuhan pasien, misalnya jika kondisi hemodinamik

pasien tidak stabil, infus hanya akan dilepaskan jika infus baru telah terpasang

(Perry & Potter, 2009).

Secara umum, pengobatan dapat mencakup seperti obat analgesik (obat

nyeri), antikoagulan atau pengencer darah untuk mencegah pembentukan

gumpalan baru, trombolitik untuk melarutkan bekuan yang sudah ada, obat anti

inflamasi non- steroid (OAINS), seperti ibuprofen untuk mengurangi rasa sakit

dan peradangan, antibiotik (jika ada infeksi) (Kementerian Kesehatan RI, 2017).

2.1.3. Faktor yang Mempengaruhi Phlebitis

Faktor yang mempengaruhi terjadinya phlebitis, diantaranya adalah faktor

internal dan faktor eksternal.


2

2.1.3.1. Faktor Internal Phlebitis

2.1.3.1.1. Usia

Menurut Notoatmodjo (2011), usia adalah jumlah hari, bulan, tahun yang

telah dilalui sejak lahir sampai waktu tertentu. Seiring dengan penambahan usia,

maka akan terjadi berbagai perubahan fungsi tubuh baik secara fisik, biologis,

psikologi, dan sosial. Salah satu perubahan fisik tersebut adalah penurunan sistem

imun tubuh. Sistem imun tubuh memiliki fungsi yaitu membantu mencegah

infeksi yang disebabkan oleh jamur, bakteri, virus, dan organisme lain serta

menghasilkan antibodi (imunoglobulin) untuk memerangi serangan bakteri dan

virus asing dalam tubuh (Perry & Potter, 2011).

Menurut Fitriyanti (2015), pasien yang berusia lanjut dengan usia ≥ 60

tahun mengalami penurunan sistem imunitas di dalam tubuh

(immunocompetence). Penurunan fungsi kelenjar timus yang merupakan tempat

diferensiasi dan maturasi sel limfosit T terjadi pada usia lanjut (usia ≥ 60 tahun).

Fungsi timus mulai menurun pada usia 1 tahun dan akan terjadi penurunan yang

signifikan setelah usia 40 tahun. Diperkirakan pada usia 70 tahun ruang epitel

timus yang tersisa kurang dari 10% dari total jaringan timus. Hal ini

mengakibatkan produksi sel limfosit T yang merupakan kekebalan seluler dalam

tubuh akan berkurang, sehingga meningkatkan risiko terhadap penyakit infeksi,

kanker, kelainan autoimun, atau penyakit kronik (Brunner & Suddarth’s, 2010).

Kejadian phlebitis ditandai dengan adanya trombus yang terdapat di

dinding vena. Adanya trombus meningkat di usia lebih dari 40 tahun, sehingga

usia dianggap faktor risiko terjadinya trombus. Keadaan hiperkoagulasi

meningkat
2

berbanding lurus dengan bertambahnya usia yang disebabkan oleh peningkatan

aktivasi koagulasi dan faktor degenerasi sel-sel tubuh (Rizky, 2016). Berdasarkan

hasil penelitian yang dilakukan Fitriyanti (2015), menyatakan bahwa terdapat

hubungan usia pasien dengan kejadian phlebitis (p-value 0,0001). Pasien yang

berusia > 45 tahun memiliki risiko menderita phlebitis 59,5 kali lebih besar

dibandingkan pasien yang berusia ≤ 45 tahun. Pada penelitian yang dilakukan

Urbanetto et al., (2017), usia 49-70 tahun jumlah yang mengalami phlebitis

sebanyak 31 orang (22%) dibandingkan dengan kategori usia lainnya (p=0,046).

2.1.3.1.2. Status Gizi

Status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan hasil akhir dari

keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan penggunaannya.

Status gizi dalam hal ini menggunakan IMT menurut berat badan dan tinggi badan

(BB/TB) (kg/m2). Klasifikasi BMI (Body Mass Index) atau IMT (Indeks Massa

Tubuh) sebagai berikut:

a. Underweight (<18,5 kg/m2): risiko komorbiditas rendah (tetapi risiko terhadap

masalah-masalah klinis lain meningkat).

b. Batas normal (18,5 -22,9 kg/m2): risiko komorbiditas rata-rata.

c. Overweight (>23 kg/m2) dibagi dalam 3 kategori sebagai berikut:

1. At risk (23 – 24,9 kg/m2): risiko terhadap komorbiditas meningkat.

2. Obese I (25 – 29,9 kg/m2): risiko terhadap komorbiditas sedang.

3. Obese II (> 30.0 kg/m2): risiko terhadap komorbiditas berbahaya (Akbar &

Isfandiari, 2018).
2

Pada pasien dengan gizi buruk, baik pasien yang gemuk dan kurus lebih

berisiko untuk terkena phlebitis. Pada pasien gemuk memiliki masalah sulitnya

mencari vena superfisial. Pada pasien kurus, vena dapat terlihat tetapi sedikit

rapuh (Pradini, 2016). Menurut Akbar & Isfandiari (2018), sebagian besar pasien

yang terdiagnosis phlebitis berstatus gizi malnutrisi (68,90%) dan risikonya 4,01

kali mengalami phlebitis dibandingkan pasien dengan status gizi normal.

2.1.3.1.3. Stres

Stres juga diartikan tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak

menyenangkan dari luar diri seseorang. Berdasarkan pada konsep

psikoneuroimunologi, melalui poros hipotalamus hipofisis adrenal, bahwa stres

psikologis akan berpengaruh pada hipotalamus. Hipotalamus akan mempengaruhi

hipofisis, sehingga hipofisis akan mengekspresikan ACTH (adrenal cortico tropic

hormone) yang akhirnya dapat mempengaruhi kelenjar adrenal, yang nantinya

kelenjar ini akan menghasilkan kortisol. Apabila stres yang dialami pasien sangat

tinggi, maka kelenjar adrenal akan menghasilkan kortisol dalam jumlah banyak,

sehingga dapat menekan sistem imun (Perry & Potter, 2009).

Tubuh merespon terhadap stres dan emosi melalui adaptasi imun. Rasa

takut akan cedera tubuh dan nyeri sering terjadi pada anak-anak. Anak-anak yang

mengalami rasa takut dan nyeri karena pengobatan akan cenderung menghindari

perawatan medis. Hal ini yang mengakibatkan phlebitis karena pemasangan yang

berulang dan respon imun yang menurun (Perry & Potter, 2011).

Secara tidak langsung, stres berisiko phlebitis dikarenakan sistem imun

yang menurun. Pada penelitian ini, stres tidak diteliti karena belum ada penelitian
2

terdahulu mengenai hubungan phlebitis dengan stres pada pasien yang

menguatkan untuk dilakukan penelitian. Menurunnya sistem imun pada pasien

tidak hanya dikarenakan stres saja, tetapi juga bisa karena usia, jenis kelamin, dan

penyakit yang diderita oleh pasien.

2.1.3.1.4. Keadaan Vena

Perubahan vena juga terjadi seiring dengan peningkatan usia dimana

pasien yang usianya > 60 tahun, memiliki vena yang bersifat rapuh, tidak elastis,

dan mudah hilang (kolaps). Pada pasien anak vena lebih bersifat kecil, elastis, dan

mudah hilang (kolaps). Hal inilah yang nantinya akan mempengaruhi kejadian

phlebitis pada seseorang (Perry & Potter, 2011).

Alasan tidak dilakukan penelitian pada keadaan vena karena bisa dilihat

dari status gizi pasien. Jika status gizi pasien baik, maka keadaan vena pun baik,

sehingga dalam pemasangan infus akan lebih mudah dibandingkan dengan pasien

dengan status gizi buruk, karena vena mudah hilang, tidak elastis, dan rapuh.

2.1.3.1.5. Riwayat Penyakit

Riwayat penyakit didefinisikan sebagai penyakit yang diderita responden

sebelum atau selama terjadi phlebitis berdasarkan diagnosis yang memiliki risiko

phlebitis. Kejadian phlebitis erat kaitannya dengan riwayat penyakit yang diderita

pasien, karena penurunan kekebalan tubuh baik disebabkan oleh penyakitnya

maupun efek dari pengobatan. Semua kondisi tersebut membutuhkan terapi infus

baik sebagai terapi utama maupun sebagai akses medikasi. Pemberian cairan infus

dapat menimbulkan risiko terjadinya infeksi, termasuk phlebitis, karena adanya

portal the entry and exit yang merupakan akses masuknya mikroorganisme ke
3

dalam tubuh jika tidak dilakukan tindakan pencegahan yang adekuat (Perry &

Potter, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Enes et al., (2016), 13,10% kejadian

phlebitis terjadi karena adanya penyakit penyerta seperti penyakit kronis dan

infeksi.

Pasien DM dapat menyebabkan kelainan pada sistem pertahanan tubuh

yang berpotensi meningkat risiko terhadap infeksi. Kelainan sistem pertahanan

tubuh di antaranya kegagalan migrasi sel, intracellular killing, fagositosis, dan

kemotaksis pada leukosit polymorphonuclear, serta melemahkan mekanisme

pertahanan alamiah lokal, sehingga pasien DM rentan terhadap infeksi (Brunner &

Suddarth’s,

2010). Selain itu, pasien DM yang mengalami aterosklerosis akan mengakibatkan

aliran darah ke perifer berkurang, sehingga jika terdapat luka mudah mengalami

infeksi (Komari, 2017).

Penyakit penyerta gagal ginjal kronik juga merupakan salah satu penyebab

terjadinya phlebitis. Phlebitis pada gagal ginjal kronik ini dikaitkan pada posisi

pemasangan infus. Pemasangan infus yang dilakukan di daerah lengan bawah

pada pasien gagal ginjal memiliki risiko lebih besar terkena phlebitis karena

lokasinya sering digunakan untuk pemasangan fistula arteri–vena (A-V shunt)

pada tindakan hemodialisi (cuci darah) (Perry & Potter, 2009).

Riwayat penyakit lain seperti pembedahan, pasien HIV/AIDS, luka bakar,

gangguan kardiovaskular, gangguan ginjal, gangguan pencernaan, dan juga

gangguan persyarafan dapat menimbulkan masalah keseimbangan cairan,

elektrolit, dan asam basa (Asmadi, 2009). Pasien bedah sangat rentan mengalami

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit akibat asupan cairan preoperatif (sebelum


3

pembedahan) yang tidak adekuat atau banyaknya kehilangan cairan selama

pembedahan (Wahyunah, 2011). Prosedur pembedahan dapat menyebabkan

banyak kehilangan darah dan cairan tubuh lainnya. Pada pasien pasca

pembedahan mungkin juga menerima produk darah bergantung pada banyaknya

kehilangan darah selama pembedahan berlangsung. Hal tersebut mempengaruhi

cairan infus yang diberikan kepada pasien bedah yang mengalami

ketidakseimbangan cairan dan eletrolit yang buruk (Perry & Potter, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukakan oleh Pradini (2016), orang

dengan riwayat penyakit kronis berisiko 2,462 kali lebih besar mengalami

phlebitis. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Akbar &

Isfandiari (2018) bahwa pada pasien DM mempunyai risiko 17,88 kali mengalami

phlebitis dan pasien dengan hipertensi berisiko 6,18 kali mengalami phlebitis.

2.1.3.1.6. Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko kejadian phlebitis,

dimana jenis kelamin perempuan meningkatkan risiko terjadinya phlebitis

(Wahyunah,

2011). Perempuan lebih rentan untuk terinfeksi phlebitis karena adanya penurun

daya tahan tubuh yang lebih sering dibanding laki-laki. Perempuan mengalami

penurunan daya tahan tubuh akibat siklus menstruasi yang menyebabkan

kekurangan sel darah merah dalam tubuh terutama hemoglobin. Hemoglobin di

dalam tubuh berfungsi mengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Ketika

terjadi penurunan kadar hemoglobin, kebutuhan ke daerah sentral akan lebih

diutamakan dan berakibat pada berkurangnya perfusi ke jaringan perifer dimana

lokasi pemasangan infus secara umum di ekstremitas atas (Ausman, 2012).


3

Phlebitis terjadi lebih banyak pada perempuan karena dipengaruhi

kekuatan otot, kelenturan, dan kekenyalan kulit, serta jaringan adiposa subkutis

yang berkurang (Alexander et al., 2010). Selain itu, perempuan yang

menggunakan kontrasepsi kombinasi (mengandung estrogen dan progesteron, oral

atau suntikan) mudah mengalami phlebitis. Hormon estrogen diduga kuat

melawan ekspresi enzim yang selama ini menghalangi proses peradangan (Irfani,

2017). Berdasarkan penelitian Fitriyanti (2015), pasien perempuan memiliki

risiko menderita phlebitis

2,487 kali lebih besar dibandingkan dengan pasien laki-laki. Hal tersebut juga

disebutkan oleh Akbar & Isfandiari (2018) bahwa kelompok perempuan

mempunyai risiko 4,84 kali mengalami phlebitis.

2.1.3.2. Faktor Eksternal Phlebitis

Faktor eksternal phlebitis ada tiga macam berdasarkan penyebabnya,

antara lain yaitu faktor kimiawi, faktor mekanik, dan faktor bakterial (Alexander

et al.,

2010).

2.1.3.2.1. Faktor Kimiawi

a. Jenis Cairan Infus

1) Cairan Hipotonik

Osmolalitasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+

lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan

osmolalitas serum (< 250 mOsm/l). Tujuan pemberian larutan hipotonik adalah

untuk menggantikan cairan seluler dan menyediakan air bebas untuk ekskresi sisa

metabolisme. Penggunaannya ditujukan pada pasien yang kehilangan cairan

intraseluler seperti dehidrasi kronik dan kelainan keseimbangan elektolit pada


3

keadaan hipernatremi. Namun, larutan ini bisa berbahaya jika terjadi perpindahan

cairan secara tiba-tiba dari dalam pembuluh darah ke sel. Hal tersebut

menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial dalam

otak (Asfuah,

2012). Contohnya dextrosa 5%, NaCl 45%, dan dektrosa 2,5% (Perry & Potter,

2011).

2) Cairan Isotonik

Cairan isotonik memiliki osmolalitas total sebesar 280–310 mOsm/L.

Osmolalitas cairannya mendekati plasma darah/serum, sehingga keberadaannya

mendekati serum di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang

mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh). Cairan ini cukup efektif

sebagai cairan resusitasi dan waktu yang diperlukan relatif pendek jika

dibandingkan dengan cairan koloid (Asfuah, 2012). Contohnya cairan dekstrosa

5%, normal saline (NaCl 0,9%), dan larutan ringer lactate (Perry & Potter, 2011).

3) Cairan Hipertonik

Osmolalitasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga menarik cairan

dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah (> 375 mOsm/l)

(Asfuah, 2012). Contohnya NaCl 3%-5%, dextrose in water 10%, dextrose in

saline

5% (Perry & Potter, 2011).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fitriyanti (2015), pasien yang

mendapatkan cairan infus jenis hipertonik berisiko menderita phlebitis 18,943 kali

lebih besar dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan cairan infus isotonik.

Hal ini sejalan dengan penelitian Yeesin et al., (2017), bahwa phlebitis banyak

dialami pasien yang menggunakan cairan hipertonik dibandingkan isotonik dan


3

hiportonik, dimana hasil statistik menunjukkan terdapat hubungan antara jenis

cairan infus dengan kejadian phlebitis (p=0,014).

b. Jenis Obat yang Dimasukan Melalui Infus

Jenis obat-obatan yang bisa diberikan melalui infus antara lain golongan

antibiotik (ampicilin, amoxcilin, cloramphenicol, dll), antidiuretik (furosemide,

lasix, dll) anti histamin atau setingkatnya (adrenalin, dexamethasone,

dypenhydramine) (Alexander et al., 2010). Penggunaan obat melalui selang infus

menguntungkan tetapi juga memiliki beberapa kerugian. Keuntungan pemberian

obat secara parenteral ialah efeknya timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan

dengan pemberian per oral, dapat diberikan pada penderita yang tidak kooperatif

dan tidak sadar, serta sangat berguna dalam keadaan darurat. Kerugiannya ialah

efek toksik mudah terjadi karena kadar obat yang tinggi segera mencapai darah

dan jaringan. Obat yang diberikan melalui infus tidak dapat ditarik kembali,

sehingga jika terjadi alergi atau phlebitis, maka cara mengatasinya adalah dengan

mencabut jarum infus dan mengganti di tempat yang lain.

Pemberian obat melalui selang infus memiliki risiko terjadinya phlebitis

dikarenakan pencampuran dan kecepatannya yang tidak sesuai (Muttaqin & Sari,

2009). Pemberian obat dengan kecepatan rendah dapat mengurangi iritasi pada

dinding pembuluh darah. Kecepatan penyuntikan tergantung pada jenis obatnya,

umumnya tidak ada obat yang boleh disuntikan dengan kecepatan kurang dari satu

menit, kecuali jika pasiennya mengalami gagal jantung atau bila terdapat

perdarahan hebat (Perry & Potter, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Enes et

al., (2016), jenis obat dan risiko pengobatan tidak berhubungan dengan phlebitis.

Hal
3

tersebutlah yang menjadi alasan jenis obat tidak dilakukan penelitian karena dalam

pemberian obat setiap orang berbeda-beda baik dari jenis obat, kecepatan, dosis,

dan pencampurannya. Jenis obat tidak dapat menggeneralisasikan penyebab

pastinya phlebitis masing-masing pasien.

2.1.3.2.2. Faktor Mekanik

a. Bahan Infus

Bahan merupakan satu faktor yang paling penting dalam insiden dan

tingkat keparahan phlebitis pada pemasangan infus. Berbagai polimer yang dapat

digunakan untuk pembuatan infus antara lain silikon, vialon, polyuretan,

polyetilen tereftalat (PET atau teflon), dan PVC (polyvinylchloride). Silikon

merupakan salah satu pilihan paling umum karena bahannya tipis, fleksibel,

ringan, cocok untuk mengalirkan darah, cairan infus, cairan suplemen, dan tidak

reaktif terhadap cairan tubuh. Bahan polyuretan juga bisa digunakan untuk

pembuatan infus. Bahan ini memiliki lapisan permukaan hidrofilik yang tipis,

sehingga lebih aman dan lebih nyaman untuk dipasang (Wahyunah, 2011).

Material infus juga bisa berasal dari bahan vialon yang mudah dipasang,

lebih halus, fleksibel, tidak kaku, masa tinggal di dalam vena yang lebih lama, dan

bisa digunakan untuk semua pasien. Bahan vialon bisa menurunkan insiden

phlebitis karena kemampuannya mengikuti lekuk vena, sehingga bisa bertahan di

dalam vena 3-4 hari dibandingkan bahan lain yang hanya bisa digunakan selama 2

hari. Vialon dapat menurunkan risiko kejadian phlebitis secara keseluruhan hampir

30% sedangkan pada phlebitis yang berat, penurunannya hampir 50% (Efendi &

Makhfudli, 2018).
3

Selain itu, polyvinylchloride (PVC) bisa digunakan untuk pembuatan infus

karena tidak panas dan nyaman. Namun, bahan infus yang terbuat dari PVC

mempunyai risiko terjadi phlebitis lebih besar dibanding bahan lainnya. Bahan

PVC lebih kaku, keras, dan mudah terbelit, sehingga membuat kerusakan pada

intima pembuluh darah (Rahmadani, 2017). Menurut penelitian Salgueiro-Oliveira

et al., (2014), poliuretan dapat menurukan 30-45% kejadian phlebitis, bila

dibandingkan dengan teflon.

Bahan infus tidak dijadikan variabel dalam penelitian dikarenakan bahan

infus yang digunakan oleh pasien tidak bervariasi, sehingga harus dikeluarkan

dalam penelitian. Bahan infus yang digunakan dalam penelitian menggunakan

PVC.

b. Ukuran Jarum Infus

Ukuran jarum infus berkisar antara 14-24 gauge yang dapat dibedakan

dengan warna dan panjangnya antara 25-45 mm. Ukuran jarum infus dipengaruhi

oleh faktor- faktor seperti durasi dan komposisi cairan infus, kondisi klinik,

ukuran, dan kondisi vena (Wahyunah, 2011).

Pemilihan jarum harus sesuai dengan keadaan dan kondisi vena pasien,

karena sangat mempengaruhi keberhasilan terapi yang diberikan. Penggunaannya

juga harus sesuai dengan keadaan pembuluh darah vena. Struktur pembuluh darah

sangat tipis, maka bila menggunakan ukuran jarum infus yang tidak sesuai dapat

menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah. Akibatnya tubuh akan bereaksi

dengan memberikan tanda radang (Alexander et al., 2010). Berikut adalah

rekomendasi untuk pemilihan ukuran jarum infus dalam tabel 2.2.


3

Tabel 2.2. Rekomendasi Pemilihan Ukuran Jarum Infus


Ukuran Jarum Infus Warna Aplokasi Klinis
(Gauge)
14G. Cokelat. Trauma, pembedahan, tranfusi darah.
16G. Abu-abu. Trauma, pembedahan, tranfusi darah.
18G. Hijau. Trauma, pembedahan, tranfusi darah.
20G. Pink. Infus kontinu atau intermitten, tranfusi
darah.
22G. Biru. Infus kontinu atau intermitten, tranfusi
darah.
24G. Kuning. Infus kontinu atau intermitten, tranfusi
darah.
Sumber: (Infusion Nursing Society, 2016).

Hasil penelitian Fitriyanti (2015), sebanyak 12 orang (17,6%)

menggunakan jarum berukuran ≤ 18 tercatat menderita phlebitis, dan yang tidak

menderita phlebitis hanya ada 1 orang (1,5%). Pasien menggunakan jarum infus

yang berukuran > 18 sebanyak 55 orang (80,9%), dimana 10 orang (14,7%)

menderita phlebitis dan sisanya 45 orang (66,2%) tidak menderita phlebitis. Hasil

uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara ukuran infus dengan

kejadian phlebitis (p=0,0001).

c. Lokasi Pemasangan Infus

Lokasi pemasangan infus yang tepat adalah vena yang cukup besar untuk

memungkinkan aliran darah yang adekuat. Hal-hal yang menjadi pertimbangan

ketika memilih tempat penusukan vena adalah kondisi vena, jenis cairan atau obat

yang akan digunakan, lamanya terapi, usia pasien, ukuran jarum, riwayat

kesehatan dan status kesehatan pasien sekarang, serta keterampilan tenaga

kesehatan. Vena yang akan digunakan harus teraba kuat, elastis, besar, bulat, tidak

keras, datar, atau bergelombang (Perry & Potter, 2009).


3

Tempat pemasangan infus pada umumnya berada di tangan dan lengan,

misalnya vena metakarpal, vena sefalika, vena basilika, vena sefalika mediana,

vena basilika mediana, vena antebrakial mediana, dan lainnya. Namun, vena

supervisial di kaki dapat digunakan jika pasien dalam kondisi tidak dapat berjalan

dan kebijakan mengizinkan hal tersebut. Penggunaan infus di kaki pada umunya

dilakukan pada pasien pediatrik dan biasanya dihindari pada pasien dewasa karena

risiko terjadi trombosis dan phlebitis (Alexander et al., 2010).

Vena metakarpal (vena di punggung tangan) merupakan vena yang mudah

diakses dan mudah dilihat serta dipalpasi. Vena ini sangat baik untuk pemasangan

infus karena posisi infus datar dan memberikan beban yang alami. Vena

metakarpal kontraindikasi pada pasien lansia karena turgor kulit sudah berkurang

dan sudah kehilangan lapisan subkutan, sehingga membuat vena kurang stabil,

vena lebih rapuh, serta distensi vena yang menurun (Perry & Potter, 2009). Vena

sefalika merupakan vena dengan ukuran besar. Berdasarkan ukuran, vena ini dapat

menjadi pilihan terbaik untuk pemberian tranfusi karena ukuran venanya siap

untuk mengakomodasi infus yang berukuran besar. Posisi vena sefalika berada di

lengan bawah (Perry & Potter, 2009). Vena basilaris sering diabaikan karena

posisinya yang tidak menarik perhatian yaitu pada perbatasan ulnaris dan lengan

bawah. Pemasangan infus yang dilakukan dapat menjadi canggung karena

posisinya tersebut, mobilitas serta kecenderungan memiliki banyak katup

(Brunner & Suddarth’s, 2010).

Menurut Perry & Potter (2009), banyak tempat yang dapat digunakan

untuk pemasangan infus. Namun kemudahan akses dan potensi bahaya berbeda di

antara
3

vena ekstremitas atas dan vena ekstremitas bawah. Vena ekstremitas atas paling

sering digunakan karena relatif aman dan mudah untuk pemasangan infus. Pada

vena ekstremitas bawah atau vena di kaki sangat jarang digunakan, kalaupun

digunakan memiliki risiko tinggi terjadi tromboemboli.

Pemilihan vena yang terlalu dekat dengan pergelangan tangan sangat

memungkinkan terjadi phlebitis. Lokasi pergelangan tangan merupakan alat gerak

yang paling dominan karena digunakan untuk pergerakan aktivitas pasien.

Misalnya digunakan sebagai penopang saat beralih dari posisi tidur ke posisi

duduk, dan dari posisi duduk ke posisi berdiri, atau untuk aktivitas lain-lain seperti

makan dan minum (Istiroha & Erfatunafiah, 2017). Hal ini juga dinyatakan oleh

Ausman (2012), bahwa letak vena mempunyai hubungan yang signifikan dengan

kejadian phlebitis. Vena metakarpal yang letaknya lebih dekat dengan persendian

dan mudah untuk digerakkan, sehingga menyebabkan gesekan dinding vena. Hal

ini sering terjadi pada pemasangan vena ekstremitas atas yang sering terpasang

infus dekat persendian (Rizal & Khotimah, 2018).

Penelitian dari Lestari et al., (2016), menyatakan bahwa dari 40 sampel,

lokasi pemasangan infus di vena metakarpal dengan kejadian phlebitis berjumlah 7

orang. Berbeda dengan lokasi pemasangan infus pada vena sefalika, dimana

kejadian phlebitis berjumlah 2 orang. Hasil statistik didapatkan nilai p=0,025 yang

berarti terdapat hubungan antara lokasi pemasangan infus dengan kejadian

phlebitis pada pasien rawat inap. Hal ini sejalan dengan penelitian Anggita (2018),

bahwa 16 pasien yang terpasang infus pada vena metakarpal terjadi phlebitis

(37%) dan 6
4

pasien yang terpasang infus pada vena sefalika (14%) terjadi phlebitis dari 43

sampel (p=0,001).

Lokasi pemasangan infus pada pasien dalam penelitian ini terdapat di

punggung tangan baik tangan kanan atau tangan kiri. Lokasi pemasangan infus

pada pasien tidak bervariasi, sehingga tidak diteliti dalam variabel penelitian.

d. Jumlah Insersi

Jumlah insersi adalah jumlah penusukan infus yang dilakukan oleh perawat

sebelum insersi yang berhasil. INS merekomendasikan maksimal dua kali insersi

dari satu infus jika terjadi kegagalan insersi. Kejadian phlebitis yang terjadi karena

teknik insersi yang tidak dilakukan dengan benar dapat menyebabkan perlukaan

pada lokasi insersi yang dapat dijadikan sebagai portal the entry and exit bagi

mikroorganisme. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pradini (2016), bahwa

pasien yang mendapatkan insersi jarum infus tidak sesuai (>2 kali) mempunyai

risiko 2,040 kali lebih besar untuk mengalami phlebitis. Penelitian ini sejalan

dengan Herlina & Jafa (2018), bahwa ada hubungan jumlah insersi dengan

kejadian phlebitis (p=0,0001).

2.1.3.2.3. Faktor Bakterial

Faktor-faktor yang berperan dalam kejadian phlebitis akibat faktor bakterial

antara lain (Alexander et al., 2010):

a. Lama Pemasangan Infus

Menurut Perry & Potter (2009), hari pertama penusukan terjadi kerusakan

jaringan, dimana jaringan yang terluka atau terbuka akan memudahkan

mikroorganisme masuk. Dengan masuknya mikroorganisme tersebut, maka tubuh


4

akan merespon dengan ditandai adanya proses inflamasi. Proses inflamasi

merupakan reaksi tubuh terhadap luka dimulai setelah beberapa menit dan

berlangsung selama 3 hari atau lebih setelah cedera.

Pemasangan infus yang semakin lama terpasang akan menimbulkan

masuknya kuman ke dalam pembuluh darah vena. Mikroorganisme tersebut akan

berkembang biak dan menyebar melalui darah yang menyebabkan kerusakan

jaringan yang semakin luas (Alexander et al., 2010). Lama pemasangan infus yang

tidak diganti lebih dari 72-96 jam dapat menyebabkan bekuan dan sumbatan pada

selang infus. Selain itu, aliran balik dan cairan infus mengalir tidak lancar,

sehingga semakin besar risiko terjadinya phlebitis (Rizky, 2016).

Menurut Yulendrasari et al., (2014), terdapat hubungan antara lama

pemasangan infus dengan kejadian phlebitis (p= 0,0001). Selain itu, pasien

dengan lama pemasangan infus >72 jam berisiko 11,7 kali mengalami phlebitis

dibandingkan pasien dengan lama pemasangan infus ≤72 jam.

b. Teknik Aseptik Buruk

Teknik aseptik adalah metode yang digunakan untuk mencegah infeksi

nosokomial. Teknik aseptik ini digunakan pada setiap prosedur dan peralatan

invasif. Prosedur ini harus dilakukan pada tempatnya untuk meminimalkan risiko

infeksi. Infeksi nosokomial diperkirakan 30% dapat dicegah dengan teknik aseptik

yang benar. Pemakaian handscoon sangat efektif untuk mencegah kontaminasi,

tetapi pemakaian handscoon tidak menggantikan kebutuhan untuk mencuci

tangan. Sebab handscoon bedah lateks dengan kualitas terbaik pun, mungkin

mengalami kerusakan kecil yang tidak terlihat. Handscoon mungkin robek pada

saat digunakan
4

atau tangan terkontaminasi pada saat melepas handscoon (Tim Media Cipta Guru

SMK, 2017).

Selama prosedur pemasangan infus harus menggunakan teknik aseptik.

Area yang akan dilakukan penusukan harus dibersihkan dahulu untuk

meminimalkan mikroorganisme yang ada. Jika kulit kelihatan kotor harus

dibersihkan dahulu dengan sabun dan air sebelum diberikan larutan antiseptik.

Teknik aseptik yang buruk dapat mengakibatkan transmisi kuman patogen

(Marina,

2016). Menurut Perry & Potter (2011), phlebitis dapat disebabkan karena teknik

cuci tangan yang kurang baik dan teknik aseptik yang kurang oleh perawat pada

saat penusukan. Yana & Hasan (2016), menyatakan bahwa terdapat hubungan

teknik aseptik pemasangan infus dengan kejadian phlebitis pada anak yang

mendapatkan terapi cairan (p=0.0001). Penelitian ini sejalan dengan Arnicstian

(2018), bahwa tindakan teknik aseptik pemasangan infus mempengaruhi kejadian

phlebitis (p= 0,0001).

c. Frekuensi Pergantian Balutan infus

Balutan merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi. Hal ini

dipengaruhi karena faktor kelembaban. Kondisi lingkungan yang lembab

menyebabkan mikroba akan lebih cepat berkembang, sehingga tempat insersi

harus dijaga agar tetap kering. Frekuensi ganti balutan infus yang

direkomendasikan harus dilakukan setiap 48-72 jam, tetapi jika balutan basah,

kotor, ataupun lepas harus segera diganti (Istiroha & Erfatunafiah, 2017).

Frekuensi pergantian balutan infus dilakukan berdasarkan jenis balutan. Jenis

balutan infus yang menggunakan plester dan kassa harus diganti setiap 48 jam.

Plaster hanya untuk dipasang pada


4

infus bersayap dan tidak boleh dipasang secara langsung pada kulit (Asmadi,

2009). Penggunaan plaster harus ditambahkan kassa baik kassa antibiotik, kassa

antiseptik, maupun kassa nomal.

Menurut Perry & Potter (2009), infeksi yang terkait dengan pemberian

infus dapat dikurangi dengan pergantian balutan infus sekurang-kurangnya setiap

23 jam. Pergantian balutan infus tiap 23 jam dapat memutus perkembangbiakan

kuman dimana kuman atau mikroba dapat masuk melalui daerah insersi ke

sirkulasi dalam periode tertentu yang dapat menyebabkan terjadinya phlebitis.

Pergantian balutan infus yang jarang dilakukan mengakibatkan kurangnya

observasi pada lokasi pemasangan infus dan pemutusan perkembangbiakan kuman

terjadi lebih lama, sehingga kurang perhatian pada gejala awal dari phlebitis

(Bearman, 2014).

d. Jenis Balutan Infus

Balutan infus yang lazim digunakan adalah balutan kassa betadin dan

balutan plester khusus seperti plester strip. Contohnya handsaplast, tensoplast, dan

lain-lain. Saat ini terdapat balutan transparan (transparant dressing) atau

transparant semipermeable dressing yang dikatakan lebih efektif dalam mencegah

terjadinya phlebitis (Muttaqin & Sari, 2009). Penggunaan transparant dressing

dapat mengurangi risiko terjadinya infeksi dan phlebitis sebesar 60% dan

memberikan stabilitas yang lebih baik serta mengurangi komplikasi (Sudarman et

al., 2016).

Transparan dressing adalah lembaran tipis tembus pandang yang

umumnya poliuretan. Tersedia dalam berbagai bentuk dan ukuran untuk

menyesuaikan luka yang berbeda (Astuti & Aminah, 2018). Digunakan untuk

mempertahankan set
4

infus, memungkinkan untuk inspeksi visual infus, tidak mudah kotor atau lembab,

dan tidak perlu diganti dengan sering dibandingkan balutan kassa atau plester

(Perry

& Potter, 2009). Selain itu juga berfungsi sebagai kulit kedua yang melindungi

kulit dari trauma atau gesekan (Astuti & Aminah, 2018).

Balutan transparan (transparant dressing) dipercaya sebagai balutan ideal

untuk pemasangan infus karena memiliki kelenturan, kuat, mampu menahan

masuknya mikroorganisme ke dalam luka tusukan infus (Perry & Potter, 2009).

Terbuat dari polyurethane dengan bahan permeable terhadap gas tetapi

impermeable terhadap cairan dan bakteri, mengurangi nyeri, dan memudahkan

inspeksi pada luka. Bahan yang tipis dan lentur memudahkan untuk mengikuti

lekuk tubuh, sehingga bisa merekat dengan sempurna pada tubuh (Sudarman et al.,

2016). Bahannya tahan air, sehingga balutan tidak harus dibuka saat mandi atau

terkena air (Astuti & Aminah, 2018).

Balutan konvensional adalah balutan kasa steril untuk menutup tempat

tusukan infus. Balutan kasa harus sering diganti untuk mendapatkan kelembaban

(sehari bisa 1 sampai 2 atau 3 kali) karena balutan telah terbuka. Balutan kasa

cepat kering dan kurang menyerap keringat, sehingga mudah untuk lepas (Astuti

& Aminah, 2018).

Plester juga salah satu balutan konvensional berbentuk perban kecil yang

digunakan pada luka kecil yang tidak perlu perban besar. Bahannya yang elastis

dapat meregang sesuai dengan gerakan kulit. Di tengahnya terdapat bantalan luka

yang tidak lengket untuk melindungi luka dan berperekat untuk memastikan

plester tidak mudah terlepas (Sudarman et al., 2016).


4

Balutan kasa atau balutan konvensional memiliki keunggulan antara lain

kualitas serap yang tinggi dan penampilan bersih, lebih murah daripada balutan

lainnya, dan tersedia di sebagian besar lingkungan perawatan kesehatan.

Kekurangan dari balutan kasa yaitu menutupi tempat insersi dan mengganggu

inspeksi visual pada area penusukan (Asmadi, 2009). Semua jenis balutan infus

pada prinsipnya dapat digunakan dalam dressing infus selama memenuhi syarat

yaitu untuk menutupi luka insersi, melindungi kulit, dan mempertahankan atau

mengontrol pergerakan infus (Alexander et al., 2010). Pemilihan penggunaan

dressing infus dilakukan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan tempat pelayanan

kesehatan serta pengadaan alat kesehatan (Sudarman et al., 2016).

Transparant dressing 4 kali lebih efektif dalam pencegahan phlebitis

dibandingkan dengan penggunaan plester strip (Sudarman et al., 2016). Pada

penelitian Damanik (2016), pemasangan infus dengan menggunakan plester

cokelat mempunyai risiko 2 kali terhadap kejadian phlebitis dibandingkan dengan

menggunakan balutan transparan.

2.2. KERANGKA TEORI

Berdasarkan uraian dalam landasan teori di atas, maka disusun kerangka

teori mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian phlebitis, terdiri

dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi usia, status gizi

pasien, stres, keadaan vena, riwayat penyakit, dan jenis kelamin. Adapun faktor

eksternal meliputi faktor kimiawi, faktor mekanik, dan faktor bakterial. Faktor

kimiawi meliputi jenis cairan dan jenis obat. Faktor mekanik meliputi bahan infus,
4

lokasi pemasangan infus, ukuran jarum infus, dan jumlah insersi. Faktor bakterial

meliputi lama pemasangan infus, teknik aseptik yang buruk, frekuensi pergantian

balutan infus, dan jenis balutan infus (Alexander et al., 2010; Perry & Potter,

2011;

WHO, 2012). Kerangka teori penelitian ini disajikan pada gambar 2.1. berikut:

Faktor Internal
Faktor Eksternal

Faktor Kimiawi Faktor Mekanik Faktor Bakterial Faktor Pasien


1. Jenis cairan 1. Bahan infus 1. Lama 1. Usia
infus 2. Lokasi pemasangan 2. Status
2. Jenis obat pemasangan infus gizi pasien
infus 2. Teknik 3. Stres
3. Ukuran aseptik yang 4.
jarum infus buruk Keadaa
4. Jumlah 3. Frekuensi n vena
insersi pergantian 5.
balutan infus Riwaya
4. Jenis balutan t
infus penyaki

Kejadian
Phlebitis

Gambar 2. 1. Kerangka Teori (Alexander et al., 2010; Perry & Potter, 2011;

WHO, 2012).
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. KERANGKA KONSEP

Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan

atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara variabel

satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo,

2010). Kerangka konsep penelitian ini adalah :

Variabel Bebas
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Riwayat Penyakit
4. Status Gizi
5. Jenis Cairan Infus Va
6. Ukuran Jarum Infus
7. Jumlah Insersi Kejadi
8. Lama Pemasangan Infus RS
9. Persepsi Responden Kabup
Tentang Teknik Aseptik
Pemasangan Infus
10. Frekuensi Pergantian
Balutan Infus
11. Jenis Balutan Infus

Gambar 3. 1. Kerangka Konsep

3.2. VARIABEL PENELITIAN

3.2.1. Variabel Terikat

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi karena adanya variabel

bebas (Sastroatmoro & Ismail, 2014). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah

47
4

kejadian phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.

3.2.2. Variabel Bebas

Variabel bebas merupakan variabel risiko atau sebab. Variabel bebas

adalah variabel yang mempengaruhi atau merubah variabel terikat (Sastroatmoro

& Ismail,

2014). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, riwayat

penyakit, status gizi, jenis cairan infus, ukuran jarum infus, jumlah insersi, lama

pemasangan infus, persepsi responden tentang teknik aseptik pemasangan infus,

frekuensi pergantian balutan infus, dan jenis balutan infus.

3.3. HIPOTESIS PENELITIAN

Hipotesis penelitian merupakan jawaban sementara dalam suatu penelitian

yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut (Notoatmodjo,

2010). Hipotesis pada penelitian ini antara lain:

1. Terdapat hubungan antara usia responden dengan kejadian phlebitis di RSUD

Ungaran Kabupaten Semarang.

2. Terdapat hubungan antara jenis kelamin responden dengan kejadian phlebitis

di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.

3. Terdapat hubungan antara riwayat penyakit responden dengan kejadian

phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.

4. Terdapat hubungan antara status gizi responden dengan kejadian phlebitis di

RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.

5. Terdapat hubungan antara jenis cairan infus dengan kejadian phlebitis di

RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.


4

6. Terdapat hubungan antara ukuran jarum infus dengan kejadian phlebitis di

RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.

7. Terdapat hubungan antara jumlah insersi dengan kejadian phlebitis di RSUD

Ungaran Kabupaten Semarang.

8. Terdapat hubungan antara lama pemasangan infus dengan kejadian phlebitis


di

RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.

9. Terdapat hubungan antara persepsi responden tentang teknik aseptik

pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten

Semarang.

10. Terdapat hubungan antara frekuensi pergantian balutan infus dengan kejadian

phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.

11. Terdapat hubungan antara jenis balutan infus dengan kejadian phlebitis di

RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.

3.4. JENIS DAN RANCANGAN PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif karena data

penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistik (Notoatmodjo,

2010). Penelitian ini menggunakan studi observasional analitik karena peneliti

hanya melakukan pengamatan terhadap subjek penelitian dan tidak memberi

perlakuan, intervensi, maupun paparan terhadap subjek penelitian tersebut.

Rancangan atau desain penelitian menggunakan pendekatan case control

yakni mempelajari hubungan antara paparan (faktor penelitian) dan penyakit

dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol

berdasarkan studi
5

paparannya (Sastroatmoro & Ismail, 2014). Pada penelitian ini, kelompok kasus

(kejadian phlebitis) dibandingkan dengan kelompok kontrol, kemudian secara

retrospektif (penelusuran kebelakang) diteliti faktor risiko yang dapat

menerangkan kasus terkena efek, sedangkan kontrol tidak (Notoatmodjo, 2010).

Skema penelitian

kasus kontrol adalah sebagai berikut:

Faktor risiko (-) Kasus (kelompok


Faktor risiko (+) subjek dengan efek)

Faktor risiko (+)


Kontrol (kelompok
Faktor risiko (-) subjek tanpa efek)

Dilihat secara retrospektif

Gambar 3. 2. Rancangan Penelitian Kasus Kontrol (Sastroatmoro & Ismail,

2014).

3.5. DEFINISI OPERASIONAL DAN SKALA PENGUKURAN VARIABEL

Tabel 3.1. Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel


No Variabel Definisi Alat Ukur Kategori Skala Data
1. Usia Kurun waktu yang Kuesioner 1: Berisiko, jika usia > Ordinal.
responden. dihitung dalam tahun dan rekam 45 tahun.
sesudah dilahirkan pada medis. 2: Tidak berisiko, jika
sampai saat usia ≤ 45 tahun
mengalami phlebitis (Fitriyanti, 2015).
(Fitriyanti, 2015).
2. Jenis Penggolongan jenis Kuesioner. 1: Berisiko, jika Nominal.
kelamin kelamin responden yang berjenis kelamin
responden. dibedakan menjadi laki- perempuan.
laki dan perempuan 2: Tidak berisiko, jika
berdasarkan ciri fisik berjenis kelamin laki-
(Pradini, 2016). laki (Pradini, 2016).
3. Riwayat Penyakit yang diderita Rekam 1: Ada. Nominal.
penyakit responden sebelum atau medis. 2: Tidak ada (Pradini,
responden. selama terjadi phlebitis 2016).
berdasarkan diagnosis
yang memiliki risiko
phlebitis seperti diabetes
5

melitus, hipertensi, asma


bronkial, kadar
kolesterol tinggi, angina
pektoris, kanker
payudara, gagal ginjal,
dan kanker serviks
(Pradini, 2016).
4. Status gizi Kondisi gizi responden Rekam 1: Berisiko, jika Ordinal.
responden. pada saat dirawat yang medis. malnutrisi (IMT <18,5
di kategorikan menjadi kg/m2 (underweigh)
gizi normal dan atau ≥23 kg/m2
malnutrisi (yang (overweight)).
mencakup underweight, 2: Tidak berisiko, jika
overweight, maupun gizi normal (IMT 18,5
obesitas) menurut IMT –
(BB/TB) (Akbar & 22,9 kg/m2) ( Akbar &
Isfandiari, 2018). Isfandiari, 2018)
5. Jenis cairan Jenis cairan infus yang Rekam Nominal.
infus. diterima oleh responden medis. 1: Berisiko, jika
pada saat menjalani menggunakan cairan
terapi infus (Anggita, hipertonik (dekstrosa
2018). 5% + salin 0,45%,
dekstrosa 5% + salin
normal, dekstrosa 5% +
ringer laktat salin 3%,
transfusi darah).
2: Tidak berisiko, jika
menggunakan cairan
isotonik (NaCl 0,9%,
Ringer Laktat,
Dekstosa 5%) (Perry &
Potter, 2011; Pradini,
6. Ukuran Ukuran jarum infus yang Rekam 2016). Ordinal.
jarum infus. digunakan responden medis. 1: Berisiko, jika ≤ 18
dalam satuan gauge G.
berdasarkan durasi dan 2: Tidak berisiko, jika
komposisi cairan infus, >
kondisi klinik, ukuran 18 G (Fitriyanti, 2015).
dan kondisi vena
(Herlina & Jafa, 2018).
7. Jumlah Jumlah penusukan yang Rekam Ordinal.
insersi. ditandai dengan adanya medis.
bekas tusukan akibat
jarum infus, yang 1: Tidak sesuai, jika ≥ 2
dikategorikan menjadi kali.
2: Sesuai, jika < 2 kali
(Pradini, 2016).
sesuai dan tidak sesuai
(Pradini, 2016).
8. Lama Perhitungan lama waktu Rekam 1: Berisiko (> 72 jam). Ordinal.
pemasangan pemasangan infus yang medis. 2: Tidak berisiko (≤ 72
infus. dimulai dari saat jam) (Infusion Nursing
pemasangan infus Society, 2011;
sampai waktu timbulnya Yulendrasari et al.,
phlebitis (Yulendrasari 2014).
et al, 2014).
5

9. Persepsi Pendapat responden Kuesioner. 1: Buruk, jika perawat Nominal.


responden mengenai metode yang hanya melakukan satu
tentang dilakukan perawat untuk atau dua teknik aseptik.
teknik mencegah timbulnya 2: Baik, jika perawat
aseptik phlebitis pada pasien melakukan tiga atau
pemasangan (Arnicstian, 2018). lebih teknik aseptik
infus. (Arnicstian, 2018).
10. Frekuensi Frekuensi waktu Rekam 1: Tidak sesuai (>72 Ordinal.
pergantian pergantian balutan medis. jam).
balutan penutup jarum infus, 2: Sesuai (<48 -72 jam
infus. yang dikategorikan (Perry & Potter 2009;
menjadi sesuai dan tidak Pradini, 2016).
sesuai (Pradini, 2016).
11. Jenis balutan Balutan yang digunakan Rekam 1: Berisiko, jika balutan Nominal.
infus. untuk mencegah medis. konvensional.
masuknya 2: Tidak berisiko, jika
mikroorganisme pada balutan transparan
vaskular, sehingga tidak (Damanik, 2016;
menimbulkan terjadinya Sudarman et al., 2016).
infeksi saat terpasang
infus (Damanik, 2016).
12. Variabel Peradangan pada Kuesioner 1: Ya. Ordinal.
terikat: pembuluh darah vena, dan rekam 2: Tidak (Pradini,
phlebitis. disebabkan oleh medis. 2016).
komplikasi pemasangan
infus, dengan kriteria
klinis dalam VIP Score
(rubor, kalor, tumor,
dolor, dan hilangnya
fungsi) (Pradini, 2016).

3.6. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN

3.6.1. Populasi

Populasi penelitian adalah keseluruhan obyek atau subjek tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti berdasarkan kualitas dan kriteria atau karakteristik tertentu

(Sastroatmoro & Ismail, 2014).

3.6.1.1. Populasi Kasus

Populasi kasus dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang terpasang

infus dan terdiagnosis phlebitis yang tercatat dalam rekam medis RSUD Ungaran

pada bulan Januari sampai Juli tahun 2019 sebanyak 130 kasus.
5

3.6.1.2. Populasi Kontrol

Populasi kontrol dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang terpasang

infus dan tidak terdiagnosis phlebitis yang tercatat dalam rekam medis RSUD

Ungaran pada bulan Januari sampai Juli tahun 2019.

3.6.2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan obyek yang diteliti

dan dianggap mewakili seluruh populasi (Sastroatmoro & Ismail, 2014).

3.6.2.1. Sampel Kasus

Sampel kasus dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap yang terpasang

infus dan terdiagnosis phlebitis dengan memenuhi kriteia inklusi dan eksklusi

yang tercatat dalam rekam medis pada bulan Januari sampai Juli tahun 2019.

3.6.2.1.1. Kriteria Inklusi

1. Bersedia berpartisipasi dalam penelitian.

2. Berdomisili di Kabupaten Semarang atau Kota Semarang.

3.6.2.1.2. Kriteria Eksklusi

1. Kesadaraan responden menurun.

2. Responden tidak bisa berkomunikasi dengan baik.

3.6.2.2. Sampel Kontrol

Sampel kontrol dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap yang

terpasang infus dan tidak terdiagnosis phlebitis dengan memenuhi kriteia inklusi

dan eksklusi yang tercatat dalam rekam medis RSUD Ungaran pada bulan Januari

sampai Juli tahun 2019.


5

3.6.2.2.1. Kriteria Inklusi

1. Responden yang telah dirawat inap minimal 24 jam.

2. Responden yang tercatat pada hari, tanggal, bulan, dan tahun yang sama atau

yang hampir bersamaan.

3. Berdomisili di Kabupaten Semarang atau Kota Semarang.

3.6.2.2.2. Kriteria Eksklusi

1. Responden telah 3 kali didatangi tidak berhasil ditemui.

3.6.3. Besar Sampel Minimal

Penentuan besar sampel minimal untuk sampel kelompok kasus dan

kontrol yang akan diambil dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan

rumus Lemeshow. Perhitungan besaran sampel ditentukan melalui perhitungan

dari nilai OR (Ratio Odds) terkecil penelitian terdahulu yaitu c dengan judul

“Pengaruh Karakteristik Pasien yang Terpasang Kateter Intravena Terhadap

Kejadian Phlebitis”. Menentukan besarnya sampel minimal yang terdapat dalam

populasi

maka digunakan rumus berikut:

[��1−�/2 √(2𝑃2 (1 − 𝑃2 )) + ��1−� √(𝑃1 (1 − 𝑃1 )) + (𝑃2 (1 −


𝑃2 ))]2
��1 =
(𝑃1 − 𝑃2 )2
��2 =

Keterangan :

n1 = jumlah sampel minimal kelompok kasus.

n2 = jumlah sampel minimal kelompok kontrol.

Zα = devirat baku normal untuk α (α= 0,05 untuk uji dua arah sebesar 1,96).

Zβ = devirat baku normal (power of test 80%=0,842).

P1 = proporsi paparan pada kelompok kasus (0,689).

P2 = proporsi paparan pada kelompok kontrol (0,356).


5

P1-P2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna.

OR = 4,01 (Akbar & Isfandiari, 2018).

Perhitungan sampel minimal :

(1 − 𝑃1 ) = 1 − 0,689 = 0,311

(1 − 𝑃2 ) = 1 − 0,356 = 0,644

[��1−�/2 √(2𝑃2 (1 − 𝑃2 )) + ��1−� √(𝑃1 (1 − 𝑃1 )) + (𝑃2 (1 −


𝑃2 ))]2
��1 =
(𝑃1 − 𝑃2 )2
��2 =

[1.96√2�0,356�0,644 + 0,842√(0,689�0,311) +
��1 =
(0,356�0,644)]2
��2 =
(0,689 − 0,356)2

[1,326 + 0,56]2
��1 =
0,11
��2 =

��1 = ��2 = 32,3 → 33

Berdasarkan perhitungan jumlah sampel dengan rumus di atas, maka besar

sampel yang diperlukan dalam penelitian ini sebanyak 33 responden. Adapun

untuk menghindari drop out sampel penelitian, ditambah 10% dari 33 yaitu 4,

sehingga jumlah sampel minimal penelitian adalah 37 responden. Perbandingan

kelompok kasus dan kontrol yaitu 1:1, dimana jumlah sampel adalah 37 kasus dan

37 kontrol. Jadi, jumlah keseluruhan sampel dalam penelitian yaitu 74 responden.

3.6.4. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah consecutive

sampling. Pada consecutive sampling, semua subjek yang datang atau tercatat

dalam data rekam medis yang memenuhi kriteria pemilihan dalam penelitian

sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi pada kurun waktu tertentu.
5

Consecutive sampling merupakan jenis non-probability sampling yang paling baik

dan cara termudah (Sastroatmoro & Ismail, 2014).

3.7. SUMBER DATA

3.7.1. Sumber Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian

dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data, langsung pada

subjek sebagai sumber informasi yang dicari. Data primer dalam penelitian ini

diperoleh dari hasil wawancara kepada responden menggunakan kuesioner.

3.7.2. Sumber Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui pihak lain, tidak

langsung diperoleh dari subjek penelitiannya. Data sekunder dalam penelitian ini

berasal dari rekam medis dan data surveilens Tim PPI RSUD Ungaran.

3.8. INSTRUMEN PENELITIAN DAN TEKNIK PENGAMBILAN DATA

3.8.1. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah perangkat atau alat yang digunakan untuk

pengumpulan data (Notoatmodjo, 2010). Adapun instrumen yang digunakan

adalah kuesioner dan rekam medis.

Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk

memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang hal pribadi atau

hal yang diketahui dengan menanyakan langsung kepada responden (Notoatmodjo,

2010). Rekam medis merupakan alat yang digunakan dalam mengumpulkan data
5

dari responden yang diambil dengan melihat hasil pada rekam medis secara

langsung.

Menurut Notoatmodjo (2010), untuk mengetahui kuesioner valid dan

reliabel maka harus dilakukan uji validitas instrumen dan reabilitas instrumen.

3.8.1.1. Uji Validitas Instrumen

Validitas instrumen adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu

benar-benar mengukur apa yang diukur. Analisis item dilakukan dengan

menghitung korelasi antara setiap skor butir pertanyaan dengan skor total

(Notoatmodjo, 2010). Menguji validitas menggunakan rumus korelasi Pearson

Product Moment, dengan rumus:

��(∑ ��) − (∑
� ∑ �)
𝑟−
√{𝑛 ∑ � 2 − (∑ �)2 } {𝑛 ∑ � 2 − (∑
�)2 }

Keterangan:

r = koefisien validitas item yang dicari.

N = jumlah responden.

X = skor yang diperoleh subjek dalam setiap item.

Y = skor yang diperoleh subjek dalam setiap item.

∑X = jumlah skor dalam variabel x.

∑Y = jumlah skor dalam variabel y.

Item pertanyaan dinyatakan valid apabila r yang diperoleh dari hasil

pengujian setiap item lebih besar dari r tabel (r hasil > r tabel). Pengujian validitas

instrumen pada penelitian ini menggunakan program komputer, dimana hasil akhir

(r hitung) dibandingkan dengan nilai r tabel Pearson Product Moment.


5

3.8.1.2. Uji Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat

pengukur dapat dipercaya atau diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan sejauh

mana suatu alat pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali

atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama

(Notoatmodjo, 2010). Uji reliabilitas dilakukan setelah uji validitasnya. Uji

reliabilitas untuk pertanyaan yang valid diuji dengan rumus Alpha Cronbac.

Rumus

yang digunakan adalah:

𝑘 ∑
�� 2
��11 = ( )(
)
𝑘−1 �2
𝑡

Keterangan:

R11 = reliabilitas instrumen.

k = banyaknya butir pertanyaan.


2
�𝑡 = varians total.

∑ �� 2 = jumlah butir varians.

Item pertanyaan dikatakan reliabel apabila R11 yang diperoleh dari hasil pengujian

setiap item soal lebih besar dari R tabel (R11 > R tabel).

Uji validitas dan reliabilitas instrumen dilaksanakan pada sampel yang

diambil dari luar populasi, tetapi memiliki karakteristik yang hampir sama dengan

sampel penelitian baik dari karakteristik sosial, ekonomi, maupun budaya. Uji

validitas dan reliabilitas pada penelitian ini dilakukan di RS Kusuma Ungaran.


5

3.8.2. Teknik Pengambilan Data

3.8.2.1. Wawancara

Wawancara adalah suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan

data dimana peneliti mendapatkan keterangan secara lisan dari seseorang sasaran

penelitian (responden), atau bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang

tersebut (face to face) (Notoatmodjo, 2010). Data akan didapatkan secara langsung

dari responden melalui percakapan atau pertemuan. Wawancara dilakukan untuk

memperoleh data primer dengan menggunakan kuesioner. Data yang akan diambil

meliputi data identitas responden, penyakit responden, pemasangan infus, dan

persepsi responden tentang teknik aseptik pemasangan infus.

3.8.2.2. Dokumentasi

Penelitian ini juga menggunakan teknik dokumentasi dalam pengumpulan

data. Dokumentasi yang dimaksud adalah melakukan pengumpulan data

berdasarkan dokumen yang ada, baik berupa laporan catatan, berkas, atau bahan-

bahan tertulis lainnya yang merupakan dokumen resmi yang relavan dalam

penelitian ini.

3.8.2.3. Catatan Medis

Berkas yang berisi catatan antara lain identitas pasien, hasil pemeriksaan,

pengobatan yang telah diberikan, serta tindakan dan pelayanan lain yang telah

diberikan kepada pasien. Teknik ini bertujuan untuk memperkuat data mengenai

kronologi terjadinya phlebitis.


6

3.9. PROSEDUR PENELITIAN

3.9.1. Tahap Pra Penelitian

1. Mengurus perizinan penelitian dengan pihak RSUD Ungaran.

2. Koordinasi dengan pihak RSUD Ungaran Kabupaten Semarang mengenai

tujuan dan prosedur penelitian.

3. Mencari data kejadian phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.

4. Menyusun proposal penelitian.

3.9.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

1. Mencari data pasien phlebitis dan pasien rawat inap untuk penentuan sampel

penelitian.

2. Mendatangi langsung responden atau sampel penelitian.

3. Membagikan lembar penjelasan dan lembar informed concent penelitian

kepada responden.

4. Peneliti mengisi lembar instrumen berdasarkan wawancara langsung dengan

responden serta dengan data sekunder rekam medis pasien.

3.9.3. Tahap Pasca Penelitian

1. Merekap dan mengumpulkan data penelitian.

2. Mengolah (editing, coding, tabulating, dan entry data) dengan SPSS.

3. Analisis data dengan SPSS.

4. Interpretasi hasil penelitian.


6

3.10. TEKNIK ANALISIS DATA

3.10.1. Teknik Pengolahan Data

Menurut Notoatmodjo (2010), langkah pengolahan data yang digunakan

dalam penelitian meliputi editing, coding, tabulating, dan entry dengan rincian

sebagai berikut.

3.10.1.1. Pemeriksaan Data (Editing)

Editing adalah tahap pemeriksaan hasil wawancara atau angket yang

diperoleh atau dikumpulkan melalui kuesioner. Jika ternyata masih terdapat data

yang tidak lengkap dan tidak mungkin dilakukan wawancara ulang, maka

kuesioner tersebut dikeluarkan (drop out).

3.10.1.2. Pemberian Kode Pada Data (Coding)

Coding merupakan kegiatan merubah data dari bentuk huruf menjadi data

berbentuk angka atau bilangan. Pemberian kode bertujuan untuk mempermudah

dalam memasukkan data dan analisis data.

3.10.1.3. Tabulating dan Entry Data

Peneliti membuat tabel-tabel untuk mengelompokan data agar mudah

dibaca dan dipahami. Entry data adalah kegiatan memasukkan data yang telah

didapat ke dalam tabel-tabel statistik yang telah disiapkan. Data disusun agar

mudah disajikan dan dianalisis.

3.10.2. Teknik Analisis Data

3.10.2.1. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian.

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik


6

setiap variabel penelitian. Analisis univariat bermanfaat untuk melihat gambaran

data dari setiap variabel yang diteliti dan apakah data telah optimal untuk

dianalisis lebih lanjut, serta untuk menggambarkan variabel bebas dengan variabel

terikat. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi

dan presentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2010).

3.10.2.2. Analisis Bivariat

Analisi bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yang

diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2010). Analisis ini digunakan

untuk mencari hubungan dan membuktikan hipotesis antara satu variabel

independen dengan variabel dependen secara sendiri-sendiri. Pada penelitian ini

analisis bivariat menggunakan teknik analisis chi-square.

Uji chi-square digunakan untuk data kategorik (nominal atau ordinal)

dengan menggunakan Confidence Interval (CI) sebesar 95% (α=0,05). Dasar

pengambilan keputusan berdasarkan tingkat signifikansi (nilai p), jika nilai p >

0,05 maka hipotesis penelitian ditolak, dan jika p < 0,05 maka hipotesis

penelitian diterima. Selain itu juga untuk mengetahui estimasi risiko relatif

dihitung odds ratio (OR) dengan tabel 2 x 2 dan rumus sebagai berikut

(Sastroatmoro & Ismail, 2014): OR = {A/(A+B) : B/(A+B)}/{C (C+D) : D/

(C+D)} = A/B : C/D = AD / BC Keterangan :

A = kasus yang mengalami paparan.

B = kontrol yang mengalami paparan.

C = kasus yang tidak mengalami paparan.

D = kontrol yang tidak mengalami paparan.


BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan antara jenis kelamin (OR=3,176), riwayat penyakit

(OR=3,265), ukuran jarum infus (OR=3,523), jumlah insersi (OR=3,056),

lama pemasangan infus (OR=3,660), persepsi responden tentang teknik

aseptik pemasangan infus (OR=4,060), dan frekuensi pergantian balutan infus

(OR=4,563) dengan kejadian phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten

Semarang.

2. Tidak terdapat hubungan antara usia, status gizi, jenis cairan infus, dan jenis

balutan infus dengan kejadian phlebitis di RSUD Ungaran Kabupaten

Semarang.

6.2. SARAN

6.2.1. Bagi RSUD Ungaran

6.2.1.1. Mencantumkan batas maksimal penusukan jarum infus, lama infus

terpasang, pergantian balutan infus dalam sekali pemasangan infus pada

pasien yang dicantumkan dalam SOP untuk mencegah terjadinya phlebitis.

6.2.1.2. Melakukan supervisi secara berkala pada semua ruangan dan memastikan

112
113

perawat sudah melakukan semua prosedur yang ada di dalam SOP

terutama teknik aseptik saat akan melakukan pemasangan infus.

6.2.2. Bagi Pasien

6.2.2.1.Segera meminta pertolongan kepada petugas kesehatan apabila jarum infus

yang digunakan menimbulkan nyeri atau peradangan di tempat insersi.

6.2.2.2.Meminimalisir gerak anggota tubuh yang terpasang infus khususnya bagi

perempuan untuk mencegah terjadinya phlebitis.

6.2.3. Bagi Peneliti Selanjutnya

6.2.3.1.Melakukan penelitian dengan menggunakan desain studi yang lainnya,

misalnya dengan studi cohort.

6.2.3.2.Melakukan penelitian lebih lanjut dengan menambahkan perawat sebagai

sampel penelitian misalnya keterampilan perawat memasang infus,

pengetahuan perawat, dan lain-lain.


DAFTAR PUSTAKA

Agustini C., Utomo W., & Agrina., 2014. Analisis Faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Phlebitis Pada Pasien yang Terpasang Infus di Ruang
Medikal Chrysant Rumah Sakit Awal Bros Pekanbaru. JOM PSIK (Jurnal
Online Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan), 4(1): 102–108.

Akbar, N. M. F. H. & Isfandiari, M. A., 2018. Pengaruh Karakteristik Pasien yang


Terpasang Kateter Intravena Terhadap Kejadian Phlebitis. Jurnal Berkala
Epidemiologi, 6(1): 1–8.

Alexander M., Corrigan A., Gorski L., Hankins J., & Peucca R., 2010. Infusion
Nursing Society Infusion Nursing an Evidence Based Approach. Jakarta:
Saunders Elsevier.

Amirullah., 2017. Evaluasi Teknik Pemasangan Infus dan Insiden Phlebitis di


RSUD H. A. Sulthan Daeng Radja Bulukumba. Tesis. Makassar: Universtas
Hasanuddin.

Andriyani, R. A. T. W. J., 2015. Buku Ajar Biologi Reproduksi dan


Perkembangan.
Yogyakarta: Deepublish.

Anggita, S. D., 2018. Analisa Faktor-Faktor Terhadap Kejadian Phlebitis Pada


Pasien yang Mendapatkan Terapi Cairan Intravena (di Ruang Melati Rumah
Sakit Umum Daerah Bangil). Skripsi. Jombang: Sekolah Tinggi Kesehatan
Insan Cendekia Medika.

Arnicstian, E., 2018. Hubungan Tindakan Teknik Aseptik Pemasangan Infus


dengan Kejadian Phlebitis (di RSUD Jombang). Skripsi. Jombang: Sekolah
Tinggi Kesehatan Insan Cendekia Medika

Asfuah, S., 2012. Buku Saku Klinik Untuk Keperawatan dan Kebidanan.
Yogyakarta: Nuha Medika.

Asmadi., 2009. Teknik Prosedural Keperawatan, Konsep dan Aplikasi Kebutuhan


Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika.

Astuti V. N. P. & Aminah S., 2018. Perbedaan Penggunaan Transparan Dressing


dengan Balutan Konvensional Terhadap Kejadian Phlebitis pada Pasien yang
Dilakukan Pemasangan Infus di RSUD dr. H. Soewondo Kendal. Jurnal Ilmu
Kesehatan, 11(2): 1–8.

Ausman, R. K., 2012. Intravascular Infusion Systems, Principles and Practice.


USA: MTP Press.

114
11

Bearman, G., 2014. Nosocomial Infection. Los Angeles: Springer.

Benaya A., Schwartz Y., Kory R., Yinnon A. M., & Ben-Chetrit E., 2015. Relative
Incidence of Phlebitis Associated with Peripheral Intravenous Catheters in
The Lower Versus Upper Extremities. Springer, 34 (5): 913-916.

Brunner & Suddarth’s., 2010. Textbook of Medical Surgical Nursing.


Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.

CDC., 2016. National and State Healthcare Associated Infections Progress Report.
Washington DC: CDC.

CDC., 2017. Guidelines for The Prevention of Intravascular Catheter-Related


Infections. Washington DC. CDC.

Damanik, C., 2016. Perbedaan Pengunaan Plester Transparan dan Plester Coklat
Terhadap Tingkat Kejadian Phlebitis. Media Sains, 10(1): 15–20.

Darmadi., 2010. Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta:


Salemba Medika.

Efendi, F. & Makhfudli., 2018. Vialon Biomaterial. Jakarta: PT. Becton Dickinson
Indonesia.

Enes S. M. S., Opitz S. P., Maia da Costa de Faro, A.R., & Pedreira, M. G., 2016.
Phlebitis Associated with Peripheral Intravenous Catheters in Adults
Admitted to Hospital in The Western Brazilian Amazon. Journal of School of
Nursing USP, 50(2): 261–269.

Fauzia., 2018. Faktor-Faktor yang Ada Hubungan dengan Terjadinya Phlebitis


Pada Pasien dengan Infus di Ruang Perawatan RSU Anutapura Palu Tahun
2018. Skripsi. Palu: Universitas Alkhairaat.

Fitriyanti, S., 2015. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Phlebitis di Rumah


Sakit Bhayangkara TK II. H.S. Samsoeri Mertojoso Surabaya. Jurnal
Berkala Epidemiologi, 3(2): 217–229.

Gargar, A. P., Cutamora J. C., & Abocejo F. T., 2017. Phlebitis, Infiltration, and
Localized Site Infection Among Patients With Peripheral Intravenous
Catheters. European Scientific Journal, 13(18): 148–170.

Herlina, M. & Jafa, M. H., 2018. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan


Kejadian Phlebitis Pada Pasien yang Terpasang Infus di Rumah Sakit Imelda
Pekerja Indonesia (RSU IPI) Medan. Jurnal Ilmiah Keerawatan Imelda,
4(2), 521–
529.
11

Infusion Nursing Society., 2011. Infusion Nursing Standards of Practice. Journal


of Infusion Nursing, 34(1): 1–115.

Infusion Nursing Society., 2016. Standards for Infusion Therapy. London: Royal
College of Nursing.

Infusion Nursing Society., 2016. Infusion Therapy Standards of Practice. Journal


of Infusion Nursing, 39(1): 1–169.

Irfani, R., 2017. Hubungan Antara Lama Hari Pada Waktu Pemasangan Infus
dengan Kejadian Phlebitis Pada Pasien di Ruang Flamboyan RSUD A. W.
Sjahranie Samarinda. Skripsi. Samarinda: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Muhammadiyah Samarinda.

Istiroha & Erfatunafiah H., 2017. Faktor Lama Hari Pemasangan Infus Tidak
Berhubungan dengan Kejadian Phlebitis. Journal of Ners Community, 8(45):
133-143.

Kementerian Kesehatan RI., 2012. Pedoman Manajerial Pencegahan dan


Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Lainnya. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan RI., 2013. Program Pencegahan Pengendalian Infeksi


Nosokomial. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan RI., 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 27 Tahun


2017 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Komari, J., 2017. Hubungan Pelaksanaan Teknik Aseptik dalam Pemasangan


Infus dengan Kejadian Phlebitis di Rumah Sakit Umum Kaliwates PT. Rolas
Nusantara Medika Jember. Skripsi. Jember: Universitas Jember.

Lestari, D. D., Ismanto, A. Y., & Malara, R. T., 2016. Hubungan Jenis Cairan dan
Lokasi Pemasangan Infus dengan Kejadian Phlebitis Pada Pasien Rawat Inap
di RSU Pancaran Kasih GMIM Manado. E-journal Keperawatan (e-Kp),
4(3):
1-7.

Lindayanti N. & Priyanto., 2014. Hubungan Antara Teknik Insersi dan Lokasi
Pemasangan Kateter Intravena dengan Kejadian Phlebitis di RSUD
Ambarawa. Keperawatan Medikal Bedah, 1(2): 142–149.

Marina., 2016. Hubungan Kepatuhan Perawat Dalam Melaksanakan Standar


Prosedur Operasional (SPO) Pemasangan Infus dengan Kejadian Phlebitis di
Ruang Perawatan Bedah dan Ruang Penyakit dalam RSUD Puri Husada
Tembilahan 2016. Skripsi. Riau: Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai.
11

Mishra D. & Nishant K., 2017. A Prospective Study to Compare Routine versus
Need Based Change of IV Cannula on Development of Infusion Phlebitis in
Adult Surgical Patients. Journal of Health Science, 13(5): 251–262.

Muttaqin, A. & Sari, K., 2009. Asuhan Keperawatan Perioperatif: Konsep,


Proses, dan Aplikasi. (Y. Hartanti, Ed.) Jakarta: Salemba Medika.

Nito P. J. B., Setiawan, & Murtiningsih., 2017. Relationship Of Age, Gender,


Location Insertion And Catheter Size Of Incidence Phlebitis. Health
Dynamics, 8(2): 365–375.

Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S., 2011. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka
Cipta.

Nurjanah I. N., Suhartono, & Adi M. S., 2016. Prevalensi Phlebitis Pada Pasien
Rawat Inap dengan Infus di RSUD Tugurejo Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat ( e-Journal ), 4(4): 1–7.

Oregon Health Authority., 2013. Health Care Acquired Infections. Oregon: Oregon
Health Authority

Pasalioglu, K. B. & Kaya, H., 2014. Catheter Indwell Time and Phlebitis
Development During Peripheral Intravenous Catheter Administration.
Pakistan Journal of Medical Sciences (PJMS), 30 (4): 725–730.

Perry, A. G. & Potter, P. A., 2009. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep,
Proses dan Praktek. (R. Komalasari, Ed.) (4th ed.) Jakarta: EGC.

Perry, A. G. & Potter, P. A., 2010. Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC.

Perry, A. G. & Potter, P. A., 2011. Clinical Nursing Skills and Techniques.

Jakarta:
Elsevier Mosby.

Poltekkes Kemenkes Maluku., 2011. Penuntun Praktikum Keterampilan Kritis II


untuk Mahasiswa D-3 Keperawatan. (A. Suslia, Ed.) Jakarta: Salemba
Medika.

Pradini, P. C. A., 2016. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian


Phlebitis Pada Pasien Rawat Inap di RSUD Tugurejo Semarang Tahun 2016.
Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Prastika, D., Susilaningsih, F. S., & Amir, A., 2011. Kejadian Phlebitis di Rumah
Sakit Umum Daerah Majalaya. Skripsi. Bandung: Universitas Padjadjaran.
11

Rahmadani, F., 2017. Karakteristik Phlebitis Pada Pasien Rawat Inap di RSUP Haji
Adam Malik Medan Tahun 2016. E-Jurnal FK USU, 4 (4): 1–15.

Rifai, M., 2013. Imunologi dan Alergi Hipersensitif. (Tim UB Press, Ed.) Malang:
UB Press.

Rizal, A. A. F. & Khotimah, H., 2018. Hubungan Antara Lokasi Penusukan


dengan Kejadian Phlebitis Pada Pasien di Ruang Flamboyan RSUD Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda. Jurnal IImu Kesehatan, 6(1): 10–17.

Rizky, W., 2016. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Phlebitis
Pada Pasien yang Terpasang Kateter Intravena di Ruang Bedah Rumah Sakit.
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia, 4(2): 102–108.

Rohani., 2016. Hubungan Lama Pemasangan Infus dengan Terjadinya Phlebitis di


RS Husada Jakarta Tahun 2015. Jurnal Ilmiah Widya, 3(4): 140–148.

Rojas-Sánchez, L. Z., Parra, D. I., & Camargo-Figuera, F. A., 2015. Incidence and
Factors Associated with The Development of Phlebitis: Results of a Pilot
Cohort Study. Revista de Enfermagem Referência, 4(4): 61–67.

RSUD Ungaran., 2019. Profil Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ungaran.
Ungaran: RSUD Ungaran.

Salgueiro-Oliveira, A., Veiga, P., & Parreira, P., 2014. Incidence of Phlebitis in
Patients with Peripheral Intravenous Catheters: The Influence of Some Risk
Factors. Australian Journal of Advanced Nursing, 30(2): 32–39.

Sastroatmoro, S. & Ismail, S., 2014. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis.


Jakarta: Sagung Seto.

Sudarman, Taryono Y., & Herawati A. T., 2016. Perbedaan Efektifitas


Penggunaan Transparant Dessing dan Plester Strip Terhadap Kejadian
Phlebitis di Ruang Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Cibabat
Cimahi. E-Journal Stikes Bhakti Kencana, 6(2): 1–13.

Tim Media Cipta Guru SMK., 2017. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia.
Yogyakarta: Indopublika.

Tim PPI RSUD Ungaran., 2019. Data Health Care Infections (HAIs) RSUD
Ungaran. Ungaran: RSUD Ungaran.

Urbanetto, J., Muniz, F. M., Martins da Silva, R., Christo de Freitas, A. P., Ribeiro
de Oliveira, A. P., & Ramos dos Santos, J., 2017. Incidence of Phlebitis and
Post-Infusion Phlebitis in Hospitalised Adults. Revista Gaúcha de
Enfermagem (RGE), 38(2): 1-10.
11

Wahyunah., 2011. Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Terapi Infus dengan


Kejadian Phlebitis dan Kenyamanan Pasien di Ruang Rawat Inap Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Indramayu. Tesis. Depok:
Universitas Indonesia.

Watung, G. I. V., 2019. Hubungan Teknik Aseptik Perawat dengan Kejadian


Phlebitis Pada Pasien yang Terpasang Infus di Ruang Rawat Inap Rumah
Sakit Umum GMIM Pancaran Kasih Manado. Jurnal Stikes Graha Medika,
2(1):
27–35.

Whitaker I. Y., Buzatto L. L., Massa G. P., & Peterlini M. A. S., 2016. Factors
Associated with Phlebitis in Elderly Patients with Amiodarone Intravenous
Infusion. Acta Pau Enferm, 29(3): 260–266.

WHO., 2011. National Guideline On Hand Hygiene For Prevention of Hospital


Acquired Infection (HAI). Geneva: WHO.

WHO., 2012. Prevention of Hospital-Acquired Infections. USA: WHO.

WHO., 2016. Report on the Burden of Endemic Health Care-Associated Infection


Worldwide Clean Care is Safer Care. Switzerland: WHO.

Yana E. & Hasan N., 2016. Tehnik Aseptik Pemasangan Infus dengan Kejadian
Phlebitis Pada Anak di RSUD Zainoel Abidin Aceh. JIM (Jurnal Ilmiah
Mahasiswa) Unsyiah, 1(1): 1–6.

Yeesin A., Rojanaworarit C., & Chansatitporn N., 2017. Incidence of Peripheral
Phlebitis and its Predictive Characteristics Infemale Inpatients Hospitalized at
a Public Hospital in Thailand : A Prospective Cohort Study. International
Journal On Advanced Computer Theory And Engineering (IJACTE), 6 (2–3):
27–33.

Yulendrasari R., Hirawan B., & Hermawan D., 2014. Hubungan Lamanya
Pemasangan Kateter Intravena dengan Kejadian Phlebitis di Ruang Penyakit
Dalam RSU Jend. A. Yani Metro Tahun 2013. Jurnal Kesehatan Holistik,
8(2): 89–93.

Anda mungkin juga menyukai