BP Dan Pertusis Rahimi

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 39

Case Report Session

BRONKOPNEUMONIA DAN PERTUSIS

Oleh:

Rahimi Ramadhani 2240312156

Preseptor
dr. Ade Nofendra, Sp.A, M.Biomed

ILMU KESEHATAN ANAK


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2022
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pertusis merupakan infeksi akut pada saluran napas yang disebabkan oleh
bakteri Gram - negatif Bordetella pertusis dengan gejala klinis batuk hebat yang
khas. Pertusis salah satu penyakit paling menular yang dapat menimbulkan attack
rate sebesar 80-100% pada penduduk yang rentan. Pertusis atau juga dikenal
sebagai batuk rejan, whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan batuk seratus
hari. Disebut whooping cough karena pada penyakit ini memiliki gejala klinis yang
khas berupa batuk bersifat spasmodik dan paroksismal disertai nada yang meninggi
diakhir episode serangan batuk, hal ini disebabkan oleh karena pasien berusaha kuat
untuk menarik nafas cepat diakhir serangan batuk sehingga menimbulkan bunyi
yang khas1.
Menurut WHO, pada tahun 2008 terjadi 16 juta kasus diseluruh dunia, 95%
diantaranya terjadi di negara yang sedang berkembang. 2 Angka kematian akibat
pertusis mencapai 195.000 anak per tahun. Angka kejadiannya kurang lebih 35%
kasus pada usia <6 bulan dan 45% terjadi pada usia <1 tahun dan 20% pada usia <5
tahun. Kematian dan jumlah kasus dirawat tertinggi terjadi pada usia 6 bulan
pertama kehidupan.1
Beberapa negara mengalami peningkatan jumlah kasus pertusis yang
signifikan dalam beberapa tahun terakhir salah satunya di Amerika Serikat di mana
jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2012 adalah yang tertinggi dalam 50
tahun.3 Peningkatan kasus juga terjadi di Indonesia dengan jumlah terbanyak terjadi
pada anak usia kurang dari 6 bulan sepanjang tahun 2008-2014 dengan puncak
kasus terjadi pada tahun 2012. Pada penelitian epidemiologi yang dilakukan di
Indonesia dari Oktober 2008 – Desember 2014, peningkatan jumlah kasus pertusis
tercatat sejak 2012 dengan mayoritas (79%) dari kasus dilaporkan pada bayi berusia
0–5 bulan dan 20% kasus ditemukan pada usia 6 bulan ke atas.5
Pneumonia merupakan penyulit yang paling sering dijumpai pada pasien
pertusis, menyebabkan 90% kematian pada anak <3 tahun, Pneumonia dapat
diakibatkan oleh B.pertusis, tetapi lebih sering disebabkan oleh infeksi sekunder
(H.influenza, S.pneumoniae, S.pyogenes, S.aureus). Aspirasi mukus atau muntah
dapat menyebabkan pneumonia.1
Pneumonia merupakan infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus
dan jaringan interstitial.2 Bronkopenumonia merupakan radang dari saluran
pernapasan yang terjadi pada bronkus sampai dengan alveolus paru.
Bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi, biasanya sering
disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumonia dan Hemophilus influenzae yang
sering ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi. Berdasarkan data WHO,
kejadian infeksi pneumonia di Indonesia pada balita diperkirakan antara 10-20%
pertahun.6
Insiden penyakit ini pada negara berkembang termasuk indonesia hampir
30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan risiko kematian yang tinggi,
sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit
pada anak di bawah umur 2 tahun. Insiden pneumonia pada anak ≤5 tahun di negara
maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan dinegara berkembang10-20
kasus/100 anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian pertahun
pada anak balita dinegara berkembang.7

1.2 Batasan Masalah


Laporan kasus ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi,
gambaran klinis, diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis penyakit pertusis dan
bronkopneumonia.

1.3 Metode Penulisan


Metode yang dipakai dalam penulisan laporan kasus ini berupa tinjauan
kepustakaan yang merujuk kepada kasus dan berbagai literatur.

1.3 Tujuan Penulisan


Case report session ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan
pemahaman mengenai etiologi, gambaran klinis, diagnosis, dan penatalaksanan,
prognosis pada penyakit Bronkopneumonia, pertusis.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pneumonia
2.1.1 Definisi
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar
disebabkan oleh mikroorganismae (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan
oleh hal lain seperti aspirasi, radiasi dan lain-lain. 8 Bronkopenumonia merupakan
radang dari saluran pernapasan yang terjadi pada bronkus sampai dengan alveolus
paru. Bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi, biasanya
sering disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumonia dan Hemophilus
influenzae yang sering ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi.9

2.1.2 Epidemiologi
Angka kejadian pneumonia di Amerika dan Eropa yang merupakan negara
maju masih tinggi, diperkirakan setiap tahunnya 30-45 kasus per 1000 anak pada
umur kurang dari 5 tahun, 16-20 kasus per 1000 anak pada umur 5-9 tahun, 6-12
kasus per 1000 anak pada umur 9 tahun dan remaja. Selain itu, pneumonia
merupakan penyebab kematian terbesar pada anak terutama di negara berkembang.9
Sedangkan angka kejadian pneumonia di Indonesia yang merupakan negara
berkembang ialah pada tahun 2018 didapatkan 478.078 kasus pneumonia pada
balita di Indonesia dengan angka kejadian tertinggi pada provinsi DKI Jakarta
sebesar 95,52%. Angka kejadian pneumonia di Sumatera Barat tahun 2018 adalah
10.341.10 Berdasarkan data penemuan kasus pneumonia pada balita di Kota Padang
dari tahun 2012-2017 secara berturut-turut adalah 340, 1.183, 1.850, 2.486, 3.022,
dan 2.719. Jumlah Balita di Kota Padang tahun 2017 sebanyak 81.736 orang.
Perkiraan penderita adalah 3.91% dari jumlah balita yaitu sebanyak 3.196 balita,
sementara penderita yang ditemukan dan ditangani sebanyak 2.719 (85.08 %). Jika
dilihat berdasarkan gender, maka balita laki laki lebih banyak menderita pneumonia
(1.407 orang) dibandingkan balita perempuan (1.312 orang).10

3
2.1.3 Etiologi
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh infeksi mikroorganisme (virus,
bakteri, jamur, parasit) dan sebagain kecil disebabkan oleh hal lain, seperti aspirasi
makanan dan asam lambung, benda asing, senyawa hidrokarbon, reaksi
hipersensitivitas, dan drug – or radiation induced pneumonitis. Usia pasien
merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
penumonia anak terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi
pengobatan.8
Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil meliputi
Streptococcus group B, Chlamydia trachomatis, dan bakteri Gram negatif seperti
E. coli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. disamping bakteri utama penyebab
pneumonia yaitu Streptococcus pneumoniae. Infeksi oleh Chlamydia trachomatis
akibat transmisi dari ibu selama proses persalinan sering terjadi pada bayi di bawah
2 bulan. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia lebih sering
disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe
B, dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja,
selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae. 8

2.1.4 Klasifikasi Pneumonia pada Anak


Pneumonia diklasifikasikan menurut agen etiologinya, lokasi dan luas paru
yang terkena.2
1. Menurut klinis dan epidemiologi :
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita immunocompromised
2. Menurut agen etiologinya :
a. Pneumonia bakterial/tipikal.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan oleh Mycoplasma, Legionella
dan Chlamydia
c. Pneumonia virus

4
d. Pneumonia jamur, sering merupakan infeksi sekunder.
Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan tubuh
lemah (immunocompromised).
3. Menurut lokasinya :
a. Pneumonia lobaris menyerang segmen luas pada satu lobus atau
lebih
b. Bronkopneumonia dimulai pada ujung bronkiolus dan mengenai
lobulus yang terdekat
c. Pneumonia intersisial menyerang dinding alveolus dan jaringan
peribronkial serta lobular
Adapun penentuan klasifikasi klinis penyakit pneumonia dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu kelompok umur 2 bulan - <5 tahun dan kelompok umur < 2
bulan. Untuk anak berumur 2 bulan - <5 tahun , klasifikasi dibagi atas bukan
pneumonia, pneumonia dan pneumonia berat sedangkan untuk kelompok umur < 2
bulan, maka diklasifikasikan atas bukan pneumonia dan pneumonia berat.11

Tabel 2.2 Klasifikasi Klinis Pneumonia pada Balita Menurut Kelompok Umur11

5
2.1.5 Patofisiologi
Pneumonia anak biasanya diawali dengan kolonisasi di nasofaring yang
berlanjut menjadi infeksi saluran pernapasan bagian bawah. Streptococcus
pneumoniae sering ditemukan sebagai bakteri komensal di nasofaring manusia.
Penelitian di Lombok memperlihatkan pada usap tenggorok anak usia kurang dari
2 tahun ditemukan S.pneumoniae pada 48% anak yang diteliti.12
Organisme yang menyebabkan infeksi saluran napas bagian bawah biasanya
ditularkan secara langsung melalui droplet atau secara tidak langsung melalui
fomites yang terkontaminasi. Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke
paru bagian perifer melalui saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat
reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan
sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan
sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli.
Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya deposit fibrin semakin
bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses
fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya
jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin
menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi.
Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.8
Beberapa bakteri sering menimbulkan gambaran patologis tertentu bila
dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi Streptococcus pneumoniae biasanya
bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh lapangan paru
(bronkopneumonia), dan pada anak besar atau remaja dapat berupa konsolidasi
pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumatokel atau abses-abses kecil sering
disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonatus atau bayi, karena
Staphylococcus aureus menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti hemolisin,
leukosidin, stafilokinase dan koagulase. Toksin dan enzim ini menyebabkan
nekrosis, perdarahan dan kavitasi. Koagulase berinteraksi dengan faktor plasma dan
menghasilkan bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin, sehingga
terjadi eksudat fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara produksi koagulase dan
virulensi kuman. Staphylococcus yang tidak menghasilkan koagulase jarang
menimbulkan penyakit yang serius.8

6
2.1.6 Manifestasi Klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar dari ringan
hingga sedang. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan
mungkin terjadi komplikasi sehingga perlu dirawat. Beberapa faktor yang
mempengaruhi gambaran klinis pada anak adalah imaturitas anatomik dan
imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang tidak khas
terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi
noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung berat ringannya
infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
Gambaran infeksi umum :
o Demam: suhu bisa mencapai 39 – 40 oC
o Sakit kepala
o Gelisah
o Malaise
o Penurunan nafsu makan
o Keluhan gastrointestinal, seperti mual, muntah, atau diare
o Kadang – kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner
Gambaran gangguan respiratori :
o Batuk yang awalnya kering kemudian menjadi produktif
o Sesak napas
o Retraksi dada
o Takipnea
o Napas cuping hidung
o Penggunaan otat pernapasan tambahan
o Air hunger
o Merintih
o Sianosis
Bronkopneumonia biasanya di dahului oleh infeksi saluran napas bagian
atas selama beberapa hari. Batuk mungkin tidak dijumpai pada anak – anak. Bila
terdapat batuk, batuk berawal kering lalu berdahak. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan tanda klinis seperti vokal fremitus yang meningkat pada daerah terkena,

7
pekak perkusi atau perkusi yang redup pada daerah yang terkena, suara napas
melemah, suara napas bronkial, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi
kecil, gejala dan tanda pnuemonia lebih beragam dan tidak selalu terlihat jelas. Pada
perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.8

2.1.7 Diagnosis
Diagnosis pneumonia dilakukan dengan berbagai cara. Pertama dengan
anamnesa dan pemeriksaan fisik secara umum. Setelah itu ada pula pemeriksaan
penunjang seperti rontgen paru dan pemeriksaan darah. Faktor usia juga ikut
menentukan dugaan pola kuman penyebabnya serta gejala klinis yang didapatkan
dari anamnesa dan pemeriksaan fisik.8
Gambaran klinis pada anak penderita pneumonia yang didapatkan dari
anamnesa adalah batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai
darah, demam, sesak napas dan nyeri dada. Sedangkan dari pemeriksaan fisik pada
inspeksi terlihat takipnea dan adanya retraksi dinding dada. Pada palpasi fremitus
dapat meningkat, pada perkusi redup, dan pada auskultasi terdengar suara napas
(bronkovesikuler) sampai bronkial, dapat disertai ronkhi basah halus, yang
kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi.6
Frekuensi pernapasan anak untuk mengidentifikasi pneumonia menurut
WHO sebagai berikut:13
a. Anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali/menit
b. Anak umur 2-11 bulan : ≥ 50 kali/menit
c. Anak umur 12-59 bulan : ≥ 40 kali/menit

2.1.8 Pemeriksaan penunjang


 Darah Perifer Lengkap
Pada pneumonia virus dan mikoplasma, umumnya ditemukan leukosit
dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia bakteri
didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000 – 40.000 / mm3 dengan
predominan PMN. Leukopenia ( < 5.000 / mm3 ) menunjukkan prognosis yang
buruk. Leukositosis hebat hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri sering
ditemukan pada keadaan bakteremi, dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi.

8
Pada infeksi Clamydia pneumoniae kadang – kadang ditemukan eosinofilia. Efusi
pleura merupakan cairan eksudat dengan sel PMN berkisar antara 300 – 100.000 /
mm3, protein > 2,5 g/dL, dan glukosa relatif lebih rendah dibandingkan glukosa
darah. Kadang – kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah ( LED ) yang
meningkat. Trombositopeni dapat ditemukan pada 90% penderita pneumonia
dengan empiema. Secara umum hasil pemeriksaan darah perifer tidak dapat
membedakan antara infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti.8

 C-Reactive Protein dan LED


CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai
respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh
sitokin, terutama IL – 6, IL – 1, dan TNF. Meskipun fungsinya belum diketahui,
CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel yang
rusak. Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan
antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri
superfisialis dan profunda, dimana kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi
virus dan infeksi bakteri superfisialis dibandingkan infesksi bakteri profunda.8

 Pemeriksaan Foto Thoraks


Foto toraks dengan proyeksi antero – posterior merupakan dasar diagnosis
untuk pneumonia. Foto lateral dilakukan bila diperlukan informasi tambahan,
misalnya efusi pleura. Kelainan foto toraks pada pneumonia tidak selalu
berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang – kadang bercak – bercak sudah
ditemukan pada gambaran radiologis sebelum timbul gejala klinis. Akan tetapi,
resolusi infiltrat sering memerlukan waktu yang lebih lama setelah gejala klinis
menghilang. Pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi, ulangan foto
rontgen tidak diperlukan. Ulangan foto rontgen toraks diperlukan bila gejala klinis
menetap, penyakit memburuk, atau untuk tidak lanjut. Secara umum gambaran foto
toraks terdiri dari: 8
 Pneumonia / infiltrat interstisial: ditandai dengan peningkatan corakan
bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan hiperaerasi. Biasanya

9
disebabkan oleh virus atau Mycoplasma. Bila berat dapat terjadi patchy
consolidation karena atelektasis
 Infiltrat alveolal : merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris,
atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk
sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumor paru,
dikenal sebagai round pneumonia. Biasanya disebabkan oleh bakteri
pneumokokus atau bakteri lain.
 Bronkopneumonia : ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua
paru, berupa bercak – bercak infiltrat halus yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

Gambar 2.2 Perbedaan Bronkopneumonia dan Pneumonia Lobaris

Gambaran foto rontgen toraks pada anak meliputi infiltrat ringan pada satu
paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada suatu penelitian ditemukan
pneumonia pada anak terbanyak di paru kanan, terutama lobus atas. Bila ditemukan
di lobus kiri, dan terbanyak di lobus bawah, maka hal tersebut merupakan prediktor
perjalanan penyakit yang lebih berat dengan risiko terjadinya pleuritis lebih
meningkat. 8
Gambaran foto toraks pada pneumonia dapat membantu mengarahkan
kecenderungan etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat interstisial
merata, dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar

10
berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumonia, dan air bronchogram
sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada pneumonia Stafilokokus sering
ditemukan abses – abses kecil dan pneumatokel dengan berbagai ukuran. 8
Gambaran foto toraks pada pneumonia Mikoplasma sangat bervariasi. Pada
beberapa kasus terlihat sangat mirip dengan gambaran foto rontgen toraks
pneumonia virus. Selain itu, dapat juga ditemukan gambaran bronkopneumonia
terutama di lobus bawah, inflitrat interstisial retikulonodular bilateral, dan yang
jarang adalah konsolidasi segmen atau subsegmen. Biasanya gambaran foto toraks
yang jauh lebih berat dibandingkan gejala klinis. Meskipun tidak terdapat gambaran
foto toraks yang khas, tetapi bila ditemukan gambaran retikulonodular fokal pada
satu lobus, hal ini cenderung disebabkan oleh infeksi Mikoplasma. Demikian pula
bila ditemukan gambaran perkabutan atau ground – glass consolidation, serta
transient pseudoconsolidation. 8

 Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologis untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring,
bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru. Pemeriksaan sputum
kurang berguna. Diagnosis dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dalam
darah, cairan pleura, atau aspirasi paru, kecuali pada masa neonatus, dimana
kejadian bakteremia sangat rendah sehingga kultur darah jarang positif. 8

 Uji Serologis
Uji serologis untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri
tipikal mempunyai sensitivitas yang rendah dan secara umum tidak terlalu
bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri atipik. 8

2.1.9 Penatalaksanaan Pneumonia


 Tatalaksana Umum
- Pemberian Oksigen dengan target saturasi > 92%
- Pada pneumonia berat atau asupan oral kurang  balance cairan ketat

11
- Analgetik-antipiretik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan pasien
dan mengontrol batuk
- Nebulisasi dengan B2 Agonis dan / atau NaCl dapat diberikan untuk
memperbaiki mucocilliary clearance8
 Pemberian Antibiotik
- Amoksisilin menjadi pilihan pertama untuk antibiotik oral jika curiga S.
Pneumoniae yang menjadi patogen dan diberikan pada anak <5 tahun
karena efektif melawan sebagian besar patogen yang menyebabkan
pneumonia pada anak, ditoleransi dengan baik dan murah. Alternatifnya
adalah co-Amoxiclav, cefaclor, eritromisin, claritromisin dan azitromisin.
- Makrolid diberikan jika curiga disebabkan oleh M. Pneumonia atau C.
Pneumonia. Dan diberikan sebagai pilihan utama secara empiris pada anak
usia > 5 tahun.
- Makrolid atau flucloxacillin + amoksisilin diberikan jika disebabkan oleh S.
Aureus
- Antibiotik intravena diberikan jika pasientidak dapat menerima obat oral
(misal karena muntah) atau termasuk pneumonia berat.
- Antibiotik intravena : ampisilin dan kloramfenikol, co-amoxiclav,
ceftriakson, cefuroksim, cefotaksim.2

2.1.10 Komplikasi
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empyema torasis, purulenta,
pneumotoraks, abses paru, dan gagal napas akut. Selain itu, dapat terjadi infeksi
ekstrapulmonal seperti meningitis, abses sistem saraf pusat, perikarditis,
endokarditis, dan osteomielitis. Sepsis dan sindrom hemolitik uremik dapat terjadi
sebagai komplikasi sistemik. Efusi dan empiema merupakan komplikasi tersering
yang terjadi pada pneumonia.8

2.2 Pertusis
2.2.1 Definisi
Pertusis, secara harfiah berarti "batuk yang ganas," dan juga dikenal sebagai
batuk rejan, atau "batuk 100 hari," pertama kali dijelaskan dalam epidemi Paris

12
1578. 5 Pertusis merupakan infeksi akut pada saluran pernafasan yang disebabkan
oleh bakteri Bordotella pertusis yang sangat menular dengan ditandai oleh suatu
sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodik dan paroksismal disertai
nada yang meninggi.1 Bordotella pertusis, organisme penyebab, ditemukan pada
tahun 1906, dan vaksin dikembangkan pada tahun 1940-an. Sebelum vaksin
pertusis dikembangkan, pertusis merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas bayi.5
Disebut juga whooping cough karena penyakit ini ditandai oleh suatu
sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodik dan paroksismal disertai
nada yang meninggi akhir batuk, karena pasien berupaya keras untuk menarik nafas
atau inspirasi mendadak pada saat glotis belum terbuka sempurna sehingga jalan
napas masih obstrruksi sebagian menyebabkan pada akhir batuk sering disertai
bunyi yang khas namun, tidak semua pasien pertusis memiliki klinis disertai bunyi
yang khas.1 Pertusis dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang
belum di imunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun.3

2.2.2 Etiologi
Organisme penyebab pertusis adalah Bordetella pertussis dan Bordetella
parapertussis. Kuman Bordetella pertussis merupakan coccobacillus aerobik
negatif-gram Gram-negatif.5 Spesies Bordetella diklasifikasikan dalam famili
Alcaligenaceae dan terdiri dari 10 spesies yang berbeda secara genetik. Meskipun
B. pertusis secara klasik telah diidentifikasi sebagai agen tunggal yang bertanggung
jawab untuk batuk rejan, spesies lain (yaitu, B. parapertussis dan B. holmesii) juga
dapat menyebabkan batuk yang menyerupai batuk rejan.14
Pada manusia, B. parapertussis dan B. holmesii dapat menyebabkan
penyakit, meskipun keparahan gejala cenderung lebih ringan daripada yang terlihat
dengan B. Pertussis. B. parapertussis dapat menyebabkan penyakit pada hewan
domestik, termasuk ovine (domba) dan babi, meskipun strain yang menginfeksi
spesies mamalia ini muncul dari garis keturunan yang berbeda dan secara genetik
berbeda.14
Bordetella dapat ditularkan secara droplet maupun aerbon. Pertusis menjadi
sangat mudah menular melalui kontak erat dengan anggota keluarga yang tidak

13
memiliki kekebalan terhadap bakteri ini. Kekebalan meningkat hingga 50% setelah
12 tahun menyelesaikan serangkaian vaksinasi. Orang yang immunocompromised
juga dapat tertular Bordetella bronchiseptica, yang biasanya menyerang hewan dan
umumnya dikenal sebagai "batuk kandang".5

2.2.3 Epidemiologi
Kasus pertusis yang dilaporkan meningkat di Amerika Serikat dan di
seluruh dunia. Prevalensi pertusis di Amerika Serikat meningkat tajam dari 150.000
menjadi 250.000 kasus per tahun pada era prevaksinasi sejak tahun 1976. Sejak itu,
pertusis terus meningkat, yang sebagian disebabkan oleh berkurangnya imunitas
remaja dan dewasa. Meskipun pertusis sebagian besar tetap merupakan penyakit
anak, dengan 38% kasus terjadi pada bayi di bawah 6 bulan, dan 71% kasus terjadi
pada anak di bawah 5 tahun, remaja dan orang dewasa juga dapat tertular penyakit
ini, dan kemungkinan berkontribusi pada peningkatan penyakit ini. Jumlah kasus
orang dewasa dan anak-anak terlihat selama tiga dekade terakhir.5
Di seluruh dunia, ada lebih dari 24 juta kasus setiap tahun, dengan lebih dari
160.000 kematian. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC)
melaporkan lebih dari 48.000 kasus di Amerika Serikat pada tahun 2012. 5 Dari
penelitian di Amerika Serikat selama 2000-2016, dilaporkan 339420 kasus pertusis.
Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan bayi memiliki insiden tertinggi (75,3 /
100.000 populasi), terhitung 88,8% dari kematian. Insiden meningkat secara
signifikan dari waktu ke waktu, peningkatan diamati untuk semua kelompok
kecuali orang berusia <1 tahun dan 19-64 tahun. Jumlah kasus yang meningkat
diantara orang berusia 7-10 dan 11-18 tahun. Insidensi bervariasi berdasarkan
wilayah geografis, dengan beberapa kesamaan dalam siklus penyakit.15
Tingkat kejadian pertusis keseluruhan pada bayi <12 bulan adalah 117,7 /
100.000 orang-tahun; bayi usia 3 bulan memiliki tingkat kejadian tertinggi (247,7 /
100.000 orang-tahun). Bayi yang didiagnosis dengan pertusis secara signifikan
biasanya memiliki diagnosis infeksi saluran pernapasan atas, batuk dan mengi
terkait sebelumnya.16
Pada penelitian epidemiologi yang dilakukan di Indonesia dari Oktober
2008 – Desember 2014, peningkatan jumlah kasus pertusis tercatat sejak 2012

14
dengan mayoritas (79%) dari kasus dilaporkan pada bayi berusia 0–5 bulan dan
20% kasus ditemukan pada usia 6 bulan ke atas.17

2.2.4 Patofisiologi
Patofisiologi pertusis dimulai setelah penularan Bordetella Pertusis secara
aerosol kemuadian melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Filamentous
hemaglutinin (FHA), lymphositosis promoting factor (LPF) / pertusis toxin (PT)
dan protein 69-Kd berperan dalam patogenesis pada penyakit ini.
Toksin yang dihasilkan B.pertusis berperan dalam menimbulakan
manifestasi klinis whooping cough. Toksin pertusis akan merusak epitel saluran
pernapasan dan memberikan efek sistemik berupa sindrom yang terdiri dari batuk
spasmodik dan paroksismal disertai bunyi keras karena pasien berupaya keras untuk
menarik napas ketika sebagian saluranan nafas belum terbuka sepenuhnya,
sehingga pada akhir batuk disertai bunyi yang khas yang dikenal dengan whooping
cough selain itu toksin juga menyebabkan peradangan ringan dengan hiperplasia
jaringan limfoid peri bronkial dan meningkatkan jumlah mukus pada permukaan
silia, sehingga fungsi silia sebagai pembersih jadi terganggu dan memudahkan
terjadinya infeksi sekunder9
Haemagglutinin (FHA) dan fimbrae merupakan faktor perlekatan yang
penting untuk B. Pertusis. FHA dan fimbrae bertindak sebagai penekan faktor
inflamasi di saluran pernapasan.18, lymphositosis promoting factor (LPF) berperan
dalam menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi. Antibodi
pejamu akan berperan menetralkan toksin pertusis dan pada PRN akan
meningkatkan opsonofagositosis.9

2.2.5 Gejala klinis


 Stadium kataralis (1-2 minggu)
Stadium kataralis dimulai setelah masa inkubasi sekitar 6-20 hari. Pada stadium ini
gejala tidak khas sehingga sulit menegakkan diagnosis sebagai pertusis karena
simtompnya hampir mirip dengan common cold. Biasanya gejala yang muncul
rinorea dengan lendir cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk
ringan dan demam yang tidak terlalu tinggi. Setelah gejala berkurang maka akan

15
muncul batuk yang menandai masuknya stadium paroksismal.10 Pada stadium
kataralis droplet anak menjadi sangat infeksius oleh karena bakteri tersebar dalam
sebagian inti droplet.3

 Stadium paroksismal (2-6 minggu)


Pada stadium ini anak cendrung menjadi apatis dan berat badan menurun. Pada
stadium ini ditandai dengan timbulnya batuk yang berulang 5-10 kali dalam satu
kali ekspirasi. Selama batuk muka anak tampak merah bahkan dapat sianosis, mata
menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher bahkan sampai
terjadi ptekie di wajah (terutama dikonjungtiva bulbi). Setelah episode batuk saat
ekspirasi diikuti dengan inspirasi yang tiba-tiba pada saat yang bersamaan saluran
penapasan masih tertutup sebagian sehingga menyebakan bunyi memelengking
(whoop) pada akhir serangan batuk. Muntah pada akhir batuk yang paroksismal
salah satu gejala klinis yang khas pada anak yang terserang pertusis walaupun tidak
disertai dengan bunyi whoop.9

 Stadium konvalesen ( 1-2 minggu)


Pada stadium ini gejala klinis yang timbul pada stadium paroksismal mengalami
penyembuhan. Frekuensi serangan batuk berkurang namun batuk masih menetap
hingga 6 minggu.9

2.2.6 Diagnosis
 Anamnesis
Pada umumnya pasien yang menderita pertusis datang dengan keluhan
batuk. Batuk yang khas yaitu dengan serangan paroksismal dan bunyi whoop yang
jelas. Kecurigaan kearah pertusis makin diperkuat dengan keluhan batuk tanpa
disertai dengan demam, mialgia, sakit tenggorokan, suara serak, takipnea, wheezing
dan ronkhi. Untuk bayi kecil dari 3 bulan biasanya dengan klinis tersedak, napas
cuping hidung, sianosis.10 Penting menanyakan riwayat riwayat kontak dengan
pasien pertusis selain itu juga penting menanyakan mengenai riwayat imunisasi. 3

16
 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tergantung pada stadium apa pasien pada saat diperiksa.
Saat serangan paroksismal terjadi terjadi perlu diperhatikan tanda bahaya yang
mengancam jiwa. Durasi serangan yang lebih dari 45 detik, sianosis, takikardi,
bradikardi < 60 x/ detik dan penurunan saturasi oksigen pada akhir paroksismal.9
 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pada stadium akhir kataral dan selama stadium paroksismal ditemukan leukosit
dengan jumlah 20.000 – 50.000 IU dengan limfositosis absolut.3 Selain leukositosis,
trombositosis kemungkinan juga ditemukan pada pasien ini hingga mencapai
567 × 109/l. 9
Pemeriksaan radiologi
Pada sebagian besar bayi menunjukan ilfiltrat atau edema perihilar (kadang
tampilan seperti kupu-kupu). Gambaran konsolidasi parenkin pada rontgen thorak
menunjukkan adanya infeksi bakteri sekunder. 9
Pemeriksaan kultur
Pemeriksa kultur memiliki spesifisitas yang sangat baik, hal ini sangat berguna
untuk memastikan diagnosis pertusis ketika anda mencurigai wabah. Banyak
patogen pernapasan lainnya memiliki gejala klinis yang mirip dengan pertusis dan
koinfeksi terjadi. Selanjutnya, memperoleh isolat dari biakan memungkinkan
untuk identifikasi regangan dan pengujian resistensi antimikroba. Biakan berasal
dari spesimen nasofaring (NP) yang dikumpulkan selama 2 minggu pertama batuk
dikarenakan dalam 2 minggu pertama merupakan waktu bakteri masih ada di
nasofaring. Setelah 2 minggu pertama, sensitivitas menurun dan risiko negatif
palsu meningkat.19

Tes serologi
ELISA dapat dipakai untuk menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap
FHA dan PT. Nilai serum IgM FHA dan PT menggambarkan respons imun primer
baik disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes
yang paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui infeksi. 9

17
2.2.7 Penatalaksanaan
Rawat inap dan isolasi
Rawat inap bertujuan untuk memonitoring penyakit, observasi ketat untuk
mencegah/mengatasi terjadinya apnea, sianosis, atau hipoksia, memaksimalkan
nutrisi, mencegah atau mengobati komplikasi dan mengedukasi orang tua mengenai
perawatan yang akan diberikan dirumah. Isolasi untuk pasisen pertusis selama 4
minggu, diutamakan 5 – 7 hari setelah pemeberian antibiotik. Individu yang
dicurigai harus menghindari kontak dengan anak-anak dan wanita muda di akhir
kehamilan, terutama yang belum diimunisasi, sampai setidaknya lima hari
pemberian antibiotik. Idealnya, kasus yang tidak diobati harus menghindari kontak
dengan individu berisiko tinggi selama periode infeksi penuh. Pasien yang dirawat
di rumah sakit harus ditempatkan di ruang isolasi, atau setidaknya menerapkan
tindakan pencegahan kontak dan penularan melalui droplet pernafasan (seperti
mengenakan masker ketika berada di sekitar pasien lain).20

Antibiotik
Antibiotik makrolida, seperti eritromisin, dapat mencegah atau mengurangi pertusis
secara klinis bila diberikan selama masa inkubasi atau fase catharal awal. Ketika
diberikan selama fase paroxysmal, obat antimikroba tidak mengubah perjalanan
klinis, namun dapat menghilangkan bakteri dari nasofaring dan dengan demikian
mengurangi penularan.20 Antibiotik yang lebih awal mengurangi periode infeksi
hingga lima hari tetapi tidak mungkin mengubah durasi batuk. Resistansi Bordetella
pertussis terhadap makrolida telah dilaporkan jarang terjadi. Antibiotik golongan
penisilin dan sefalosporin tidak efektif melawan Bordetella pertussis. Pada
koinfeksi pernapasan diperlukan modifikasi terapi antibiotik. Jika hasil kultur
sputum sudah keluar maka harus digunakan untuk memandu pilihan antibiotik.21

18
Gambar 2.1 rekomendasi pemberian antibiotik

2.2.8 Pencegahan
 Kewaspadaan terhadap penularan melalui droplet sampai hari ke-53
 Bila kontak dengan pasien pertusis, tapi belum pernah diimuniasi
hendaknya diberikan eritromisin selama 14 hari setelah kontak
diputuskan.1
 Bila ada kontak erat penderita pada anak <7 tahun yang telah
diimunisasi, hendaknya diberikan booster (kecuali bila imunisasi
dilakukan dalam 6 bulan terakhir), juga berikan eritromisin
50mg/kgBB/24 jam dalam 2-4 dosis selama 14 hari. Jika kontak erat
pada usia >7 tahun, berikan eritromisin sebagai profilaksis.1
 Imunisasi: ada 2 tipe vaksin pertusis, yaitu: 1) vaksin whole-cell (wP)
dengan basis B. pertussis yang dimatikan dan 2) vaksin acellular (aP)
dengan komponen organisme highly purified.1
 Imunisasi DPT 12 IU yang diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan dengan
jarak 8 minggu.1

19
 Vaksin pertusis monovalen (0,25 ml IM) dipakai untuk mengontrol
epidemi orang dewasa yang terpapar.5
 Kontraindikasi vaksin : anak mengalami ensefalopati 7 hari sebelum
imunisasi, anak mengalami kejang demam atau kejang tanpa demam 3
hari sebelum imunisasi, menangis >3 jam, high pitch cry dalam 2 hari,
hiporesponsif dalam 2 hari, peningkatan suhu >40oC dalam 2 hari.4

2.2.9 Komplikasi
Pneumonia merupakan penyulit yang paling sering dijumpai, menyebabkan
90% kematian pada anak <3 tahun, Pneumonia dapat diakibatkan oleh B.pertusis,
tetapi lebih sering disebabkan oleh infeksi sekunder (H.influenza, S.pneumoniae,
S.pyogenes, S.aureus). Aspirasi mukus atau muntah dapat menyebabkan
pneumonia. Panas tinggi merupakan tanda infeksi sekunder oleh bakteri. Batuk
dengan tekanan yang tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli,empisema dan
pneumothorak termasuk perdarahan subkonjungtiva.1

20
BAB 3
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
 Nama : By. F
 Anak ke : 3 dari 3 bersaudara
 Umur/Tgl Lahir : 2 tahun / 26-09-2022
 Jenis kelamin : Perempuan
 No MR : 01156762
 Nama ayah / ibu : Tn. F / Tn. J
 Alamat : Komplek PGRI, Kuranji, Padang
 Tanggal masuk : 27 November 2022

Anamnesis
Keluhan Utama
Sesak Napas bertambah berat sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
• Batuk sejak 2 minggu yang lalu, batuk panjang diawali dengan nafas
panjang, kadang disertai kebiruan diakhir batuk.
• Demam sejak 1 hari yang lalu, tinggi, hilang timbul, dengan suhu tertinggi
40oC tidak menggigil, tidak berkeingat, tidak disertai kejang.
• Sesak nafas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, makin sesak sejak 10
jam sebelum masuk rumah sakit, sesak tidak menciut, sesak tidak di
pengaruhi aktifitas, makanan dan cuaca.
• Keringat malam tidak ada, penurunan berat badan tidak ada
• Muntah sejak 1 hari yang lalu, 3-4x sehari, jumlah sekitar 5 cc berisi lendir
dan susu. Muntah tidakmenyemprot.
• BAB frekuensi dan warna biasa
• BAK frekuensi dan warna biasa
• Anak sudah dirawat di RSUD Rasyid selama 5 hari dengan diagnosis
Bronkopneumonia, pulang dari RS dengan persetujuan dokter 3 hari yang
lalu.

21
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah dirawat sebelumnya 1 kali. Anak di rawat di RSUD Rasyid selama 5
hari dengan diagnosis Bronkopneumonia. Pulang dari RS dengan persetujuan dokter 3
hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Keluarga
Saudara perempuan pasien pernah dirawat dengan bronkopneumoni sekitar 2
minggu yang lalu.

Riwayat Persalinan
- Lama hamil : 9 bulan
- Cara lahir : operasi
- Indikasi : riwayat SC
- Ditolong oleh : Dokter kebidanan
- Berat lahir : 2800 gram
- Panjang lahir : 49 cm
- Saat lahir : langsung menangis
Riwayat Makanan dan Minuman
 Bayi
o ASI : dari lahir sampai sekarang
o Susu Formula : tidak ada
o Bubur Susu : belum diberikan
o Buah biskuit : belum diberikan
o Nasi tim saring : belum diberikan
 Kesan : kualitas dan kuantitas nutrisi baik sesuai dengan usia.

22
Riwayat Imunisasi
Imunisasi Dasar (Umur) Booster (Umur)
BCG - -
DPT 1 - -
2 - -
3 - -
Polio 1 - -
2 - -
3 - -
Hepatitis B 1 0 bulan -
2 - -
3 - -
Haemofilus influenza B 1 - -
2 - -
3 - -
Campak - -
Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Umur
Tertawa 1 bulan
Miring -
Tengkurap -
Duduk -
Merangkak -
Berdiri -
Lari -

23
Gigi pertama -
Bicara -
Membaca -
Prestasi di sekolah -
Riwayat Gangguan Perkembangan Mental Umur
Isap jempol -
Gigit kuku -
Sering mimpi -
Mengompol -
Aktif sekali -
Apatik -
Membangkang -
Ketakutan -
Pergaulan jelek -
Kesukaran belajar -
Kesan: pertumbuhan dan perkembangan dalam batas normal
Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Nama Tn. J Ny. F
Umur 33 tahun 33 tahun
Pendidikan SMK D3
Pekerjaan Wiraswata IRT
Penghasilan 3.000.000 -
Perkawinan 1 1
Penyakit yang pernah diderita Tidak ada Tidak ada

No. Saudara Kandung Umur Keadaan Sekarang


1 Perempuan 5 tahun Sehat
2 Perempuan 2 tahun Sehat
3 Pasien 2 bulan Sakit

24
Riwayat Perumahan dan Lingkungan
- Rumah tempat tinggal : Permanen
- Sumber air minum : air galon
- Buang air besar : jamban di dalam rumah
- Pekarangan : luas
- Sampah : dibuang ke penampungan sampah
- Kesan : sanitasi dan hygiene cukup baik

Pemeriksaan Fisik
Umum
- Keadaan umum : sakit berat
- Kesadaran : sadar
- Tekanan darah : 96/56 mmHg
- Frekuensi nadi : 130 x/menit
- Frekuensi napas : 48 x/menit
- Suhu : 36,7o C
- Edema : tidak ada
- Ikterus : tidak ada
- Anemia : tidak ada
- Sianosis : tidak ada
- Berat badan : 4,5 kg
- Panjang badan : 56 cm
- BB/U : z score > -2 SD s/d Z score < 0 gizi
- TB/U : z score > -2 SD s/d Z score < 0 gizi
- BB/TB : z score – 1 SD
- Status gizi : Gizi baik
Khusus
- Kulit : Teraba hangat, CRT <2 detik.

25
- Kepala : Normocephal, bulat, simetris, lingkar kepala 37 cm
- Rambut : Hitam, tidak mudah rontok
- Telinga : Tidak ditemukan kelaianan, tidak ada cairan keluar
dari kedua telinga.
- Hidung : Napas cuping hidung ada
- Tenggorok : Tonsil T1-T1, tidak hiperemis, faring tidak
hiperemis

- Torak
o Paru
 Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, retraksi di epigastrium
 Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan
 Perkusi : Sonor
 Auskultasi : Suara Nafas vesikuler, Ronkhi +/+ di kedua basal
paru, rongki basah halus nyaring, Wheezing -/-
o Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
 Perkusi : Batas astas RIC II batas kanan LSD. Batas kiri 1
jari medial LMCS RIC V
 Auskultasi : S1 S2 reguler, bising tidak ada
- Abdomen
o Inspeksi : Tidak tampak distensi
o Palpasi : Nyeri tekan tidak ada hepar dan lien tidak teraba
o Perkusi : Timpani
o Auskultasi : Bising usus positif, normal
- Punggung : Tidak tampak kelainan
- Genitalia : Tidak diperiksa
- Anggota gerak : Akral hangat, CRT < 2 detik.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium

26
Hematologi (27/11/22)
 Hb : 11,3 g/dl
 Leukosit : 31.860/mm3
 Hematokrit : 38 %
 Trombosit : 160,900/mm3
 Hitung jenis
- Basofil :0%
- Eosinofil :0%
- Netrofil Batang : 12 %
- Netrofil Segmen : 59 %
- Limfosit : 20 %
- Monosit :8%
Kesan : leukositosis, trombositosis

27
Rontgen Thorax (27 November 2022)

Kesan : Bronkopneumoni

Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding


- Respiratory Distress ec Bronkopnemonia dan pertusis
Masalah Medis
- Demam
- Sesak nafas
- Batuk – batuk panjang disertai dengan muntah

28
Penatalaksanaan
- CPAP PEEP 6, Fio2 30%
- IVFD KAEN 1B 140 cc/hari(sementara puasa)
- Azitromicin 1x 30 mg p.o
- Ampicilin 4 x 125 mg i.v
- Gentamisin 2x12 mg iv
- Paracetamol 50 mg kp

Edukasi
 Imunisasi DPT
 Batuk akan tetap tersisa setelah diterapi.

29
FOLLOW UP

28/11/22 S/ - Anak terpasang CPAP PEEP 6, Fio2 30%


(R3) - Sesak napas masih ada, tidak betambah tidak
ada desaturasi
- Muntah tidak ada

- batuk-batuk panjang masih ada


- Demam ada
- Kejang tidak ada
- BAB dan BAK baik

O/ - KU Kes TD HR RR T
Berat sadar 90/60 100 x/’ 35 x/’ 37,9OC
- Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera
ikterik (-/-)
- Thoraks : Retraksi epigastrium (+) minimal
- Bronkovesikuler, Ronkhi +/+ basah halus
nyaring, Whezing -/-
- Abdomen: supel, distensi tidak ada
- Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik

A/
- RD ec Bronkopneumonia dan Pertusis

P/ - ASI 8x30 cc
- IVFD KAEN 1B 140 cc per hari
- Azitromicin 1x 30 mg p.o
- Paracetamol 50 mg iv
- Ceftriaxone 2x200 mg iv
- Dexametason 3x0,75 mg iv

30
29/11/22 S/ - Anak terpasang CPAP PEEP 6, Fio2 30%
- Sesak napas masih ada, tidak betambah tidak
ada desaturasi
- Lendir banyak

- batuk-batuk panjang masih ada


- Demam ada
- Kejang tidak ada
- Intake masuk tolerasnsi baik
- BAB dan BAK baik

O/ - KU Kes TD HR RR T
Berat sadar 95/60 120 x/’ 35 x/’ 37,8OC
- Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera
ikterik (-/-)
- Thoraks : Retraksi epigastrium (+) minimal
- Bronkovesikuler, Ronkhi +/+ basah halus
nyaring, Whezing -/-
- Abdomen: supel, distensi tidak ada
- Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik

A/
- RD ec Bronkopneumonia dan Pertusis

P/
- Pantau WOB, suction berkala
- ASI 8x30 cc

- Azitromicin 1x 30 mg p.o
- Paracetamol 50 mg iv
- Ceftriaxone 2x200 mg iv
- Dexametason 3x0,75 mg iv

31
30/11/22 S/ - Anak terpasang nasal kanul 2L/menit
- Sesak napas masih ada, tidak betambah tidak
ada desaturasi
- Lendir sudah berkurang

- batuk-batuk panjang masih ada tapi sudah


berkurang
- Demam tidak ada
- Kejang tidak ada
- Intake masuk tolerasnsi baik
- BAB dan BAK baik

O/ - KU Kes TD HR RR T
Berat sadar 90/65 120 x/’ 35 x/’ 36,8OC
- Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera
ikterik (-/-)
- Thoraks : Retraksi epigastrium (+) minimal
- Bronkovesikuler, Ronkhi +/+ basah halus
nyaring minimal, Whezing -/-
- Abdomen: supel, distensi tidak ada
- Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik

A/
- RD ec Bronkopneumonia dan Pertusis

32
P/
- Pindah ruangan ke akut
- ASI 8x30 cc

- Azitromicin 1x 30 mg p.o
- Paracetamol 50 mg iv
- Ceftriaxone 2x200 mg iv
- Dexametason 3x0,75 mg iv

33
BAB 4
DISKUSI

Telah dilaporkan seorang pasien By.F, perempuan, usia 2 bulan dirawat di HCU
anak RSUP DR DJAMIL pada tanggal 27 November 2022 dengan diagnosis pertusis
dan bronkopneumoni. Pasien rujukan dari RS. Swasta. Penegakkan diagnosis didasarkan
dari anamnesis,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pertusis merupakan
infeksi saluran nafas akut yang disebabkan oleh Bordetela pertusis.
Dari alloanamnesis yang dilakukan pada ibu pasien, diketahui bahwa anak
mengalami Sesak napas bertambah berat sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit.
Sesak nafas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, makin sesak sejak 10 jam sebelum
masuk rumah sakit, sesak tidak menciut, sesak tidak di pengaruhi aktifitas, makanan dan
cuaca. Jika pasien sesak, kita dapat memikirkan adanya kelainan di paru-paru atau diluar
paru. Kelainan diparu misalnya asma, bronkiolitis, pneumonia, adanya tumor, dll.
Sedangkan sesak yang disebabkan diluar paru, bisa karena adanya kelainan jantung,
kelainan metabolik, dan kelainan ginjal. Sesak pada pasien tidak menciut dan tidak
dipengaruhi oleh cuaca, dan tidak ditemukan adanya wheezing pada saat ekspirasi
sehingga kita bisa singkirkan asma. Sesak napas yang dipengaruhi aktifitas bisa terjadi
akibat gangguan jantung. Pada pasien ini sesak tidak pengaruhi aktifitas sehingga kita
bisa singkirkan gangguan jantung. Pada pasien didapatkan sesak napas, adanya retraksi
di epigastrium dan adanya rhonki basah halus nyaring pada kedua basal paru serta
ditemukan adanya infiltrat pada pemeriksaan rhonsen thorax berdasarkan MTBS Pada
anak yang menderita batuk atau sukar bernapas dengan ditemukan gejala tarikan dinding
dada ke dalam, di klasifikasikan ke dalam pneumonia .11
Pada anak ini juga mengeluhkan batuk sejak 2 minggu yang lalu, batuk panjang
didahului menarik nafas panjang, kadang disertai kebiruan diakhir batuk. Batuk panjang
yang disertai kebiruan diakhir serangan batuk merupakan ciri khas dari pertusis. Selain
itu pada riwayat imunisasi anak tidak diimunisasi DPT sehingga menjadi faktor resiko
untuk terjadinya pertusis. Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan peningkatan
leukosis yang tinggi dengan nilai 31,860/mm3. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan darah perifer dapat didiagnosis Pertusis . 9
Tatalaksana yang diberikan pada pasien adalah dirawat di HCU dan diberikan
terapi CPAP PEEP 6 Fio2 30%, IVFD KAEN IB 140 cc/hari (sementara puasa) agar

34
tidak terjadi aspirasi. Azitromicin 1x30 mg antibiotik pilihan untuk pertusis(p.o),
Ampicilin 4 x 125 mg (i.v), Gentamisin 2 x 12 mg (i.v) diberikan untuk terapi
bronkopneumonia dan Paracetamol 50 mg (kp) diberikan jika anak demam.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo, Sumarmo S. Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Pertusis. Buku


ajar infeksi & pediatri tropis.2nded. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2015. hal
331-7.
2. Pudjiadi, Antonius H.dkk,editor. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia. IDAI;2009. Hal 236-242,250
3. Kandun I N. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Dirjen P2PL Departemen
Kesehatan. Jakarta; 2000
4. Plessis NM et al. Risk factors for pertussis among hospitalised children in a high
HIV prevalence setting, South Africa. Int J Infect Dis. 2018;68:54-60.
5. Lauria AM, Zabbo CP (2019). Pertussis (whooping cough). NCBI.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519008/ . Diakses pada 10 Januari
2020
6. Hood A, Wibisono MJ, Winariani. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Graha Masyarakat Ilmiah Kedokteran Universitas Airlangga; 2010.
7. Latief A. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Standar WHO. Jakarta:
Depkes; 2009.
8. Rahajoe, Nastini N. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2010.
9. Long SS. Pertussis (Bordetella pertussis and B. parapertussis). Dalam: Behrman
RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi
ke-21. 2019. Saunders, Philadelphia, h. 908-12.
10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Profil Kesehatan Indonesia
2018. Jakarta: Departemen Kesehatan.
11. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS). Jakarta: Depkes RI.
12. Soewignjo S, Gessner BD, Sutanto A, Steinhoff M, Prijanto M, Nelson C, et al.
2001. Streptococcus pneumonia Nasopharyngeal Carriage Prevalence, Serotype
Distribution, and Resistance Patterns among Children on Lombok Island,
Indonesia.Clinical Infection Disease, 32, pp 1039 – 1043.
13. World Health Organization (WHO). April 2013. Pneumonia.

36
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/. Diunduh 26 November
2022 pukul 08.00 WIB.

14. Kilogore PE, Salim AM, Zervos MJ, Schmitt HJ. Pertussis: microbiology, disease,
treatment, and prevention. American Society for Microbiology. 2016; 29(3): 449-
86.
15. TH Skoff, S Haddler, S Hariri. The Epidemiology of Nationally Reported Pertussis
in the United States, 2000-2016. Clin Infect Dis. 2019;68(10):1634-40.
16. Masseria C et al. Incidence and Burden of Pertussis Among Infants Less Than 1
Year of Age. The pediatric Infectious Disease Journal. 2017;36(3):54-61.
17. Nataprawira HM, Phangkawira E. A retrospective study of acute pertussis in
Hasan Sadikin Hospital-Indonesia. J Acute Dis. 2015;4:147–151.
18. Scheller EV, Cotter PA. Bordetella filamentous hemagglutinin and fimbriae:
critical adhesins with unrealized vaccine potential. Pathog Dis. 2015;73.
19. CDC (2019). Pertussis: diagnostic confirmation.
https://www.cdc.gov/pertussis/clinical/diagnostic-testing/diagnosis-
confirmation.html. Diakses pada 27 November 2022
20. WHO (2018). Vaccine-preventable diseases surveillance standards : pertussis.
https://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/vpd/stan
dards/en/ . Diunduh pada 28 November 2022
21. NSW Government (2018). Management of whooping cough (pertussis).
https://www.health.nsw.gov.au/Infectious/whoopingcough/Pages/workers-
managing-cases.aspx . Diakses pada 29 November 2022

37
38

Anda mungkin juga menyukai