Laporan Pendahuluan Keperawatan Jiwa
Laporan Pendahuluan Keperawatan Jiwa
Laporan Pendahuluan Keperawatan Jiwa
Disusun Oleh:
Dina Ayu Septiani
(011 STYC20)
Keterangan :
1. Respon Adaptif
Respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial budaya yang
berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi suatu masalah dan akan dapat memecahkan masalah
tersebut.
Adapun respon adaptif yakni :
a. Pikiran Logis merupakan pandangan yang mengarah pada kenyataan
yang dapat diterima akal.
b. Persepsi Akurat merupakan pandangan dari seseorang tentang suatu
peristiwa secara cermat dan tepat sesuai perhitungan.
c. Emosi Konsisten dengan pengalaman merupakan perasaan jiwa yang
timbul sesuai dengan peristiwa yang pernah dialami.
d. Perilaku Sosial dengan kegiatan individu atau sesuatu yang berkaitan
dengan individu tersebut yang diwujudkan dalam bentuk gerak atau
ucapan yang tidak bertentangan dengan moral.
e. Hubungan Sosial merupakan proses suatu interaksi dengan orang
lain dalam pergaulan ditengah masyarakat dan lingkungan.
2. Respon Psikososial
Adapun respon psikososial yakni:
a. Pikiran terkadang menyimpang berupa kegagalan dalam
mengabstrakan dan mengambil kesimpulan.
b. Ilusi merupakan pemikiran atau penilaian yang salah tentang
penerapan yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan
panca indera.
c. Emosi berlebihan dengan kurang pengalaman berupa reaksi emosi
yang diekspresikan dengan sikap yang tidak sesuai.
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi
batas kewajaran.
e. Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi
dengan orang lain, baik dalam berkomunikasi maupun berhubungan
sosial dengan orang-orang di sekitarnya.
3. Respon Maladaptif
Respon maladaptif merupakan respon individu dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan
lingkungan.
Adapun respon maladaptif yakni:
a. Kelainan pikiran (waham) merupakan keyakinan yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan keyakinan sosial.
b. Halusinasi merupakan gangguan yang timbul berupa persepsi yang
salah terhadap rangsangan.
c. Kerusakan proses emosi merupakan ketidakmampuan mengontrol
emosi seperti menurunnya kemampuan untuk mengalami
kesenangan, kebahagiaan, dan kedekatan.
d. Perilaku tidak terorganisir merupakan ketidakteraturan perilaku
berupa ketidakselarasan antara perilaku dan gerakan yang di
timbulkan.
e. Isolasi sosial merupakan kondisi dimana seseorang merasa kesepian
tidak mau berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.
(Stuart, 2017).
1.1.3 Etiologi
Faktor predisposisi klien halusinasi menurut (Oktiviani, 2020) :
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya
kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu
mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri.
b. Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungan sejak bayi
akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada
lingkungan.
c. Biologis
Faktor biologis Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya
gangguan jiwa. Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang
maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat
halusinogen neurokimia. Akibat stress berkepanjangan
menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.
d. Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adikitif. Hal ini berpengaruh
pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat
demi masa depannya, klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari
dari alam nyata menuju alam hayal.
e. Sosial Budaya
Meliputi klien mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, klien meganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam
nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan Halusinasinya,
seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan
interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan
dalam dunia nyata.
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi merupakan stimulus yang dipersepsikan oleh
individu sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan
energi ekstra untuk menghadapinya. Seperti adanya rangsangan dari
lingkungan, misalnya partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama
tidak diajak komunikasi, objek yang ada di lingkungan dan juga suasana
sepi atau terisolasi, sering menjadi pencetus terjadinya halusinasi. Hal
tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang
tubuh mengeluarkan zat halusinogenik. Penyebab Halusinasi dapat
dilihat dari lima dimensi (Oktiviani, 2020) yaitu :
a. Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaaan obat-obatan, demam hingga
delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu
yang lama.
b. Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak
dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari
halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien
tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan
kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut
c. Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu
dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi
ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri
untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal
yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh
perhatian klien dan tidak jarang akan mengontrol semua perilaku
klien.
d. Dimensi Sosial
Klien mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, klien meganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam
nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan Halusinasinya,
seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan
interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan
dakam dunia nyata.
e. Dimensi Spiritual
Secara sepiritual klien Halusinasi mulai dengan kehampaan
hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktifitas ibadah dan
jarang berupaya secara sepiritual untuk menyucikan diri. Saat
bangun tidur klien merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya.
Individu sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput
rezeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan
takdirnya memburuk.
1.1.4 Klasifkasi
Menurut (Pardede & Ramadia, 2021), beberapa jenis halusinasi antara lain:
1. Halusinasi Pendengaran (auditory) 70%
Mendengar suara yang membicarakan, mengejek, menertawakan,
mengancam, memerintahkan untuk melakukan sesuatau (kadang-
kadang hal yang berbahaya). Perilaku yang muncul adalah mengarahkan
telinga pada sumber suara, bicara atau tertawa sendiri, marah-marah
tanpa sebab, menutup telinga, mulut komat-kamit, dan adanya gerakan
tangan.
2. Halusinasi Pengihatan (visual) 20%
Stimulus penglihatan dalam bentuk pencaran cahaya, gambar, orang
atau panorama yang luas dan kompleks, biasanya menyenangkan atau
menakutkan. Perilaku yang muncul adalah tatapan mata pada tempat
tertentu, menunjuk kearah tertentu, serta ketakutan pada objek yang
dilihat.
3. Halusinasi Penciuman (Olfaktori)
Tercium bau busuk, amis, dan bau yang menjijikan seperti : darah,
urine atau feses, kadang-kadang tercium bau harum seperti parfum.
Perilaku yang muncul adalah ekspresi wajah seperti
mencium,mengarahkan hidung pada tempat tertentun dan menutup
hidung.
4. Halusinasi pengecapan (gustatory)
Merasa mengecap sesuatu yang busuk, amis, dan menjijikkan,
seperti rasa darah, urine, dan feses. Perilaku yang muncul adalah seperti
mengecap, mulut seperti gearakan mengunyah sesuatu sering meludah,
muntah.
5. Halusinasi Perabaan (taktil)
Mengalami rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat,
seperti merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau
orang lain, merasakan ada yang menggerayangi tubuh seperti tangan,
binatang kecil dan mahluk halus. Perilaku yang muncul adalah
mengusap, menggaruk-garuk atau meraba-raba permukaan kulit,terlihat
menggerak-gerakan badan seperti merasakan sesuatu rabaan.
1.1.5 Manifestasi Klinis
Tanda-tanda halusinasi menurut Yosep (2010) & Fajariyah (2012)
meliputi sebagai berikut :
2. Tahap II (Condeming)
Menyalahkan, tingkat kecemasan berat, secara umum halusinasi
menyebabkan rasa antisipasi dengan karakteristik pengalaman sensori
menakutkan, merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut, mulai
merasa kehilangan control, menarik diri dari orang lain.
Perilaku klien yang mencirikan dari tahap II yaiu dengan terjadi
peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah, perhatian
dengan lingkungan berkurang, konsentrasi terhadap pengalaman
sensorinya, kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan
realitas.
3. Tahap III (Controlling)
Mengontrol, tingkat kecemasan berat, pengalaman halusinasi tidak
dapat ditolak lagi dengan karakteristik klien menyerah dan menerima
pengalaman sensorinya (halusinasi), isi halusinasi menjadi atraktif, dan
kesepian bila pengalaman sensori berakhir.
Perilaku klien pada tahap III ini adalah perintah halusinasi ditaati,
sulit berhubungan dengan orang lain, perhatian terhadap lingkungan
berkurang, hanya beberapa detik, tidak mampu mengikuti perintah dari
perawat, tampak tremor dan berkeringat.
4. Tahap IV (Conquering)
Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi, klien tampak panik.
Karakteristiknya yaitu suara atau ide yang datang mengancam apabila
tidak diikuti. Perilaku klien pada tahap IV adalah perilaku panik, resiko
tinggi mencederai, agitasi atau katatonia, tidak mampu berespon
terhadap lingkungan.
1.1.7 Mekanisme Koping Halusinasi
Mekanisme koping merupakan perilaku yang mewakili upaya untuk
melindungi diri sendiri, mekanisme koping halusinasi menurut Yosep
(2016), diantaranya:
a. Regresi
Proses untuk menghindari stress, kecemasan dan menampilkan
perilaku kembali pada perilaku perkembangan anak atau berhubungan
dengan masalah proses informasi dan upaya untuk menanggulangi
ansietas.
b. Proyeksi
Keinginan yang tidak dapat di toleransi, mencurahkan emosi pada
orang lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri (sebagai upaya
untuk menjelaskan kerancuan identitas).
c. Menarik diri
Reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun
psikologis. Reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari menghindar
sumber stressor, sedangkan reaksi psikologis yaitu menunjukkan
perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai rasa
takut dan bermusuhan.
1.1.8 Pohon Masalah
Skizofrenia
1.1.9 Penatalaksanaan
1. Psikofarmakoterapi
Terapi dengan menggunakan obat bertujuan untuk mengurangi atau
menghilangkan gejala gangguan jiwa. Klien dengan halusinasi perlu
mendapatkan perawatan dan pengobatan yang tepat. Adapun obat-
obatannya seperti :
a. Golongan butirefenon : haloperidol (HLP), serenace, ludomer. Pada
kondisi akut biasanya diberikan dalam bentuk injeksi 3 x 5 mg (IM),
pemberian injeksi biasanya cukup 3 x 24 jam. Setelahnya klien
biasanya diberikan obat per oral 3 x 1,5 mg. Atau sesuai dengan
advis dokter (Yosep, 2016).
b. Golongan fenotiazine : chlorpromazine (CPZ), largactile, promactile.
Pada kondisi akut biasanya diberikan per oral 3 x 100 mg, apabila
kondisi sudah stabil dosis dapat dikurangi menjadi 1 x 100 mg pada
malam hari saja, atau sesuai dengan advis dokter (Yosep, 2016).
2. Terapi Somatis
Terapi somatis adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan
gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptif
menjadi perilaku adaptif dengan melakukan tindakan yang ditujukan
pada kondisi fisik pasien walaupun yang diberi perlakuan adalah fisik
klien, tetapi target terapi adalah perilaku pasien. Jenis terapi somatis
adalah meliputi pengikatan, ECT, isolasi dan fototerapi (Kusumawati &
Hartono, 2011).
a. Pengikatan adalah terapi menggunakan alat mekanik atau manual
untuk membatasi mobilitas fisik klien yang bertujuan untuk
melindungi cedera fisik pada klien sendiri atau orang lain.
b. Terapi kejang listrik adalah bentuk terapi kepada pasien dengan
menimbulkan kejang (grandmal) dengan mengalirkan arus listrik
kekuatan rendah (2-3 joule) melalui elektrode yang ditempelkan
beberapa detik pada pelipis kiri/kanan (lobus frontalis) klien.
c. Isolasi adalah bentuk terapi dengan menempatkan klien sendiri
diruangan tersendiri untuk mengendalikan perilakunya dan
melindungi klien, orang lain, dan lingkungan dari bahaya potensial
yang mungkin terjadi. akan tetapi tidak dianjurkan pada klien
dengan risiko bunuh diri, klien agitasi yang disertai dengan
gangguan pengaturan suhu tubuh akibat obat, serta perilaku yang
menyimpang.
d. Terapi deprivasi tidur adalah terapi yang diberikan kepada klien
dengan mengurangi jumlah jam tidur klien sebanyak 3,5 jam. cocok
diberikan pada klien dengan depresi.